Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PENYU KECIL DI PUNCAK MENARA

PENYU KECIL DI PUNCAK MENARA

Published by Tasbihah, 2022-10-31 09:58:25

Description: CERITA ANAK ISLAMI GUMALIS

Search

Read the Text Version

Penyu Kecil di Puncak Menara Editor : Etik Fadhilah Ihsanti Lila Supriyatin - Iqbal Al Basith - Susiyanti - Nur Laeli - Musrifatul Ulumi Rr. Syarifah Hani’ah - Alfi Hidayati - Yeti Purwaningsih – Narti Arif Rahman - Susanto - Delfi Florida Beauty - Wiji Isisih - Uswanti - Hafidah Khusnul Khotimah - Warjiyah - Admiral Fayyad Fauzie - Misbahus Surur Hibatun Wafiroh - Tasbihah i

Penyu Kecil di Puncak Menara Cetakan Pertama: Juli 2021 Surabaya, Jawa Timur Penulis : Lila Supriyatin - Iqbal Al Basith - Susiyanti - Nur Laeli - Musrifatul Ulumi Rr. Syarifah Hani’ah - Alfi Hidayati - Yeti Purwaningsih -Narti Arif Rahman - Susanto - Delfi Florida Beauty - Wiji Isisih – Uswanti Hafidah - Khusnul Khotimah - Warjiyah - Admiral Fayyad Fauzie Misbahus Surur - Hibatun Wafiroh - Tasbihah Editor : Etik Fadhilah Ihsanti, M.S.I., M.Pd. Penyunting : Chotib, M.S.I. Desain Cover : Kanaka Media Sumber Gambar : diolah dari pixabay.com, pexel.com dan pinterest.com Penerbit: CV. KANAKA MEDIA Surabaya, Jawa Timur Email : [email protected] IG : katalog_knk FB : Kanaka Media Telp/WA : 0895384076090 ISBN: 978-623-258-713-7 Tebal: 200 hlm; A5 Hak cipta dilindungi undang-undang. dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penulis dan penerbit. ii

Penyu Kecil di Puncak Menara iii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9: 1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan. Ketentuan Pidana Pasal 113: 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500. 000. 000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegan g Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1. 000. 000. 000,00 (satu miliar rupiah). 4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000 000,- (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). iv

Berkarya Tanpa Batas Menebar Manfaat Untuk Sesama Komunitas GUMALIS (Guru Madrasah Menulis) Kabupaten Cilacap merupakan komunitas yang menfasilitasi para guru madrasah di Kabupaten Cilacap untuk mengembangkan keterampilan menulisnya, mengekspresikan ide-ide kreatif sesuai kompetensi yang dimilikinya. Komunitas GUMALIS Cilacap lahir pada tanggal 18 Desember 2020 dan diresmikan pada tanggal 20 Maret 2021. Visi Komunitas yang kreatif, inovatif, semangat menyebarkan kebermanfaatan melalui tulisan. Misi 1. Mengembangkan kualitas sebagai penulis 2. Membangun Shilaturahmi antar penulis 3. Menjadi penggiat literasi Narahubung : Tasbihah : 087803643381 Nisfa Azizah :085601237502 v

Kata Pengantar Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto Imajinasi apa yang menyeruak dalam pikiran kita ketika membaca frasa penyu kecil? Pasti akan seputar dunia binatang kecil yang lucu dan menyenangkan, berjalan pelan dan mengesankan di pantai, berenang di lautan dengan tertatih-tatih, atau bisa juga saling berkejaran dengan teman-temannya untuk sampai kelaut. Semua imajinasi penyu kecil itu sungguh menyenangkan. Kita pun bisa dibuat tersenyum sendiri membayangkannya. Tapi, imajinasi yang menyenangkan itu bisa mendadak runtuh jika frasa penyu kecil itu kemudian ditambah frasa di puncak menara. Sungguh, bagi saya sendiri, puncak menara itu sangat bisa menakutkan jika di pandang dari bawah ke atas atau saat kita di atas dan memandangnya ke bawah. Rasanya bisa membuat jantung jadi lebih cepat berdetak. Apalagi jika yang puncak menara itu adalah penyu kecil. Kita pun pasti sangat takut dan berempati terhadap perasaan penyu kecil yang ada di atas menara sana. Penyu kecil itu pasti sangat bingung, ketakutan, dan tidak berdaya. Kita pun pasti akan merasa sangat kasihan. Kita membayangkan betapa sakit dan akan langsung mati penyu kecil itu jika sampai terjatuh. Maka, dalam keadaan kasihan vi

dan berempati itu, tidak menutup kemungkinan jika kita akan lari dan memanjat menara itu. Tujuannya tentu untuk menyelamatkan penyu kecil itu. Ini semua terjadi karena kita merasa dan meyakini bahwa menara yang tinggi bukan tempat terbaik bagi penyu kecil. Penyu kecil di atas menara adalah persoalan serius dan berbahaya. Dari sinilah, judul buku Penyu Kecil di Puncak Menara sudah mampu membangkitkan imajinasi dan empati kita sebagai pembaca tentang hal yang lucu dan menyenangkan seperti penyu kecil sedang dalam keadaan berbahaya karena berada di puncak menara. Karena keadaan inilah, rasanya kita jadi penasaran untuk menerka dan mereka-reka apa yang akan terjadi pada penyu kecil itu? Apakah penyu kecil itu akan terjatuh dan mati? Atau datang orang atau para peri yang menyelamatkannya? Atau akan lenyap begitu saja penyu kecil itu ditelan angin? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita jadi penasaran ingin membacanya. Inilah yang bisa kita imajinasikan dan rasakan atas judul buku Penyu Kecil di Puncak Menara. Judul yang mampu membangun ketegangan antara imajinasi menyenangkan atas penyu kecil yang tiba-tiba menakutkan karena berada di puncak menara. Ketegangan inilah yang membuat kita penasaran ingin tahu terkait bagaimana penyu kecil itu bisa berada di atas puncak menara? Dan apa yang akan dilakukan penyu kecil itu di atas menara? Dengan vii

