BUKU PERTAMA 1
Monopoli Penulis : Harditya Hansyah Editor : Fitriana Intan Nurjanah Desain Grafis : Harditya Hansyah Diterbitkan oleh: CV Sunrise Jalan Nogobondo No. 7 Rejowinangun, Kotagede Yogyakarta 55171 Telp : (0274) 444710 Email : sunrise.hipro@gmail.com Cetakan Pertama, Desember 2016 ISBN : 978-602-6300-52-2 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit. 2
Monopoli Harditya Hansyah 3
Cerita ini hanyalah fiktif. Apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan alur cerita, itu terjadi hanya karena penulis terinspirasi dari kisah masa depan. 4
Daftar Isi Daftar Isi............................................................................5 Mata Dadu Satu ................................................................7 Mata Dadu Dua...............................................................12 Mata Dadu Tiga ..............................................................25 Mata Dadu Empat...........................................................29 Mata Dadu Lima .............................................................37 Mata Dadu Enam ............................................................53 Mata Dadu Tujuh ...........................................................73 Mata Dadu Delapan........................................................78 Mata Dadu Sembilan ......................................................91 Prolog ..............................................................................97 Daftar Pustaka.................................................................99 Tentang Penulis ............................................................101 5
“Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Rum dalam keadaan aman. Lalu kalian akan berperang bersama mereka, melawan suatu musuh dari belakang mereka. Maka kalian akan selamat dan mendapatkan harta rampasan perang. Kemudian kalian akan sampai ke sebuah padang rumput yang luas dan berbukit-bukit. Maka berdirilah seorang laki-laki dari kaum Rum lalu ia mengangkat tanda salib dan berkata, ‘Salib telah menang’ ...” Rasulullah Muhammad SAW (HR. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan imam Ibnu Majah). 6
Mata Dadu Satu 7
Hakikatnya, tidak ada orang yang mencintai kejahatan. Semua orang terlahir suci. Beranjak dewasa, orang akan terus beranggapan bahwa dirinya baik dan benar. Sayang, ego membuat tiap orang memiliki versi kebenarannya masing-masing. Sebagian orang tetap merasa benar ketika berbuat salah. Padahal, sudah jelas bahwa ‘selalu merasa benar’ saja merupakan sebuah kesalahan. Tapi kembali lagi ke awal, hakikatnya, tidak ada orang yang mencintai kejahatan. Lambat laun, kita mencoba mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki diri. Saya kira semua orang seperti itu, saya kira hakikat semua orang sama, sampai saya menemukan jawaban: ‘ternyata tidak’. Ya, ternyata ada. Ternyata ada orang (bahkan kaum) yang mencintai kejahatan seperti mereka mencintai Tuhan mereka. Ternyata ada orang (bahkan kaum) yang akan selalu merasa benar ketika berbuat salah. Hatinya sekeras batu, bahkan Tuhan sendiri yang mendeskripsikannya dalam kitab suci [1]. Salah satu orang dari kaum tersebut berada di ujung ruangan ini, ruangan seluas empat kali delapan meter dengan warna hitam dop di setiap sisi. Semuanya hitam. Langit-langit, lantai, meja kerja-kursi putar empuk yang diduduki 8
orang berhati batu itu, meja bujur sangkar-empat buah kursi, pistol di atas meja, pakaian yang ia kenakan, sampai isi gelas minumannya, semuanya hitam. Banyak orang mencintai warna hitam karena akan menimbulkan efek kontras, sehingga putih dalam dirinya akan terlihat lebih dominan, tapi dia tidak. Banyak orang mencintai warna hitam karena menimbulkan kesan garang dan misterius, sehingga mereka terlihat lebih cool, tapi dia tidak. Banyak orang mencintai warna hitam karena barang-barang berwarna hitam tidak mudah kotor, tapi dia tidak. Bahkan Rasul umat muslim berperang menggunakan panji-panji berwarna hitam demi membela kebenaran, tapi dia (jelas) tidak. Dia mencintai warna hitam sebesar kecintaannya terhadap kejahatan. Sekiranya itu yang tertangkap dari aura tubuh, tatapan mata, serta gaya bicaranya. Orang (laki-laki) itu berusia delapan puluh tahunan dengan jenggot putih sampai dada. Diseberangnya, di meja bujur sangkar, tiga dari empat kursi telah terisi, salah satunya oleh seorang wanita enam puluh tahunan yang mengenakan blazer dan rok mini merah marun, dengan name tag bertuliskan ‘Nyonya Rockev’ di dada kirinya. Ekspresinya datar, perpaduan antara rasa takut, shock, dan stress. Kursi lain diduduki oleh seseorang yang 9
berpakaian tentara dengan tangan terikat serta kepala terbungkus kain (sudah pasti kainnya hitam). Sedangkan di kursi ketiga duduk seorang laki-laki muslim (terlihat jelas dari penampilannya), rambut panjang sebahu, menggunakan jubah koko biru tua peci putih (sepertinya seorang Alim Ulama), yang akses mata dan tangannya juga diblokir. “Buka penutup kepala mereka” Ucap Pak Tua. Nyonya Rockev langsung mengerti bahwa yang Pak Tua perintah adalah dirinya. Gemetaran dia membuka belenggu di tangan serta kepala Sang Tentara, kemudian dengan gugup melakukan hal yang sama ke Sang Ulama. Keduanya mengerjap-ngerjapkan mata, melihat sekeliling, sama saja. Gelap. Hanya ada sedikit sorot lampu putih dari sudut-sudut atas ruangan. Sangat jauh dari kata cukup. Sang Tentara dan Sang Ulama terkejut ketika melihat ke arah kursi yang kosong. Kursi tersebut memang kosong. Tapi apa yang tergeletak di lantai antara kursi kosong dengan si Pak Tua-lah yang membuat mereka berdua kaget. Disana, terkulai sesosok mayat berbaju putih penuh darah. Sang Ulama mendesis pelan, menggumamkan kalimat bela sungkawa. Dia mengenal siapa mayat itu. Tentu semua orang mengenalnya. Dia adalah si Jas Putih, Pemimpin Benua Putih, negeri yang kabarnya paling kuat di dunia. 10
“Selamat datang untuk kalian berdua.” Sapa Pak Tua kepada dua orang baru ini. “Sebenarnya saya ingin menjelaskan mengapa kalian bertiga ada disini, tapi tunggu sebentar ya,” Sambungnya sembari mengangkat lengan kiri sejajar didepan dada, menarik sedikit lengan baju untuk mengintip arlojinya. “Sebentar lagi pemain cadangan datang kok. Biar lengkap.” Pungkasnya. 11
Mata Dadu Dua 12
Matahari hampir terbenam entah kemana ketika seorang laki-laki empat puluh tahunan duduk di balkon lantai tertinggi sebuah gedung. Gedung yang sangat tinggi, sampai-sampai sejauh mata memandang ke bawah, hanya terlihat kabut. Dari sini, rumah tampak kecil dan samar. Manusia? Hanya terlihat bagai semut, seperti sebuah titik yang bergerak-gerak lambat. Dari balkon setinggi ini, horison terlihat lebih rendah dan jauh. Langit mendominasi dua per tiga pemandangan dengan gradasi warna biru-kuning-jingga-merah yang menakjubkan. Dibawah horison, air laut biru muda mengambil porsi seperenam bagian pemandangan. Separuh mentari tercelup ke dalamnya. Porsi sisa diisi oleh hijau pepohonan yang sedikit tersamarkan oleh kabut. Wahai, sejuk sekali melihat seluruh pemandangan ini. Porsi hijau pepohonan bisa jauh lebih banyak jika kamu mau repot-repot berdiri di tepian gedung, melihat ke bawah. Tapi laki-laki ini tidak. Dia selalu mendongak ke atas, menantang langit dari ketinggian lima ratus meter. Menantang langit dari gedung yang sengaja dibuat untuk menantang Tuhan. Matahari hampir terbenam entah kemana ketika seorang pelayan cantik mengantarkan secangkir kopi 13
dan sepiring biskuit ke meja Tuannya. Pekerjaan ini memang agak berat bagi sang pelayan, sebab Sang Tuan sedang menikmati senja di balkon lantai seratus tujuh puluh, sedangkan pelayan itu mengantarnya dari lantai dua. Naik lift sih, tapi mengangkat nampan berisi penuh selama lift mampu melahap seratus enam puluh delapan lantai kan capek juga. “Ini kopi dan cemilannya Tuan.” Ucap si Pelayan sambil menghidangkan cangkir dan piring putih ke atas meja Tuannya. Paras pelayan itu benar-benar cantik. Di lehernya terkalung kartu identitas yang berbeda dibanding staff lainnya. Tidak ada foto, tidak ada nama, hanya ada secarik kertas putih bertuliskan trainee. “Lani? Kemari sayang,” ucap Sang Tuan sambil menepuk-nepuk paha. Dengan canggung si Pelayan duduk di pangkuan Tuannya itu. Tuan negeri ini memang sangat nakal. Bagaimana tidak, dia adalah pemimpin sebuah negeri dimana tidak ada hukum, tidak ada aturan, dan (yang paling mengerikan adalah) tidak ada yang percaya kepada Tuhan. Bagi mereka hidup adalah keadaan dan mati adalah ketiadaan. Maka memanfaatkan sisa usia dengan bersenang-senang sepuasnya adalah sebuah keharusan. Selama berada dalam wilayah negeri ini, semua bebas dilakukan. Seks 14
bebas? Membunuh? Memberontak? Dia sendiri adalah seorang pemberontak. Dalam satu tahun terakhir saja negeri ini telah mengalami enam belas kali kudeta. Hanya satu yang berhasil, Tuan ini-lah orangnya. Maaf, saya meralat pernyataan saya di awal paragraf. Di negeri ini masih ada satu hukum yang berlaku: Hukum Rimba. “Bagaimana Tuan bisa ingat nama saya?\" Ucap Lani kaget campur kagum. Padahal Lani baru dua hari bekerja disini, baru sempat memperkenalkan diri ke Sang Tuan sebagai pegawai magang kemarin pagi, dan baru berkesempatan bertemu lagi pagi ini, setelah kemarin Tuan seharian mengurusi negerinya. Bagaimana bisa ingat? Apa hanya karena kecantikannya? Sang Tuan hanya menjawab dengan senyuman. Semua orang di negeri ini tahu, kepiawaian Sang Tuan dalam merayu dan memperhatikan wanita jauh lebih hebat dibandingkan dengan kemampuannya memimpin negara. “Kau tahu Lani, kemana perginya matahari itu setiap sore?” Tanya Tuan kepada si pelayan. “Ke belahan bumi yang lain. Ya kan tuan?” Jawab Lani sopan. “Tolong ambilkan cangkir itu,” pinta Sang Tuan. 15
“Ini Tuan,” Lani mengangkat tangkai cangkir, menyodorkannya ke depan wajah Sang Tuan. “Dan sepotong biskuit,” segera Lani mengoperkan satu potong biskuit berbentuk lingkaran dari atas piring ke tangan kanan tuannya. “Orang-orang Islam percaya bahwa matahari tenggelam ke dalam laut yang berlumpur hitam [2].” Ucap Sang Tuan sambil mencelupkan biskuit ke kopi secara perlahan, mencoba mengilustrasikan ceritanya. Lani menatap kosong ke arah separuh mentari yang tersisa, mengernyitkan dahi. “Selama saya menjadi muslim, Tuan,” Lani menolehkan pandangan ke Tuannya, “sepertinya saya tak pernah mendengar ada umat muslim yang memercayai hal tersebut?” Sambungnya. “Bagaimana kau ini, muslim macam apa kau dulu?” Ucap sang Tuan sambil mendaratkan biskuit separuh basah- hitam itu kedalam mulutnya. “Hal itu tertulis dalam Al-Qur’an. Muslim percaya Al Quran kan? Berarti mereka juga memercayai hal itu dong.” Sambung Sang Tuan. “Tuan, yang saya tahu A- Quran memang mengandung banyak majas, pengalih dari makna dasar yang 16
sebenarnya. Tidak semua ayat bisa kita terjemahkan mentah begitu saja.” Lani membela diri. Atau mungkin membela Tuhannya? Ah, urusan melupakan Tuhan memang tidak mudah bukan? Sehebat apapun setan menghasut hingga seseorang murtad, sebesar apapun nafsu duniawi menggoda hingga menjadi kafir, hati kecil akan selalu takut dan percaya kepada-Nya. “Kau pasti dulu muslim yang taat, Lelani.” Ucap Sang Tuan sambil mengusap rambut Lani. Perlahan Lani merasakan sesuatu menohok dadanya. Ada segumpal ganjalan dihatinya. Sesak. Perlahan ganjalan itu naik ke tenggorokan, menyebar merata ke seluruh sudut kepala, meluap sedikit lewat matanya, kemerahan, berkaca-kaca. Lani menoleh ke kanan, sedikit menunduk, mencoba menyembunyikan luapan itu dari Sang Tuan. Sepertinya ia rindu Tuhan. Sang Tuan melanjutkan kalimatnya, “Tapi aku justru hanya percaya pada rangkaian ayat-ayat ini di Al Qur’an, Bagian akhir Surat Al Kahfi, ketika Kitab itu menceritakan Zulkarnain secara detail [3]. Aku sangat percaya. Tentang perjalanannya ke ujung timur dan barat bumi, tentang kaum Ya’juj dan Ma’juj, tentang tembok tinggi yang ia dirikan. Aku sangat yakin cerita itu maha benar. Dan kau tahu Lani? Jika tembok itu 17
runtuh, jika Ya’juj dan Ma’juj kembali muncul, orang Islam percaya bahwa kiamat akan muncul.\" Tuan menatap kosong ke horison, menahan napas sambil mengernyitkan dahi sebelum melanjutkan kalimatnya. “Nah, untuk yang satu ini aku tidak memercayainya, Lani. Aku yakin itu hanya manifestasi ketakutan umat muslim terhadap Ya’juj dan Ma’juj, agar tak ada yang berani mencari tembok itu, menghancurkannya, agar Ya’juj dan Ma’juj tidak kembali, dan tidak membinasakan mereka.” Setelah mendengar teori panjang dan gila dari Sang Tuan, luapan di mata Lani mulai menetes, kristal pembendungnya pecah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun baru menjabat sebagai presiden selama empat bulan, Sang Tuan telah mengirimkan belasan misi pencarian tembok Ya’juj dan Ma’juj demi menghancurkannya, demi membebaskan Ya’juj dan Ma’juj, demi tentara tambahan untuk melawan kaum muslim, demi membinasakan muslim (jika teorinya memang benar). Meski telah murtad, jelas sekali Lani masih percaya bahwa hal tersebut justru akan mempercepat hadirnya kiamat, membinasakan dunia, termasuk Sang Tuan dan Lani sendiri. 18
Empat bulan lalu, tepat satu hari setelah Tuan Atheis ini berhasil menduduki Istana Kepresidenan 170 lantai, tanpa tedeng alih-alih, dia menembakkan ratusan rudal ke landmark negeri Batas Bambu, tembok raksasa. Dalam hitungan detik, seperempat bagian tembok yang membentang dari ujung timur hingga barat negeri Batas Bambu tersebut luluh lantah, rata dengan tanah. Semenjak negeri Atheis berdiri, mereka memang terus- menerus mengincar tembok besar itu. Tapi yang selama ini mereka lakukan hanyalah meneliti, meneliti, dan meneliti. Satu-dua tahun penelitian, didapat hipotesa bahwa dari seluruh bagian tembok sepanjang dua puluh satu ribu kilometer ini, area Datong-lah yang paling memungkinkan sebagai area kurungan Ya’juj-Ma’juj. Tiga tahun penelitian, didapat fakta bahwa di dalam lapisan batuan tembok ada lapisan tembaga dan emas yang sangat kokoh dan kuat –fakta yang didapat setelah mereka mengikis tembok secara perlahan dan diam- diam. Tapi apakah Ya’juj dan Ma’juj ada di dalamnya? Tak pernah mereka sampai ke fakta itu. Empat bulan lalu, akhirnya Sang Tuan sendiri yang membuktikannya setelah berhasil meluluh lantahkan area Datong dan menerjunkan dua belas ribu prajurit lewat jalur darat dan udara. 19
Apa yang pasukan itu dapat justru di luar dugaan. Tembaga yang diteliti sangat kokoh itu ternyata hancur berkeping-keping. Setelah menggali puluhan meter di tanah bekas tembok, yang ditemukan justru puluhan ton emas dan berlian! Meski tetap mereka bawa pulang sebisanya, tujuan utama mereka bukan itu. Mereka terus mencari kaum Ya’juj Ma’juj hingga seluruh area Datong yang cukup luas itu tergali. Area Datong adalah satu- satunya area yang dikelilingi oleh Tembok Besar. Di area lain, tembok itu hanya memanjang, tidak mengurung suatu daerah seperti pada area Datong. Beberapa fakta penunjang lain juga memperkuat hipotesa intelejen Negeri Atheis bahwa area ini adalah area yang paling dicurigai sebagai target. Sayang, hingga akhir pencarian, yang ditemui hanya emas, emas, dan berlian. Pencarian itu pun sudah pasti tidak berjalan dengan mudah. Tentara Negeri Batas Bambu, meski dengan respon yang lambat dan pasukan seadanya, memerangi pasukan Negeri Atheis. Dua belas ribu tentara Atheis membentuk barikade berlapis, melindungi para arkeolog dan petinggi pasukan di lapisan terdalam. Dua puluh satu jam mencari, pimpinan pasukan segera memberikan perintah untuk menarik diri dari wilayah tersebut, meninggalkan puluhan ton emas-berlian serta dua ribu mayat pasukan. 20
Peristiwa tersebut jelas mengundang reaksi keras dari seluruh penjuru dunia. Ratusan turis dan penduduk Batas Bambu yang tewas, serta tiga ribu tentara Batas Bambu yang meregang nyawa dalam pertempuran itu, sudah menjadi bukti yang cukup kuat bagi Federasi Bangsa-Bangsa (FBB) untuk menangkap Sang Tuan Atheis. Tiga jam setelahnya, Puluhan ribu Prajurit Benua Putih atas nama Pasukan Perdamaian FBB diterjunkan ke ladang emas Datong. Sepertiga pasukan membantu mencari korban jiwa, dua pertiga yang lain sibuk memenuhi tank mereka dengan emas dan berlian. Ketika banyak yang menyuarakan agar FBB segera menyerbu Negeri Atheis, menangkap Sang Tuannya, Sekjen FBB justru menganggap suara-suara tersebut sebagai suara yang tidak berhati nurani. “Pemulihan di daerah korban bencana perang saat ini jauh lebih penting.” Ucap beliau dalam konferensi pers di Markas FBB. Publik tahu betul FBB telah menampakkan kemunafikannya secara terang-terangan. Apalah arti hati nurani jika selama ratusan tahun FBB selalu menggempur timur tengah atas nama perdamaian? Yang publik tidak tahu adalah permainan di balik layar. Sang Tuan memang bersekongkol dengan Benua Putih. 21
“Saya dapat faktanya, anda dapat hartanya.” Ucap Sang Tuan pada suatu pertemuan dengan Presiden Benua Putih. Kini fakta telah didapat. Meskipun hasilnya nihil, Sang Tuan yakin langkahnya telah menghemat banyak waktu, harta, dan tenaga. Selama Negeri Atheis berdiri, hanya ada dua tempat yang mereka yakini sebagai tembok pengurung Ya’juj dan Ma’juj. Harta dan tenaga yang tercurah ke dua penelitian ini sama besarnya. Dengan membuktikan bahwa Tembok Besar bukan target yang selama ini mereka cari, Sang Tuan berarti telah berhemat setengah pengorbanan. Seminggu setelah kehilangan besar pada pertempuran itu, Sang Tuan segera fokus ke satu-satunya target: Tembok Es Antartika. Sang Tuan memang sangat membenci umat muslim, terlihat jelas dari besarnya ambisi untuk memusnahkan umat tersebut. Menurutnya, semua agama hanyalah ciptaan manusia-manusia yang haus akan kedudukan. Semakin modern agama, semakin banyak aturan yang diciptakan, maka semakin berbahaya agama tersebut. Sang Tuan tahu persis bahwa negara paling kaya di dunia serta ber-perekonomian kuat dan stabil adalah negara- negara Islam di timur tengah, bukan Benua Putih. Dia 22
paham betul bahwa negara paling aman dan makmur di dunia adalah negara-negara Islam di timur tengah, bukan Benua Putih. Baginya, Benua Putih hanya menjadi nomor satu di bidang teknik pengolahan citra, media, persepsi, konspirasi, dan pembohongan publik (yang kemudian menjadi negara percontohan bagi negara- negara lain). Itulah mengapa Tuan tidak takut terhadap Benua Putih, berpayung Federasi Bangsa-Bangsa (FBB) sekalipun. Ia hanya takut terhadap umat Islam. Umat yang meski dibantai Benua Putih habis-habisan di timur tengah, justru menjadi agama dengan umat terbanyak di dunia (22,3% populasi dunia dengan pertumbuhan 235% tiap tahunnya). Itulah mengapa Sang Tuan sangat membenci agama Islam. *** “Saya permisi ke belakang dulu Tuan” Ucap Lani parau. Lani beranjak dari pangkuan Tuannya, berjalan ke dalam Istana sambil menutupi wajahnya yang menangis. Sang Tuan terus mengawasi langkah Lani hingga hilang sempurna, kemudian dengan tenang memuntahkan seluruh biskuit basah dari kerongkongannya kedalam cangkir kopi, mengeluarkan sapu tangan dari saku celana, menggosok-gosokkannya ke lidah cukup lama, 23
hingga terhenti akibat suara langkah kaki dari arah balkon. “Apa lagi Lani?” Desah Sang Tuan. Bukan, bukan Lani yang kembali datang, kali ini laki- laki, dua orang pula. Mengenakan jas hitam, rompi hitam, kemeja hitam, topi-celana-sepatu-kacamata hitam, pekat sekali, sampai-sampai tidak ditemukan gradasi gelap terang dalam warna busananya, semuanya gelap sempurna. Dua orang dengan badan atletis itu berhenti di hadapan Sang Tuan, salah satu memperlihatkan sebuah tanda pengenal. Tanda pengenal yang bisa membawa mereka berdua seenaknya memasuki istana sebuah negara tanpa pengawasan. Tanda pengenal yang membuat wajah Sang Tuan berubah pucat pasi hanya dalam sekejap. Tanda pengenal yang berwarna –sudah pasti- hitam. Bukan, bukan tanda pengenal Dewan Hakim, di negeri ini tidak ada pengadilan. Bukan juga intelejen Benua Putih yang terkenal ada di mana-mana itu. Lembaga ini jauh lebih berkuasa dari siapapun meskipun tak punya kekuatan militer. Lembaga ini adalah sebuah lembaga perbankan. Dunia mengenalnya dengan nama Bank Mulia. “Bapak ingin bertemu denganmu.” 24
Mata Dadu Tiga 25
Kembali ke ruangan gelap itu lagi. Pintu di sebelah kanan Pak Tua terbuka. Pak Tua tersenyum. Sang Ulama terperangah, ternyata ruangan ini punya pintu juga. Sang Tentara berhitung, seberapa cepat larinya keluar pintu jika dibandingkan dengan kecepatan Pak Tua mengambil senjata di meja, menarik pelatuk, lalu menembaknya. “Di luar pintu itu masih jauh lebih banyak penjaga dan senjata.” Ucap Nyonya Rockev dengan ekspresi datar, mencoba menebak pikiran dan pertanyaan si Tentara. Tak lama, dua orang misterius penjemput Tuan Atheis – yang telah diceritakan sebelumnya—masuk menggiring seseorang berpakaian persis seperti Sang Tuan, tetapi menggunakan penutup kepala. Dua orang tadi melepas ikatan tangan dan penutup kepala orang itu (benar kan, orang itu si Tuan Atheis), kembali keluar ruangan dan menutup pintu, disusul dengan bunyi klik dari arah pintu, terkunci rapat. “Selamat datang sahabatku,” ucap Pak Tua sambil membuka kedua tangannya. Sang Tuan Atheis (yang selanjutnya kita sebut si Atheis saja ya?) hanya tersenyum kecut. 26
“Hmm baiklah baiklah, mungkin kau masih jetlag. Silahkan duduk.” Sambung Pak Tua sembari menurunkan tangannya, sedikit tersinggung. “Oke, sudah lengkap, sekarang saatnya bermain-main” Ucap Pak Tua, kemudian menjentikkan jarinya. Tak lama pintu kembali terbuka, kali ini empat wanita berpakaian sama seperti Nyonya Rockev –tetapi jauh lebih muda dan cantik—masuk sambil masing-masing mendorong troli emas tingkat dua berisi tumpukan uang yang cukup banyak. Diatas troli tersebut juga terdapat tabletphone serta sebuah papan permainan—hanya di salah satu troli. Keempat wanita itu masing-masing memposisikan diri di sebelah kanan keempat orang yang duduk. Dengan cekatan salah satu wanita membentangkan papan berisi gambar kotak-kotak dan warna-warni di tengah meja, menumpuk sejumlah kartu di dua sisi papan, kemudian meletakkan gelas kecil berisikan dua buah dadu emas di tengah papan tersebut. Keempat wanita pembawa troli saling bersitatap dan sejurus kemudian membagikan bidak-bidak kecil ke masing- masing orang yang duduk. Segitiga hijau untuk si Tentara, bintang david merah untuk Nyonya Rockev, bintang bersangkar bulan sabit biru tua untuk Sang 27
Ulama, serta lingkaran putih untuk si Atheis. Tidak selesai sampai disitu, keempat wanita memberikan selembar kertas berisikan peraturan permainan, mempersilahkan masing-masing orang yang duduk untuk membacanya. Keempat wanita itu kompak sekali, seperti telah berlatih berbulan-bulan hanya untuk hari ini. Si Tentara, Tuan, serta Ulama mengernyitkan dahi, tak mengerti, dan terpaksa membacanya. Nyonya Rockev masih berekspresi datar, tetapi tak lama juga ikut membaca. Jelas sekali raut ketakutan di wajahnya. Kalian akan bermain-main disini.” Ucap Pak Tua. “Bermain monopoli,” sambungnya. 28
Mata Dadu Empat 29
Sirkuit Andalusia, pukul 14.35, sangat panas. Bukan hanya karena dibakar matahari, tetapi karena di atas lintasan tersebut tengah berlangsung duel sengit antara dua pembalap kuda besi, Karel dan Luca. Seri ke lima – dari total 20 seri- kompetisi balap motor nomer wahid sedunia ini tinggal menyisakan satu lap lagi. Selisih kedua pembalap memang sangat dekat, Luca hanya memimpin 0,15 detik didepan Karel. “Tikungan terakhir sebelum melewati garis finish, Karel telah berada sangat dekat, dan.. Trek lurus, Karel mencuri angin, tepat dibelakang Luca, dan, ya! Tidak dapat dipercaya, Karel masuk melalui sisi dalam, sangat dekat, sangat sangaat tipis dan.. Karel menyalip Luca!” Teriak komentator antusias. Suaranya menggelegar lewat puluhan speaker di seluruh penjuru sirkuit. Penonton berteriak jauh lebih keras. Mereka berdiri – bahkan ada yang melonjak dari kursinya–sambil mencari-cari sosok jagoannya, baik di lintasan maupun di layar kaca besar-besar dekat tribun. Riuh sekali. Di atas tribun kelas satu, duduk seorang wanita yang tidak seriang fans Karel. Dia adalah Ratu Negeri Andalusia. Bagaimana mungkin dia riang jika di kandang sendiri, pembalap nomor wahid negerinya hanya finish di urutan keempat? Pasti sangat malu, mengingat 30
Andalusia adalah negara yang memonopoli kompetisi balapan ini (pihak penyelenggara berasal dari Andalusia, lima dari dua puluh seri diselenggarakan di Andalusia, dan delapan dari dua puluh dua pembalap berkebangsaan Andalusia). Lebih malu lagi laki-laki yang duduk disebelahnya. Mukanya merah padam. Jika kau jilat mukanya sekarang, pasti terasa sangat asam. Dia adalah Menteri Olahraga Andalusia. “Saya sudah mengancam para Race Director (wasit-nya balapan), jika gagal memonopoli balapan, gagal memenangkan pembalap Andalusia, kariernya berhenti sampai disini,” Sang Menteri mencoba menjelaskan kepada Ratu, tapi Ratu hanya diam, seperti mencemaskan sesuatu. Pasti mencemaskan masa depan dunia olahraga negerinya. Padahal tidak, ada hal yang jauh lebih dicemaskan olehnya. Hasil permainan lain. Permainan yang jauh lebih besar taruhannya dibandingkan seluruh permainan di muka bumi ini. “Bilang pada mereka bahwa karier mereka tetap selamat,” balas Ratu sambil tersenyum. Sang Menteri ikut tersenyum sambil bernapas lega. “Kariermu-lah yang akan hancur,” sambungnya. Hancur sudah senyuman Sang Menteri. Jabatannya yang begitu prestis, rumah dan mobil dinasnya yang begitu mewah, 31
kekuasaannya dalam memonopoli seluruh kompetisi olahraga seantero negeri, pasti akan hilang dalam hitungan hari saja. “Saya mohon Ratu pertimbangkan lagi, prestasi saya di cabang olahraga lain tidak begitu buruk.” Pak Menteri memohon. “Minggu lalu saja Real Madrid berhasil menjuarai Liga Champion Eropa,” sambungnya. Aissh, sejak kapan seorang menteri olahraga punya andil dalam prestasi klub sepakbola sebuah kota? Tidak masuk akal. “Dunia sedang kacau Pak, bukan hanya kariermu, tapi juga kekuasaanku. Negeri ini juga akan hancur hanya dalam hitungan jam. Kau lihat berita beberapa jam lalu? Negeri Malaya resmi dikuasai oleh Atheis? Itu hanya awal dari kehancuran seluruh negeri di dunia ini.” Ucap Ratu nelangsa. Sang Menteri malah jadi tidak mengerti, apa maksud ucapan Ratu barusan? Mengigaukah dia? “Sudahlah, kau tak akan mengerti sampai waktunya benar-benar tiba. Ayo menuju podium. Kita sudah dijemput oleh penanggung jawab acara,” sambung Ratu sambil menunjuk seorang pemuda mengenakan headphone dan menggenggam walkie talkie sepelemparan batu dari mereka, sedang berjalan mendekat. 32
*** Para Kareline (julukan bagi fans Karel) turun ke lintasan, memadati area lintasan yang berada paling dekat dengan podium. Padat sekali, sampai-sampai Karel tidak dapat melakukan selebrasi usai balapan. Flare putih mengepul di beberapa titik. Bendera putih bernomor 23 berkibar dimana-mana. Yel-yel dikumandangkan. Setelah menunggu beberapa menit, satu persatu ‘juara’ muncul di podium. Dimulai dari sang juara ketiga, Malika. Para penonton tak menggubris. Semua orang tetap menyebut-nyebut nama Karel. Giliran sang runner up, Luca, muncul sambil melambaikan tangan ke penonton. Sayang lambaiannya tak bersambut, para penonton tetap meneriaki nama Karel. Luca bertepuk sebelah tangan. “Dan inilah, juara lima seri sapu bersih tahun ini, juara dunia dua tahun terakhir, siapa diaaa?” Pembawa acara memancing. Sorakan nama Karel dari para Kareline seketika menjadi lebih kencang. Mendadak Karel muncul dari balik podium sambil membawa sapu, tertawa riang, tengok kanan dan kiri, melotot kaget sambil menutup mulutnya, kemudian melangkah berjinjit kembali ke balik podium, bersembunyi menyisakan sebagian kepalanya, lucu sekali. Kareline tertawa geli. 33
“Aku belum menyebut namamu Karel,” ucap sang pembawa acara. Para Kareline kembali tertawa. “Baik, ini dia cleaning service kita,” Tawa kembali pecah. “Karel!” Sorak sorai penonton kembali membahana. Kali ini yang paling keras sepanjang akhir pekan. Karel muncul, kembali membawa sapu, melangkah ke podium utama, kemudian menyapunya. Mungkin maksudnya adalah: lihatlah, aku menyapu bersih lima seri terakhir! *** Usai memberikan trofi ke juara dua dan tiga, Menteri Olahraga Andalusia kembali ke belakang podium. Pembawa acara memanggil Ratu Andalusia untuk memberikan trofi kepada sang juara. Sayang, baru beberapa langkah memasuki area podium, muncul suara dentuman keras dari arah utara, lawan arah podium menghadap. Penonton terdiam, kaget, takut bercampur cemas. Helikopter perekam balapan kembali terbang, ingin menjadi media pertama yang meliput. Kamera langsung ditampilkan pada layar televisi besar-besar di beberapa sudut lintasan. Terlihat kepulan asap hitam dari radius tiga kilometer sebelah utara sirkuit: itu pusat ibukota! Helikopter terus mendekat. Penonton tercekat melihat gedung pemerintahan hangus terbakar! Tak 34
lama layar televisi berubah saluran, kini menampilkan sosok lama berpakaian gamis biru tua dan berpeci putih. Rambutnya sebahu, jenggotnya hampir sedada. Mukanya pucat tertekan. Latar belakangnya sempurna hitam. “Assalamualaikum,” sapanya dari layar kaca. Sebagian besar penonton menjawab salam Sang Ulama. Sejak Karel menjadi idola baru di dunia balap motor, memang telah banyak Kareline yang memeluk Islam. Bagaimana tidak, pemuda kelahiran Palestina berkebangsaan Justisia ini memang selalu menyempatkan berdakwah di setiap konferensi pers dan wawancara pra maupun pasca balapan. Bahkan atas jasanya menyebarluaskan Islam serta menghapus paradigma Islamophobia, Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan dan gelar kehormatan kepada pembalap 23 tahun ini. “Saya selaku pemimpin negeri Justisia, dengan ini..” Sang Ulama terhenti. Matanya memerah, cepat-cepat menunduk, tak lama mendongak salah tingkah, kemudian kembali menghadap ke depan. Jelas sekali matanya berkaca-kaca. “Dengan ini menyatakan bahwa,” Sang Ulama melanjutkan kalimatnya. 35
“Bahwa negeri Andalusia secara resmi telah menjadi daerah kekuasaan Justisia.” Tiba-tiba wajahnya terlihat lebih cerah. “Siapkanlah sambutan terbaik, setelah ratusan tahun lamanya, Islam sempurna kembali ke Andalusia, saudaraku!” Tutup Sang Ulama dengan senyum penuh semangat. Penonton tercengang. Wahai, apa maksud dari semua ini? Jelas-jelas pemimpin negeri mereka tengah berada di atas podium ... Tunggu dulu, kemana perginya Karel? Kemana perginya Sang Ratu? 36
Mata Dadu Lima 37
Setengah jam sebelumnya, “Monopoli?” Si Atheis buka suara terlebih dahulu. Si Tua mengangguk. “Sekedar bermain monopoli, atau bertaruh untuk sesuatu?” Aish, lugu benar pertanyaan Sang Ulama. Meski dia yang bertanya, dia sendiri pasti sudah tahu jawabannya. Untuk apa orang-orang penting dikumpulkan dan ditodong senjata jika hanya diperintah untuk bermain-main? Ini pasti judi, dan pasti skala besar. Lebih baik mati baginya ketimbang menyentuh judi! Tapi bagaimanalah cara mengutarakan yang paling tepat ke si tua bangka ini? Senjata ditangannya, mayat dihadapannya, ditambah satu penentang baru, bagaimana jika hanya dalam sekali protes, mayat yang tersungkur akan jadi dua orang? “Taruhannya? Nyawa kalian dan hampir seluruh muka bumi. Ada dua puluh dua negara di atas papan tersebut. Harga mereka setara dengan hutang mereka di Bank milikku. Ah, ya, apa ada yang belum mengenaliku? Aku memiliki dunia ini tapi bahkan orang-orang penting seperti kalian saja tak mengenaliku? Percaya atau tidak, aku adalah pemilik Bank Mulia. Bank dengan ratusan 38
negara sebagai nasabahnya. Dan diatas papan itu, adalah dua puluh dua negara dengan hutang terbesar mereka ke bank milikku.” Sang Tentara dan Sang Ulama menatap keheranan, setengah ragu. Wajar mereka tidak mengenalinya, negeri asal mereka tidak pernah berurusan dengan bank itu. Si atheis? Ah, dia cuma tahu urusan serang-menyerang Antartika, peduli amat dengan Bank Mulia. Dia sudah punya caranya sendiri untuk memutar perekonomian negeri yang ia pimpin. Nyonya Rockev? Meskipun negara asalnya juga tidak pernah berhutang, jelas dia familiar dengan Pak Tua. Seragam yang wanita itu pakai juga sudah cukup menjelaskan bahwa si tua ini adalah bosnya! “Dan tepat pagi ini, Negeri Batas Bambu resmi menjadi negara ke dua puluh dua yang nilai hutang plus bunganya lebih besar daripada seluruh harta dan kekayaan negeri itu sendiri, maka hari ini adalah hari yang tepat untuk memulai permainan ini, permainan yang telah aku tunggu puluhan tahun lamanya.” Sambung Pak Tua. “Lantas mengapa harus kami yang memainkannya? Apa salah kami sehingga kau pilih untuk mempertaruhkan nyawa?” Tanya si Tentara. “Hei, hei, hei, harusnya kalian bersyukur ada disini. Kalian punya peluang 25% menguasai separuh dunia! 39
Dua puluh dua negara besar tapi rakus ini bisa jadi milikmu!” Ucap Pak Tua menggebu-gebu. “Dan 75% peluang mati maksud anda?” Ucap Nyonya Rockev. “Ya, siapa yang bangkrut dalam permainan ini, memang akan ku bunuh. Tapi bukankah semua orang 100% akan mati? Apa pengaruhnya dengan persentase yang barusan kau sebutkan!” Bantah Pak Tua. “Untuk pertanyaanmu,” Pak Tua menunjuk si Tentara. “Akan kujelaskan sedikit. Kalian adalah perwakilan dari negara kalian masing-masing. Sama seperti permainan monopoli pada umumnya, kalian dapat membeli negara- negara di atas papan. Bedanya, pada permainan kali ini kalian benar-benar akan membelinya, benar-benar akan memilikinya.” Sambungnya. “Wajah kalian akan ditampilkan di layar kaca seluruh dunia setiap kalian berhasil mencaplok negara-negara di atas papan. Setiap negara yang dibeli si Atheis akan menjadi bagian dari negeri Atheis, setiap negara yang dicaplok si Muslim ini akan menjadi bagian dari negeri Justisia. Untuk si Tentara ini, setiap negara yang ia beli akan menjadi bagian dari negeri Atlantis, negeri yang dipimpin oleh Ayahnya. Sedangkan wanita itu, aku 40
memilihnya karena dia adalah karyawati terbaik yang aku miliki. Setiap kau membeli negara, Nyonya, kau akan mendeklarasikan diri sebagai Direktur Bank Mulia dan mengepalai negara-negara tersebut karena jumlah hutang dan bunganya telah melampaui seluruh kekayaan negeri itu sendiri. Kau akan mendirikan bendera baru di atas tanah Benua Putih,” jelas Pak Tua panjang lebar. Seluruh peserta kembali menatap miris ke arah mayat di hadapan mereka, Sang Presiden Benua Putih. “Aku tak sudi mati dalam keadaan berjudi,” ucap Sang Ulama. “Kalau begitu menanglah,” jawab Pak Tua santai. “Aku tak sudi berjudi, berbuat nista hanya demi menuruti keinginanmu!” Balas Sang Ulama sambil menatap tajam ke arah Pak Tua. Tanpa pikir panjang Pak Tua mengambil senjatanya, menarik pelatuk, dan ... “Tunggu!” Teriak si Tentara. “Wahai Amirul Justisia yang adil, cobalah lihat dari sudut pandang lain? Anggaplah ini sebuah peperangan melawan ke-bathil-an!” Lanjut si Tentara, tetapi dengan nada yang jauh lebih halus. “Peperangan bersenjatakan dadu maksudnmu?” Jawab Sang Ulama dingin. 41
“Dan strategi, wahai Khalifah, strategi seperti halnya peperangan lainnya. Saya rasa jelas kita berdua berada di pihak yang sama, dimana adzan masih berkumandang, disitulah tanah air kita bukan? Wahai Khalifah, kita punya peluang dua kali lebih banyak dari nyonya ini dan si atheis itu, peluang lebih banyak untuk menang, untuk menyebarkan Islam di dua puluh dua negara tamak dan kafir ini! Kenapa tidak kita perjuangkan saja?” Bujuk si Tentara. Sang Ulama hanya terdiam. Selang beberapa detik, dia membuka suara. “Baiklah, Jenderal.” “Bagaimana? Sudah selesai dramanya?” Ucap Pak Tua terkekeh. “Tunggu,” si Atheis menyergah. “Mengapa pula tak kau kuasai sendiri saja seluruh negeri tamak itu Pak Tua?” Sambungnya. “Hei Sahabatku, aku sudah terlalu tua untuk hal itu. Aku sudah menghabiskan puluhan tahun berkuasa secara sembunyi-sembunyi. Untuk apa pula tiba-tiba aku muncul? Kau tahu, hal terindah yang ingin kau lakukan di umur setua aku adalah bermain-main, sahabatku,” ucap Pak Tua. 42
“Semoga kelak kau masih bisa merasakannya,” imbuhnya. “Masih ada lagi yang mau kalian tanyakan?” Keempat pemain tidak bersuara, mengangguk, maupun menggeleng. “Baiklah silahkan mulai kocok dadu pertama untuk menentukan siapa yang jalan duluan,” sambung Pak Tua. *** Atheis, Atlantis, Justisia, Andalusia, Malaka, kalian tahu itu semua kan? Ah yang benar saja? Berapa nilai Geografi kalian di sekolah dulu? Atau jangan-jangan kita berada di dunia yang berbeda? Ah iya, saya sekarang ingat, saya tahu duniamu. Dan benar, dunia kalian memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan dunia kami. Bumi kami jauh lebih besar dari bumi kalian. Bentuk dan ukuran benua-benua serta pulau-pulau sama persis. Bedanya, jika di bumi kalian benua-benua itu mengisi penuh seluruh permukaan bumi, di bumi kami, benua-benua itu hanya mengisi sepertiga bumi bagian utara, dua pertiga sisanya diisi oleh benua es yang kami sebut Antartika. Di bumi kalian juga ada antartika kan? Bedanya, jika di bumi 43
kalian seluruh benua mengepung Antartika, di bumi kami sebaliknya, Antartika-lah yang mengepung benua- benua lain. Antartika luas tak terkira, menyelimuti dua pertiga belahan bumi selatan. Tak ada yang mampu hidup lama menjelajahinya. Bagaimana tidak, mau makan apa kalian di padang es sedingin itu? Di bumi kami, bumi-lah pusat semesta alam. Semua benda langit mengelilingi bumi kami. Matahari jauh lebih kecil dibanding bumi. Disini, matahari dan bulan mengelilingi bumi bagian utara saja, itu sebabnya antartika selalu diselimuti es. Sepemahaman saya terhadap dunia kalian, ada beberapa negara yang identik dengan yang ada di dunia kami, seperti Arab Saudi, Turki, Palestina, Oman, Irak, Israel, Suriah, dan beberapa negara timur tengah lain di bumi kalian. Sisanya hampir-hampir mirip lah. Jika benua Amerika di dunia kalian terbagi atas beberapa negara, di dunia kami benua itu adalah sebuah negara serikat yang amat kuat, Negeri Benua Putih namanya. Negara kepulauan di tenggara benua Asia pada bumi kalian adalah negeri Atlantis di bumi kami. Negeri yang arif dan bijaksana. Negeri yang maju peradabannya, toleran masyarakatnya, serta kaya akan sumber daya alam. Mayoritas berpenduduk muslim tidak membuat negeri 44
ini penuh gejolak dan peperangan. Negeri ini tentram dan damai. Mungkin karena toleransinya sangat tinggi, meskipun kelewat tinggi di beberapa sektor sehingga budayanya terlalu mudah dicemari. Justisia adalah negara Islam baru di utara Benua Hitam, Benua Afrika-nya dunia kalian. Atheis juga sebuah negara baru yang menguasai daratan Iran-nya bumi kalian. Sisanya lebih banyak wilayah negara yang hampir sama, tetapi nama-namanya sedikit berbeda. Mungkin dunia kita merupakan dua dunia paralel yang serupa tapi tak sama. Atau jangan-jangan kita tinggal di dunia yang sama tetapi dalam rentang waktu yang berbeda? Ah sudahlah, pusing rasanya memikirkan hal ini, sudah cukup pelajaran geografinya ya, mari kembali ke cerita. *** Permainan telah dimulai. Sebelum diperbolehkan membeli negara yang dikunjungi, bidak-bidak mereka harus mengitari papan satu putaran. Bukan main, entah dengan kekuatan apa, Sang Ulama selalu mendapatkan angka dadu besar-besar. Dia memimpin jauh disusul si atheis, Nyonya Rockev, dan Sang Tentara di urutan terakhir. Sang Ulama menjadi pemain pertama yang berhasil melewati garis start. Kasnya bertambah 20 juta 45
GM. Ah, pasti kalian tidak tahu apa itu GM. GM (lebih enak jika dibaca sebagai glomon) adalah singkatan dari Global Money, mata uang global yang baru-baru ini diluncurkan Federasi Bangsa-Bangsa dan berlaku hampir di seluruh dunia. Dua kali kocok pasca melewati garis start, Sang Ulama hanya berhenti di kolom kesempatan (lumayan, kasnya kembali bertambah, ia mendapatkan 5 juta glomon) dan kolom penjara-hanya lewat (kolom ini digunakan sebagai tempat keluar bagi orang-orang yang bebas dari penjara, kalau kalian suka memainkan permainan ini pasti tahu maksudnya). Pembelian pertama justru dilakukan oleh si Atheis. Dia berhenti di Malaka. “Aku akan membelinya!” Si Atheis berseru riang. Nampaknya ia mulai menikmati permainan hidup-mati ini. Wanita cantik didekat si Atheis menyodorkan sebuah tabletphone ke samping kanannya, menjelaskan bahwa transaksinya telah berhasil. Tak lama muncul sesuatu yang tergantung di langit- langit ruangan, tepat di atas-tengah papan. Sesuatu itu terus turun hingga sejajar dengan kepala para pemain, berputar-putar hingga menghadap ke arah si Atheis. Nampaknya barang itu adalah sebuah kamera. 46
“Seperti yang ku katakan, kau harus membuat video pernyataan resmi bahwa kau telah menguasai negara Malaka,” ucap Pak Tua. “Bagaimana mungkin pemerintah Malaka memercayaiku dan tunduk kepadaku? Satu tentara-pun tidak ku kirim ke negeri itu!” Balas si Atheis. “Ke-22 kepala negara telah ku hubungi sebelumnya, dan karena jumlah hutang mereka yang tak terkira, sudah pasti mereka akan menyerahkan semuanya kepadaku. Percayalah, ‘orang’-ku ada dimana-mana, skenario yang berbeda-beda telah ku siapkan! Kau cukup berbicara didepan kamera tersebut setelah lampu merah itu berubah menjadi hijau. Sedikit saja kau salah bicara, kuledakkan kepalamu,” ancam Pak Tua sambil mempersiapkan pistolnya. “Siap? Satu, dua, tiga ...” *** Pembelian kedua dilakukan oleh Sang Ulama setelah berhenti di Andalusia. “Bismillah, aku membelinya!” Seru Sang Ulama setelah berpikir beberapa detik. Sama seperti ritual sebelumnya, wanita cantik terdekat menjelaskan bahwa transaksi 47
telah berhasil, kemudian kamera berputar hingga berhenti tepat dihadapannya. “Kau siap?” Pak Tua memberikan aba-aba. “Satu, dua, tiga ...” “Assalamualaikum,” Sang Ulama terhenti sejenak, mencoba menyusun kalimat di dalam otaknya. “Saya selaku pemimpin negeri Justisia, dengan ini..” Ia kembali terhenti. Matanya memerah, cepat-cepat menunduk, tak lama mendongak salah tingkah, kemudian kembali menghadap ke depan. Jelas sekali matanya berkaca-kaca. “Dengan ini menyatakan bahwa,” Sang Ulama melanjutkan kalimatnya. “Bahwa negeri Andalusia secara resmi telah menjadi daerah kekuasaan Justisia.” Tiba-tiba wajahnya terlihat lebih cerah. “Siapkanlah sambutan terbaik, setelah ratusan tahun lamanya, Islam sempurna kembali ke Andalusia, saudaraku!” Tutup Sang Ulama dengan senyum penuh semangat. “Cut!” Seru pak Tua, bak sutradara ternama saja. 48
“Hei, bahkan aku belum mengucapkan salam penutup!” Protes Sang Ulama. Yang lain hanya tersenyum. Sang Ulama sedikit lega dengan pembelian pertamanya. Dia mengira pasti sebagian besar warga Andalusia akan menerima Islam dengan penuh suka cita. Padahal nun jauh disana, di seberang samudera, di daratan eropa, tepat di pusat pemerintahan Andalusia, skenario yang dilancarkan oleh Pak Tua khusus untuk Justisia begitu busuk. Setidaknya tiga bom besar meledak di negeri yang Ulama itu beli. Dunia memberitakan Justisia sebagai negeri teroris yang kini mulai seenaknya mengkudeta negara lain. Atheis, Atlantis, serta Bank Mulia mencaplok negara lain dengan skenario yang berbeda, mereka ‘harus’ melakukannya demi menjaga keseimbangan kekuatan, menjaga stabilitas keamanan dunia. Krisis kepercayaan muslim hilang dimana-mana. Islamophobia yang mulai pudar justru kembali menyebar luas. Pertandingan mulai berjalan menyenangkan bagi si Atheis. Dia membeli semua negeri yang disinggahi oleh bidaknya. “Ingat, kesempatan tak akan datang dua kali. Jangan sampai kalian menyesal hanya karena melewatkannya.” Presiden negara tak beragama itu berceramah. 49
Lewat akal-akalan Pak Tua, masyarakat negeri yang dicaplok oleh Atheisme justru senang tak terperi, merasa aman dari serangan bom teroris muslim. Bahkan orang- orang yang sebelumnya menghujat perilaku kasar Atheis kepada Negeri Batas Bambu, kini mulai melunak dan mentolerir. Kepala negara mereka tetap dibiarkan memerintah, asalkan semua aturan, hukum, dan tata tertib dihapuskan. Siapa yang tidak senang mendengarnya? Hanya segelintir saja, segelintir manusia yang masih punya otak. Lain halnya dengan Sang Ulama. Sekali singgah di sebuah daerah, dua kali dia berpikir. Apakah Islam yang ia janjikan di negeri itu bisa diterima dengan suka cita? Entahlah, ia sendiri mulai merasakan firasat akan hal-hal buruk. Sesuatu yang dimulai dengan keburukan akan sulit berakhir dengan baik. Mindset-nya masih membenci permainan ini, perjudian ini. Sampai di suatu masa dimana Sang Ulama berhenti di negeri Matahari, negeri termahal di atas papan itu (pasti karena hutangnya yang sangat banyak). Bukan pernyataan membeli atau tidak, Sang Ulama justru menanyakan hal lain. “Apakah kau masih menyimpan pedangku Pak Tua?” 50
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103