”Lo ngapain, Lut?” tanya Dika heran. Lutfie tak menjawab. Ia malah menunjuk ke arah di depannya, tubuhnya mematung. Teman-temannya bingung, lalu mereka pun menoleh ke arah yang ditunjuk Lutfie. Mereka langsung melihat sesuatu, yang pantas saja mem buat Lutfie sampai mematung. ”Itu… itu….” Ullie tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Buku harian dan juga jurnal tergeletak di lantai, di lorong sebelah perpustakaan. Ada kertas di atasnya. Di sana tertulis dengan jelas, dengan tinta spidol merah... JANGAN MENCAMPURI KASUS INI LAGI. KALIAN SEBAIKNYA PULANG. Mereka bergidik ngeri, kecuali Dharma, yang malah tampak geram. ”Mas Imron,” desis Dharma ”Gue rasa bukan Mas Imron yang ngelakuin ini, Dharma,” ujar Dika pelan sambil memegang pundak Dharma. Dharma menunjuk ke perpustakaan di belakangnya. ”Tapi dia pernah ngintip kita. Di sini.” Dika menggeleng. ”Gue rasa tetap bukan dia pelakunya.” Suaranya mantap saat mengatakan itu, walaupun teman- 149
temannya yang lain setuju dengan Dharma bahwa Mas Imron-lah yang melakukannya. ”Tapi...” Dharma berniat membantah namun Lutfie buru- buru memotong. ”Udah, udah, yang penting kita lanjut atau nggak? Atau kita mau berhenti aja sampai sini?” Dharma dan Dika berpandangan lalu menggeleng. Ullie dan Uzzie juga menggeleng, sementara Riris menggeleng takut-takut. ”Tetep lanjut,” sahut Ullie meskipun dengan ekspresi nggak yakin. Setelah memutuskan tetap menyelidiki kasus ini, mereka kembali ke ruang keluarga. Dharma mengunci ruang ke luarga dengan waswas. Mereka memandang ruangan itu dengan bingung. Semua nya terlihat bersih dan cerah. Rupanya ruang keluarga baru saja dibersihkan habis-habisan. Karpet yang biasanya terhampar di depan televisi kini tak ada lagi di tempatnya, dan sofa sudah merapat ke dinding. Ada pesan yang di tempelkan di pintu. Dari Pak Zul. Ruang keluarga sudah Bapak bersihkan. Bapak sedang di laundry. Karpet juga Bapak bawa, sekalian pakaian kalian. 150
Mereka berenam duduk, agak takut. Lutfie memandang teman-temannya dengan khawatir. ”Kita sudah separuh jalan,” ujarnya tegas. ”Siapa pun orang ini, kita akan cari tahu,” tambah Dhar ma geram. ”Dia yang tadi muncul, yang gue lihat sekelebatan. Yang mungkin menaruh buku sama jurnal di lantai.” Riris berujar sambil memeluk lututnya. ”Coba gue lihat buku sama jurnalnya,” kata Uzzie. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil kedua benda itu dari Lutfie yang bergeming. Uzzie membolak-balik halaman kedua buku itu dengan serius. ”Nggak ada yang berubah. Dua-duanya tetep sama kayak sebelumnya,” sahutnya. ”Nggak ada yang dirobek atau dirusak?” tanya Lutfie khawatir. Uzzie menggeleng. ”Kelihatannya nggak.” Lalu ia menge cek keduanya dengan serius. Sampai di halaman tengah jurnal, Uzzie mendadak berhenti. ”Kenapa? Ada yang lo temuin, Zie?” tanya Lutfie. Uzzie menjawab setengah bergumam, ”Kakek Dharma ternyata menggambar denah seluruh isi vila ini. Dia me 151
nandai halamannya dengan lipatan di ujung atas kanan kertas.” Uzzie lalu mengangkat jurnal itu dan menunjuk kannya kepada teman-temannya. Ucapannya membuat teman-temannya segera mendekat. Lutfie merebut jurnal itu lagi. ”Wah, iya. Dan lengkap. Sampai ke ruang-ruang rahasia nya. Ruang rahasia di balik lukisan dan ruang rahasia di ruang keluarga ini. Aduh, kenapa gue baru tahu sekarang tentang ini?” Mereka langsung bergairah mendengarnya. Dharma berseru, ”Nah, apa di jurnal juga disebut di mana ruang rahasia di ruang keluarga ini?” Lutfie meneliti denah itu lalu menggeleng. ”Nggak. Cuma ditulis ’Ruang Rahasia II’ di tengah denah ruang keluar ga.” Dharma menggerutu, ”Idih. Kakek gue pelit amat. Emang sih, dari gue kecil emang udah pelit... Ada sebuah kejadian waktu kakek gue...” ”Ada petunjuknya!” Lutfie memotong ucapan Dharma, ”Mungkin ini sebabnya kakek lo nggak memberitahu de tailnya secara gamblang.” Dharma terperanjat. ”Hah! Apa? Ayo, cepat kasih tahu.” Lutfie kembali meneliti denah dan membaca kata-kata di halaman sebelah denah untuk teman-temannya. ”Johann 152
dengan cerdik menyembunyikan ruang ini. Tapi aku menemukan kelemahannya. Kelihatannya ini ruang yang paling dijaga Johann selain perpustakaan, maka aku sangat tertarik untuk memasukinya. Dan aku memperhatikan, di setiap sisi ruang ini, di setiap dinding, ada empat lukisan. Lukisan musim semi, musim dingin, musim panas, dan musim gugur. Satu sisi dinding untuk setiap musim. Ada lampu di atas setiap lukisan. Aneh, bukan? Bukankah satu saja sudah cukup? Semula aku pikir ini adalah salah satu ide unik Johann.” Lutfie berhenti membaca. Ia menutup kalimatnya perla han seraya berpikir sambil menatap lurus. Lutfie meman dang keseluruhan isi ruang keluarga. Teman-temannya mengikuti. Mereka memperhatikan, memang ada lampu model kuno di atas tiap lukisan empat musim di dinding. Lutfie melanjutkan, ”Kelihatannya lampu ini juga rancangan Johann. Lampu ini dinyalakan dengan memutar sakelar bagian bawahnya.” ”Kayak kompor gas. Pintar juga si Johann itu,” sahut Dika. Lutfie mengangguk. ”Iya, padahal waktu itu kan belum tentu ada kompor gas seperti zaman sekarang, ya? Pemikir hebat si Johann itu. Nah, gue lanjutin, ya.” Lutfie menyipitkan mata karena kata-kata di jurnal itu mulai pudar. ”Jika empat 153
lampu itu hanya dinyalakan bersamaan secara sembarang, maka fungsi lampu itu tak lebih dari sekadar lampu-lampu biasa. Namun jika...” Lutfie kembali berhenti. ”Kenapa lo berhenti lagi, sih?” tanya Dharma sebal. Lutfie memandangnya bingung, sambil menunjukkan salah satu bagian jurnal yang tadi dibacanya. ”Rayap lagi. Nih, lihat!” Semua orang langsung mengerang. ”Argh, selalu gitu deh! Sekarang kita harus cari tahu sendiri.” Dharma mengacak- acak rambutnya dengan jengkel. Lutfie juga jadi sebal. Semuanya sontak menggerutu. ”Ini sama aja kita nggak ada kemajuan,” dengus Riris. Uzzie merenung, dahinya berkerut. ”Tadi beliau menulis, jika lampu hanya dinyalakan bersamaan secara sembarang, maka fungsinya nggak lebih dari sekadar lampu-lampu biasa?” Lutfie memandangnya heran, lalu mengangguk. ”Di situ emang ditulis gitu. Kenapa? Lo punya ide?” tanyanya. Uzzie tak menjawab, hanya memegangi dagunya sambil berpikir. Beberapa saat kemudian Ullie memekik. Teman-temannya beralih menatapnya. ”Gue tahu! Gue tahu! Gue nangkep maksud lo, Zie. Kalau lampu-lampu itu dinyalakan bersamaan dan sembarang, 154
ya itu cuma lampu-lampu biasa, nggak lebih. Gimana ka lau... kalau ada urutan tertentu untuk menyalakan lampu itu? Sebentar, sebentar. Musim panas, musim semi, musim gugur, musim dingin. Semua itu empat musim di negara Belanda. Coba kita urutkan dari musim di bulan perta ma.” Lutfie ikut memekik. Semua orang gantian menatap nya. ”Iya, iya! Jadi... pertama musim dingin, ya kan? Karena musim dingin mulai dari bulan Desember sampai Februari. Lalu musim semi dari bulan Maret sampai Mei. Terus mu sim panas yang berlangsung dari bulan Juni sampai Agus tus. Dan terakhir musim gugur dari September sampai November.” Semua orang ikut berseru. Mereka mulai paham. ”Lo bener! Aduh, kok gue lama banget ya nangkepnya?” Dharma memandang Lutfie dengan antusias. ”Nah, jadi kita putar dulu lampu di atas lukisan musim dingin, lalu lampu di atas lukisan musim semi, lalu lampu di atas lukisan musim panas, dan terakhir, lampu di atas lukisan musim gugur,” tambah Riris bersemangat. Dharma menepuk bahu Riris dengan keras, sampai Riris mengaduh kesakitan. ”Lo benar, Ris! Sekarang ayo kita co ba!” 155
Dengan antusiasme level tinggi mereka segera meng hampiri lukisan di setiap sisi dinding. Lutfie dan Uzzie di lukisan musim semi, sementara Ullie di sebelah lukisan musim panas. Dika di dekat lukisan musim gugur yang menurutnya sangat artistik dan tampak nyata, sedangkan Dharma dan Riris di depan lukisan musim dingin. ”Kok kayak kita ya, Dharma? Musim dingin kan menggigit, dinginnya sampai ke tulang. Kayak kita, kalau bertengkar sebalnya juga sampai ke tulang,” ujar Riris sambil menge dipkan sebelah mata. Semua orang terbahak mendengarnya. Mereka mengakui, dua teman mereka itu memang kebangetan, sering banget berantem. Dharma menepuk jidatnya lalu menjitak Riris. ”Nggak nyambung, Ris,” katanya. Riris mengaduh lalu ganti menjitak Dharma. ”Sakit tahu! Lo mau kita berantem lagi?” omelnya. Dharma mengaduh dan balas menjitak Riris lagi. Semua orang menepuk dahi. Aduh, mulai deh, dua orang itu. ”Udah ah! Pusing gue dengar kalian ribut. Berisik tahu! Ayo kita coba putar sakelarnya,” seru Dika yang mulai habis kesabaran. Mereka mencoba menghidupkan masing-masing lampu sesuai posisi yang mereka pilih. Pertama, Dharma dan Riris. 156
Mereka sempat dorong-dorongan dan saling menjitak. Ma sing-masing ingin memutar sakelar duluan. Teman-teman nya kembali menepuk jidat. Akhirnya Riris yang menang. Ia mendorong Dharma sampai menabrak sudut ruangan, lalu memutar sakelar dengan penuh kemenangan. Ada suara ”grek” samar menyusul setelah sakelar itu diputar, seperti saat Dharma dulu membuka kotak musik. Giliran kedua adalah Lutfie, ia memutar sakelar dibantu Uzzie. Ada suara ”grek” samar lagi. Lalu gantian Ullie, ia memutar dengan kuat. Suara ”grek” yang ketiga terdengar lebih keras. Dika selanjutnya. Suara ”grek” terdengar lagi. Mereka menahan napas dan berpandangan. Suara ”grek” yang lebih keras terdengar. Mereka terpaku. Suara ”grek” itu terulang lagi. Bersahut-sahutan, susul- menyusul. Kemudian, sebuah lubang kecil yang hanya bisa dimasuki satu orang terhampar di lantai tengah—yang biasanya tertutup karpet tebal. Rupanya benar ada ruang rahasia di bawah ruang keluarga. Debu mengepul dari lu bang persegi itu. Mereka memandang ternganga ke lubang hitam gelap di depan mereka. 157
13. TIDAK ada seorang pun dari mereka berenam yang sanggup berbicara. Masing-masing me- longo dengan gaya khas masing-masing. Dika dengan wajah lucu dan mulut memben- tuk huruf O, sementara Lutfie memegang gagang kaca matanya dengan ekspresi heran. Riris tak mampu berkata-kata, tangannya masih tak beranjak memegang sakelar lampu. Ullie mendekat ke sisi lubang, melongo dengan pandangan penasaran. Dharma yang masih berdiri di pojok setelah didorong Riris tadi memandang ke depan dengan kaget. ”Wow,” desah Ullie. 158
”Keren,” tambah Dika. ”Kayak mimpi,” tambah Riris, menepuk kedua pipinya bergantian. Dharma mendekat ke arah lubang, berdiri di samping Ullie dan Uzzie. ”Si Johann itu benar-benar hebat,” kata nya. ”Iya, ruang rahasia di sini banyak banget.” Uzzie meng angguk menyetujui. Lutfie mendekat ke lubang itu, masih terheran-heran. ”Kalian mau masuk?” tanyanya. Dharma memperhatikan lubang itu. ”Kita nggak tahu gimana cara turunnya. Apa perlu nyari tangga?” Riris mengambil senter Lutfie di meja ruang keluarga dan menyorotkannya ke arah lubang. ”Ada tangganya tuh,” katanya perlahan. Dharma mengacak-acak rambut Riris sambil tertawa. ”Hebat, lo. Gue bangga sama lo,” serunya. Riris, di luar kebiasaannya, tersenyum sangat lebar. Biasanya ia malah menjitak Dharma. Dika menengok ke arah lubang. ”Kita masuk sekarang?” tanya Dika sambil memperhatikan lubang itu dengan sak sama. Teman-temannya mengangguk mantap. ”Harta karun, harta karun!” Ullie bertepuk tangan de ngan antusias. 159
Dharma turun lebih dulu setelah mengambil senter di kamarnya, Lutfie tepat setelahnya, Ullie dan Uzzie berikut nya. Riris menyusul, ia memandang sekeliling lubang, tampak enggan. Dika yang terakhir masuk tampak ragu karena bingung harus menutup pintu lubang atau tidak. Ia khawatir akan ada orang lain yang masuk. Akhirnya ia memutuskan membiarkan pintu itu terbuka. Ia khawatir tidak bisa membukanya dari dalam. Mereka tidak tahu, ada seseorang yang mengintip dari atas lubang. Rupanya sosok itu sudah mengintai dari balik lemari besar sebelum mereka berenam masuk ke ruang keluarga. Dia sudah memperkirakan ruang keluarga selalu dijadikan tempat berkumpul. Sosok itu memperhatikan dengan senyum kemenangan ketika semua anak perlahan masuk ke ruang rahasia. Ruangan itu pengap dan apak, penuh sarang laba-laba, dan sangat gelap. Dan yang pasti, debu di sana sangat tebal. Riris dengan segera menutup hidung dan mulutnya. Ullie dan Uzzie berkali-kali menepis debu dan sarang laba-laba yang menyangkut di baju mereka. Dharma yang paling tak tahan debu kembali bersin-bersin. Suaranya menggema keras di dalam ruangan itu. Teman-temannya menutup telinga rapat-rapat. 160
”Gila, dia bersin lagi,” keluh Dika. ”Berisik banget,” sambung Ullie. Mereka lalu melanjutkan penelusuran sambil menggerutu. Dharma berjalan sambil menutup hidungnya yang gatal. ”Sini, gue aja yang bawa.” Lutfie merebut senter dari ta ngan Dharma dengan jengkel lalu berjalan mendahului nya. Ruang rahasia itu berupa lorong panjang dengan atap setengah lingkaran seperti ruang di dalam lubang lukisan. Dindingnya terbuat dari semen yang tidak begitu halus pengerjaannya, atau mungkin memang sengaja dibuat de mikian. Lorong itu memanjang. Udara pengap membuat mereka cepat merasa capek menelusurinya. ”Lubang ini sepanjang apa?” tanya Ullie, kata-katanya dengan jelas menyiratkan aku-ingin-segera-keluar. ”Iya, kayak nggak ada ujungnya,” keluh Uzzie, mulai bersin. Lima belas menit berlalu, lorong itu melebar dan mereka sampai di sebuah ruangan seperti gua. Ada satu lentera yang Dharma temukan sebelum sampai di ruangan itu dan ia—untungnya membawa pemantik api—segera menyala kannya. Perlahan ruangan itu mulai terang walaupun caha yanya samar-samar. ”Ini kayaknya pusatnya,” sahutnya, sambil memperhatikan sudut-sudut ruangan itu. 161
”Jadi, apa ya isi ruangan ini?” tanya Lutfie penasaran. Mereka memasuki ruangan itu satu per satu. Di ruangan itu terdapat satu ceruk yang ditutupi terali besi tebal berkarat. Uzzie mendekati ceruk itu karena ia merasa ada sesuatu di sana, sementara teman-temannya sibuk meng amati struktur ruangan. ”Hei, ruangan ini masih kokoh, kan? Nggak bakal runtuh atau gimana? Kan udah lama,” tanya Dika yang mulai parno, memandang sekeliling dengan khawatir. Riris langsung melotot. ”Jangan mulai mikir aneh-aneh deh Dik.” ”Buat apa Johann bangun ruangan ini? Perlindungan bawah tanah?” tanya Ullie kepada Lutfie. Lutfie mengedikkan bahunya. ”Bisa jadi...” Ullie tiba-tiba memikirkan sesuatu, dan dia langsung tersenyum, ”Hei, berarti kemungkinan beneran ada harta di si….” Belum selesai kalimatnya, tiba-tiba ada yang menjerit keras dan membuat mereka terperanjat. Rupanya, Uzzie yang menjerit. Semua orang langsung menghampirinya. ”Kenapa, Zie?” tanya Dharma panik. Uzzie menunjuk ke arah ceruk sambil menutup wajah dengan tangannya. ”Di sana! Di sana!” jeritnya penuh kengerian. Sekujur badannya bergetar. 162
Dharma dan Lutfie segera memeriksa tempat yang ditun juk Uzzie. Mereka langsung terkesiap. ”Ya ampun!” Lutfie nyaris menjatuhkan senter saking terkejutnya. Dharma langsung menarik Riris ke tubuhnya sebelum cewek itu sempat melihat. ”Jangan lihat!” seru Dharma keras. Riris berusaha mem berontak dan berkeras sampai akhirnya Dharma memper ingatkan. ”Jangan lihat, atau lo bakalan nyesal nanti!” Riris pun mengangguk pelan. Dika dan Ullie berjalan mendekat ke ceruk. Setelah melihat apa yang ada di dalamnya, mereka mematung. Dika buru-buru mengalihkan pandang, tampak mual. Ullie berusaha menahan jeritan, matanya membelalak kaget. Sesuatu dalam ceruk itu membuatnya sangat ngeri. Seha rusnya itu tidak ada di dalam sana. Sebuah kerangka manusia. Tangannya menjulur ke de pan. Masih ada bekas gaun mewah di badan kerangka itu, walaupun sudah terkoyak di sana-sini. Di jari manisnya tersemat cincin. Lutfi mengambil cincin itu dan mendapati sebuah inisial di sana: J&J. ”Johann dan Johanna.” Lutfie menyimpulkan arti inisial itu. Suaranya bergetar. Semua mematung. Mereka ketakutan, dan mulai mener ka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. 163
*** ”Johanna... Itu kerangka Johanna?” bisik Uzzie parau, telah pulih dari syok, tapi badannya masih gemetar. ”Siapa lagi kalo bukan dia?” Dharma memejamkan mata, kelopak matanya bergetar. ”Kenapa kerangka itu ada di sini?” timpal Lutfie ngeri. ”Benar, itu kerangka Johanna. Tapi… kata Pak Zul, Johann udah kembali ke Belanda sama Isabel dan Peter, kan?” lanjut Ullie menggeleng-geleng. ”Berarti, yang selama ini kita kira bahwa Johanna sudah lebih dulu kembali ke Belanda, ternyata masih ada di sini?” tanya Dika dengan wajah pucat pasi. ”Tapi apa alasannya sampai dia dikurung begini?” Wajah Lutfie memucat. Benaknya penuh dengan pertanyaan dan kemungkinan yang mengerikan. Mengapa Johanna diku rung? Di ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, sam pai akhir hidupnya? Mungkinkah dia dikurung setelah dituduh membunuh Annette? Berarti… Johann-kah yang melakukannya? Riris yang akhirnya melihat kerangka itu mulai histeris dan menjerit. Dharma kembali memeluknya. ”Ssshhh... Udah, ayo kita pergi dari sini, diskusinya di luar aja.” 164
Semua orang menyetujui usul itu, perasaan mereka ka cau. Mereka berjalan dengan kaku menuju pintu keluar. Lorong itu terasa lebih panjang. Sesekali mereka bergantian melihat ke belakang dengan ngeri, khawatir ada yang mengikuti. Sampai akhirnya mereka tiba di pintu keluar. Lutfie yang berjalan paling depan mendadak berhenti, sehingga semua orang di bela kangnya menubruknya, dan menggerutu. ”Kenapa berhenti, sih?!” seru Dharma. ”Gue pengin cepat keluar, tahu!” damprat Dika, wajahnya penuh keringat dingin. ”Pintunya tertutup, guys!” sahut Lutfie dengan suara bergetar. Ia berbalik memandang teman-temannya, wajah nya pucat. Kata-kata Lutfie bagai vonis mengerikan, mereka dengan tergesa-gesa saling berebut, masing-masing ingin mengham piri pintu masuk untuk memastikan kata-kata Lutfie. Tapi... memang benar, pintu itu sudah tertutup. Dharma dan yang lainnya memandang pintu di atas mereka dengan khawa tir. ”Gue nggak nutup pintunya tadi!” seru Dika histeris. ”Tadi pintu ruang keluarga juga udah gue kunci! Nggak mungkin ada orang yang lihat kita masuk ke sini!” tambah Dharma setengah berteriak, tak sanggup mencegah panik dalam suaranya. 165
”Apa mungkin pintunya nutup otomatis ketika orang masuk ke dalamnya?” sahut Uzzie, berusaha berpikir jernih kendati ia juga merasakan ketakutan luar biasa. ”Berarti ada semacam... apa ya... semacam... tuas barang kali? Supaya Johann bisa keluar ketika pintunya menutup?” tebak Ullie sambil menatap teman-temannya bergantian, tapi mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Lutfie yang selama perdebatan terdiam, akhirnya bersua ra. Ia mencoba merangkum semua perdebatan teman- temannya tadi. ”Nggak, pasti pintu nggak nutup otomatis. Johann pasti juga mempertimbangkan faktor keamanan dirinya sendiri. Jadi ya, memang ada tuas, tapi tuas itu buat nutup pintu dari dalam agar dia benar-benar bisa mengontrol. Tuh, lihat, ada tuas.” Lutfie menunjuk dengan senter ke arah tuas yang sudah tidak keruan bentuknya. ”Itu... tuas? Kenapa begitu bentuknya?” gumam Dika tak percaya. Lutfie segera mendekati tuas itu, tak sabar. ”Ada yang merusaknya. Lihat, bekas patahan tuas itu masih baru.” Lutfie berkata cepat. Semua orang segera mengerumuni tuas itu. ”Oh, my God!” Dharma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. ”Sial! Sial!” gerutu Dika. 166
”Dan kelihatannya orang yang melakukan ini mening galkan sesuatu untuk kita,” tambah Lutfie pelan, menyorot lagi ke samping pintu, tepat di sebelah tuas. Tangannya yang memegang senter tampak bergetar. Semua temannya terperanjat. Mereka segera mengamati kertas putih berukuran kuarto yang disorot senter dan mulai penasaran. Di atas kertas itu, tertulis dengan spidol tebal yang digoreskan kuat-kuat, seakan berniat benar- benar menegaskan maksudnya, tertulis dengan huruf be sar: PERINGATAN KEMARIN BELUM CUKUP JELAS? KALIAN MEMANG KERAS KEPALA. SILAKAN MENEMANI JOHANNA DI TEMPAT PERISTIRAHATANNYA. 167
14. K EENAM anak muda itu kontan histeris setelah membaca surat peringatan tersebut. ”Nggak mungkin. NGGAK MUNGKIN!” Riris menjerit. ”Sial. Sial!” Dika memukul-mukulkan kepala ke din- ding. ”Siapa… siapa yang ngelakuin ini?” Riris menjerit lagi. ”Nggak mungkin Mas Imron sampai sejauh ini!” Dika murka. Dia lupa dia sempat tidak percaya Mas Imron pe- lakunya. Dharma menggeram marah, masih menatap surat per- ingatan itu, lalu merobeknya dengan kasar. ”Kita terjebak di sini…” Ullie menggeleng kalut. 168
”Ya Tuhan,” bisik Lutfie parau. ”Telepon polisi! Kita harus cari bantuan!” seru Ullie yang sudah bersimbah air mata, berusaha mencari jalan keluar. Tangannya yang bergetar mencengkeram handphone erat- erat. Seluruh badannya juga ikut gemetar saat ia mencoba mengutak-atik handphone-nya. Teman-temannya segera tanggap dan meraih handphone masing-masing. ”Nggak ada sinyal di sini!” jerit Riris semakin histeris. ”Gimana ini, gimanaaa?!” Uzzie nyaris menangis, lalu memeluk Ullie, badan mereka gemetar hebat. Sementara itu Dharma dan Dika masih mencoba mencari sinyal, na mun dari ekspresi mereka bisa ditebak bahwa usaha me reka gagal. ”Pasti ada jalan keluar lain! Pasti! Si Johann pasti nggak cuma bikin satu pintu keluar!” Lutfie yang biasanya tenang mulai panik juga. Ia memandang ruang sekelilingnya de ngan kalut. Lutfie lalu meraba-raba dinding, berharap ada pintu tersembunyi atau semacamnya yang dapat menuntun mere ka keluar. ”Ayo kita cari! Gue yakin pasti ada!” ajaknya segera pada teman-temannya. Mereka langsung mengiyakan. Mereka ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu. 169
Mereka berenam menelusuri lorong itu sekali lagi. Riris mencengkeram lengan Dharma di depannya kuat-kuat, sedangkan Uzzie menempel pada Lutfie tepat di belakang nya. Ullie menggigil lagi, kali ini tidak sehebat yang pertama tadi. Dika berulang kali berujar ”nasib buruk, nasib buruk” sambil berjalan di belakang Ullie. Mereka terus berjalan mencari-cari jalan keluar hingga kembali ke ruangan luas tempat ceruk berterali besi tadi berada. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha mengalih kan pandangan ke mana saja asal tidak ke ceruk itu. Lutfie dan Dharma menyenter ke sekeliling ruangan. Dika meneliti setiap detail dinding. Uzzie mencari-cari, siapa tahu ada semacam tuas lagi. Riris yang akhirnya menemukannya berteriak dengan suara yang masih bergetar, ”Ada! Gue nemu! Bisa kita lewati walaupun sempit. Ayo!” Mereka berenam langsung tanggap dan berlari mengham piri pintu itu. Mereka memandang lubang gelap berukuran agak kecil berbentuk persegi dengan ngeri. Lubang itu ditutupi semacam pintu kayu yang sudah lapuk. Pintu itu jatuh ke lantai ketika Riris mencoba membukanya untuk memeriksa. Lutfie menyorot lubang, menelitinya dengan saksama. ”Sempit. Ayo kita coba! Gue duluan, biar bisa mastiin aman apa nggak.” Lutfie memasuki lubang itu. Setelah 170
beberapa saat yang menegangkan, Lutfie berseru. Suaranya menggema dari lubang tersebut, ”Aman! Kalian bisa ma suk!” ”Ayo kita segera nyusul.” Dharma menatap teman-teman nya sambil mengangguk. Maka kelima temannya dengan ketakutan luar biasa memasuki lubang itu satu per satu. Dharma duluan, dia memasuki lubang tanpa ragu. Sesekali dia mengecek te man-temannya di belakang. Dika paling belakang. Lubang itu lumayan sempit, tak mungkin bisa dilewati orang bertubuh gemuk. Mereka dengan susah payah merangkak di dalamnya. Lubang itu berupa lorong dan udaranya lebih pengap. Juga banyak debu. Riris setengah mati berharap tidak ada laba-laba, tikus, atau binatang semacamnya yang biasanya ada di bawah tanah. Ia melewati lorong itu sambil menoleh ke kanan- kiri. Mereka mulai terengah-engah sepuluh menit kemudian, apalagi ketika lubang itu mulai menanjak. Dengan kekuatan luar biasa mereka terus menyusuri lorong itu, sampai ak hirnya mereka merasa sudah hampir sampai di ujung karena ada titik cahaya di depan dan udara jadi lebih ba nyak. ”Kalian nggak apa-apa? Udah mau sampai!” seru Dharma, ucapannya bergaung di lubang itu. 171
”Nggak apa-apa!” Teman-teman di belakangnya segera menyahut. Akhirnya lubang itu berakhir juga, tapi masih ada teralis besi yang harus dibuka. Lutfie, yang berjalan paling depan, berusaha keras membukanya. Dia tampak kesulitan. Dhar ma yang melihatnya terlihat cemas. Teman-temannya yang lain langsung berhenti saat Dharma tidak bergerak lagi. ”Pasti karena udah lama nggak dibuka,” sahut Dharma mulai panik lagi. Dia ingin membantu, tapi hanya tangannya saja yang mampu menggapai. ”Dharma! Ada masalah apa? Kok berhenti?” seruan Dika terdengar. ”Bentar, Dik! Teralisnya susah dibuka!” Dharma segera membalas. Dengan terengah-engah, Lutfie dan Dharma bersama- sama menarik teralis yang sudah berkarat itu. Teman- temannya yang berada di bawahnya mulai merasa lemas. Riris nyaris pingsan dan Ullie sesak napas. Beberapa menit kemudian, teralis itu akhirnya berhasil dibuka. Lutfie dengan cepat keluar, dan segera membantu teman-teman nya. Dharma bermandi peluh. Riris dan Ullie terbatuk- batuk, sementara Uzzie harus digendong Dika karena nyaris pingsan. Mereka semua akhirnya bisa keluar. Kemudian meman dang ke sekeliling. Pemandangan hijau terhampar, bunga 172
bermacam-macam berjejer rapi dan cantik, udara terasa sejuk. Dika tersenyum. ”Eh, kita di mana? Surga? Wah, sejuknya...” Lutfie menggeleng, wajahnya ikut berseri. ”Bukan. Ngaco lo! Kita masih hidup, tahu! Ini rumah kaca.” Lutfie tiba-tiba berbaring di tanah dan menutup matanya. Lubang itu ternyata berakhir di rumah kaca, tepatnya di samping keran air. Mereka langsung merebah di tanah, mendesah, memandang sekeliling rumah kaca dengan nanar. Sinar matahari tak begitu terik, cukup hangat. Riris merasa seakan-akan ia sudah lama sekali tidak me lihat sinar matahari. Seolah-olah sudah berabad-abad berada di ruang bawah tanah yang mengerikan itu. Ullie mengelus- ngelus dadanya, perlahan rasa sesaknya mereda. Dika bangun dari posisi berbaringnya dan memandang teman-temannya satu per satu. ”Kalian oke kan?” tanyanya agak cemas. Teman-temannya mengangguk. Ketika melihat Uzzie yang masih memejamkan mata, Dika lalu mengusap wajah cewek itu dengan air dan beberapa detik kemudian Uzzie membuka matanya. ”Hm…” Hanya itu yang keluar dari mulut Uzzie. Ia meman dang sekeliling dengan bingung. ”Johann pasti orangnya kurus, makanya dia bikin lubang yang hanya bisa dilewati orang kayak dia,” gumam Dharma dengan suara lemah. 173
”Memang.” Lufie teringat potret Johann di perpustakaan. Orang sekurus Johann memang bisa melewati lorong itu dengan mudah. Untung saja di antara mereka berenam tak ada yang bertubuh gemuk. Lutfie bersyukur dalam hati. ”Apa yang akan kita lakuin sekarang?” Pertanyaan itu terdengar dari Uzzie yang masih terbaring di tanah. Ia masih tampak lemas. Lutfie dan Dharma berpandangan, tidak tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. ”Cepat telepon polisi!” sahut Riris segera. Ia berpikir semakin lama mereka di sana akan semakin membuang- buang waktu, keadaan akan semakin berbahaya bagi mere ka. ”Segera laporin Mas Imron!” sahut Dika geram. Kini Dika benar-benar percaya Mas Imron pelakunya. Tidak ada orang lain lagi. Kelakuan Mas Imron yang men curigakan baginya sudah cukup membuatnya yakin. ”Tapi kita nggak punya bukti Mas Imron pelakunya,” balas Dharma heran. ”Tunjukin aja kertas yang ditinggalin bareng buku harian sama jurnal. Bilang sama polisi Mas, Imron pernah ngintip kita, nanti Mas Imron pasti diperiksa,” sergahnya. Dharma memandangnya. ”Ya udah. Tapi kita balik ke vila dulu, atau kita langsung 174
telepon polisi sekarang?” tanya Dharma sambil meraih handphone dari saku. ”Kita masuk dulu, tenangin diri dulu,” jawab Dika. Te man-temannya yang lain mengangguk. Sebenarnya mereka masih bingung. Satu kejadian menyusul kejadian lain membuat mereka nyaris tak sempat menarik napas. Setelah mereka berada di dalam vila, Lutfie langsung berujar, ”Oke. Ayo kita telepon polisi. Kita ceritakan se muanya, bahwa ada yang sengaja mengurung kita.” ”Benar. Kita nggak bisa mengatasi ini sendirian. Terlalu berbahaya. Lagi pula kita nggak tahu apa yang akan dila kukan orang itu kalau dia tahu kita bisa keluar dari lubang rahasia,” tambah Dika. ”Gue setuju,” imbuh Dharma. ”Cepat telepon!” sahut Riris tak sabar, ia mengedarkan pandangan ke teman-temannya, khawatir. Dharma segera mengambil handphone-nya dan mulai memencet nomor. ”Letakkan handphone-mu, Nak.” Suara itu mengagetkan Dharma dan teman-temannya. Riris, Ullie, dan Uzzie memekik. Mereka mendapati sese orang yang sama sekali tidak mereka duga. ”Nggak mungkin.” Riris gemetar. Ullie dan Uzzie berpe lukan. 175
”Pak… Zul…” bisik mereka kaget. ”Kenapa…” Dika tak mampu berkata-kata. Dia menatap sosok di depannya, terkejut luar biasa. Di depan mereka berdiri Pak Zul. Beliau menodongkan pistol kuno ke arah mereka. Wajahnya menampakkan eks presi yang selama ini tak pernah mereka lihat, campuran ekspresi dingin dan amarah yang tertahan. Jantung Lutfie nyaris berhenti. Dia tidak memercayai apa yang dilihatnya. ”Apa maksudnya ini?” Pak Zul tidak menggubrisnya. Pandangannya hanya tertuju kepada Dharma. Dharma yang membeku ketakutan tak mampu bereaksi. Pak Zul menatapnya dengan dingin dan kembali berkata, kali ini lebih tegas, ”Letakkan se karang juga. Aku tidak main-main.” 176
15. MEREKA terperangah. Ullie dan Uzzie terduduk. Riris memandang tak percaya. Pak Zul tertawa penuh kemenangan, sama sekali berbeda dengan Pak Zul ramah yang selama ini mereka kenal. ”Kaget? Ah, aku tidak menduga kalian bisa keluar dari ruang bawah tanah itu. Sayang sekali, seperti yang pernah kubilang, kalian bisa menemani Johanna di tempat peristira- hatannya.” Mereka tak menjawab. Pak Zul mengelus pistolnya. Ullie dan Uzzie gemetar. ”Tapi... tapi...” Dharma memandang Pak Zul antara bi- 177
ngung dan tidak percaya. Penjaga vila yang selama ini dipercaya keluarganya bisa bertindak demikian. Pak Zul tidak menggubris. ”Tapi… Mas Imron….” Dika kembali tak mampu berkata- kata. Pak Zul kembali tertawa. Dharma dan teman-temannya terpaku. Suara tawa itu kembali terdengar seperti suara orang yang tidak mereka kenal. Tawa tanpa perasaan. ”Kalian mencurigai Imron?” tanyanya sambil masih ter tawa. ”Dia pernah mengintip…” Suara Dharma tersela tawa Pak Zul. ”Dia mengintip kegiatan kalian? Dan kalian curiga bahwa dia yang selama ini melakukan semuanya? Dia cuma orang desa,” sahutnya mengejek. Dharma dan teman-temannya tidak menyahut lagi. Riris, Ullie, dan Uzzie menatap pistol di tangan Pak Zul penuh ketakutan. Pak Zul menyadari pandangan mereka dan menyeringai. ”Pistol ini ada sejak zaman Belanda. Johann menggu nakannya untuk mengeksekusi Jaya. Dan mungkin kalian akan jadi yang selanjutnya. Pistol ini memang sudah kuno, tapi masih sangat bagus digunakan. Masih ada beberapa peluru di dalamnya,” tuturnya sambil mengelus pistol itu. 178
Lutfie terperangah. ”Johann menggunakannya untuk membunuh Jaya? Kenapa?” Pak Zul tertawa. ”Kalian belum membaca keseluruhan jurnal dan buku harian itu?” Lutfie menggeleng. Pak Zul tertawa lagi. ”Sayang sekali, sayang sekali. Cerita nya seru, Anak-anak. Ah, tapi aku tak perlu membaca kese luruhan buku itu. Aku hidup di dalamnya bersama lelaki yang tega membunuh putrinya sendiri dan memfitnah istrinya.” ”Apa maksud Bapak? Jelaskan pada kami! Kenapa Bapak juga berniat mencelakai kami?!” teriak Lutfie. Pak Zul menatapnya tajam, lalu berkata perlahan, ”Aku bekerja di sini setelah ayahku wafat. Aku menggantikannya. Dan selama di sini, aku merencanakan cara membalas den dam. Sayangnya aku tak bisa. Kapal yang ditumpangi Jo hann beserta Isabel dan Peter tenggelam dalam perjalanan mereka ke Belanda. Hanya Isabel dan Peter yang selamat. Rasakan, dasar monster! Lalu aku berniat mengungkap kebenaran kasus ini. Tapi bagaimana mungkin? Kasus ini sengaja ditutup-tutupi. Benar-benar busuk! Aku benci me reka semua!” ”Buat apa Bapak membalas dendam? Kasus ini tidak ada hubungannya dengan Bapak!” seru Dharma gusar. Ia mende kati Pak Zul dengan marah. 179
Pak Zul kembali menodongkan pistol. ”Kalau ada yang bergerak sedikit saja, pistol ini yang bicara.” Efek kalimat pendek itu langsung terlihat. Dharma mendengus, hanya bisa menatap marah pada Pak Zul. ”Aku akan berbaik hati pada kalian. Kuceritakan kisahnya supaya kalian tahu. Kalian bodoh jika setelah tahu cerita ini, kalian masih berpikir kasus ini tidak ada hubungannya denganku,” Pak Zul berkata lagi. Lutfie tak bisa menahan diri, tiba-tiba ia meneriaki Pak Zul, ”Tak perlu. Kami bisa mengungkap kebenarannya sendiri.” ”Tidak! Kalian anak-anak sok tahu. Tapi aku berterima kasih kepada kalian. Aku tadinya tidak tahu tentang buku harian Johanna, apalagi jurnal milik kakek kamu, Dharma. Aku benci kalian bisa menemukan kedua benda itu tak lama setelah kalian datang. Padahal aku yang telah meng habiskan lebih dari separuh hidupku di sini bahkan tidak pernah tahu kedua benda itu ada. Di mana kalian mene mukannya, hah?” serunya. ”Perpustakaan,” sahut Lutfie pendek. Pak Zul segera tertawa. ”Perpustakaan, hah? Sial, aku tidak pernah menduganya. Aku bahkan baru tahu itu ruang favorit Johann setelah aku baca buku harian Johanna. Lalu setelah aku tahu kalian 180
mengorek-ngorek kasus itu, aku mulai marah. Apalagi ketika kalian berniat menyelidiki kebenarannya!” Ucapan Pak Zul yang berbelit-belit mulai membuat Dharma tidak sabar. ”Hanya aku yang boleh membongkar kasus ini. Kalian tidak perlu ikut campur karena kasus ini tidak ada hubungannya dengan kalian! Kalian cuma ingin memuaskan penasaran kalian yang kekanak-kanakan itu. Nah, setelah kalian kubereskan, rumah ini akan kuhancurkan bersama kalian. Tak boleh ada yang mencegahku. Lagi pula, setelah mengungkap kebenaran kasus ini, kalian tidak akan mela porkannya pada polisi, kan? Hah?” Lutfie terdiam. Itu memang benar. Ia tak tahu setelah kasus ini terungkap, akan diapakan. Toh, itu kasus yang sudah sangat lama. Tapi... Lutfie mendadak mendapat ide, ”Kerangka Johanna akan ditemukan dan polisi akan bertin dak! Pasti! Dan...” Pak Zul menggeleng-geleng. ”Dan apa? Adakah keadilan untuk Jaya, hah?! Paling-paling hanya kerangka Annette di ruang dalam lukisan.” Lutfie terperangah dan langsung menyambar, ”Ada ke rangka Annette di sana?” ”Kalian tak tahu?! Ya. Polisi hanya akan menyidik ke rangka Johanna dan Annette. Tapi bagaimana dengan Jaya? 181
Yang ditembak berkali-kali dan mayatnya tidak ada yang tahu di mana, siapa yang akan memberinya keadilan?!” ”Ditembak berkali-kali?” tanya Dika tak percaya. ”Ya!” Pak Zul menjawab penuh kemarahan. ”Memang siapa Jaya? Apa hubungannya dengan Bapak?” Dharma berseru. Kesabarannya nyaris habis. ”Jaya kakakku.” Kalimat itu diucapkan dengan dingin dan lugas namun efeknya besar, yang mengejutkan Dharma dan yang lain. Riris dan Uzzie membekap mulut mereka. ”Tidak mung kin…” Lutfie tersekat. ”Jaya... kakak Bapak?” Pak Zul meng angguk. Intensitas kemarahannya tampak begitu jelas. ”Sekarang kalian tahu kenapa kasus ini sangat berhu bungan denganku? Kakakku dibunuh hanya karena dia menyukai Annette. Dia sering berkata bahwa Annette dan Peter seperti adik-adiknya sendiri. Annette mengajarinya membaca dan sering membacakannya cerita. Peter sering mengajaknya bermain dengan mainan-mainannya. ”Banyak orang pribumi yang bekerja di rumah keluarga Belanda ini sebagai pelayan, ayah dan kakakku salah satu nya. Ayahku bekerja sebagai pelayan Johann. Kakakku menjadi tukang kebun dan biasa bergaul dengan keluarga Belanda itu. Johanna menghargainya dan memperlakukannya 182
dengan baik, tapi Johann dan Isabel tidak. Mereka memben cinya karena Jaya pribumi. Mereka semakin membencinya karena Jaya berani bergaul dengan Annette, terlebih gadis itu juga menyukainya.” Wajah Dharma memucat. Ayah Pak Zul pelayan Johann? Dia ingat catatan di jurnal kakeknya. Dia ingat nama pelayan Johann, Rahmat. Jadi Rahmat ayah Pak Zul, katanya dalam hati. Dharma memandang Lutfie, yang juga me nyadari hal yang sama. Pak Zul berhenti sejenak. ”Cinta Annette berbalas, kakakku juga menyukainya. Mereka sering bercengkerama. Kakakku menanam bunga mawar untuk Annette di rumah kaca itu, karena dia tahu Annette amat menyukainya. Kakakku menyukai hamparan bunga mawar di sini, seperti Annette, dan merawatnya dengan sepenuh hati.” Nada suara Pak Zul sedikit bergetar. ”Mereka semakin dekat dan sering menghabiskan waktu bersama. Mereka juga kerap berjalan-jalan sambil bergan dengan tangan. Aku tidak pernah melihat Annette sebahagia itu. Lalu suatu hari, Johann memergoki Annette sedang membuat kue. Johann kaget manakala mengetahui kue itu untuk kakakku. Annette berniat memberi Jaya kue ulang tahun. Ulang tahun kakakku hanya selang dua hari sebelum ulang tahun Annette. Dan apa yang kemudian dilakukan 183
Johann pada kakakku dan putrinya sendiri? Sungguh amat mengerikan.” Dharma dan yang lain merasa enggan mendengar kelan jutan cerita itu. Mereka merasa bahwa kejadiannya akan sangat mengerikan. Wajah Riris memucat, sementara Ullie kembali membekap mulutnya, tampak mual. Uzzie gemetar, namun tak mampu mengalihkan pandang dari Pak Zul. Pak Zul sekarang sibuk menerawang lalu melanjutkan cerita tanpa menghiraukan ekspresi mereka berenam. ”Dia memang membiarkan begitu saja tindakan Annette yang dianggapnya lancang dan tidak pantas. Dia menahan diri untuk tidak langsung bertindak saat itu juga. Hingga… Pada saat ulang tahun Annette, Bik Inah dan Johanna mem buat kue untuk kejutan ulang tahun Annette. Kalian tahu sendiri kelanjutannya, kan? Annette tewas keracunan, dan aku tahu Johann yang melakukannya. Sadarkah kalian betapa kejamnya dia? Membunuh putrinya sendiri hanya demi ketidaksukaannya melihat putrinya bergaul dengan pribumi lalu menguburnya di belakang lukisan, di ruang yang gelap dan tersembunyi!” ”Kalian tahu Johann adalah orang paling keras dan ber hati dingin yang pernah aku kenal. Dia tega memfitnah istrinya, membuat wanita itu dikucilkan di rumahnya sendiri, dijauhi Isabel, Peter, dan para pelayan. Tak ada 184
keraguan bahwa waktu itu Johanna memang membunuh Annette, kecuali Bik Inah yang mencurigai ada yang aneh di balik kejadian itu. Semua orang tahu Johanna pernah mengalami depresi, lalu mereka mengira depresi Johanna kambuh. Padahal Johanna sama sekali tidak bersalah. Dia korban. Setelah kematian Annette, tak ada berita apa pun tentang Johanna. Johann menyebarkan berita bahwa pe rempuan malang itu sedang dalam perawatan ahli kejiwaan. Tapi aku tahu itu bohong. Kuduga setelah itu Johann mem bunuhnya, demi menjaga reputasinya. Dia lalu menyamarkan kematian istrinya dengan alasan sudah kembali ke Belanda. Dan Bik Inah langsung dikirim pulang ke kampung ha lamannya. Selesai sudah. Kejahatan Johann tidak diketahui siapa pun,” lanjut Pak Zul pedih, namun pistol masih ter genggam erat di tangannya. Lutfie bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi setelah Annette meninggal dan Johanna difitnah. Ia ingat kalimat ”Goodbye” di catatan terakhir Johanna, ingat ketakutannya akan rencana Johann, juga ingat ruang bawah dan kerangka Johanna di dalamnya. Pastilah sejak saat itu Johann me ngurung istrinya, dan menutupinya dengan berita bahwa istrinya sedang menjalani perawatan. Di ruang bawah ta nah yang gelap dan dingin, sampai saat kematiannya… Lutfie mengingat sambil menggigil. ”Lalu kisah tentang kakakku...” Suara Pak Zul terdengar 185
lagi, kali ini tersekat oleh kemarahan. Dharma dan teman- temannya tak sanggup mendengarnya, Ullie bahkan meme luk tubuhnya sendiri dan Riris memejamkan mata. ”Malam itu hujan, petir menyambar-nyambar. Aku ter bangun manakala kudengar suara gaduh. Aku keluar kamar dan mendapati Johann berdiri di depan pintu rumah. Ternyata Johann baru mendobrak pintu itu. Dia langsung menyerbu kamar Mas Jaya lalu menyeretnya keluar. Mas Jaya meronta-ronta. Ayahku tak kuasa bertindak karena Johann sudah menendangnya dengan keras, dan beberapa detik kemudian pingsan. Ibuku berusaha meneriakinya, namun Johann mengancamnya dengan pistol di tangan. Aku hanya bisa membatu. Aku menyesalkan itu selama bertahun-tahun. Seharusnya aku menolong Mas Jaya. Seha rusnya aku memukul Johann atau melakukan apa saja untuk menghentikannya. ”Lalu Johann membawa Mas Jaya ke halaman belakang. Aku mengikutinya diam-diam sambil berusaha mencari cara untuk menolongnya. Mas Jaya menjerit-jerit dan berusaha memohon ampun berkali-kali. Kalian tidak tahu bagaimana rasanya.” Pak Zul menepuk-nepuk dadanya, pandangannya menerawang. Dharma dan teman-temannya bergeming, tetap mende ngarkan. ”Johann mengancamnya untuk diam, kalau tidak dia akan 186
langsung dibunuh. Mas Jaya lalu terduduk ngeri. Aku sebe narnya ingin menghampirinya, tapi aku sendiri takut di bunuh sebelum sempat mendekati kakakku. Jadi aku hanya memandang Johann ngeri. Johann memandang kakakku dengan pandangan dingin. Aku masih ingat kata-katanya, ’Kau seharusnya tidak boleh menyukai anakku. Kau tak pantas menyukainya. Pak Zul menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, ”Dan setelah mengucapkan kata-kata itu, Johann menembak Mas Jaya. Satu kali... dua kali... tiga kali... Johann bahkan tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Pada tem bakan ketiga Mas Jaya masih hidup dan berkata, ’Mawar...’ Johann memandangnya dengan jijik lalu menembak ka kakku tiga kali lagi. ”Aku tak kuasa berbuat apa-apa. Aku terlambat. Kesem patanku sudah hilang. Aku hanya mampu melihat pan dangan Johann yang mengejek ke arah rumah kaca. Dia meludah ke arah rumah kaca itu dan berkata, ’Akan kude katkan kau pada mawarmu itu.’ Lalu dia menyeret kakakku. Aku pingsan setelah itu.” Pak Zul tampak terpukul. ”Ayahku meninggal setelah kakakku. Beliau mengalami perdarahan dalam akibat tendangan Johann di perutnya. Ibuku bukan main sedihnya. Dalam tempo tiga hari, kami kehilangan dua orang sekaligus.” Uzzie dan Ullie mulai terisak, mereka semakin ketakutan. 187
Dharma mematung, Dika hanya diam, Lutfie tampak ber pikir. ”Setelah itu Johann menyebarkan rumor bahwa Mas Jaya berhenti dari pekerjaannya. Semua orang percaya itu, kecuali Bi Inah, yang sudah mencurigai Johann sejak Annette meninggal. Orang-orang juga mengira ayahku sakit dan akhirnya meninggal gara-gara ditinggal pergi kakakku. Sejak saat itu ibuku menjadi orang yang berbeda. Pendiam, jarang keluar, dan tidak mau makan kalau tidak aku paksa. Keadaan itu terus berlanjut sampai ibuku meninggal lima tahun kemudian, pada usia 35 tahun. Tahukah kalian bagai mana perasaanku saat itu? Aku nyaris ingin mati juga! Kalaupun tidak mati, aku pasti sudah gila. Tapi tidak, aku masih bertahan sampai sekarang. Aku bahkan mencoba berkali-kali bunuh diri, tapi selalu gagal.” Suara Pak Zul menyiratkan kepedihan mendalam. Ullie menggeleng-geleng sambil terus terisak. ”Sejak kejadian itu aku berusaha mencari tempat mayat kakakku dikuburkan. Tapi aku tak kunjung menemukan nya….” Lutfie segera memotongnya. ”Mungkin saya tahu di mana mayat Jaya. Hanya dugaan, tapi saya yakin itu benar,” ujar Lutfie sedikit gemetar. Teman-temannya mengalihkan pandangan ke arahnya de ngan terperangah. 188
”Di mana?” tanya Pak Zul dingin. ”Saya akan beritahu, tapi lepaskan kami setelahnya dan jangan mengusik rumah ini lagi. Saya juga akan membantu Bapak mendapatkan keadilan untuk Jaya, entah bagaimana caranya,” jawab Lutfie. ”Aku hanya akan menyanggupi syarat pertama,” respons Pak Zul, semakin menodongkan pistolnya. Lutfie marah, berniat memprotes. ”Tapi...” Belum selesai kalimatnya Pak Zul mulai menarik pelatuk. Lutfie kaget. Teman-temannya terpekik ngeri. Pak Zul menggiring mereka ke ruang keluarga. Ia me ngeluarkan masker dari balik jaketnya, lalu dipakainya. ”Merapat. Duduk saling bertolak punggung. Cepat!” pe rintah Pak Zul. Mereka terpaksa menurut. Belum ada jeda sama sekali untuk melawan. Lutfie, Dharma, maupun Dika terlalu takut karena Pak Zul terus menodongkan pistol, sementara mereka tidak membawa senjata sama sekali. Beberapa saat kemudian badan mereka terasa lemas hingga tak kuat lagi. Akhirnya mereka pingsan. Rupanya Pak Zul sudah menyemprotkan gas H2S (hydrogen sul fide). Sementara mereka terkulai pingsan, Pak Zul mengikat mereka dengan erat. Tangannya bergetar dan napasnya terengah-engah, tetapi usia lanjut sepertinya tak mengha 189
langinya. Kemarahannya terpancar jelas dalam setiap ge rakannya. Kemarahan yang dipicu oleh dendam dan ke bencian yang begitu besar pasti memberinya kekuatan yang mampu membuatnya melakukan itu. Pak Zul terduduk, diam menunggu hingga akhirnya mereka siuman satu per satu. Lutfie yang pertama membuka mata langsung kaget ketika mendapati dirinya dan teman-temannya sudah terikat. ”Apa yang Pak Zul lakukan?” teriaknya. Sementara Pak Zul hanya terkekeh. ”Lho, kenapa kita bisa terikat?!” Uzzie langsung berseru, disusul teman-temannya yang ikut berseru protes. Lutfie memandang Pak Zul dengan benci. ”Bagaimana, apa kalian sudah siap menyusul Johanna?” Lutfie teringat pembicaraan terakhir mereka. ”Tapi saya tahu di mana mayat Jaya! Anda tak bisa melakukan ini!” jeritnya. ”Jangan lakukan ini, Pak! Kita bisa menyelesaikannya sama-sama! Kami akan membantu menemukan mayat kakak Bapak! Kami… kami…” Kata-kata Dharma terputus. Pak Zul memandang mereka dan tersenyum merendah kan. ”Kalian harus banyak belajar, Nak. Aku hanya memerlukan informasi, bukan kalian. Kalian pasti akan melaporkanku 190
pada polisi kalau kubiarkan hidup. Dan apa yang tadi kamu bilang? Kamu akan membantuku menemukan mayat kakakku?” ”Saya tidak mau memberitahu jika seperti itu mau Bapak,” jawab Lutfie kukuh. ”Kalau begitu aku akan memaksamu!” Pak Zul akhirnya benar-benar melepaskan tembakan. Lutfie dan yang lainnya menjerit, tapi tembakan itu tidak benar-benar mengenai salah satu di antara mereka. Tem bakan itu mengenai lantai. ”Masih mau bungkam?” ancam Pak Zul dengan pandang an dingin. Uzzie menjerit, ”Bilang aja, Lut!” Lutfie memejamkan mata. Ia gemetar hebat. ”Rumah kaca itu. Johann mengubur Jaya di sana.” ”Nak, rumah kaca itu luas. Apa kamu tidak bisa menga takannya lebih spesifik?” tuntut Pak Zul. Lutfie menjerit, ”Mana saya tahu! Johann hanya menyebut bahwa dia akan mendekatkan Jaya pada mawarnya. Jika Johann tidak menempatkannya bersama Annette, maka hanya ada satu tempat. Rumah kaca.” Pak Zul menggeram. Pria tua itu memandang sengit pada Lutfie. ”Baik. Aku akui kau benar. Sekarang, aku tinggalkan kalian di sini. Kalian tak akan kubiarkan lolos karena kalian 191
adalah saksi. Dan seperti kataku tadi, aku tidak mau berakhir di tangan polisi.” Dharma mendengus. Dika memaki Pak Zul begitu keras nya. Riris menendang-nendang, berusaha melepaskan diri. Lutfie memandang Pak Zul begitu rupa, tampak sangat marah. Ullie dan Uzzie merintih ketakutan. Pak Zul keluar ruangan. Hal yang kemudian dilakukannya adalah mengunci mereka semua dari luar. 192
16. DHARMA membelalak. ”Gue nggak nyangka,” ujarnya dengan pandangan nanar. Riris masih berusaha melepaskan diri. ”Kita semua nggak menyangka, Dharma,” balasnya. Uzzie menggeleng-geleng, masih terbayang-bayang cerita Pak Zul yang mengerikan. ”Sungguh mengejutkan… Oh, ya ampun, Pak Zul…” Dika tampak beringas. ”Gue bakalan balas dia!” sahutnya marah. Ullie tampak terganggu mendengar celoteh teman-te- mannya, ”Udah, yang penting sekarang kita berusaha mele- 193
paskan diri dulu. Habis itu lapor polisi, Pak Zul pasti masih sibuk menggali seluruh rumah kaca. Kita masih punya waktu,” katanya kemudian. Lutfie mengiyakan. ”Gue setuju. Ayo kita pikirkan gimana caranya lepas dari tali ini, habis itu baru pikirin polisi dan Pak Zul,” sahutnya sambil menggerak-gerakkan tali di sekitar tubuhnya. Mereka segera berusaha melepaskan diri dengan berba gai cara. Dharma dan Lutfie terus menggeliat, menyebabkan yang lain protes karena ikatan di sekitar mereka jadi ikut tertarik. ”Ikatannya kuat, kecuali kita punya pisau atau benda tajam lainnya,” sahut Dika yang kelelahan. ”Dan kita nggak punya yang seperti itu,” keluh Ullie. Dharma tiba-tiba sadar. ”Ada pisau lipat di saku belakang jins gue. Gue selalu bawa kalau gue pergi-pergi, buat jaga- jaga. Siapa yang ada persis di belakang gue?” ”Gue,” Riris menjawab segera. Dharma mengangguk. ”Tolong lo ambil pisaunya, Ris, lalu potong talinya.” ”Idih, masa gue harus merogoh-rogoh saku lo begitu?” ”Ya ampun. Udahlah, Ris, demi kepentingan kita juga,” desak Ullie. ”Itu nggak penting sekarang, Ris! Kita harus cepet melo loskan diri!” desak Dika. 194
”Cepet, Ris!” Lutfie ikut mendesak. Dalam hati Riris jengkel melakukan ini, tapi demi bisa lolos ia harus melakukannya. Tangannya bergetar ketika ia berusaha mengambil pisau itu di saku belakang jins Dharma. Dharma juga ikut canggung sehingga ia bergerak- gerak terus. ”Dharma, bisa berhenti gerak, nggak? Gue jadi nggak bisa ambil pisaunya nih!” omel Riris karena waktu mereka semakin sempit. Dharma berhenti bergerak. Riris akhirnya berhasil mendapatkan pisau itu. Ia lalu mulai mengiris tali. Perlu usaha lumayan keras mengingat posisinya yang sulit. Ia berusaha meraba-raba lingkaran tali di sebelahnya dan memotong sebisanya. Setelah sekitar lima menit, ia bisa melepaskan ikatannya. Teman-temannya yang lain segera bergegas melepaskan diri. ”Sekarang kita telepon polisi!” seru Dharma setelah mere gangkan tangan dan badannya yang kaku. Ia lalu mengambil handphone-nya. ”Eh, Lut, lo cium bau sesuatu, nggak?” Hidung Dika meng endus-endus. Lutfie memandang Dika heran. ”Bau apaan?” Lalu wajah Lutfie menegang. ”Minyak tanah. Bau asap,” sahut Dika kemudian dengan suara pelan. Semua orang berpandangan. Dharma segera mengalihkan pandangan dari handphone-nya ke jendela. 195
”Sial! Pak Zul berusaha membakar rumah ini!” Api mulai menjilati rumah bagian depan. Hawa panas terasa. Mereka mulai panik. ”Gue nggak nyangka dia benar-benar serius dengan ucapannya untuk menghancurkan rumah ini dan kita.” Uzzie lalu melontarkan makian yang teredam suara api berkeretak. Mereka mulai terbatuk ketika asap sudah ma suk lewat celah bawah pintu. ”Cepet! Kita harus cari cara buat keluar!” jerit Riris. Ia memandang sekeliling, mencari-cari jalan yang kira-kira bisa dilalui. Riris mulai berkeringat. ”Jendela! Kita harus lompat lewat jendela! Jangan lupa tutup mulut dan hidung kalian!” sahut Dika. Mereka langsung melayangkan pandangan ke satu-satu nya jendela yang ada. Dharma segera mendekati jendela itu lalu membukanya. Ia melompat cepat, wajahnya meme rah karena panas. Riris dan Ullie bergegas menyusul. Me reka menutupi hidung dan mulut sebisanya. Dika selan jutnya. Lutfie menggendong Uzzie yang napasnya sudah sesak oleh asap. Dharma dan Lutfie segera mengambil slang yang terpa sang di keran di dinding tak jauh dari mereka dan berusaha memadamkan api sebisanya sementara Dika menelepon pemadam kebakaran. Seseorang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. 196
”Ada apa? Kenapa ribut-ri...” Semua orang segera berpaling. Mas Imron memandangi mereka dengan bingung, matanya membelalak. Sebelum semua orang sempat menjelaskan dia sudah keburu berte riak ”Api! Api! Ya ampun!” Dharma segera berseru, ”Mas Imron, coba bantu padam kan api sebisanya. Kami sedang menunggu pemadam ke bakaran. Cepat, Mas!”Dharma lalu mengalihkan pandangan ke Dika. ”Dik, tadi gue belum telepon polisi, tolong telepon seka rang!” serunya. Dika langsung mengangguk. Mata Mas Imron masih menampakkan ekspresi bingung dan kaget sehingga dia belum juga bereaksi. Tapi untunglah ia segera tanggap sesudahnya dan berusaha membantu Dharma dan Lutfie. Mas Imron menyemprot dengan slang sementara Dharma dan Lutfie bolak-balik mengambil air dengan cepat dari rumah Mas Imron. Para cewek berusaha menyelamatkan diri, mereka ber sembunyi di balik rumah Mas Imron, mengintip dengan penuh ketakutan. Dika sibuk dengan ponselnya, berusaha mengontak po lisi. Beberapa saat kemudian, Dika berbisik pada teman- temannya, ”Polisi segera ke sini.” Wajah mereka langsung berubah cerah karena merasa 197
lega, namun masih ada sedikit ketakutan dan kepanikan yang menjalari. Mereka tiba-tiba mendengar suara gerung an. Rupanya itu suara Pak Zul yang menggeram-geram marah. Karena sibuk dengan apa yang sedang dilakukannya, beliau rupanya tidak sadar bahwa Dharma dan teman- temannya berhasil lolos. Tanah berhamburan di sekelilingnya, gundukan tanah dan bunga-bunga yang tergali berceceran. Keadaan rumah kaca nyaris tidak bisa dikenali lagi. ”Sialan kau, Johann! Kau kuburkan di mana kakakku?!” Pak Zul menggerung sekali lagi sambil terus menggali seperti orang kesurupan sampai-sampai tidak menyadari sekitarnya. Dika merasa bersyukur, itu artinya masih ada waktu bagi polisi untuk datang. Riris dan cewek-cewek lain menghampiri Dika. ”Gimana kalau kita kunci rumah kacanya? Jadi kalau polisi datang, Pak Zul nggak akan bisa melarikan diri. Ada kunci cadangan, kan?” Dika menjentikkan jari. ”Lo benar! Tapi masalahnya, semua kunci dibawa sama Pak Zul. Ada kunci cadangan, tapi pasti beliau bakalan bisa membukanya kembali dari dalam.” 198
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236