Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore MUHAMMADIYAH DAN SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (RIDWAN ALATAS)-converted

MUHAMMADIYAH DAN SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (RIDWAN ALATAS)-converted

Published by RidwanalatasSA, 2021-03-19 07:44:25

Description: MUHAMMADIYAH DAN SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (RIDWAN ALATAS)-converted

Search

Read the Text Version

SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester (UTS) MUHAMMADIYAH DAN SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN INDONESIA Disusun Oleh : RIDWAN ALATAS NIM. 22090612708 Dosen Pengampu: Dr. Drs. H. Alimuddin Hasan Palawa, M.Ag. PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM 2020 i

Kata Pengantar Semoga berkah dan keselamatan tercurah kepada kita semua. Setinggi Puji sedalam syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam perencanaan, proses atau analisis, hingga terselesaikannya penyusunan makalah ini. Pembuatan makalah ini dilakukan secara individu oleh Ridwan Alatas Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sulta Syarif Kasim Riau. Alokasi pembuatan makalah ini dirancang untuk mengetahui Sejarah Muhammadiyah dan Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam Indoneisa yang menjadi Ujian Akhis Semester semester. Perkuliahan ini di bimbing oleh dosen yang luar biasa yakni Ibu Dr. Drs. H. Alimuddin Hasan Palawa. M.Ag.Pada perkuliahan ini penulis mendapat pengalaman yang berharga atas bimbingan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, kelemahan dan keterbatasan oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan sumbangan pikiran, saran, dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan penyusun makalah selanjutnya. Mudah-mudahan dengan makalah ini dapat memenuhi harapan kita semua dan bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umunya. Penulis ii

DAFTAR ISI BAB I..........................................................................................................iv PENDAHULUAN ........................................................................................ iv A. Latar Belakang.......................................................................................iv B. Ruang Lingkup ..................................................................................... vii C. Rumusan Masalah ............................................................................... vii D. Tujuan Penulisan.................................................................................. vii BAB II...................................................................................................... 1 PEMBAHASAN ....................................................................................... 1 A. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.......................... 1 B. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran Sejarah Islam di Indonesia........................................................................................... 11 C. Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran pendidikan Indonesia. 26 BAB III................................................................................................ 44 KESIMPULAN.................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 47 iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang memberikan jaminanan kepada pemeluknya berupa kehidupan yang damai dan sejahtera baik dalam lingkup jasmani maupun rohani, individu maupun masyarakat, dan dunia maupun akhirat. Kedamaian dan kesejahteraan hidup tersebut dapat dirasakan oleh setiap Muslim, apabila mereka mampu tunduk dan patuh (menyerahkan diri) secara totalitas kepada aturan-ataruan yang telah digariskan oleh Allah Swt dalam hidup dan kehidupannya. Sehingga, semakin seseorang tunduk dan patuh terhadap ajaran- ajaran Islam, maka hidupnya semakin damai dan bahagia, begitu pula sebaliknya. Kehadiran Islam sebagai agama adalah untuk menarik manusia dari sikap ekstrim yang berlebihan dan memposisikannya pada posisi yang seimbang. Hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran Islam yang mengandung unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al- jamaaiyyah) dan maslahah individu (al-fardiyyah), dan lain-lain sebagainya (Yusuf al-Qaradhawi: 2007). Muhammadiyah dalam sejarahnya menunjukkan corak gerakannya sangat afirmatif terhadap rasionalisme. Jika Arbiyah Lubis dalam hasil penelitiannya tentang perbandingan pemikiran Abduh dan Muhammadiyah sampai pada kesimpulan bahwa Muhammadiyah lebih dekat pada paham teologi Jabariah sementara iv

Abduh lebih dekat pada rasionalisme Muktazilah, maka dalam makalah ini dijelaskan bahwa Muhammadiyah fase formatif sangat kuat pemihakannya pada pemulihan fungsi-fungsi akal. Agama dan nalar, kemudian dalam makalah ini disebut sebagai rasionalisme, mengakar kuat pada model gerakan. Ciri rasionalisme Muhammadiyah adalah terbuka, kritis, dan progresif. Sikap terbuka tersebut ditandai dengan kesediaan untuk melakukan dialog, menyerap kearifan yang lain, dan toleran terhadap kemajemukan cara pandang Islam. Kemudian rasionalisme Muhammadiyah ditandai dengan penolakan untuk terkurung dalam satu model mazhab tertentu dan senantiasa menjaga proses transformasi pengetahuan islam secara konstan. Rasionalisme menjadi pondasi Muhammadiyah dalam menggulirkan ide tajdid. Bagi Muhammadiyah, tadjid berlangsung pada dua level; purifikasi dan inovasi. Purifikasi atau pemurnian di arahkan pada upaya membebaskan praktik keberagamaan umat Islam dari benalu tauhid, membersihkan akidah umat Islam dari penyimpangan- penyimpangan. Pada level ini, Muhammadiyah lebih dekat pada―atau diinspirasi oleh―proyek pemurnian akidah yang digagas oleh ibn Taimiyah. Sedangkan tajdid pada arah inovasi, dimaksudkan sebagai penyelenggeraan nilai-nilai Islam yang bernuansa sosial kemasyarakatan. Pada level inilah Muhammadiyah mendorong semangat kemajuan Islam di antaranya melalui jalan pendidikan. Tajdid dengan makna inovasi ini, sangat dekat dengan gagasan pembaruan Islam Muhammad Abduh yang digulirkan di Mesir. Hari ini pendidikan Muhammadiyah sudah merupakan pendidikan yang berproses internalisasi budaya ke dalam diri v

seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan Muhammadiyah saat ini bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Disekolah Muhamamdiyah anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang- kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Melalui ini makalah ini penulis akan mencoba mampaparkan tentang Sejarah berdirinya Muhammadiyah baik dalam gerakan dakwah Islam, pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia sampai kepada pengaruh Muhammadiyah terhadap corak pendidikan Islam di Indonesia. vi

B. Ruang Lingkup Makalah ini berfokus pada: 1. Sejarah Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah 2. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran Sejarah Islam di Indonesia. 3. Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran pendidikan Indonesia. 4. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah di Indonesia C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Sejarah Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah? 2. Bagaimana Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran Sejarah Islam di Indonesia? 3. Sejauh mana pemgaruh Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran pendidikan Indonesia? 4. Bagaimana aspek dan ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia? D. Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan tentang Sejarah Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah. 2. Mejelaskan sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran Sejarah Islam di Indonesia. 3. Menjelaskan pengaruh Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran pendidikan Indonesia. 4. Menguraikan aspek dan ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia. vii

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dengan basis dakwah Islam, telah melampaui usia satu abad sejak tonggak pertamanya ditancapkan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. bertepatan dengan tanggal 18 Nopember1912 M. di Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah dikenal luas sebagai organisasi pembaruan pemikiran Islam dengan orientasi yang kuat pada amal usaha sosial di berbagai bidang kehidupan terkhusus pendidikan. Kenyataan sosial yang dihadapi umat Islam pada masa itu, masa kolonialisme, menjadi keprihatinan yang mendasari gagasan-gagasan gerakan Muhammadiyah. Perilaku keberagamaan yang tidak bersandar secara murni pada Alquran dan hadĩs, penetrasi keyakinan agama lain, kemiskinan, serta keterbelakangan pendidikan merupakan kenyataan yang diderita umat Islam secara umum pada masa itu. 1Oleh karena itu, menurut Munir Mulkhan, konsistensi dan komitmen Muhammadiyah untuk memperbaiki dan memajukan kondisi umat Islam sebagai pengabdian mutlak pada Tuhan dapat disebut sebagai doktrin gerakan organisasi tersebut.2 Transformasi pemikiran Islam Muhammadiyah berlangsung sebagai respons kreatif terhadap realitas zaman yang terus bergerak. 1 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 3 (Cet. 11; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 275. 2 Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 47-48. 1

Transformasi pemikiran Muhammadiyah, menurut Mulkhan, dapat diklasifikasi dalam empat fase. Pertama, fase kreatif-inklusif. Fase ini disebut sebagai fase formatif yang ditandai dengan sikap populis, mendorong advokasi sosial, budaya, dan berbagai persoalan keagamaan yang muncul pada masa itu dengan orientasi solutif sesuai kondisi dan sumber daya yang tersedia. Figur utama pada fase formatif ini adalah Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Kedua, fase ideologis. Pada fase ini yang menguat adalah gerakan pemurnian aqidah Islam yang dinilai mengalami perapuhan dan tercemar oleh takhayul, bidah dan khurafat. Menurut Mulkhan, tokoh sentral pada fase ini adalah Mas Mansur, tokoh yang dalam ungkapan Ahmad Dahlan disebut sebagai; “sapu kawat Jawa Timur”.3 Orientasi pembaruan sikap keagamaan melalui fikih di fase ini menjadi dominan dalam gerakan persyarikatan Muhammadiyah. Ketiga, fase spiritualisasi syariah. Sejak Muktamar Muhammadiyah ke- 43 di Banda Aceh tahun 1995, spiritualisasi syariah menjadi program gerakan. Program ini dimaksudkan sebagai otokritik terhadap perspektif Islam murni yang dipraktekkan hanya bersandar pada 3 “Sapu Kawat” merupakan ungkapan dalam idiom Jawa yang menunjuk pada tipologi individu yang dinilai selalu berhasil dalam gerakan ‘pembersihan’ terhadap hal-hal yang menyimpang dari Islam. Lih. Djarnawi Hadikusumo,Matahari- Matahari Muhammadiyah(Cet. I; Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h. 54. Riwayat pertemuan Ahmad Dahlan dan Mas Mansur salah satunya diceritakan oleh Junus Salam. Ketika Dahlan melakukan tabligh ke Surabaya, Dahlan menginap di hotel. Hal ini diketahui oleh Mas Mansur, dan di annggap olehnya bahwa hal tersebut kurang baik dilakukan oleh seorang kyai. Oleh karena itu, Mansur mempersilahkan Dahlan menginap di rumahnya. Terjadi percakapan panjang yang mengantar ketertarikan Mansur pada gerakan Muhammadiyah dan ditindaklanjuti dengan pendirian cabang di Surabaya. Peristiwa inilah yang menjadi konteks pernyataan Dahlan; “Sudah kita pegang sapu kawat Djawa Timur !”. Lih, Junus Salam, Riwayat Hidup K. H. A. Dahlan: Amal dan Perdjoangannja (Cet. II; Djakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1968), h. 58. 2

aspek legal syariah. Melalui program spiritualisasi syariah, gerakan dakwah Islam dijalankan dengan pendekatan kultural dan mempertimbangkan tradisi yang hidup dalam masyarakat Islam setempat. 4 Spiritualisasi syariah juga disertai langkah reformulasi metodologi ijtihâd yang lebih berwatak terbuka. Keempat, fase romantisme puritanisme kearah Wahabiyah―satu bentuk paham dalam Islam yang juga dikenal dengan sebutan al-Muwahhidũn , sesudah Muktamar di Malang tahun 2005. Hadirnya romantisme ke arah Wahabiyah disejumlah warga dan penggerak persyarikatan ini ditengarai telah cukup lama tumbuh embrionya sebelum Muktamar Malang. 5 Merujuk pada fase transformasi pemikiran Islam dalam persyarikatan Muhammadiyah sebagaimana yang dikemukakan oleh Mulkhan tersebut, menjadi cukup beralasan jika sebagian kalangan menisbahkan Muhammadiyah sebagai gerakan reformis-modernis pada periode formatif 1912-1923. Muhammadiyah periode formatif dengan tokoh sentral Ahmad Dahlan tersebut dinyatakan sudah mengusung wajah Islam yang toleran, terbuka, dan berwatak pluralis. 6 4 Abdul Munir Mulkhan, Neo Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 221-222. 5 Abdul Munir Mulkhan, Pendahuluan, dalam Robert W. Hefner, Sukidi, Munir Mulkhan eds., Api Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Multi Pressindo, 2008), h. 18-20. 6 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal (Surabaya: LPAM, 2002), h. 121. Sikap pluralis yang dimaksudkan di sini adalah penerimaan dan keterbukaan terhadap keragaman- kebinekaan sebagai desain penciptaan semesta oleh Tuhan. Keragman suku, bangsa, bahasa, dan juga agama. 3

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, era sesudah Ahmad Dahlan lebih dikenal atau dipahami oleh berbagai kalangan sebagai gerakan yang tidak ramah terhadap warisan kultural dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Asumsi atau pandangan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan yang tidak ramah terhadap warisan kultural dan budaya, apalagi menyebut Muhammadiyah sebagai ‘buldoser kebudayaan’ menurut Kuntowijoyo merupakan anggapan yang simplisistik; “penyederhanaan yang berlebih-lebihan”. 7 Ketegangan yang acapkali hadir dalam relasi antara Muhammadiyah dan warisan kultural yang masih hidup dalam masyarakat disebabkan oleh pilihan kebudayaan; menjadi esthete. 8yang statis atau mendorong etos yang dinamis. Di tengah jeratan pilihan tersebut Muhammadiyah bergerak elegan dengan sikap positif dan kreatif melintasi tegangan-tegangan perjumpaan antara Islam dan budaya. 9 Melintasi gerak sejarah satu abad, melalui Muktamar tahun 2010 di Yogyakarta, Muhammadiyah menegaskan satu pernyataan pikiran tentang Islam berkemajuan; Zhawãhir al-Afkãr al- Muhammadiyah li al-Qarni al-Sãni. Pernyataan pikiran abad kedua ini disebutkan sebagai kesyukuran yang mengandung manifesto gerakan. Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataan berikut: 7 Kuntowijoya, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal, dalamZakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan ed., Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah, 2002), h. 15. 8 Esthete merujuk pada istilah yang digunakan Sutan Takdir Ali Syahbana yang menunjuk pada orang dengan orientasi pemujaan pada keindahan, atau pemuja keindahan. 9 Kuntowijoya, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal, dalam, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, h. 15. 4

Dengan senantiasa mengharap ridho Allah swt disertai ikhtiar pembaruan yang berkesinambungan guna memasuki abad baru maka Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid mendeklarasikan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua yang mengandung manifesto gerakan pencerahan yang berkemajuan, berkeadaban, dan berkeadilan bagi kehidupan warga persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusian universal. 10 Pernyataan pikiran abad kedua Muhammadiyah ini menandai kehadiran transformasi intelektual lebih lanjut dalam merespon persoalan-persoalan umat, bangsa, dan kemanusiaan universal melalui gerakan pencerahan yang berkemajuan. Mengikuti model pembabakan Mulkhan, Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyah li al-Qarni al-Sãni dapat disebut sebagai fase kelima transformasi diskursus intelektual Muhammadiyah. Bersandar pada penjelasan Haedar Nashir, praksis Islam berkemajuan adalah gerakan pencerahan yang hadir untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang bercorak kultural dan struktural; kehampaan spiritual, konflik dan kekerasan sosial, juga kerusakan ekologi. Tujuan substansial dari gerakan pencerahan tersebut adalah membangun pranata sosial yang utama, atau dalam bahasa definitif organisasi adalah; mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. 11 Pendapat senada diajukan oleh Asep Purnama Bahtiar. Menurut Asep, Islam berkemajuan merupakan modus penerjemahan nilai-nilai Islam atau obyektifikasi ajaran Islam ke dalam bentuk agenda pencerahan, 10 PP Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah 2015), h. 16. 11 Haedar Nashir, Muhammadiyah dan Gerakan Pencerahan Untuk Indonesia Berkemajuan (Makalah disajikan pada Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Yogyakarta, 5-7 Agustus 2011), h. 3. 5

pemajuan, dan pencerdasan kehidupan umat serta kerja-kerja kemanusiaan lainnya yang inklusif. 12 Islam berkemajuan dengan watak yang inklusif diposisikan sebagai syarat perlu (necessary sufficient) bagi Muhammadiyah dalam berhadapan dengan gerak zaman dan perkembangan kemanusiaan universal. Pernyataan pikiran abad kedua Muhammadiyah memuat rumusan dan orientasi Islam berkemajuan sebagai berikut: Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia.Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterosisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.13 Pernyatan tersebut menunjukkan adanya etos Islam yang berkehendak untuk membangun satu khasanah peradaban yang berkemajuan dengan tiga pilar. 1. Etos Humanis Dengan mengajukan semangat Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia. Laki – laki dan perempuan, tanpa deskriminasi. 2. Etos liberatif. 12 Asep Purnama Bahtiar, Perkaderan Bagi Reaktualisasi Islam Yang Berkemajuan (Makalah disajikan pada Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 5-7 Agustus 2011), h. 6. 13 PP Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah, h. 22. 6

Dengan menyatakan perlawanan terhadap segala kemungkaran, destruksi yang menghancurkan kehidupan. 3. Etos transenden Dengan langkah menyamai benih-benih kebenaran substantive untuk pemuliaan’ kemanusiaan substantif’. Tiga pilar ini menimba dari transformasi dan interpretasi teks Al Qur;an yaitu dalam Surat Ali Imron ayat 110, Artinya : Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun benyakan mereka orang orang fasik. 14 Transformasi terma dari teks normatif Alquran menjadi terma social seperti humanizing, liberating, dan transcendence tersebut menunjuk pada model yang digunakan oleh kuntowijoyo, sebuah model model ilmu sosial profetik yang menganjurkan transformasi nalar Islam dari nalar teologis ke nalar sosial atau dari kesadaran normatif menuju kesadaran ilmiah. 15 Berangkat dari kesadaran transformatif tersebut, Muhammadiyah senantiasa merespon persilangan Islam dan realitas dengan ijtihad yang bersumbu pada 14 Departemen Agama RI, Al-Qur’ãn dan Terjemahnya (Depag, 2019), QS; Ãli Imrãn (3); 110. 15 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1994), h. 288. 7

penggunaan akal dengan maksimal tanpa kehilangan pijakan dari jangkar autentik sumber ajaran; Alquran dan Hadîs. Islam berkemajuan dengan watak inklusif juga merupakan upaya mengembangkan cakrawala keislaman yang cosmopolitan. Kesadaran kosmopolitan secara etis mengimplikasikan hadirnya rasa solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat dan distingsi yang bernuansa etnik, geografis, dan juga agama. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa, moral inklusif dan kosmopolitan dalam tema Islam berkemajuan mengandaikan sebuah situasi intelektual dengan dedikasi universal yang dapat menjadi jembatan bagi hajat pengembangan dialog, bukan hanya antara Islam dan Barat, melainkan pada ruang lingkup yang lebih luas yakni pengembangan dialog dengan berbagai peradaban dalam bingkai semangat ko- eksistensi. Semangat dan komitmen Islam berkemajuan digambarkan sebagai dakwah dengan orientasi pencerahan, mengembangkan sikap moderatif, meretas arah progresif, dan membumikan makna jihad tanpa kekerasan.16 Menurut Amin Abdullah, Islam berkemajuan adalah Islam yang berani berada di tengah pusaran arus globalisasi dalam praksis, globalisasi dalam praktik hidup sehari-hari dan bukan globalisasi dalam teori. 17Dalam memberi telaah terhadap idiom Islam berkemajuan, Amin Abdullah membandingkan dengan Islam progresif yang digagas Abdullah Saeed. Menurut Amin, ada tiga titik yang saling beririsan antara Islam berkemajuan Muhammadiyah dan Islam 16 PP Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah, h. 28 – 31. 17 M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam Yang Berkemajuan; Agenda Strategis Muhammadiyah di Tengah Gerakan Keagamaan Kontemporer (Makalah disajikan pada Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 5-7 Agustus 2011), h. 7. 8

progresif Abdullah Saeed. Pertama, keduanya memandang perlunya ijtihad, Abdullah Saeed menambahnya dengan terma ‘fresh’ ijtihad, sebab tidak selalu ijtihad bermakna segar dan progresif. Kedua, Islam berkemajuan dan Islam progresif sama-sama menolak untuk terjebak pada dogmatisme mazhab fiqh atau paham teologi tertentu. Ketiga, keduanya memandang perlu adanya reformasi substansial terhadap hukum Islam tradisional agar memiliki relevansi dalam menjawab persoalan kontemporer umat Islam. 18 Islam berkemajuan memerlukan cara kerja yang sistematis dan epistemik supaya tidak mengalami deviasi atau bias, juga pembajakan makna dan orientasi dalam proses pembumiannya. Cara kerja yang sistematis dan apistemik tersebut juga diperlukan untuk menghindari kesenjangan antara cita-cita ideal Islam berkemajuan sebagai konsep yang didokumentasikan dalam Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyah lial-Qarni al-Sãni dengan apa yang hadir dalam alam praksis 19. Upaya memahami ide Islam berkemajuan secara utuh berdasarkan kerangka studi Islam yang sistematis juga memerlukan penelusuran historis. Penelusuran historis ini sebagai proses mempertangung jawabkan klaim bahwa etos Islam berkemajuan telah ada sejak periode awal Muhammadiyah, periode Ahmad Dahlan, seperti yang ditulis oleh Asep Purnama Bahtiar misalnya, bahwa : Pandangan tersebut sangat kuat dan menyatu pada sosok pendiri Persyarikatan, karena Muhammadiyah yang didirikannya bukan sekedar sebuah organisasi semata, tetapi sebuah gerakan dengan idealisme Islam dan spirit kemajuan yang berpijak pada realitas. Rumusan awal statuten Muhammadiyah (1912 dan 1914) misalnya, selalu 18 M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam Yang Berkemajuan; Agenda Strategis Muhammadiyah di Tengah Gerakan Keagamaan Kontemporer, h. 11-12. 19 M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam Yang Berkemajuan; Agenda Strategis Muhammadiyah di Tengah Gerakan Keagamaan Kontemporer, h. 13-14. 9

menyandingkan penyebaran pengajaran atau dakwah Islam dengan kemajuan.20 Penelusuran historis, selain sebagai pertangung jawaban terhadap klaim bahwa doktrin Islam berkemajuan memiliki akar yang menyatu pada sosok pendiri persyarikatan, juga perlu untuk menata kesinambungan orientasi gerakan dengan paradigm yang memiliki autentisitas historis tanpa terpenjara oleh masa silam. 20 Asep Purnama Bahtiar, Perkaderan Bagi Reaktualisasi Islam Yang Berkemajuan,h. 2. 10

B. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran Sejarah Islam di Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi latar belakang Muhammadiyah hadir di Indonesia dari segi pemikiran sejarah Islam, diantaranya adalah : 1. Islam Jawa dalam ruas kontrkasi : Agama, Tradisi, dan Purifikasi. Kehadiran Islam di telatah Nusantara, melalui berbagai studi, tidak dapat diletakkan dalam satu sudut pandang teoritik. Sekurangnya, menurut Azyumardi Azra, terdapat tiga tema utama yang menjadi persilangan pendapat di kalangan para peneliti terkait kedatangan dan penyebaran Islam ke Nusantara; tempat, para pembawa, dan waktu kedatangan. Sejauh yang ditemukan Azra, dalam studinya tentang jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara, pelbagai teori dan eksplanasi terkait tiga tema utama tersebut, belum ada hasil studi yang dapat disebut lengkap dan selesai. Teori-teori yang ada terkait kedatangan Islam ke Nusantara ini kadangkala gagal menjelaskan aspek-aspek tertentu, misalnya tentang konversi agama dan hal-hal yang menentukan dalam proses Islamisasi.21 Teori yang telah cukup luas diperbincangkan oleh pelbagai pakar sejarah tentang kedatangan Islam di Nusantara, sejauh ini yang telah cukup mapan adalah teori, Gujarat (India), Persia, Arab, dan teori Cina.22 21 Azyumardi Azra, Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, h. 2. 22 Analisis luas terkait varian teori kedatangan Islam di Nusantara dapat dilihat dalam, Azyumardi Azra, Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bab. I. 11

Masyarakat jawa, membangun imajinasi religius tentang arwah yang ada pada segenap semesta. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah yang lebih inklusif, masyarakat Jawa menandai keadabannya dengan menguatkan kesadaran kosmik, kesadaran tentang spiritual being, sebagai manusia yang terhubung dengan realitas supraindrawi yang menguasai atau memengaruhi realitas dunia materi. Kesadaran ini kemudian hadir dalam berbagai ekspresi ritual. orang Jawa misalanya mengenal ritus daur hidup; metu, manten, mati. Dari sini kemudian upacara- upacara adat untuk menandai tiga peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang sakral. Ritus dan sakralitas, pada akhirnya mensyaratkan medium, dalam hal ini direpresentasikan melalui dua hal; mantra dan figur suci. Dua representasi medium tersebut dipandang sebagai magico-religious; praktik-praktik yang bersifat magis dengan nuansa spiritualitas terhadap yang transenden.23 Berikutnya, pada orang Jawa, keyakinan tentang jalin- kelindang mikrokosmos dan makrokosmos diidentifikasi sebagai dua realitas yang sama, terhubung dan saling menyerap. Untuk menjangkau kesadaran transenden tentang makrokosmos dan mikrokosmos maka perlu suatu jalan asketik, yang dalam Kejawen disebut tapabrata. Melalui tapabrata proses menuju manunggaling kawula gusti dapat ditempuh dan dicapai. Inilah dasar teosofi kejawen, yaitu emanasi dan retraksi. Dari kesadaran kosmos yang demikian, hadirlah salah satu ritual paling ekspresif dalam manusia Jawa; slametan. Mereka akan senantiasa merasa 23 Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen (Cet. I; Yogyakarta: Narasi, 2005), h. 15-20. 12

gamang jika belum menyelenggerakan slametan pada setiap daur hidup metu-manten-mati. Slametan, bagi manusia Jawa menjadai negosiasi sakral agar hidupnya jauh dari godaan dan gangguan makhluk lain. 24 Puncak keyakinan masyarakat Jawa terjelma dalam kesadaran tentang Sangkan Paraning Dumadi. Secara sederhana, konsepsi tersebut membicarakan asal-usul dan tujuan segala sesuatu yang ada di dunia. Gambaran metaforis dari konsepsi tersebut seperti perjalanan air laut yang diterpa sengatan sinar matahari, menguap, menjelma sebagai awan, luruh sebagai hujan, masuk ke berbagai dimensi dan akhirnya kembali ke laut. Metafora ini juga menyiratkan bahwa, tidak semua air laut yang disengat matahari bergerak menjadi hujan, ada yang berhenti hanya sebagai awan. 25 Keyakinan dan konsepsi manusia Jawa yang demikianlah yang menjadi konteks pertama kali kehadiran Muhammadiyah yang mengusung Islam berkemajuan. 24 Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen, h. 23-30. 25 Penjelasan lengkap tentang Sangkan Paraning Dumadi dapat dilihat pada bab IX dalam, Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen. 13

2. Masyarakat Kauman Jogyakarta Menurut Sartono Kartodidjo, Kauman atau Kajen merupakan enclave bagi para haji dan elit agama (ulama) yang ada di masyarakat kota. 26 Secara leksikal,Kauman berasal dari bahasa Arab, qaum, yang bermakna sekelompok orang atau kumpulan warga. Kauman, leksikon yang identik dengan Islam, kemudian dikenal sebagai pemukiman orang-orang yang memiliki ketaatan terhadap ajaran Islam dan secara spesifik memperoleh mandat kesultanan untuk mengurusi berbagai aktifitas dan memakmurka masjid gede,Yogyakarta.27 Dari sisi asal – usul semantik, Abdurrachman Surjomihardjo menjelaskan Kauman sebagai berikut : ……. Kauman bertalian erat dengan penyebaran agama Islam disuatu daerah. Di Kota-kota di Jawa terutama kota-kota pesisir yang masih utuh tata fisiknya, yaitu dengan alun-alun dan Kabupaten serta Masjid, pastilah terdapat Kampung Kauman dibelakang Masjid itu. ……. Masyarakat di sekitar tempat itu disebut masyarakat santri yang dalam perkembangannya saling berhubungan melalui perkawinan maupun hubungan murid guru. 28 Status sosial yang mengikat masyarakat Kauman adalah sebagai abdi dalem, status sosial yang dimandatkan oleh kesultanan yang secara spesifik bertugas mengurus perihal keagamaan. Metamorfosa ikatan sebagai abdi dalem kemudian menjelma 26 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2, h. 93. 27 Mu’arif, Benteng Muhammadiyah: Sepenggal Riwayat dan Pemikian Haji Fachroddin 1890-1929, h. 25. 28 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 (Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 36. 14

menjadi ikatan keagamaan yang berpengaruh begitu kuat dalam kohesi sosial masyarakat di Kauman. 29 Warga yang bemukim dalam area Kauman berjumlah kecil saja, menurut Darban, sehingga warga saling mengenal dengan baik. Selain sebagai abdi dalem, para pejabat kesultanan tersebut juga menegakkan kelangsungan ekonominya melalui kerajinan batik, Darban menggambarkan profesi rangkap yang kemudian dijalani oleh beberapa abdi dalem tersebut sebagai berikut: Pada mulanya, masyarakat Kauman hanya menggantungkan mata pencaharian pada jabatan abdi dalem kerajaan, dan istri mereka bekerja sambilan di rumah dengan membatik. Namun, kerajinan batik itu justru mengalami kemajuan yang pesat sehingga muncullah pengusaha batik. Warga Kauman akhirnya melakukan kerja rangkap sebagai abdi dalem dan pedagang batik. Kerja rangkap ini ternyata dapat menaikkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat Kauman. Terbukti dengan banyaknya pembangunan rumah bertingkat milik Batik Handel (yang sekarang masih bisa didapati di kampung Kauman). 30 Dengan demikian dua hal bergerak berbarengan dalam kampung Kauman, semangat Islam dan etos ekonomi. Pada perjalanan historis Muhammadiyah fase awal, para founding fathers sangat diwarnai oleh dua semangat tersebut. Ahmad Dahlan sendiri, sebagai abdi dalem dengan tugas sebagai Ketib juga dikenal sebagai pedagang batik. Hal tesebut dapat diketahui dari keterangan Salam: Seperti diketahui, K. H. Ahmad Dahlan semasa hidupnja adalah mendjadi Chatib atau lebih dikenal dengan sebutan “Ketib” (djuru Chotbah) dari masdjid Kesultanan Jogjakarta menggantikan ajahnja..... Disamping itupun beliau menerima pekerdjaan membuat batik, djuga berdagang (saudagar) batik, bahkan beliau berdagang 29 Mu’arif, Benteng Muhammadiyah: Sepenggal Riwayat dan Pemikian Haji Fachroddin 1890-1929, h. 24-25. 30 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah (Cet. II; Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), h. 23. 15

sampai ke Djawa Timur, Djawa Barat, dan tanah seberang (Medan Deli).214 Di Kauman, sebelum Muhammadiyah mendirikan sekolah klasikal yang mengadaptasi sekolah gaya Belanda, pendidikan warga berlangsung melalui pesantren kecil, atau dalam skala yang lebih terbatas melalui langgar, tempat ibadah sholat yang lebih kecil dari masjid. Pelajaran di langgar berlangsung dengan system sorogan. Orientasi pendidikan masyarakat Kauman mulai menemukan kiblat baru, sekolah umum. Pendidikan diselenggarakan sendiri oleh masyarakat Kauman dengan tetap memasukan pelajaran agama dalam kurikulum. 31 Praktik keagamaan di Kauman, menurut Darban, cenderung sinkretik. Penanda kecenderungan sinkretisme tersebut terlihat pada praktik budaya yang ada dalam masyarakat Kauman seperti, selamatan, sesajen, labuhan, dan apeman. Subur pula ajaran mistik yang eksesif. Darban mengutarakan hal tersebut sebagai berikut: ..... Kehidupan keagamaan masyarakat Kauman, sebelum tahun 1912, dapat dikatakan sinkretis dengan adanya upacara tradisional, seperti Selamatan, Sesajian, upacara Labuhan, Apeman, dan sebagainya. Di samping itu, subur pula ajaran-ajaran mistik Islam melalui kitab-kitab yang berasal dari Persia, India, dan Kejawen….. 32 31 Sekolah pertama di Kauman yang memadukan pelajaran umum dan pelajaran agama adalah Sekolah Kiyai pada tahun 1913. Sekolah ini, di tahun 1916, disahkan dan dipersamakan dengan Volksschool (sekolah desa 3 tahun) dengan nama Volksschool Muhammadiyah. Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah, h. 24. Sebagaimana dikutip Darban dari Bisjron Ahmadi Ranadirdja, Cikal Bakal Sekolah Muhammadiyah (Yogyakarta: B. P. 3 Pawiyatan Wanita Sekolah Dasar Muhammadiyah, 1980), h. 9. 32 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah, h. 26 16

Selain itu, upacara kultural-keagamaan seperti Sekaten, Rejeban, Grebeg Ied, dan Takjilan, juga hidup dalam masyarakat Kauman. Upacara kultural-keagamaan tersebut berkaitan dengan upacara kultural-keagamaan yang dilakukan kesultanan Yogyakarta. Sekaten adalah upacara keagamaan memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW setiap tanggal 5 sampai 12 Rabi al-Awwal, atau bulan maulid dalam pengetahuan kolektif masyarakat kebanyakan. Upacara keagamaan Sekaten ini telah ada sejak masa kekuasaan Demak. Rejeban model kultural dari peringatan Israk Mikrak nabi Muhammad yang dipusatkan di masjid kesultanan Yogyakarta.Grebeg Ied upacara sedekah Sultan setiap hari raya adha dan hari raya fitri yang diwujudkan dengan gunungan, yaitu pemberian makanan kepada masyarakat dengan cara rayahan (berebut). Kemudian Takjilan adalah tradisi sedekah sultan pada bulan Ramadhan untuk berbuka puasa di serambi masjid kesultanan. 33 Sebelum Muhammadiyah didirikan oleh Ahmad Dahlan, di Kuaman telah ada perkumpulan-perkumpulan yang bersifat terbatas. Darban mencatat setidaknya ada lima perkumpulan yang ada di Kauman pada kurun 1900 – 1950. 34 Muhammadiyah sendiri, pada awal pertumbuhannya, ketika Muhammadiyah hanya memperoleh izin untuk beroperasi 33 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah, h. 28-29. 34 Perkumpulan dalam catatan Darban tersebut adalah, al-Rosyad, Ci Kauman, Jogjaning Olah Raga (JOR), Markas Ulama Asykar Perang Sabilillah, dan Muhammadiyah. Lih, Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah, h. 33-34. 17

dalam lingkup residensi Yogyakarta saja. Mendorong tumbuhnya jejaring gerakan dengan berbagai nama. Berikut ini keterangan Hadjid tentang perkumpulan-perkumpulan yang menjadi jejaring gerakan : ..... dalam kota Jogjakarta sendiri, K. H. Ahmad Dahlan mengandjurkan adanja djama’ah² dan perkumpulan² untuk mengadakan pengajian dan mendjalankan kepentingan Islam menurut kemampuannja, dengan nama masing² jang mendapat bimbingan dari Muhammadijah, seperti : Ichwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Tjahaja Muda, Hambudi-Sutji, Cchajatul- Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri Ta’arifu bima kana, Wal -Fadjri, Wal-Ashri, Djam-ijatul Ummahat, Djam- ijatul Muslimin, Sjarikatul Mubtadi dll. jang kemudian achirnja banjak jang bergabung mendjadi Groep (Ranting) atau didjadikan nama Bahagian atau urusan dalam Muhammadijah. 35 Tumbuhnya perkumpulan perkumpulan tersebut menunjukkan dinamika dalam masyarakat Kauman. Masyarakat yang memiiki dinamikanya sendiri sepert Kauman, akan sensitive terhadap hal hal yang dianggap memberi konstribusi positif terhadap perkembangan masyarakat. Respon terhadap kehadiran gerakan Muhammadiyah misalnya, menunjukkan sensibiltas yang kuat dari masyarakat Kauman tersebut. Meskipun respon yang muncul tentu saja tidak seragam. Akan tetapi karena pengaruh dari kepribadian Ahmad Dahlan, juga tentu saja kejernihan argumentasi dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya, maka gelombang dukungan teus menguatkan gerakan reformasi pemikiran Islam yang diusungnya. Kasus menarik terkait kesanggupan Dahlan dalam 35 Junus Salam, Riwajat Hidup K. H. A. Dahlan: Amal dan Perdjoangannja, h. 32. 18

mengintrodusir gagasan-gagasannya reformisme Islam diutarakan oleh Ahmad Adaby Darban. Melalui wawancara yang dilakukannya pada februari 1980 terhadap kiyai Amin Bahrun di Yogyakarta, Darban memperoleh informasi tentang K. H. Ahmad Badawi, salah seorang tokoh yang menentang gagasan Ahmad Dahlan. Tokoh ini, berdasarkan informasi yang diperoleh Darban tersebut, adalah tokoh yang cukup berpengaruh dalam bidang keagamaan di Kauman. Ia seorang yang ahli dalam beberapa bidang ilmu Islam, mulai dari fikih sampai ilmu falak. Oleh karena itu, merasa kurang senang dengan gagasan pembaruan Islam yang dilontarkan Dahlan, ia lantas mengajak Dahlan melakukan debat terbuka. Debat tersebut melibatkan khalayak dari kalangan muda pengikut Badawi dan berlangsung dari selesai sholat Isya sampai jam 1.00. Badawi, berdasarkan informasi yang digali Darban dari wawancara tersebut, pada akhirnya mengakui argumentasi- argumentasi Dahlan tentang reformisme Islam dan kemudian menjadi pendukung dari gerakan tersebut. 36 Kasus lain yang dapat diajukan sebagai penerang kemampuan Dahlan dalam merumuskan pemikiran-pemikiran reformisme Islam secara sederhana dapat dikuti melalui riwayat yang disampaikan oleh Junus Salam. Kisah Salam tersebut adalah tentang seseorang yang mengejek Dahlan sebagai kiyai kafir atau kiyai Kristen, karena sekolah yang dibangunnya menggunakan perkakas model orang barat (kolonial Belanda). 1. 36 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah, h. 45-46. 19

orang tersebut datang dari Magelang ke Kauman, Yogyakarta dalam satu perjalanan. Ahmad Dahlan menjawab ejekan orang tersebut dengan bertanya. Dari Magelang ke Yogyakarta, apakah ia menggunakan kenderaan atau jalan kaki. Orang tersebut menjawab bahwa dia datang ke Kauman dengan menggunakan Kereta Api. Dengan ringan Ahmad Dahlan menjawab kepada orang tersbut bahwa dia sesungguhnya telah Kafir juga karena menggunakan kereta api yang juga merupakan perkakas milik orang kafir. Milik colonial Belanda. Dialog tersebut dalam redaksi Salam adalah sebagai berikut : ..... “Maaf Sdr. Saja ingin tanja lebih dulu, Sdr. datang dari Magelang keisni tadi berdjalankah atau memakai kereta api?” “Pakai kereta api Kijai !”, didjawab guru ngadji itu. “kalau begitu nanti bila saudara pulang, sebaiknja dengan berdjalan kaki sadja”, udjar beliau. “Mengapa ?”, tanja guru tersebut dengan keheranan. Maka Kijaipun mendjawab : “Kalau saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnja orang kafir?”. 37 Dari dua kasus ini dapat dilihat kecerdasan KH. Ahmad Dahlan melontarkan argument untuk membela reformisme Islam. Karakter yang demikian menarik banyak orang di Kauman terutama untuk terlibat dalam gerakan reformisme Islam Muhammadiyah. Toponimi sosio-kultural Kauman yang semula masih terkait dengan endapan-endapan historis yang berwatak konservatif, yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan pemikiran dan peradaban Islam. Kemudian mengalami transformasi yang konstan setelah Muhammadiyah menjadi Organisasi pembaharuan Islam yang sah bergerak dalam residensi Yogyakarta sejak 1912. 37 Junus Salam, Riwajat Hidup K. H. A. Dahlan: Amal dan Perdjoangannja, h. 59. 20

3. Politik Kolonial Paruh terakhir abad ke 18 menandai bangkrutnya suatu koperasi yang berwatak imperial : VOC. Pada tahun 1800, kekayaaan Comvagnie diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Pemilik modal beralih, akan tetapi praktik administrasi dan orientasi kekuasaan tidak berubah. Kekuasaan dan administrasi imperial dijalankan melalui tangan penguasa pribumi, atau yang disebut oleh Kartidirjo sebagai system pemerintahan tidak lansung. ..... pembesar-pembesar pribumi tetap mengurusi perkara- perkara pribumi dan agen-agen Belanda dikuasakan mengawasi tanam wajib yang hasilnya un tuk pasaran Eropa. Dengan sendirinya penyelewengan-penyelewengan yang terdapat pada sistem ini tidak dapat dihindari, mislanya: permintaan pegawai- pegawai Belanda yang melampaui batas atau pemerasan dari pembesar-pembesar pibumi. 38 Kekuasaan system tidak langsung ini mengakibatkan rakyat terhimpit dalam dua impresi, imperialais di tanah yang jauh (Belanda) di satu sisi dan perampas yang datang dari kaum sendiri (agen Kolonial Belanda) disisi lain. Upeti dan laba, dua kausa yang berkelindang menguras kemerdekaan dan hasil tanah kaum pribumi lemah. Politik konservatif kolonial belanda ditanah Hindia ini, menuai kecaman keras dari pihak liberal Belanda yang menganjurkan pemerintahan langsung dengan asas liberal dan perdagangan dengan inisiatif partikelir. Gagasan kaum liberal Belanda ini memperoleh momentum untuk dijalankan ketika Inggris menaklukkan Belanda pada tahun 1811. Momentum ini dikenal sebagai masa interregnum berlangsung dari tahun 1811 sampai 1816. Thomas Stamford Raffles, menjadi wakil kuasa yang ditunjuk Inggris untuk mengatur pemerintahan ditanah Jawa. 38 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2, h. 9. 21

Raffles menjalankan politik bernuansa Liberal, persamaan hukum dan kebebasan ekonomi. Prinsip dasar dari kebijakan politik tersebut adalah, perdagangan lebih prospektif dan menguntungkan alih-alih memungut upeti. Tanah milik kaum pribumi tidak dirampas secara paksa melainkan dibebani pajak. Rakyat dibebaskan dari beban yang semena-mena, pemerasan tidak dibolehkan Rakyat harus pula memperoleh jaminan keadilan, keamanan, dan pendidikan. Inilah aspek-aspek humaniter dalam sejarah kolonial.39 Akan tetapi upaya kolonial Inggris melalui Raffles tersebut tidak berjalan sesuai cita-cita para pengusungnya. Salah satu kendalanya datang dari dalam diri kaum pribumi sendiri. Terpampang kesenjangan antara cita ideal kaum liberal dan sosio kultural masyarakat tradisional Jawa. Pajak tanah yang dimaksudkan untuk pemerdayaan tidak mampu meruntuhkan komunalisme desa sehingga tidak lahir semangat usaha partikelir- individu. Orang-orang pribumi Jawa telah terbiasa hidup membayar upeti kepada penguasanya ketimbang membayar pajak tanah. Silang pandangan juga ada di kalangan liberal. Satu kelompok kukuh pada orientasi kebebasan ekonomi dengan meminimalisir campur tangan penguasa dalam urusan-urusan individu. Kalangan liberal lainnya lebih berhasrat pada prinsip humaniter dan memberi perlindungan yang sama bagi semua manusia. Perbedaan sudut pandang dan orientasi politik tidak lantas memisahkan mereka dalam mufakat yang sama terhadap 39 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2, h. 10. 22

posisi tanah jajahan, disediakan dan dikuras untuk negeri kolonial. 40 Kegagalan kelompok yang berusaha meliberalkan praktik kolonial, membawa kembali konservatisme politik yang semangat awalnya bersumbu pada perusahaan dagang yang posesif dan monopolis, Verenigde Oost Comvagnie, atau dalam kosa kata yang ringkas kaum jajahan menyebutnya kumpeni. Politik posesif dan monopolis ini datang dengan rupa baru, namanya Cultuurstelsel. Van den Bosch, setelah menelaah sistem pajak tanah yang mengakibatkan jatuhnya keuangan colonial dan kekacauan sosial yang memercik, ia mengajukan suatau sistem yang menurutnya dapat meraup keuntungan dengan cara yang lebih sesuai dengan tradisi dan perwajahan watak kaum pribumi. Masyarakat harus menyediakan hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah. Dua setengah dari hasil panen utama atau pemgganti berupa setengah dari waktu kerjanya selama satu tahun. Cultuurstelsel juga berarti mengembalikan posisi bagsawan feudal, dengan mkasud menggunakan pemgaruh mereka untuk menggerakkan rakyat memperbesar produksi. Perubahan arah kebijakan kolonial Belanda terhadap tanah Hindia bergerak memasuki arah baru. Kritik terhadap Cultuurstelsel semakin deras dan tajam. Dari sinilah lahir satu kelompok yang mencanangkan satu gerakan yang disebut gerakan etis. 40 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2, h. 10-12. 23

Etische politiek (politik etis) menjadi momentum lahirnya gagasan-gagasan yang mendorong kaum pribumi pada visi pembebasan dari belenggu penjajahan. Gagasan tentang jalan pembebasan dari kolonialisme di antaranya tumbuh melalui institusi pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda untuk kaum pribumi sebagai menifestasi program politik etis. Terdapat empat kategori sekolah yang disediakan oleh pemerintah Belanda, ditinjau dari bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran dan sistem yang digunakan; 1) Sekolah Eropa, sekolah yang sepenuhnya merujuk pada sistem atau model sekolah di negeri Belanda. 2) Sekolah untuk pribumi dengan bahasa pengantar tunggal, bahasa Belanda. 3) Sekolah untuk pribumi yang menggunakan dua bahasa, lokal dan Belanda. 4) Sekolah untuk pribumi yang sepenuhnya menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar. 41 Akan tetapi, pendidikan dalam nuansa politik etis tetap saja menyertakan cacat bawaan kolonialisme; diskriminasi. Tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hanya sekelompok kelas menengah (middle class) pribumi yang bernasab priyayi, atau memiliki keberuntungan ekonomi yang memadai, dapat menikmati sekolah proyek politik etis tersebut. Sisi lain, yang menjadi efek tak terduga oleh pemerintah Belanda, adalah munculnya kesadaran protes terhadap ketimpangan dan kesenjangan yang dilakukan justeru oleh kelas menengah terdidik 41 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2, h. 76. 24

yang memperoleh pendidikan di sekolah Belanda tersebut. Sekolah dan kemunculan kaum terdidik pribumi memicu tumbuhnya ruang publik (public sphere) yang menjadi kanal arah baru diskursus sebagai kaum pribumi yang harus membebaskan diri dari kolonialisme. Isu tentang kemajuan, dalam ruang waktu kolonialisme ketika itu, mengisi memori kolektif kaum terdidik pribumi. Kelompok sosial pribumi yang giat menyebarkan ide kemajuan tersebut adalah para guru. Sekurangnya ada dua alasan yang memosisikan peran utama para guru tersebut dalam pembumian gagasan kemadjoean di tanah Hindia Belanda. Pertama, guru menghimpun bagian terbesar kelompok masyarakat terdidik dari kalangan pribumi, sehingga mereka pula yang menjadi kelompok yang memiliki kesadaran organik untuk menyemaikan misi pencerahan menuju kemajuan. Kedua, keterlibatan yang penuh semangat dalam menyemai benih-benih kemajuan, menurut Latif, didorong oleh keinginan untuk membangun perspektif baru dalam memandang posisi sosial seseorang, tidak lagi semata pada asal usul genetik melainkan pada capaian intelektual dan pemenuhan hak-hak untuk mendapatkan pengetahuan. Abdul Rivai, dalam penjelasan Latif, merupakan orang yang mengajukan taksonomi ‘bangsawan pikiran’ sebagai pembanding ‘bangsawan usul’. ‘Bangsawan pikiran’ ditentukan capaiannya melalui pengetahuan, sedangkan ‘bangsawan usul’ sudah merupakan takdir genetik. 42 42 Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Jakarta: Kompas, 2009), h. 6-8. 25

Situasi politik pemerintah Belanda yang lebih terbuka, dan proyek politik etis dalam ranah pendidikan, mendorong tumbuhnya berbagai upaya kaum pribumi untuk menyelenggerakan pendidikan dengan kesanggupan sendiri. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir. Inilah ruh zaman (zeitgeist) yang mengawali kelahiran Muhammadiyah, di antara lahirnya oraganisasi-organisasi pergerakan dengan kesadaran tentang kemajuan yang harus digapai. Inilah pula zaman yang disebut sebagai zaman bergerak oleh Takashi Shiraisi. C. Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran pendidikan Indonesia. Muhammadiyah memandang sekolah yang digagasnya dengan melakukan adaptasi terhadap model sekolah kolonial ketika itu sebagai langkah pragmatis – progresif untuk menggerakkan mobilitas sosial kaum Islam pribumi. Melalui medel kurikulum sekolah yang maju dalam ilmu ilmu yang dianggap profane, Muhammadiyah kemudia bergerak mentransformasikan pemikiran Islam dengan jalan mengintegrasikan pelajaran umum dan pelajaran agama. Kurikulum yang Integratif dengan model sekolah yang serupa dengan model kolonial menuai perbagai kritik yang cukup keras pada waktu itu. Sekolah yang hendak didirikan Muhammadiyah, dibangun dalam semangat partikelir, swadaya yang menunjukkan kohesi kolektif untuk mencapai suatu kemajuan. Infrastruktur sekolah tidak harus dalam bentuk banguan yang mapan, melainkan menggunakan bagian dari rumah warga yang bersedia memberikan tempat. Tenaga pendidik yang diperbantukan didorong untuk memahami pekerjaannya sebagai bagian dari iman kepada Tuhan, dan atau apresiasi capital terhadap 26

tenaga dan keahlian yang mereka berikan untuk sekolah Muhammadiyah dapat dikelola melalui iuran swadaya orang tua murid. Bagi Muhammadiyah, kongkurensi sebagian pihak yang tidak memahami langkah progresif yang ditempuhnya melalui adopsi model sekolah umum, juga minimnya resources, tidak dapat menjadi alasan untuk surut dari visi memajukan umat. Pilihan Muhammadiyah, dengan meminjam perspektif relasi nilai dan gerakan, dapat dimaknai dalam tiga aspek. Pertama, pendidikan Muhammadiyah merupakan kanal institutif untuk pembumian (down to earth) nilai dan moral Islam berkemajuan. Berbagai praktik keagamaan yang dipandang tidak murni, terlalu sibuk dengan aksesori-aksesori yang tidak produktif dan tidak fungsional, bersumbu pada nalar umat yang konservatif. Oleh karena itu, melalui sekolah yang peduli terhadap cakrawala dan cita kemajuan, Muhammadiyah mendorong transformasi nalar umat. Sekolah, dengan sendirinya, hadir menjadi kanal transformasi nilai dan moral Islam berkemajuan. Kedua, dalam kurun kolonial, ketika terjadi disparitas antara kaum miskin dan kaum berpunya dalam ruang akses terhadap dunia pendidikan, Muhammadiyah mendorong sekolah partikelir, dengan swadaya umat menciptakan kohesi kolektif dan menanam pemerdayaan. Ketika terpampang dikotomi antara sekolah umum milik kolonial dan sekolah konvensional milik pribumi, Muhammadiyah menyodorkan suatu sintesa dua nalar sekolah tersebut. Ketiga, melalui sekolah yang didirikannya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan ditantang untuk 27

tidak goyah dalam orientasi awal yang dibangun dengan kesadaran dan pemihakannya terhadap masyarakat marjinal. 43 Sekolah Muhammadiyah menjembatani ilmu yang bersifat profan dan ilmu yang berwatak religius. Dengan demikian, murid dalam sekolah Muhammadiyah sedang menempa dirinya untuk menggengam bukan hanya pengetahuan tetapi juga merengkuh nilai dan moral, hal yang kemudian berkembang menjadi karakter. Mata pelajaran yang diajukan dalam kurikulum sekolah Muhammadiyah menggambarkan pola integratif tersebut, menautkan yang profane dan yang religius. Dalam verslag mata pelajaran yang diajukan dalam sekolah Muhammadiyah adalah sebagai berikut: Hikayat Nabi Muhammad, hikayat Nabi-Nabi, hikayat Islam, hikayat Hindia, membaca Alqurãn, membaca dan menulis bahasa lokal, bahasa melayu, dengan aksara sendiri dan aksara latin, menulis huruf Arab dan Pegon, berhitung, ilmu bumi, menggambar, dan belajar bahasa Arab tingkat dasar untuk menyelami pengetahuan Islam ditingkat lanjutan. 44 Memasukkan pelajaran sejarah tokoh pembawa risalah, para nabi-nabi, menjadi penting sebagai katalisator mengenalkan idealtype karakter yang unggul dan progresif. Yudi Latif melihat pelibatan tokoh historis dalam mengintroduksi pendidikan karakter memiliki fungsi yang penting. Melalui narasi tentang tokoh-tokoh tersebut, dalam kasus sekolah Muhammadiyah tokohnya adalah para nabi, para murid diantar untuk melihat dan menemukan teladan bagi hidupnya. 43 Sudibyo Markus dkk, Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya: Sumbangan Pemikiran, h. 48-49. 44 Verslag Perserikatan Moehammadijah tahoen ke IX, 1922, h. 132. 28

D. LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Gerakan dakwah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan secara kuantitatif menampakkan gejala yang menggembirakan. Berdasarkan laporan kerja Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 bahwa Muhammadiyah memiliki 19.951 sekolah, 102 pesantren dan 176 Perguruan Tinggi. Lembaga Pendidikan ini bagi Persyarikatan Muhammadiyah merupakan sarana dakwah untuk mengajarkan paham Islam yang berkemajuan dan sarana menanamkan nilai-nilai keunggulan (karakter) seperti; religius, moderat, cerdas, berilmu, mandiri, dan kerjasama. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Muhammadiyah apa pun bentuknya, sesuai dengan harapan dan tujuan pendiriannya, mesti bercirikan, antara lain: 1. Pendidikan Manusia yang menghidupkan dan membebaskan Gambaran dunia pendidikan kita secara umum masih jauh dari ideal. Banyak sekolah di Indonesia umumnya hanya berfokus pada target kuantitatif yang bisa diukur (quantitatively measured), seperti harus lulus mata pelajaran dengan nilai tertentu, memiliki sekian trofi juara, dan lain sebagainya. Padahal, model pendidikan seperti itu sudah dicemooh oleh pakar pendidikan sekaligus mantan pengacara Paulo Freire (2008:52) menyatakan bahwa pendidikan kita sebagai banking education alias pendidikan ala bank. Itulah pendidikan yang hanya 'menabungkan' saldo ilmu pengetahuan ke dalam kepala anak didik, yang nantinya diharapkan bisa 'mendebet' saldo pengetahuannya itu tatkala diperlukan. Dalam pendidikan ala bank ini, anak didik hanya dijejali ilmu secara satu arah dengan tujuan mendapatkan nilai-nilai kuantitatif yang dituju. Jelas metoda pendidikan semacam ini tak bisa dikatakan menghidupkan dan membebaskan manusia. 29

Pendidikan merupakan usaha untuk membebaskan manusia, pendidikan berfungsi sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa disebut dengan usaha untuk \"memanusiakan manusia\" (humanisasi). Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan sering diidentikkan dengan pembebasan, yakni pembebasan dari hal-hal yang tidak manusiawi. Jadi, untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur dehumanisasi. Dehumanisasi tersebut bukan hanya menandai seseorang yang kemanusiannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokkan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Dalam konsep Islam, pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan adalah pendidikan yang dilandasi iman dan tauhid yang murni. Manusia dan bangsa-bangsa yang dicerahi iman ialah manusia dan bangsa bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) secara spiritual (tanpa lelah dan berhenti) bisa memanfaatkan perkembangan peradaban bagi kepentingan kemanusiaan pada zamannya dan generasi sejenisnya di masa depan. Manusia dan bangsa- bangsa yang menguasai ipteks adalah manusia dan bangsa yang unggul, berkemajuan, berkeadaban dan tercerahkan yang terus memperbarui dan mengembangkan IPTEKS melalui penelitian dan pendidikan bagi kepentingan kemanusiaan. Islam yang diwahyukan, termaktub dalam Al-Quran adalah al-din yang mengajarkan prinsip-prinsip perubahan peradaban dan perkembangan ipteks bagi keadaban manusia untuk hidup bersama (taawwun) mengelola alam semesta ciptaan robbul jalal sebagaimana dituntunkan sunnah Rasul Muhammad saw. Al-Quran adalah wahyu berisi kisah jatuh bangunnya manusia dan bangsa-bangsa di dunia sepanjang sejarah sebagai pelajaran dan petunjuk hidup bersama (taawwun; tolong 30

menolong) memihak yang menderita, membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan bagi keunggulan keadaban, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh manusia dalam sebuah bangsa. Pendidikan merupakan upaya sadar penyiapan peluang bagi manusia untuk menguasai ipteks berbasis wahyu tekstual (qauliyah) dan wahyu natural (qauniyah: alam semesta), mengembangkan kemampuan pemanfaatan alam semesta, menyerap seluruh prinsip perubahan peradaban bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dalam bentangan masa depan sejarah. Pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan pencerahan kesadaran ketuhanan (makrifat iman/tauhid) yang menghidupkan, mencerdaskan dan membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia dalam kerangka kehidupan bangsa dan tata pergaulan dunia yang terus berubah dan berkembang. Adalah kewajiban setiap Muslim mengembangkan, menyebarluaskan, belajar dan mengajarkan ipteks bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia sebagai pengabdian (ibadah) kepada Allah, wujud keyakinan tauhid. Satu abad lalu KH. Ahmad Dahlan merintis pembaruan pendidikan sebagai kesatuan kelembagaan berbasis kesatuan ipteks yang telah tumbuh sebagai tradisi masyarakat pembelajar berbasis makrifat spiritual dalam bentuk tabligh (pendidikan luar sekolah), pesantren, madrasah, dan sekolah sebagai realisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar (PP. Muhammadiyah, 2010). 31

2. Nilai – nilai dasar Pendidikan Muhammadiyah Lembaga pendidikan Muhammadiyah telah eksis dan bertahan lebih dari satu abad yakni sejak 1911-2018 menurut perhitungan kalender miladiyah dan lebih dari seratus tahun menurut perhitungan hijriyah (1330- 1440 H). Fakta ini memberikan pelajaran bahwa kemampuan untuk survive lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dan kontribusinya bagi bangsa Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari model pendidikan Muhammadiyah yang didasarkan atas nilai kebenaran, pencerahan dan budi pekerti yang baik. Dalam Surat Al-Furqan ayat 44 dinyatakan bahwa: ‫ََمًَت َس ُبًأَ ّنًأَكثََرُهمًيَس َمعُو َنًأَوًيَعِقلُو َنًإِ ًنً ُه ًمًإَِّلًًَكاْلَن ٰعًِمًبَ ًلً ُه ًمًأَ َضلًً َسبِي ًل‬ Artinya: “Adakah engkau mengira bahwa kebanyakan manusia itu suka mendengarkan (pelajaran yang benar) atau suka memikir-mikir (menatapi perbuatan yang benar)? Sungguh tidak! Tak lain dan tak bukan mereka itu hanyalah seperti hewan, malah mereka itu lebih sesat lagi jalan yang ditempuhnya”. Dalam kaitan dengan ayat tersebut, menurut R. Hadjid (2005:24) KH. Ahmad Dahlan mengeluarkan fatwa “Manusia tidak menurut, tidak mempedulikan sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya. Artinya, dirinya sendiri, fikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar, tetapi ia tdak mau menurut kebenaran itu karena takut mendapatkan kesukaran, takut berat dan takut bermacam-macam yang dikhawatirkan, karena nafsu dan hartinya sudah terlanjur rusak, berpenyakitan akhlak (budi pekerti), hanyut dan tertarik oleh kebiasaan buruk”. Adapun nilai-nilai tersebut jika dirinci sebagai berikut; pertama, pendidikan Muhammadiyah diselenggarakan merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Kedua, ruhul ikhlas untuk mencari ridha Allah swt., menjadi dasar dan inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Ketiga, 32

menerapakan prinsip kerjasama (musyarokah) dengan tetap mememlihara sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang) Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Prinsip ini digambarkan dengan baik dalam Pendoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PP. Muhammadiyah, 2003:20) bahwa: “...Muhammadiyah beserta bidang sosial, pendidikan dan keagamaan yang dimilikinya haruslah menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, memupuk jiwa toleransi, menghormat kebebasan orang lain, menegakkan budi baik, menegakkan amanat dan keadilan, perlakuan yang sama, menepat janji, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan, menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang saleh dan utama...”, Sementara itu prinsip keempat, adalah selalu memelihara dan menghidup-hidupkan prinsip pembaruan (tajdid), inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Kelima, memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan (dhuafa dan mustadh’afin) dengan melakukan proses-proses kreatif sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Institusi pendidikan Muhammadiyah tidak hanya berorientasi pada pencapaian kapital atau orientasi profit semata, tetapi juga mengembang misi kemanusiaan dan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PP. Muhammadiyah, 2003:21) dinyatakan bahwa: “... menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama, tidak berprasangka buruk kepada sesama, peduli kepada orang miskin dan yatim, tidak mengambil hak orang lain, berlomba dalam kebaikan, dan hubungan-hubungan 33

sosial lainnya yang bersifat istlah menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” Keenam, memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth atau moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati (R. Hadjid, 2005:52). 3. Aspek Aspek Pendidikan Muhammadiyah a) Aspek Pembelajar Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan dapat dilihat dari aspek pembelajar (peserta didik) adalah model pendidikan yang memberikan peluang untuk berkembangnya akal sehat pada diri pembelajar serta pada waktu yang sama juga mendorong untuk tumbuhnya hati yang suci dalam diri peserta didik serta soft skill (IQ, EQ, SQ). Dengan kompetensi yang dimiliki oleh para pembelajar yang dihasilkan oleh pendidikan Muhammadiyah, maka para pembelajar tersebut pada tahap berikutnya akan memiliki kemampuan untuk hidup di masyarakat, bermanfaat bagi bangsa, negara dan ummat. Pendidikan yang condong kepada terciptanya individu yang sesuai fithrahnya, cakap dalam bidang ilmu yang dipelajarinya dan menjadi agen bagi pencapaian tujuan hidup yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. b) Aspek Pembelajaran Pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan memerlukan adanya integrasi kritis antara legitimasi normatif (Al- Quran dan Al-Hadis) dengan realitas sosial. Pendidikan Muhammadiyah tidak bisa menjadi lembaga pendidikan sebagaimana yang dikelola lembaga sosial keagamaan lainnya, tetapi pendidikan Muhammadiyah terikat dengan nilai-nilai dasar perjuangan Persyarikatan, artinya pendidikan dalam 34

Muhammadiyah harus menjamin terciptanya lulusan yang cerdas sekaligus berposisi sebagai kader organisasi demi kelangsungan organisasi Muhammadiyah. Penyelenggaraan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah perlu memperhatikan nilai manfaat sebagai upaya pemenuhan prinsip-prinsip sosio kemanusiaan (aspek sosiologis) sehingga out put lembaga pendidikan Muhammadiyah memiliki kontribusi nyata bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Muhammadiyah harus memperhatikan dimensi sosialnya akan bermanfaat bagi kemanusiaan dan memperhatikan dimensi ideologis agar dapat menjadi “industri” bagi pencerahan peradaban dan sekaligus sebagai sarana terciptanya kader persyarikatan yang mampu menafsir tanda-tanda zaman. c) Aspek Pendidik Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan dari aspek pendidik dapat dimaknai sebagai proses integrasi berbagai aspek yang terkait dengan pembelajaran seperti kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi atau komitmen ideologi persyarikatan, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian, artinya pendidik yang bekhidmat dalam lingkungan amal usaha pendidikan Muhammadiyah yang unggul dalam bidang keilmuan dan keislaman. Pendidik yang mengabdi pada lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah pendidik yang memiliki kompetensi dasar sebagai pendidik yang didukung oleh komitmennya pada ideologi persyarikatan Muhammadiyah, nilai-nilai dan pemahaman keislaman sebagaimana yang dipahami Muhammadiyah. Dengan kompetensi pendidik Muhammadiyah tersebut, maka pendidik dapat memainkan peran penting dalam upaya untuk mewujudkan pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan dan membebaskan. Kemampuan komparatif yang dimiliki para pendidik di 35

lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah menurut Djarnawi Hadikusumo (1980:5) akan menentukan arah perubahan peradaban. Para pendidik harus memiliki pengetahuan dasar mengenai pendidikan moral (akhlak) sebagai sarana untuk menanamkan karakter pembelajar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; pendidikan individu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh; dan pendidikan kemasyarakatan sebagai usaha menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. d) Aspek Persyarikatan Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan dan membebaskan dikaitkan dengan persyarikatan adalah model pendidikan yang mampu menjadi media dan instrumen bagi eksistensi dan pengembangan kegiatan sosial kemanusiaan persyarikatan Muhammadiyah. Sinergi lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai instrumen persyarikatan mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya menjadi penting untuk merespons tantangan perkembangan dan perubahan yang begitu cepat. Lembaga pendidikan perlu mengembang misi persyarikatan dengan konsisten agar lembaga pendidikan benarbenar menjadi alat persyarikatan mencapai tujuannya (Junus Salam, 2009:135). e) Aspek Manajerial Aspek manajerial manajemen yang dipakai di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, juga mengadopsi prinsip-prinsip manajemen modern. Perpaduan prinsip manajemen itu sebagai kebutuhan untuk tetap menghidupkan lembaga pendidikan Muhammadiyah, selain kebutuhan untuk merespons perubahan yang berlangsung, juga tetap menggalang prinsip-prinsip dasar pengelolaan lembaga yang dirumuskan Muhammadiyah sebagai induk lembaga pendidikan 36

Muhammadiyah. Penerapan manajemen modern seperti adanya standarisasi, profesionalisme, impersonal, reward and punishment, disatu sisi memberikan dasar yang kuat bagi eksistensi lembaga pendidikan Muhammadiyah, tapi disisi lain kalau itu dilakukan secara kaku dan rigid akan merugikan Persyarikatan Muhammadiyah, misalnya dalam recruitment di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa melupakan pertimbangan yang bersifat ideologis gerakan. Kondisi tersebut telah menyebabkan institusi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah dikelola oleh orang-orang yang profesional dibidangnya, namum kurang memiliki pemahaman yang kuat pada prinsip-prinsip nilai sebagaimana yang diperjuangkan Muhammadiyah. Memperhatikan pengalaman seabad pengelolaan institusi pendidikan yang ada dalam lingkungan Muhammadiyah kiranya perlu ditegaskan adalah urgensi adanya sikap kritis dan prudential dalam implementasi manajemen modern agar tidak bertentangan dengan ruh Persyarikatan Muhammadiyah. Implementasai manajemen modern dalam pengelolaan institusi-institusi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah harus dapat dikembalikan pada prinsip-rpinsip dasar (core of values) yang telah disepakati oleh Persyarikatan Muhammadiyah. f) Aspek Kurikulum Strategi pengembangan kurikulum berdasarkan pada orientasi kebutuhan, dimana dimensi akademik dan keorganisasian menjadi faktor krusial dan inti dalam penentuan muatan kurikulum. Pendekatan backward curriculum harus di kedepankan agar prinsip religius, ideologis dan humanistis dapat dipenuhi dalam struktur kurikulum yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah. Dalam pengembangan dan pembaruan pendidikan 37

Muhammadiyah juga diperlukan penajaman ciri pendidikan Muhammadiyah yang berbasiskan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, dengan melakukan objektivasi ke dalam nilai-nilai keunggulan (excellent) sesuai prinsip Islam dan ideologi persyarikatan sebagai pondasinya. Menurut Mohammad Ali dalam Haedar Nashir (2010:420), ada lima identitas obektif sebagai elaborasi dari Al-Islam dan Kemuhammadiyahan ke dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, yakni; 1) menumbuhkan cara berfkir tajdid/inovatif, 2) memiliki kemampuan antsipatif, 3) mengembangkan sikap pluralisik, 4) memupuk watak mandiri, dan 5) mengambil langkah moderat. Kontekstualisasi pendidikan akan berguna bagi organisasi dan peserta didik apabila proses dan muatannya dirancang sesuai dengan kebutuhan dasar keilmuan, ideologi persyarikatan dan pasar atau yang dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini untuk menjawab tantangan-tantangan modernitas. Kurikulum pendidikan Muhammadiyah harus menganut prinsip desentralisasi yang mampu memberdayakan pendidik untuk mendinamisasikan isi kurikulum secara maksimal. Integrasi kurikulum yang mengakomodasi dimensi akademik, sosial dan persyarikatan dapat dicapai dengan tidak membebani peserta didik dengan kurikulum yang tidak berlebihan. Pencapaian kurikulum pendidikan Muhammadiyah harus berorientasi pada kompetensi dan berkelanjutan. Pelaksanaan pendidikan digerakkan dengan nilai-nilai organisasi Muhammadiyah seperti keikhlasan, pengabdian dan semangat menolong serta mengutamakan kebutuhan organisasi. Manajemen pendidikan Muhammadiyah harus berbasis Manajemen Persyarikatan yaitu manajemen yang bersinergi antara tuntutan etis pendidikan dengan misi Persyarikatan. Lembaga pendidikan dapat berfungsi sebagai penyangga bagi eksistensi 38

Muhammadiyah untuk menghidupkan, mencerdaskan dan membebaskan dengan menjadikan Persyarikatan sebagai induk yang menaungi institusi pendidikan. Dalam mengelola pendidikan Muhammadiyah tetap memperhatikan kepentingan organisasi bukan semata-mata berorientasi pada stake holders. Keberadaan institusi pendidikan sebagai amal usaha ditempatkan sebagai instrumen dan wahana beramal sehingga pendidikan tidak diarahkan semata pada pencapaian kompetensi tetapi juga dalam kerangka pengkaderan Persyarikatan. g) Aspek Kemasyarakatan Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan dapat dibaca sebagai proses kegiatan pendidikan yang memihak kepada masyarakat yang mengalami kesengasaraan (dhu’afa dan mustadh’afin). Jika dipahami dalam konteks sekolah masa kini di abad ke 21, model pendidikan Muhammadiyah dari sisi in put, proses kegiatan pembelajarannya, materi yang diajarkan (kompetensi yang ingin dicapai) serta out put dari hasil pendidikan yang dijalankan haruslah memihak kepada orang-orang yang sengsara. Hasil dari akumulasi kegiatan pendidikan dari institusi yang dimiliki oleh persyarikatan Muhammadiyah dari tingkat TK, SD, Sekolah Menengah sampai Sekolah Tinggi haruslah dapat mengentaskan kehidupan masyarakat yang miskin (mengalami kesengsaraan) menjadi lebih baik kehidupannya. Dengan rumusan lain proses kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah memiliki kewajiban secara keimanan yang dinamis untuk mampu melakukan social reconstruction secara bertahap dan pada akhirnya akan mampu memberikan kontribusi melahirkan suatu social construction, masyarakat baru seperti yang dicita-ciatakan oleh Muhammadiyah 39

yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (al ijtima al madinah). Dalam koteks kehidupan modern abad ke-21 amal usaha di bidang pendidikan yang dijalankan oleh Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan misi perjuangannya untuk memihak kepada orang-orang yang nasibnya kurang baik secara ekonomi. Amal Usaha yang dimiliki oleh Muhammadiyah tidak boleh hanyut terbawa angin globalisasi yang dalam batas-batas tertentu membawa efek samping semakin merembesnya paham kehidupan yang merujuk pada paham materialisme, kapiltalisme dan liberalisme. Pendidikan Muhammadiyah sejauh mungkin harus dapat memberikan akses kepada kaum dhu’afa untuk bisa menikmati institusi-institusi yang dimiliki oleh Muhammadiyah. 4. Kekhususan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah Pendidikan Muhammadiyah memiliki visi membentuk manusia pembelajar yang bertakwa, berakhlak mulia, berkemajuan, dan unggul dalam ilmu pengetahuan, dan teknologi, sebagai perwujudan dari tajdid dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagai upaya untuk mencapai visi pendidikan Muhammadiyah, pendidikan agama Islam dituangkan ke dalam kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Kurikulum AIK memuat standar isi, standar kompetisi lulusan, standar kompetensi, kompetensi dasar maupun standar proses pendidikan. Untuk mencapai semua itu dituangkan dalam silabus. Pembelajaran AIK ini mencakup pendidikan di sekolah, pesantren dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak ada yang tidak mengajarkan butir-butir pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Lebih lanjut AIK ini merupakan tulang- 40

punggung Persyarikatan dalam rangka menyampaikan dakwah Muhammadiyah. Kaderisasi Muhammadiyah secara inhern berada dalam mata pelajaran AIK. Pendidikan AIK sebagai “benteng” moral dan ideologi peserta didik di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah. AIK juga dikembangkan agar memberikan ruang bagi peserta didik untuk berprakarsa, melatih berfikir kritis, mengembangkan kreatifitas dan kemandirian sesuai perkembangan fisik dan psikologisnya untuk membentuk peserta didik yang berkarakter. Mengembangkan budaya membaca, menulis, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam yang dipahami oleh Muhammadiyah. Untuk memenuhi standar proses pembelajaran ini, di samping ada keharusan bagi setiap pendidik untuk memberikan keteladanan, juga diperlukan ketersediaan sumber belajar bagi peserta didik, terutama buku pedoman pelajaran yang memadai. Peranan pendidikan Al-Islam dalam Muhammadiyah sangat penting, sebagimana dinyatakan oleh Majelis Dikdasmen PP. Muhammadiyah (2007:1) yakni dalam rangka membina pribadi generasi muda, agar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., berakhlak mulia, dan menjunjung tinggi rasional dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bertujuan untuk: Pertama, Menumbuh kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Al- Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt., sesuai Al-Quran dan As-Sunnah; Kedua, Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlakul Karimah, yaitu jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya Islami dalam komunitas sekolah 41

sesuai Al-Quran dan As-Sunnah; Ketiga, Menanamkan, menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran peserta didik untuk mengamalkan ajaran Islam serta mendakwahkannya secara berorganisasi sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah, melalui pemahaman gerakan, organisasi dan amal usahanya, dengan tujuan menanamkan rasa tanggung jawab ke dalam diri peserta didik, dimaksudkan agar dapat menjadi kader Muhammadiyah yang merupakan pelopor, pelangsung, penerus dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pendidikan AIK bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah berdasarkan Pedoman Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah sebagai berikut: a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; b) Beragam dan terpadu; c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; e) Menyeluruh dan berkesinambungan; f) Belajar sepanjang hayat; dan, g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengeskpresikan dirinya secara Islami, dinamis dan menyenangkan; Kedua, Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Allah swt.; b) belajar untuk memahami dan menghayati; c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; d) membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; 42

Ketiga, Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapatkan pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ketauhidan, keindividuan, kesosialan, dan moral. Keempat, Kurikulum dilaksanakan dalam suasana peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat dengan prinsip uswatun hasanah, ing ngarsa sung tulada tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberikan contoh dan teladan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di belakang memberikan daya dan kekuatan) dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Kelima, Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam terkadang menjadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang dimasyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sebagai sumber belajar, contoh dan teladan. Keenam, Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian optimal. Ketujuh, Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri, diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan. 43


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook