dilaksanakan di Madinatul Munawwarah. Sungguh sangat menggiurkan dan betapa Allah SWT itu Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sedikit mengulas tentang ibadah haji, bahwa ibadah tersebut adalah ibadah yang diwajibkan bagi mereka yang sudah mampu melaksanakan, baik mampu secara jasmani maupun mampu secara materi atau finansial. Tapi dijaman sekarang ini rasanya tidak ada orang yang tidak mampu secara finansial karena banyak sekali kisah-kisah inspiratif seorang pemulung, seorang kuli angkut di pasar ternyata juga mampu melaksanakan ibadah haji, padahal mereka hanya menyisihkan sepuluh ribu, dua puluh ribu dalam sehari walaupun waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkannya perlu waktu sampai bertahun-tahun. Dan kenyataannya antrian haji yang sampai saat ini mencapai 25 tahun menunjukkan bahwa keadaan masyarakat saat ini sudah semakin sejahtera. Harga seat porsi haji sebesar 25 juta, atau total 37 juta saat pelunasan keberangkatan sangatlah murah bila dihitung dan dibanding dengan pahala ibadah yang dilipat gandakan sampai ratusan ribu. Semua orang pasti mempunyai niat mulia bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Tapi niat kalau hanya sekedar niat tidak ada action yang dilakukan sama saja hanya bermimpi dan menunggu keajaiban. Niat untuk bisa melaksanakan ibadah haji menurutku adalah niat yang harus dipaksakan, semisal mulai menabung dengan cara membuka rekening tabungan khusus haji, menyetor uang tabungan 42 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
sedikit demi sedikit yang penting konsisten. Kalau perlu dengan cara yang lebih extrim lagi yaitu menjual aset yang dimiliki, semisal menjual kendaraan atau tanah dan digunakan untuk mendapatkan seat porsi haji. Sebenarnya banyak kiat-kiat dan trik-trik yang perlu dilakukan agar kita dimudahkan untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu beribadah haji. Aku juga tidak memposisikan prinsipku ini paling benar dan menyalahkan mereka yang tidak sependapat denganku, masalah prinsip adalah masalah pribadi setiap keluarga dan masing- masing rumah tangga. Ada yang lebih mendahulukan memperindah rumah yang megah dengan tatanan taman yang asri menghiasi pelataran rumah, garasi berjejer kendaraan mewah, fornitur dan perabot rumah yang begitu mewah, kemudian baru mendaftar haji saat sudah purna tugas di usia 60 tahunan. Itu sah-sah saja karena kita juga tidak tahu alasan apa yang mendasari orang tersebut memilih prinsip seperti itu. Ada juga sebagian orang yang lebih mendahulukan pendidian anak sampai jenjang yang tertinggi, kuliah dan menyelesaikan studi sampai berhasil dan meraih sukses. Bahkan kadang sampai menunggu semua anaknya “mentas” dulu, atau sudah berumah tangga semua baru kemudian mendaftar haji. Rela menunda keinginan untuk berhaji demi anak hingga mencapai masa pensiun diusia 60 tahun baru bisa merealisasikan niatnya mendaftar haji. Kebanyakan prinsip inilah yang sering dipakai oleh mereka yang sangat berhati- MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 43
hati dalam melangkah sehingga mewujudkan niat suci pun menjadi pertimbangan yang serius. Itu adalah realisasi yang paling manis, tapi seandainya ternyata anak juga belum berhasil menempuh studi bagaimana? Sementara dana pencairan taspen yang akan digunakan untuk mendaftar haji ternyata juga dipakai untuk keperluan dan kebutuhan anak yang lain, semisal pernikahan, renovasi rumah dan lain-lain. Lalu bagaimana dan dengan apa orang tersebut mewujudkan niat sucinya? Padahal kondisinya sudah semakin susah, usianya juga semakin menua, dan mulai sakit-sakitan. Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing, semua itu kembali kepada prinsip hidup setiap orang yang berbeda-beda, jadi aku tidak mungkin menyalahkan dengan keadaan yang seperti itu. Berbeda lagi saat ada yang mendaftar haji diusia pensiun, umur 60 tahun, tapi bukan karena menjual harta warisan atau dari kalangan pegawai yang memiliki dana taspen, tapi orang tua yang bekerja sebagai petani. Petani yang selalu hidup pas-pasan dan tinggal dirumah sederhana, dengan jerih payahnya bercocok tanam menggarap sawah- sawah yang disewanya dari tanah bengkok desa, berjuang dengan gigih sehingga mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang yang berhasil dan meraih success. Dan kini diusianya yang sudah tua, meskipun masih rajin ke sawah sebagai aktifitan sehari-harinya, anak-anaknya menunjukkan baktinya dan bersedia membiayai orang tuanya untuk mendaftar haji, mewujudkan mimpi indah yang selama ini hanya sebatas hayalan saja. Mimpi indah yang menjadi 44 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
kenyataan ini merupakan kisah nyata yang benar-benar terjadi sehingga aku sendiri merinding, gemetar dan menitikkan air mata saat menulisnya. Terharu dan ikut merasaan kebahagiaan orang tua yang mempunyai anak yang berbakti seperti itu, bisa “mikul duwur mendem jeru”, sebagai bakti terhadap orang tua. Ikhtiar Harapan...cita-cita Harus selalu ada Walaupun setiap usaha Tidak mesti menghasilkan laba Akan lebih hina... Jika tanpa ikhtiar, berdoa Jalan ditempat..tanpa berbuat apa Hanya karena putus asa Akan hasil yang sia-sia Lihat..semut di lubang sana Lihat..burung terbang di angkasa Lihat..ikan diluas samudra Lihat..lihatlah makhluk semua Siapa yang mencukupi mereka..?? Usia purna atau usia pensiun yang berkisar 60 tahun bahkan lebih memang sangat mendominasi calon jamaah haji Indonesia. Jadi apa yang aku utarakan tadi itu sangat realistis dan nyata karena memang sering terjadi disekitar kita, MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 45
tetangga, saudara bahkan orang-orang terdekat kita. Meskipun umur tersebut sebenarnya juga terbilang sudah tua, cepat capek dan sudah mulai sakit-saikitan. Kalau pekerjaannya petani mungkin usia seperti itu masih cekatan dan gesit karena terbiasa dengan pekerjaaan dan aktifitas yang berat. Tapi kalau pegawai kantoran, apalagi jarang berolah raga usia seperti itu sebenarnya sudah mulai lemah dan lamban sehingga perlu extra hati-hati dalam menjaga kebugaran dan kesehatan. Seandainya fenomena antrian pendaftaran haji yang begitu banyak ini berlanjut dari tahun ke tahun dan terjadi penumpukan antrian yang semakin panjang dan semaain lama, lalu bagaimana nasib pensiunan diusia 60 tahun baru mendaftarkan haji. Saat waiting list, masa tunggu calon jamaah haji mencapai 25 tahun atau bahkan lebih, berarti calon jamaah haji tersebut berangkat diusia 85 tahun lebih. Umur manusia memang kuasa Allah SWT, tapi dengan usia setua itu apakah nanti calon jamaah haji tidak akan repot melaksanaan ibadah haji yang juga ibadah fisik. Kalau situasinya sudah seperti ini, pilihan mana yang diambil saat ada pilihan pergi haji selagi masih muda atau pergi haji saat usia sudah tua. Tapi pilihan tersebut juga mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri, karena itu jawaban yang paling bijak adalah diri kita sendiri yang berhak menjawabnya. Aku tidak akan membahas kreteria mampu yang disyaratkan sebagai kewajiban melaksanakan ibadah haji, menurutku biarlah itu menjadi penilaian diri kita masing- masing. Niat melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu itu 46 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
adalah niat yang harus dipaksakan, saat kita merasa mampu maka secara otomatis kita sudah diwajibkan. Melaksanakan dan berusahalah merealisasikan niat suci tersebut dengan sungguh-sungguh niscaya Allah SWT akan menunjukkan jalan kepada kita. Tapi saat hati sudah tertanam rasa tidak mampu dan memilih menjadi orang tidak mampu melaksanakan ibadah haji maka tunggu saja keajaiban yang akan terjadi. Kewajiban karena sudah mampu melaksanakan ibadah haji itu akan terus melekat sampai kapanpun dan akan gugur saat sudah berhasil melaksanakannya. Kewajiban tersebut tidak akan gugur dan hilang dengan kebangkrutan setelah sekian lama ditunda-tunda. Syarat mampu untuk melaksanakan ibadah haji namun ditunda-tunda hanya akan menjadikan beban dosa karena mengabaikan kewajiban yang sudah mampu dilaksanakan. Dosa yang akan menjadi beban hidup yang tanpa sadar akan terus ada dan semakin bertambah dari hari kehari selama pelaksanaan ibadah haji tersebut belum dilakukan. Sangat naif sekali apabila memiliki harta yang berlimpah, diberikan amanah kekayaan yang tidak habis tujuh turunan namun belum berkesempatan melaksanakan ibadah haji hanya karena menunda-nunda kesempatan yang ada. Saat harta tersebut masih ada dan masih menjadi aset kekayaan sebenarnya sangat mudah sekali mewujudkannya, namun bagaimana ketika Allah SWT mencabut semua itu dan menggantikan dengan kebangkrutan dan kemiskinan. Bagaimana akan mewujudkan niat melaksanakan ibadah haji MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 47
ketika keadaan sudah berbalik 180 derajat, padahal disisi lain kewajiban melaksanakan ibadah haji harus tetap dilaksanakan dan terus akan melekat sampai ada anak atau cucu yang mau membiayai dan membayarkan pelaksanaan haji tersebut demi gugurnya kewajiban. Seandainya memang begitu kejadiannya, apakah kita tidak malu dengan anak cucu karena telah mewariskan hutang kewajiban melaksanakan ibadah haji. Tentunya anak cucu akan bangga ketika mendapat warisan harta berlimpah, aset yang tak ternilai harganya yang bisa digunakan untuk kemaslahatan umat. Bukan karena warisan hutang kewajiban melaksanakan ibadah haji yang ditunda-tunda pelaksana- annya saat semuanya memungkinkan. Akan tragis lagi ketika anak cucu kita tidak tahu menahu dan masa bodoh dengan semua masalah itu sehingga tidak ada yang mau membayar hutang kewajiban haji kita. Padahal hutang kewajiban haji tersebut haruslah dibayar dengan cara dilaksanakan, baik secara pribadi ataupun dengan badal atau pengganti. Disinilah pentingnya peranan pelaksanakan haji badal sebagai pengganti keberangkatan haji seseorang yang memang tidak mampu melaksanakan karena faktor kesehatan yang memang tidak mengijinkannya. Haji badal juga bisa untuk mewakilkan seseorang melaksanakan ibadah haji karena alasan-alasan tertentu seperti membayar hutang haji yang tadi disampaikan dan juga karena menghajikan orang- orang yang sudah meninggal. Baik itu kedua orang tua, saudara, kerabat bahkan orang lain yang memang tidak ada ikatan kekeluargaan seperti teman, sahabat dan tetangga. 48 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Meskipun biaya yang dibayarkan dalam pelaksanaan haji badal ini lebih murah dibanding apabila berangkat sendiri, namun secara hukum haji badal ini kedudukannya sama seperti pelaksanaan ibadah haji ketika berangkat haji sendiri. Aku menulis semua yang aku alami ini dengan hati dan dengan perasaan yang lembut sehingga aku berharap apa yang aku sampaikan ini akan sampai ke hati orang yang membaca tulisan ini. Lebih dari itu, harapanku ketika sudah sampai kehati maka perasaanlah yang akan bicara. Ketika orang yang membaca memang belum berkesempatan mendapat seat porsi haji semoga yang aku sampaikan ini menjadi lecutan semangat, menjadi pembakar harapan agar semakin memperkuat niat dan himmahnya untuk bisa melaksanakan ibadah haji. Semoga jalan yang dilalui untuk mewujudkannya diberi kemudahan oleh Allah melalui jalan yang tidak disangka-sangka. Apabila yang membaca tulisanku ini memang sudah diberi anugerah menjadi calon jamaah haji karena sudah memperoleh seat porsi haji, nikmatilah penantian dalam masa tunggu ini dengan membiasakan perbaikan diri baik melalui tutur kata maupun tingkah laku yang bermanfaat dan membawa maslahah. Untuk yang sudah berkesempatan melaksanakan ibadah haji, marilah jaga kemabruran haji kita bersama-sama karena inti dari pelaksanaan ibadah haji yang telah kita lakukan adalah menjadi haji yang mabur dan mabrurah. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 49
Silih Berganti Episode saat ini Hanya sebatas berganti Tidak selamanya memiliki Harta yang selalu disisi Suatu waktu akan pergi Belajar untuk legowo menerima Berusaha untuk lapang dada Dari tidak punya Menjadi serba guna Dari tiada apa-apa Menjadi serba ada Dan....begitu sebaliknya Dan...begitu seterusnya Dan...tunggu episode selanjutnya Umrah disebut juga hajjul asghor (ibadah haji kecil) karena dalam ibadah umroh tidak ada wukuf di Padang Arafah. Umrah juga bisa dilakukan kapanpun, berbeda dengan ibadah haji yang hanya dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah saja. Saat Malika telah pulang dari melaksanakan ibadah umrah maka aku berniat mengajak anak-anak untuk silaturahmi kerumahnya. Karena jarak madrasah dan rumahnya sekitar 3 km maka kami bersilaturahmi kesana dengan kendaraan dua mobil untuk mengangkuti anak kelas IV B. Beberapa guru yang ikut naik sepeda motor dengan berboncengan. 50 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Tujuan mengajak anak bersilaturahmi kerumah Malika selain merekatkan rasa persaudaraan juga sebagai pembelajaran secara langsung dari temannya melalui foto, vidio dan juga cerita. Sampai di sana kami disambut dengan gembira bahkan aku sempat terharu dan berkaca-kaca. Bagaimana tidak, anak sekecil ini sudah berkesempatan melaksanakan ibadah umrah. Padahal sebagian besar bapak ibu guru yang hadir belum berkesempatan ke Tanah Suci untuk umrah sekalipun. Kami dijamu dengan sangat mewah dan meriah, anak-anak juga sangat senang sekali dengan hidangan berbagai makanan oleh-oleh dari Arab Saudi. Ada kacang, kismis, coklat, kurma dan tidak ketinggalan juga air zam-zam. Bahkan saat salah satu guru yang mewakili berpamitan pulang kami semua masih diberi oleh-oleh yang dibungkus dalam tas kertas bergambar ka‟bah. Semoga silaturahmi kali ini mambawa berkah bagi anak-anak dan semua guru madrasah, bisa berkesempatan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tidak usah berkecil hati dengan keadaan saat ini, andai memang belum ada biaya untuk melaksanakan paling tidak ada progres dengan niat yang tulus Insya Allah akan ada jalan menuju ke Baitullah. Allah SWT mempunyai banyak cara untuk memudahkan hambanya yang diberi kesempatan untuk beribadah dan dipanggil ke rumahNya. Untuk mengabadikan dan mensyiarkan kisah murid spesialku ini agar menginspirasi banyak orang maka aku unggah dalam berita web Kemenag Kanwil DIY. Bahkan aku juga mengirimkan berita tersebut keredaksi salah satu koran MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 51
harian di DIY. Alhamdulillah, selang satu hari berita tersebut dimuat juga. Kisah murid spesialku ini juga aku masukkan disalah satu buku soloku berjudul “Jejak Digital dari Jalan Deandels”. Semoga kisah yang aku tulis ini bisa terus dikenang dan menginspirasi banyak orang, khususnya para pembaca yang budiman. Alamat berita : https://diy.kemenag.go.id/3356-tingkatkan-pemahaman- ibadah-umrah-malika-siswi-min-1-kulon-progo-berbagi- pengalaman.html 52 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
TINGKATKAN PEMAHAMAN IBADAH UMRAH, MALIKA SISWI MIN 1 KP BERBAGI PENGALAMAN Siswa kelas IV B senang dengan silaturahmi hari ini Tanggal : 2019-11-08 08:43:09 Pembelajaran siswa bisa melalui banyak hal, salah satunya mendengarkan cerita dan berbagi pengalaman dengan teman. Memanfaatkan moment yang tepat, juga bisa memperlancar bertambahnya pemahaman. Hal inilah juga dilakukan oleh siswa-siswi kelas IV B di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Kulon Progo. Malika Lintang Ramadhani putri dari Bapak Yudi Wintolo dan Ibu Suratmi. Malika adalah siswi Kelas IV B MIN 1 KP telah pulang dari ibadah umrah bersama ayah dan bundanya. Berbagi pengalaman tentang ibadah yang Malika lakukan di Tanah Suci Mekkah kepada teman sekelasnya. Kamis, (07/11). MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 53
Acara ini diikuti siswa-siswi kelas IV B sebanyak 22 anak dan beberapa guru. Anak-anak sangat antusias silaturahmi bertempat dirumah Malika Jalan Jogoresan, Jawa Tengah. Saat berkunjung di rumah Malika, juga didampingi oleh wali kelas IV A, IV B dan guru lainnya. Silaturahmi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang ibadah umrah dan mendengarkan langsung dari cerita teman yang telah melaksanakan ibadah umrah. Hal ini tidak hanya teori di dalam kelas namun juga bisa berbagi pengalaman. Fadhilah salah satu guru yang ikut berharap silaturahmi dan berbagi pengalaman dapat menambah pemahaman tentang ibadah umrah.“Anak-anak senang sekali bisa silaturahmi dirumah Malika, dengan suguhan makanan khas dari Arab Saudi. “Anak-anak juga berani untuk bertanya langsung dengan ibu dan Malika tentang ibadah umrah,” tambah Fadhilah. 54 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Kepala Madrasah, Widodo, berpesan dan berharap bahwa kegiatan silaturahmi ini dapat menambah eratnya paguyuban kelas IV B. “Dengan silaturahmi maka akan menjadikan bertambahnya pahala, umur panjang dan adanya berbagi pengalaman ini, harapan siswa siswi mempunyai keinginan untuk beribadah umrah dan haji dikemudian hari” pesan Widodo. Silaturahmi dan berbagi pengalaman diakhiri dengan berpamitan yang diwakili oleh Marhaban salah satu guru yang ikut. Dengan membawa oleh-oleh dari Arab Saudi siswa-siswi dan guru mengucapkan terima kasih. Siswa dan guru kembali ke madrasah dengan perjalanan yang menyenangkan. (etk) Penulis : Etik Fadhilah (etk) Kontributor : MIN1KP Editor : Eko Triyanto MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 55
TRIBUN JOGJA 56 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
PROFIL PENULIS Etik Fadhilah Ihsanti, MSI., MPd. Kepala MIN 2 Kulon Progo sejak Januari 2020, sebagai ASN Kemen- terian Agama DIY. Deretan koleksi piala sebagai juara guru MI berprestasi di tingkat nasional berjejer rapi: tahun 2015 juara harapan I nasional, tahun 2016 juara III nasional, tahun 2017 juara harapan II nasional, tahun 2018 nominator 6 besar nasional Anugerah Mahkamah Konstitusi dan tahun 2019 juara II nasional Anugrah GTK. Buku antologi terbaru yang ditulis tahun 2020 antara lain : Buku Di balik Sosok Kartini Kementerian Agama DIY, Buku Dear Teacher, Buku Teropong Pendidikan Masa Kini, Buku Belajar Dari Pelajar, Buku Tuhan, Kita, dan covid-19, Buku Sejuta Cinta Tak Cukup, Kepala Madrasah Berkisah, Sepenggal Kisah Perjalanan Guru, dan lain-lain. Sedangkan buku solo terbaru yang terbit tahun 2020 adalah : Jejak Digital dari Jalan Deandels (Barat Underpass YIA) dan terjual ratusan eksemplar, Ditikung Cinta, Bisikan Mimpi dari Tanah Suci, Malakama Cinta, Kurengkuh Mimpi di Depan Ka‟bah, Menguras Air Mata Di Padang Arafah, Gerbang MINDAKU, Ceruk Ilmu dan lain-lain.. Fb: Etik Fadhilah Email: [email protected] MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 57
Bagian Empat Penulis Hatiku Irma Mulyanti Setiap perjalananku menjadi seorang guru selalu saja bertemu dengan murid yang tentunya membawa banyak sekali pengalaman serta pelajaran berharga. Ada saatnya bertemu dengan murid yang pada waktu tertentu kita akan terpisah karena mereka harus meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Apabila ditanyakan seberapa spesial mereka buatku maka akan mengatakan bahwa setiap muridku pasti memiliki karakteristik masing-masing. Mereka memiliki keunikan, minat dan bakat yang berbeda-beda. Sehingga pada saat aku mengajarkan pelajaranku, aku tidak akan pernah memaksa untuk menyenangi pelajaranku. Tetapi aku ingin mereka mampu memaknai apa yang bisa mereka ambil dari pelajaran itu agar nantinya mereka bisa menjadi manusia tangguh dalam menghadapi kehidupannya. Tapi selama aku menjadi pendidik hampir 11 tahun, ada satu muridku yang selalu aku bilang sebagai penulis hatiku. Aku belajar banyak darinya melebihi dia belajar dariku. Namanya Esti. Saat itu aku mengajar di Paket B atau setara SMP/MTs untuk pendidikan non formal. Ingat sekali 58 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
saat bertemu dan berkenalan dengan dia, terbesit tanya dalam diriku. Mengapa anak sepintar ini sekolah di paket B tidak di SMP umum atau pendidikan formal lainnya. Ternyata terjawab sudah pertanyaan itu, pada saat istirahat dia yang ditunggu oleh bapaknya sedari awal mulai pelajaran menyuntikkan sesuatu dilengannya. Aku pun cukup tercengang melihatnya, karena aku takut jarum suntik. Sehingga aku melihatnya merasa kesakitan. Akhirnya setelah jam masuk dan aku masih jam kosong kucoba mendekati bapak Esti dan aku beranikan untuk bertanya. “Esti sakit Bapak?” tanyaku. Bapaknya dengan menggunakan bahasa Jawa menjawab. “Nggih, Bu,” jawabnya. Akhirnya hanya pertanyaan itu saja yang sanggup untuk aku tanyakan karena kulihat di bola matanya yang sudah terlihat lelah. Maklum pembelajaran di Paket B tempatku mulai sore jam 17.00-21.00 WIB. Keesokannya aku bertemu dengan Esti lagi, aku selalu menyapa dan bertanya padanya. “Masih semangat, Nak?” tanyaku. Dia selalu tersenyum dan menjawab. “Harus semangat Bu,” jawabnya sambil mengepalkan tangan. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 59
Semakin lama aku semakin akrab dengan Esti, sampai akhirnya dia bercerita tentang sakitnya. Dia sakit Diabetes dan ternyata yang selalu disuntikkan bapaknya itu adalah insulin. Aku mencoba untuk selalu mendengarkan, bukan aku yang berbicara seperti biasa aku lakukan di kelas. Esti lah yang mengajarkan aku untuk mendengarkan dulu murid kita sebelum menjudge sesuatu. Apabila ada murid kita yang terlambat kita selalu memarahinya. Padahal mungkin saja ada alasan tertentu dia terlambat. Pelajaran yang begitu berharga saat aku menjadi wali kelas untuk kelas unggulan yang rata- rata akademik muridku di kelas itu sangat bagus. Mereka pun sangat displin dan berakhlaq baik. Suatu saat ada salah satu muridku yang menjadi juara terlambat di semester 1. Pada saat aku menemuinya, belum bertanya apapun dia sudah menangis padahal dia murid laki- laki. Aku belajar untuk mendengar, akupun tak bicara atau bertanya. Akhirnya dia bicara selalu telat karena menunggu mamanya untuk mengantar. Aku pun mencoba untuk menenangkannya. Aku yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia terlambat. Aku pun minta dispensansi pada petugas tatibsi agar muridku tersebut diperbolehkan dulu masuk kelas. Aku pun mencoba untuk langsung bertanya kepada mama murid tersebut, ternyata jawaban yang membuat aku menjadi paham mengapa muridku itu terlambat. Ternyata mamanya harus merawat neneknya yang sakit dan menyiapkan adiknya yang SD karena nantinya mamanya langsung berangkat bekerja. Maka sebagai pengajar akan lebih baik kalau kita belajar untuk mendengar. 60 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Aku bertemu dengan Esti hanya 3 hari dalam seminggu. Hari Senin-Rabu adalah hari yang aku tunggu- tunggu karena aku selalu ingin mendengarkan dia bercerita. Bagaimana keikhlasan dia diumur yang masih muda tetapi sudah harus berjuang dengan Diabetesnya. Dia juga menceritakan bahwa dia adalah anak ragil dan perempuan sendiri di keluarganya. Kakaknya sudah bekerja dan berumahtangga semua. Makanya saat awal aku pikir bapaknya Esti adalah kakeknya karena mungkin Esti jarak usianya jauh dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Di sela-sela mengajar paket B aku juga sebagai pengurus TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di lembaga yang sama. Jadi sering sekali Esti bersamaku saat istirahat. Suatu hari aku lihat Esti terlihat bahagia sekali. Akupun mencoba untuk bertanya. “Ada apa Esti, kok dari tadi senyum-senyum sendiri,” tanyaku. Ternyata Esti menjawab dengan pertanyaan balik padaku. “Bu, apakah boleh saya suka pada cowok?” tanya Esti. Pertanyaan yang tentunya tidak bisa langsung aku jawab. Tapi akhirnya aku menjawabnya bahwa setiap manusia itu punya hati dan di hati itulah kita pasti nantinya mengenal cinta. Cinta tidak hanya pada lawan jenis tapi juga bisa dengan orang tua, sahabat dan keluarga. Esti pun MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 61
menceritakan bahwa dia sepertinya mulai suka lawan jenis. Hal ini lah yang menjadikan aku teringat pada pelajaran Psikologi pendidikan saat masih di bangku kuliah, bahwa di usia 10-12 tahun atau pada masa pubertas seorang anak akan mulai suka kepada lawan jenis. Maka seperti air yang mengalir kita tidak bisa menghalangi air yang mengalir dengan batu besar karena akan menjadi meluber kemana- mana. Sehingga yang harus kita lakukan adalah mencoba menjadi teman curhat sehingga kita bisa mendapat kepercayaannya dan dia akan menceritakan kepada kita apa yang dirasakannya dan dilakukannya. Ketika itu sudah di luar batas agama kita bisa memberikan nasehat tanpa menjudge mencintai itu salah. Esti pun memahami dengan sakit dan keadaan dirinya. Dia akhirnya menikmati anugerah “rasa cinta” itu tanpa punya keinginan untuk dibalas cintanya ataupun pacaran. Waktu demi waktu pun berlalu, Esti pun akhirnya melanjutkan sekolahnya di Paket C atau setara SMA. Dikarenakan aku menikah dan akhirnya hamil anak kembar, rutinitas pertemuan kami berkurang. Aku mengambil mengajar di paket B saja sedangkan paket C aku lepas. Suatu hari aku ingat sekali kakak Esti menelponku, dia bilang Esti ingin bertemu denganku, sekarang lagi berada di rumah sakit. Aku pun langsung merasa bersalah karena sudah jarang bertemu dengan Esti. Menghubunginya pun lewat HP tidak bisa kulakukan, karena dia tidak punya HP. Akupun langsung menjenguknya di rumah sakit, tapi pihak rumah sakit mengatakan Esti baru saja pulang. Aku pun 62 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
bertanya alamatnya, setelah mendapat alamatnya aku berangkat mencari rumahnya. Aku ditemani suamiku saat itu. Akhirnya akupun menemukan rumahnya. Saat itu banyak orang yang menjenguknya di rumah meski sudah hampir jam 9 malam. Esti pun melihatku, dia tersenyum padaku dan bilang. “Bu, saya kangen,” ungkapnya. Tanpa terasa air mataku menetes melihat Esti yang masih harus tetap berbaring di kasur karena kesulitan untuk berdiri bahkan berjalan. Aku pun langsung meminta maaf pada Esti karena tidak bisa sering menemuinya atau menghubunginya. Dia pun mengangguk dan tersenyum kepadaku. “Ndak apa Bu,” jawabnya lemah. Dia pun tidak bisa berkata banyak karena masih lemah. Kemudian dia menyuruh kakaknya untuk mengambil sesuatu di dalam lemari kamarnya. Di situ ada gulungan kertas yang kemudian diberikannya padaku. Dia pun meminta aku membukanya di rumah. Aku pun mengangguk dan tersenyum padanya serta tak lupa mengucapkan terimakasih padanya. Sampai di rumah aku membuka gulungan kertas, ternyata isinya adalah gambar diriku yang membawa seeikat bunga dan nada tulisan untuk bu guruku tersayang. Tanpa terasa air mataku kembali jatuh. Biarlah, mungkin kami MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 63
sekarang jauh secara fisik tapi kita dekat di doa. Doaku selalu untuknya pejuang hebat dengan sakitnya. Ia selalu mengganggap sakitnya adalah anugerah karena dengan sakitnya dia semakin dekat dengan Sang Pencipta. Sehingga dia selalu berusaha mempersiapkan diri untuk mencari bekal di akhirat nanti. Terimakasih penulis hatiku, banyak pelajaran berharga darimu muridku tersayang. 64 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Biografi Penulis Irma Mulyanti. Lahir di Malang, 28 April 1983. Putri pasangan Mulyantoro dan Sunarmi ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Saat ini telah menjadi seorang istri dan ibu dari 3 orang anak yang lucu-lucu. Masa kecil sampai sekarang menempuh pendidikan di Kota Malang. Pendidikan S1 di tempuh mulai tahun 2001 di Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Sejarah dan S2 tahun 2016 di Universitas Kanjuruhan Malang. Saat ini bekerja sebagai PNS dan mengajar di MTsN 1 Kota Malang. Perjalanan yang panjang sampai akhirnya mengajar di madrasah. Sejak kecil suka sekali membaca dan mencatat semua kegiatannya dalam sebuah diary dan tidak pernah membayangkan menjadi penulis. Tapi pada akhirnya ingin menulis karena ada yang mengatakan kalau kamu ingin dikenang lama dan tetap hidup, maka menulislah. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 65
Bagian Lima Anak Bermata Bulat Nisfa Azizah Idrus Namaku Annisa, perempuan, usia 24 tahun baru saja lulus dari salah satu perguruan tinggi di kotaku. Pagi ini, berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Dengan setelan seragam PSH ini, rasanya aku jauh lebih dewasa dari usiaku atau lebih tua ya (hehehe). Hari ini adalah hari pertama aku masuk kelas setelah aku diterima menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Darut Tarbiyah. Pasti ada banyak hal baru, seru, dan banyak tantangan yang harus aku hadapi dan aku taklukan. Meskipun sewaktu masih menjadi mahasiswa aku juga pernah praktek mengajar di beberapa sekolah. Nervous? Pasti lah, bahkan ketika di depan anak-anak, semua yang semalam aku pelajari tiba-tiba hilang semua. Apalagi waktu baru pertama masuk aku di dampingi guru senior, super nervous pokoknya. Tapi bukan Annisa namanya jika harus menyerah begitu saja (cieee…). Berbekal dari aktif diorganisasi kampus dulu, itu benar-benar membantuku mengontrol rasa nervous itu. 66 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Dan, akhirnya saat itupun datang, saat memegang daun pintu kelas, deg-degan banget rasanya. Ruang kelas ukuran 8 x 7 meter bercat krem yang sudah agak kusam dengan 32 siswa didalamnya siap menyambutku sebagai guru baru mereka. Ya, satu kelas dengan 32 siswa? Lumayan berat, batinku. “Assalamu‟alaikum semuanya, perkenalkan nama ibu, Annisa, panggil saja ibu Nisa. Nanti ibu akan mendampingi belajar kalian di kelas 2 ini…”, aku mengawali menyapa mereka. Dengan antusias mereka menyambutku, menjawab setiap pertanyaanku, memperhatikan setiap materi, dan aktif bertanya kepadanya, kecuali satu siswa di pojok belakang kelas. Anak dengan baju lusuh dan kusam itu menatapku dengan tatapan kosong. Saat temannya tertawa, dia diam. Saat temannya bicara, dia diam. Saat temannya bermain pada jam istirahat, diapun diam. Bahkan saat temannya berebutan ingin berjabat tangan denganku ketika usai pelajaranpun, dia diam. Diam tanpa ekspresi dan seperti hidup dalam dunianya sendiri. Usai pelajaran, aku dekati dia, dan dia hanya diam menatapku saat aku tanya. “Assalamu‟alaikum, boleh bu guru duduk di kursi ini?” kataku sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Dia hanya mengangguk. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 67
“Anak sholehnya bu guru ini, namanya siapa?” tanyaku. ”Firnas,” dia menjawab singkat. “Oh, Firnas, bagus banget namanya, sepertinya bu guru pernah dengar nama itu…” terangku. Firnas menoleh kearahku dengan rasa ingin tahu. “Benarkah?” tanyanya. “Iya, Ibnu Firnas, seorang ilmuwan muslim yang sangat hebat, penerbang pertama dunia,” jawabku. “Benarkah?” tanyanya seolah tidak percaya. “Siapa itu Ibnu Firnas, bu? Boleh aku mengenalnya?” tanyanya lagi. “Boleh, tapi dengan satu syarat, mau?” sambungku. “Syaratnya, Firnas harus mau bicara ketika ibu tanya waktu pelajaran ya…” kataku lagi. Aku lihat kedua mata anak ini menyiratkan semangat yang luar biasa. “Baik bu…” Firnas menjawab. Lalu dia tersenyum dan mencium tanganku dan berpamitan untuk pulang. 68 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Setelah satu pekan berjalan, pagi ini, kegiatan pembelajaran diawali dengan muhafadzah suratan pendek di juz 30 Al Qur‟an. Dilanjut dengan membaca bersama-sama asmaul husna. Semua anak-anak terlihat antusias, kecuali Firnas, anak muridku yang duduk di pojok kelas belakang. Dia terlihat diam seperti biasa. Saat aku menatap matanya, dan memanggil namanya, Firnas baru menjawab. Dan itu terjadi sampai pembelajaran selesai, anak muridku yang berambut lurus dan bermata bulat ini hanya akan bicara ketika aku tanya. Seusai pelajaran, ketika anak-anak lain sudah mulai berpamitan pulang ketika dijemput ibunya, Firnas, si anak bermata bulat ini mendekatiku. “Ibu, hari ini Firnas sudah mengikuti permintaan ibu untuk menjawab pertanyaan ibu, jadi firnas sudah bisa kenalan dengan Ibnu Firnas?” tanyanya. MasyaAllah…anak ini, sulit untuk mendeskripsikan bagaimana anak ini di otakku. Jadi, dia mau menjawab pertanyaanku selama pelajaran tadi karena itu syarat agar dia bisa kenalan dengan Ibnu Firnas? MasyaAllah…batinku. Aku tersenyum, menyuruhnya duduk di kursi depanku. “Baik anak sholeh, ibu akan mengenalkan Firnas dengan Ibnu Firnas. Ibnu Firnas adalah ilmuwan muslim yang berasal dari Andalusia, sekaramg terkenal dengan nama MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 69
Spanyol, di Eropa. Ibnu Firnas adalah seorang dokter, ilmuwan, insinyur, penyair, sekaligus musisi. Keren banget kan?” aku menceritakan. Firnas dengan seksama mendengarkan ceritaku, mata bulatnya berbinar, aku lihat ada harapan di kedua mata bulatnya. “Firnas, namamu diambil dari nama ilmuwan muslim yang sangat terkenal bahkan ilmunya dipelajari sampai sekarang oleh orang-orang Eropa, ibu yakin, Firnas pasti juga hebat seperti Ibnu Firnas” tambahku. “Ibu, benarkah Firnas bisa menjadi hebat seperti Ibnu Firnas?” tanyanya. “Pasti, ibu yakin, Firnas bisa, asalkan Firnas sekarang lebih rajin lagi belajarnya, bisa lebih aktif ketika di kelas, dan ibu yakin teman-temannya Firnas pasti mau berteman dengan Firnas” aku menjelaskan dengan seksama. Istirahat tiba, anak-anak berhamburan keluar kelas untuk membeli jajanan di kantin sehat madrasah. Madrasah kami memang memiliki kantin sehat yang dikelola oleh madrasah, dimana jajanan yang ada adalah titipan dari beberapa wali murid. Bergegas aku keluar kelas, menyusuri lorong menuju kantor. Di pojok tangga yang menuju ke bawah, aku melihat Firnas, anak bermata bulat itu sedang duduk sendiri. Kemudian aku menghampirinya. “Firnas gak jajan?” tanyaku. 70 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Dia hanya menggeleng. “Firnas sangu uang berapa?” tanyaku menyelidik. Dia menggeleng lagi. “Tidak bawa uang saku?” tanyaku lagi. “Mbah gak punya uang Bu…” jawabnya jujur. Aku lihat semburat kesedihan di mata bulatnya. Aku langsung mengeluarkan dua lembar uang ribuan dan aku serahkan pada Firnas, setelah mengucapkan terimakasih dia pergi. Firnas benar-benar membuatku merasa penasaran, untuk tahu lebih dalam siapa dan bagaimana anak itu. Di kantor, aku sempatkan menanyakan kepada walikelas Firnas sebelumnya di kelas 1. Dari walikelas sebelumnya, aku dapat informasi, bahwa selama ini Firnas tinggal bersama dengan neneknya. Sedangkan ayah sudah meninggal, dan ibunya sekarang bekerja di ibu kota Jakarta untuk membiayai hidup anak-anaknya. Firnas mengalami keterlambatan beberapa kemampuan termasuk kemampuan membaca dan menulis. Bahkan sampai saat ini dia belum bisa membaca dan menulis. Huruf juga belum paham padahal sudah naik ke kelas 2, dan dulu sudah pernah test IQ oleh psikolog, didapatkan hasil bahwa Firnas mempunyai IQ normal, tapi digreat yang terendah. Itu yang selama ini menyebabkan dia kesulitan menangkap pelajaran dan komunikasi dengan teman- temannya. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 71
Kembali aku mengingat mata bulat itu, mata yang berbinar ketika aku menceritakan tentang Ibnu Firnas, mata menyiratkan harapan bahwa dia sangat ingin menjadi seperti Ibnu Firnas, ilmuwan muslim yang tersemat dalam namanya. Senin ini adalah minggu ke empat aku menjadi guru kelas bagi anak-anak didikku di kelas 2 ini. Jumlah 32 siswa, dengan 32 karakter dan kemampuan yang berbeda, dan yang teristimewa adalah Firnas, anak bermata bulat dan berkulit sawomatang itu. Huruf demi huruf, kata demi kata mulai tereja dari mulutnya. Sebagai guru yang mendampinginya belajar, aku merasa senang sekali, karena meski belum selancar teman-temannya dalam membaca, tapi paling tidak sudah ada progress yang bagus dalam kemampuan membaca Firnas. Melihat progress kemampuan Firnas yang semakin meningkat, aku berpikir untuk membelikannya sebuah buku. Buku yang mungkin bisa menumbuhkan semangat yang lebih lagi untuk belajar. Suatu pagi aku membawa sebuah buku yang berisi tentang ilmuwan-ilmuwan muslim dunia, yang didalamnya terdapat juga biografi Ibnu Firnas, buku itu sengaja aku hadiahkan pada Firnas karena sudah banyak sekali kemajuannya dalam kemampuan membaca dan manulis. Binar kebahagiaan terlihat dari wajahnya ketika aku menyerahkan buku itu. 72 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
“Firnas, ibu punya hadiah untuk Firnas, sebuah buku bacaan, kalau Firnas sudah bisa membaca dan memahami isi buku ini, ibu akan memberikan buku yang lain lagi” ucapku. Firnas menerima buku pertama dengan sangat senang dan berjanji untuk membacanya nanti di rumah. Setiap hari sabtu di akhir bulan, adalah jadwal setoran hafalan tiap siswa. Biasanya tiap siswa minimal setor satu surat pendek setelah selama 4 minggu mukhafadhah tiap pagi. Dan pagi ini, satu persatu anak-anak maju dengan membawa kartu hafalan masing-masing. Target hafalan di kelas 2 minimal adalah sampai surat Al Qori‟ah, dimulai dari surah Al Kautsar, tetapi untuk siswa yang memiliki kemampuan lebih bisa melebihi dari hafalan yang ditargetkan. Satu persatu siswa maju untuk setoran hafalan, ada yang sudah lancar sampai sampai surah Al Ma‟un, ada yang baru setoran surah Al kautsar, dan bahkan ada yang sudah surah Al Humazah dan dan Al „Asr. Setelah beberapa jam berlalu, hampir semua siswa sudah maju untuk setoran hafalan, tapi satu anak yang masih belum maju. Ya, anak istimewa yang terlihat diam duduk di pojok belakang kelas, Firnas. Setelah semua temannya maju, Firnas maju dan setoran hafalan. Ayat demi ayat terlantun dari bibirnya. Merdu di telinga, meresap sejuk di hari. Subhanallah… MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 73
semakin yakin dengan kekuasaan Allah, bahwa setiap insan yang Allah ciptakan, pasti mempunyai kelebihan masing- masing. Masih tentang Firnas yang masih melantunkan QS Al Humazah dengan begitu lancar dan merdu. Anak, yang menurut teman-temannya tidak punya keistimewaan, anak yang sering minder karena merasa tidak mampu secara ekonomi dan tidak pandai di kelas, ternyata hafalannya bisa sebagus dan selancar ini. Teringat dengan firman Allah dalam QS At Tin ayat 4, yang artinya, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Allah maha pencipta, maha segala-galanya, mengetahui semua hal yang ada di bumi dan di langit. Manusia diciptakan dengan istimewa. Setiap individu adalah istimewa, termasuk anak muridku yang satu ini, Firnas. Tak terasa, setahun berlalu dengan begitu cepat. Aku sudah setahun ini mendampingi anak-anak di kelas 2 MI Daruttarbiyah ini. Banyak pengalaman, banyak ilmu, banyak rasa yang aku pelajari. Pagi ini, aku mematut diri di depan cermin. Sabtu ini adalah pembagian hasil raport peserta didik. Saat dimana aku bisa bertemu dengan wali murid yang tentunya punya beragam watak dan sikap, serta beragam profesi dan tingkat ekonominya. Biasanya, moment pembagian hasil belajar ini 74 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
adalah saat yang tepat untuk berkomunikasi dengan wali murid untuk mencari solusi dari persoalan yang ada terhadap anak-anak. Satu persatu wali murid mengambil sesuai nomer urut absensi, setelah hampir tiga jam berlalu, sudah semua wali murid mengambil buku raportnya, kecuali raport milik satu anak, yaitu Firnas. Hampir satu jam aku menunggu wali murid dari Firnas datang mengambil raport, tapi ternyata sampai jam 12.30 tidak ada yang hadir juga. Tepat pukul 12.35, datanglah Firnas, dengan langkah lesu dan wajah yang tertunduk. “Bu guru, Firnas mau minta maaf, Mbah tidak bisa datang ke madrasah ambil raport, Mbah sedang sakit,” kata Firnas. Aku tersenyum, dan mempersilahkan anak istimewa ku ini duduk. “Baik Firnas, gak apa-apa, ini buku raport bisa kamu ambil sendiri,” jawabku. Masih dengan wajah lesu, Firnas kemudian bertanya. “Ibu, apa saya tetap tinggal di kelas 2? Atau saya naik ke kelas 3?” tanyanya. Masya Allah… ternyata wajah mendungnya sedari tadi karena dia berpikir bahwa dia tidak akan naik kelas. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 75
“Firnas, Ibu selalu yakin dengan kemampuanmu. Ibu selalu yakin bahwa Firnas bisa mendapatkan yang lebih lagi, asal Firnas terus belajar. Selama belajar dengan Ibu, Firnas sudah banyak kemajuan. Sudah mulai mengeja kata dan sudah mulai bisa membaca. Terus belajar ya, pasti Firnas bisa,” jelasku. “Ibu sangat yakin Firnas pasti mampu, karena diantara sekian teman-teman yang menyelesaikan mukhafadhoh Juz „Amma, Firnas adalah salah satu siswa dengan hafalan yang terbanyak dan terlancar. Selamat ya, terus kembangkan bakatmu, kembangkan kemampuanmu, ibu yakin Firnas pasti bisa,” tambahku memberi motivasi. Firnas tersenyum, matanya berbinar, seraya menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku. “Terima kasih Bu…” ucap Firnas. Lega rasanya, senang rasanya, bisa menyelesaikan tugas mendampingi anak-anak selama satu tahun pelajaran ini. Sore ini, seperti biasa aku mencari keringat dengan bersepeda melalui pematang sawah di desa ku. Padi sudah mulai menguning, kulihat para petani sedang membunyikan rangkaian kaleng bekas yang dipasang di atas sawah untuk mengusir burung-burung yang memakan bulir-bulir padi. Udara berhembus semilir mengibarkan ujung kerudungku, agak jauh dari pandanganku, kulihat seorang anak lelaki 76 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
dengan cekatannya menerbangkan layang-layang dengan pola pesawat. Aku lihat berkali-kali anak tersebut gagal menerbangkan, tapi untuk kesekian kalinya, akhirnya layang- layang itupun terbang. Dengan sabar, anak itu tarik ulur melalui benang layang-layang. Terlihat senyum kepuasan dari wajahnya ketika layang-layang terbang tinggi. Aku terkesiap, itu Firnas, anak didikku, pemilik mata bulat itu. Aku mendekatinya, dengan rasa bangga dia melihat kearahku. “Ibu, hari ini aku bisa menerbangkan layang-layang, suatu hari nanti aku akan menerbangkan pesawat, aku Firnas, akan seperti Ibnu Firnas,” katanya penuh riang. Tak terasa mataku berkaca-kaca, bangga menyeruak dalam dada, apapun keadaannya, bagaimanapun kondisinya, setiap anak punya hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap anak istimewa dengan kemempuan mereka masing-masing. Pendidik adalah membimbing, mendampingi anak-anak mendapatkan ilmu pengetahuan. Aku bertekad untuk menjadi membimbing proses belajar anak-anak didikku dalam mendasari pengetahuan mereka. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 77
Biografi Penulis Nisfa Azizah Idrus, S.Pd.I., adalah seorang kepala madrasah di MI Darwata Glempang. Menjadi guru sejak tahun 2005 dan menjadi kepala madrasah sejak tahun 2016. Sewaktu menjadi guru pernah mengikuti lomba inovasi guru dan memperoleh juara ke-3 yaitu dengan inovasinya pada pembela- jaran Bahasa Indonesia materi menemukan kalimat utama dan ide pokok dengan gaya “SAVI”. Sejak menjadi guru di tahun 2005, Ketertarikannya menulis sudah terlihat sejak mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan di waktu luang, sering digunakan untuk menulis. Tahun 2020 ini adalah kali pertamanya mencoba menulis karya antologi berdasarkan pengalaman selama 15 tahun mengabdi menjadi guru. 15 tahun mengajar, ada beragam watak, kemampuan, dan karakteristik siswa yang membuatnya tertarik untuk menuliskannya menjadi sebuah cerita. Mau mengenal lebih jauh dengan Nisfa Azizah Idrus? Fb: Nisfa Azizah Wibowo WA: 085601237502 Email: [email protected] 78 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Bagian Enam Kebersamaan Itu Indah Suhelli Pagi yang cerah aroma tanah yang basah karena hujan semalam memberi kesegaran di pagi ini. Ditambah lagi dengan matahari pagi yang memancar cerah membuat embun-embun didedaunan berkilauan bak permata, menambah semangatku segera bergegas untuk bekerja. Perlahan aku memasuki gerbang madrasah tempat aku bertugas, bertegur sapa dengan beberapa teman yang duduk di meja piket sambil mengisi absensi pada hari ini. Sayup-sayup terdengar bunyi bel dari kejauhan pertanda kelas segera dimulai. Hari ini tahun pelajaran baru aku dipercayakan kembali menjadi wali kelas V. Seperti biasa aku selalu bersemangat saat hari pertama masuk kelas karena aku selalu bertanya-tanya, bagaimana karakter siswa dikelas baruku yang akan belajar satu tahun kedepan bersamaku. Tentunya, siswa dengan beragam karakter dan latar belakang yang berbeda. Siswa yang akan menjadi bagian dari perjalanan karirku yang akan selalu ada dalam setiap doaku. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 79
Setiap tahun aku akan memiliki kenangan tersendiri dengan murid-muridku, kenangan indah itu akan tersimpan dengan rapi di dalam memori dan akan selalu dikenang. Kali ini aku akan menceritakan tentang muridku di kelas Ibnu Sina I TA. 2019/2020. Mereka yang akan bersamaku satu tahun kedepan melewati hari bersama-sama dan berharap mereka akan menjadi anak yang berguna bagi bangsa, agama dan negara. *** Di halaman depan tampak beberapa anak sedang berkumpul mencari nama mereka di papan pengumuman. Samar-samar aku mendengar bisikan dari beberapa murid yang bertanya ke temannya dia masuk ke kelas mana. Ada juga sebagian yang cemberut karena berpisah dengan teman dekatnya karena mereka tidak sekelas lagi. Setiap tahun murid akan diroker agar terjadi suasana yang baru dan mereka juga memiliki teman-teman yang baru dan saling mengenal satu sama lain. Sekolahku memiliki seribu lebih murid, wajar jika mereka ada yang tidak saling mengenal satu sama lain. Maka dilakukanlah perokeran ini sesuai dengan peringkat yang mereka peroleh. Hal ini dilakukan bukan untuk membeda- bedakan mereka akan tetapi agar memudahkan mereka untuk belajar saat menerima pelajaran. Kita mengetahui kemampuan anak dalam menerima pembelajaran itu berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat. 80 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
Jika murid yang cepat digabungkan dengan murid yang lambat maka mereka akan selalu ketinggalan. Biasanya di kelas yang unggul akan dilakukan pengayaan untuk mengasah daya pikir mereka sedangkan dikelas yang lain akan dilakukan remedial. Di kelas tersebut aka ada seorang guru pendamping yang akan membantu wali kelas. Biasanya perokeran seperti ini banyak anak-anak yang tidak aktif di kelas sebelumnya menjadi aktif dan tak jarang dari mereka menoreh prestasi dan bergabung ke kelas unggul untuk tahun depannya. Akupun menaiki tangga tepat di depan kantor dewan guru, kelas V terletak dilantai dua. Aku berjalan melewati koridor lantai dua dengan hati yang gembira menyambut murid baruku yang sebenarnya mereka bisa dikatakan bukan sepenuhnya baru mengenalku. Karena aku juga ikut mengajarkan beberapa dari mereka untuk mengikuti perlombaan-perlombaan yang diadakan dan mereka mewakili sekolah untuk mengikuti perlombaan tersebut. Tepat di depan kelas aku berhenti sejenak mengatur langkah untuk masuk kedalam kelas. “Assalamu‟alaikum!” ucapku saat langkah pertama memasuki kelas. “Wa‟alaikumsalam!” jawab mereka serempak. Setelah berbincang sejenak menanyakan kabar mereka selama liburan kenaikan kelas. Lalu aku mulai MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 81
memrperkenalkan diri diikuti dengan muridku yang juga memperkenalkan diri satu persatu sambil menyebutkan alamat tempat mereka tinggal. Setelah melewati perkenalan kemudian pemilihan ketua kelas pun dimulai. Pemilihan yang dilakukan dengan cara musyawarah. Aku memilih metode dengan cara menuliskan nama para calon ketua kelas di papan tulis. Mereka cukup menulis nomor urut calon ketua kelas disecarik kertas yang aku bagikan. Setelah mereka menulis nomor urut pilihan mereka akupun mulai membuka satu persatu kertas yang telah dikumpulkan seraya menceklis di papan tulis. Suasana tegang tercermin dari wajah mereka, namun sesekali aku mengajak bercanda. “Bagaimana, siapa kira-kira yang akan menjadi ketua kelas kita!” candaku memecah ketegangan diraut wajah mereka. Merekapun menjawab calon yang dijagokan masing- masing. Akhirnya terpilihlah ketua kelas, seorang perempuan yang ia juga menjabat ketua kelas saat dikelas IV dulu. Zamira namanya, anaknya lugas juga sang juara pada perlombaan bercerita dalam festival anak shaleh, ulet dan periang. Dengan wakilnya bernama Riffat yang juara taekwondo dan juga aktif dipaskibra. Zamira beserta perangkat kelas yang terpilih berkomitmen akan melaksanakan tugas dengan sebaik- 82 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
baiknya, mereka juga meminta bantuan dan dukungan dari teman-teman untuk bekerjasama. Motto dari kelas kami adalah “Never Give Up” yang artinya tidak akan mudah menyerah walau rintangan apapun yang menghadang. Hal itu memang sangat terlihat dari semangat mereka yang luar biasa. Rata-rata murid dikelasku adalah murid yang memiliki segudang prestasi, dan sebagian yang lain walaupun belum bisa menorehkan prestasi di sekolah, mereka adalah anak-anak yang luar biasa yang memiliki motivasi untuk maju. Motto tersebut tercipta saat kami ingin mendekor ruangan kelas, salah satu dari mereka mengusulkan untuk menggunakan kata never give up. Dikarenakan mereka memiliki motivasi untuk selalu maju dan mereka semua berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita dan harapan mereka. Akhirnya kata never give up terpajang di dinding belakang kelas kami, tulisannya pun hasil kreasi mereka yang dihias sedemikian rupa. Dengan bakat yang variatif dari mereka, mulai dari si pendiam yang selalu membuat teman-teman kepo (rasa ingin tahu) dengan apayang ia lakukan sampai si humoris yang selalu mencairkan suasana. Juga si teladan yang selalu ingin semuanya perfect sampai si usil yang senang menggoda teman-teman yang bekerja. Lengkaplah sudah kelas kami ini. Hari-hari kami lewati dengan berbagai kejadian yang pada akhirnya menjadikan sebagai pengalaman baru yang akan menjadi kenangan indah. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 83
*** Pada saat jam istirahat ibu kepala madrasah mengumumkan bahwa akan diadakan market day. Program baru yang mendapat sambutan luar biasa, terlihat dari wajah para murid yang begitu antusias. Tentu saja hal ini tidak akan dilewatkan oleh murid-muridku, mereka sangat senang dengan hal-hal baru. Saat aku memasuki ruangan, mereka sudah menanti dengan wajah yang sangat bersemangat dengan berbagai menu yang telah mereka siapkan untuk mengikuti market day. Agar terkoordinir dengan baik maka dipilihlah tiga orang yang menjaga stand sehingga makanan dapat dijajakan dan disajikan dengan baik. Sedangkan lainnya membantu mengawasi, bahkan ada ide dari salah satu muridku yang terkenal dengan kelucuannya. Dia ingin menjadi promotor sambil memakai aksesoris yang dibuatnya sendiri dengan berteriak-teriak memanggil pelanggan agar mau membeli jajanan yang telah mereka buat. Suasana begitu meriah dan mereka terlihat begitu bahagia dengan pengalaman baru mereka hari ini. Hari itu aku bisa melihat mereka menemukan banyak pengalaman. Mulai dari menyiapkan meja dan menghiasnya agar terlihat menarik hingga bekerjasama mengatur hidangan di atas meja. Bahkan ada dari mereka yang berinisiatif membuatkan kotak khusus tempat memasukkan uang persis seperti loker kasir yang ia buat dari kardus bekas. Sungguh mereka sangat kreatif padahal aku hanya memberikan sedikit 84 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
arahan dan menerangkan beberapa ide, tetapi mereka mampu menuangkannya dalam ide-ide yang baru. Mereka membuat jajanan dari berbagai olahan tepung dan beberapa minuman yang sudah dimodifikasi dengan berbagai varian rasa. Juga beberapa pudding yang mereka buat dengan fla yang menggugah selera. Syarat makanan/minuman yang disajikan tidak boleh melebihi harga lima ribu rupiah, makanan sehat, bebas dari bahan pengawet dan dibungkus secara hieginis. Akhirnya jajanan yang mereka buat habis tak bersisa, dan mereka kembali ke kelas setelah membersihkan meja tempat mereka menyajikan hidangan. Mereka menghitung hasil dari penjualan bersama-sama dengan membawa kotak kasir ke dalam kelas. Setelah menghitung hasil penjualan dan mengetahui jumlah keuntungan dari berjualan, mereka menyerahkan hasil keuntungan itu kepadaku. Disinilah aku mulai memainkan peranku sebagai wali kelas mereka setelah dari tadi aku melihat cara kerja mereka sambil mengarahkan mereka saat mereka berjualan. Aku sangat ingin mereka memiliki sikap sosial berbagi dengan sesama. ”Anak ibu semuanya, di tangan ibu ini adalah laba atau keuntungan dari hasil penjualan dan kerja keras kalian semuanya pada market day hari ini. Nah, mau kalian apakan keuntungan ini?” tanyaku pada mereka. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 85
Jawaban yang ditawarkan bervariatif, ada yang menjawab dibagi rata saja hasil penjualannya, ada yang mengatakan agar hasil penjualan dijadikan penambahan untuk kas kelas, dan ada juga yang mengusulkan agar dishadaqahkan saja. Aku menampung semua pendapat mereka. Saat ada salah satu dari mereka yang mengusulkan untuk di shadaqahkan, dalam hati inilah jawaban yang aku harapkan. Suasana masih riuh dengan berbagai pendapat yang mereka usulkan, akhirnya aku mengambil kendali. “Anak ibu mau tidak mendengarkan sebuah cerita?” kataku. “Mau, Bu!” jawab mereka serempak. Tentu saja mereka sangat menggemari mendengar cerita ataupun sebuah kisah-kisah motivasi yang sering aku selipkan saat mereka mulai bosan saat belajar. Biasanya setelah mendengarkan cerita dariku mereka akan semangat kembali mengikuti pelajaran. Kisah yang aku cerita kali ini tentang hikmah bershadaqah. Aku menceritakan hikmah apa saja yang diperoleh dari seseorang yang gemar bershadaqah. Dengan bershadaqah Allah akan memudahkan rizki kita, membukakan pintu ilmu untuk kita dan banyak lagi lainnya sampai kepada kisah sahabat Nabi Abdurrahman Bin Auf 86 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
yang terkenal dengan kedermawanannya. Mereka mendengarkan dengan seksama. Setelah mereka mendengarkan kisah yang aku ceritakan, tanpa basa basi mereka langsung mengatakan bahwa mereka sepakat agar keuntungan dari berjualan tadi dishadaqahkan. Aku bersyukur memiliki mereka yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi mereka juga memiliki kecerdasan secara spiritual. Inilah yang membuat aku selalu merindukan mereka. Market day telah mengajarkan banyak hal untuk mereka. Selain menumbuhkan jiwa kewirausahaan juga menumbuhkan sikap amanah yaitu saat mereka mengemban kepercayaan dari teman-teman yang telah membuat kue untuk dijualkan. Sikap jujur yaitu saat mereka melakukantransaksi jual beli, tanggung jawab yaitu melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sampai semua jajanan terjual habis dan juga sikap dermawan yaitu mengikhlaskan keuntungan dari penjualan dipergunakan untuk bershadaqah. Dengan kegiatan Market Day ini juga mengajarkan mereka bahwa manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tidak bisa hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lain. Memberi makna bahwa saling bekerjasama dalam melakukan setiap kegiatan akan menjadikan kegiatan tersebut menjadi lebih mudah selesai, menjadi lebih ringan karena dilakukakan bersama-sama dan juga menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan. MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 87
Bel pun telah berbunyi tanda pelajaran hari ini telah usai, mereka bersiap-siap untuk pulang setelah sebelumnya mereka membacakan doa. *** Hari Jumat penuh dengan keberkahan, seperti biasanya di sekolah kami mengadakan pengajian surat Yasin besama-sama yang biasanya dilakukan di halaman depan sekolah. Kebetulan Jumat ini adalah giliran kelas V Ibnu Sina 1 yang memimpin bacaan surat Yasin di panggung kehormatan. Sejak dari pagi hujan deras tapi mereka sudah hadir dan mengisi panggung dengan mengatur deretan-deretan bangku kecil yang akan digunakan untuk meletakkan Al Quran saat mereka mengaji. Pengajian surat Yasin kali ini aku percayakan kepada Syawal untuk memimpinnya. Teman-temannya menjuluki dia dengan panggilan syaikh. Setelah memimpin surat Yasin dia dan teman-temannya membacakan shalawat secara bersama- sama. Shalawat dibacakan dengan kompak terdengar begitu syahdu membuat hati merindu. Diikuti tausiah yang disampaikan oleh Kayyisah yang selalu mengikuti kompetisi pidato Bahasa Arab dan juga pandai dalam menggambar. Kelasku penuh dengan anak-anak yang luar biasa, Ariny sang juara pidato putri pada acara Fasi (Festival Anak Shaleh), Zamira yang pandai dalam Story Telling (bercerita), Nawfal yang ahli di bidang matematika. Dan banyak lagi lainnya dari mereka yang memiliki prestasi tidak hanya 88 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
dibidang keilmuan akan tetapi memiliki kemampuan dibidang olah raga seperti memanah dan taekwondo. Dibidang senipun tidak ketinggalan Hania yang jago hadrah juga Rachel dan Falisha yang pandai menggambar. Dibidang sains aku memiliki Sri Amrina dan Ahmad Naim yang sangat gemar bereksperimen. Mereka sering membuat sesuatu dari bahan-bahan bekas, juga Nazfil yg sangat tertarik dengan ilmu sains. Mereka semua memiliki keistimewaan khususnya di hatiku walikelas mereka. Semangat pantang menyerah yang mereka miliki membuat aku juga bersemangat. Beberapa saat setelah selesai tausiah diumumkan suatu perlombaan sebagai ajang memotivasi siswa dalam melaksanakan shalat berjamaah. Selama ini shalat berjamaah telah dilaksanakan secara rutin dengan pembagian secara bershift pertingkatan kelas. Dikarenakan mushala yang kami miliki berukuran kecil dan tidak menampung siswa yang mencapai seribu lebih. Walau pelaksanaan shalat berjamaah selama ini telah dilakukan, tetapi pemaksimalan pelaksanaan shalat jamaah pada saat tidak mendapat giliran di mushala belum berjalan seperti yang diharapkan. Untuk menjadi juara tentu harus memiliki strategi yang tepat dan menyiapkan kelengkapan untuk shalat. Seperti tikar yang harus ditambah karena tikar yang ada sebelumnya berukuran kecil, sehingga tidak muat untuk melaksanakan shalat berjamaah. Dengan sigap warga kelas Ibnu Sina 1 (panggilan akrabku terhadap mereka karena mereka adalah sebuah keluaraga) mempersiapkan semua agenda yang akan MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 89
mereka lakukan tanpa menunggu aba-aba dariku. Mereka langsung mengatakan bahwa kami kekurangan tikar jika harus berjamaah, mereka meminta bendahara kelas untuk membelikan tikar baru. Aku pun membuat daftar imam untuk shalat berjamaah agar tertib. Para panitia perlombaan mengontrol setiap kelas pada saat shalat Dzuhur tiba dan mencatat kelas yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Pencatatan ini berjalan sampai 1 bulan dan akan diumumkan pada hari Jumat saat setelah pengajian surat Yasiin. Seperti biasanya setiap hari Jumat di sekolahku mengaji surat Yasin secara bersama-sama. Jumat kali ini terlihat berbeda dari biasanya dikarenakan hari ini akan diumumkan perlombaan kelas yang rutin melaksanakan shalat jamaah. Setelah mendengarkan tausiah dan bershalawat dari petugas panggung kehormatan, petugas piket pada hari itu pun mengambil alih acara untuk membacakan pengumuman dari perlombaan tersebut. Dengan hati yang berdebar-debar dan jantung yang berdegup kencang para muridku menanti pengumuman tersebut. Apalagi yang membacakan pengumuman sangat piawai dalam membuat suasana semakin tegang dengan intonasi dan kata yang diucapkan. Yeee! yeee! Teriak mereka senang dengan serempak dan langsung merubahnya dengan mengucapkan Alhamdulillah saat mereka melirik kearahku yang tersenyum kearah mereka. Aku mengucapkan syukur bahwa kerja keras mereka dan kedisplinan serta tanggung jawab mereka membuahkan hasil dengan memperoleh juara pertama dalam 90 | MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI
lomba shalat berjamaah. Saat pengambilan piala aku persilakan salah satu dari mereka untuk naik ke atas panggung untuk penerimaan piala yang diberikan oleh ibu kepala madrasah. Piala ini adalah piala pertama untuk kelas kami pada tahun ini. Di dalam kelas rasa senang masih terasa dan terpancar dari wajah mereka, saat aku memasuki kelas dengan spontan mereka berlari kearahku untuk menceritakan apa yang mereka rasakan, aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini mendengarkan mereka satu persatu bahkan kadang telingaku harus siapuntuk mendengar mereka serentak, persis sama seperti ketika ketiga anakku bercerita secara serempak padaku tentang semua kegiatan yang mereka lakukan saat aku pulang kerja. Murid-muridku sudah kuanggap seperti anakku sendiri, aku mencintai mereka seperti anakku sendiri. Aku tidak pernah membedakan mereka, bagiku mereka semua sama yang salah akan mendapat hukuman dari apa yang telah mereka lakukan, tentu saja hukuman edukasi. Begitu juga yang membuat kebaikan akan selalu mendapat reward. Terhadap mereka aku berperan ganda sebagai guru juga sekaligus orang tua mereka. Dan ini sangat menyenangkan buatku Aku berpikir mendidik mereka bukan hanya sekedar memberikan teori yang ada di kurikulum. Mereka akan hidup di dunia nyata, menghadapi berbagai tantangan yang kadang tidak seindah harapan. Aku selain mengajarkan sesuai MENDIDIK DENGAN SETULUS HATI | 91
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210