Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jendela Dunia

Jendela Dunia

Published by Amie Firshanti, 2022-12-10 12:21:18

Description: Ulasan buku selama 2022

Keywords: books,review

Search

Read the Text Version

bertahun-tahun karena sempat bermasalah dengan hukum. Anak-anak jadi penasaran dengan sosok misterius tersebut dan sering menjadikan Arthur tema dalam permainan mereka. Suatu hari, Atticus yang bekerja sebagai pengacara mendapat mandat untuk membela lelaki kulit hitam bernama Tom Robinson, yang dituduh memerkosa gadis kulit putih, Mayella Ewell. Kejahatan fatal pada masa itu. Meski dicibir oleh masyarakat yang masih kental dengan rasisme, Atticus tetap bekerja sebaik-baiknya. Ia membela kliennya ketika datang massa yang nafsu ingin main hakim sendiri. Ia juga menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya dengan mengecek setiap fakta pengadilan. Jem dan Scout yang masih polos tidak paham mengapa orang-orang begitu kesal melihat Atticus membela orang kulit hitam. Atticus memang mengajarkan bahwa di mata hukum, semua orang itu setara. Jadi, anak-anaknya hanya bisa melihat adil atau tidak adil, terlepas siapapun pelakunya. Apakah Atticus berhasil membela Tom Robinson? Bagaimana reaksi masyarakat? Kisah ini pada intinya adalah sepenggal kehidupan Harper Lee sendiri di masa kecil. Tumbuh di kota kecil membuat Lee cilik haus akan imajinasi. Ia juga teliti memperhatikan masyarakat di sekitarnya. Ayahnya juga bekerja sebagai pengacara. Meski buku ini tidak sepenuhnya dari kisah nyata, Lee terinspirasi oleh kasus-kasus yang terjadi pada waktu itu. Saya menikmati sekali penggambaran Lee tentang kehidupan di kota kecil. Adem, guyub, dan sederhana. Karakter-karakternya juga kuat dan relatable. Scout digambarkan sebagai cewek tomboy ceplas-ceplos tapi dewasa berkat tuntunan kakak dan ayahnya. Jem yang lebih tua empat tahun dari Scout lebih pemikir dan lebih sensitif. Atticus bahkan dianggap salah satu tokoh literatur favorit sepanjang masa. Ga heran sih. Terasa sekali kehangatan, kecerdasan, kejujuran, dan perjuangan seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya seorang diri. Meski terlalu tua hingga tidak bisa berpartisipasi seaktif seperti orang tua 151

lainnya, Atticus sangat cerdas menjawab berbagai pertanyaan kritis anak-anaknya dengan jujur dan mudah dipahami anak. Pada masa itu, sepertinya jarang ada ayah yang begitu terlibat dengan anak-anaknya seperti Atticus.. Jadi, dengan narasi yang memikat, cerita yang kuat dengan pesan moral, dan tokoh-tokoh yang relatable, buku ini layak banget dibaca anak-anak. Tentu saja anak-anak yang sudah paham tentang perkosaan dan ketidakadilan. Menarik bahwa Lee membuat buku ini dari sudut pandang anak-anak. Seakan menjadi pengingat bahwa anak-anak itu polos dan jujur. Mereka hanya tau bahwa dunia itu indah, dan sudah seharusnya indah. Adil, dan sudah seharusnya adil. 152

Ngenest • Judul buku: Ngenest: Ngetawain Hidup A la Ernest • Pengarang: Ernest Prakasa • Tahun terbit: 2014 • Penerbit: Rak Buku • Jumlah halaman: 168 Intinya buku ini, ngenes jadi orang Cina Indonesia alias Cindo. Ngenest merupakan buku nonfiksi komedi dari Ernest Prakasa, salah satu komika yang juga sudah sukses terjun di perfilman. Ngenest bisa dibilang semi otobiografi Ernest yang tumbuh besar sebagai kaum minoritas di Indonesia. Ernest lahir dari keluarga keturunan Cina. Sebagai generasi ketiga, ia tidak merasa Cina-Cina amat karena lahir di Indonesia, sekolah di Jakarta, dan menjalani hidup ya di sini. Namun, mata sipit jadi pertanda jelas bahwa ia keturunan Cina. Sementara itu, bermata sipit di tahun 90-an berarti …. dirundung. Sad but true. Saya masih inget waktu saya kecil, Cina masih mendapat stigma negatif. Cina itu pasti kaya. Cina itu pelit. Cina itu cuma loyal sama bangsanya sendiri. Cina itu ga beragama, dan masih banyak lagi persepsi negatif tentang Cina. Apalagi saya jarang berinteraksi dengan Cina. Baru pas kuliah akhirnya saya bisa punya teman Cindo beneran (dan ya, tinggalnya di Kota). Saya pribadi tidak pernah ada masalah dengan Cina. Kita kan 153

tidak bisa milih lahir dari orang tua kayak apa. Bersikap sewajarnya ajalah sebagai sesama manusia. Ernest itu salah satunya yang merasakan perundungan hanya karena ia Cina. Sejak kecil sering dibilang “Woy, Cina!” dengan nada yang ga enak (it’s not in the word per se, but the tone matters). Sebagian besar buku ini bercerita bagaimana rasanya jadi kaum minoritas, yang di zaman Orde Baru gerak-geriknya serba diawasi. Tentu saja dengan kacamata khas Ernest. Lucu, miris, sekaligus tersentil. Sebagian lagi buku ini juga cerita pengamatan Ernest di kehidupan sehari-hari. Kebiasaan-kebiasaan absurd orang kita. Tipikal komika, pintar mengolah kejadian biasa menjadi lelucon. Hanya saja, terasa ada juga kritik sosial yang tersampaikan dari buku ini, yaitu tentang stereotipe orang Cina. Mengingat ini warisan Orde Baru, ga heran sih. Pada zaman itu, Cina tidak boleh terjun ke politik dan militer. Praktis, banyak yang terjun ke bisnis. Lalu, karena dibatasi tadi, akhirnya timbul persatuan yang erat di antara orang Cindo. Siapa lagi yang bisa dipercaya selain sesamanya? Belum tentu orang luar Cina bisa paham tentang budaya Cina. Akibatnya, komunitas Cina makin tertutup dan terasa eksklusif. Membaca buku Ngenest itu jadi keinget Raditya Dika. Dulu saya juga suka baca bukunya. Konyol dan menghibur, meskipun pas difilmkan jadi cringe (dalam hal ini, film-film Ernest lebih bagus menurutku). Raditya Dika dan Ernest Prakasa memang termasuk komika favoritku. Yang lainnya yah, kadang terlalu kasar, kadang leluconnya ga kena, kadang garing, kadang berlebihan. Humor kan masalah selera juga … Lumayan sih, buku ini bikin ketawa. Saya cukup terhibur membacanya. Udah lama juga saya ga baca buku komedi seperti ini. Apakah menulis komedi itu gampang? Beuhh, beuhh, susaaahhh …! Saya salut sama para komika. Mereka itu begitu cerdas mengelola peristiwa sehari-hari jadi lucu. Pasti dibutuhkan kemampuan observasi, public speaking, kemampuan berbahasa, dan yang ga kalah penting … tahan malu. 154

Mungkin khususnya di Indonesia ya, kita tidak terbiasa menjadikan kekurangan orang jadi lelucon. Beda dengan di Barat. Jadi, siapa lagi jadi bahan lelucon kalau bukan diri sendiri. Menjadi komika berarti harus siap ada orang mentertawakan kehidupan kita. Soalnya kalo mentertawakan kehidupan orang lain, nanti malah ada yang tersinggung, trus berabe … Btw, buku ini juga sudah dijadikan film dengan judul yang sama. Ernest juga jadi produsernya. Meski bukunya ga bercerita linear, tetapi filmnya lumayan lah menggambarkan apa rasanya jadi Cindo. Tentu saja tetap lucu dan menghibur. Buku dan film, keduanya sama okenya. Pokoknya, Ernest emang kerenlah. 155

I Know Why the Caged Bird Sings • Judul buku: I Know Why the Caged Bird Sings • Pengarang: Maya Angelou • Tahun terbit: 1969 • Penerbit: Bantam Books • Jumlah halaman: 289 Maya Angelou adalah salah satu pengarang favorit Oprah Winfrey. Oprah sering memuji- muji bukunya dan membuat saya penasaran. Menurut Oprah, karya-karyanya fasih berbicara tentang apa rasanya menjadi kaum kulit hitam di Amerika. Mengalami diskriminasi rasial nyaris setiap hari. Dilecehkan, dikerdilkan, dianggap manusia kelas dua. Setelah membaca buku ini, ya, saya paham apa yang Oprah maksud. Buku ini merupakan buku pertama dari seri otobiografi Maya Angelou yang menceritakan kehidupannya sejak kecil hingga remaja. Maya tumbuh besar bersama kakak laki-lakinya, Bailey, dan beberapa kali pindah mengikuti kemauan orang tuanya. Ketika Maya masih berumur 3 tahun, orang tuanya bercerai. Ia dan kakaknya lalu dikirim untuk tinggal bersama nenek dan pamannya dari pihak ayah di kota kecil Stamps, Arkansas. Stamps merupakan kota kecil yang tersegregasi. Maya kecil nyaris tidak pernah melihat kaum kulit putih. Di sini ia sering menghadapi perlakuan-perlakuan diskriminatif karena 156

gender dan warna kulitnya. Akibatnya, ia merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Sering merasa minder dan jelek, ia menemukan pelariannya pada buku. Ketika ia berumur 8 tahun, ia diperkosa oleh pacar ibunya. Pelakunya lalu ditemukan mati terbunuh. Mungkin oleh para penjahat kenalan ibunya. Trauma kekerasan seksual dan merasa bersalah telah menyebabkan orang lain mati membuat Maya bisu. Maya menolak berbicara selama berbulan-bulan, kecuali pada kakaknya. Kebisuan Maya akhirnya pecah ketika ada teman neneknya yang memperhatikannya dan mengajaknya kembali berbicara lewat puisi. Sastra membuat Maya tergugah untuk terus bersuara, demi dirinya dan kaumnya. Menginjak remaja, Maya pindah mengikuti ibunya yang sudah menikah lagi ke San Fransisco. Di kota yang penuh imigran ini, Maya berkenalan dengan orang berbagai negara dan bahasa. Baru di sini ia merasakan arti rumah setelah berkali-kali pindah. Maya juga menemukan sosok bapak pada ayah tirinya yang pebisnis dan tegas. Maya sempat lari dari rumah ayah kandungnya dan tinggal di tempat kumuh. Di sinilah ia paham bahwa kepedihan dan kesulitan yang dialami kaumnya, sebenarnya juga dialami oleh kaum lainnya. Maya remaja akhirnya mengerti bahwa penderitaan, begitu juga kebahagiaan, itu universal tanpa melihat warna kulit. Sekarang, saya paham kecintaan Oprah kepada Maya Angelou. Keluwesannya berbicara tentang apa artinya menjadi wanita kulit hitam memang sangat mengesankan. Pengalaman Maya bisa jadi mewakili jutaan perempuan kulit hitam lainnya. Fakta bahwa ia wanita dan berkulit hitam membuatnya rentan dengan berbagai diskriminasi rasisme dan gender. Saya menikmati evolusi seorang Maya Angelou yang berawal dari bocah polos insecure menjadi wanita cerdas dan berwawasan luas. Bisa terlihat bahwa ia memiliki tekad kuat untuk maju, dan tidak malu untuk itu. Ini juga didukung oleh wanita-wanita kuat di 157

sekitarnya seperti nenek dan ibu kandungnya. Meski tidak secerdas Maya, nenek dan ibunya sukses dengan caranya sendiri. Pada intinya, menurut saya buku ini berbicara tentang kekuatan perempuan menghadapi diskriminasi yang dialami sehari-hari. Bagaimana Maya berevolusi menjadi wanita yang cerdas dan tangguh. Sastra menjadi kekuatan Maya untuk melalui hari-harinya. Di kemudian hari, drama dan tari juga menjadi sarana ekspresi diri baginya. Membayangkan bahwa ada jutaan Maya yang mungkin mengalami nasib sama membuat saya terenyuh. Diombang-ambingkan orang tua, diperkosa, diremehkan, aduh … kok ya masih anak-anak tapi nasibnya malang sekali, tapi memang begitulah faktanya. Mudah- mudahan kita juga bisa mengambil hikmah bahwa segregasi itu sangat tidak manusiawi, karena kita semua diciptakan sama. Apapun warna kulitnya. 158

Born A Crime • Judul buku: Born A Crime • Nama penulis: Trevor Noah • Tahun terbit: 2016 • Penerbit: Spiegel & Grau • Jumlah halaman: 304 Beberapa kali sudah baca buku biografi tokoh-tokoh dalam dan luar negeri. Namun kayaknya baru buku ini yang sukses membuat saya ga bisa berhenti baca dan bisa beneran tertawa atau terharu membacanya. Trevor Noah jelas seorang pencerita yg ulung. Titik. Buku ini bercerita tentang Trevor Noah, komedian dan presenter terkenal di Amerika, yang tumbuh besar di Afrika Selatan. Seorang anak birasial (ibu Af-Sel, ayah Eropa) pada saat politik apartheid masih berlaku. Karena itu, kelahirannya saja sudah dianggap ilegal. Bukti pahit bahwa terkadang, hukumpun bisa amoral. Bagi saya, buku ini membuat saya paham akan 1) kerasnya segregasi dan ‘konyolnya’ hukum apartheid (orang Cina bisa diklasifikasikan “berwarna”, sementara orang Jepang diklasifikasikan “putih” hanya karena urusan politik), 2) betapa sulitnya perjuangan seseorang untuk lepas dari jerat kemiskinan (bukan hanya ilmu, tapi juga perlu pola pikir, mentor, modal, dan lingkungan yang mendukung), 3) ibu yang berpikiran maju akan menghasilkan anak yang tangguh dan resilien. Kalau saja Trevor tidak memiliki ibu yang 159

sangat tegas, disiplin, dan berpikir besar, mungkin Trevor tidak akan mengenal dunia lain selain ghetto (perkampungan kumuh yang rawan kejahatan). Tidak terasa seperti buku biografi lainnya yang cenderung serius, buku ini lucu, mengalir, jujur, sekaligus dalam. Sayang, sepertinya belum ada buku terjemahannya dalam bahasa indonesia. Saya membacanya di e-book. Padahal buku ini sangat inspiratif dan menghibur. Kabarnya, akan ada film yang diangkat dari buku ini. Belum jelas juga apakah ini baru wacana atau sudah mulai direalisasikan. Mudah-mudahan setelah itu ada yg tertarik untuk menerjemahkan ya. Trevor sendiri mengakui bahwa buku ini adalah surat cintanya untuk sang ibu. Wanita kuat yang cerdas berusaha melewati berbagai hambatan demi kehidupan yang lebih baik. Ibu yang berhasil membuka mata Trevor kepada kemungkinan-kemungkinan tak terbatas dan selalu mendukungnya tanpa lelah. Begitulah seorang ibu, bukan? 160

We Wish to Inform You That Tomorrow We Will Be Killed with Our Families • Judul buku: We Wish To Inform You That Tomorrow We Will Be Killed with Our Families: Stories From Rwanda • Pengarang: Philip Gourevitch • Tahun terbit: 1998 • Penerbit: Picador • Jumlah halaman: 356 Awalnya saya cuma penasaran dengan judul bukunya. Begitu tahu ini buku nonfiksi tentang genosida di Rwanda, jadi ciut. Terbayang topiknya berat dan banyak penggambaran sadis. But out of (morbid) curiousity, jadi juga pinjam buku ini. Lalu pas datang, ternyata bukunya tebal dan berbahasa Inggris. Reportase … genosida … bahasa Inggris … tebal. Makin ciut bacanya. Sudah terlanjur dipinjam, masa ga dibaca? Baca halaman pertama, dua, tiga, eh malah ga bisa berhenti. Rasanya ini buku reportase pertama yang benar-benar saya suka. Saya juga cukup sering baca nonfiksi seperti biografi, ekonomi, sejarah, dll. Namun, buku ini mengubah persepsi saya bahwa reportase = kaku dan membosankan. 161

Salut banget sama Philip Gourevitch atas kepiawaiannya menulis. Brutally honest, berusaha adil menyajikan berbagai sisi dengan sentuhan humanis yang kuat. Antara April-Juli 1994, sekitar 1 juta kaum Tutsi dibunuh oleh kaum Hutu. Angkanya masih menjadi perdebatan. Dipastikan kaum Tutsi berkurang drastis hanya dalam waktu 100 hari. Peristiwa ini terjadi secara sistematis dan terencana. Kaum Tutsi diburu kaum Hutu tanpa pandang bulu. Ya, diburu adalah kata yang tepat. Tak peduli keluarga, teman, atau tetangga. Sangat mengherankan bagaimana seseorang yang tadinya ramah dan baik hati tiba-tiba jadi pembunuh dalam sekejap. Setiap Tutsi, termasuk wanita, lansia, maupun anak-anak, dieksekusi dengan peluru atau golok. Mayat bertumpuk di mana-mana. Sungai menjadi lautan mayat. Jauh sebelum peristiwa berdarah tersebut, kebencian kaum Hutu terhadap Tutsi sudah mengakar. Praktik kolonialisme yang sengaja memfavoritkan suku Tutsi, Tutsi yang dominan peternak dibandingkan Hutu yang petani dan menimbukan kesenjangan ekonomi, interpretasi berat sebelah dari kisah Injil (Rwanda mayoritas Katolik), dan banyak faktor lainnya membuat stereotipe Tutsi semakin kuat. Jurang antara Hutu dan Tutsi juga diperparah dengan kondisi ekonomi, politik, dan sosial saat itu. Propaganda-propaganda kebencian juga tumbuh subur melalui radio dan koran. Semua faktor di atas menanamkan rasa benci mendalam pada setiap orang Hutu. Begitu mengakarnya kebencian tersebut, hingga pada saatnya tokoh-tokoh mereka menyuruh untuk membunuh seorang Tutsi, mereka bersedia. Bagi yang menolak membunuh atau berkolaborasi membantu Tutsi, akan dibunuh. Polaritas yang sangat mengerikan. Kill or be killed. Berbulan-bulan pembunuhan itu terus dilakukan di mana-mana. Bahkan gereja tidak aman. Para pastor malah dituduh mengumpulkan jemaatnya di gereja untuk dibantai. Tidak ada tempat aman. Mengharapkan bantuan internasional? Nihil. PBB tidak mau ikut campur dalam “urusan dalam negeri Rwanda”. Pada saat itu, peristiwa ini masih dianggap 162

sekadar konflik berdarah antarsuku, sesuatu yang jamak di Afrika. Padahal kenyataannya tidak. Tutsi tidak mampu melawan menghadapi Hutu yang berjumlah lebih banyak. Hutu bahkan dipersenjatai oleh pemerintah dan dibantu lewat radio untuk menyiarkan tempat- tempat persembunyian Tutsi. Rwanda hanyalah negara daratan Afrika yang miskin. Tidak ada yang menganggapnya penting. Perhatian internasional minim. PBB tidak mau bertindak tegas. Politik pascakolonial masih menghalangi. Kasarnya, orang-orang tidak peduli dengan Rwanda. Sepertinya itu jawaban paling pas dan menohok mengapa Rwanda dibiarkan menderita sendirian. Saya sendiri baru tahu kekejaman genosida Rwanda ini waktu menonton “Hotel Rwanda”. Rasanya tak terbayangkan ada kejadian seperti itu di abad sekarang. Suami membunuh istri, tetangga memburu tetangga, teman menjadi musuh. Kok bisa manusia berubah menjadi begitu kejam? Konflik sosial, perebutan kekuasaan, politik pascakolonialis, tekanan sosial, semua bercampur aduk menghasilkan pembantaian tercepat dan paling sistematis sejak Perang Dunia II. Di buku ini Gourevitch berusaha untuk menawarkan pandangan dari semua pihak, baik penyintas maupun penyerang. Tutsi, Hutu, pemerintah, PBB, negara tetangga, baik orang sipil maupun pejabat. Saya menikmati membaca wawancara-wawancara yang dilakukan Gourevitch. Apa adanya dan humanis. Buku ini memang cukup berat untuk dibaca mengingat topiknya yang kontroversial, tetapi menurut saya, ini penting untuk jadi pelajaran. Ada beberapa hal jadi catatan saya: ▪ Bahayanya group think atau sekelompok orang yang berpikiran sama. Ini sangat rentan menimbulkan sterotipe yang salah dan berulang 163

▪ Bahayanya ujaran kebencian. Kebebasan berbicara jelas penting dan perlu dijamin. Namun bagaimana kalau ujaran tersebut tidak dilandasi fakta dan hanya berisi hal negatif atau kabar bohong? ▪ Apakah harus menjadi negara kaya untuk mendapat perhatian internasional? Bayangkan hal yang sama terjadi di Eropa, akankah sama nasibnya? ▪ Memiliki prinsip dan hati nurani saja tidak cukup ketika dihadapkan dengan tekanan sosial (konformitas). Tenggelam dalam histeria massa untuk membunuh, seseorang cenderung kehilangan akal sehat. Akankah peristiwa ini terulang kembali? Semoga saja tidak. Cukup Yahudi dan Tutsi yang menjadi korban. Buku ini mampu menyajikan fakta-fakta seputar genosida secara menyeluruh dari berbagai sisi dengan bahasa yang menarik. Jelas ini tidak mudah. Gourevitch melakukannya untuk membuka mata dunia tentang kekejaman genosida. And for me, he sure open my eyes about Rwanda. 164

Perpustakaan Itu (Harusnya) Keren Sejak awal menikah, saya dan suami ingin punya perpustakaan pribadi di rumah, sekaligus untuk menularkan hobi baca kami kepada anak-anak. Alhamdulillah dua-duanya kesampaian. Waktu kecil, saya suka sekali ke perpustakaan. Rasanya surga melihat buku-buku berjejer rapi di rak-rak buku. Seakan para buku memanggil-manggilku untuk dibaca. Buku membuatku serasa menjelajah dunia, berpetualang ke negeri ajaib, dan melihat dunia dari kacamata yang berbeda. Perpustakaan kini mulai dilirik sebagai tempat asyik untuk mencari buku, berdiskusi, atau sekadar nongkrong. Sekarang saya melihat perpustakaan sudah semakin banyak, baik negeri maupun swasta. Pengelolaannya juga sudah semakin baik. Pencatatan buku sudah lebih rapi, koleksinya berkualitas, dan interiornya ditata dengan nyaman. Ada juga program-program literasi yang diselenggarakan oleh perpustakaan, seperti bedah 165

buku, talk show dengan pengarang, lomba mendongeng, lomba mengulas buku, lomba menulis, dsb. Kali ini saya mau membahas dua perpustakaan favorit saya. C2O Library Saya sebetulnya ga sengaja menemukan hidden gem ini. Kecewa dengan perpustakaan pemerintah (gara-gara hanya KTP Surabaya saja yang bisa menjadi anggota perpustakaan daerah maupun propinsi ), lalu saya mencari perpustakaan swasta. Ketemu C2O Library yang terletak di Jalan Dr Cipto 22, Surabaya. Tempatnya tidak terlalu besar, namun koleksinya keren-keren. Ada banyak buku berkualitas yang menarik perhatian saya. Mulai dari buku anak, novel, hingga buku nonfiksi. Total koleksi mencapai sekitar 7.000 buku, dan lebih menonjolkan genre sejarah, sosial, budaya dan sastra. Cocok dengan selera saya. Biayanya pun relatif murah. Biaya tahunan anggota sekitar 50 ribu, biaya peminjaman sebesar 6.000/buku untuk 21 hari. Selain perpustakaan, ada juga coworking space dan kafe kecil-kecilan. Perpustakaan ini sengaja didesain seperti rumah sendiri agar pengunjung nyaman membaca. Sejak 2 tahun lalu, saya rutin meminjam buku di sini. Di masa pandemi, layanannya dibatasi menjadi daring. Bagi yang ingin meminjam buku, bisa mengecek ketersediaan buku di c2o-library.net. Hubungi admin (bisa via WA), bayar biaya peminjaman, lalu ambil deh. Bisa lewat Gosend atau diambil sendiri. Nyaman dan mudah. 166

Meminjam buku milik perpustakaan juga membuat saya “dipaksa” untuk harus tuntas membaca 1 buku (minimal) dalam seminggu. Terkadang dengan buku milik sendiri, saya suka berhenti baca di tengah jalan karena banyak alasan. Namun karena buku perpustakaan tersebut harus dikembalikan dalam 3 minggu, saya jadi disiplin membaca. Tiap malam saya selalu sempatkan untuk membaca, meski hanya beberapa halaman. Cukup banyak buku-buku klasik yang sudah saya baca berkat C20 Library ini. Mulai dari Gabriel Garcia Marquez, Haruka Murakami, John Steinbeck, hingga sastrawan Indonesia seperti Ahmad Tohari dan Eka Kurniawan. Bahkan saya bisa membaca buku originalnya dalam bahasa Inggris. Saya memang lebih suka membaca buku dalam bahasa aslinya daripada buku terjemahan. Ini hal yang sulit ditemui di perpustakaan lain. Singkat kata, koleksi C20 yang cocok dengan selera saya membuat saya jatuh cinta dengan perpustakaan independen ini. Perpustakaan SD Al-Hikmah Surabaya Ini perpustakaan sekolah anak saya. Menurut saya, perpustakaan ini keren banget buat ukuran sekolah dasar. Koleksinya banyak dan bervariasi. Tentu sudah dipilih dan dikurasi agar sesuai dibaca anak-anak. Jadi saya tidak perlu khawatir dengan apa yang anak saya baca. Perpustakaan ini juga punya beberapa program seperti ulasan buku, penghargaan siswa peminjam buku terbanyak, lomba mendongeng, lomba menulis, membuat antologi, dll. Tiap siswa juga diwajibkan untuk meminjam buku setiap minggu. Anak saya sekali pinjam bisa sampai 1-2 buku tiap hari. Bayangkan dia bisa membaca 7 buku dalam seminggu. Sungguh menolong dompet saya. Hehehe. Mungkin tidak semua perpustakaan memiliki pustakawan yang mumpuni seperti di sekolah anak saya. Meski begitu, saya harap semua anak memiliki akses terhadap buku- buku berkualitas. Didukung dengan penataan ruang yang nyaman, pasti anak-anak jadi tergoda untuk memilih satu buku dan mulai membaca. 167

Perpustakaan bukan sekadar gudang buku, tapi adalah pusat informasi. Perpustakaan zaman now seharusnya tidak lagi terbatas pada buku fisik, tetapi juga memiliki koleksi buku digital, film, mikrofilm, dan media penyimpanan informasi lainnya. Kalau mau jujur, perpustakaan harusnya memegang peranan penting di Indonesia. Negara dengan minat baca rendah gara-gara dipaksa harus bisa baca tulis sejak kecil. Apalagi dengan harga buku yang kurang ramah di kantong, buku semakin terpinggirkan. Perpustakaan harusnya bisa menjadi sarana untuk mendekatkan masyarakat dengan buku dan semakin mencintai literasi. Semoga saja kelak ada semakin banyak perpustakaan independen berkualitas seperti C20 Library atau perpustakaan sekolah keren seperti SD Al Hikmah. Koleksi yang lengkap serta terkini, interiornya bikin orang betah untuk membaca atau berdiskusi, dan memiliki banyak program-program kerja bermutu. Begitulah seharusnya perpustakaan. Perpustakaan itu (harusnya) keren! 168


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook