Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Misteri Buku Harian Johanna

Misteri Buku Harian Johanna

Published by Fairytale, 2021-03-25 13:59:32

Description: Misteri Buku Harian Johanna

Search

Read the Text Version

Riris langsung mengalihkan perhatiannya dan menatap Lutfie dengan heran. ”Mau ngapain lo?” tanyanya. Lutfie meneliti seluruh ruang keluarga. Matanya melirik ke sana kemari, seakan mencari sesuatu. ”Jadi kira-kira di mana pintu ruang rahasia yang dibilang kakek lo itu, ya? Gue penasaran.” Karena tidak ada yang menjawab, Lutfie kembali berujar, ”Gue pengin nyelidikin keluarga Johann dan rumah ini.” Ia memandang teman-temannya dengan mata berbinar. Mereka balas memandangnya dengan bingung. ”Nyelidikin gimana?” tanya Uzzie bingung. ”Tapi…” Ullie berniat mengatakan sesuatu tapi kemudian ia ragu dan tidak jadi meneruskan kata-katanya. ”Buat apa?” Dika bertanya dengan raut wajah heran. ”Memangnya kalian nggak tertarik? Kalian nggak pena­ saran?” tanya Lutfie, agak ketus. Ia begitu ingin mengungkap peristiwa yang disebut-sebut dalam jurnal kakek Dharma. Mungkin ia bisa menemukan kebenaran tentang Johanna. Hal-hal seperti ini selalu membuatnya bersemangat. Lutfie sudah tertarik sejak awal dan bila ia tidak meneruskannya sampai akhir, ia yakin akan menyesal. Banyak pertanyaan dalam benaknya, banyak hal yang ia ingin ketahui lebih lanjut, dan ia berharap teman-temannya tertarik juga untuk ikut. 99

Teman-temannya mulai berpandangan. ”Pasti menarik! Sayang kalau dilewatkan,” sahut Lutfie lagi, berusaha meyakinkan teman-temannya. ”Sebentar, Lut. Motivasi kita apa buat nyelidikin itu?” tanya Dharma serius. ”Lo nggak tertarik pengin tahu lebih jauh tentang penye­ lidikan kakek lo?” Lutfie balas bertanya. Dharma langsung bergeming. ”Gue setuju ini menarik dan bikin penasaran. Tapi Dhar­ ma bener, Lut, apa motivasi kita?” Uzzie menggeleng he­ ran. Dika ikut menimpali, ”Iya, bener. Apa yang akan kita dapat nantinya? Dan kenapa kita harus ngurusin masalah kayak gini? Bisa nggak kita lupain aja dan lanjutin liburan kita dengan tenang tanpa ada gangguan macam-macam?” Dika tidak ingin liburannya terganggu gara-gara mengurusi kasus pembunuhan yang terjadi di vila itu. ”Mungkin kebenaran yang kita dapat nanti. Bukan ngu­ rusin, kita cuma mencoba menemukan fakta. Ini yang bikin gue tertarik. Dan emangnya kalian bisa lupa gitu aja sama apa yang udah kita temuin? Dharma, emang lo bakalan bisa lupa kejadian di rumah kakek lo ini?” jawab Lutfie, sekaligus menyerang Dharma. Teman-temannya segera berpandangan. Dharma mengeluh, 100

”Aduh, Lutfie, kenapa lo nyebut kakek gue lagi sih.” Beberapa saat kemudian, Uzzie ikut bicara, ”Ah, Lutfie, lo ini… Ya udah, gue setuju. Gue juga tertarik sebenernya. Ini bisa jadi salah satu acara liburan kita. Pasti bakalan seru.” Ullie menyahut, ”Nggak jelek juga idenya.” Ullie mendo­ ngak ke Riris, meminta pertimbangan. Riris menggaruk-garuk dahi sambil berpikir, lalu meng­ angguk. ”Iya. Gue rasa ide ini boleh juga,” katanya akhir­ nya. Dharma melihat kemantapan Riris dalam menjawab, membuatnya ikut setuju, ”Oke. Kita coba dulu aja.” Dika menghela napas lalu memandang teman-temannya. ”Oke deh. Gue rasa gue harus lupain rencana liburan yang tenang di sini. Kita emang sebaiknya mencoba dulu. Tapi ingat, kita cuma berusaha cari faktanya aja. Jangan kecewa kalo kita nggak bisa nemu apa yang kita cari,” cetusnya. Lutfie mengangguk dan tersenyum, terlihat sangat se­ nang. Ia juga bersyukur akhirnya teman-temannya men­ dukung idenya. ”Setuju. Jadi, kita ngapain dulu nih sekarang?” tanya Riris sambil menatapnya. ”Ayo kita diskusi dulu,” jawab Lutfie. Maka mereka mulai mendiskusikan apa-apa saja yang 101

akan mereka lakukan sebagai langkah awal. Mereka terlihat bersemangat dan serius. Sebelumnya Dharma mengambil minuman dan camilan, lalu mereka semua duduk di karpet dan bertukar pikiran sambil ngemil. Uzzie mengeluarkan notes­nya untuk mencatat hasil diskusi itu. Mereka saling mem­beri usul dan pendapat. Sosok yang tadi bersembunyi di balik dinding mendengus. Ada kemarahan dalam dengusan itu, ada kebencian yang entah mengapa sangat mengerikan. 102

9. HARI sudah siang ketika mereka semua mu- lai merasa lapar. Waktu menunjukkan pu- kul satu siang. Dharma mencari Pak Zul, namun hanya pria berumur sekitar empat puluhan yang sedang memotong rumput yang dijumpainya di halaman rumah. Dharma menduga dia Pak Jaka. Pak Zul pernah bilang, Pak Jaka-lah yang bertugas memotong rumput. Dharma menyapanya, ”Pak Jaka, ya?” Bapak itu mengangguk ramah. ”Iya. Nak Dharma, ya? Wah, sudah lama nggak ketemu. Sudah besar sekarang. Masih ingat sama saya, nggak?” Dharma mengernyit. 103

”Saya sudah bekerja di sini sejak kamu masih kecil, lho. Masih segini,” lanjut Pak Jaka sambil menurunkan tangan setinggi pinggangnya. ”Waktu itu kamu nakal sekali. Rum­ put yang saya potong sering kamu acak-acakin,” kata beliau sambil tertawa. Mendengar itu Dharma jadi malu sendiri dan salah ting­ kah. ”Ya sudah, kalau kamu nggak ingat ya wajar. Kan me­mang dulu masih kecil,” katanya. Dharma menjawabnya dengan senyum. Lalu ia ingat tujuannya. ”Pak, lihat Pak Zul, nggak?” Pak Jaka menggeleng. ”Wah, nggak lihat. Tadi pagi Pak Zul bilang mau ke warung, tapi sampai sekarang belum balik.” ”Oh, begitu. Makasih ya, Pak. Kalau begitu saya mau ke dalam dulu,” ujar Dharma sambil mengangguk sopan. Ketika Dharma sedang berjalan ke pintu depan didengar­ nya suara memanggilnya. ”Nak Dharma! Aduh, dari tadi saya cari-cari!” Dharma menoleh. Ternyata Pak Zul. ”Wah, saya tadi juga mencari Bapak. Kebetulan sekali,” sahutnya senang. Pak Zul terkekeh. Beliau menyodorkan tas plastik yang dibawanya. ”Ini, saya bawakan pecel sama sup buah. Tadi 104

waktu ke warung sekalian saya mampir ke tempat jualan makanan,” katanya. Dharma terkejut. Kebetulan gue sama yang lain lagi lapar-laparnya, batinnya senang. Kalau begini kan nggak perlu keluar beli makan. ”Wah, makasih banget, Pak. Bapak sendiri sudah makan?” tanya Dharma. ”Tadi Bapak pergi sama Imron, ya kami sekalian makan di sana.” ”Baik. Makasih banyak ya, Pak.” ”Sama-sama. Oh ya, saya mau ketemu Jaka dulu sekalian ngasih makanan juga ke dia,” sahut Pak Zul sambil memper­ lihatkan bungkusan lain di tangannya. Dharma mengiyakan lalu bergegas kembali ke vila. Te­ man-temannya segera menyambut bungkusan plastik di tangannya dengan penuh semangat. Apalagi Riris, yang doyan makanan pedas. ”Asyiiik!” pekik Riris sambil menyerobot plastik berisi pecel itu. Lalu langsung ke dapur untuk mengambil piring- piring dan sendok-garpu. Ullie juga ikut menyerobot bungkusan sup buah. ”Wah, Pak Zul benar-benar penyelamat perut!” Riris menaruh piring-piring di meja dan mereka semua segera makan dengan lahap, sambil sesekali menyeruput sup buah. 105

Acara makan-makan selesai. Mereka masih duduk-du­ duk, sambil bersandar di sofa. ”Yuk, ke perpustakaan. Kita coba lihat salah satu lorong yang dibicarakan kakek Dharma, yang ada di balik lukisan tiga anak,” ajak Lutfie beberapa saat kemudian. Ajakan tersebut langsung disambut antusias oleh teman- temannya. Mereka masuk ke perpustakaan dan memperha­ tikan lukisan yang tergantung di dinding. Lukisan itu begitu bagus sampai Lutfie terkesima. ”Gue yakin, itu lukisan anak-anak Johann dan Johanna. Yang paling kecil Peter, yang berambut ikal Annette, dan yang berwajah kaku Isabel,” ujar Lutfie. Teman-temannya terdiam, mendengarkan. ”Coba kita angkat lukisan ini, apa benar ada lorong di baliknya?” lanjut Lutfie. Maka ia pun beranjak mendekati lukisan. Dharma dan Dika membantunya. Tapi lukisan itu terlalu berat, membuat mereka bertiga tidak mampu meng­ angkatnya. ”Pasti ada cara yang lebih mudah. Kalau nggak, gimana kakek Dharma bisa tahu? Nggak mungkin beliau meng­ angkatnya sendiri, kan?” ujar Ullie. ”Iya, lo benar. Pasti ada cara gampang buka lukisan ini.” Dharma mengangguk setuju sambil merenung. ”Gimana kalau...” Dharma memutus kalimatnya ketika bulu tengkuk­ 106

nya meremang. Ia menyentuh lehernya dan memandang ke arah pintu. ”Perasaan kayak gini lagi.” Lutfie dan Dika terkejut. ”Perasaan apa?” Dahinya berkerut. ”Kayak ada yang ngintip. Ada yang ngawasin kita. Gue pernah ngerasain ini sebelumnya.” Dharma segera bergerak menuju pintu, nyaris berlari. Teman-temannya mengikutinya, dan langsung terkejut ketika melihat Dharma menyeret seseorang. ”Mas Imron?!” seru Riris terkejut. Ullie dan Uzzie tidak kalah terkejutnya. Mas Imron tampak kikuk, seakan ingin berada di tempat lain daripada dipandangi oleh Dharma dan yang lainnya dengan tatapan bertanya campur heran. ”Kenapa...” tanya Lutfie, yang langsung dipotong Dhar­ ma. ”Jadi Mas yang selama ini ngintipin kami?” Wajah Mas Imron merah padam di bawah pandangan tajam Dharma. ”Saya tidak mengintip. Saya cuma penasaran.” Pria itu membela diri. ”Maksud Mas?” Uzzie bingung. Mas Imron mengangguk-angguk yakin. ”Benar. Saya cu­ ma penasaran dengan kegiatan kalian. Saya... saya...” Cowok itu tidak mampu meneruskan ucapannya, wajahnya se­ makin merah. 107

”Jarang ada orang di sini selain saya dan Pak Zul. Jadi saya penasaran dengan apa yang sedang kalian kerjakan,” ujar Mas Imron cepat. Dharma dan yang lainnya menghela napas. Dharma melepaskan lengan Mas Imron yang tadi digenggamnya erat. ”Bilang dong, Mas, saya kan jadi takut.” Dharma meng­ geleng-geleng. Mas Imron makin menunduk. ”Maafkan saya. Saya cuma penasaran saja.” Dharma berusaha membuat dirinya tetap tenang, walau­ pun ia waswas juga sudah seberapa banyak yang diketahui Mas Imron. ”Kami cuma sedang mendiskusikan beberapa hal aja, Mas,” jawabnya. Mas Imron memandangnya penuh perhatian. ”Tapi kalian sering berkumpul di sini. Kalian tadi juga sedang berkumpul di depan lukisan. Apa kalian mau mengangkatnya?” tanya­ nya lagi. Kentara sekali bahwa Mas Imron sudah mengetahui cu­ kup banyak kegiatan yang dilakukan anak-anak itu. Dharma dan Lutfie berpandangan. Dika akhirnya ikut menjelaskan, ”Kami cuma sedang mengetes saja, Mas. Sepertinya lukisan ini sangat berat.” Mas Imron mengangguk. ”Memang. Sudah sejak dulu ada di situ. Tidak pernah dipindah.” ”Nah, Mas kan sekarang sudah tahu apa yang kami 108

lakukan, Mas jangan ngintip kami lagi ya. Kami memang suka mengeksplorasi rumah ini. Tapi kami tidak akan macam-macam,” sambung Dika Mas Imron masih tampak penasaran. Karena Uzzie dan Ullie membujuknya, Mas Imron akhirnya pergi setelah melemparkan pandangan bertanya kepada mereka. Begitu Mas Imron pergi, Dharma dan teman-temannya berpandangan. ”Biar aman, lebih baik ada yang berjaga di pintu atau sekalian aja pintunya kita kunci,” kata Lutfie. Dharma mengangguk. ”Kalian percaya sama Mas Imron?” tanya Riris. Semua segera menjawab serentak, ”Nggak!” ”Diam-diam dia ngintipin kita, mencurigakan banget. Gue nggak nyangka orang sekikuk itu sampai berani ngin­ tip-ngintip.” Dika berdecak dan menggeleng. ”Lutfie benar. Gue setuju pintunya kita tutup aja setiap kita diskusi.” Riris segera berjalan ke pintu dan me­ngun­ cinya. Para cowok melanjutkan pekerjaan mereka yang tertun­ da. Mereka mencoba mengangkat lukisan itu lagi dari berbagai sisi. Namun, akhirnya mereka menyerah setelah mendapati bahwa usaha mereka sia-sia, lalu menghampiri para cewek yang berdiri di depan lukisan, memperhatikan lukisan itu sekali lagi. 109

”Berarti memang nggak bisa diangkat,” Dharma mende­ sah. ”Hei, coba perhatiin deh, kelihatannya lukisan itu nggak digantung ke dinding, kan?” ujar Ullie sambil menunjuk bagian atas lukisan. Semua orang segera memperhatikan. ”Ya ampun, iya, Ul!” Dika terperangah. Uzzie mendekati ujung kiri lukisan. Dahinya berkerut. ”Di sini kok ada engselnya ya,” ujarnya. Mereka langsung mendekati Uzzie. ”Iya, lo bener!” seru Lutfie. Engsel itu tidak terlihat karena warnanya serupa dengan lukisan. Hanya jika benar-benar dicermati baru tampak berbeda. ”Ada dua engselnya,” tambah Dika, menunjuk lagi. ”Jadi harusnya ada kenop atau semacamnya di lukisan ini buat membuka,” sahut Dharma yang segera mencari- cari. Teman-temannya yang lain memperhatikannya dengan tegang. Lutfie lalu meraba-raba lukisan itu. Ketika tangannya sampai di lipatan rok anak perempuan berambut ikal, ia terpaku. Teman-temannya melihat tangan Lutfie yang ter­ henti. ”Kenapa, Lut?” tanya Dika. 110

”Ada tonjolan nih di sini.” Semuanya mendekat dan ikut meraba. ”Benar!” seru Dharma. Lutfie menarik tonjolan itu, perlu usaha lumayan ekstra untuk melakukannya. Dharma dan Dika ikut membantu. Derit samar terdengar. Lalu perlahan... perlahan sekali, setengah lukisan itu terbuka. Dan terhamparlah di depan mereka ruang kosong dan tinggi yang bisa dimasuki orang. Mereka terperangah menatap ruang kosong itu. Bau apak menguar. Dharma yang berada paling depan di antara teman-temannya mulai terbatuk. ”Gila, si Johann itu benar-benar cermat! Engsel itu nggak bisa ditemuin kalau nggak benar-benar diperhatiin. Ton­ jolan di lukisan juga nggak bakalan ketemu kalau kita nggak nemu engselnya dulu! Dan tonjolannya disembunyikan di bagian lipatan rok, sekilas nggak kelihatan!” ucap Lutfie takjub. Ullie memandang teman-temannya. ”Sekarang gima­ na?” Dika berujar sambil menengok jam di dinding, ”Apa kita mau masuk untuk memeriksa? Masih jam dua sih.” Teman-temannya mengangguk serentak. ”Ayo!” ajak Dharma. 111

”Tanggung kalau nggak masuk, kita udah sampai di sini,” tambah Ullie. Mereka akhirnya masuk satu per satu. Posisi lukisan itu berjarak tiga puluh sentimeter dari lantai. Lutfie yang terakhir masuk akhirnya ingat sesuatu. ”Se­ bentar, gue ambil senter dulu.” Ia segera berlari ke kamar­ nya. Ketika itu ia bertabrakan dengan Pak Zul yang sedang menyapu. ”Eh, Nak Lutfie... kok lari-lari?” Lutfie merasa ia tak perlu memberitahu Pak Zul apa yang sedang dilakukannya di perpustakaan bersama teman- temannya. Maka ia terpaksa berbohong. ”Saya mau meng­ ambil Handycam, Pak. Kami mau keluar dan saya pengin mengabadikan momen kami.” ”Oh, begitu. Ya sudah, tapi kamarnya nanti dikunci lagi ya,” katanya. Lutfie mengangguk. Lalu dengan secepat kilat ia menuju kamarnya, mengambil senter, dan menoleh ke camcoder- nya. Lebih baik gue bawa sekalian, biar Pak Zul nggak curi­ ga. Lagi pula kan bisa sekalian buat ngerekam, pikir Lut­ fie. Lutfie kembali menemui teman-temannya di dalam tero­ wongan rahasia lukisan dan tak lupa mengunci pintu per­ pustakaan. Dharma sibuk meneliti struktur dalam tero­ 112

wongan itu sambil menyorotkan senter yang ditemu­kannya di laci meja kerja kakek Dharma Mereka memulai penyelidikan. Terowongan itu ter­buat dari batu-bata yang tidak disemen, tidak luas, masing- masing orang hanya bisa memasukinya sambil berdiri di belakang orang sebelumnya. Karena di sana ada beberapa cabang, akhirnya mereka berpencar. Dika dan Dharma menelusuri lorong sebelah kanan, Ullie dan Uzzie ke lorong sebelah kiri, sedangkan Riris dan Lutfie ke lorong tengah. ”Lut, menurut lo terowongan ini dipakai buat apa?” tanya Riris. ”Nggak tahu. Kayaknya bukan jalan pintas keluar. Ini isinya cuma ruang-ruang biasa.” Ullie menyesal karena tidak membawa senter. Lubang itu semakin lama semakin gelap, terpaksa ia hanya meng­ andalkan cahaya handphone yang nyalanya tak seberapa terang. Lubang itu terdiri atas lorong-lorong, setiap lorong atapnya berbentuk lengkung. Dika menemukan lentera dalam perjalanannya menelu­ rusi lorong lalu menyalakannya dengan korek yang me­ mang biasa ia bawa. Nyala api segera menerangi tempat di sekitarnya. Beberapa lama kemudian mereka bertemu di ujung lo­ rong. 113

”Ada dua pintu, tapi semua terkunci,” lapor Dika. ”Gue ke ruang sebelah kiri, semua ruangan di sana juga terkunci,” sahut Ullie sambil menggeleng. ”Sama, nggak ada satu pun pintu yang bisa dibuka,” tambah Riris. ”Pengamanan Johann. Ia mengunci setiap pintu. Mungkin dia khawatir ada yang berhasil nemuin lorong ini,” kata Lutfie. ”Ya ampun!” sahut Ullie jengkel. ”Protektif amat sih!” seru Dika, merasa jengkel juga. ”Memangnya apa sih isi ruangan-ruangan itu? Harta karun?” Wajah Riris bersinar penuh harap. ”Wah, bisa jadi!” sahut Ullie bersemangat. ”Ayo kita cari!” sahut Dika. ”Oke, tapi kita harus keluar dulu. Lama-lama udara di sini pengap juga. Penelusuran kita hentikan dulu,” sahut Lutfie. Mereka mendesah saat keluar satu per satu, sebal karena penelusuran hanya bisa sampai di situ. Mereka mengira penyelidikan itu akan membuahkan perkembangan yang lebih menarik. ”Kita nggak mau cari kuncinya dulu?” tanya Riris tiba- tiba, membuat teman-temannya juga ikut berhenti. ”Ayo kita cari dulu di sini. Itu tempat yang paling mung­ 114

kin, kan?” kata Uzzie sambil mendekati meja kerja kakek Dharma. ”Lo bener, Zie! Siapa tahu ada lubang persembunyian lain di meja itu!” seru Lutfie bersemangat. Mereka berenam mulai sibuk menggeledah meja, mem­ buka-buka laci dan mengosongkan isinya, mencari lubang rahasia lain. Mereka meneliti setiap detail meja dan me­ raba-raba dengan cermat. Dharma bahkan mengangkat patung wanita Yunani, siapa tahu di bawah patung tersebut ada lubang penyimpanan kunci. Beberapa menit kemudian mereka berpandangan. Nihil. Pencarian mereka tak membuahkan hasil. ”Gue rasa kuncinya nggak di sini deh,” sahut Ullie sambil memandang berkeliling. ”Yang paling memungkinkan buat tempat penyimpanan ya di meja kerja. Tapi bahkan di situ pun nggak ada lubang persembunyian lain,” tambah Dharma. ”Mungkin ada, tapi kita nggak tahu,” sahut Lutfie, mem­ buat teman-temannya segera merasa lesu saat mendengar­ nya. ”Apa mungkin disimpan di lubang rahasia lain? Misalnya di balik rak atau semacamnya?” usul Dika sambil meman­ dang rak-rak buku penuh antusiasme. Teman-temannya segera menggeleng, 115

”Kalo gitu sih kemungkinannya banyak, Dik. Waktu gue nemu lubang rahasia di laci pun, itu karena kebetulan,” sahut Lutfie. Dharma manggut-manggut. ”Iya, kita mungkin butuh kebetulan yang lain lagi kalo mau nemuin tempat kunci itu. Kita nggak bisa asal nyari.” Teman-temannya langsung terdiam. Wajah Ullie dan Uzzie terlihat lesu. Riris menghela nafas dan menggeleng berulang kali. ”Kayaknya kita harus melihat kembali buku harian dan jurnal itu. Siapa tahu Johanna dan kakek lo menyebut ten­ tang ruangan ini lagi,” kata Lutfie akhirnya memberi solusi. Teman-temannya mengangguk. Mereka capek sekaligus sebal, lalu kembali ke ruang keluarga sambil tak lupa menutup kembali terowongan lukisan. 116

10. K EENAM sahabat itu memutuskan untuk man- di sore sebelum memulai lagi penyelidikan. Mereka juga ingin menyegarkan badan sete- lah berada di ruangan pengap dan berdebu. Setelah mandi, mereka berkumpul lagi. Dharma mengambil snack dan minuman untuk dimakan bersama di ruang keluarga. Teman-temannya menyambut dengan senang. Mereka berdiskusi beberapa saat sambil menikmati snack. Dharma mengeluarkan jurnal kakeknya dan memba- canya bersama-sama dengan keempat kawannya, mencoba mencari petunjuk. Lutfie membuka buku harian Johanna bersama Uzzie. 117

”Nggak ada keterangan soal kunci di sini,” ujar Dhar­ ma. ”Berarti emang kuncinya nggak disimpan di lubang rahasia atau semacamnya. Coba baca ini,” respons Uzzie sambil menunjuk salah satu halaman di buku harian, lalu membacakannya, ”Johann sangat suka mengurung diri di perpustakaan. Aku kadang-kadang membenci hal itu. Bagai­ manapun juga, aku istrinya. Dia bahkan tidak memper­boleh­ kan aku masuk kalau dia sedang ada di dalam, bahkan jika aku perlu mengambil buku. Dia yang akan mengambilkannya untukku. Semua ruang di rumah bebas aku masuki, kecuali ruang satu itu. Para pelayan pun tidak bebas memasukinya. Jika mereka masuk pun, Johann akan terus mengawasi. Aku kadang berpikir dia menyembunyikan sesuatu di sana, tapi karena dia memang sibuk bekerja dan ruang itu berisi data- data penting, dia tidak mau diganggu dan tidak membiarkan orang masuk dengan bebas.” ”Kalian bisa nangkap maksud gue?” tanya Uzzie. Dika mengacungkan jari dan mengangguk. ”Dia emang tertutup, bahkan sama istrinya sendiri,” jawabnya. ”Bukan itu maksud gue, Dik! Begini, kalaupun dia nyem­ bunyiin kunci, gue pikir pasti itu ada di perpus, tempat Johanna dan para pelayan nggak bisa nemuin.” jelas Uzzie. 118

”Lo bener. Jadi kuncinya ada di ruang perpus juga. Tapi di sebelah mana?” tanya Dika. ”Itu yang belum kita tahu, kan? Orang kayak Johann pasti punya segudang ide dan tempat persembunyian buat menyimpan kunci itu. Lihat aja lubang rahasia di laci,” sahut Uzzie sambil mengedikkan bahu. Dika dan Ullie yang mulai capek dan bosan, memutuskan untuk tidak ikut membaca lagi. Ullie mulai sibuk membuka- buka laptopnya, dan Dika menyalakan rokoknya. ”Kasihan paru-paru lo kalau kebanyakan rokok,” celetuk Ullie tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar. Dika terkekeh. ”Wah... jadi lo perhatian, nih?” godanya, membuat Ullie akhirnya mengalihkan pandangan dan me­ natap tajam ke arah Dika. Dika langsung tersedak asap rokok, terbatuk-batuk. Riris yang merasa mengantuk tidur-tiduran di sofa. Uzzie masih tertarik pada buku harian, jadi ia ikut Lutfie mem­ buka-buka buku harian Johanna. Mereka membaca dengan penuh perhatian sampai dahi mereka berkerut. Dharma mengatakan ia akan memprioritaskan buku harian karena kakeknya juga merujuk ke sana. Setelah buku harian selesai, baru ia akan melihat jurnal. ”Lut, lihat bagian ini!” seru Uzzie tiba-tiba. Lutfie kaget, begitu pula Dharma dan yang lain. 119

”Yang mana? Gue baru baca halaman yang sebelah kiri,” sahut Lutfie antusias. Uzzie menunjuk deretan kalimat itu. ”Baca ini,” jawab Uzzie. Lutfie dan yang lain mengeru­ bunginya dan mulai membacanya. Tidak…. Tidak…. Ini tidak mungkin terjadi. Annette meninggal…. Tidak! . Hari ini ulang tahun Annette, aku membuatkan kue ulang tahun untuknya. Annette mendapat kesempatan pertama untuk memakan kue itu, dan saat memakannya, tiba-tiba dia menjerit dan terjatuh ke lantai. Dan Johann melihat apa yang dia pikirkan. Cara dia memandangku setelah Annette jatuh! Oh, Tuhan.. Johann menuduhku karena dia tahu kue itu aku yang buat. Penyelidikan dimulai. Johann membawa kue itu dan meminta temannya yang bekerja di laboratorium untuk mengeceknya. Kemudian, tes laboratorium mengatakan ada sianida di dalam kue itu. Johann memeriksa dapur dan menemukan sianida dalam botol perasa buah untuk kue. Aku tidak tahu tentang itu. Aku benar-benar yakin, botol itu terisi perasa buah. Zat beracun 120

Ada seseorang yang menukar botol itu, tapi Johann tidak percaya. Johann menyalahkanku. Dia berkata, gara-gara aku Annette meninggal. . Setelah mereka selesai membaca, suasana mendadak menjadi sangat hening. ”God...” pekik Dharma. ”Gue belum baca yang itu!” seru Lutfie kaget. Dia me­ mang membaca sambil meloncati banyak halaman. Catatan yang dibacakan Uzzie tertanggal 20 Mei 1941, sehari se­ belum catatan tentang Johanna dituduh membunuh yang ditemukan Lutfie dulu. ”Jadi begitu kejadiannya,” gumam Riris parau. ”Johanna membunuh. Dia membunuh anaknya sendiri,” timpal Ullie tak percaya. ”Nggak, nggak. Orang yang sudah membunuh nggak mungkin bicara seperti itu. Dia bahkan nggak tahu ada sianida di dalam botol itu,” tutur Dharma tak percaya. Lutfie membantahnya, ”Masa dia nggak tahu? Sebelum menggunakannya masa dia nggak sadar?” Uzzie menggeleng. ”Mungkin aja, Lut. Kadang orang kan nggak sadar. Apalagi kalau botolnya mirip. Jadi wajar kalau Johanna nggak tahu.” 121

”Gue pernah dengar, sianida baunya seperti al­mond,” Lutfie berkata, namun Uzzie segera membantah­nya. ”Tapi nggak semua orang bisa mendeteksinya, Lut. Gue pernah baca.” Uzzie yang sangat menggemari novel misteri dan detektif rupanya mempunyai beberapa informasi penting yang diingatnya. ”Apa ada kemungkinan Johanna berbohong?” tanya Riris kemudian. Lutfie memegang dahinya, berpikir. ”Kalau soal itu, kita belum tahu,” jawabnya. ”Tapi berdasarkan catatan setelah­ nya, Johanna masih berkeras bahwa dia nggak membunuh Annette. Walaupun semua orang nggak percaya.” Lutfie lalu teringat sesuatu dan menunjuk buku harian. ”Coba kalian baca catatan di halaman terakhir dan kasih tahu gue apa pendapat kalian,” katanya. Uzzie langsung membuka catatan yang dimaksud, Dhar­ ma dan yang lain segera mengerubunginya. ”Good bye...” Uzzie tersekat. ”Dia nggak meninggal, kan?” seru Riris, kaget. ”Tuh, reaksi lo sama kayak reaksi pertama gue waktu baca catatan itu dulu,” sahut Lutfie. ”Apa maksud catatan ini? Apa Johanna memutuskan bunuh diri?” tanya Dika. ”Nggak ada catatan sebelum ini. Tunggu, bahkan setelah 122

8 Mei 1941, dia berhenti nulis sama sekali,” ujar Uzzie setelah membalik catatan sebelumnya. Lutfie mengangguk. ”Menurut gue, dia bunuh diri adalah kemungkinan paling besar. Kalian ingat kan, Johanna bilang Johann ngerencanain sesuatu buat dia? Dan Johanna nggak bilang apa-apa lagi soal rencana itu. Mungkin Johan­na bu­ nuh diri untuk menghindari apa pun rencana Johann buat dirinya.” Mereka semua lantas terdiam. Lutfie masih sibuk ber­ pikir. Dika menoleh ke arah Uzzie. ”Coba baca lanjutan bu­ku hariannya,” katanya dengan nada pelan. Uzzie meng­ angguk, lalu membuka halaman selanjutnya. Teman-te­ mannya segera memasang telinga. ”Oke, ini catatan selanjutnya. Oh, rupanya ini masih lan­ jut­an yang tadi, masih di hari yang sama,” kata Uzzie sambil memandang buku harian di tangannya. Teman-temannya mendengarkan. Jantung mereka berdebar, bersiap men­ dengar kejutan lagi. Johann tetap merasa kasihan padaku, walaupun dia sangat yakin bahwa Annette meninggal gara-gara aku. Jadi dia membawaku ke psikiater. Aku amat sangat marah kare­ nanya. Aku yakin insiden itu bukan kesalahanku. Tapi, siapa yang mau percaya padaku? 123

Anak-anakku merasa sangat takut dan mereka menjauhi­ ku sampai sekarang. Termasuk para pelayanku. Tapi salah satu kokiku, seorang pribumi ber­nama Inah, sangat yakin aku tidak bersalah. Dia membuat kue itu denganku, dan dia mengejutkanku ketika dia memberitahuku sesuatu. Dia mengetahui bahwa botol di dapur itu bukanlah botol yang dia beli dari pasar... ”Tuh kan, berarti Johanna nggak bohong! Botolnya mung­ kin mirip, tapi sebenarnya beda. Mungkin tutup botolnya yang beda, atau labelnya, semacam itulah. Jadi Inah sadar botol itu memang ditukar, bukan botol yang dia beli di pasar,” ucap Uzzie sambil menunjuk-nunjuk halaman buku harian dengan penuh keyakinan. Teman-temannya meng­ angguk-angguk menyetujui. ”Tunggu. Tadi gue baca sesuatu. Di jurnalnya, Kakek bi­ lang beliau percaya, insiden itu bukan insiden biasa. Jo­ hanna tahu kebenarannya. Sebentar, gue lihat dulu.” Dengan agak terburu-buru Dharma mengambil jurnal kakeknya dan dibolak-balik halamannya dengan antusias. Tak lama kemudian Dharma berseru, ”Ini, gue bacain! Coba dengar.” Teman-temannya menyimak baik-baik. 124

”Aku tahu sesuatu. Johanna bilang, dia yakin botolnya ditukar, kan? Dan Inah, koki kedua Johanna pun yakin akan hal itu. Johann menyimpan kasus ini rapat-rapat. Ajaibnya, tak seorang pun yang mengetahui insiden itu. Polisi tentu akan menahan istrinya dan nama baiknya akan tercoreng jika orang luar mencium adanya insiden ini. Hanya ada dua kemungkinan. Memang Johanna yang melakukannya, atau ada orang lain yang menukar isi botol itu. Aku menemui Inah, saat pembantu itu sudah pulang ke kampungnya, Klaten. Dan dia bilang dengan ketakutan, bahwa nyonyanya tidak mungkin membunuh, apa pun alasannya, terlebih Annette putri kesayangannya. Inah malah mencurigai Jo­ hann, tuannya. ’Sudah berhari-hari Tuan marah pada Nona Annette,’ katanya. Karena...” Dharma berhenti. Teman-temannya heran. ”Lho, kok berhenti?” tanya Lutfie. Dharma menunjukkan jurnal kakeknya pada teman-te­ mannya. ”Ini, lihat, bukunya dimakan rayap. Sial banget!” ”Ah, sial...!” Dika terlihat lebih sebal. ”Padahal pas bagian penting,” tambah Riris sambil meng­ hela napas. ”Inah mencurigai Johann? Apa dasarnya, ya? Ah, nyebelin tuh rayap.” Lutfie ikut jengkel. Uzzie tampak berpikir serius. Ia sangat menyukai misteri 125

ini. Ia tidak pernah membayangkan apa yang dibacanya di komik-komik dan novel-novel selama ini akan terjadi pada­ nya. Sebuah kasus! Rasanya ia sedang masuk ke dalam sebuah cerita, dan ia dan teman-temannya-lah pemeran utamanya. ”Coba baca deh halaman selanjutnya,” sahut Uzzie ke­ mudian. Dharma mengangguk. ”Dan aku mulai menyelidiki lagi. Kali ini aku kembali menemui Inah, dan bertanya-tanya tentang Jaya. Dia ternyata pribumi. Dan umurnya masih enam belas tahun ketika meninggal. Inah sangat menya­ yangkan hal itu. Johann benar-benar keji.” Dharma berhenti. Ia terperangah. ”Jaya? Kenapa kakek gue nyebut-nyebut nama Jaya? Siapa dia?” tanyanya bingung. ”Namanya kayaknya familier deh, gue pernah denger di mana, ya?” tanya Dika sambil mengernyit. ”Dia pribumi? Apa hubungannya sama Johann?” Uzzie mengernyit. ”Kok Johann keji? Emangnya apa yang dia perbuat?” Riris ikut berkomentar. ”Ada lagi nggak yang ditulis setelah itu?” tanya Dika. Dharma menggeleng. ”Nggak ada. Cuma sampai di situ aja.” Ia menghela napas lesu. 126

”Kalau begitu bagaimana kita bisa tahu?” tanya Riris agak jengkel. Dharma mencoba membuka halaman selanjutnya, berha­ rap ada tulisan yang menyinggung Jaya lagi. Tapi dari ekspresinya, sepertinya hasilnya nihil. Mereka lalu berpikir sendiri-sendiri. Ullie mengelus-elus dagunya, Dika berdiri di depan meja sambil berpikir, se­ dang­kan Lutfie berjalan mondar-mandir sambil komat- kamit. Sementara itu mereka tak tahu, sosok yang dulu meng­ intai mereka kini dalam keremangan dinding luar tampak mengerikan dengan sorot mata yang beringas. Tangannya terkepal, dan terdengar dengus kemarahan luar biasa dari­ nya. 127

11. MALAM itu mereka tidur pulas. Para co- wok tertidur di depan televisi. Setelah pusing membahas buku harian dan jurnal itu seharian akhirnya mereka memutuskan menonton film yang sedang diputar di tele­ visi. Untung film malam itu lumayan bagus, sehingga mem­ buat mereka terhibur. Dika yang pertama kali bangun keesokan paginya. Sambil mengucek-ucek mata ia berjalan ke kamar lalu mandi. Kepalanya pusing. Rambutnya mencuat acak-acakan. Lalu dibangunkannya teman-temannya setelah ia selesai mandi, kecuali yang cewek-cewek yang masih terlelap di kamar mereka. 128

”Bro, bangun. Bangun!” seru Dika sambil menepuk-nepuk bahu teman-temannya bergantian. Ia terus berseru dan menepuk-nepuk ketika mereka tak kunjung bangun. Lutfie terbangun. Wajahnya terlihat lucu, kacamatanya miring, dan matanya masih terpejam saat ia bangun untuk duduk. Dharma malah semakin erat memeluk bantal ruang tamu yang digunakannya sebagai guling. Begitu Lutfie selesai mandi, ia dan Dika berusaha kem­ bali membangunkan Dharma. Namun, usaha itu gagal, maka mereka membiarkan saja anak itu terlelap daripada tenaga mereka terbuang sia-sia. Apalagi mereka belum sarapan. Cewek-cewek turun dari kamar dalam keadaan rapi dan jelas sudah mandi. Mereka bertiga terkikik melihat Dharma yang masih enak-enakan mimpi. Uzzie dan Ullie mencoba membangunkan dengan menggoyang-goyang tubuh Dhar­ ma, tetapi tetap gagal. ”Biar gue coba,” cetus Riris. Ia lalu mendekatkan mulut­ nya ke telinga Dharma dan berseru sekencang-kencang­ nya. Demi mendengar suara itu, teman-temannya segera menutup telinga. ”WOI! Banguuun! Udah siaaang! TUKANG TIDUR!” Dharma langsung berdiri, kaget. Semua tertawa. 129

”Suara apa tadi, hah?! Suara apa? Serem banget kayak suara emak gue bangunin!” seru Dharma. ”Apa? Tadi itu suara gue, Tukang Tidur!” omel Riris sambil menjewer telinga Dharma. Kontan saja Dharma mengaduh. Ia terus menjewer telinga Dharma dan menggi­ ringnya hingga ke luar ruang keluarga. ”Sono, mandi dulu! Bau lo itu kayak bau mbek!” Semua orang makin terbahak. Ullie sampai terguling- guling. Lutfie yang biasanya susah tertawa kali ini sampai terduduk di kursi, tangannya menepuk-nepuk lutut, wa­ jahnya memerah saking kerasnya tertawa. Uzzie terpingkal- pingkal, Dika tertawa kayak orang kesurupan. ”Gila lo, Ris!” seru Dika di antara gelak tawanya. Riris terkekeh mendengarnya. Beberapa saat kemudian Dharma kembali ke ruang keluarga dalam keadaan sudah mandi dan tentu saja wangi. Dharma tersenyum kecut pada Riris, telunjuknya tertuju padanya. Riris tetap santai memandangnya. Teman-teman­ nya menahan tawa. ”Awas lo, Ris, nanti gue buat perhitungan,” ujarnya. ”Hah, apa? Gue udah pintar berhitung kok. Perkalian, pertambahan, pengurangan, pokoknya gue udah jago.” Yang lain kembali tertawa. Mulut Dharma mengerucut, ia mendekat ke Riris dan menjitak kepalanya. ”Bukan itu maksud gue.” 130

Riris mengaduh. ”Iiih, iyaaa, gue ngerti.” Riris mengusap-usap kepalanya yang kayaknya bakalan benjol sebesar melon. Mereka sarapan seadanya: membuat roti bakar dengan selai, juga minum susu. Pokoknya kayak orang bule banget. Uzzie yang menyiapkan semuanya, dia dan Ullie memang­ gang roti, sementara Riris yang mengoles selai. Mereka lalu mengeluarkan dua kardus susu dari kulkas. Enak sih, tapi Lutfie yang tidak biasa sarapan dengan ro­ti harus menelan sarapannya dengan susah payah. Eks­ pre­sinya begitu lucu sampai membuat semua orang kem­ bali tertawa. Dan Ullie yang lebih suka sarapan nasi, meng­ ambil roti selembar dan memakannya tanpa nafsu. Ia sebenarnya ingin mengajak teman-temannya masak ba­ reng, tapi mereka malas dan lebih memilih sara­pan yang tidak ribet dan tidak perlu dimasak. Pak Zul masuk saat mereka masih sarapan. ”Kalian tadi malam tidur di ruang keluarga, ya? Bapak dateng waktu kalian masih tidur. Bapak nggak bangunin, soalnya kalian kelihatannya pulas banget. Bapak cuma matiin TV terus keluar lagi,” sahut Pak Zul sambil terkekeh. Dharma meng­ angguk. 131

”Iya, Pak, tadi malam kami keasyikan nonton.” Pak Zul lalu mengamati menu sarapan mereka dan ter­ senyum. ”Buat nanti malam, Bapak saja yang masak. Kalian santai-santai saja.” Pak Zul kemudian berlalu. Setelah sarapan, Dharma ingin segera membaca jurnal kakeknya. Ia tampak sedang mencari-cari jurnal itu, karena ia lupa di mana menaruhnya semalam. ”Guys, ada yang lihat jurnal kakek gue, nggak?” Teman-temannya menggeleng sambil memandangnya heran. ”Nggak tuh,” sahut Lutfie segera. ”Bukannya lo yang pegang, ya?” tanya Uzzie pada Dhar­ ma. ”Iya, kan lo yang terakhir pegang tadi malam,” sahut Dika sambil mengambil roti panggangnya yang ketiga. Ia begitu lapar hingga berniat mengganyang hampir semua roti yang dimasak bersama itu mumpung perhatian teman-temannya sedang teralihkan. Wajah teman-temannya langsung merah. ”Kembaliin rotinya, kami kan juga mau makan!” seru Uzzie, lalu lang­ sung menyerobot roti itu dari tangan Dika tepat sebelum masuk mulutnya. ”Gue taruh di dekat gue sebelum tidur kok.” Dharma menggaruk-garuk kepala sambil memandang sekeliling ruangan, mencari-cari. 132

Lutfie mengernyit. Dia buru-buru bangkit dan kembali ke ruang keluarga. Untuk lima menit setelahnya dia tampak sibuk. Ketika kembali, wajahnya tampak pucat. ”Eh, ada yang lihat buku harian Johanna?” Semua orang ganti memandangnya. ”Hah? Bukannya terakhir dibawa Uzzie? Semalam kita bacanya bareng-bareng, terus bukunya dia yang pegang,” kata Ullie. Uzzie langsung mengelak. ”Nggak kok. Semalam langsung gue balikin lagi ke Lutfie.” ”Iya, udah dibalikin ke gue kok. Tadi malam gue taruh di sebelah TV,” sahutnya sambil menggaruk-garuk kepala. Dharma mengernyit bingung memandangnya. ”Gini aja, kita cari sama-sama di seluruh vila ini,” usul Dika. Mereka semua lalu berpencar ke segala penjuru ruangan. Uzzie mencari di atas meja dan di dekat karpet tempat para cowok tidur. Ullie mencari di setiap rak buku, Lutfie mencari di sela-sela belakang plus di bawah rak televisi, dibantu Dika. Riris mencari di bawah sofa dan meja. Dhar­ ma kembali ke kamar, mencarinya di sana. Setelah beberapa lama, mereka bertemu di tengah ruang­ an, duduk di sofa dengan wajah penuh keringat dan men­ desah. 133

”Gila, capek juga gue pagi-pagi olahraga kayak gini,” keluh Dika. ”Gue udah cari,” sahut Riris sambil mengusap keringat di jidatnya. ”Nggak ketemu,” tambah Lutfie sambil menggeleng-ge­ leng. ”Kalian bener-bener nggak lupa naruhnya di mana, kan?” tanya Ullie sambil memandang Dharma dan Lutfie. Kedua­ nya hanya menggeleng bersamaan. ”Nggak kok,” jawab mereka segera. ”Tapi masa buku-buku itu hilang gitu aja?” tanya Ullie heran. Teman-temannya tak menjawab. Tidak mungkin buku harian dan jurnal itu hilang dengan sukses dalam semalam. Mereka cuma bisa duduk sambil memutar otak, berusaha mengingat-ingat apa saja yang mereka lakukan tadi ma­ lam. ”Tadi malam gue pegang buku itu, lalu kita baca sama- sama, kan? Terus gue kembaliin ke Lutfie,” ujar Uzzie sambil mengingat-ingat. ”Dan gue pegang,” lanjut Lutfie menerawang. ”Terus gue bacain jurnal buat kalian kan, ya?” Dharma bertanya-tanya sendiri. ”Kita lalu kecapekan. Kita tidur, terus gue sama Riris dan Uzzie ke kamar.” Ullie menggigit bibir, agak bingung. 134

Semua terdiam. Riris memainkan tali sweter hijau muda­ nya. ”Apa mungkin ada yang ngambil?” katanya sambil lalu, karena ia sendiri pun tak yakin akan hal itu. Tapi reaksi teman-temannya lebih daripada yang Riris duga. ”God!” seru Dharma. ”Mungkin banget,” pekik Uzzie. ”Bisa. Bisa jadi buku itu diambil. Tapi, kenapa?” tambah Ullie. Riris heran melihat reaksi teman-temannya. Mereka mulai sibuk berspekulasi. ”Nah, kalau memang seperti itu, siapa orangnya?” tanya Lutfie. ”Nggak ada yang tahu kita menyelidiki kasus ini.” ”Buat apa juga orang itu ngambil?” tanya Dika sambil mondar-mandir di sekeliling teman-temannya. ”Hanya ada tiga orang luar yang kita tahu. Pak Zul, Mas Imron, dan Pak Jaka,” jawab Ullie. ”Berarti kemungkinannya cuma tiga?” sambung Lutfie. ”Tapi masa mereka yang ambil sih? Buat apa?” Ullie me­ mandang Lutfie dengan raut muka bertanya-tanya. ”Mungkin Mas Imron. Ingat nggak waktu dia ngintip kita?” Uzzie mengutarakan pendapatnya. ”Dia memang mencurigakan,” ujar Dharma sambil me­ ngerutkan dahi. 135

”Dia yang paling mungkin, dia kan waktu itu penasaran banget sama yang kita lakuin,” kata Uzzie sambil menge­ dikkan bahu. Riris yang masih heran hanya bisa menatap teman- temannya. ”Tapi kalau buku itu dua-duanya nggak ada, gimana kita bisa nyelidikin kasus ini lagi? Kan kita nggak punya pe­ tunjuk sama sekali?” tanya Dharma bingung kemudian matanya menerawang ke luar jendela, berpikir. ”Gini aja, kita buat daftar apa aja yang udah kita dapat selama ini, juga pertanyaan apa yang perlu kita jawab. Karena kita kan belum baca keseluruhan buku itu, dan lagi Johanna nggak jelasin kejadiannya secara gamblang dan jurnal kakek lo juga di beberapa bagian udah nggak utuh lagi,” Lutfie akhirnya menyatakan usulnya. Uzzie setuju. Maka ia pun mengambil buku catatan di kamarnya, lalu membawanya ke ruang keluarga. ”Nah, mari kita kumpulkan fakta-fakta yang udah kita dapat.” Mereka semua segera mengerumuni Uzzie, masing-ma­ sing sibuk berpikir. ”Gue duluan. Pernah ada kasus yang berujung pada kematian di rumah ini. Annette meninggal,” kata Lutfie bersemangat. 136

”Dan Johanna dituduh sebagai pelakunya,” lanjut Dharma antusias. ”Botol perasa buah ditukar dengan sianida,” Ullie menam­ bahkan dengan bersemangat. Mereka terus menambahkan hasil yang sudah mereka dapat ke dalam daftar sampai akhirnya terisi satu halaman notes. Kemudian mereka membuat daftar pertanyaan hal- hal yang masih perlu mereka pecahkan. Setelah selesai, semua ikut membaca daftar itu dan meng­ angguk-angguk. Di daftar itu tercantum: 1. Ada pembunuhan ketika sebuah keluarga Belanda menempati rumah ini. 2. Annette, anak kedua Johann, meninggal setelah memakan kue ulang tahunnya. 3. Johanna, istri Johann, dituduh sebagai pelakunya. 4. Botol perasa buah di dapur ditukar dengan sianida. 5. Inah, salah satu koki mereka, yakin nyonyanya tidak bersalah. 6. Inah mencurigai Johann. 7. Jurnal kakek Dharma disembunyikan di laci, ruang rahasia. 8. Kakek Dharma menyelidiki rumah ini dan menginvestigasi Inah. 9. Kakek Dharma menyebut-nyebut tentang Jaya. 137

10. Inah menyebut bahwa Johann keji. 11. Ada lorong rahasia di rumah ini. 12. Semua pintu di dalam lorong dikunci. 13. Ruang rahasia di bawah lantai ruang keluarga belum bisa ditemukan. Daftar pertanyaan: 1. Benarkah Johanna membunuh anaknya sendiri? 2. Siapa yang menukar botol perasa buah dengan sianida? 3. Mengapa Inah mencurigai Johann? 4. Siapa Jaya? Kakek Dharma menyebutnya sebagai pribumi, tapi apa hubungannya dengan Johann? 5. Mengapa kakek Dharma merasa perlu menyembunyikan jurnalnya? 6. Bagaimana bisa buku harian dan jurnal itu hilang? ”Udah semuanya. Tapi masih belum ada titik terang.” Ullie menggeleng-geleng. ”Itu karena kita belum nyelesaiin penyelidikan. Nah sekarang, apa yang bakal kita lakuin?” tanya Lutfie bi­ ngung. ”Iya, kita kan nggak punya petunjuk apa-apa,” jawab Dharma. ”Lo udah bilang itu tadi,” sahut Uzzie sambil mengernyit 138

memandang Dharma. Sementara Dharma melongo, lalu cengengesan. Dika tiba-tiba menepukkan telapak tangannya. ”Ya am­ pun, guys, gue sekarang inget! Gue tahu siapa Jaya! Kita se­mua tahu!” serunya dengan wajah cerah. Semua orang segera menatapnya penasaran. ”Hah, serius?” tanya Dharma heran. ”Kita semua tahu? Apa maksud lo?” tanya Lutfie. ”Inget? Maksudnya lo pernah lihat atau denger namanya gitu?” Riris mengernyit heran. ”Kalian inget nggak, daftar pelayan yang ditulis kakek Dharma di awal jurnalnya? Ada nama Jaya di sana!” seru Dika cepat. Kebingungan di wajah teman-temannya segera berganti dengan ekspresi cerah. ”Lo bener, Dik! Ya ampun, kok kita bisa lupa, sih!” Uzzie menepuk dahinya. ”Dia tukang kebun, Dik! Iya, kita semua tahu tapi kita lupa!” seru Riris girang. Dika mengangguk yakin. Tapi kemudian Ullie memandang Dika dengan bingung. ”Good, Dik. Tapi kita tetep nggak tahu apa hubungan Jaya sama semua ini,” sahutnya. Dika langsung merasa lemas. ”Ya ampun, lo bener. Duh….” 139

Setelah mereka tahu siapa Jaya sebenarnya, mereka tetap tidak memperoleh kemajuan apa-apa. Dharma dan Ullie sibuk berspekulasi tentang hubungan Jaya dengan kasus yang mereka hadapi. ”Mungkin dia berbuat salah sama Johann.” Dharma mengajukan spekulasi pertama. Ullie langsung membantahnya, ”Lalu apa maksudnya dia meninggal?” ”Dibunuh sama Johann, kali. Inah bilang Johann keji, kan? Apa lagi kalo bukan dibunuh?” jawab Dharma asal. Ullie termenung. Jawaban Dharma ada benarnya. Mereka jadi tak punya kegiatan hari itu, cuma mondar- mandir, lalu menonton TV dengan pikiran tak fokus. ”Gila juga liburan kita. Gue kira kita bakalan main-main di sini, senang-senang. Semacam itulah. Eh, kita malah terjebak penyelidikan kayak gini,” ucap Dika. Dharma menyahut, ”Lo nyesel?” Dika memandangnya lalu tertawa. ”Nggaklah. Gue malah tertarik sama yang kayak begini. Menantang dan selalu bikin penasaran. Cuma ya gue nggak nyangka aja kita bakalan ketemu kasus misteri, yang udah lama banget, pula. Lebih dari setengah abad, sadar nggak?” ”Iya, nggak nyangka di rumah seperti ini pernah ada kasus pembunuhan,” sambung Lutfie. 140

Uzzie langsung menyela, ”Jadi udah pasti pembunuhan nih?” ”Apa dugaan itu nggak terlalu cepat, Lut?” tanya Ullie. ”Inget, kita baru nemu sedikit fakta,” tambah Dika mem­ peringatkan. Lutfie mengangguk. ”Yep. Dan pembunuhnya cerdik ba­ nget.” Ullie memandangnya, heran. ”Kok cerdik? Kenapa?” tanyanya. Lutfie diam sejenak lalu menjawab, ”Tadi malam sebelum kalian tidur, gue sempat baca buku harian sama jurnal. Buku harian yang paling penting, karena itu menurut sudut pandang Johanna langsung. Apalagi memang dia berada di tempat kejadiannya. Nah, di situ tertulis, sejak melahirkan anak terakhir, Johanna sempat depresi. Dia menulis bahwa saat Peter berusia satu tahun, dia merasa nggak mampu merawatnya. Makanya dia mempekerjakan Inah, yang udah pernah disebut di jurnal kakek Dharma itu. Johanna sendiri kembali ke tanah kelahirannya, Inggris, untuk tinggal se­ mentara di rumah ibunya, sekaligus berkonsultasi dengan psikiater di sana. Nah, Johanna kembali ke Indonesia saat Peter sudah berusia tiga tahun. Saat itu Johanna sudah pulih. Pulih banget pokoknya. Dia udah kayak ibu normal lainnya, membesarkan Peter dengan kasih sayang utuh. 141

Peter kemudian menjadi anak kesayangannya kedua se­ telah Annette.” ”Anak kesayangan kedua setelah Annette? Kenapa? Ada apa dengan Isabel?” potong Riris. Ia merasa ada yang aneh. Lutfie tampak berpikir. ”Wah, sebentar, gue lupa. Eh, ehm...” Teman-temannya menunggu dengan penasaran, dahi Lutfie berkerut. Kemudian ia menepuk jidatnya dan berseru, ”Oh, iya! Johanna menganggap Isabel adalah pro­ duk bimbingan Johann yang sangat keras. Johann berhasil menjadi arsitek sukses karena hatinya yang benar-benar kaku. Dia superdisiplin dan benci kata ’tidak’. Apa pun yang tidak sesuai dengan keinginannya akan dia kritik habis- habisan. Pernah ada insiden di Belanda ketika Johann memecat salah satu pekerjanya yang dianggapnya melen­ ceng dari proyek yang sedang ia kerjakan. Pekerjanya itu akhirnya tidak bisa diterima bekerja di mana pun setelah dipecat Johann. Ada desas-desus, Johann yang mengatur agar mantan pekerjanya itu tidak bisa mendapat pekerja­ an...” Ullie memotong. ”Gila, kejam banget.” ”Memang. Nah, mungkin karena Isabel anak pertama, Johann ingin mendidik Isabel dengan caranya sendiri. Maka Isabel pun tumbuh dengan hati yang keras, bahkan boleh 142

disebut dia gadis yang tidak mem­punyai hati. Dia mem­ perlakukan orang lain semena-mena, hal yang sangat di­ benci Johanna. Kalian ingat lukisan tiga anak di perpus­ takaan, kan? Ingat wajah Isabel? Kaku. Jo­hanna nggak mau anaknya dididik seperti mesin. Bahkan untuk urusan jodoh Isabel, Johann yang mengaturnya. Dia memilihkan Ruben van Erlinmeyer sebagai suami Isabel. Itu karena Ruben putra seorang pejabat terkenal yang pastinya kaya. Nah, Johanna akhirnya depresi memi­kirkan Isabel, dia sering marah-marah kepada Johann. Johann lalu meng­anggap emosi istrinya nggak stabil. Johanna membantah mati- matian hal itu.” Lutfie berhenti, mengambil napas sejenak. ”Johann menu­ duh depresi Johanna kambuh karena stres memikirkan Isabel. Johanna menyangkalnya. Dia hanya benci cara Johann mendidik anak mereka. Johann berkata dia ingin menjadikan anak-anaknya bisa sesukses dirinya, dengan meniru pola pikirnya. Johann mencontohkan Isabel yang mendapat jodoh sangat sepadan, dengan anak pejabat terkenal dan kaya. Johann menyebutnya sebagai kesukses­ an.” ”Jadi si pelaku membuat depresi Johanna sebagai alasan untuk membunuh Annette? Bagaimana bisa? Annette kan anak kesayangannya,” Riris melontarkan pemikirannya. 143

Dika menyela, ”Nah, lalu bagaimana dengan Annette sendiri? Apa Johanna menyebut tentang Annette lagi?” Lutfie menggeleng. ”Ada halaman yang hilang. Kelihat­ annya dirobek.” ”Betul kata Riris. Gue rasa pelakunya menggunakan alasan depresi Johanna untuk memfitnahnya.” Teman-temannya terdiam. Berusaha menyerap seluruh perkataan Lutfie. Riris tiba-tiba menyahut, ”Terus apa ada informasi lagi dari jurnal kakek Dharma?” Lutfie diam, berusaha mengingat-ingat lagi. Lama sekali, membuat semua orang menjadi semakin penasaran. Sejenak kemudian Lutfie berkata, lebih mirip bergumam, ”Nggak ada. Kakek Dharma kebanyakan cuma menyebut tentang arsitektur rumah ini. Beliau bilang, ada bagian dalam rumah ini yang akan nyeritain akhir kisah tersebut. Ada bagian dalam rumah ini yang menjadi penentu, salah satu bagian dari teka-teki kasus ini. Tapi beliau nggak nyebut detailnya karena beliau juga masih mengorek fakta- fakta di sini.” Mereka kembali terdiam. ”Oh, gitu ya? Eh, Lut, gue boleh lihat ruang dalam laci tempat lo nemuin jurnal kakek Dharma? Gue penasaran. Mungkin juga ada petunjuk lain di sana,” seru Riris. 144

Lutfie mengangguk. Semua temannya juga menganggap usul itu bisa membantu, daripada mereka hanya diam ka­ rena tidak ada hal untuk dikerjakan. Mereka kemudian mengikuti Lutfie menuju perpustakaan. Mereka tak tahu, sosok yang sebelumnya mengintai kembali mengikuti se­ gala gerak-gerik mereka, termasuk dengan diam-diam mengikuti ke lantai atas. 145

12. AROMA perpustakaan menyambut mereka. Dharma bersin empat kali, ditambah dua kali lagi, dan dua kali lagi untuk yang terakhir. Teman-temannya menyebutnya rekor. Ullie berusaha berdiri sejauh mungkin dari Dharma. Dika dan Lutfie juga segera menyingkir begitu Dharma mulai me­ nampakkan tanda-tanda akan bersin lagi. Lutfie menunjukkan pada teman­temannya bagaimana kemarin ia dan Dharma menemukan ruang dalam laci itu. Lutfie mengangkat tutup kotak musik dan segera terdengar bunyi derit yang sama seperti waktu itu. Teman-temannya terlihat kagum. 146

”Waaah!” Riris berseru sambil bertepuk tangan antu­ sias. ”Gila, keren.” Dika menggeleng-geleng tak percaya. ”Hebat!” seru Uzzie sambil berdecak kagum. ”Dia benar-benar ahli bikin hal-hal kayak begini. Ruang rahasia, tempat persembunyian rahasia,” tambah Ullie. Lutfie merogoh tempat rahasia itu. ”Nggak ada apa-apa lagi. Gue kira kita bakal nemu kunci ruang dalam lukisan,” sahut Lutfie. Riris tampak berpikir. ”Mungkin dibawa Johann ke Belanda.” Lutfie mengangguk-angguk, mempertimbangkan pemi­ kiran itu. ”Mungkin juga, sih. Wah, sayang, padahal gue penasaran. Kira-kira apa ya yang disembunyikan Johann di dalamnya?” ”Mungkin isinya bener-bener harta karun.” Ullie terke­ keh. Mereka lalu memutuskan kembali ke ruang keluar­ga. Ketika keluar satu per satu dari perpustakaan, dan Riris yang terakhir, tiba-tiba ia berseru, ”Hah!” Kontan semuanya segera menoleh dan mendapati wajah Riris pucat dan mulutnya yang terbuka bergetar. Dharma buru-buru menghampirinya. ”Ada apa, Ris?” tanyanya khawatir. 147

Riris menoleh ke lorong sebelah kanan perpustakaan. Ia menunjuk dengan jemarinya yang bergetar. ”Tadi... gue ngerasa ada... ada yang bergerak-gerak di sana.” Semua orang menganggap Riris berkhayal. ”Mana mungkin! Ah, ngaco lo, Ris,” sahut Dika tak per­ caya. ”Jangan nakut-nakutin, ah,” sahut Ullie agak merinding. ”Nggak kok, beneran! Tadi ada orang di sana!” Riris berkeras. Ia mulai berkeringat. ”Ayo kita cek!” ajaknya segera, yang langsung ditanggapi teman-temannya dengan gelengan. ”Nggak ada apa-apa di sana, lo pasti salah lihat!” tegas Uzzie dengan ekspresi takut, tidak mau berpikir Riris me­ lihat hantu dan sejenisnya. Dharma yang mulai takut juga langsung menggandeng tangan Riris. ”Udah yuk, ke bawah. Lo tenangin diri dulu deh,” ujarnya sambil meremas tangan Riris dengan lem­but. Dharma tersenyum, mencoba menenangkan. Riris meng­ angguk, lalu mencuri-curi pandang ke lorong, masih keta­ kutan. Sementara yang lain cepat-cepat menuruni tangga, ingin segera kembali ke lantai bawah. Namun Dika tiba-tiba menyadari bahwa Lutfie tidak mengikutinya. Dia masih berdiri di tempatnya tadi. Teman-temannya yang sudah mencapai setengah tangga heran. 148


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook