Indonesia, yang juga ada pengawasan yang ketat terhadap wacana. Adapun pandangan mengenai lokalitas yang dimunculkan oleh Badruddin Emce di dalam puisi-puisinya mulai mewarnai mulai tahun 1996, misalnya puisi “Akik Nusakambangan”, “Di Srandil”. Lokalitas dalam tataran wacana dibangun untuk memperbincangkan ikon lokal dalam bentuk homologi. Ia mungkin akan berbeda dengan realitas yang sesungguhnya, dan Badrudin Emce berhasil manakala memadukan kisah getir ironis dari Daryono Yunani dalam puisi “Gending Pulebahasan”. Realsi metonimik dimunculkan untuk mengaitkan peristiwa masa sekarang dengan masa lalu. Kisah-kisah yang termarginal memang pantas untuk disuarakan melalui puisi dengan narasi yang panjang. Hanya saja, dalam belakangan, puisi-puisi dengan sentral regional sebagai wacana kerap kali menjadi kaca pembesar. Kualitas estetik puisi muncul oleh bahasa yang memberi lebel, sedang ruang ditampilkan sebagai latar. Pada puisi “Bunyian Riang Laut”: “//Pantai jadi menakutkan, tapi laut/ terus mengulang bunyi-bunyian riangnya/ Mengingatkanku pada tarian lengger/ nun di sebuah lereng terjal bebukitan// Tenang sekali kerlip lampu kapal//” Dialektika yang dibangun antara bunyi-bunyian pantai dan tarian lengger membuat pembayangan tetap merujuk pada laut. Kota ataupun tempat tinggal acap kali menjadi inspirasi bagi beberapa penyair untuk menuli puisi. Sebutlah misalnya, D. Zawawi Imron yang terkenal dengan puisi-puisi tentang Madura, Acep Zamzam Noor dalam sajak “Cipasung” dan puisi-puisi dalam buku Di Umbria yang 151
merupakan perjalanannya di Italia-Perugia. Mereka kerap kali mengekspos daerah-daerah di sekitarnya karena ketakjuban, kekaguman, simpati, ataupun rasa keberkesanan lainnya. Hakikat tersebut karena penyair sebagai manusia turut serta dalam berinteraksi dengan ruang-ruang yang mengandung makna hidup. Keindahan ruang yang direpresentasikan memalui kata-kata di dalam karya sastra pada sisi tertentu membentuk imajinasi pembaca yang belum mengalami akan takjub oleh permainan gaya. Dan yang pantas untuk diungkap, bahwa ruang itu sendiri juga memiliki sisi epistemologi, ontologi, dan aksiologi sehingga pada akhirnya teks yang membicarakannya tak sebatas refleksi. Semua itu dapat ditampilkan melalui idiom estetik yang disampaikan secara sederhana secara bahasa, mendalam secara makna. Ruang itu sendiri dapat didekati dengan penghayatan kosmis untuk bisa menjangka setiap sisi sehingga teks sastra adalah imajinatif, juga terkandung fakta kemanusiaan. Dan begitulah seharusnya pandangan dunia itu mewujud di dalam teks. Satu hal yang pantas untuk diapresiasi dari kepenyairan Badruddin Emce adalah intensitas yang terjaga dalam proses kreatif sejak tahun 1980-an (mungkin malah sejak 1970-an)7 hingga sekarang. Dalam pandangan dan pengamatan saya, Badruddin Emce terkategori penyair yang cukup inten dalam menulis puisi. Proses kreatif yang panjang itu terkumpul dalam buku puisi Diksi Para Pendendam diterbitkan oleh Akar Indonesia (2012). Tidak banyak penyair mau dan mampu bertahan untuk tetap kreatif selama itu, juga mampu 7 Data ini saya ambil dari puisi yang paling tua, yang berjudul “Tumpah” dan ditulis pada tahun 1982. 152
menempatkan diri dalam posisi struktur arena perpuisian Indonesia. *** 153
Badruddin, Diksi dan Identitas Diri MENULIS puisi boleh jadi merupakan persoalan bagaimana merepresentasikan identitas diri melalui diksi. Lantaran kontestasi ihwal identitas tidak pernah tuntas dari pertarungan perebutan batas makna waktu dan ruang budaya. Identitias dalam puisi menjadi kian penting. Ia menjadi penanda seberapa besar penyair menjadi bagian dari sebuah entitas atau etnis tertentu, dan bagaimana identitas ini merekonstruksi perasaan, persepsi dan perilakunya. Konstruksi identitas budaya dalam puisi takpernah lepas dari faktor psikologis pribadi penyair terhadap kelompoknya. Itulah sebabnya, karya sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya (Teeuw). Demikian juga puisi, dengan bahasa sebagai mediumnya, ia acap kali lahir sebagai respon penyair terhadap situasi sosial budaya yang melingkupinya. Puisi lahir sebagai resistensi terhadap dominasi, pada saat yang sama ia hadir sebagai wujud penerimaan kondisi budaya. Puisi secara simultan merefleksikan diri penyair sekaligus merepresentasikan identitas kultural masyarakat di sekitarnya. Boleh jadi inilah yang dilakukan Badruddin Emce melalui buku kumpulan Puisi Diksi Para Pendendam (DPP) 154
Penerbit Akar, 2012. DPP mendjadi monumen yang berisi imaji tentang diri dalam rentang prosedur kultural rekonstruksi identitas penyair asal Kroya, Cilacap antara tahun 1980 sampai 2010. DPP terbagi dalam lima kumpulan fragmen. Tiap fragmen diberi penanda berupa tajuk; Diksi Kesatu (terdiri 19 puisi yang ditulis rentang tahun 1980- 1990), Diksi Kedua (20 puisi, 1990-1996), Diksi Ketiga (17 puisi, 1996-2001), Diksi Keempat (25 puisi, 2002-2006), dan Diksi Kelima (20 puisi, 2007-2010). Diksi dan Imaji Melalui diksi yang mendendam, setidaknya aku lirik berhasil merepresentasikan diri dalam ritual perambahan tiga ranah kultural, yaitu; (1) ritual kultural sosial, (2) ritual kultural intelektual demi menggapai (3) ritual kultural spiritual. Pergulatan ritual yang inten menjadikan tiap moment tidak pernah independen. Kutimba seember air/ ya seember air, ku-/bawa seember air./ keliling air kutawarkan/ pada pohon tak berdaun/ kulobangi batangnya/ agar air tak tertumpah./ kutuangkan tapi ter-/ tumpah sehingga pohon/ yang kering kutebang,/ kuhadapkan lobang itu ke langit/ biar air tak tertumpah,/ tapi air tertumpah dan/ yang tertumpah menetes/ bagai darah (Sajak Tumpah, 1982). Dimensi ruang dan waktu yang menjalin peristiwa memadat dalam narasi yang sublim dan subtil. Agaknya pada permulaan puisi; ‘tumpah’ merupakan sebuah kisah, narasi yang takpernah berjalan sendiri. Tumpah bukan sekedar moment yang menandai keringkihan. Tumpah adalah perjalanan menjadi diri yang sebermula sibuk di wilayah primodial, lantas perlahan bergerak memasuki wilayah publik 155
yang justru dilakukan untuk menduduki ruang paling pribadi yang akan diisi diri dengan identitas spiritual. Pada moment peralihan ruang perambahan diri yang melibatkan ranah di luar diri –alam yang ditandai pohon-, aku lirik mengisyaratkan bahwa peristiwa tumpah yang repetitif itu merupakan laku sosial yang tidak sederhana. Yang berulang tumpah bukan sekedar air. Air adalah metafora perjuangan menjaga spirit kehidupan, air seperti darah yang mengalir pada nadi yang disebut kehidupan. Pada akhirnya menjadi terang; yang tumpah adalah air, yang tumpah juga darah. Puisi ini menjadi awal penandaan yang memudahkan pembaca mengontraskan posisi aku lirik. Dengan metafora alam seperti pohon, buah, kilat, batu, debu, burung, dan lain- lain; peristiwa serupa direproduksi dalam beragam latar. Pada sajak Inti Pagi, fragmen tumpah berujung pada penyesalan; mestinya tetap keluar masuk sarang/, /mestinya kumacu lagi permainan akan/, /mestinya kumampu hindari meteorit yang nyelonong masuk,/ /mestinya kuberanikan ngicaukan dengan keras inti pagi,/ tetapi yang terjadi kemudian adalah /tentu saja aku kini hanya mampu bersaksi/. Pada fragmen Canang; Semula –aku lirik- mencanang/ bak dingin air pancuran/ setiap pagi, saat kumandi wajahmu lebih mengetuk dibanding kabut/. Canang merupakan tanda, ia mempertemukan sebuah instrumen unsur gamelan jawa (gong kecil) yang biasa digunakan untuk menguar-uarkan pengumuman dengan sebuah moment dalam puisi. Pada konteks budaya Banyumas canang lebih dari sekedar alat. Canang merupakan diksi kultural, di dalamnya mengendap intensitas tujuan hidup (ancas) yang menjadi pedoman bagi wong Banyumas dalam merespon peristiwa 156
sosial. Itulah sebabnya, penyair lantas berterima pada kondisi apapun yang dialami. Inilah watak dasar wong Banyumas yang cablaka, sabar lan nrima, berjiwa ksatria, dan cancudan. Meski kenyataan hidup sering kali lebih ketir dari ampas kopi. /Boleh jadi ini berarti aku ikhlas menerima kejahatan/ (Sajak Canang). Cablaka secara kontekstual maknanya serupa dengan blakasuta yaitu berbicara blak-blakkan atau tanpa tedeng aling- aling. Dalam khasanah bahasa Banyumas, secara etimologi kata cablaka berasal dari kata cah yang berarti bocah dan blaka. Cablaka bagi wong Banyumas sesungguhnya merupakan bentuk kejujuran paling hakiki berkenaan dengan fakta atau kasunyatan urip. Karakter wong Banyumas ini sesungguhnya agak kontra produktif dengan hakekat puisi dalam pandangan Riffaterre (1978); puisi merupakan cara untuk menyampaiakn sesuatu dengan mengatakan yang lain. Ia mensyaratkan adanya ketaklangsungan ekspresi. Puisi dikonstruksi dengan sistem tanda (semiotika) yang bertingkat dan mengikat; sistem tanda tingkat pertama yang disebut bahasa, yang dipenuhi kode –nilai- budaya menjadi kode sastra sebagai semiotika tingkat kedua. Itulah sebabnya, identitas budaya Banyumas cukup rumit dibahasakan dalam puisi. Identitas kebanyumasan akan tampil vulgar, dan banal. Landskap budaya Banyumas dalam puisi, lebih mudah diidentifikasi dengan diksi khas Banyumas yang njeprah menjadi warna dan bunyi dalam banyak alegori. Tetapi Badruddin telah melakukaannya. Ia adalah penyair berkebangsaan wong penginyongan. Tanpa diksi 157
kebanyumasan, penyair mengalami kegagapan dalam melakukan perambahan diksi kultural sebagai jalan memasuki ceruk terdalam hakekat manusia Banyumas. Itulah sebabnya seraca linguistik, kita dengan mudah memunguti diksi yang tumpah dan ruah mengidentifikasi sosok aku lirik sebagai wong Banyumas tulen. Representasi identitas diri penyair dalam puisi secara heuristik dapat dipungut antara lain, dari diksi; ngitari, kumacu, nyelonong, ngicaukan, canang, nempel, ngatur, nunjuk, kringetan, ngusung, ngamuk, niup, nguap, netes, nuju, nulis, nutup, kempes, nggugah, slametan, karaten, mbidik, dan ngikut (Diksi Pertama). Identitas Diri Pada perambahan diksi kedua, penyair mulai menyadari identitasnya sebagai wong Banyumas yang memiliki banyak sedulur, dan suka bergaul melalui laku ngendong. Ini ditunjukan dengan hadirnya sejumlah nama yang bukan tidak mungkin muncul dalam puisi setelah melalui ritual kultural sosial yang panjang. Absenya nama-nama yang lahir dari punggung sejarah aku lirik, menjadi penegas tentang kesadaran penyair dalam mempuisikan berbagai fragmen hidup sebagai imaji diri dengan menghadirkan tokoh dan latar yang vulgar. Lihatlah; ada Asa & Mae yang bertemu di Cafetarian Sindrom, ada imaji buah dan hewan dalam lukisan Sokaraja, desa Kedu dan celah Sindoro-Sumbing, Cahaya Kuning Bulan bagi Wiwik Tursiniwati dan lain-lain. Nah, pada perintisan diksi kedua ini, penyair juga menisankan nama orang sebangsanya –penginyongan- dengan 158
guntingan kisah yang berserak di benak penyair. Ada Hermann Affandi dari Karangkemiri, sahabat yang juga kerabat penginyongan. Kenangan menjalani ritual berkebudayaan membuat nama tersebut memiliki tempat tersendiri dalam puisi. Di sini juga ada fragmen minum kopi hangat di Teluk Penyu, yang merupakan ikon geografis tempat tinggal penyair. Yang ajeg, selain diksi nama orang dan tempat, aku lirik melakukan repetisi diksi bercorak tutur kebanyumasan. Sampai di sini, terlihat upaya penyair menegaskan identitas kulturalnya melalui diksi yang membentuk imaji tentang diri, lokasi, dan peristiwa dalam satu narasi. Di rentang penjelajahan diksi ketiga, penyair semakin menyadari sosoknya sebagai wong Banyumas. Aku lirik terus memunguti diksi dalam peristiwa tutur lisan menjadi tulisan. Teks puisi menjadi syarat berbagai konteks kebanyumasan. Latar puisi tidak lagi sekedar alam. Konteks yang terbangun kini memiliki landskap primodial yang jelas, Kroya dan Cilacap yang juga bagian dari wilayah kultural Banyumas. Dengan diksi geografis kita diajak menengok tilas sejarah identitas yang mungkin tertinggal di Segara Anakan, Nusakambangan, Benteng Pendem, Srandil, Alun-alun Kroya, dan Kampung Laut. Ada hawa Dingin –bulan- Juli Desa Kedu yang menceritakan peristiwa di atas powotan bambu, di amben ada cerita yang nimbrung di tengah keakraban bersama mbakyu yang sibuk ngrajang tembakau sambil nembang hingga tak terasa beberapa sruput kopi meringkaskan jarak dengar pada taluan bedug subuh. Pada diksi ketiga, Ia mulai merasa perlu memosisikan dirinya sebagai tukang ndopok. Ada banyak peristiwa dan 159
topik yang ia ceritakan, seperti; Garuda Bheri, ritual sedakep semedhi, ndagel. Ada tempat-tempat wingit; Slarang, Kesugihan, segara kidul, Pule Bahas, benda-benda primordial; akik Nusakambangan, Pasar Gede dan Kethoprak Tobong Kampung Laut. Fragmen pertemuan dengan sedulur penginyongan, Ahmad Tohari, mengilhami penyair ndopok soal ronggeng. Bahkan di bagian akhir diksi ketiga, penyair menegaskan identitasnya sebagai wong Banyumas yang doyan dopokan, sehingga peristiwa kemarau di desa Kubangkangkung, Kawunganten dinarasikan ulang sebagai puisi yang cablaka. Pada konteks pergaulan sehari-hari cablaka tidak hanya merepresentasikan kejujuran fakta secara banal. Cablaka merupakan sendi dan sandi kehidupan. Cablaka adalah kode kultural dalam komunikasi yang intim dan nirwatas. Cablaka jamak mengejawantah dalam bentuk tindak wicara cowag (bersuara keras), mbloak (bergaya serius tapi lucu), dablongan (seenaknya sendiri), mbanyol atau ndagel (dagelan) yaitu bertingkah konyol. Laku mbanyol sendiri lazimnya ditandai dengan tindak; pejorangan (jahil), semblothongan (saru untuk melucu), glewehan (bercanda) dan ngomong brecuh (saru, vulgar). Sebagai wong Banyumas, Badruddin telah berhasil melakoni ritual panjang perjalanan mencanangkan identitasnya sebagai penyair berkebangsaan penginyongan. Ia berhasil merubah wajah puisi yang biasanya ambigu, menjadi puisi yang terang tercanang dengan konstruksi tuturan yang renyah seperti orang dopokan. Puisi boleh bersyair, boleh juga tidak bersajak, ia juga diijinkan sekedar bercerita, berisi guyonan, dagelan, dopokan, olok-olok, rayuan, bahkan puisi boleh subversif. 160
Puisi boleh menyimpan dendam paling kesumat sekalipun, seperti dendam penyair yang rindu pada warisan identitas budayanya. Lalu, /Hebatnya puisi ini apa? Saat dicipta dikau tidak berada (Puisi Ini). *** 161
Biodata Esais: Abdul Aziz Rasjid, aktif menulis esai dan kritik sastra. Beberapa tulisannya dimuat di majalah BASIS, Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), koran Jawa Pos, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Minggu Pagi, Radar Tasikmalaya, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Jurnal Yin-Yang, Buletin Sastra Pawon, dan lain-lain. Di samping itu, esai dan kritiknya juga terhimpun dalam antologi bersama semisal kumpulan esai Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, 2010), juga menulis kata pengantar maupun penutup buku sastra, semisal buku sajak Yang, Kumpulan Sajak 2003-2010 (Abdul Wachid B.S., Cinta Buku, 2011), buku sajak Ulang Tahun Hujan (Teguh Trianton, Beranda Budaya, 2012), buku sajak Pilarisme (2012), buku cerpen Lelaki yang Dibeli (Gusrianto, dkk, Buku Litera, 2011). Ia tercatat sebagai Pemenang III Sayembara Esai Sastra Bulan Bahasa 2010, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional dan pernah diundang dalam beberapa gelaran sastra, semisal: Sarasehan sastra “Perjuangan sastra melawan Krisis” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Tengah (2009) dan diundang oleh Kedubes Libanon dalam “Perhelatan 100 Tahun Kahlil Gibran” (2010). Latar belakang akademis di bidang psikologi diperolehnya dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kini menjadi pengajar di Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto (2010-2012), bergiat di Komunitas Sastra Beranda Budaya. 162
Arif Hidayat, lahir di Purbalingga pada Januari 1988. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, Puisi Menolak Lupa, Rendezvous, Catatan Perjalanan, dan Narasi Tembuni. Buku esainya, The Spirit of Love, Kekuasaan dan Agama, Manusia = Puisi, dan Dari Zaman Citra ke Metafiksi. Tulisannya juga sudah dimuat di beberapa jurnal, menjadi editor dan memberi ”kata penutup” pada buku puisi Pilar Penyair, Pilarisme, Creative Writing dan Ulangtahun Hujan. Buku tunggalnya Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis. Setelah menjadi alumnus pascasarjana Kajian Budaya, UNS Solo, dia bekerja sebagai editor pelaksana Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto. Selain itu, ia juga bergiat di Komunitas Beranda Budaya. Tempat tinggalnya di Desa Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail: [email protected] dengan No. HP 081911308227. Teguh Trianton, lahir di Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Aktif di Beranda Budaya (Banyumas). Pernah bekerja sebagai guru bahasa Indonesia, menjadi wartawan dan redaktur budaya. Kini menjadi pengajar di Prodi PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.Tulisannya berupa puisi dan prosa 163
terbit di Kompas, Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Batam Pos, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah (Yogyakarta), Jurnal Penelitian Agama (JPA), Jurnal Pendidikan Insania, Jurnal Ibda’, Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang (STAIN Purwokerto), Buletin Sastra Literra, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll. Ulang Tahun Hujan (2012) adalah buku kumpulan puisi pertamanya. Dia menulis buku Identitas Wong Banyumas, penerbit Graha Ilmu (2012). Selain itu, tulisannya juga terhimpun dalam antologi –bersama-; puisi Jiwa- jiwa Mawar (Buku Laela, 2003), Untuk Sebuah Kasihsayang (Buku Laela, 2004), Puisi Penyair Jawa Tengah: Pendhapa-1 (TBJT, 2005). Kumpulan Cerpen Robingah Cintailah Aku (Grafindo, 2007), antologi Temu Penyair Antar Kota: Pendhapa-5 (TBJT, 2008), Temu Penyair Banyumas-Solo: Pendhapa-6 (TBJT, 2009), Pilar Penyair (Obsesi, 2011), Antologi cerpen Tatapan Mata Boneka: Joglo 11 (TBJT, 2011), dll. E-mail: [email protected] [email protected]. 164
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164