Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BAHAN AJAR KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL DI MASYARAKAT KEPULAUAN RIAU

BAHAN AJAR KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL DI MASYARAKAT KEPULAUAN RIAU

Published by e-LIBRARY SPN POLDA KEPRI, 2022-11-12 09:33:31

Description: BAHAN AJAR KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL DI MASYARAKAT KEPULAUAN RIAU

Search

Read the Text Version

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI kegiatan ekonomi secara perlahan komunikasi antar individu dari kedua desa tersebut mulai mencair meskipun tidak secara terbuka, karena masih sensitif dicurigai sebagai mata-mata antar kelompok. 4 Sulawesi Tengah. Pertemuan Malino untuk Masing-masing komunitas Konflik Poso, Tahun Poso pada tanggal 18 yang bertikai menunjukkan sampai dengan 20 kesepakatan perdamaian, 2001. Desember 2001, yang dan mempunyai komitmen dihadiri oleh perwakilan untuk mewujudkan dari tokoh-tokoh yang keamanan dan perdamaian selanjutnya bersama, yang difasilitasi bertikai, oleh pemerintah yang lebih dikenal dengan bersikap dan bertindak kesepakatan deklarasi Malino 2. sebagai mediator dan motivator dalam penyelesaian konflik. Sehingga lebih bersifat permanen dan tahan lama. Sumber: Bambang Wahyudi, 2013 Beberapa proses rekonsiliasi konflik pernah berhasil dilakukan dalam beberapa konflik yang terjadi di Indonesia. Pola rekonsiliasasi tersebut tentunya tidak dapat digunakan secara utuh dalam praktek konflik yang terjadi di wilayah dan waktu yang berbeda. Mengapa? Karena dalam menghadapi konflik, wilayah dan waktu yang berbeda menentukan pilihan respons yang tepat dalam melakukan penyelesaian konflik. - Transformasi Setelah terjadi tahap rekonsiliasi dan akar permasalahan konflik dapat dipahami, maka tahap berikutnya adalah transformasi konflik. Dalam transformasi konflik, faktor-faktor yang sebelumnya konfliktual, diupayakan untuk dapat ditransformasikan dalam proses membangun budaya damai dan peningkatan kapasitas kelembagaan baik formal maupun non formal. Langkah rekonsiliasi setidaknya dapat dijadikan sebagai sebuah tahapan awal perjalanan panjang “Transformasi Konflik”. Transformasi konflik secara tidak langsung dapat memberikan kesadaran pada pihak-pihak yang berkonflik, setidaknya bahwa upaya tersebut penting untuk dilakukan karena apapun yang terjadi, manusia atau masyarakat dapat berubah ke arah perbaikan. Konsep-konsep tentang transformasi konflik tanpa kekerasan diperlukan sebagai sebuah kerangka konseptual bagi langkah- PENANGANAN KONFLIK 48 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI langkah analisa menuju pengakhiran konflik, disamping untuk memikirkan tentang kemungkinan melakukan intervensi dalam konflik. Untuk itu peneliti mengacu pada pemikiran Miall, tentang lima aspek penting dalam transformasi konflik, sebagai berikut: “Resolusi konflik dalam kelompok atau antar kelompok, diperlukan transformasi konflik tanpa kekerasan dengan mengenalisa lima aspek yaitu: (1) transformasi konteks, (2) transformasi struktur, (3) transformasi aktor, (4) transformasi persoalan, (5) transformasi kelompok dan personil (Miall, 2002: 250-252).” Transformasi Konteks. Seperti halnya relasi yang bergerak secara interkoneksi, konflik pun demikian. Konflik dilihat dalam konteks lokal, nasional, regional dan internasional, merupakan sudut pandang kritis bagi dinamika konflik. Perubahan dalam konteks dapat mempunyai efek lebih dramatis dibandingkan perubahan pada pihak-pihak yang bertikai atau dalam hubungan mereka. Konteks konflik yang berubah tentu akan berpengaruh pada usaha penyelesaian konflik. Selanjutnya perlu dicermati bagaimana mengidentifikasi kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut serta memahami kepentingan dan posisi masing-masing. Dengan kata lain, perlu pemahaman konflik dari kedua perspektif pihak yang berselisih. Hal ini penting untuk mempermudah proses pendekatan agar dapat membuka kembali hubungan yang telah terputus antara kedua kelompok. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan dialog- dialog lanjutan dengan dibantu mediator. Transformasi konteks, berarti harus berangkat dari inisiatif kedua pihak yang secara formal maupun informal belum pernah melakukan perundingan/ dialog. Maka diperlukan interverensi dari pihak lain untuk menjembatani hubungan antar kelompok yang bertikai. Peran pihak ketiga, pertama-tama adalah memperluas pemahaman maupun kemampuan pihak-pihak yang bertikai, untuk menyadari dan menerima harkat dan martabat pihak lain. Sekaligus memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menyadari atau mengakui aneka kesalahan dan memperbaiki hubungan. Aneka kejadian di masa lalu atau kesan-prasangka tertentu yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun, bisa membuat orang/kelompok sosial menjadi sangat kaku. Mereka cenderung tidak mau mencoba menempuh solusi dengan memperbaiki relasi atau hubungan sehingga integrasi sosial menjadi sangat sulit untuk dibentuk. PENANGANAN KONFLIK 49 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Kejelasan tentang tujuan, peran, tanggung jawab, dan perbedaan pandangan tentang pengalaman masa lalu perlu diselesaikan, sebelum menangani permasalahan konflik lainnya. Selanjutnya diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan di berbagai bidang kehidupan, berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan kondisi dan situasi daerah yang dapat membangun kembali hubungan antara kelompok-kelompok yang bertikai. Transformasi Struktural. Struktur konflik termasuk dalam hal ini adalah aktor-aktor, persoalan, dan tujuan atau hubungan yang tidak sesuai yang menjadi bagian tak terpisahkan dari konflik itu sendiri. Konflik menyangkut struktur, seringkali melibatkan persoalan tentang keadilan dan tujuan-tujuan yang saling tidak sejalan. Transformasi struktur diperlukan untuk menyelesaikan konflik akibat ketimpangan yang dibiarkan berkepanjangan di masyarakat. Transformasi konflik mengakui bahwa perdamaian dan keadilan tidak terpisahkan. Perdamaian tanpa keadilan bukanlah perdamaian sejati, sementara keadilan tanpa perdamaian tidak akan bertahan lama. Untuk mengubah struktur konflik, seringkali dituntut usaha intensif demi menghasilkan perubahan yang diharapkan. Maka diperlukan intervensi yang dapat dipercaya oleh kelompok yang bertikai. Melalui transformasi struktur diharapkan dapat mengurangi dominasi kelompok, mengeliminasi rasa saling curiga, dan pada akhirnya bisa bersama-sama bekerja untuk membangun perdamaian yang positif. Transformasi Aktor. Pihak-pihak yang bertikai harus menentukan kembali arah mereka, mengabaikan atau memodifikasi tujuan yang ingin dicapai dan mengadopsi perspektif yang berbeda secara radikal. Mereka harus dapat menerima perbedaan sebagai suatu kekuatan yang dapat dikemas dalam bingkai demokrasi, untuk mewujudkan perdamaian. Perdamaian telah mendorong semua pihak untuk menahan diri dan mencoba saling memahami dan harus berinteraksi. Pemisahan pihak-pihak yang bertikai dan pengintegrasian mereka kembali merupakan bentuk perubahan penting. Perubahan aktor yang berkonflik juga merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik. Banyak konflik menjadi semakin mudah diselesaikan, manakala terjadi perubahan dalam kepemimpinan para pihak. Transformasi Persoalan. Dinamika konflik mencakup adanya dinamika atas persoalan. Hal ini sangat mungkin karena adanya dinamika posisi ataupun mungkin kepentingan pihakpihak yang berkonflik. Posisi pihak konflik terhadap suatu isu serta kemunculan PENANGANAN KONFLIK 50 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI isu-isu atau persoalan konfliktual yang baru, maka konflikpun dapat berbah. Dalam kasus ini, membingkai kembali persoalan secara jelas, dapat menjadi upaya membuka jalan bagi penyelesaian. Perbedaan-perbedaan kepentingan dapat dicarikan solusinya melalui pendekatan dengan jalur politik, sosial budaya, ekonomi dan bidang kehidupan sosial lainnya dengan sesuai terhadap makna demokrasi dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku. Perubahan posisi aktor konflik sangat berhubungan dengan perubahan kepentingan dan perubahan tujuan, termasuk perubahan bagi transformasi aktor, transformasi konteks dan transformasi struktur konflik. Transformasi kelompok dan personal. Pemimpin memegang peranan yang fundamental dalam resolusi konflik, termasuk dalam hal ini menawarkan rekonsiliasi maupun berkompromi dengan pihak yang sebelumnya menjadi lawan dalam suatu konflik. Usaha kompromi ini menjadi tanggung jawab bagi kedua pihak yang berkonflik. Tanggung jawab pertama dan utama untuk mencegah, mengelola dan mentransformasikan konflik, terletak pada mereka yang terlibat dan para pemimpinnya. Transformasi konflik mempersyaratkan perubahan nyata dalam kepentingan, tujuan dari pihak-pihak yang terlibat. Langkah-langkah tersebut harus diikuti dengan perubahan dalam hati dan pikiran para aktor yang berkonflik, agar dapat memberikan kesadaran bahwa perdamaian dan persaudaraan jauh lebih mulia dan berharga daripada permusuhan. Transformasi konflik mempunyai makna menggeser faktor konfliktual yang dapat mengarah kepada kekerasan dalam suatu kondisi, menggunakan suatu mekanisme kooperatif antara pihakpihak yang berkonflik hingga tercapainya suasana damai. Pada dasarnya, manusia meskiipun memiliki latar belakang yang berbeda selalu dapat bekerja sama. Hal ini dikarenakan kepentingan dan kebutuhan yang seringkali memiliki prasyarat lingkungan yang kondusif, atau dengan lain kondisi damai. Kesadaran akan kebutuhan terhadap perdamaian inilah yang diinginkan dicapai oleh semua makanisme penyelesaian konflik. Di samping penguatan basis sosial, ekonomi, dan politik, terdapat hal yang perlu diperhatikan lainnya, yakni peran pendidikan. Mendidik merupakan upaya konkrit dalam membawa masyarakat pada area pemahaman yang benar terhadap makna perdamaian yang seharusnya ada dalam kehidupan sehari-hari. Fase transformasi konflik merupakan serangkaian proses yang dapat menghasilkan kondisi positif untuk menyelesaikan sebuah PENANGANAN KONFLIK 51 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI konflik. Perkembangan konflik atau dikenal dengan dinamika konflik menentukan cara terbaik dalam menghadapi konflik yang terjadi. Mengenali dasar isu dalam proses trasnformasi konflik menjadi hal penting dalam mendapatkan jawaban bagaiaman konflik dapat dihadapi dan diselesaikan. 2. Revitalisasi Eksistensi Kearifan Lokal Pemahaman mengenai metode penanganan konflik menjadi dasar dari pihak-pihak yang memiliki keinginan menciptakan perdamaian pascakonflik terjadi. Pada tahapan ini eksistensi kearifan lokal perlu lebih dulu menjadi perhatian penting, pasalnya tidak banyak yang memahami dan memilih pendekatan kearifan lokal sebagai metode dalam penyelesain sebuah konflik. Padahal aspek realitas kewilayahan menjadi hal utama yang menentukan efektivitas metode penyelesaian konflk yang sedang dihadapi. Aksi revitalisasi kearifan lokal pada sebuah wilayah memang seharusnya sudah dikerjakan sejak jauh-jauh hari, bahakan sebenarnya bukan menjadi kewajiban mediator atau pihak lain yang ingin menciptakan kondisi damai. Akan tetapi, eksistensi kearifan lokal akan menjadi hal utama ketika pendekatan tersebut menjadi alternative dispute resolution dalam menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Cara utama yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengajaran di tingkat lembaga adat, realisasi yang dilakukan dengan mengaktifkan kembali peran lembaga adat sebagai tempat melestarikan wujud kearifan lokal tersebut. Lembaga adat yang dimaksud dimulai sejak level tekecil seperti keluarga hingga tingkat sosial yang lebih besar di masyarakat. Upaya lain dari revitalisasi kearifan lokal adalah dengan melibatkan seluruh aspek masyarakat mulai dari LSM, akademisi, mahasiswa, perempuan bahkan lembaga atau institusi pemerintah. Jika kondisi tersebut tercapai, maka ajaran mengenai nilai-nilai perdamaian yang tekandung dalam kearifan lokal akan terus diketahui dan ditaati dengan baik oleh masyarakat. 3. Perspektif Perdamaian dari Kearifan Lokal Menciptakan perdamaian bagi bangsa Indonesia menjadi sebuah keharusan konstitusional karena tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Adakalanya tidak banyak yang menyadari jika Indonesia memiliki falsafah pancasila yang merupakan pondasi kuat terhadap pembentukan perdamaian di tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Tanggung jawab moral yang PENANGANAN KONFLIK 52 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI besar dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan tidak hanya di wilayah Indonesia, akan tetapi di dunia. Pada umumnya, kebudayaan setempat akan menetapkan sebuah aturan baku yang disepakati mengenai tata tindak dan perilaku masyarakatnya. Seringkali kebudayaan memang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan inilah yang juga berpotensi menjadi bumerang dan bagian dari pemicu konflik. Minimnya wawasan mengenai hal tersebut menjadi pupuk menyebarnya kebencian satu sama lain dan lahir dari kelompok-kelompok yang berbeda. Sudut pandang untuk memahami perbedaan menjadi sebuah kekayaan memang bukan perkara mudah. Salah satu jalan pengenalan tersebut adalah menjadikan kebudayaan sebagai pendekatan dalam proses menuju perdamaian. Perdamaian merupakan nilai penting dan utama dari setiap masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun manusia yang senang berhadapan dengan konflik dan konfrontasi yang lahir dengan mudahnya oleh perbedaan. Hal ini kemudian membuat semua pihak cenderung nyaman berada dilingkungan yang sama dengannya. Kondisi tersebut mengakibatkan pemikiran kurang terbuka terhadap kehidupan orang lain yang juga berbeda dengannya. Nilai perdamaian sudah sejak lama ada dalam sendi kehidupan budaya masyarakat. Beberapa contoh mengenai nilai perdamaian yang ada dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Melihat kondisi ini muncul pertanyaan, kapan nilai kearifan lokal tersebut dapat diimplementasikan dalam strategi resolusi konflik? Tidak ada konsepsi yang dapat menjamin dengan pasti kapan waktu yang tepat sebuah strategi dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik. Sama halnya dengan penjelasan mengenai kecocokan penerapan satu strategi pada sebuah wilayah dengan wilayah lainnya. Dalam menghadap hal tersebut, memang analisis dan pemahanan yang mendalam terhadap konflik mutlak diperlukan. Untuk menujukkan konsepsi pasti mengenai strategi yang tepat dalam penanganan konflik, konsepsi realitas wilayah dalam wujud kearifan lokal memang dapat menjadi pilihan yang efektif, terlebih realitas wilayah Indonesia yang berbeda-beda tentunya benar-benar membutuhkan kejelian melihat peluang besar dalam menciptakan perdamaian. Melihat kondisi itulah maka referensi mengenai nilai-nilai kearifan lokal pada masing-masing wilayah menjadi hal baku sebelum akhirnya memilih menggunakan kearifan lokal sebagai strategi penangana konflik yang terjadi. Bukan perkara mudah dan perlu PENANGANAN KONFLIK 53 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI usaha maksimal untuk mengimplementasikan pilihan yang telah diambil. 4. Tantangan Implementasi Penanganan Konflik dengan Pendekatan Kearifan Lokal Kesulitan menentukan pilihan strategi dalam penyelesain konflik tidak selesai sampai disitu. Pada implementasinya, pemilihan pendekatan kearifan lokal pun ternyata mendapatkan tantangan, diantaranya: - Sentimen Etnis Sentimen etnis (etnisitas) membuat klasifikasi “kami” dan “mereka” semakin tegas. Dalam mengatasi konflik, etnisitas dijadikan kendaraan untuk menegakkan kohesi sosial dan solidaritas dari masing-masing etnis. Selanjutnya dikatakan, ketika etnis pendatang baru terus berdatangan dan bertempat tinggal di wilayah-wilayah komunal, jumlah populasi komunitas tersebut akan jauh melampaui sumber daya lingkungan yang tersedia. Struktur hubungan antaretnis antara para pendatang dan anggota masyarakat lokal pun berubah seiring dengan mulai memasuknya para pendatang ke dalam sektor-sektor ekonomi yang sebelumnya merupakan lahan eksklusif bagi masyarakat lokal. Dalam beberapa kasus, para pendatang juga menciptakan aktivitas ekonomi yang berbeda dengan masyarakat lokal. Masyarakat etnis lokal terkesan terdiskreditkan dan merasa menderita, karena hilangnya hak-hak istimewa dalam ekonomi dan politik yang sebelumnya hanya diakses oleh mereka. Akhirnya hubungan simbolik kedua kelompok etnis tersebut berubah menjadi perebutan sumber daya, termasuk kedudukan dan kekuasaan (Abubakar, 2006:87). Semakin kuat konflik etnis diantara dua kelompok yang bertikai, maka semakin dalam pula permusuhan diantara keduanya. Konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok dapat membuat tekanan untuk terjadinya konflik berkepanjangan. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi sosial kelompok dapat bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari suatu kelompok berdampak pada kelompokkelompok lainnya dalam lingkungan itu, khususnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan permusuhan. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam kelompok maupun antar kelompok merupakan hasil dinamika sosial yang berlangsung secara alamiah selama dan setelah konflik. Misalnya terbentuk proses PENANGANAN KONFLIK 54 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI emosionalitas dan rasionalitas, baik yang tumbuh di dalam kelompoknya masing-masing, maupun saat mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai kelompok lain yang ada di sekelilingnya. Semua proses tersebut membentuk perbedaan-perbedaan antarkelompok, yang terus terjadi hingga terbentuknya perbedaan dan pertentangan kelompok (etnis) itu sendiri. Sentimen etnis dapat bersumber dari sejarah dan hubungan sosial yang timpang. Faktor masa lalu ini (sejarah) dapat menjadi hambatan komunikasi antara kedua kelompok etnik tersebut. Di samping adanya keputusan politik yang dianggap menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, faktor masa lalu pun berdampak pada konflik etnik yang berkepanjangan. Di lain pihak, ketidakpuasan dalam ranah kultural dapat meningkatkan solidaritas politik, primordialisme, etnonasionalisme, dan gerakan separatisme pada setiap etnis tertentu. Di samping adanya kekecewaan akibat represi negara, dan eksploitasi pusat atas kekayaan daerah, maka semangat nasionalisme etnik di kalangan kelompok tertindas makin tumbuh. - Perbedaan Persepsi Damai Pentingnya pemahaman mengenai perdamaian memberi dampak besar terhadap terciptanya tujuan perdamaian yang sebenarnya. Pada kasus konflik vertikal pemerintah vs masyarakat, perbedaan persepsi mengenai damai tersebut seringkali muncul dan merusak sistem yang telah dibangun ke arah stabilitas perdamaian. Perbedaan arah perdamaian yang diinginkan seringkali menjadi kendala besar tidak selesai atau terulangnya konflik serupa. Salah satu pihak biasanya mengartikan perdamaian sebagai sebuah kondisi damai dengan mengusung kontrol dirinya atas suatu kondisi yang diciptakan, dengan kata lain faktor egoisme tetap dipertahankan. Tentunya hal tersebut merugikan pihak lain yang mengartikan perdamaian sebagai situasi tanpa konfrontasi dalam kehidupan yang sebenarnya seperti terbebas dari keterkekangan dan ketidakadilan. Pada contoh kasus konflik Aceh, perbedaan pemahaman mengenai perdamaian terjadi karena perkembangan situasi. Terdapat keadaan-keadaan seperti: 1) Damai, namun hanya sekadar ketiadaan perang; 2) Masih adanya bibit permusuhan dan perbedaan konstruksi perdamaian, 3) Masih didominasi kendali keamanan, PENANGANAN KONFLIK 55 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 4) Kelompok-kelompok yang ada masih bersifat unitunit besar, saling berseberangan; 5) Adanya tuntutan pemekaran wilayah; 6) Masih berpotensi pada konflik kekerasan. Tantangan implementasi resolusi konflik yang telah dijelaskan tersebut tentunya tidak bisa dielakan lagi. Semua pihak harus menyadari jika sentimen etnis serta perbedaan mengenai cara pandang perdamaian justru dapat menjadi penghalang terciptanya tujuan damai yang ingin dicapai. PENANGANAN KONFLIK 56 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI RANGKUMAN 1. Pendekatan resolusi konflik menunjukkan akar penyebab konflik yang berkembang menjadi kekerasan oleh pihak-pihak yang bermusuhan. Resolusi konflik mencoba mencari sumber dari pertentangan, berusaha untuk mentransformasikan ketidakadilan dan penyumbatan komunikasi yang mungkin semakin memperparah keadaan. Resolusi konflik dapat dimaknai sebagai bentuk penyelesaian konflik hingga babak akhir dengan tujuan agar tidak mengulangi proses damai yang mungkin pernah gagal pada masa-masa sebelumnya. Resolusi konflik pada hakekatnya adalah upaya proses penyelesaian konflik dengan jalan nir kekerasan dan lebih mengedepankan cara-cara demokratis. Pendekatan strategi penyelesaian sebuah konflik diharapkan dapat menunjukkan akar penyebab konflik agar memungkinkan pihak-pihak yang bermusuhan dan bertentangan dapat melakukan komunikasi serta membuka rekonsiliasi, hingga perdamaian dapat diperoleh. Penyelesaian konflik dapat merujuk pada terpenuhi tujuan transformasi konflik. 2. Pemahaman mengenai metode penanganan konflik menjadi dasar dari pihak-pihak yang memiliki keinginan menciptakan perdamaian pascakonflik terjadi. Pada tahapan ini eksistensi kearifan lokal perlu lebih dulu menjadi perhatian penting, pasalnya tidak banyak yang memahami dan memilih pendekatan kearifan lokal sebagai metode dalam penyelesain sebuah konflik. Padahal aspek realitas kewilayahan menjadi hal utama yang menentukan efektivitas metode penyelesaian konflk yang sedang dihadapi. eksistensi kearifan lokal akan menjadi hal utama ketika pendekatan tersebut menjadi alternative dispute resolution dalam menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Cara utama yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengajaran di tingkat lembaga adat, realisasi yang dilakukan dengan mengaktifkan kembali peran lembaga adat sebagai tempat melestarikan wujud kearifan lokal tersebut. Lembaga adat yang dimaksud dimulai sejak level tekecil seperti keluarga hingga tingkat sosial yang lebih besar di masyarakat. 3. Perdamaian merupakan nilai penting dan utama dari setiap masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun manusia yang senang berhadapan dengan konflik dan konfrontasi yang lahir dengan mudahnya oleh perbedaan. Hal ini kemudian membuat semua pihak cenderung nyaman berada dilingkungan yang sama dengannya. Kondisi tersebut mengakibatkan pemikiran kurang terbuka terhadap kehidupan orang lain yang juga berbeda dengannya. Referensi PENANGANAN KONFLIK 57 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI mengenai nilai-nilai kearifan lokal pada masing-masing wilayah menjadi hal baku sebelum akhirnya memilih menggunakan kearifan lokal sebagai strategi penangana konflik yang terjadi. Bukan perkara mudah dan perlu usaha maksimal untuk mengimplementasikan pilihan yang telah diambil. 4. Kesulitan menentukan pilihan strategi dalam penyelesain konflik tidak selesai sampai disitu. Pada implementasinya, pemilihan pendekatan kearifan lokal pun ternyata mendapatkan tantangan, diantaranya: - Sentimen Etnis - Perbedaan Persepsi Damai LATIHAN 1. Jelaskan bagaimana pentingnya penanganan konflik dengan pendekatan kearifan lokal? 2. Uraikan pengertian dan tujuan revitalisasi eksistensi kearifan lokal? 3. Jelaskan bagaimana perspektif perdamaian dari kearifan lokal? 4. Sebutkan dan jelaskan bagaimana tantangan implementasi penanganan konflik dengan pendekatan kearifan lokal? PENANGANAN KONFLIK 58 DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

HANJAR LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI IV PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN KONFLIK SOSIAL 20 JP (900 Menit) PENGANTAR Dalam menjaga kamtibmas, polisi kita dapat bersinergi dalam membangun ketertiban masyarakat dengan menggali kearifan dan nilai-nilai budaya lokal. Hal itu bisa memberikan manfaat dan mendukung tugas-tugas kepolisian dalam hal menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Budaya lokal yang dimaksud mensyaratkan respons individu pada lingkungannya. Budaya sebagai pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok melalui pemecahan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Dengan pemahaman budaya dapat meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya merupakan perekat sosial yang membantu menghimpun organisasi bersama dengan memberikan standar yang cocok atas apa yang dilakukan. Budaya dapat membantu organisasi mengantisipasi dan menyesuaikan perubahan lingkungan yang berkaitan dengan kinerja tinggi untuk jangka panjang. Interaksi dalam struktur sosial ini akan menciptakan budaya di antara kedua belah pihak, baik masyarakat maupun institusi Polri. Budaya itu diproduksi oleh mereka saat mereka berinteraksi satu sama lain. Budaya akan terus direproduksi oleh anggotanya karena budaya merupakan sebuah proses dan produk. Budaya juga memfasilitasi, karena memungkinkan kita untuk memahami apa yang terjadi sehingga dapat berfungsi dalam pengaturan yang secara simultan terkait dengan tradisi di masa lalu, dan terbuka untuk revisi interpretasi pada perubahan yang baru. Melalui pendekatan budaya dan komunikasi, tentu Polri ingin mengubah suatu yang positif tentang organisasi. Mengingat peran komunikasi organisasi dapat mengembangkan dan mempertahankan budaya dalam membantu pencapaian pribadi yang profesional. Polisi profesionalitas berarti memilki sikap yang ditampilkan dalam perbuatan, bukan yang dikemas dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan sesuai profesinya. Polisi dalam keseharian memang dituntut harus menjadi polisi yang bisa menangani kejahatan sehari-hari, mereka dalam melaksanakan tugas itu memang PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 59 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI harus teliti dan sabar. Polisi memiliki multifungsi, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change of agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Polisi harus menjalin kemitraan dengan masyarakat sehingga terwujud rasa saling percaya dan menghargai dengan demikian polisi bersama- sama masyarakat dapat memecahkan masalah yang timbul di lingkungannya. Untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik maka dalam hanjar ini akan membahas materi meliputi penanganan pra konflik, penghentian konflik, serta pemulihan paska konflik. KOMPETENSI DASAR Dapat memahami pendekatan dan tahapan penanganan konflik sosial sebagai mitra Kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Indikator hasil belajar: 1. Menjelaskan peran pemerintah daerah dan kepolisian dalam penanganan pra konflik. 2. Menjelaskan langkah yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian dalam penanganan pra konflik. 3. Menjelaskan langkah yang bisa dikerjakan oleh pemerintah daerah dan kepolisian dalam pengelolaan manajemen konflik. 4. Menjelaskan peranan kepolisian dalam melaksanakan mediasi dan negosiasi penghentian konflik. 5. Menjelaskan langkah pemulihan yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian paska konflik? 6. Menjelaskan tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam pemulihan paska konflik. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 60 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI MATERI PELAJARAN Pokok Bahasan: Mengenal pendekatan dan tahapan penanganan konflik sosial Sub Pokok Bahasan: 1. Penangangan Pra Konflik 2. Penghentian Konflik 3. Pemulihan Paska Konflik METODE PEMBELAJARAN 1. Metode Ceramah. Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi tentang kegiatan kunjungan, pemecahan dan penanganan masalah serta kegiatan pemecahan masalah. 2. Metode Brainstroming (Curah Pendapat) Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/pemahaman peserta didik tentang materi yang akan disampaikan. 3. Metode Tanya Jawab. Metode ini digunakan untuk tanya jawab tentang materi yang telah disampaikan. 4. Metode Diskusi. Metode ini digunakan untuk menghadapkan peserta didik kepada suatu masalah, yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. 5. Metode Penugasan Metode ini digunakan pendidik untuk menugaskan peserta didik membuat resume. 6. Metode Praktik/drill Metode ini digunakan untuk mempraktikkan materi kegiatan kunjungan. 7. Metode Bermain Peran/role play. Metode ini digunakan untuk penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 61 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI didik dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. ALAT/MEDIA, BAHAN DAN SUMBER BELAJAR 1. Alat/Media a. Whiteboard. b. Flipchart. c. Komputer/laptop. d. LCD dan screen. e. Laser Pointer. 2. Bahan a. Kertas. b. Alat tulis. 3. Sumber Belajar a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor : kep/773/VII/2016 tentang Buku Pintar Bhabinkamtibmas. c. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : Kep/307/V/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Dalam Tugas Kepolisian Pre-Emtif dan Preventif. d. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 62 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Tahap awal : 10 menit Pendidik melaksanakan apersepsi dengan kegiatan : a. Pendidik menugaskan peserta didik untuk melakukan refleksi. b. Pendidik mengaitkan materi yang sudah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan. c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada Hanjar ini. 2. Tahap inti : 250 Menit a. Pendidik menyampaikan materi tentang mengenal Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. b. Peserta didik memperhatikan dan mencatat hal-hal yang penting. c. Pendidik memberikan kesempatan peserta didik untuk tanya jawab kepada pendidik tentang materi yang belum dimengerti. d. Peserta didik melaksanakan curah pendapat tentang materi yang disampaikan oleh pendidik. e. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan. 2. Tahap akhir : 10 menit a. Cek Penguatan materi Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum. b. Cek penguasaan materi Pendidik mengecek penguasaan materi pembelajaran dengan bertanya secara lisan dan acak kepada peserta didik. c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas. Pendidik menggali manfaat yang bisa di ambil dari materi yang telah disampaikan. d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat resume pada materi pelajaran yang telah disampaikan. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 63 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI TAGIHAN / TUGAS Peserta didik mengumpulkan resume dalam bentuk tulisan tangan kepada pendidik. LEMBAR KEGIATAN Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk membuat resume tentang materi yang telah diberikan. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 64 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI BAHAN BACAAN PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN KONFLIK SOSIAL 1. Penanganan Pra Konflik Berpegang dengan rujukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dimensi pencegahan bisa meliputi: (1) Memelihara kondisi damai dalam masyarakat; (2) Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai; (3) Meredam potensi konflik; (4) Membangun sistem peringatan dini. Keempat dimensi itu bisa dikerjakan melalui berbagai langkah, seperti sosialisasi, pendidikan, penyuluhan, dialog antar agama, kerjasama kemitraan dengan berbagai bentuk kegiatan bersama, program perdamaian, sampai dengan penyusunan kesepakatan bersama yang didasari oleh semangat musyawarah untuk mufakat. Untuk membaca seluruh kebutuhan dasar pencegahan itu, maka kepolisian di tingkat daerah dan perangkat pemerintah daerah (pemda) harus memiliki data yang akurat. Hal itu diperlukan untuk mengetahui kondisi wilayah dan potensi-potensi kerentanan konflik dan kekerasan yang bisa muncul. Data yang telah tergali harus diperbaharui terus-menerus sesuai dengan kebutuhan. Data ini bisa dijadikan bagian dalam penyediaan sis tem informasi yang membantu pola sistem peringatan dini terhadap potensi konflik yang ada. Dalam hal ini, dimensi pencegahan akan di bagi menjadi dua, yakni: Pencegahan Umum dan Pencegahan Khusus. Pencegahan umum adalah tindakan umum harian yang semestinya selalu dikerjakan oleh setiap petu gas yang ada. Petugas tersebut akan memberikan penilaian mengenai situasi dan kondisi wilayah. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah koordinasi dengan masyarakat, sambang desa, diskusi warga, inventarisasi berbagai isu penting, kegiatan bersama antar lembaga atau pun aktifitas pengamanan wilayah. Hasil dari temuan ini setidaknya menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Berbagai persoalan yang belum terpecah kan hendaknya terus dicermati. Berbagai macam isu kemudian dipetakan dan dikumpulkan. Model ini mengacu pada kinerja Pemolisian menyumbang hadirnya potensi konflik. Ambil contoh, kemajuan perubahan tata ruang di sebuah wilayah, bisa jadi akan menjadi salah satu sumber hadirnya konflik. Untuk mengantisipasinya, harus ada data yang sahih terkait PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 65 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI dengan analisa lingkungan sekitar, komunitas, penduduk, bahkan sampai pada afiliasi partai politik. Pencegahan khusus ini merujuk pada sesuatu yang bersifat kasuistik. Bisa dikatakan, sebuah persoalan tertentu yang bisa menjadi penyebab konflik dalam sebuah wilayah. Contoh sederhananya, misalnya sebuah kejadian dimana komunitas agama tertentu sedang melaksanakan acara ritual besar, yang meminjam fasilitas umum. Maka pemda dan kepolisian setempat harus tanggap apabila memang ada potensi konflik yang akan muncul, misalnya akibat penolakan oleh ormas tertentu. Prinsip utamanya, pemda dan kepolisian berkewajiban untuk menyediakan akses ruang, sekaligus perlindungan untuk proses keagamaan tersebut. Pemda dan kepolisian adalah representasi negara. Kedua institusi ini mempunyai tugas untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, termasuk dalam soal praktik keagamaan dan berkeyakinan. Prinsip ini harus dijadikan pegangan. Tujuannya untuk menghindari aspek subjektivitas dan ego sektoral keagamaan yang akan mengganggu aspek kesetaraan, non diskriminasi dan objektivitas dalam memandang sebuah perkara. Dalam tahapan yang lebih konkret, maka pemda dan kepolisian hendaknya mengkaji pokok masalah yang ditemukan. Jika ditemukan ada nya potensi yang akan mengganggu proses keagamaan tersebut, maka langkah cepat untuk meng hi lang kan gangguan harus dilakukan. Jika potensi gangguan dan ancaman itu besar dan beresiko meluas, langkah yang dilakukan adalah berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada. 2. Penghentian Konflik Hal ini dilakukan ketika sudah terjadi konflik yang menjurus kea rah perusakan fisik. Contoh yang bisa ditunjukkan adalah kasus penyerangan, penyegelan, bentrok massa, pembubaran paksa, perang antar kelompok agama, perebutan tempat ibadah, konflik dukungan kepemimpinan agama dan seterusnya. Dalam terminologi yang dipakai oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik agama ini bisa mencakup “intra agama” dan “antar kelompok agama”. Ada beberapa aspek prosedural tindakan fisik yang bisa dilakukan, khususnya oleh kepolisian. Pasal 13 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menyatakan: “Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 66 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Penanganan Konflik Sosial dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri.” Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial berbunyi: “Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.” Ada beberapa langkah yang sifatnya mendasar. Langkah mendasar ini juga menjadi bagian krusial dalam pengelolaan manajemen konflik yang bisa dikerjakan oleh pemda dan kepolisian. Dua langkah itu adalah; pertama, Mediasi dan Negosiasi Penghentian Konflik. Kedua adalah tindakan dan keputusan strategis Penghentian Konflik. a. Langkah Mediasi dan Negosiasi Penghentian Konflik Proses mediasi dan negosisasi sangat penting dalam mengatasi konflik bernuansa agama. Hal ini bisa dilakukan untuk menggantikan proses yang bersifat administratif dan formal. Bagaimanapun juga, kehidupan agama sangat berhubungan erat dengan aspek teologis dan budaya. Langkah mediasi dan negosiasi harus diletakkan dalam semangat musyawarah yang bermartabat. Harus juga di kedepankan sikap saling menghargai satu sama lain. Hasil dari proses mediasi dan negosiasi tak selalu berupa keputusan yang bersifat legal dan mengikat. Bisa diterjemahkan menja di seruan dan himbauan moral yang lebih menenangkan. Langkah ini bisa tercapai jika ada tiga aspek yang terpenuhi; (a) Pihak-pihak dan pemangku kepentingan yang dilibatkan benar- benar mereka yang mempunyai kapasitas kemampuan dan kedekatan kultural dengan perkara masalah yang ada; (b) Model mekanisme dan ruang mediasi yang disusun dengan benar dan tepat; (c) Visi materi dan arah capaian mediasi yang jelas dan mampu memenuhi kebutuhan dari pihakpihak yang sedang bertikai. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan masing-masing saling menunjang. b. Tindakan dan Keputusan Strategis Penghentian Konflik Tindakan ini diambil melalui beberapa pertimbangan yang penting. Beberapa dasar pertimbangan itu antara lain kualitas, penyebaran dan dampak pada aspek-aspek mendasar yang dianggap penting. Dalam undang-undang penanganan konflik tidak secara khusus disebutkan pertimbangan itu. Yang mengemuka hanya pada tingkat penyebaran (keluasan) konflik dan bentuk tanggung jawab yang harus diambil. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 67 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Apa yang disebut dasar kualitas ini bisa merujuk pada berbagai potensi ancaman ter hadap ni lai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Selain itu, ada beberapa nilai yang lain, seperti nilai kebangsaan, kekeluargaan, nilai ber-Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesetaraan gender, ketertiban dan kepastian hukum, juga ada kearifan lokal dan nilai-nilai komitmen moral kebaikan lainnya. Dalam skema umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, seperti tercantum dalam Pasal 12, maka penghentian konflik memiliki beberapa tindakan, yakni (1) Penghentian kekerasan fisik; (2) Penetapan status keadaan kon flik; (3) Tindak an darurat penyelamatan dan perlindungan korban; (4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI. Penetapan status keadaan konflik ditentukan oleh seberapa luas wilayah terkena dampak konflik. Ia bisa ada pada tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi atau tingkat nasional. Untuk praktis pelaksanaan penentuan status keadaaan konflik akan diputuskan oleh masing-masing pimpinan pemerintah pada level tersebut. Contohnya, jika terjadi hanya dalam wilayah kabupaten/kota, maka ditetapkan oleh bupati melalui konsultasi sebelumnya dengan DPRD Tingkat Kabupaten/Kota dan tentu saja melalui berbagai saran, pertimbangan dan masukan berbagai pihak yang diperlukan, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan yang lainnya. Secara rinci tentang pengaturan peran tanggungjawab sudah sangat jelas dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Untuk hal yang tidak kalah penting adalah tindakan strategis dan taktis dalam upaya perlindungan korban. Potensi jatuhnya korban dalam setiap konflik tentunya sangat besar. Korban bisa berubah jiwa maupun harta benda. Untuk itu, langkah untuk melindungi korban sangat diperlukan. Setidaknya ada sembilan hal mendasar yang harus dilakukan dalam tindakan ini, dengan merujuk pada aturan yang ada: 1) Penyelamatan, evakuasi dan identifikasi korban secara cepat. 2) Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik. 3) Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak dan kelompok berkebutuhan khusus. 4) Perlindungan terhadap kelompok rentan. 5) Upaya sterilisasi tempat yang rawan konflik. 6) Penyelamatan sarana dan prasarana vital. 7) Penegakkan hukum. 8) Pengaturan mobilitas orang, barang dan jasa dari dan ke daerah konflik. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 68 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 9) Penyelamatan harta benda korban konflik. 3. Pemulihan Paska Konflik Pemulihan pasca konflik lebih banyak berbicara pada penanganan pasca konflik berlangsung. Setiap konflik yang telah terjadi, tentu akan menyisakan berbagai persoalan, baik aspek psikologi, sosial, politik, kerusakan material dan yang lainnya. Setidaknya ada tiga poin penting yang kerap menjadi tanggungjawab yang harus dikerjakan oleh pemerintah, yakni: (1) Rekonsiliasi; (2) Rehabilitasi; dan (3) Rekonstruksi. a. Rekonsiliasi Ada tiga poin penting yang mendasar ada dalam prinsip tindakan rekonsiliasi yakni: 1) Perundingan secara damai. 2) Pemberian restitusi. 3) Pemaafan. b. Rehabilitasi Aspek-aspek yang menyangkut tindak an re ha bilitasi adalah: 1) Pemulihan psikologi korban dan perlindungan kelompok rentan. 2) Pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketertiban. 3) Perbaikan dan pengembangan lingkungan dan atau daerah perdamaian. 4) Penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat. 5) Penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat. 6) Pemulihan ekonomi dan hak keperdataan serta peningkatan pelayanan pemerintahan. 7) Pemenuhan kebutuhan dasar spesifik teruta ma untuk anak-anak, perempuan dan kelompok masyarakat berkebutuhan khusus. 8) Pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan. 9) Peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak. 10)Fasilitasi serta mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban konflik. c. Rekonstruksi Rekonstruksi mengandung tugas penting, yakni: 1) Pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 69 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 2) Pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan dan mata pencaharian. 3) Perbaikan sarana dan prasarana umum. 4) Perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidak setaraan dan ketidakadilan dan termasuk ke senjangan ekonomi. Perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus. 5) Perbaikan dan pemulihan tempat ibadah. RANGKUMAN 1. Penangangan Pra Konflik. Dimensi pencegahan menurut Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial meliputi memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun sistem peringatan dini. Keempat dimensi itu bisa dikerjakan melalui berbagai langkah, seperti sosialisasi, pendidikan, penyuluhan, dialog antar agama, kerjasama kemitraan dengan berbagai bentuk kegiatan bersama, program perdamaian, sampai dengan penyusunan kesepakatan bersama yang didasari oleh semangat musyawarah untuk mufakat. 2. Penghentian Konflik. Ada beberapa langkah yang mendasar juga menjadi bagian krusial dalam pengelolaan manajemen konflik yang bisa dikerjakan oleh pemda dan kepolisian. Dua langkah itu yaitu pertama, Mediasi dan Negosiasi Penghentian Konflik, kedua adalah tindakan dan keputusan strategis Penghentian Konflik. 3. Pemulihan Paska Konflik. Pemulihan pasca konflik lebih banyak berbicara pada penanganan pasca konflik berlangsung. Setidaknya ada tiga poin penting yang kerap menjadi tanggungjawab yang harus dikerjakan oleh pemerintah, yakni: (1) Rekonsiliasi; (2) Rehabilitasi; dan (3) Rekonstruksi. PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 70 KONFLIK SOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI LATIHAN 1. Jelaskan peran pemerintah daerah dan kepolisian dalam penanganan pra konflik? 2. Jelaskan langkah yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian dalam penanganan pra konflik? 3. Jelaskan langkah yang bisa dikerjakan oleh pemerintah daerah dan kepolisian dalam pengelolaan manajemen konflik? 4. Jelaskan peranan kepolisian dalam melaksanakan mediasi dan negosiasi penghentian konflik? 5. Sebutkan apa saja langkah pemulihan yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian paska konflik? 6. Jelaskan tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam pemulihan paska konflik? PENDEKATAN DAN TAHAPAN PENANGANAN 71 KONFLIK SOSIAL

HANJAR LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI V PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL 20 JP (900 Menit) PENGANTAR Dalam menjaga kamtibmas, polisi kita dapat bersinergi dalam membangun ketertiban masyarakat dengan menggali kearifan dan nilai-nilai budaya lokal. Hal itu bisa memberikan manfaat dan mendukung tugas-tugas kepolisian dalam hal menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Budaya lokal yang dimaksud mensyaratkan respons individu pada lingkungannya. Budaya sebagai pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok melalui pemecahan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Dengan pemahaman budaya dapat meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya merupakan perekat sosial yang membantu menghimpun organisasi bersama dengan memberikan standar yang cocok atas apa yang dilakukan. Budaya dapat membantu organisasi mengantisipasi dan menyesuaikan perubahan lingkungan yang berkaitan dengan kinerja tinggi untuk jangka panjang. Interaksi dalam struktur sosial ini akan menciptakan budaya di antara kedua belah pihak, baik masyarakat maupun institusi Polri. Budaya itu diproduksi oleh mereka saat mereka berinteraksi satu sama lain. Budaya akan terus direproduksi oleh anggotanya karena budaya merupakan sebuah proses dan produk. Budaya juga memfasilitasi, karena memungkinkan kita untuk memahami apa yang terjadi sehingga dapat berfungsi dalam pengaturan yang secara simultan terkait dengan tradisi di masa lalu, dan terbuka untuk revisi interpretasi pada perubahan yang baru. Melalui pendekatan budaya dan komunikasi, tentu Polri ingin mengubah suatu yang positif tentang organisasi. Mengingat peran komunikasi organisasi dapat mengembangkan dan mempertahankan budaya dalam membantu pencapaian pribadi yang profesional. Polisi profesionalitas berarti memilki sikap yang ditampilkan dalam perbuatan, bukan yang dikemas dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan sesuai profesinya. Polisi dalam keseharian memang dituntut harus menjadi polisi yang bisa menangani kejahatan sehari-hari, mereka dalam melaksanakan tugas itu memang PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 73 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI harus teliti dan sabar. Polisi memiliki multifungsi, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change of agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Polisi harus menjalin kemitraan dengan masyarakat sehingga terwujud rasa saling percaya dan menghargai dengan demikian polisi bersama- sama masyarakat dapat memecahkan masalah yang timbul di lingkungannya. Untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik maka dalam hanjar ini akan membahas materi peran pemerintah dan masyarakat dalam penanganan konflik sosial meliputi peran pemerintah dalam penanganan konflik, peran kepolisian dalam penanganan konflik, peran masyarakat dalam penanganan konflik, serta satuan tugas penyelesaian konflik. KOMPETENSI DASAR Dapat memahami Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau sebagai mitra Kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Indikator hasil belajar: 1. Menjelaskan peran pemerintah dalam penanganan konflik. 2. Menjelaskan peran kepolisian dalam penanganan konflik. 3. Menjelaskan peran masyarakat dalam penanganan konflik. 4. Menjelaskan langkah dan upaya pembentukan satuan tugas penyelesaian konflik. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 74 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI MATERI PELAJARAN Pokok Bahasan: Mengenal Peran Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Penanganan Konflik Sosial Sub Pokok Bahasan: 1. Peran pemerintah dalam penanganan konflik 2. Peran kepolisian dalam penanganan konflik 3. Peran masyarakat dalam penanganan konflik 4. Satuan tugas penyelesaian konflik METODE PEMBELAJARAN 1. Metode Ceramah. Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi tentang kegiatan kunjungan, pemecahan dan penanganan masalah serta kegiatan pemecahan masalah. 2. Metode Brainstroming (Curah Pendapat) Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/pemahaman peserta didik tentang materi yang akan disampaikan. 3. Metode Tanya Jawab. Metode ini digunakan untuk tanya jawab tentang materi yang telah disampaikan. 4. Metode Diskusi. Metode ini digunakan untuk menghadapkan peserta didik kepada suatu masalah, yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. 5. Metode Penugasan Metode ini digunakan pendidik untuk menugaskan peserta didik membuat resume. 6. Metode Praktik/drill Metode ini digunakan untuk mempraktikkan materi kegiatan kunjungan. 7. Metode Bermain Peran/role play. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 75 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Metode ini digunakan untuk penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. ALAT/MEDIA, BAHAN DAN SUMBER BELAJAR 1. Alat/Media a. Whiteboard. b. Flipchart. c. Komputer/laptop. d. LCD dan screen. e. Laser Pointer. 2. Bahan a. Kertas. b. Alat tulis. 3. Sumber Belajar a. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor : kep/773/VII/2016 tentang Buku Pintar Bhabinkamtibmas. b. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : Kep/307/V/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Dalam Tugas Kepolisian Pre-Emtif dan Preventif. c. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 76 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Tahap awal : 10 menit Pendidik melaksanakan apersepsi dengan kegiatan : a. Pendidik menugaskan peserta didik untuk melakukan refleksi. b. Pendidik mengaitkan materi yang sudah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan. c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada Hanjar ini. 2. Tahap inti : 250 Menit a. Pendidik menyampaikan materi tentang mengenal Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. b. Peserta didik memperhatikan dan mencatat hal-hal yang penting. c. Pendidik memberikan kesempatan peserta didik untuk tanya jawab kepada pendidik tentang materi yang belum dimengerti. d. Peserta didik melaksanakan curah pendapat tentang materi yang disampaikan oleh pendidik. e. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan. 2. Tahap akhir : 10 menit a. Cek Penguatan materi Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum. b. Cek penguasaan materi Pendidik mengecek penguasaan materi pembelajaran dengan bertanya secara lisan dan acak kepada peserta didik. c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas. Pendidik menggali manfaat yang bisa di ambil dari materi yang telah disampaikan. d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat resume pada materi pelajaran yang telah disampaikan. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 77 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI TAGIHAN / TUGAS Peserta didik mengumpulkan resume dalam bentuk tulisan tangan kepada pendidik. LEMBAR KEGIATAN Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk membuat resume tentang materi yang telah diberikan. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 78 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI BAHAN BACAAN PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL 1. Peran Pemerintah Dalam Penanganan Konflik Pemerintah dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian yang lebih spesifik, masing-masing adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Dua organ ini memiliki kewenangan yang hampir sama. Perbedaannya ada pada wilayah cakupannya, dimana pemerintah pusat lebih memiliki kewenangan atas keseluruhan daerah, termasuk soal kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya dengan mengerahkan TNI untuk membantu penanganan konflik. a. Deteksi dini dan pemetaan wilayah Deteksi dini atas konflik yang ada menjadi syarat yang paling mutlak. Pemetaan wilayah yang mempunyai potensi konflik, termasuk soal konflik bernuansa agama, harus dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkala. Kebijakan pemerintah seringkali lemah dikarenakan hal-hal tersebut. Untuk kasus konflik ini, hal itu seharusnya tak boleh terulang. Penanganannya harus sedemikian rupa, sehingga mampu memberikan analisis yang baik pada tiap wilayah. Sekiranya pemerintah dirasakan tidak memiliki sumberdaya yang memadai, maka dapat bekerjasama dengan masyarakat luas. Bisa dari organisasi kemasyarakatan atau perguruan tinggi, tentunya dengan syarat ketat dan mempunyai rekam jejak yang baik soal penanganan konflik. Hal ini bisa dilakukan minimal sebulan sekali atau pada saat momentum tertentu, misalnya pada saat pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Konflik bernuansa agama sejauh ini kerap muncul pada saat eskalasi kepentingan politik praktis meningkat. Di lain sisi, keakuratan data menjadi titik tolak yang penting dalam hal ini. Laporan pemetaan wilayah harus mampu menghasilkan detail-detal informasi yang dibutuhkan. Contoh nya: potensi ekonomi, latar belakang masyarakat, pekerjaan, dan yang lainnya. Informasi yang detail sangat membantu dalam membuat kebijakan yang terarah dan terpadu. Pemetaan wilayah sangat baik jika dilakukan hingga struktur masyarakat terkecil, misalnya wilayah di Rukun Tetangga (RT) atau padukuhan. Dengan begitu, setiap satuan pemerintahan terkecil memiliki laporan soal potensi konflik yang ada di wilayahnya. Hal ini tentu saja akan lebih mudah bagi pengambil kebijakan untuk PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 79 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI menentukan langkah apa yang akan dilakukan di kemudian hari. Jika hal ini dilakukan, maka pemda setempat akan memiliki laporan dan analisa yang baik, untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah pusat. Penanganan konflik yang demikian ini menjadikan partisipasi masyarakat menjadi lebih terukur. Langkah selanjutnya, pemetaan yang telah dilakukan tentu saja harus terdokumentasi dengan baik. Mubazir jika hal itu tidak dilakukan. Dokumen sepenting itu harus tersimpan sebagai sebuah dasar analisis untuk membuat kebijakan. Dalam konstruksi pemikiran kebijakan publik, dokumen yang dijadikan analisis kebijakan, membuat kebijakan tersebut layak untuk dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah, akademis, maupun moral. Konsekuensi yang harus diemban pemerintah adalah adanya penganggaran untuk kegiatan tersebut. Bisa melalui APBD untuk satuan kerja pada perangkat pemerintah daerah, dan APBN pada level pemerintah pusat. Seyogyanya ini harus segera dilakukan, mengingat potensi konflik di Indonesia secara keseluruhan mengalami peningkatan. Konflik bernuansa agama juga masih menduduki posisi tertinggi dibandingkan dengan konflik lainnya. b. Penetapan status konflik dan perlindungan korban Situasi ini sebenarnya sangat dihindari. Konflik memuncak, memunculkan bentrok fisik, hingga munculnya korban jiwa yang tidak bisa tertanggulangi. Pemerintah tentunya harus memberikan pengumuman soal status yang sedang dihadapinya. Hal ini dilakukan setelah konflik tidak bisa dikendalikan oleh pihak kepolisian dan terganggunya fungsi pemerintahan. Ada beberapa indikator untuk melihat bagaimana fungsi pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Apabila penyelenggaraan administrasi dan fungsi pelayanan kepada masyarakat tidak berjalan, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai “terganggunya fungsi pemerintahan”. Pada saat itulah, status konflik bisa di umumkan kepada khalayak. Status ini diumum kan sesuai dengan wilayah kewenangannya, jika dalam level pemda dilakukan oleh bupati atau walikota, dan presiden. Jika memuncak hingga skala nasional. Penetapan status ini selayaknya dilakukan jika benar-benar pemerintah bersama pihak kepolisian tak bisa lagi menanggulangi situasi yang ada. Konflik dengan eskalasi yang meningkat dan kemampuan aparat penegak hukum yang terbatas bisa menjadi pemicu pengumuman status ini. Konflik yang ditengarai tak bisa diselesaikan oleh level pemda dan kepolisian, maka pemerintah pusat bisa PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 80 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI memberikan bantuan. Mekanisme yang bisa dijalankan adalah dengan dasar permintaan dari pemda. Pemerintah pusat bisa mengutus kekuatan TNI untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dilakukan sebagai langkah terakhir agar konflik segera selesai, dan jika ini yang terjadi, maka dapat dipastikan akan ada korban. Jika situasi ini terjadi, maka perlindungan korban harus diarahkan terlebih dahulu pada warga yang terdampak. Korban konflik harus mendapatkan perlindungan, terlebih pada kelompok rentan: orang tua, anak-anak, wanita, serta penyandang disabilitas. Mereka harus mendapatkan perlindungan utama saat menjadi korban konflik yang sudah memuncak. Perspektif “Perlindungan terhadap korban dan kelompok rentan” ini menjadi hal yang patut untuk dikemukakan. Hal ini dilakukan mengingat korban adalah kelompok masyarakat yang tak berdaya, baik dari segi, fisik, mental, maupun lingkungan sosial. c. Pemulihan fisik, mental, dan lingkungan sosial Kondisi ini memungkinkan adanya mediasi antara pihak yang bertikai. Dengan berbekal kenyataan bahwa telah ada konflik yang menimbulkan korban jiwa, maka pemerintah dalam hal ini yang menjadi faktor penentunya. Ia sebagai sebuah organisasi ketatanegaraan mempunyai wewenang dan mengendalikan situasi. Dalam hal ini, mediasi diarahkan agar konflik yang terjadi tak merembet ke arah yang lebih besar. Hal ini dilakukan bersamaan dengan pemerintah yang mulai mengidentifikasi para korban konflik. Pemulihan korban dalam hal ini tidak hanya diarahkan pada satu segi saja, tapi diarahkan kepada situasi yang normal. Ini artinya pemulihan diarahkan pada situasi yang sebelumnya telah ada. Pemulihan hanya akan bisa dilakukan dengan sebaik mungkin apabila situasi konflik sudah mulai mereda. Dengan begitu, pemulihan bisa dilakukan secara maksimal. Pemulihan yang dimaksud tidak hanya ter orientasi pada fisik. Tidak hanya berpikir tentang bagaimana menyembuhkan korban yang luka, tetapi juga menyeluruh, meliputi fisik seseorang dan bangunan, serta pemulihan mental. Apa yang dilakukan pada saat pengelolaan tanggap darurat dan pemulihan kebencanaan sebenarnya bisa dijadikan salah satu rujukan. Hampir sama dan setidaknya Indonesia punya pengalaman soal kebencanaan. Pemulihan pada saat penanganan konflik ini sejatinya tak jauh berbeda dengan situasi tersebut. Hanya saja perlu konsentrasi yang lebih pada soal mediasi, dan mencari jalan agar tidak ada konflik yang berkelanjutan akibat dendam dari salah satu pihak. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 81 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Penting sebenarnya bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan dana tanggap darurat di APBN atau APBD. Dana tanggap darurat yang dimaksud tidak hanya tertuju kepada soal kebencanaan, tetapi juga merujuk pada korban-korban yang terdampak akibat konflik. Selain itu, anggaran yang ada tidak terlalu bersifat administratif. Artinya, jika ada kebutuhan yang mendesak, langsung bisa dicairkan untuk kepentingan korban konflik. Jika terlalu lama pencairan dana dilakukan, maka korban konflik tentu saja akan lebih menderita. 2. Peran Kepolisian Dalam Penanganan Konflik Kerjasama antara pemerintah dengan pihak kepolisian dalam penanganan konflik sangat dibutuhkan. Sebagai penegak hukum, kepolisian sebagai insitusi mempunyai andil yang cukup besar. Tak bisa dipungkiri bahwa penanganan konflik, termasuk konflik bernuansa agama, ujung tombaknya ada di pemerintah, baik pusat atau daerah. Akan tetapi dalam mekanisme pengambilan keputusan soal status penanganan konflik, polisi sebagai institusi turut dimintai pendapatnya. Ketika eskalasi konflik meningkat, pemerintah pusat meminta pendapat kepolisian. Utamanya pada saat membutuhkan bantuan TNI dengan alasan massa yang lebih banyak dari personil polisi maupun peralatan yang tak memadai. Situasi itu terjadi pada saat situsi konflik sudah memuncak. Lain halnya pada saat situasi konflik belum terjadi. Tak ubahnya de ngan apa yang seharusnya dilakukan peme rin tah de ngan menggunakan perangkat deteksi dini atau pemetaan wilayah, kepolisian sebenarnya ju ga bisa melakukan itu. Jika problem anggaran menjadi penghalang kegiatan tersebut, maka institusi ini bisa menggunakan cara lain. Misalnya dengan memaksimalkan fungsi badan intelijen yang ada di internal tubuh kepolisian. Tentunya intelijen yang khusus berkaitan dengan penanganan konflik. Terkait dengan konflik yang bernuansa agama, hal inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi institusi kepolisian. Penegakan hukum belum cukup menggembirakan. Ada perspektif yang mungkin bisa sedikit dibenahi mengenai hal itu. Persoalan konflik yang bernuansa keagamaan selalu menimbul kan dua pihak; mayoritas dan minoritas. Sudah barang tentu, pihak mayoritas selalu unggul dalam sumber daya. Lebih bisa menggunakan atau mengandalkan kontak fisik, dan tentu saja hal itu bisa berdampak tidak baik pada minoritas. Dalam situasi konflik, kebanyakan pihak minoritas selalu dirugikan. Selama tidak ada pelanggaran hukum, maka ada baiknya PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 82 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI pihak kepolisian melindunginya; termasuk soal kebebasan beribadah. Dalam beberapa pandangan, kebebasan beribadah bagi minoritas masih menyisakan masalah. Jika hal ini tak tertangani secara baik, maka ada kemungkinan konflik berujung pada bentrok fisik yang merugikan. Pertemuan dengan pemda khususnya, untuk penanganan konflik ini mutlak diperlukan. Tak hanya pada saat eskalasi konflik meningkat, pada soal deteksi dini dan pemetaan wilayah, ada baiknya kedua institusi ini bertemu. Dalam konteks daerah, pihak kepolisian bisa turut urun rembuk di forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida); yang sekarang telah berganti nama menjadi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkorpimda). Di usaha kan ada satu sesi tersendiri mengenai potensi konflik yang mengemuka di daerah. Pada titik ini sebenarnya diperlukan laporan analisis yang baik tentang deteksi dini dan pemetaan wilayah. Jika hal itu sudah dilakukan, maka laporan analisis yang telah dibuat bisa didiskusikan dengan matang. Dengan begitu akan ada kebijakan yang baik terkait dengan penanganan konflik ini. Harus diakui bahwa penanganan konflik, khususnya yang ada di Indonesia tak bisa ditangani oleh hanya satu pihak atau satu institusi. Maka, pola koordinasi harus bisa dikendalikan, dan forum tatap muka antar pimpinan daerah dilakukan sesering mungkin. Jika dirasakan perlu, mungkin karena mengingat potensi konflik yang sangat tinggi di sebuah daerah maka polisi bisa meminta pemerintah untuk membuatkan forum khusus. Berbagi informasi terkait dengan kerentanan konflik di sebuah daerah, bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Sangat mungkin informasi yang diperoleh pihak kepolisian dan pemerintah berbeda satu sama lain. Forum inilah yang menjadi bagian penting untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan tersebut. Sebagaimana yang sudah jamak diketahui, sebagai turunan dari perangkat peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, institusi kepolisian menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Pelaksanaan Konflik Sosial. Peraturan ini mengikat institusi kepolisian secara ke seluruhan. Ada indikasi yang kuat dalam peraturan ini bahwa memang penanganan konflik ini haruslah terintegrasi. Antara elemen negara mesti terintegrasi dalam melakukan penanganan konflik, terutama konflik yang bernuansa keagamaan. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 83 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 3. Peran Masyarakat Dalam Penanganan Konflik Sektor yang juga tak kalah penting dalam penanganan konflik adalah masyarakat itu sendiri. Boleh dikatakan bahwa masyarakat adalah ujung tombak penyelesaian konflik. Ia adalah elemen yang paling terdampak sekaligus elemen kunci dalam penyelesaian konflik. Dalam perkara ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan tolok ukur sesungguhnya. Konflik bisa terselesaikan jika pranata adat dan pranata sosial dalam masyarakat diikutsertakan. Dua pranata ini sesungguhnya termaktub jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. a. Pranata Adat Secara normatif, pranata adat dimaknai sebagai “lembaga yang lahir dari nilai adat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat. Pengertian pranata sosial agak lebih luas cakupannya. Ia diterangkan sebagai “lembaga yang lahir dari nilai adat, agama, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat”. Dua pranata inilah yang diakui untuk bisa turut serta dalam penanganan konflik. Selain kedua pranata tersebut tentunya ada pihak lain yang bisa disebut sebagai bagian masyarakat yang bisa memberikan bantuan teknis tentang penanganan konflik. Utamanya dalam soal deteksi dini dan pemetaan wilayah. Perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, bahkan lembaga penelitian bisa memberikan masukan terkait dengan potensi konflik yang ada di sebuah wilayah. Jika hal ini belum tertera jelas dalam mata anggaran yang ada di pemerintah, mereka bisa mencarikan pendanaan penelitian untuk kepentingan deteksi dini dan pemetaan wilayah ini. Pendanaan ini bisa dilakukan melalui mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR). Isitilah ini bisa dimaknai sebagai tanggungjawab sosial perusahaan untuk kepentingan masyarakat umum. Perusahaan tidak hanya dipergunakan untuk mengeruk kepentingan ekonomi, tetapi ada juga tanggung jawab ke pada masyarakat sekitar. Kewajiban sosial perusahaan ini tidak hanya tertuju pada perusahaan-perusahaan swasta, juga tak terbatas pada sektor tertentu. Kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga dibebani hal yang sama. Ada kewajiban untuk menyalurkan keuntungan untuk masyarakat sekitar. Sudah barang tentu jika pemerintah belum bisa menetapkan mata anggaran di APBN atau APBD, maka ia berkewajiban untuk menyalurkan CSR ini untuk kepentingan penanganan konflik. Dengan begitu, masalah pendanaan untuk penanganan konflik, terutama PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 84 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI untuk deteksi dini dan pemetaan wilayah, bisa sedikit terselesaikan. Dalam hal ini masyarakat juga diuntungkan, tanpa terlalu bergantung pada pendanaan pemerintah. b. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Negara dalam hal ini adalah pemerintah berkewajiban untuk memelihara kerukunan umat beragama. Salah satu bentuk kewajiban itu adalah dengan membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Secara normatif, hal itu tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, atau biasa disebut sebagai PMB 2006. Harus diakui bahwa peraturan ini memang tidak sempurna. Beberapa kritikan muncul terkait beberapa pasal di dalamnya; terutama berkaitan dengan syarat pendirian rumah ibadah. PMB 2006 ini ditengarai mensyaratkan teknis yang sulit dicapai para penganut minoritas dalam membangun tempat ibadah. Sebuah hal yang kemudian seringkali menimbulkan konflik yang kemudian berujung pada ke ke ras an. Terlepas dari kritikan tersebut, beberapa pasal terkait dengan FKUB pantas juga untuk dicermati. Tujuan dibentuknya lembaga ini sebenarnya layak untuk diapresiasi. Ia bisa dibentuk di tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota. Sebenarnya lembaga ini adalah sebuah forum mediasi untuk menampung segala bentuk aspirasi ormas keagamaan maupun masyarakat pada umumnya. Disamping juga melakukan sosialisasi beberapa peraturan dari pemerintah terkait dengan soal keagamaan. Hanya saja yang kemudian harus bisa dicermati secara mendalam adalah soal anggota FKUB itu sendiri. Pemilihan anggota FKUB harus mencerminkan keadilan. Pemeluk agama tetap diberikan porsi untuk keanggotaan. Di samping hal itu, anggota FKUB haruslah benar-benar merupakan tokoh masyarakat. Ini terkait dengan keputusan yang akan diambil FKUB, sehingga ia bisa diterapkan pada level masyarakat. Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita masih sangat berpegang teguh pada elit pemuka agama. Situasi ini menjadi penting untuk dimengerti dan dimaklumi sebagai sebuah budaya dan tradisi yang sudah bertahan lama. Oleh karena itu, paling tidak FKUB mempunyai jaringan kepada para elit pemuka agama tersebut. FKUB sendiri harus diposisikan sebagai lembaga yang berperan aktif. Ia yang kemudian bersama dengan kepolisian dan pemerintah menjalankan tugas agar kerukunan umat beragama tetap terjaga. FKUB jangan diposisikan sebagai lembaga yang akan bergerak apabila telah muncul permasalahan. Tindakan preventif juga perlu PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 85 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI melibatkan FKUB, sehingga tindakan tersebut tak hanya milik lembaga kepolisian ataupun pemerintah semata. 4. Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Kon flik adalah langkah terakhir. Hal itu dilaku kan setelah fungsi sosial lainnya; seperti pranata adat dan pranata agama tak mampu mengatasi konflik yang telah terjadi. Detail kinerja Satuan Tugas Penyelesaian Konflik itu sen diri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Secara prinsip Satuan Tugas Penanganan Konflik itu akan dibentuk dan disusun melalui kerja sama secara proporsional berbagai unsur pemerintah dan juga masyarakat yang terkait. Prinsip dasar yang harus dipakai dalam pembentukannya adalah nilai kemanusiaan, hak-hak asasi manusia, asas kebangsaan, asas kekeluargaan, kebhinekaan, keadilan, kesetaraan gender, asas ketertiban dan kepastian hukum, asas keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung jawab negara, asas partisipasi, tidak memihak dan juga asas tidak membeda-bedakan. Konflik kekerasan bernuansa agama juga harus ditangani menggunakan prinsip saling menghargai, toleransi dan penghargaan terhadap keyakinan yang berbeda-beda. RANGKUMAN 1. Peran pemerintah dalam penanganan konflik Peranan pemerintah dalam penanganan konflik yaitu pertama deteksi dini dan pemetaan wilayah yang mempunyai potensi konflik, termasuk soal konflik bernuansa agama, harus dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkala. Seperti potensi ekonomi, latar belakang masyarakat, pekerjaan, dan yang lainnya. Informasi yang detail sangat membantu dalam membuat kebijakan yang terarah dan terpadu. Kedua yaitu penetapan status konflik dan perlindungan korban yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan pengumuman soal status yang sedang dihadapinya. Hal ini dilakukan setelah konflik tidak bisa dikendalikan oleh pihak kepolisian dan terganggunya fungsi pemerintahan. Selain itu, korban konflik harus mendapatkan perlindungan, terlebih pada kelompok rentan: orang tua, anak-anak, wanita, serta penyandang disabilitas.Ketiga pemulihan fisik, mental, dan lingkungan sosial yang memungkinkan adanya mediasi antara pihak yang bertikai. Pemulihan hanya akan bisa dilakukan dengan sebaik mungkin apabila situasi konflik sudah mulai mereda. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 86 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 2. Peran kepolisian dalam penanganan konflik, Pihak kepolisian bisa turut urun rembuk di forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) mengenai potensi konflik yang mengemuka di daerah. Diperlukan laporan analisis yang baik tentang deteksi dini dan pemetaan wilayah oleh pihak kepolisian dalam menentukan kebijakan yang baik terkait dengan penanganan konflik ini. Institusi kepolisian melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Pelaksanaan Konflik Sosial juga mengikat institusi kepolisian secara ke seluruhan. Ada indikasi yang kuat dalam peraturan ini bahwa memang penanganan konflik ini haruslah terintegrasi. Antara elemen negara mesti terintegrasi dalam melakukan penanganan konflik, terutama konflik yang bernuansa keagamaan 3. Peran masyarakat dalam penanganan konflik, Masyarakat adalah ujung tombak penyelesaian konflik, karena itu menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial disebutkan bahwa ada dua lembaga masyarakat yang memiliki peran penting dalam penanganan konflik sosial yaitu pranata adat dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). 4. Satuan tugas penyelesaian konflik Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Kon flik adalah langkah terakhir. Hal itu dilaku kan setelah fungsi sosial lainnya; seperti pranata adat dan pranata agama tak mampu mengatasi konflik yang telah terjadi. Detail kinerja Satuan Tugas Penyelesaian Konflik itu sen diri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 87 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI LATIHAN 1. Jelaskan peran pemerintah dalam penanganan konflik? 2. Jelaskan peran kepolisian dalam penanganan konflik? 3. Jelaskan peran masyarakat dalam penanganan konflik? 4. Jelaskan langkah dan upaya pembentukan satuan tugas penyelesaian konflik? PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 88 DALAMPENANGANAN KONFLIKSOSIAL

HANJAR LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI VI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENCEGAH KONFLIK 20 JP (900 Menit) PENGANTAR Dalam menjaga kamtibmas, polisi kita dapat bersinergi dalam membangun ketertiban masyarakat dengan menggali kearifan dan nilai-nilai budaya lokal. Hal itu bisa memberikan manfaat dan mendukung tugas-tugas kepolisian dalam hal menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Budaya lokal yang dimaksud mensyaratkan respons individu pada lingkungannya. Budaya sebagai pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok melalui pemecahan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Dengan pemahaman budaya dapat meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya merupakan perekat sosial yang membantu menghimpun organisasi bersama dengan memberikan standar yang cocok atas apa yang dilakukan. Budaya dapat membantu organisasi mengantisipasi dan menyesuaikan perubahan lingkungan yang berkaitan dengan kinerja tinggi untuk jangka panjang. Interaksi dalam struktur sosial ini akan menciptakan budaya di antara kedua belah pihak, baik masyarakat maupun institusi Polri. Budaya itu diproduksi oleh mereka saat mereka berinteraksi satu sama lain. Budaya akan terus direproduksi oleh anggotanya karena budaya merupakan sebuah proses dan produk. Budaya juga memfasilitasi, karena memungkinkan kita untuk memahami apa yang terjadi sehingga dapat berfungsi dalam pengaturan yang secara simultan terkait dengan tradisi di masa lalu, dan terbuka untuk revisi interpretasi pada perubahan yang baru. Melalui pendekatan budaya dan komunikasi, tentu Polri ingin mengubah suatu yang positif tentang organisasi. Mengingat peran komunikasi organisasi dapat mengembangkan dan mempertahankan budaya dalam membantu pencapaian pribadi yang profesional. Polisi profesionalitas berarti memilki sikap yang ditampilkan dalam perbuatan, bukan yang dikemas dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan sesuai profesinya. Polisi dalam keseharian memang dituntut harus menjadi polisi yang bisa menangani kejahatan sehari-hari, mereka dalam melaksanakan tugas itu memang NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 89 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI harus teliti dan sabar. Polisi memiliki multifungsi, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change of agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Polisi harus menjalin kemitraan dengan masyarakat sehingga terwujud rasa saling percaya dan menghargai dengan demikian polisi bersama- sama masyarakat dapat memecahkan masalah yang timbul di lingkungannya. Untuk memberikan pengetahuan kepada peserta didik maka dalam hanjar ini akan membahas materi meliputi kearifan lokal, biografi Raja Ali Haji dan gurindam dua belas sebagai sumber nilai-nilai kearifan lokal budaya melayu Kepulauan Riau, wacana pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal, serta nilai-nilai kearifan lokal dalam mencegah konflik. KOMPETENSI DASAR Dapat memahami nilai-nilai kearifan lokal untuk mencegah konflik sebagai salah satu strategi Kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Indikator hasil belajar: 1. Menjelaskan pengertian kearifan lokal. 2. Menjelaskan gurindam dua belas sebagai sumber nilai-nilai kearifan lokal budaya melayu Kepulauan Riau. 3. Menjelaskan upaya pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal di Kepulauan Riau. 4. Menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal dalam mencegah konflik. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 90 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI MATERI PELAJARAN Pokok Bahasan: Mengenal nilai-nilai kearifan lokal dalam mencegah konflik Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian kearifan lokal 2. Gurindam dua belas sebagai sumber nilai-nilai kearifan lokal budaya melayu Kepulauan Riau 3. Upaya pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal di Kepulauan Riau 4. Nilai-nilai kearifan lokal dalam mencegah konflik METODE PEMBELAJARAN 1. Metode Ceramah. Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi tentang kegiatan kunjungan, pemecahan dan penanganan masalah serta kegiatan pemecahan masalah. 2. Metode Brainstroming (Curah Pendapat) Metode ini digunakan untuk menggali pendapat/pemahaman peserta didik tentang materi yang akan disampaikan. 3. Metode Tanya Jawab. Metode ini digunakan untuk tanya jawab tentang materi yang telah disampaikan. 4. Metode Diskusi. Metode ini digunakan untuk menghadapkan peserta didik kepada suatu masalah, yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. 5. Metode Penugasan Metode ini digunakan pendidik untuk menugaskan peserta didik membuat resume. 6. Metode Praktik/drill Metode ini digunakan untuk mempraktikkan materi kegiatan kunjungan. 7. Metode Bermain Peran/role play. Metode ini digunakan untuk penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan peserta didik. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 91 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan peserta didik dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. ALAT/MEDIA, BAHAN DAN SUMBER BELAJAR 1. Alat/Media a. Whiteboard. b. Flipchart. c. Komputer/laptop. d. LCD dan screen. e. Laser Pointer. 2. Bahan a. Kertas. b. Alat tulis. 3. Sumber Belajar a. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor : kep/773/VII/2016 tentang Buku Pintar Bhabinkamtibmas. b. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : Kep/307/V/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Masyarakat Dalam Tugas Kepolisian Pre-Emtif dan Preventif. c. Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 92 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Tahap awal : 10 menit Pendidik melaksanakan apersepsi dengan kegiatan : a. Pendidik menugaskan peserta didik untuk melakukan refleksi. b. Pendidik mengaitkan materi yang sudah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan. c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada Hanjar ini. 2. Tahap inti : 250 Menit a. Pendidik menyampaikan materi tentang mengenal Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau. b. Peserta didik memperhatikan dan mencatat hal-hal yang penting. c. Pendidik memberikan kesempatan peserta didik untuk tanya jawab kepada pendidik tentang materi yang belum dimengerti. d. Peserta didik melaksanakan curah pendapat tentang materi yang disampaikan oleh pendidik. e. Pendidik menyimpulkan materi yang telah disampaikan. 2. Tahap akhir : 10 menit a. Cek Penguatan materi Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum. b. Cek penguasaan materi Pendidik mengecek penguasaan materi pembelajaran dengan bertanya secara lisan dan acak kepada peserta didik. c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas. Pendidik menggali manfaat yang bisa di ambil dari materi yang telah disampaikan. d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat resume pada materi pelajaran yang telah disampaikan. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 93 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI TAGIHAN / TUGAS Peserta didik mengumpulkan resume dalam bentuk tulisan tangan kepada pendidik. LEMBAR KEGIATAN Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk membuat resume tentang materi yang telah diberikan. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 94 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI BAHAN BACAAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENCEGAH KONFLIK 1. Kearifan Lokal Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang sepatutnya secara terus-menerus harus tetap dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal atau berhubungan dengan khalayak umum. Sementara Haba (2007:11) menjelaskan kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi masyarakat. Lebih lanjut (Haba 2007:4) menjelaskan bahwa ada beberapa fungsi dari kearifan lokal yakni: 1) Sebagai penanda sebuah komunitas; 2) Elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; 3) Kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top done), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam masyarakat, karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan; 4) Kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; 5) Lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground atau kebudayaan yang dimiliki, dan 6) Kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak, solidaritas komunal yang dipercaya dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah kominitas terintegrasi. Sementara Rahyono (dalam Sinar, 2011:4) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya, dengan kata lain seorang anggota masyarakat budaya memililiki kecerdasan karena proses pembelajaran dari rumah yang dilakukan dalam kehidupannya. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 95 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI Selanjutnya Rahyono (dalam Sinar, 2011:4) mengemukakan jika lokal genius hilang atau musnah, kepri-badian bangsa memudar, karena hal-hal berikut: 1) Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheran sejak lahir. 2) Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya. 3) Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat. 4) Pembelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan. 5) Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri. 6) Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan Negara. Sementara Sibarani (2012:5) mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut, antara lain: 1) Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin kerja) 2) Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama) 3) Kerukanan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya) 4) Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum adat). 5) Kesehatan (Menjaga hidup baik secara pribadi maupun masyarakat) 6) Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal) 7) Menjaga lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai kehidupan) 8) Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya) 9)Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya) 10)Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat) Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi). 11)Menurut Sayuti (2005:12) usaha untuk menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Dari pernyataan di atas maka jelas bahwa kearifan lokal yang terdapat pada budaya daerah sudah sejak lama hidup dan berkembang. Maka dari itu perlu diadakan pemeliharaan dan pelestarian budaya daerah tersebut demi membangun kerinduan pada kehidupan masyarakat terdahulu, dimana hal itu merupakan tolak ukur kehidupan masa sekarang. NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 96 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 2. Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas Sebagai Sumber Nilai-Nilai Kearifan Lokal Budaya Melayu Kepulauan Riau Raja Ali Haji (RAH) merupakan tokoh penting di dunia Melayu. Pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan dunia Melayu sangat kentara melalui berbagai karya sastra dan lain-lain yang dijadikan rujukan dalam tradisi penulisan klasik maupun modern. Ia juga dikenal sebagai ulama yang banyak berpengaruh ter hadap wacana dan tradisi pemikiran di dunia Melayu. Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al- Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat (kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia). Sekilas tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokohtokoh Melayu sepanjang abad ke 19 dan dua dasawarsa abad ke 20, di mana RAH termasuk di dalamnya. Catatan tentang hari dan Dipertuan Muda Riau-Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH jusru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus, masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan “Raja”. Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis A-Famosa di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu. Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 97 MENCEGAH KONFLIK

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat. Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding. Isi Gurindam Dua Belas: Pasal Pertama (1) Gurindam 12 Barang siapa tiada memegang agama Segala-gala tiada boleh dibilang nama Barang siapa mengenal yang empat Maka yaitulah orang yang ma’rifat Barang siapa mengenal Allah Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah Barang siapa mengenal diri Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri Barang siapa mengenal dunia Tahulah ia barang yang terpedaya Barang siapa mengenal akhirat Tahulah ia dunia mudharat Pasal Kedua (2) Gurindam 12 Barang siapa mengenal yang tersebut Tahulah ia makna takut Barang siapa meninggalkan sembahyang Seperti rumah tiada bertiang Barang siapa meninggalkan puasa Tidaklah mendapat dua termasa Barang siapa meninggalkan zakat Tiadalah hartanya beroleh berkat Barang siapa meninggalkan haji Tiadalah ia menyempurnakan janji Pasal Ketiga (3) Gurindam 12 Apabila terpelihara mata Sedikitlah cita-cita Apabila terpelihara kuping Khabar yang jahat tiadalah damping Apabila terpelihara lidah Niscaya dapat daripadanya faedah Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan Daripada segala berat dan ringan Apabila perut terlalu penuh NILAI-NILAI KEARIFANLOKAL DALAM 98 MENCEGAH KONFLIK


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook