Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Naskah Buku Mesin Waktu

Naskah Buku Mesin Waktu

Published by Winarko Winarko, 2023-07-12 23:40:01

Description: Naskah Buku Mesin Waktu

Search

Read the Text Version

1

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa: (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Kumpulan cerpen Mesin Waktu Iin Sulistyowati

Kumpulan cerpen Mesin Waktu Edisi Pertama Copyright @ 2021 ISBN 978-623-6384-66-4 14,8 x 21 cm 130 h. cetakan ke-1, 2021 Penulis Iin Sulistyowati Editor Naskah Tukijo, S.Pd Editor Sastra Dr. S. Prasetyo Utomo, M.Pd Penerbit Madza Media Anggota IKAPI: No.273/JTI/2021 Kantor I: Jl. Pahlawan, Kanor, Bojonegoro Kantor II: Jl. Bantaran Indah Blok H Dalam 4a Kota Malang [email protected] www.madzamedia.co.id Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit.

Prakata Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku kumpulan cerpen. Dalam penyusunan Mesin Waktu, penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Penulis menyadari tanpa arahan dari berbagai pihak tidak mungkin bisa menyelesaikan buku kumpulan cerpen Mesin Waktu. Kumpulan cerpen ini dibuat sedemikian rupa semata-mata untuk membangkitkan minat baca anak-anak dan sebagai motivasi dalam berkarya, khususnya narasi fiksi. Untuk itu, penulis hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, sehingga bisa menyelesaikan buku ini. Demikian semoga buku ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semarang, Juli 2021 Penulis, i

Daftar Isi Prakata......................................................................................................................... i Daftar Isi.....................................................................................................................ii Teman Baru............................................................................................................... 1 Dikejar Harimau.......................................................................................................9 Bian dan Nenek Misterius .................................................................................14 Mesin Waktu...........................................................................................................19 Rumah Coklat ........................................................................................................24 Cermin Ajaib ...........................................................................................................28 Dihantui Virus........................................................................................................ 32 Bukan Patung Biasa ............................................................................................ 37 Dunia Permen.........................................................................................................41 Melintasi Masa .....................................................................................................45 Persahabatan vs Berlian...................................................................................50 Biji Okra Ajaib......................................................................................................... 53 Kucing yang Tahu Membalas Budi................................................................ 57 Tabib Bijaksana......................................................................................................61 Penjaga Jembatan ...............................................................................................66 Berada di Dunia Mimpi.......................................................................................69 ii

Buku Imajinasi ....................................................................................................... 73 Penjaga Diri ............................................................................................................ 78 Rahasia Loteng Kakek ........................................................................................83 Gara-Gara Sampah..............................................................................................90 Bunga Ajaib.............................................................................................................96 Negeri Boneka......................................................................................................101 Tiga Jagoan........................................................................................................... 107 Baju Pesta Luna ....................................................................................................111 Pertempuran Dua Negeri................................................................................. 115 Mesin Waktu........................................................................................................ 120 Profil Penulis ....................................................................................................... 122 iii



Teman Baru Putri termenung di jendela kamarnya sambil memandang ke arah anak-anak seusianya yang asyik bermain di lapangan depan rumahnya. Putri ingin seperti mereka. Apa daya, Putri selalu teringat pesan ibunya yang meminta Putri untuk tetap tinggal di dalam rumah ketika pulang sekolah. “Seandainya ayah masih ada dan ibu nggak harus bekerja sejak pagi sampai malam, pasti aku bisa seperti mereka,” batin Putri sedih. Saking asyiknya melamun, Putri akhirnya tertidur. “Hey, jangan bengong di situ. Ayo sini, Putri! Kita main bersama!” Teriak salah satu gadis yang belum pernah Putri lihat sebelumnya tapi sangat ramah itu. Putri mengangguk kemudian menghampiri gadis berambut ikal itu. “Kamu warga baru di sini? Aku belum pernah melihatmu,” kata Putri ragu-ragu. “Ha ha ha ha... Kamu lucu sekali Putri. Aku sudah lama tinggal di dekat rumahmu. Aku juga tahu banyak tentang kamu. Kamunya saja yang tidak kenal denganku dan teman-teman karena kamu jarang bermain.” Gadis di depan Putri itu tertawa terbahak-bahak diikuti oleh seluruh temannya. 1

“Jadi...?” Tanya Putri bingung. “Udahlah, jangan dipikir. Lebih baik kita main aja, yuk.” Gadis itu tiba-tiba menarik tangan Putri dan mengajaknya ke pinggir lapangan. “Nama kamu siapa?” Pelan Putri bertanya ketika mereka sudah duduk di bangku kayu pinggir lapangan. “Namaku Cleo. Yang pakai kaos merah itu Diaz. Yang suka pakai celana panjang itu Theo dan yang paling cakep itu, Sam,” jawab Cleo sambil menunjuk ketiga teman laki-laki yang juga baru dilihat oleh Putri hari itu. Putri memandang teman barunya satu per satu. Wajah Cleo mengingatkan pada gadis-gadis bule yang ketika berjemur pada pipinya tampak bintik-bintik merah merona. Sedangkan wajah Sam yang memang paling cakep di antara tiga teman laki-laki Cleo itu terlihat pucat. “Hey, jangan bengong, Putri. Aku tahu selama ini kamu ingin sekali bermain dengan teman-temanmu tapi nggak bisa kan? Nah, sekarang waktunya kamu bermain dengan kami, Putri.” Putri mengangguk dan tersenyum ke arah Cleo. “Kamu baik sekali, Cleo. Padahal aku baru mengenalmu.” “Tapi aku sudah mengenalmu lama, Putri,” sambung Cleo cepat. Putri masih tampak tak percaya dengan cerita Cleo. Bagaimana mungkin Cleo bisa mengenal Putri? Padahal mereka tidak satu sekolah. Rumah Cleo di sebelah mana saja Putri tidak tahu. “Ih, kamu memang hobi banget bengong, ya?” Tepuk Cleo di bahu Putri. Lagi-lagi Putri hanya tersenyum. Sore itu Putri bahagia karena bisa merasakan bermain dan berkenalan dengan teman-teman barunya. *** “Put, bangun, Nak. Kok kamu tidur sambil duduk di depan jendela sih. Nggak sakit apa tangannya?” Ibu menggoyang- goyangkan Putri yang masih terlelap tidur. 2

Sambil menggeliat, Putri membuka matanya dan menatap ibunya dengan bingung. “Kok Ibu sudah pulang? Memang ini jam berapa?” “Jam enam, sayang. Bukannya Ibu juga biasa pulang jam segini?” Ibu mengelus rambut Putri dengan sayang. “Terus teman-temanku mana, Bu?” Tanya Putri bingung. “Teman yang mana, Put? Sejak Ibu masuk rumah sampai menuju kamarmu, nggak ada tu teman-temanmu di dalam rumah kita.” Kali ini ganti ibu menatap putri semata wayangnya dengan bingung. Sambil menutup gorden jendela kamarnya, Putri bercerita kepada ibunya jika sore tadi dia diajak main oleh empat teman barunya. Bahkan Putri belum sempat menanyakan di mana rumah mereka ketika tahu-tahu ibu membangunkannya. Ibu mendengarkan cerita Putri sambil menatapnya khawatir. “Ya, sudah, sekarang kamu mandi dulu sebelum malam. Ibu juga akan beres-beres dulu.” Ibu kemudian beranjak meninggalkan kamar Putri. *** “Putri...Putri...!!!” Teriak Cleo, Diaz, Theo, dan Sam bersamaan di depan jendela kamar Putri. Tergopoh-gopoh Putri berlari ke arah jendela kamarnya. “Ayo, main lagi, Put. Kita tunggu di lapangan ya!” Diaz berteriak di depan jendela kamar Putri. Bergegas Putri segera menuju pintu rumah untuk bergabung dengan teman-temannya yang sudah berlari ke arah lapangan. Hari ini Putri merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang dirasakannya kemarin. Ketika ibunya pergi bekerja, Putri punya kesempatan untuk bermain dengan teman-temannya di luar rumah. “Udahan dulu yuk, Cleo. Aku haus banget ni.” Putri melambaikan tangan ke arah Cleo yang masih bersemangat bermain dengan ketiga teman laki-lakinya. 3

“Waaaah, payah ni si Putri. Belum sejam aja udah mau berhenti.” Walau kecewa tapi Cleo dan teman-temannya segera menyusul Putri yang sudah berselonjor di bawah pohon rindang. Sedang asyik-asyiknya bercerita, tiba-tiba Diaz menarik tangan Cleo, “Kita harus segera pergi dari sini. Para penjahat itu sudah mengetahui keberadaan kita.” Raut muka Cleo tampak pucat dan panik. Tapi dia juga ragu harus bagaimana. “Put, sebaiknya kamu ikut dengan kami. Aku takut kamu juga akan menjadi incaran para penjahat itu ketika nanti mereka tahu bahwa kamu dekat dengan kami.” Cleo menjulurkan tangannya ke arah Putri. Walau bingung, Putri menerima uluran tangan dari Cleo. Berlima mereka lari menjauh dari lapangan. Para penjahat yang berpakaian dan berkacamata hitam-hitam itu berlari mengejar mereka. “Sebenarnya mereka siapa sih? Kenapa kalian diburu oleh mereka?” Putri bertanya sambil terus berlari mengikuti Sam yang berada di depan mereka untuk mencari jalan. “Ceritanya panjang, Put. Lebih baik kita mencari tempat aman dulu untuk bersembunyi,” Diaz menjawab sambil menghapus peluh yang menetes di dahinya. Theo yang berbadan agak gempal masih berada di belakang mereka. Walau susah payah dia tetap berusaha berlari. Sam tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Teman-teman, jalan di depan sepertinya buntu. Kalau kita mau selamat, kita harus melompat tembok ini kemudian bersembunyi di balik loteng rumah itu.” Tunjuk Sam pada salah satu bangunan rumah tingkat yang lotengnya sedikit terbuka dan bisa dimasuki oleh tubuh mereka. “Aku naik duluan. Theo yang paling akhir setelah punggungnya dijadikan pijakan oleh Cleo dan Putri!” perintah Diaz. 4

Tepat ketika mereka berlima sembunyi di balik loteng, para penjahat yang berjumlah tiga orang itu sampai di bawah mereka. Di ujung jalan buntu yang tadi mereka lalui. “Akhirnya kita selamat dari kejaran mereka hari ini,” Theo menarik napas lega sambil mengelus dadanya. “Setelah ini kita akan kemana?” Cleo berbisik pada teman- temannya. “Bagaimana kalau kalian bersembunyi saja di rumahku?” Tawar Putri pada teman-temannya. “Nggak, Put. Itu akan lebih membahayakan dirimu. Mereka akan dengan mudah menemukan kami karena indera pelacak mereka hebat banget.” Sam adalah orang pertama yang menolak tawaran Putri. “Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa kalian sampai dikejar- kejar oleh para penjahat itu?” Putri mengulang lagi pertanyaan yang tadi dilontarkan saat mereka berlari. “Jadi para penjahat itu ingin menangkap kami untuk dijadikan percobaan. Mereka mencari empat anak kembar untuk misi menyelamatkan dunia,” jelas Sam sambil berbisik. “Kalian anak kembar?” Tanya Putri tak percaya sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya karena tidak percaya. “Iya, kami anak kembar. Theo lahir paling akhir sehingga dialah kakak nomor satu. Disusul Sam, aku dan Diaz,” Cleo menjawab ketidakpercayaan Putri. “Terus mereka itu siapa? Bagaimana mereka tahu kalau kalian kembar empat?” Putri menatap satu per satu teman barunya untuk mencari jawaban. “Sebaiknya kita mencari tempat aman terlebih dahulu. Kalau kita kelamaan di sini khawatir yang punya rumah akan memergoki keberadaan kita,” Theo menengahi percakapan antara Putri dan saudara-saudaranya. Dengan hati-hati mereka keluar dari persembunyian dan kembali melompat turun ke arah jalan buntu tadi. 5

“Kita kembali ke lapangan lagi dan mengantar Putri pulang terlebih dahulu. Baru kemudian kita pikirkan rencana kita selanjutnya,” ajak Diaz. *** “Duuuuuuh... anak satu ini kenapa jadi sering tidur di depan jendela ya?” Ibu Putri segera membangunkan anaknya yang tertidur di depan jendela kamarnya. “Sudah hampir magrib, Put. Ayo bangun!” Putri membuka kedua matanya pelan-pelan, “Mimpi yang sama lagi,” gumamnya. “Kamu mimpi apa, Put? Makanya jangan tidur sore hari, yang ada nanti mimpi seram lho,” nasihat ibu Putri. “O iya, nanti habis magrib teman Ibu yang dari luar negeri akan main ke rumah kita. Kamu dandan yang rapi, ya. Kita temui keluarga mereka yang sebentar lagi akan menjadi tetangga kita juga.” Ibu Putri menepuk pundak anaknya sebelum beranjak dari kamar tersebut. “Teman ibu mau menempati rumah kosong di sebelah rumah kita, maksud Ibu?” Putri berteriak sambil masuk ke kamar mandi. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. Tepat pukul setengah tujuh bel pintu rumah Putri berbunyi. Terdengar suara langkah ibu Putri yang membukakan pintu. Putri masih asyik menata meja makan dengan masakan yang dibeli khusus oleh ibunya untuk menjamu tamu spesialnya hari. “Waaaa...kamu tetap ramping aja, Sa? Beda dengan diriku yang tambah mengembang setelah melahirkan anak-anak,” suara seorang perempuan yang disambut ibunya dengan tawa itu terdengar sampai ruang makan. “Yuk, masuk. Duduk sini deh. Ini anak-anak kamu ya, El? Lucu- lucu banget. Beruntungnya kamu yang langsung dapat empat anak imut.” Ibu Putri menyilakan tamu-tamunya untuk masuk. 6

“Putriiiii....kemari, Nak. Ini teman ibu dan putra-putranya akan berkenalan denganmu!” setengah berteriak Ibu memanggil putrinya dari ruang tamu. Setelah merapikan bajunya Putri berjalan ke arah ruang tamu. Alangkah terkejutnya Putri ketika melihat empat orang remaja seusianya yang sedang duduk di sebelah teman ibunya itu. Bukankah itu Cleo, Sam, Diaz, dan Theo? Bukankah itu teman baru Putri yang dijumpainya beberapa kali dalam setiap tidur sorenya? Bagaimana mungkin mereka bisa sampai di sini dan benar- benar nyata? “Hey, kenapa bengong di situ, Put? Sini duduk sebelah Ibu.” Ibu Putri menepuk-nepuk kursi kosong di sebalah kirinya. “Put, ini tante Elsa. Teman Ibu sejak SMP sampai kuliah. Tante Elsa setelah kuliah pindah ke London mengikuti suaminya yang orang sana. Nah, tahun ini tante Elsa memutuskan kembali ke Indonesia karena suaminya membuka kantor cabang perusahaan di Indonesia. Empat anaknya ini seusia kamu lho. Mereka kembar empat. Kamu kenalan sendiri ya dengan mereka!” ibu Putri menjelaskan sedikit pada putrinya. “Cleo,” Sambil mengulurkan tangan dan tersenyum ke arah Putri. “Putri,” Jawab Putri dengan senyum juga. Tak lupa Putri juga mengenalkan dirinya kepada ketiga saudara kembar Cleo. “Putri boleh ajak teman-teman barunya di taman belakang kok. Nanti kalau sudah siap makan Ibu panggil,” kata Ibu Putri yang diangguki oleh Putri. Berlima mereka meninggalkan ruang tamu untuk menuju ke taman belakang rumah Putri yang asri. “BTW, kalian masih ingat denganku kan?” tanya Putri ketika mereka sudah duduk santai di gazebo. “Masih dooooong.....!!!” jawab keempat temannya dengan tertawa lepas. 7

“Kok bisa ya? Aku pikir kalian hanya teman baru yang kutemui dalam mimpi saja. Ternyata setelah beberapa hari akhirnya kita bertemu beneran,” Putri antusias mengeluarkan isi pikirannya. “Well, sekarang kita nyata ada di hadapanmu, Put. Kita bisa main-main bersama lagi setiap hari,” Theo menjawab dengan penuh semangat. “Lantas bagaimana penjahat yang kemarin mengejar kalian?” lanjut Putri. “Tentu saja mereka tidak akan bisa menemukan kita lagi karena hari ini kita sudah di Indonesia,” jelas Diaz. Walau bingung Putri tersenyum. Dalam hati dia bersyukur karena mengalami mimpi indah yang menjadi kenyataan. Besok, lusa dan seterusnya Putri akan mempunyai teman bermain baru. Sudah pasti ibunya akan mengizinkan Putri keluar rumah setelah pulang sekolah karena temannya adalah putra-putri sahabat ibunya sendiri. *** 8

Dikejar Harimau “Huuuuuft, sedih kalau ada tugas dari guru bahasa untuk membuat tulisan,” gerutu Emma sambil memutar-mutar bolpoinnya seolah sedang berpikir mencari ide yang pas. Emma lantas merebahkan kepalanya di meja belajar sambil terus berharap ada ide yang tiba-tiba melintas di kepalanya. “Ya, elah, Em, Em, apa sih susahnya nemuin ide? Ide itu banyak dan bisa datang dari mana aja.” Fikri menjentikkan jarinya tanda apa yang diucapkan itu memang benar-benar mudah. “Contohnya?” tanya Emma bingung. “Ya, gini aja deh contohnya, saat ini kamu sedang bingung menemukan ide. Terus kamu lihat sekitarmu, ada tempat tidur yang berantakan, lantai yang penuh kotoran bekas kue kering, baju yang belum ditata dalam lemari, kan bisa tu dijadikan bahan tulisan. Tips mengisi waktu liburan ketika harus di rumah aja. Gitu juga udah bisa lho jadi tulisan yang enak dibaca,” Tita menjawab kebingungan Emma. “Iya ni, mana dong Emma sang juara bertahan di sekolah yang biasanya paling bisa dikasih tugas apa aja oleh guru.” Edo menyemangati sahabatnya yang mendadak illfeel dengan tugas guru Bahasa Indonesia. 9

“Gampang itu kan karena kalian suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Karena kalian suka diajar Ibu Suci yang cantik. Lha, kalau aku? Sejak dulu juga nilaiku yang pas-pasan cuma di Bahasa Indonesia. Jadi tetap aja tugas menulis itu membosankan untukku,” elak Emma di hadapan teman-temannya. “Ya udah, kita jalan dulu yok. Sapa tahu nanti pas jalan itu Emma nemu ide untuk bikin tulisan,” usul Fikri. “Nggak mau! Aku nggak mau jalan-jalan kalau tugasku belum selesai!” Tolak Emma tegas. “Hey, seperti kataku tadi, Em. Ide itu bisa datang dari mana dan kapan aja. Siapa tahu dengan keluar dari rumah kamu justru menemukan ide yang menarik,” bujuk Tita. Tita, Fikri, dan Edo merupakan sahabat Emma di sekolah. Mereka akrab dan dekat karena sering belajar dan bermain bersama. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh sehingga jika berangkat sekolah mereka juga saling menghampiri. “Iya, deh. Aku ikut dengan kalian.” Emma akhirnya menerima usul teman-temannya yang mengajak jalan-jalan. “Jadi, kita mau jalan kemana ni?” Emma menoleh ke arah teman-temannya ketika mereka berempat sudah sampai di halte BRT. “Gimana kalau kita ke kebun binatang aja. Mumpung masih pagi, ni. Di sana kan ada wahana bermain yang baru,” Tita mencoba mengusulkan sebuah tempat yang akan mereka kunjungi bersama. “Ide bagus. Siapa tahu di kebun binatang nanti Emma bisa mendapat ide setelah bertemu dengan harimau. Hahahaha,” Edo meledek temannya yang masih tetap saja bete dengan tugas yang diberikan gurunya. “Boleh juga. Lagian kalau ke kebun binatang kita juga nggak perlu ganti jalur bus. Cukup satu kali naik aja,” Fikri menguatkan usul Tita. Sambil menunggu BRT datang mereka bercanda dan tertawa bersama. 10

“Naga-naganya perjalanan kita jadi agak lama ni karena baru sampai pertengahan jalan sudah macet panjang,” Edo mengeluh sambil melihat ke luar jendela yang penuh dengan truk, mobil pribadi dan juga bus-bus umum. Emma yang sudah nyaman dengan posisi duduknya di pojok belakang langsung merebahkan kepalanya di sandaran kursi dan memejamkan matanya pelan-pelan. Sayup-sayup masih terdengar suara teman-temannya yang asyik mengomentari macetnya jalan pagi itu. “Perhatian, perhatian! Para pengunjung kebun binatang diharap tidak panik dan segera mencari tempat aman untuk berlindung karena saat ini harimau Benggala yang ada di kandang lepas. Petugas kami akan membantu mengevakuasi pengunjung yang masih berada di sekitar kandang binatang sisi timur!” Suara petugas yang terdengar melalui speaker yang terpasang di sudut-sudut area kebun binatang itu terdengar jelas dan membuat para pengunjung kebun binatang seketika berhamburan menuju pintu keluar. “Aduh, Do, gimana ini. Kita baru aja masuk lho, tapi kenapa ada informasi kalau harimau Benggala lepas, ya?” Tita panik begitu mendengar informasi tersebut melalui speaker. “Tenang, yang harus kita lakukan adalah mencari jalan yang tidak dekat dengan rerimbunan semak atau pohon besar. Jangan panik, kita tidak perlu berlari tapi jalan cepat saja,” Fikri berusaha menenangkan teman-temannya. “Ayo, Dek, cepat lari ke arah pintu keluar. Petugas akan membantu kalian keluar satu persatu.” Petugas kebun binatang yang berkeliling dengan mobil membantu para pengunjung untuk menemukan jalan ke arah pintu keluar. “Lihat, Fik. Harimau itu mengendap-endap menuju semak di dekat danau!” Emma menunjuk ke arah harimau Benggala yang ternyata sedang berjalan tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Padahal untuk menuju pintu keluar kita harus melewati jalan itu. Gimana ni?” Tita tambah panik. 11

“Udah dong, tenang aja. Nggak usah segitu paniknya. Harimau itu takut kalau menghadapi orang. Yang lepas harimau kan, bukan singa. Jadi kalau kita lewat ya harimau nggak akan menerkam kita. Apalagi kita berlima,” Edo memberi penjelasan pada teman- temannya yang mendadak menghentikan langkah begitu tahu ke mana harimau tersebut berada. “Oke, yuk lanjut jalan lagi. Aku yakin pengunjung kebun binatang ini juga sama seperti kita. Walau panik tapi tetap harus menemukan jalan keluar.” Fikri memberanikan diri untuk berjalan terlebih dahulu. “Semoga teori Edo yang mengatakan kalau harimau takut dengan manusia terbukti kebenarannya. Kalau salah, sampai luar kebun binatang nanti dia bakal tak cincang habis,” ancam Emma. Kira-kira satu meter dari arah semak tempat harimau tersebut bersembunyi, suara auman terdengar keras. “Gimana ini? Kita putar balik atau terus jalan ke arah depan saja?” Tita menahan langkah Fikri yang masih berjalan di depannya. “Lihat, harimaunya mulai berdiri dan sepertinya akan keluar dari semak-semak itu. Kita lari aja yuk.” Emma mulai panik seperti Tita. Harimau di depan menatap mereka dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Edo, Fikri, Emma dan Tita sudah pias. Jika mereka lari, yang terjadi pasti akan ada kejar-kejaran dengan harimau. Pasti akan mengundang kepanikan para pengunjung lain. Tapi jika mereka tidak lari, mereka juga tidak tahu dengan nasib mereka nanti seperti apa. “Ayo, kita tetap jalan pelan-pelan mengikuti jalan ini. Jika kita maju dan harimau itu tidak melakukan gerakan apa pun, aku yakin dia benar-benar takut dengan manusia. Tapi kalau kita maju dan dia merasa tidak nyaman, kita langsung putar badan lari kembali ke tempat semula.” Edo mencoba memberi komando pada teman- temannya. 12

“Ada yang tahu nomor telepon petugas kebun binatang nggak? Siapa tahu mereka bisa mengevakuasi kita dari sini,” Tita masih berharap ada solusi lain kecuali lari. “Siapa juga yang kenal dengan petugasnya, Mbak,” ejek Emma kesal. “Kita coba jalan pelan-pelan, teman. Kalau kita cuma diam di sini harimau itu bisa saja lebih dulu menyerang kita,” bujuk Edo sekali lagi. “Oke, yuk, jalan.” Fikri menyeret tangan Emma dan Edo menyeret tangan Tita supaya tidak bertambah panik. “Lariiiiiiii!” Tiba-tiba Emma berteriak kencang begitu melihat harimau tersebut juga mulai melangkahkan kaki ke arah mereka. Tita mengguncang-guncang badan Emma yang tertidur dalam bus. “Lari ke mana, Em? Bukannya kita masih di dalam bus ya?” Fikri menoleh ke samping kiri, ke arah tempat duduk Emma. “Oh, syukurlah, cuma mimpi ternyata. Kirain beneran lho,” Emma menggumam pelan. “Emang kamu mimpi apa barusan?” tanya Tita geli. “Ada harimau lepas di kebun binatang dan mengejar kita,” jawab Emma malu. “Hahahahaha, belum juga sampai kebun binatang sudah mimpi harimau. Bener kan kataku tadi, Emma tu akan ketemu ide kalau udah ketemu sama harimau,” ledek Edo penuh kemenangan. “Iya juga ya, Do. Bener banget, lho. Ide bisa datang dari mana aja dan kapan aja. Barusan aku jadi punya ide untuk bikin cerita tentang mimpiku tadi.” Emma tersenyum penuh arti. “Ya, udah, karena masih jauh dan macet, aku ikutan Emma juga, ah. Tidur untuk menemukan ide membuat tulisan juga,” canda Fikri yang dibalas dengan cubitan tangan Tita. *** 13

Bian dan Nenek Misterius Bian duduk di pinggir tempat tidur sambil berpikir apa yang akan dilakukan keesokan harinya ketika bolos sekolah. Ya, Bian memang sudah berencana untuk bolos sekolah karena besok jadwal mata pelajaran seni dan Bian belum hafal gerakan tari yang harus ditunjukkan di hadapan Bu Evy. “Bian, kalau sudah selesai belajarnya segera tidur ya, Nak, biar besok nggak kesiangan bangun.” Ibu membuka pintu kamar Bian dan meninggalkan pesan sebelum Bian tertidur tanpa membereskan buku-buku pelajarannya. “Sudah kok, Bu. Ini Bian mau tidur,” Bian membalas sambil merebahkan badannya di kasur. “Jangan terlalu sering main game online, Bian. Fokus belajar dulu supaya prestasimu meningkat. Ingat pesan bu guru kemarin dulu ketika Ibu ke sekolah mengambil rapor. Beliau mengatakan jika akhir-akhir ini prestasi belajarmu menurun karena kamu sering membolos.” “Iya, Bu. Bian nggak akan membolos lagi,” janji Bian sambil mengangkat dua jarinya. Ibu tersenyum dan meninggalkan kamar Bian setelah mematikan lampu kamar. 14

“Wah, Ibu nggak asyik banget ough. Main game kan melatih kecerdasan dan ketangkasan, kenapa dilarang-larang sih? Lagian prestasi Bian di sekolah juga nggak jelek-jelek banget,\" Bian berkata dalam hati. Malam ini Bian berencana akan ke rumah Arai untuk membahas rencana bolos esok hari. Rumah Arai hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah Bian jadi Bian memutuskan untuk berjalan kaki saja daripada naik sepeda dan membuat orang tuanya marah jika tahu Bian keluar rumah malam-malam. Baru melewati tiga rumah, tiba-tiba di depan Bian melihat sebuah rumah yang terang benderang oleh cahaya lampu. Bian merasa heran karena selama tinggal di kompleks perumahan tersebut dirinya tidak pernah melihat ada rumah minimalis yang begitu terawat dan indah dipandang mata. Iseng-iseng Bian belok ke arah rumah tersebut karena pagarnya terbuka. Saat akan mengetuk pintu, seorang nenek tua dengan wajah yang ramah sudah membukakan pintu terlebih dahulu dan menyilakannya masuk. “Ayo, Nak, masuk sebentar ke rumah nenek.” “Te... terima kasih, Nek.” Bian langsung takjub melihat isi rumah nenek tua tersebut. Walaupun usia sudah tua, tapi perabot di dalam rumah minimalis itu canggih semuanya. Yang paling Bian suka adalah di sudut ruangan itu terdapat seperangkat komputer lengkap dengan sound yang besar sehingga ketika bermain game suaranya semakin mantap. “Bian suka dengan komputer itu? Kalau suka pakai aja. Daripada kamu jauh-jauh ke rumah Arai lebih baik kamu bermain di sini sambil menemani nenek yang tinggal sendirian.” Jelas nenek tua tersebut sambil menuntun Bian mendekat ke arah meja komputer. “Nenek tahu namaku dari mana? Bukannya kita selama ini belum pernah bertemu ya?” tanya Bian ragu. “Bian... Bian... kamu ini aneh sekali. Nenek kan tinggal di dekat rumahmu. Sudah pasti nenek hafal anak-anak yang suka bermain game sampai lupa waktu.” 15

Walau terdengar aneh tapi jawaban nenek tua itu di-iya-kan Bian dalam hati. Fokusnya saat ini adalah bermain game sepuasnya lewat komputer bukan sekedar lewat handphone lagi. “Minum dulu, Bi. Nenek sengaja buat ramuan ini supaya saat bermain game kamu menang terus.” Nenek menyodorkan segelas minuman berwarna kuning kunyit seperti jamu. “Memang ada ya, Nek, ramuan yang membuat seorang gamers jadi juara?” tanya Bian bingung. “Tentu saja ada. Nenek ahli membuat berbagai macam ramuan,” jawab si nenek sambil tertawa. Bian meminum ramuan yang diracik nenek tua itu pelan-pelan. Rasanya aneh. Mungkin seperti jamu yang biasa dibeli ibunya di pasar untuk ayah Bian. Ada pahit, asam, dan entah rasa apalagi yang tidak Bian kenal. “Bagaimana? Enak minumannya?” tanya nenek sambil mengambil gelas minuman yang sudah kosong dan menggantinya dengan gelas berisi minuman yang sama. “Hmmmmm... pahit, Nek,” jawab Bian sambil terus main game. “Horeee...!!! Menang... menang!” teriak Bian heboh. “Ayo, kamu harus minum lagi ramuan ini supaya mainmu semakin jago.” Nenek menyodorkan gelas kedua. Merasa memang ada khasiatnya dan terbukti kalau minum ramuan tersebut bisa memenangkan game, maka Bian menuruti perintah nenek tua itu. “Yess! Menang lagi!” Bian tersenyum puas. Nenek menyodorkan gelas ramuan ketiga. Sebenarnya Bian enggan meminum karena perutnya sudah terasa penuh oleh minuman yang sama. Tapi keinginan untuk naik level pada game yang dia mainkan juga begitu kuat. “Sekali lagi deh, Nek. Habis itu udahan ya. Aku harus buru-buru ke rumah Arai sebelum malam, ” jawab Bian sambil menerima gelas ramuan ketiga. 16

“Ke rumah Arai besok saja. Malam ini kamu fokus memenangkan game dan menaikkan levelmu.” Nenek meninggalkan Bian dan masuk ke ruangan lain di rumah itu. “Setelah game ini berakhir aku harus segera pamit pada si nenek. Aku udah kenyang minum ramuan itu terus. Bisa-bisa perutku membesar karena cairan ni,” pikir Bian. “Ayo, Bian diminum lagi ramuannya. Ini ramuan keempat dari nenek yang lebih dasyat. Gamemu akan selesai dalam hitungan detik jika kamu meminum ramuan ini.” Nenek menyerahkan gelas keempat pada Bian. Bian hanya menatap nenek tua tersebut dengan gelengan kepala. “Nggak, Nek. Aku sudah cukup puas dengan permainanku kali ini. Kulanjutkan besok saja dengan Arai.” “Tidak, Bian. Kamu harus menyelesaikan game itu. Kamu harus menang. Kamu sudah masuk terlalu jauh ke areaku sehingga kamu harus menuruti perkataanku,” ancam nenek tua itu dengan raut muka yang menyeramkan. Bian kaget setengah mati. Dia berusaha untuk menenangkan debar jantungnya yang berdegup kencang karena takut. Bian berniat berdiri dari kursi tempat dia duduk, tapi tidak bisa. Bian mencoba menepis tangan nenek tua yang terus mendekatkan gelas ramuan ke bibirnya, tapi tangannya mendadak kaku. “Nggak, Nek. Cukup. Aku nggak mau minum ramuan nenek lagi. Aku mau pulang!” teriak Bian. “Kamu nggak bisa pulang, Bian. Ayo, minum ramuan ini atau kamu akan celaka karena tidak menyelesaikan game-mu!” “Tidaaaaaaak! Ampun, Nek! Aku nggak mau main game ini terus!” Bian memberontak sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang masih terasa kaku. “Bian, kalau kamu tidak patuh maka kamu akan merasakan akibatnya!” Nenek tua itu bersiap memegang tengkuk Bian untuk 17

menghentikan gerakan Bian dan meminumkan ramuan dengan paksa. “Tidaaaaak! Jangaaan! Ibu tolong aku!” Bian berteriak kencang sambil menangis terisak-isak. “Bian! Ayo bangun, Nak! Kamu sekolah apa tidak hari ini?” Ibu menggoyang-goyangkan tubuh Bian yang sudah basah oleh keringat dan bekas air mata yang menetes di pipi. Bian membuka matanya dan memeluk ibunya yang duduk di pinggir tempat tidurnya. “Kamu kenapa? Mimpi buruk?” “Maafkan Bian, Bu. Bian janji nggak akan bolos sekolah lagi. Bian nggak mau kecanduan game dan minum ramuan yang buat Bian nggak bisa lepas dari game.” Ibu tertawa mendengar pengakuan Bian. Dalam hati Ibu bersyukur karena Bian sadar lebih awal. *** 18

Mesin Waktu “Bosen ih main game melulu. Keluar rumah aja yuk,” ajak Vian pada Yoga yang menemaninya bermain game di teras rumah Vian. “Mo ke mana memangnya?” tanya Yoga sambil mengakhiri gamenya. “Gimana kalau ke lapangan aja? Biasanya jam segini banyak juga yang bermain di sana.” “Hayuk deh kalau gitu. Siapa tahu ada yang bisa diajakin main bola.” Yoga berdiri dan mengikuti langkah Vian keluar dari halaman rumah. Mereka berdua menuju lapangan dengan mengendarai sepeda masing-masing. Benar saja, sampai di lapangan sudah banyak anak yang berkumpul di situ. Ada yang hanya sekedar ngobrol di pinggir lapangan, ada juga yang asyik bermain. “Kaya’nya seru tu kalau gabung sama Fahra and gank yang lagi main petak umpet.” Vian tersenyum pada Yoga meminta persetujuan. “Nggak, ah. Masa’ main sama anak cewek? Lagian itu juga mainan anak kecil, kan?” Yoga menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju dengan ajakan Vian. 19

“Ya, udah, kalau gitu aku aja yang gabung sama Fahra.” Vian berlari meninggalkan Yoga untuk menuju arah Fahra yang kebingungan mencari teman-temannya. “Ra, boleh ikutan gabung petak umpet nggak?” Vian berdiri di belakang Fahra. “Iiiiih, kamu ngagetin aja sih, Vi.” Vian hanya nyengir melihat kekagetan Fahra. “Boleh, nggak?” ulang Vian lagi. “Boleh. Habis ini gantian kamu yang jaga, ya.” Fahra tersenyum dan dijawab Vian dengan mengangkat dua ibu jarinya. “Aku juga ikut, deh. Daripada nontonin kalian sendirian di pinggir lapangan.” Yoga tahu-tahu sudah berdiri di sebelah kanan Vian. Vian tertawa melihat kegabutan Yoga. “Ya, udah, karena Yoga juga ikutan gabung, berarti yang jaga Yoga dulu. Vian dan kita-kita sembunyi, ya.” “Sippp,” jawab Yoga singkat. Vian menatap sekeliling lapangan. ”Sembunyi di mana, ya yang sulit ditemukan Yoga?” pikirnya jahil. “Satu, dua, tiga,” suara Yoga menghitung sampai sepuluh masih terdengar ketika Vian bersembunyi di atas pohon tak jauh dari tempat Yoga berdiri. Saat Vian berniat mengangkat kedua kakinya supaya tidak menggantung ke bawah, tiba-tiba tubuhnya berasa masuk ke dalam pohon. “Bruuuuk!” Vian jatuh ke sebuah ruangan yang begitu lapang dan penuh ranjau di mana-mana. “Siapa kau anak muda? Cepat sembunyi di tempat aman jika tak ingin merasakan tembakan musuh!” tegur seorang bapak yang berpakaian ala pejuang. “Sembunyi? Musuh? Tembakan? Ini berasa bukan duniaku,” pikir Vian bingung. 20

“Buuuuum! Dor, dor, dor!” Suara tembakan terdengar dari berbagai penjuru. Vian yang masih dalam posisi terduduk saat jatuh ke tempat tersebut merasa ditarik tangannya oleh seseorang. “Jangan nekad, anak muda. Penjajah akan merasa bahagia jika pribumi macam kita dengan mudah ditaklukkan.” Pemuda dengan pakaian pejuang yang membawa senjata laras panjang berbisik ke arah Vian. “Kita sedang berjuang?” tanya Vian ragu. “Iya, anak muda. Kamu pikir kita sedang apa? Kita pertaruhkan nyawa demi Indonesia merdeka. Bagaimana kamu bisa lupa tujuan bangsa kita?” Masih berbisik pemuda itu memarahi Vian yang tampak bingung. “Sekarang kamu ambil senjataku ini untuk membela diri. Kamu ikuti perintahku jika harus menembak atau lari untuk berpindah tempat. Jangan gegabah atau semau sendiri. Kamu belum paham wilayah ini,” sambung pemuda itu lagi. Walau bingung, Vian tetap menerima senjata laras panjang pemberian pemuda pejuang itu. “Kalau ini perjuangan sebelum merdeka, berarti aku masuk ke dimensi waktu sebelum 1945 dong. Kok tua sekali, ya?” pikir Vian. “Jangan bengong, anak muda. Fokus. Rasakan dengan hati. Gunakan perasaan, supaya kamu dapat mendengar langkah musuh dari kejauhan. “Namaku, Vian. Jangan panggil aku anak muda, rasanya aneh,” bisik Vian pada pemuda itu. “Aku, Sudirman,” jawab pemuda itu dengan tatapan tajam. “Sudirman yang pahlawan nasional itu?” balas Vian tak percaya. “Entahlah, aku tak paham dengan bahasamu. Yang aku tahu, nanti malam kita harus bergerilya. Belanda saat ini sudah menguasai Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat sudah berkabar padaku dan 21

meminta izin untuk mengadakan serangan,” jelas Sudirman pada Vian. “Waaaah, kau hebat sampai seorang raja pun percaya padamu.” Vian menatap Sudirman tak percaya. “Aku bukan siapa-siapa anak muda, buatku yang terpenting adalah kita bisa melakukan penyerangan ke pos-pos yang dijaga Belanda atau saat konvoi. Gerilya yang kita lakukan ini merupakan strategi perang untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda.” “Ya, aku ingat. Sudirman adalah pahlawan nasional yang terkenal dengan taktik perang gerilya. Berarti itu dirimu ya?” Vian semakin berbinar menatap pemuda di sebelahnya. Walaupun saat ini dia berada jauh di masa lampau, tapi Vian benar-benar bahagia karena bertemu muka dengan pahlawan besar yang selama ini hanya dikenal namanya saja melalui buku PPKn dan IPS. “Awaaaas!” Sudirman menarik lengan Vian dengan keras. Naas, sebuah peluru nyasar mengenai lengan Vian. “Aduuuuh!” Vian tumbang seketika. “Aaaaaargh!” teriak Vian kencang. “Kena kau, Vi!” Yoga kegirangan begitu menemukan Vian yang tiba-tiba jatuh terduduk di dekat pohon tempatnya bermain petak umpet tadi. “Kena gimana maksudmu, Yog? Kamu nggak lihat apa kalau lenganku berdarah?” Vian sewot menatap Yoga. Yoga tertawa terbahak-bahak. ”Mana yang luka? Kalau ngimpi jangan siang bolong gini dong.” Vian meraba lengannya dan tidak menemukan darah, apalagi bekas peluru yang nyasar. Lengannya baik-baik saja. Hanya bagian pantatnya yang sakit akibat terjatuh dari atas pohon. “Yog, sepertinya aku barusan masuk ke mesin waktu deh.” Vian berdiri sambil membersihkan debu-debu di celananya. “Mesin waktu? Maksudmu seperti film Doraemon gitu?” 22

“Iya, bener. Ini mesin waktu versi Indonesia.” “Ada ya mesin waktu sesuai negara gitu.” “Aku barusan bertemu Jendral Sudirman ketika aku bersembunyi tadi. Terus aku jatuh gara-gara aku tertembak Belanda ketika sedang bersembunyi dengan Jendral Sudirman.” Yoga tertawa terbahak-bahak lagi. “Vi, Vi, kamu lupa apa? Lapangan yang kita pakai ini kan memang tempat bersejarah karena dulu dijadikan pusat serangan besar-besaran ketika ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.” Vian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Antara percaya dan tidak dengan mesin waktu yang barusan dia alami. *** 23

Rumah Coklat Hampir setiap orang suka dengan coklat. Selain karena rasanya yang manis, coklat juga dipercaya mampu meningkatkan hormon cinta dalam diri seseorang sehingga dipercaya dapat menyembuhkan hati yang sedih. Tak terkecuali empat sahabat ini. Kariem, Bivi, Adel dan Ricky menjadi dekat gara-gara coklat. Suatu hari Kariem mengusulkan kepada ketiga temannya untuk berjalan-jalan ke kebun coklat di Wonogiri. Kebetulan kakek Kariem tinggal di area kebun coklat itu. Tentu saja ketiga temannya menyambut dengan antusias ide jalan-jalan Kariem. Siapa yang tidak suka coba, bisa melihat langsung kebun makanan favorit mereka dan melihat cara pengolahannya. Hari pertama berada di Wonogiri, Kariem mengajak ketiga temannya untuk menjelajah area kebun coklat. “Kamu sering kemari ya, Riem?” tanya Bivi yang tampak tersengal-sengal napasnya karena sudah berjalan semakin jauh ke dalam area perkebunan. “Belum. Baru pertama kali ini. Samalah dengan kalian,” jawab Kariem tenang. 24

“Tapi kamu hafal kan medan jalan keluar kita nanti?” Adel yang merasa tidak yakin dengan temannya itu berusaha mengingatkan Kariem supaya tidak berjalan semakin jauh. “Ingat-lah. Aku tandai kok jalan kita masuk tadi supaya pulangnya nggak nyasar.” “Terus kita mau kemana ni?” Ricky yang berjalan di belakang juga berusaha menandai jalan yang mereka lalui. “Kata kakek, kalau ingin melihat biji coklat disuruh naik agak ke atas, jadi ya kita jalan terus aja dulu. Nanti juga ketemu,” Kariem tetap santai menanggapi pertanyaan teman-temannya walau dia sendiri juga tidak yakin karena belum pernah melihat biji kakao yang dimaksud. “Hey, lihat, di depan ada rumah coklat. Itu pabriknya atau gimana ya?” teriak Bivi heboh. Ketiga temannya mengikuti arah tangan Bivi. Lelah mereka terobati karena akhirnya di tengah perjalanan menjumpai sebuah rumah yang menyediakan aneka makanan dari coklat. “Yuk, kita singgah sebentar di situ. Aku ingin minum susu coklat. Badanku sudah menggigil kedinginan ni.” Adel segera menarik tubuh gempal Ricky agar berjalan lebih cepat. “Sabar dikit napa, Del? Aku juga haus, tapi nggak segitunyalah. Kan kita tiap hari juga udah minum susu coklat sih?” Ricky merenggangkan otot-otot badannya ketika sampai di depan rumah coklat. “Beda, Rick. Kalau susu coklat yang biasa kita minum itu kan buatan pabrik. Nah, kalau ini asli.” “Ini bukannya juga pabrik ya?” elak Ricky. “Ya iya, tapi beda,” sahut Adel lagi. “Udah, udah. Pada ngebahas apa sih. Yang penting kita sudah sampai di rumah coklat. Saatnya kita menikmati coklat dari kebun aslinya,” Bivi melerai percakapan Adel dan Ricky kemudian mendorong teman-temannya untuk masuk ke dalam rumah coklat. 25

“Wuaaaauw, luar biasa. Di mana-mana coklat semua,” Bivi begitu antusias. Saat keempat anak tersebut sedang mengagumi isi rumah coklat, tiba-tiba muncul nenek tua dari dalam rumah sambil membawa empat cangkir coklat panas yang aromanya begitu menggoda. “Selamat datang di rumah coklat cucu-cucuku.” Nenek tersebut meletakkan nampan berisi cangkir susu coklat di atas meja bulat yang terdapat di sudut ruangan. “Selamat menikmati semua hidangan coklat yang ada di rumah ini. Kalian bebas mengambil sesuka hati kalian,” tawar nenek tua dengan ramah. Berempat mereka duduk di kursi yang sepertinya memang pas untuk empat sahabat itu. “Susunya enak,” komentar Ricky. “Iya, aku mau tambah, ah.” Bivi berdiri dari duduknya dan berjalan menuju tempat air panas untuk menyeduh susu coklat lagi. Ricky juga sudah beranjak dari duduknya untuk berkeliling mencari menu coklat yang dia inginkan. Ricky dan Bivi makan dengan lahapnya seolah-olah tidak merasakan kenyang sedikit pun. “Lho, Kariem dan Adel kenapa nggak mencicipi coklat yang nenek sediakan? Pokoknya kalau sudah sampai sini kalian harus menikmati seluruh coklat yang tersaji. Tidak boleh tidak jika tidak ingin menyesal.” Nenek tua terus memaksa Kariem dan Adel untuk memakan coklat-coklat yang tersedia. Tetapi Kariem hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa ada yang tidak beres di dalam rumah coklat tersebut. “Sudah, Biv, Rick. Berhenti makan coklatnya. Kita harus melanjutkan perjalanan lagi. Jangan terlalu kenyang biar kalian kuat berjalan,” Kariem menghentikan aksi makan teman-temannya tersebut. Semula Bivi terlihat tidak suka dengan sikap Kariem, tetapi setelah dirinya merasa tidak nyaman di bagian perut, akhirnya Bivi 26

duduk kembali. Adel membantu Bivi untuk berdiri dan berjalan keluar. Sementara Kariem menarik Ricky yang sudah tidak kuat berjalan lagi. “Hey, mau kemana kalian?” cegah nenek tua menghalangi jalan keempat sahabat itu. “Kami harus melanjutkan perjalanan kami, Nek. Kami tidak mungkin makan coklat ini semua,” jawab Kariem sopan. “Tidak boleh! Kalian tidak boleh pergi begitu saja dari rumahku!” teriak nenek tua histeris. Kariem akhirnya mendorong ketika temannya dengan kencang ke arah nenek tua yang berdiri di depan pintu rumah coklat supaya nenek tua itu terpental. Untung usaha Kariem tidak sia-sia. Begitu nenek tua tersebut oleng, keempat sahabat itu langsung berhamburan menuju pintu keluar. Terdengar jeritan yang menyerupai lolongan keras dari dalam rumah coklat. Lama-lama rumah coklat tersebut hilang dati pandangan mata Kariem dan teman-temannya. “Aneh. Kenapa rumah coklatnya lenyap?” bisik Adel takut. “Sepertinya memang rumah coklat itu nggak pernah ada, teman-teman. Kita baru saja masuk ke dunia lain dan kebetulan pas dengan kebun coklat ini,” jelas Kariem. “Seandainya kita bertahan di dalam rumah coklat itu, entah kapan kita akan kembali ke dunia nyata ini lagi,” sambung Adel. Sesampainya di rumah kakek Kariem, mereka menceritakan kejadian yang ia alami kepada kakek Kariem. Kakek Kariem mengatakan bahwa sebenarnya itu adalah jebakan dari dunia lain agar anak-anak tersebut tidak kembali lagi ke kehidupan nyata. Mereka berempat bergidik ngeri setelah mendengar penjelasan kakek Kariem. *** 27

Cermin Ajaib Kana meletakkan tasnya begitu saja di kursi ruang tamu. Tak dihiraukannya teguran Bi Ima yang membukakan pintu rumah untuk Kana. “Non Kana mau bibi buatkan minum? Sepertinya Non suntuk sekali.” Bi Ima mendekati Kana untuk mengambil tasnya dan dibawa ke kamar Kana. “Nggak usah, Bi. Kana lagi kesal aja kok,” jawab Kana malas. “Kesal kenapa?” tanya Bi Ima kepo sambil duduk di kursi seberang Kana. “Kesal, Bi. Kesal sama temen-temen Kana yang rese’. Masa’ Kana dipanggil ‘bad girl’. Yang bener aja lo. Seinget Kana nggak ada tu masalah sama mereka-mereka,” dengan kesal Kana menceritakan masalahnya pada Bi Ima. “Udah, Non. Yang begitu jangan ditanggapi. Bibi yakin mereka iri pada Non sehingga mereka berusaha buat Non jengkel dan nggak fokus lagi dengan prestasi Non,” nasihat Bi Ima. “Iya, Bi. Aku juga paham. Tapi masalahnya aku sekolah kan nggak cuma untuk cari ilmu, tapi juga cari teman. Lha, kalau di sekolah teman-teman menjauh dariku kalau ada apa-apa aku cerita ke siapa?” Kana mulai menangis pelan. 28

“Sabar, Non. Mungkin besok Non Kana bisa ke guru BK untuk menceritakan masalah Non ini.” Bi Ima mencoba memberi saran anak majikannya yang sudah diasuhnya sejak lahir itu. “Oiya Non, hari ini kata Ibu ada toko mebel yang akan mengantar cermin untuk kamar Non. Jadi mulai besok Non kalau dandan nggak perlu ke kamar Ibu lagi untuk cari cermin yang besar.” Bi Ima berdiri untuk menuju kamar Kana. “Asyik! Beneran ya, Bi? Waaaah, Ibu tahu aja kalau anaknya butuh cermin yang gede.” Kana seketika tersenyum lebar. “Jadi ini mau ditaruh mana cerminnya, Bu? Sekalian saya pasangkan karena berat,” kata pengantar cermin dari toko mebel langganan Ibu Kana. “Di kamar Non Kana, Mas. Mari bibi antar ke atas,” jawab Bi Ima. “Non, ini cerminnya mau dipasang, Non Kana tidur kah?” Bi Ima mengetuk pintu kamar Kana. “Nggak, Bi. Masuk aja. Kana lagi rebahan kok.” “Waaaah, indah sekali cerminnya.” Kana tampak kagum melihat cermin besar setinggi tubuhnya yang dibawa oleh pengantar cermin tersebut. Cermin itu dibingkai ukiran kayu Jepara yang bermotif bunga matahari. “Iya, Mbak. Ibu Mbak pintar memilihnya. Cermin ini paling indah dan paling mahal di toko kami. Kebanyakan orang tertarik untuk membeli tapi urung setelah tahu harganya. Jadi cermin ini sudah lumayan lama di toko kami.” Kana mengangguk-angguk mendengar penjelasan pengantar cermin tersebut. Ketika cermin sudah selesai dipasang dan Kana kembali lagi sendiri di kamar, ia mendekat ke arah cermin tersebut. Tampak di cermin bayangan tubuhnya yang cantik dengan rambut sebahu dan senyum yang berlesung pipit itu. Lama-lama Kana kaget karena bayangan dirinya berubah menjadi bayangan gadis lain. Kana mundur selangkah. Kembali ia melihat bayangan dirinya pada cermin tersebut. Masih sama. Semula memang bayangan 29

dirinya yang muncul tapi setelah beberapa detik bayangan dirinya akan berganti dengan bayangan gadis lain. “Astaga, ini cermin apa?” batin Kana. “Hai, Kana. Kenapa bengong?” Gadis yang berada di dalam cermin menyapa dan menggerak-gerakkan tangannya di depan Kana yang sejak tadi tak berkedip memandangnya. “Hai,” balas Kana gugup. “Jangan kaget, Kana. Kenalkan aku Riri.” “Riri? Riri siapa? Dari mana kamu tahu namaku?” “Tentu saja aku tahu namamu karena aku sejak tadi mendengarkan pembantu di rumah ini meneriakkan nama Non Kana. Aku yakin itu kamu,” jelas Riri tersenyum. “Kamu ada di rumahku sejak tadi?” “Hahahaha, iya, Kana. Kan aku di dalam cermin. Sudah pasti aku ada di rumahmu sejak cermin ini diantar kemari, bukan?” “Bagaimana kamu bisa ada di dalam cermin ini?” tanya Kana. “Ceritanya panjang, Kana. Tapi sebelumnya, mau kan kalau kamu menjadi temanku?” Riri balik bertanya pada Kana. Kana mengiyakan dengan anggukan kepala dan senyum manisnya. “Mau banget, Riri. Aku senang ada yang menemaniku di kamar setiap aku ada di rumah.” “Makasih, Kana.” “Jadi, gimana ceritanya kamu bisa ada di dalam cermin indah ini?” “Lima tahun yang lalu aku bermain di hutan belakang rumah dengan teman-temanku. Ketika aku bersandar pada salah satu pohon jati, tahu-tahu aku masuk ke dalam pohon itu dan tidak bisa keluar lagi.” “Kamu menghilang begitu saja?” pekik Kana tak percaya. 30

“Begitulah. Dua tahun kemudian sebuah perusahaan menebang beberapa pohon jati tua. Salah satunya yang aku tempati itu. Terus aku dibawa ke pabrik dan diubah jadi bingkai kaca ini.” “Kamu nggak sedih, Ri?” “Sedihlah, Kana. Aku udah pindah-pindah ke beberapa tempat sampai akhirnya aku sampai di rumahmu dan kamu menerimaku sebagai teman.” “Maksud kamu, setiap pindah tempat kamu ditolak, gitu?” “Iya, hampir semua orang yang membeli cermin ini dari toko keesokan harinya langsung mengembalikan karena mereka takut cerminnya berhantu.” “Hahahahaha.” Kana terbahak-bahak mendengar kisah Riri. “Kok kamu ketawa sih, Kana?” “Gimana nggak ketawa coba, mungkin orang-orang itu belum mendengar kisahmu, jadi mereka berpikir jika kamu adalah hantu cermin.” “Nggak tahu juga, Kana. Tapi sekarang aku senang karena aku menemukan teman sepertimu walau aku hanya teman dalam bayangan.” “Aku juga senang, Riri. Dengan hadirmu aku merasa nggak sendiri lagi. Kamu tahu kan kalau teman-temanku menjulukiku ‘bad girl’ hanya karena aku nggak disukai oleh mereka.” “Sabar, Kana. Suatu saat kalau mereka sudah mengenalmu secara dekat, pasti mereka tidak akan bersikap seperti itu lagi. Kamu teman yang menyenangkan kok,” kata Riri menyemangati Kana. Kini Kana mempunyai sahabat baru. Sahabat yang sangat dekat dengan dirinya, walaupun sahabatnya itu ada di dalam cermin. Bagi Kana cermin pemberian ibunya adalah cermin ajaib. Cermin yang menemukan dirinya dengan sahabat baru. Kana tak merasa sendiri dan sedih lagi. Setiap ada masalah Kana selalu menceritakannya pada Riri setelah ia pulang sekolah. Dalam setiap doanya Kana berharap suatu hari nanti Riri dapat berubah menjadi manusia lagi dan bermain dengan Kana. 31

Dihantui Virus Pagi ini aku berangkat sekolah tidak seperti biasanya. Masker dan face shield melekat di mukaku. Kata ibu ini supaya aman dari bahaya virus. Aku masuk mobil dan duduk di samping ayah yang siap mengantarkanku sampai di sekolah. “Ingat, Sashi. Sampai di sekolah jangan menyentuh benda apa pun yang sering disentuh teman-temanmu. Usahakan selalu mencuci tangan setelah memegang benda di tempat umum,” Ayah mengingatkanku sambil menyalakan mesin mobil. Perjalanan menuju ke sekolah sungguh sepi. Jalan tidak seramai biasanya. Tidak banyak orang berjalan kaki, menunggu di halte bus atau bahkan naik sepeda motor berboncengan. “Sampai kapan kondisi seperti ini, ayah?” tanyaku sambil menoleh ke arah ayah yang fokus menyetir. “Entahlah, kita hanya bisa berdoa semoga kondisi segera normal kembali.” Aku terdiam menatap jalanan dari kaca jendela mobil. Benar-benar aneh situasinya. Orang seolah terburu-buru berada di luar rumah. Semua memakai tutup muka dan masker sepertiku. 32

“Sudah sampai Sashi. Selamat belajar ya. Tunggu ayah datang menjemputmu. Jangan pulang naik kendaraan umum.” Aku mencium punggung tangan ayah dan keluar dari dalam mobil. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan teman-temanku setelah sekian lama kami harus belajar dari rumah karena pandemi ini. “Hei, Luna, apa kabar?” Aku bermaksud menghambur ke arah Luna untuk memeluknya. Tapi Luna langsung berteriak,” Jangan ada kontak fisik, Sashi. Kita harus jaga jarak walau kamu adalah sahabatku,” Luna berteriak sambil mundur beberapa langkah setiap aku berjalan mendekatinya. “Ups, maaf, Luna. Aku lupa.” Aku menutup mulut menyadari kealpaanku akan pesan ayah tadi. “Nggak apa-apa, Sashi. Aku maklum kok. Aku juga kangen denganmu tapi kondisi belum memungkinkan kita untuk terlalu dekat jika kita ingin memutus mata rantai penyebaran virus ini.” “Aku kangen dengan kondisi seperti dulu. Ngomong-ngomong apa kabar teman sekelas kita?” Aku melongokkan kepala ke dalam kelas. “Hari ini kita hanya berdua belas yang berangkat, Sashi.” Luna menjelaskan. “Lho, yang lain kemana? Bukankah teman kita ada 30 orang?” “Delapan orang sedang dirawat di rumah sakit, lima orang tidak diizinkan berangkat sekolah dan lima orang memutuskan untuk pindah sekolah.” “Haaaaah!” Aku terkejut mendengar penjelasan Luna. “Aku kok baru tahu sekarang ya?” batinku miris. “Apa ini gara-gara virus itu?” aku balik bertanya pada Luna. “Bisa jadi, Sashi. Kita nggak ada yang tahu perkembangan setiap harinya. Kita hanya bisa mencegah supaya tidak terkena virus tersebut.” Keadaan ini benar-benar membuat semua orang berada dalam kondisi ketakutan. Satu sama lain curiga kalau-kalau ada yang menjadi pembawa tapi tidak menunjukkan gejala sedikit pun. 33

Aku masuk ke dalam kelasku dan memilih duduk di pojok belakang sendirian. Beberapa teman juga sudah memutuskan untuk duduk sendiri-sendiri dan saling jaga jarak. Guru yang menyampaikan materi juga selalu mengingatkan kita untuk tetap menjaga kondisi tubuh. “Yakin ni kamu nggak mau ikut dengan kami, Shi?” Luna menawarkan sekali lagi padaku tentang rencananya jalan-jalan ke mall setelah pulang sekolah. “Nggak, Lun. Hari ini ayah janji akan menjemputku. Bukannya kita harus jaga jarak ya, nggak boleh kumpul dengan orang banyak dulu? Kok malah kalian mau ke mall sih?” “Kan kita hanya empat jam di sekolah, Shi. Waktu kita pulang nanti mall juga masih sepi. Jadi amanlah kalau kita mau jalan ke sana,” Bertha menjelaskan. “Gimana? Mau gabung nggak?” Imas bertanya sambil menggerak-gerakkan alis matanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi tanda menolak ajakan teman-temannya. “Di mall lagi banyak promo lho, Shi. Kamu nggak pengen cari aksesoris baru-baru ni?” bujuk Luna sekali lagi. Iya sih, sejak pandemi sampai sekarang aku memang belum pernah keluar rumah untuk jalan-jalan. Ayah dan ibu selalu memesan semua kebutuhan lewat online. Jadi aku juga kangen jalan-jalan. Tapi kalau aku ikut jalan-jalan dengan mereka, nanti ayah bagaimana ketika menjemput dan aku tidak ada di sekolah. “Shi, jangan bengong donk. Jadi ikut jalan nggak? Cuma sebentar kok.” Imas mengibaskan tangannya di depan mataku. “Emmmm, baiklah, aku ikut. Tapi sebentar aja ya.” Akhirnya aku menerima ajakan teman-temanku untuk jalan usai pulang sekolah. “Nah gitu, dong.” Luna tersenyum senang. Turun dari BRT kami tinggal menyeberang jalan dan masuk ke salah satu mall terbesar di kotaku. Benar kata Bertha tadi. Walaupun 34

sudah siang mall masih sepi. Jadi semoga aman-aman saja jalan di tempat umum ini. “Maaf Mbak-mbak cantik, silakan cuci tangan terlebih dahulu sebelum masuk mall, ya.” Security mall mengingatkan kami yang langsung selonong berjalan menuju pintu masuk melewati begitu saja tempat cuci tangan yang disediakan pihak mall. “Silakan baris agak jauh untuk diperiksa suhu tubuhnya, Mbak,” masih security yang sama yang mengingatkan kami. “36,5. Silakan masuk.” “35,5.Silakan masuk.” “36,4. Silakan masuk.” “38,5. Wuaduh, Mbak nggak kami izinkan untuk masuk. Suhu tubuh Mbak di atas 37,5 C.” Security mall itu menunjukkan angka yang tertera di termogan yang dipegangnya. “Nggak mungkin, Pak. Saya sehat kok. Badan saya juga nggak panas. Silakan Bapak pegang kalau nggak percaya.” Aku meraba dahiku untuk memegangnya. Dan memang nggak panas. Jadi nggak mungkin kalau suhu badanku lebih dari 37,5. “Coba saya ulang ya, Mbak. Maaf kalau saya cek lagi.” Security itu tampak meng-on-kan kembali termogan-nya. Untung belum ada orang yang akan masuk mall kecuali kami sehingga security masih melayani kami dengan baik. Ketiga temanku juga tampak tegang ketika tahu aku masih harus menunggu di luar. “38,6, Mbak. Jadi menurut saya termogan ini tidak salah. Memang Mbak yang suhu badannya sedang tinggi. Sekali lagi maaf, Mbak nggak bisa masuk ke dalam mall.” “Tapi teman saya sehat, Pak.” Bertha tahu-tahu sudah ada di dekat kami dan coba meyakinkan security mall. “Saya yang jamin kalau nggak akan kenapa-kenapa dan ada apa-apa dengan teman saya ini,” Luna juga ikut meyakinkan. “Gimana ya, Mbak. Saya nggak berani memutuskan. Takut salah. Coba saya panggilkan manager mall saja ya.” 35

“Ada apa, Bim?” Tiba-tiba seorang bapak dengan pakaian rapi hadir di tengah mereka. “Oh, kebetulan Bapak lewat. Ini, Pak, salah satu pengunjung suhu badannya di atas 37,5C tapi tetap ingin masuk mall. Teman- temannya menjamin jika dia sehat.” “Sebaiknya Mbak ikut rapid test saja supaya lebih jelas, Mbak sehat atau tidak. Kita tidak tahu dan tidak bisa percaya begitu saja jika tidak ada buktinya,” Jelas bapak yang ternyata manajer mall tersebut. “Nggak, Pak. Saya nggak mau dirapid test. Lebih baik saya pulang saja,” jawabku menyesal karena melanggar pesan ayah. “Tapi Mbak harus dirapid test karena sudah sampai mall dan suhu badan Mbak tinggi. Saya tidak mau karyawan saya yang sudah kontak dengan Mbak kenapa-napa.” Bapak itu memaksaku lagi. “Nggak, Pak!” tegasku sekali lagi. “Harus, Mbak.” “Nggaaaaaaak!” teriakku. “Sashi! Kamu kenapa teriak-teriak nggak jelas begitu? Sudah selesai mengerjakan tugas?” Bu Ema guru matematika menegur Sashi yang tersadar dari lamunannya. “Huft, aku kira beneran. Maaf, Bu. Saya melamun.” “Cuci muka sana.” Bu Ema mengizinkanku keluar kelas. Aku tersenyum menyadari lamunanku tadi. Gara-gara virus semua orang jadi paranoid deh, batinku. *** 36

Bukan Patung Biasa Aku ingin mengucapkan sesuatu tapi mendadak lidahku kelu. Mulutku seperti terkunci. Tanganku pun tak dapat digerakkan untuk sekedar menyentuh mulutku. Ya, Tuhan, ini kenapa? Badanku mendadak kaku seperti ini? Baju yang kukenakan indah sekali. Ini baju pesta seperti yang kuimpikan beberapa hari kemarin. Tapi untuk apa aku punya baju ini kalau akhirnya badanku menjadi kaku begini? Kulirik sosok di sebelah kanan dan kiriku. Mereka juga sama sepertiku. Mengenakan baju yang sangat indah. Pas dengan wajah cantik mereka. Coba kulihat yang kupegang di tangan kananku yang juga kaku ini. Tas branded. Olala, benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan bisa memiliki baju dan tas semahal ini. “Hey, lihat, cantik banget, ya, baju yang dipakai patung tengah itu? Pas banget dengan bentuk badan dan tingginya. Kira-kira kalau aku yang pakai akan seindah itu nggak ya?” tanya seorang gadis yang melintas di depanku kepada temannya yang juga menatapku dengan penuh pesona. “Indahlah. Kan kamu juga cantik seperti patung itu,” balas temannya. 37

Aku melotot ke arah mereka. Patung? Enak saja mengatakan aku patung. Aku manusia, sama seperti kalian. Cuma saat ini aja badanku tiba-tiba kaku begini. “Lihat ke dalam yuk. Aku tertarik ingin mencobanya,” rayu gadis itu pada temannya. Kulihat mereka membuka pintu butik tempatku berdiri ini. “Ada yang bisa saya bantu, Kak.” Terdengar di belakangku suara pramuniaga yang merdu menyambut dua gadis tadi. “Emmm, saya boleh nyoba baju yang ada di patung itu?” Tunjuk gadis yang sama. “Boleh, Kak. Kami menyediakan tiga warna untuk tiga ukuran yang berbeda. Kakak menggunakan ukuran apa biar saya ambilkan.” “M. Ya, sepertinya M deh.” “Kalau yang M ada di patung itu, sebentar ya saya lepas dulu.” Pramuniaga itu kemudian mengangkat badanku dan merebahkannya di sofa butik. Eh, mau apa ni? Yang bener saja, bajuku akan dilepas seenak sendiri di tempat umum begini. Aku ingin memberontak, tapi apa daya, menggerakkan tangan saja susah apalagi mengucapkan kalimat penolakan. Jelas tidak mungkin. “Silakan, Kak. Semoga cocok, ya. Ini baju model terbaru keluaran butik kami yang dijamin tidak akan ada yang menyamai.” Pramuniaga masih mempromosikan baju yang berhasil dilepas dari badanku pada dua gadis yang memandang baju yang tadi kukenakan dengan takjub. Tak berapa lama pramuniaga memasangkan baju dengan model yang sama ke badanku lagi. Agak longgar. Aku merasa tidak nyaman di bagian pinggang. Tapi pramuniaga itu pintar, bagian yang longgar diberi jarum pentul pada bagian belakang sehingga jika tampak depan tetap indah dan rapi. Aku berdiri lagi di tempat semula dengan tampilan yang beda. Lebih ceria kalau menurutku. Sedangkan baju yang pertama tadi membuatku terkesan lebih anggun. 38

“Gimana, Kak? Tertarik dengan bajunya?” Pramuniaga menyambut gadis cantik tadi keluar dari kamar pas. “Saya coba yang dipasang di patung barusan sama Mbak aja deh. Yang ukuran M ini ternyata terlalu mepet kukenakan. Nggak begitu nyaman.” “Baik, Kak. Saya ambilkan dulu, ya.” Lagi-lagi badanku diangkat oleh pramuniaga itu. Iiiiiih, nggak banget deh. Angkat-angkat badan orang seenak sendiri. “Silakan, Kak dicoba ulang. Semoga yang ini pas. Warnanya cerah sehingga membuat kakak semakin terpancar kecantikannya jika memakai baju ini.” Gadis itu tersenyum tersipu mendapat pujian dari pramuniaganya. Aku memakai bajuku yang semula. Tu kan, kalau memang rezekiku tidak bakal ke mana. Aku tetap mendapatkan baju yang kuinginkan, yang pas di badanku dan terlihat cantik ketika memakainya. “Menurut Mbak gimana?” Gadis itu keluar dari kamar pas untuk meminta pertimbangan pada pramuniaga butik. “Cantik, Mbak. Nggak terlihat kesempitan atau longgar ketika Mbak mencoba ukuran L ini.” “Kamu cantik banget, Kiara,” puji temannya tulus ketika melihat gadis itu bergaya mondar-mandir di depan cermin mengenakan baju yang dipilihnya. “Ternyata badanku nggak seramping patung itu, Bi,” jawabnya sambil tertawa. “Yaelah, Ki. Mana ada sih cewek dengan ukuran badan proporsional kalau dia bukan seorang model yang tahu banget bagaimana cara menjaga postur tubuhnya agar tetap ideal.” “Iya, Bi. Aku sadar kok.” “Jadi mau diambil, Kak?” Pramuniaga memutus percakapan dua gadis yang tiba-tiba membuat pipiku merona merah. Aku dibilang punya badan yang proporsional. Aku malah baru sadar. Padahal aku bukan seorang model. Aku cuma anak sekolah yang banyak 39

menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dibandingkan merawat badan. “Saya ganti baju dulu, ya, Mbak. Setelah itu saya langsung ke kasir untuk membayar baju ini.” Aku meraba kedua pipiku. Kugerakkan bola mataku ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Kuayunkan kaki kananku. Kuulang lagi dengan melakukan gerakan-gerakan lain. Badanku sudah normal lagi. Aku tersenyum senang. “Yess!” tanpa sadar aku berteriak di dalam butik tersebut. “Mbak, bajunya sudah di kasir. Silakan jika akan melakukan pembayaran.” Pramuniaga tiba-tiba menyadarkanku. Rupanya aku melamun ketika menunggu pramuniaga selesai membereskan baju yang usai kucoba. Aku benar-benar sedang berada di butik untuk membeli baju yang akan kukenakan di pesta pernikahan kakakku. Tapi aku tidak berubah wujud menjadi patung. Rasanya bersyukur sekali tidak mengalami kejadian seperti lamunanku tadi. *** 40

Dunia Permen Rahma adalah anak yang baik dan patuh pada orang tuanya. Rahma tinggal di sebuah desa yang berbatasan dengan hutan dan sawah yang hijau. Setiap hari, sepulang sekolah Rahma selalu membantu orang tuanya yang bekerja di sawah. “Ma, antar makan siang ayahmu, ya. Jangan lupa kamu juga sekalian makan menemani ayah. Ibu akan menyusul setelah selesai mengangkat jemuran,” ibu Rahma berpesan pada anaknya yang sudah siap menenteng rantang makan siang ayahnya. “Rahma berangkat ya, Bu. Nanti Rahma sekalian mengerjakan tugas di sana,” Rahma pamit pada ibunya dan mulai berjalan menuju pematang sawah milik warga kampung yang akan membawanya menuju sawah ayahnya. Ya, Rahma memang suka lewat jalan pintas di tengah-tengah sawah daripada jalan memutar. “Mo ke mana, Ma siang-siang gini?” sapa eyang Tomo yang sedang beristirahat di gubuk sawahnya. “Ini, mengantar makan untuk ayah. Eyang sudah makan?” Yang disapa eyang Tomo pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. 41

Rahma terketuk hatinya mengetahui eyang Tomo yang tinggal tak jauh dari rumahnya itu belum makan siang padahal sudah seharian bekerja di sawah. Rahma kemudian berjalan menghampiri gubuk eyang Tomo. “Eyang makan bekalku aja ya. Daripada eyang nggak makan siang ini nanti eyang nggak kuat lagi melanjutkan pekerjaan.” Setelah meninggalkan rantang makanan di hadapan eyang Tomo, Rahma pamit untuk menuju sawah ayahnya. “Beruntungnya orang tua yang memiliki anak sepertimu, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungi dan mengabulkan doamu,” batin eyang Tomo sambil menyantap hidangan yang ditinggalkan Rahma. “Lho, Rahma sudah makan? Datang-datang kok langsung membuka buku?” Ayah Rahma duduk di sebelah anaknya yang sudah sibuk menulis. “Belum, Yah. Nanti Rahma makan di rumah saja. Bekal Rahma tadi Rahma berikan ke eyang Tomo. Kasihan, Yah. Sudah istirahat di gubuk tapi nggak ada yang dinikmati untuk makan siang.” Ayah Rahma mengelus kepala putrinya dengan sayang. “Ya, sudah, Rahma makan dengan ayah. Belajar juga butuh energi. Kalau kamu telat makan nanti malah sakit. Kalau sakit nanti nggak bisa sekolah. Panjang kan buntutnya.” Rahma tertawa mendengar argumen ayahnya. Tapi dia pun akhirnya ikut makan bersama ayahnya sampai kemudian ibu datang. “Wah, kalau udah berdua gini ibu nggak dianggap, ya.” ibu mencandai ayah dan anaknya yang masih asyik menikmati bekal makan siang kiriman ibu. “Masakan ibu memang enak. Rahma makan sambil bayangin duduk di restoran karena rasanya nggak beda dengan masakan restoran,” Rahma membalas candaan ibunya. Ayah dan ibu Rahma tertawa. *** Saat akan memejamkan mata malam hari, Rahma melihat seberkas cahaya menembus jendela kamarnya. Walau cukup 42


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook