Penerjemah DODONG DJIWAPRADJA rUmah TanGGa YanG BahaGIa
R U M A H TA N G G A YA N G B A H AG I A
Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 28 Tahun 20 14 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang tim bul secara otom atis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujud- kan dalam bentuk nyata tanpa m engurangi pem batasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda pal- ing banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Peng- gunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggu- naan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah). (4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat miliar rupiah).
R U M A H TA N G G A YA N G B A H AG I A PENERJEMAH KE BAHASA INGGRIS MARGARET WETTLIN PENERJEMAH KE BAHASA INDONESIA DODONG DJIWAPRADJA
Ru m ah Tan gga yan g Bah agia Leo Tolstoi Judul Asli Sem ey noy e Schast’y e KPG 59 16 0 1226 Cetakan Pertam a, J uli 20 16 Sebelum nya diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka J aya Cetakan Pertam a, 1976 Cetakan Kedua, 20 0 8 Cetakan Ketiga, 20 15 Pe n e rje m ah ke bah as a In ggris Margaret Wettlin Pe n e rje m ah ke bah as a In do n e s ia Dodong Djiwapradja Perancang Sampul Teguh Tri Erdyan Deborah Amadis Mawa Penataletak Leopold Adi Surya TOLSTOI, Leo Ru m ah Tan gga yan g Bah agia J akarta: KPG (Kepustakaan Populer Gram edia), 20 16 v + 137 hlm .; 14 x 21 cm ISBN: 978-60 2-424-0 18-9 Dicetak oleh PT Gramedia, J akarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Daftar Isi v Daftar Isi 1 Bagian Pertam a 69 Bagian Kedua 136 Tentang Penulis
Bagian Pertama
1 KAMI TINGGAL MENYENDIRI selam a m usim din gin di desa. Katya, Sonya, dan aku sedang berkabung untuk ibu yang m eninggal pada m usim gugur. Katya ialah kawan lam a dalam keluarga kam i, pengam pu yang m erawat dan m engasuh kam i, dan yang seingatku, aku selalu m enyayanginya. Sonya adikku. Dem ikian m uram dan m enyedihkan m usim dingin yang kam i lewatkan di Pokrovskoye, di rum ah kam i yang tua itu. Cuaca dingin dan berangin, salju bertimbun-timbun mengatasi jendela yang m em beku ham pir seluruh waktu. Ham pir tak pernah kam i meninggalkan rumah selama musim dingin itu, apalagi pergi berkunjung. J arang orang m engunjungi kam i, dan m ereka yang datang tidaklah membuat hati kami gembira. Mereka semua berwajah kuyu dan berbicara perlahan-lahan, seolah-olah takut m em bangunkan seseorang, m ereka tak pernah tertawa, kerjanya cuma menatap saja, malah sering-sering menangis kalau mereka
4 Leo Tolstoi m elihat aku, apalagi kalau m elihat Sonya yang m asih kecil itu m engenakan baju panjang hitam . Kem atian seakan tak m au pergi dari rum ah kam i, kem urungan dan hantu kem atian gentayangan di udara. Bilik ibu sepi dan suwung. Menyeram kan m elihat pintunya yang terkunci itu bila aku m elewatinya m enuju kam ar tidurku. Tujuh belas tahun sudah usiaku pada waktu ibu meninggal dunia. Tadinya ibu m erencanakan untuk m em bawa aku pindah ke kota besar. Kehilangan ibu sungguh m enyedihkan sekali, nam un di balik itu aku pun merasa bahwa aku seorang gadis remaja, lagi cantik kata orang, sedangkan waktu kuhabiskan selama musim dingin yang kedua ini di desa dalam kesunyian. Menjelang akhir m usim dingin, kem urungan yang terbina dalam kesunyian ini serta rasa jem u yang m encekam diriku m em buat aku tak bernafsu untuk pergi ke luar dari bilikku. Piano tak pernah kubuka, buku tak pernah kujam ah. Tatkala Katya m encoba m em bujukku supaya m enyibukkan diri dengan apa saja, kujawab tak m au atau cukup kukatakan saja tak bisa, padahal dalam hati aku bertanya pada diri sendiri, Mengapa harus? Mengapa aku harus mengerjakan sesuatu pabila kubuang-buang waktu pada saat-saat yang paling baik dalam hidupku? Mengapa? Dan satu-satunya jawaban hanyalah air m ata. Orang-orang mengatakan aku tambah kurus dan pipih, tapi aku m alah tak m em pedulikannya. Apa bedanya? Siapa pula yang mau mempedulikan aku? Serasa seluruh hidupku akan kuhabiskan di desa yang terpencil ini dalam kejem uan tanpa harapan, seperti tak ada tenaga maupun kemauan untuk mengusir semua itu dari dalam diriku. Menjelang akhir m usim dingin Katya m ulai khawatir akan kesehatanku, karena itu ia memutuskan untuk m em bawa aku ke luar negeri, apa pun jadinya. Tetapi untuk itu kami perlu uang, sedangkan kami sama sekali tak tahu apa-apa tentang harta pusaka setelah ibu tiada. Tiap hari kami menunggu-
Rumah Tangga yang Bahagia 5 nunggu kedatangan pelindung kam i yang akan m enyelesaikan urusan kami. Ia datang pada bulan Maret. “Syukurlah!” seru Katya pada suatu hari ketika aku sedang gentayangan bagai bayang-bayang berjalan sekeliling rum ah, dengan pikiran yang kosong dan perasaan yang ham pa. “Sergei Mikhailich telah kem bali. Ia berm aksud m enanyakan soal kita dan m au datang m akan m alam . Usirlah segala kem urungan yang m enyelim uti dirim u itu, Masha. Apa anggapannya nanti tentang dirim u? Ia selalu sayang padam u.” Sergei Mikhailich adalah tetangga dekat keluarga kami dan sahabat ayah, m eskipun lebih m uda. Kedatan gan n ya menggirangkan kami, karena dengan demikian akan terjadi perubahan dalam rencana kami serta memungkinkan kami bisa m eninggalkan desa. Di sam ping itu aku pun m enyukai dan m enyegani orang itu. Ketika Katya m engatakan padaku supaya aku pandai m em bawa diri, benarlah dugaannya bahwa dari sekalian tem an yang ada, akulah yang sem estinya paling sungkan m uncul di depan Sergei Mikhailich dengan rom an m uka yang tak m enyedapkan. Aku pun jadi m enyayangi dia, seperti lain-lainnya yang ada di rum ah kam i, m ulai dari Katya dan Sonya, yang m enjadi anak baptisnya, hingga kusir kam i yang penghabisan. Selain itu, ia pun m endapat tem pat yang tersendiri dalam hatiku gara-gara ucapan ibu yang pernah disam paikan kepadaku sem asih aku di sam pingnya. Katanya, beliau akan senang hati seandainya laki-laki sem acam dia jadi suam iku. Rasa-rasanya aku terkejut ketika itu, malah juga tak senang, pahlawanku lain sama sekali gam barannya. Laki-laki yang kum im pikan ram ping dan lem ah lem but, berm uka pucat dan m urung. Sebaliknya Sergei Mikhailich sudah tak m uda lagi. Badannya tinggi dan kekar, lagi pula selalu riang. Sungguhpun dem ikian, apa yang dikatakan ibu itu telah m enghapus bayangan dalam angan-anganku. Enam tahun yang
6 Leo Tolstoi lalu, ketika aku berumur sebelas tahun, ia suka bermain dengan aku dan m em anggilku “si Violet kecil”. Kadang-kadang tim bul pertan yaan dalam diriku—pertan yaan yan g ham pir-ham pir m engerikan, apa dayaku kalau ia berniat m em peristriku. Sergei Mikhailich tiba sebelum m akan m alam . Katya m enam bah hidangan dengan saus bayam dan kue yang di- dinginkan. Melalui jendela kulihat dia datang berkendaraan kecil menuju rumah kami, tetapi begitu ia mengitari sudut rumah kami begitu aku lari ke ruang tengah, kupikir aku harus pura-pura tak tahu-m enahu akan kedatangannya. Akan tetapi ketika langkahnya yang berat itu terdengar di beranda m uka disertai dengan suaranya yang lem ah lem but dan pula Katya lari m enjem putnya, aku tak tahan lagi, lantas saja lari ke beranda muka. Tampak tangannya m em egang Katya sam bil berbicara dengan suaranya yang besar dan ram ah, tertawa-tawa. Melihat aku, ia berhenti dan m enatapku barang sejenak tanpa m enundukkan kepala. Caranya itu benar-benar membuat diriku kikuk dan mukaku jadi merah. “He! Bukankah itu kau?” katanya dengan lantang tanpa tedeng aling-aling, dan ia pun menghampiri aku sambil kedua belah lengannya dibuka lebar-lebar. “Wah, sudah berubah! Wah, sudah besar! Violetku sudah jadi bunga m awar!” Tanganku yang kecil itu digenggam nya dengan tangannya yang besar, lalu dengan segenap hati yang tulus dijepitnya tan gan ku kuat-kuat hin gga terasa sakit. Kusan gka ia m au m encium tanganku yang lagi cenderung ke arahnya, tetapi hanya digenggam nya sekali lagi dan pada saat itulah tatapan m atanya yang berseri-seri itu langsung bertem u dengan tatapan m ataku. Sudah enam tahun aku tidak berjum pa dengannya, ia kelihatan sudah banyak berubah, bertam bah tua dan bertam bah gelap warna kulitnya, lagi pula ia m em elihara cam bang sehingga m em buatku pangling. Tetapi, gayanya yang bersahaja, parasnya yang terbuka dan terus terang, raut m ukanya yang lebar, cerdas,
Rumah Tangga yang Bahagia 7 m atanya yang berseri-seri, senyum nya yang ram ah nyaris kekanak-kanakan, semua itu tetap tak berubah. Dalam lima menit saja ia sudah bukan seperti tamu lagi, benar-benar ia sudah seperti orang yang serum ah dengan kam i, bahkan juga dengan para pelayan. Mem ang pelayan-pelayan itulah yang kelihatan paling gem bira bertem u dengannya, sebagaim ana tam pak dari usaha m ereka untuk m enyenangkannya. Gerak-geriknya sam a sekali bukan seperti tetangga-tetangga lain yang pernah berkunjung ke rum ah sehabis ditinggalkan ibu, yakni tetangga-tetangga yang beranggapan bahwa berdiam diri dan m enangis itu perlu. Ini sebaliknya m alah, gatal m ulut dan riang, biar tak sepatah kata pun terdengar mempercakapkan hal kem atian. Sikapnya yang acuh tak acuh itu terasa janggal m ula- m ula, m alah seperti kurang sopan tam paknya, padahal dialah kawan kam i yang terdekat. Tetapi kem udian aku m enyadari bahwa sikapnya yang dem ikian itu bukanlah sikap yang tak acuh, m elainkan sikap yang betul-betul keluar dari hati yang tulus ikhlas, itulah sebabnya aku pun kem udian m erasa bersyukur. Pada malam itu kami minum teh di ruang tamu, dan seperti tatkala m asih ada ibu, Katya-lah yang m enuangnya. Sonya dan aku duduk dekat Katya. Grigory tua m em bawakan dia pipa ayah yang sudah diketem ukan, lalu dia isap pipa itu sam bil berjalan mondar-mandir seperti sediakala. “Betapa banyak perubahan yang m enyedihkan di rum ah ini,” katanya, berhenti sejenak. “Ya,” keluh Katya. Ia m enutup sam ovar dan m em andang padanya dengan m ata yang berlinang-linang. “Kupikir, engkau m asih dapat m engingat-ingat ayahm u, bukan?” katanya kepadaku. “Sedikit sekali,” kataku terus terang. “Betapa sen an g ten tun ya an daikata ia sekaran g ada di sisim u,” katanya lem ah lem but, sam bil m elirik ke atas kepalaku m en gin ga t -in ga t .
8 Leo Tolstoi “Kuingat banyak tentang ayahm u,” bicaranya m asih tetap lem ah lem but dan kulihat m atanya itu seperti bersinar-sinar lebih daripada yang sudah-sudah. “Dan Tuhan pun telah m engam bil pula ibunya,” gum am Katya, sam bil buru-buru m enutup poci dengan kain penutup dan m engeluarkan saputangan untuk m enghapus air m atanya. “Ya, perubahan yang m enyedihkan telah datang ke rum ah ini,” ulangnya, sam bil m em alingkan kepalanya. “Mari Sonya, coba perlihatkan barang m ainanm u,” tam bahnya beberapa lam a kem udian, lalu ia pun pergi m enuju kam ar duduk. Kupandang Katya, padahal m ataku sendiri basah oleh air m ata. “Baik hati betul orang ini!” seru Katya. Mem ang benar tindak-tanduknya itu telah m em berikan perasaan hangat dan rasa senang dalam diriku hingga aku merasa sim pati terhadap orang yang baik budi ini, orang yang bukan sanak bukan kadang. Sergei Mikhailich dan Sonya sedang riang gem bira berm ain di kamar duduk, kami dengar ia berteriak-teriak menghardik Sonya dengan tertawa-tawa. Kuantar teh ke ruang itu, lantas kudengar ia duduk pada piano dan m ulailah bunyi tang-ting pada gam itan piano, disentuh jari-jari Sonya yang kecil. “Marya Alexandrovna!” panggilnya, “m ari m ainkan gubahan untuk kami.” Menyenangkan caranya m enyuruhku, akrab dan penuh rasa persahabatan. Aku m engham pirinya. “Nah, m ainkan ini,” katanya sam bil m em buka Beethoven ke- punyaanku pada bagian Adagio dari Sonata Quasi Una Fantasia. “Coba perlihatkan perm ain an m u,” tam bahn ya. Kem udian ia mengambil gelas teh dan pergi ke sudut menjauhi piano. Bagaim anapun aku tak kuasa untuk m enolaknya atau untuk memulai dengan permintaan maaf bahwa aku bermain buruk. Demikianlah aku patuh saja tanpa berkata apa-apa dan bermain
Rumah Tangga yang Bahagia 9 sebisa-bisaku, walaupun takut akan dikecam, karena aku tahu dia mengerti dan menggemari musik. Adagio-ku sedang diliputi suasana perasaan yang m engingatkan pem bicaraan kam i sewaktu m inum teh, dan rasa-rasanya aku pun berm ain agak baik. Tetapi ia tidak membiarkan aku memainkan Scherzo sam pai habis. “Tidak, kau belum sam pai ke situ,” katanya sam bil m endatangiku. “Kita tidak m au m endengarkan itu, tetapi yang pertam a boleh juga. Agaknya kau m engerti m usik.” Dengan pujian sebegitu saja malah mukaku kemerah- merahan karena gembira. Hal itu merupakan pengalaman baru bagiku, dan sungguh m enyenangkan kalau orang seperti dia, yang m erupakan sahabat dan yang setaraf dengan ayahku, berkata dengan sungguh-sungguh sebagaim ana biasanya dilakukan terhadap orang yang sudah dewasa dan bukan seperti terhadap anak kecil. Katya pergi ke atas untuk m engantarkan Sonya tidur dan tinggallah kami berdua di kamar duduk. Tatkala beromong-omong denganku, dia mulai bercerita tentang ayahku. Katanya, ayah seorang yang sederhana dan m anis budi, jadi berlainan sekali dengan gam baran yang ada dalam khayalanku. Sehabis itu ia bertanya m engapa aku suka m em buang- buang waktu, buku apa saja yang kubaca dan apa pula yang m enjadi cita-citaku, kem udian diberinya aku nasihat. Sikapnya tidak lagi seperti sikap seorang tem an berm ain yang periang, yang suka m enggoda aku dan yang suka m em buatkan aku barang m ainan, m elainkan sikap orang yang sungguh-sungguh, penuh rasa kasih sayang dan lurus, sikap yang dengan tak sadar kuhargai dan kusukai. Mem ang m enyenangkan berbicara dengannya, sungguhpun aku masih saja belum bisa menghilangkan perasaan kikuk dan gugup. Kupilih setiap kata yang kuucapkan dengan hati-hati, karena ingin betul aku m engam bil hati terhadapnya. Sam pai sedem ikian dia m enyukaiku oleh karena aku anak ayahku.
10 Leo Tolstoi Selesai m enidurkan Sonya, Katya kem bali lagi ke tem pat kam i. Katya m en gadu kepadan ya perihal sem an gatku yan g lem bek, padahal perkara itu tak kuberitahukan padanya tadi. “J adi, tak sepatah kata pun dikatakan hal yang penting itu,” kata Sergei Mikhailich sam bil tersenyum serta m enggeleng- gelengkan kepala tanda m asygul. “Apa pula yang harus kukatakan?” sahutku. “Apa pun am at m enjem ukan dan ingin buru-buru lenyap.” “Celaka kalau tak tahan kesepian,” katanya. “Apa betul kau ini gadis yang biasa saja?” “Mem ang itulah aku,” kataku tertawa. “Gadis yang kolokan, barangkali, ialah gadis yang hanya cekatan kalau sedang dikagum i orang, tetapi sem angatnya akan layu dan m elem pem segera setelah tinggal sendirian. Segalanya hanya untuk ditonton dan bukan untuk dirinya sendiri.” “Anda punya pendapat yang bagus tentang diriku,” kataku, sekadar untuk berkata-kata saja. “Ya,” serunya, lalu, setelah berhenti sejenak, “Kau bukan putri ayahm u kalau tidak ada apa-apanya—dalam dirim u ada sesuatu.” Lagi-lagi sinar m atanya yang ram ah dan penuh perhatian itu merasuki hatiku hingga pikiranku jadi tak menentu karena kegir a n ga n . Barulah sekarang kuketahui bahwa di balik keriangan yang berm ain di seluruh wajahnya itu terdapat paras yang khas, yang hanya ada padanya, m ula-m ula kelihatan cerah dan tulus, tetapi berangsur-angsur semakin sungguh-sungguh dan sedih. “Tak ada m aaf buat yang suka jem u, usahakanlah supaya jangan dem ikian,” katanya. “Kau m engerti m usik, ada buku- buku dan bisa belajar. Seluruh hidupmu ada di hadapanmu, kini saatnya kau m em persiapkan diri untuk m enghadapinya, supaya takkan m enyesal kelak. Tahun depan sudah terlam bat.”
Rumah Tangga yang Bahagia 11 Ia berkata kepadaku seperti seorang ayah atau pam an saja layaknya, tapi juga aku m erasa bahwa ia pun berusaha supaya dirinya setaraf denganku. Aku m enyayangkan ucapannya yang kurang m enghargai diriku, nam un dem ikian m enyenangkan juga tatkala kuketahui bahwa akulah satu-satunya orang yang dem i kebaikan diusahakan olehnya sekuat tenaga supaya jadi lain. Malam itu, waktu selebihnya dia pergunakan untuk bercakap- cakap dengan Katya, m em bicarakan hal harta pusaka. “Nah, sam pai bertem u,” ujarnya, sam bil bangkit berdiri. Ia menghampiriku dan menggenggam tanganku. “Kapan lagi aku bisa berjum pa dengan Anda?” tanya Katya. “Pada m usim sem i,” jawabnya, sam bil tetap m em egang t a n ga n ku . “Sekarang lebih dulu aku m au pergi ke Danilovska. Aku ingin tahu keadaannya, m em bereskan apa-apa yang dapat kubereskan, sehabis itu pergi ke Moskow untuk mengurus urusanku sendiri. Tetapi kita akan banyak waktu buat bertem u pada m usim panas yang akan datang.” “Mengapa Anda hendak pergi lam a-lam a?” kataku, kuucapkan itu dengan hati yang sedih sekali. Aku m engharapkan dapat bertem u dengannya setiap hari, aku sedih dan m erasa cem as kalau-kalau kemurunganku kembali lagi. Ini bisa ketahuan dari sinar mata dan nada suaraku. “Bersibuklah dan jangan biarkan dirim u dilam un kesedihan.” Suaranya terasa dingin dan seperlunya. “Dalam m usim sem i aku akan m engujim u,” tam bahnya, sam bil m elepaskan tangan dan melengos dariku. Di beranda muka, ketika kami mengucapkan selamat jalan kepadanya, ia bergegas saja m em akai baju m antelnya tanpa sedikit pun melirik ke arahku. “Dia tak usah dem ikian bersusah payah,” pikirku. “Benarkah sangkaannya bahwa hatiku akan m enjadi senang kalau ia banyak
12 Leo Tolstoi m em perhatikan diriku? Mem ang dia orang baik, orang yang teram at baik, tetapi hanya itu saja.” Malam itu, Katya dan aku m asih belum dapat tidur berjam - jam lam anya. Kam i terus saja m engobrol, bukan tentang dia, tetapi tentang bagaimana kami akan melewatkan musim panas dan m usim dingin berikutnya. Pertanyaan yang m engerikan— ”m engapa?”—tidak akan m engharubiruku lagi. J elaslah sudah bahwa orang harus hidup sedemikian rupa agar bahagia, dan aku pun m engharapkan banyak m engenyam kebahagiaan pada m asa yang akan datang. Serasa rum ah kam i yang tua di Pokrovskoye itu tiba-tiba saja dilim pahi hayat dan cahaya.
2 MUSIM SEMI TIBA. Keresahanku yang lam a terdesak oleh keresahan yang bersum ber pada harapan tak m enentu, yang m engawang tinggi, beserta segala hasrat dan keinginan yang biasa tim bul pada m usim sem i. Aku tidak lagi seperti pada awal m usim dingin, tetapi sibuk dengan Sonya, dengan m usik dan buku-buku. Kerap aku keluar berjalan-jalan m asuk kebun, dan lama tersaruk-saruk sepanjang jalan setapak, atau duduk- duduk sendirian m erenung di atas bangku. Hanya langitlah yang tahu apa yang m enjadi lam unan dan harapanku. Kadang- kadang semalam suntuk aku duduk di dekat jendela, lebih-lebih kalau bulan sedang m em ancarkan cahayanya. Sesekali, tanpa sepengetahuan Katya, aku suka m enyelinap keluar tak berm antel dan m asuk kebun, berlari-lari m elintasi rerum putan yang kuyup oleh embun, turun menuju kolam, sekali pergilah aku ke luar ke tegalan, lain kali berjalanlah aku dari ujung ke ujung kebun, jauh di malam hari.
14 Leo Tolstoi Sulitlah bagiku mengingat kembali atau memahami mimpi- m im pi yang m engisi angan-anganku pada hari-hari itu. Apabila aku m engingatnya kem bali, ham pir-ham pir aku tak percaya bahwa mimpi-mimpi itu benar-benar m im piku, demikian asing, dem ikian jauh dari kenyataan. Pada akhir bulan Mei, Sergei Mikhailich kembali dari perjalanannya, sesuai dengan janjinya. Ia m enem ui kam i pertam a kalinya pada senja hari tatkala kam i tak sedikit pun m enduganya. Saat itu kami sedang duduk-duduk di beranda muka, minum teh. Kebun telah penuh dengan dedaunan, burung bulbul telah pindah ke sem ak belukar yang tak dipangkas, tem pat burung itu menetap sepanjang musim panas. Di sana-sini warna merah atau putih tam pak pada batang-batang bunga lilak—warna- warna kuncup-kuncupnya yang sedang m ekar. Daun-daun pohon birka di sepanjang jalan dusun jelas m em bayang ditem busi kerem angan cahaya senja. Di bawah atap beranda, udara terasa sejuk dan segar, dan sehabis itu rerum putan jadi kuyup oleh embun. Dari padang rumput, di luar kebun, terdengar suara kerja siang yang penghabisan serta lenguh lem bu yang dihalau pulang. Nikon, yang sinting itu, berjalan tergopoh-gopoh m elalui jalan setapak di depan rumah sambil membawa tong berisi air. Ia sedang m enyiram tanam an dahlia, dan air dingin yang m em ancar dari embrat membuat lingkaran-lingkaran hitam di atas tanah yang sudah dicangkul, m elingkari batang-batang tanam an dan p en ya n gga h n ya . Di beranda tem pat kam i duduk, m eja dialasi kain yang seputih salju. Di atas m eja itu ditaruh sam ovar yang terupam , m engkilap, nyam an, dan m engepulkan asap. Di atas m eja itu pun terdapat piring yang berisi krendelki dan biskuit, pula poci tem pat krim . Tangan Katya yang m ontok itu sedang gesit m engum uri cangkir. Sehabis mandi perutku terasa lapar sekali, lalu tanpa menunggu waktu minum teh kumulai saja makan roti, dicocolkan
Rumah Tangga yang Bahagia 15 pada krim dalam -dalam . Blus yang kupakai terbuat dari kain blacu dan berlengan landung. Ram butku yang m asih basah itu kuikat dengan selam pai. Katya-lah yang pertam a kali m elihat dia. “Sergei Mikhailich!” teriakn ya. “Kam i baru saja m em - percakapkan Anda.” Aku bangkit untuk pergi berdandan, tetapi dia m enahanku di pintu. “Un tuk apa berpan tas-pan tas di tem pat udik begin i?” katanya, dan tersenyum lah ia m elihat ram butku diikat selam pai. “Sam a si tua Grigory kau tak m alu, aku pun tak lebih dari dia.” Akan tetapi, m em ang lirikannya terhadap diriku lain sekali daripada Grigory, dan aku pun m erasa m alu. “Sebentar,” kataku, kutinggalkan dia. “Apakah blus itu tam pak buruk?” serunya dari belakang. “Mem akai baju itu kau kelihatan seperti gadis petani.” “Aneh sekali lirikannya,” pikirku ketika sedang berdandan di kam ar atas. “Nah, syukurlah dia datang—tak akan m erasa jemu lagi kini.” Setelah mengaca sebentar larilah aku ke bawah dengan gem bira dan tanpa hendak m enyem bunyikan jalanku yang terburu-buru, m asuklah aku ke beranda m uka dengan terengah-engah. Dia duduk di dekat meja, sedang menceritakan urusan kam i kepada Katya. Ia m elirik padaku, tersenyum , dan m eneruskan ceritanya. Menurut dia, urusan kam i baik jalannya. Kam i hanya akan tinggal di desa untuk sem usim panas ini saja, sesudah itu kami dapat pindah ke St. Petersburg demi pendidikan Sonya, atau ke luar negeri. “Hanya bila Anda pun ikut ke luar negeri bersam a kam i!” kata Katya. “Tanpa Anda, kam i seperti anak kecil di tengah hutan.” “Kum au keliling dunia dengan kalian!” katanya setengah bergurau setengah sungguh-sungguh. “Marilah kita kelilin g dun ia bersam a-sam a!” kataku. Ia tersenyum dan m enggeleng-gelengkan kepalanya.
16 Leo Tolstoi “Dan bagaim ana tentang ibuku serta urusanku sendiri?” tanyanya. “Tapi itu di luar acara—nah, ceritakanlah keadaanm u. Kuharap saja tidak bersedih hati lagi, begitu?” Sewaktu kuceritakan bahwa sem enjak keberangkatannya aku selalu sibuk dan tidak m urung lagi, serta Katya pun m em benarkan apa yang kukatakan itu, ia m em ujiku dan sikapnya tam bah halus, baik dalam kata-kata m aupun dalam sorot m atanya, seolah-olah ia memperoleh hak istimewa. Dan aku merasa bahwa aku harus berterus terang dan jujur terhadapnya, harus m engutarakan setiap perbuatanku yang baik kepadanya dan tahu pula hal yang bisa m em buat hatinya kurang senang, seakan-akan dia itu pastur yang biasa m enerim a pengakuan dosa di gereja. Oleh karena cuaca senja itu bagus, tinggallah kami di beranda muka setelah segala bekas minum teh dibersihkan. Percakapan saat itu begitu menarik hingga tak kuperhatikan segala suara m anusia di dalam dan di pekarangan rum ah yang telah berangsur-angsur sepi. H arum bunga-bungaan yang sem erbak, kian m enyengat hidung, dan rerum putan kian kuyup oleh em bun. Burung bulbul di rum pun bunga lilak yang dekat m ulai bernyanyi, lalu berhenti tatkala didengarnya suara kam i. Langit yang bertaburan bintang seakan-akan m erendah di atas kam i. Aku baru tahu hari telah m alam ketika seekor kelelawar terbang tanpa mengeluarkan suara, lalu menggelepar-gelepar di sekitar selam pai pengikat ram butku. Aku terhenyak ke dinding dan hampir saja menjerit, tetapi kelelawar itu buru-buru terbang dan seperti pada waktu datangnya diam -diam m enghilang di keremangan kebun buah-buahan. “Betapa cinta aku pada Pokrovskoye kalian!” seru Sergei Mikhailich ketika percakapan berhenti. “Senang sekali aku duduk di beranda kalian ini buat sesisa hidupku.” “Silakan,” kata Katya.
Rumah Tangga yang Bahagia 17 “Mem an g n yam an ,” gum am n ya, “tetapi hidup bukan lah duduk dan menunggu.” “Mengapa Anda tidak berum ah tangga saja?” tanya Katya. “Anda akan m enjadi seorang suam i yang baik.” “Karena aku senang duduk-duduk,” katanya sam bil tertawa. “Tidak, Katerina Karlovna, Anda dan saya telah lam pau m asanya untuk berumah tangga. Sudah lama orang-orang berhenti memandangku sebagai peminang. Namun aku juga pernah, pernah m erasakan m asa yang m enyenangkan, benar-benar p er n a h .” Rasa-rasanya nada suaranya itu m em bersit secara tidak wajar. “Hal yang bagus untuk diceritakan!” seru Katya. “Ia sudah tiga puluh enam dan hidupnya sudah lam pau!” “Sem uanya sudah lam pau,” ia m engiyakannya. “Apa yang kuinginkan hanyalah tinggal duduk, nam un itu lebih sia-sia daripada kawin. Dialah orangnya yang harus Anda tanyai,” tam bahnya sam bil m engangguk ke arahku. “Orang seperti dialah yang harus berum ah tangga, Anda dan saya akan m erasa senang m elihatnya.” Aku m enem ukan nada yang sedikit sedih dan rasa yang tertekan dalam alunan suaranya. Ia diam sejurus, Katya dan aku berdiam diri. “Mengapa aku—ini hanya m isal saja,” sam bil m eneruskan ucapan n ya ia m em utar badan n ya di kursi, “tidak m en ikah saja dengan gadis umur tujuh belas tahun, katakanlah Masha, m aksudku—Marya Alexandrovna. Itulah m isal yang keterlaluan. Aku akan girang karena terwujudlah hal itu ... itulah m isal yang paling baik.” Aku m ulai tertawa, aku tidak m engerti m engapa ia girang, atau apakah artinya “terwujudlah hal itu”.
