Video(tron) Pendidikan di Purbalingga DI PENGHUJUNG masa kepemimpinannya, Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko (TBS) tampaknya hendak mengukuhkan diri sebagai ‘bupati pembangunan’ Purbalingga. Bupati yang masa jabatannya akan berakhir pada bulan Juni 2010 ini terus menancapkan panji-panji pembangunan kota. Yang terbaru adalah dengan membangun videotron (layar televise ukuran jumbo) di sudut kawasan segi tiga emas (Segamas). Sebelumnya, TBS juga telah merelokasi pasar kota Purbalingga ke kawasan sentra perekonomian Segamas yang meliputi terminal, pasar kota, dan pasar hewan. Pasar kota, di lokasi ini menempati lahan yang sebelumnya merupakan stadion olah raga Wasesa. Sementara stadion ini telah dipindah ke lokasi yang baru berada di kawasan dalam kota dengan nama Stadion Goentoer Darjono. Setali tiga uang, di lokasi eks pasar kota kini tengah dibangun sebuah kawasan taman kota (city park). Rencananya city park ini akan dilengkapi hotel, pusat jajanan selera rakyat (Pujasera) dan mini panggung teater. Pendek kata, taman kota ini juga menjadi salah satu panji pembangunan kawasan kota Purbalingga. 51
Nah, yang menarik adalah pembangunan videotron yang konon menelan biaya hingga ratusanjuta rupiah. Keberadaan televisi raksasa yang bertengger megah di tepi salah satu ruas jalan Mayjen Sungkono – Kecamatan Kalimanah ini diharapkan mampu membawa perubahan dan dampak positif bagi pembangunan sumber daya manusia di Purbalingga. Pembangunan layar monitor raksasa yang bersisi iklan rokok ini disponsori oleh produsen rokok yang bersangkutan. Semula peresmian operasi videotron ini dijadwalkan pada 9 Agustus 2009, namun pelaksanaan pekerjaan justru melewati deadline. Akhirnya videotron ini baru diresmikan operasionalnya oleh bupati pada 5 September 2009 lalu. Implikasi Sejak resmi dioperasikan hingga kini, Saya sebagai warga Purbalingga belum melihat manfaat lansung dan implikasi keberadaan videotron tersebut bagi pembangunan masyarakat. Penilaian ini didasarkan pada dua aspek; pertama, content atau isi –materi- yang ditayangkan, dan yang kedua adalah lokasi yang kurang strategis. Pertama, materi yang ditayangkan dalam videotron tersebut dimonopoli oleh tayangan pariwara produk rokok. Materi yang sama yang ditayangkan pada videotron di daerah lain. Dilihat dari sisi edukatif, materi ini tentu saja kurang mendidik lantaran mengajak masyarakat untuk melakukan pola hidup yang tidak sehat. Dus, materi yang disajikan bertentangan dengan tagline (visi dan misi) pembangunan Purbalingga yang selama ini 52
digembar-gemborkan. Termasuk cita-cita membangun Purbalingga sehat. Tentang tayangan ini Saya dapat memakluminya, lantaran keberadaan videotron ini memang disuport sepenuhnya oleh produsen rokok tersebut. Namun demikian pemerintah sebagai pemegang kebijakan hendaknya mulai mencari celah dengan memanfaatkan vidoetron tersebut untuk sebesar-besarnya mendukung pembangunan SDM Purbalingga. Kedua, ihwal lokasi. Keberadaan videotron di perempatan Segamas ternyata tidak efektif mempengaruhi masa. Lantaran tayangan yang disajikan luput dari perhatian pengguna jalan. Mereka hanya sekilas melihat tayangan yang disajikan, sambil menunggu lampu lalu-lintas menyala hijau. Sehingga jika ada pesan moral yang hendak disampaikan, sulit diterima. Untuk aspek kedua ini, sepertinya pemerintah – berdasar kabar yang beredar- memang sudah merencanakan relokasi videotron ke kawasan Purbalingga City Park yang saat ini tengah digarap. Artinya sebentar lagi videotron bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk ‘memengaruhi’ masa yang berkumpul dan bersantai di kawasan taman kota sebagai ruang publik. Pendidikan Lantas yang perlu dibenahi (baca: tambah) lagi adalah ihwal materi tayangan. Sebagai media pariwara, videotron sesungguhnya juga berpotensi menjadi media propaganda pendidikan. Saya melihat, setidaknya ada empat implikasi 53
positif bagi pembangunan SDM yang dapat ditimbulkan dari keberadaan videtron. Pertama, videotron sebagai media pencintraan atau pembentukan image tentang Purbalingga sebagai kabupaten yang pro investasi. Caranya adalah dengan memasukan tayangan-tayangan tentang potensi pertanian, perindustrian, perdagangan dan sebagainya yang dimiliki Purbalingga. Tayangan ini akan mendekatkan dan meyakinkan investor yang hendak berinvestasi di Purbalingga. Kedua, videotron sebagai media komunikasi politik. Di sini keberadaan videotron dimanfaatkan untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan. Apalagi selama ini, informasi tentang Perda, Perbub dan kebijakan stategis lainya kurang publikasi, sehingga masyarakat tidak paham mengenai aturan tersebut. Ketiga, layar raksasa berbasis multi media ini dapat mendukung upaya kampanye obyek wisata potensial yang ada. Ini dapat dilakukan dengan memasukan video potensi pariwisata dan fasilitas pendukung yang ada, serta kemungkinan pengembangaanya. Dengan demikian, diharapkan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung dan menikmatinya. Ada nilai ekonomis bagi penambahan PAD di sini, sehingga harus ada aturan main yang jelas antara pihak-pihak yang hendak memanfaatkan videotron. Ini penting, lantaran videotron tidak dibangun atas inisiatif pemerintah sebagai media pembangunan sumber daya manusia, melainkan inisiatif pihak sponsor tunggal yang memanfaatkan peluang pasar dan investasi di Purbalingga. 54
Keempat, videotron berimplikasi pada pembentukan identitas Purbalingga. Menurut Saya, tayangkan videografi sejarah, keragaman potensi seni dan budaya yang ada di Purbalingga dapat mendekatkan dan mengenalkan kembali generasi muda tentang identitas dan asal-usul Purbalingga. Lantaran selama ini generasi muda mulai lupa dan tercerabut dari akar budayanya. Pada ranah pendidikan, sesungguhnya videotron ini akan sangat efektif. Apalagi jika materi yang disajikan beragam, mencakup perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan lokal, khasanah budaya nusantara, dunia, dan sebagainya. Jika perlu, videotron juga dapat diisi tayangan tentang upaya pemberantasan korupsi, terorisme, tertib berlalu lintas dan penegakan hukum lainnya. *** 55
Ikon, Tanda dan Ruang 56
Semiotika Pembangunan Purbalingga DALAM dua periode kepemimpinan Bupati Triyono Budi Sasongko (TBS), secara fisik kondisi wilayah perkotaan Kabupaten Purbalingga berkembang pesat. TBS mampu membangun citra sebagai “Bupati Pembangunan”. Setidak- tidaknya inilah penilaian masyarakat awam yang melihat bertebaran ikon-ikon pembangunan yang berfungsi sebagai monumen di Purbalingga. Bupati TBS dan Soetarto Rakmat, pasangannya (Wabup periode I) telah mengubah bentuk alun-alun kota menjadi bundaran bersimpang lima. Mengubah arsitektur masjid besar menyerupai Masjid Nabawi. Periode kedua masa kepemimpinan TBS, bersama Heru Sudjatmoko (Wabup), ditandai dengan pembangunan bidang pariwisata, ekonomi dan perikanan. Duet kepemimpinan ini berhasil menyulap kolam renang kecil di Kecamatan Bojongsari menjadi arena waterboom dan beberapa wahana pendukung lainnya. Owabong menjadi ikon pembangunan parisiwata. Kemudian pada sektor ekonomi, TBS mengembang- kan wilayah ekonomi segitiga emas (Segamas). Ia berhasil meyakinkan rakyat bahwa relokasi pasar kota ke dalam satu 57
kawasan dengan terminal merupakan terobosan jitu untuk membangun perekonomian Purbalingga. Apalagi di kawasan yang sama juga didirikan bursa unggas dan ternak lain. Monumen Setiap wujud yang telah dan tengah dibangun di Purbalingga sesungguhnya merupakan sebuah monumen yang menandai sebuah momen yang berjalan. Bentuk fisik menjadi tanda bahwa pembangunan terjadi di Purbalingga. Tanda dalam perspektif semiotika disebut semion, yaitu sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya. Sesuatu itu dapat berupa gagasan, pengalaman, ide, pikiran atau perasaan. Dalam konteks komunikasi pembangunan, sesungguhnya Bupati Purbalingga berhasil mewujudkan citra yang melampaui realitas yang ada. Bentuk semion yang saya maksud berupa patung yang bertebaran di berbagai sudut kota. Patung Pangsar Jenderal Sudirman di perempatan komplek Segamas, Tugu pengrajin knalpot di simpang tiga Sayangan, patung ikan gurami, replika knalpot raksasa, sanggul raksasa, sajadah kayu raksasa dan sebagainya. Wujudnya memang dapat dilihat dan diraba. Tapi nanti dulu! Palsu Secara formal ikon-ikon ini tercatat dan mendapat penghargaan Muri. Replika ini seolah jadi sangat ikonis atau mewakili realitas yang sebenarnya. Sanggul raksasa misalnya, dipresentasikan untuk menyatakan bahwa Purbalingga adalah kota terbesar kedua di dunia yang memproduksi aneka 58
barang olahan hasil kerajinan dari rambut. Setali tiga uang dengan replika knalpot raksasa dan patung ikan gurami. Sesungguhnya bentuk replika dan tugu tersebut dimaksudkan untuk mengatakan sebuah gagasan bahwa penduduk Purbalingga sudah cukup sejahtera dengan hasil industri atau perikanan tersebut. Apalagi industri rambut yang berorientasi pada pasar ekspor. Secara formal usaha pencitraan ini berhasil. Rakyat terlanjur sepakat bahwa Purbalingga adalah produsen kerajinan barang olahan dari rambut. Namun sesungguhnya rakyat tidak sadar bahwa ikon tersebut semu. Produk kerajinan rambut belum mampu meningkatkan kondisi perekonomian. Kondisi sektor perikanan, Gurameh Center (GC), ternyata mengalami stagnasi dalam pengembangannya. Bahkan usai diresmikan olwh Gubernur, GC tak pernah terdengar gaungnya sebagai sentra pembudidayaan ikan gurami yang bermutu. Pendek kata, fakta ini membenarkan bahwa semion apapun bentuknya dapat digunakan sebagai salah satu materi untuk berdusta. Ini terjadi tatkala realitas yang hendak direpresentasikan melalui ikon yang ditebarkan ternyata tidak sesuai, sengaja direduksi. Tanpa bermaksud mengingkari kesakralan sebuah patung sebagai ikon yang lebih mirip berhala ini, sebenarnya praktik pencitraan juga terjadi di banyak sektor pembangunan di Purbalingga. Pencitraan Pembangunan Pertanyaannya kemudian, apakah membentuk citra itu salah? Tidak! Tak ada yang keliru. Pembentukan citra ’’membangun’’ dengan mereproduksi serangkaian tanda 59
sesungguhnya bagian dari ketaklangsungan ekspresi. Tanda atau ikon tersebut dapat menduduki posisi sebagai identitas ’’pembangunan’’ Purbalingga. Yang perlu diteguhkan ke depan sesungguhnya adalah misi dan orientasi pembangunan. Setidaknya ada tiga sektor utama yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pendidikan. Jika bentuk patung Jenderal Sudirman telah merepresentasikan sosok Sudirman secara primordial sebagai asli Purbalingga, maka pemerintah perlu menegaskan misi pendidikan lebih dari itu. Bahwa terdapat nilai-nilai patriotisme yang harus ditiru dan dianut oleh rakyat, pejabat dan birokrat. Internalisasi, itulah yang perlu dilakukan. Bisa melalui pendidikan formal dan nonformal. Ini perlu didukung kebijakan sektor pendidikan lain. Lantas, kedua di pembangunan sektor ekonomi. Jargon ekonomi kerakyatan harus ditegakan. Selama ini pembangunan ekonomi masih berkutat di pusat kota. Di sini reformisi dilakukan dengan memberikan perhatian sepenuhnya pada pembangunan pedesaan. Caranya bisa dengan memberikan tambahan nominal ADD dalam APBD. Tentu dengan pengawasan yang ketat dalam tahap pelaksanaannya. Ketiga adalah pada sektor tenaga kerja atau perburuan. Kebijakan pemerintah pada sektor ini terlalu menguntungkan pengusaha asing. Sementara para buruh bumi putra belum merasakan dampak kebijakan pembangunan sektor ini. Penegakan UMK menjadi syarat mutlak reformasi sektor ini. *** 60
Ikonisitas Masyarakat Banyumas SIAPA yang tak kenal Bawor? Tokoh rekaan dalam dunia pewayangan gagrag Banyumas ini terlanjur dipilih sebagai ikon atau maskot masyarakat Banyumas. Konon, sosok Bawor diciptakan sebagai representasi karakter asli wong Banyumas. Wataknya dianggap mewakili kondisi komunitas masyarakat pedesaan Banyumas yang terkenal cablaka (transparan), jujur, dan nrima ing pandum atau apa adanya. Meski secara fisik perawakan Bawor sangat jelek (berperut buncit, berbokong besar, dan berwajah buruk), Pemerintah Kabupaten Banyumas memilih sosok ini sebagai ikon. Tentu pemilihan ikon ini dilandasi semangat filosofi dan karakter Bawor yang sering digambarkan dalam pakeliran gragag Banyumas. Paradoks Dalam pentas pakeliran Banyumasan, selain bertampang jelek, tokoh ini juga dicitrakan gemar ndagel (melucu), ndablong (selengekan), lugu, dan tampak bodoh. Anehnya, dengan stigma yang demikian rendah, masyarakat Banyumas justru sangat bangga dengan ketokohan Bawor. 61
Sosok Bawor tidak membuat orang Banyumas merasa under- estimate (rendah diri). Kebanggaan ini tentu saja bukan dasar. Stigma negatif yang dicitrakan tersebut ternyata merupakan bentuk sublimasi dari aura positif yang tertanam dalam lubuk hati orang pedesaan Banyumas. Kejujuran, keluguan, dan sifat cablaka menjadikan Bawor sebagai orang yang kerap diberi kepercayaan, bahkan dimintai nasihatnya, oleh para pemimpin kerajaan Jawa di dunia pewayangan, zaman dulu. Bawor adalah abdi dalem, sekaligus masyarakat jelata, yang hidup dalam persinggungan arus budaya tradisional- marhaen di luar birokrasi kekuasaan pemerintahan. Dalam gragag Banyumas, ia digambarkan sebagai anak tertua dari Ki Lurah Semar. Bawor memiliki dua adik bernama Nala Gareng dan Petruk. Keempat tokoh ini dikenal sebagai Punakawan atau orang (kawan) yang mengetahui dengan jelas segala tabiat (kelebihan dan kelemahan) sang Ndara (Bendara) atau orang yang diikutinya. Sebagai abdi, Bawor terlanjur dicitra-kan dengan sosok yang kurang memiliki ilmu pengetahuan. Ia acapkali diperlakukan semena-mena oleh dalang yang memainkannya. Namun demikian, kurangnya wawasan ini tidak berarti Bawor memiliki IQ, EQ dan SQ yang rendah. Elan Bawor yang nrima ing pandum, jujur, lugu, dan cablaka susungguhnya kontras dengan bentuk fisiknya yang jelek. Keterbatasan ini membuat ia suka dagelan, hidup dalam kebodohan dan kesederhanaan. Sistem logika yang dibangunnya cenderung bertolak belakang dengan kehidupan kontemporer. Bawor juga 62
memiliki tabiat glogok soar, atau suka mengumbar tutur tentang apa yang ia ketahui, tanpa menimbang akibatnya. Ikonisitas Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sekali lagi, sosok Bawor dipilih sebagai ikon masyarakat Banyumas. Bahkan secara simultan, karakter ini mengejawantah dan membentuk persamaan sifat bagi masyarakat Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap: tiga wilayah yang secara kultur memliki akar budaya yang sama. Namun, dalam pandangan saya, ikonitas Bawor sebagai representasi (simbol) karakter wong Banyumas ini perlu dipertanyakan. Mengingat watak tokoh Bawor sudah luntur dari karakter wong Banyumas. Kondisi masyarakat Banyumas kontemporer cenderung mengingkari karakter Bawor. Alhasil, ikonisitas Bawor mulai meredup, melemah, bahkan banyak wong Banyumas yang malu dengan simbolisasi tokoh Bawor. Pengingkaran karakter Bawor terjadi karena dua faktor: internal dan eksternal. Penyebab dari dalam termanifestasi dalam bentuk sikap malu atas budaya sendiri, dan terlalu mengagungkan budaya asing. Akibatnya nilai-nilai moral yang diajarkan dari sosok Bawor menjadi terasa asing, nyeleh, dan ketinggalan zaman. Selain itu, nafsu untuk berkuasa, bertahtah, dan berharta yang meletup dalam diri juga turut memengaruhi lunturnya ’’ajaran’’ Bawor. Fenomena ini dapat dilihat dari polarisasi polemik kebudayaan di Banyumas. Kontestasi penataan Alun-alun antara sejumlah seniman dan birokat adalah contohnya. 63
Faktor eksternal berupa pengaruh gerusan arus budaya asing yang masuk melalui acara di televisi, persinggungan sosial (akulturasi), internet, maupun produk budaya yang terang-terangan diinternalisasi. Bentuknya bisa berupa ideologi serba instan dan budaya permisif. Bahkan dalam praktik penyaluran aspirasi juga acapkali mengingkari karakter Bawor. Migrasi, urbanisasi, dan hadirnya warga ’’asing’’ ke Banyumas ikut adil dalam pengingkaran karakter Bawor. Di lingkungan kampus, misalnya, akulturasi sosial antara mahasiswa pendatang dan masyarakat setempat juga memengaruhi pola berkebudayaan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah merevitalisasi karakter Bawor dan membumikannya kembali pada masyarakat Banyumas. Ini harus dimulai dari atas (penguasa), mulai dari tokoh seniman, budayawan, politikus, hingga kaum intelktual. Mereka harus memberi contoh kepada masyarakat tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku yang menjiwai elan karakter Bawor. *** 64
Kartun Banyumasan sebagai Dagelan Budaya SALAH satu karakteristik wong Banyumas yang sering dimetaforakan dengan tokoh Bawor dalam kancah pakeliran Gragag Banyumasan adalah kebiasaan ndagel atau melucu. Produknya disebut dagelan (lelucon). Dagelan sudah menjadi akar tradisi watak wong Banyumas. Kebiasaan ini melengkapi karakter lain yaitu cablaka (transparan), apa adanya, dan glogok soar atau suka mengumbar ukara. Dalam pentas pakeliran gragag Banyumasan dagelan menjadi salah satu fragmen yang ditunggu-tunggu penonton. Kondisi Kontemporer Namun dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, tradisi ndagel ini sudah mulai luntur. Dagelan mulai kehilangan greget dan rohnya tatkala humor-humor popular menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Padahal dalam konteks budaya Banyumas sesungguhnya dagelan ini hadir bukan tanpa sebab. Dagelan diciptakan bukan sekedar sebagai hiburan. Meski jenaka, ia hadir syarat pesan moral. Nah kejenakaan inilah yang 65
membuat dagalan dalam seni pementasan wayang Banyumas selalu menarik untuk disimak. Sekarang, nasib dagelan setali tiga uang dengan kondisi bahasa Banyumas atau dialek ngapak yang menjadi medianya. Dagelan yang khas dengan dialek ngapak kini telah tergeser dengan lelucon atau humor ala Tawasutra XL, Abdel-Temon dan lain-lain, yang hadir melalui program televisi. Meski sejatinya sama-sama menghibur, namun jika dagelan diganti dengan humor-humor populer macam itu, secara keseluruhan dagelan tetap tak tergantikan. Penggunaan bahasa Banyumas, dan seting sosial masyarakat yang melatarbelakangi dagelan tak akan muncul pada seting humor populer. Elan dagelan adalah mengajar sambil melucu. Mengingatkan sambil bercanda, mengkritik dengan jenaka. Sehingga pihak yang diajar, yang tengah diingatkan,dan dikritik tak merasa tersinggung. Ini jelas berbeda dengan humor populer yang lebih menonjolkan sisi kelucuan dan nyaris tanpa pesan bijak. Bentuk Baru Nah, yang menarik, di tengah kelesuan dan kian terpinggirkannya tradisi dagelan kemudian muncul genre baru yang merupakan varian dari dagelan. Bentuk baru dagelan ini berupa kartun Banyumasan. Saya sebut bentuk baru, mengingat selama ini dagelan merupakan bagian dari tradisi keberlisanan atau seni bertutur. Pada bentuk barunya, dagelan tidak lagi muncul sebagai tuturan yang dilisankan, melainkan percakapan yang 66
diletarisakan. Untuk membentuk dialog ini, dagelan diperankan oleh tokoh-tokoh kartun menjadi komik. Lahirnya komik atau manga –dalam bahasa Jepang- Banyumasan ini setidaknya membawa tiga manfaat. Pertama, bisa menjadi bacaan alternatif di luar komik buatan Jepang yang lebih dulu hadir dan menjajah pasar komik lokal. Kedua, komik Banyumasan dapat menjadi obat untuk menyembuhkan kerinduan pada suasana batin orang Banyumas akan tradisi dagelan yang mulai langka. Ketiga, komik-kartun Banyumasan ini menjadi genre baru dunia lelucon Jawa –termasuk dagelan- yang patut dikembangkan. Kartun Budaya Salah satu karakter yang paling menonjol pada kartun Banyumasan adalah penggunaan bahasanya. Sehingga kartun Banyumasan ini memenuhi kriteria sebagai humor etnis atau dagelan budaya. Pada segi tema, kartun Banyumasan banyak mengusung tema politik, sosial, ekonomi dan budaya. Tema ini mengantarkan kartun Banyumas menjadi humor satire yang bernas tapi jenaka. Seperti karakter dagelan. Seperti humor verbal pada umumnya, kejenakaan pada kartun Banyumasan dibentuk dengan pola tindak tutur yang melanggar 4 maksim pada prinsip kerjasama Grice, dan melanggar 6 maksim pada prinsip kesopanan Leech (1983). Empat maksim prinsip kerjasama yang dilanggar dalam humor verbal model kartun Banyumasan ini adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi dan pelaksanaan. Sedang 6 maksim prinsip kesopanan yang dilanggar yaitu maksim 67
kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kerendahan hati, permufakatan dan kesimpatian. Kendala Komik, merupakan perpaduan antara seni gambar dan seni sastra. Komik terbentuk dari rangkaian gambar yang secara simultan membentuk satu cerita. Pada tiap gambar terdapat balon tuturan sebagai narasi cerita yang diperankan tokoh atau karakter yang mudah dikenal dan lucu. Kartun Banyumasan pernah muncul dalam bentuk serial komik yang dimuat di media cetak lokal. Di sini kartunis menciptakan dua jenis kartun, yaitu kartun dengan tokoh manusia berjudul ‘Carub Bawor’ dan kartun berjudul Kang Tikus dengan mengangkat karakter tikus. Meski menggunakan dua tokoh berbeda, namun isi kedua kartun tersebut sama. Keduanya mengusung cerita lucu ala dagelan. Sehingga keduanya dapat disebut sebagai dagelan tertulis. Kemudian, serial kartun ini muncul dalam bentuk buku komik seri Banyumasan berjudul Wis Gunane Rekasa (2006). Pada bentuk komik tokoh yang diangkat adalah tokoh tikus. Selain lucu, karakter tikus juga mudah diterima. Bahkan tikus telah menjadi karakter sekaligus ikon kartun produksi waltdisney dan lain-lain. Sehingga kita mengenal ada tokoh Mickey Mouse dan Jerry. Yang menjadi kendala perkembangan kartun Banyumasan adalah; pertama, pada bentuk serial kartun Banyumasan sudah tidak pernah muncul lagi di media cetak. Kedua, pada bentuk buku hanya terbit sekali, dan hanya satu judul buku komik. 68
Dalam pandangan saya, ada dua faktor pemicu kendala tersebut. Pertama, kartunis kehabisan ide atau tema dagelan untuk dikartunkan. Kedua, kurang apresiasi dan modal sehingga media cetak dan penerbit enggan menerbitkan kartun dagelan Banyumasan. Untuk faktor pertama, menurut saya dapat disiasati dengan menyublimasikan isu-isu aktual yang menjadi headline berita ke dalam bentuk kartun. Tentu saja dengan tetap menonjolkan karakter dagelan dan perspektif wong Banyumas. Untuk faktor kedua, kartunis bisa membuat kesepakatan aturan main dalam pemuatan atau penerbitan buku. Inipun harus disertai dengan sharing investasi yang jelas. Pada kurangnya modal, sebenarnya kartunis dapat meminta ‘pertanggungjawaban’ lembaga kebudayaan di daerah (Dewan Kesenian) sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka menghidupkan seni dan budaya termasuk manga lokal. Jika saja dagelan versi kartun Banyumasan ini bisa tetap eksis, maka generasi mendatang –wong Banyumasa- dapat dengan mudah mengenal keluhuran budi budaya dan seni tradisi yang pernah berkembang. Ini juga menjadi alternatif bagaiaman mengawetkan seni tradisi dari benturan dan gerusan arus modernisasi. *** 69
Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna GEDHEG, pada mulanya memang lebih dikenal sebagai dinding rumah yang terbuat dari bahan dasar bambu. Rumah dengan dinding Gedheg hanya dapat dijumpai di desa-desa terpencil di Pulau Jawa. Mereka yang mendirikan rumah dengan dinding Gedheg biasanya adalah penduduk yang masuk kategori miskin, terbelakang dan kurang berpendidikan. Al-hasil, wajar jika Gedheg kemudian menjadi tanda sebuah kondisi masyarakat yang marginal, terbelakang, miskin, dan bodoh. Gedheg menjadi mitos keterbelakangan peradaban. Ini juga wajar, mengingat sebagai produk hand made (buatan tangan), anyaman dinding ini cenderung tidak rata. Jalinan lapisan bambu yang tidak erat akan meninggalkan lobang-lobang kecil pada tiap titik pertemuan anyaman. Pada saat yang sama, ketidak-sempurnaan ini melahirkan sebuah ungkapan metaforis yang berkonotasi negatif yaitu ‘Rai Gedheg’. Rai Gedheg dalam pandangan Saifur Rohman (Kompas, 20/06/2009) merupakan representasi praktek wacana berpolitik terkini. 70
Apa yang dijelaskan Saifur Rohman itu sesungguhnya hanya bagian kecil –yang bersifat negatif- dari kearifan lokal gedheg. Tentu saja itu syah dan tidak keliru. Namun saat ini memilih gedheg dengan segala kekurangannya sebagai metafora membawa kita pada kondisi pemakaian dan pemaknaan tanda yang sudah lapuk. Saya tidak mempersoalkan analogi dan metafora rai gedheg dengan tingkah para politikus menjelang pemilihan presiden dan wakil secara langsung tahun 2009. Yang saya persoalkan adalah pemaknaan atas gedheg yang cenderung stagnan dan tidak kontekstual. Berkelas Gedheg adalah dinding dari anyaman bambu yang berkonotasi murahan, gampangan, dan rendah. Dalam proses pemaknaan secara kultural, gedheg menjadi simbol kelas sosial yang marginal, terbelakang, dan bodoh. Sebuah kelas sosial yang lazim tinggal di desa. Itu dulu! Kondisi kontemporer justru memaksa kita untuk mereproduksi pemaknaan atas gedheg secara kontekstual. Alasannya sangat sederhana. Saat ini, gedheg sebagai material bangunan telah menduduki posisi yang berbalik dari posisi awal. Jika dulu gedheg dianggap sebagai bahan dinding rumah (ruang) yang murahan, saat ini justru sebaliknya. Gedheg telah mengalami migrasi. gedheg tidak lagi menjadi monopoli orang udik yang marginal dan terbelakang. Gedheg saat ini menjadi material dinding yang sangat familiar dan mudah dijumpai di kota-kota. Gedheg menjadi salah satu materi dinding ruang yang favorit, bahkan berkelas. 71
Di kota -sebagai kiblat peradaban masyarakat- saat ini begitu mudah dijumpai dinding-dinding ruang atau bangunan yang terbuat dari gedheg dan varian-variannya. Tengoklah dinding-dinding rumah makan khas masakan Jawa, atau Sunda, di pusat-pusat kota. Juga rumah-rumah berasitektur jawa klasik bernuansa natural. Di sana, gedheg begitu familiar bahkan favorite. Kefavoritan gedheg menyamai kayu sebagai materi dasar bangunan rumah berarsitektur jawa klasik. Gedheg dipilih bukan hanya karena keunggulannya yang kuat dan lentur, tapi karena keunikan ornament dan motif anyaman yang beragam. Bahan dasar gedheg adalah bambu. Di Cina dan Jepang, bambu menduduki posisi penting dalam khasanah filsafah hidup masyarakatnya. Di kedua negeri ini bambu juga dibuat anyaman yang sejajar dengan gedheg. Bambu adalah tanaman jenis rumput yang secara ekologi berfungsi menyimpan air dalam tanah, mencegah longsor dan mudah hidup. Kelenturan bambu menjadikan ia awet dan tahan terhadap benturan serta goncangan. Inilah yang menjadikan falsafah bambu menjadi elan dan vitalitas dalam menjalankan bisnis dan roda kehidupan lainya. Makna Baru Migrasi gedheg dari desa ke kota -secara material- membawa pergeseran makna. Gedheg tidak lagi menjadi tanda atau simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan murahan. Fenomena penggunaan gedheg dengan segala variasi motif anyaman kian menunjukan pergeseran kelas dan maknanya. Jika dulu gedheg menjadi mitos kondisi marginal sebuah entitas masyarakat, kini sebaliknya. Hadirnya gedheg di ruang- 72
ruang publik seperti café, atau tempat wisata di kota, memaksa kita merubah cara pandang terhadap nilai sebuah gedheg. Ia tidak lagi marginal, bodoh, miskin dan terbelakang. Gedheg kini menjadi penanda kondisi tertinggi emosional dan intelektualitas seseorang. Mereka yang menghargai gedheg adalah kaum terpelajar, kaya secara ekonomi, intelektual dan emosional. Ia mendapatkan signifikansi yang baru, yang lebih mahal dan mewah. Gedheg mengalami pergeseran pemaknaan. Kondisi kontemporer membawa gedheg menjadi simbol aristokrat, menghargai budaya dan kearifan lokal. Orang-orang kaya dan terpelajar memilih gedheg karena ingin dicitrakan sebagai kelompok yang menghargai kesederhanaan, dan citra rasa yang unik dan klasik. Di tengah gempuran modernisasi dan pencanggihan teknologi, mempertahankan gedheg sebagai kearifan lokal membutuhkan kondisi emosional yang paripurna. Nah di sini, gedheg tak lagi menjadi simbol kebodohan dan murahan, melainkan kecerdasan emosi dan intelektualitas dalam memandang sebuah kesederhanaan. Pada saat yang sama, bambu sebagai bahan dasar gedheg juga mengalami pergeseran nilai, baik secara ekonomis maupun secara intelektual. Harga dinding bambu di kota justru melebihi harga dinding dengan bahan batu bata dan semen. Untuk menghadirkan bambu di kota membutuhkan ongkos yang jauh lebih mahal dari bahan lain. Secara inteltual, naiknya permintaan penggunaan bambu mendorong lahirnya manajemen ekosistem agar tidak merusak keseimbangan alam. *** 73
Ancas Politik Bahasa Banyumas BAHASA merupakan identitas sebuah entitas masyarakat yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Mempertahankan eksistensi sebuah bahasa berarti pula mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya. Banyumas adalah sebuah entitas sosial politik sekaligus etnis budaya yang memiliki bahasa daerah yang sering disebut dialek ngapak sebagai identitasnya. Penutur bahasa Banyumas setidaknya tersebar di lima wilayah kabupaten. Yaitu; Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen (Barlingmascakeb). Sehingga bahasa Banyumas menjadi indentitas budaya masyarakat di wilayah tersebut. Kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas hanya dapat dijelaskan ketika bahasa Banyumas masih ada. Jika bahasa Banyumas telah musnah, maka musnah pula kearifan lokal warisan luhur yang terkandung dalam masyarakat tersebut. Sugeng Priyadi (2000) mengungkapkan bahwa jatidir masyarakat Banyumas berada diantara dua kutub, yakni Bima dan Bawor dengan cablaka sebagai karakter inti. Karakter masyarakat Banyumas pada satu sisi menujukan sifat-sifat kebimaan, yaitu tegas, lugas, dan kesatria. Pada sisi lain lebih mencerminkan Bawor dengan polah tukang guyon. 74
Tuturan cablaka atau blakasuta atau thokmelong merupakan karakter asli orang Banyumas, yang menedepankan keterusterangan. Orang Banyumas asli jika bertutur kata selalu thokmelong (tanpa basa-basi), sehingga dari luar akan tampak tidak memiliki unggah-ungguh (etika), lugas, dan terkesan kurang ajar. Cablaka, blakasuta, atau thokmelong adalah kearifan lokal yang hanya dapat dijiwai jika diungkapkan dengan bahasa asli Banyumas. Sehingga, tanpa dialek ngapak maka karakteristik kebanyumasan tersebut menjadi luntur. Keberadaan bahasa daerah (Banyumas) ini secara normatif dilindungi oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-undang ini mengatur tentang kebahasaan dalam satu paket dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Pada pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian pada kasus bahasa Banyumas, tentu saja pemerintah daerah di lima wilayah sebaran penutur dialek ngapak itulah yang secara normatif bertanggungjawab untuk mempertahankan keberadaannya. Apalagi, Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah juga memberikan amanat kepada pemerintah daerah untuk melestarikan nilai-nilai sosial budayanya sebagai identitas masyarakatnya. 75
Ancas Politik Terhitung sejak 6 April 2010 Yayasan Sendang Mas berinisiatif menerbitkan majalah berbahasa Banyumas. Majalah bertajuk Ancas Kalawerta Penginyongan ini terbit dua mingguan dengan tampilan eksklusif bahasa dialek ngapak atau basane wong penginyongan. Ancas digawangi oleh budayawan Ahmad Tohari. Ia adalah wong Banyumas yang selama ini sering mengungkapkan kegelisahannya perihal resiko musnahnya basa banyumasan. Pada tahun 2001, melalui sebuah kolom di media cetak (SM, 11/02/2005) Kang Tohari menuliskan bahwa jika dibiarkan begitu saja maka bahasa banyumas yang notabene merupakan bahasa ibu yang sekaligus menandai eksistensi etnis dan budaya Banyumas akan kehilangan penuturnya. Hilangnya basa banyumasan merupakan ancaman akan terhapusnya etnik penginyongan. Kesimpulan ini sejalan dengan ungkapan Ferdinan de Saussure yang menyatakan bahwa keberadaan sebuah etnis terkait erat dengan langue yang dipakai. Jika Sedyawati (2007) menyebut bahwa teks, buku sastra berbasa daerah menjadi materi yang dapat dikodifikasikan dalam rangka perencanaan bahasa. Maka Ancas menjadi ruang publik dan ruang politik bahasa Banyumas yang strategis. Sambutan antusias dari pembaca dan dukungan dari pemerintah setempat atas terbitnya Ancas menjadi penanda akan terbukanya ruang perencanaan politik bahasa Banyumas yang mapan. Apalagi pelaksanaan perencanaan 76
bahasa telah dijamin sepenuhnya dengan payung hukum UUD 1945 Pasal 32 ayat 2. Balai Bahasa Banyumas Sementara itu pasal 42 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009, menjelaskan; pengembangan, pembinaan, dan pelindungan –bahasa daerah- dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. Jika kita tengok bunyi pasal di atas, maka saya melihat penerbitan Ancas dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan membentuk sebuah lembaga kebahasaan di Banyumas. Dengan berdirinya lembaga sejenis balai bahasa ini, maka secara institusional peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam rangka melindungi, membina dan mengembangkan bahasa Banyumas lebih sistematis dan terencana. Secara politik, lembaga ini juga dapat bersinergi dengan dinas pendidikan di daerah kabupaten atau sekolah-sekolah untuk membuat formulasi kurikulum pembelajaran bahasa Banyumas. Sebab, selama ini lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di wilayah eks karesidenan Banyumas hanya memasukan pelajaran Bahasa Jawa – standar- sebagai muatan lokal. Secara politis, masuknya basa banyumasan dalam materi pelajaran di sekolah akan meningkatkan harkat bahasa ibu orang Banyumas asli. Di sini juga akan terlihat kesejajaran peran dan fungsi bahasa Banyumas dengan bahasa daerah lainnya yang sudah menjadi bagian dalam dunia pendidikan. 77
Dengan demikian, kecemasan akan musnahnya penggunaan bahasa Banyumas dapat diminimalisir. Setidaknya, generasi muda penerus dan pewaris kekayaan budaya dan kearifan lokal Banyumas tidak malu menggunakan bahasa ibunya sendiri baik dalam ragam lisan maupun tulisan. *** 78
Rumah dalam Lintas Lokalitas ADA sesuatu yang menakjubkan dan menarik dalam bambu sebagai bahan dasar rumah tradisional masyarakat Jawa. Saat ini bambu dapat kita temukan di rumah makan gaul tren anak muda zaman sekarang. Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, Rumah Makan Bambu adalah contoh rumah makan gaul di Purwokerto yang menggunakan bambu sebagai konstruksi bangunannya. Fenomena bambu sebagai konstuksi bangunan dalam rumah makan gaul sengaja diciptakan dan direncanakan sebagai budaya tanding terhadap pergeseran global. Hal ini mengacu kepada realitas perkotaan yang membutuhkan penandaan lain, yaitu pedesaan. Konstruksi rumah makan yang rapi membuat keharmonisan suasana makan terbangun. Suasana sunyi dengan iringan musik mellow sengaja dipadukan dengan nuansa alam pedesaan untuk menarik perhatian pengunjung. Dalam suasana yang natural, orang menjadi bebas bercerita, bercanda, dan saling terbuka. Orang dapat saling menghormati dan saling mendengarkan keluh kesah antarsesama. Di sini, orang bisa melupakan \"penat\" dari rutinitas. Tidak heran apabila anak muda yang sedang jatuh cinta (bersama pasangan kekasihnya) menjadi betah 79
nongkrong dan menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol santai ataupun bersenda gurau. Dalam rumah makan itu, mereka bisa beromantisme. Di sisi lain, hadirnya bambu dalam konstruksi rumah makan merupakan ilustrasi dari pascakelangkaan dengan telah hilangnya desa. Rumah makan seperti Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, dan Rumah Makan Bambu merupakan lingkungan yang diciptakan menjadi alam. Orang menginginkan desa, tetapi desa sudah sangat jauh sekali dari impian yang mereka jangkau. Apabila mencermati keadaan demikian, desa dalam sekarang ini sudah menjadi bagian dari perkotaan yang \"mahal\". Secara eksistensinya, desa di Jawa selalu identik dengan bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau. Namun, akhir-akhir ini dengan adanya penjarahan hutan secara masal dan minimnya reboisasi, maka bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau menjadi barang yang \"langka\". Sejauh ini, dulu bambu termasuk ikon rumah adat Jawa yang merupakan pelengkap dari kayu. Rumah adat Jawa dengan pagar bambu memang sekarang sudah susah kita temukan. Orang Jawa kini lebih senang membuat rumah gedongan dengan alasan lebih kokoh dan tidak mudah rusak. Mereka lebih memilih berpikir praktis tinimbang bersusah payah membuat rumah dengan bambu. Kalaupun kita temukan rumah adat Jawa dengan atap limas dengan berpagar bambu dan kayu itu sudah kumuh karena penghuninya rata-rata sudah lanjut usia: mereka sudah tidak mampu lagi merawat rumahnya. Jadi, rumah adat Jawa yang tersisa bukan merupakan pemertahanan warisan 80
leluhur dengan kandungan nilai luhurnya, melainkan ketidakmampuan penghuni merenovasi rumah. Sekarang bambu merupakan sendi budaya yang masih tersisa di era global ini. Konstruksi bambu dengan nuansa tradisionalitas yang dipadukan dengan menu makanan seperti juice, udang goreng, ayam bakar di rumah makan gaul merupakan realisme utopis dari persilangan wacana institusional untuk hadir dalam citra yang imanen. Rasa kedamaian Alasan tersebut muncul dari banyaknya orang yang mengklaim bahwa dengan kembali ke dalam masa lalunya, mereka akan menemukan rasa kedamaian. Adapun negara yang telah mampu kembali ke dalam sisi tradisional, namun tetap menjadi bagian dari modernitas, adalah Jepang. Beberapa rumah di Jepang tetap menggunakan kayu, meskipun di negara ini sering diguncang gempa. Konstruksi rumah dengan kayu itulah yang juga kini dipertahankan di Wisma Seni di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Wisma seni ini sengaja menggunakan kayu untuk menampilkan estetika seni dan budaya. Pada hakikatnya, nilai-nilai luhur suatu budaya tertanam bersamaan dengan rasa kesadaran dalam diri apabila kita mencermati dampak buruk dari industri dan mesin. Tidak heran bila pelestarian bentuk seni-budaya dengan istilah \"revitalisasi budaya\" dalam akhir-akhir ini pun digembor- gemborkan. Hanya saja tidak sepenuhnya masa lalu itu dapat kita temukan lagi di masa depan. Kita hanya bisa 81
mempertahankan etika dan nilai-nilai yang masih tersisa di peradaban ini. Oleh karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah pencarian rasa kedamaian untuk menemukan sesuatu yang tertinggal dari peradaban. Desa sebagai metafora perkembangan budaya global hadir dalam estetika seni dan citra impian. Nuansa pedesaan seperti pantai ataupun perbukitan akan dikunjungi oleh orang-orang di waktu libur untuk menghilangkan penat. Suasana klasik pada bambu, yang dipadukan dengan taman dan menu terkini, merupakan dialektika dari lintas lokalitas. Karena masyarakat sekarang sudah sangat heterogen, maka yang terjadi adalah percampuran antara tren-mode dengan \"kenangan\" agar seperangkat nilai kebajikan dapat memengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan sosial. *** 82
Kearifan Lokal dan Revitalisasi 83
Batik Warisan Budaya Nirgenerasi SELAMA ini Purbalingga lebih dikenal sebagai produsen knalpot dan rambut palsu, dibandingkan dengan sentra kerajinan batik tulis sebagai produk lokal yang mampu menembus pasar ekspor. Bahkan, knalpot dan rambut palsu menjadi andalan dan tiang penyangga perekonomian masyarakat. Berdirinya perusahaan bermodal asing (PMA) pada sektor rambut palsu, mampu menyerap sekitar 60.000 tenaga kerja wanita; sedangkan pada industri knalpot —meski belum mampu menyerap tenaga kerja sebanyak itu— mampu membangkitkan sisi pendapatan pengrajinnya. Sementara itu, industri kerajinan batik tulis yang merupakan salah satu intangibel heritage cultur (warisan budaya bukan benda) dari leluhur justru kian terpuruk. Padahal batik mengandung nilai historis yang tinggi; juga menyimpan eksotisme yang laku dipasarkan. Kondisi itu makin mengkhawatirkan, tatkala datang ancaman produk batik yang diimpor dari China. Beruntung, Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO untuk melindungi warisan budaya bukan benda melalui Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007. 84
Dengan demikian, kita tidak perlu risau jika ada bangsa lain yang hendak mengklaim dan mematenkan batik sebagai seni tradisi asli mereka, seperti yang pernah terjadi pada seni tradisional reog dari Ponorogo, Jawa Timur. Namun demikian, untuk Purbalingga konvensi tersebut tidak serta merta menjadi jaminan kelanggengan industri batik tulis. Terancam Punah Dinas Perindustiran, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Purbalingga, hingga saat ini telah mencatat ada 242 pengrajin batik. Mereka tersebar di lima kecamatan, yaitu Bobotsari, Karanganyar, Bojongsari, Purbalingga, dan Karangmoncol. Sayangya mereka menekuni kegiatan membatik hanya sebagai sampingan. Industri batik belum digarap secara profesional. Hal itu terjadi karena mereka menilai pamor batik sebagai produk industri yang laku dipasarkan kian meredup. Pamor batik tradisional tergerus oleh industri tekstil dan fashion modern yang didukung oleh peralatan canggih serta tren mode busana kontemporer. Dengan demikian, batik tulis Purbalingga terancam punah. Di sisi lain, kerajinan itu mengalami krisis regenerasi. Pengrajin batik didominasi oleh kaum ibu rumah tangga dan orang lanjut usia, sedangkan kaum muda sebagai pewaris budaya enggan menekuni warisan adhiluhung tersebut. 85
Tantangan Selain masalah profesionalitas, ancaman nirgenerasi (langkanya penerus) dan hadirnya batik impor, batik tulis dari Purbalingga masih menghadapi dua masalah lagi. Yaitu minimnya inovasi (kreasi) dan kurangnya promosi. Selama ini, motif batik Purbalingga sangat monoton. Ada dua motif batik yang menonjol, yaitu lumbon (daun keladi) dan jahe serimpang, dengan dominasi warna hitam dan putih. Akibatnya, yang mau mengenakan busana batik itu hanya mereka yang memang sudah berusia lanjut. Karena itu, dibutuhkan formula jitu seperti inovasi motif, corak, dan kombinasi warna yang harmonis. Dengan demikian, batik Purbalingga mampu menembus pasar luas, dan banyak kaum muda yang tertarik mengenakannya sebagai bagian dari mode busana. Sesungguhnya untuk menembus pasar nasional, batik tulis Purbalingga telah memiliki keunggulan dibandingkan dengan batik daerah lain. Itu terbukti dari perolehan gelar Juara Umum Citra Batik Nasional 2008 pada event Pemilihan Elite Model dan Citra Batik Indonesia Tingkat Nasional. Pada momen bergengsi yang digelar di Yogyakarta Maret 2008 itu, motif batik Purbalingga yang khas dengan nuansa natural berhasil memukau dewan juri sehingga memenangi kontes. Selain ajang kontes, momen itu merupakan media promosi. 86
Komitmen Pemerintah Keberhasilan Purbalingga menyabet juara umum pada event nasional dan sukses menggelar lomba batik tingkat daerah, ternyata menginspirasi pemerintah daerah (pemda) untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penggunaan Pakaian Batik. Perda itu menandakan komitmen pemda dalam upaya melestarikan khasanah budaya lokal dengan semangat nativisme. Perda itu mengatur penggunaan busana batik asli Purbalingga untuk pegawai negeri sipil (PNS) setiap Kamis dan Sabtu, termasuk batik untuk pelajar. Selain peraturan tertulis tersebut, pemda memalui Disperindagkop juga memfasilitasi kegiatan studi banding bagi pengrajin batik ke daerah penghasil batik di luar Purbalingga. Langkah itu dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta keterampilan pengrajin, seperti dalam hal pemilihan bahan baku, penanganan obat batik, pembuatan motif, dan cara pemasaran produk. Hanya saja, komitmen pemda tersebut tidak akan menjamin keberlangsungan industri batik tulis Purbalingga mengingat permasalahan yang paling krusial, yaitu tidak adanya regenerasi penfrajin, belum tersentuh. Jika pemerintah kabupaten (pemkab) serius hendak melestarikan warisan budaya adhiluhung itu, maka sepatutnya mulai mengadakan upaya regenerasi. Sudah saatnya pemkab melalui dinas pendidikan menerbitkan peraturan tentang penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler atau muatan lokal (mulok) membatik 87
terintegrasi dalam KTSP, baik pada jenjang pendidikan SD, SMP, maupun SMA/SMK. Jika memungkinkan, dengan melihat potensi yang ada, pemerintah bisa merintis berdirinya sekolah (SMK) batik. Barangkali langkah itu terlalu berat. Sebagai alternatif, kompetensi membatik bisa dimasukkan sebagai mata pelajaran pada SMK Tata Busana yang telah ada di Purbalingga. Dengan penggalian potensi dan bakat membatik sejak dini, maka keberlangsungan industri batik tulis khas Purbalingga dapat terwujud. Tentu saja pemerintah masih harus memperhatikan aspek modal usaha. *** 88
Kearifan Lokal Banyumas dalam Film JIKA kita merunut ulang perkembangan dunia seni sinematografi di Banyumas Raya dalam lima tahun terakhir, maka kita akan menemukan dua tesis menarik. Pertama, fenomena menjamurnya komunitas film pendek di Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara. Kedua, berkembangnya ideologi multikultuarilisme berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam karya para sineas lokal. Yang menarik dari tesis pertama adalah bahwa geliat industri kreatif ini tak lepas dari pasang-surut. Ini terjadi karena beberapa faktor; konflik kepentingan, tekanan dari penguasa (pemerintah), hingga persaingan kurang sehat antar beberapa komunitas. Persemaian dunia industri kreatif (seni sinematografi) di Banyumas dimulai pada tahun 1999. Saat itu sejumlah mahasiswa di Purwokerto mencoba menghelat pagelaran film pendek. Tahun 2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja nirlaba lintas seni memproduksi film perdana berjudul Kepada Yang Terhormat Titik 2, disusul film Surat Pukul 00:00 (2002). Namun eksperimentasi ini terhenti. 89
Perkembangan yang mengesankan justru berangkat dari Purbalingga. Tahun 2004 Cinema Lovers Community (CLC) memulai debut perdana. Laeli Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek berjudul Orang Buta dan Penuntunnya (OBdP), karya Ahmad Tohari. CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi sineas Purbalingga. CLC adalah tonggak perfilman Banyumas. Hingga kini CLC mewadahi sekitar 22 rumah produksi film lokal Purbalingga. Sementara di komunitas film pendek di Purwokerto dan Cilacap ditampung oleh dua lembaga film yaitu Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap. Bersama CLC, ketiga komunitas ini membentuk Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB). Namun pergerakan pasang surut sinematografi di Banyumas ini tampak nyata di Purbalingga. Beberapa kali perhelatan film yang digelar CLC mendapat tekanan dan pelarangan dari pemerintah setempat. Tetapi CLC kokoh dengan pendiriannya, bahkan hingga tahun 2009 ini CLC berhasil menyelenggarakan tiga kali festifal film pelajar. Meski tanpa campur tangan (perhatian) pemerintah, kegiatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF) ini menjadi barometer perkembangan film pendek di Banyumas Raya. Puluhan film pendek produksi sineas pelajar se Banyumas selalu ambil bagian. Kearifan Lokal Film, dalam konteks media masa lewat sajian yang selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada penonton (Melvin 90
DeFleur). Artinya film berkuasa mendefisinikan norma- norma budaya masyarakat. Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respon manusia terhadap masyarakat, atau lingkungannya, dan dunia secara umum. Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan memiliki tujuh unsur esensial, yaitu: Bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian. Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu pada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks termasuk film. Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik. Mengingat khasanah budaya Banyumas saat ini mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan pada unsur–unsur budaya lokal menjadi trademark atau bahkan ikon film Banyumas. Sebagai produk budaya, keberadaan film Banyumas menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau 91
videografi budaya (cultural videography). Videografi merupakan media komunikasi yang cukup efektif dalam rangka pelestarian dan perayaan keragaman budaya lokal. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, menyebutkan bahwa film diarahkan antara lain untuk pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa, pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, dan penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Konsistensi –mengusung- budaya lokal juga terlihat pada film Peronika, Senyum Laminah (SL), Pasukan Kucing Garong (PKG), Boncengan, Metu Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain menggunakan dialek ‘ngapak’, film ini juga mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat kecil (marginal) di Banyumas. Pada SL terdapat scene –tradisi- membatik. Sebuah tradisi ‘langka’ yang sudah mulai memudar dan membutuhkan regenerasi. Film Cuthel mengajarkan falsafah hidup orang Banyumas, yang pantang menyerah. Nilai-nilai kejujuran (cablaka), toleransi, dan budi pekerti digambarkan dalam film ini. Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar. Yaitu penggunaan bahasa Banyumas dialek ‘ngapak’sebagai salah satu unsur penting membangun plot. Kedua, seting masyarakat asli Banyumas. Ketiga, atribut (aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks visual yang muncul dalam scene. Dan keempat tema kehidupan masyarakat kelas bawah. 92
PFF Purbalingga Film Festival (PFF) merupakan ajang kompetisi kreatifitas dan potensi pelajar SMA/SMK/MA se- Banyumas Raya di bidang sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar. Saat ini PFF menjadi satu-satunya barometer perkembangan sinematografi di Banyumas. Tahun 2009 ini PFF masuk usia ketiga. PFF pertama digelar pada tahun 2007. Pada tahun pertama PFF sempat mendapat ‘sparing patner’ yaitu perhelatan yang sama bertajuk Festival Film Banyumas (FFB) yang digagas Komunitas Jurnalis Televisi Purwokerto (KJTP). Namun ajang ini hanya sekali digelar. Dari tiga kali PFF (Tahun 2007, 2008, dan 2009), telah muncul sekitar 50 judul film pendek Banyumas. Begitu banyak tema yang diangkat dalam film-film karya pelajar tersebut. Kearifan lokal telah menjadi mindset dan ideologi film-film ini. Sehingga penyelenggaraan PFF turut merayakan semangat multikulturalisme dan pluralitas budaya berbasis kearifan lokal Banyumas. *** 93
Revitalisasi \"Dagelan\" Banyumas DAGELAN merupakan salah satu akar tradisi yang menjadi bagian dari karakter atau watak wong Banyumas. Tradisi ini melengkapi karakter lain, seperti cablaka (transparan), apa adanya, egaliter, dan glogok sor atau suka mengumbar ukara (ucapan). Dagelan sesungguhnya merupakan salah satu bentuk sastra lisan tertua di Banyumas, di samping Dalang Jemblung. Keberadaan seni Dagelan setali tiga uang dengan seni Dalang Jemblung. Keduanya nyaris punah tergerus modernisasi. Dagelan berasal dari kata ndagel yang artinya melucu, sehingga Dagelan diartikan sebagai lelucon atau tingkah yang mengundang dan mengandung tawa. Dagelan biasanya menjadi salah satu fragmen yang ditunggu penonton dalam pentas Pakeliran Gragag Banyumasan. Dagelan juga bisa dipentaskan secara terpisah dari pertunjukan wayang dalam bentuk tunggal seperti seni Ludruk di Jawa Timur atau Lenong di Betawi. Seni Dagelan pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun 1990. Saat itu di Banyumas terdapat satu grup Dagelan yang cukup melegenda. Grup lawak ini bernama Peang-Penjol dan Suliyah. Dalam banyolan atau lawakannya tokoh Peang-Penjol dan Suliyah ini sebenarnya tengah memainkan karakter wong 94
Banyumas asli. Karakter yang juga melekat pada tokoh Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas yang biasa muncul dalam seni Pakeliran Banyumasan. Baik Peang-Penjol dan Suliyah maupun Bawor sebenarnya merupakan metafora, sublimasi dari kondisi masyarakat Banyumas. Humor-humor segar mengalir tanpa beban dari tokoh-tokoh tersebut. Dengan bahasa- dialek- Banyumas -ngapak- yang kental, isu-isu kontemporer kala itu menjadi bahan lawakan. Berbagai isu sosial yang terjadi saat itu diramu dan ditanggapi secara cablaka dalam perspektif wong Banyumas. Yang timbul kemudian adalah bukan sekadar kelucuan, tetapi di dalamnya terkandung wacana kritis, pendidikan moral, dan nilai-nilai kearifan lokal. Religiusitas Dus, apa yang dipertontonkan sebenarnya tak sekadar guyon yang hanya mengundang tawa, melainkan pendidikan budi pekerti yang disampaikan secara segar. Dagelan sebenarnya adalah seni mengkritik, mengingatkan, mendidik, menerjemahkan, atau mengejawantahkan perilaku pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Nah, di sinilah letak religiositas yang menjiwai dagelan. Meski terkesan vulgar, tanpa tedeng aling-aling dan cenderung kasar, tetapi lakon-lakon yang diperankan dalam seni Dagelan sesungguhnya bermuatan nilai-nilai religious. Religiusitas ini diadaptasi dari kata religiosity dalam The World Book Dictionary, yang berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan meliputi segala perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, 95
seperti perasaan takut berbuat dosa, perasaan kejujuran, dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk-bentuk kritik yang disublimasikan dalam dagelan sebenarnya merupakan religiusitas. Sindiran-sindiran atau humor satir yang dituturkan dalam dagelan merupakan elan religiusitas. Lantaran pada hakikatnya dagelan mengajarkan moral sambil menghibur, mengkritik tanpa menyakiti, mendidik dengan senyuman. Namun, pada puncaknya, dagelan sesungguhnya merupakan bentuk katarsis. Dagelan tanpa disadari tengah mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, seni tradisi ndagel ini sudah luntur. Dagelan telah kehilangan gereget dan rohnya. Seni Dagelan telah kehabisan momen untuk tampil. Faktor penyebabnya ada dua. Pertama hadirnya humor-humor populer yang menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Kedua, semakin mengecilnya frekuensi dan ruang publik untuk pementasan seni hiburan rakyat. Untuk faktor pertama ini sangat jelas hubungannya dengan industri hiburan (entertainment) dan kepemilikan modal. Yang memiliki kekuatan untuk meminimalkan adalah penguasa (pemerintah) melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Atau kekuatan (pemilik modal) lain yang seimbang yang beriktikad baik memberikan pendidikan melalui tayangan edutainment. Atau dengan membuat tayangan yang sepadan, tetapi lebih menonjolkan moralitas ketimbang sekadar kelucuan yang slapstik. 96
Nah, minimnya tayangan hiburan yang mengandung unsur pedidikan ini menjadi alasan betapa pentingnya revitalisasi seni tradisional seperti dagelan di Banyumas. Revitalisasi Untuk mengatasi faktor kedua, dapat dimulai oleh lembaga pemerintahan dan swasta. Misalnya dengan mengundang grup dagelan sebagai pengisi acara hiburan dalam momen perayaan ulang tahun lembaga, pisah-sambut pejabat, silaturahmi, atau momen lain yang memungkinkan digelarnya hiburan. Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus rela dicap sedikit jadul dengan menyuguhkan seni tradisi ini. Lembaga juga harus rela menahan sedikit hasrat untuk menampilkan hiburan lain yang lebih modern, seperti panggung karaoke, organ tunggal, dan band. Atau mengolaborasikan dua jenis hiburan tersebut dalam satu panggung. Jika lembaga-lembaga resmi itu telah memberikan contoh bagaimana menghidupkan kembali seni tradisi yang nyaris punah, maka pada gilirannya masyarakat juga akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat akan berpikir untuk menggelar pertunjukan dagelan pada acara hajatan daripada mengundang pemain organ tunggal. Dengan pola semacam ini revitalisasi seni tradisional dagelan dapat berjalan dan dengan sendirinya nilai-nilai atau pesan moral (religiositas) yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan. Sehingga, masyarakat tidak hanya mendapat hiburan segar, melainkan juga mendapat pendidikan moral. *** 97
Sastra 98
Kontestasi Sastra di Banyumas “... KALAU di Banyumas (Purwokerto), sudah berdiri Perguruan Tinggi Seni, greget berkesenian di Banyumas akan lebih semarak lagi seperti halnya pada dekade 70-an, ...” Ini adalah ungkapan penuh harap yang menarik dari esai ‘Banyumas Butuh Perguruan Tinggi Seni’ tulisan S Sugito Eswe, (KR, 28 Agustus 1994). Tulisan S Sugito Eswe, pemerhati seni-budaya Banyumasan ini memang sudah lama dan barang kali sudah tidak ada lagi yang ingat. Namun demikian akan menjadi menarik tat kala kita kontekstualkan dengan kondisi saat ini. Situasi di mana telah 16 tahun berselang dari kondisi pada saat esai tersebut dibuat. Apa yang disampaikan Sugito bisa jadi sangat realistis pada saat itu, mengingat Banyumas sebagai salah satu kantong sastra tidak bisa dilepaskan dari pergulatan dan perkembangan sastra Indonesia atau ‘menjadi bagian dari’, yang pada saat itu tengah mengalami kelesuan. Dan akan menjadi sangat ironi jika apa yang dikemukakan Sugito tersebut diungkapkan lagi saat sekarang. Apalagi di Banyumas sekarang telah bertebaran Perguruan Tinggi dengan program studi sastra, atau ilmu budaya. Bahkan hampir di setiap kampus terdapat kantung-kantung seni- budaya, mulai dari kelompok teater, seni, diskusi budaya dan sebagainya. Tak kurang, ada dewan kesenian yang konon 99
mendapatkan alokasi dana yang lumayan dari pemerintah daerah. Lalu apa yang menjadikan ungkapan Sugito tersebut menjadi menarik untuk kita renungkan pada saat ini? Tentu saja yang menjadikan ungkapan tersebut tetap menarik untuk direnungkan adalah bukan lantaran tidak adanya aktifitas bersastra baik yang dilakukan oleh mereka yang menurut Heru Kurniawan dalam esainya ‘Regenerasi Ke-sastrawan-an Muda Banyumas’ (KR, 6 Februari 2005) dikatakan sebagai ‘sastrawan besar’ atau pun tidak adanya aktifitas berkritik (baca: mengkriti[k]si) oleh para kritikus yang oleh Abdul Wachid BS dikatakan sebagai salah satu penyebab ‘me-Ranggasnya Intelektualitas ber-Kesusastraan di Banyumas’ (KR 20 Februari 2005). Padahal menurut Wachid sendiri di Banyumas (Purwokerto) saat ini di UMP telah membuka Fakultas Sastra, jurusan Prodi Pendidikan Bahasa dan Seni-nya, pun Unsoed, belum lagi keberadaan Dewan Kesenian Banyumas (DKB), Dewan Kesenian Purbalingga, dan lain-lain, yang tentu saja dengan itu semua mestinya apa yang diimpikan Sugito Eswe pada tahun 1994 untuk mengenang masa romantisme tahun 70-an dengan menyadarkan harapan kembalinya greget berkesusastraan di Banyumas pada berdirinya Perguruan Tinggi seni di Banyumas telah terwujud. Memang, apa yang angankan Sugito tersebut sempat terwujud, pada era 90-an di Banyumas bertebaran kelompok- kelompok diskusi seni dan budaya yang tak pernah sepi dari aktifitas bersastra. Bahkan sejumlah nama mapan pun kemudian lahir pada era 90-an, yang dengan lugas dikatakan oleh Heru Kurniawan, mereka sebagai identitas ke- sastrawan-an Banyumas. Sekedar menyebut nama, mereka yang dikatakan oleh Heru sebagai ikon berkesusastraan di 100
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164