Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Misteri Buku Harian Johanna

Misteri Buku Harian Johanna

Published by Fairytale, 2021-03-25 13:59:32

Description: Misteri Buku Harian Johanna

Search

Read the Text Version

”Terus gimana dong?” tanya Ullie putus asa. Uzzie merenung. ”Bisa aja kita tutup pintu dengan sesua­ tu yang berat. Ada nggak sesuatu yang seperti itu di dekat sini?” cetus Uzzie Dika dan Ullie buru-buru berpikir. ”Ada tangga! Ayo kita pakai itu!” Ullie menunjuk tangga yang agak tersembunyi di rerumputan di samping rumah Mas Imron. Dika langsung mengambil tangga itu lalu meng­ gesernya ke arah pintu rumah kaca. Riris masuk ke rumah Mas Imron dan segera mengambil beberapa kursi kayu. Ullie dan Uzzie membantunya. ”Cepet, cepet, sebelum Pak Zul sadar!” bisik Dika. Ketika semua nyaris selesai dilakukan, Pak Zul tiba-tiba menyadari hal itu dan dengan penuh kemarahan ia berge­ rak ke arah pintu. Dika dan para cewek luar biasa kaget. Mereka berusaha mendorong tangga dan kursi-kursi itu untuk menutup pintu, namun usaha mereka juga dibarengi usaha keras Pak Zul mendorong dari dalam. Lutfie akhirnya ikut membantu. Tetapi rupanya tenaga Pak Zul lebih kuat daripada yang mereka duga. Dalam beberapa dorongan, pintu rumah kaca terbuka. Lutfie, Dika, dan para cewek langsung terdorong ke tanah dengan keras. Ullie dan Uzzie meringis kesakitan, Dika mengelus sikunya yang terluka. Riris bangkit sambil terhuyung dan membantu Lutfie yang masih terduduk dengan wajah syok. 199

Pak Zul melangkah ke luar dengan wajah luar biasa murka. ”Kalian pikir kalian bisa menghentikanku? Kalian tidak akan bis…” Tapi sedetik kemudian, tiba-tiba raut wajah laki-laki tua itu berubah menjadi pucat lalu ia terjatuh. Dika, Lutfie, dan para cewek terkejut. ”Gue… gue barusan,” sahut Riris terputus-putus. Ia tam­ pak syok dengan apa yang barusan dilakukannya. Riris memegang potongan kayu yang entah ia dapat dari mana dengan tangan yang masih bergetar. Wajahnya ketakutan menatap Pak Zul yang terjatuh, lalu ia menatap teman- temannya dan menelan ludah. ”Riris,” sahut Dika tak percaya. Ia bersandar pada pintu kaca, terengah-engah. ”He... hebat...” Lutfie terduduk lagi di tanah, wajahnya nanar. ”Oh, syukurlah.” Uzzie tersenyum lemah. Ia terduduk di sebelah Lutfie yang tersenyum padanya, lalu tertawa kecil. Uzzie ikut tertawa penuh kelegaan. Ullie segera memeluk Riris sambil terisak. ”Syukurlah,” katanya tersendat. Riris menepuk punggung Ullie, menahan isakannya ”Lo hebat, pemberani.” Uzzie akhirnya ikut memeluk Riris juga. 200

Dika mendekati tubuh Pak Zul, lalu segera mengambil tali yang tadi dipakai untuk mengikatnya dan teman- temannya, yang untungnya dibawanya tanpa sadar saat ia berusaha keluar rumah. Lutfie segera membantunya. Mere­ ka mengikat Pak Zul erat-erat dan menyandarkannya ke sebelah pintu rumah kaca. ”Kita taruh di sini aja. Nanti pas polisi datang kita bisa langsung serahin beliau,” sahut Lutfie sambil memandang Pak Zul. Dika mengangguk menyetujui. Ia ikut menatap Pak Zul yang pingsan dengan agak bergidik. Dika takut Pak Zul tiba-tiba sadar. Mas Imron menatap pemandangan itu dan ia kebingungan. ”Ada yang mau menjelaskan? Kenapa rumah bisa sampai terbakar dan Pak Zul…” Ia tak melanjutkan kata-katanya, terlalu bingung. Uzzie menatap Mas Imron sambil tertawa kecil setengah menahan air mata. ”Kami akan ceritakan semuanya,” sahut­ nya. 201

17. PEMADAM kebakaran tiba tepat setelah Pak Zul ambruk. Mereka segera bekerja cepat. Ketika polisi datang, mereka semua segera ditanyai. Mereka berkumpul di rumah Mas Imron. Kare- na Dharma masih syok, maka Lutfie dan Dika yang paling banyak bercerita, sementara Mas Imron mendengarkan dengan raut wajah tak percaya. Lutfie dan Dika menyerahkan jurnal dan buku harian Johanna pada polisi sebagai bukti. Api akhirnya berhasil dipadamkan. ”Jadi kalian awalnya tidak tahu apa-apa, hanya berniat menyelidiki rumah ini?” tanya seorang Inspektur yang wajahnya ramah dan tampak kebapakan. Lutfie menyu­ 202

kainya, karena beliau tampaknya paham akan apa yang ia dan teman-temannya alami. ”Ya, Pak,” katanya sambil tersenyum. ”Kalian ceroboh, harusnya dari awal kalian melapor,” tegur seorang polisi. Dahi Dika berkerut mendengarnya. ”Kami tidak tahu ada orang yang mengamati kegiatan kami, dan kami juga tidak tahu orang itu berniat jahat.” ”Sudahlah. Yang penting kalian selamat,” sahut Inspektur tadi sambil tersenyum menenangkan. ”Lalu bagaimana selanjutnya, Pak? Kerangka-kerangka yang ada, kerangka Johanna, Annette, dan mungkin... Jaya?” tanya Lutfie ragu. ”Kasus ini sedikit rumit, karena sudah terlalu lama dan tertuduh pun belum tentu masih hidup. Untuk sementara kami akan menguburkan mereka secara layak terlebih dahulu. Lalu kami akan berusaha menghubungi kerabat mereka, baru bila ada yang mengambil kerangka itu akan ada tindakan lebih lanjut.” ”Bukankah ruangan tempat kerangka Annette terkunci? Bapak menemukan kuncinya?” tanya Lutfie. Inspektur mengangguk. ”Ada serangkaian kunci di laci teratas bufet. Kami menemukannya setelah kami men­cari- cari kunci itu di seluruh ruangan.” 203