18 Leo Tolstoi “Baiklah, belah dadam u dan keluarkan isi hatim u,” kelakarn ya, “bukan kah m erupakan kem alan gan bagim u bila engkau m engikatkan diri pada seorang laki-laki yang sudah lam pau m asa m udanya, yang keinginannya hanya tinggal duduk, sedangkan dalam batok kepalam u yang kecil itu m asih tersim pan segala macam hal, segala macam keinginan.” Aku bingung, tak tahu apa yang m esti kujawab. “Mem ang bukan m aksudku m engajukan lam aran padam u,” katanya tertawa. “Nam un aku bukanlah orang yang kaum im pikan untuk jadi suamimu tatkala kau berjalan-jalan keliling kebun di waktu senja sendirian, bukan? Dan hal ... hal itu akan merupakan kemalangan, bukan?” “Tidak m erupakan kem alangan….” aku m em ulainya. “Tapi juga bukan m erupakan kebaikan,” dia m engakhirinya. “Bukan, tetapi boleh jadi m erupakan kesala….” “Nah, apa kataku,” ia m enyela lagi. “Sam a sekali benar ucapannya itu, dan aku m erasa berterim a kasih kepadanya atas keterusterangannya serta untuk pem bicaraan yang telah kita adakan. J uga untukku, hal itu akan merupakan kemalangan besar,” ia menambahkan. “Anda orang aneh—Anda selalu begitu dari dulu,” kata Katya, dan pergilah ia ke dalam rum ah untuk m enyiapkan m eja buat makan malam. Kam i diam setelah Katya pergi, sekeliling sunyi dan sepi. Burung bulbul m ulai bernyanyi—kali ini bukan nyanyian senja yang m enyayat hati, tetapi nyanyian m alam yang hening dan syahdu. Suaranya m em enuhi kebun, lalu dijawab oleh bulbul yang ada di ngarai—untuk pertam a kalinya burung itu bernyanyi di situ pada m alam hari. Burung di kebun berhenti bernyanyi, seperti mendengarkan, kemudian melengking dan kian bergetar. Nyanyian m ereka bergem a dalam kesunyian yang m encengkam , di alam nya kala m alam hari, yang dem ikian asing bagi kam i.
Rumah Tangga yang Bahagia 19 Tukang kebun tengah berlalu, pulang m enuju rum ahnya yang hijau untuk pergi tidur, suara sepatu botnya yang berat itu terdengar m akin lam a m akin sayup-sayup di sepanjang jalan dusun. Dua kali suara berisik terdengar dari kaki bukit, lalu sunyi kem bali. Daun-daunan m endesah perlahan, lalu atap tenda bergetar, seolah-olah riak udara tengah melantunkan wangi- wangian yang datang m enaburi kam i. Aku m erasa rikuh, diam bun gkam sehabis dia berkata dem ikian itu, tak tahu bagaim ana harus kum ulai. Aku m em andang sekilas padanya—m atanya yang sayu, sedang m enatapku. “Adalah baik untuk bisa hidup lanjut,” gum am nya. Oleh suatu sebab aku mengeluarkan keluhan. “Apa?” katanya. “Ya, m em angbaik untuk bisa hidup lanjut,”aku m engulangnya. Kem bali kam i terdiam , lagi-lagi aku m erasa kikuk. Aku berpikir-pikir, agaknya aku telah m elukai hatinya tatkala m eng- iyakan dia telah tua. Aku ingin m enggem birakan hatinya tetapi tak tahu apa yang harus kukatakan. “Nah, selam at tidur,” katanya, bangkit. “Ibuku m enunggu aku m akan m alam . Hari ini aku ham pir tak m elihatnya.” “Tetapi aku ingin m em ainkan sonata baru buat Anda,” kuajukan keberatan. “Lain kali lagi,” jawabnya tawar. “Selam at tidur.” Yakin lah aku sekaran g bahwa aku telah m en yin ggun g perasaannya, aku jadi m enyesal. Katya dan aku berjalan di sekitar rumah bersama dia, sehabis itu kami berdiri mengawasi dia yang tengah m enderap kudanya m encapai jalan yang m enuju rum ahnya, pulang. Setelah suara kaki kuda lenyap, aku kem bali ke beranda dan duduk lagi sambil memandang ke luar, ke dalam kebun—ke em bun putih yang tengah m engendap serta sarat dengan suara-suara malam. Di situ lama aku duduk melamun, dan lam unanku seolah-olah dem ikian nyata.
20 Leo Tolstoi Dia datang untuk kedua kalinya, kem udian untuk ketiga kalinya, dan hilanglah segala kecanggungan yang biasanya tim bul sewaktu kami sedang bercakap-cakap. Selama musim panas ia m enjum pai kam i dua atau tiga kali sem inggu. Aku jadi terbiasa dengan kunjungannya itu hingga benar-benar aku m erasa kehilangan kalau beberapa hari saja ia tidak datang. Kuanggap kelakuannya itu tidak baik, karena aku ditinggalkannya, perlu kum arahi dia. Aku m erasa seolah-olah telah diperlakukan sebagai tem an kesayangannya yang m asih m uda. Diajukannya pertanyaan kepadaku, dibuatnya aku jadi percaya padanya, diberinya aku wejangan, diberinya aku sem angat, kadang-kadang ditegurnya aku dan dibetulkannya perasaanku yang keliru. Biarpun dia berusaha memperlakukan aku sebagai sesama, namun aku merasa bahwa di balik apa yang aku tahu, m asih banyak yang belum kuketahui tentang dirinya—suatu dunia yang dalam anggapannya tak boleh aku m em asukinya. Inilah yang m enyebabkan aku tertarik kepadanya dan m alu terhadapnya. Aku tahu dari Katya dan tetangga-tetangga bahwa di sam ping m erawat ibunya yang telah tua, yang tinggal bersam anya, dan m engurus harta pusakanya serta m enjadi pelindung kam i, ia pun sedang dalam perkara yang m enyebabkan dia banyak m enem ui kesulitan. Aku m asih tetap belum bisa m enyim pulkan apa-apa tentang dirinya, bagaim ana ia m em ikirkan sem ua itu, atau apakah yang m enjadi keyakinannya, rencana-rencananya dan harapan-harapannya. Baru saja akan kubelokkan pem bicaraan kam i ke bidang yang m enjadi urusannya, m aka tam paklah m ukanya yang m asam , seolah-olah dengan itu ia ingin m engatakan, “Ah, apa urusanm u dengan itu?” dan beralihlah segera pembicaraan kami. Mula- mula aku merasa tersinggung, tetapi kemudian menjadi demikian terbiasa dengan pembicaraan sekitar diriku melulu, hingga lama- lama aku merasa bahwa hal demikian itu adalah wajar.
Rumah Tangga yang Bahagia 21 Hal lainnya lagi yang tidak kusenangi m ula-m ula, tetapi yang kem udian kusukai, ialah ketakacuhannya yang tak tanggung- tanggung, yang angkuh kelihatannya. Ia tak pernah m enunjukkan kesan, baik dengan kata-kata ataupun dengan lirikan m ata, yang m engisyaratkan bahwa aku ini cantik—sebaliknya m alah dia m engernyitkan hidungnya ke atas dan tertawa kalau aku disebut cantik di hadapannya. Bahkan seakan-akan dia ingin m encari kekurangan yang ada pada diriku, dan disindirnya aku kalau didapatnya. Baju panjang m odel baru yang disenangi Katya bila aku m em akainya dalam acara-acara khusus, begitu pula tata ram butku yang dibuat Katya m enurut m odel terbaru, hanyalah m enggelikannya saja. Ini tentunya m enyakitkan hati Katya, dan aku pun m alu pada m ulanya. Katya yang sudah tahu pasti bahwa dia telah tertarik padaku, jadi tak mengerti sama sekali, mengapa wanita yang dicintainya itu m alah tak ingin bersolek elok. Akan hal diriku, insyalah aku akan apa yang dikehendakinya—ia ingin yakin bahwa aku tidak genit. Saat aku m enyadari hal ini terjadi tak lam a sebelum segala kegenitan yang m enyesak dalam kerut-merut pakaianku, dalam cara aku menata rambut, cara aku bergaya, benar-benar terkikis habis dariku. Sebagai gantinya, tam paklah solek yang hening dari kesederhanaan, yang sam pai saat itu belum benar-benar m erupakan kesederhanaan yang sesungguhnya. Aku tahu bahwa dia m encintaiku, m eskipun tak kutanyakan sendiri apakah cintanya itu seperti terhadap anak atau wanita, akulah sendiri yang m enilai cintanya. Aku tahu bahwa aku dianggapnya gadis rem aja yang terbaik di m uka bum i, dan aku sendiri tak dapat m enahan keinginan untuk m em perdayakannya. Demikianlah, tanpa kusadari, kupupuk hal itu. Tetapi selagi aku m em perdayakan dia, kubina diriku. Aku m erasa bahwa adalah lebih baik dan lebih berharga sekiranya kuperlihatkan kepadanya keindahan jiwaku, bukan keindahan tubuhku. Keindahan tubuh— ram but, tangan dan wajahku, cara dan gayaku, entah baik
22 Leo Tolstoi atau jelek, dipandang dan dinilai olehnya hanya dengan lirikan saja, dan karena itu tak perlu kutambal sulam lagi agar dia menaruh penghargaan atas diriku. Namun terhadap jiwa, dia tidak m engetahuinya, sebab dia m encintaiku, lagi pula jiwaku masih tumbuh dan berkembang. Dengan cara demikianlah aku m em perdayakan dia. Betapa m udahnya aku bergaul dengannya sem enjak aku m enyadari sem ua ini! Sifat m aluku yang tanpa alasan dan gerak-gerikku yang canggung, lenyap sam a sekali. Rasanya tak perlu lagi kupedulikan cara bagaim ana dia m elihat diriku, apakah ia melihat mukaku sepenuhnya atau hanya proil saja, apakah ia melihat aku sedang duduk atau berdiri, dengan rambut terurai ke bawah atau tersanggul ke atas, melihat ke sekujur tubuhku, kepada yang berkenan di hatinya seperti aku pula. Andaikan dia m elepaskan kebiasaannya, dan kem udian tiba-tiba m enyebut diriku cantik, kurasa aku pun sam a sekali takkan gembira. Namun betapa hati takkan gembira dan merdu terdengarnya, apabila dia, setelah kuperhatikan barang sejenak, m enatapku dan berkata dengan suaranya yang tulus ikhlas, yang dicobanya dinyatakan dalam nada bersenda gurau. “Ya, ada sesuatu dalam dirim u. Harus kuakui bahwa kau adalah gadis yang baik!” Apa tanggapanku setelah kuterim a pujian itu, bangga dan gem birakah aku? Aku m erasa seperti tersentuh oleh belaian cinta kasih Grigory tua terhadap cucunya yang perem puan, atau terharu oleh puisi dan novel yang kubaca, atau oleh perasaan bahwa Mozart lebih baik daripada Schulhoff. Meski betul tak sedikit pun aku punya gagasan tentang apa yang baik dan yang harus kucintai, tetapi perasaanku yang tajam dalam m enilai apa yang baik dan apa yang harus kucintai, m uncul dalam sanubariku secara mengagumkan. Sergei Mikhailich banyak m encela selera dan kebiasaan- kebiasaanku, dan itu pun cukuplah dinyatakan dengan hanya
Rumah Tangga yang Bahagia 23 lirikan atau gerakan alis yang m enandakan bahwa dia tak m enyukai apa yang telah kukatakan. Sudah cukup baginya bila ia dapat m engira bahwa apa yang disayangkannya dan dipandangnya aib pada diriku, dibayangkannya pula bahwa aku pun tidaklah benar-benar m enyukai apa-apa yang selalu kusukai. Kadang-kadang, tatkala ia m au m em beri wejangan padaku, aku suka m enerka apa yang hendak dikatakannya. Atau sebaliknya, sam bil asyik m enatap m ataku, ia m encoba m enjelajahi pikiranku dan m eraih apa yang dia kehendaki dari pikiranku itu. Pada saat itulah serasa segala pikiran, segala perasaan yang ada dalam diriku, tiada lagi m erupakan m ilikku—sem ua adalah m iliknya nam un yang dengan tiba-tiba jadi m ilikku. Sem ua itu m asuk dalam jiwaku dan m eneranginya. Alhasil tanpa kuperhatikan itu semua, mulailah aku melihat setiap hal dan benda dengan mata yang berlainan—m elihat Katya dan Sonya serta para pelayan, m elihat diriku dan apa-apa yang m erupakan m ilikku. Sebelum ini aku membaca buku sekadar untuk menghilangkan rasa jemu saja—tetapi kini buku telah m erupakan kesenangan utam a bagiku dan kubicarakan isinya bersam a dia. Dan dia m em bawa sesuatu yang baru bagiku. Sebelum ini, waktu yang kubaktikan untuk Sonya dan pelajaran yang kuberikan kepadanya kurasakan sebagai tugas berat yang kulakukan dengan terpaksa hanya untuk m em enuhi kewajiban belaka. Dan pada suatu hari datanglah ia pada waktu aku sedang mengajar, dan mulai saat itulah aku merasa menemukan kegembiraan dalam mengikuti kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Sonya. Sebelum ini tam paknya tak m ungkin aku bisa berlatih seluruh bagian gubahan pada piano, tetapi sekarang? Tahu bahwa dia suka mendengarkan, malah boleh jadi memujiku, em pat puluh kali kuulang gubahan yang itu-itu juga hingga kasihan Katya harus m enutup lubang telinganya dengan kapas, sedangkan bagiku tidaklah menjemukan. Sonata lama terasa
24 Leo Tolstoi seperti punya ungkapan lain pada piano—jauh lebih baik. Bahkan Katya, orang yang kukenal dan kucintai seperti kepada diriku sendiri, berubahlah dalam pandangan m ataku. Kini barulah kusadari bahwa dia bekerja bukanlah sekali-kali karena terpaksa, bukan sekali-kali karena keharusan maka dia jadi ibu, teman dan pengasuh sekian lam anya di rum ah kam i. Dalam pandangan m ataku tam paklah dia sebagai m akhluk yang tak m em entingkan diri sendiri, m akhluk yang dari dulu penuh pengabdian dan kasih sayang—insyalah aku betapa besar hutang budiku kepadanya, dan karena itu m ulailah aku lebih m encintainya lagi. Dia, Sergei Mikhailich, mengajariku cara memandang terhadap para petani dan bujang pengurus rum ah, terhadap para pelayan yang ada di rum ah, yang laki-laki m aupun yang perem puan, kupandang m ereka dengan cara yang berlainan sam a sekali daripada yang sudah-sudah. Tam paknya m enggelikan, akan tetapi sam pai aku berusia tujuh belas tahun, orang-orang yang hidup bersam aku itu adalah orang-orang yang asing bagiku—bahkan lebih asing daripada orang-orang yang kujum pai dalam buku-buku yang kubaca. Tak habis-habisnya kupikirkan, dan nyatalah bahwa m ereka itu adalah m akhluk-m akhluk yang punya perasaan cinta kasih, punya hasrat dan penyesalan seperti aku juga. Gundukan pepohonan dan tegalan yang kukenal selam a ini, tiba-tiba m enjadi baru dan indah tam paknya. Benarlah apa yang dikatakan Sergei Mikhailich bahwa hanya ada satu-satunya kebahagiaan dalam hidup—hidup untuk orang lain. Kedengarannya seperti ucapan yang aneh pada waktu itu—aku tak dapat m em aham inya, akan tetapi tanpa kusadari, keyakinan ini m ulai tum buh dalam hatiku. Telah dia singkapkan seluruh dunia baru padaku, dunia riang gem bira yang ada di sekelilingku, tanpa ada satu pun yang diubah dalam jalan hidup kam i, tanpa ada satu pun yang dibubuhkan pada setiap kesan selain apa yang ada. Benda-benda ini m engelilingiku sejak m asa kanak-kanak, nam un sem uanya
Rumah Tangga yang Bahagia 25 bisu, begitu dia hadir, sem uanya m ulai bicara dan m encari restu dalam jiwaku, lalu diisinya aku dengan kebahagiaan. Pada musim panas itu aku kerap pergi ke atas, ke kamarku, untuk berbaring. Kum au agar apa yang tadinya diisi dengan kerinduan lam a dan harapan akan m asa depan yang tim bul di waktu musim semi, diisi dengan kegembiraan dan kebahagiaan pada saat ini. Aku tak dapat tidur, m auku hanyalah bangun dan duduk di ranjang Katya, m enceritakan padanya bahwa aku ini benar-benar bahagia, m engatakan sesuatu (aku m enyadarinya sekarang bila kuingat kem bali hal itu) yang sebetulnya tak usah kuceritakan kepadanya—dalam hatinya ia pun tahu itu. Dan biasanya Katya bercerita bahwa ia pun pernah m endapatkan apa-apa yang diinginkannya, juga ia m erasa bahagia ketika itu, dan aku suka dicium inya. Aku m em percayainya, kurasa hanyalah benar dan betul belaka pabila setiap orang dapat m engenyam kebahagiaan. Akan tetapi Katya bisa tidur juga. Kadang-kadang tam paklah Katya seperti m au m arah dan m en gusirku dari ranjangnya, sam pai dia dapat tidur. Setelah itu, untuk beberapa lam anya, suka kurenungkan segala sesuatu yang m em buat diriku bahagia. Kadang-kadang aku suka bangun dan m engucapkan doa barang sesaat ... aku berdoa dengan kata-kataku sendiri, kuucapkan syukur kepada Tuhan atas segenap kebahagiaan yang telah dilim pahkan-Nya padaku. Selagi begitu tak ada suara apa pun yang terdengar selain bunyi napas Katya yang teratur dan bunyi tik-tak jam yang ada di dekatnya. Nam un dem ikian tetap aku tak dapat tidur, kubolak-balikkan badanku, kubisikkan doa, kubuat tanda salib, kukecup salib yang m enggantung di leherku. Pintu-pintu tertutup, jendela-jendela rapat oleh tirai, beberapa ekor lalat atau nyam uk m endengung-dengung di satu tempat. J ika sudah begitu, aku merasa wegah meninggalkan kam ar, wegah m enghadapi datangnya pagi, wegah m eninggalkan suasana batin yang syahdu, yang tengah m engelilingiku, yang
26 Leo Tolstoi sam a sekali tak m au diganggu. Kukhayalkan bahwa m im pi- mimpiku, pikiran-pikiranku, dan doa-doaku, adalah makhluk- m akhluk hidup yang dalam kerem angan senja ini ada bersam aku, menggelepar-gelepar di atas ranjangku, terkatung-katung di udara di atas badanku. Taklah kusadari bahwa yang dem ikian ini adalah cinta. Kukira itu hanyalah perasaan yang dapat saja tim bul dengan sendirinya sem barang waktu.
3 PADA SUATU HARI di waktu sedang m enuai, Katya dan aku pergi ke kebun bersam a Sonya sehabis m akan siang. Kam i duduk di atas bangku kesayangan di bawah pohon lim au yang rindang di atas ngarai, dari situ terlihat pemandangan hutan dan tegalan. Sergei Mikhailich sudah tiga hari tidak menemui kami dan kam i m engharapkan kedatangannya, lebih-lebih setelah mendengar dari pemilik kebun bahwa ia bermaksud memeriksa tanah kami dengan naik kuda. Tak lama kemudian, setelah pukul satu, kulihat dia datang di atas kuda melintasi ladang gandum. Katya m enyajikan buah persik dan ceri kesukaannya, dan m elirik padaku sam bil tersenyum , lalu m erebahkan diri di atas bangku dan m engantuklah ia. Kupatahkan ranting lim au yang bengkang- bengkok dan pipih berikut daun dan kulitnya yang kuyup oleh air hingga basahlah kalau tersentuh. Kem udian kugoyang-goyangkan ranting itu di atas Katya sam bil terus m em baca dan sebentar- sebentar kulayangkan m ata pada jalan di ladang yang akan
28 Leo Tolstoi dilaluinya. Sonya sedang asyik m em buat rum ah-rum ahan untuk bonekanya di dekat kayu lim au yang sudah tua. Hari itu udara panas dan gerah, tak ada angin. Pada pagi harinya langit ditutupi awan badai yang hitam bergum pal-gum pal seperti m engancam akan hujan. Aku m erasa gelisah, seperti biasanya aku gelisah pabila m elihat awan badai. Akan tetapi lewat tengah hari awan-awan itu m enyingkir ke tepi langit dan m elajulah m atahari di tengah-tengah langit yang bersih. Yang terdengar kem udian hanyalah bunyi guntur yang m enderu-deru di kejauhan serta cahaya kilat putih yang berdenyar-denyar di tengah-tengah awan gemulung bercampur debu di tepi langit. J elaslah tak akan ada badai hari itu, paling tidak di sekitar kam i. Aku duduk m engawasi alur jalan yang tam pak sekilas-sekilas di seberang kebun. Gem ertak bunyi pedati tak henti-hentinya terdengar, pedati-pedati yang lagi m erayap pulang penuh dengan tum pukan jeram i yang tinggi-tinggi di atasnya, dan pedati-pedati kosong yang datang dari arah sebaliknya dengan ditum pangi orang-orang yang duduk m engam bul-am bul di atasnya dengan kaki berjuntai- juntai dan baju yang berkibaran. Debu yang tebal belum lagi m engendap ataupun lenyap, debu itu terkatung-katung di udara di luar pagar, dan di antara dedaunan di kebun buah-buahan. Lebih jauh, dari tem pat m enim bun, datanglah suara-suara yang sam a, derak-derik roda yang sam a, ikatan-ikatan jeram i kuning yang sam a, m ula-m ula tam pak bergerak perlahan-lahan sepanjang pagar, lalu tahu-tahu bermunculan gunungan jerami yang lonjong terpam pang di depan m ata, bagaikan rum ah-rum ah dengan atap-atapnya yang runcing, dikerum uni para m uzhik di sekelilingnya. Dan di tegalan yang berdebu, yang terham par luas di hadapanku, pedati-pedati sedang bergerak maju, lagi-lagi ikatan-ikatan jerami kuning, derak-derik pedati, suara-suara nyanyian. Di sebelahnya lagi, jauh m em anjang tunggul-tunggul jeram i, sejalan dengan alur sem ak-sem ak beluntas yang m enjadi
Rumah Tangga yang Bahagia 29 batasnya dengan tegalan yang terham par lebih luas lagi. Agak ke bawah, di sebelah kanan, perempuan-perempuan tani, dengan perhiasannya yang gem erlapan, tam pak sedang m engikat berkas- berkas jeram i yang berserakan di ladang yang habis disabit, m ereka m em bungkuk-bungkuk sam bil tangan dan kakinya tetap bergerak ke muka dan ke belakang, dan bila mereka melangkah m aju m aka tinggallah ladang yang sudah bersih serta m uncullah tum pukan jeram i yang rapi berderet-deret. Tam paknya m usim rontok mau menggantikan musim panas, begitulah penglihatanku. Udara panas serta di mana-mana terdapat debu, kecuali di tempat kesayangan kam i di dalam kebun buah-buahan. Terdengarlah suara hiruk-pikuk dari segala penjuru, menembusi debu dan udara panas ini beserta suara gerak-gerik petani yang berisik, yang sedang bekerja di bawah sinar m atahari yang panas terik. Katya tam pak dem ikian m anis m endengkur di atas bangku yang teduh dengan selam pai batis putih m enutupi m ukanya! Buah ceri tampak demikian ranum mengkilap kehitam-hitaman di atas piring! Baju panjang kam i tam pak dem ikian nyam an dan bersih! Air di dalam kendi gelas tam pak dem ikian bening dan kem ilau tertim pa sinar yang lincah bergerak-gerak! Aku yang dem ikian bahagia! “Apa lagi kalau sudah begini?” pikirku. “Adakah salah jika aku dem ikian bahagia? Kepada siapakah harus kucurahkan sem ua perasaanku yang m elonjak-lonjak dalam diriku, sem ua keb a h a gia a n ku ?” Matahari telah turun di balik pucuk pohon birka di sepanjang jalan dusun, dan benda-benda yang jauh jadi m akin cerah dan jelas tertim pa berkas-berkas sinar yang jatuh m iring di udara. Debu sedang mengendap di tegalan, mendung telah lama bercerai-berai. Di tempat penimbunan di luar kampung, kulihat tiga puncak tum pukan jeram i yang tinggi selesai disusun oleh para m uzhik, kulihat jelas pedati penghabisan tengah m encongklang pulang diiringi teriakan orang-orang yang ada di atasnya, dengan
30 Leo Tolstoi penggaruk di pundak dan tali pengikat jerami di pinggang, para petani perem puan pulang sam bil bernyanyi, suaranya m engatasi suara-suara yang ada. Nam un, Sergei Mikhailich m asih juga belum datang, meskipun telah kulihat tadi di atas kuda. Dan tahu-tahu tam paklah sosoknya, datang dari arah yang tak disangka-sangka (ia mengambil jalan memutar, mengitari ngarai). Dengan muka penuh senyum bahagia ia m em percepat langkahnya m enujuku, dengan topi di tangannya. Ketika dilihatnya Katya tertidur, ia m enggigit bibirnya sendiri dan dipicingkannya m atanya, lalu berjalan berjingkat-jingkat. Suasana bahagia tampak memenuhi dirinya hingga terbitlah rasa kasih sayangku padanya. Dan inilah yang biasa kam i sebut dengan urakan, kulihat dia serupa bocah yang sedang bolos dari sekolah, sekujur tubuhnya diliputi suasana gem bira, napas bahagia, sedangkan lagak lagunya tak jauh bedanya dari anak kecil. “He, Violet kecil, apa kabar? Baik-baik saja?” tanyanya berbisik-bisik, ketika m enjabat tanganku. “Aku segar bugar,” katanya sewaktu m enjawabku. “Aku tiga belas tahun sekarang— siap m ain sem bunyi-sem bunyian dan panjat-panjatan.” “Main urakan?” tanyaku sam bil m em andang m atanya yang berseri-seri penuh dengan sinar riang, dan insyalah aku bahwa suasana hatinya tengah m enjalar m em asuki diriku. “Ya,” jawabnya, sam bil m engedip padaku dan m encoba untuk tidak tersenyum . “H anya, apakah itu di atas hidung Katerina Karlovna?” Tadi sewaktu aku sedang mengawasi dia, tanganku terus saja m enggoyang-goyangkan ranting lim au, tahu-tahu ranting itu telah m enyentuh selam pai Katya hingga terlepas, dan daun- daunnya m enyapu Katya. Aku tertawa. “Akan dikatakannya nanti bahwa ia tidak tidur,” bisikku, seolah-olah aku takut m em bangunkan Katya, padahal bukan itu alasannya—hanya senang saja berbisik-bisik kepadanya.
Rumah Tangga yang Bahagia 31 Ia m engernyitkan bibirnya seolah-olah bisikanku dem ikian pelan hingga tak terdengar olehnya. Lalu, ketika tam pak olehnya di atas piring ada buah ceri, ia pura-pura m encurinya untuk seterusnya diberikan kepada Sonya yang lagi duduk bersam a bonekanya di bawah pohon lim au. Mula-m ula Sonya gusar, tetapi sebentar kem udian dapat diredakannya dengan jalan diajaknya m ain buah ceri, siapa yang paling cepat m enelan habis buah itu, dialah yang m enang. “Nan ti kubilan gkan supaya m ereka m em bawa ban yak- banyak,” kataku, “atau m arilah kita am bil sendiri jika Anda suka.” Dia m engam bil piringnya dan di atasnya ditaruh boneka, kem udian pergilah kam i ke kebun buah-buahan bersam a Sonya yang berlari-lari m engikuti kam i sam bil m enyeret-nyeret baju m antelnya dalam usahanya m endapatkan kem bali bonekanya. Diberikannya boneka itu kepadanya, lalu berpaling ke arahku dengan rom an m uka yang bersungguh-sungguh. “Kau ini benar-benar bunga violet,” katanya, m asih dengan suaranya yang pelan-pelan, m eskipun di situ tak ada orang yang tidur. “Ketika aku m engham pirim u, sehabis kerja penuh debu dan terbakar sinar m atahari, rasanya ada tercium wangi bunga violetku—bukan yang telah sem erbak, yang telah m ekar, tetapi yang m asih kuncup, yang m asih hitam , yang wanginya bercam pur dengan salju dan rumput musim semi.” “Bagaim ana kabar panen?” tanyaku, guna m enyem bunyikan ledakan gem bira karena m endengar kata-kata yang m enyenangkan itu. “Bukan m ain. Bukan m ain hebatnya orang-orang itu be- kerja, dalam segala-galanya. Sem akin kaukenal m ereka, sem akin kausayang m ereka.” “Ya,” kataku. “Sebelum Anda tiba, kulihat dari kebun m ereka sedang bekerja, tiba-tiba aku merasa malu, mereka bekerja sedangkan aku….”
32 Leo Tolstoi “J angan berpongah-pongah, Sayang,” ia m enyela, m endadak jadi sungguh-sungguh, tapi menatap mataku dengan manis. “Itulah soal yang suci m urni. Tak boleh kausom bongkan perasaan demikian itu di sembarang tempat.” “Tetapi aku pun baru m enceritakannya pada Anda saja.” “Ya, aku tahu. Nah, bagaim ana tentang buah ceri?” Pintu ke kebun buah-buahan dikunci, tak ada seorang pun tukang kebun yang terlihat di situ (m ereka telah disuruh m em bantu m enuai). Sonya berlari-lari pergi untuk m endapatkan kuncinya, nam un dia bukannya m enunggu sam pai Sonya datang m elainkan terus saja m em anjat pagar tem bok, dan diangkatnya jaring penghalangnya, lalu m eloncatlah ia ke bawah di sebelah sana. “Kau m au buah ceri?”panggilnya. “Berikan ke m ari piringnya.” “Tidak, biar kupetik sendiri—aku akan pergi dulu untuk m engam bil kuncinya. Sonya tak akan m endapatkannya.” Akan tetapi ingin kulihat apakah yang sedang ia kerjakan di dalam dinding tem bok—kuingin tahu apa yang dia pikirkan dan lakukan kalau sedang sendirian. Terus terang saja mataku tak m au lepas dari padanya barang sesaat pun. Aku berlari m engitari dinding tem bok lewat pepohonan yang gatal daunnya m enuju bagian tem bok yang lebih rendah. Sam bil berdiri di atas bak kosong bersandarlah aku pada bagian atas tembok yang tingginya sebatas dada, lalu m ataku m elihat ke dalam . Pandangan kulayangkan ke bonggol cabang pohon yang telah tua, yang di atasnya bergantungan dengan lebat buah ceri yang hitam ranum , terhalang oleh daun-daunnya yang besar dan lancip. Kuselulupkan kepalaku ke dalam jaring penghalang dan dari celah-celah ranting-ranting lim au yang rim bun kulihat Sergei Mikhailich. Pastilah dia m enyangka aku telah pergi dan m engira tak seorang pun yang m elihat dia. Topinya telah dibuka dan sam bil duduk pada tunggul kayu yang sudah tua m atanya
Rumah Tangga yang Bahagia 33 dipejam kan, sem entara jari-jarinya m erem as-rem as getah ceri hingga jadi bulat. Tiba-tiba dia m engangkat bahunya dan m atanya pun dibuka, tersenyum dan m enggum am kan sesuatu. Ucapan dan senyum nya itu seperti bukan berasal dari dia, hingga aku pun m alu m em andangnya. Dia seperti m engatakan, “Masha”. Kupikir, “Mana bisa begitu.” Diulangnya kem bali, “J uitaku, Masha!”—kian perlahan dan kian lem but. Kali ini kudengar jelas kata-katanya itu. J antungku mulai berdegup, demikian kencang dan hebat degupannya itu hingga ham pir saja kegirangan yang kutahan dalam hati meledak keluar, karena itu untuk menjaga agar jangan sampai jatuh maka kupegang dinding tembok erat-erat dengan kedua belah tanganku. Ia mendengarku dan sehabis terkejut dan memandang ke sekeliling, dijatuhkannya pandangan m atanya ke bawah. Mukanya m erah padam , tersipu-sipu bagai seorang gadis. Dia m au m engucapkan sesuatu nam un kata-katanya tak bisa keluar, akhirnya berdirilah ia dengan m uka kem erah-m erahan. Masih dia tersenyum m em andang padaku. Aku pun tersenyum . Wajahnya berseri-seri tanda bahagia. Kini dia bukan lagi seorang pelindung yang telah berum ur, yang kusegani dan yang suka m engajariku, m elain kan dia sesam aku—seoran g pria yan g m erasa kasih dan takut padaku dan yang sebaliknya kukasihi dan kutakuti pula. Kam i m asing-m asing bungkam , hanya m ata saja saling m em andang. Tiba-tiba dia m engerutkan alisnya, senyum dan sinar yang m em bayang dalam m atanya lenyap seketika, dan berkatalah ia kepadaku dalam nada lam a, yang kebapak-bapakan lagi dingin, seolah-olah ia m erasa telah m elakukan sesuatu yang tak pantas, akan tetapi yang sekarang sudah dapat diatasinya lagi, lalu dinasihatinya aku seperti biasa. “Sebaikn ya turun … n an ti jatuh,” katan ya. “Bersihkan rambutmu …aneh-aneh saja.”
34 Leo Tolstoi “Mengapa dia berpura-pura? Mengapa dia m au m enyakiti hatiku?” Aku berpikir, hatiku m engkal. Pada saat itulah aku m erasa diriku diliputi hasrat yang tak tertahankan, hasrat untuk membuat dia sekali lagi malu dan mencoba kekuatan diriku. “Tidak, aku m au m em etik ceri sendiri,” kataku, lalu kusam bar cabang yang terdekat dan m elom patlah aku ke atas dinding tem bok. Dan sebelum dia m engulurkan lengannya padaku, aku telah lebih dulu melompat ke bawah, ke dalam kebun. “Banyak tingkah!” teriaknya, kem bali m ukanya m erah dan m enyem bunyikan kebingungannya dengan pura-pura m arah. “Kau bisa luka. Lagipula bagaim ana nanti keluar dari sini?” Dia tam pak lebih rikuh dari tadi, akan tetapi kerikuhannya itu tidak menggirangkan hatiku, malah menakutkan. Sekarang akulah yang rikuh. Merah m ukaku dan aku berusaha m enghindari m atanya. Dalam kebingungan m aka m ulailah aku m em etik buah ceri, tetapi tak sebutir pun yang kuam bil. Aku m enyum pahi diri sendiri dan m enyesali apa-apa yang telah kukatakan. Aku takut, aku telah m erendahkan diri sendiri di depan m atanya, aku akan disindirnya selalu. Kam i m asing-m asing berdiam diri. Sonya datang berlari-lari m em bawa kunci, kedatangannya m engubah suasana kam i yang canggung. Lam a sekali kam i tak berkata-kata satu sam a lain, hanya kepada Sonya kam i bicara. Kem balilah kam i ke Katya. Katya m eyakinkan kam i bahwa ia tidak tidur dan bahwa ia m endengar segala-galanya. Lam a-lam a hatiku jadi tenang kembali, Sergei Mikhailich pun mencoba memperlihatkan kem bali air m ukanya yang kebapak-bapakan, akan tetapi agaknya sulit baginya—aku tak dapat dikibuli. Percakapan yang telah kam i adakan beberapa hari yang lalu hidup kem bali dalam ruang ingatanku. Pada waktu itu Katya mengatakan bahwa adalah lebih mudah untuk seorang laki-laki m enyatakan cintanya daripada seorang perem puan.
Rumah Tangga yang Bahagia 35 “Laki-laki dapat m engatakan bahwa ia cinta, tetapi wanita tidak,” kata Katya. “Tetapi saya pikir laki-laki juga begitu, tak dapat dan tak akan m engatakan bahwa ia cinta,” sahutnya. “Mengapa tidak?” kataku. “Oleh karena jika dem ikian halnya ia berbuat dusta. Bukankah yang dem ikian itu berarti m em bongkar isi hatinya perihal cinta?” Seolah-olah setelah berkata dem ikian m aka ‘klik’—dan jatuhlah cintanya. Seolah-olah dalam m engatakan cinta itu haruslah seperti datangnya air bah atau m enggelegarnya salvo dari beribu- ribu pucuk bedil. “Kukira,” katanya selanjutnya, “orang yang dengan khidm at m engatakan ‘aku cinta padam u’ itu m enipu dirinya sendiri, atau lebih buruk lagi, m enipu orang lain.” “Tetapi bagaim ana seorang wanita bisa tahu bahwa seorang laki-laki jatuh cinta padanya, bila tidak dikatakannya?” tanya Katya. “Saya tak dapat m enyebutkannya,” jawabnya. “Setiap orang punya kata-katanya sendiri. Kalau m em ang di situ ada perasaan, perasaan itu akan dikatakannya. Pabila kubaca buku-buku rom an, terbayanglah selalu bagaim ana rom an m uka Letnan Strelsky, atau Alfred, dalam ingatanku dengan penuh tanda-tanya, tatkala ia m engatakan, ‘Aku cinta padam u, Eleonora’. Pastilah ada apa-apa yang tak wajar terjadi pada dirinya, dan bukan sekadar—baik pada si laki-laki ataupun pada si perem puan—terjadi pada m ata dan hidung serta selebihnya seketika itu juga.” Kem udian aku m erasa bahwa di balik kelakarnya itu ada sesuatu yang sungguh-sungguh—m engenai diriku—tetapi Katya tak sedikit pun membiarkan pahlawan-pahlawan dalam roman itu m asuk dalam pem bicaraannya. “Selalu bertolak belakang!” kata Katya. “Mengakulah—apakah Anda tak pernah m engatakan cinta kepada seorang wanita?”
36 Leo Tolstoi “Tak pernah, dan belum pernah aku m engatakan itu di depan lututnya,” katanya sam bil tertawa, “dan tak akan pernah.” “Nah, dia m enganggap tak seharusnya m engatakan dia cinta padaku,” pikirku sewaktu teringat pem bicaraannya itu. “Dia m encintaiku—aku tahu itu. Segala daya upayanya untuk pura- pura tak acuh m em buat diriku punya pikiran lain.” Semalam itu ia sedikit saja berbicara denganku, akan tetapi dalam setiap kata yang diucapkan kepada Katya dan Sonya, dalam setiap gerak dan kejap m atanya kubaca cinta, tak syak lagi, kubaca cinta. Hanya kesal dan kasihan saja aku padanya bila diingat bahwa dia harus terus-menerus memendam rasa dan bertindak seolah-olah tak punya perasaan apa-apa terhadap diriku, padahal segalanya jelas sudah, padahal begitu m udah dan sederhana caranya untuk m enjadi bahagia yang tak terperikan. Akan tetapi peristiwa tatkala aku m eloncat ke dalam kebun buah- buahan sungguh m erisaukan hatiku, rasanya seakan-akan aku ini telah melakukan kejahatan. Dalam pandanganku seakan dia tidak lagi menghargai diriku dan marah padaku. Sehabis makan sore aku pergi menuju piano, dan dia ada di b ela ka n gku . “Mainkanlah sebuah gubahan,” katanya, m enyusul aku di ruang tam u. “Sudah lam a aku tidak m endengar kau m ain.” “Saya akan ... Sergei Mikhailich!” kataku tiba-tiba sam bil langsung m em andang m atanya. “Anda tidak m arah padaku?” “Mengapa harus m arah?” “Karena saya tidak m enghiraukan Anda sehabis m akan,” kataku kemalu-maluan. Dia m engerti aku, dan m enggelengkan kepalanya, tersenyum . Sorot m atanya berkata bahwa seharusnya dia m endam pratku tetapi tak berani. “Ya sem uanya habis sudah, kita bertem an kem bali?” kataku, sambil duduk pada piano.
Rumah Tangga yang Bahagia 37 “Aku juga begitu!” katanya. Ruang duduk yang besar dan berlangit-langit tinggi itu hanya diterangi dengan dua batang lilin di atas piano, ruangan selebihnya dalam keadaan setengah gelap. Malam m usim panas yang cerah dan hening itu m enjengukkan cahayanya ke dalam kam ar m elalui jendela yang terbuka. Segalanya sunyi, selain derak-derik papan lantai di ruang tam u yang terinjak kaki Katya, dan ringkik serta ketukan kaki kuda di bawah jendela. Aku tidak m elihat padanya, karena duduknya di belakang- ku, tetapi aku m erasakan kehadirannya di m ana-m ana, di dalam kam ar yang penuh dengan bayang-bayang—dalam m usik, dan dalam diriku. Hatiku m enyam but setiap kejap m atanya, setiap gerak tubuhnya, m eskipun aku tidak m elihat padanya. Aku sedang m em ainkan Sonata-Fantasia gubahan Mozart yang dia bawa ke rum ahku dan telah dia ajarkan kepadaku sekem balinya dari perjalanan. Pikiranku tidak tertuju pada piano, namun rasa- rasanya aku berm ain baik, pula terasa bahwa dia m enyenanginya. Aku m erasakan kesenangan yang dialam inya, dan tanpa m enoleh padanya kurasakan m atanya tertuju padaku. Sem entara jari- jariku menari-nari pada piano, dengan tak sengaja aku menoleh padanya. Di balik bayang-bayang cahaya bulan yang terang benderang, tam pak jelas kepalanya. Matanya yang bersinar-sinar itu sedang m enatap aku, sem entara dagunya ditum pangkan pada tangannya. Aku tersenyum tatkala m elihat padanya, lalu berhenti berm ain. Ia pun tersenyum , dengan anggukan kesal dia m em beri isyarat supaya perm ainanku dilanjutkan. Seusai gubahan itu kumainkan, bulan telah naik tinggi sekali, cahaya lilin yang tem aram m endapat bantuan cahaya lain, yang keperak-perakan dan menerobos jendela jatuh di atas lantai. Katya berkata bahwa m enghentikan perm ainan pada bagian yang bagus bukanlah kebiasaanku, dan katanya aku berm ain jelek. Dia, Sergei Mikhailich, m engatakan sebaliknya, dikatakannya bahwa
38 Leo Tolstoi aku tak pernah bermain sebaik itu. Dan mulailah dia melangkah- langkah sekeliling ruangan, pulang balik antara ruang tamu yang gelap dan ruang duduk, dan berhenti m anakala m atanya m em andang padaku, lalu tersenyum . Aku pun tersenyum , tentu saja aku mau tertawa, demikian bahagia aku karena sesuatu telah terjadi—sesuatu yang hanya terjadi hari ini, yang baru saja terjadi pada saat ini pula. Begitu Sergei Mikhailich keluar dari kam ar kupelukkan lenganku ke tubuh Katya (kam i berdiri sam a-sam a di dekat piano) dan m ulailah aku m encium i tem pat kesayanganku, yaitu di bawah dagu Katya yang em puk, begitu Sergei Mikhailich kem bali, aku berusaha m em perlihatkan wajahku yang sungguh- sungguh, nam un hanya itulah yang dapat m enahan diriku untuk tidak tertawa. “Apa yang terjadi padanya hari ini?” tanya Katya kepada Sergei Mikhailich. Dia tidak m enjawab, hanya tersenyum saja padaku—dia tahu apa yang telah terjadi. “Lihat, hebat nian m alam ini!” serunya dari kam ar tam u, ia berhenti di depan pintu yang terbuka, di balkon, yang m enghadap ke kebun. Kam i pergi m engham pirinya. Betul saja, aku tak pernah m enyaksikan m alam yang seperti ini. Bulan purnam a m eng- ambang di atas rumah di belakang kami, tak tampak dari kam ar, m enebarkan bayang-bayang yang m iring pada atap dan tiang-tiang serta tenda beranda, en raccouci, pada jalan dusun yang berpasir serta pada rum pun bunga. Yang lainnya, sem ua berm andikan cahaya yang m elim pah-lim pah, keperak-perakan, dengan em bun dan sinar bulan purnam a. J alan dusun yang lebar, dengan bayang-bayang batang dahlia dan penyanggahnya yang melintang miring pada sebelah sisi, membentang dan mengabur ke tem pat yang jauh dan berkabut, terang lagi dingin, sedangkan perm ukaannya yang tak rata dan berbatu kerikil itu m erem ang di bawah cahaya bulan. Dari celah-celah pohon, tam paklah sekilas-
Rumah Tangga yang Bahagia 39 sekilas atap rum ah hijau yang m engkilap, sedangkan dari ngarai kumpulan kabut membubung ke atas. Setiap cabang rumpun bunga lilak, yang daun-daunnya sudah rontok, m andi cahaya, dan setiap bunga yang berem bun di dalam kebun terpam pang jelas. Cahaya dan bayang-bayang cam pur-baur di lorong-lorong hingga pepohonan tam pak seperti rum ah-rum ah khayali, bergoyang- goyan g dan m en erawan g. Bayan g-bayan g rum ah terlen tan g hitam, memanjang ke sebelah kanan, memisahkan diri, seram. Yang terang benderang hanyalah puncak pohon poplar yang rim bun dan m enganjur ke atas, tersem bul keluar dari bayang- bayang, dan yang secara ganjil terpam pang dalam cahaya yang terang benderang tepat di atas rum ah dan bukannya m enjauh m asuk ke dalam warna langit yang biru tua. “Ayo, kita jalan-jalan,” kataku. Katya setuju tetapi katanya aku harus m em akai sepatu rangkap dulu. “Tak perlu,” kataku, “Sergei Mikhailich akan m enggandeng t a n ga n ku .” Seolah-olah dengan begitu kakiku tidak akan basah! Tetapi m ereka m engerti, tak tam pak ada hal-hal yang m engherankan menurut penglihatanku. Dia tak pernah menggandeng tanganku sebelum nya, tetapi m alam ini akulah sendiri yang m em intanya, dan dia tidak m enganggapnya asing. Kam i bertiga turun ke beranda m uka, dan seluruh bum i ini—langit, kebun, udara— berlainan sekali daripada yang pernah kulihat. Ketika aku m elihat ke m uka, ke bawah, ke lorong yang sedang kami lalui, pada perasaanku kami tak mungkin dapat melangkah lebih jauh lagi m enuju arah itu—bahwa dunia kem ungkinan telah berakhir di sini, sedangkan apa yang ada di luarnya m estilah tertutup buat selam a-lam anya dalam keindahannya. Akan tetapi ketika kam i m elangkah m aju, dinding sakti dunia yang indah itu terbuka m enyilakan kam i, dan di situ pun, rasa-rasanya, ada
40 Leo Tolstoi kebun yang telah kam i kenal betul, dengan pohon-pohon dan jalan setapak serta daun-daunan yang kering. Tak salah lagi kam i pernah berjalan sepanjang jalan setapak, menginjak lingkaran- lingkaran cahaya dan bayang-bayang, tak salah lagi daun-daun kering pernah berkerosok di bawah kaki kami, tak salah lagi ranting sejuk itulah yang telah m enyapu m ukaku. Pula tak salah lagi dialah yang sedang berjalan dengan langkah lem but teratur di sisiku, sambil menggandeng tanganku dengan hati-hati dan tak salah lagi Katyalah yang sedang berjalan di sisiku, sam bil kakinya gem ersik m enginjak pasir. Dan hanyalah bulan yang bisa m encurahkan cahayanya di atas kam i, m enem bus cabang pepohonan yang diam tak bergerak. Akan tetapi setiap kam i m elangkah, bersam aan dengan itu dinding sakti pun kembali tertutup di belakang dan di depan kam i, lalu aku pun tak lagi percaya bahwa kam i bisa jalan terus, juga tak percaya lagi kepada yang telah kam i lalui. “Hii! Katak!” teriak Katya. “Siapa orangnya yang berkata begitu, dan m engapa?” aku bertanya-tanya keheranan. Tapi kem udian aku ingat, itulah Katya, dan dialah yang takut katak itu, aku pun m elihat ke bawah. Seekor katak meloncat ke depanku dan diam di situ, membuat sebintik bayang-bayang di atas pasir jalan setapak. “Kau takut?” kata Sergei Mikhailich. Aku m elirik kepadanya. Di tem pat itu, lewat celah-celah deretan pohon aku dapat m em andang jelas wajahnya. Alangkah cakapnya, betapa bahagia tam paknya! Dia berkata, “Kau takut?” Tetapi yan g kuden gar, “aku cinta padam u, Sayang.” Sorot m atanya, belaiannya, kem bali m engulang, “aku cinta padam u,” begitu pula cahaya dan bayang- bayang dan udara, sem ua m engulangnya. Kam i berjalan berkeliling kebun. Katya berjalan sedikit cepat di sam ping kam i dan bernapas keras-keras. Dia letih, dan katanya
Rumah Tangga yang Bahagia 41 sudah waktunya pulang. Aku m enyayangkannya. “Mengapa Katya tidak m erasakan apa yang kam i sedang rasakan?” aku bertanya- tanya keheranan. “Mengapa dia tidak sem uda dan sebahagia seperti aku dengan dia pada malam ini?” Kam i kem bali ke rum ah, dan m eskipun ayam sudah berkokok dan sem ua bujang sudah tidur, pula kudanya di bawah jendela mengais-ngais dan meringkik-ringkik, Sergei Mikhailich belum juga m au m eninggalkan rum ah kam i. Katya tidak m em peringatkan kam i akan waktu, begitu pula kam i yang m em percakapkan segala tetek-bengek tidaklah memperhatikan bahwa waktu telah lewat jam dua. Ayam telah berkokok untuk ketiga kalinya, dan fajar ham pir m enyingsing tatkala dia pergi pulang. Ia m engatakan selamat tinggal sebagaimana biasa, tiadalah terdapat tanda- tanda istim ewa dalam kata-katanya, akan tetapi aku tahu bahwa mulai saat itu dia adalah milikku, dan takkan kulepaskan dia. Segera setelah m enyadari bahwa aku m encintainya, segala- galanya kukatakan kepada Katya. Katya gem bira dan terharu oleh keyakinanku, tetapi sayang ia segera tidur m alam itu, sedangkan aku berjalan kian ke mari di beranda muka, lalu turun ke kebun m enyusuri jalan setapak yang tadi kam i lalui bersam a, seraya m engenangkan setiap kata dan gerak-geriknya. Aku tidak tidur sem alam -m alam an dan m elihat m atahari terbit untuk pertam a kalinya dalam hidupku. Malam dem ikian, pagi dem ikian, tak pernah kulihat sebelum nya. “Tetapi m engapa ia tak lantas saja m engatakan cintanya padaku?” Aku m erasa heran. “Mengapa dia m erasa sulit dan m erasa dirinya telah tua, sedangkan semua itu begitu mudah dan indah? Mengapa saat-saat yang segem ilang ini dikatakannya telah berlalu dan takkan kem bali? Suruhlah dia m engatakan ‘aku cinta padam u!’ Suruhlah dia m engucapkannya dalam kata-kata. Suruhlah dia m eraih tanganku ke dalam genggam annya, suruhlah kepalanya m erunduk dan berkata ‘aku cinta padam u’. Suruhlah dia tersipu-
42 Leo Tolstoi sipu dan m enundukkan kepalanya di hadapanku, dan biarlah kukatakan sem uanya. Atau tidak, takkan kukatakan sepatah kata pun jua—akan kulilitkan lenganku dan kudekapkan badanku padanya dan m enangis.” Akan tetapi tiba-tiba tim bullah pikiran dalam ingatanku, “Bagaim ana kalau aku salah paham dan dia tidak mencintaiku?” Pikiran demikian mencemaskan hatiku. Mudah-mudahan janganlah sam pai ke situ! Aku teringat padanya dan kepada perasaan maluku ketika aku melompat dari dinding tembok kebun buah-buahan ke bawah m enuju kepadanya, m aka jantungku kian berdegup kencang, mataku berlinangan air mata, dan berdoalah aku. Lalu pikiran yang aneh tapi benar—harapan—datang padaku. Niatku sudah bulat untuk berpuasa, untuk mengadakan Sakramen Roh Kudus pada hari ulang tahunku, dan yang pada hari itu juga menjadi tunangan dia. Aku tidak tahu apa sebabnya begitu, tetapi sejak saat itu aku percaya dan tahu bahwa m em ang begitulah seharusnya. Hari telah siang, dan pelayan-pelayan telah bangun ketika aku kem bali ke kamar.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148