Love in the Time of Cholera • Judul buku: Love in the Time of Cholera • Pengarang: Gabriel García Márquez • Tahun terbit: 1988 • Penerbit: Vintage International • Jumlah halaman: 434 Saya ingat suatu hari pas nonton Oprah, Oprah memuji-muji buku ini. “One of the best love story. Ever!” Kira-kira begitulah pujiannya. Karena Oprah yang ngomong, yang mana dia terkenal hobi baca, saya jadi tertarik pingin baca. Saya jadi kenalan dengan Gabriel García Márquez. Seting: Amerika Latin di awal abad ke-19. Ketika masih remaja, Florentino Ariza dan Fermina Daza sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta khas remaja pada zaman itu. Selama 2 tahun, hubungan mereka hanya sebatas tatapan, surat, telegram, atau kode. Lupakan ngobrol berdua kalau ga mau dipelototin orang-orang. Namun, ayah Fermina tidak menyukai hubungan itu. Florentino yang miskin dan tidak punya silsilah yang jelas dianggap menghalangi masa depan Fermina yang cerah. Dengan tegas, ayah Fermina meminta Florentino untuk mundur. Fermina lalu diungsikan ke kota lain untuk tinggal bersama sepupunya. 51
Ketika Fermina kembali lalu bertemu dengan Florentino, Fermina merasa heran akan pilihan hatinya. Fermina tidak simpatik dengan penampilan Florentino yang kumuh, kurus, dan terlihat penyakitan, Fermina menolak Florentino. Yah, namanya juga remaja. Masih cinta monyet. Fermina malah menerima pinangan laki-laki pilihan bapaknya, Juvenal Arbino. Dokter terkenal sekaligus tokoh masyarakat yang datang dari keluarga bangsawan. Penolakan Fermina berdampak besar kepada Florentino. Ia sempat jatuh sakit, lalu memutuskan untuk berlibur di kapal menyusuri sungai. Di kapal inilah ia belajar tentang jenis cinta yang lain: cinta fisikal alias seks. Ia memutuskan bahwa seks bisa menjadi obat kerinduannya terhadap Fermina. Dengan seks, ia bisa melupakan Fermina. Meski hanya sekejap. Sejak itu, Florentino menjalani banyak kisah cinta dengan ratusan perempuan. Semua dijalaninya setengah hati. Semua hanyalah hubungan fisik belaka, seperti kekasih gelap yang tidak ingin hubungannya diketahui publik. Hati Florentino tetap kembali kepada Fermina. Sampai akhirnya, setelah 51 tahun, 9 bulan, 4 hari, suami Fermina meninggal jatuh dari tangga. Akankah cinta mereka bersatu kembali? Apakah kali ini Fermina akan menerima Florentino? Membaca ini err… it’s not the best love story ever like Oprah said. Tapi ya, ini memang cerita tentang cinta. Cinta dengan segala kompleksitas dan liku-likunya. Obsesi. Cemburu. Nafsu. Spiritual. Platonik. Hampa. Patah hati. Semua yang berkaitan dengan cinta, ada di buku ini. Positif maupun negatif. Cinta yang membuatmu menulis berlembar-lembar surat cinta, cinta yang membuatmu terjaga semalaman, cinta yang serasa ingin terbang ke langit ketujuh. Namun cinta juga yang membuat ingin bunuh diri, cinta yang melelahkan karena hanya berjuang sendiri, cinta yang muncul karena kasihan. Apakah perasaan Florentino terhadap Fermina itu cinta, atau obsesi? Kalau cinta, kenapa dia berhubungan dengan begitu banyak perempuan? Apakah seks hanyalah hubungan badan, bukan cinta? Bagaimana dengan hubungan Fermina dengan suaminya? Apakah 52
hanya formalitas, didasari rasa kasihan, atau persahabatan antara 2 orang yang tinggal bersama? Hal yang paling menarik dari buku ini adalah caranya menyodorkan berbagai arti cinta. Tinggal bagaimana pembaca memilih definisi cinta sesuai selera pribadi. Jujur buat aku, buku ini enggak cocok dengan nilai-nilai pribadiku. Maklum ajalah, di dunia barat sana cinta dengan seks dianggap 2 hal yang berbeda. Selain masalah perbedaan nilai, ada satu yang kusuka dari buku ini. Tulisan Márquez tetap keren. Quote-able banget. Khas Márquez yang mengandalkan prosa. Kadang bisa membingungkan. Saking mengalirnya dia menulis, kita ga sadar sudut pandang tokoh sudah berubah. Alurnya juga maju mundur suka-suka. Tapi ya tetap aja menarik. Heran aku tuh. “The only regret I will have in dying is if it is not for love.” “It was a meditation on life, love, old age, death: ideas that had often fluttered around her head like nocturnal birds but dissolved into a trickle of feathers when she tried to catch hold of them.” “The problem in public life is learning to overcome terror; the problem in married life is learning to overcome boredom.” Apakah aku akan merekomendasikan buku ini? Mmm… ya. Dengan peringatan bahwa ini buku yang ditulis pengarang Barat. Nilai-nilai yang dianut juga berbeda. Meski aku baca ini suka meringis (karena ga sesuai dengan nilai yang kuanut), tapi secara keseluruhan novel ini indah, juga bisa jadi bahan diskusi menarik tentang cinta. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak orang memiliki definisi yang berbeda tentang cinta, dan kemampuan Márquez menceritakan cinta dari berbagai sisi boleh diacungi jempol. Dengan segala kontroversinya, buku ini memang menarik. 53
In Evil Hour • Judul buku: In Evil Hour • Pengarang: Gabriel García Márquez • Tahun terbit: 1982 • Penerbit: Picador • Jumlah halaman: 183 Another Gabriel García Márquez’s book. Buku ini adalah novel pertamanya sebelum One Hundred Years of Solitude. Pada intinya, buku ini bercerita tentang kehidupan para penduduk di sebuah kota kecil. Kota yang selalu didera udara panas. Meskipun jauh dari hiruk pikuk kota besar, penduduk kota fiktif ini tidak luput merasakan ketegangan seorang pemimpin diktator. Apalagi, walikota mereka juga awalnya memimpin dengan tangan besi. Melenyapkan siapa saja yang dianggap oposisi dengan segala cara. Ketenangan kota tersebut mulai terganggu dengan munculnya selebaran-selebaran misterius, yang ditempel di pintu-pintu rumah. Isinya sebenarnya tidak berbahaya, berupa rahasia umum tentang skandal para penduduknya. Namun, selebaran tersebut juga menimbulkan prasangka dan saling curiga di antara para penduduk. Siapa yang menulisnya? Apa tujuannya? Salah satu pihak yang merasa terganggu adalah Pak Walikota. Ia merasa nama baiknya tercoreng meski namanya sendiri tidak disebut-sebut dalam selebaran tersebut. Perlahan, ia mengambil tindakan yang semakin lama semakin tegas demi mengatasi 54
masalah ini. Ia menanyai banyak orang, hingga memberlakukan jam malam. Suasana pun semakin memanas. Semua orang sibuk bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Siapakah sebenarnya dalang di balik selebaran-selebaran tadi? Apakah ada unsur politik di dalamnya? Mengapa Walikota begitu kekeuh ingin menghentikan penyebarannya? Kalo ga salah, ini buku ke-4 GGM yang saya baca. Saya juga sudah membaca karya-karya terbaiknya seperti 100 Years of Solitude dan Love In The Time of Cholera. Jadi,saya tidak memasang harapan tinggi baca buku kali ini. Ada alasan mengapa 2 buku itu menjadi masterpiece. Tentu saja buku yang ini tidak bisa dibandingkan. Secara umum, In Evil Hour menurut saya … lumayan. Tidak jelek, tapi juga tidak luar biasa. Masih tetap banyak kata-kata indah di novel ini. GGM emang quote-able banget sih. Penggambaran kota yang semakin memanas juga cukup baik. Saya bisa merasakan tekanan dan ketegangannya. Meski begitu, terasa ada sesuatu yang hilang. Saya juga sulit menggambarkan apa tepatnya. Mungkin karakternya yang terlalu banyak dan riweuh ngikutin. Mungkin ceritanya yang kurang “nyatu”. Entah. Bagi penggemar GGM, silakan baca. Tetap khas GGM, ceritanya terasa familiar dan indah. Bagi yang belum pernah baca GGM, sepertinya lebih baik membaca karya-karya terbaiknya tadi di atas. Hingga kini, favorit saya masih tetap 100 Years of Solitude. Saya ingat dulu membacanya harus dua kali. Pertama untuk memahami plot cerita, kedua untuk meresapi realisme magis yang sangat lihai ia tulis. I just love it! Hal yang menjadi benang merah karya-karya GGM: meresapi apa rasanya menjadi rakyat Colombia. Negeri tropis indah, yang pernah mengalami kemelut politik. Indah, tapi tertekan. Panas, cuaca maupun politik. 55
No One Writes to the Colonel • Judul buku: No One Writes to the Colonel • Pengarang: Gabriel García Márquez • Tahun terbit: 1968 • Penerbit: Perennial Classics • Jumlah halaman: 170 Berbeda dari 2 novel Gabriel Garcia Márquez sebelumnya yang sudah saya baca, yang ini adalah kumpulan cerpen. Total ada 9 cerpen dalam buku ini: 1. No One Writes to the Colonel 2. Tuesday Siesta 3. One of These Days 4. There Are No Thieves in This Town 5. Balthazar’s Marvellous Afternoon 6. Montiel’s Widow 7. One Day After Saturday 8. Artificial Roses 9. Big Mama’s Funeral Hal penting yang perlu ditegaskan di awal: kalau mengharapkan seorang Gabriel García Márquez dengan realisme magisnya, silakan mencari buku lain. Bisa dibilang buku ini minim dengan keanehan-keanehan duniawi. Kisah-kisah yang diceritakan kebanyakan kisah sehari-hari, yang menggambarkan Colombia, negeri sang pengarang. 56
Colombia yang panas terik. Colombia yang pernah punya diktator. Colombia dimana kesenjangan ekonomi masih jelas terlihat. Memang kalau membaca buku-buku GGM, harus punya pengetahuan umum minimal tentang Colombia, agar paham konteks yang dimaksud. Meski begitu, sebenarnya cerita-ceritanya juga cerita negara-negara berkembang lain. Masih banyak korupsi, masih banyak penegakan hukum yang lemah, dan sebagainya. Dari sekian cerita, yang paling berkesan cuma 1, yang diambil jadi judul bukunya, “No One Writes to the Colonel“. Ga tau ya, mungkin karena saya tidak begitu paham konteks Colombia yang kental dibahas dalam cerita-ceritanya, jadinya cerita lain terasa datar saja. Tidak ada yang berkesan meskipun tetap ditulis dengan baik. Saya menangkap ada dark humour, sinis, dan ironi. “No One Writes to the Colonel” berkesan karena penokohannya yang kuat. Saya membayangkan veteran perang yang keras kepala, penyabar, idealis dan pemimpi. Sementara istrinya sosok yang realistis dan jujur. Interaksi antarkeduanya menarik karena cukup menggambarkan kedua lansia yang sama-sama keras kepala, tetapi tetap saling peduli. Pasangan tersebut memiliki 1 anak. Namun, anak tersebut meninggal beberapa tahun lalu. Sang anak lalu seperti terwakili oleh ayam peliharaannya. Karena itu, dalam keadaan sesusah apapun, berat bagi mereka untuk menjual ayam tersebut. Seakan-akan dengan kehilangan ayam jago itu, putus pula kenangan mereka dengan anak satu-satunya. Selain isu tentang anak/ayam, ada juga isu tentang pencairan dana pensiun yang tak kunjung tiba. “No one writes to the colonel” mengartikan kesepian di masa tua, sekaligus harapan kosong akan cek pensiun. Sudah bertahun-tahun permohonan dana pensiun diajukan, tapi tidak pernah sekalipun dana itu ia terima. Entah keselip di birokrasi atau keselip ke kantong birokrat. 57
Membaca kisah kolonel seperti membaca kisah orang tua pada umumnya. Antara berusaha untuk tetap optimis memandang masa depan, tapi didera realita pahit. Antara harapan, dengan kenyataan. Antara keinginan, dengan tuntutan. Bagi yang baru baca Gabriel García Márquez, monggo baca buku ini sebelum beranjak ke novel lainnya yang lebih kompleks. Cerita-cerita di buku ini cukup ringan, meski artinya dalam. Mungkin sebaiknya baca sekilas tentang Colombia dan sejarahnya, agar bisa memahami apa makna sebenarnya di balik suatu cerita. Overall, lumayanlah. Itung-itung prolog mengenal sang pengarang legendaris. 58
Portrait In Sepia • Judul buku: Portrait In Sepia • Pengarang: Isabel Allende • Tahun terbit: 2001 • Penerbit: Flamingo • Jumlah halaman: 304 A sound of a feminist. That’s my first impression after reading this novel. To my own surprise, I like it! Apparently, this is the 2nd of the trilogy. After Daughter of Fortune, before The House of the Spirits. It seems Ms. Allende herself didn’t plan to make it a trilogy. I guess it just happened that she like using the same characters for her stories. And so it became, a family saga. As you read Allende’s novel, you can feel that it’s a voice of a woman. No man can ever write like that. She can articulate a woman’s experience with so much richness and nuances you can’t help feeling familiar: “I remember when I was once feeling like that.” Describing the landscape and situation is one thing, but describing what you feel is a different thing. Powerful emotion, with powerful words. I love this part! The story? Well, not as strong as the characters. I like how she can portray different characters with such ease that we can imagine a character, alive, somewhere out there. Meet Paulina del Valle. A 59
strong matriarch who has an independent mind with strong convictions. With her knack of business, she build her own empire. Her granddaughter, Aurora, came to her life after the tragic death of her maternal grandfather, Tao Chi’en. Aurora is a shy, naive girl who loves photography. Paulina and Aurora are the central characters in which the stories happened. The stories took place mainly on 2 countries. San Francisco, America and Santiago, Chile. Paulina left her hometown so she can escape tight rules of her family and society. She found her freedom in America. The multiracial, melting pot San Francisco became a perfect spot for her to satiate her sense of adventure and grandeur. After the death of her husband, she came back to Chile with Aurora. While in Chile, the family became witness of a bloody Chile history. The war of the Pacific between Chile and Peru-Bolivia over nitrate mines. I think Allende must have done her research well because she wrote it so clearly and brutal. The part where Severo del Valle, nephew of Paulina, got amputated without any anaesthetic is described in details. Succinct, but horrifying. The casualty of war …. Latin America in the 19th century was a time when women was educated to be a wife, and that was it. They learn how to manage a household, how to obey her husband, and how to attract potential suitors. Women who earn a living? Women who got divorced? It’s unheard of in a society with Catholic conservatives. Paulina was definitely a women far modern for her time. Although Aurora grew up to be a shy, naive girl, she can still act independently thanks to her grandma’s education and money. I kinda like this novel better than The House of the Spirits. Maybe because I got to learn about Chile better. I learn about its people, its culture, its histories. And she wrote it beautifully. She made me want to go to Chile and experience that magical landscape and meet the people. Portrait in Sepia is a really interesting book, definitely. Recommended …. 60
The House of the Spirits • Judul: The House of the Spirits • Pengarang: Isabel Allende • Tahun terbit: 1982 • Penerbit: Dial Press • Jumlah halaman: 433 Waktu membaca Gabriel Garcia Marquez (GGM), salah satu nama penulis yang sering muncul adalah Isabel Allende. Sama-sama berasal dari Amerika Latin, sama-sama terkenal dengan realisme magis. Bedanya, GGM dari Colombia, Allende dari Chile. GGM laki-laki, Allende perempuan. The House of the Spirits dimulai dengan keluarga Severo del Valle. Rosa dan Clara adalah anak-anak perempuan Severo del Valle. Rosa yang cantik sudah bertunangan dengan Esteban Trueba, pemuda keturunan bangsawan yang sedang bekerja di tambang. Sebuah kecelakaan menewaskan Rosa. Rosa tewas oleh racun, yang sebenarnya ditujukan untuk ayahnya. Esteban lalu pulang patah hati dan memutuskan untuk bekerja di Tres Maria, sebuah hacienda (peternakan) keluarga di sebuah kota kecil. Hacienda milik Esteban maju pesat di bawah pimpinannya yang tegas, tapi pemarah. Ia memperlakukan para karyawannya dengan baik. Namun, ia menganggap mereka semua 61
bodoh dan pemalas. Esteban membenci paham komunis yang menganut persamaan kelas. Baginya, kesuksesannya datang dari hasil kerja kerasnya sendiri. Setelah ibunya meninggal, Esteban ingin menikah dan meneruskan nama keluarganya. Ia lalu mendatangi keluarga del Valle dan menemui Clara. Tanpa pikir panjang, Clara menyetujui pinangan Esteban. Mereka berdua lalu menikah dan tinggal bergiliran antara rumah besar mereka di kota dan Tres Maria. Kakak Esteban, Ferula, juga tinggal bersama mereka untuk membantu mengurus rumah tangga. Dari pernikahan tersebut, mereka memiliki 3 anak. Blanca, anak perempuan satu-satunya, dan kembar laki-laki Jaime dan Nicolas. Blanca menjalin hubungan dengan salah satu karyawan di Tres Maria bernama Pedro Garcia, anak dari supervisor kepercayaan Esteban. Esteban tidak menyukai Pedro karena Pedro sering berorasi tentang komunis. Ketika Esteban akhirnya mengetahui hubungan tersebut, ia sangat marah dan menghukum Pedro Garcia. Blanca pun tak luput dari pukulan Esteban. Kekerasan inilah yang membuat Clara semakin menjauh dari Esteban. Ceritanya teruuus berlanjut dengan berbagai lika-liku dan akhirnya mencapai puncaknya waktu pemerintahan sayap kiri dikudeta. Esteban yang bersayap kanan tidak berdaya menghadapi pihak militer yang menguasai kudeta. Cucu Esteban yang bernama Alba, putri dari Blanca dan Pedro Garcia, ditahan karena kedekatannya dengan Miguel, pacarnya yang aktivis komunis. Bagaimana keluarga Esteban menghadapi krisis demi krisis yang terus terjadi? Membaca buku ini mengingatkan saya pada GGM. Memang Allende terinspirasi dari GGM. Jadi ga heran. The House of the Spirits dan 100 Years of Solitude sama-sama membahas keluarga dalam beberapa generasi, sama-sama berlatar belakang pemerintahan di Amerika Latin (meski beda negara, sama-sama mengalami pergulatan politik yang tidak 62
jauh berbeda antara kapitalis vs komunis), dan sama-sama dibumbui dengan realisme magis. Saya menikmati membaca perkembangan politik Chile melalui perspektif para karakternya. Esteban Trueba, yang menjadi kaya berkat usahanya sendiri lalu terjun ke dunia politik. Anaknya, Jaime, yang menolak berpolitik dan memilih mengabdi sebagai dokter. Cucunya, Alba, yang terpengaruh pandangan politik pacarnya yang komunis. Perbedaan politik ini membawa permasalahannya sendiri dalam hubungan mereka satu sama lain. Masing-masing tetap ngotot dengan pandangannya, dan hanya menjalin hubungan seperlunya. Walaupun begitu, seiring berjalannya waktu, mereka semua berubah. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa keluarga adalah orang-orang terdekat yang kita ingin bahagiakan. Apapun perbedaannya, keluarga tetap keluarga. Salah satu yang menonjol dari buku ini adalah suara perempuan yang sangat kental sepanjang novel. Buku ini diceritakan dari perspektif beberapa karakter, yang terutama mengangkat sudut pandang perempuan. Bagaimana perempuan dipandang di masyarakat, bagaimana harus bersikap di depan umum, bagaimana perempuan menjalani perannya sebagai istri dan ibu, dll. Karakter-karakter perempuan di novel ini tidaklah sempurna. Mereka manusia yang juga memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Berbeda dengan GGM yang dibumbui magis di sana sini sepanjang bukunya, realisme magis dalam buku ini terbatas seputar Clara, yang sejak kecil sudah bisa telekinetis, membaca mimpi, meramal masa depan, dan berkomunikasi dengan dunia lain. Bagi kita orang Indonesia, hal-hal begitu kan bukan lagi sesuatu yang dianggap aneh. Biasa saja. Hehehe. Saya suka buku ini. Ceritanya panjang, tapi tidak membosankan. Karakternya banyak, tapi unik-unik. Ada keseimbangan yang pas antara magis dan tidak. Cerita politik di sini bukan hanya menjadi latar, tapi juga jadi motivasi para karakternya. Selain itu, suara perempuan juga terasa vokal. Keren. Overall, boleh lah dibaca. Recommended. 63
The Good Earth • Judul buku: The Good Earth • Penulis: Pearl S. Buck • Tahun: 1931 • Halaman: 356 Semalam akhirnya saya selesai membaca buku The Good Earth karangan Pearl S. Buck. Novel klasik yang memenangkan penghargaan Pulitzer pada tahun 1932 dan menjadi novel terlaris di tahun itu. Buku ini merupakan bagian pertama dari trilogi yang kemudian diikuti oleh Sons dan A House Divided. Pada intinya, buku ini menceritakan perjuangan Wang Lung membangun kekayaan dan dinastinya. Lahir dari keluarga petani yang miskin, Wang Lung tumbuh menjadi pemuda yang ulet, mandiri, dan cerdas. Meski jatuh berkali-kali ke dalam kemiskinan dan kemelaratan, Wang tidak menyerah dan terus gigih berjuang demi tanah dan keluarganya. Hidupnya sebagai petani membuat Wang mempunyai ikatan spesial dengan tanah miliknya. Ke manapun ia berada, ingatan tentang tanahnya membuat ia merasa damai dan 64
tenang. Karena di tanah itulah ia lahir dan tumbuh, sama seperti ayah dan kakeknya terdahulu. Meskipun ia sempat merantau, hatinya tetap berada pada tanah kelahirannya. Bagian yang paling menarik bagi saya adalah penggambaran buku ini tentang Cina. Saya jadi serasa nonton film Cina jaman dulu; lengkap dengan kaki-kaki kecil para gadis, penarik riksaw, rumah-rumah mewah dengan dekorasi khas Cina, dan sebagainya. Budaya Cina yang kental dengan penghormatan kepada leluhur juga tergambar jelas di sini. Meskipun malu dan kesal terhadap pamannya yang licik dan pemalas, Wang Lung tetap berusaha menghormatinya. Karena bagaimanapun, ia adalah saudara dari bapaknya. Selain kecintaan kepada tanah sebagai sumber penghidupan, keluarga juga merupakan tema sentral di novel ini. Wang Lung berusaha keras menafkahi keluarganya meski harus bekerja membanting tulang sebagai petani di desa dan penarik riksaw di kota. Istrinya juga memegang peranan penting dalam kesuksesan Wang Lung berkat kecakapannya bekerja. Wang Lung memiliki 6 anak, 1 diantaranya meninggal ketika baru dilahirkan. Anak-anaknya kelak bisa membaca dan bersekolah, lalu membentuk keluarganya sendiri meski masih tinggal di rumah yang sama. Jujur saja, saya tidak menyangka saya akan menyukai novel ini. Pearl S. Buck yang notabene penulis Amerika, menulis tentang Cina berdasarkan pengalamannya tinggal di sana sebagai anak dari misionaris. Kebayang akan terbaca banyak bias, apalagi di tahun 1930-an Cina belum terbuka seperti sekarang. Namun ternyata, buku ini cukup adil dalam menulis dan benar-benar berdasarkan pada observasi mendalam penulis tentang orang Cina dalam kesehariannya. Buku ini terbukti menjadi buku yang membuka tabir misteri Cina kepada Amerika. Alur penulisannya juga terasa pas. Tidak bertele-tele membahas ini itu, tapi juga cukup detil menangkap nuansa situasi saat itu. Saya suka penggambaran karakter-karakternya yang manusiawi. Tokoh-tokohnya terasa hidup dan nyata. Saya ikut merasa bahagia ketika 65
Wang Lung akhirnya bisa hidup makmur setelah perjuangannya yang luar biasa. Merasa kesal ketika Wang memutuskan untuk mengambil selir. Merasa sedih waktu O-Lan, istri Wang Lung, meninggal. Juga merasakan kegelisahan Wang di masa tuanya, menyaksikan perselisihan diantara anak-anaknya. Salah satu hal paling menyenangkan dari membaca buku adalah ketika kita merasa terserap ke dunia lain. Dunia yang sebenarnya hanya terdiri dari huruf-huruf, tapi mampu membuai angan dan pikiran. Ga salah novel ini memenangkan Pulitzer. Cobain deh, baca lalu rasakan berada di Cina dan berkenalan dengan Wang Lung. Menarik dan menyentuh. 66
Wang si Macan • Judul buku: Sons (Wang si Macan) • Pengarang: Pearl S. Buck • Tahun: 1932 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 606 Buku Sons ini merupakan buku kedua dari trilogi karangan Pearl S. Buck. Sebelumnya ada The Good Earth, setelahnya ada A House Divided. Buku pertama menceritakan perjuangan Wang Lung dari seorang petani miskin menjadi tuan tanah kaya raya, sedangkan di buku kedua menceritakan anak-anak Wang Lung yang sudah berkeluarga dengan problematikanya masing-masing. Ada banyak karakter di buku ini dengan sifatnya yang berbeda-beda. Wang Tuan Tanah, Putra pertama disebut penyewaan tanah para petani. Ia suka karena ia hanya hidup dari dan menjalani gaya yang juga dituruti warisan miliknya kepada Putra kedua, Wang memiliki sifat kikir berfoya-foya, hura-hura, kepandaiannya dimilikinya hidup mewah. Kebiasaan mempunyai banyak Wang si Macan, hampir seluruh keluarganya. dan akhirnya berhasil Pedagang, sebaliknya dan tamak. Berkat mengelola uang, tanah yg bertambah luas dan ia juga usaha lain. Putra ketiga, memilih menjadi serdadu menjadi jenderal di sebuah 67
daerah setelah mengalahkan penguasa di sana. Wataknya keras, pemarah, tegas, namun adil dan bijaksana. Sebenarnya saya agak pesimis membaca buku ini. Maklum, sekuel biasanya tidak sebagus buku pertamanya. Ternyata saya salah. Memang sih, ga sebagus yang The Good Earth, tapi ga jomplang juga kok. Katakanlah buku pertama nilainya 90, yang ini nilainya 75. Hal yang saya kagumi dari Pearl S. Buck adalah kemampuannya memperlihatkan ragam sifat manusia lewat tokoh-tokohnya. Pada pengarang lain, banyak karakter berpotensi membingungkan pembaca. Namun saya sama sekali tidak merasa kesulitan membedakan ketiga Wang dan keluarganya. Mungkin karena saya sudah membaca buku pertama, mungkin juga karena sifat mereka yang sangat berbeda. Bagi Buck, tokoh yang banyak justru menjadi kesempatan untuk menunjukkan berbagai macam wajah manusia. Ini menarik. Bukti bahwa beliau adalah pengamat yang jeli tentang manusia dan budaya Cina. Saya menikmati ‘melihat’ kehidupan Wang bersaudara sehari-hari. Mereka seolah hidup dan bisa saja, bertemu di jalan. Manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan, harapan dan kekecewaan. Tiap karakter merasa sudah berusaha maksimal dan memandang hanya jalannyalah yang terbaik. Manusiawi sekali, bukan? Satu hal lagi yang unik, adalah karma. Memang tidak dibahas secara jelas di bukunya, tapi Buck pasti paham betul tentang konsep ini. Contohnya adalah ketika Wang Lung yang sangat mencintai tanahnya, terheran-heran ketika anak bungsunya Wang si Macan bertekad ingin menjadi serdadu. Sementara Wang si Macan juga sama tercengangnya ketika anaknya (berarti cucu Wang Lung) justru menunjukkan ketertarikan menjadi petani. Nasib yang seolah berputar kembali menjadi tema yang cukup nyata tersirat. Jadi kebayang nanti di buku ketiga, akan ada plot tentang keluarga Wang yang kaya diserbu massa yang miskin kelaparan. Hal ini karena Wang Lung dulu juga pernah menjadi bagian dari massa tersebut, dan harta rampasannya menjadi modal penting bagi kekayaan Wang Lung. 68
Rasanya novel ini juga masih relevan dengan apa yang terjadi pada keluarga konglomerat alias para crazy rich. Nasib generasi kedua yang sejak kecil sudah dimanja dan mencicipi kemewahan. Berbeda dengan generasi pertama yang pekerja keras dan ulet, generasi kedua biasanya tidak setangguh generasi pertama karena tidak harus berjuang. Meski begitu, Buck tetap menawarkan alternatif kemungkinan lain seperti yang terjadi pada Wang si Macan. Dari ketiga anaknya, hanya Wang si Macan yang sepertinya mewarisi kebijaksanaan, kelembutan, dan kesederhanaan bapaknya. Mungkin yang agak mengganggu bagi saya yaitu buku ini cukup tebal, 600 halaman. Ada beberapa bagian cerita yang terasa lambat dan membosankan. Namun secara keseluruhan, buku ini tetap menarik. Sama seperti di buku pertama, Sons mampu membawa kita ke Cina di zaman itu. I love all the little details. Recommended! 69
Runtuhnya Dinasti Wang ▪ Judul buku: A House Divided (Runtuhnya Dinasti Wang) ▪ Pengarang: Pearl S. Buck ▪ Tahun terbit: 1932 ▪ Penerbit: Gramedia Pustaka Utama ▪ Jumlah halaman: 532 Akhirnya, bagian terakhir dari trilogi The Good Earth. Buku pertama, The Good Earth, bercerita tentang Wang Lung, pendiri dinasti Wang yang bekerja keras dari seorang petani miskin lalu sukses menjadi pemilik tanah yang kaya. Buku kedua, Sons, bercerita tentang anak-anak Wang Lung. Kisahnya terutama berfokus pada anak ketiganya yang dijuluki Wang si Macan. Wang si Macan berhasil menjadi penguasa dan panglima perang di sebuah daerah. Sementara kakak-kakaknya menjadi tuan tanah dan pedagang. Masing-masing anak memiliki kisah dan karakternya masing-masing. Buku ketiga ini, A House Divided, bercerita tentang cucu Wang Lung dari Wang si Macan yang bernama Wang Yuan. Ada juga sekilas diceritakan tentang cucu-cucu Wang Lung yang lain, berdasarkan interaksi Yuan dengan mereka. Sebagian besar buku ini adalah kisah Yuan yang merasa terombang-ambing di antara dua dunia. Ketika ia menginjak dewasa, Cina sedang mengalami revolusi. Para pemuda yang muak dengan kekuasaaan para panglima perang yang semena-mena menuntut terjadinya revolusi. Nilai-nilai modern dari Barat 70
mulai memengaruhi pemuda-pemudi Cina. Ini berarti Yuan harus memilih antara revolusi atau ayahnya. Dijodohkan atau menikah atas pilihan sendiri. Pergaulan yang serba bebas atau tata krama yang kental. Yuan tak bisa lepas sepenuhnya dari nilai-nilai tradisional. Ia tetap merasa terikat dengan ayahnya, meski ayahnya sudah berkali-kali mengecewakannya. Di sisi lain, ia juga tidak bisa sepenuhnya menerima nilai-nilai baru dari Barat yang dianggapnya terlalu bebas dan liar. Kebimbangan ini ia rasakan baik ketika ia di negeri sendiri, maupun ketika ia kabur merantau di negeri asing. Ia mengagumi Amerika dan orang-orangnya yang serba berkecukupan dan berpikiran maju. Meski begitu, ia selalu merindukan negaranya sendiri dan tidak cocok dengan Amerika yang terlalu liberal. Waktu merantau belajar di Amerika, Yuan juga mengenal dekat kehidupan orang-orang di sana. Ia banyak terlibat dengan sebuah keluarga yang ingin mengajaknya menganut Kristen. Mengetahui latar belakang Buck yang anak misionaris, saya jadi bertanya-tanya apakah Mary, anak keluarga tersebut, adalah suara hati Buck sendiri. Kurasa yang ingin disampaikan Pearl S. Buck adalah kebingungan generasi muda Cina pada saat itu. Konflik sosial yang terjadi, nilai-nilai yang berubah, dunia yang berbeda. Yuan mengalami dilema karena merasa tinggal di dua dunia. Ini berbeda dengan sepupu- sepupunya dari pihak Wang si Tuan Tanah yang menerima modernitas dengan tangan terbuka. Berbeda lagi dengan sepupu-sepupunya dari pihak Wang si Pedagang yang masih mempertahankan tanah warisan kakeknya dan nilai-nilai tradisional. Selain sepupu- sepupunya, Yuan juga dekat dengan keluarga tirinya. Ibu tiri yang bijaksana dan adik tirinya yang cantik. Baru di rumah merekalah Yuan merasa mendapatkan kehangatan keluarga yang selama ini diidam-idamkan. Berbeda dengan ayahnya yang tegas, Yuan seperti selalu punya sikap mendua dalam banyak hal. Ingin dekat dengan lawan jenis, tapi takut dikhianati dan dikecewakan. Ingin merengkuh modernitas, tapi sulit lepas dari nilai tradisional. Ingin mencintai sepenuhnya, 71
tapi tak bisa buta dari kejelekan-kejelekannya. Ingin membenci kaum borjuis, tapi tetap ingin merasakan kemewahan dan kenikmatan dunia. Ingin membenci kaum miskin, tapi tersentuh dengan penderitaan mereka. Yuan seakan selalu bimbang dan tak punya pendirian. Entah karena saya membaca buku ke-2 dan ke-3 ini terjemahan, atau karena memang begitulah biasanya sekuel, rasanya masih belum ada yang menandingi The Good Earth. Membaca buku tersebut membuat saya serasa menonton film Cina jadul dan karakternya terasa hidup. Buku-buku selanjutnya sebenarnya tidak jelek, tapi juga tidak luar biasa. Hanya saja, Yuan seperti selalu mengulang-ulang cerita yang sama. Terus berkubang di situ-situ saja. Bikin gemes, kok ga pinter-pinter sih? Ada 1 hal yang menarik. Prediksi saya sebelumnya tentang rumah besar keluarga Wang Lung akan dijarah ternyata benar. Para petani yang lelah dengan pajak tinggi Wang si Pedagang, dan para perampok yang ingin membalas dendam dengan Wang si Macan, bersatu menjarah keluarga Wang. Sejarah terulang kembali. Karma memang sepertinya menjadi salah satu tema utama bagi Buck. Dalam buku ketiga ini, Buck sebenarnya cukup berhasil menggambarkan suasana revolusi di Cina saat itu. Generasi transisi yang bingung memilih mana yang akan diikuti. Mungkin kalau masalahnya tidak melulu terulang, buku ini bisa lebih bagus. Secara keseluruhan, A House Divided lumayanlah …. Pergeseran nilai-nilai, konflik generasi tua dan muda, mencari jati diri … tema yang universal dan klasik. For me, it’s 65. Not bad, but not that good either. Layak dibaca kalau penasaran dengan nasib keturunannya Wang Lung. 72
Lelaki Tua dan Laut • Judul buku: Lelaki Tua dan Laut • Pengarang: Ernest Hemingway • Tahun terbit: 2016 • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia • Jumlah halaman: 102 Sudah lama ingin baca novela ini saking penasaran dengan nama besar Hemingway. Akhirnya baca jugaaa…. Kenapa dibilang novela? Karena novela itu lebih panjang dari cerpen, tetapi lebih pendek dari novel. Cerita Lelaki Tua dan Laut ini hanya berjumlah 102 halaman. Cukup singkat dan tidak bertele-tele. Buku ini bercerita tentang perjuangan seorang nelayan tua bernama Santiago. Sudah hampir 3 bulan, ia tidak membawa pulang ikan seekorpun. Apalagi tubuhnya sudah semakin lemah dan ia berlayar seorang diri. Hanya temannya, Manolin, yang percaya padanya. Manolin kecil pernah diajari memancing oleh Santiago. Sejak itu, persahabatan 73
mereka terus terjalin meski Manolin terpaksa pindah ke kapal lain karena tak kunjung mendapatkan ikan. Santiago tidak memedulikan omongan orang-orang yang menganggap dirinya lemah dan pembawa sial. Ia hanya peduli tentang ikan dan baseball. Suatu hari, setelah 84 hari paceklik ikan, ia memutuskan untuk berlayar jauh ke tengah laut. Sendirian di laut lepas, ia berhasil mendapat ikan. Mulanya hanya ikan kecil, lalu … jackpot! Ternyata ada ikan marlin besar yang memakan umpannya. Saking besarnya, ikan tersebut ikut menyeret perahu kecil Santiago bersamanya. Selama dua hari dua malam, Santiago berjuang untuk mempertahankan pancingnya. Seorang lelaki tua di tengah laut, tanpa perbekalan cukup, melawan seekor marlin. Akankah Santiago berhasil membawa marlin luar biasa tersebut pulang? Membaca kisah ini tidak bisa tidak, saya jadi beranggapan bahwa ini alegori yang luar biasa tentang perjuangan hidup. Satu-satunya yang Santiago punya melawan marlin yang besar dan tangguh adalah tekadnya yang baja. Santiago bertekad membawa ikan tersebut pulang. Demi Manolin, demi reputasinya, demi kecintaannya sebagai nelayan. Tanpa bekal, minim minum, di bawah terik matahari dan dinginnya angin, semua dijalaninya tanpa mengeluh. Dengan kecerdikannya, ia manfaatkan semua yang ia miliki. Awalnya saya membacanya dalam bahasa Indonesia hasil terjemahan Sapardi Djoko Damono. Lalu saya jadi penasaran dengan versi aslinya. Ternyata memang terjemahannya tidak mengecewakan, meski tentu yang asli terasa lebih kuat. Hanya saja, karena menggunakan banyak istilah nelayan dan memancing, saya mungkin tidak begitu bisa membayangkan andai tidak membaca terjemahannya dulu. Jadi ya, saya pikir keduanya saling mengisi. Tidak cukup dengan membacanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, saya lalu menonton filmnya. Ada dua yang saya tonton. Film animasi singkat dan miniseri yang dibintangi 74
Anthony Quinn. Dua-duanya kereeeen …. Film animasinya secara singkat mengangkat adegan-adegan kunci dari buku. Ditampilkan dengan visualisasi apik, film ini menang berbagai penghargaan. Sementara miniserinya menarik karena aktornya yang mumpuni. Anthony Quinn mampu memerankan nelayan tua berjuang sendirian berhari-hari tanpa bosan dilihat. Setiap detil tindakannya terasa natural dan menjiwai. Salut! Salah satu pencerahan yang saya dapati setelah membaca buku ini adalah tentang menjadi underdog, lawan yang diremehkan. Santiago hanyalah lelaki tua. Meski ia memang nelayan yang hebat, masa jayanya dianggap telah berlalu. Satu-satunya yang percaya kepadanya hanya anak muda sahabatnya. Terkadang, yang dibutuhkan hanya satu orang saja yang percaya bahwa kita bisa, dan itu cukup. Jelas buku ini recommended. Saya rasa setiap orang yang membacanya bisa menemukan insight yang berbeda. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. Ada berbagai sudut pandang yang bisa dibahas. Ini salah satu alasan mengapa saya suka membaca karya klasik. Sungguh menginspirasi. 75
Of Mice and Men Berawal dari membaca Breakfast At Tiffany’s, saya jadi tertarik membaca novella klasik Amerika lainnya: Of Mice and Men. Tanpa ekspektasi apa-apa, saya mulai membaca. Ternyata … I love it! Berbeda dengan Breakfast At Tiffany’s yang kental dengan budaya Barat nan glamor, Of Mice and Men lebih merakyat dan lebih universal. Perjuangan manusia untuk melawan nasib lewat persahabatan dan mimpi yang berakhir getir. George Milton dan Lennie Small sedang menuju sebuah pertanian dimana mereka akan bekerja. Meski bukan saudara, mereka tumbuh besar bersama dan selalu berkelana bareng. George yang cerdas sangat memperhatikan Lennie yang kekanak-kanakan. Meski Lennie sempat bermasalah pada kota sebelumnya, George tetap memaafkan dan menyayangi Lennie. Di pertanian tersebut, mereka bertemu dengan Candy yang tua dan buntung, Slim sang pemimpin pekerja, Crooks pekerja kulit hitam yang kesepian, Curley yang kejam dan pencemburu, dan istri Curley yang genit dan pemimpi. Konflik pun terjadi. Lennie yang polos tidak paham apa yang terjadi dan hanya menurut kepada George. Namun, suatu hari Lennie bertindak terlalu jauh. Apakah ia akan diampuni seperti sebelumnya? Bagaimana reaksi karakter-karakter lain? Novella ini terasa sangat manusiawi. Setiap tokoh punya masalah dan kelemahannya masing-masing. Setiap orang punya kelebihan dan mimpinya masing-masing. Buku ini juga menunjukkan bagaimana pahitnya dunia yang tidak berpihak kepada minoritas. Pada masa itu (buku ini terbit tahun 1937), dunia masih 76
tak ramah terhadap orang cacat, kelainan mental, lansia, warna kulit berbeda, juga perempuan. Mereka dianggap lemah, tak berguna, dan hanya membawa masalah. Akibatnya, para tokoh dalam buku karangan John Steinbeck ini merasa terisolasi, hampa, tak berdaya meratapi nasib. Kedatangan George Milton yang cerdas dan Lennie Small yang kuat namun kekanak- kanakan sempat membawa angin segar pada peternakan yang dikelola ayah Curly. Dua sahabat sejak kecil ini memang berangan-angan memiliki peternakan sendiri. Apa daya, angan-angan tersebut pupus akibat kesalahan fatal yang dilakukan Lennie. To tell you the truth, I almost cried after I finished it. Ending-nya ga terduga, tapi sebenarnya cukup realistis. Zaman itu tidak ada yang peduli dengan orang-orang pinggiran seperti Lennie dan George. Mereka pun sadar akan hal itu. Setiap hari, dengan tabah mereka berjuang sekuat tenaga untuk tetap bersabar dan menabung. Namun, manusia tetaplah makhluk yang lemah. Kesalahan telah terlanjur terjadi. Mimpi itupun hancur. Setelah baca, saya baru ngeh kalo buku klasik ini jadi salah satu buku wajib dibaca untuk tugas di Amerika sono karena dianggap mewakili “the American dream” dan perjuangan kelas pekerja. Tema yang sebenarnya universal dan klasik sepanjang masa. Saya jadi penasaran kalau kisahnya terjadi di masa kini. Apakah Lennie tetap berkelana bersama George? Akankah masyarakat lebih toleran dengan kesalahan fatal Lennie? Mungkinkah dunia akan lebih ramah dengan orang-orang ‘berbeda’ seperti Lennie, Candy, Crooks, atau istri Curly? 77
Grapes of Wrath • Judul: Grapes of Wrath • Pengarang: John Steinbeck • Tahun: 1939 • Penerbit: William Heinemann Ltd • Jumlah halaman: 553 Setelah membaca Of Mice And Men, jadi penasaran pengen baca buku lain dari John Steinbeck. Setelah berhari-hari, kelar juga baca Grapes of Wrath. Maklum, 553 halaman bahasa Inggris yang banyak menggunakan aksen Selatan kental (goin’, an’, ever’thing, dll). Mesti paham konteksnya dulu, baru bisa paham apa maksudnya. Jadi kudu ekstra bacanya. Grapes of Wrath menceritakan pengalaman tokoh utama dan keluarganya bertahan hidup akibat Dust Bowl. Dust Bowl adalah periode di mana angin debu berhembus selama musim kering pada tahun 1930-an di Amerika bagian selatan. Akibatnya, banyak petani mengalami gagal panen dan terpaksa merantau ke negara bagian lain. Namun, kehidupan di Timur ternyata tidak lebih baik. Akibat serbuan para pendatang, banyak pemilik lahan yang bertindak semena-mena. Muncul daerah- daerah kumuh, kesenjangan sosial, kemiskinan dan kriminalitas. Sejarah inilah yang menjadi latar belakang buku Grapes of Wrath. Tom Joad dikisahkan baru selesai menjalani hukuman penjara akibat tindakannya membela diri yang mengakibatkan lawannya terbunuh. Ketika pulang, ia mendapati 78
rumahnya sudah nyaris roboh dan lahannya terbengkalai. Ternyata gagal panen yang terus-menerus membuat keluarga tersebut tidak lagi punya pilihan selain berhutang ke bank, lalu bank menyita lahan tersebut. Keluarga Joad lalu berencana untuk pindah ke California. Di sana mereka berencana untuk bekerja memetik buah. Perjalanan panjang dimulai. Dua puluh ribu mil melewati gurun pasir dan pegunungan menggunakan mobil tua dengan 12 orang. Paman John. Kakek dan Nenek. Tom Joad Sr, Ma dan anak-anaknya: Noah, Tom Jr, Al, Rose of Sharon, Ruthie, Winfield. Juga ikut Connie, suami Rose of Sharon, dan Casy, mantan pendeta yang merupakan teman keluarga. Bisa bayangkan perjalanan berhari-hari di atas bak terbuka penuh barang dan penuh manusia? Belum jauh berjalan, tragedi mulai datang. Merasa tercabut dari tanah kelahirannya, Kakek tiba-tiba meninggal. Tidak lama setelah itu, Nenek juga meninggal akibat perjalanan yang sulit dan berduka kehilangan suami. Sesampainya di California, dunia ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Para pemilik lahan menggaji para imigran dengan sangat murah. Polisi tidak bersikap adil. Pekerjaan langka. Kemiskinan di mana-mana. Keluarga mulai terpecah. Connie meninggalkan Rose of Sharon yang sedang hamil. Casy masuk penjara demi menyelamatkan Tom Joad yang terlibat masalah dengan polisi. Noah pergi meninggalkan keluarga. Yang tersisa hanya Pa, Ma, Tom, Al, Rose, Ruthie, Winfield, dan Paman John. Bersama-sama mereka berusaha tegar di tengah kesusahan. Diusir, digaji rendah, diburu, namun tetap bertahan. Buku ini tebal, tapi layak dibaca. Bab-bab ganjil menceritakan plot utama cerita, sedangkan bab-bab genap lebih ke deskripsi panjang tentang latar belakang cerita. Penggambaran detil tentang lahan, karakter, dan situasi sekitar membuat pembaca bisa meresapi perjuangan keluarga Joad. Ada 1 bab yang sangat saya suka. Bab 14. Every single line is perfect. I like it! 79
Perjuangan kaum pekerja. Bisa dibilang itulah tema utama dari buku ini. Meskipun dihadapi dengan berbagai rintangan dan kesulitan, mereka tetap bertahan hidup. Buku ini juga mengkritik kapitalisme yang lebih mengutamakan keuntungan daripada kemanusiaan. Namun, Steinbeck juga banyak bercerita tentang kebaikan manusia. Meskipun miskin dan terpojok, Joad tetap berusaha menolong semampu mereka. Begitu juga mereka banyak ditolong oleh orang-orang di sepanjang perjalanan. Buku ini memenangkan penghargaan Pulitzer dan National Book Award. Ga heran. Sekeren itu bukunya. Deskripsi mendetil, karakter-karakter kuat, cerita yang menarik, dan banyak kutipan yang memorable. Asal mampu bertahan memahami aksen Selatan selama 500 halaman, this book is so worth it. Recommended! 80
Puing-Puing Kehidupan • Judul buku: The Remains of the Day (Puing-Puing Kehidupan) • Pengarang: Kazuo Ishiguro • Tahun terbit: 1989 • Penerbit: Mizan • Jumlah halaman: 336 Pertama kali tahu buku ini, waktu sedang cari tahu tentang pengarang-pengarang Jepang kontemporer. Salah satunya muncul nama Kazuo Ishiguro, dengan novel larisnya The Remains of the Day. Tertarik, saya mulai membaca. Awalnya, saya pikir buku ini akan membahas tentang Jepang. Ternyata tidak. Justru ia banyak menceritakan tentang Inggris. Rupanya Ishiguro memang tinggal di Inggris sejak kecil hingga sekarang. Pantas saja bisa terasa pas menjelaskan tentang segala macam Inggris. Perlu dicatat bahwa yang saya baca adalah buku terjemahan dari Mizan. Terjemahannya cukup bagus. Mengalir dan mudah dipahami. Saya jadi pingin baca buku aslinya dalam bahasa Inggris. Satu hal yang saya sukai dari buku ini adalah buku ini berlapis-lapis. Ibarat bawang bombay, pembaca harus sabar menelaah lapis demi lapis dari buku ini. Pertama kali 81
baca, saya tidak begitu terkesan. Plotnya lambat. Sepanjang buku hanyalah monolog dan pemikiran dari sudut pandang orang pertama, Mr Stevens. Poin awal: 7,5. Meski begitu, harus diakui, ada sesuatu yang menarik dan bikin penasaran. Saya jadi pingin tahu lebih dalam tentang konteks dan setting novel tersebut. The Remains of the Day bercerita tentang kisah hidup Mr Stevens, seorang kepala pelayan yang bekerja di Darlington Hall. Dulu di rumah megah tersebut, tinggallah Lord Darlington, seorang bangsawan Inggris. Pada masa pengabdian inilah Mr Stevens banyak bersinggungan dengan tokoh-tokoh Inggris terkenal dan terlibat secara tak langsung dalam kejadian-kejadian politik Inggris saat itu. Settingnya adalah Inggris diantara Perang Dunia I dan II. Ketika itu, Jerman dipaksa membayar hutang perang yang sangat memberatkan rakyat Jerman. Lord Darlington yang baik hati dan naif berusaha melobi pihak-pihak terkait untuk meringankan beban Jerman tersebut. Namun, usahanya sia-sia. Akhir hidupnya pun dijalani dengan menyedihkan akibat dituduh pengkhianat dan dekat dengan Nazi. Pada masa ini, Mr Stevens juga bekerja sama dengan pengurus rumah tangga yang bernama Miss Kenton. Walaupun hubungan mereka sangat profesional, tak ayal ada bumbu-bumbu cinta diantara mereka. Namun, Mr Stevens tidak mau menunjukkan emosi apapun demi kelancaran pekerjaannya. Menjadi kepala pelayan berarti harus selalu bersikap rasional dan tenang dalam semua situasi. Emosi itu tidak penting. Yang penting, rumah tertata rapi, acara berjalan lancar, tamu terpenuhi kebutuhannya. Tidak ada waktu untuk hubungan pribadi. Buku ini Inggris banget menurutku. Ada yang terkendali dalam segala sesuatunya. Karakternya, penggambaran alamnya, adatnya, gaya bicaranya. Setelah lebih paham tentang konteks dan settingnya, poin buku ini naik ke 8. Jadi paham kenapa ini serasa monolog panjang. Pembaca seakan diajak menyelami kehidupan dari mata kepala pelayan, yang notabene hanya jadi pengamat. Ketika Lord Darlington membuat keputusan- 82
keputusan yang menurutnya salah, ia hanya diam. Menganggap itu bukanlah urusan seorang kepala pelayan. Begitu juga ketika Mr Stevens merasakan Miss Kenton berbuat ‘yang tidak semestinya’, ia hanya akan mengingatkannya tentang tugas-tugas Miss Kenton di rumah itu. Bayangkan, saat seorang perempuan menangis, yang dilakukan justru menegurnya tentang pekerjaan. Namun sebenarnya, Mr Stevens hanya bingung. Tidak tahu harus berkata apa untuk menenangkan wanita. Saking kakunya. Antara kasihan dan nyebelin. Selesai baca novelnya, saya pikir kalau ini jadi film keren kali ya. Segala lapisan yang tersirat dari tulisan Ishiguro mungkin akan bisa lebih dinikmati melalui visual. Ternyata beneran sudah ada filmnya. Film jadul berjudul sama tahun 1993 yang dimainkan oleh Anthony Hopkins dan Emma Thompson. Film tersebut bahkan masuk nominasi Oscar, diantaranya untuk film terbaik, aktor terbaik, aktris terbaik, dan skenario adaptasi. Sejauh ini saya baru nonton cuplikan-cuplikan filmnya saja. Itu saja sudah wow! Akting Anthony Hopkins dan Emma Thompson keren banget. Jadi penasaran pingin liat filmnya utuh. Setelah melihat cuplikan filmnya, poin final berubah lagi: 8,5. Saya jadi makin paham lapisan terdalam dari buku ini. Tentang menjadi profesional sejati atau mengikuti kata hati. Tentang cukup menjadi pengamat atau bersikap aktif dalam kehidupan. Tentang konsekuensi dari pilihan-pilihan yang diambil. Mungkin tips membaca buku ini adalah cari waktu untuk bersantai. Nikmati buku ini sama seperti Mr Stevens plesiran ke desa. Tidak usah terburu-buru. Jangan harapkan buku ini untuk cepat selesai. Meskipun terkesan lambat, tapi percayalah buku ini indah apabila kita mau bersabar. Tunggulah Mr Stevens bercerita tentang hari-harinya. Resapi nilai-nilainya. Lihatlah kehidupan dari kacamatanya. In the end, I think you’ll be amazed by the layers of this book. So British. Elegant and classic. 83
Kisah-Kisah Imigran Jhumpa Lahiri Beberapa minggu terakhir saya membaca buku-buku karangan Jhumpa Lahiri. Seorang penulis wanita yang lahir di Inggris dari orang tua India, dan besar di Amerika. Karangan-karangannya banyak menceritakan tentang kehidupan imigran, khususnya imigran yang berasal dari Bengal, India. Imigran dalam cerita-ceritanya biasanya hidup di Amerika, Inggris, atau Italia. Awalnya saya tertarik membaca buku Jhumpa Lahiri setelah menonton film “The Namesake”. Film keluarga tersebut terasa menyentuh, personal dan hangat. Cerita yang disampaikan membumi tanpa jadi membosankan. Ternyata perpustakaan favorit saya juga punya koleksi buku Jhumpa Lahiri. Jadilah sejak itu saya mulai membacanya. Buku yang saya baca baru 3: The Namesake, Interpreter of Maladies (terjemahan) dan Unaccustomed Earth. Favorit saya sejauh ini adalah The Namesake. Mungkin karena saya juga perantau, jadi saya bisa merasakan apa yang tokoh-tokohnya rasakan. Menjalani kehidupan di tempat asing. Meskipun saya masih hidup di pulau yang sama dengan keluarga saya, tapi … semua rasa rindu atau kehilangan itu sepertinya sama bagi semua perantau. Ada sesuatu yang hilang tidak bisa dijelaskan ketika pertama kali merantau. Mulai dari sesederhana rindu masakan rumah, kebiasaan yang (terpaksa) berubah, hingga rasa kangen yang luar biasa. Homesick. Rasa homesick sekaligus excited ini yang lihai diceritakan Jhumpa Lahiri. Proses adaptasi yang tidak selalu mulus, tapi harus tetap dijalani. Sesulit apapun itu. Seperti ada kredo 84
diantara para perantau, “Pantang pulang sebelum jadi orang.” Biasanya, para tokohnya diceritakan mampu sukses di perantauan hingga akhirnya beranak-pinak di tanah rantau. Selain generasi pertama imigran, Jhumpa Lahiri juga banyak menceritakan kehidupan generasi kedua dan ketiga. Generasi yang lahir di rantau, tapi merasa tetap terikat dengan asal-muasal orang tuanya berkat tradisi dan kebiasaan orang tuanya. Generasi yang merasa galau dengan kedua sisi hidupnya yang berbeda. Terlahir dari orang tua India, masih menjalani tradisi India, namun hanya mengunjungi India di waktu liburan dan tidak merasa sebagai orang India. Di sisi lain, tanah rantau juga belum tentu merangkul generasi kedua ini. Karena warna kulitnya yang berbeda, aksennya yang unik, atau kebiasaan yang dianggap aneh, para anak imigran ini sering merasa kesulitan beradaptasi di sekolah. Sebenarnya hal-hal yang diceritakan dalam buku-bukunya adalah kisah sehari-hari. Tentang percintaan, perjuangan, kesuksesan, rumah tangga, orang tua dan anak, dsb, tapi Lahiri pintar merangkainya dalam kata-kata puitis tanpa berlebihan. Sederhana, tapi menyentuh. Emosional, tapi tidak cengeng. Singkat kata: indah. The Namesake dan Unaccustomed Earth yang saya baca adalah versi aslinya yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sementara Interpreter of Maladies sayangnya hanya ada dalam bahasa Indonesia. Meskipun Interpreter of Maladies mendapatkan penghargaan Pulitzer, justru buku ini yang terasa agak membosankan. Ini salah satu alasan kenapa saya sebisa mungkin menghindari novel terjemahan. Menerjemahkan novel adalah suatu pekerjaan yang sulit, khususnya mendapatkan feel yang sama seperti aslinya. Kapan-kapan semoga saya bisa baca 85
buku Interpreter of Maladies yang dalam bahasa inggris. Secara keseluruhan, saya cukup menyukai karya-karyanya. Indah dan menyentuh. Recommended. Menjadi perantau, baik karena pilihan sekolah/karir atau menikah (seperti saya) berarti siap menjalani hidup yang berbeda. Proses adaptasi terus-menerus yang juga dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Begitulah manusia, bukan? Berjalan tanpa henti, mencari sesuatu yang lebih baik dan lebih bermakna. 86
Jarak di Antara Kita • Judul buku: The Space Between Us (Jarak di Antara Kita) • Pengarang: Thrity Umrigar • Tahun terbit: 2007 • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Jumlah halaman: 430 Ini dia pengarang India lainnya yang direkomendasikan selain Jhumpa Lahiri. Kalau Jhumpa Lahiri banyak bercerita tentang imigran, Umrigar dalam buku ini bercerita tentang India. Khususnya di kota Bombay. Kota yang penuh dengan kontradiksi. Orang-orang kaya yang glamor hidup berdampingan dengan orang-orang miskin yang merana. Bombay adalah potret perbedaan kelas yang sangat mencolok. Perbedaan kelas inilah yang menjadi tema dalam buku The Space Between Us. Bhima adalah seorang pembantu rumah tangga di kediaman Sera Dubash. Kehidupan kedua wanita ini memiliki banyak kemiripan meski berbeda kasta dan kedudukan. Keduanya sama-sama telah dikecewakan oleh hidup. Oleh suami, oleh keluarga, oleh nasib. Bhima dulu memiliki keluarga yang bahagia dengan suami dan kedua anaknya. Namun, hidup mereka berubah ketika suaminya mengalami kecelakaan kerja. Memanfaatkan 87
kebodohan dan kenaifan Bhima, perusahaannya hanya memberikan kompensasi sangat kecil. Terluka baik fisik maupun emosional, suami Bhima pergi meninggalkan Bhima serta membawa anak lelaki mereka. Sejak itu, Bhima membesarkan anak perempuannya sendirian. Lalu ketika anak perempuan dan menantunya meninggal, ia terpaksa harus bekerja membanting tulang demi cucu perempuan satu-satunya yang bernama Maya. Di usia yang sudah tidak lagi muda. Sementara itu, kisah hidup Sera juga tidak kalah tragis. Sera terjebak dalam KDRT oleh suami dan ibu mertuanya. Sera yang membanggakan diri sebagai wanita independen dan modern, ternyata tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi suami dan mertuanya. Sera yang babak belur sering dirawat oleh Bhima. Berdua mereka menjadi teman senasib. Namun, hubungan antara Sera dan Bhima mulai terusik ketika Maya hamil. Maya menolak memberitahu siapa ayahnya, dan ini menjengkelkan banyak pihak. Ada plot twist di ujung cerita yang mengejutkan. Siapa pelakunya? Mengapa Maya menyembunyikannya? Membaca buku ini membuat saya tersentuh. Di India, miskin bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga kasta dan kedudukan. Kastalah yang membuat Sera enggan memperlakukan Bhima dengan setara. Fakta bahwa Bhima terpaksa tinggal di daerah yang sangat kumuh membuat Sera jijik. Padahal, hanya di situlah rumah yang Bhima mampu sewa. Orang miskin dan bodoh seringkali diperdaya. Ini terjadi di seluruh dunia. Kejam, tapi begitulah yang terjadi. Bhima yang lelah dengan nasibnya toh tidak bisa berbuat banyak tanpa bantuan Sera. Tidak bisa baca, tidak punya keahlian, Bhima terjebak dalam putaran nasib yang tragis. Maya yang diharapkan bisa memiliki masa depan lebih cerah, ternyata terancam mengulangi nasib serupa karena hamil di luar nikah. 88
The Space Between Us seolah ingin menegaskan jarak yang ada antara si kaya dan si miskin. Si kaya yang berpendidikan dan berkuasa vs si miskin yang bodoh dan tidak punya apa-apa. Meski sama-sama didera nasib buruk, masa depan Sera dan Bhima jelas berbeda. Saya suka cara Umrigar menceritakan para karakternya. Ada kedalaman emosi di sana. Saya juga bisa membayangkan Bombay yang riuh dan ramai. Penuh dengan berbagai macam manusia. Penuh dengan kontradiksi. Saya jadi membandingkan dengan Jakarta. Tanpa kasta, situasinya tidak jauh berbeda. Orang kaya yang punya privilese memanfaatkan rakyat kecil yang tak berdosa. Kejam dan menyedihkan, tapi terkadang hidup memang tak adil. Namun kita tetap harus berjalan. Sama seperti Bhima yang tak putus asa. Meski dunianya hancur, Bhima tetap berusaha tegar dan menjalani hidup hari demi hari. Buku ini terutama juga berkisah tentang perempuan. Tentang ibu. Tentang istri. Tentang anak. Perempuan yang seringkali diremehkan dan ditindas, namun perempuan juga yang tegar dan kuat. Hidup boleh saja datang dengan gelombang penderitaan yang bertubi-tubi, tapi perempuan … akan tetap berdiri tegak. Girl power! 89
Manga Seru Versi Saya Cells At Work Baca manga? Ga ingat umur? Sudah lama sih, rasanya ga baca manga. Manga terakhir yang saya baca adalah Cells At Work beberapa tahun yang lalu. Cells At Work menarik karena membahas biologi dalam cara yang unik. Tiap sel dalam tubuh digambarkan sebagai individu yang berperan penting demi kesehatan fisik seseorang. Sel darah putih adalah tentara yang bertugas membasmi kuman-kuman yang masuk. Trombosit adalah anak-anak yang bertugas membangun kembali jaringan yang rusak. Sel darah merah adalah kurir yang mengantarkan paket ke seluruh bagian tubuh, dan seterusnya. Sangat seru membayangkan bahwa memang begitulah yang terjadi di dalam tubuh kita sendiri. Ada banyak peperangan kecil terjadi antara sel darah putih dan kuman. Ada banyak kurir yang beredar di seluruh tubuh. Ada komandan yang mengawasi keseluruhan operasi di otak. Ada lagi sel-sel yang bermutasi menjadi kanker. Meski jelas manga atau animenya melebih-lebihkan, tapi pada intinya memang begitulah proses yang terjadi setiap saat di dalam tubuh tanpa kita sadari. Sudah umur segini baca manga atau nonton anime itu rasanya agak aneh ya. Padahal sekarang manga maupun anime tidak terbatas hanya untuk anak-anak. Justru ada manga/anime yang dikhususkan untuk dewasa. Sejak dulu pun genre ini ada. 90
Waktu saya remaja, salah satu komik favorit saya yang sebenarnya diperuntukkan untuk dewasa (iya, saya bacanya diam-diam punya kakak saya) adalah City Hunter. Materinya seputar kekerasan dan seks. Maklum, tokoh utamanya bekerja sebagai detektif bayaran yang banyak terlibat dengan perempuan-perempuan cantik. Karena saya bacanya waktu SMP, saya ga sepenuhnya paham baca City Hunter (terutama yang menyerempet- nyerempet ke seks). Tapi ya seru dan lucu aja melihat tingkah laku para tokohnya. Di zaman itu, dibandingkan dengan zaman sekarang, adegan-adegannya masih wajar menurutku. Ga ada kekerasan yang brutal atau seks yang eksplisit. Tidak seperti sekarang berkat internet yang ga jelas sensornya. Spy x Family Nah, baru tadi saya baca lagi manga yang agak-agak mirip. Spy x Family. Tokoh utamanya adalah Loid/Twilight, mata-mata yang berusaha mencari informasi krusial untuk mencegah perang. Namun, dia tidak bisa bekerja sendiri. Demi kesuksesan misinya, ia terpaksa merekrut seorang anak dan istri untuk berperan sebagai sebuah keluarga bahagia. Lucunya, Anya, anak yang dipilihnya, ternyata bisa membaca pikiran orang lain. Sedangkan Yor, “istri”nya, adalah pembunuh bayaran. Si anak menginginkan kehangatan keluarga, dan si istri butuh kedok supaya kerjaannya lancar. Tiap pihak diam- diam punya kepentingannya masing-masing. Akibatnya, mereka berusaha merahasiakan 91
kemampuan masing-masing sambil tetap menjalankan perannya dalam keluarga. Selain itu, ada lagi tokoh-tokoh lainnya yang juga punya rahasia dan kepentingan sendiri-sendiri. Genre Spy x Family ini gabungan antara triller, komedi, dan drama keluarga. Seru waktu melihat para orangtua berusaha menuntaskan misi masing-masing. Haru waktu melihat mereka sebenarnya saling peduli satu sama lain, persis keluarga beneran. Premis manga ini unik: mata-mata, pembunuh bayaran, pembaca pikiran, bersatu padu menjadi keluarga yang beda dari yang lain. Adegan-adegan favorit saya adalah yang melibatkan Anya, sang anak. Dengan kepolosannya, ia tidak menganggap bapak ibunya aneh. Padahal ia sebenarnya justru yang paling tahu apa yang sedang terjadi, tapi ia menganggap semuanya bagaikan petualangan yang super seru. Timbul banyak kelucuan karena cara Anya memandang dunia berbeda dengan anak-anak lainnya. Dari mana kok tahu manga macam Cells At Work dan Spy x Family? Dari anak gadis saya lah. Hehehe …. Dia yang paling gercep urusan beginian. Saya juga jadi tertarik pas liat. “Eh kok idenya unik. Lucu pulak.” Ga semua manga yang anak suka, saya tonton. Sejauh ini, baru 2 manga diatas yang saya suka. Idenya unik dan eksekusinya lucu. Udah umur segini ya kali masih baca yang serupa ‘serial cantik’ atau ‘superhero’. Cari yang ringan-ringan saja dan lucu. Syukur-syukur kalau juga bisa sambil belajar satu atau dua hal. Untuk Cells At Work, dikabarkan manganya sudah tamat di Jepang sana. Sementara Spy x Family masih berlanjut sampai sekarang, baik manga maupun animenya. Jadi ga sabar pengen baca dan nonton lagi. Serasa nostalgia zaman kecil suka ga sabar nunggu komik terbitan berikutnya. A Man & His Cat I just love comic about cats! They are usually funny, light, sometimes cat- astrophic. Hahaha. Kali ini rekomendasi dari nakdisku lagi. Judulnya: A Man & His Cat. 92
Cukup straightforward yah, judulnya. Langsung bisa kebayang kan, kayak apa ceritanya. Laki-laki kesepian lalu kembali ‘hidup’ berkat kucing? Yup. Kisah yang rasanya banyak terjadi di dunia, apalagi di zaman now. Internet memang membuat komunikasi lebih mudah, tetapi media sosial justru membuat keterikatan alias intimacy itu semakin rapuh. Iya, kalau kangen bisa kapan aja telepon atau video. Ga perlu menunggu malam-malam demi pulsa murah. Namun di sisi lain, media sosial membuat kita mudah sekali membandingkan diri sendiri dengan orang lain, sehingga tuntutan untuk sempurna semakin kuat. Padahal, salah satu persyaratan untuk menjalin hubungan yang tulus adalah bisa menampilkan diri apa adanya tanpa filter berlebihan. Akibatnya, generasi sekarang lebih sulit membentuk hubungan yang dalam dengan seseorang. Meski begitu, orang biasanya akan lebih lepas berinteraksi dengan hewan peliharaan. Tidak ada jaim-jaim, tidak ada topeng, tidak ada asumsi ini-itu. Hewan peliharaan tidak akan protes dan menjauh bila kita tidak sempurna. Tidak akan kecewa kalau kita salah. Mereka merasakan kasih sayang kita, dan berusaha membalasnya. Pada intinya, komik ini juga tidak jauh berbeda. Seorang laki-laki tua bernama Kanda baru saja ditinggal istri tercinta selama-lamanya. Kesepian hanya tinggal sendirian, ia memutuskan untuk memelihara kucing. Kucing yang dipilihnya bernama Fukumaru, kucing dewasa exotic short hair yang tidak manis atau menarik. Badannya gempal dan ada 93
tompelnya. Walaupun begitu, Kanda sudah keburu jatuh sayang. Mulailah petualangan Kanda memelihara kucing untuk pertama kali dalam hidupnya. Sepanjang cerita, perlahan Kanda mulai menikmati hal-hal kecil yang timbul berkat Fukumaru. Semua pemilik kucing pasti bisa relate bagaimana kamera gawai mulai penuh dengan kucing peliharaan dalam berbagai pose. Mulai tertarik dengan semua barang perkucingan. Setengah mati berusaha memahami tingkah laku kucing yang suka ajaib. Sejak mengenal Fukumaru, Kanda belajar untuk lebih membuka hati. Membuka diri dengan teman baru dan kesukaan baru. Ceritanya sebenarnya tidak istimewa. Mungkin standar. Cara penyampaiannya … cara komik ini menggambarkan interaksi kucing dan majikannya … ini yang bikin tersentuh. Terasa tulus dan apa adanya. Saya tadinya berpikir komik ini tidak jauh berbeda dengan komik jadul, Si Cerdik Michael. Komik konyol tentang kelakuan para kucing dan manusia. Lucu banget meskipun suka lebay. Ternyata A Man & His Cat ini mengambil rute berbeda. Tetap ada konyolnya sih (it’s cats. Off course), tapi porsi dramanya juga kuat. Mungkin hanya pemilik kucing yang bisa relate dengan Kanda. Kesenangan kecil dari si pus yang datang kalau dipanggil, kesal kalau dia cakar-cakar sofa tapi ga bisa marah liat mukanya yang polos, khawatir kalo pergi lama-lama, ah pokoknya bukunya menggambarkan banget suka duka semua pemilik kucing. Bagi semua pecinta kucing di luar sana, baca deh. Pasti tertawa terbahak-bahak sekaligus bikin hangat di dada. Ga heran komik ini juga populer dan menjadi salah satu komik terbaik di Jepang pada tahun 2018. Bahkan sudah ada versi live action (Fukumaru diperankan oleh puppet). Sebenarnya udah kebayang juga ceritanya bakal bergulir ke mana. Semua pecinta kucing pasti sudah punya tebakannya masing-masing. Namun tetap aja penasaran pengen baca terus tingkah laku Fukumaru selanjutnya. 94
Selain masalah perkucingan, buku ini juga membahas tentang musik, Kanda yang pianis handal dan teman-temannya sesama pemusik. Musik menjadi ajang pembuktian mereka, bersaing sekaligus berkolaborasi. Sama seperti hewan peliharaan, musik juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan mendekatkan orang. Hewan peliharaan itu memang bukan hanya hewan, tapi juga termasuk anggota keluarga. Sesama makhluk Tuhan yang merasakan kasih sayang kita pemiliknya. Baca buku ini bikin pengen gemes peluk-peluk kucing sendiri. Bikin uwuw deh … Sayangnya, kucingnya ga mau lama-lama dipeluk. Hiks! 95
Home Sweet Loan • Judul buku: Home Sweet Loan • Pengarang: Almira Bastari • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tumben kali ini saya baca genre Metropop (ini genre bukan, sih?). Alasannya konyol. Karena nama pengarangnya sama dengan nama anakku. Hehehe …. Tapi ya sesekali bolehlah baca yang ringan- ringan. Enaknya baca yang ringan itu biasanya 1-2 hari kelar. Ga pake mikir, ga pake lama. Ternyata buku ini lumayan. Ringan, renyah, tapi cukup memancing diskusi. Bagi saya, novel ini mirip kasus-kasus yang suka dibahas akun finansial Jouska dulu. Iya, ini buku yang sarat dengan nasihat finansial. Terutama yang berkaitan dengan aset. Kadang agak jelimet pembahasannya buat orang yang buta ekonomi kayak saya. Secara keseluruhan, penyampaiannya masih oke. Cukup bisa dimengerti. Buku ini bercerita tentang Kaluna, perempuan muda yang masih berusaha meniti karir sambil pacaran, bergaul, dan menyenangkan keluarga. Perempuan kebanyakan di Jakarta lah. Mbak-mbak kantoran yang berusaha survive di tengah-tengah kemacetan Jakarta trus pulang menghadapi drama keluarga ga habis-habis. Kaluna memiliki 3 orang teman dekat sejak SMA. Danan yang ganteng, kaya, dan supel. Tipikal pengusaha muda dengan karir cemerlang dan hobi hura-hura. Tanisha, ibu 1 anak yang menjalani LDM (Long Distance Marriage) sambil bekerja. Tipikal ibu-ibu pekerja yang 96
mesti jungkir balik mengurus rumah dan karir. Miya, perempuan single yang bercita-cita jadi influencer terkenal. Keempat sahabat ini memiliki masalahnya masing-masing. Kaluna yang dikejar-kejar untuk menikah karena mau berusia 30 tahun. Danan yang tidak punya tabungan masa depan. Tanisha yang riweuh dengan anak, karir, dan mertua. Miya yang ingin tampil glamor tapi keuangan terbatas. Namun, mereka semua memiliki masalah yang sama: cari rumah. Di sinilah terasa pengalaman Almira sebagai penasihat finansial. Caranya menjelaskan tentang aset dan tabungan persis seperti konsultan keuangan di bank (bayangan saya sih ya.. soalnya belum pernah juga ). Tidak salah, nasihat-nasihatnya memang oke, cuma saya ingin ada penjabaran yang lebih membumi dan menarik untuk orang awam macam saya. Akhirnya, ketika membahas detil tentang tabungan atau aset, saya suka skip aja. Ga ngerti. Selain dari masalah itu, novel ini rasanya cukup menohok bagi kawula muda Jakarta. Kaluna dan teman-temannya mewakili banyak orang di Jakarta yang memiliki masalah yang sama. Cari rumah susahnya minta ampun. Karir mentok, uang pas-pasan, masalah ada saja ga berhenti. Meski begitu, saya apresiasi bahwa Almira juga berusaha memberikan harapan bahwa semua masalah ada jalan keluarnya. Kelak akan muncul solusi pada saat yang tepat. Jujur ya, membaca buku ini membuat saya ingat kenapa dulu saya ngebet pingin keluar dari Jakarta. Jakarta sungguh tidak ramah buat manusia. Kecuali ada keluarga atau ingin mengejar uang/karir, Jakarta ga layak huni menurutku. Macetnya ga manusiawi, polusinya bikin sesak napas, orang-orangnya borju, gaya hidup glamor, ah pokoknya makasih deh. Saya sudah pernah mencicipinya, and no thank you. I won’t do it again. Salah satu hal menarik dari buku ini adalah kata-katanya Almira yang catchy, relate-able, tapi menohok. Lucu dan miris sekaligus. Saya ga banyak baca buku metropop sih, tapi menurut saya ini layak baca. Padat dengan nasihat finansial, manusiawi, dan ringan. Recommended. 97
Sirkus Pohon • Judul buku: Sirkus Pohon • Pengarang: Andrea Hirata • Penerbit: Bentang • Tahun terbit: 2017 • Jumlah halaman: 383 Mari bertemu Tara, Tegar, dan Hob di Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Kupikir akan menemukan gaya yang sama dengan tetralogi Laskar Pelangi. Ternyata tidak. Suprisingly, ceritanya cukup menarik dengan plot yang tidak linear dan diceritakan dari sudut pandang tiga tokoh. Hob alias Sobri. Pemuda naif yang pengangguran gara- gara salah pergaulan. Sulit mencari pekerjaan karena satu persyaratan penting yang tidak dimilikinya: lulusan SMA atau sederajat. Suatu hari ia bertemu dengan pujaan hatinya, Dinda si penyuka delima. Dindalah yang mendorong Hob untuk semangat mencari pekerjaan tetap, hingga akhirnya ia mendapatkan pekerjaan yang serasa 98
menjadi panggilan jiwanya. Menjadi badut di sirkus keliling. Tegar. Pemuda gagah atletis yang sigap memikul tanggung jawab ketika orang tuanya bercerai. Pontang-panting mengurus ibu dan adik, bersekolah, sekaligus mencari nafkah. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, Tegar berusaha tegar menjalani hidup. Hiburannya, diam-diam mencari seorang gadis yang telah mencuri hatinya di lapangan pengadilan agama. Tara. Gadis cantik berbakat seni yang mengelola sirkus bersama ibunya. Ia pandai melukis, di kanvas maupun face painting. Terobsesi mencari seorang lelaki yang telah membuatnya tersipu di lapangan pengadilan agama. Ketiga tokoh ini bercerita tentang kisahnya masing-masing. Mereka lalu dipertemukan dalam sirkus. Tara yang mengelola sirkus, Hob menjadi badut, dan Tegar yang sempat akan dijadikan aktor pentas sirkus. Perjuangan Tara dan Tegar yang sebenarnya saling mencari sejak kecil bikin geregetan. Ada saja halangan dan rintangan yang membuat pertemuan mereka batal. Segala cara sudah ditempuh. Namun kalau belum waktunya, ya tetap belum saatnya berjumpa. Jadi ingat film “Serendipity”. Meski berkali-kali gagal, jodoh ga akan ke mana-mana, bukan? Selain cerita cinta antara dua sejoli, ada juga cerita tentang politik kampung. Pemilihan ketua desa yang ga kalah rame dengan pemilihan presiden. Pakai debat di radio, kampanye heboh, hingga menggunakan unsur magis. Tumben Andrea Hirata memasukkan politik dalam ceritanya. Tenang, bukan politik serius yang membahas isu macam-macam, tapi politik yang terkesan absurd dan konyol. Model kampanye yang nyentrik, kandidat yang seenaknya sendiri, aturan pemilihan yang ga jelas. Sepertinya bermaksud sebagai sindiran halus tentang atmosfer politik kita saat ini. 99
Kenapa judulnya Sirkus Pohon? Karena sirkus melambangkan macam-macam manusia yang sedang memainkan panggung sandiwara kehidupan. Sedangkan pohon, yang juga menjadi bagian penting sepanjang novel ini, menjadi simbol aspek penting kehidupan. Menarik sirkus keliling dijadikan setting cerita. Apa masih ada sirkus keliling di Indonesia? Hmm … yang kutahu cuma sirkus lumba-lumba keliling. Buat saya, novel ini boleh juga. Plotnya tidak linear, tetapi masih mudah dimengerti. Naratornya tiga orang, tapi mudah dipahami siapa yang sedang bercerita. Ceritanya juga tidak terlalu tebal. Kadang seperti terlalu banyak yang ingin diceritakan — sirkus, politik, cerita cinta, pohon, budaya, dll — tapi masih okelah. Mungkin memang disengaja, sama seperti sirkus yang menawarkan banyak variasi tontonan. Kental sekali di sini bahwa Andrea Hirata itu sastrawan Melayu. Logat Melayu, setting Melayu, pantun dan cerita- cerita Melayu. Jadinya khas. Recommended? Bagiku sih, iya. Lumayan menghibur. Tidak seringan atau seinspiratif Laskar Pelangi, tapi tetap bikin pengen baca terus dan terus. Gaya penulisan Andrea Hirata memang menyenangkan untuk dibaca. Semua seakan mudah diceritakan tanpa berbelit-belit. 100
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168