Dharma dan teman-temannya berpandangan, ”Ternyata kuncinya bukan di perpus atau dibawa Johann waktu balik ke Belanda,” sahut Dharma. ”Ada kemungkinan kakek lo yang menyimpannya di situ,” balasnya. ”Sayang Pak Zul membongkar kasus ini dengan cara seperti ini. Andai beliau mau bekerja sama dengan kita,” sesal Ullie mulai tenang kembali. Riris menggeleng. Dia ingat kata-kata Pak Zul. ”Sepertinya nggak. Dia sudah lama memendam hal ini sendirian, dan gue tahu perasaannya kalau ada yang mengusik. Dia meng­ anggap kita merusak rencananya. Dia ingin mengakhiri semua ini sendiri.” ”Dan ingat, dia benci karena kita menemukan buku harian dan jurnal lebih dulu, padahal dia udah tinggal di sini selama lebih dari separuh hidupnya. Dia yang meng­ alami peristiwanya secara langsung, tapi nggak tahu seba­ gian fakta yang ada di buku harian dan jurnal. Dia juga nggak bisa menemukan mayat kakaknya berada,” kata Lut­ fie. ”Dia nggak menangkap petunjuk di balik kata-kata Jo­ hann, kan? Soal mawar itu,” tambah Dika. Lutfie mengang­ guk. ”Bayangkan betapa marahnya dia, saat kita yang baru aja datang ke sini, langsung mengetahui lebih banyak.” 204

”Orang yang aneh,” desah Uzzie. ”Lo bilang lo ingin membantu Pak Zul mendapat keadilan, Lut, tapi menurut gue…” Riris berkata tapi segera disela Lutfie. ”Itu sia-sia. Dia berusaha mencari keadilan, tapi Johann udah meninggal… ” ”Seandainya dia tidak menyimpan semuanya sendiri,” tambah Ullie, merasa prihatin. Mereka melihat Pak Zul yang masih pingsan dimasukkan ke mobil polisi. Riris menatapnya iba. ”Pak Zul akan ditahan berapa lama, ya? Kasihan beliau, sudah tua.” Dharma ikut memandang Pak Zul. ”Gue rasa nggak lama. Dia nggak melakukan kesalahan terlalu besar.” Dharma menatap Riris yang sedih. ”Tapi pak Zul tega mengurung kita, berniat membakar kita hidup-hidup. Padahal awalnya kita sangat percaya sama dia.” ”Pahami Pak Zul, Dharma. Sudah lama beliau menyimpan dendam di hatinya. Sejak kecil hanya hidup dengan ibunya di dekat rumah yang selalu membuat benaknya teringat akan kenangan pahit. Dia tidak bisa menerima fakta bahwa ayah dan kakaknya dibunuh dengan kejam. Dan ibunya kayak orang setengah hidup. Pasti hidupnya begitu tersiksa dan hampa, dipenuhi rasa benci dan kehilangan,” ujar Dika setengah mere­nung. 205

Lutfie memandang Dika. ”Dari mana lo bisa dapat kata- kata sebijak itu?” Dika tiba-tiba sadar. Ia mengerjapkan matanya. ”Emang kata-kata gue tadi oke banget, ya?” Riris tersenyum kecil padanya. ”Gue rasa lo terlalu me­ mahami perasaan Pak Zul, Dik. Lalu Riris memandangi bajunya dan teman-temannya. ”Kita perlu mandi. Segera,” katanya. Teman-temannya yang lain memandang penam­ pilan mereka sendiri lalu segera tersadar betapa berantakan­ nya mereka. ”Nanti. Gue masih mau mencerna dulu apa yang udah terjadi,” sahut Dharma. Ullie melihat rumah itu dengan pandangan melamun, dan ketika dilihatnya lantai dua rumah itu, mendadak ia teringat sesuatu. ”Kata kakek lo, tangga rumah itu bisa bergerak? Bergerak bagaimana, ya?” tanyanya. Teman-temannya memandangnya dengan terkejut. Mere­ ka nyaris lupa satu hal itu. Lutfie tiba-tiba tersenyum. ”Gue tahu. Gue pernah bilang kan, ada satu bagian dari rumah ini yang akan memberitahu segalanya? Akhir kisah dan penentu seluruh peristiwa di rumah ini dulu?” katanya de­ngan penuh teka-teki. Teman-temannya mengangguk. ”Gue langsung perlihatkan aja, biar kalian lebih paham,” lanjut Lutfie, lalu mendahului semua orang masuk ke 206

rumah. Polisi masih ada di dalam, dan ketika mereka dila­ rang masuk, Lutfie memberitahu mereka bahwa ia hanya akan memastikan suatu hal. Lutfie membawa semua orang ke tangga menuju lantai dua. ”Untung ruangan ini nggak terbakar.” Ia tersenyum. Lutfie meraba dinding di sebelah tangga dan menemukan sebuah pegangan kecil lalu membukanya. Teman-temannya terkejut. Mereka tidak tahu di balik dinding kayu itu ada lubang persegi kecil yang tertutup. Di dalamnya ada tuas kecil dan Lutfie menariknya. ”Semoga masih bisa,” harap­ nya. Suara ”grek” yang familier menyambut Dharma dan yang lain manakala tangga kayu yang berat itu tiba-tiba merapat ke dinding, dan bersamaan dengan gerakan merapat itu, sebuah lubang pintu di lantai terbuka. Mereka terperangah. Inspektur yang kaget mendengar bunyi itu segera masuk ke rumah, diikuti Mas Imron. Lutfie mendahului masuk ke lubang itu, teman-temannya mengikuti, lalu Inspektur menyusul. Ada ruangan luas di bawah. Ruangan yang berbeda dengan ruang rahasia yang selama ini dilihat Dharma dan yang lain. Lutfie me­nyalakan lampu dan semua orang terperangah. Ruangan itu kesannya hangat, ramah, dan yang menakjubkan, masih bersih walaupun agak pengap. Dindingnya dicat ungu lem­but. Ada banyak lukisan di sana. Lukisan keluarga Johann 207

dan Johanna, dan wajah-wajah dalam lukisan itu kelihatan bahagia. Ada lima lukisan. Tiga lukisan wajah Annette, Isabel, dan Peter. Lalu lukisan keempat adalah lukisan Johann dan Johanna, berpegangan tangan dan terse­nyum. Lukisan terakhir adalah lukisan seluruh keluarga Belanda itu, mereka berlima duduk di sofa yang ternyata sofa di ruang keluarga. Juga ada barang-barang peninggalan Johanna dan keluarganya. Semua lukisan itu dilukis oleh orang yang sama dengan lukisan di perpustakaan. Selain itu juga ada gaun-gaun pes­ta berdebu dalam lemari, lukisan anak kecil yang ditempel di dinding dengan gambar lima orang dengan judul ”Aku, Ibu, Ayah, Kak Annette, dan Kak Isabel”, juga ada mainan-mainan; kuda-kudaan dari kayu, puzzle, dan pedang-pedangan, serta boneka-boneka cantik berambut pirang dengan gaun yang sudah berlubang. Dan ada juga alat tenun. Tapi yang paling menarik minat semua orang adalah lukisan-lukisan yang ada di sana. Mereka meman­ danginya secara bersamaan seolah diprogram dan perha­ tian mereka terserap oleh kehangatan dalam lukisan-lu­ kisan itu. ”Ya ampun…” Wajah Dika langsung pucat. ”Mereka semua...” sahut Dharma terputus. ”Mereka semua bahagia...” sahut Riris tak percaya. Dalam 208

lukisan itu terlihat Johann yang sedang memeluk pinggang Johanna dengan lembut. Ia tersenyum. Di lantai, Peter se­ dang bermain mobil-mobilan kayunya, Annette menemani­ nya. Sementara itu Isabel memandang adik-adiknya sambil tertawa. Lutfie dan yang lain tidak melihat kesan dingin sama sekali yang terpancar dari lukisan Isabel yang ada di perpustakaan. ”Itu Isabel? Bahkan dia juga terlihat beda… ” Uzzie menggeleng. ”Ini ruang tempat benda-benda kesayangan mereka semua disimpan. Pendek kata, gudang bawah tanah. Gue rasa sebenarnya Johann sangat mencintai seluruh keluarga­ nya. Hanya saja dia memang sangat kaku dan harga dirinya sangat tinggi. Dia memang bisa kejam, tapi tidak pada keluarganya,” kata Lutfie pelan. ”Tapi dia membunuh,” kata Dika sambil menatap heran Lutfie. Lutfie mengangguk. ”Dia terpaksa. Dia orang yang sangat menjaga gengsi. Makanya dia menjodohkan Isabel dengan anak pejabat kaya. Dia juga mendidik Isabel dengan keras agar bisa meneruskan kesuksesannya. Dia terpaksa membu­ nuh Annette karena tak ingin Annette menodai sejarah keluarga yang dianggapnya sempurna. Dia takut hubung­an antara Jaya dan Annette menjadi semakin jauh. Dia takut 209

kalau sampai salah satu koleganya mampir ke rumahnya dan melihat Annette sedang bercengkerama dengan Jaya, berkata dengan nada mengejek, ’Jadi inikah yang anak keduamu lakukan, bergaul dengan pribumi?’” ”Itu bukan cinta namanya. Cinta nggak ada yang seperti itu. Itu...” Ullie tak mampu meneruskan kalimatnya. Wajah­ nya pucat. ”Nggak layak, memang. Cinta seharusnya menjaga orang yang dicintai, bukannya membunuh. Kakek lo tahu, Dharma, bahwa sebenarnya Johann mencintai keluarganya. Dia me­ ne­mukan ruang rahasia ini. Dia tahu bahwa sebenarnya Johann membunuh keluarganya demi menjaga nama baik keluarganya.” Lutfie menatap Dharma yang masih terpa­ku. ”Kejam sekali. Nggak seharusnya...” Riris menggeleng tak percaya. ”Memang sulit dipercaya,” kata Lutfie menyetujui. ”Ternyata di balik otaknya yang cerdas itu ada kegilaan,” bisik Ullie. Ia memeluk badannya dan gemetar. ”Bukan kegilaan. Gengsi. Hanya karena gengsi dia tega membunuh anaknya. Itu bukan cinta namanya. Dan dia menimpakan semuanya pada Johanna.” Mata Uzzie berkaca- kaca ketika ia menatap lukisan Johann dan Johanna bergan­ tian. ”Makanya, dia menyesal. Sangat menyesal,” kata Lutfie, 210

membuat teman-temannya terkejut. Lutfie meminta jurnal kakek Dharma pada Inspektur lalu membukanya. ”Tadi gue sempat baca halaman paling akhir dari jurnal ini sebelum gue kasih ke Inspektur. Dan ada secarik kertas yang gue temuin di balik sampul buku, dilipat kecil sehingga nggak akan mudah ditemukan kalau saja gue tadi nggak sengaja menjatuhkannya dan membuat sampulnya terlepas. Baca aja,” kata Lutfie sembari menyerahkan jurnal itu pada Dharma. Semua orang segera mengerumuninya. Benar saja, di balik sampul itu ada kertas kecil berisi tulisan. Kertas itu sudah rapuh dan menguning. Dengan hati-hati Dharma membukanya lalu membaca. Rupanya itu surat kecil, ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan lama. Dika, Riris, Ullie, dan Uzzie membacanya dalam hati. Keloeargakoe… Oh Toehan, akoe menjesal. Akoe sangat menjesal. Memboenoeh Johannakoe, memboenoeh Annettekoe dan orang jang ditjintainja. Akoe masih bisa mengingat Johanna memohon-mohon di balik selnja. Akoe masih bisa mendengar rasa putus asa dan ketakoetan jang ada di dalam suaranja. Oh Toehan, apa jang telah koelakoekan? Tidak seharusnja aku berbuat seperti itoe. Tapi semoea soedah terdjadi. Akoe soenggoeh bodoh. Tapi akoe tidak bisa membalikkan roda 211

waktoe. Akoe akan pulang ke Belanda, membawa rasa maloekoe atas apa yang telah koeperboeat. Surat itu berhenti di situ. Dharma mendongak. Ia terlihat heran. Mata Riris kini benar-benar berkaca-kaca. ”Oh, ya am­ pun,” katanya sambil mengusap matanya. Mata Ullie dan Uzzie juga tampak basah. ”Dan ini isi halaman terakhir dari jurnal yang ditulis kakek lo. Gue bacain, ya,” sahut Lutfie lagi. Lutfie pun mulai membacanya dengan pelan. Suaranya bergaung di ruangan itu. ”Dan kisah ini pun akhirnya berakhir. Tragedi menge­ rikan yang menimpa sebuah keluarga. Tapi hal ini tak perlu terjadi jika Johann sedikit melunakkan hatinya. Jika dia bisa memahami apa arti cinta dan kebahagiaan yang sesung­ guhnya. Jika dia bisa memahami bahwa hal buruk yang terjadi adalah akibat pola pikirnya yang salah. ”Tapi aku tahu, ada penyesalan yang teramat dalam di lubuk hatinya. Rasa penyesalan yang begitu menghunjam hatinya. Ruang yang kutemukan membuktikan, di dalam hatinya, dalam sosok yang pernah melakukan pembunuhan berkali-kali, tersimpan hati yang sebenarnya sangat mencin­ tai keluarganya. Sosok yang keras itu, di dalam hatinya adalah sosok yang penuh kasih. 212

”Seandainya saja dia bisa memahami…” ”Lalu kenapa... kakek lo nggak berbuat sesuatu? Kenapa beliau nggak melaporkannya kepada polisi, atau apa?” tanya Ullie. ”Kenapa beliau hanya menyimpannya seorang diri? Dan membiarkan mayat Johanna dan Annette di tempat seperti itu? Dan Jaya? Gimana dengan dia?” tanya Ullie, memandang Dharma dengan sorot mata penuh kesedihan. Dharma memandangnya, lalu menggeleng dengan lemah. ”Selama ini gue nggak pernah tahu hal itu.” Dharma menu­ tup wajahnya. ”Beliau sudah melaporkannya.” Lutfie tiba-tiba berka­ ta. Semua orang segera menatapnya. Dharma mendongak. ”Apa?” Lutfie mengangguk. Ia menyodorkan kertas lusuh. ”Surat ini tertanggal setahun setelah kakek lo menemukan kebe­ naran tentang tragedi keluarga Johann, setelah beliau selesai menulis bukunya. Kakek lo menyelipkannya ber­ sama surat Johann. Saat gue membacanya, gue tahu sebe­ rapa keras usaha yang dilakukan kakek lo untuk memper­ oleh keadilan yang layak bagi Annette dan Johanna. Lalu 213

untuk Jaya, kakek lo sepertinya berusaha menemukan tempat mayat Jaya dikuburkan. Dan beliau berniat menggali kuburannya, tapi…. Ah, lebih baik kalian baca sendiri aja.” Dharma segera mengambil surat itu. Dika dan yang lain segera mengerumuninya, sementara Inspektur memanggil Lutfie untuk bicara dengannya. Kamis, 24 November 1949 Akoe soedah mentjoba segalanja. Akoe meminta polisi oentoek menjelidiki kasoes ini. Akoe menoendjoekkan segala yang koetemoekan. Tapi mereka tidak pedoeli. Mereka enggan menjelidik kematian keloearga Belanda jang soedah lebih dari doea tahoen terdjadi. Mereka bilang, itoe boekan oeroesan mereka. Apalagi Johann soedah meninggal ketika kapalnja tenggelam dalam perdjalanan ke Belanda. Mereka djoega tidak maoe tahoe ketika akoe meminta mereka oentoek menjelidiki di mana mayat Djaya. Mereka djoega masih tidak maoe tahoe ketika akoe membawa Inah kepada mereka. Kasihan Zoelkifli dan iboenja. Anak seketjil itu! Dan iboenja, oh Toehan…. Aminah mendjadi pribadi jang berbeda setelah itoe, dia seperti mati di dalam…. Akoe beroesaha mentjari keadilan bagi mereka. Kalaoe akoe bisa menemoekan mayat Djaya, setidaknya itu akan meroepakan hal yang sangat besar artinja bagi Zoel. Akoe bisa melihat kemarahan dan kesedihan jang begitoe besar dimata Zoel. Kasihan dia. 214

Dharma memejamkan mata. Dari kata-kata kakeknya, dia bisa merasakan kesedihan yang begitu besar. Dia bisa membayangkan kakeknya menangis saat menulis kata-kata itu. ”Ya ampun, beliau emang udah melakukan segala yang bisa dilakukan…” sahut Uzzie lirih. ”Dan ibu Pak Zul, oh ya Tuhan, nggak heran ini membuat Pak Zul sangat menderita…” Riris terduduk di kursi kayu, pandangannya tertuju ke bawah. Uzzie melihat dan segera menghampirinya, lalu duduk di samping Riris. ”Gue rasanya pengin cuci otak,” kata Uzzie sambil menera­ wang. Riris mengangguk. ”Gue juga,” balasnya tanpa melepaskan pandangan. Mendadak mata Riris menyipit. Dia merasakan sesuatu di belakang bokongnya. Dia lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Dibersihkannya debu yang menutupi per­ mukaan benda itu. Tampaknya sebuah pigura, ukurannya cukup besar. Uzzie memandangnya. ”Hei, apa…” Belum sempat dia menyelesaikan pertanyaan, tiba-tiba Riris menjatuhkan benda yang dipegangnya. Uzzie segera menangkapnya sebelum benda itu menyen­ tuh lantai. 215

”Lo kenapa sih?” tanyanya terkejut. Riris tak menjawab dan memilih memalingkan muka. Seruan Uzzie segera membuat Ullie dan yang lain mengalihkan pandangan. ”Ada apa?” tanya Ullie bingung, sambil mendekati Uzzie. ”Riris nemu ini,” jawab Uzzie. ”Emangnya itu apa?” tanya Ullie. Uzzie segera mengamati benda itu dengan saksama. Ia langsung terbelalak dan mengerti penyebab Riris begitu terkejut sampai menjatuh­ kan benda itu. Foto berwarna hitam putih dalam pigura itu menam­ pakkan sosok Annette, yang sangat cantik dalam pakaian putih berenda. Dia tersenyum ke arah kamera. Dan dia tidak sendirian. Ada sosok asing di sampingnya. Sosok yang amat kontras bila dibandingkan dengannya. Seorang pemu­ da Indonesia berkulit agak gelap namun bersih dalam pa­ kaian sederhana yang rapi. Senyumnya sama cerahnya seperti Annette. Pemuda itu tampan. ”Itu… itu…” Ullie tak melanjutkan ucapannya. Dia segera membekap mulutnya. ”Jaya?” bisik Dika. Di balik foto itu ada catatan, 15 Agustus 1940. Ada tu­lisan Annete & Jaya sebelum tanggal foto dibubuhkan. Ullie mulai tersedu. Sementara Dika sendiri tak bisa 216

berkata apa-apa. Wajahnya sama pucatnya saat melihat lukisan Johann dan keluarganya. Lutfie menelan ludah berkali-kali. Dharma melihat foto itu dengan ekspresi begitu sedih. ”Seorang gadis Belanda yang jatuh cinta sama pribumi. Ayahnya yang nggak setuju tega bunuh dia. Ya ampun….” Uzzie berkata pedih. ”Ruangan ini emang bisa cerita segalanya.…” sahut Riris lirih. Ia seakan tahu, Annette ingin menyimpan kenangannya bersama Jaya di ruangan ini. Dan jika kelak tidak akan bertemu Jaya lagi, dia punya sesuatu yang akan mengingat­ kannya pada laki-laki itu. Hati Riris pedih melihat foto Annette dan Jaya yang tersenyum. Mereka tidak tahu apa yang bakal menimpa mereka di kemudian hari…. ”Dia ganteng ya?” sahutnya. ”Iya, dari cara dia tersenyum… kelihatan kalau orang baik. Pantes Annette suka sama dia,” Jawab Uzzie. Lutfie memandang sekeliling ruangan, lalu berdeham sebelum berujar, ”Sepertinya Pak Zul belum nemu ruang ini. Dan beliau belum baca kata-kata Johann. Seandainya udah, dia mungkin bisa belajar memaafkan Johann dan semua kejadian ini nggak akan terlalu nyakitin buat dia. Dia akan belajar menerima, dan seiring waktu dia akan sembuh. Setidaknya bisa lebih baik daripada keadaannya yang sekarang….” 217

Dharma mendesah, lalu mengalihkan pandangan ke Lutfie. ”Kalau Kakek lihat keadaan Pak Zul sekarang dan apa yang udah diperbuatnya, beliau pasti bisa paham. Beliau bakal ngerasa prihatin….” ”Seandainya… kita nggak nemu buku harian dan jurnal, ini nggak akan terjadi, kan?” bisik Riris dengan pedih. Dharma tidak menjawab, hanya memejamkan mata, tak kuasa menahan kebenaran di balik kata-kata Riris. Dika memandang Riris. ”Ris, seandainya gitu, gue rasa keadaannya mungkin malah lebih buruk. Pak Zul nggak mungkin bisa menahan semuanya selamanya sendirian. Dia nggak bisa lupa, dia terus terperangkap sama kejadian itu. Ingat kan, Pak Zul sendiri bilang beliau ingin bunuh diri, tapi nggak pernah bisa. Dia nyaris gila. Kita ini cuma pemicu bom yang bisa meledak sewaktu-waktu.” ”Kenapa dia nggak pindah? Atau mungkin…” Riris mencoba mengutarakan argumennya, tapi Dika menyela. ”Pindah nggak berarti dia bisa bebas, Ris. Apa yang beliau alami nggak bisa selesai cuma dengan pindah.” Semua orang terdiam, masing-masing sibuk dengan pi­ kiran masing-masing. Sementara itu, Dharma mengem­ balikan jurnal kakeknya kepada Inspektur lalu tenggelam dalam diam seperti yang lain. 218

18. SAAT teman-temannya kembali mengobrol de- ngan Inspektur, Dharma diam-diam menyelinap ke bagian vila yang tidak pernah dikunjunginya selama ini. Dia menyusuri dapur dan lorong setelahnya, ke ruang-ruang belakang yang berfungsi seba- gai tempat penyimpan barang-barang bekas, yang berisi sepeda jadul milik kakeknya dan sekaligus sepeda lain yang lebih tua lagi usianya. Kakeknya pernah menunjukkan pa- danya sepeda tua milik Johann. Ruang-ruang lainnya adalah kamar pelayan Johann, yang kini tidak dipakai lagi dan terkunci. Dia tidak tahu, dari mana datangnya keinginan untuk 219

mengunjungi ruang yang satu itu. Keinginan itu muncul begitu saja. Kejadian-kejadian yang telah dialaminya memberinya pikiran untuk pergi ke sana. Langkahnya menggema di lantai marmer yang dingin. Kamar Pak Zul terletak di ruang terakhir di lorong. Sejak kecil, Dharma tidak pernah memasukinya. Dia selalu agak takut melewati ruang-ruang bekas kamar pelayan yang tetap terkunci sejak kakeknya menempatinya. Padahal kakeknya bilang di situ tidak ada apa-apa, cuma ada kasur dan lemari tua. Tapi imajinasi masa kecilnya yang liar selalu memberitahunya bahwa di situ ada segala macam hantu dari pelayan zaman Belanda dan makhluk jadi-jadian yang gemar menempati kamar kosong. Pak Zul sepertinya tak pernah mengunci kamarnya dan itu tidak mengherankan. Lagi pula, buat apa dikunci? Pak Zul tinggal sendirian dan beliau tidak pernah khawatir akan ada pencuri. Asal pintu depan dan belakang dikunci, beres sudah. Dharma mengagumi keberanian Pak Zul. Dharma berhenti sejenak di depan pintu kamar Pak Zul sebelum akhirnya membukanya. Apa yang dilakukannya tidak membutuhkan keberanian, tapi dia merasa hal itu membutuhkan kesiapan hati. Pintu terayun perlahan de­ ngan derit pelan. Ruangan itu sangat sederhana. Dinding putih polos, 220

lantai marmer yang bersih, dan ada dua jendela yang cukup besar. Tempat tidur berukuran sedang hampir me­menuhi kamar, ada lemari tinggi dan ramping berdiri di pojok. Sisanya tinggal beberapa petak lantai yang digunakan untuk beribadah. Pak Zul tidak memenuhi dindingnya dengan kalender maupun foto. Tidak ada barang-barang pribadi di sana. Dharma seolah memasuki ruangan yang dingin dan hampa, yang tidak berisi kehidupan. Dharma memandang ruangan itu sekilas dalam diam sebelum akhirnya melangkah masuk. Dia lalu membuka lemari dan langsung terkejut. Pak Zul rupanya menyimpan banyak barang di sana. Buku-buku, tas kecil, dan dompet hitam sederhana. Dharma membuka lacinya dan kontan terenyak. Ada beberapa album tua dan buku-buku catatan bertum­ puk rapi. Dharma membuka salah satu buku catatan, dan mendapati catatan keuangan yang rapi dan sistematis. Catatan itu bermula dari tahun 1949, rupanya itu awal Pak Zul bekerja di vila. Saat itu umur Pak Zul tiga belas tahun. Dalam usia semuda itu Pak Zul sudah bekerja. Berarti saat kejadian meninggalnya Jaya, Pak Zul masih berusia 6 ta­ hun…. Ya ampun, desah Dharma dalam hati. Dharma segera menutup catatan itu karena membuat perasaannya benar-benar tidak enak. Dia lalu beralih meli­ 221

hat-lihat beberapa foto dan album, berpikir bahwa isinya tidak akan membuatnya merasa gundah. Dia salah, begitu membuka-buka album dan tahu foto- foto yang ada di dalamnya, perasaannya malah semakin buruk. Pak Zul dan keluarganya berfoto bersama, dilatarbelakangi pemandangan vila zaman dulu, yang tidak berubah, namun tetap saja nuansanya lain. Pakaian mereka sangat seder­ hana, hanya kemeja putih polos dan celana lusuh. Ibu Pak Zul berpakaian lebih bagus, kebaya dan kain jarit. Pak Zul mirip dengan ibunya, Aminah, yang berwajah manis dan sederhana. Sementara Jaya mewarisi wajah ayahnya, Rah­ mat, yang tampan. Pak Zul dan keluarganya juga berfoto di depan rumah mereka, yang ternyata adalah rumah Mas Imron. Foto-foto itu bagus dan jelas, serta masih dalam kondisi yang baik. Pak Zul jelas merawatnya dengan hati- hati. Namun beberapa foto tampak kabur. Foto-foto itu diambil oleh Annette, yang ingin meng­ abadikan keluarga pribumi yang disayanginya. Foto-foto yang kabur ternyata diambil oleh Peter, yang baru belajar memotret. Foto-foto yang diambil oleh Peter keba­nyakan mengabadikan Annette dan Jaya, duduk dan ber­gandengan tangan. Dharma tahu dari keterangan yang terdapat di foto-foto tersebut. 222

Dharma lalu mengambil salah satu foto, yang meng­ abadikan Pak Zul dan keluarganya di depan rumah mereka. Di belakang foto itu tertulis: Annette, 1940. Di bawahnya ada sebuah kalimat dalam bahasa Inggris, Dharma me­ nerjemahkannya dalam hati. Keluarga Jaya. Lihat, di sini Zul masih sangat kecil! Dia lucu sekali! Aku tidak ikut berfoto, Jaya belum tahu caranya. Lain kali aku akan ajari dia. Rupanya Annette lebih sering memakai bahasa Inggris daripada Belanda, seperti ibunya. Tulisan Annette sangat indah dan rapi. Sementara di belakang foto yang kabur tertulis: Peter, 1940. Tulisannya lucu dan dalam bahasa yang masih sangat kekanak-kanakan, Dharma tersenyum kecil saat membaca kalimat di bawahnya, yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Mas Djaja dan Kak Annette. Mereka pasangan serasi! Dharma menghela napas. Ya ampun, desahnya sekali lagi. Melihat semua itu, dia merasa sangat tertekan. Dia meman­ dang foto-foto selanjutnya, yang mengabadikan semua 223

kehidupan Pak Zul waktu kecil. Menurut Annette di salah satu catatannya, keluarga Pak Zul harus memiliki foto-foto untuk dikenang saat mereka sudah tua nanti. Dia juga memberikan foto dirinya dan Peter sebagai kenang-ke­ nangan. ”Sedih ya?” Dharma terkejut. Riris berada di belakangnya, tak me­ man­dangnya, tapi memandang foto-foto dalam album itu dengan tatapan sedih. Terdengar seruan dari lorong. ”Ris, Dharma udah ketemu?” Suara Uzzie menggema. ”Udah, di kamar paling belakang. Masuk aja!” Riris ber­ seru sebagai balasan. Beberapa saat kemudian, Uzzie masuk, diikuti Lutfie, Dika, dan Ullie. Mereka semua langsung terperangah. ”Ya ampun! Jangan bilang…” Ullie tidak mampu menerus­ kan kata-katanya. Riris paham dan mengangguk. ”Ini emang kamar Pak Zul,” sahutnya. ”Lho, kalian ngapain? Itu apa?” tanya Ullie yang langsung terpekik saat tahu apa yang sedang dilihat Riris dan Dhar­ ma. Dia segera menutup mulut dan memejamkan mata, ber­ usaha menahan air mata. ”Jaya emang ganteng, ya?” tanya Riris. Lutfie yang lalu ikut melihat foto itu mengangguk. 224

”Emang, di foto yang ini lebih kelihatan lagi bedanya sama keluarganya. Dia emang lebih bersih dan rapi,” sahutnya. ”Dia mirip ayahnya. Ayahnya juga ganteng,” gumam Ullie. Dika, yang langsung memalingkan muka setelah melihat foto itu melihat dinding dengan pandangan menerawang. ”Gue benci sejarah yang ada di rumah ini. Gue benci kejadian mengerikan itu!” seru Dika. Riris mengangguk. ”Gue juga, banget. Banyak hal yang akhirnya harus terenggut dan hilang. Hal-hal yang seharusnya bisa tetap ada,” katanya lirih. Dharma segera menutup album itu. ”Nggak ada gunanya disesali. Semuanya udah terjadi. Ayo kita keluar,” sahutnya tegas. Riris, Dika, dan Lutfie mengangguk. Ullie membuka mata­ nya. ”Yuk, gue nggak tahan lagi di sini,” sahutnya pelan. Mereka segera keluar, Dharma lalu menutup pintu kem­ bali. ”Yuk, Zie.” Riris menggandeng Uzzie. Mereka berjalan pelan, menjauhi ruangan yang kini tidak akan ditempati lagi oleh penghuninya. 225

*** ”Kita pulang?” tanya Riris setelah mereka mengepak tas dan semua barang bawaan mereka. Ullie dan Uzzie mengangguk. ”Iya,” kata mereka pendek dan serempak. Mereka segera menaruh barang bawaan me­reka di depan pintu, siap dibawa turun kapan saja. Riris memandangi kamar dan merenung. ”Entah kenapa gue ngerasa nggak ingin pulang. Rasanya gue terikat di sini.” ”Ya udah, di sini aja kalau begitu. Kami juga nggak rugi kok. Paling nggak mobil jadi tenang, nggak ribut sama celotehan lo,” sahut Dharma. Seringai lebar segera membuat Riris jengkel. Riris segera melempar bantal ke arahnya. ”Lo tega ba­ nget sih! Kalau nggak ada gue, perjalanan nggak bakalan ramai!” sahut Riris sambil cemberut. ”Ramai sama nyanyian lo yang bising? Ramai sama celotehan lo yang nggak berhenti-berhenti? Nggak ada yang bakal kangen sama itu semua!” Dharma segera membalas, ekspresi wajahnya kali ini terlihat dua kali lebih menyebal­ kan. Riris melotot dan bersiap membalas namun Uzzie segera menahannya. Riris gantian melotot padanya, 226

”Lo tega lihat gue diinjek-injek?!” serunya keras. Ullie tertawa mendengarnya. ”Kalian bisa damai sehari aja nggak sih? Kita kan mau pulang, jangan berantem deh.” Uzzie menyahut, ”Godain lo adalah salah satu cara Dhar­ ma buat nunjukin perhatiannya ke lo, Ris.” Ia tertawa terbahak-bahak. Mendengarnya, Ullie ikut terkekeh. ”Iya, lo ingat nggak waktu di ruang bawah tanah? Dhar­ ma kan langsung tanggap narik Riris biar nggak lihat ke­ rangka Johanna!” katanya geli. Uzzie mengangguk-angguk sambil terus tertawa, ”Dia emang perhatian!” Melihat kedua sahabatnya tertawa, Riris dapat merasakan wajahnya, bahkan telinganya, langsung memerah. Ia me­ noleh kepada Dharma yang wajahnya juga berubah me­ rah. ”Nggak mungkin!” seru Riris, menutupi entah rasa malu atau rasa jengkelnya terhadap kata-kata Uzzie. Dika melongok dari luar kamar. ”Semua siap? Yuk, be­ rang­kat.” Mereka lalu keluar rumah satu per satu. Lutfie mema­ sukkan barang-barang ke mobil sementara Uzzie pamitan pada Mas Imron dan Pak Jaka. ”Sayang Bapak waktu itu tidak ada di sini. Kalau ada kan 227

Bapak bisa menyelamatkan kalian dan mencegah perbuatan Pak Zul,” sesal Pak Jaka. ”Nggak apa-apa, Pak. Mungkin Bapak malah akan berada dalam bahaya juga kalau ada di sini waktu itu,” jawab Uzzie sambil tersenyum. ”Kami nggak tahu akan diapakan rumah ini nanti, Den,” sahut Mas Imron dengan lesu. ”Kata polisi, semua akan baik-baik saja, kok. Mas Imron dan Pak Jaka bisa tetap di sini,” kata Dharma yang tiba-tiba teringat sesuatu. ”Oh ya, Mas, saya belum sempat minta maaf sama Mas. Saya sama teman-teman dulu sempat curiga sama Mas,” sahutnya. Mas Imron terkejut, tapi lalu tersenyum. ”Iya, nggak apa-apa. Kalau jadi kalian saya juga pasti curiga. Saya memang konyol. Maklum, orang desa,” balas­ nya. Dharma lalu menepuk pundaknya dan tersenyum. ”Mas cuma penasaran, itu aja. Saya ngerti kok,” sahut­ nya. Pak Jaka memandang Dharma. ”Rumah ini masih milik Nak Dharma, kan? Apa keluarga Nak Dharma berniat menjualnya?” tanya Pak Jaka, tampak khawatir. ”Jangan khawatir, Pak, tidak akan saya jual. Saya rasa jika saya bilang pada Ayah, rumah ini akan segera diper­ 228

baiki. Keluarga saya tahu rumah ini sangat berharga. Saya juga akan mampir ke sini lagi kapan-kapan.” Mendengar hal itu Pak Jaka tersenyum dan meremas pundak Dharma dengan lembut. Dharma membalasnya dengan tersenyum lalu memeluk Pak Jaka. ”Kami pulang dulu, Pak. Bapak jaga diri, ya,” katanya pelan. Ia lalu me­ meluk Mas Imron yang juga terlihat sedih menatap ke­ pergian mereka. ”Kami pulang dulu, Pak, Mas Imron,” lanjut Dharma. Saat mobil menjauhi rumah, Riris menoleh dengan pan­ dangan merenung. Ia ingat tragedi rumah itu dan bersyukur, setidaknya rumah itu sekarang mendapat kedamaian. ”Selamat tinggal, Johanna. Selamat tingal, Annette. Sela­ mat tinggal, Jaya. Selamat tinggal juga Isabel dan Peter,” katanya pelan, seolah mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang ia sayangi. Dharma memandangnya sekilas. ”Ini liburan yang buruk,” sahutnya. Riris segera menggeleng. ”Nggak juga,” sahutnya. Lutfie dan Ullie mengangguk. ”Iya, seru,” sahut mereka. ”Ya udah kalo menurut kalian gitu. Oh ya, liburan semester depan kita ke mana?” tanya Dharma. ”Ke mana aja asal jangan ketemu peristiwa seperti ini lagi,” jawab Riris segera, memalingkan wajah pada Dhar­ ma. 229

”Setuju! Besok-besok kita cari alternatif liburan lain deh, yang nggak begitu berisiko,” imbuh Ullie. ”Dan nggak bikin nyawa kita nyaris melayang,” angguk Uzzie, teringat bahwa mereka nyaris terperangkap di ruang bawah tanah. Dia mendadak teringat kerangka Johanna dan langsung bergidik. Dia jelas tidak mau terjebak bersa­ manya selamanya. Lutfie yang sedang melamun berkata, ”Hei, ada yang ingat nggak setelah ruang rahasia di belakang lukis­an, kita lupa merekam pengalaman kita lagi?” Dharma langsung mengerem mobil mendadak. Riris nyaris terantuk dashboard, untung ia memakai sabuk peng­ aman. Ullie apes, ia terantuk bangku Riris. Segera terdengar seruan dari belakang, ”Woi! Kenapa berhenti mendadak, sih?” Dika menjulurkan kepalanya dari jendela mobil sambil mengacung-acungkan kepalan tangan. Uzzie juga melongokkan kepala dari jendela di mobil Dika, tampak jengkel. Dharma menoleh ke belakang, memandang Lutfie yang sedang sibuk membetulkan kacamatanya yang miring. ”Sakit nih!” rutuk Ullie sambil mengelus-elus jidatnya. ”Iya, kita lupa merekam! Ayo balik lagi!” serunya. ”GILA AJA! NGGAK MAU!” Riris, Ullie, dan Lutfie serentak berteriak, menolak usulan tersebut. 230

”Cepat jalan! Gue mau cepat sampai di rumah!” Riris menjitak kepala Dharma sekuat tenaga. Ullie juga menjitak kepala Lutfie. ”Gara-gara lo, sih!” seru Ullie. Lutfie segera merengut sam­bil memegangi kepalanya. ”Tapi kita kan belum merekam ruang rahasia yang lain. Kan penting buat dokumenta...” Dharma mengelus kepala­ nya, berusaha menjelaskan tapi ia tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Riris keburu menjitaknya sekali lagi. “Cepat jalan! BURUAN!” 231

Tentang Penulis Aulia Hazuki lahir di Surakarta, 11 April 1991. Suka membaca dan menulis sejak kecil. Penggemar berat novel-novel Agatha Christie, J.K. Rowling, J.R.R. Tolkien, dan Stephen King. J.K. Rowling adalah role model-nya dalam menulis. Selain suka menulis novel misteri, juga pernah aktif menulis fanfiction untuk website khusus fanfiction. Mimpi terbesarnya adalah menjadi penulis kenamaan yang karya-karyanya banyak disukai dan menjadi koleksi setiap perpustakaan keluarga. Salah satu kutipan favorit yang selalu menjadi penyemangat dalam mewujudkan mimpinya adalah “keep moving forward” dari film Meet the Robinsons. Kutipan itu menguatkannya dan memberinya semangat untuk terus maju. Penulis bisa ditemui lewat Facebook: Andam Aulia Pratiwi, Twitter @lia0411, atau langsung kunjungi seirachannosekai.blogspot.com.



Dharma dan kawan-kawan berencana menghabiskan liburan semester di vila kakeknya. Mereka tidak tahu bahwa vila kakek Dharma yang dulu ditempati keluarga Belanda itu menyimpan banyak misteri. Sampai akhirnya Lutfie menemukan diary Johanna yang menjadi awal petualangan panjang mereka. Demi misi menuntaskan penasaran tentang isi diary Johanna, Dharma dan kawan-kawan bertualang menelusuri seluk-beluk vila. Mereka menemukan beberapa ruang rahasia, sampai akhirnya terjebak di dalam ruang bawah tanah bersama kerangka Johanna. Lalu, bagaimana mereka bisa lolos? Dan kenapa Pak Zul, si tukang kebun, menginginkan kematian Dharma dan kawan- kawan di vila itu?


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook