Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Published by Tasbihah, 2022-10-30 21:16:49

Description: MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Search

Read the Text Version

kurikulum aku juga mencoba menyelipkan berbagai ketrampilan-ketrampilan yang mereka butuhkan tatkala mereka dewasa nanti. Ketrampilan itu memang tidak tercantum dalam kurikulum, tetapi aku rasa itu perlu aku ajarkan. Contohnya saja aku mengajarkan mereka bagaimana cara memasang kancing baju jika baju mereka terlepas. Aku ingin muridku menjadi sosok yang mandiri, aku mengatakan kepada mereka setidaknya mereka bisa memperbaiki kancing baju mereka saat terlepas tanpa menunggu orang tua untuk memasangkannya. Apalagi bagi mereka yang akan memilih tinggal di pondok pesantren mereka bisa melakukannya sendiri tanpa menunggu orang tua. Bersyukur bagiku, setiap kegiatan yang aku lakukan selalu mendapat dukungan dari orang tua murid. Bahkan tak jarang aku mendapat pesan melalui WhatsApp yang menyampaikan rasa terimakasih karena telah mengajarkan ketrampilan yang bahkan mereka tidak terpikir untuk mengajarkannya. Seperti yang kukatakan mereka telah kuanggap seperti anakku sendiri. Saat anak-anakku belajar bekal ketrampilan agar terbiasa hidup mandiri maka aku juga ingin muridku memiliki bekal tersebut. Ada beberapa kejadian lucu saat aku mengajarkan menjahit (memasang kancing baju yang terlepas). Bagi murid perempuan mungkin itu hal biasa karena perempuan identik memang harus menguasai ketrampilan menjahit. Namun kita juga banyak melihat di tailor-tailor banyak laki-laki yang 92 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

menjadi penjahit. Anggapan bahwa perempuan lebih dekat dengan ketrampilan menjahit sudah menjadi tradisi bahwa perempuan harus pandai menjahit. Hal menarik yang aku perhatikan saat murid laki-laki belajar menjahit dari mulai memasukkan benang yang berulangkali mereka lakukan dan selalu gagal. Bahkan ada sampai kelima kalinya baru berhasil. Disini aku hanya mengajarkan mereka dengan memberikan contoh dan trik-trik yang dapat mereka lakukan tanpa membantu sedikitpun. Aku membiarkan mereka berusaha untuk melakukan tugas mereka, tentunya masih dalam pengawasanku. Tanpa mereka sadari sebenarnya aku telah menanamkan sikap pantang menyerah dalam diri mereka. Mereka terus berusaha sampai berhasil memasukkan benang kedalam lubang jarum, dan saling memberi dukungan saat temannya yang belum berhasil. Rasa lega yang luar biasa saat mereka berhasil memasangkan kancing pada kain yang telah mereka sediakan. Saat muridku tersenyum akupun bahagia. Piala perlombaan shalat berjamaah kami pajang di dalam kelas di sudut pustaka mini, mereka merawat dan menjaganya dengan baik. Aku memutuskan untuk meletakkan piala tersebut di dalam kelas agar saat mereka memandang piala tersebut menambah semangat mereka. Semangat untuk belajar dan membuat mereka yakin dan percaya bahwa dengan usaha dan kerja keras serta ketekunan dan kedisiplinan akan membuahkan hasil seperti yang kita harapkan. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 93

Momen ini kami abadikan dengan foto bersama, mereka begitu senang saat diajak berfoto. Kami selalu mengabadikan setiap momen kebersamaan kami dengan berfoto bersama berharap suatu saat akan menjadi kenangan yang indah. Kelas kami memang indah tapi bukan berarti tidak ada konflik didalamnya. Tentu saja berbagai kesalahpahaman juga terjadi. Alhamdulillah semua dapat diselesaikan dengan baik. Ada satu kebiasaan yang aku lakukan bersama muridku. Aku meminta mereka menyediakan sebuah buku semacam buku diary dan aku meminta mereka mencatat semua perasaan yang mereka rasakan dan kejadian yang mereka alami. Di buku tersebut mereka boleh menuliskan apapun yang ingin mereka ceritakan dan buku tersebut hanya aku dan mereka yang tahu, semacam rahasia antara kami. Dari isi buku ini aku mengetahui berbagai masalah yang mereka alami mulai dari perasaan senang dan juga tidak senang. Setiap hari Jumat aku mengumpulkan buku tersebut, aku membaca buku tersebut disela-sela jam istirahat dan menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan, memberi saran dengan masalah yang mereka hadapi dan juga memotivasi mereka untuk tetap bersemangat. Sebenranya tujuanku meminta mereka menuliskan di buku semacam diary seperti, aku ingin melatih mereka untuk terbiasa dengan menulis. Sealin itu aku lebih mengenal anak didikku luar dan dalam. 94 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Dari buku tersebut aku pun menjadi tahu karakter mereka, juga apa yang dialami oleh mereka di luar sekolah,hoby juga kegiatan yang mereka lakukan setelah kembali dari sekolah. Dari tulisan yang aku baca mereka berbakat dalam menulis ini dapat terlihat dari bahasa yang mereka gunakan teratur dan rapi. Pernah suatu hari saat perayaan hari PGRI aku mendapatkan kejutan dari muridku. Ternyata mereka telah menyiapkan semuanya jauh hari sebelum perayaan hari guru tanpa sepengetahuanku. Mereka dengan susah payah menciptakan sebuah lagu walau menggunakan lirik dari lagu terkenal saat itu, aku terharu dengan apa yang mereka lakukan. Afif yang senang berpantun menghadiahkan sebuah pantun yang begitu menghiburku juga teman-temannya. Satu semesterpun telah berlalu kebersamaan penuh dengan suka dan cita, sampai pandemi Covid-19 melanda. Kami tidak bisa belajar bersama karena harus mematuhi aturan yang mengharuskan WFH (Work From Home). Melakukan Sosial Distancing (melakukan pembatasan social dengan cara tidak bertemu secara langsung dengan orang lain) dan Physical Distancing(menjaga jarak antara diri sendiri dan orang lain di luar rumah). Ditambah lagi Sekolah kami berada dalam zona merah. Sehingga kami mulai belajar secara online, tentunya aku juga harus sigap memilih metode yang tepat yang akan aku gunakan dalam pembelajran agar tetap menyenangkan. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 95

Setelah satu bulan aku memilih WAG sebagai sarana kami berkomunikasi, setelah akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan google classroom dan diselingi dengan Quiziz. Pada awalnya memang tidak semudah yang diharapkan berbagai rintangan kami lewati. Pada akhirnya semua itu kami nikmati dan mencoba melakukan semua itu dengan senang hati. Sebelum pandemi melanda begitu banyak agenda yang kami rencanakan dan berbagai kegiatan yang akan kami lakukan bersama. Termasuk kesepakatan mengumpulkan uang kas yang akan kami rencanakan makan-makan bersama pada akhir tahun saat ujian kenaikan kelas selesai. Ini adalah inisiatif mereka yang ingin kebersamaan lebih bermakna dan berkesan di hati mereka. Ternyata Allah berkehendak lain, kami diminta untuk mengikhlaskan semua agenda dan rencana kami. Uang kas yang sudah dikumpulkan dengan bendahara sudah lumayan banyak, mereka sempat kebingungan mau diapakan uang itu. Aku ingin mereka yang mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam hati aku berharap mereka akan mengambil keputusan yang tepat. Beberapa dari mereka mengusulkan agar uang itu di sumbangkan saja dengan cara membeli makanan buat anak- anak yatim. Saat aku mendengar usulan mereka hatiku luar biasa bahagia ternyata apa yang selama ini aku tanamkan agar empati dengan sesama melekat dengan mereka. Lagi-lagi aku bersyukur. 96 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Tak menunggu lama dengan sigap Syaila sang bendahara mempersiapkan semuanya. Ia memesan makanan siap saji dibantu dengan orang tuanya. Alhamdulillah wali muridku selalu siap mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh anak mereka. Aku berharap rasa empati dan peduli sesama akan selalu tumbuh dalam jiwa dan hati mereka. Mereka adalah generasi hebat, generasi pandemi yang membutuhkan ketangguhan dan kesabaran. Tulisan ini aku persembahkan untuk murid-muridku yang tangguh sebagai pengobat rindu. Teruntuk murid-muridku Afif Rahil, Afif Thaifuri, Ahmad Naim, Alifiannisa, Ariny, Rachel, Falisha, Fathinah, Febby, Hania, Kayyisah, Kenza, Keysa, Hisan, Khayra, Lakaisya, Luthfi, Afghan, Fatih, Nawfal, Aziz, Alfa, Danish, Rifqi, Tanzil, Zikri, Nasika, Qaff, Raisa, Raisya, Riffat, Rizki Syibral, Shinta, Shirajul, Nafisa, Sri Amrina, Syaila, Syawal, Nazfil dan Zamira. Kalian adalah anak-anak yang luar biasa, tetaplah berbuat baik dimanapun kalian berada, percayalah kebaikan akan berbuah kebaikan. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 97

Biografi Penulis Suhelli, S. Pd.I., M.Ag wanita kelahiran Aceh pada tanggal 26 Desember 1983. Ia anak tunggal buah dari pasangan Muhammad Ali Husen dan Darlina. Merupakan seorang ibu yang memiliki tiga orang putra putri, saat ini dia bekerja sebagai Guru MIN 6 Banda Aceh sebagai ASN Kementerian Agama Provinsi Aceh. Prestasi yang pernah diraih oleh perempuan berdarah Aceh ini tahun 2017 juara nasional harapan I guru MI berprestasi. Tahun 2018 juara nasional III guru MI berprestasi. Dan banyak lagi prestasi yang ia raih di tingkat provinsi salah satunya tiga tahun berturut-turut meraih juara 1 guru berprestasi. Berusaha untuk selalu memperbaiki diri menjadi lebih baik, baginya menulis itu menyenangkan walaupun harus berdamai dengan berbagai kegiatan yang harus diselesaikan. Bersyukur bisa bertemu dengan sahabat yang selalu memberikan motivasi (terspesial bu Etik), serta keluarga yang 98 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

selalu mendukung. Beberapa tulisannya di muat dalam buku antologi dan majalah potret. Semoga bisa istiqamah dengan menulis dan dapat memotivasi murid-muridnya dan bermanfaat bagi orang lain. Mau berinteraksi dengan Suhelli ? Fb: Sinyak Ummi Meutuah WA: 082360004736 Email: [email protected] MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 99

Bagian Tujuh Raffi Murid Istimewaku Dwi Winarti “Selamat pagi Bu Guru!” sapa bocah-bocah kecil dengan riang ketika aku memasuki halaman sekolah. Hari ini hari pertamaku bertugas di tempat yang baru. Semalam, sudah kupersiapkan perfoma terbaik. Sebait doa tulus kupanjatkan, semoga pertemuan pertama akan meninggalkan kesan mendalam pada calon-calon muridku. Perjalanan satu jam lamanya dengan menembus kabut pagi terlewati dengan penuh rasa syukur. Sungguh Allah begitu pemurah sehingga menganugerahkan amanah ini di batas limit usia yang tidak muda lagi. Ada satu siswa yang menarik perhatianku, terasa beda dengan yang lain. Bocah laki-laki bertubuh bongsor dengan pandangan yang tampak kosong. Rambutnya sudah menyeberangi telinga. Air liurnya mengalir. Seragam merah putih terpakai berantakan. Baju bagian depannya hanya separo yang dimasukkan ke dalam celana. Ikat pinggangnya tidak sempurna terpasang sehingga celana sedikit melorot. 100 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

“Bu Guru...Bu Guru...Bu Guru baru!” dia histeris ketika menyambutku. Berteriak sambil melompat-lompat. Teman-temannya memandang dengan sebelah mata, bahkan sebagian ada yang menertawakan. Melihat ada yang tertawa, teriakan bocah istimewa itu semakin menjadi. Aku turun dari motor, mendekati bocah itu. “Assalamu „alaikum, siapa namamu Nak?” sapaku pelan. “Raffi” jawabnya singkat setelah mencium tanganku. “Mas Raffi kelas berapa?” ia nampak kebingungan. “ Raffi kelas satu Bu, kemarin tidak naik kelas, dia kan begini” ucap bocah bertubuh kering dengan rambut keriting sambil meletakkan telunjuknya di kening. “ Hey, tidak boleh seperti itu Bagas! Kemarin kan sudah dinasehati Bu guru, masak diulangi lagi!” ucap bocah perempuan berjilbab disampingnya nampak kesal. Bagas tersipu malu, lalu minta maaf kepada Raffi . “Bu Guru, kata Ardi aku begini” ucap Raffi ketika melihatku masuk kelas satu. “Begini bagaimana Mas?” tanyaku. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 101

Kutelusuri wajah Raffi, ada luka di sana. Bocah istimewa itu memperagakan bagaimana Ardi mengoloknya. Dia mengacungkan telunjuk kanan, lalu menempelkannya di dahi, miring. Oh, aku paham. Raffi dianggap gila karena berbeda dengan yang lain. Tantangan baru di tempat baru sudah menanti. “Assalamu „alaikum wr. wb.” aku memulai pertemuan perdana di kelas satu dengan mengucap salam. “Wa‟alaikum salam wr. wb.” jawab murid-murid baruku serentak. Aku bertanya kabar, lalu memberi motivasi kepada mereka untuk semangat belajar dengan sedikit permainan dan tepuk. Tema “Kasih Sayang” tersampaikan, diselingi dengan cerita tentang kasih sayang Nabi Muhammad SAW kepada anak-anak. Kusampaikan pada mereka bahwa kita harus dapat meneladani Rasullah SAW, menyayangi sesama, tidak boleh membeda-bedakan teman. Raffi histeris, lari keliling kelas dan tertawa. Anak-anak yang lain ikut tertawa melihat polahnya. Jujur, aku tidak punya pengalaman sama sekali dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus seperti Raffi. Persiapan semalam, browsing dan membaca tentang anak berkebutuhan khusus rupanya tidak cukup membantu mengatasi kondisi ini. Yang aku lakukan hanyalah meminta anak-anak untuk tenang, lalu mendekati dan menuntun Raffi untuk kembali duduk 102 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

“Mas Raffi anak pintar, kan? Ayo duduk kembali” kataku. Ia mengangguk, wajahnya berbinar, lalu kembali duduk. Pembelajaran normal kembali. Aku fokus untuk membimbing mereka membaca dan menulis karena masih banyak diantara mereka yang belum bisa calistung. Bagaimanapun, walau aku bukan guru kelas, namun jika mereka belum bisa baca tulis tentu akan menghambat keberhasilan pembelajaran. Setiap aku selesai menulis satu huruf, selalu saja Raffi berteriak keras sambil melompat- lompat mengacungkan bukunya. “Begini Bu Guru, begini Bu Guru!” teriaknya. Teriakan Raffi belum akan berhenti sampai aku meresponnya. Selalu kuacungkan jempol kanan untuknya dan sebagai jawaban. “Bagus Mas Raffi” kataku. Setelah mendengar pujianku, matanya terlihat berbinar. Ia akan duduk kembali. Konsentrasi dengan alat tulisnya beberapa detik. Detik berikutnya Raffi menjadi pusat perhatian lagi. “Huek...Huek...!” suara Raffi memecah konsentrasiku. Isi perut Raffi dimuntahkan. Baju dan celananya basah, muntahan mengenai meja dan lantai. Suasana menjadi tidak terkendali. Ada yang berteriak, menutup mata dan hidung MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 103

karena merasa jijik, ada yang lari keluar kelas. Kuajak Raffi ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan pakaiannya. Pengalaman hari ini sungguh menguras energi. Kucoba menggali informasi tentang murid istimewa tersebut melalui Bu Yati, guru kelas satu. Beliau mengatakan memang Raffi hampir setiap hari muntah di kelas. Beliau juga merasa kesulitan menghadapi bocah tersebut. Guru-guru yang lain juga merasakan hal yang sama. “Sudah pernah bertatap muka dengan kedua orang tuanya Bu?” tanyaku. “Sudah Bu. Saya sarankan untuk sekolah di SLB saja, tetapi orang tuanya bilang bahwa yang penting Raffi bisa baca tulis saja. Tidak menuntut lebih” jawab Bu Yati sambil menghentikan aktifitas menulisnya. “Wah...saya jadi penasaran Bu, seperti apa orang tua Raffi” tanyaku. “Ayo Bu, kita agendakan untuk home visit ke sana. Saya senang sekali kalau ada yang menemani” ungkap guru senior itu. Alhasil, beberapa hari berikutnya kami melaksanankan agenda sowan orang tua Raffi. Rumahnya lumayan jauh dari sekolah dengan medan yang cukup terjal. Setelah melewati jalan berkelok dan tanjakan curam, kami sampai di rumahnya. Raffi dan ibunya menyambut kami dengan hangat. Bapaknya sedang tidak berada di rumah. Ibu Raffi dengan penuh 104 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

semangat menceritakan keseharian Raffi, kelebihan- kelebihannya. Kami menyimak dengan seksama. Setelah beliau selesai bercerita, dengan hati-hati kami utarakan maksud kedatangan kami. “Putera njenengan pintar Bu. Namun mohon maaf, karena keterbatasan kami, kami belum bisa menggali potensi putera Ibu” Bu Yati membuka percakapan. Kemudian menceritakan kondisi Raffi ketika di sekolah. Tak lama guru kelas satu itu menyenggol bahuku. Aku perhatikan raut muka Ibu Raffi, sedikit berubah. “Saya yakin Mas Raffi punya bakat yang luar biasa Bu, jika dibimbing oleh guru yang tepat di tempat yang tepat pula Insya Allah Mas Raffi akan menjadi orang hebat,” akhirnya terucap pula kata-kata itu dari mulutku . “Maksud Bu Guru, Raffi harus sekolah di SLB?” ucapnya. Apa yang kukhawatirkan terjadi. Ada nada tersinggung di suaranya. “Tidak Bu, anak saya normal. Tidak gila!” sengitnya. Aku dan Bu Yati berpandangan, mencoba mencari cara agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena niat yang baik belum tentu ditanggapi baik pula oleh orang lain. Bu Yati mengangkat bahunya, tanda bahwa beliau menyerahkan MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 105

permasalahan ini kepadaku. Memutar otak, mengingat-ingat tips yang pernah kubaca. “ Nggih Bu, nyuwun pangapunten, kami tidak bermaksud mengatakan demikian. Mas Raffi adalah anak hebat. Namun kami belum mampu mengembangkan kehebatan Mas Raffi. Coba ibu lihat video ini” jawabku.. Kutunjukkan video Raffi di kelas yang sempat aku ambil kemarin. Juga video-video anak berkebutuhan khusus yang berprestasi. Mata Ibu Raffi berkaca-kaca. Emosinya sedikit mereda. “Monggo dipenggalih bersama suami Ibu. Kami berharap panjenengan dan keluarga bisa mengambil keputusan terbaik untuk putera hebat panjenengan” Bu Yati mengakhiri maksud kedatangan kami. “Baik Bu, untuk sementara biar Raffi tetap sekolah di SD biasa, yang penting dia bisa menulis, membaca dan berhitung, cukup itu saja. Kami tidak akan menuntut lebih” putus Ibu Raffi. Hari-hari berikutnya Raffi tetap berangkat sekolah seperti biasa. Dan kamipun belum bisa memfasilitasi anak tersebut untuk bisa berkembang lebih baik lagi. Sekolah kami bukanlah sekolah inklusi. Yang kami lakukan hanya sedikit memberikan perlakuan khusus kepadanya. Ketika Raffi tidak masuk, selalu kami tanamkan kepada anak-anak lain agar bisa memahami keadaan Raffi. Raffi sedikit berbeda dengan 106 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

mereka, namun tetap menjadi teman mereka. Harusnya tetap disayangi. Lambat laun perilaku bullying terhadap Raffi berkurang. Beberapa temannya sudah mulai peduli dengan keterbatasan Raffi. Raffi pun sudah mulai terlatih menolong dirinya sendiri. Ketika terasa ingin muntah, ia akan pergi ke toilet. Dan jika terpaksa muntah di dalam kelas, dengan sigap ia akan membersihkan sendiri kotorannya. Belakangan bocah istimewa itu suka mencariku. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Bu Cilik. Bel istirahat berdering, aku gunakan istirahat hari ini untuk membersihkan gudang. Setelah mendapat rekomendasi dari kepala sekolah, gudang akan difungsikan menjadi ruang ibadah. Selama ini anak-anak melaksanakan praktik ibadah di ruang perpustakaan. Tentu praktik ibadah tidak berjalan sesuai harapan. Harapannya tentu ketika ruang ibadah sudah siap, anak-anak bisa leluasa menjaalankan sholat Dhuhur berjamaah juga sholat sunnah Dhuha. Dibantu beberapa teman guru, aku memindahkan barang-barang yang ada di gudang. Siswa-siswa sibuk berlalu lalang. Ada beberapa yang penasaran dan melihat kami berbenah. Diantara wajah-wajah penasaran itu ada Raffi. “Bu Cilik, mau buat apa sih?” Rafii penasaran. “Mau buat musholla Mas,” jawabku. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 107

“Ooo... mau buat musholla to” ucap anak-anak itu seraya pergi meninggalkan kami. “Musholla itu apa to, Bu Guru?‟ tinggal Raffi seorang yang belum beranjak dari tempat berdirinya. “Musholla itu tempat sholat Mas,” jawabku singkat. “Sholat seperti ini Bu Cilik?” Raffi tiba-tiba bersujud. “Bagus Mas Raffi, tempat sholat itu harus bersih dan suci dari najis” terangku. Raffi berlari sambil berteriak. “Bu Cilik mau buat musholla, Bu Cilik mau buat musholla!” teriaknya. Tak lama Raffi kembali dengan membawa sapu lantai. Dengan penuh semangat dia menyapu lantai. “Masya Allah Mas Raffi, pintar sekali” ucapku tulus Raffi tersenyum, dia nampak sangat menikmati pekerjaannya. Selesai menyapu, dia bersihkan jendela. Seorang diri. Tidak ada murid lain yang menyertainya. Bahkan sampai bel masuk kelas berbunyi, dia tidak mau beranjak. Bu Yati membujuk agar mau masuk kelas, namun Raffi tetap tidak mau. 108 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

“Raffi mau bantu Bu Cilik, agar nanti teman-teman bisa sholat di tempat yang bersih Bu Guru” masih dengan senyum tulusnya dia menjawab. Subhanallah, mendengar jawaban Raffi membuatku meneteskan air mata. Terharu, kulihat hal yang sama di sudut mata Bu Yati. Guru senior itu akhirnya meninggalkan kami berdua. Sebuah jawaban yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh siswa lain. Dibalik keterbasan seorang Raffi, tersimpan hati yang begitu tulus. Perilaku gemar membantu yang sangat menonjol. Kecerdasan yang jarang dimiliki siswa lain. Hari ini, aku dibuat terharu dengan perlakuannya. Hari ini aku belajar darinya bahwa kita tetap bisa memberikan manfaat bagi orang lain walau tanpa dianggap. Sebuah ketulusan yang akan membuat orang lain merasa senang dan nyaman. Teruslah belajar, Nak! Teruslah berproses menjadi lebih baik. Aku yakin suatu saat kau pasti akan menjadi orang hebat, murid istimewaku. Raffi. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 109

Biografi Penulis Dwi Winarti, lahir di Purworejo tanggal 19 Mei. Seorang guru yang pernah menempuh pendidikan di MI Negeri Nglaris(1996), MTs Negeri Bener (1999), MA Negeri Purworejo (2002) dan S1 PAI di STAINU Purworejo (2009). Tahun 2009 mengawali baktinya sebagai guru di RA Al Islam Nglaris Kec. Bener. Sembilan tahun kemudian melanjutkan baktinya RA Jabal Nur Donorejo Kaligesing. Saat ini mengemban amanat sebagai Guru PAI di SDN Tlogosono Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo. 110 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Bagian Delapan Romantika Di Sekolah Nur Fajriyah Manusia tidak boleh menyangkal kemahakuasaan Allah, sebab hal itu bukanlah sesuatu yang layak diperdebatkan. Dengan bukti fisik yang dapat dilihat saja tentang kekuasaan tersebut, akan sangat kerdil rasanya jika manusia menyangsikan akan hal itu. Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan) yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Jadi sudah merupakan kewajiban kita sebagai orang tua memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak-anaknya, agar tumbuh menjadi anak yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlakul karimah serta memiliki intelegensi yang tinggi. Suatu anugerah yang luar biasa jika memiliki anak yang baik. Anak yang baik manakala anak dapat menyenangkan hati dan menyejukkan mata kedua orang tuanya. Tetapi jika kita memiliki anak yang kurang beruntung, anak yang memiliki kepribadian yang tidak biasa, maka janganlah terlalu risau, karena semua adalah pemberian dari Allah SWT. Saat itu saya mengajar di kelas 2, sungguh pengalaman yang paling istimewa yang saya rasakan saat itu. Saya MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 111

mendidik anak yang masih kecil, yang masih suka bermain dan bercanda sendiri ketika sedang diterangkan. Hal itu membuat saya merasa terpanggil untuk selalu mencoba berbagai bentuk pengajaran yang tepat dan menyenangkan. Berbagai macam rasa saya rasakan, tapi saya selalu menikmati rasa itu sebagai romantika bersama anak-anak. Sedang asik- asiknya saya bersama ana-anak, tiba-tiba saya dipanggil bapak kepala sekolah. Beliau memberitahu kepada saya ada siswa baru, laki-laki. Sejenak saya melihat siswa baru tersebut sambil tersenyum menyapa, tapi siswa baru tersebut tidak membalas senyum saya. Oh mungkin masih baru jadi malu, pikir saya waktu itu, saya melihat dari segi postur tubuh, ia normal seperti anak yang lain. Saya membaca surat keterangan yang dibawa oleh perempuan yang sudah cukup umur, dan ternyata beliau adalah eyang dari siswa tersebut. Setelah saya membaca biodatanya, saya menjadi tahu ia dilahirkan dari keluarga yang cukup terhormat dan disegani. Bentuk badannya cukup tinggi, berkulit putih dan tampan. Ia sangat dekat dengan eyangnya, walaupun eyangnya sudah berumur, tetapi tampak berwibawa, wajah eyangnya juga putih dan bersih. Mendengar cerita eyang putrinya,tentang cucunya yang satu ini, pastilah eyangnya sangat menyayanginya. Kemanapun eyangnya pergi cucu kesayangan selalu dibawanya, dari acara belanja, ke mushola dan ke acara pengajian tidak pernah lepas dari genggaman eyang putrinya. Setelah percakapan cukup lama, siswa tersebut saya bawa ke 112 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

ruang kelas, tadinya sedikit agak malu-malu, tapi akhirnya ia mau berjalan ke ruang kelas. Ya panggil saja namanya Dede. Ia siswa pindahan dari Jawa Barat yang karena orang tuanya pindah tugas di Cilacap. Setibanya di kelas, seketika itu siswa yang lain bertanya-tanya. “Murid baru ya Bu, siapa namanya Bu” tanya anak- anak. Sesaat saya melihat ruang kelas agak gaduh, ada yang bisik-bisik ada juga yang senyum-senyum. Tiba saatnya saya menyuruhnya untuk memperkenalkan diri. Karena ia pemalu, maka saya yang menyebutkan nama/identitasnya di depan kelas. Sementara ia hanya berdiri, diam sambil menundukkan kepala. Setelah cukup perkenalannya,saya menyuruh duduk dideretan kursi paling depan, sepertinya ia anak istimewa saya, kata hati kecil saya saat itu. Terlihat jelas ia sangat pemalu, wajahnya selalu tertunduk ketika teman-teman menatapnya. Ia duduk di kursi tanpa berbicara satupun kepada teman sebangkunya, hanya diam membisu. Akhirnya pelan-pelan saya dekati dia, sambil mengelus pundaknya dan mengajaknya berkomunikasi. “Sudah makan apa belum” tanyaku. Tapi ia hanya menatap dan diam tanpa memberi jawaban apapun. Ya, tidak ada kata-kata apapun yang terucap dari bibirnya. Ia hanya menatap ke arah dengan datar. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 113

Hari terus berlalu, demikian pula kebersamaan saya bersama anak-anak kelas 2. Pandangan saya tertuju pada Dede, murid istimewa saya. Mengapa sudah 1 minggu ia belum juga ada perubahan, masih diam ketika ditanya. Apakah ia tertekan, atau ada masalah? Dia sangat pendiam,tidak pernah tampak guratan senyum dibibirnya, pandangannya datar. Entah apa yang dipikirkannya, atau apakah ada masalah yang sedang dipendamnya? Atau apakah saya yang kurang bisa memahami tingkah laku Dede? Ya, saya sadar, setiap anak memiliki sifat yang berbeda. Ada yang pendiam, ada pula yang mudah bergaul, namun demikian kita tidak boleh terlalu risau, karena setiap anak terlahir dengan karakter dan temperamen yang berbeda-beda. Suatu hari ketika di dalam kelas, saat itu pelajaran Bahasa Indonesia, disitulah saya mengajaknya untuk membaca dua suku kata. Ketika disuruh untuk mengejanya, tidak ada respon apapun yang terucap, diam, tanpa senyum. Tapi aku berusaha selalu untuk mendekatinya, membujuknya dan memberi semangat kepadanya. Ia sangat pemalu, apalagi kalau bertemu dengan orang atau teman baru. Sebetulnya hanyamembutuhkan waktu dan bimbingan yang lebih lama untuk mau berinteraksi dan bisa akrab dengan orang lain. Aku menyadari, ia tidak seperti anak-anak lainnya yang mudah bergaul, bercanda bahkan sering bertengkar dengan teman. Saya melihat, ia sangat kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman, sehingga saya sering mengajaknya ngobrol dan menemaninya. 114 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Ketika saya menanyakan sesuatu tentang makanan faforitnya, hanya gelengan yang saya terima, tanpa ucapan dan senyuman. Ketika saya menyakan ini huruf apa, jawabnya pun hanya diam. Tetapi ketika saya bercerita lucu tentang buaya yang terperangkap lubang, ia sangat memperhatikan cerita saya yang sedikit lucu, sesekali ia nampak senyum. Oh ternyata dengan memancingnya bercerita yang lucu ia tersenyum, senyuman tipis tapi manis sekali. Betapa bahagia saya saat itu melihat senyum dibibirnya. Senyuman yang selalu saya nantikan dari seorang siswa yang sangat pendiam. Dengan sabar, saya mengambilkan pensil dan buku yang masih kosong, saat itu saya menggambar anak ayam. Sesekali ia memperhatikan wajah saya dengan senyum tipisnya, tiba-tiba bunyi bel istirahat pun berbunyi. Segera saya menyuruhnya untuk keluar bersama teman sebangkunya, tetapi lagi-lagi ia lebih memilih duduk dikelas menyendiri. Saya membuka tasnya, disitu ada makanan kecil dan botol minuman yang dibawakan oleh orang tuanya. Saya menyuruhnya untuk memakan jajanan yang ia bawa, dan iapun memakannya sedikit sekali, kemudian dimasukkan ke dalam tas kembali. Hari berganti hari, tidak terasa satu bulan berlalu, Alhamdulillah saya melihat ada sedikit perubahan dari perilakunya. Tampak terlihat guratan senyum dibibirnya bahkan sempat saya mendengar ada kata-kata yang terucap walau terdengar sangat lembut dan hampir tak terdengar di telinga saya. Tapi itu sudah membuat saya bahagia. Bersabar MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 115

dan bersabar, itulah yang saya lakukan. Semoga ada kemajuan untuk Dede, anak didik saya, yang kebetulan memiliki keterbatasan. Saat saya mendekati Dede, ia nampak merespon apa yang saya tanyakan. Saya mengeja huruf demi huruf dan mulai ia tirukan, mulai dari huruf A sampai Z. Sesekali saya ajak ia bercerita lucu, sehingga ia pun tersenyum malu-malu. Begitulah keseharian saya bersama Dede. Ia sudah mulai pandai mengobrol dengan teman, bercanda bahkan lari-lari ketika dikejar temannya, kemudia duduk kembali. Saya menghela nafas lega dan bahagia atas perubahan sikap Dede. Betapa tidak, dari yang tadinya pendiam, tidak mau bicara, lambat laun ia bisa menyesuaiakan diri dengan temannya. Saya pun menceritakan hal ini kepada eyangnya, dan beliau bersyukur sekali atas perubahan perilaku cucunya tersebut. Dari hari ke hari saya hanya menyuruh mengeja bacaan dan sedikit menulis, itupun sudah luar biasa perjuangannya. Dan saya pun cukup bahagia karena Dede bisa tersenyum dan mau mengucapkan huruf demi huruf, walaupun hanya menirukan saja dan terbata-bata. Sekali lagi itu sudah cukup bagi saya. Tidak terasa satu tahun berlalu, tiba saatnya kebersamaan saya dengan anak kelas 2 pun berakhir. Dan saat yang ditunggu-tunggu pun datang, yaitu kenaikan kelas. Batin saya berkecamuk, bagaimana dengan nasib Dede, apakah ia harus mengulang di kelas 2 atau naik di kelas 3?. Saya pun meminta pendapat kepada guru yang lain sebagai pertimbangan. Sebagian besar guru menghendaki ia tetap 116 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

tinggal di kelas 2, tapi ada sebagian guru yang berpendapat agar dinaikkan saja. Memang tidak seharusnya ia naik kelas, karena untuk menentukan naik dan tidaknya, ada beberapa ketentuan yang harus dimiliki oleh peserta didik. Salah satunya nilai pengetahuannya harus tuntas, lancar membaca dan menulis. Tapi, saya menilai bukan dari pengetahuannya, tapi dari pertimbangan sisi lain, yaitu segi kemanusiaan. Seperti umurnya yang sudah lebih tua dari teman sekelasnya, kelakuannya yang baik (tidak pernah berkelahi ataupun berebut makanan atau jajanan dengan teman) dan pertimbangan lain. Akhirnya saya putuskan Dede naik kelas, walaupun ada satu dua guru yang kurang setuju. Penerimaan raport pun dilaksanakan, saya berpesan kepada eyang putrinya untuk senantiasa sabar dalam mendampingi Dede,cucu kesayangannya. Saya juga berpesan agar Dede tidak bosan-bosan selalu membaca, berhitung dan menulis semampunya. Akhirnya saya dan Dede pun berpisah. Ia duduk dibangku kls 3 dan saya ada pergantian mengajar, pindah di kelas 5. Ketika Dede duduk dibangku kls 3, saya sering menanyakan perkembangan dikls 3. Alkhamdulillah masih bisa beradaptasi, mau menulis dan bercanda dengan temannya. Semoga dikelas 4 pun demikian, semangat untuk belajar. Ketika duduk dibangku kelas 4, ia berubah menjadi anak yang pendiam lagi, cuek ketika ditanya, hanya melihat saja tanpa berkedip. Sebetulnya apa yang terjadi, saya tidak MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 117

tau persis bagaimana kehidupan Dede di rumah. Saya tahu dari cerita teman yang berdekatan dengan rumah Dede, ia juga suka bermain dengan temannya dirumah. Tetapi ketika di sekolah ia menjadi pendiam, bahkan terkadang makanan dan minuman yang dibawanya tidak tersentuh sama sekali. Selama pembelajaran hanya duduk dan diam, dengan tangan bersedekap diatas meja. Akhirnya pasrah, sudah berbagai cara membujuk Dede untuk mau membaca dan menulis, tetapi tidak ada respon sama sekali. Dan begitu terus perjalanan Dede selama dikelas 4. Satu tahun pun berlalu, tiba saatnya Dede naik dikelas 5. Akhirnya saya bertemu kembali dengan Dede, murid istimewa saya, karena pada saat itu saya mengajar di kelas 5. Lama tidak berjumpa langsung dengan Dede, tampak sekali perubahan ditubuhnya, semakin tinggi, ia paling tinggi dibanding teman sekelasnya. Ketika bel berbunyi, saya segera masuk ke dalam kelas. Pertama kali masuk ke dalam kelas, ia masih acuh tak acuh bahkan tersenyumpun tidak. Saya tetap menyapa sekedar menanyakan kabar Dede. “Masih ingat Bu Guru ?” “Sudah makan apa belum?” “Bawa jajan apa di tas?” saya bertanya padanya. Ya, saya hanya ingin tahu apa ia mau menjawab atau tidak, lagi-lagi Dede pun tidak mau menjawabnya, diam seribu bahasa. Berarti dari kelas 4 sampai naik kelas 5, ia 118 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

belum berubah, masih diam dan tidak mau berbicara pada siapapun, bahkan pada teman sebangkunya. Akhirnya teman sebangkunya malas duduk dengan Dede, sehingga ia pun duduk sendirian. Setiap hari, ia senantiasa rajin sekolah, jarang sekali ia bolos atau malas sekolah, tetapi seperti biasa, hanya duduk dan diam. Saya bingung, mengapa Dede berubah lagi, dulu ketika di kelas 2, Dede bisa menyesuaiakan dengan teman- temannya. Bercanda, tersenyum bahkan mau menulis, walaupun yang ditulis entah apa, sesuai keinginan dia, tapi itu sudah cukup bagi saya, karena ada perkembangan walaupun sedikit demi sedikit. Saya berharap di kelas 5 Dede tambah pengetahuannya, atau paling tidak dalam hal menulis sudah mulai lancar. Atau dalam hal menghafal suratan pendek, tetapi apa yang saya bayangkan jauh dari harapan. Dede yang saya kenal dulu ketika duduk dibangku kelas 2, berbeda jauh dengan Dede yang sekarang duduk dibangku kelas 5. Setiap hari disaat pembelajaran dimulai Dede sudah duduk dengan posisinya yang tegap. Diam seribu bahasa, bahkan ketika temannya mengganggunya, tidak pernah dipedulikan, ia tetap duduk dan terdiam. Tetapi saya bersykukur karena temannya tidak mengganggunya terus, hanya meledek sebentar, mungkin karena sudah faham betul dengan kebiasaan Dede. Suatu hari, keadaan dan kebiasaan Dede saya konsultasikan dengan eyangnya. Dengan bijaknya beliau mengatakan apa adanya tentang kondisi Dede, kebiasaan dan masa lalunya. Saya sadar akan kekuasaan Allah, tidak semua MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 119

manusia diciptakan dengan kondisi fisik atau mental yang sempurna. Ada sebagian orang yang memiliki kekurangan, seperti tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara, keterbelakangan mental dan lain sebagainya. Ada juga yang dilahirkan sempurna, akan tetapi karena peristiwa tertentu seperti bencana alam atau kecelakaan menyebabkan ia memiliki kekurangan fisik atau mental. Dan kekurangan itu menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupan, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian pula dengan Dede yang mempunyai keadaan yang tidak seperti teman lain pada umumnya. Kondisi seperti inilah, dibutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang-orang sekitarnya, bukan lantas dikucilkan atau dihina. Memang, seharusnya Dede disekolahkan pada sekolah tertentu, yang gurunya lebih mampu mengatasi kesulitannya. Tetapi orang tuanya tidak mengizinkan, akhirnya menyekolahkan di sekolah kami. Begitulah keseharian Dede disekolah, dari berangkat sampai pulang, ia hanya duduk diam saja. Hal itu saya biarkan berhari-hari karena ketidakmampuan saya membujuk, merayu agar Dede bisa berubah. Ternyata perubahan tidak didapatkan, saya hanya pasrah sampai ia naik ke kelas 6. Terbersit dalam benak saya, pasti guru kelas 6 merasa keberatan, karena beban dan tanggungjawab guru kelas 6 lebih berat, terkait dengan ujian dan sebagainya. Saya pun pasrah dengan segala argumen dari guru kelas 6. Dan lagi-lagi jurus kemanusiaan saya utarakan, serta berharap semoga ada perubahan sedikit di kelas 6. Walaupun awalnya banyak lika- 120 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

likunya, akhirnya ia diterima dikelas 6, dengan segala resikonya. Saat duduk dibangku kelas 6, tidak banyak perubahan yang saya lihat, semakin dingin dan pendiam. Sekarang justru teman-temannya selalu meledeknya, hingga membuat Dede marah dan mengamuk. Mungkin karena sudah kelas 6, dimana semuanya sudah mulai berubah bertambah umur dan semakin masuk ke usia remaja. Banyak praktek-praktek yang harus dikerjakan oleh siswa kelas 6. Tetapi Dede cuek dan tak acuh dengan setumpuk tugas yang harus dikerjakan. Sekali lagi hanya diam dan membisu, sehingga gurunya pun membiarkan Dede dengan kehidupannya sendiri sampai saat ujian berlangsung. Walau demikian ia tetap semangat berangkat sekolah dan juga mengikuti ujian sampai selesai dan mengerjakan soal ujian sebisanya. Karena anak ini sangat istimewa bapak kepala memohon izin kepada pengawas untuk mengajari cara menyilang jawaban yang benar. Tidak diberitahu jawaban yang benar, hanya dituntun cara menyilang agar tidak sampai melebihi kotak. Begitulah sampai ujian berakhir, dan atas kebijakan dari sekolah, Dede diluluskan. Selang beberapa minggu, acara perpisahanpun dilaksanakan saat itu. Semua siswa kelas 6 naik ke atas panggung untuk menampilkan lagu perpisahan, tetapi saya tidak melihat Dede berdiri diantara teman yang lain. Ia duduk tenang disamping eyangnya yang sangat menyayanginya. Pandangannya tajam ke arah teman- MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 121

temannya yang sedang menyanyikan lagu, seolah ingin bergabung bersama mereka. Dan akhirnya acara demi acara pun berlalu, anak-anak tampak bahagia bercampur suasana yang mengharukan, saling berpelukan sambil menangis. Sampai pada puncak hari yang ditunggu yaitu penerimaan ijazah dilaksanakan, termasuk Dede juga menerima ijazah. Serah terima dan sebagainya sudah terlaksana, siswa kelas 6 sudah meninggalkan bangku sekolah tingkat dasar, untuk menuju ke tingkat selanjutnya. Lama tidak mengetahui kabar Dede, tiba-tiba secara tidak sengaja saya bertemu Dede dengan baju seragam yang sudah berbeda. Ia bersekolah di salah satu sekolah swasta yang tidak jauh dari rumah Dede. Penampilannya sudah berbeda, sudah menjadi laki-laki remaja yang gagah, badannya putih bersih. Akan tetapi ternyata sikapnya masih seperti dulu, ketika ditanya masih diam. “Assalamu‟alaiukum,” saya mencoba mengucapankan salam. “Wa‟alaikum salam,” ia menjawab dengan suara lembut. Seraya menatap wajah Dede yang bersih, saya merasa khawatir bagaimana nanti dia menyesuaikan diri dan belajar disekolah yang baru. Ditingkat SLTP adalah masa-masa indah penuh cerita, di mana masa ini masa yang sedang tumbuh rasa suka dan emosi yang tidak stabil serta mulai banyak mengenal lingkungan sekitar sekolah. Selang beberapa 122 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

minggu, saya mendengar kabar yang kurang enak dari Dede. Ia dikerjain oleh teman-temannya, atau kalau bahasa sekarang dibuli. Ya Allah, tidak tega rasanya mendengar ia dibuli oleh temannya sendiri. Mestinya teman-temannya tahu bagaimana keadaan Dede, yang sangat membutuhkan perhatian dari orang terdekatnya, agar ia merasa terjaga dan terlindungi. Tapi masih saja ada yang tega menghinanya bahkan sampai kepada perbuatan yang tidak sopan, perbuatan yang sama sekali tidak patut untuk ditiru. Mungkin kejadian yang sama terjadi berkali-kali, tetapi ia takut untuk menceritakannya. Atau bisa jadi ia mendapat ancaman akan diperlakukan seperti itu terus jika berani mengadukan kepada guru atau orang tuanya. Saya benar-benar merasa kasihan dengan kejadian seperti ini, bagaimana dengan perasaan eyangnya yang begitu menyayangi Dede. Pasti tersayat-sayat hatinya, hingga suatu hari eyangnya menghadap kepala sekolah dan meminta pindah sekolah dengan alasan cucunya tidak bisa mengikuti pelajaran. Setelah pindah sekolah, saya tidak pernah tahu kabar Dede. Semoga kisah kehidupan Dede selanjutnya lebih baik lagi. Tidak ada yang mengejeknya atau membulinya, karena manusia adalah makhluk homososius, yaitu makhluk berteman. Manusia tidak dapat hidup sendirian dan membutuhkan orang lain. Sulit dibayangkan, jika ada manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dengan orang lain. Manusia dalam hidupnya selalu ketergantungan dan hidup bersama- sama dengan orang lain. Kekuatan manusia pada hakekatnya MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 123

tidak hanya terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya saja. Melainkan kekuatan manusia terletak pada kemampuannya untuk bekerja sama dengan orang lain. Anak yang dididik penuh kasih sayang, bisa menjadi individu yang lebih baik dibandingkan mereka yang kekurangan kasih sayang. Karena kasih sayang merupakan sesuatu yang paling mendasar, yang harus diterima oleh setiap manusia dan harus kita terima. Saya hanya bisa berdoa semoga perjalanan Dede ke depan lebih baik lagi, karena sebetulnya ia anak yang penurut dan humoris. Hanya saja karena ia memiliki keterbatasan yang Allah anugerahkan kepada Dede. Sudah sepantasnya kita banyak bersyukur atas segala yang Allah berikan kepada kita, karena hidup adalah anugerah. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita. Aamiin yaa rabbal‟alamiin. 124 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Biografi Penulis Nur Fajriyah, lahir pada tanggal 30 November 1972. Lahir dari keluarga besar yaitu 6 bersaudara, rumah orang tua di Maos Kidul, tepatnya Jl. Penatusan Rt 07 Rw 03 Maos Kidul. Riwayat pendidikannya, dari MI Darwata Maos Kidul, kemudian SMP N 3 Maos, MAN Cilacap dan terahir di IAIG Kesugihan. Sekarang mengabdikan diri di MI Kesugiahn 01, yang Kepala Madrasah,guru dan karyawannya sangat baik hati dan ramah. Sekarang dia tinggal di Jl. Kemerdekaan Timur Rt 04/Rw 06 Kesugihan Kidul, Kesugihan, Cilacap. Dia sudah dikaruniai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan, semoga kelak menjadi anak yang sholih dan sholihah, bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Aamiin. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 125

Bagian Sembilan Guru-Guru Kecilku Umi Martuti Tahun 2005 tepatnya pada tanggal 16 Juni adalah hari pertamaku bertugas sebagai abdi negara. Aku lulus seleksi penerimaan CPNS Kemenag pada tahun 2004. Aku ditugaskan sebagai guru DPK Kementrian Agama kabupaten Cilacap di MI YA BAKII Kesugihan 01 yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Hari yang mendebarkan karena pertama kali bertemu dengan guru-guru dan murid-murid di MI tersebut sekaligus hari pertamaku bertugas. Dan merasa amazing karena di MI tersebut masih banyak anak yang dapat berkomunikasi dengan basa jawa krama. Alhamdulillah hari pertama dapat aku lalui tanpa halangan yang berarti. Dipenghujung tahun pelajaran 2004/2005. Pada tahun pelajaran baru 2005/2006 aku baru dapat melaksanakan tugasku sebagai seorang guru. Tugas pertamaku adalah sebagai wali kelas 3. Tugasku sebagai seorang guru aku lakukan sebagai rutinitasku sehari-hari dengan penuh tanggungjawab. Meskipun saat itu aku belum dapat merasakan passion sebagai seorang guru. Hari-hari aku lalui hanya sebagai pengalaman yang biasa-biasa saja. Yang 126 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

aku rasakan aku seperti kakak yang mengajari adiknya bukan seorang ibu yang memberikan segenap kasih sayang dan ilmu serta membimbingnya menjadi anak yang berakhlak mulia. Aku belum begitu menghayati apa artinya mendidik secara mendalam sampai akhirnya pada tahun 2012 aku mendapatkan bagian rolling kelas menjadi guru kelas satu. Berawal dari sinilah Allah mulai menumbuhkan rasa kecintaan dan passionku sebagai seorang guru. Hal ini aku rasakan benar saat-saat bersama mereka. Aku merasa enjoy, lepas dan dapat menampilkan pribadiku apa adanya tanpa harus takut penilaian mereka. Karena mereka menerimaku tanpa syarat. Mungkin ini juga yang membuatku nyaman berada di kelas satu. Mereka adalah malaikat-malaikat kecilku yang dikirim Allah untuk mengajarkanku banyak hal. Melihat senyum dan gelak tawa mereka membuatku bahagia. Tidak ada kemarahan atas kenakalan mereka meskipun kadang hati terasa masghul namun berakhir dengan kelucuan dengan segenap kepolosan mereka. Mereka mengajarkanku bagaimana caranya mengatur emosi dan egoku. Bersama mereka membuatku merasa lebih berarti dan dibutuhkan. Aku menjadi orang yang penting bagi mereka karena setiap apa yang aku sampaikan dan lakukan menjadi dasar mereka dalam bertindak dan bertutur. Bahkan apa yang disampaikan kedua orang tuanya tidak lebih dipercayainya dibanding gurunya. Hal ini aku ketahui langsung dari wali murid yang menceritakan bagaimana sikap putra-putrinya. Ini menyadarkanku betapa besar peranan seorang guru dalam perkembangan pendidikan seorang anak. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 127

Tidak hanya mentransfer ilmu, yang terpenting adalah uswah khasanah dari seorang guru dalam segala hal terutama dalam bertutur dan bersikap. Diantara mereka ada beberapa murid yang sangat menyita pemikiranku tidak hanya dalam membelajarkan mereka tapi bagaimana aku harus bersikap terhadap mereka. Tahun pertama dan kedua aku duduk sebagai wali kelas satu Allah mengirimkan anak-anak yang super cerdas dalam bimbinganku. Sekilas mungkin terasa ringan mengajar anak- anak yang pintar. Ternyata tidak semudah yang dibayangkan bahkan tidak lebih mudah dibanding membelajarkan anak rata-rata. Bahkan yang di bawah rata-rata karena masing- masing mempunyai tingkat kerumitan yang berbeda. Hal ini menjadi catatan tersendiri untukku karena dari mereka aku belajar menjadi guru yang harus selalu up to date dalam ilmu dan informasi. Otakku diperas untuk berpikir bagaimana cara memanage kelas agar yang biasa-biasa mendapatkan haknya dalam belajar dan yang cerdas tidak merasa bosan di dalam kelas. Seorang guru adalah orang yang tidak hanya dapat menstransfer ilmu (knowlegde) yang terpenting adalah transfer of values (nilai-nilai/akhlak). Dan aku merasa belum bisa memenuhi keduanya karena aku merasa belum mempunyai kepribadian yang dewasa yang juga menjadi prasyarat guru agar dapat melaksanakan dua fungsi guru tersebut. Aku masih harus banyak belajar. Aku sadari betul kekuranganku. Bukan berarti juga aku pasrah begitu saja 128 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

dengan kekurangan itu. Aku selalu berusaha dari hari ke hari untuk menjadi guru yang baik dan semakin baik. Menjadi guru bagiku adalah sebuah berkah itu sekarang yang aku rasakan. Tetapi, dulu bagiku adalah sebuah perjuangan. Perjuangan melawan keinginan hatiku sendiri. Aku dulu tidak mempunyai cita-cita menjadi seorang guru bahkan sangat anti pati menjadi guru. Oleh sebab itu aku harus berjuang keras untuk menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Selangkah demi selangkah aku perbaiki sikapku dan pola pikirku dan berusaha memantaskan diri menjadi pribadi yang benar-benar bisa digugu dan ditiru oleh anak didikku. Proses itu aku nikmati dari hari ke hari, minggu ke minggu bulan ke bulan bahkan tahun ke tahun. Dengan segenap kemampuanku aku melayani mereka anak-anakku dengan sepenuh hati. Meskipun aku sadari masih banyak yang terlewatkan. Semua karena keterbatasan ilmuku. Aku akui masih sangat jauh dari kata sempurna. Tapi setidaknya aku berusaha untuk memberikan yang terbaik yang aku miliki. Doaku tak henti-hentinya semoga apa yang pernah aku sampaikan dan tanamkan pada diri anak-anak didikku meskipun hanya sedikit ada yang bermanfaat bagi kehidupan mereka. Muhammad Nova Fadhil Pratama adalah seorang anak laki-laki yang duduk di kelas 1 a, kelas dimana aku menjadi wali kelasnya. Dia anak yang sangat cerdas dengan pemahaman yang diatas rata-rata teman sebayanya. Dengan umurnya yang masih begitu muda ia tidak hanya bisa MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 129

membaca dengan lancar tapi sudah memahami maksud dari kalimat-kalimat yang ia baca. Selain itu juga ia mempunyai daya ingat yang kuat. Makanya tak heran jika untuk membelajarkan materi-materi kelas satu bagiku sangat enteng karena dia sudah memahaminya. Ia bisa seperti itu dikarenakan orang tuanya terutama ibunya begitu perhatian dan sabar membimbingnya dalam belajar. Pada awal di kelas satu ia cukup antusias dalam belajar namu seiring waktu dia sering terlihat bosan di dalam kelas dan merajuk ingin pelajaran yang lain sedangkan teman- temannya belum memahaminya. Akupun berusaha untuk membujuknya. “Nanti ya Mas setelah ini kita belajar yang lebih seru lagi, sabar ya?” kataku kepadanya. Ia pun menurutinya karena pada dasarnya ia anak yang peka dan memahami orang dewasa. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang sampai akhirnya aku tahu kenapa ia seperti itu. Aku berusaha bertukar pikiran dengan teman guru yang lebih senior dan mencari informasi dengan baca buku dan googling di internet. Aku baru paham bahwa anak yang cerdas mempunyai kecenderungan cepat mengalami kebosanan dalam kelas karena materi yang mereka dapat tidak memuaskan rasa keingintahuannya terhadap ilmu pengetahuan yang baru. Jadi aku sebagai guru aku dituntut untuk lebih kreatif bagaimana caranya membuatnya tetap semangat dalam belajar. Ketika itu 130 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

aku juga memperoleh informasi salah satunya agar anak yang cerdas tidak bosan maka aku harus memberikan informasi materi yang cakupannya di atas materi yang disampaikan untuk teman-teman sekelasnya. Salah satunya aku membuat soal kuis dalam dua atau tiga versi dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Cara ini cukup berhasil mengatasi kebosanannya tapi bersamaan itu juga timbul masalah baru karena ia akhirnya menyadari bahwa tugas latihannya lebih banyak dibanding teman yang lain membuatnya protes. Terus kreatifitasku diasah untuk memanage kelasku agar terus kondusif buat belajar. Fadhilla yang mengajariku menjadi guru yang lebih kreatif dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga tanpa kusadari ini menambah wawasan dan pengalamanku serta modal ke depan menjadi lebih baik lagi. Karena memang sudah janji Allah dalam kesulitan pasti ada solusi yang mengikutinya untuk menuju kemudahan sebagai jalan keluar. Sekarang ia sudah kelas 9 pada sekolah swasta favorit dan mendapatkan beasiswa untuk pendidikannya selama 3 tahun. Ia juga mampu menunjukan prestasinya sejak duduk di kelas satu hingga 6 selalu menjadi bintang kelas. Fadilla Az Zaini nama yang simpel tapi berkarakter menurutku. Begitu juga dengan pemilik nama itu sendiri. Anak yang lincah, manis, periang dan juga mandiri dengan gaya manjanya. Sejak awal masuk di kelas 1B ia sudah terlihat begitu menonjol dibanding anak-anak lainnya. Tidak jauh berbeda dengan kecerdasan Fadhil yang jauh lebih percaya diri dalam segala MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 131

hal. Ia selalu dapat menjawab setiap pertanyaan yang aku berikan di kelas pada semua materi pelajaran. Salah satu hal yang membuatku angkat jempol untuknya dikarenakan dia sudah mampu hidup mandiri tanpa orang tuanya dalam usia sekecil itu. Ia harus tinggal dengan kakek dan neneknya sementara orang tuanya harus merantau di pulau Dewata Bali. Aku amati caranya bergaul dan berkomunikasi dengan teman, caranya bersikap dan bertutur sehari-hari ia mempunyai kecenderungan super power. Ada sebersit kesombongan dalam sikap dan tutur katanya. Hal ini aku pahami sebagai sebuah penyakit yang mengiringi orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan rasa percaya yang tinggi. Ia termasuk di dalamnya. Ini adalah PRku di tahun ini selain membimbing anak seluruh kelas agar berakhlak yang baik terutama aku harus lebih intens dengan Fadhila. Terlepas ia bibit unggul yang akan membawa nama baik madrasah, ini wujud kasih sayangku terhadapnya serta tanggungjawabku sebagai seorang guru agar ia tidak hanya cerdas tapi dilengakapi akhlak yang baik. Fadhila tidak hanya cerdas ia tetapi juga mempunyai wawasan yang luas. Maka tak heran jika ia sering menyampaikan pertanyaan yang sifatnya menguji kemampuan gurunya. Aku berusaha bersabar dan memandangnya dari sudut anak-anak yang polos sehingga tiap kali dia seperti itu aku berusaha menjelaskan pelan-pelan. Atau jika aku tidak tahu jawaban atas pertanyaannya sebagai 132 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

guru aku tidak mau salah menyampaikan informasi yang belum jelas terlebih lagi terhadap anak kelas satu yang secara psikologis belum mampu mencerna informasi yang didapat hanya bisa menyerap tanpa bisa memilah. Maka aku jawab dengan menunda jawaban. “Bagus sekali pertanyaannya Mbak Fadhila, tapi hari ini kita belajar materi ini dulu ya? Besok kita belajar lagi apa yang ditanyakan Mbak Fadhila” jawabku. Meskipun terkadang ia memaksa ingin mendapat jawabannya saat itu juga tetapi aku masih bisa memberikan pengertian agar ia bisa menerimanya. Kalau sudah seperti ini aku harus mendekatinya secara personal, berbicara dari hati ke hati. Bersama Fadhila aku belajar kesabaran, dan toleransi. Karena pada diri Fadhila aku bisa melihat diriku. Aku tersadar bersikap bijaksana dan menjadi rendah hati itu lebih baik. Atas kerjasama kami para guru akhirnya di kelas 5 Fadhila dapat menghasilkan prestasi-prestasi yang membawa harum nama madrasah. Prestasi terbaiknya adalah Juara 3 Olimpiade Sains SD/MI tingkat kabupaten. Pada tahun ketiga aku duduk sebagai wali kelas satu. Pada tahun ke 10 masa pengabdianku sebagai seorang guru di madrasah tempatku mengajar. Tepatnya pada tahun pelajaran 2015/2016. Datang di dalam kelasku seorang anak tanpa dosa. Dia tampak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Dalam pengamatan sekilasku, dia termasuk anak MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 133

berkebutuhan khusus. Hal itu dapat aku tangkap dari aura wajahnya. Hari pertama tahun pelajaran baru seperti biasa aku isi dengan perkenalan sesuai dengan pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Aku memperkenalkan diri terlebih dahulu di depan kelas. Mereka sangat antusias menanggapi perkenalanku. Kemudian aku ajak mereka menyebutkan namanya satu-persatu. Tibalah saatnya giliran anak tersebut. “Siapa namanya Mas?” aku bertanya., “Faris, Bunda,” ia pun menjawabnya. Ia menyebutku bunda karena kebiasaanya sewaktu PAUD untuk menyebut gurunya. Kemudian aku lihat satu persatu data anak yang ada didaftar buku presensi. Aku mengetahuinya bahwa ia bernama lengkap Muhamad Faris Doul Qomar. Sepulang sekolah ibunya yang sejak pagi menungguinya menemuiku. Beliau bercerita tentang keadaan anaknya. Beliau juga menceritakan latar belakang keadaan anaknya menjadi seperti ini. Dan benar, Faris anak yang dilahirkan normal hanya saja pada masa pertumbuhannya (saat bayi) ia pernah mengalami panas yang sangat tinggi hingga kejang. Ibunya dengan keterbatasannya tidak mengetahui bahaya akibat panas yang tinggi sehingga terlambat untuk memberikan pertolongan pertama. Dan kejadian itu berakibat fatal karena pertumbuhan otaknya menjadi tidak normal. Sehingga mengakibatkan tingkat berpikirnya tidak sesuai (lebih lambat) dari umurnya. 134 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Dengan keterbatasannya Faris tidak bisa seperti teman- temannya duduk tenang, ia hanya bisa duduk tenang kurang lebih 5 menit. Selanjutnya ia aktif bergerak di dalam kelas sehingga membuat temannya merasa terganggu, begitu juga proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan Faris aku mempunyai PR banyak melawan diriku sendiri, menanamkan kasih sayang, toleransi, dan rasa syukur terhadap teman- temannya agar mereka tidak mengucilkan Faris. Selain itu, aku juga berperang dengan hatiku sendiri untuk bersikap lebih baik yang semua itu sebenarnya muaranya adalah pengelolaan kelas agar anak nyaman dalam belajar. Aku yang dulu kurang dewasa, kurang sabaran, merasa harus dihargai oleh orang yang lebih muda dan masih banyak lagi. Dengan segenap kesadaran semua berangsur- angsur berkurang dengan bertambahnya pengalaman, ilmu dan latihan langsung mendampingi anak dan mengantarkannya menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak. Pada taraf ini kesabaranku benar-benar diuji. Aku memutar otak dan hatiku. Dan Allah sebenar-benar pemberi petunjuk bagi hamba yang dikendakiNya. Mudah-mudahan aku termasuk hambaNya yang dikendaki baik. Itu aku rasakan dengan cara Allah melembutkan hatiku dengan menghadirkan seorang Faris dalam kehidupanku. Tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini melainkan semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha Pengatur, Dialah Allah SWT. Awalnya hatiku menolak menerimanya dalam bimbinganku. Aku ingin ia berada di kelas lain. Namun, MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 135

Alhamdulillah aku bisa berkompromi dengan hatiku sendiri. Aku takut tidak bisa mendampinginya. Pertama aku tidak punya ilmunya, karena memang ilmu yang aku pelajari adalah pembelajaran untuk anak pada umumnya. Alhamdulillah di madrasah tempatku mengajar untuk kelas satu ada 2 guru dalam satu kelas. Satu guru kelas dan satu guru pendamping. Hal ini mudahkanku untuk mengajar. Khusus di tahun Faris di kelasku aku berbagi tugas dengan guru pendamping. Aku tugas mengajar anak-anak dalam kelasku sedangkan guru pendamping aku mintai tolong untuk mendampingi Faris saja. Banyak hal yang harus aku kompromikan agar keadaan kelas kondusif. Dukungan dari orang tua Faris juga sangat aku rasakan. Faris beruntung mempunyai orang tua yang paham ilmu agama sehingga kekurangannya tidak menjadikan malapetaka baginya dan keluarganya. Ayahnya sangat telaten membimbing Faris dalam hafalan-hafalan Al Quran surat- surat pendek. Dan ibunya dengan sabar mendidik dan mendampinginya. Sehingga meskipun punya keterbatasan, Faris punya keistimewaan banyak hafal surat-surat pendek. Dan yang mengherankan adalah untuk menulis huruf abjad Faris sangat kesulitan tapi untuk menulis huruf-huruf Hijaiyah ia lebih baik. Dari Faris aku belajar kasih sayang, kesabaran, menghargai perbedaan dan toleransi, lebih bijaksana dalam bersikap. Aku tambah bersyukur atas nikmat-nikmat Allah yang selama ini tidak terpikirkan bahwa hal itu adalah nikmat 136 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

yang sangat besar dari Allah. Tidak ada sesuatupun yang Allah ciptakan sia-sia. Merekalah guru-guru kecil kehidupanku. Seorang guru tugasnya memang mengajar tapi aku hayati dalam proses pembelajaran itu sendiri hakikatnya tidak hanya anak yang belajar. Melainkan kedua-duanya sama-sama belajar, bedanya guru belajar dalam proses mendidik dan mengarahkan. Semoga kelak salah satu dari tangan kecil merekalah yang akan menarikku dalam surgaNya....Aamiin.. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 137

Biografi Penulis Umi Martuti, S.Pd.I, saat ini dia bekerja sebagai guru MI YA BAKII Kesugihan 01 sebagai ASN DPK Kementerian Agama Kabupaten Cilacap sejak tahun 2005 sampai sekarang. Juga tercatat sebagai Fasilitator Daerah Kabupaten Cilacap Program PINTAR Tanoto Foundation masa periode 2019-2021. Pernah mengajar sebagai guru Wiyata Bakti di MI YAPII Rembang, Purbalingga pada tahun 2002-2004. Ketertarikannya dalam hal menulis sudah diwujudkan pada tulisan pertamanya dalam buku antologi “Melangkah Bersama Belahan Jiwa”. Alhamdulillah sekarang dapat menyelesaikan tulisan keduanya dalam buku antologi “Mendidik Dengan Setulus Hati” yang berhasil ditulisnya pada tahun 2020. Buku- buku ini mudah-mudahan menjadi pemacu lahirnya buku karya solo. 138 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

Bagian Sepuluh Mutiara Goresan Canting MIN 2 Kulon Progo Sri Handani Widiyaningrum Pendidikan dapat menghasilkan sumber daya manusia berkemajuan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (countinuous quality improvement). Hal ini penting ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional yang mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok dan kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 139

langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberikan nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk kemandirian dan kreatifitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat seperti sekarang ini. Menyadari hal tersebut maka untuk mewujudkan masyarakat madani dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan bangsa ini bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersaing dan bersanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia, 140 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI

bahkan dalam kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat bisa dipastikan bangsa Indonesia akan tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai dan sejahtera. Demikian pula pendidikan di MIN 2 Kulon Progo merupakan madrasah yang menjadikan siswa berkarakter, unggul imtaq dan iptek. Prinsip dasar yang ada di dalam imtaq merupakan unsur dasar yang dapat digunakan sebagai pedoman penyusunan target sasaran hasil perilaku yang dimiliki dunia pendidikan imtaq mengarahkan dunia pendidikan menuju target yang dituju yakni menciptakan generasi beriman dan berilmu guna menjaga nilai moral bangsa. Di MIN 2 Kulon Progo pembiasaan sehari hari dalam bidang imtaq sudah di laksanakan oleh siswa dalam kegiatan pembisaan, misalkan shalat Dhuha, mengaji, shalat Duhur berjamaah, TPA di madrasah, infaq setiap hari Jumat dan mengisi kegiatan keagamaan selama di rumah. Hal ini akan melatih kedisiplinan siswa, untuk mengontrol segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sehingga diharapkan siswa menjadi siswa yang bijaksana, berkepribadian luhur, bersikap sesuai agama Islam, dan kelak akan berguna di masyrakat. Sedangkan dalam hal iptek, yang merupakan konsep dasar sains dan teknologi, yang mencakup keadaan ilmu MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 141


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook