Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Misteri Buku Harian Johanna

Misteri Buku Harian Johanna

Published by Fairytale, 2021-03-25 13:59:32

Description: Misteri Buku Harian Johanna

Search

Read the Text Version

ekspresinya kaku. Dia sedang duduk di kursi, dengan jambangan bunga di sebelahnya. Sama seperti foto Johann di ruang perpustakaan tadi, wanita itu juga berpose sangat formal. Bedanya, dia terlihat tidak cocok bergaya seperti itu. Tidak seperti Johann. ”Wanita seperti ini lebih cocok berekspresi ceria,” gumam Lutfie. Lutfie kembali ke halaman awal dan mulai membaca diary tersebut. Tulisan-tulisan di tiap halamannya tampak rapat dan sama dengan tulisan di halaman pertama buku. Pada halaman kedua, Johanna memperkenalkan dirinya sebagai istri Johann. Dia adalah warga negara Belanda keturunan Inggris. Dia menetap di rumah itu sejak tahun 1936. Dia mempunyai tiga anak: Peter, Annette, dan Isa­ bel. Jangan-jangan lukisan anak-anak di perpustakaan tadi itu anak-anaknya, batin Lutfie. Ia lalu teringat sosok An­ nette dan Peter dalam lukisan itu. Keduanya mirip dengan Johanna, Annette mewarisi kecantikannya, sementara Peter mewarisi mata dan ekspresinya yang lembut. Sedangkan Isabel, Lutfie mengingat-ingat, garis-garis wajahnya mirip dengan Johann yang ada di foto. Keras dan kaku. Peter adalah anak bungsu sekaligus anak laki-laki satu- satunya. Dia berusia delapan tahun, sama seperti dugaan Lut­fie. Annette adalah putri kesayangan Johanna, usianya 49

tiga belas tahun, sedangkan putri Johanna yang pertama adalah Isabel. Dia sudah berumah tangga ketika usianya sembilan belas tahun. Suaminya bernama Ruben, meru­ pakan putra pejabat Belanda yang berpengaruh di masa itu. Dia jarang berada di rumah. Halaman-halaman awal buku harian mengisahkan kehi­ dupan rumah tangga Johanna. Tampaknya semua berjalan normal. Johann adalah salah satu pejabat tinggi Belanda sekaligus arsitek terkenal yang bertugas di Indo­nesia, se­ dangkan Johanna merupakan ibu rumah tangga biasa. Johanna gemar merajut, menenun, dan berkebun, meng­ ingatkan Lutfie pada koleksi buku tentang merajut dan berkebun yang ia lihat di perpustakaan tadi. Tapi Johanna tidak begitu pandai memasak. Itu sebabnya dia mempe­ kerjakan koki pribumi di rumahnya. Lutfie teringat koleksi buku resep masakan di perpustakaan yang tadi juga dili­ hatnya. Mungkin dia sering mencoba mempraktikkan resep itu, Lutfie membatin sambil tersenyum. ”Menyenangkan juga membaca buku harian ini,” kata Lutfie. Johanna selalu mengisi buku hariannya setiap hari, meskipun kadang tidak ada kejadian penting di hari itu. Cara Johanna menceritakan kisahnya sangat menarik dan pilihan kata-katanya membuat ceritanya ”hidup”. Lutfie jadi tahu sisi kehidupan lain warga Belanda di Indonesia 50

semasa penjajahan dulu. Rupanya gaya hidup mereka sa­ ngat mewah. Pesta-pesta, acara kumpul-kumpul antar pejabat tinggi, dan sebagainya. Rasanya Lutfie seperti bisa membayangkan hiruk-pikuk kehidupan glamor di rumah ini dulu. Ia tersenyum lagi dan menggeleng-geleng. Kehidup­ an Johanna waktu itu terlihat sangat sempurna dan me­ nyenangkan. Lutfie membuka halaman-halaman selanjutnya dengan antusias. Ia ingin tahu lebih banyak lagi tentang kehidupan Johanna dan keluarganya, sekaligus ia bisa belajar lebih banyak tentang kehidupan warga Belanda di Indonesia zaman dulu. Dia bahkan berharap bisa menemukan kete­ rangan tentang akhir kependudukan Belanda. Mendadak, pada halaman tengah, Lutfie tersentak. Ia membaca kata- kata di halaman itu dengan cermat. Bukan aku yang membunuh Annette. Mustahil seorang ibu membunuh putrinya sendiri. Eh, apa... apa ini? batin Lutfie, agak takut. Ia merinding. Jo­hanna membunuh? Apa maksudnya? Dengan gemetar, Lutfie membaca halaman selanjutnya. Johann merencanakan sesuatu untukku. 51

Dia tidak ingin kecelakaan ini tersebar ke orang-orang di luar sana Terutama jika pemerintah tahu. Aku takut.. Aku sangat takut.. Ya ampun, apa maksud tulisan-tulisan itu tadi? Kenapa jadi begini ceritanya? batin Lutfie, semakin merinding. Bayangannya akan kehidupan sempurna Johanna langsung hilang. Dia hampir tak percaya pada apa yang dibacanya. Rasanya tak masuk akal, tak mungkin. Lutfie menggeleng- geleng. Lutfie memperhatikan kapan catatan itu dibuat. Catatan pertama dibuat pada Rabu, 21 Mei 1941, sementara catatan kedua dibuat sehari setelahnya. ”Mungkin gue salah baca,” sahutnya segera, meskipun itu jelas-jelas merupakan pengelakan. Dia tidak salah baca, dia menyadari itu. Ia berhenti sejenak. Lalu menatap buku harian itu de­ ngan tangan bergetar. Jadi, pernah ada pembunuhan di sini? Dan Johanna, wanita yang buku hariannya sedang ia baca, adalah pembunuhnya? Dan dia membunuh… Annette? Putri keduanya? Benaknya langsung tertuju pada Annette, putri Johanna yang berusia tiga belas tahun. Gadis yang sangat cantik 52

dan manis. Tidak mungkin, pikirnya sekali lagi. Mana mung­ kin dia membunuh putrinya sendiri? Dan bukankah Jo­ hanna bilang bahwa Annette putri kesayangannya. Masa ia membunuh putri kesayangannya sendiri?? ”Ini nggak masuk akal,” sahutnya berulang-ulang. Dia menggeleng sekali lagi. ”Sama sekali nggak masuk akal.” Sambil terus berpikir, Lutfie meletakkan buku harian itu di tempat tidur, enggan membacanya lagi. Ia takut pada tulisan-tulisan di sana. Ia tidak menyangka isi buku harian itu akan berubah mengerikan. Lutfie akan mengembalikan buku itu ke tempatnya semula di perpustakaan dan ber­ usaha melupakan pernah membacanya. Saat Lutfie masih berkutat dengan benaknya, teman- temannya pulang. Ia mendengar pintu depan dibuka, suara Riris dan Uzzie langsung memenuhi vila. Mereka tertawa- tawa heboh sambil bercerita tentang kegiatan mereka tadi. Lutfie juga mendengar suara Pak Zul yang menyambut mereka. Ia segera membenamkan buku harian Johanna di bawah bantalnya, memutuskan untuk mengurusnya nanti, kemu­ dian cepat-cepat turun menyambut teman-temannya. *** 53

”Tadi itu seru banget, Lut. Sayang, lo nggak ikut. Panorama­ nya keren parah. Kami semua sampai betah berlama-lama di sana, terus foto-foto di perkebunan teh. Kami ju­ga bikin videonya biar lo bisa ikut lihat kayak apa indah­nya,” kata Dharma, tampak puas. ”Iya, Lut, orang-orangnya juga ramah lho. Eh, tadi kami juga berhasil ikut outbond. LUAR BIASA!” Dika mengacungkan jempol, tampak luar biasa senang. Dia lalu mengembali­kan camcoder ke Lutfie. Ullie menyahut, ”Yep, bener banget. Oh ya, ntar malam kami mau bakar jagung. Ikutan, yuk, Lut? Tadi kami udah beli jagungnya. Kami semua kepingin nongkrong di luar vila sambil makan jagung bakar. Kan enak tuh, dingin- dingin makan jagung bakar yang masih hangat.” Ajakan Ullie langsung membuatnya lupa buku harian tadi. Lutfie lumayan pintar memasak dan tujuannya ke vila ini memang untuk bersenang-senang dengan teman-teman­ nya. Rencana membakar jagung kedengaran begitu seru. Lutfie mengacungkan jempol sambil tersenyum. ”Sip, ide bagus. Gue jelas ikut. Ntar gue deh yang bikin bumbu sam­ balnya,” katanya bersemangat. Uzzie bertepuk tangan dan bersorak. ”Huuu... Oke deh! Eh, Lut, lo udah makan?” tanyanya dan ketika Lutfie meng­ geleng, Uzzie melanjutkan. ”Kalo gitu masak aja yuk, mau 54

nggak? Sekalian manfaatin bekal yang kita bawa sama bahan yang udah dikasih Pak Zul.” Lutfie mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia sampai lupa betapa laparnya dia mengingat tadi begitu sibuk sampai melupakan makan siang. Teman-teman yang lain menyambut usulan Uzzie dengan antusias. ”Ide bagus! Kita buat yang gampang tapi enak. Ehm, gimana kalau sup sama capcai plus ayam goreng? Kita bikin sambalnya juga sekalian,” sahut Dharma antusias. Dika menyambut usul itu, ”Yo... Gue bagian capcai aja, gue jago bikin itu. Kalian pasti langsung ketagihan.” Teman-teman lain pun segera menentukan tugasnya masing-masing sesuai keahlian mereka. Uzzie mengacungkan jarinya. ”Gue bagian ayam goreng­ nya. Ayam goreng tepung aja ya, yang simpel dan cepet. Dijamin enak kok,” tawarnya. ”Oke. Gue bagian supnya aja deh,” timpal Lutfie. Dharma menepuk punggungnya. ”Ntar gue bantu siapin alat-alatnya. Untuk urusan sambal, gue yang bikin. Sambal bikinan gue mantap. Dijamin kalian bakalan nambah.” ”Gue yang potong-potong sama cuci bahan sayurnya.” Ullie tak mau kalah. ”Yang masak nasi siapa?” tanya Lutfie tiba-tiba. Serentak semuanya mengalihkan pandangan ke Riris. 55

Riris balas memandang teman-temannya dengan bi­ngung. ”Kenapa? Gue yang masak nasi, gitu? Wah, maaf deh… Gue nggak bisa... Jadi, gue bagian makan aja ya...” sahutnya sambil memasang muka imut. Riris memang nggak bisa masak, selain mi instan dan air. Ia selalu kebingungan jika berha­ dapan dengan yang namanya bumbu dan bahan masakan. Semua orang segera berseru, ”Huuu! Nggak, lo bagian CUCI PIRING!” Riris menjerit sebal, ”Apaan... NGGAK MAU!” ”Kalau nggak mau, lo nggak dapat jatah makanan!” sahut Dharma setengah cengengesan, mulai menggoda Riris lagi. Dan ia senang melihat reaksi Riris yang merengut. ”Ya udah, ntar gue yang masak nasi, lagi pula bagian gue kan enteng, cuma motong sama nyuci sayur doang,” kata Ullie menengahi sambil berusaha menahan geli. Tapi Riris masih juga tampak sebal. ”Ntar gue bantu deh cuci pi­ ringnya,” tambah Ullie. Riris langsung tersenyum begitu lebar. ”Naaah... kalau begitu gue mau,” katanya sambil terke­ keh. ”Huuu!” Teman-temannya segera berseru, kesal. 56

5. DHARMA dan teman-temannya terlihat lesu. Malam itu hujan turun deras. Angin dingin menyusup lewat lubang ventilasi yang tak tertutup kaca dan gorden. Suara hujan yang jatuh di atap terdengar lumayan keras. Dingin yang menusuk membuat mereka meringkuk jengkel. Batal sudah rencana bakar jagung di luar. Padahal Lutfie sudah susah payah membuat sambal untuk bumbunya, dan terpaksa ia harus menyimpannya di kulkas. Dharma juga sudah menggotong alat pemanggang dari gudang penyimpanan ke halaman belakang, yang rencananya digunakan tempat membakar jagung. Sekarang ia mengembalikan alat itu ke gudang sambil bersungut-sungut. 57

”Kita tunggu aja, siapa tahu hujannya sebentar lagi reda,” sahut Ullie berharap. Dia berkali-kali menyingkap gorden yang sering terbuka karena embusan angin dari jendela yang kurang rapat. ”Kayaknya bakalan lama, Ul. Ini udah satu jam,” balas Lutfie dengan lesu. ”Sekarang kita mau ngapain nih?” tanya Uzzie sambil menghela napas. Dharma yang mulai kelihatan bosan hanya berbaring di sofa. ”Tidur aja, yuk,” sahut Dika yang sudah telanjur bad mood. Dia merapatkan jaket dan membenamkan tangan­nya ke saku. Wajahnya tertekuk. ”Iya, lebih baik kita tidur aja. Cuaca kayak begini enaknya buat tidur,” Dharma menyetujui. Berkali-kali ia menguap. Teman-temannya langsung menolak mentah-mentah usulan Dika dan Dharma. ”Ini baru jam tujuh,” Uzzie meng­ ge­leng-geleng. ”Iya, ngapain juga tidur jam segini? Udah, kumpul aja dulu di sini,” tambah Riris. ”Habis kita mau ngapain sekarang? Lihat dong cuacanya!” balas Dika sewot. Rupanya bad mood-nya lumayan parah. Uzzie jadi cemberut. Pipinya menggembung kesal. Mereka berenam cuma berkumpul di ruang keluarga di lantai pertama dan menonton TV dengan setengah hati. 58

Dika yang sedang tidak ingin menonton TV akhirnya me­ natap perapian penuh minat, lalu mendekati­nya. ”Dharma, itu bisa dinyalain nggak, sih? Dingin nih,” tanya­ nya. Dharma mengernyit. ”Nggak tahu. Itu dibangun kan cu­ ma buat hiasan ruangan aja. Coba aja dinyalain, tapi gue nggak tahu bakalan gimana nanti.” Dika menimbang-nimbang sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menyalakan perapian itu dan pergi. Tak lama Lutfie juga ikutan beranjak. Bahkan, TV pun sepertinya tak berpihak pada mereka karena acara yang sedang tayang tidak ada yang menarik. Dharma dan Riris—yang tampaknya memang ditakdirkan untuk jadi lawan—memperebutkan remote TV. Sejauh ini Dharma berhasil mendominasi pertengkaran. ”Pokoknya gue mau nonton bola!” Dharma merebut remote dari tangan Riris. Ia lalu duduk di sofa dengan kaki terlipat. Riris langsung merebut kembali remote itu kemu­ dian menggantinya ke saluran yang ia inginkan. ”Nggak! Bagusan nonton film. Bisa ngabisin waktu sam­ pai tidur nanti!” serunya garang. Dharma kembali merebut remote dari tangan Riris yang lengah karena sibuk menatap layar. ”Ntar. Lo nunggu bolanya iklan!” Dharma dengan cepat mengganti channel. 59

Riris terkejut, lalu memekik, ”Nggak mau! Bola itu iklan­ nya masih lama! Udah lama, jarang lagi. Pokoknya nggak!” Riris berusaha merebut lagi remote-nya. Dharma balas berteriak, ”Tapi kalau ada film, pasti lo nggak bakalan mau ganti salurannya walaupun udah iklan. Udah deh, lagi pula filmnya kan ulangan. Lo pinjam DVD- nya kan juga bisa!” Dharma masih menggenggam erat remote itu. ”Biarin! Kan masih tetep seru! Kalau lewat DVD nggak seseru nonton di TV!” Riris ngotot. Ia mengambil remote dengan cepat sebelum Dharma sempat bereaksi lagi. ”Mending nonton bola!” Dharma merebut remote lagi. Riris dan Dharma terus berkutat memperebutkan remote dengan begitu sengit sampai semua orang khawatir remote- nya rusak. Teman-teman mereka cuma geleng-geleng kepala. Habis sudah kesempatan mereka menonton televisi. Uzzie dan Ullie duduk lesu, menonton adu mulut antara Dharma dan Riris yang rasanya tak akan usai sampai pagi, tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Mereka sebenarnya ingin menonton acara komedi, hitung-hitung menghilangkan stres karena gagalnya rencana akibat cuaca buruk. ”Gue capek lihat mereka bertengkar mulu.” Uzzie mengge­ leng-geleng sambil menghela napas panjang. 60

Ullie mengangguk setuju. ”Sama, nggak ada yang mau ngalah sama sekali.” Dika muncul dari dapur bersama Lutfie. Rupanya mereka tadi membuat popcorn. Dika membawa sebaskom penuh popcorn yang menguarkan harum menggiurkan dan Lutfie membawa dua botol besar soda dingin beserta gelas-gelas di nampan. Uzzie dan Ullie segera menyambut gembira. Dika dan Lutfie duduk di karpet lembut yang terbentang di depan sofa. Mereka tetap menikmati dinginnya minuman soda itu meskipun di luar hujan semakin deras. ”Asyik!” seru Uzzie dan Ullie supersenang, tak meng­acuh­ kan Riris dan Dharma yang masih saja rebutan remote. ”Eh, kita bikin permainan aja, yuk!” usul Dika. Ullie menyahut antusias dengan mulut penuh popcorn, ”Permainan apa?” Dika menjentikkan jarinya. ”Main kartu?” Ullie menggeleng. ”Gue nggak bisa.” ”Lagi nggak mood, Dik,” tolak Uzzie ikut menggeleng. ”Main tebak-tebakan?” Giliran Lutfie mengajukan usul. Uzzie dan Ullie menggeleng sekali lagi. Dika mendengus, lalu menjentikkan jarinya lagi, ”Cerita hantu, mau? Kalian, para cewek, pasti nggak berani denger. Apalagi kalau suasana lagi dingin plus hujan deras kayak gini,” sahutnya. 61

Uzzie memukul pelan bahu Dika. ”Itu sih namanya bukan permainan. Oke, kalau gitu gue taruhan, gue sama Ullie nggak bakal ketakutan sedikit pun. Kalau gue sama Ullie sampai ketakutan, kami berdua bakalan minum segelas besar soda tanpa berhenti,” tantang Uzzie penuh percaya diri. ”Oke, deal! Kalau gue sampe ketakutan... eh, tapi gue nggak bakalan takut, ding. Tapi tetep, gue bakalan minum segelas besar soda tanpa berhenti juga. Gue duluan yang cerita.” Maka Dika mulai bercerita. ”Gue waktu itu jadi pelayat terakhir yang pulang dari makam kakek. Nah, waktu gue mau pulang, mendadak gue denger suara aneh. Kayak suara kakek gue, tapi itu nggak mungkin, kan? Suara itu bilang, ’Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah datang’.” Dika bercerita sambil menyorot wajahnya dari bawah dengan senter. Tapi kesan horor tidak muncul sama sekali di wajahnya. Dika justru terlihat lu­cu. ”Ah, itu mah cuma perasaan lo aja,” sahut Uzzie sambil ter­tawa. ”Ekspresi lo konyol, Dik. Lagian, seremnya di bagian ma­ na?” Ullie malah bingung. Dika mengelak. ”Coba, kalau kalian bisa cerita yang lebih seram daripada cerita gue,” tantangnya. 62

Uzzie mendongak angkuh. ”Oke. Nah, lo tahu gudang ba­wah tanah di rumah gue, kan? Selama bertahun-tahun, dari gue kecil, gue nggak pernah berani masuk ke sana. Tahu kenapa?” Uzzie berhenti sebentar untuk melihat reaksi teman- temannya, terutama Dika. Mereka semua menggeleng, lalu Uzzie melanjutkan, ”Setiap gue lewat sana, selalu muncul seekor kucing. Kucing hitam. Dari mana coba? Kan gudang selalu dikunci. Dan ayah gue yang paling sering pakai gudang, parno banget sama kucing. Juga nggak ada lubang atau apa pun yang memungkinkan kucing itu masuk. Satu- satunya jalan ya cuma pintu masuk. Pas gue dekati, tahu- tahu...” Uzzie menggantung suaranya, Dika tampak pena­ saran. ”Tuh kucing... udah nggak adaaa...” Uzzie mengakhiri ceritanya dengan nada menyeramkan. Kalimatnya dibuat seolah-olah menggantung di udara, di­ tambah ekspresinya yang meyakinkan saat memandang Lutfie dan Dika. Dika menjerit ngeri. Popcorn di telapak tangannya tum­ pah. Sementara Lutfie, saking kagetnya dengan akhir cerita, hanya bisa melongo tanpa ada satu suara pun keluar dari mulutnya. Uzzie berteriak penuh kemenangan. ”Nah... NAH! Kalian takut, kan?” seru Uzzie sambil ter­ tawa terbahak-bahak. Dia ber-high five dengan Ullie. 63

Dika berusaha mengelak. Padahal keningnya mulai berkeringat. ”Hah, ng... nggak kok, gue cuma kaget. Tuh, ada tikus tadi,” katanya terbata-bata. Ullie tertawa. ”Halah, bohooong! Lo takut, kan!” serunya girang. Ullie dan Uzzie segera ber-high five lagi. Dika masih juga mengelak. Lutfie tiba-tiba berkata, ”Giliran gue yang cerita.” Mereka langsung terdiam. Dika senang mendapat kesem­ patan untuk tidak melanjutkan debat itu, lagi pula ia malu mengakui bahwa ia memang takut. ”Yang akan gue ceritakan ini mungkin bukan cerita horor, tapi gue yakin bisa bikin kalian cukup takut,” kata Lutfie memulai. Dika, Ullie, dan Uzzie mengangguk. Ullie dan Uzzie tak berminat lagi duduk di sofa. Mereka berhambur duduk di karpet, mendekat pada Lutfie, mulai tertarik. Tapi Lutfie tiba-tiba beranjak naik ke lantai dua, membuat Dika dan yang lain ternganga bingung. Tak berapa lama Lutfie kem­ bali lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Sebuah buku. ”Apa itu, Lut?” tanya Dika penasaran ketika Lutfie sudah duduk. Lutfie menghela napas sebelum menjawab, ”Tadi, waktu kalian jalan-jalan kan gue nggak ikut, nah gue ke perpus­ 64

takaan. Dan gue nggak sengaja jatuhin buku ini.” Teman- temannya diam memperhatikan. ”Ini buku harian. Cerita awalnya biasa-biasa aja sampai gue baca bagian tengah...” lanjutnya. Uzzie tampak paling penasaran. Ia memang hobi mem­ baca cerita detektif dan misteri. Di kamarnya ada puluhan koleksi komik Conan dan Kindaichi, juga novel-novel karya Stephen King. ”Kayak apa isinya? Cerita dong,” pinta Uzzie. ”Itu buku harian siapa?” sambung Ullie ikut penasaran. Lutfie membuka buku harian itu lalu menjawab, ”Lihat, bagian-bagian awal buku ini isinya biasa, menceritakan kehidupan Johanna, istri Johann, pemilik pertama rumah ini. Johann adalah arsitek, dia membangun sendiri rumah ini, sedangkan istrinya adalah ibu rumah tangga. Mereka punya tiga anak. Yang pertama bernama Isabel, yang kedua Annette, lalu yang terakhir Peter. Ceritanya di bagian te­ ngah berubah jadi agak menyeramkan. Kalian dengerin ya....” Lalu Lutfie mulai membaca, ”Bukan aku yang membunuh Annette. Mustahil seorang ibu membunuh putrinya sendiri.” ”Mem… bunuh?” sahut Dika dengan kening berkerut. ”Iya sih. Lumayan ngeri,” sahut Uzzie sambil bergidik. ”Ya ampun! Dia membunuh? Serius?” tanya Ullie tak 65

percaya. Dia melihat buku yang dipegang Lutfie dengan pandangan takut. Lutfie melanjutkan, ”Ada lanjutannya. Johann merenca­ nakan sesuatu untukku. Dia tidak ingin kecelakaan ini ter­ sebar ke orang-orang di luar sana. Terutama jika pemerintah tahu. Aku takut. Aku sangat takut.” Dika, Ullie, dan Uzzie kembali terdiam. Rupanya mereka mulai takut. Dika menelan ludah berkali-kali. Melihat teman-temannya hanya diam, Lutfie bertanya, ”Jadi, gimana pendapat kalian?” ”Cerita lo yang paling serem.” Dika segera mengacungkan jempol. Lutfie menepuk dahi. ”Aduh, bukan itu maksud gue!” serunya. ”Di bagian rak mana lo nemu buku ini?” tanya Dika tiba- tiba. ”Rak yang paling kanan. Waktu gue nemuin, buku ini ada di dalam sampul buku lain. Aneh, kayaknya...” ”Buku ini sengaja disembunyiin karena Johanna nggak mau orang lain menemukannya. Bener, kan?” tebak Dika. ”Exactly, itu yang gue pikirin.” ”Kalo buku ini sengaja disembunyiin karena isinya, gue bisa paham. Membunuh, ya ampun…” Ullie menggeleng- geleng. 66

”Dan lagi, disembunyiin di perpus, pasti susah ditemuin,” sambung Uzzie. ”Jadi… di rumah ini pernah ada pembunuhan?” Dika ber­gidik. Dia memandang sekeliling dengan tatapan par­ no. ”Rencananya buku ini mau gue kembaliin. Isinya bikin gue ngeri,” sahut Lutfie. Dika, Uzzie, dan Ullie termenung. Mereka tidak menang­ gapi perkataan Lutfie. Riris dan Dharma yang lelah bertengkar mulai tertarik, dan beranjak duduk di dekat yang lain. Kening Riris di­ banjiri keringat dan Dharma yang merasa kehausan segera meneguk segelas soda. ”Kalian lagi sibuk apa sih?” tanya Dharma yang saat ber­ tengkar tadi sudah mencuri pandang ke teman-teman­ nya. ”Kok pada diam?” sambung Riris heran, sementara yang lain berpandangan. ”Lutfie tadi nemu buku di perpustakaan. Buku harian milik istri pemilik pertama rumah ini,” Dika menjawab sambil mengambil gelasnya. Dharma mengangguk. ”Kakek gue pernah cerita dulu be­liau nempatin rumah ini tiga tahun setelah Indo­nesia merdeka. Tapi, sebelum Indonesia merdeka, rumah ini memang udah kosong.” 67

”Udah kosong sebelum kakek lo nempatin? Kenapa?” tanya Uzzie penasaran. Dharma mengedikkan bahu. ”Nggak tahu, gue nggak pernah tanya-tanya soalnya.” Lutfie semakin tertarik. ”Bukannya harusnya orang jadi takut ya, kalau rumah udah lama kosong nggak ditempati?” tanyanya. Dharma mengedikkan bahu lagi. ”Entahlah. Kakek gue kan nggak peduli sama yang begituan. Kakek gue orangnya rasional. Sekali beliau tertarik sama sesuatu, walaupun itu mungkin memiliki sejarah yang serem misalnya, beliau nggak akan terpengaruh. Tapi kata kakek gue, beliau ter­ tarik membeli karena rumah ini dibangun oleh arsitek Belanda terkenal,” jawab Dharma. ”Johann van Rijneck,” sahut Lutfie tiba-tiba. Dharma menoleh kaget. ”Lo tahu namanya?” tanyanya, heran. Lutfie mengangguk. ”Gue diceritain sama Pak Zul. Ada fotonya kok di meja kerja perpustakaan.” ”Oh, gitu. Pokoknya kakek gue jadi tertarik banget buat beli rumah ini. Desainnya bagus. Pemilihan interiornya juga nggak sembarangan, lo udah lihat sendiri, kan? Lagi pula harganya cukup murah, padahal rumahnya semewah ini. Nilai sejarahnya juga nggak sedikit.” 68

Dharma memandang Lutfie. Lutfie mengulurkan buku harian Johanna pada Dharma dan menceritakan awal penemuannya. Dharma mengernyit mendengar keanehan yang diceritakan Lutfie. Riris semakin mendekat karena semakin penasaran. Lutfie membuka buku itu tepat di halaman tengah. Mata Dharma dan Riris segera membelalak begitu membaca apa yang tertulis di sana. ”Di sini pernah ada pembunuhan!” Riris langsung syok. ”Lo pernah denger tentang ini?” tanya Dika. Dharma langsung menggeleng. ”Nggak. Gue nggak ba­ nyak tahu soal rumah ini kecuali bahwa dulunya bekas ru­mah arsitek Belanda dan sebelum Indonesia merdeka rumah ini kosong.” ”Kembaliin aja buku ini, Lut! Terlalu ngeri.” Riris bergi­ dik. ”Rencananya emang mau gue balikin kok. Gue juga takut sama apa yang ditulis di sini.” ”Tapi, kalo tulisan di buku ini bener…” Riris menger­ nyit. ”Itu terlalu menakutkan,” sahut Uzzie. Teman-teman yang lain terdiam. Lalu mereka dikejutkan oleh suara langkah. ”Pak Zul!” Dharma memekik. 69

Pak Zul terkekeh. ”Kaget toh? Perkenalkan, ini Imron. Kasihan dia, genting rumahnya, yang ada di belakang vila, bocor. Makanya Bapak ajak saja dia menginap di sini,” jelas Pak Zul. Dharma memperhatikan pemuda itu. Imron tersenyum malu padanya. Dharma ingat, ini orang yang pernah disebut Pak Zul dulu, yang datang untuk membersihkan vila setiap pagi. Dia terlihat masih sangat muda, sekitar dua puluh tahun. Seleranya jadul banget, batin Dharma. Ia memakai peci dan kaus oblong serta celana bahan hitam seder­hana. ”Maap, Mas Dharma... hm, saya menginap di sini semalam dulu. Besok pagi saya balik kok.” Imron menunduk, wajah­ nya memerah malu. ”Imron ini orangnya pemalu. Maklum, namanya juga anak desa.” Pak Zul kembali terkekeh. ”Yo wis, kamu ke kamar yang ada di belakang ya, Le, belakang dapur. Tidur di kamar Bapak saja,” kata Pak Zul pada Imron. Imron bergegas ke arah yang ditunjuk Pak Zul, sekilas terlihat wajahnya masih merah. Dharma lalu tersenyum. ”Oh ya, Pak, sini gabung sama kami. Saya juga mau tanya sesuatu sama Bapak.” Pak Zul kemudian duduk di sebelah Dharma. ”Wah, sepertinya ada yang penting?” Dharma meminta Pak Zul untuk menceritakan asal-usul vila yang mereka tempati. 70

”Oh, itu... Tadi Bapak juga cerita sedikit sama Nak Lut­ fie.” Pak Zul menceritakan segala yang diketahuinya tentang rumah itu, seperti yang telah diceritakannya pada Lutfie. Dharma dan teman-temannya mengangguk-angguk. Setelah Dika mengambil banyak camilan yang ada kulkas, semua berkerumun menghadap Pak Zul seperti sedang berkemah. Hujan mulai reda, tapi mereka tidak menyadarinya. 71

6. DHARMA dan yang lain mendesak Pak Zul untuk bercerita lagi. Mereka menatap pe- nuh minat dan antusiasme. Pak Zul terke- keh, terlihat deretan giginya yang tinggal beberapa. Pak Zul tampak senang berkumpul bersama mereka. ”Kalian memangnya mau cerita yang seperti apa lagi?” tanyanya. Lutfie langsung menyambar, ”Kata Dharma, dulu rumah ini mendadak ditinggalkan sama pemiliknya ya, Pak? Memangnya kenapa?” Pak Zul tampak berpikir. Lutfie menatapnya heran. 72

Sejenak kemudian Pak Zul menjawab, ”Wah, kalau soal itu saya kurang tahu. Saya kan mulai kerja di sini waktu kakek Dharma menempati rumah ini. Yang saya tahu, anak-anak Johann pergi diam-diam kembali ke Belanda. Tidak ada yang tahu kenapa. Juga tidak ada yang tahu kenapa istri dan putri keduanya, Annette, tidak ikut. Mungkin mereka tahu bahwa kedudukan mereka, maksud saya kedudukan Belanda di Indonesia sudah hampir berakhir. Lagi pula Johann terkenal tertutup.” Pak Zul memandang mereka ber­gantian. ”Memangnya kenapa? Kok sepertinya kalian penasaran sekali?” tanya Pak Zul. ”Ya kami tertarik aja, Pak. Rumah ini bagus, rancangan arsitek terkenal Belanda, pula. Jarang-jarang kami mende­ ngar asal-usul rumah yang seperti ini,” sahut Dika. ”Kakek Dharma sangat tertarik pada rumah ini. Mung­kin karena beliau sendiri kan juga arsitek. Beliau gemar bekerja di meja kerja yang ada di perpustakaan. Meja itu cukup antik untuk membuat kakek Dharma sangat menyu­ kainya. Bahkan saya tidak boleh sembarangan menyentuhnya saat membersihkan. Beliau bilang, harus ekstra hati-hati merawatnya, harus telaten, dan menjaganya betul-betul. Kadang malah beliau sendiri yang membersihkannya.” ”Kalo soal istri Johann, Bapak tahu sesuatu tentang dia?” tanya Lutfie, mulai mengorek informasi tambahan. 73

Pak Zul memandangnya dengan heran, ”Wah, apalagi soal istrinya, saya makin tidak tahu. Dengar-dengar, dia cantik. Annette mirip dengannya,” katanya. ”Lukisan yang di perpustakaan itu lukisan anak-anak Johann kan, Pak?” tanya Lutfie lagi. Pak Zul mengangguk, membenarkan. ”Ya, itu lukisan mereka. Bagus, ya? Pasti lama pembuatannya. Masih terjaga sampai sekarang.” Pak Zul diam sejenak, kemudian kembali berkata, ”Nah, sudah malam, Bapak tidur dulu, ya. Kalian juga sebaiknya tidur. Cuaca seperti ini enaknya tidur dan menghangatkan diri di kamar,” pamit Pak Zul. Dharma mengangguk. Setelah Pak Zul pergi, Dharma dan teman-temannya segera berdiskusi. Riris nyeletuk lebih dulu, ”Jadi kakek lo tertarik banget sama sejarah rumah ini, ya?” ”Ya, Kakek bangga banget sama rumah ini. Mungkin karena emang ini hasil rancangan arsitek terkenal, seperti tadi udah gue dan Pak Zul bilang. Wajar kalau Kakek me­ ngaguminya, karena Kakek sendiri kan juga arsitek.” Lutfie menyahut, ”Setelah dengerin informasi dari Pak Zul, gue yakin ada yang lebih dari sekadar rumah bikinan arsitek di sini. Pasti ada sesuatu yang lebih hebat untuk ukuran karya arsitek genius. Tapi Pak Zul sempet bilang tadi pagi, beliau yang mengurus dan udah lama di sini aja cuma tahu sepuluh persen seluk-beluk rumah ini.” 74

”Hah, cuma sepuluh persen? Kok dikit banget. Ah, Pak Zul merendah itu sih,” sahut Dharma sambil menggeleng- geleng, tak percaya. ”Itu juga yang gue bilang ke Pak Zul tadi,” lanjut Lutfie. ”Pak Zul nggak tahu soal Johanna, ya? Berarti nggak tahu soal kematian Annette juga?” tanya Dika. ”Kayaknya sih gitu. Soal Johann aja beliau nggak begitu tahu, kan? Apalagi soal Annette,” jawab Lutfie sambil menge­dikkan bahu. Riris tiba-tiba menggeliat dan menguap, mengalihkan perhatian teman-temannya. Ia lalu berdiri. ”Udah malam nih. Tidur, yuk!” ajaknya pada Ullie dan Uzzie, yang lang­ sung disambut dengan anggukan sambil menguap. ”Iya, gue juga udah capek. Sampai ketemu besok, ya,” ujar Ullie lalu mengikuti Riris dan Uzzie ke kamar. Dika dan Dharma akhirnya memutuskan untuk nonton TV karena mereka belum mengantuk. Lutfie yang sudah kehilangan minat menonton, mengucapkan selamat tidur kepada kedua temannya dan naik ke kamar. Di kamar, Lutfie menimbang-bimbang sebelum akhirnya membuka lagi buku harian Johanna. Ditelitinya buku itu, diamatinya lekat-lekat potret Johanna. Nggak ada tampang pembunuh, batinnya sambil mengernyitkan dahi. Tapi bisa aja sih, orang berwajah sedamai Johanna melakukan 75

kejahatan tak terduga, pikirnya kemudian. Tapi kalau toh Johanna melakukan pembunuhan, Lutfie yakin itu pastilah kecelakaan dan tidak disengaja. Lutfie memikirkan lagi kata-kata Pak Zul tadi. Aneh juga sebetulnya. Johann, Isabel, dan Peter kembali ke Belanda tanpa Johanna dan Annette. Apa mungkin mereka sudah kembali ke Belanda lebih dulu dan tidak ada orang yang tahu? Lutfie mengedikkan bahu. Ia lalu membuka-buka lagi buku harian itu. Cara pen­ ceritaan Johanna kembali membuatnya terpukau. Dia ba­ nyak bercerita tentang anak-anaknya dan para pelayannya di rumah. Anehnya, justru dia tidak banyak bercerita tentang suaminya. Ternyata memang benar kata Pak Zul, Johann orangnya tertutup, bahkan mungkin terhadap istri­ nya sendiri, batin Lutfie. Ia tiba-tiba merasa matanya mulai berat dan akhirnya memutuskan untuk berhenti membaca. Tapi sebelum benar-benar tidur Lutfie membuka bagian akhir buku hari­ an. Dia penasaran apa catatan terakhir yang tertulis di sana. Catatan terakhir Johanna tertanggal 18 Juli 1941. Di tanggal itu Johanna hanya menuliskan satu kali­mat. Good bye… 76

Lutfie bergidik dan langsung menutup buku itu, kemu­ dian hari itu berakhir. Apa maksud Johanna dengan catatan terakhirnya di buku itu? Apa maksud kalimat yang mengerikan itu? Apakah dia… Lutfie tidak sanggup mengucapkan kata ”meninggal”. Ia ingat bahwa Johanna tengah ketakutan dengan rencana suaminya. Rencana apakah itu? Lutfie buru-buru membuka catatan selanjutnya setelah 22 Mei 1941, saat Johanna menuliskan bahwa Johann me­ ren­canakan sesuatu kepadanya atas kematian Annette. 23 Mei 1941 Inah masih tetap percaya kepadaku. Dialah satu-satunya yang berbicara kepadaku ketika yang lain menghindariku. Pelayan yang lain sering bisik-bisik di dapur, aku tahu itu, dan mereka langsung terdiam saat aku masuk ke dapur. Aku membenci keadaan ini. Tidakkah mereka bisa lihat, tidak mungkin aku membunuh anakku sendiri? Bahkan anak-anakku sendiri menghindariku! Isabel sepertinya memercayai asumsi Johann bahwa aku bersalah. Dan Peter…. Oh, Peter kecilku…. Dia sekarang ketakutan melihat ibunya sendiri…. 77

Lutfie mengernyit. Lalu kembali membaca catatan selanjutnya. Johanna masih tetap berkeras. Dia bahkan mencoba membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Selama hampir sebulan, Johanna terus meyakinkan orang- orang di sekitarnya, para pelayannya, Isabel, Peter, dan ter­lebih Johann. Peter tampaknya mulai percaya kepadanya dan mulai dekat dengannya lagi. Johanna akhirnya tidak menulis lagi sejak 18 Juli 1941. Ketika itu keadaan sudah tidak tertahankan baginya. Ha­ laman-halaman seterusnya dibiarkannya kosong. Catatan terakhirnya yang berupa ucapan selamat tinggal sepertinya memang sengaja dituliskannya di bagian akhir buku. Mustahil bagi Lutfie untuk menduga-duga apa yang terjadi setelahnya. Mungkinkah Johanna meninggal? Kena­ pa? Apakah dia bunuh diri? Dugaan bahwa Johanna bunuh diri mungkin yang paling tepat, kemungkinan dia berusaha menghindari apa pun rencana Johann terhadap dirinya. ”Lut! Sarapan!!!” Suara Uzzie terdengar keras dari bawah. Lutfie segera tersadar. Dia melihat jam yang sudah menun­ jukkan pukul delapan. Setelah bangun tidur tadi Lutfie langsung membuka kembali buku harian Johanna, tanpa memedulikan bahwa dia belum mandi dan sarapan. Ia buru-buru mandi dan segera turun. ”Lo baru bangun, Lut?” sambut Uzzie sambil tersenyum. 78

Lutfie tidak menjawab dan hanya membalas dengan se­ nyuman. Dia memandang meja makan dan segera duduk. Teman-temannya sarapan dengan nasi goreng buatan Uzzie. Dia ternyata lumayan jago membuat nasi goreng. Buktinya, Dharma sampai nambah dua kali. Riris sampai berkeringat saking banyaknya cabe di nasi goreng itu. Dika yang memang suka nasi goreng menyambut dengan antusias hidangan itu. ”I love it!” Ia langsung menyerbu meja, sampai lupa ia belum gosok gigi apalagi man­di. Setelah makan mereka berkumpul lagi di ruang keluarga. Ada beberapa tempat yang ingin mereka datangi, tapi mereka bingung mau ke mana dulu. Dika dan Dharma me­ mu­tuskan balik ke kamar untuk mandi. Lutfie yang kemarin belum sempat ikut hangout dengan teman-temannya ber­ semangat memilih destinasi selanjutnya untuk didatangi. Setelah mandi, Dharma pergi ke meja kerja kakeknya untuk mengembalikan buku kesayangan kakeknya yang ia pinjam beberapa waktu lalu. Teman-temannya menunggu di ruang tamu sambil merencanakan destinasi hari ini. Lutfie menyusul Dharma yang masih berada di perpus­ takaan, sekalian melanjutkan penelusurannya yang belum selesai kemarin. Dharma yang hendak membuka laci segera mengurungkan niatnya begitu melihat Lutfie masuk. ”Eh, lo ke sini juga. 79

Ya ampun, lo demen banget ke sini, ya? Gue sih anti banget, kalau nggak terpaksa mau balikin buku kakek gue, udah males! Apalagi perpustakaan ini debunya bikin gue nggak tahan,” ujarnya. ”Udah bawaan lahir soalnya. Lagi pula gue jadi genius begini kan gara-gara tempat nongkrong gue perpustakaan,” balas Lutfie tertawa, sambil menghampiri kemudian mene­ puk pundak Dharma. Dharma mengangkat alis, lalu balas memukul pelan bahu Lutfie. ”Ngaco aja lo. Lihat aja di kelas, lo suka tidur, kan?” ”Tapi begini-begini gue kan...” Belum selesai Lutfie membela diri, Dharma cepat-cepat memotongnya, ”Apa? Ha? Ntar lo susah dapat cewek lho.” ”Halah, udahlah. Kita harus cepet turun. Yang lain nung­ guin tuh.” Dharma tiba-tiba teringat, ”Oh ya, soal buku harian yang lo temuin, jadi lo kem­ baliin?” tanyanya. Lutfie menggeleng, ”Belum, gue masih penasaran.” Dharma termenung. ”Ngeri ya kalau di sini ternyata bener-bener pernah ada pembunuhan. Kakek nggak pernah cerita apa-apa. Gue pikir ini cuma rumah tua biasa. Tapi kalo apa yang tertulis di buku itu bener, itu bakal jadi skandal, kan?” tanyanya. 80

”Pastinya, skandal heboh. Johanna membunuh putrinya sendiri.” Dharma segera membuka laci meja kerja kakeknya, tapi tiba-tiba ia bersin. Debu di dalam laci itu cukup tebal ru­ panya. ”Gila, debunya banyak banget! Kok Pak Zul nggak ber­ sihin, sih?” ”Sana lo jauh-jauh. Biar gue aja yang naruh bukunya,” pinta Lutfie, lalu Dharma segera keluar, dan bersin lagi. Lutfie menaruh buku itu pelan-pelan agar debunya tidak beterbangan. Setelahnya ia melihat struktur dalam laci itu, dan menyadari ada satu bagian di pojok laci yang seperti tergores. Tapi tunggu, batin Lutfie. Goresan itu bukan sem­ barang goresan, seperti mempunyai pola. Pola persegi panjang yang teratur. Tidak begitu kentara kalau tidak diperhatikan baik-baik. Lutfie menarik laci itu sehingga ia bisa memperhatikan lebih saksama. Ia meraba pola itu, lalu membungkuk untuk melihat bagian bawah laci. Rupanya lebih tebal daripada yang ia duga. Lutfie mencoba membuka laci di bawah laci pertama. Ia langsung menger­nyit, bingung. Tampaknya bagian bawah laci kedua tidak setebal laci pertama. Tiba-tiba Dharma berseru, mengganggu konsentrasi Lutfie. ”Lut, ayo cepetan! Si Riris udah teriak-teriak.” 81

Lutfie berseru, ”Lo ke sini dulu deh! Ada yang aneh nih!” ”Apaan sih? Lo kan tahu gue nggak tahan di situ!” Dhar­ ma jengkel walaupun akhirnya menghampiri Lutfie. Belum sampai ke tempat Lutfie berdiri, ia tiba-tiba menoleh dengan cepat ke arah lorong. Lutfie yang melihat tingkah Dharma langsung bertanya, ”Ada apa?” Dharma mengalihkan pandangan ke Lutfie. ”Tadi gue merasa ada sesuatu. Kayak ada yang ngin­tip.” Lutfie tertawa pelan. ”Perasaan lo aja, kali.” Dharma mengedikkan bahu lalu menghampiri Lutfie. ”Mungkin. Ya udah, apa yang mau lo tunjukin ke gue?” ”Nih, lacinya aneh. Ada yang nggak biasa. Lihat ini, ada pola di sini. Coba perhatiin,” jawab Lutfie sambil menunjuk bagian dalam laci. Dharma menjulurkan kepalanya. Tapi ia tak melihat pola seperti yang dikatakan Lutfie, ia malah tertarik pada hiasan di meja. ”Patung ini kayak patung Yunani, dapat dari mana, ya? Jam pasirnya juga unik banget, dulu gue sering mainin ini. Pernah nyaris jatuh waktu gue mainin. Kata Kakek, gue nggak boleh menyentuh kotak musik ini. Tapi gue sih pas kecil pernah coba mainin. Gue buka kotak musiknya dan ada suara aneh. Kakek gue yang waktu itu mau masuk ke 82

perpustakaan lihat gue, dan gue ingat banget gue dije­ wer.” Kata-kata Dharma membuat Lutfie mengernyit. ”Suara­ nya emang kayak gimana?” tanyanya penasaran. Ganti Dharma yang mengernyit. ”Wah, kayak gimana, ya? Susah dijelasin. Mending coba lo denger sendiri deh,” sahutnya sambil mengusap dagu. Dharma lalu membuka kotak musik itu. Bukan suara musik yang terdengar, malah bunyi ”grek” samar, seperti suara pintu terbuka. Lutfie tersentak, dilihatnya bagian dalam laci tadi. Pola tadi sudah tidak ada, berganti dengan lubang hitam persegi yang menganga. ”Dharma! Coba lihat, deh!” Lutfie terkejut, menunjuk ke laci. Dharma segera menunduk. ”Apa?” Dharma yang melihat lubang hitam itu langsung terpe­ rangah. ”Lho, tadi kan nggak ada lubang di situ?” tanyanya kaget. Lutfie merogoh lubang gelap itu dan menemukan sebuah buku. Diambilnya buku itu—semacam buku catatan kecil ber­sampul hitam pekat dan lusuh. Di sampul buku itu ter­ tempel judul dari kertas putih tebal: Sugandi’s Journal. 83

”Buku ini…” kata Dharma dengan suara tertahan. ”Lo tahu buku apa ini?” tanyanya heran. Dharma mengangguk. ”Sugandi nama kakek gue.” ”Berarti ini…” sahut Lutfie sambil memandang Dharma. Dia mengernyit. Dharma mengangguk sekali lagi. Keduanya berpandangan. Wajah mereka menampakkan ekspresi yang sama: penasaran. 84

7. DIKA dan yang lain yang menunggu di ba- wah langsung merengut ketika Dharma dan Lutfie menuruni tangga dengan per­ lahan. Suara-suara protes mulai terdengar. Mereka berteriak bersusul-susulan. ”Kalian lama banget! Ngapain aja sih di sana? Tidur?!” seru Dika kesal dengan mata melotot. ”Sampai lumutan tahu nungguin kalian yang lelet! Ham- pir aja gue susul,” seru Uzzie nyolot sambil berkacak ping- gang. ”Apa buat ngembaliin buku aja sampai butuh waktu hampir setengah jam?!” seru Ullie, dua kali lebih nyolot. 85

”Kalian nggak mikir ya, kami di sini nungguin!” Riris ikut nyolot. Dharma dan Lutfie hanya bisa berpandangan. Rasanya tadi hanya sebentar mereka di perpustakaan. Paling cuma sepuluh menit. Dengan polos, enteng, dan tanpa rasa bersalah, Dharma menyahut, ”Kenapa sih kalian teriak-teriak begitu?” Ia menatap teman-temannya bingung. ”Iya, kalian kenapa? Yang kalem, dong. Nggak bagus lho narik urat pagi-pagi,” Lutfie menimpali sama polosnya dengan Dharma. Dika dan yang lain malah bingung. Jangan-jangan perpustakaan di atas berhantu dan Dhar­ ma sama Lutfie kesambet setan penunggu perpustakaan, batin Dika, heran. ”Yuk, ke ruang keluarga. Ada yang menarik nih,” ujar Dharma tiba-tiba, membuat teman-temannya bertambah bingung. Apa Dharma nggak ingat mereka hari ini mau hangout? ”Eh, Dharma, kita kan mau keluar?” seru Uzzie sambil menunjuk pintu keluar, berharap Dharma segera sadar. Namun Dharma sepertinya tidak mendengarnya. ”Kita mau hangout...” Riris ikut menyahut. Dharma dan Lutfie tetap tak menghiraukan dan terus berjalan menda­ hului mereka 86

Setelah berpandangan, akhirnya yang lain mengikuti Dharma dan Lutfie. Dika berjaga-jaga, siapa tahu Dharma dan Lutfie memang benar-benar kesambet setan penunggu perpustakaan. ”Oke, jadi sekarang bisa jelasin kenapa kalian tadi lama?” tuntut Ullie segera. Tanpa berkata apa-apa Dharma membuka jurnal temuan­ nya di meja ruang keluarga. Semua orang mengerumuninya dengan penasaran. Dahi mereka langsung mengernyit. ”Maksudnya apa nih?” ”Lho, apa ini?” ”Buku punya siapa?” Teman-temannya bertanya bergantian. Dika yang paham langsung berseru, ”Oh... jadi ini yang bikin kalian lama? Apa sih istimewanya? Cuma buku tua.” ”Ini jurnal milik kakek gue. Ya gue senang aja bisa ne­ muin ini. Tapi yang bikin gue heran adalah cara kami ne­ muin buku ini.” Lutfie mengangguk, lalu melanjutkan, ”Iya, buku ini kami temuin di rongga dalam laci meja kerja perpustakaan kakek Dharma. Semula rongga itu tertutup, cuma di dalamnya ada pola samar berbentuk persegi panjang. Bisa ngebayang­ in, kan?” Lutfie mencoba menjelaskan sambil menggerakkan jarinya di meja, berusaha menggambar pola persegi pan­ jang itu. Teman-temannya mulai mengangguk mengerti. 87

”Iya, lanjutin,” sahut Dika. Lutfie lanjut menjelaskan, ”Tapi begitu Dharma membuka kotak musik yang ada di atas meja kerja, pola itu tiba-tiba terbuka. Jadi kotak musik itu semacam...” ”Semacam kenop?” celetuk Uzzie. Lutfie mengangguk. ”Semacam itulah. Rupanya ada tem­ pat rahasia di dalam laci. Dan buku itu ada di sana, di dalam rongga yang terbuka tadi.” Semua orang terperangah. ”Unbelievable!” celetuk Ullie. ”Gila, keren banget,” pekik Uzzie. ”Rumah ini bener-bener penuh kejutan.” Riris mengge­ leng-geleng. Dharma tampak berpikir. ”Gue rasa Johann sendiri yang mendesain meja itu karena sejak rumah ini dia tinggalkan hanya kakek yang menempatinya. Kakek emang selalu nge­ larang gue buat dekat-dekat meja kerjanya, bahkan Pak Zul juga. Ingat kan cerita Pak Zul tadi malam?” Ullie lantas menjentikkan jari dan menyahut, ”Dan kakek lo tahu meja tadi bukan meja biasa, jadi kakek lo mem­ perlakukannya secara khusus.” ”Dari mana kakek gue tahu tentang tempat rahasia di laci itu, ya? Apa mungkin ketika beliau membuka kotak mu­sik itu dan mendengar bunyi pintu terbuka, beliau lantas menelusurinya?” 88

”Kemungkinannya emang gitu. Dan kalau jurnal kakek lo ditaruh di tempat itu, berarti emang sengaja dia sem­ bunyikan.” Dharma manggut-manggut. ”Lo bener. Mengingat cara nemuin jurnalnya memang kayaknya sengaja disembunyiin.” Dharma memandang buku di tangannya sambil terus merenung. Lutfie mendesah, ”Kira-kira, apa ya isinya sampai kakek lo merasa perlu menyimpannya di tempat itu?” Ucapannya membuat te­ man-temannya mengalihkan pandangan ke jurnal yang dipegang Dharma. ”Buka dong, Dharma!” pinta Riris segera, penasaran. ”Iya, ayo baca!” seru Ullie bersemangat sambil menatap jurnal itu penuh minat, diikuti teman-temannya yang juga berseru menyuruh Dharma membuka jurnal itu. Dharma menyadari pandangan teman-temannya yang tertuju pada buku di genggamannya. Ia kemudian membuka buku itu. Ketika membaca kata-kata pertamanya, Dharma terperangah. Teman-temannya yang melihat ekspresinya jadi penasaran. ”Apa? Cepet bacain!” sahut Riris antusias sambil men­ dekat. Ia tampak penasaran, begitu pula yang lain­nya. Dharma berkata perlahan, ”Kelihatannya kakek gue berusaha menyelidiki keluarga Belanda itu.” 89

”Hah?! Maksudnya?” seru Ullie. Semua orang semakin tertarik. Bahkan Dika, yang biasa­ nya cuek, kini memasang muka serius. Dharma berkata lagi, lebih mirip menggumam, ”Keluarga Johann. Judul jurnal ini adalah ’Djurnal Sugandi’. Di bawahnya tertulis tahun 1948.” ”Tahun 1948, itu waktu kakek lo nempatin rumah ini per­tama kalinya, kan? Tiga tahun setelah Indonesia mer­ deka,” sahut Uzzie, sambil mengernyitkan dahi. ”Iya, itu bener. Jadi sepertinya Kakek mulai nulis ini tak lama setelah tinggal di sini.” Dharma lalu memandangi jurnal itu dengan bingung. Lutfie yang semakin penasaran merebut jurnal itu dari tangan Dharma dan membuka halaman demi halaman. Beberapa kali ia bersin karena debu halus yang beterbangan dari halaman-halaman itu. ”Gue rasa Dharma benar, kakeknya nyelidikin rumah ini sekaligus keluarga Johann, dan itu nunjukin beliau curiga ada rahasia dalam keluarga itu.” ”Rahasia?” tanya Riris penasaran. ”Sebentar, maksud lo?” tanya Dika. Dia memandang Lutfie dengan bingung. ”Lihat nih, di halaman pertama. Judul catatannya ’The House’. Ada tanda panah di bawahnya, ke arah kolom-ko­ 90

lom. Kakek Dharma menulis nama-nama penghuni rumah ini waktu Johann masih menempatinya. Anak-anaknya, pelayan, bahkan tukang kebun. Lengkap,” terang Lutfie. Teman-temannya segera melihat halaman itu. Mereka langsung terperangah, ”Lo bener! Bahkan pekerjaan mereka di rumah. Lihat kolom pelayan ini, ada Sumartini, Martinah, ckckck…” Uzzie tampak kagum. ”Kalian ingat tentang buku harian Johanna? Ingat juga kan keanehan di dalamnya? Apa mungkin kakek Dharma juga tahu tentang matinya Annette? Beliau bahkan mendata setiap penghuni di rumah ini. Dan lihat ini, di bagian nama Annette, tertulis: deceased 20th of May, 1941. Kakek Dharma menuliskan tanggal Annette meninggal. Dan ini, catatan setelah nama Johanna: deceased-. Kakek Dharma rupanya juga nggak tahu apa yang terjadi dengan Johanna. Terus catatan setelah nama Johann, Isabel, dan Peter: deceased 2nd of January, 1942,” tambah Lutfie, sambil menunjuk nama- nama dalam kolom anggota keluarga Johann. 91

Family: The Main Servants: Other Servants: - Johann (deceased: 2nd of - Sumartini (1st Chef) - Marjono (1st January, 1942) - Inah (2nd Chef) Gardener) - Johanna (deceased: -) - Paridjem (kitchen - Djaja (2nd Gardener) - Isabel (deceased: 2nd of servant) - Hartono (Driver) January, 1942) - Sugijarti (kitchen servant) - Annette (deceased: 20th of - Martinah (children’s May, 1941) nursemaid) - Peter (deceased: 2nd of - Rahmat (Johann’s January, 1942 servant) The House ”Jadi, kakek lo nyelidikin mereka semua. Termasuk… ke­ matian Annette?” Dika berasumsi. ”Sepertinya gitu. Ingat kan, Johanna bilang dia nggak mungkin membunuh Annette. Mungkin Kakek juga percaya itu lalu menyelidikinya,” jawab Dharma. ”Bisa jadi…” desah Uzzie. Teman-temannya terpaku. Mereka tak mengira urusan buku harian bisa jadi sepanjang itu. Dika menggaruk-garuk kepala. Dharma mengernyit memandang jurnal itu lalu berpandangan dengan Lutfie yang mengusap-usap dagu. ”Dharma, ayo lihat catatan yang lain!” desak Ullie. Lalu yang lain segera mendesak Dharma untuk membaca ha­ laman selanjutnya. 92

Tapi ada satu hal yang tak kalah penting, yang bahkan tak sedikit pun mereka sadari. Ada seseorang yang mem­ perhatikan dari jauh obrolan mereka. Sepasang matanya mengintip dari balik dinding luar ruang keluarga, mencoba menyerap setiap kata yang mereka ucapkan. 93

8. DHARMA merebut jurnal itu dari tangan Lutfie. Dibolak­baliknya halaman jurnal itu dengan cepat sambil terus memperhatikan. ”Bentar, lihat halaman lain,” sahutnya. Dharma berkomat-kamit sambil asyik membaca. ”Hei!” Lutfie segera protes. Dharma tidak menggubris­ nya. Melihat reaksinya, semua temannya jadi tak sabar. Riris sampai berdecak kesal dan menginjak kaki Dharma, mem- buatnya mengaduh kesakitan. ”Dharma, kita baca sama-sama aja. Toh ini juga kita ha- dapi bareng-bareng!” seru Riris jengkel. 94

”Iya, jangan dibaca sendiri!” tambah Dika. ”Gue juga mau lihat!” protes Ullie. Ia setengah mati penasaran dengan isi jurnal itu. ”Cepet siniin jurnalnya!” seru Uzzie. Dharma masih saja berkutat dan tidak memedulikan seruan tak sabar teman-temannya. Ia seolah berada di dunianya sendiri, dan pikirannya tercurah seluruhnya pada jurnal itu. Ia membalik halaman jurnal itu semakin cepat sambil terus berkomat-kamit. Matanya ikut bergerak cepat, menyusuri setiap kalimat yang ada di tiap halaman. ”Woiii, Dharma! Apa injekan gue kurang berasa?? Ugh…” Riris menginjak kaki Dharma sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. Dharma tetap bergeming. Lutfie jadi jengkel, apalagi ia yang menemukan jurnal itu di tempat rahasia. ”Udah, sini gue bacain aja buat kita!” Lutfie akhirnya merebut lagi jurnal itu, semua temannya bersorak mendu­ kung. Dharma yang kaget karena tiba-tiba buku itu melayang dari tangannya hanya bisa mendengus. Dibiarkannya Lutfie yang membacakan jurnal. Lutfie duduk di sofa se­mentara yang lain mendekat, duduk menghadap dirinya. Lutfie membuka jurnal perlahan, menelitinya seben­tar lalu mulai membaca dengan suara lantang dan tenang. Ia 95

mengabaikan ejaan lama yang digunakan, sehingga dibaca­ nya sesuai ejaan sekarang. ”Jurnal Sugandi, 1948. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka.” Lutfie mulai membaca. Semuanya menyimak dengan saksama. Riris melipat kakinya di sofa. Uzzie melipat tangannya di dada, tatapannya serius, tertuju pada Lutfie. Ullie menggigiti kukunya sambil memperhatikan. Dika duduk menopang dagu. Lutfie menghela napas sejenak, lalu membacanya lagi. ”Rumah ini dibangun pada tahun 1935 oleh Johann van Rijneck, sang arsitek kenamaan Belan­ da. Kecerdasannya dituangkan dalam rumah ini, mahakar­ yanya. Berbagai hal menakjubkan ada di rumah ini, seperti lukisan tiga anak di perpustakaan. Siapa yang menyangka di baliknya ada ruang rahasia? Lorong menuju ruang-ruang yang paling dijaga Johann. Dan apakah kalian akan mengira jika ada bagian lantai ruang keluarga yang merupakan pintu menuju ruang bawah tanah yang bahkan Johanna, istri Johann sendiri, tidak tahu? Dan seluruh tangga di rumah ini bisa bergerak, bagaimana menciptakan mekanis­ me semacam itu? ”Cerdas, amat cerdas. Aku yakin masih banyak kejutan yang disimpan Johann dalam rumah ini. Sejauh ini masih itu bentuk kegeniusan Johann yang berhasil aku temukan. Tapi aku akan mencoba mencari tahu lebih banyak lagi. 96

Sangat menyenangkan! Bahkan aku, yang juga seorang arsitek, sangat mengagumi otak dan cara dia berpikir. Terobosan-terobosannya, dan kejutan-kejutan di dalam rumahnya! ”Tapi siapa menyangka, di balik kegeniusan itu Johann menyimpan misteri di dalam rumahnya? Bukan, bukan misteri rumah yang dia tinggali, melainkan siapa saja yang ada di dalamnya. ”Johanna, Peter, Annette, Isabel... dua dari mereka adalah korban. Aku yakin kecelakaan itu tidak disengaja karena Johanna menulis detail kebenaran insiden itu. Aku menemu­ kan buku hariannya...” Catatan halaman pertama berakhir sampai di situ. Lutfie mendongak dari jurnal dan menatap teman-temannya. Reaksi mereka sama, bergeming, masih berusaha mencerna isi jurnal itu. Dharma mengernyit sambil memandang Lutfie. Dika mengunyah permen karet dan tampak sibuk berpikir. Riris tak berkedip, tampak serius. Uzzie dan Ullie bertukar pandang. ”Jadi...” kata Riris, akhirnya membuka diskusi sambil meng­hela napas pelan. ”Benar-benar pernah ada kecelakaan,” sambung Uzzie sam­bil manggut-manggut kecil, menyetujui. ”Dan beliau bilang itu tidak disengaja! Berarti kakek 97

Dharma emang percaya bahwa Johanna nggak membunuh! Itu kecelakaan!” tambah Uzzie. ”Dan kakek lo menemukan buku harian Johanna,” lanjut Ullie, pandangannya menerawang. Ia berhenti menggigiti kuku. ”Berarti dari buku harian itu kakek lo tahu tentang ke­ matian Annette?” Dia memandang Dharma. ”Sepertinya gitu. Atau sebelumnya Kakek denger rumor tentang itu, bisa aja kan? Dan begitu menemukan buku harian Johanna, beliau jadi penasaran dan mulai cari tahu lebih banyak,” terang Dharma. ”Dua dari mereka adalah korban? Maksudnya Johanna sama Annette?” tanya Riris bingung, sambil mengernyit. Dharma memutar bola mata. ”Ya siapa lagi? Bukannya udah jelas?” sahutnya agak nyolot. Riris langsung melotot. ”Gue kan cuma tanya! Lo nyebelin banget sih!” serunya. Dharma ikutan melotot. ”Habis lo konyol, nanyain pertanyaan yang udah jelas jawabannya! Kan Annette yang meninggal dan Johanna yang dituduh meracuni dia. Jelaslah mereka berdua korban­ nya!” Dharma dan Riris kembali beradu mulut. Teman-teman­ nya hanya bisa menghela napas jengkel. Lutfie tiba-tiba berdiri, Dharma yang bersiap membalas 98


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook