Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jendela Dunia

Jendela Dunia

Published by Amie Firshanti, 2022-12-10 12:21:18

Description: Ulasan buku selama 2022

Keywords: books,review

Search

Read the Text Version

86 • Judul buku: 86 • Pengarang: Okky Madasari • Tahun terbit: 2011 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 252 Buku ini judulnya unik: 86. Awalnya ini istilah polisi yang berarti “Siap! Laporan diterima!” Namun istilah ini bergeser artinya di kalangan penegak hukum menjadi “Cincay.. Tau sama tau lah. Semua bisa selesai dengan uang, kan?” Ya, 86 jadi berkaitan dengan korupsi. Miris. Zaman Orba, semua orang paham soal “uang pelicin”. Transaksi atau formulir atau apapun itu bolehlah elektronik, tapi kalau pegawainya ga mau memasukkan data, lah piye? Istilah 86 menjadi kode bahwa uang berbicara. Apakah sedemikian kaburnya deskripsi pekerjaan para PNS? Atau mereka pintar mencari celah? Atau gaji PNS memang kurang manusiawi, hingga memaksa oknumnya korupsi? Entah. Yang jelas, korupsi memang marak terjadi sejak lama. Budaya kita yang kental dengan “upeti” juga mungkin turut berpengaruh. Dulu upeti, sekarang istilahnya gratifikasi. 101

Novel ini bercerita tentang parahnya korupsi, yang justru terjadi pada aparat penegak hukum seperti polisi dan kejaksaan. Korupsi seolah-olah menjadi ‘budaya’ saking sistematisnya praktik ini berjalan. Yang tidak korupsi, dianggap culun. Yang korup, dianggap lumrah. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa malu ketika menerima uang atau hadiah apapun di luar gaji. Alkisah ada pegawai rendahan di pengadilan negeri bernama Arimbi. Kerjanya sederhana, hanya mengetik putusan hakim dan kasus-kasus pengadilan. Atasannya bernama Bu Danti. Dari Bu Danti inilah Arimbi pelan-pelan terseret arus korupsi. Dimulai dari hadiah kecil- kecilan, hingga akhirnya terjebak dalam kasus besar. Arimbi dan Bu Danti lalu divonis penjara. Di penjara, nasib keduanya jauh berbeda. Bahkan di dalam lembaga pemasyarakatan, uang berpengaruh besar. Arimbi harus berdesak-desakan dengan sesama penghuni lapas lainnya, sementara Bu Danti hidup nyaman dalam kamar tersendiri yang ber-AC dengan fasilitas lengkap layaknya ruang kos. Apakah penjara menjadi akhir kisah Arimbi yang polos? Tidak. Di penjara, dituntut dengan biaya pengobatan ibunya, Arimbi berkenalan dengan dunia narkoba melalui teman sekamarnya, Tutik. Menjadi kurir narkoba berarti pendapatan yang lumayan dibandingkan gaji Arimbi dan suaminya yang sangat pas-pasan. Setelah keluar dari penjara, Arimbi dan suaminya tetap berkecimpung dengan narkoba. Demi cuan. Masuk lapas bukannya menjadi orang yang lebih baik, Arimbi malah semakin dalam masuk ke dunia kelam. Membaca buku ini bisa jadi membaca kisah banyak orang lainnya yang terjerumus nasib yang sama. Kebutuhan akan uang menghalalkan segalanya. Saat kepepet, apa saja bolehlah. Ga usah ditanya masalah agama ketika kebutuhan dasar masih sulit dipenuhi. Sedih, tapi begitulah realita. 102

Saya suka gayanya Okky Madasari menulis. Memang latar belakang beliau adalah wartawan hukum, jadi luwes aja menjelaskan segala tetek bengek perjalanan kasus hukum di Indonesia. Saya jadi belajar beberapa hal tentang pengadilan. Ceritanya mengalir, enak dibaca, temponya juga pas. Meski banyak berbicara tentang dunia hukum, ceritanya mudah dipahami orang awam seperti saya. Novel 86 menurut saya layak dibaca sebagai pengingat, bahwa kita pernah lho korupsi separah itu. Sekarang sepertinya semua orang sudah lebih paham tentang gratifikasi dan korupsi dibanding dulu. Apakah sudah tau teori berarti praktik korupsi berkurang? Wallahu alam. Mari kita berharap tidak ada lagi Arimbi berikutnya. Gaji PNS yang manusiawi, deskripsi pekerjaan yang jelas, pemahaman yang menyeluruh tentang korupsi, penegakan hukum yang tegas dan adil, dan tentu saja … karakter yang amanah. Dosa korupsi itu tidak sepele, karena efeknya bisa ke mana-mana menyangkut orang banyak. Pendidikan tentang korupsi memang harus dimulai sejak dini. Agar tidak ada lagi pemakluman-pemakluman yang bisa menjerumuskan. Yuk bisa yuk, mendidik anak-anak kita jadi pribadi yang amanah. Bismillah …. 103

Entrok • Judul buku: Entrok • Pengarang: Okky Madasari • Tahun terbit: 2010 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 282 Apa itu entrok? Saya juga baru dengar. Ternyata entrok artinya beha dalam bahasa Jawa. Entah apa persisnya alasan Okky menggunakan beha sebagai judul. Mungkin karena melambangkan wanita, tema yang sangat jelas muncul sepanjang buku ini. Novel ini diceritakan dari 2 tokoh utama: Marni dan Rahayu. Marni lahir dari keluarga miskin di kota kecil. Ayahnya entah ke mana. Ibunya hanya pengupas singkong di pasar yang digaji dengan singkong. Marni kecil ingin memiliki entrok, suatu barang yang dianggap mewah baginya. Keinginan menggebu-gebu ini diwujudkannya lewat kerja keras. Ngotot nguli karena hanya itu yang mampu dilakukannya, dan hanya pekerjaan itu yang dibayar dengan uang, bukan bahan makanan seperti ibunya. Tidak peduli dengan pandangan orang, Marni terus bekerja. Awalnya nguli, lalu berdagang, lalu rentenir. Lama-lama, uangnya terus bertambah. Akhirnya, Marni jadi orang kaya. Punya rumah besar dan ladang tebu luas. Dari pernikahannya dengan sesama kuli bernama Teja, Marni memiliki 1 anak bernama Rahayu. Rahayu disekolahkan seperti anak-anak lainnya agar tidak buta huruf seperti ibunya. Di sekolah Rahayu mengenal dunia selain ibunya. Dunia dimana agama hanya ada 104

5 dan rentenir itu haram. Singkat kata, Rahayu tumbuh membenci ibunya. Di mata Rahayu, ibunya hanya rentenir penyembah setan. Sepanjang novel, sudut pandang narator berganti-ganti menceritakan kisah hidupnya. Setelah Marni sukses kaya raya, masalah baru muncul. Di mana ada cahaya, di situlah laron berkumpul. Di mana ada kekayaan, di situlah banyak orang lapar mata. Orang-orang bergosip Marni kaya berkat pesugihan atau punya tuyul. Mulai dari pak RT hingga tentara, semua rutin “minta sumbangan”. Atas nama desa, atas nama keamanan, atas nama partai, semuanya tak tahu malu terus merongrong Marni. Menghadapi konsekuensi penjara dan dipersulit urusannya, Marni tak berdaya. Rahayu yang sudah dewasa tetap tidak memahami ibunya. Ia memilih kuliah di luar kota agar jauh dari orang tuanya. Di pengajian kampus tersebut, ia bertemu dengan Amri. Dosen fakultas hukum yang sudah berkeluarga. Meski ditentang Marni habis-habisan, Rahayu rela menjadi istri kedua Amri. Bersama Amri, Marni terlibat dalam rencana membantu desa yang terancam digusur pembangunan waduk. Warga yang sudah tinggal di situ selama beberapa generasi menolak untuk pindah, sementara para aparat sudah melakukan berbagai cara untuk mengusir mereka. Baik Marni maupun Rahayu sama-sama tak berdaya menghadapi negara yang tampil lewat seragam loreng bersepatu boot. Marni terpaksa merelakan hasil kerja kerasnya bertahun- tahun demi “keamanan”. Rahayu juga akhirnya diciduk karena ngotot menentang penggusuran. Sosok Marni dan Rahayu adalah gambaran lemahnya menjadi perempuan ketika zaman belum mau mengakui kesamaan. Marnilah yang menjadi tulang punggung keluarganya tak peduli apa kata orang. Keduanya juga menjadi gambaran hidup di masa kemerdekaan hingga Orde Baru. PKI menjadi momok sekaligus ancaman bagi siapapun yang menentang pemerintahan. Cap itu terus membuntuti menjadi kutukan. 105

Novel ini cukup singkat, ga sampai 300 halaman. Saya membacanya sekaligus saking penasaran dengan cerita selanjutnya. Ya, Okky Madasari pintar meramu cerita. Isu-isu yang berat bisa disampaikan secara ringan, menyentuh, tanpa menghakimi. Isu tentang diskriminasi, agama, perempuan, diceritakan apa adanya. “Apa aku yang salah kalau sejak lahir aku nggak kenal Gusti Allah? Apa aku yang salah kalau dari dulu aku hanya tahu bagaimana berterima kasih pada leluhur?” Membaca Entrok membuat saya merasa bahwa ada Marni-Marni di luar sana. Marni yang kerap disalahpahami karena bertindak di luar batas konvensional seorang perempuan. Marni yang hanya melakukan apa yang ibunya lakukan, yang hanya ingin mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Apakah wanita dilahirkan untuk diinjak-injak kejamnya dunia? Apakah kami tidak boleh menginginkan kemakmuran dan kebahagiaan? Itulah yang ditanyakan Entrok. 106

Ronggeng Dukuh Paruk • Judul buku: Ronggeng Dukuh Paruk (trilogi) • Pengarang: Ahmad Tohari • Tahun: 1982 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Ronggeng Dukuh Paruk merupakan trilogi karangan Ahmad Tohari yang terdiri dari Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Semua buku tersebut sebagian besar berlatar di Dukuh Paruk, sebuah dusun terpencil di Jawa Tengah. Desa kecil, miskin, dengan tata cara dan normanya tersendiri. Di desa inilah karakter- karakter utamanya lahir dan tumbuh besar sebagai yatim piatu bernama Rasus dan Srintil. Kedua bocah tersebut sama-sama kehilangan orangtuanya akibat keracunan tempe bongkrek. Mereka akrab dalam keseharian permainan anak desa. Rasus merasa melihat bayangan Emaknya dalam diri Srintil. Srintil menemukan teman sejati pada diri Rasus. Namun, nasib membawa keduanya dalam jalan yang sangat berbeda. Srintil memilih untuk patuh dengan adat di desanya dengan menjadi ronggeng. Sedangkan Rasus memilih untuk keluar dari desanya dan menjadi tentara. Kisah keduanya makin bertambah rumit ketika PKI mulai memasuki Dukuh Paruk. Tanpa berpikir panjang, para warganya ikut terbawa arus politik saat itu. Terutama Srintil, yang 107

semakin laris jadi ronggeng dan penarik utama di acara-acara PKI. Kepolosan yang membawa malapetaka bagi Dukuh Paruk dan penduduknya. Setelah kejadian 1965, Dukuh Paruk terpaksa berubah mengikuti zaman. Zaman yang tidak lagi ramah dengan ronggeng dan semua yang berbau ‘merah’. Satu hal yang luput di film adalah bagaimana perjuangan dan perubahan Srintil menghadapi dunianya. Dia yang awalnya bangga menjadi ronggeng, titik pusat pesona dan pemangku kelelakian, lalu berubah mendambakan menjadi ibu rumah tangga yang bersahaja. Kekayaan dan ketenaran yang telah diperolehnya ternyata luluh lantak tak berguna ketika ia dicap bekas tahanan. Baru mulailah ia berpikir bahwa dirinya haruslah menjadi pengendali utama bagi dirinya sendiri. Bukan orang lain. Mengingat durasi film, wajar bila bagian ini tak terlalu dibahas. Kisah kasih Srintil dan Rasus memang tragis. Mungkin di belahan dunia mana pun, terisolasi adalah salah satu resep untuk menjadi stagnan. Letak Dukuh Paruk yang dikelilingi sawah, jauh dari mana-mana, membuatnya kekeuh dengan norma-norma yang diletakkan seorang residivis. Bahwa ronggeng dan suara calung adalah roh desa tersebut, dan ronggeng adalah milik bersama yang mewakili kegairahan dan kesuburan desa. Melalui Srintil dan Rasus, kita bisa melihat pertentangan antara adat dengan logika. Kecabulan dengan kesusilaan. Setelah mengenal dunia di luar Dukuh Paruk, Rasus dan Srintil mencoba beradaptasi dengan caranya masing-masing. Bagi Srintil, itu berarti menolak cara-cara ronggeng yang lama lalu mengasuh anak orang lain. Ia mencoba menemukan secuil kebahagiaan dari kepolosan seorang anak. Sementara Rasus belajar menjadi orang berpendidikan, yang akhirnya bertekad memajukan Dukuh Paruk dari kebodohan dan kemiskinan. Selain penggambaran karakter yang kuat, deskripsi alam pedesaan juga dijelaskan sangat detil. Terbayang penulisnya pasti kenyang dengan pengalaman tinggal di desa. Meski kadang terasa terlalu panjang, toh penggambaran ini penting juga untuk menekankan 108

keselarasan alam dengan manusia. Bahwa alam dan pikiran manusia sebenarnya memiliki fitrah yang sama. Bagi yang sudah nonton filmnya, baca deh novelnya. Karya klasik ini masih akan tetap relevan dibaca sebagai pengingat, konsekuensi dari sebuah kebodohan dan keluguan politik. Menarik bahwa novel ini keluar pada tahun 1982, dimana Orba masih berkuasa. Meski mengangkat arus sensitif dan sempat disensor, buku ini terasa sangat manusiawi. Menyentuh dan dalam. Recommended. 109

Amba • Judul buku: Amba • Pengarang: Laksmi Pamuntjak • Tahun terbit: 2012 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 494 Kisah cinta. Mahabarata. PKI. Ketiganya melebur menjadi novel Amba. Ditulis oleh wartawan senior dan penyair. Hasilnya? Menurutku, buku sastra yang indah, padat dan unik. Apakah ini cerita cinta? Pada intinya, ya. Amba, sang tokoh utama, perempuan sulung dari desa Kadipura, Jawa Tengah yang cerdas dan berambisi. Salwa Munir, laki-laki calon guru yang santun dan tenang. Bhisma Rashad, dokter muda dari Menteng, lulusan Jerman Timur. Ketiganya saling terlibat dalam cerita yang rumit. Amba menyayangi Salwa yang konvensional. Bersama Salwa, masa depan Amba cerah dan terjamin. Namun, pertemuan Amba dengan Bhisma di rumah sakit kecil di Kediri mengacaukan rencana bahagia tersebut. Dengan cepat keduanya saling tertarik dalam pusaran emosi dan gairah di tengah-tengah zaman yang labil. Pada masa itu, PKI dan sistem multipartai masih ada. Tidak jelas siapa kawan siapa lawan. Tidak jelas mana yang harus dibela. Di tengah semrawut pascaperistiwa G 30 S/PKI, Bhisma menghilang. Amba hamil. Titik inilah yang menjadi awal berbagai perubahan drastis dalam hidup mereka. Demi 110

menyelamatkan harkat keluarga, Amba memutuskan untuk memulai hidup baru bersama seorang lelaki Amerika. Ia menikah dengannya, membesarkan anak Bhisma bersamanya, lalu hidup tenang di Amerika. Sementara nasib Bhisma lebih tragis. Ia dituduh komunis karena sering menghadiri acara- acara “kiri” dan mengenal teman-teman dari lingkungan PKI. Tanpa pengadilan ia dibuang ke Pulau Buru, pulau terpencil di Kepulauan Maluku. Bersama para tapol lainnya, ia membuka pemukiman di tengah-tengah hutan. Puluhan tahun Bhisma tinggal di tengah hutan belantara, mengabdi sebagai dokter. Teka-teki sepanjang novel ini adalah, apa sebenarnya yang terjadi dengan Bhisma? Kalau ia sudah meninggal, di mana makamnya? Apa penyebab kematiannya? Perjuangan Amba mencari tahu nasib Bhisma ini mengagumkan. Begitu mendapat email misterius yang mengabarkan kematian Bhisma, Amba langsung mencari jejak Bhisma. Ia menemukan tapol lain yang juga mengenal Bhisma. Ia berangkat ke Pulau Buru menempuh jalan udara, laut, dan darat melalui medan yang tak mudah. Ia berbicara dengan orang- orang yang mengenal Bhisma di Pulau Buru. Pada akhirnya, kisah Amba, Bhisma dan Salwa mirip dengan kisah mereka di Mahabarata. Saya juga tidak begitu familier dengan Mahabarata, tapi kebayang kisahnya seperti apa. Ada yang menolak dan ditolak. Akhir yang bahagia? Hmm… ya dan tidak. Novel-novel begini biasanya ga menye-menye dan lebih realistis. Satu hal yang berkesan adalah risetnya yang luar biasa. Kebayang betapa banyak riset yang dilakukan untuk menceritakan kisah sedetil itu. Memang banyak yang berdasarkan kisah nyata. Kisruh politik akibat multipartai, proses ‘pembersihan’ dari unsur PKI, cerita-cerita selama jadi tapol di Buru, semuanya nyata. 111

Yang agak ga realistis menurutku justru karakter-karakternya. Sekuat apa sih, kharisma seorang Amba sampai-sampai semua lelaki seolah tersihir olehnya? Cinta macam apa sih, yang dialami Amba dan Bhisma sampai-sampai keduanya seperti cinta mati dan tak mau berpaling (in real life, move on please)? Sesempurna apa sih, Bhisma sampai-sampai semua orang menganggapnya seperti pertapa suci? Namun baiklah. Ini adalah novel. Lebay terkadang jadi keharusan demi memuaskan selera pasar. Kalo semua digambarkan realistis, bisa jadi novelnya ga sebagus itu. Bisa dibilang ini buku “nyastra” banget. Diksinya unik. Gaya ceritanya menawan. Karakternya kuat. Plotnya panjang membahas banyak isu. Buat yang pengen bacaan ringan, udah jelas deh. Skip! Buat yang suka baca sastra serius, yang ga keberatan menikmati bahasa puitis (Laksmi Pamuntjak seorang penyair juga), yang punya banyak waktu untuk mencerna dan mengolah keindahan diksinya, nah … buku ini cocok. Amba mengajak pembacanya menikmati bahasa Indonesia, menyelami kedalaman psikologis karakternya, membayangkan suatu kisah yang terjadi pada masa itu. Bagi penikmat sastra, yup definitely recommended! 112

Namaku Mata Hari • Judul buku: Namaku Mata Hari • Pengarang: Remy Sylado • Tahun terbit: 2010 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 559 Mata Hari. Tokoh yang seperti ga ada habisnya untuk dibahas. Penari erotis dari Belanda yang punya darah Jawa dari ibunya. Kelak, ia akan dikenang sebagai mata-mata. Apakah tuduhan itu benar atau tidak, tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti. Kisah hidup Mata Hari sudah banyak dibahas dan dijadikan buku. Salah satunya buku karya Remy Sylado ini, yang awalnya dimuat sebagai cerpen bersambung di harian Kompas. Tentu dengan gaya cerita khas Remy Sylado. Mata Hari, yang bernama asli Margaretha Geertruida Zelle, lahir tahun 1876. Ayahnya adalah pengusaha topi yang cukup terkenal di Belanda. Ketika menginjak remaja, perusahaan ayahnya bangkrut dan kedua orang tuanya bercerai. Mata Hari sempat menjalani pendidikan untuk menjadi guru TK, tapi bubar jalan karena terlibat skandal dengan kepala sekolahnya. Mata Hari lalu memutuskan untuk menikah dengan perwira yang 20 tahun lebih tua darinya. Mereka menikah di Amsterdam lalu menetap di Indonesia. Dari pernikahannya tersebut, mereka memiliki 2 anak. Suami Mata Hari ternyata seorang laki-laki yang 113

pemabuk, ringan tangan dan suka main perempuan. Tidak tahan dengan kelakuan suaminya, Mata Hari akhirnya mengajukan cerai. Selama tinggal di Indonesia, Mata Hari pernah mempelajari tarian Jawa. Ia juga suka mengenakan sarung seperti perempuan Jawa pada umumnya. Pada fase hidup inilah ia memproklamirkan dirinya sebagai Mata Hari. Sekembalinya ke Belanda dan bercerai, Mata Hari mencoba peruntungannya ke Paris. Di sana ia sukses menjadi penari erotis. Penonton seolah terbius dengan olah geraknya yang eksotis dan sensual. Selain menjadi penari, Mata Hari juga menjadi call girl papan atas. Ia memiliki “teman” dari kalangan atas dan berpengaruh. Kemampuannya menggoda laki-laki, baik lewat tarian maupun lewat kecerdasannya, membuatnya sangat digandrungi. Mungkin karena itulah pihak Jerman maupun pihak Prancis, kedua pihak yang bertikai pada Perang Dunia I, mendekati Mata Hari agar mau bekerjasama dengan mereka. Mata Hari sempat menyelundupkan informasi untuk kedua belah pihak, tapi pihak Prancis lalu menangkapnya atas tuduhan mata-mata ganda. Ia lalu dihukum dengan ditembak mati pada tahun 1917. Ketika ia meninggal, ia baru berusia 41 tahun. Saya bayangkan luar biasa sekali pengalaman hidupnya. Hidup nyaman waktu kecil, lalu terpaksa hidup sengsara karena ayahnya bangkrut dan orang tuanya bercerai. Menikah di usia muda kepada laki-laki yang salah. Meski kisah hidupnya tragis, ada 1 hal yang menurut saya patut diacungi jempol. Keberaniannya menjadi wanita independen. Ia berani menyuarakan opini dan haknya di masa kebanyakan perempuan hanya menjadi obyek. Ia tidak segan-segan bercerai dari suaminya dan 114

memilih jalannya sendiri. Bisa jadi sakit hati akibat perilaku suaminya membuat ia memilih untuk menjadi pekerja seks komersial. Meski pilihan hidupnya secara moral abu-abu, tetapi bagi janda muda yang ingin hidup nyaman di zaman itu, pilihan apa yang ada selain memanfaatkan badannya? Hal yang saya suka dari buku Remy Sylado ini adalah konteks sejarah saat itu bisa digambarkan dengan hidup dan cukup menarik. Saya jadi familiar dengan ‘tulat’ dan ‘tubin’ (tulat = 3 hari kemudian, tubin = 4 hari kemudian). Saya jadi tau bahwa cukur rambut DPR (di bawah pohon rindang) ternyata sudah ada sejak zaman Belanda. Terasa sekali keseriusan Remy Sylado menyajikan cerita agar sesuai dengan kehidupan di masa itu. Kadang jadi terasa mengganggu plot cerita sih, tapi saya ga keberatan. Jadi kayak “It’s trivia time! Did you know bahwa dulu di sini begini dan begitu ...” Mata Hari mungkin termasuk pionir femme fatale. Perempuan dengan kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang menawan. Bagi yang ingin tahu lebih lanjut sosok kontroversial ini dan ingin tahu situasi Jawa di masa itu, silakan baca buku ini. Siap-siap terpesona dengan kekuatan kata-kata Remy Sylado dan kekuatan karakter Mata Hari. 115

Kembang Jepun • Judul buku: Kembang Jepun • Pengarang: Remy Sylado • Tahun terbit: 2004 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 319 Membaca karya Remy Sylado berarti berkenalan dengan sejarah. Selalu menyenangkan membaca trivia tentang suatu kota atau kebiasaan zaman dahulu. Kembang Jepun bercerita tentang kehidupan seorang gadis bernama Keke/Keiko yang berprofesi sebagai geisha di Surabaya. Dijual oleh kakaknya sendiri (meski akhirnya sang kakak menyesal), Keke diubah identitasnya oleh sang pemilik Shinjo (ruko/bangunan tempat geisha berada). Ia yang sebenarnya berasal dari Manado, dididik agar menyerupai perempuan Jepang asli. Lengkap dengan bahasa, kebiasaan, dan pemikiran perempuan Jepang. Keke yang dijual waktu umurnya 9 tahun tidak menyadari bahwa dirinya dijual oleh sang kakak. Ia hanya tau bahwa ia sedang bersekolah. Belajar menjadi geisha, seorang pelaku kesenian Jepang. “Gei” berarti seni, “sha” artinya pribadi. Di Jepang, geisha sangat dihargai dan dihormati. Butuh waktu bertahun-tahun bagi perempuan untuk menjadi geisha. “Menyanyi, memainkan musik, menuangkan minuman, memijat, dan membuka seluruh pakaian dan memberikan tubuh saya dinikmati oleh banyak lelaki.” (Halaman 6) 116

Keke lalu menjadi Keiko. Pada umur 14 tahun, ia resmi menjadi geisha. Berkat kecerdasannya, Keiko menjadi geisha paling terkenal di Shinju. Banyak laki-laki mendatanginya. Salah satunya, Tjak Broto, wartawan koran Tjahaja Soerabaja, dan Hiroshi Masakuni, pelajar Jepang di Indonesia. Keduanya jatuh cinta pada Keiko. Perlakuan Tjak Broto yang berbeda dari lelaki lainnya membuat Keiko juga jatuh hati. Sayang, Tjak Broto yang pro republik dan tidak suka kolonialisme, dipenjara akibat tulisannya yang dianggap “memprovokasi rakyat”. Tjak Broto pula yang membuat Keiko berpikir ulang tentang nasionalisme dan dirinya sebagai orang Indonesia, bukan orang Jepang sebagaimana ia dididik. Setelah keluar dari penjara, Tjak Broto dan Keiko menikah. Pernikahan tersebut sempat ditentang oleh ibu dan adiknya yang keberatan dengan Keiko seorang geisha. Namun, mereka tetap menikah dan tinggal sederhana di Blitar bersama nenek Tjak Broto. Demi cintanya, Keiko kembali menjadi Keke dan kabur meninggalkan Shinju. Ia rela hidup sebagai petani asal bahagia hidup bersama Tjak Broto. Kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Beberapa tahun kemudian, Jepang datang lalu memperlakukan rakyat dengan kejam. Situasi ekonomi dan politik semakin suram. Tjak Broto dan Keke hidup pas-pasan. Suatu hari, Tjak Broto dituduh menyembunyikan hasil produksi, lalu dibawa ke Surabaya. Keke nekat pergi ke Surabaya berusaha menemui suaminya. Apa yang kemudian terjadi justru malapetaka bagi Keke. Ia bertemu dengan mantan pelanggannya di Shinju, Hiroshi Masakuni. Meski berhasil membantu melepaskan Tjak Broto (tanpa sepengetahuan Keke), Keke ditawan dan dibawa ke Jepang sebagai istri. Suami istri yang saling mencintai itu terpisah bertahun-tahun lamanya. Akankah mereka bertemu kembali? Bagaimana nasib Keiko setelah menjadi istri Hiroshi? Bagaimana nasib Tjak Broto sekembalinya dari Surabaya? 117

Ceritanya cukup panjang, tetapi alurnya cepat. Bagi saya, temponya pas. Kisah Keke/Keiko terasa tragis memilukan. Berbagai penderitaan ia jalani. Kisahnya merentang melewati zaman Belanda, zaman Jepang, hingga zaman kemerdekaan. Cukup terasa pengaruh sosial politik saat itu ke kehidupan Keke. Saya suka penggambaran karakter-karakternya. Tidak melulu hitam atau putih. Geisha tidak melulu dicap negatif, orang Jepang tidak semuanya jahat, atau pribumi semuanya bodoh. Selalu ada orang baik dan orang jahat dari berbagai ras, negara, maupun suku. Fiksi sejarah bagi saya selalu menarik. Terbayang sekelumit kehidupan pada masa lalu. Apalagi Remy Sylado selalu serius menyajikan fakta-fakta sejarah. Penggambaran penyerbuan rakyat Indonesia ke markas Jepang di Surabaya saat itu terbayang apik. Hingga kini, Kembang Jepun, Jembatan Merah, Kalisosok, masih familier bagi arek Suroboyo. Semua yang disajikan memang fakta sejarah, hanya karakter-karakternya yang fiksi. Buat yang suka fiksi sejarah, harus baca ini deh. Remy Sylado is the best! Acung jempol untuk risetnya dan keakuratan sejarah, acung jempol juga untuk kekuatan para karakternya. 118

Ca-bau-kan • Judul buku: Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa • Pengarang: Remy Sylado • Tahun terbit: 1999 • Penerbit: KPG • Jumlah halaman: 406 Dalam bahasa Cina Hokkian, ‘ca-bau-kan‘ artinya perempuan. Namun di sini lebih diartikan perempuan pribumi yang diperistri orang Tionghia, seringkali sebagai selir atau simpanan. Kisah ini dimulai dengan seorang wanita Indonesia dari Belanda, yang mencari jejak orang tua biologisnya di Indonesia. Giok Lan telah diadopsi keluarga Belanda sejak kecil. Sekarang setelah berusia cukup lanjut dan sudah memiliki cucu, ia ingin kembali menapak tilas perjalanan hidupnya di masa kecil. Satu hal yang ia tahu pasti bahwa ibunya bernama Siti Nurhayati, atau biasa dipanggil Tinung. Keturunan Betawi asli yang lalu menikah dengan bapaknya, Tang Peng Liang. Namun, ternyata ada 2 nama Tang Peng Liang di kehidupan Tinung. Tang Peng Liang tauke pisang di Tangerang yang juga rentenir, terkenal kejam pada orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Tang Peng Liang satunya lagi pengusaha sukses asal Semarang yang juga bisa kejam pada musuh, tapi terkenal menyayangi keluarganya. Yang manakah bapak Giok Lan? 119

Kisah berlanjut menceritakan kehidupan Tinung yang penuh tragedi. Menikah pertama kali waktu masih sangat muda dengan nelayan kaya sebagai istri kelima. Malang, suaminya hilang di laut ketika Tinung sedang hamil. Stres diusir mertua, Tinung pun keguguran. Setelah itu, ia mencoba peruntungannya di Kalijodo. Menawarkan tubuhnya untuk cinta satu malam di atas perahu. Di sinilah ia bertemu Tang Peng Liang sang tauke pisang. Tinung lalu dijadikan selir. Namun, tidak tahan melihat penyiksaan korban-korban suaminya, Tinung melarikan diri. Dikejar kebutuhan ekonomi, ia sempat kembali ke Kalijodo sebelum akhirnya belajar menari dan menyanyi lagu-lagu Tionghoa. Pada perayaan Cio-Ko, Tinung pertama kali bertemu dengan Tang Peng Liang, pedagang tembakau dari Semarang. Sejak saat itu, kehidupan Tinung berubah. Ia lalu hidup bahagia sebagai istri muda Tang Peng Liang yang kaya. Suaminya juga memperlakukan Tinung dengan lembut dan sabar. Dari kedua Tang Peng Lian, Tinung memiliki masing-masing 1 anak perempuan. Keduanya sama-sama dinamai Giok Lan oleh Tang Peng Liang dari Semarang (Tinung kabur dari Tang Peng Liang Tangerang dalam keadaan hamil). Kelak, didesak orang tua Tinung yang miskin, kedua Giok Lan diadopsi oleh suami istri Belanda dan dibawa ke negeri mereka. Bukan hanya sudut pandang Tinung yang diceritakan panjang lebar, tetapi juga cerita Tang Peng Liang dari Semarang. Perjuangannya menghadapi rival bisnis, kelicikannya dalam berstrategi, kisah hidupnya yang penuh lika-liku. Buku ini bukan hanya romansa antara 2 manusia berbeda suku dan budaya, tetapi juga mengangkat budaya Tionghoa lebih dekat. Meski jauh dari negeri leluhur, orang Tionghoa pada zaman Belanda masih memegang teguh adat dan tradisi. Mereka juga diberikan hak-hak istimewa di atas pribumi. Tang Peng Liang yang pragmatis hanya memikirkan bisnisnya semata, hal yang menimbulkan kejengkelan bagi pengurus organisasi Tionghoa di Batavia. Berkali-kali ia terlibat masalah dengan Thio Boen Hiap, sesama pedagang tembakau, dan Oey Eng Goan, ketua organisasi. 120

Akankah Tinung dan Tang Peng Liang hidup bahagia di tengah-tengah kemelut zaman Belanda, Jepang, lalu kemerdekaan? Yang manakah ayah Giok Lan yang sebenarnya? Sekilas ada banyak kemiripan plot antara Ca-bau-kan dengan Kembang Jepun. Sama-sama mengambil sudut pandang “wanita lain”, wanita yang sering dipandang remeh oleh masyarakat karena statusnya sebagai geisha atau ca bau kan. Tokoh utamanya sama-sama wanita yang cantik, pandai menari dan menyanyi. Sama-sama berlatar belakang zaman Belanda, Jepang, lalu kemerdekaan. Sama-sama bertitik fokus pada kisah cinta laki-laki dan perempuan berbeda suku dan budaya, yang dipisahkan oleh berbagai masalah. Hanya saja, Kembang Jepun bercerita banyak tentang budaya Jepang, Ca-bau-kan tentang budaya Tionghoa. Kembang Jepun di Surabaya, Ca-bau-kan di Batavia (Jakarta). Tentu saja novel ini khas Remy Sylado. Banyak mengangkat trivia sejarah suatu tempat dan bahasa, dengan kosakata yang kurang lazim. Plotnya cepat, temponya pas. Meski mirip- mirip, saya malah lebih suka novel ini daripada Kembang Jepun. Di bagian akhir, Kembang Jepun agak terlalu dipaksakan dan mengernyitkan dahi. Di Ca-bau-kan ini tidak. Saya juga lebih suka karakter Tang Peng Liang yang berani dan cerdik, dibandingkan Tinung yang pasif (mengingat zaman itu yang tidak ramah bagi perempuan … ga heran). Saya rasa karakter orang-orang Tionghoa digambarkan cukup baik di buku ini. Sangat menghormati adat-istiadat, pekerja keras, mengutamakan keluarga, tapi juga bisa licik dan menghalalkan segala cara demi meraih sukses. Selain bukunya, saya juga sudah menonton filmnya yang dibuat tahun 2002. Pada masa itu, film ini kontroversial karena terang-terangan mengangkat budaya Tionghoa pasca- Orba. Detil-detil kostum dan propertinya luar biasa. Sekilas berasa kembali ke zaman itu. Meski kostum dan propertinya sangat keren, yang saya paling ingat justru Ferry Salim yang begitu sempurna memerankan Tang Peng Liang dari Semarang. Kharismanya, kelembutannya, kecerdikannya … 121

Bagi yang sudah membaca bukunya, tentu tidak kesulitan memahami filmnya. Bisa dibilang, filmnya sangat setia dengan bukunya. Bagi yang belum baca, bisa jadi agak kesulitan memahami jalan cerita dan tokoh-tokoh yang terlibat. Wajar saja, buku 400-an halaman dipadatkan menjadi 2 jam film. Akibatnya, banyak tokoh yang sekadar jadi tempelan tanpa dijelaskan maksud dan hubungannya dalam cerita. Secara keseluruhan, saya suka sekali buku dan film Ca-bau-kan. Sejauh ini, buku favorit saya dari Remy Sylado. Karakter-karakter kuat, penggambaran budaya detil, manusiawi, dan jelas … cerita yang sangat menarik. Recommended! 122

Parijs Van Java • Judul buku: Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata • Pengarang: Remy Silado • Tahun terbit: 2003 • Penerbit: KPG • Jumlah halaman: 595 Om Remy lagi …. Belum bosen bacanya, karena aku suka sejarah. Membayangkan cerita- cerita yang ditulis Remy Sylado itu mungkin saja beneran pernah terjadi di masa lampau. Cerita-cerita tragis sih, tapi ada hikmah yang bisa diambil. Ca-bau-kan setingnya di Batavia (Jakarta), Kembang Jepun di Soerabaja (Surabaya), nah Parijs van Java ini di Bandoeng (Bandung). Mengapa Bandung dibilang Paris van Java sejak dulu? Karena udaranya yang sejuk membawa atmosfer romantis dan Bandung digadang-gadang menjadi pusat fashion Hindia Belanda, sama seperti Paris menjadi rujukan mode dunia. Selain itu, gadis-gadisnya juga terkenal geulis. Kemolekan mojang-mojang Priangan rupanya sudah terkenal dari zaman Belanda. Tidak jauh berbeda dengan Ca-bau- kan dan Kembang Jepun, ceritanya tidak jauh-jauh dari persundalan. Bisnis esek-esek memang akan selalu ada, selama manusia masih ada di bumi. Bedanya, tidak begitu ceritanya dengan Gerry, tokoh utama di buku ini. 123

Gertruida atau Gerry merupakan perempuan Belanda cantik yang tinggal di Hindia Belanda alias Indonesia. Ia merantau ke Jogja, lalu Bandung, karena ingin bersama dengan pacarnya (lalu menjadi suami), Rob Verschoor yang seorang pelukis berbakat. Ditentang dan dikecewakan oleh ayahnya yang pastor, ia melupakan Belanda. Dengan penuh harapan, ia datang ke Hindia Belanda. Rob lalu segera disibukkan dengan karir melukisnya. Tidak lama, kebahagiaan itu diancam oleh kehadiran teman Rob yang bernama Rumondt. Intuisi perempuan mendorong Gerry untuk menjauhi Rumondt yang genit. Akan tetapi, Rob dengan polosnya tetap bersikukuh Rumondst hanya bersikap seperti layaknya teman. Tak diduga oleh Rob, bahwa sejak awal tujuan Rumondst membawa Rob dan Gerry ke Bandung adalah untuk menjerumuskan Gerry ke dunia percabulan. Rumondst tertarik dengan Gerry yang seperti Mary Pickford-nya Belanda. Timbul berbagai tragedi dan malapetaka. Akankah Gerry selamat dari ancaman tersebut? Bisakah mereka berdua bertahan melewati badai dalam hubungan mereka? Bagi saya, Remy Sylado tetap oke. Ada yang khas dari tutur katanya bercerita. Plotnya juga terkadang bisa mengejutkan (note: kadang-kadang). Tetap ada trivia sejarah, khususnya seputar Bandung. Buat urang Bandung seperti saya, makin terbayang settingnya kayak apa. Bandung di tahun 1920-an. Parijs van Java juga masih menggunakan formula yang sama: diceritakan oleh tokoh utama, berawal dari masa kini lalu mundur ke belakang merunut kisah hidupnya. Juga masih bertaburan sejarah di kala itu, yaitu di zaman Belanda. Bedanya cerita ini seting waktunya di zaman sebelum Sumpah Pemuda, ketika Belanda masih aktif menjajah. Praktek korupsi masih marak, pribumi masih disamakan dengan anjing, dan Bandung sedang megah-megahnya berkat kekayaan para “pangeran” perkebunan Preanger. Hal yang agak mengganggu adalah senandikanya yang terlalu panjang dan menggunakan bahasa yang tidak lazim digunakan. Ini memang kekuatan Remy Sylado: kosakatanya yang 124

unik. Namun ketika menjadi senandika panjang dengan kosakata yang tidak familiar, errr …. you’re losing me. Lama-lama monolog ini malah mengganggu jalannya cerita. Saya sendiri masih lebih suka Ca-bau-kan dibandingkan buku ini. Ca-bau-kan terasa porsinya lebih pas dalam segala hal, sementara Parijs van Java monolognya terlalu berpanjang-panjang dan mengaburkan plot. Secara keseluruhan, bukunya masih menghibur. Masih bikin penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Masih ikut bersimpati dengan para tokohnya. Buat para penggemar Remy Sylado, buku ini tetap oke. 125

Boulevard de Clichy • Judul buku: Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet • Pengarang: Remy Sylado • Penerbit: GPU • Tahun terbit: 2006 • Jumlah halaman: 672 Seperti yang sudah tertera di judulnya, ini adalah kisah cinta monyet. Kisah yang bermula sejak dua anak remaja duduk di bangku SMA. Nunuk, anak supir metro mini. Sempat minder dengan bibir sumbingnya. Berkat operasi plastik, Nunuk menjadi gadis cantik nan bahenol. Budiman, anak pejabat. Sebagai anak tunggal orang kaya, ia dimanja dari lahir. Mereka berdua jatuh cinta. Namun, perbedaan kelas menghambat percintaan mereka. Orang tua Budiman tidak peduli Nunuk telah hamil dan sengaja membuat anaknya lupa segala hal tentang Nunuk. Patah hati dan depresi, Nunuk pindah ke Belanda mengikuti saudara ibunya. Di sana, ia direkrut untuk tampil di teater yang berada di Boulevard de Clichy, Paris, Prancis. Boulevard de Clichy adalah daerah lampu merahnya Prancis. Terkenal dengan Moulin Rouge, teater kabaret dewasa yang bersejarah. Jalanan ini juga pernah menjadi tempat tinggal para artis terkenal Prancis seperti Van Gogh, Cezanne, Renoir, Seurat, Signac, dan sebagainya. Tanpa disadarinya, Nunuk telah terjebak dalam bisnis esek-esek. 126

Walaupun begitu, berkat kepiawaiannya menari, menyanyi, menghibur, dan menggoda, Nunuk menjelma menjadi Météore de Java. Sosok penari dewasa yang eksotis. Sambil mengasuh anaknya, ia berusaha mencari nafkah dengan menghibur dan menyewakan tubuhnya. Bagaimana kabar Budiman? Ia dikirim orang tuanya untuk kuliah di Paris. Dasar anak manja, ia malah menghabiskan waktunya berleha-leha dan berfoya-foya. Budiman dan Nunuk sama-sama berada di Paris. Akankah mereka bertemu? Apakah Budiman bisa mengingat Nunuk kembali? Bagaimana akhir cinta monyet ini? Setelah membaca karya-karya Remy Sylado, novel yang ini terasa berbeda. Ada kesan urakan dan norak. Berbeda dengan Ca-bau-kan atau Kembang Jepun yang lebih dewasa, atau lebih “nyastra”. Mungkin karena tokohnya anak-anak muda di Jakarta masa kini, jadi bahasanya lebih gaul. Malah cenderung ke sinetron atau metro pop. Buat saya, ini jadi angin segar yang lagi binge reading karya-karya Remy Sylado. Memang sih, sekilas jadi buku fiksi biasa dengan cerita klise dan bahasa gaul. Kurang terasa bahwa ini karya Remy Sylado. Bisa jadi karena setingnya Jakarta masa kini, Oom Remy sengaja menjadikan bahasanya lebih dekat dengan anak muda. Tidak banyak senandika yang berpanjang-panjang atau kosakata yang aneh-aneh. Hal yang agak mengganggu adalah perkataan para tokohnya itu mirip-mirip. Tidak ada perbedaan nyata dalam cara berbicara para tokoh. Ini agak aneh buat saya. Buku ini bisa jadi eksperimen juga buat seorang Remy Sylado. Biasa membuat fiksi sejarah, kali ini bercerita tentang anak muda di kota metropolitan zaman now. Hasilnya? Yaaa ringan sih. Tetap enak dibaca dan mengalir. Tanpa terasa, 600 halaman bisa dibaca dalam 2-3 hari. Soal plot, yaaa mudah ditebak. Endingnya juga yaaaa begitulah. Karena setingnya masa kini, novel ini juga jadi seperti kritik sosial, terutama tentang anggota DPR dan kesenangan masyarakat kita dengan mistis alias opo-opo alias dukun. Bagian ini jadinya lucu dan konyol, padahal bisa saja benar-benar terjadi. Anggota DPR 127

yang terhormat menerima suap dari pengusaha, bilangnya studi banding padahal pelesir, jauh dari agama dan percaya dukun, paket komplet weeesss…… Apakah novel ini recommended? Well, cukup menghibur. Bagi yang iseng atau ingin baca sesuatu yang ringan (tapi tebal), buku ini lumayan. Hanya saja, kalau mengharapkan buku yang khas Remy Sylado, lebih baik baca karyanya yang lain saja deh. 128

Hujan Bulan Juni • Judul: Hujan Bulan Juni (Novel) • Pengarang: Sapardi Djoko Damono • Tahun terbit: 2015 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 135 Bukan, ini bukan kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku ini berupa novel, yang terinspirasi dari puisi tersebut. Pengarangnya juga sama. Hmm… seorang penyair menulis novel? Pasti puitis. Apalagi beliau juga guru besar. Sepertinya menarik. Saya belum pernah membaca kumpulan puisi Hujan Bulan Juni. Meski begitu, saya sudah pernah membaca puisi-puisi tersohor itu. Siapa sih, yang belum pernah dengar puisi “Hujan Bulan Juni” atau “Aku Ingin”? Justru kesederhanaannya itu yang sukses memikat para pembacanya. Ada sesuatu yang dalam dibalik kata-katanya yang sederhana. Novel ini menceritakan tentang kisah kasih antara Sarwono dan Pingkan. Sarwono, lelaki Jawa yang berprofesi sebagai dosen muda Antropologi di UI. Pingkan, perempuan Minahasa yang tumbuh besar di Jawa, juga berprofesi sebagai dosen muda Sastra Jepang di UI. Kisah cinta mereka menjadi tema utama buku ini yang harus menghadapi perbedaan suku dan agama. 129

Meskipun ayah Pingkan orang Minahasa, ibunya orang Jawa dan Pingkan tinggal di Jawa sejak kecil. Karena itu, Pingkan lebih merasa dirinya Jawa daripada Minahasa. Ketika ada kesempatan menemani Sarwono bertugas ke Manado, Pingkan lalu memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi saudara-saudaranya di sana. Di Manado, Sarwono ternyata tidak begitu diterima oleh keluarga Pingkan. Keluarga besar Pingkan ingin Pingkan menikah dengan orang lain sesama Minahasa, dan menetap di Manado. Setelah dari Manado, Pingkan lalu pergi ke Jepang untuk melanjutkan studinya selama 2 tahun. Bagaimana mereka mempertahankan hubungan mereka? Apakah jarak, agama, suku, dan budaya penting dalam cinta? Dari segi cerita, sebenarnya standar saja. Tipikal cerita-cerita di sinetron atau bioskop. Seorang gadis yang cantik dan cerdas. Seorang lelaki yang pintar tapi pas-pasan. Mereka berbeda karakter, suku dan agama, tapi saling jatuh cinta. Alur selanjutnya tentu bagaimana mereka bisa mempertahankan hubungan mereka di tengah perbedaan yang ada. Bisa ditebak ke mana arahnya. Meski begitu, Sapardi Djoko Damono gitu lho. Seorang penyair tetaplah penyair. Gaya puitisnya terbawa dalam novelnya. Indah, terkesan sederhana padahal tidak juga. Ada makna berlapis-lapis pada puisi-puisinya. Meski indah mendayu-dayu, kadang-kadang suka jadi bingung juga bacanya. Buku ini jadi kayak campuran antara prosa dan puisi. Mungkin karena buku ini adalah trilogi jadi rasanya ada yang kurang. Sepanjang buku rasanya datar aja. Saya jadi sebal dengan ending-nya yang menggantung. Sekuelny berjudul Pingkan Melipat Jarak yang dilanjutkan dengan Yang Fana Adalah Waktu. Mungkin saya harus membaca keseluruhan trilogi sebelum bisa menilai lebih jauh. Recommended? Tergantung pembacanya. Bagi yang suka sastra dan puisi, bisa jadi akan suka buku ini. Bagi yang tidak suka “nyastra”, buku ini mungkin dianggap “ga jelas”. Prosa yang puitis. Kadang-kadang hasilnya oke, kadang-kadang malah bikin bingung. Keputusan akhirnya bagi saya adalah … lumayan. Puisi-puisinya tetap keren, tapi ya itu saja. 130

Pengarang Telah Mati • Judul buku: Pengarang Telah Mati • Pengarang: Sapardi Djoko Damono • Tahun terbit: 2001 • Penerbit: IndonesiaTera • Jumlah halaman: 175 Setelah agak bingung membaca novel Hujan Bulan Juni, saya masih belum menyerah membaca karya Sapardi Djoko Damono. Mungkin penyair sekaliber beliau akan lebih keluar indahnya di cerpen. Ternyata keputusan saya tepat membaca buku ini. Sukak deh. Baru kerasa aura seorang penulis hebat pas saya baca kumpulan cerpen ini. Menyajikan sesuatu yang begitu penuh nuansa melalui kata-kata yang terlihat sederhana, itu tidak mudah. Butuh pemahaman mendalam tentang suatu hal dan kemampuan bercerita yang mumpuni. Tidak jauh berbeda dengan pelukis profesional yang membutuhkan waktu hanya beberapa menit untuk menghasilkan lukisan yang indah. Jangan lihat berapa menitnya, tapi lihat perjuangannya untuk bisa menggambar secepat dan secanggih itu. Waktu yang dibutuhkan mungkin hanya beberapa menit, tapi untuk sampai di titik itu, pasti butuh latihan bertahun-tahun. 131

Kesan ini yang kuat saya dapatkan dalam cerita-ceritanya di buku ini. “Pengarang Telah Mati” merupakan judul salah satu novella yang ada di kumcer ini. Selain cerita tersebut, juga ada 27 cerita pendek lainnya. Cerita pendek benar-benar dalam artian yang sebenarnya. Ada yang hanya butuh 2 halaman. Meski pendek, tetap terasa sebuah cerpen bukannya puisi. Meski indah bahasanya, tetap terasa sebagai prosa. Pak Sapardi cukup sering menawarkan sudut pandang dari benda mati, seperti kalender, sungai, bis, dan sebagainya. Ada kegelisahan tersendiri. Ada penungguan. Ada filosofis. Bukannya absurd, malah jadi indah. Puitis. Ada beberapa cerita yang menarik perhatian saya. Cerita “Sungai” misalnya. Menceritakan perjalanan aliran sungai dari hulu ke hilir, lalu akhirnya berpisah di padang pasir. Kisah sederhana, tapi maknanya dalam. Mencintai air. Bisa diinterpretasikan dalam berbagai makna, bukan? Salah satu yang saya kagumi adalah kemampuan Sapardi Djoko Damono menyajikan cerita yang bisa saja multitafsir. Interpretasi orang A bisa berbeda dengan interpretasi orang B. Tergantung sudut pandang mana yang diambil dan pengalaman individu. Tidak ada yang salah. Semuanya dikembalikan ke pembaca. Setiap orang boleh punya cerita versi masing- masing. Cerita lainnya yang terngiang adalah “Kalender dan Jam”. Dialog antarbenda mati ini menarik. Jadi membayangkan mirip “Toy Story” dimana benda mati bisa hidup dan berbicara. Hanya saja, kali ini benda tersebut bijak sekali berbicara sesuai fungsinya masing-masing. Mungkin karena saya suka filosofi, cerita ini terasa dalam dan berbeda. Buku ini recommended? Yup! Malu ah, orang Indonesia tapi belum pernah baca buku karya penyair tersohor tersebut. Kalau tidak begitu suka puisi, coba baca kumcer ini deh. Biarpun singkat, tapi padat makna. Biarpun cerpen, tapi terus teringat meski telah usai dibaca. 132

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas • Judul buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas • Pengarang: Eka Kurniawan • Tahun terbit: 2014 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 243 Pertama kali tau novel ini gara-gara liat trailer filmnya. Unik. Semuanya serba khas 80an. Mulai dari gaya bajunya, kata-katanya, sampai sinematografinya pun khas 80an. Tentang apa sih? Pas kebetulan ada di perpus favorit. Langsung pinjem deh. Ternyata ya ampuuuunn… beda dengan novel Indonesia manapun yang pernah kubaca. Asli aku baca ini ga tau apa-apa tentang Eka Kurniawan. Kalo tau, mungkin akan bisa memersiapkan diri menghadapi kevulgaran novel ini. Hahaha… Baca Ayu Utami sudah. Baca Laila S. Chudori sudah. Baca Seno Gumira Ajidarma sudah. Nah, sekarang bisa ditambah 1 lagi deh, baca Eka Kurniawan. Xixixi.. Novel ini berkisah tentang Ajo Kawir. Seorang pemuda yang senang 133

berkelahi sebagai kompensasi dirinya yang impoten. Namun, suatu hari ia bertemu dan jatuh cinta dengan Iteung. Apakah mereka akan bisa hidup bahagia bersama? Sebenarnya apa penyebab Ajo Kawir menjadi impoten? Sex and violence. Rasanya ini dua tema yang tidak terlalu sering dibahas di Indonesia. Paling tidak, tidak sevulgar ini. Menariknya, saya toh tetap bisa menikmatinya. Eka Kurniawan seolah tidak ingin meromantisir apa-apa. Apa yang terjadi ya diceritakan apa adanya. Kadang malah jadi lucu, kadang memang jadi penting. Saya bisa menangkap alegori dari impotensi Ajo Kawir, bahwa sebenarnya ia hanyalah akibat dan korban dari situasi. Sentilan untuk pilihan mendewakan nafsu atau tidak. ‘Kesunyian burung’ dijadikan Ajo Kawir sebagai caranya berdamai dengan dunia yang jauh dari sempurna. Membaca buku ini serasa memasuki dunia Ajo Kawir yang penuh dengan frustrasi dan kekecewaan. “Panasan”, impulsif, sebelum akhirnya menjadi adem dan apatis. Dunia yang ia tau hanyalah dunia kekerasan, sebelum akhirnya mengenal cinta. Apakah buku ini keren? Menurutku ya. Ada main-main yang serius, ada sesuatu yang dalam di balik kevulgaran. Buku ini memang tidak berisi kata-kata indah, tapi pesannya jelas. Karakter-karakternya kuat, jalan ceritanya seru, dan plotnya banyak diwarnai flashback. Intinya, Eka Kurniawan saya akui beneran lihai dalam bermain-main. Saya jadi penasaran pengen nonton filmnya. 134

Lelaki Harimau • Judul buku: Lelaki Harimau • Pengarang: Eka Kurniawan • Tahun terbit: 2004 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 190 Ini adalah novel kedua karya Eka Kurniawan yang saya baca. Sebelumnya saya sudah pernah membahas bukunya yang terbit 2014, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHT). Sebenarnya, novel Lelaki Harimau dan Cantik Itu Luka inilah yang pertama kali memopulerkan Eka Kurniawan. Wah, saya jadi makin penasaran. Sekeren apa ya? Sejak awal baca saya sudah menaruh harapan tinggi gara-gara SDRHT. Ternyata …. asli keren! Ga heran novel ini begitu dipuji sampai diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ga nyangka ada novelis Indonesia yang bisa menulis seperti itu. Unik. Menarik. Ga tertebak. Plotnya justru diawali dengan antiklimaks. Pembaca paham apa momen penting yang terjadi, langsung di halaman pertama. Sisa buku menceritakan para tokoh, why they did what they did. Bagaimana konflik itu bermula, seperti apa pengaruhnya kepada cerita dan karakter, apa yang terjadi diantara para tokoh, dsb. Meski di awal sudah tau apa yang akan terjadi, apakah bukunya jadi membosankan? Justru sebaliknya. Saya malah terus 135

dibikin penasaran dengan hal-hal baru yang terus bermunculan. Selama baca, saya terus mikir, “Bentar.. kok bisa sampai begini ya? Am I missing something?” Dan ternyata memang begitu kelihaian Eka Kurniawan. Ia sengaja menampilkan cerita lapis demi lapis hingga akhirnya di ujung cerita …. semuanya terjawab. Kebayang kalo ini film, yang bikin mesti Quentin Tarantino yang terkenal dengan plot twists dan acak. Menaruh antiklimaks di awal jelas langkah berani. Pembaca bisa saja bosan atau malas meneruskan, tapi hohoho, tidak begitu yang terjadi pemirsaaa.. Novel ini berawal dengan Margio yang membunuh Anwar Sadat secara brutal, tiba-tiba, dan mengejutkan semua orang. Lalu terungkap bahwa Margio selama ini hidup dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ayahnya, Komar bin Syueb, sering memukuli istri dan anak-anaknya sejak kecil. Akibatnya, ibunya agak terganggu jiwanya dan Margio tumbuh dengan agresi terpendam. Beberapa kali Margio terpikir untuk membunuh ayahnya sendiri yang telah sering menyakiti ibunya. Apalagi setelah menyaksikan adiknya yang masih bayi meninggal tanpa diurus sedikitpun oleh sang ayah. Namun, Margio memilih pergi dari rumah. Ayahnya akhirnya meninggal akibat sakit setelah ditinggal Margio. Margio terpaksa pulang untuk mengurus jenazah ayahnya. Ketika itulah Margio mengetahui detil penting yang lalu mendorongnya melakukan pembunuhan tersebut. Kalo spoiler kan ga seru, jadi cukup di sini ceritanya ya. Satu hal yang saya salut dari novel ini adalah porsinya pas. Ga meleset jadi novel misteri/horor meskipun ada unsur fantasi-mistis di dalamnya. Tidak juga jadi drama meskipun ada KDRT. Ini tuh kayak masakan rumit dengan banyak bumbu, tapi rasanya bisa pas dan seimbang. Super keren, deh! Kita bisa merasa terhanyut ke dalam dunia Margio yang keras, miskin, dan menderita. Kita juga bisa merasakan simpati pada karakter- karakter lain. Tokoh-tokoh ini terasa hidup dengan beban psikologi masing-masing. 136

Meski tetap kental dengan kekerasan dan seks, tapi buku ini tidak sebrutal dan sevulgar SDRHDT. Baca SDRHDT itu bikin miris dan hati menangis saking gamblangnya. Definitely, not for the faint of heart. Yang ini enggak segitunya, walaupun jelas novel dewasa. Saya terkesima ada penulis Indonesia macam Eka Kurniawan yang berani mengangkat tema-tema sensitif dengan gamblangnya. Kalau di SDRHT dia bercerita tentang maskulinitas toksik dan pelecehan seksual, di Lelaki Harimau dia bercerita tentang KDRT. Apa yang dialami Margio mungkin juga dialami oleh para korban KDRT lainnya. Alegori juga sering digunakan Eka Kurniawan. ‘Burung’ yang impoten bisa saja diartikan sebagai nafsu, dan harimau di dalam tubuh Margio bisa saja diartikan agresifitas. Menarik bahwa dia bisa menggambarkannya dengan begitu baik. Pada intinya, yup buku ini recommended banget. Plotnya, karakternya, penulisannya, semuanya keren lah. Tapi …. peringatan di awal: novel-novel Eka Kurniawan itu ga ada manis-manisnya. Semua diceritakan jujur apa adanya. Ia seperti menyodorkan realita untuk semua orang lihat dengan terang-benderang. Terkadang indah, terkadang kotor. Kadang putih, kadang hitam, kadang abu-abu. Pertanyannya, apa kita siap untuk menerima realita sedemikian pahit? 137

Cantik Itu Luka • Judul buku: Cantik Itu Luka • Pengarang: Eka Kurniawan • Tahun terbit: 2002 • Jumlah halaman: 605 Lagi-lagi Eka Kurniawan. Hehehe … Saya itu tipikal kalau lagi suka dengan 1 pengarang, saya akan membaca semua karyanya yang bisa dipinjam di perpustakaan favorit (iye, ga modal yak. Kalau bisa pinjam, kenapa harus beli? *mentalirit). Sejauh ini saya sudah membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas lalu Lelaki Harimau. Urutan bacanya harusnya kebalik sih, karena Cantik Itu Luka itu novel pertama Eka Kurniawan. Tapi ya sudahlah, tidak mengganggu kenikmatan membaca novel-novelnya karena tidak bersambung. Meski begitu, kadang ada beberapa referensi dari Cantik Itu Luka yang ternyata berlanjut di Lelaki Harimau. Sama seperti novel-novel lainnya, buku ini juga masih vulgar dan tidak ada tedeng aling- aling. Hanya kadarnya yang masih tergolong soft. Masih lebih parah yang Seperti Dendam …, deh. Adegan seks dan kekerasan masih digambarkan dengan detil. Bikin meringis bacanya… 138

Cantik Itu Luka berkisah tentang seorang perempuan bernama Dewi Ayu dan keluarganya, baik ke atas (orang tua dan kakek-nenek) maupun ke bawah (anak dan cucu). Dikisahkan bahwa Dewi Ayu ini cantik luar biasa. Namun, kecantikannya justru membawa malapetaka baginya dan anak-anaknya. Melintasi zaman penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, hingga masa pemberontakan PKI, Dewi Ayu dan keturunannya seolah dikutuk untuk merasakan derita patah hati. Para lelaki tergila-gila dengan kecantikan Dewi Ayu dan ketiga anaknya, tetapi nasib membuat mereka tak bahagia. Saya baca ini jadi terlintas 100 Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez. Sama-sama menceritakan satu keluarga multigenerasi, sama-sama terkutuk, sama-sama mengalami penderitaan berulang. Hanya saja, pada Cantik Itu Luka para perempuan digambarkan sebagai sosok-sosok yang kuat dan tangguh meskipun didera banyak kejadian tragis. Sedangkan laki-laki, meskipun baik hati, seringkali digambarkan memiliki sisi agresif dan brutal. Ternyata memang salah satu inspirasi Eka Kurniawan adalah Gabriel Garcia Marquez yang terkenal piawai menggabungkan sejarah, romansa, dan surealis. Meski bahasanya jelas berbeda, terasa ada sentuhan pengarang Colombia tersebut di buku ini. Salah satu yang paling saya kagumi dari Eka Kurniawan adalah, ia bisa menulis cerita dengan plot maju-mundur tapi tetap enak dibaca dan terasa mengalir. Ini tidak mudah loh. Pembaca bisa dibuat bingung dengan banyaknya sejarah dan karakter yang ingin diceritakan. Hebatnya lagi, di ujung buku suka ada plot twist yang nyebelin. Tapi setelah dipikir-pikir, sebenarnya itulah kunci dari keseluruhan cerita. Ngeselinnya lagi, kalau diperhatikan, sebenarnya di awal sudah ada petunjuk-petunjuk yang mengarah ke sana. Endingnya itu seringkali jadi kayak puzzle yang utuh dengan kepingan-kepingan yang terserak sejak awal ceritanya. Tiap kali selesai baca novelnya, jadi kayak bengong dulu memproses ceritanya dari awal lagi. “Oo.. jadi ternyata ceritanya tuh begitu..” Saya jadi keinget buku-buku Agatha Christie. Sama-sama harus berpikir ulang lagi dari awal cerita. Meski masih juga jengah dengan kevulgaran yang sering digunakan Eka Kurniawan, toh saya tetap kembali membaca karya-karyanya. Sejauh ini, beliau baru menerbitkan 3 novel. 139

Semuanya sudah saya baca. Masih ada beberapa kumpulan cerpen menunggu untuk dibaca. Membaca karya-karyanya itu seru untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi. Karakter-karakternya unik dan membekas. Beliau juga sering menyisipkan sejarah dalam dunia nyata, mengaburkan batasan fiksi dan realita. Apakah Cantik Itu Luka recommended? Jelas dong. Meskipun saya masih lebih suka Lelaki Harimau. Tips dari saya: bacalah karya-karya Eka Kurniawan sesuai urutan terbitnya. Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, baru Seperti Dendam … Agar ga shock seperti saya dulu. 140

Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi • Judul buku: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi • Pengarang: Eka Kurniawan • Tahun terbit: 2015 • Penerbit: Bentang • Jumlah halaman: vi + 170 Iya, lagi-lagi Eka Kurniawan. Apa ga bosan bacanya? Engga tuh. Apalagi yang ini adalah kumpulan cerpen Eka Kurniawan yang sudah pernah dipublikasikan dalam berbagai media. Menulis cerpen berbeda dengan novel. Kalau novel ibarat lari maraton, cerpen adalah lari sprint. Novel bisa berpanjang lebar meletakkan semesta dan pengembangan karakternya, sementara cerpen hanya punya tempat terbatas untuk menyampaikan pesannya. Sepertinya saya memang terbalik membaca urutan karya Eka Kurniawan. Harusnya kumpulan cerpen dulu, baru beranjak ke novel. Kenapa? Karena di kumpulan cerpen yang ini, ia tampil agak berbeda. Tidak sevulgar biasanya. Saya yang mulai mafhum dengan gaya penulisannya tersebut merasa membaca kumcer ini … “manis” kayak permen. Ringan, padat, tapi tetap surealis khas seorang Eka Kurniawan. 141

Ada 15 cerpen yang termasuk dalam buku ini: 1. Gerimis yang Sederhana 2. Gincu Ini Merah, Sayang 3. Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi 4. Penafsir Kebahagiaan 5. Membuat Senang Seekor Gajah 6. Jangan Kencing di Sini 7. Tiga Kematian Marsilam 8. Cerita Batu 9. La Cage aux Folles 10.Setiap Anjing Boleh Berbahagia 11.Kapten Bebek Hijau 12.Teka-Teki Silang 13.Membakar Api 14.Pelajaran Memelihara Burung Beo 15.Pengantar Tidur Panjang Meski ringan, jangan harap akan menemukan cerita-cerita “normal” seperti yang ada di majalah-majalah picisan. Kekuatan Eka Kurniawan adalah plot twist. Selalu ada kejutan di penghujung cerita-ceritanya. Sesuatu yang tak terduga tepat ketika pembaca pikir cerita ini mau selesai. “Ealah, ternyata begitu tho. Tak pikir endingnya akan begini, ternyata engga.” Bikin gemes, dan bikin penasaran. Salah satu cerpen favorit saya adalah “Cerita Batu”. Sebongkah batu mendendam kepada seorang laki-laki karena telah menjadikannya kaki tangan dalam pembunuhan yang dilakukan manusia tersebut. Dengan kesabaran sebuah batu, ia sanggup bertahan bertahun-tahun dan tubuhnya pun semakin lama semakin mengecil. Suatu hari nasib ternyata membawanya untuk mampu melunasi dendamnya. Namun apa yang terjadi? Ternyata ia lagi-lagi menjadi kaki tangan dari pembunuhan lainnya. Apakah Eka ingin 142

menyampaikan bahwa balas dendam itu sia-sia? Atau ia ingin bilang bahwa batu juga memiliki perasaan dan ingatan? Alegori memang hal yang sering digunakan Eka. Baca kumcer ini jadi serasa dessert setelah selama ini membaca karya-karyanya yang penuh dengan realita pahit. Agak bingung juga sih, kok tumben cerpennya ringan begini? But then again, ini kan cerpen. Sebuah cerpen untuk bisa dipublikasikan di media pasti punya kriteria tertentu. Saya ragu dunia jagat sastra Indonesia akan adem ayem kalau Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas dijadikan cerpen. Pada akhirnya, kumcer ini tetap menghibur kok. Saya tetap bisa menikmatinya. Seru menduga-duga kejutan apalagi yang muncul dalam setiap karyanya. Maklum, saya emang pecinta plot twist. Baca novel atau cerpen yang klise itu sungguh nyebelin. Karena hidup terlalu membosankan tanpa plot twist. 143

Cinta Tak Ada Mati • Judul buku: Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya • Pengarang: Eka Kurniawan • Tahun terbit: 2005 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 169 Eka Kurniawan memiliki beberapa buku kumpulan cerpen. Saya sudah membaca Kumpulan Budak Setan dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi. Secara total, ini berarti buku ke-6 karya Eka yang saya baca. Setelah membaca sebagian besar karya-karya Eka Kurniawan, I almost think I knew what he would write. Namun ternyata, enggak juga. Saya ga paham apa karena kumpulan cerpen yang ini merupakan salah satu karya awalnya, jadi cerita-ceritanya terasa agak berbeda dengan karyanya yang lain. Buku ini memuat 13 cerpen yang telah dimuat dalam beberapa koran nasional, yaitu: 1. Cinta Tak Ada Mati 2. Kutukan Dapur 3. Lesung Pipit 4. Jumat ini Tak Ada Khotbah 5. Surau 6. Mata Gelap 7. Ajal Sang Bayangan 8. Penjaga Malam 9. Caronang 144

10.Bau Busuk 11.Pendekar Mabuk 12.Pengakoean Seorang Pemadat Indis 13.Para Musuh Pertama kali yang terlintas di pikiran saya selesai membaca buku ini adalah, “Tumben ga vulgar sama sekali.” Kedua, ada kesan eksperimen dan bermain-main dalam cerpen- cerpennya. Ketiga, plot twist-nya kurang ‘mengagetkan’ dibandingkan karya-karyanya yang lain. Keempat, realisme magisnya di sini masih serupa nuansa. Bukan pekat dan menonjol seperti buku-bukunya yang lain. Mungkin saja cerpen-cerpen ini dibuat jauh sebelum Lelaki Harimau ditulis. Ini bukan berarti buku ini jelek, ya. Hanya agak berbeda. Hasilnya tetaplah khas Eka Kurniawan yang ahli bermain-main dengan realisme magis. Kehidupan sehari-hari yang membosankan dibumbui dengan sesuatu yang surreal. Satu lagi yang khas Eka selain realisme magisnya: kemampuannya menjadikan latar belakang historis terasa hidup. Pemahamannya yang mendalam tentang fase hidup pada suatu masa, menurut saya, mengagumkan. Mungkin karena ia juga jurnalis, jadi terasa lancar saja menyelipkan suatu peristiwa historis ke dalam cerita-ceritanya. Isu sosial, politik, ekonomi, bisa luwes berkelindan dengan cerita tokoh-tokohnya. Dalam kumcer ini, cinta menjadi tema utama yang menjadi topik. Bukan dalam artian cinta- cintaan romantis. Eka menawarkan cinta dalam bentuk yang berbeda. Cinta tak berbalas hingga mati, cinta orang tua dan anak, cinta suami-istri, cinta untuk binatang peliharaan, cinta untuk Tuhan, dll. Semua ceritanya dinarasikan apik, unik, dan menyentuh. Salah satu yang paling unik adalah pada cerita “Pengakoean Seorang Pemadat Indis”. Eka sengaja menggunakan ejaan lama dan gaya bahasa lama karena latar belakangnya 145

memang sewaktu Indonesia belum merdeka. Di masa rumah ganja adalah masalah sekaligus solusi bagi rakyat saat itu. Satu cerita lagi yang berkesan bagi saya adalah “Surau”. “Surau” bercerita tentang konflik seorang pemuda yang berteduh di surau, lalu melihat guru ngajinya di masa kecil. Pertemuan tersebut membuatnya terkenang akan masa lalu dan berefleksi tentang ibadahnya selama ini. Setelah membaca 5 buku Eka, rasanya baru kali ini saya membaca ada tokohnya yang bersinggungan erat dengan Tuhan. Tokoh-tokoh dalam dunia Eka seringkali adalah para korban yang begitu putus asa hingga terpaksa bertindak radikal. Tuhan nyaris tidak pernah menjadi jawaban, atau pilihan bantuan. Kalaupun ada tokohnya yang beragama, agama hanya sebatas ritual yang dijalaninya dengan kosong. Jadi, membaca “Surau” itu terasa cukup mengejutkan. So, will I recommend this book? Yes, bagi orang yang ingin berkenalan dengan Eka Kurniawan. Icip-icip dulu lah, sebelum baca yang lebih berat. Tapi buat yang sudah pernah baca karyanya sebelumnya, emm …. bisa di-skip. Saya lebih suka kumcernya yang Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Lewat Mimpi. Untuk novel, Lelaki Harimau tetap menjadi favorit sepanjang masa. 146

Boy • Judul buku: Boy: Tales of Childhood • Pengarang: Roald Dahl • Tahun terbit: 1986 • Penerbit: Puffin Books • Jumlah halaman: 176 Kali ini Roald Dahl bukan menulis buku anak, meski masih bercerita tentang seorang anak. Dirinya sendiri. Boy berisikan cerita-cerita masa kanak-kanak Dahl hingga beranjak dewasa. Ga bisa dikategorikan biografi, lebih ke pengalaman-pengalaman berkesan yang masih ia ingat sampai dewasa, yang lalu menginspirasinya menulis karya-karyanya yang legendaris. Bukunya tipis, hanya 176 halaman. Tidak ada unsur fantasi seperti buku-buku karangannya yang lain. Namun tetap saja. Ini Roald Dahl gitu lho. Cerita apa pun rasanya renyah saja di tangannya. Hal remeh bisa jadi lucu. Meski ini kisah nyata, tapi saya tetap tertawa membacanya. Yah, antara kasian dan lucu. Hahaha .... Kisah Dahl dimulai dari cerita kedua orang tuanya. Dahl lahir tahun 1916 dari ayah-ibu Norwegia, dan dibesarkan di Inggris. Punya dua saudara tiri hasil pernikahan ayahnya dengan istri pertamanya yang sudah meninggal. Dahl merupakan anak laki-laki satu- satunya diantara ketiga saudara perempuannya. Kakak dan ayahnya meninggal akibat sakit waktu ia masih berusia tiga tahun. 147

Hidup sendiri di tanah rantau bersama enam anak tidak menyurutkan keinginan ibunda Dahl untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Pada saat itu, pendidikan di Inggris dianggap yang terbaik. Jadi, Dahl bersekolah di Inggris hingga ia dewasa. Masa kanak-kanak Dahl sepertinya cukup menyenangkan. Sama seperti anak-anak lain, Dahl sangat menikmati bersepeda dan berbuat usil. Salah satu kenakalannya waktu kecil adalah iseng memasukkan bangkai tikus ke dalam toples permen. Karuan pemilik toko marah-marah. Dahl lalu dihukum kepala sekolahnya dengan dipukul pantatnya menggunakan tongkat kayu. Sebuah praktek yang kayaknya lazim dilakukan pada zaman itu. Pada umur sembilan tahun, Dahl melanjutkan sekolah ke St Peters, sekolah berasrama (di Inggris sepertinya wajar mengirim anak-anak untuk tinggal di asrama selama bertahun- tahun hingga dewasa). Di sana ia harus berhadapan dengan kepala sekolah yang selalu siap menghukum dengan tongkatnya, kepala asrama yang tegas, guru-guru yang tidak peduli dengan anak-anak, dan teman-teman sebayanya. Saya membayangkan anak umur sembilan tahun sudah dikirim ke asrama. Pasti kangen sekali dengan rumah dan keluarga. Lucunya, Dahl bahkan sampai berpura-pura sakit usus buntu (dengan sangat meyakinkan berkat mengamati kakaknya yang beneran sakit usus buntu) demi bisa pulang ke rumah. Seperti kebanyakan anak, hal yang paling berkesan waktu masih kecil adalah … liburan. Dahl kecil sering menghabiskan waktu di suatu pulau terpencil di Norwegia. Tentu saja pada sekitar tahun 1930-an, belum ada televisi. Hari-hari libur diisi dengan menjelajahi pulau-pulau kecil, berenang, memancing, berjemur, dan piknik sekeluarga. Dengan rombongan sekitar sepuluh orang (ibu, enam anak, nanny, dan teman-teman anak), kebayang hebohnya mereka di perjalanan. Apalagi perjalanannya cukup jauh dan bisa berhari-hari naik kereta, taksi, dan kapal. 148

Lulus dari St Peters, Dahl lanjut ke Repton. Di sini kepribadian Dahl mulai bersinar. Dahl remaja sangat pandai dalam olahraga, bahkan terpilih sebagai kapten. Namun, Dahl tidak suka peraturan dan menolak bersikap semena-mena kepada adik kelas. Akibatnya, meski berprestasi, ia tidak pernah dipilih menjadi Boazer. Mungkin semacam ketua kelas kali ya. Pokoknya jabatan bergengsilah, yang harus dihormati dan dipatuhi tanpa kompromi. Lulus dari Repton, Dahl melamar kerja ke Shell. Alasannya memilih Shell, karena ia ingin menjelajah melihat dunia. Harapannya terkabul ketika Shell mengirimnya ke Afrika Timur. Saat itu Dahl berusia 20 tahun. Cerita Boy berhenti sampai di sini. Kekuatan Dahl adalah narasinya yang selalu memikat. Meski bukan cerita anak, buku ini tetap saja seru, menghibur, dan lucu. Terbayang Dahl kecil yang cerdas, pengamat ulung, dan selalu punya ide. Menarik melihat sebagian kisah hidupnya menjadi inspirasi terbesarnya. Kisah-kisah klasik seperti Charlie and the Chocolate Factory, tokoh-tokoh ikonik seperti kepala sekolah Matilda … tidak heran karyanya melegenda. Dahl bisa menggambarkannya dengan begitu baik karena memang ia merasakannya sendiri. Seorang teman pernah berkata bahwa salah satu penulis yang pasti ia beli tanpa melihat sinopsisnya adalah Roald Dahl. Seolah jaminan mutu bahwa semua tulisannya pasti memikat. Sekarang, setelah membaca buku ini, yup saya setuju. 149

To Kill A Mockingbird • Judul buku: To Kill A Mockingbird • Pengarang: Harper Lee • Tahun terbit: 1960 • Jumlah halaman: 305 Tambah satu lagi buku yang harus dibaca anak-anakku: To Kill A Mockingbird. Salah satu literatur klasik Amerika yang fenomenal. Judul tersebut diambil karena mockingbird merupakan burung yang tidak mengganggu, bahkan menghibur dengan suaranya yang merdu. Jadi, to kill a mockingbird berarti melakukan sesuatu yang terlarang atau dosa. Lalu, dosa apa yang dimaksud dalam buku legendaris ini? Novel ini diceritakan dari sudut pandang Scout, gadis tomboy umur 6 tahun (di awal novel) yang memiliki kakak laki-laki, Jem, dan ayahnya, Atticus. Ibunya sudah meninggal sejak Scout berumur 2 tahun. Scout dan Jem dibesarkan oleh ayahnya dan seorang pengasuh kulit hitam di sebuah kota kecil di selatan Amerika. Hari-hari mereka diisi khas anak-anak pada tahun 1930-an. Bermain ban mobil, lari- larian, hingga berimajinasi mengarang cerita sendiri. Salah satu tetangga mereka adalah keluarga Radley yang esentrik. Salah satu anak mereka, Arthur, dikabarkan tidak pernah keluar rumah 150


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook