Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BUKU TAHUNAN ANGKATAN XXXII & KPA XXXV

BUKU TAHUNAN ANGKATAN XXXII & KPA XXXV

Published by 33.agustinus.gunawan, 2022-04-28 03:41:19

Description: Ἐν ἀρχῇ ἦν ὁ λόγος
/En archē ēn ho Lógos/
(Pada mulanya adalah Firman)

Penginjil Yohanes menggunakan kalimat tersebut sebagai permulaan Injilnya. Kalimat yang sama kami gunakan untuk mengawali cerita kami bersama Sang Firman. Perjalananku Bersama-Mu; petualangan yang elusif namun progresif;
kami tempuh bersama-sama sebagai sebuah keluarga.

Satukan hati, satukan jiwa. Angkatan tiga dua.

Search

Read the Text Version

Ἐν ἀρχῇ ἦν ὁ λόγος /En archē ēn ho Lógos/ (Pada mulanya adalah Firman) Penginjil Yohanes menggunakan kalimat tersebut sebagai permulaan Injilnya. Kalimat yang sama kami gunakan untuk mengawali cerita kami bersama Sang Firman. Perjalananku Bersama-Mu; petualangan yang elusif namun progresif; kami tempuh bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Satukan hati, satukan jiwa. Angkatan tiga dua.



columnae seminarii Sanctitas Para seminaris dibimbing untuk hidup beriman dan mengikuti Kristus serta meneladan Bunda Maria dalam menghayati panggilan hidup. Lewat pembinaan hidup rohani, seminaris didampingi agar berkembang dalam hidup rohani dan panggilan serta dalam hidup menggereja dan memasyarakat, yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan, seperti Ibadat Pagi (Laudes), Perayaan Ekaristi, Bacaan Rohani, Latihan Doa, Renungan (Puncta), Sakramen Tobat, Ibadat Penutup (Completorium), Doa Angkatan, Doa Pribadi, Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus (Visitasi), Rekoleksi, Retret, Ziarah, Aksi Panggilan, Doa Kreatif, Bimbingan Rohani, dan sebagainya. Scientia Pembinaan scientia berupa pengembangan terbimbing bagi seminaris terutama dalam bidang pengetahuan. Pembinaan ini dimaksudkan agar seminaris memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi membaca dan studi yang kuat, serta semangat untuk mengembangkan potensi-potensinya. Pendidikan di Seminari Menengah Wacana Bhakti mempunyai 2 program, yaitu Pendidikan Kelas PersiapanAtas (KPA) bagi siswa lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas dengan lama pendidikan 1 tahun dan Pendidikan Kelas Persiapan Pertama (KPP) bagi siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama dengan lama pendidikan 4 tahun. Para seminaris pada tahun kedua, ketiga, dan keempat bersekolah di sekolah umum Gonzaga dengan tetap menjaga keseminarisannya dan mesti mampu memperjuangkan aspek studinya. Selain itu, di seminari juga dilaksanakan berbagai kegiatan yang membantu seminaris dalam mengembangkan potensi dirinya, seperti Sidang Akademi dan Ekstrakurikuler. Sanitas Kesehatan adalah sebagian dari iman, begitu juga kebersihan dan kesehatan menjadi satu kepaduan. Para seminaris dibimbing untuk mampu menjaga hidup sehatnya sebagai hal yang utama. Kegiatan-kegiatan yang mendukung hal tersebut, seperti kerja tangan membersihkan seminari dan dilaksanakan setiap hari (opera), olah raga, liburan untuk beristirahat dan mencari kesegaran baru dari kegiatan sekolah, ada ruangan khusus yang disediakan bagi seminaris yang sakit (valet). Communitas Komunitas merupakan sarana pembentukan pribadi, baik secara individu maupun bersama dalam rangka menjawab panggilan Tuhan. Sebagai satu komunitas yang bersama-sama mengejar nilai yang sama, para seminaris saling satu hati untuk membina nuraninya dalam berbagai kegiatan. Hal-hal yang mendukung adalah perbidelan, MOSB, Instruksi Kepamongan, Pendampingan Tingkat, Rekreasi, dan sebagainya.

historia brevis seminarii minoris wacana bhakti giacarta Seminari Wacana Bhakti atau SWB adalah sebuah seminari Katolik yang terletak di wilayah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Seminari ini beralamat di Jl. Pejaten Barat 10A. Seminari Wacana Bhakti menampung dan mendidik para calon imam di tingkat menengah. Selain pendidikan di Seminari, para siswa mengikuti pendidikan di Kolese Gonzaga. Kolese Gonzaga dan Seminari Wacana Bhakti adalah kesatuan kepemilikan, yaitu Keuskupan Agung Jakarta. Kompleks ini berdiri di atas tanah seluas 2,8 hektar. Rencana pendirian Seminari Menengah Wacana Bhakti sudah dimulai sejak Mgr. Willekens sebagai Vikaris Apostolik Batavia (1934-1952) yang berharap akan adanya imam pribumi yang dapat melayani Gereja di Batavia. Ia pun berencana ingin mendirikan seminari menengah untuk mencetak imam bagi daerah penggembalaannya. Maka Beliau menugaskan RD. St. Sutopanitro seorang imam diosesan KAJ untuk mencari tanah yang cocok untuk mendirikan seminari. Romo Suto pun mencari daerah yang cocok untuk mewujudkan itu. Di tahun 1964, Rm. Suto pun menemukan dan membeli tanah seluas 7 hektar di daerah Pejaten Barat, Pasar Minggu, dengan harga Rp50,-/m2. Namun keinginan untuk mendirikan seminari masih belum bisa direalisasikan, meskipun tanah sudah tersedia. Ketika Mgr. Leo Soekoto menjabat sebagai Uskup kedua Keuskupan Agung Jakarta (1970-1995), upaya mendirikan seminari yang sempat terhenti kembali ditabuhkan dan didengungkan. Bahkan Beliau nampak bersemangat sekali untuk mewujudkan cita-cita mendirikan seminari menengah di Jakarta. Beliau berpendapat bahwa dengan adanya seminari menengah maka kebutuhan akan tenaga imam ke depan sungguh dapat terpenuhi. Seminari menurutnya bukan hanya sebagai gudang imam melainkan pabrik imam, yang artinya bukan diimpor, beli dari luar negeri, tetapi dibuat sendiri. Dengan kata lain, gagasan kemandirian keuskupan dalam ketersediaan tenaga pastoralnya sungguh menjadi hal penting dan itu diupayakan dengan adanya seminari menengah. Cita-cita besar Mgr. Leo Soekoto untuk mendirikan seminari menengah di Jakarta sungguh direalisasikan. Ia menunjuk RP. Martosudjito, SJ yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta sebagai pimpinan proyek pembangunan seminari menengah. Ia pun membentuk tim perizinan seminari menengah di tanah yang sudah dibeli sebelumnya di daerah Pejaten barat yang luasnya tinggal ±28.161 m2. Tim pun memulai usaha awal untuk mendapatkan izin pembangunan seminari (sekolah calon imam). Pada 31 Desember 1980, tim mengajukan surat permohonan izin mendirikan seminari kepada pemerintah. Proses ini ternyata membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Izin mendirikan seminari baru diperoleh setelah menanti sekitar lima tahun lamanya.

Dengan terbitnya izin mendirikan seminari, dibentuklah Panitia Pencarian Dana dan pembangunan Seminari Menengah Wacana Bhakti. Tim Penggalangan Dana yang diketuai oleh Bapak AJ. Widodo menggaungkan slogannya dengan ungkapan sederhana “Kurbanku bagi Seminariku”. Penggalangan dana ini mendapat tanggapan positif secara moril maupun materiil dari umat dan berbagai pihak di Keuskupan Agung Jakarta, seperti: paroki-paroki, biara-biara, yayasan pendidikan, perorangan ataupun kelompok. Adanya dukungan dana tersebut, dimulailah pembangunan yang diawali upacara peletakan batu pertama oleh Mgr. Leo sendiri pada tanggal 6 Juli 1986. Rencana pembangunan seminari ditangani oleh arsitek Ir. Wanda Basuki setelah mendengarkanmasukandariMgr.LeoSoekotodanRP.Martosudjito,SJ.Pembangunanseminaripunterselesaikan di tahun 1987. Pada tanggal 3 november 1988, Seminari Wacana Bhakti diresmikan oleh Mgr. Leo Soekoto. Dalam perkembangannya seminari membutuhkan pendidikan tingkat SLTA, dan karena dianggap terlalu besar kalau hanya pendidikan seminari dengan sekolah sendiri, maka dimunculkanlah ide untuk menghadirkan SMA umum, yang pertama kali disebut sebagai SMA Kanisius Unit Selatan dengan kepala sekolah RP. Drost, SJ. Pada tahun 1989, nama SMA Kanisius Unit Selatan diubah menjadi SMA Aloysius Gonzaga. Pada mulanya, Seminari Menengah Wacana Bhakti menampung dan mendidik para calon imam di tingkat SMA. Karena itu, di kelas satu, dua, dan tiga mereka mengikuti pendidikan di SMA Gonzaga. Jadi pada tahun 1987 s/d 1996, seminaris lulusan SMP hanya mengenyam pendidikan seminari selama 3 tahun dan untuk lulusan SMA (program KPA) 1 tahun. Pada tahun 1997, lulusan SMP mulai diperkenalkan program KPP (Kelas Persiapan Pertama) selama setahun dengan maksud memantapkan pembentukan kepribadian serta matrikulasi pelajaran SMP sebagai persiapan memasuki SMA Gonzaga (3 tahun) dan program KPA tetap 1 tahun. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 62 imam yang ditahbiskan yang merupakan lulusan Seminari Wacana Bhakti yang terdapat di Projo Jakarta, Projo Bandung, Serikat Yesus, OP, OSC, SDB, dan tarekat-tarekat lainnya.

cantilena nostra

Santo Yohanes Bosco Pelindung Angkatan XXXII Y ohanes Melkior Bosco (Giovanni Melchiorre Bosco) adalah anak kedua dari pasangan Fransiskus Bosco dan Margaretha Occhiena. Lahir pada tanggal 16 Agustus 1815 di Becchi, Piedmont, Italia. Kakaknya bernama Yoseph Bosco, lahir pada tanggal 8 April 1813. Ketika Yohanes berusia dua tahun, ayahnya meninggal karena terserang radang paru-paru. Sewaktu Yohanes berusia 9 tahun, ia mengalami suatu mimpi yang kemudian menggerakkannya untuk menjadi seorang imam. Setelah menjalani proses panjang pembinaan di seminari, Yohanes menerima tahbisan diakonat pada 27 Maret 1841 dan tahbisan imamat pada 5 Juni 1841. Setelah menjadi imam, Don Bosco memfokuskan pelayanannya pada kaum muda dengan mendirikan oratori. Pada tanggal 18 Desember 1859, Don Bosco mendirikan Serikat Salesian yang kemudian berganti nama menjadi Salesian Don Bosco. Kemudian, bersama St. Maria Domenica Mazzarello, ia mendirikan Serikat Putri-Putri Maria Penolong Umat Kristiani (Figlie di Maria Ausiliatrice di Don Bosco atau FMA) dan Para Kerabat Kerja Don Bosco (Cooperarii di Don Bosco). Don Bosco menutup usia pada tanggal 31 Januari 1888 pukul 04.45 dalam usia 72 tahun dan menjadi imam selama 47 tahun. Setelah melalui proses panjang, pada akhirnya Don Bosco dikanonisasi sebagai santo oleh Paus Pius XI pada Hari Raya Paskah, 1 April 1934. Semasa hidupnya, Don Bosco banyak melakukan mukjizat nyata. Dia membaktikan seluruh hidupnya untuk anak muda dan keselamatan jiwa-jiwa, salah satunya dengan mendirikan oratori. Hal yang patut diteladani dari Don Bosco adalah kegigihannya dalam memperjuangkan berdirinya oratori meski mendapatkan tentangan dari pemerintah dan warga sekitar. Selain itu, Don Bosco juga memiliki pendekatannya sendiri untuk memikat hati kaum muda, misalnya melalui olahraga dan permainan sulap. Berdasarkan pengalaman hidupnya ketika masih anak-anak, dia tidak mendapat perhatian dari seorang Pastor yang sibuk dengan tugasnya. Maka dari itu, dia ingin agar setiap anak dapat merasakan kasih Tuhan Yesus melalui perantaraannya. Di bawah bimbingannya, setiap anak memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka suka, asalkan tidak berbuat dosa. Kami memilih St. Yohanes Bosco sebagai pelindung angkatan, karena selaras dengan ciri khas angkatan kami yang selalu terbuka dan merangkul dalam kebersamaan dengan semangat kaum muda. Harapannya, seperti Don Bosco, kami pun mampu mewartakan Kerajaan Allah dengan cara yang tepat kepada dunia masa kini, serta berjuang untuk menyelamatkan jiwa-jiwa melalui perbuatan nyata dan pelayanan bagi sesama. “Da mihi animas, caetera tolle”

exordium ἐκεῖνον δεῖ αὐξάνειν, ἐμὲ δὲ ἐλαττοῦσθαι. “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yohanes 3:30)

Salam dalam nama Tuhan Kita Yesus Kristus. Salam untuk semua, Pertama, saya mengucapkan proficiat bagi kelas XII dan KPA yang telah menyelesaikan studinya di Seminari Wacana Bhakti. Mereka telah berjuang dan mengembangkan hidup dan diri di seminari ini. Tentu begitu banyak pengalaman suka dan duka selama perjalanan tersebut. Tema yang diangkat dalam buku ini adalah “Pada mulanya adalah Firman”. Tentu sebagai orang kristiani kita sangat akrab dengan teks yang berasal dari Injil Yohanes 1:1 ini. Teks ini ingin menggambarkan keberadaan Yesus sebelum dunia dan keberadaan dunia sampai saat ini, bahwa Ia adalah tetap. Keberadaan dunia berkembang dan bertumbuh. Ada saat di mana dunia bertumbuh dan berkembang ke arah yang baik, sesuai dengan tujuan dunia itu ada, namun ada pula saat di mana manusia khususnya sebagai makhluk ciptaan tertinggi menyimpang dari perjalanan yang diharapkan untuk dilalui. Melalui situasi itulah, Yesus yang adalah Firman menjadi manusia ke dunia untuk membantu manusia memperoleh keselamatan, yaitu menuju kepada Allah. Tentu dengan tema yang diangkat kali ini ada maksud dan tujuan. Para seminaris kelas XII, pada saat Kelas Persiapan Pertama berjumlah 31, saat ini mereka berjumlah 14 seminaris. Rekan-rekan Kelas Persiapan Atas pada saat awal berjumlah 7 orang dan saat ini berjumlah 6 orang. Perjalanan selama 4 tahun bagi kelas XII dan bagi KPA selama 1 tahun, merupakan saat pemurnian dalam menjalankan panggilan. Panggilan ini diyakini sudah ada sejak awal dan Tuhan telah memupuknya sampai saat ini, dan kembali Firman pula yang memurnikan sampai saat ini. Saat ini perjalanan di seminari telah selesai dan bagian hidup yang lain menanti di depan. Para seminaris masih akan mengalami kekuatiran, kecemasan dan kejatuhan. Semua peristiwa di depan selalu memberikan rasa ketidakpastian, namun hal yang menenangkan kita adalah kepercayaan bahwa Tuhan itu sungguh ada dan akan mendampingi perjalanan hidup kita. Melalui tema yang diangkat ini semoga rekan-rekan dapat berpedoman pada firman yang akan memberikan pertolongan, sama dengan kehadiran Kristus yang konkret dalam hidup kita. Akhir kata, saya sebagai Rektor Seminari kembali mengucapkan proficiat, selamat jalan dan tentu akan selalu didoakan agar masa depan semakin jelas dan dianugerahkan karunia-karunia berdasarkan rencana-Nya yang luar biasa. Tuhan memberkati. Rm. Adrianus Andy Gunardi, Pr. Rektor Seminari Menengah Wacana Bhakti

Man of God and Man of Others. Setiap angkatan punya dinamika dan keunikan tersendiri, tidak terkecuali Angkatan 32. Kesan pertama, angkatan ini mudah diatur, tenang, dan biasa saja. Angkatan ini tidak banyak protes untuk diajak berformasi, misalnya: pendadaran THS dan live in di Pesantren. Sehari-hari juga relatif tenang, tidak berteriak-teriak, dan menjalani ritme harian dengan teratur. Dalam hidup studi pastinya ada yang menonjol, termasuk dalam keterampilan musik, bernyanyi, dan olahraga. Dari percakapan dan perjumpaan pribadi, masing-masing punya kerinduan dan tujuan hidup yang beragam. Ada yang kemudian mengundurkan diri karena menemukan jalan panggilan sebagai awam; ada yang memilih hidup sebagai pertapa; ada yang tertarik menjadi imam religius, dan ada pula yang terpanggil menjadi imam diosesan. Salah satu kekhasan juga, karena relatif banyak yang mendaftarkan diri menjadi calon imam diosesan KAJ. Mengapa? Bisa jadi karena mereka meneladan para “Angeli” (Angkatan 30). Apapun alasannya, ikut bersyukur karena mereka berasal dari Keuskupan Agung Jakarta. Siapa lagi yang akan meneruskan karya pelayanan di rumah sendiri, bukan? Angkatan 32 di tahun terakhir di Seminari Wacana Bhakti mendapat teman KPA angkatan 35. Perlu disyukuri bahwa sejak awal angkatan 32 menjadi angkatan yang terbuka bagi adik-adik dan teman-teman baru. Oleh karena itu, mereka menjadi kakak sekaligus teman perjalanan yang cepat akrab, suportif, dan baik hati. KPA merasa cepat merasa aman dengan ditempatkan dalam satu unit formasi, Unit 4. Hampir tidak ada bentrokan, apalagi bentrokan fisik antara keduanya. Inilah yang patut dijadikan teladan bagi adik-adik angkatan mereka. Akhirnya, selamat berformasi menjadi “Man of God” and “Man of Others”. Perjalanan masih panjang untuk terus menjadi berkat dan menebar kebaikan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bersyukur dan bergembira atas panggilan saat ini dan sekarang ini. Dengan bersukacita, maka ikut mewartakan kebaikan Tuhan di mana pun Anda berada dan saat ini juga. Rm. Benediktus Ari Darmawan, Pr. Pamong Umum Seminari Menengah Wacana Bhakti

Selayar kasih dari orang tua wali. Salam bahagia, Sesuatu yang paling jauh adalah masa lalu, sesuatu yang dekat adalah hari ini dan sesuatu yang diimpikan adalah masa depan. Torehan perasaan yang setiap waktu mencuat dalam perasaan setiap insan adalah ketika menakar untuk mengambil sebuah keputusan ilmiah dengan berbagai pertimbangan antara harapan dan kenyataan. Menjadi orang tua wali, sebagai ayah ataupun ibu kerap berpikir dan beralih, bilamana menjadi Ibu dan Bapak Guru selayaknya di sekolah atau di tempat bina mental spiritual. Harapan dan kenyataan seperti ini hanya dapat terangkul dalam harap dan doa serta pasrah kepada Allah atas bimbingan-Nya melalui para Ibu Bapak Guru dan pendamping bina mental spiritual. Sebagai orang tua wali selayaknya membuka kedua belah tangan secara terbuka dan menjulurkan kesepuluh jemari untuk mengucapkan syukur dan terima kasih atas bimbingan yang sangat komunikatif serta penuh dinamika dalam formasi pembentukan jati diri, refleksi, perenungan dan jadwal yang sangat teratur melalui strategi formasi akademik selama empat tahun yang lalu. Kini kami orang tua sangat menyadari bahwa sapaan, teguran, anjuran, bahkan koreksi secara personal maupun secara klasikal membuahkan hasil yang membanggakan bagi angkatan ketiga puluh dua ini. Jalinan sosial yang bertumbuh selama empat tahun formasi, kami orang tua wali melihat dan mengalami bertumbuhnya relasi emosional ikatan erat antar pribadi yang mana setiap pribadi bisa saling menunjukkan sikap empati dan toleransi dalam mendialogkan sesuatu program dan rencana kegiatan internal dan eksternal serta mengerucut, mampu menampilkan dalam bentuk kreatifitas komunitas. Kami selaku orang tua dan wali bangga hingga meneteskan air mata sukacita atas prestasi maksimal yang diraih anak-anak kami di usia belia mereka. Pesan kami sebagai orang tua wali untuk alumni, marilah berjalan bersama saling bergandengan dan melangkah bersama menjawab tantangan era milenial di saat dunia digital sedang merebak meminta kepastian akan panggilan luhur hidup kita sebagai abdi Allah yang setia dan penuh bakti luhur. Sambungkanlah tali temali kasih dan kesetiaan agar di kemudian hari wajah cerah, rejeki berlimpah dan panen raya serta senyum ketulusan hati menuntun Anda semua menjadi pekerja di kebun anggur Bapa sesuai panggilan, bidang dan profesi Anda. Julius Gunawan Perwakilan Orang Tua Wali

FORMATORes ἀπεκρίθη Ἰησοῦς καὶ εἶπεν αὐτῷ, Ὃ ἐγὼ ποιῶ σὺ οὐκ οἶδας ἄρτι, γνώσῃ δὲ μετὰ ταῦτα. “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” (Yohanes 13:7)

RD. Adrianus Andy Gunardi RP. Paulus Andri Astanto, SJ Rektor Seminari Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga Pendamping Kelas XII dan KPA RD. Benediktus Ari Darmawan RP. Gerardus Hadian Panamokta, SJ Pamong Umum Seminari Moderator SMA Kolese Gonzaga Pendamping KPP RD. Salto Deodatus Manullang RP. Yosef Andi Purwono, SJ Pamong Musik dan Praefek Studi Kepala Rumah Tangga Seminari Pendamping Kelas XI Pendamping Kelas X

Fr. Julio Kevin Saputra RP. E. Baskoro Poedjinoegroho, SJ Frater Tahun Orientasi Pastoral Penasehat Keuskupan Agung Jakarta Fr. Moses William Yuwono Fr. Greg. Agung Satriyo Wibisono, SJ Frater Tahun Orientasi Kerasulan Frater Tahun Orientasi Pastoral Keuskupan Bandung Societas Jesu Sr. M. Clarita Susilarti, OP Sr. M. Elisa, OP Kepala Dapur Kepala Valet

RD. Albertus Yogo RD. Yohanes Hario RD. Patrick Slamet Prasetianto Kristo Wibowo Widodo RD. Camellus Delelis RD. Stephanus Augusta RD. Joseph Biondi da Cunha Yudhiantoro Mattovano Fr. Antonius Arfin Fr. Alfonsus Andi Fr. Yuddha Adrian Vitra Samosir Kurniawan Fr. Atanasius Moses Fr. Jakobus Aditya Sr. Ferdinanda, OP Christie Manggala, SJ

Unik, tangguh, dan ceria. Tiga kata yang menggambarkan teman-teman kelas 12 dan KPA yang telah menyelesaikan masa formasinya di tahap seminari menengah. Setiap pribadi unik yang ada layaknya sebuah puzzle yang berbeda bentuknya, namun jika disatukan akan menjadi sebuah gambar atau lukisan yang indah. Terima kasih banyak karena sudah mau menjadi pribadi yang otentik, mempertahankan keunikan, ketangguhan, dan keceriaan yang teman-teman miliki. Hal itu sangat berharga bagi kalian, terutama bagi diri saya yang gembira berjalan bersama dengan kalian. - Fr. Julio Kevin Saputra, Pr. -

catagraphi Πρὸ τοῦ σε Φίλιππον φωνῆσαι ὄντα ὑπὸ τὴν συκῆν εἶδόν σε. “Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara.” (Yohanes 1:48)

“Aku menyertai kamu di sepanjang perjalanan.” Namaku Agustinus Budi Tjenggunawan Biasanya aku dipanggil Aceng atau Budi Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Matraman, Gereja Santo Yoseph Aku lahir di Jakarta, 5 Agustus 2003 Aku tinggal di Jalan Kayumanis Barat No. 98 RT 001/RW 07, Kelurahan Kayumanis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur 13130 Lambang diriku adalah Buku Yeremia 17:7 adalah ayat favoritku Hobiku adalah membaca novel dan menulis Kamu bisa menghubungiku di Hangouts [email protected], LINE budi5823, dan Instagram @budi.tj58 Pesan dariku untukmu : “Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.” –Donny Dhirgantoro

Quadriennium Iter Oleh : Agustinus Budi Tjenggunawan K etika membaca kembali buku-buku refleksiku sejak KPP, aku teringat kembali akan proses dan perjalanan empat tahun yang telah kulalui di seminari. Perjalanan yang panjang, berliku-liku, dan tidak mudah untuk dilalui. Rasa syukur dan terima kasih kuucapkan kepada Tuhan, karena berkat kehendak dan penyertaan- Nya aku mampu menempuh itu semua bersama teman-teman serta orang-orang hebat yang mendukung panggilanku. Sepanjang perjalanan, aku menemukan banyak harta berupa makna, pemahaman, dan pengalaman yang mengajarkanku untuk menjadi lebih baik dalam menanggapi panggilan Tuhan. Aku menemukan bahwa di dunia ini segalanya tak hanya terbatas pada hitam atau putih, benar atau salah. Selalu ada sebab di balik terjadinya suatu peristiwa, sehingga perlu diamati dan dimaknai dari berbagai sudut pandang. Dalam dinamika dan keseharian, bersama teman-teman angkatan aku belajar banyak untuk menyelesaikan masalah secara bijak dan dewasa. Termasuk menjaga solidaritas dan persatuan sebagai angkatan ketika mengalami konflik atau perbedaan pendapat. Belajar memahami, menerima, peduli, dan percaya satu sama lain. Kerja sama yang kami bangun dari nol kemudian diuji ketika kami melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepada kami sebagai satu angkatan, yakni tugas-tugas kepanitiaan. Dari acara sesederhana Farewell Party daring, hingga event sebesar John Paul II Cup 2021. Ada banyak cerita dalam keseharian kami di Pejaten Barat 10A ini, yang banyak di antaranya tersimpan rapi pada lembar-lembar Historia Domus. Cerita yang tetap lebih dari layak dan berharga untuk dikenang meskipun tidak selalu indah dan bahagia. Empat tahun menjalani kehidupan berkomunitas kerap kali mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian ketika menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang kumiliki. Aku memiliki teman-teman yang bersedia membantu dan mendengarkan di sepanjang perjalanan. Terutama Sang Sahabat Sejati yang selalu ada untukku, bahkan ketika aku ternyata tidak ada untuk-Nya. Sahabat yang dengan setia menemani tanpa pernah menghakimi diriku. Ia yang senantiasa memahami dan mencintaiku apa adanya, bahkan ketika aku sedang tidak mampu memahami dan mencintai diriku sendiri. Angkatan kami bukanlah angkatan yang sempurna, terdiri dari manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun aku percaya, ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan kami penuh warna. Di bawah naungan pelindung kami, St. Yohanes Bosco, kami berusaha berjalan bersama dan saling membantu dalam menjalani pendidikan calon imam di seminari. Harapannya, kelak kami mampu menjadi abdi di ladang Ilahi dengan cara dan jalannya masing-masing, sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Untuk teman-teman angkatan 32, terima kasih karena aku boleh berjalan bersama kalian sebagai angkatan. Terima kasih sudah menemani tahun demi tahun perjalanan panggilanku di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Belasan atau puluhan tahun dari sekarang, mungkin buku yang kalian pegang ini mulai usang. Namun aku percaya, kenangan dan pelajaran yang kita dapatkan di rumah kita bersama takkan pudar oleh waktu. Apapun jalan yang kalian tempuh saat ini, yakinlah selalu bahwa Tuhan menyertai kita. Karena bagaimanapun, hidup ini adalah Perjalananku Bersama-Mu. “Lakukanlah apa yang kamu mampu, dan berdoalah untuk apa yang tidak mampu kamu lakukan, maka Allah akan menganugerahi engkau kemampuan untuk melakukannya.” –St. Agustinus

“Dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan.” (Kis 20:19) Namaku Agustinus Gunawan Biasanya aku dipanggil Gus, Guse, Gun, atau Awan Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Taman Galaxi, Gereja Santo Bartolomeus Aku lahir di Bekasi, 17 Agustus 2002 Aku tinggal di Jalan Sumur Nila 2, No. 101, Jakasetia, Bekasi Selatan Lambang diriku adalah Awan Filipi 4:13 adalah ayat favoritku Hobiku adalah makan bakso, bermain musik, menonton film, dan mencari masalah Kamu bisa menghubungiku di LINE agustinuspostman, Email [email protected], Instagram est.agustinus, dan WhatsApp 082112203804 Pesan dariku untukmu : “Kita bersyukur maka kita ada. Kita berefleksi maka kita hidup.”

FLUCTUAT NEC MERGITUR Oleh : Agustinus Gunawan P ada tahun 310, Perahu Seine (les ‘Marchands de l’eau’) dari Prancis menggunakan kalimat di atas sebagai slogan perusahaannya. Pada tahun 1853, frasa yang sama ditetapkan sebagai motto kota Paris. Pada tahun 2022, kalimat yang berarti ‘Terombang-ambing tetapi tidak tenggelam’ ini rasa-rasanya menjadi sebuah kesimpulan dari perjalananku bersama-Nya selama kurang lebih empat tahun di seminari ini. Pengalaman menggembirakan, membangkitkan motivasi, dan menghadirkan damai, bercampur aduk dengan pengalaman yang mengecewakan, memadamkan semangat, dan memunculkan amarah. Ibarat kapal yang berlayar di tengah samudera, perjalananku dipenuhi dengan misteri, kejutan, dan ketidakpastian. Ada kalanya ombak di lautan menjadi lebih besar, sekalipun ramalan cuaca menunjukkan langit akan cerah. Terlepas dari itu semua, aku sungguh bersyukur dan menikmati segala dinamika yang telah kulewati. Aku percaya Dia senantiasa menemani perjalananku. Bahkan, ketika kapalku sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang- ambingkan gelombang karena angin sakal, Dia datang kepadaku dan berkata, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Sungguh, aku bahagia boleh berlayar bersama-Nya. Waktu berjalan begitu cepat, begitu banyak berkat yang sudah kudapat. Tidak ada kata selain ucapan terima kasih dan syukur atas apa yang sudah kuterima. Aku berterima kasih kepada keluargaku: papa, mama, dan kakak perempuanku yang selalu mendukung pilihan hidupku serta mencukupi keperluan bulananku. Aku berterima kasih kepada donaturku, Tante Emmy, yang berkenan memberikan bantuan finansial sehingga aku dapat berformasi dengan maksimal. Aku berterima kasih kepada para formator dan guru, mulai dari KPP sampai Kelas XII, yang telah berkontribusi, menemani, dan mendampingiku sehingga aku dapat (sekurang- kurangnya) menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih atas segala pelajaran, pendampingan, dan refleksi yang kalian tawarkan kepadaku. Tak lupa pula aku berterima kasih kepada para sahabat, rekan angkatan XXXII, kakak kelas, adik kelas, dan teman-teman seperjalanan yang tidak dapat kutuliskan satu persatu. Terima kasih atas warna yang telah diberikan di dalam hidupku. Aku sungguh bersyukur boleh mengenal dan berjalan bersama mereka. Kiranya Tuhan memberkati mereka selalu. Akhir kata, aku ucapkan terima kasih kepada kamu yang telah membaca tulisan singkat dariku ini. Tentunya masih banyak pengalaman-pengalaman, baik besar maupun kecil, yang tidak tertulis dalam sejarah panggilan ini. Jika aku menulis semua pengalaman secara rinci, refleksi ini akan menjadi sangat panjang dan biaya pembuatan buku tahunan akan semakin mahal. Aku mohon doakan aku agar aku dapat menjadi pelayan yang setia dan berbelas kasih. Semoga Dia berkenan menyempurnakan kisahku di dalam kasih-Nya. Semoga Tuhan memberkati, melindungi, dan menyertai kita semua di dalam kasih dan kerahiman-Nya. Salam sehat berlimpah berkat. “Sebuah kapal layar hanya bisa melaju kencang di tengah samudera jika memiliki pasak yang kokoh, layar yang kuat, dan kemudi yang teguh. Meski diterjang ombak dan badai, bersama-Nya, sang kapal akan tetap stabil menuju arah yang dituju. Saevis tranquillus in undis -”

Tuhan telah menyiapkan rencana terbaik. Namaku Alban Asgra Raditya Biasanya aku dipanggil Radit, Bandot, Alban, Ketua Yayasan, atau Ndut Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Bintaro, Gereja Santo Matius Penginjil Aku lahir di Jakarta, 22 Juni 2003 Aku tinggal di Gg. Kramat No. 39 RT 017, RW 004, Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan 12250. Lambang diriku adalah Puun Rindang Yohanes 15:5 adalah ayat favoritku Hobiku adalah olahraga, main musik, isengin Lino dan Marcel (hehehe), dan turu Kamu bisa menghubungiku di Email [email protected], LINE albanraditya, Instagram raditya_alban, dan No. Telp 085959451511 Pesan dariku untukmu : “Walau badai menghadang, walau angin menerpa, walau hujan mengguyur, tapi TROBOS AJALAH”

Ad Maiora Natus Sum Oleh : Alban Asgra Raditya K amis, 12 Juli 2018, merupakan salah satu hari bersejarah dalam hidupku. Aku mulai menata langkah dalam tahap yang selanjutnya. Perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, namun setiap hari disatukan di dalam angkatan dan komunitas Seminari Wacana Bhakti. 32 orang bersatu menjadi Wacana Bhakti Angkatan XXXII. Banyak hal yang terjadi selama hidup 4 tahun di seminari ini. Suka duka, susah senang dirasakan bersama. Konflik dari yang kecil bahkan hingga luar biasa sudah pernah dilewati. Di tiga bulan awal hidup di seminari, kami “dikandangin” di dalam rumah, tidak boleh bertemu dengan orang luar. Terkadang ada saja “kreativitas” yang angkatan lakukan, sehingga ada saja bimbingan hingga caci maki juga datang. Benturan yang dialami sangat banyak, dan itulah yang membuat aku beserta angkatan semakin kuat di seminari ini. Di masa KPP, kami seangkatan semakin didekatkan satu dengan yang lain. Dengan berbagai macam konflik yang kami rasakan, kami jadi semakin peka satu sama lain. Meskipun di masa KPP ini kami seperti melawan komunitas, hal ini yang membuat kami semakin solid dan mandiri menghadapi masalah yang datang. Di kelas 1, kami seangkatan bersekolah di SMA Gonzaga, bertemu dengan teman baru yang tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Adaptasi kembali dilakukan baik dalam metode belajar, cara berelasi dengan siswa/siswi Gonzaga, dan lain-lain. Di antara kami, termasuk diriku sendiri, pernah mengalami perasaan jatuh cinta yang mewarnai perjalanan panggilan kami masing-masing. Dari hal ini aku belajar untuk mengelola perasaan serta berelasi dengan sewajarnya dengan tiap pribadi. Mungkin seperti yang diketahui, aku cukup berjuang untuk membangkitkan semangat panggilan. Karena pada kelas 1 ini, aku tidak terlalu memikirkan panggilanku di seminari. Aku hanya memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagiku saja. Banyak kenakalan- kenakalan yang kubuat ketika kelas 1. Perjalanan formasi dilanjutkan dari rumah masing-masing karena penyebaran Covid-19 semakin luas. Hingga kelas 2, aku bersama teman-teman angkatan menjalani formasi dari rumah masing-masing. Ketika masa-masa di rumah, api panggilan sudah tidak kurasakan lagi. Aku seperti murid SMA biasa. Banyak hal di luar dugaanku terjadi selama menjalani masa formasi di rumah. Dari hal-hal positif sampai hal-hal negatif pernah kualami. Hingga akhirnya pada Desember 2020, aku bersama teman-teman angkatan harus kembali ke seminari dan melanjutkan formasi di seminari seperti biasa. Di kelas 2 ini, kami seangkatan harus memilih apakah akan melanjutkan formasi di seminari atau menyudahi perjalanan panggilan. Dengan pembelajaran Discernment, kami dibantu untuk memilih dan pilihan ini nantinya mengarah pada kehendak Tuhan itu sendiri. Di kelas 2 ini, kami banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan dan kewajiban. Mulai dari Karya Tulis, John Paul II Cup, Retret Electio, persiapan Paskah, dan lain-lain. Masa-masa yang penuh kepenatan. Namun, aku bangga dengan diriku dan teman-temanku karena bisa melewati masa-masa yang tidak mudah ini. Setelah electio, ada beberapa teman yang memutuskan untuk memilih panggilan lain. Aku berusaha menerima hal tersebut karena salah satu teman dekatku ada yang memilih panggilan lain. Di kelas 3 ini, aku bersama teman angkatan harus memilih kemana harus melanjutkan perjalanan panggilan sebagai calon imam. Dalam retret confirmatio ada pula yang memutuskan untuk memilih panggilan lain. Kembali lagi seperti sebelumnya, hampir semua teman-teman dekatku memilih panggilan lain. Bisa dibilang ada perasaan ditinggalkan, tapi hal itu harus tetap berjalan karena menjalani panggilan bukan tergantung kehadiran orang lain, melainkan dari kemauan diri sendiri. Aku juga semakin berpegang teguh pada kehendak Tuhan. Aku menyadari di luar diri-Nya, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ayat yang selalu kupegang teguh dari Yohanes 15:5. Terkadang aku tidak luput dari kesalahan dan bahkan aku meninggalkan Tuhan dalam perjalanan ini. Namun tanpa kusadari, bimbingan-Mu menuntun PERJALANANKU, BERSAMA-MU. – Jalani, Cintai, Maknai –

Saya adalah pribadi yang rendah hati untuk melayani umat-Nya. Namaku Andrew Rotama Hutabarat Biasanya aku dipanggil Ando Aku berasal dari Keuskupan Bandung, Paroki Mohamad Toha, Gereja Santo Paulus Aku lahir di Medan, 26 Januari 2003 Aku tinggal di Jl. Kembar Timur IV No. 7, Bandung Lambang diriku adalah Angin Sejuk Lukas 9:23 adalah ayat favoritku Hobiku adalah bernyanyi Kamu bisa menghubungiku di Instagram andreew, LINE exorioraxzorior, Email [email protected], dan Twitter @freddrewmercury Pesan dariku untukmu : “Emancipate yourself from spiritual slavery, none but the Lord can free our spirit.”

HERE’S A (some couple of) THING(s)– Oleh : Andrew Rotama Hutabarat “M ilyar-milyar juta-juta ratus-ratus sekian kemungkinan orang di dunia; Engkau pilihnya saya” (Sal Priadi - Serta Mulia diplesetin sedikit). Seorang koster di Paroki berkata padaku, “Umat di sini belum ada yang terpanggil menjadi pastor.” Saya adalah orang Bandung yang merantau ke Jakarta untuk menjadi calon imam. Sekarang, saya sudah melewati pendidikan calon imam di Seminari Wacana Bhakti dan akan menjadi frater di Keuskupan Bandung. YEYY, Akhir yang menggembirakan. –newsflash perjalanannya tidak mudah sama sekali; seseorang harus kehilangan nyawa untuk-Nya (bdk. Mat 10:39). Ketika seorang terpanggil memasuki tingkat KPP di Seminari Wacana Bhakti, ia akan bergulat dengan masalah habitus. Dia beradaptasi dengan gaya hidup berkomunitas di Wacana Bhakti. Genjotan-genjotan muncul dalam dinamika hidup seminaris, mereka menempa sebuah identitas kepada seorang remaja. Identitas yang mencintai waktu 30 menit non-stop melakukan bersih-bersih/opera. Identitas yang berkarakter karena aktivitas lectio divina dan lain-lain. Selesai tahun pertama, syukur bahwa seminaris telah memiliki habitus baru dan tak lagi terikat pada kebiasaan lama di keluarga dan rumah. (Kenapa syukur? Karena kalau tidak memiliki habitus baru, inilah yang akan terjadi). Ia akan melamar ke tahun selanjutnya ke tingkat II dan memasuki masa SMA di GONZAGA di situ ia akan bergulat dengan permasalahan relasi. (Mungkin cuma diriku, tetapi seorang seminaris di Gonzaga dapat diumpamakan seperti orang Baduy asli beradaptasi di metropolitan). Di tahun kedua, saya merasa terpecah-pecah karena dihantam oleh gaya hidup SMA yang mencampuri formasi calon imam. (Terlebih lagi, permasalahan dalam menghadapi pergolakan hidup relasi seorang remaja di SMA–maksudku perihal jatuh cinta itu alamiah, namun sayangnya penuh dengan pencobaan dan rintangan bagi panggilan Ilahi.) Apabila ia berhasil adaptasi, seperti teori evolusi, ia akan layak untuk melanjutkan formasi ke tingkat III. Maka sampailah ia bersama dengan angkatannya yang tersisa ke masa terberat di SWB yakni menjadi sesuatu yang istilahnya pemegang seminari. Sebenarnya begini, seminaris di tingkat III adalah seminaris yang menjadi panitia acara tahunan JOHN PAUL II CUP, koordinator bidel dan bidang, salah satu bidel umum seminari, koordinator WBSO, dan segala kepanitiaan lainnya (kepanitiaan majalah Eureka, Tablo, Pekan Suci, dan animasi panggilan). Umumnya, seminaris pada tingkat III akan banyak berkoordinasi dengan kepamongan sehingga terjadi banyak pergolakan bersama. Di sisi lain, mereka menghadapi electio yaitu membuat sebuah keputusan yang diambil untuk seumur hidupnya yakni lanjut menjadi seorang imam atau awam. Akhirnya, bagaikan siklus menstruasi, di Seminari Wacana Bhakti setelah seminaris menghadapi kondisi klimaks yaitu hektik hidup tingkat III masih ada kelanjutan yang tak kalah penting yaitu di tingkat IV atau nama lainnya kelas III di SMA Gonzaga. Wahai seminaris, tamatlah riwayatmu saat kamu harus menghadapi ribuan kertas ujian terakhir di tingkat IV. Sampai pada pendakian terakhir di puncak kelulusan :) Saya merasa telah kehilangan semuanya, semua yang belum tuntas dan tak kulepas. Waktu tingkat KPP saya tak pernah benar-benar beradaptasi dengan gaya hidup berkomunitas, identitas seminaris dan reformasi habitus lama secara tuntas. Waktu tingkat II saya tidak pernah benar-benar menyelesaikan relasi yang berantakan. Waktu tingkat III, saya tidak pernah bisa melepas dengan benar kebanggaan, kekuasaan, takhta, dan nama. Saya tidak pernah bisa melakukannya karena saya sendirian. Tetapi Tuhan yang memanggil, Ia menghendakinya dan saya tahu bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari melepaskan “nyawa” karena Dia sudah menjamin nasibnya. Pada tingkat IV saya akui, saya hanyalah seorang manusia berukuran kecil yang rapuh dan sedih tanpa Tuhan. Dengan waktu yang kupunya saya melepas kebiasaan bermalas-malasan dan sikap individualis. Saya berdamai dengan orang- orang yang berelasi buruk denganku. Saya meninggalkan halusinasi semu yang melawan kebaikan Tuhan, dan menerima rahmat panggilan ini. Mulai setahun terakhir ini saya tak kembali lagi jadi seperti yang dulu. “Dear strong seminarians, have confidence, He has overcome the world.”

Parate viam Domini Namaku Emanuel Bageubaibi Iyai Biasanya aku dipanggil Emane Aku berasal dari Keuskupan Timika, Paroki Bomomani, Gereja Maria Menerima Kabar Gembira Aku lahir di Bomomani, Mapiha, Papua, 24 Agustus 2002 Aku tinggal di Bomomani, Mapiha Lambang diriku adalah Merpati Lukas 1:37 adalah ayat favoritku Hobiku adalah sepak bola, takraw, dan silat Kamu bisa menghubungiku di Email [email protected], Instagram emanuelbageubaibiiyai, Twitter Emanebomopa, dan Facebook Emane Bomopa Pesan dariku untukmu : “Katanya menjadi Berkat”

Dominus Vobiscum Oleh : Emanuel Bageubaibi Iyai S ejak SMP, tidak pernah terpikir sekalipun di dalam hati untuk melanjutkan sekolah di tempat yang jauh dari orang tua. Ayah meninggal saat saya lulus dari Sekolah Dasar. Sejak Ayah meninggal, saya berjuang untuk menggantikan sedikit bagian dari tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang saat itu dipegang oleh mama. Dengan kemampuan yang seadanya, saya berjuang menemani Mama dan adik adik. Kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan cukup sangat berat. Saya mencoba membantu Mama di ladang, berjuang tiap hari untuk menjadi tangan kanan Mama. Anak yang baru berumur 13 tahun tentu bukanlah hal yang muda untuk menanggung semua keadaan itu. Saya merasa memiliki tanggung jawab yang cukup berat, yakni menjadi bagian dari perjuangan mama dalam membesarkan dan mendidik adik adik. Siapa sih anak yang tidak ingin orang tua satu-satunya selalu merasakan kebahagiaan? Ya, demikianlah tekad saya saat itu. Melihat Mama selalu kuat dan tegar adalah goal yang saya inginkan setiap hari. Memang tidak dapat berbohong jika kondisi ekonomi keluarga sangat terbatas saat itu. Saya dihantui kebingungan akan banyak hal. Selain mengenai keluarga, satu hal yang saya ragukan dan cemaskan adalah cita-cita saya untuk menjadi seorang pastor. Saya sadar, mungkin niat untuk bercita-cita sebagai pastor akan berakhir ketika selesai SMA nanti. Melalui segala formatio di Seminari Wacana Bhakti selama 4 tahun, Saya mengetahui bahwa cita-cita menjadi seorang pastor adalah sebuah panggilan khusus. Panggilan adalah suatu misteri. Hal tersebut terbukti ketika saya merasa putus asa dan cemas karena mustahil melanjutkan niat saya untuk menjadi seorang pastor. Tuhan menjawab suatu hal yang bagi saya mustahil tersebut. Tuhan memberikan sebuah mutiara yang amat berharga dalam hidup saya. Memberikan kesempatan yang besar untuk menapaki jalan panggilan-Nya di tempat yang tak pernah terpikirkan selama hidup saya, yakni Seminari Menengah Wacana Bhakti. Pada 12 Juli 2018 adalah awal yang yang sangat aneh dalam hidup saya. Aneh dalam arti yang baik. Bertemu dengan kawan kawan sejalan yang berbeda. Bertemu dengan dunia yang berbeda. Bertemu dengan nasib yang berbeda jauh lebih baik dari nasib yang pernah hadir dalam hidup saya. Seiring dengan waktu yang memutar tak hentinya, kawan kawan yang kuanggap sebagai saingan kini berganti menjadi teman. Teman berganti sahabat, dan sahabat berganti saudara. Sejak awal berformasi di seminari, ketakutan dan keraguan terbesar saya adalah “Bagaimana jika saya tidak sanggup?” Hal tersebut memang sangat mengganggu perjalanan saya. Keraguan adalah hal yang pasti ketika dihadapkan dengan suatu hal baru yang tidak kita ketahui manis dan pahit di dalamnya. Namun setiap harinya Tuhan menjawab keraguan itu dengan cara-Nya. Melalui teman-teman yang selalu mendorong saya untuk lebih percaya diri. Melalui para formator di Seminari maupun di Gonzaga membimbing saya menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan penuh penyerahan diri kepada Tuhan. Bagi saya 4 tahun ini adalah pengalaman yang sangat mahal harganya. Seminari membentuk diri saya menjadi pribadi yang jauh lebih siap untuk melihat segala sabda-Nya setiap kesempatan. Saya sadar akan kasih-Nya yang mengalir dalam setiap proses panggilan sehingga saya mampu bertahan menyelesaikan 4 tahun di seminari. Menyelesaikan 4 tahun bukanlah akhir dari panggilan ini, tetapi tentu awal panggilan ini. Tanggung jawab bukan lagi tentang masalah keluarga, melainkan masalah pertanggungjawaban akan iman setiap domba domba-Nya yang akan menanti dalam jalan panggilan ini. Terimakasih Wacana Bhakti telah menempa diri saya. “Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil”

Jalani, Nikmati, Syukuri Namaku Gregorius Ian Dwi Setiawan Biasanya aku dipanggil Ian Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Rawamangun, Gereja Keluarga Kudus Aku lahir di Jakarta, 11 Mei 2003 Aku tinggal di Cipinang Muara Jl. L No. 37 Lambang diriku adalah Plester Luka Mazmur 145:8 adalah ayat favoritku Hobiku adalah dengerin musik jedag-jedug Kamu bisa menghubungiku di Instagram @gregoriusian dan LINE gregoriusian110503 Pesan dariku untukmu : “Jika Anda merasa putus asa, selalu ingat kata Ultraman: Tsaahhh!! Heaackkk!!! Tchaaa!!!”

BOSAN -_- Oleh : Gregorius Ian Dwi Setiawan S aya merasakan syukur karena bisa mendapatkan pengalaman 4 tahun sebagai seminaris di Seminari Menengah Wacana Bhakti angkatan 32. Ada banyak pengalaman yang dirasakan dalam perjalanan mengolah Panggilan Tuhan. Sedih dan tawa yang selalu dijalani bersama dengan angkatan semua dijalani bersama. “Senang ataupun susah selalu ceria, long live my family”…. eaaa malah nyanyi. Pertama kali saya masuk seminari, saya mendapat kamar konektor yang anggotanya enam orang. Saya berada di kamar konektor yang beranggotakan Yapin dan Berto orang Batak, Marcel dan Lino orang Jawa, saya dan Jetsen orang Tionghoa. Teman kamar aja udah beragam, apalagi komunitasnya. Ada banyak hal-hal yang baru saya alami di seminari dan belum pernah saya alami di rumah. Dua hal baru yang paling membuat saya sulit kerasan di seminari adalah pola tidur dan berkomunitas. Pola tidur di seminari sangat berbeda dengan anak rumahan biasanya. Anak rumahan biasanya memiliki pola tidur yang tidak tetap, di seminari harus dibiasakan bangun jam sekian dan tidur jam sekian. Saya memiliki pergulatan yang cukup besar saat itu. Bayangkan, untuk hari ini dan seterusnya, saya harus bangun pagi terus. Sampai saya jadi imam, sampai saya tua, sampai saya mati, saya harus bangun pagi terus setiap hari. Terus ngapain masuk seminari ya? Lebih enak di luar mau tidur jam dua mau tidur jam tiga juga sabeb ga ada yang ngatur. Mau bangun jam 9 mau bangun jam 10 juga sabeb. Gimana dong? Hidup berkomunitas juga bikin bosen. Oke deh hari pertama ketemu temen baru, besok ketemu dia lagi, besoknya ketemu dia lagi, “Mengapa kau lagi kau lagi terus hadir dalam hari-hariku mengapa”… eaaa, malah nyanyi lagi. Pokoknya tinggal bersama mereka itu membosankan. Setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata hidup sebagai seminaris itu membosankan. Tapi ya emang begitu. Menjadi imam harus siap bangun pagi, supaya bisa memimpin Misa di pagi hari, membantu umat yang meminta sakramen pengurapan orang sakit, sekurang-kurangnya berguna untuk kesehatan diri sendiri. Jika merasa bosan dengan hidup berkomunitas, ya emang begitu wkwkwk. Menjadi imam harus berani terbuka dengan teman seperjalanan. Mereka yang akan bersama dengan saya di dalam panggilan. Jika kita bisa melihat Tuhan dalam tampilan sesama kita, sesama kita yang bawel, sesama kita yang jutek, sesama kita yang banyak mau, sesama kita yang perhatian, sesama kita yang mengasihi, sesama kita yang beragam. Itulah judul panggilan HOTS WB 32, “Perjalananku Bersama-Mu”. Bersama mereka yang berarti bersama Tuhan dalam menapaki jalan panggilan ini. Asik ga jadi seminaris? Ya asik lah. Meski kadang bosen, tapi juga ada serunya, kadang juga bermakna, kadang biasa biasa aja. Semua itu dijalani, dinikmati, disyukuri. “Jika surga belum pasti untuk saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?” -Ave Maryam-

Jika ingin hidup bahagia, jadikanlah Tuhan sebagai tujuan. Namaku Imanuel Ingerian Achim Biasanya aku dipanggil Achim Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Harapan Indah, Gereja Santo Albertus Agung Aku lahir di Jakarta, 10 Juni 2003 Aku tinggal di Jl. Ksatria 3 Blok C No. 416 RT.002/RW.012, Pejuang Kecamatan Medan Satria Kota Bks Jawa Barat 17131 Lambang diriku adalah Sisir Lukas 9:23 adalah ayat favoritku Hobiku adalah dengerin musik, basket, dan bernyanyi Kamu bisa menghubungiku di E-mail [email protected] dan Instagram achmerz Pesan dariku untukmu : “Pilihan hidup menuntut ketaatan”

VITAE ADPARATUS PERBEKALAN HIDUP Oleh : Imanuel Ingerian Achim T ak terasa perjalanan formatio di Seminari Menengah Wacana Bhakti telah sampai pada titik akhir. Empat Tahun terhitung sudah, saya dan teman-teman dari angkatan 32 menjalani proses pembentukan diri ini. Bohong apabila saya katakan, bahwa perjalanan panjang proses formasi selama 4 tahun di Seminari itu tak terasa. Karena niat untuk tetap berusaha dan setia di dalam prosesnya nyatanya dapat menjadi tantangan yang menyulitkan. Sehingga dibutuhkan syarat-syarat tertentu untuk tetap dapat mempertahankan komitmen mengemban panggilan mulia dan untuk dapat sampai pada kriteria seorang calon imam yang diharapkan. Sejak awal menjadi bagian dalam komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti, dari KPP sampai kelas 3. Secara resmi, saya sudah mendapatkan total 2 surat teguran (ST). Dan keduanya saya dapatkan di kelas 3. Sebenarnya bagi saya kesalahan-kesalahan yang saya lakukan adalah hal kecil yang sepele dan saya tidak pernah kepikiran bahwa kesalahan itu dapat berujung sampai pada pemberian surat teguran. Kedua ST yang saya dapatkan itu terdiri dari beberapa kesalahan yang telah dilakukan. ST pertama diberikan dengan alasan sarapan telur balado di luar jamnya, lalu menyeringai saat ditegur dan dua alasan sepele lainnya. ST kedua diberikan dengan alasan utamanya adalah karena membuka Instagram melalui laptop yang digunakan saat sedang mengikuti perayaan Misa online di seminari dan dua alasan lainnya. Walaupun sebab dan akibat yang saya alami sedikit memalukan dan menyakitkan, saya telah dapat melihatnya lebih sebagai bukti kepedulian pihak seminari terhadap proses kehidupan formatio saya di seminari. Sehingga hadir juga rasa syukur yang membuat saya juga semakin menyadari adanya tuntutan yang masih belum terpenuhi serta pola dan ritme kehidupan yang masih harus saya perbaiki dan kembangkan. Empat tahun ini tidak mudah, terkhususkan untuk saya pribadi. Saya memiliki banyak kekurangan serta mudah sekali melakukan kesalahan. Bukan berarti setelah proses 4 tahun ini saya sudah menjadi sempurna. Namun dalam proses yang panjang dan melelahkan inilah, saya mulai menemukan banyak nilai dan arti kehidupan yang berharga serta cara menjalani hidup yang baik dan benar. Itu semua adalah “perbekalan” yang akan menguatkan saya untuk menyelesaikan tujuan hidup yang merupakan misi hidup yang telah diberikanNya. Tuhan telah mempercayakan itu kepada saya percaya. Misi yang hanya saya yang dapat melakukannya, sehingga dengan kehendak bebas yang saya miliki. Saya akan menanggapi panggilanNya dengan terus berjuang memantaskan diri. Kesadaran dalam diri saya mulai terbentuk seiring dengan ketekunan saya di dalam berefleksi. Saya sangat bahagia dan bersyukur, karena dengan menjadi seorang seminaris saya dikenalkan dengan refleksi. Karena selama menjalani panggilan hidup suci akan terus ditemani refleksi. Refleksi hadir sebagai dasar kuat yang membantu saya menjadi semakin sadar dan dapat menemukan jawaban atau cara untuk terus bertumbuh menjadi seorang yang semakin baik atau semakin menyempurnakan diri. Dengan menjadikan Tuhan dan Ekaristi sebagai landasan utama. Walaupun nyatanya selama 4 tahun ini, seringkali keinginan untuk berefleksi itu datang bukan berawal dari diri sendiri. Maka, saya Imanuel Ingerian Achim, akan berjuang untuk tetap setia dan disiplin dengan segala proses dan komitmennya. “Sadari prosesnya, temukan jawaban-Nya.”

Pelayan yang Setia dan Terbuka Namaku Jetsen Santoso Biasanya aku dipanggil Jet Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Pluit, Gereja Stella Maris Aku lahir di Jakarta, 23 Januari 2004 Aku tinggal di Jembatan 3 Raya 4h Lambang diriku adalah Buku Matius 5:6 adalah ayat favoritku Hobiku adalah belajar dan menulis Kamu bisa menghubungiku di Instagram @jetsen Pesan dariku untukmu : “...learn...”

αλλαγή (/per·u·bah·an/) Oleh : Jetsen Santoso J umat, 1 April 2022, saya tidak meledakkan amarah bersifat destruktif. Di malam hari, di ruang studi IPA, keluar pernyataan yang menyinggung perasaan dari mulut salah seorang dari angkatan 32. Pandangan mulai kabur, menahan amarah yang tersulut. Makian dan ungkapan marah saya telah berada di ujung lidah. Sedikit saja saya membuka mulut, berakhirlah pertemanan kami. Sementara itu, belum ada sepatah kata pun terucap dari mulut saya. Saya hanya menahan marah, tertawa kecil, dan berbalik badan. Diri masih dipenuhi amarah yang meluap-luap. Setiap hal yang muncul dihadapan saya, seakan bisa menjadi bahan pelampiasan. Saya berjalan menuju meja studi Deca. Berusaha mendinginkan kepala dan menahan amarah. Meja studi Deca selalu penuh dengan barang yang unik. Dari buku bacaan rohani hingga obeng tergeletak di sana. Saya temukan figure gundam yang menarik. Figure Gundam di meja studinya berguna untuk saya jadikan alat distraksi pikiran kesal. Memainkannya membantu menyibukkan pikiran. Setelah agak sedikit tenang, saya teringat akan refleksi di yearbook. Saya ingin menuliskan sesuatu tentang apa yang telah saya dapatkan selama empat tahun. Namun, peristiwa saat ini membuat saya sadar. Keinginan saya, bukan lagi ingin menuliskan hal yang telah saya dapatkan selama empat tahun, melainkan hal yang telah saya lalui selama ini. Perbedaannya, saya tidak lagi ingin menceritakan suatu kehebatan, melainkan proses dan kelemahan yang saya miliki. Saat sedang duduk di meja studi Erick, saya merenungkan hal yang telah terjadi. Mencoba melihat kembali tindakan yang telah dilakukan. Terbayang dengan jelas, mudahnya emosi saya meluap karena kata- kata. Tidak sulit membuat saya marah. Ketidakdewasaan tercermin pada sosok saya di kelas 3. Setelahnya, saya pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Di kamar, terlihat pantulan diri saya di cermin. Wajah merah padam dan titik hitam di mata yang semakin melebar. Saya berusaha menghilangkan ekspresi kemarahan itu. Tiba-tiba muncul dalam benak saya, “Siapa yang kehilangan kehendak atas emosinya, akan kehilangan segalanya.” “Saya hampir gagal menahan amarah. Masih banyak yang harus dikembangkan di dalam diri saya, baik segi sosial maupun segi kehidupan lainnya.” Kesadaran terhadap kelemahan-kelemahan satu persatu muncul. Terlintas di kepala. Bukan hanya satu hal, tetapi masih banyak yang harus diperbaiki. Meski tidak mudah mengakuinya, namun inilah cara bagaimana seseorang dapat berproses. Hal penting untuk dapat menghidupi kehidupan. Hidup di masa depan tidak akan membawa diri kepada kebahagiaan. Saya sempat mendefinisikan kebahagiaan sama dengan keberhasilan. Sempat terpikir bahwa saya akan bahagia saat saya bisa meraih sesuatu. Saya berusaha keras untuk dapat melakukan spike bola voli dengan sempurna. Jika saya dapat melakukanya, maka bermain voli akan terasa menyenangkan. Itu hal yang saya pikirkan. Berpuluh- puluh jam saya habiskan untuk berlatih dan bermain voli. Saat saya telah dapat memukul bola voli dengan baik, tidak ada perubahan yang terjadi. Saya tidak menjadi lebih bahagia. Saya hanya dapat bermain voli dengan lebih baik. Saya belajar hidup dengan perhatian penuh. Nikmati setiap momen, setiap sensasi yang ada. Hargailah kehidupan. Buku Minum Teh Menjalankan Kehidupan: Menerapkan Perhatian-Penuh dalam Kehidupan Sehari-hari membantu mengenalkan dan menjelaskan arti hidup di masa sekarang. “The Future Starts Today, Not Tomorrow.” -Pope John Paul II. “Nikmati setiap momen, setiap sensasi yang ada.”

Hidup kepada Allah dan hanya untuk Allah Namaku Laurensius Marcellino Biasanya aku dipanggil Marcel Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Pulomas, Gereja Santo Bonaventura Aku lahir di Jakarta, 30 Januari 2003 Aku tinggal di Jl. Pulomas III No. 4B RT.005 RW.011, Jakarta Timur Lambang diriku adalah Jam Weker 1 Yohanes 4:18 adalah ayat favoritku Hobiku adalah Musik, Bernyanyi, Mendengarkan Musik, Membaca Buku, Nonton Anime, Tidur di tempat setrikaan dan merenung Kamu bisa menghubungiku di Hangouts [email protected] dan Instagram @marcellino_laurensius Pesan dariku untukmu : “Ikuti kemana Tuhan membawa hidupmu...”

Discere Credere Oleh: Laurensius Marcellino S elangkah demi langkah, tercipta jejak kehidupan selama kurang lebih 4 tahun di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Tidak lama dan juga tidak sebentar, yang penting adalah bagaimana aku dapat memaknai setiap pengalaman yang ada di dalamnya dengan mencari nilai di balik nilai. Betapa luar biasanya karya Tuhan yang memanggilku masuk ke seminari untuk menjadi calon imam. Dimulai ketika pertama kali aku mengalami pengalaman pertobatan setelah lelah bercengkerama dengan tawaran duniawi yang terasa kosong, yaitu kecanduan bermain game. Dalam kelelahan itu, aku terkesima dengan bisikan kecil dari-Nya, “Mari! Ikutlah Aku…!” Pengalaman perjumpaan dengan Allah ini melahirkan suatu iman pencarian atas makna hidup abadi. Tibalah saat kedatanganku pertama kali ke Seminari Menengah Wacana Bhakti pada hari Kamis tanggal 12 Juli 2018 dengan diantar oleh keluargaku. Lewat kehidupan baru, keluarga baru, suka-duka yang ada di dalam seminari, aku terus dibentuk supaya lebih berkembang secara rohani dan manusiawi. Menjalani hidup di seminari memang tidak mudah seperti yang dibayangkan. Banyak tantangan baru yang menuntutku untuk semakin dewasa, baik dari sesama maupun dari Tuhan. Namun, itulah yang terus membentukku dari hari ke hari. Tiada henti aku terus bersyukur atas rahmat panggilan yang Tuhan berikan ini. Panggilan ini adalah anugerah yang Tuhan berikan secara cuma-cuma berdasarkan dari inisiatif Allah sendiri atas diriku. Ia selalu hadir lewat wajah teman-temanku, para formator, serta para staf dan karyawan di seminari. Dari mereka aku belajar tentang bagaimana mewujudkan kasih yang sebenarnya serta belajar untuk menjadi pribadi yang mendalam. Lalu, sudah menjadi hal yang biasa kalau teman-teman angkatan akan rontok satu per satu. Kepergian mereka kadang menimbulkan rasa kehilangan dalam hidupku, sebab aku sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Walau begitu, aku tidak ingin terjebak dalam kesedihan itu. Maka, dari pengalaman- pengalaman tersebut, aku terdorong untuk meneruskan perjuangan mereka dalam hidupku; segala sesuatu yang pernah mereka berikan dalam hidupku akan kuteruskan. Aku sungguh bersyukur sebab Tuhan senantiasa memberikan rahmat sukacita yang selalu menjadi kekuatan bagiku untuk menghadapi berbagai tantangan hidup yang ada di seminari. Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat juga selalu memotivasiku untuk bangkit kembali ketika aku jatuh. Seiring berjalannya waktu, berbagai pengalaman itu semakin membuatku serius untuk memantapkan panggilanku. Kalau aku kembali merenung dan bertanya-tanya, “Mengapa harus aku yang dipanggil?” Jawaban dari refleksiku adalah karena Tuhan membutuhkan teman seperjalanan-Nya untuk menyelesaikan misi penebusan manusia, dan Ia mau aku untuk mentransformasi diri menuju kesempurnaan. Dalam ketidaksempurnaanku ini, Ia mengajakku untuk meninggalkan masa lalu (manusia lama) dan menjadi manusia baru dalam berkat Tuhan sehingga aku siap untuk setia berjalan bersama Yesus dengan segala kejutan-kejutan tak terduga yang terjadi dalam hidupku. Satu hal yang kusadari dari semua ini adalah bahwa mempertanggungjawabkan diri kita di hadapan Dia yang tidak kelihatan membuat diri kita bertumbuh dan berkembang, baik secara rohani maupun manusiawi. Untuk menutup refleksiku ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada ibuku dan keluargaku yang selalu mendoakanku dari rumah, semua kerabat dan keluarga dari parokiku, para romo, frater, suster yang senantiasa sabar membimbingku di seminari, para teman serta guru di SMA Kolese Gonzaga yang telah memberikan warna baru dalam hidup panggilanku, dan masih banyak lagi mereka yang kukenal dan tidak dapat kusebutkan satu per satu yang telah ikut berpartisipasi dalam perjalananku hingga saat ini. Tuhan Memberkati. “Lepas bebas, sukacita, dan biarkan Roh Kudus bekerja atas dirimu.”

Trust in the Lord for He is good. Namaku Maximillian James Saputra Biasanya aku dipanggil James, Jemes, Jems, Jemy, Hames, LeBronJames, James Harden, atau James Rodriguez Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Alam Sutera, Gereja Santo Laurensius Aku lahir di Tangerang, 25 Agustus 2003 Aku tinggal di Graha Raya Bintaro RC 2 / 19 RT 003/RW 003, Pondok Jagung Timur, Serpong Utara Lambang diriku adalah Perahu Nelayan Matius 28:19-20 adalah ayat favoritku Hobiku adalah futbol, futsal, badmin/bultang, pingpong, dan membaca Kamu bisa menghubungiku di LINE maximillianjames, Instagram maximillianusyakobus, dan WhatsApp 08159318780/08159318708 (cobain satu-satu) Pesan dariku untukmu : “Setelah kamu keluar dari gerbang seminari kamu ada di wilayah misi.”

Discipulatus Oleh : Maximillian James Saputra P ada bulan Maret 2020, saya harus pulang terlebih dahulu daripada teman-teman saya karena sakit DBD. SARS CoV-2 sudah masuk ke Indonesia dan sekolah diliburkan untuk sementara. Dengan semakin merebaknya wabah virus corona akhirnya, semua seminaris dipulangkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Setelah saya keluar dari rumah sakit, saya merasa senang bisa liburan panjang dan waktu kembali ke sekolah tidak jelas. Situasi ini membuat saya menurunkan fokus saya terhadap formasi dan studi, karena saya ingin bersenang-senang di rumah. Lagipula, saya ada di rumah dan tidak ada pamong untuk mengawasi saya. Awalnya saya masih rajin berdoa ibadat pagi, ikut Misa harian, examen, dan bacaan rohani. Saya juga mencoba untuk menambah doa saya, tetapi tidak berhasil. Pada bulan April, sekolah mulai lagi secara online. Saya sedikit menyeret kaki saya untuk fokus belajar lagi. Bulan-bulan pertama PJJ masih menyenangkan dan enak diikuti. Tetapi, sebenarnya saya belum menerima kenyataan PJJ sepenuhnya. Saya masih merasa libur dan tidak perlu berusaha dan belajar seperti sekolah biasa. Saya merasa terpaksa belajar, mengerjakan tugas, dan mengikuti jadwal doa seminari. Saya semakin terikat kuat dengan nonton YouTube, baca cerita online, Instagram. Saya melakukan itu semua saat dan setelah sekolah. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu semakin membuat saya malas belajar, mengerjakan tugas, dan berdoa. Saya hanya ingin menghabiskan waktu saya untuk rekreasi, makan, dan tidur. Saya mulai kurang bersemangat menyesuaikan hidup saya di rumah dengan jadwal seminari. Saya banyak bolos ibadat pagi, Misa harian, bacaan rohani, dan refleksi harian. Ibadat pagi dan Misa harian juga tidak saya lakukan dengan serius dan penghayatan. Saya memikirkan video-video apa yang akan saya tonton setelah Misa dan ibadat pagi saat sedang berdoa. Saya berdoa hanya dengan kata- kata, hati dan pikiran saya pergi kemana-mana. Hal ini semakin membuat saya pesimis dengan usaha-usaha saya untuk tetap konsisten hidup seperti di seminari. Saya hampir melepaskan tanggung jawab saya untuk memelihara panggilan saya. Setelah berbulan-bulan terperangkap di rumah dan belajar secara online, saya mulai mempertanyakan hidup saya. Saya menyadari bahwa hidup saya seperti sudah dipersembahkan kepada berfoya-foya. Saya “tak berdaya” melakukan hal lain daripada memenuhi kesenangan-kesenangan saya. Saya mulai merefleksikan apa yang saya rasakan. Saya menemukan bahwa saya lebih mudah mengikuti jadwal seminari di seminari karena ada tekanan dari jadwal yang jelas dan pengawasan kepamongan. Saya tidak menganggap rumah saya sebagai tempat untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang formatif dan positif bagi panggilan saya. Saya menganggap rumah sebagai tempat untuk bersenang-senang padahal saya sedang dalam masa sekolah. Saya merasa muak dengan diri saya dan mulai membangun lagi kebiasaan-kebiasaan formasi seminari dengan semangat baru. Pada bulan Desember 2020, saya kembali ke seminari dan merasa lebih semangat menjalani hari-hari. Saya juga melihat teman-teman saya yang tadinya sering rewel ingin pulang menjadi senang bisa kembali ke seminari. Panggilan saya disegarkan lagi dengan pemahaman baru bahwa dengan menjalani jadwal seminari, saya sedang merawat panggilan saya. Saya menyadari bahwa seminari itu tidak hanya ada di kompleks bangunan sebesar 2,8 hektar di Pejaten Barat 10A, tetapi seminari juga harus ada dalam hati. Segala kegiatan yang diberikan para formator bertujuan membangun identitas saya untuk menjadi seminaris. Inilah kemuridan yang sebenarnya. Seorang murid tidak harus dikejar-kejar oleh guru untuk melakukan sesuatu, hal itu adalah kebaruan yang keliru di era modern ini. Sejak dulu, seorang guru tidak mencari murid, tetapi orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi murid seorang guru yang bijaksana. Bayangkan seseorang yang mendaki gunung-gunung di Cina untuk mencari master kungfu yang memiliki sekolah di atas gunung atau kedua belas rasul mengikuti Yesus karena karisma-Nya dan harapan mendapat sesuatu setelah mengikuti–Nya. Jadi sebagai murid dan seminaris, kita harus tahu apa yang kita cari dari masuk seminari dan berusaha mencapainya. “The decision to grow always involves a choice between risk and comfort. This means that to be a follower of Jesus, you must renounce comfort as the ultimate value of your life.” - John Ortberg -

“Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ.” Namaku Noventino Vinno Deca Biasanya aku dipanggil Deca Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Taman Galaxi, Gereja Santo Bartolomeus Aku lahir di Manado, 30 November 2002 Aku tinggal di Summarecon The Orchard Cluster Burgundy Blok RAK 6 Lambang diriku adalah Daun Kisah para Rasul 20:22 adalah ayat favoritku Hobiku adalah tidur Kamu bisa menghubungiku di Instagram vinnodeca, Twitter wibuagnostik, LINE vinnonoventino, dan Email [email protected] Pesan dariku untukmu : “Bagaimana aku menghendaki orang lain untuk sempurna, jika aku sendiri belum bisa menjadi sempurna?”

Penyalin Cahaya Oleh : Noventino Vinno Deca P engalaman selama kurang lebih empat tahun di seminari ini, seperti sedang berada di tukang fotokopi. Mendapat materi, menduplikasikannya, memilah mana yang bisa digunakan, dan yang tidak bisa digunakan bisa menjadi pelajaran untuk percetakan berikutnya. Saya merasa bahwa saya jadi seperti ini karena “memfotokopi” apa yang sudah dilewati oleh saya pribadi, kakak kelas saya, pamong yang pernah mendampingi saya, sehingga saya bisa menjadi hasil percetakan yang baru. Bertemu dengan teman-teman angkatan 32, dan yang pernah saya temui, angkatan 29, angkatan 30, angkatan 31, angkatan 33, angkatan 34, dan angkatan 35. Pamong yang pernah membimbing saya, Om Anto, Romo Hario, Romo Camel, Romo Patrick, Romo Yudhi, Frater Arfin, Frater Alfons, Frater Moses, Frater Yudha, Romo Salto, Romo Vano, Romo Dino, SJ, Frater Kevin, Frater William, Romo Ari dan Romo Andy. Pengalaman-pengalaman yang pernah mereka alami menjadi pelajaran bagi pengalaman yang akan saya alami. Mencari Cahaya dalam menyalinnya membutuhkan proses yang menjadi salah satu keunggulan sebuah seminari, yaitu refleksi. Pengalaman empat tahun berada di Seminari, mungkin saya akan melewatkan banyak sekali Cahaya jika saya tidak merefleksikan pengalamannya. Bahkan, yang sudah refleksi pun masih pernah juga melewatkan Cahaya yang ada di pengalaman sehari-hari saya. Saya sendiri selama empat tahun berada di seminari, tidak jarang merasa takut untuk bertemu dengan Cahaya itu sendiri, karena kekhawatiran akan masa depan saya, tentang apa yang akan saya pilih dan lain hal yang berada di pikiran saya. Namun, dengan bantuan orang orang yang positif berada di tempat ini, membuat saya mau untuk melangkah dan menyalin Cahaya tersebut ke dalam hati saya. Terinspirasi dari buku Paulo Coelho, Kitab Suci Kesatria Cahaya, saya merasa bahwa setiap pribadi yang ada di angkatan ini adalah sang Kesatria Cahaya yang unik, yang memancarkan cahayanya dengan caranya masing-masing. Sang Kesatria Cahaya di angkatan memiliki petualangannya masing masing, dari yang bertahan, sampai terus maju dan menemukan jalan yang lebih menantang dalam petualangannya. Bertarung, berjalan, berharap, beristirahat, bersiap-siap, semua dilakukan demi mencapai sebuah kesuksesan yang dituju, yaitu bertemu sang Cahaya itu sendiri. Dalam perjalanan pun kami pasti bertemu dengan Kesatria Cahaya lainnya, dan demi melancarkan petualangan yang akan dihadapi, kami “Menyalin Cahaya” yang dibutuhkan agar bisa terus lanjut. Sehingga, setelah melewati semua perjuangan dalam petualangan yang kami hadapi, akhirnya saya bisa menjadi Kesatria Cahaya yang unik, yang sudah memilih kemana petualangan selanjutnya akan saya tempuh. Semoga para Kesatria Cahaya angkatan ini dan KPA 35 bisa berjuang menghadapi petualangan selanjutnya, dan dapat mencapai “Cahaya” yang dicarinya. “Sang Kesatria cahaya tidak akan dihantui rasa takut, manakala dia sedang mengusahakan apa yang Dia perlukan.” -Paulo Coelho

Siap dan Berani dengan sabar menghantar jiwa-jiwa kepada Tuhan. Namaku Yacobus Erick Jabar Biasanya aku dipanggil Erick atau Embon Aku berasal dari Keuskupan Bogor, Paroki Cibubur, Gereja Maria Bunda Segala Bangsa Aku lahir di Jakarta, 1 April 2003 Aku tinggal di Puri Harmoni 3 Blok C1 No. 11, Cileungsi, Bogor Lambang diriku adalah Bola Roma 8:25 adalah ayat favoritku Hobiku adalah kerja dan olahraga, sepak Bola forever :) Kamu bisa menghubungiku di Instagram @yacob.rick, LINE gwanakwebe32, dan Twitter Jacobs_Jabar Pesan dariku untukmu : “Selagi masih kuat, lakukanlah itu dalam nama Tuhan.”

Viridis Agri Oleh : Yacobus Erick Jabar S epetak tanah yang berbentuk persegi panjang, di atasnya terdapat rumput yang berwarna hijau. Biasanya pada sore hari selalu diisi dengan para remaja laki-laki sambil berlari kesana kemari mengejar bola. Ada yang serius, ada juga yang bercanda tawa. Akan tetapi, lapangan itu menjadi saksi dari sekian bagian formasi panggilan, yang berasal dari keberagaman dan disatukan di satu tempat. Lapangan hijau ini memang tidak seluas dengan lapangan hijau yang biasa menjadi tempat bermainku di dekat rumah, namun satu hal yang tidak bisa diungkapkan yang membuatku ingin tertarik untuk bermain di lapangan itu. Ayahku yang mengenalkanku apa itu sepak bola dan bagaimana cara melakukanya. Dengan dasar dari setiap teknik yang perlu dilatih setiap hari, menjadikanku tertarik untuk bermain sepak bola dan menjadi hobiku. Lapangan yang menjadi tempat melakukan permainan sepakbola, dan sampai saat ini aku masih tetap melakukanya bersama dengan setiap rekan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Aku suka bermain sepak bola, bahkan dalam kondisi sulit pun aku menyempatkan waktu untuk bermain bola. Bagiku sepak bola tidak hanya sekedar sebuah permainan saja, namun juga mengajarkanku tentang arti kehidupan yang kujalani. Berawal mula dari lapangan ini yang membuatku memilih Seminari Wacana Bhakti, sebagai tempat yang kupercaya untuk membimbing kehidupanku sebagai calon imam kelak nantinya. Lapangan ini juga menjadi tempat aku mengenal sesamaku tanpa ada sekat batasan, tidak ada batas usia maupun status. Semua akan terlihat secara nyata tanpa ada yang ditutupi bagaimana keberagaman ciptaan- Nya yang sungguh indah saling berelasi satu sama lain. Lapangan menjadi saksi perjalanan diriku dari awal aku mengenal-Nya sampai saat ini. Begitu juga dengan lapangan yang selalu hijau sekalipun diterpa hujan badai yang selalu ada. Lapangan yang selalu kudatangi setiap sore bersama dengan setiap rekanku menjadi bukti cinta kasih Allah yang begitu besar kepada setiap ciptaan-Nya, termasuk diriku yang masih banyak keterbatasan dalam menjalankan kehendak- Nya. Awalnya aku mengira ini hanya sekedar omong kosong belaka dengan kata puitis yang indah, namun aku selalu melaksanakannya selagi aku masih bisa melakukannya. Aku bersyukur dapat mengenal setiap rekanku yang berbeda latar belakang, yang terkadang bertentangan dengan diriku. Lapangan yang mempersatukan setiap pribadi yang tidak kukenal sebelumnya, sehingga aku kenal mereka semua. Setiap perasaan pasti bercampur ketika lapangan dan si bundar bersatu yang membuat “hidup” lapangan itu. Ketika wadah yang terisi dengan isi yang tepat maka setiap isi yang buruk pun akan tetap menjadi positif pada akhirnya. Belajar dari lapangan untuk menjadi diri sendiri yang tidak menyulitkan sesama, belajar mengolah karakter pribadi setiap hari. Walaupun lapangan selalu ramai, ada satu titik keheningan dalam menentukan akan melakukan apa selanjutnya. Tanah yang luas itu belum tentu selalu ramai setiap saat, di situlah aku mulai mengerti apa itu keheningan yang sebenarnya. Tanpa kusadari, sudah hampir empat tahun aku menjalani berbagai lapangan yang ada di Wacana Bhakti yang selalu menemani hari-hariku, baik bersama setiap rekanku maupun ketika aku sedang sendiri. Aku mengenali panggilan dari-Nya dari lapangan ini yang membantuku untuk mengenal diriku sendiri lebih mendalam. Belajar untuk mengenali lapangan itu sebagai tempat keputusanku di mana pun aku berada, di mana Dia mau mempercayakan lapangan itu kepadaku dengan segala talenta dan keterbatasan yang kumiliki. “Selagi masih bisa dilakukan, lakukanlah dengan ketulusan hati.”

“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yeremia 1:5) Namaku Yapin Sean Habeahan Biasanya aku dipanggil Yapin Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Cijantung, Gereja Santo Aloysius Gonzaga Aku lahir di Jakarta, 25 Maret 2004 Aku tinggal di Gg. Belimbing, Rt.02/03, No. 27, Kel. Kalisari, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur Lambang diriku adalah Not Balok Matius 7:7 adalah ayat favoritku Hobiku adalah badminton, musik, basket, iseng Kamu bisa menghubungiku di Instagram yapinsean_ , LINE yapin25, dan Email [email protected] Pesan dariku untukmu : “Nikmatilah perjalananmu semaksimal mungkin. Hal-hal yang benar-be- nar berarti dalam hidupmu... akan terungkap seiring perjalanan.”

Alunan Jemari Oleh : Yapin Sean Habeahan P ada kesempatan ini aku ingin bersyukur selama perjalanan empat tahun di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Aku diperbolehkan untuk menempa segala hal dari dasar yang nantinya bisa dikembangkan. Di dalam segala pengalaman aku diajak untuk lebih dekat dengan Tuhan, menikmati cinta-Nya dan berbagi kasih-Nya. Tanggal 12 Juli 2018 aku masuk ke seminari dan menikmati keluarga baru dan suasana baru. Dari hal-hal baru itu aku banyak belajar hal, pola kehidupanku menjadi lebih teratur dan pribadiku semakin terbentuk memurnikan diri menjadi lebih baik. Aku sangat menikmati masa-masa KPP yang penuh drama karena perbedaan value masing-masing dan di sisi lain kami pun belajar untuk saling menghargai dan memahami kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Di kelas satu aku bertemu dengan komunitas baru di SMA Gonzaga. Ada banyak pribadi yang membuatku banyak belajar darinya dan menjadi warna di dalam kertas hidupku. Meski kita semua hanya bersekolah offline selama kurang lebih 8 bulan dikarenakan pandemi, tetapi relasi itu tidak putus dan hal itu menjadi kesan tersendiri bagiku. Berelasi dengan siswi Gonzaga membuat beberapa dari kami jatuh hati, termasuk diriku. Hal itu menjadi pengolahan yang seru bersama dengan sahabat, pembimbing rohani, orang tua, dan sebagainya. Di kelas dua, meski situasi kesehatan sedikit terancam alias pandemi belum membaik, kami tidak patah semangat untuk tetap setia menjalani panggilan. Masa kelas dua cukup berat untuk dijalani karena ada banyak tuntutan yang harus kami kerjakan dengan maksimal. Semua itu kami lakukan untuk membentuk kami menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Retret tahunan di kelas dua adalah electio. Di dalam retret kami merenungkan memilih untuk lanjut atau tidak. Empat diantara kami mengundurkan diri. Lanjut di tahun terakhir, aku semakin menyadari cinta Tuhan di dalam hidupku lewat penyelenggaraan Tuhan. Dalam retret confirmatio, aku memilih untuk mengabdi ke Diosesan Jakarta. Aku sadar bahwa menjalani panggilan tidak ada kata “selesai”, karena panggilan bersifat misteri, yang artinya aku harus mencari lebih dalam mengenai penyelenggaraan Tuhan. Terus berharap dan menjalani dengan syukur di dalam doa setiap hari membuatku nyaman. Bentuk formasi yang kujalani adalah suatu anugerah. Seseorang dibina untuk berkembang menjadi lebih rendah hati dan bersikap lepas bebas. Aku berterima kasih kepada para formator yang setia mendampingiku dengan sabar. Sikap remajaku penuh dengan kasih lewat formasi di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Tidak lupa juga aku mengucapkan banyak terima kasih kepada para guru dan para karyawan yang melayani kami dengan penuh ketulusan dan semangat. Lewat para guru, aku belajar untuk menjadi pribadi yang sabar dalam hal studi. “Ketekunan tentu membuahkan hasil”. Selain itu, lewat para karyawan aku belajar banyak hal mengenai keterampilan berkebun, membersihkan, komunikasi, memotong, dan lain-lain Aku senang sekali menjalani panggilan di seminari yang penuh lika-liku dalam bimbingan-Nya. Akhir kata aku mengucap syukur atas segala pengalaman empat tahun di seminari dan segala cinta yang diberikan. Memang sudah selesai perjalanan di Wacana Bhakti, tetapi mengikuti Tuhan tidak sampai sini tetapi seumur hidup. Semoga ini menjadi titik awal untuk kami lebih serius lagi dalam menjalani panggilan Imamat ini. Arah kemudi kami selanjutnya berbeda-beda, tetapi satu tujuan yang sama yaitu kekudusan. “Age Quod Agitis”

Aku ingin bernyanyi bagi Tuhan selagi aku masih hidup dan bernapas. Namaku Yohanes Realino David Ricardo Biasanya aku dipanggil Lino, Johan, Yohan, Yohanes, Realino, Bejo, atau Dapid Aku berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, Paroki Citra Raya, Gereja Santa Odilia Aku lahir di Jakarta, 2 Juli 2003 Aku tinggal di Taman Balaraja Blok D.04 No. 04 Lambang diriku adalah Lilin Lukas 15:18 adalah ayat favoritku Hobiku adalah mancing, musik, masak, jalan-jalan, naik gunung, baca koran, nonton film, nonton drakor, ngobrol, bersih-bersih, berinovasi,minum kopi, hunting soto, hunting mie ayam, dan hunting nasgor Kamu bisa menghubungiku di LINE davidricardo99, Instagram yohanesrealino99, dan lino.cs, Email [email protected] Pesan dariku untukmu : Slow But Sure


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook