Banyumas antara lain Edhi Romadlon, Nanang Anna Noor, Bambang Set, Herman Affandi, Dharmadi, Mas’ut, Badrudin Emce, Basuki Balasikh, Sutarno Djayadiatmo, Haryono Soekiran, dan lain-lain. Tentu saja kehadiran ikon-ikon berkesenian di Banyumas ini lengkap dengan atribut dan bendera masing-masing. Namun paska era 90-an, geliat berkesusatraan di Banyumas kembali kehilangan gregetnya, padahal jumlah Perguruan Tinggi atau jumlah Program Studi Seni di Banyumas semakin bertambah, pun dengan jumlah kantong- kantong berkesenian di Banyumas. Lantas apa gerangan yang terjadi sebenarnya dengan iklim berkesusastraan di Banyumas yang mendung ini. Jangan-jangan apa yang diungkapkan Wachid itu benar-benar terjadi, bahwa di Banyumas saat ini tengah mengalami ‘Ranggasnya Intelektualitas Ber-Kesusastraan’. Meskipun demikian secara cool (baca: anti klimaks), Mas’ut (Sastrawan Banyumas) yang barang kali mencoba mewakili generasinya, kemudian berusaha merenungi ungkapan Wachid tersebut. Dengan santun Mas’ut menampik telah terjadi keranggasan intelektualitas kesusastraan di Banyumas. Dicontohkan Mas’ut (dalam esainya di KR), bahwa tradisi To’et adalah salah satu representasi dari bentuk intelektualitas berkesusatraan di Banyumas. Boleh jadi, yang diungkapkan Mas’ut merupakan sebuah apologi dari generasi mapan, yang merasa gerah dengan lontaran Wachid. Ia sendiri sebenarnya tengah melakukan otokritik. Lalu di mana sebenarnya letak kekeliruan itu? 101
Heru Kurniawan yang mewakili generasi sastrawan muda (yang belum mapan) merasa perlu melakukan regenerasi, meski yang terjadi adalah regenerasi yang nihil. Kenihilan ini terjadi karena yang muda selalu dibayang- bayangi oleh yang mapan, sementara yang mapan sendiri kemudian hanya akan menjadi ‘menara ganding yang retak’ dengan mengagung-agungkan romantisme masa lalu, seperti apa yang diungkapkan Mas’ut. Demikian pun dengan meraka yang berada di bawah bendera ‘kaum intelektual’ atau akademisi. Meraka pun hanya akan menjadi intelektual - menara gading yang retak- jika selamanya hanya melakukan pengkajian karya satsra hanya sebatas sebagai bahan pengajaran bagi mahasiswa sastra, sehingga mahasiswanya pun kemudian ber-enggan-enggan untuk menumbuhkan tradisi berkritik melalui tulisan selain ketika mendapatkan tugas membuat makalah analisis atau penelitian sastra. Di sini agaknya, simpul permasalahan itu bermula, pendidikan. Ya lagi-lagi pendidikan menjadi keranjang sampah tempat semua orang melemparkan kekeliruan. Dalam sebuah kesempatan seminar pendidikan tahun 2001 di UMP, Faruk pernah melontarkan bahwa reformasi pendidikan berkebudayaan yang mestinya dilakukan di Indonesia adalah reformasi tradisi pendidikan dari keberlisanan menjadi keberaksaraan. Sehingga semua nilai- nilai yang terucap melalui lisan tidak akan menguap begitu saja seiring dengan keringnya bibir yang berucap tadi. Keberaksaraan agaknya menjadi sangat perlu, mengingat pada saat ini kita tidak lagi hidup di era keberlisanan. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi tulis, sehingga akan sangat ironis 102
jika di tengah tradisi keberaksaraan masih ada yang mengagungkan tradisi keberlisanan, sekalipun ini bukan merupakan sebuah kesalahan fatal, sebab tradisi kita memang mengenal dongengan. Hanya saja ada konteks- konteks tertentu yang mestinya menjadi sebuah patokan, kapan saat menagungkan tradisi berkelisanan dan kapan saatnya mengedepankan tradisi keberaksaraan. Kekeliruan juga terjadi pada paradigma kita tentang konsep budaya, dan kebudayaan. Saat ini tengah terjadi proses penyempitan makna budaya dan kebudayaan. Setidaknya itulah yang diungkapkan Suminto A Sayuti, dalam kesempatan sarasesahan seni dan budaya di Purbalingga. Hilanngya tradisi kritik yang kemudian menenggelamkan greget berkesenian sat ini adalah disebabkan oleh pergeseran konsep tentang nilai-nilai berkebudayaan. Budaya dan kebudayaan hanya cukup dimaknai dengan berdirinya museum, peninggalan-peninggalan sejarah dan lain sebagainya. Sedangkan roh yang sebenarnya dari budaya dan kebudayaan tersebut hilang sama sekali. Atau dalam bahasa Wachid, ber-kesusastraan saat ini hanya cukup dimaknai dengan berambut gondrong, berbaju hitam dengan segenap aksesoris. Sekalipun semua itu bukan jaminan bahwa mereka telah melakukan perilaku berkebudayaan dan berkesusastraan. Karena toh penampilan yang nyentrik saja juga tidak cukup untuk mengukuhkan bahwa mereka adalah seorang sastrawan atau seorang yang berperilaku budaya. Namun anehnya, masyarakat atau setidaknya mereka yang muda yang tengah berpayah melakukan regenerasi ke- sastrawan-an merasa selalu berada di bawah bayang-bayang romantisme sastrawan mapan di masa lalu. Seolah yang 103
muda tidak akan pernah ‘menjadi’, jika meraka tidak pernah atau lupa mentasbihkan nama yang mapan. Dan yang mapan pun sepertinya masih enggan untuk sekedar melepas jubah kebesarannya menyapa yang muda. Bahkan seolah yang mapan justru bangga dengan kemapanannya dengan terus menurus menghantui yang muda dengan keperkasaan masa lalu mereka. Pun, para akademisi atau kau intelektual, mereka yang paling memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan kritik, mereka sepertinya masih enggan untuk saling bertegur sapa dengan sesama yang mapan apalagi dengan yang muda, yang barang kali tidak akan pernah dianggap, karena mereka merasa paling mapan dalam hal teori, sehingga merasa bukan makomnya kalau mereka menegur atau menyapa yang muda. Syahdan, jika saja yang mapanbermurah hati mau menyapa yang muda atau paling tidak mereka yang mapanmau memberikan contoh bagaimana cara bertegur sapa yang santun antar sesama, maka tidak akan terjadi regenarasi yang piatu ke-sastrawan-an muda di Banyumas. Dan yang terlanjur meranggas akan segera bersemi dengan tunas-tunas yang tentu saja lebih muda, masih lebih banyak memiliki energi. Ya, tentu saja yang muda ini tidak akan pernah lahir dari rahim bunda kebudayaan, jika sang ibu (yang mapan) tidak pernah mau mengandungnya apa lagi turut melahirkan mereka. Sekalipun kepenyairan atau predikat sastrawan itu tidak diraih melalui proses pengakuan dari yang mapan, melainkan dengan sendiri akan melekat setelah yang ’muda’ mengalami dan melalui ritual dalam kawah candradimuka dengan melakukan proses kreatif. *** 104
Ihwal Ekranisasi Ronggeng Dukuh Paruk TULISAN Yosi Muhaemin Giri (YMG) berjudul ‘Idealisme Tohari di Ambang Cinta dan Benci’ pada Forum (Kompas, 14/04/2009) sangat menarik. Pada paparannya YMG dengan begitu banal melancarkan kritik pada pribadi Ahmad Tohari (AT) yang dianggap sudah tidak idealis lagi. Dalam penilaian YMG; ekranisasi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) telah menciderai idealisme. Selama ini AT dikenal sebagai sosok sastrawan dan budayawan yang menentang habis-habisan tayangan-tayangan sinetron di televisi, sehingga ekranisasi dianggap sebagai titik balik lunturnya idealisme itu. Lebih jauh, YMG menilai bahwa yang dilakukan AT merupakan langkah mundur. Ironis, inilah ungkapan yang dipakai YMG untuk menyimpulkan sekaligus menstigma watak pribadi AT. Namun sayangnya, dasar pemikiran dan argumentasi yang dibangun YMG dalam tulisannya ternyata sangat lemah. Setidaknya ada tiga kelemahan argemntasi dalam tulisan teresbut. Pertama, argumentasi yang mengatakan bahwa AT tergiur nominal uang sehingga mau ‘menjual’ lagi RDP. Ini sulit diterima. Lantaran kita tidak pernah tahu berapa nilai 105
nominal dari transaksi tersebut. Kedua, ekranisasi dipandang sebagai bentuk kegagalan publikasi RDP versi cetak. Ini jelas keliru. Bukankah novel RDP telah mengalami berkali-kali cetak ulang. RDP juga telah diterjemahkan dalam lima bahasa asing dan mendapat resepsi yang luar biasa. Saya sepakat jika disebut bahwa RDP dan AT tak populer di kalangan pelajar SMA di Banyumas. Mereka lebih mengenal sosok Chairil Anwar, Rendra, atau Amir Hamzah dan karyanya. Tetapi perlu diingat, ‘perkenalan’ pelajar dengan sastrawan tadi adalah perkenalan kebetulan melalui modul atau buku ajar di sekolah. Inilah fakta yang dimunculkan YMG. Pelajar kurang mengenal RDP karena jarang disebut dalam modul Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah landasan berpikir yang sangat lemah. Sebab permasalahan yang sebenarnya adalah rendanya budaya literasi (baca-tulis) di kalangan siswa di Banyumas atau bahkan Indonesia. Ketiga, hujatan YMG bahwa idealisme –menentang tayangan TV- yang telah lenyap dari AT. Menurut saya, hujatan ini juga lemah. YMG tidak sadar bahwa banyak hal yang berbeda antara tayangan sinetron di televisi dengan film layar lebar. Perbendaan paling kentara bisa dilihat dari segi materi atau isi. Kemudian proses pembuatan, termasuk ideologi yang mengalir dalam dua jenis tanyangan itu. Selain minim intelektualitas, sinetron juga hanya menawarkan hedonisme, diproduksi atas pesanan dengan pola kejar tayang. Tengoklah, apakah ada sinetron yang mengangkat kearifan lokal atau berisi nilai moral. 106
Hedonisme. Ini memang sempat terjadi pada beberapa film layar lebar terkini yang menawarkan postur tubuh, cerita dan adegan yang menyerempet seks. Atau bahkan cenderung vulgar. Namun ini tidak akan terjadi pada ekranisasi RDP. Terlalu dini jika mengatakan bahwa ekranisasi RDP tak ubahnya dengan sinetron. Ini kesimpulan saya atas tesis YMG. Apalagi kita belum tahu bagaimana hasil ekranisasi jilid dua itu. Filmisasai RDP jilid I berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng garapan sutradara Yazman Yazid memang dianggap gagal. Tetapi ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai sebuah hasil dari proses yang belum selesai. Sampai di sini saya melihat AT masih berdiri pada orbitnya sebagai sastrawan yang menentang tayang-tayangan televisi yang tidak berkualitas. Strategi Di luar intervensi kepentingan modal, saya melihat ekranisasi RDP ini merupakan sebuah strategi. Strategi menghadapi perubahan tradisi dan peradaban yang mempengaruhi pola komunikasi dalam masyarakat. Secara umum perkembangan peradaban ditandai dengan tiga perubahan penggunaan alat dan pola komunikasi. Yaitu dari tradisi lisan (oraliti), tulisan (literasi), lalu audio-visual. Yang paling mutakhir adalah berkembangnya model komuniaksi virtual melalui dunia cyber. Nah, ekranisasi RDP sesungguhnya merupakan strategi, bagaimana menjembati kegagapan budaya masyarakat bertradisi lisan yang tiba-tiba harus meloncat 107
menjadi masyarakat bertradisi visual bahkan virtual. Pada kasus RPD, saya melihat bahwa AT tengah mencoba menarik masyarakat untuk kembali pada tradisi literasi yang sempat terlewati. Alasannya sederhana, dalam beberapa kasus ekranisasi banyak menimbulkan kekecewaan pada penonton dan kritisi sastra. Ini terjadi akibat penciutan plot dan degresi cerita di luar novel. Tengoklah kasus ekranisasi Ayat-Ayat Cinta (AAC), Laskar Pelangi (LP) dan lain-lain. Lalu apa hubungannya dengan tradisi literasi? Saya melihat, tatkala banyak kritisi yang gusar akibat ketidakpuasan atas ekranisasi, ini akan menimbulkan rasa ingin tahu para penonton awam. Dengan sendirinya mereka akan mencoba mencari pembandingnya yaitu naskah asli pra-adaptasi. Ini terjadi pada AAC dan LP. Fenomena cetak ulang kedua novel ini terjadi setelah ekranisasi. Novel AAC telah ada sejak tahun 2004, kemudian baru ramai dibicarakan dan populer pada tahun 2008, setelah ekranisasi. Pada awal terbit, AAC tak banyak mendapat respon dari kritikus sastra. Respon banyak muncul pasca ekranisasi. Sesungguhnya ini berbeda dengan RDP yang sejak awal kemunculannya telah mendapat resepsi dari pembaca dan kritikus. Artinya, dalam kasus RDP, sesungguhnya bukan perkara nominal nilai kontrak, atau hanya sekedar bagaimana mempopulerkan AT sehingga berterima di negeri sendiri (Banyumas). Ekranisasi RDP adalah strategi menarik masyarakat (pelajar) yang terlanjur mencintai tayangan –hantu- visual di TV agar kembali dulu pada fase literasi. Ini ditempuh dengan 108
memanfaatkan kekurangan ekranisasi. Dengan ketidakpuasan penonton atas filmisasi RDP, akan memotivasi mereka membaca naskah asli. Nah, proses membaca inilah yang pada giliranya akan membentuk masyarakat literasi. Terlihat naïf memang. Namun ini jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Lantaran tidak ada alat perjuangan modern yang given atau terberi dengan cuma-cuma. Ekranisasi RPD tetap mengandung idealisme. *** 109
Identitas Wong Banyumas dalam Cerpen DISKURSUS ihwal identitas tidak pernah tuntas dari pertarungan perebutan batas makna waktu dan ruang studi budaya. Identitias dalam konteks budaya menjadi demikian penting. Ia menjadi penanda seberapa besar seseorang merasa sebagai bagian dari sebuah entitas budaya atau etnis tertentu dan bagaimana identitas ini memengaruhi perasaan, persepsi dan perilakunya. Identitas budaya tidak pernah lepas dari faktor psikologis pribadi terhadap kelompoknya. Kontestasi tentang batas pemaknaan identitas ini selalu menarik, lantaran identitas bukan sesuatu yang tetap, ia selalu berubah. Konstruksi identitas dibangun melalui proses yang panjang. Batas identitas selalu memunculkan titik perbedaan, ia terus bergerak selaras dengan perkembangan peradaban. Identitas dalam konstruksi budaya selalu mengalami pergeseran, perubahan, lentur, bahkan luntur. Jika kebudayaan yang dianut sekelompok orang mulai luntur, maka luntur pula identitas anggota kelompok tersebut. Di sinilah pentingnya konservasi nilai-nilai budaya guna meneguhkan konstruksi identitas dan jati diri bangsa. Anasir budaya sebagai konstruksi jadi diri dapat digali dari khasanah teks sastra, sebab sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya. Karya sastra acap kali 110
lahir sebagai respon sastrawan terhadap situasi sosial budaya yang melingkupinya. Sastra dapat lahir sebagai resistensi terhadap dominasi, pada saat yang sama ia hadir sebagai wujud penerimaan kondisi budaya. Karya sastra secara simultan merefleksikan jati diri penulisnya sekaligus merepresentasikan identitas kultural masyarakat di sekitarnya. Dengan daya imajinasi, sastrawan menciptakan tokoh yang dilabeli karakter tertentu. Pemilihan dan penyematan karakter ini dipengaruhi wawasan kearifan lokal (local wisdom) yang mendominasi proses kreatif sastrawan. Dengan begitu, sastra selalu terlibat dalam segala aspek kehidupan, termasuk pada ranah kebudayaan. Pada saat yang sama, arena kultural sastra menjadi subordinat wilayah kekuasaan yang dilegitimasi oleh kepemilikan modal ekonomi dan politik. Inilah yang terjadi pada masyarakat Banyumas tempo dulu, yang secara geopolitik berada di wilayah tepian. Sejarah wong Banyumas menunjukan bahwa mereka secara politik, natural, kultural dan sosial berada pada posisi marginal. Wong Banyumas hidup jauh dari hegemoni keraton, mereka tumbuh di wilayah tepian yang dekat dengan sumber daya alam berupa sungai, lembah dan gunung, adoh ratu cedak watu. Adagium sederhana ini secara kultural melegitimasi wong Banyumas untuk bersikap egaliter, berkarakter cablaka, selalu sabar lan nrima, berjiwa ksatria, dan cancudan. Cablaka secara kontekstual maknanya serupa dengan blakasuta yaitu berbicara blak-blakkan atau tanpa tedeng aling- aling. Dalam khasanah bahasa Banyumas, secara etimologi kata cablaka berasal dari kata cah yang berarti bocah dan blaka. Teks kearifan lokal Banyumas juga menyebutnya 111
thokmelong yaitu berterus terang atau apa adanya. Cablaka bagi wong Banyumas sesungguhnya merupakan bentuk kejujuran paling hakiki berkenaan dengan data dan fakta atau kasunyatan urip. Namun pada konteks pergaulan sehari-hari cablaka tidak hanya merepresentasikan kejujuran fakta secara banal. Cablaka merupakan sendi dan sandi kehidupan. Cablaka adalah kode kultural dalam komunikasi yang intim dan nirwatas. Itulah sebabnya, untuk menandai kecablakaan tidak cukup dengan mengidentifikasi data dan fakta yang dituturkan wong Banyumas dengan dialek ngapak-nya. Cablaka jamak mengejawantah dalam bentuk tindak wicara cowag (bersuara keras), mbloak (bergaya serius tapi lucu), dablongan (seenaknya sendiri), mbanyol atau ndagel (dagelan) yaitu bertingkah konyol. Laku mbanyol sendiri lazimnya ditandai dengan tindak; pejorangan (jahil), semblothongan (saru untuk melucu), glewehan (bercanda) dan ngomong brecuh (saru, vulgar). Jejak Tekstual Pada kondisi kontemporer kita sulit mencari referensi aktual anatomi karakter wong Banyumas tersebut. Perkembangan peradaban meniscayakan berubahnya budaya dan watak wong Banyumas. Tetapi secara tekstual, jejak kecablakaan wong Banyumas yang genuine masih dapat kita lacak pada kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari Senyum Karyamin menarasikan kisah hidup bangsa penginyongan dengan karakter asli. Narasi-narasi pendek yang ada di dalamnya secara subtil dan sublim merepresentasikan 112
identitas kebanyumasan. Tohari mendayagunakan tindak tutur, sikap, tingkah laku, pandangan hidup, nama tokoh, dan latar cerita untuk mengikat keseluruhan ciri wong Banyumas dalam cerpen. Nama-nama tokoh seperti; Karyamin, Saidah, Sarji, Sanwirya, Sampir, Samin, Sulam, Ranti, Kimin, Suing, Bakir, Dilam, Musgepuk, Sutabawor, Dawet, dan Cowet adalah nama-nama khas orang Banyumas asli tempo dulu. Kemudian, deskripsi latar alam pedesaan menjadi jejak bagaimana karakter wong Banyumas direkonstruksi. Geografi Banyumas tempo dulu adalah sebuah wilayah agraris dengan sungai Serayu sebagai urat nadinya. Serayu menjadi penanda kearifan lokal. Potensi sumber daya alam yang terkandung di sepanjang DAS ini memberikan inspirasi takterhitung bagi keberlangsungan hidup wong Banyumas. Kekayaan alam ini menempa mereka menjadi cancudan, giat bekerja, cekatan dan trengginas dengan memanfaatkan piranti seadanya. Identitas wong Banyumas juga ditandai dengan penyematan profesi pada tokoh cerpen. Karyamin si pengumpul batu, Sanwirya si penderes, Musgepuk si pawang kerbau yang begitu dekat petani, Kimin dan Suing si pencari kayu bakar, dan lain-lain. Profesi-profesi ini menandai sikap sabar lan nrima nasib yang dialami, sekaligus menumbuhkan jiwa ksatria. Kemudian bertebarannya diktum dan diksi khas ngapak pada cerpen menjadi ornamen kedaerahan. Diktum seperti; ngimpi nunggang macan yang dialami Kenthus, bajul buntung, mitoni, ngayar-anyari, mbuh, sumringah, dan lain-lain merupakan bentuk reproduksi kode budaya menjadi kode sastra melalui 113
kode bahasa. Diksi ngapak benda-benda seperti; pongkor, lincak, sapaan; sampean, wong cilik, kawula, dan sebagainya, meneguhkan jejak identitas kebanyumasan dalam teks sastra. *** 114
Antologi Sastra dan Lembaga yang Memproduksi ANTOLOGI sastra, sebagaimana dijelaskan oleh Hary Aveling dalam buku bertajuk Secrets Need Words, Indonesian Poetry, 1966-1998 (2001) adalah bentuk khusus dari genre sastra. Antologi biasanya disusun menurut prinsip yang dipilih atau ditemukan oleh sang antologis dimana dasar seleksi teks bisa sangat beragam. Dasar penyeleksian teks itu, bisa diniatkan untuk menandai penelitian sejarah perkembangan satu atau beberapa karya sastra, atau diseleksi berdasar karya dari dalam wilayah tertentu yang dibatasi oleh kriteria sastra yang lebih spesifik semisal era atau genrenya; kriteria di luar sastra semisal sastra oleh perempuan atau minoritas etnik; dan kriteria berupa tema tertentu semacam agama, humor bahkan protes sosial. Empat tahun terakhir ini, OBSESI sebagai lembaga pers mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto konsisten memproduksi antologi sastra. Antologi yang diproduksi oleh OBSESI seringkali disusun dari latar belakang lomba penulisan beberapa genre sastra khususnya cerpen dan puisi. Dasar penyeleksian teks lalu dipilih berdasar tema yang telah ditentukan, dan dibatasi 115
hanya untuk mahasiswa se-Indonesia yang karyanya dipilih oleh beberapa dewan juri dari kalangan sastrawan yang sekaligus redaktur sastra sebuah media, semisal Ahmadun Yosi Herfanda dan Joni Ariadinata. Dari kriteria penyusunan antologi sastra berdasar lomba itu, OBSESI telah menerbitkan tiga antologi cerpen bertajuk Rendevous di Tepi Serayu (2009), Bukan Perempuan (2010) dan Lelaki yang Dibeli (2011); dan satu antologi puisi bertajuk Puisi Menolak Lupa (2010). Empat buku antologi di atas, secara komunal menceritakan perbedaan lingkungan kebudayaan suatu daerah, kepercayaan suatu masyarakat serta konflik tersendiri di berbagai lingkungan di Indonesia yang secara kuantitatif selalu memuat lebih dari tiga puluh karya mahasiswa dari berbagai daerah-daerah di Indonesia. Sebagai contoh misalnya, dalam antologi cerpen Lelaki yang Dibeli (2011) kita akan mendapati kisah tentang lapisan masyarakat adat yang hendak dipecundangi lewat iming- iming pinjaman uang dan pelayanan perkreditan lewat cerpen ”Desa Tomatoae” karya Imran Makmur (Mahasiswa Universitas Hasanuddin/Unhas Makassar), kisah keluarga di Lembah Baliem yang mengejar imaji kemakmuran dengan upaya mistik menjadi babi jadi-jadian lewat cerpen ”Noken Baliem” karya Anggo Aryo Wiwaha (Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto), kisah eksploitasi industri di kampung Sendang lewat cerpen “Cerita-cerita dari Kampung Seberang” karya Musyafak Timur Banua ( mahasiswa IAIN Walisongo Semarang). kisah biografis tokoh peranakan cina yang diceritakan secara berbingkai lewat peristiwa pengguratan tungkai kembang yang membusuk lewat cerpen “Bunga Delapan Dewa” karya Sunlie Thomas Alexander (Mahasiswa Senirupa di Institut 116
Seni Indonesia (ISI) dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Dari kesan beragamnya isi karya sastra yang dimuat dalam antologi sastra produksi OBSESI itu, dalam tataran teks sastra dan struktur lembaga yang memproduksinya sebenarnya nampak pula bahwa pembuatan antologi memang tidak bisa lepas dari bingkai kriteria general ideology. Kriteria general ideology ini nampak pada kecenderungan tak bisa lepasnya produksi antologi dari bingkai STAIN Purwokerto sebagai lembaga pendidikan agama yang mendasarkan eksistensinya pada wacana agama dimana prinsip intelektualitas mahasiswanya mesti ditandakan di bidang keilmuan utamanya pemikiran-pemikiran wacana agama di tengah kehidupan sosial budaya masyarakat. Kecenderungan ini lalu berdampak pada praktik pengantologian OBSESI yang berjalan sangat mekanis dengan kriteria tekstualnya dimana secara khusus selalu mengikutsertakan lebih dari lima karya mahasasiwa dari lingkungan STAIN purwokerto dan secara umum berdampak pula pada struktur formal karya sastra yang terkesan seragam dalam gaya penceritaan dan tema. Dampak umum itu setidaknya terlihat pada kecenderungan banyaknya gaya penceritaan realis dengan tema yang mempersoalkan problematika sosial semacam adat juga problema kedirian dimana wacana agama menjadi bagian dari alur yang lantas menjadi solusi pemecah masalah atau sebaliknya agama bersitegang dengan keangkuhan sebuah adat sehingga menjadi konflik utama. Wacana agama dan problematika kedirian misalnya, dapat ditemui dalam cerpen “Istikharah” karya Anggo Arya 117
Wiwaha (mahasiswa STAIN Purwokerto) yang terkumpul dalam Rendevous di Tepi Serayu (2009) dimana pusat cerita bermula dari kebingungan sang tokoh untuk memutuskan menjalani pernikahan di tengah trauma masa kecil rumah tangga orangtuanya sampai akhirnya sang tokoh meyakinkan diri bahwa dia harus menjalani Istikharah, tindakan bertanya pada Tuhan sebab rasa percaya bahwa segala bentuk perkara harus kembali pada pencipta. Sedang wacana agama dan problematika sosial, dapat ditemui dalam cerpen “Lelaki yang Dibeli” karya Gusrianto (mahasiswa Universitas Terbuka /UPBJJ Padang) yang terkumpul dalam Lelaki yang Dibeli (2011) dimana fenemona daerah Padang yang mempertahankan tradisi uang jemputan untuk membeli lelaki (calon suami) yang mesti dilakukan oleh pihak perempuan (calon istri) menjadi konflik utama sebab dinilai telah mengingkari filosofi Minangkabau bahwa seharusnya aturan adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah/Alquran. Tapi, di bulan Maret tahun 2011, OBSESI menerbitkan pula antologi puisi bertajuk Pilar Penyair yang sepenuhnya berbeda dengan empat antologi yang telah saya sebut di atas. Antologi puisi Pilar Penyair tidak lahir dari sayembara melainkan disusun berdasar pengamatan menurut prinsip yang hendak menandai bahwa ada bakat-bakat kepenyairan dalam kreativitas mahasiswa-mahasiwa STAIN Purwokerto yang perlu ditandai kekhasan perambahan ucap dan perambahan wawasannya. Sebab prinsip itu, dasar penyeleksian teks dikhususkan menghimpun puisi-puisi mahasiswa STAIN Purwokerto dengan berpihak pada aesthetic ideology sehingga keberagaman 118
gaya dan tema lebih dirayakan. Puisi-puisi mereka pun langsung diberi tanggapan berupa catatan pembacaan yang dibedah oleh Arif Hidayat (penyair asal Purbalingga) yang sekaligus dapat ditanggapi tidak diabaikannya praktik kritik sastra dalam antologi puisi ini. Pada catatan pembacaan itu Arif Hidayat berkesimpulan bahwa model puisi di antologi Pilar Penyair telah berhasil berhasil melakukan eksplorasi dan pengungkapan peristiwa dramatik yang disusun dengan bahasa terindah sehingga menandai sisi-sisi spiritualitas. Tentu saja kesimpulan Arif Hidayat di atas sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi yang tak dapat dipungkiri, lembaga pers mahasiswa semacam OBSESI STAIN Purwokerto dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah konsisten untuk terus memproduksi antologi sastra di tengah penerbitan, publikasi, atau pendokumentasian sastra di Purwokerto yang seringkali dianggap kian lesu. Setidaknya, buku-buku antologi sastra yang diproduksi OBSESI lahir dari perjuangan untuk mendekatkan karya sastra pada pembaca (masyarakat), dan tentu suatu hari berpotensi menjadi berguna bagi masa depan perkembangan sastra Indonesia. Semoga. *** 119
HTKP: Sastra Indie dari Kota Mendoan TANGGAL 3 April 2005, lima anak muda yang tinggal di Purwokerto mendirikan komunitas sastra bernama Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP). Asal usul penamaan komunitas ini dilatar belakangi oleh situasi hujan deras yang mereka alami bersama ketika selama tiga hari tiga malam terlibat pada proses pementasan drama di salah satu sekretariat kelompok teater di Purwokerto. Situasi itu lalu diartikan sebagai pemantik semangat untuk deras menghasilkan karya dalam situasi apapun. Bukan sekadar hangat-hangat tahi ayam memang, meski jumlah keanggotaan komunitas HTKP tak bertambah ―karena mungkin mereka tak berniat untuk merekrut anggota baru atau menerima anggota baru― tahun demi tahun mereka rutin menyusun kegiatan-kegiatan sastra. Mulai dari mementaskan drama seperti Prita Istri Kita (2005), Waiting for Godot (2007) dan Faust (2008), lalu mendramatisasi puisi sampai menfragmentasikan novel-novel Indonesia semacam Layar Terkembang, Olenka, Keberangkatan dan Ziarah di tahun 2008. Selain itu, mereka juga menerbitkan beberapa himpunan antologi bersama berupa kumpulan monolog, puisi ataupun cerpen. 120
Aktivitas-aktivitas yang sedang dilakukan dan yang sedang direncanakan oleh HTKP seringkali dirangkum dalam selebaran bertajuk “Berita Cuaca” yang dibagikan pada para peserta ketika mereka menggelar suatu acara. Sebagai misal, dalam tiga selebaran “Berita Cuaca” ―kesemuanya volume II, issue 9,10 dan 13, terinformasikan bahwa sepanjang bulan November tahun 2008 masing- masing pendiri HTKP serentak melakukan aktivitas peluncuran antologi puisi tunggal yang terdiri dari Seperti Matamalam karya Agustav Triono, Panggung karya Aliv Esesi, Penyair Bengal karya Ayatullah Muhammad, Kata Asap Kata- kata karya Ari Purnomo, dan Memoritual karya Yudistira jati. Kelima antologi itu telah dibedah di beberapa kampus, bekerjasama dengan komunitas sastra atau dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater dengan memilih ruang yang lebih bersifat publik seperti di parkiran, di halaman auditorium dan di halaman perpustakaan. Melepas bayang-bayang Buku-buku antologi sastra yang HTKP produksi sering disebut oleh pegiat-pegiat sastra di kota mendoan sebagai sastra indie. Jika istilah indie diartikan sebagai lawan dari buku standar produksi penerbitan mapan, sebutan itu memang tak salah, sebab buku-buku HTKP dicetak amat sederhana dalam bentuk fotokopi dan diproduksi dengan biaya mandiri dalam jumlah eksemplar terbatas. Melihat kuantitas buku yang telah HTKP produksi semisal Jejak tapak langkah calon sastrawan Purwokerto (cerpen dan puisi, 2005), Calon Penyair Negeri Sastra (puisi, 2006), Kumpulan Naskah Monolog Orang-orang Tak Terkenal (2008) kita 121
setidaknya mendapati tiga hal: 1). Cara HTKP menyiasati peyampaian karyanya dengan mengoptimalkan penerbitan buku indie secara khusus mendeskripsikan sikap bahwa mereka berbeda dengan kebanyakan penulis di Purwokerto yang lebih mengoptimalkan publikasi karyanya di media massa, 2). Lewat penerbitan mandiri HTKP lebih bebas untuk menuliskan idealisasinya tanpa harus dibayang-bayangi oleh standarisasi industri penerbitan mapan yang umumnya bersifat market oriented, 3). Semangat berkesenian dari segolongan anak muda yang mengekspresikan diri dengan memanfaatkan berbagai genre sastra. Yang patut dicatat, ada ciri umum dari judul-judul antologi bersama produk HTKP itu, yakni mereka seakan ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa telah muncul calon-calon penulis sastra baru di Purwokerto yang belum dikenal lalu mencoba mengenalkan diri lewat sehimpun karya. Pencantuman status sebagai “calon sastrawan” dan “orang-orang tak terkenal” juga menyiratkan bahwa pengukuhan sebagai sastrawan dipercaya masih membutuhkan elemen pembangun di luar diri mereka yaitu pihak-pihak ―bisa media massa, kritikus, komunitas, maupun tradisi kepengaran― yang akan memberi nilai pada pencapaian karya-karya mereka. Sedang di wilayah menampilkan, mendekatkan juga mengakrabkan diri dan karya sastra pada masyarakat, HTKP tak tergantung pada panggung sastra konvensional semacam fasilitas gedung kesenian milik Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) yang konon akan diambrukkan oleh pemerintah daerah Banyumas atau auditorium kampus yang luas tapi butuh biaya besar untuk menyewa. Seperti yang telah saya singgung di bagian atas, HTKP terbiasa 122
memanfaatkan ruang publik semacam parkiran atau halaman perpustakaan yang sempit namun lapang untuk memaksimalkan ekspresi berkesenian. Sebagai individu kreatif, karya-karya para pegiat HTKP juga membicarakan banyak hal, ada yang menyoal pertarungan rasa iman dan hasrat, ada yang menyoal fenomena dunia kepenulisan, tapi punya rujukan seragam yaitu kritik moral yang disampaikan dengan nada sindiran. Simak potongan puisi bertajuk “Memoritual” (terkumpul dalam Memoritual, 2008) karya Yudistira Jati yang berkata begini: suara adzan hampir kalah kondang/ dengan kenaikan pangan & sekejap/ menjadikan lupa ingatan akan tuhan, dan potongan puisi bertajuk “Penjual” (terkumpul dalam Penyair Bengal, 2008) ini: Kau keluhkan karyamu tak laku/ Tak masuk media/ Tak ada yang mau beli bukumu/ Mau jadi penjual jangan menyesal tak laku. Di mata saya, terlepas sejauh mana pencapaian estetik dalam karya-karya yang diproduksi oleh HTKP, sebagai suatu komunitas sastra saya kira kerja kolektif mereka boleh dibilang sebagai “pembeda“ atas komunitas sastra di Purwokerto. HTKP lewat penerbitan indie berani menghadirkan sekaligus memerdekakan karya-karya mereka dengan segala alternatif yang bisa diperjuangkan bersama tanpa harus dibebani bayang-bayang standarisasi “industri kata” dalam kapitalisme media maupun industri penerbitan mapan. Hanya sayangnya, bertambah tahun geliat berkesenian HTKP makin redup, padahal hujan yang mengingatkan optimisme untuk deras berkarya sudah berkali-kali turun membasahi Purwokerto. *** 123
Sastra Banyumas di Dunia Gadget TIDAK selamanya teknologi dan perkembangan sains merampas kemanusiaan. Internet sebagai fitur paling pupuler di dunia gadget yang tergenggam dalam smart-phone, Ipad atau yang ditatap di depan layar netbook telah memberi kemampuan dan kemudahan pada banyak orang yang memiliki minat bersama untuk saling menemukan dan berkomunikasi. Bagai jamur di musim penghujan, kini bermunculan grup-grup berbasis kesusastraan di jejaring sosial semisal facebook ataupun blog. Dalam grup ini agenda- agenda sastra diumumkan, karya-karya sastra dipublikasikan, wacana sastra saling didiskusikan tanpa harus saling bertatap muka cukup memainkan jari di tombol-tombol gadget. Di Banyumas, beberapa orang yang memiliki minat pada sastra membentuk grup-grup semacam itu di dunia maya. Sekadar menyebut beberapa contoh: ada Komunitas Pilar Penyair yang berisi anak-anak muda dari STAIN Purwokerto yang tekun menulis karya sastra, ada Pendhapa Sastra Jawa & Banyumasan yang memiliki minat membicarakan cerita cekak, geguritan dan esai sastra Jawa, ada juga Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang memaksimalkan grup sebagai media untuk mengundang beberapa penulis agar mempublikasikan karyanya dalam bulletin yang mereka kelola. Kehadiran grup-grup ini setidaknya menandakan 124
bahwa sastra kini tak hanya hadir di ruang sunyi tapi juga berbaur di dunia gadget yang penuh hiruk pikuk pergantian informasi tiap detiknya. Keberagaman grup sastra Banyumas di dunia gadget juga semakin menarik dengan kehadiran Penamas yang merupakan akronim dari Para Penulis Muda Banyumas. Berbeda dengan beberapa grup yang saya sebut di atas, Penamas sebagai suatu perkumpulan memiliki struktur yang jelas, program-program kerja terencana yang disatukan oleh motto bersama yang berbunyi begini: “Menampakkan sikap optimis dan solidaritas yaitu mencoba bersama, membangun jiwa kepenulisan, mengasah talenta, mencipta karya dan menyerukan kebangkitan penulis muda Banyumas”. Membaca dokumen-dokumen Penamas yang dipublikasikan di grup facebook, kita dapat mengetahui adanya pembagian peran dan posisi secara terinci yaitu penasihat yang terdiri dari Setijanto Salim dan Ronggo Sujali; Pengurus yang diketuai Agus Pribadi, dan beberapa nama anggota yang tercatat berjumlah lebih dari 20 orang. Sedang dokumen yang lain berisi acara mingguan untuk bedah cerpen juga agenda untuk mengantologikan cerpen dan cerita cekak yang mengangkat tema sosial budaya Banyumas. Tak cukup puas berkarya di dunia maya, Penamas telah memproduksi buku antologi cerita pendek bertajuk Balada Seorang Lengger (LeutikaPrio, 2011). Buku yang telah diedarkan sejak awal tahun 2012 ini, memuat 19 cerpen dari 19 penulis yang berbeda usia, profesi, tempat tinggal namun jika kita mengamati kata penutup yang ditulis oleh Setijanto Salim selaku penasihat terinformasikan bahwa kebanyakan dari para penulis ini adalah alumnus Fakultas Biologi 125
Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki ketertarikan pada sastra dan dunia tulis menulis. Ahmad Tohari penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang didapuk menulis kata pengantar untuk buku Balada Seorang Lengger mengatakan bahwa kekuatan buku ini memang berada pada ciri khasnya yang mengangkat kelokalan Banyumas. Dalam pembacaan terhadap karya- karya yang termuat dalam buku ini. Ahmad Tohari juga menggaris bawahi bahwa ada ciri umum pada 19 cerpen yang memperlihatkan kelemahan tekstual yaitu narasi yang belum tergorganisasi secara optimal, kurang padat, juga ending yang terkesan tergesa dan gagap. Tapi Ahmad Tohari percaya, segala kekurangan tersebut akan terselesaikan jika para penulis tekun dan sabar berproses sampai menuju kematangan. Kekurangan ini memang dapat dimengerti dan dimaklumi karena para penulis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini dengan rendah hati mengakui bahwa mereka masih muda pengalaman dalam aktivitas tulis menulis. Kita pun tahu, internet sebagai fitur dunia gadget telah menjadi alternatif ruang apresiasi karya sastra di luar industri media cetak dan industri penerbitan mapan. Tapi, internet yang bersifat bebas itu memang berpotensi untuk dimasuki siapapun dari kalangan apapun, dan tak menutup kemungkinan sesiapun dapat beridentitas anonim juga palsu dapat memberi apresiasi, sanjungan maupun kritikan entah dalam sifat santun atau sebaliknya. Dunia gadget yang hiruk pikuk itu memang membutuhkan sikap kerendah hatian sebagai modal agar tak mudah jumawa ketika suatu karya mendapat sanjungan atau sebaliknya mudah berkobar amarah jika dipojokkan oleh kritikan. *** 126
Religiusitas Alam Penyair Mas’ut SAYA tak ingat tanggalnya persis, kira-kira dipertengahan tahun 2005, saya menemani seorang teman yang bergiat di Teater Perisai Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) berkunjung ke tempat tinggal seorang pawang hujan. Nama pawang itu Mas’ut. Dia tinggal di area pertokoan getuk goreng H. Tohirin daerah Sokaraja, Banyumas. Sampai kini, saya masih mengenang perjumpaan pertama saya dengan Mas’ut. Malam itu hujan turun rintik- rintik, Mas’ut menemui kami dengan mengenakan sarung dan kaos oblong. Sopan santun seorang tuan rumah tampak dari caranya tersenyum serta sikapnya yang ramah. Dan seperti kebanyakan orang yang telah memasuki usia baya, perutnya buncit, uban tumbuh di rambutnya dan kerut-kerut kulit membentuk garis-garis di sekitar dahi dan pipi. Kurang lebih setengah jam, saya lebih banyak diam di antara percakapan Mas’ut dan kawan saya. Teh hangat yang dihidangkan berkali-kali telah saya teguk dan mulai dingin. Membuang perasaan bosan, saya meraih lalu membaca buku bersampul coklat yang digeletakkan di bawah meja ruang tamu tempat kami bercakap. Lembaran buku itu dipenuhi kliping-kliping kolom-kolom puisi dan artikel budaya dari beberapa surat kabar yang disusun rapi berdasarkan tanggal pemuatan, semuanya tertera nama Mas’ut sebagai penulis. 127
Saat itulah saya tahu, selain dikenal sebagai seorang pawang hujan, Mas’ut adalah salah satu penyair dari Banyumas yang puisi-puisinya cukup produktif dipublikasikan di berbagai surat kabar. Setelah beberapa kliping puisi saya baca bergantian dengan teman saya, lalu tema perbincangan kami lebih banyak berkaitan dengan sastra, terutama proses kreatif Mas’ut saat menulis puisi. Malam itu, dengan semangat Mas’ut bercerita bahwa suatu hari ketika ia berziarah ke sebuah makam, ia melihat seeekor lebah yang hinggap di ranting kering. Ia bertanya dalam lubuk hati, mengapa ranting yang kering itu tak patah menanggung beban tubuh seekor lebah? Pertanyaan inilah, yang lantas menginspirasinya menulis puisi berjudul “Nyanyian Lebah” (Kedaulatan Rakyat [selanjutnya disebut KR], 16 Januari 2005) yang dua bait terakhirnya berisi begini: …Beribu lebah adalah berkah/ bagi tangkai-tangkai zaitun rapuh/ yang takkan pernah pupuh// Seharusnya aku malu kepadamu/ yang tak pernah memberi berkah/ kepada lembah seribu bunga/ kepada bunga yang luka/ kepada tangkai zaitun yang rapuh/ aku malah menjadikannya pupuh. Dari latar belakang situasi penciptaan dan isi puisi “Nyanyian Lebah” itu, mula-mula saya mengira mungkin kepekaannya terpantik karena waktu itu ia sedang berada pada situasi religius (ziarah), dimana indra dan batinnya yang berkontemplasi di tengah alam merangsang kesadaran pekanya untuk memahami diri yang lantas diekspresikannya dalam bait-bait puisi atau dengan kata lain puisi adalah persaksian pengalaman penyair. 128
*** Maka, ketika puisi diletakkan untuk membaca pribadi penyair yang terbayang, dalam puisi-puisi Mas’ut yang kemudian saya baca di beberapa surat kabar, fenomena- fenomena alam intens hadir sebagai cara penghayatannya terhadap kehidupan yang bersifat konsentrik pada upaya mengingat kebesaran Tuhan yang sekaligus sebuah paradoks untuk mengingatkan keterbatasan manusia. Dalam puisi bertajuk “Mampukah Kau Mengeja Asmamu’ (Minggu Pagi [selanjutnya disebut MP], No 24 Th 59 Minggu II September 2006) penghayatan semacam itu terbayang pada respons penyair terhadap bencana alam yang melanda sedemikian cepat, dimana larik “hanya dalam hitungan detik” direpetisi untuk mempertegas kuasa Tuhan yang mampu berbuat apa saja, sedang di sisi lain mempetegas keterbatasan manusia untuk senantiasa mengingat Tuhan di tengah alam yang porak-poranda dan kecamuk hati yang diliputi kesedihan. Simak bait-bait berikut: Tatkala gelombang pasang lautmu mampu mengeja/ apa yang ada dan meluluh lantakkan/ hanya dalam hitungan detik// Mampukah kau mengeja asma-Mu/ pada yang tersisa dari porak-poranda/ hanya dalam hitungan detik?// Mampukah kau mengeja asma-Mu/ ketika kau mampu terisak/ tanpa air mata…? Penghayatan terhadap bencana yang direspons untuk mengingat kebesaran Tuhan juga nampak pada puisi-puisi Mas’ut yang lain misalnya pada puisi “Elegi Bagi Korban Tsunami” (KR, 16 Januari 2005). Bahkan bencana juga menampung penghayatan Mas’ut secara personal utamanya tentang idealnya bentuk solidaritas sosial dimana sikap 129
dermawan selayaknya terwujud sebagai laku ketulusan untuk memberi tanpa terselubungi niat dipuji seperti yang terungkap dalam potongan bait puisi “Siapa Orang Kaya di Negeri Gempa” (KR, 15 Oktober 2006) yang berkata begini: Ternyata jemari tanganku kananku hanya mau memberi/ bila jemari tangan kiriku tahu, apa yang ada dalam/ genggaman tangan kananku. Alam memang tanpak intens hadir dalam puisi-puisi Mas’ut, bahkan menjadi dialog pertanda kedaifan yang konsisten menyuarakan kebesaran Tuhan untuk melengkapi keterbatasan makhluk. Pada puisi bertajuk “Kesunyian Pantai Ketapang” (MP, no 27 Th 60 Minggu V September 2007) semisal, pasir sebagai latar material pantai menjadi pertanda keberluasan Tuhan atau pada puisi “Mawar yang Luruh” (KR, 22 Juli 2007) material alam merupa sebagai aku lirik yang merepresentasikan suara hamba yang selalu membutuhkan pertolongan Tuhan: Aku adalah mawar yang luruh/ sujud dalam bumi-Mu yang gaduh// wahai rob, tolong bisikkan kata-kata cinta/ kepada musim yang berlabuh// dan kepada awan yang gemuruh,/ agar mengucurkan air mata// membasahi bumimu yang gaduh// agar kelopak bungaku tidak kelu/ tatkala menyebut asma-Mu. *** Dalam puisi-puisi Mas’ut, material alam tak hanya dioptimalkan sebagai tanda. Mas’ut juga memposisikan material alam sebagai makhluk otonom dimana eksistensinya perlu terus tetap ada dan perlu dijaga. Maka, tak mengherankan memang jika pada puisi bertajuk “Hijau” 130
(KR, 15 Februari 2009), Mas’ut memadahkan doa bagi kebahagian bunga Gladiol: Selamat pagi Gladiol/ semoga hari- harimu/ angin timur yang mengelus/ lembut kelopakmu, menyerbukkan/ serbuk sari benang-benangmu/ amin. Mungkin alam begitu intens dalam puisi Mas’ut karena ia percaya bahwa pada mulanya dan pada akhirnya bentuk asali manusia adalah debu seperti yang ia tulis dalam bait terakhir puisi “Debu” (KR, 24 April 2011): Seperti juga kau dan aku yang berasal dari debu tanah/ suatu saat nanti pada gilirannya akan jatuh ke bumi/ kembali menjadi debu/ teramat debu. Tampaknya, Mas’ut punya minat utama untuk mengotimalkan alam dan materialnya sebagai kekhasan religiusitasnya yang terbahasakan sebagai perambahan ucap kepenyairan. Tapi, ini bukanlah pandangan final sebab masih banyak puisi-puisi Mas’ut yang belum sempat terbaca, terlacak diakibatkan publikasi yang sampai hari ini tersebar di media-media massa. Saya hanya bisa berharap, peluang pembacaan secara utuh suatu saat terwujud jika ada upaya pendokumentasian puisi-puisi Mas’ut dalam sebuah buku. Kehadiran buku puisi Mas’ut di satu sisi akan memperkaya pembacaan perkembangan perpuisian di Banyumas, dan di sisi lain melengkapi referensi buku-buku puisi yang hadir di wilayah kreatif Banyumas setelah Bambang Set menerbitkan buku puisi Kata Di Padang Tanya (ed. Abdul Wachid B.S. 1997), Badruddin Emce menerbitkan Binatang Suci Teluk Penyu (2007) atau yang terbaru Dharmadi menerbitkan Aura (2011). Semoga harapan pribadi ini segera menjadi kenyataan. *** 131
Aura Modern dan Tubuh di dalam Puisi Dharmadi DHARMADI sudah lama menulis puisi: sejak tahun 1970- an hingga sekarang. Dia menetap di Purwokerto sejak 1970, walau lahirnya di Semarang. Tak heran, bila ia banyak dikenal oleh kalangan sastrawan sebagai penyair dari Banyumas, meski sejak 2005 aktivitasnya lebih banyak di Jakarta. Kiprah kepenyairannya didunia kepenyairan mulai terbentuk berkat komunitas sastra di Banyumas dengan nama Kancah Budaya Merdeka Banyumas, yang kini telah menjadi sejarah. Dia termasuk orang yang produktif dalam membuat antologi tunggal seperti Kembali ke Asal (1999), Dalam Kemarau (2000), Aku Mengunyah Cahaya Bulan (2004), Jejak Sajak (2008), dan Aura (2011). Kumpulan puisi Dharmadi yang dicetak tahun 2011 diberi judul Aura yang diberi pengantar oleh Sides Sudyarto DS. Dalam mistik Jawa, aura berarti perwujudan jiwa, rasa, ruh dan kalb’ yang terpancar—biasanya tampak dari wajah, yang kemudian dapat teridentifikasi mengenai pola prilaku seseorang dan sifat. Aura sisi di batin dengan tercitra melalui lahir. Tubuh adalah wadah bagi ruh sehingga aksistensi manusia ber-wujud dengan terindra. Spiritualitas dari realitas seseorang akan tampak sebagai bayangan secara imajinal. 132
Maka, kehadiran “tubuh” (yang tanah, bau, sakit, dan mati) bagi manusia adalah menandai tentang kosmos dari ruh (yang mengalami transformasi di berbagai alam). Dharmadi dalam buku Aura memang tidak menceritakan tentang aura secara menyeluruh (meskipun ada juga yang berjudul “Aura”), melainkan banyak berbicara tubuh: “Tubuh Sajak”, “Tubuh”, “Tubuh-1”, “Tubuh-2”, dan “Sepetak Kamar Tubuh”, “Wajah”, dan “Telanjang.” Dalam kesusastraan Indonesia, tubuh memang tidak terlalu banyak diperbincangkan. Foucauldian banyak membicarakannya: terkait dengan kedisiplinan dan kepatuhan, juga tentang sejarah seks yang menyoroti kuasa melalui tubuh. Kaum feminis menyorotinya dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek oleh patriarkhal. Dharmadi bukanlah Foucauldian juga bukan feminis, namun ia tergetar ketika melihat fenomena sekarang, ternyata banyak tubuh yang tidak lagi sebagaimana mestinya: yakni sebagai warangka. Tubuh sudah menjadi alat komunikasi, tubuh moral, dan tubuh modern, yang semua itu dicermati oleh Dharmadi dalam perjalanan antara Jakarta-Purwokerto. Sejak lama tubuh memang sudah dikenal menjadi bahasa (body language) yang terbaca melalui isyarat dan petunjuk. Berarti tubuh dapat menjadi media untuk mentransmisikan pesan. Inul Daratista, Dewi Persik, dan Julia Perez misalnya, menggunakan tubuh untuk melakukan komunikasi massa dengan memunculkan “hasrat” sensualitas kepada penonton: untuk memperoleh rasa sukacita. Kehadiran dari tubuh juga menampilkan citra (kita akan berkomentar itu seksi, sensual, atau justru seronok, semua berdasarkan pengalaman dan konstruks sosial budaya dalam rasa, yang kemudian muncul dengan berbagai pembenaran). 133
Tubuh tidak sekadar “bentuk” secara biologis: ada representasi, kuasa, bahasa, wacana, penandaan, ideologi, atau dapat pula berposisi sebagai media. Ungkapan ‘diutuhkan tubuhnya/ agar tak dalam ketercerai- / beraian’ menampilkan bahwa tubuh itu kompleks, tetapi mesti diutuhkan dengan adanya susunan yang dapat lepas dari tubuh itu sendiri. Ada pusat ada luar atau sekeliling: ‘luarku telah di pusat/ dalam tubuhku// kubongkar segala yang lekat: obsesi, depresi, trauma, euphoria,/ narsis/ fanatis/ histeria/ phobia,//. Dari tubuh, memang, dapat teridentifikasi keadaan seseorang mengenai keadaan menyedihkan, bahagia, menjelang kematian, juga tentang praktik sosial yang menjadi sifat: tentunya pemahaman ini merupakan prediksi dari yang terpantul, kecuali seseorang memiliki penglihatan “tembus batas” pada realitas imajinal. Secara kontekstual, dapat terlihat pada adanya standardisasi tubuh terkait dengan pekerjaan. Polisi dan tentara memiliki ukuran fisik sebagai persyaratan utama, sebelum menuju pada kualifikasi lainnya. Pemilihan model untuk memperagakan busana juga berdasarkan tinggi ideal tubuh perempuan. Mitos tentang tubuh ideal telah mewarnai revolusi citra secara kultural, namun dalam beberapa sisi merupakan eksploitasi sehingga keadaan tentang tubuh menjadi obsesi, depresi, trauma, euforia, narsis, fanatik, histeria dan fobia. Orang yang berumur setengah baya ke atas menjadi rutin olah raga pagi karena perutnya yang buncit. Beberapa laki- laki muda untuk “tampak” memiliki tubuh kekar (ada banyak alas an pada tubuh kekar; agar ditakuti orang lain dan ada yang untuk memikat perempuan) menjadi rajin fitnes. Fitnes 134
menjadi kedisiplinan untuk menjaga tubuh yang ideal, dan yang diimpikan. Beberapa tokoh utama pada film atau sinetron juga ditentukan berdasarkan tubuhnya agar dapat menjual, bahkan beberapa artis dan aktor sampai operasi plastik untuk dirinya bisa nampang di layar dan dikatakan ideal. Singkatnya, karena tuntutan pekerjaan, eksistensi, dan kesehatan, kemudian tubuh menjadi plastis. Dharmadi menangkap realita tentang tubuh yang demikian. Ia jadikan sebagai teks. Di mana, puisi menjadi cara untuk membaca realita dan menyampaikan pesan. Keseluruhan kata-kata diramu secara sederhana dan biasa, bahkan datar. Itu yang membuatnya dikejar secara moral karena visibilitas untuk tubuh. Padahal, dia bisa bermain paradoks atau ironi, untuk menjadikan puisi sebagai etnografi dengan memperhatikan apa yang terjadi secara terbalik—mungkin tepatnya dekonstruktif. Tentu itu akan lebih menarik dan menjadikan teks berkesan bagi pembaca, bukan selingan nasihat semacam SMS untuk kawan yang jauh. Sebenarnya, Dharmadi sudah sadar pada realita yang telah memperlihatkan “tubuh yang sengaja diperlihatkan.” Baju, celana, krudung, ataupun penutup tubuh lainnya, telah didesain untuk menyimulasikan lekuk dari tubuh. Dilema dari orang yang ingin kelihatan menarik, tampil mengesankan, dan mempesona melalui tubuh. Semua itu dilakukan dengan proses imitasi dan identifikasi figur maupun kawan, yang kemudian berkembang secara luas sehingga menjadi populer. Baju ketat dan celana pinsil misalnya, memperlihatkan lekuk sehingga muncul bayangan tentang struktur tubuh yang menyebabkan daya fantasi dan hasrat berbaur melawan kode moral dan etik. Kondisi ini 135
yang sudah lama menjadi kecaman beberapa tokoh agama dengan sebutan “berpakaian, tapi telanjang”. Namun, cara menyusun teks, cara komunikasi, cara pembentukan makna, disampaikannya sebagaimana cermin yang buram. Ini membuat ide tak utuh dan makna tujuan hanya dapat dicerna oleh orang cerdas, yang mampu mengaitkan dengan fenomena. Saya sendiri tak terlalu cerdas untuk itu karena memosisikan teks sebagai media dan narasi. Untuk membiacarakan tubuh lebih dalam dan untuk menuju pada saling berimplikasi, maka Dharmadi perlu melihat aura dari tubuh di “zaman yang plastis” bukan berarti tak teridentifikasi sifat dan prilakunya begitu saja. Ia perlu mencermati pada orang yang dikuasai oleh kegelapan karena penghambaan pada tubuh semata. Orang kini buta pada ruh yang bersemayam di dalam tubuh sebagai diri, yang menurut William C. Chittick, sebagai “non-senyawa yang memiliki sinar.” Di tempat yang sama, ruh sebenarnya membutuhkan kesunyian, keheningan dan ketenangan dari tubuh yang natural. Posisi ruh di dunia ini sedang berteduh pada tubuh, tapi tubuh bergolak berdasarkan wacana sosial. Dalam sajak “Tubuh-2” untuk Sides Sudiarto DS, tampak Dharmadi mengatakan ‘kosong tubuhku:// kembali ke/ pusat// bahwa pada akhirnya tubuh yang diindahkan di zaman yang plastis akan ditinggalkan oleh ruh menuju Pencipta (pusat). Dharmadi menyadarkan pembaca secara lugas, dengan imaji yang kurang memandu pembaca. Ia tahu bahwa dalam hidup ini ada “irama perubahan, dendang ketidakpasian” pada takdir yang tak pernah terprediksikan oleh manusia, tapi penyampaian teks perlu seperangkat kode untuk orang lebih mendalami kata-kata yang ia susun. Imbasnya, adalah pesan langsung: tubuh yang dulu ideal 136
akan “bau bangkai” terpenjara dalam “sebidang tanah”: walaupun dibakar, juga abunya akan jatuh ke tanah. Maka, membaca buku puisi Aura karya Dharmadi ini, anggaplah membaca diri sendiri untuk masuk pada “ruang kesadaran” dalam tekanan. *** 137
Identitas Bahasa dari Cerpen Ryan Rachman PENYAIR menulis cerpen bukanlah hal yang unik dalam sastra Indonesia modern, sekalipun tidak semua penyair mau dan sanggup menulis cerpen (Ignas Kleden1). Begitulah ungkap Ignas Kleden dalam mengomentari cerpen-cerpen yang ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri, yang kemudian dibukukan dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Dan, sekarang ini, saya dihadapkan pada cerpen-cerpen Ryan Rachman, yang tentu saja berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri, namun “saya sengaja meminjam ungkapan itu karena kesamaan fenomena saja.” Saya mengenal Ryan Rachman pada bulan Maret 2006, dalam acara Forum Pengadilan Sastrawan Banyumas (FPSB)2 untuk memperbincangkan puisi-puisi. Dari situ, saya 1 Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004). 2 Acara ini hanya berjalan sekitar 6 bulan dari Januari-Juli 2006. Dulu, setiap dua minggu sekali di malam Sabtu, yang banyak diadakan di pelataran Auditorium Ukhwah Islamiah, UMP, tapi sempat juga dilangsungkan di Unsoed Jl. Kamandaka. 138
mengenal Ryan Rachman sebagai penyair (entah pada waktu itu sudah menulis cerpen atau belum, bahkan mungkin juga membuat naskah lakon), yang memang intens dalam menulis puisi, baik yang dibukukan maupun yang diterbitkan di media massa. Sekalipun Ignas Kleden menyebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘penyair-penulis cerpen’, namun saya tetap menyebut cerpenis untuk Ryan Rachman dengan cerpen- cerpen yang telah ia produksi, setidaknya untuk kumpulan Cerita Menjelang Subuh ini. Jikalau saya menyebut ‘penyair- penulis cerpen’ untuk Ryan Rachman, maka itu akan sangat mempersulit karena yang saya tahu, dia juga pernah bergiat di teater, menulis esai juga sekarang menjadi wartawan di Suara Merdeka, di Banyumas. Saya berusaha untuk tekstual terlebih dulu memasuki kumpulan Cerita Menjelang Subuh, yang ditulis oleh Ryan Rachman dengan cukup tekun dan teliti, yakni hanya ada 10 cerpen. Baikah. Saya mulai saja, ya. Cerpen-cerpen yang ada di dalam Cerita Menjelang Subuh banyak mengungkapkan relasi dan sistem sosial, serta kecendrungan melakukan lintas imajinasi dan fakta. Semisal saja, pada cerpen “Demi Istri Tercinta”, “Mbah Joyo”, “Wong Pinter”, dan “Lebaran Kali Ini”, yang dari judul sudah terdeskripsikan relasi dan sistem masyarakat kecil yang ditulis berdasarkan imajinasi pengarang. Tidak lengkap dan menjadi sangat kurang kalau menilai cerpen hanya dari judul, yang hanya menduga-duga saja. Sastra itu bukan tebak-tebakan seperti buah Manggis, maka untuk benar-benar merujuk horizon baca perlu terlebih dulu melihat bahasa karena cerpen juga memiliki otonomi. Jadi, baca juga secara keseluruhan ya. 139
Saya menangkap pola bahasa yang Ryan konstruks dalam pengaruh kultur Banyumas-an,3 meskipun tak sepenuhnya karena kompleksitas bahasa senantiasa bertransisi dalam perkembangan masyarakat. Menandai bahasa di dalam karya sastra tidak sebatas gaya (style), maupun memosisikannya sebagai medium, melainkan juga untuk melihat jejak-jejak yang tidak hadir sebagai keterikatan yang hadir pada teks, maka struktur sosial pengarang akhirnya menjadi penting untuk menemukan relasi dan titik batas kemungkinan. Bahasa yang ditulis oleh Ryan Rachman sederhana, tidak muluk-muluk, pula tidak membingungkan pembaca. Dia piawai dalam menyusun bahasa yang biasa dilisankan menjadi bahasa tulis. Tentu, dengan resiko, bahwa jejak pola penuturan Banyumas-an tertinggal dalam teks yang ia produksi. Alasan saya ini bukan lantaran ada kata semacam cimplung, babon, dan nyekamin pisan dalam cerpen “Demi Istri Tercinta” atau pemasukan beberapa istilah dari Banyumas yang membutuhkan catatan kaki, melainkan pada pola penuturan cerita yang disampaikan. Ryan Rachman banyak menggunakan klitika –nya di dalam bercerita, yang merupakan transformasi keberlisanan yang biasa digunakan oleh orang Jawa, khususnya Banyumas, yakni –e: ayame → ayamnya. (Jika Anda mau, silakan hitung saja banyak klitika – nya sebagai pengganti –e, -ne, -eh). Bukan itu saja, pemilihan dari beberapa struktur kalimat dalam bercerita terasa ideal dan abstrak sebagai ciri khas dari tuturan. Pola kebahasaan ini merujuk pada sosiokultur, yang kuat pada masyarakat penutur yang kompeten dan partisipatif. 3 Banyumas-an bukan karena asli Banyumas, melainkan karena style dalam struktur sosial Banyumas yang menjadi corak. 140
Ryan Rachman4 lahir di dusun Kedung Tawon, Kuwarisan, Kutowinangun, Kebumen.5 Daerah ini adalah daerah transisi, antara Banyumas dan Yogyakarta. Adapun dia sendiri terbilang cukup lama kuliah di Purwokerto sehingga dialektika Banyumas mewujud di dalam teks dengan makna yang ditimbulkan oleh elemen sosiokultur. Cerpen “Mbah Joyo”, “Aku Akan Setia Menantimu atau Legenda Dewi Sekar”, dan “Nonton Lundar” adalah realitas di sekeliling pengarang, yang kemudian didekonstruksi berdasarkan imajinasi sehingga pertautan sebagai fiksi terjadi. Cara menandai cerpen-cerpen Ryan Rachman yang kental dengan lingkup-relitas dengan paparan dialog-dialog antartokoh, yang menjadi corak masyarakat ngapak. Permainan intrabahasa muncul dalam aktivitas penuturan. Bahasa bagi seorang pengarang adalah pengetahuan, baik pada gramatika dan kosa kata, kaidah kebahasaan, respon komunikasi, serta cara menceritakan menjadi teks. Sebagai individu, pengarang juga berada di tengah realitas, yang menggunakan bahasa untuk mentransformasikan 4 Perlu juga untuk melacak secara genetis ide yang ditulis oleh pengerang. Ini bukan berarti pemaknaan didasarkan oleh pengarang. Maksud Roland Barthes dalam esai “Kematian Pengarang” bukan berarti pemaknaan tidak boleh melibatkan lingkup sekitar pengarang, tetapi untuk tidak menjadikan maksud dari pengarang sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Barthes lebih menekankan agar ruang multi-dimensi menyebar seperti jejaring yang berpusat pada teks. Lihat Roland Barthes, “Kematian Pengarang” dalam Imaji Musik Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Music, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra (diterj. oleh Agustinus Hartono) (Yogyakarta: Jalasutra, 2010). 5 Lihat pada biodata di dalam Wijang J. Riyanto, Tatapan Mata Boneka: Antologi Cerpen Joglo II (Surakarta: TBJT, 2011). Di dalam antologi itu, ada cerpen berjudul “Durna Gugat” karya Ryan Rachman. 141
pengetahuan ke dalam teks. Dengan kata lain, Ryan Rachman juga anggota masyarakat dengan terlibat, mengalami, dan masuk ke dalam batas-batas kesisteman pengetahuan untuk ditulis secara fiktif. Cerpen berjudul “Cerita Menjelang Subuh” adalah cerpen dengan pengungkapan karakteristik Banyumas yang cukup kompleks, baik dari segi bahasa, penggambaran tokoh, perumpamaan, maupun metafor fragmen cerita yang membentuk dialogis—boleh jadi karena pengalaman individual. Bahasa di dalam cerpen ini muncul dalam persentuhan intrabahasa yang menimbulkan wujud dan cara bernarasi yang berlainan, yang menjadi khas dari masyarakat tutur dalam menyampaikan praktik diskursus. Penggambaran tokoh diceritakan kecil hingga dijuluki bocah cilik (anak kecil) untuk tokoh perempuan, dan berbadan kecil berwarna coklat kusam hitam, godrong, kucel, jarang mandi, dengan kaos iklan dan celana jeans sobek di kedua lututnya yang jarang sekali ganti untuk tokoh laki-laki yang gemar merokok dan aktif di teater dan Mapala, yang juga mencintai sastra boleh jadi adalah pengalaman dari pengarang itu sendiri. Pengarang sebagai seorang pribadi bersifat imanen dalam narasi, nyata, dan diri yang menulis. Perumpamaan seperti ‘air matanya pun bertambah deras. Mengucur bagai curug Gede di Baturraden’ menjadi representasi pertautan situasi kejiwaan penokohan yang sedang sedih dengan pengalaman sosial dari pengarang. Adapun fragmen cerita ini memberi petunjuk pada formasi lintas ruang dari konsensus nilai pengetahuan pengarang mengenai percintaan yang apa adanya sebagai suatu ingatan. Cerpen “Cerita Menjelang Subuh” memang tidak dramatik, justru memunculkan kesan humor bagi 142
pembaca karena penyampaian bahasa yang blakasuta versi Ryan Rachman sebagai cara berkomunikasi. Kesan dramatik pada cerpen Ryan Rachman mencapai puncak sakralitas pada cerpen “Durna Gugat” dan “Lelaki yang Selalu Memandang Laut” dengan keterbukaan pada ending, juga pada rahasia yang penuh tanda-tanda. Cerpen “Durna Gugat” memunculkan banyak kemungkinan. Cerpen ini disusun dengan dialogis eksplisit antara masa lalu, cerita wayang, penceritaan pewayaan, dan menceritakan kembali menjadi cerpen. Konflik bayang melalui penyalinan menjadi konsekuensi natural dengan dialog dan deskripsi suasana. Sayang, cerita banyak dipenuhi dengan pesan-pesan subjektif dalam memainkan wacana untuk menuju pada sasaran, bukan dimaksudkan sebagai pengalaman, baik secara sinkronis maupun diakronis. Adapun cerpen “Lelaki yang Selalu Memandang Laut” yang juga agak romantis mengalami kebuntuan dengan hanya satu titik konflik yang menjadi acuan. Efek dari itu, sudah tertandai di tengah, bahkan di awal. Cerpen ini menjadi berkesan dengan disusun berdasarkan simulasi bahasa yang cukup puitik untuk menampilkan suasana. Gambaran romantis cerpen Ryan Rachman muncul pada cara melukiskan suasana. Jejak suasana di dalam teks adalah personifikasi sosial yang mestinya dimunculkan sebagai representasi. Lihat pada cerpen “Lelaki yang Selalu Memandang Laut”. Seorang lelaki duduk di balik jendela memandang ke arah laut dengan wajah yang suram. Rambutnya bergerak tak karuan tertiup angin. Matanya cekung dan sayu. Tubuhnya yang kurus terbungkus kaos singlet putih dan celana pendek 143
berwarna biru tua. Dia tampak tua, tetapi sebenarnya dia masih muda, umurnya baru empat puluh tiga tahun. Atau pada cerpen “Aku Akan Setia Menantimu atau Legenda Dewi Sekar” Di kaki bukit di desa kami terdapat sebuah patung wanita. Patung itu bernama patung Dewi Sekar. Jika bulan purnama tiba langit akan sangat bersih, tak ada mendung menggantung dan bintang-bintang seakan lenyap tak tercecer di sana sini. Hanya ada satu benda yang tergantung di langit, sebuah loyang besar berwarna terang. Dalam dua petikan tersebut, penggambaran suasana lebih diarahkan untuk juga menampilkan suasana batin: untuk pertautan alam mikro dan makro. Dalam permaianan suasana semacam itu, dapat saja menampilkan identitas yang khas dari suatu tempat, yang dipandang sebagai lokalitas yang memiliki kearifan. Dan, ia lebih tertuju pada suasana yang romantik. Kisah romantik secara utuh berada pada cerpen berjudul “Masih Kucium Aroma Teh yang Kau Seduh”. Hanya, dalam cerpen ini, pertimbangan tentang struktur sosial di Jepang terabaikan, lebih terfokus pada teh dan kisah percintaan dari imajinasi pengarang. Mislanya, pertimbangan biaya hidup yang sangat mahal di Tokyo akan lebih mempertimbangkan asrama, sekalipun ada uang tambahan dari puisi-puisi yang dimuat di media massa dalam dua minggu sekali, saya rasa masih belum cukup.6 Pengarang 6 Menurut Naomi Kawazaki, kalau sudah berkeluarga (suami istri dan satu anak) di Tokyo sekitar 25 juta rupiah, kalau di desa 18-20 juta (bila disetarakan dengan rupiah). Kalau masih sendiri di Tokyo sekitar 18 juta. Angka ini sebelum bayar pajak dan termasuk biaya rumah (sewa atau 144
tampaknya lemah pada suasana sosial sehingga kurang teliti dalam berimajinasi. Di dalam cerpen ini, Ryan Rachman banyak bermain-main inspirasi personal dengan lemah pada penggambaran identitas sosial sehingga susunan cerita dapat dikonsumsi dari pusat: level-level yang lebih rendah menjadi susah dilacak jejaknya menuju makna keserbamungkinan. Sejauh apapun pengelanaan imajinasi Ryan Rachman hingga ke Tokyo (pada cerpen “Masih Kucium Aroma Teh yang Kau Seduh”) dan Manhattan Broadway (dalam cerpen ”Lelaki Tua dan Piano”), pola penuturan pada struktur bahasa masih bisa dilacak secara genetis, kecuali dia ingin memosisikan diri sebagai pengarang yang sadar untuk menghindari konstruks sosiokultur. Ryan Rachman adalah narator, yang “terlalu banyak tahu.” Dia dalam menyusun cerita adakalanya berbicara sendiri seperti bermonolog: “Dia mirip dengan orang yang gambarnya terpampang di koran. Ya benar. Dia adalah salah satu dari calon bupati yang akan dipilih pada pilkada bulan depan.” Ungkapan itu bisa dimunculkan dalam kejutan cerita manakala diatur dalam intonasi saat dilisankan. Hal ini menjadikan pembaca harus berdiskusi dengan dirinya sendiri secara cermat untuk memasuki alur pikir. Saya rasa itu menjadi keunggulan Ryan Rachman dengan banyak profesi bayar pinjam uang bangunan). Kalau mau hidup mewah lagi, tak ada atap. Dia juga menambahkan, di Tokyo ada tempat kos tradisional dengan biaya sekitar 3-3,5 juta, katakanlah biaya hidup sekitar 10 juta, tapi tempatnya di daerah. (Wawancara pada hari Jumat 25 Nopember 2011, lewat telepon. Dia menjadi teman saya semenjak bertemu di Pascasarjana Kajian Budaya UNS, Solo). Pendapat ini menjadi logis dengan statitika dunia yang mengatakan bahwa biaya hidup tertinggi itu di New York, London dan Tokyo. 145
dan banyak keterpengaruhan pada susunan bahasa, entah sadar ataupun tidak. Selanjutnya, dapatlah Anda telusuri subjektivitas mengacu pada kondisi sosial pengarang atas pengetahuan yang terlalu banyak tahu. Keunikan dan kesadaran diri yang muncul di dalam cerpen-cerpen Ryan Rachman mendeskripsikan—sekaligus menarasikan— permainan tanda-tanda dalam berbagai atribut yang ia pahami. Ryan Rachman yang mulanya saya pahami dari puisi- puisi yang dia tulis, kini cukup mengesankan dalam menulis cerpen. Dia mampu bernarasi dengan baik, walaupun dalam mendeskripsikan tidak sekompleks yang saya harapkan. Tidak banyak orang pula yang mampu bernarasi dalam struktur yang kompleks dengan memainkan tanda-tanda tertentu: relasi antarfungsi yang dapat dirujuk pada elemen kecil di dalam teks. Semoga perkenalan dengan Ryan Rachman makin berlanjut dalam ruang dan waktu yang lebih luas oleh keyakinan proporsional pada cerpen-cerpen yang ia produksi. Saya ingat, pesan dari Anthony Giddens, untuk melihat kedalaman aktor sosial (baca: pengarang) tentang pengetahuan dari aktivitas sosial ditentukan oleh kemampuan mengoordinasikan aktivitas diri dengan orang lain, yang mampu memosisikan diri berdasarkan sudut pandang tertentu dan “bisa membuktikan” melalui penemuan secara mendalam. Anda bisa melihat sudut pandang lain dengan kesadaran dan keyakinan sebagai endapan untuk memahami artikulasi pengetahuan lain. Kemungkinan masih terbuka, jadi buktikan sendiri dengan menjalin hubungan yang lebih intim pada cerpen-cerpen yang ditulis oleh Ryan Rachman. Selamat membaca. Salam. *** 146
Bahasa, Cermin, Kaca Pembesar dalam Puisi Badruddin Emce KADANG-KADANG, dalam sendiri, sering terbersit juga pertanyaan seputar dunia ini seperti misalnya, jalan menuju gunung yang berliku, keindahan bulan, pohon-pohon yang mati di hutan, dan orang-orang yang pergi dari ingatan. Maka itu, kita—sebagai manusia yang dilengkapi panca indra— berusaha untuk mencari jawaban dengan cara melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan tak jarang pula harus mengunyah. Begini maksudnya, bahwa setelah itu, muncul keterkesanan dari keindahan, kesedihan, maupun berbagai perasaan-perasaan lain yang membuat seolah ada yang menyala sebagai makna dalam hidup ini. Pada akhirnya, jadi ingin bercerita: menyampaikan sesuatu, berbagi pada orang lain, dan mengeluarkan bahasa untuk dimengerti, dari pengalaman itu tadi. Dan kita, memang, hidup dalam dunia yang dipenuhi dengan komunikasi. Pada jalan itu, mau diingkari ataupun tidak, puisi itu ditulis dalam rangka berkomunikasi: kepada siapapun, dengan teknik tulis apapun, entah sederhana maupun rumit. Meskipun dalam begitu, penyair kadang kala harus berepot- repot menyusun simbol, tanda, maupun kode, yang unik dan berbeda dari kehidupan sehari-hari, yang kadangkala membuat pembaca kurang mengerti dan membuat sedikit 147
perbedaan arti. Dan setiap penyair bebas untuk memilih, menyusun, dan membentuk puisi sesuai dengan selera, impian, imajinasi, ide, dan gagasan sebagai satu kesatuan yang kompleks. Badruddin Emce dalam menulis puisi dalam rangka berkomunikasi kepada pembaca, juga kepada dirinya sendiri. Bahasa—dipercaya olehnya— mampu menjelaskan tata urut mengenai peristiwa dalam pengalaman, cerita, maupun penggambaran. Badruddin Emce lahir di Kroya, 5 Juli 1962 dan sampai sekarang memilih menetap di Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Dari sekitar tempat tinggalnya inilah, yang kelak di kemudian hari menjadi ide (baca:inspirasi) dalam menulis puisi seperti yang ada di puisi “Awal Oktober, Pukul 15.13 Cilacap”, Widarapayung, Pukul 11.32”, “Bunga Raya Kroya” dan banyak lagi. Dan ketika membaca puisi-puisi semacam itu, serasa pulalah berjalan-jalan dalam kata-kata, rentangan imajinasi yang panjang mengenai suatu tempat, karena ada gambaran-gambaran yang indah: “//Sekilas punggung Nusakambangan/ Tumbuh tiang;// Kawat listrik terbentang/ Ke laut Lepas;// adalah baris-baris yang membuat kita seolah menyaksikan, melihat, mengamati, dan berada di sana; tempat yang ditulis oleh penyair. Kebanyakan dari puisi Badruddin Emce, didominasi oleh “narasi kecil” tentang dunia di sekitar, batas antara diri dan perasaan, dan dunia yang dibangun oleh keterkesanan, misalnya pada puisi “Meditasi Potlot Berwarna”, “Udara dingin”, “Hari Lahir Setiap Orang”, “Ledakan pada Pohon Randu”. Makna dari puisi-puisi Badruddin Emce, memang, dapat saja muncul dari dunia yang ia bangun sendiri. Ia memang piawai, mencatat hal-hal kecil (peristiwa yang mungkin bagi kita sebagai remeh-temeh, namun baginya 148
memiliki keunikan dan sedikit falsafah) berdasarkan perjalanannya menjadi sebuah puisi. Puisi memang bukanlah foto ataupun lukisan. Sehebat apapun kata-kata tetap tidak akan menyamai realitas, bisa mengurangi atau melebihkan. Silakan membayangkan berjalan-jalan pada suatu tempat, berdasarkan gambaran (situasi) di pasar malam: “//Malam itu, lewati yang sudah banyak dilewati orang,/ Naik komedi putar/ Kami tetap gembira./ Tak berpikir apapun kendati malam sangat dingin/ Dan lolong dari istana hantu tiba-tiba pedih./ Hanya untuk membuat kami mengakhiri segala//” Jika pada akhirnya proyeksi tak dapat ditemukan, dan hanya menemukan gambaran peristiwa yang mengesankan, maka ada kalanya puisi memang hanya sampai pada tingkatan itu. Tak perlulah untuk meminta mencermati, kota atau desa misalnya, sebagai ruang yang penuh konstruksi, praktik, relasi, kelas, ataupun restrukturisasi. Beberapa puisi-puisi Badruddin Emce adalah realitas yang berada di sekitarnya,tentang laut, Teluk Penyu, Pantai, Serayu, Serandil, dan pengalaman pribadi yang mengesankan berada pada tempat tertentu, atau terkesan pada peristiwa tertentu. Kita bisa bercermin dari baris-baris kata yang dituliskan oleh Badruddin Emce: //Ini jalan, siap menetapkanmu segembira kampung/buah sukun/menjelma bola, ujungnya thukul angin tenggara//” Dalam baris-baris itu, narasi dan deskripsi dibangun dengan kuat. Keindahan-keindahan memantul dalam bahasa yang sederhana, jujur, dan substansial pada puisi “Jembatan Serayu”: “//Besi tua tersayang, hari-hari terakhirmu ini bersilangan/ keinginan pendukung para calon./Tak setitik pun sisa hawa santai./ Tempatterakhi para pengail ambrol ke dasar/ menjadi kenang perjumpaan paling pertama.// Kita tak bisa menemukan relasi metonimik atas 149
jembatan Serayu. Narasi berkutat pada peristiwa yang sesungguhnya. Puisi yang ia tulis adalah puisi dengan kehati-hatian, dengan makna yang cukup diperhitungkan dan kadang meloncat-loncat bersama rusa di padang hijau. Jika melihat itu dalam rasa sunyi dari tepi jendela sebuah kamar, saat hujan menjelang, maka kita akan dihadapkan pada baris-baris percakapan yang putih, tapi menyipan sisi gelap pada kejauhan tertentu. //kutuang tapi ter-/.tumpah sehingga pohon/ yang kering kutebang/ kuhadapkan lobang itu ke langit/ biar tak tumpah,/ tapi air tumpah dan/ yang tertumpah menetes/ bagai darah//. Betapa susunan antara [tumpah], [air], dan [darah] ditulis dalam kehati-hatian. Kesadaran makna terjaga. Dan air yang tumpah itu menyebabkan kematian. Air itu dianalogikan sebagai darah, yang mengingatkan kita pada tumpah darah di tanah air. Dalam sisi yang cukup sunyi, kita bisa merasakan pandangan, makna, dan pesan, sementara bagi yang tak paham simbol akan melihat sebagai lompatan di padang luas. Ada kalanya Badruddin Emce bermain-main dengan simbol. Simbolisasi dari peristiwa besar yang diolah oleh bahasa dapat menjadi perantara bagi kita untuk melihat determinasi sosial. Dalam puisi “Tiga Abad”: “//Bangun./ Ada sejengkal tanah buat paru./ Di atasnya berserak kata/ Berpuluh kali/ Diapakai orang.// Udara lembab kamar tropika!/Belum usai itu semua // Lewat jendela baru dibuka/ Meloncat kucing//Dengan Tikus pingsan/Tergantung di Mulut.// Puisi dengan simbol-simbol yang ketat untuk mengungkap peristiwa besar, oleh Badruddin Emce banyak ditulis di masa tahun 1980-an dan 1990-an. Masa itu memang secara kanonik sedang bergolak simbolisme dalam perpuisian 150
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164