pertanyaan inilah, maka ketegangan dalam judul buku ini akan membuat kita penasaran dan membaca cerita-cerita dalam buku Penyu Kecil di Puncak Menara. Dari judul buku Penyu Kecil di Puncak Menara inilah cerita-cerita yang imajinatif dan seru ini akan dimulai. Selamat Membaca. Cilacap, Juli 2021 Heru Kurniawan Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto viii

Prakata Koordinator GUMALIS Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirobbil ‘alamin, wasshalatu wassalamu ‘ala asyrofil anbiyai wal mursalin. Wa’ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du. Segala puji bagi Allah SWT, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan ummatnya yang senantiasa mengikuti ajaran dan sunnahnya. Aamiin. Mendengar kata dunia anak, maka pikiran kita akan tertuju dengan dunia yang penuh keceriaan dan hal yang menyenangkan. Betapa masa kanak-kanak adalah masa yang begitu indah, di sana dibangun pondasi-pondasi kebaikan untuk membentuk karakter baik dalam diri anak saat kelak ia bertumbuh dewasa. Salah satu cara membangun pondasi itu adalah melalui suguhan cerita anak Islami. Buku Penyu Kecil di Puncak Menara merupakan kumpulan cerita anak Islami yang ditulis oleh para penulis dari GUMALIS (Guru Madrasah Menulis) Cilacap dengan kreatifitas dan imajinatif. Cerita yang sederhana dan dekat dengan dunia anak-anak. Setiap cerita mengandung amanat ix

yang diharapkan mampu membentuk watak dan sifat yang baik pada diri anak-anak. Buku ini disusun dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada setiap bulan Juli. Semoga langkah kecil para penulis mampu mewujudkan hal besar untuk bangsa ini, yakni mempersiapkan generasi Islami yang kuat dan tangguh serta berkarakter untuk mewujudkan masa depan Bangsa Indonesia yang lebih cemerlang. “Tiada gading yang tak retak”, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Kami mohon maaf jika banyak kekurangan maupun kesalahan dalam buku ini. Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi dan bermanfaat bagi kita semuanya. Terima kasih. Salam Literasi! Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Cilacap, Juli 2021 An. Koordinator GUMALIS Tasbihah, S.Pd.I x

Daftar Isi Kata Pengantar Founder Rumah Kreatif Wadas Kelir Purwokerto______________vi Prakata Koordinator GUMALIS______________ix Daftar Isi______________xi Bagian 01 Sandalku Hilang Lila Supriyatin______________1 Bagian 02 Si Cengeng Iqbal Al Basith______________9 Bagian 03 Gadget Oh Gadget Susiyanti______________19 Bagian 04 Perjuangan Afifah Berpuasa Nur Laeli______________26 xi

Bagian 05 Tabung Impian Musrifatul Ulumi______________33 Bagian 06 Salman Yang Rakus Rr. Syarifah Hani’ah______________40 Bagian 07 Tahajud Pertama Naila Alfi Hidayati______________49 Bagian 08 Jujurlah dalam Segala Hal Yeti Purwaningsih______________57 Bagian 09 Kado Indah untuk Bu Zahra Narti______________66 Bagian 10 Selembar Kertas Biru Arif Rahman______________76 Bagian 11 Rantai Sepedaku Putus Susanto______________89 Bagian 12 Prestasi Yang di Raih Tiara Delfi Florida Beauty______________96 Bagian 13 Jam Weker Baru Milik Adib Wiji Isisih______________105 xii

Bagian 14 Es Kuwut dan Kertas Berwarna Merah Uswanti______________111 Bagian 15 Pocong Malam Jum’at Kliwon Hafidah______________121 Bagian 16 Santri Ndesa di Pondok Bambu Khusnul Khotimah______________131 Bagian 17 Adikku Si Pipi Bakpao Warjiyah______________140 Bagian 18 Ayahku Idolaku Admiral Fayyad Fauzie______________148 Bagian 19 Santri Milenial Salah Tempat Misbahus Surur ______________157 Bagian 20 Harta Karun Hibatun Wafiroh______________169 Bagian 21 Penyu-Penyu Kecil di Atas Menara Tasbihah______________177 xiii

xiv

Bagian 01 Sandalku Hilang Lila Supriyatin 1

Siang itu Rara bergegas memasukan alat tulis dan buku-bukunya ke dalam tas gendong berwarna ungu miliknya. Dia ingin segera pulang, setelah menyelesaikan tugas kelompok di rumah Diyah. Rasa lelah dan perut yang mulai keroncongan memaksanya setengah berlari, setelah mengambil tas gendongnya, Rara pun keluar dari ruang tengah sambil berpamitan pada Diyah. “Yah aku pulang ya, sampai jumpa lagi besok ya, Assalamu’alaikum.” Sesampainya di teras rumah dia terhenti. Sedikit diam dia mencoba mengingat-ingat kejadian pagi tadi ketika dia baru sampai. “Aku rasa tadi pagi kutaruh di sini, kenapa sekarang tidak ada.” Bisiknya lirih. “Ada apa Ra, kok diam?” “Yah kamu tau gak sandalku dimana?” “Memangnya tadi pagi kamu taruh dimana sandal itu Ra?” “Seingatku aku taruh di bawah, kenapa sekarang tidak ada. Pasti ada yang mengambil sandalku” kata Rara. Sandal itu adalah sandal baru yang dimiliki Rara. Dia membelinya dengan ibu beberapa hari lalu di sebuah toko sepatu. Sandal karet yang sangat cantik, warnanya ungu dan 2

berhias bunga di atasnya. Sudah sejak lama Rara ingin memiliki sandal seperti itu. Rara sangat suka warna ungu. Barang-barang pribadi miliknya banyak yang berwarna ungu, termasuk tas, baju dan sandalnya pun berwarna ungu. Diyah bergegas keluar ikut memeriksa keberadaan sandal milik Rara. “Benar sandal Rara tidak ada di sini” bisik Diyah dalam hati. Tak lama kemudian Diyah masuk ke rumah, Diyah berpikir barangkali adik atau kakaknya lupa mengembalikan ketika meminjamnya. Ditanyainya adik dan kakaknya tapi mereka pun menjawab tidak tahu tentang sandal itu. Kemudian Diyah juga bertanya pada ibu dan ayahnya, keduanya pun sama saja, mereka tidak tahu keberadan sandal ungu milik Rara sahabatnya itu. Karena merasa kasihan, akhirnya semua orang di rumah itu ikut mencari sandal Rara. Mereka mencarinya di setiap sudut halaman rumah Diyah. Di bawah rimbunan tanaman hias dan juga di sela-sela pot tanaman bunga. Tapi masih saja belum bisa menemukannya. “Bagaimana mungkin sandal itu tidak ada. Apakah benar-benar ada pencuri di rumah mu?” Lirih Rara bertanya pada Diyah. 3

Mereka mengingat-ingat kembali adakah orang yang datang ke rumah selain Rara. “Oh, mungkin Bima dan Andi yang mengambilnya, mereka kan suka jahil sama anak perempuan di sekolah” pikir Rara. Bima dan Andi memang datang ker umah Diyah untuk menanyakan tentang tugas kelompok dari bu guru. Mereka datang dengan memakai payung. Pagi itu hujan turun dengan deras. Beruntung Rara sudah sampai di rumah Diyah ketika hujan datang. Saat hujan belum reda Bima dan Andi datang untuk bertanya prihal cara mengerjakan tugas dar ibu guru. Mereka mengaku masih bingung dan tidak tahu caranya, Jadi meskipun hari hujan Bima dan Andi pergi ke rumah Diyah bersama-sama. Dengan rasa curiga Rara dan Diyah memutuskan untuk pergi ke rumah Bima. Rumah Bima cukup dekat dari rumah Diyah, hanya melewati beberapa rumah saja. Rumah Bima dan Diyah berada dalam satu RT (rukun tangga). Cukup dekan bukan? Sesampainya di sana, dengan tanpa rasa salah Bima menjawab. “Mana aku tahu, aku kan hanya bertanya tentang tugas dar ibu guru, itu saja kok. Jelas-jelas aku tidak mengambil sandalmu, apa kamu punya bukti bisa-bisanya menuduhku” 4

“Buktinya kamu yang ke rumahku sama Andi kan?” Seru Diyah. “Kamu biasanya suka jail, apalagi sama anak perempuan. Kalau bukan kamu yang ambil trus siapa lagi” tuduh Rara pada Bima. “Ayo beritahu saja dimana kamu sembunyiin sandalnya.” Diyah meneruskan interogasinya “Uh, dasar anak usil.” Bentak Diyah dan Rara bersamaan. “Tapi sungguh bukan aku yang mengambilnya” seru Bima. Karena tidak mendapatkan hasil akhirnya mereka berdua kembali ke rumah Diyah. Seolah lupa dengan perutnya yang keroncongan Rara terus bertanya-tanya siapa sebenarnya pencuri sandalnya. “Yah apakah benar-benar ada pencuri di rumah mu?” Rara bertanya pada Diyah. “Sepertinya gak ada lho! atau...” kata-kata Diyah terhenti sesaat. “Wah !jangan-jangan dibawa sama orang gila itu” terka Diyah. Sejak beberapa hari yang lalu memang ada orang gila yang sering kali melintas di depan rumah Diyah. Penampilannya yang kotor dan suka berteriak-teriak 5

membuat anak-anak di sekitar rumah akan ketakutan ketika melihatnya. Terkadang orang gila itu mengambil barang- barang milik warga untuk dibawa kemana dia pergi, dan setelahnya ditinggalkan begitu saja tanpa peduli. Yah namanya juga orang gila, kelakuannya tentu saja tidak normal. “Tapi apakah tadi pagi orang gila itu datang ke rumahmu?” Tanya Rara kepada Diyah. “Mungkin saja iya, kita kan gak tahu pas lagi di dalam” jawab Diyah sekenanya. ”Trus gemana dong? Sandal itu sandal baruku sandal kesayanganku lho, dan sekarang aku sudah kepingin pulang nih” rengek Rara. “Gini aja, kamu pakai dulu sandalku itu, besok kamu kembalikan lagi kalau sandalmu sudah ketemu. Nanti aku coba minta tolong Pak Min untuk mencarikannya lagi. Mungkin ada orang lain yang menyembunyikan di sekitar rumah” dengan bijak Diyah memberikan jalan keluar Pak Min adalah orang yang sering dimintai tolong oleh keluarga Diyah untuk bersih-bersih. Setiap pagi dan sore dia akan datang ke rumah untuk bersih-bersih. Pak Min seorang yang rajin bekerja. Dia juga orang yang sangat jujur. “Baiklah kalau begitu aku pamit pulang dulu ya. Assalamu’alaikum.” “Waalaikumsalam.” Jawab Diyah 6

Benar saja, sore itu Pak Min datang ke rumah Diyah. Diyah pun segera minta tolong Pak Min untuk mencarikan sandal Rara. Dicarinya sandal itu ke berbagai sudut rumah. Dari depan sampai belakang. Pak Min mencoba mencari di semua tempat. Bahkan sampai di got saluran air. Benar saja Pak Min menemukan ada benda tersangkut di got saluran air di sebelah rumah Diyah. Kondisi sandal yang tersangkut sampah dan berbau tidak sedap tidak membuat Pak Min berhenti berusaha. Dengan agak susah payah Pak Min menggapai benda itu dan mengambilnya. Akhirnya sandal itu berhasil dikeluarkan oleh Pak Min satu persatu dan kemudian memberikannya pada Diyah. “Syukurlah akhirnya sandalnya bisa ditemukan. Terima kasih ya Pak” ucap Diyah pada Pak Min. Dengan perasaan lega Diyah membawa sandal yang kotor itu ke dalam rumah untuk dicuci. Keesokan harinya Diyah pergi ke rumah Rara untuk mengembalikan sandal itu. Rara merasa sanagat gembira. Akhirnya sandal baru kesukaannya itu bisa menjadi miliknya lagi. Namun setelah tahu cerita bahwa sandal itu terbawa arus air, Rara merasa tidak enak hati karena sudah menuduh Bima. Dengan perasaan malu akhirnya mereka berdua memberanikan diri pergi ke rumah Bima untuk meminta maaf. Rara menyesal karena telah berpasangka buruk pada Bima. 7

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilan kebanyakan dari prasangka (kecurigaan) sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa…(Q.S. Al Hujarat : 12) Biografi Penulis Lila Supriyatin, lahir di Cilacap 29 Maret 1984. Masa kecil hingga SMA dihabiskan di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Selepas SMA melanjutkan kuliah di STAIN Purwokerto (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto) dengan mengambil Jurusan Tarbiyah. Aktifitasnya saat ini selain menjadi ibu rumah tangga, juga menjadi pengajar di MI Al Kholidiyah Widarapayung Wetan. Wanita berkacamata tebal ini memiliki tiga putra yakni Sulthan Syarief Hidayat, Dzakira Aftania Hidayat, dan Muhammad Yusuf Caesar Hidayat. Mempunyai mimpi untuk menjadi penulis buku dengan bergabung bersama rekan-rekan guru madrasah lain dalam wadah Gumalis Cilacap (Guru Madrasah Menulis Cilacap). Sebagai penyemangatnya dalam menulis ada kalimat yang ingin selalu diingat “Abadikan Pemikiran dalam Tulisan” dan “tuliskanlah apa yang kamu lihat, apa yang kamu rasakan dan apa yang ada di pikiran”. “Untuk menyapanya dapat melalui nomor WA 085215052008 atau email [email protected]. 8

Bagian 02 Si Cengeng Iqbal Al Basith 9

Ini hari kedua Irfan melakukan penyelidikan. Sepeda mini warna biru ia kayuh dengan pelan. Sudah dua lokasi perumahan ia datangi. Namun belum juga menemukan apa yang ia cari. Memang ia tidak memasuki area perumahan. Cukup berhenti di pos penjagaan. Menemui pak satpam yang bertugas di situ. Menanyakan apa yang ia cari. Setiap menanyakan kepada pak satpam selalu dijawab tidak tahu. Ia tidak putus asa. Besok ia memutuskan mencari di lokasi perumahan yang lainnya. Pagi hari sesudah berpamitan kepada orang tuanya, Irfan bergegas menuju sekolah. Di pertigaan ujung gang ia bertemu dengan Edo, Dika, dan Iwan yang juga teman sekelasnya di SD Harapan Sukses. Tidak seperti biasanya, Edo dan kedua temannya terlihat kalem. Di sekolah mereka dikenal sebagai anak yang suka bikin masalah. “Tumben dia tidak menggangguku,” batin Irfan sambil mempercepat langkahnya menjauhi mereka. Ya, Edo memang sering menghina Irfan. Bahkan hampir setiap hari Irfan menjadi bahan hinaan dan olok- olok bagi mereka bertiga. Entah berapa kali sepatu miliknya yang di bagian ujung sudah robek menganga dilempar ke tong sampah oleh Edo. Sering pula saat berpapasan dengannya, Edo menutup hidungnya dengan dua jari sambil menyeringai. 10

“Iiihhh…bau apa ini. Ngga enak banget.” Kata Edo. Meskipun diperlakukan seperti itu Irfan tidak pernah membalas menyakitinya. Ia hanya terdiam tanpa niat melawan. Bahkan kadang teman yang iba kepadanyalah yang justru membela dan menegur Edo. Sebenarnya Irfan bisa saja membalas perlakuan Edo yang menyakitkan itu. Tapi ia tidak ingin membuat keributan semakin berlanjut. Ia memang hanya anak tukang sayur yang terbilang miskin. Sementara Edo anak orang yang berada. Ayahnya pemilik pabrik pembuatan kecap yang terkenal di kotanya. “Katanya kamu akan membawa HP baru, mana Do…?” Tanya Iwan. “Jangan-jangan ayahmu belum membelikan, ya,” celetuk Dika. “Sudah, kok. Kemarin ayahku bilang akan diantar oleh sopirnya.” Jelas Edo sambil memasang muka cemberut. Beberapa hari sebelumnya Edo sempat sesumbar akan mendapatkan HP canggih keluaran terbaru. Hal itu ia ceritakan kepada siapapun yang ia jumpai di sekolahan. Dengan semangat dan meyakinkan ia sebutkan beberapa kelebihan HP terbaru yang akan dimilkinya. Tapi sampai hari ini belum juga ia bisa memamerkan HP tersebut. Bel istirahat berbunyi memecah suasana pagi. Irfan masih berdiam duduk di kursinya. Pelan dan lirih mengeja mengucap kata, “Cengeng...?” Bertepatan saat itu Edo 11

sedang berjalan di samping meja Irfan. Mendengar kata cengeng Edo terkejut dan menghentikan langkahnya. “Hei…Irfan, apa tadi kau bilang?” Tanya Edo sambil mengeraskan suaranya. “Cengeng.” Jawab Irfan “Berani kau…ngatain aku, ya…!” bentaknya sambil mata menatap tajam ke Irfan “Aku… nggak niat ngomongin kamu,” jawab Irfan “Awass….ya” kata Edo menunjuk muka Irfan sambil berjalan keluar kelas. Irfanpun heran mengapa Edo tiba-tiba bersikap seperti itu. Sepulang sekolah Irfan siap melakukan pencariannya kembali. Kali ini ia menuju komplek perumahan yang tidak jauh dari rumahnya. Sepeda mini warna biru ia kayuh pelan. Seperti biasa ia menemui satpam penjaga gerbang perumahan. Kali inipun ia hanya menerima gelengan kepala. Kini ia mulai bingung mau menuju kemana lagi. Sudah dua hari tiga lokasi perumahan tidak ada yang tahu nama orang yang dicarinya. Sambil mengayuh pelan sepedanya ia memikirkan tempat mana lagi yang akan dituju. Mengingat- ingat beberapa nama perumahan yang pernah ia ketahui. Ia memutuskan menuju lokasi yang paling dekat. Pertigaan di depan belok kiri dua ratus meter ada perumahan. “Gubraaaaakkkkkk….krakkrakrak….!” 12

“Heiii…jalan yang benar …!” Bentak seorang anak kecil dari dalam mobil “Sudah tahu lampu merah…, nerobos saja!” Anak kecil keluar dari mobil yang bertabrakan dengan sepeda Irfan. Dari sisi kanan menyusul seorang dewasa keluar mobil menuju tepi jalan. “Oo...kamu…Irfan…!” Terkejut Edo. Ternyata yang bertabrakan dengan mobil ayahnya itu Irfan temannya sekelas. “Hei..lihat, nih Fan…, sepedamu menggores cat pintu mobil bapakku.” Kata Irfan sambil meraba bagian sisi pintu yang terkelupas catnya. “Hei… Edo. Kamu kenal dengan dia?” Tanya bapaknya Edo. “Iya Pak, dia Edo. Temanku sekelas yang paling miskin, Pak.” Kata Edo dengan nada ketus. “Irfan, jaga ucapanmu. Tidak benar kau berkata seperti itu.” Kata bapaknya Edo. “Maafkan saya, Pak,” kata Irfan memohon. “Ya sudah. Yang penting kamu baik-baik saja. Kamu tidak apa-apa kan?” Tanya bapaknya Edo sambil membantu meminggirkan sepeda. “Ya Pak, Alhamdulillah tidak apa-apa,” jawab Irfan sambil mengusap celana yang kotor terkena debu jalan. 13

“Pak, kok ya sudah, sih,” protes Edo tidak terima mobil bapaknya tergores hingga mengelupas catnya. “Harusnya Irfan ganti rugi Bapak, dong.” “Ah, Cengeng… sudahlah. Kasihan, lah. Dia temanmu juga kan. Dah ngga apa-apa,” kata bapaknya Edo. Ifran tidak mengalami luka yang berarti. Hanya sedikit luka kecil di bagian sikunya. Setelah memastikan Irfan baik-baik saja, Bapaknya Edo melanjutkan perjalanan sambil terlebih dahulu memberikan beberapa lembar uang kepada Irfan. Untuk jaga-jaga kalau-kalau perlu obat jika badannya sakit. Tiga hari ia telah melakukan pencarian. Tiga hari lamanya kotak kecil terbungkus kertas coklat itu masih tersimpan di lemarinya. Belum diketahu siapa empunya barang tersebut. Tiga hari yang lalu ia melihat kotak kecil itu jatuh dari dalam mobil. Tak bisa ia mengejar laju mobil tersebut. Pesan dari ibunya agar jangan dibuka. Biarkan seperti itu apa adanya. Usahakan mencari tahu siapa pemiliknya. Kembalikan kepadanya. Namun pada kotak itu tidak ada alamat yang jelas. Hanya tertulis Komplek A3 No.132. Dalam benak Irfan biasanya jenis alamat seperti itu hanya ada di lokasi perumahan-perumahan real estate. Karena itu ia memutuskan melakukan pencarian hanya di komplek perumahan real estate. Setiap kali ditanyakan kepada petugas penjaga perumahan real estate selalu dijawab tidak tahu. Kotak kecil berbungkus kertas coklat itu 14

hanya memuat tuliasan: Si Cengeng, Komplek A3 No 132. Tidak ada yang bernama Si Cengeng di perumahan ini. Begitu selalu jawab Pak satpam penjaga gerbang perumahan. “Edo…!” tiba tiba Irfan menyebut nama temannya. Ia teringat saat kemarin sepedanya menabrak mobil Edo. Ia mendengar bapaknya Edo mengucap kata cengeng saat Edo meminta Irfan mengganti rugi cat yang tergores sepedanya. Saat itu juga ia meluncur bersama sepedanya menuju jalan raya. Ke lokasi saat ia kemarin menabrak mobil bapaknya Edo. Pertigaan lampu merah di depan belok kiri. Ya, tak jauh dari sini ada perumahan yang kemarin tidak jadi ia datangi. Di depan gerbang tampak Irfan berbicara dengan satpam yang sedang berjaga. Pak satpam mengacungkan tangan mempersilahkan Irfan memasuki area perumahan. “Sreeet…!” Irfan cepat menarik tuas rem menghentikan sepedanya. Tepat di depan rumah dengan nomor terpampang jelas terbaca A3 No 132. “Assalamu’alaikum.” Terdengar langkah kaki bersandal jepit mendekat pintu diiringi jawaban salam. “Waalaikumussalam warahmatullah.” Pintu pelan dibuka. Bapaknya Edo beserta anaknya tampak berdiri di belakang pintu. “Lho…kamu kan Irfan ya.” 15

“Iya Pak. Saya Irfan temannya Edo yang kemarin.” “Oh, ya ya ya…mari, mari silahkan masuk. Ayo masuklah.” Irfan menjelaskan maksud kedatangannya. Ia menceritakan tentang penemuan barang tersebut. Dimulai saat ia melihat kotak kecil jatuh dari mobil hingga pencariannya ke beberpa lokasi perumahan real estate. “Nak Irfan luar biasa. Anak yang jujur dan menjaga amanah. Alhamdulillah, beruntung sekali barang ini ditemukan oleh Nak Irfan. Andai saja ditemukan oleh orang yang tidak baik bisa jadi hilanglah sudah HP itu” kata bapaknya Edo sambil menyerahkan kotak tersebut kepada Edo. “Edo…ini HP yang kamu inginkan. Manfaatkan dengan baik, ya. Jangan lupa, berterima kasihlah kepada Irfan.” “Maafkan saya Irfan. Aku sering sekali membuatmu sakit hati” pinta Edo sambil menjulurkan tangan. Bersalaman dan merangkul hangat Irfan. “Aku… minta maaf, ya…” serak parau suara Edo sambil terisak mengalir air mata pemyesalannya. “Lho…. ini ada apa.” Bapaknya Edo bingung keheranan melihat anaknya menangis meminta maaf. 16

“Pak, selama ini Edo sering mengganggu, menghina dan menyakiti Irfan. Irfan memang anak orang miskin, Pak. Tapi ternyata jiwa hati dan pikirannya jauh dari sikap dan mental miskin. Edolah yang sebenarnya miskin mentalnya, Edo malu menerima HP ini, Pak. Edo tidak membutuhkan HP baru ini,” kata Edo seraya mengambil kotak kardus kecil berisi HP baru tercanggih. Diserahkan kepada Irfan. “Irfan, kita teman baik sekarang. Dan HP ini lebih bermanfaat jika dimiliki oleh kamu. Terimalah, Irfan.” Terlihat mata bapaknya Edo basah berkaca-kaca penuh rasa syukur dan bangga. “Ambillah, Irfan,” pinta bapaknya Edo. Edo meraih tangan Irfan. Kotak HP ditaruhnya di atas telapak tangan Irfan. “Ini menjadi milikmu, Irfan.” “Alhamdulillah, terima kasih, Edo. Terima kasih, Pak.” 17

Biografi Penulis Iqbal Al Basith, S.Ag., putra dari Bapak H. Marfu’i, BA (Alm) dan Ibu Hj. Baroroh. Memulai menekuni dunia kepenulisan sejak masih duduk di PGAN Purwokerto. Menyukai bidang susastra sejak tinggal di Yogyakarta dari tahun 1990-1991. Sempat mengikuti pelatihan tentang puisi dibimbing oleh Sutardji Calzoum Bachri dan Hamid Jabbar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik Nasional di Grobogan. Sempat beraktifitas sebagai jurnalis pada tabloid Banyumas Pos dan Majalah Realita Semarang. Pendidikan dilalui sejak SD di desanya. Melanjutkan ke MTs PPPI Banyumas. Pendidikan tingkat lanjutan atas di PGA Negari Purwokerto. Strata satu dilaluinya di dua kota Yogyakarta dan Cilacap. Aktif bergabung dalam usaha pengembangan dunia literasi dalam komunitas literasi GUMALIS bersama teman-teman guru madrasah di Cilacap. Ia kini tinggal di desa beristri Mungawanah, S.Pd.I. beserta keenam anaknya : Daris Daffa Dakhilullah, Unsi Asywaq Kautsar, Ruwaifi Hanan, Nibras El Farouq, Iftina Fathin Ufaira dan Hibban Syaddad Rabbani. Guru MI YAPPI Planjan ini bisa dihubungi di: https://www.facebook.com/iqbalabdulbasith/, https://twitter.com/ElNibras, https://www.instagram.com/iqbalabdulbasith/ 18

Bagian 03 Gadget Oh Gadget Susiyanti 19

“Ayo Bimo, Hari sudah semakin siang. Sudah hamper setengah enam ini.” Kata ibu sedikit kesal “Aah ibu, Bimo masih ngantuk.” Jawab Bimo malas. “Makanya kalau main game jangan sampai terlalu malam ya.” Kata ibu lagi mulai tak sabar. “Semalam Bimo tidak bias tidur, makanya Bimo main game.” Jawab Bimo lagi sambil masih memejamkan matanya. “Ayo sayang, kamu belum salat Subuh. Lihat kakakmu malah sudah selesai tadarus dan sudah rapi.” Kata ibu sembari mulai meninggalkan kegiatan memasaknya dan menuju ke kamar mandi mengambil air dari gayung. Begitulah, hampir setiap pagi anak kecil itu sangat sulit dibangunkan. Ibu selalu sabar membangunkannya sembari ibu memasak, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak-anaknya. Ibu mulai melangkah ke kamar sambil membawa gayung berisi air untuk diusapkan ke muka Bimo, berharap Bimo segera bangun untuk melaksnakan salat Subuh dan mempersiapkan diri pergi sekolah. “Siap-siap, akan ada yang mandi di kasur ini, hahahaha….” Terdengar suara Kak Mita meledek dari kamarnya. 20

Bergegas Bimo bangun. “Iya iya, ini aku sudah bangun.” Jawab Bimo sambil berlari meraih handuk dan pergi ke kamar mandi. Kak Mita dan ayah pun tertawa seperti biasanya melihat kelakuan anak sembilan tahun itu. Ibu mulai menyiapkan makanan di meja makan dibantu Kak Mita. Sejak pukul empat pagi ibu sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Keluarga Mita adalah keluarga sederhana. Mereka mencukupi keperluan hidupnya dari hasil pertanian. Sebelum matahari terbit selepas pulang dari musalla setelah melaksanakan salat Subuh, ayah sudah berangkat ke sawah yang tak jauh dari rumahnya untuk merawat tanaman padinya. Ibu memasak hidangan sarapan. Kak Mita menyiram tanaman sayuran di sekitar rumah. Tugas Bimo adalah menyapu teras dan halaman. Baru setelah itu anak-anak bersiap pergi ke sekolah. Hari itu menjadi hari yang kacau bagi Bimo. Semenjak Bimo membeli Gadget, tak ada keteraturan hidup yang ia rasakan. Nilai Pekerjaan Rumah jarang mendapatkan angka seratus, bangun kesiangan, badan pegal-pegal, kamar berantakan, pergi sekolah terburu-buru dan yang paling rutin adalah sering dimarahi ibu. Sudah hampir sebulan ini Bimo sedang senang- senangnya bermain dengan handphone baru yang ia beli dari mengumpulkan uang lebaran. Ayah, ibu dan Kak Mita 21

sudah menasehati agar uangnya ditabung saja dulu. Kalau sudah besar baru beli handphone. “Untuk belajar dan komunikasi kan masih bisa pakai handphone ibu, toh ibu tidak kemana-mana.” Begitu kata ayah menasehati waktu Bimo meminta izin untuk membeli handphone. Namun perasaan ingin memiliki handphone sendiri tak bisa dibendung lagi karena melihat semua teman-teman Bimo sering Mabar (main bareng) di belakang balai desa tempat biasa anak-anak ssebaya Bimo berkumpul. Bimo hanya menatap penasaran seperti apa permainannya. Karena Bimo tetap bersikeras, akhirnya ayah dan ibu mengizinkan Bimo untuk membeli gadget dengan satu syarat harus tetap rajin mengaji, beribadah, mengutamakan belajar dan bertanggung jawab dengan kuotanya sendiri. Hari setelah membeli handphone pun tiba, Bimo tampak berseri-seri memamerkan handphone barunya kepada teman-temannya. Mulai saat itulah kerumitan mulai Bimo rasakan. Ternyata handphone itu tidak murah. Diperlukan kuota yang harganya pun mahal untuk ukuran uang saku Bimo sebanyak tiga ribu rupiah per hari. Bimo jadi jarang membeli makanan dan minuman kesukaannya karena menabung untuk beli kuota. Satu kesenangan Bimo pun hilang karena barang baru tersebut. Ayah dan ibu memang disiplin terhadap pendidikan anak-anaknya. Ayah dan ibu membolehkan membeli 22

handphone tapi kuotahanya di isi sebulan sekali di awal bulan untuk belajar dan mengaktifkan kartu. Tidak untuk berlebihan bermain game. Hal ini dikarenakan mencari uang bagi orang tua Bimo bukanlah hal yang mudah. Sebagai petani ayah mengandalkan hasil panen padi dan ibu hanya berjualan sayuran hasil berkebun di sekitar rumah. Tentu kuota menjadi barang mahal bagi keluarga tersebut. Oleh karena itu, Bimo mengumpulkan uang sakunya untuk mengimbangi permainan temannya. Pada awalnya memang Bimo belum begitu merasakan dampak dari kecanduan game di handphone. Tapi setelah sebulan berjalan dan kuota semakin habis. Sementara uang sisa lebaran semakin menipis, barulah Bimo merasakan betapa mahalnya mainan barunya ini. “Ah… aku punya ide agar punya uang lebih buat beli kuota” kata Bimo bergumam dalam hati sepulang ia sekolah hari ini. Bimo melangkah ke rumah kakeknya yang penjual kambing. Kambing-kambing kakek memang banyak. “Pasti kakek kerepotan untuk mencari rumput guna memberi makan kambingnya.” Gumam Bimo berbicara sendiri. Tentu saja kakek sangat senang mendengar Bimo mau membantu kakek mencari rumput untuk kambing- kambingnya. Jadilah setiap jam dua siang Bimo ke sawah mencari rumput bersama kakeknya dan Bimo mendapat tambahan uang saku lima ribu setiap Bimo mendapatkan 23

satu karung rumput. Baru kemudian ia pergi mengaji ke TPQ di masjid terdekat. Seminggu berlalu, Bimo mulai merasakan lelah dengan kesibukan yang belum waktunya ia alami. Akhirnya Bimo jatuh sakit, Badannya demam, kepalanya pusing dan matanya terasa panas. Ayah dan ibu membawanya ke dokter. Dokter memeriksa dengan seksama. Kata Dokter Bimo kelelahan, perlu banyak istirahat. Dokter memberi Bimo obat dan vitamin. Dokter menyarankan Bimo untuk istirahat yang cukup dan pandai membagi waktu. Bimo akhirnya menyadari, bahwa memiliki handphone bukan berarti harus selalu asyik bermain game tanpa mengenal waktu. Bimo berjanji pada diri sendiri untuk kembali rajin belajar dan mengaji. Bimo akan menitipkan handphonenya ke ibu dan meminta izin bermain game sebentar saja dengan teman-temannya setelah selesai mengejakan Pekerjaan Rumah lalu istirahat untuk persiapan pergi mengaji di TPQ. Agar kuota tidak lekas habis, prestasi kembali ia raih dan ia takakan kelelahan lagi. 24

Biografi Penulis Susiyanti terlahir dari pasangan Akhmad Mufroil dan Watiyem pada tanggal 19 Maret 1979 di Desa Kuripan Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap. Pada tahun 1984 penulis mulai menempuh pendidikan di MI Ya BAKII Kuripan dan melanjutkan ke SMP Negeri 1 Jeruklegi pada tahun 1990. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMP, pada tahun 1993 meneruskan pendidikan di SMEA Negeri Purwokerto. Penulis mulai mengajar di MI Ya BAKII Kuripan yang merupakan almamaternya sejaktanggal 1 Agustus 2001 dan melanjutkan kuliah di Institut Agama Islam Imam Ghozali Cilacap pada tahun 2007 serta menyelesaikan S1 pada bulan Mei tahun 2011. Pada saat ini masih menyelesaikan studi Pasca Sarjana Jurusan Managemen Pendidikan Islam di Institut Agama Islam Nahdatul Ulama Kebumen dan berstatus sebagai ASN di bawah naungan Kantor Kementrian Agama Kabupaten Cilacap. Pemilikakun FB “Susiyanti” dan email [email protected] ini memiliki prinsip hidup “Berbuat baik pada orang lain, maka Allah akan memberikan banyak kebaikan padamu. Tidak mempersulit orang lain, agar Allah mempermudah jalanmu.” Menulis adalah salah satu hobinya selain dari hobi membaca serta berkebun. Karya kali ini adalah karya buku antologi ketujuh yang ia tulis bersama teman-teman Guru Madrasah di Cilacap setelah karya sebelumnya yang berjudul “Inspirasi Hidup Sepanjang Hayat”, “Pemasaran Pendidikan”, “Pelita Yang Tak Pernah Padam”, Jejak Langkah Sang Guru”, Kemilau Cahaya Sang Inspirator”, dan “Syiar Madrasah”. Penulis menikah dengan Heni Hernafianto dan alhamdulillah dikaruniai dua orang amanat bernama Talita Toya Agitha dan Ulung Putra Sadewo. Saat ini penulis tinggal di Jalan Gunung Slamet No. 31 Desa Kuripan Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap. 25

Bagian 04 Perjuangan Afifah Berpuasa Nur Laeli 26

Hari ini semua umat manusia bergembira, bagaimana tidak, hari ini adalah pertama di bulan Ramadan, tidak terkecuali Afifah. Sebab pertama bagi Afifah untuk melaksanakan salah satu kewajibannya yaitu berpuasa di bulan suci Ramadan. Betapa senang dan bangganya Afifah bisa berpuasa dengan tanpa ada unsur paksaan dari kedua orang tuanya. Abi, umi, dan Kak Fauziyah pun sangat bangga padanya. Ketika tengah berduduk santai di ruang keluarga sembari mengerjakan PR dan tugas dari sekolah, Afifah bertanya kepada uminya yang sedang merapikan buku dan majalah yang berserakan di atas meja. “Umi, apakah semua orang islam di dunia sekarang ini juga berpuasa seperti Afifah?” Tiba tiba Afifah bertanya pada uminya. Ketika mendengar pertanyaan Afifah. Umi hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sejenak sebagai suatu jawaban atas pertanyaan Afifah. Tetapi Afifah merasa kurang puas, akhirnya Afifah pun bertanya lagi. “Tapi mengapa mereka mau berpuasa, Umi? Apakah mereka tidak merasa lapar dan haus?” “Adikku sayang. Puasa di bulan Ramadan itu hukumnya wajib bagi umat muslim yang sudah balig. Makanya hampir semua umat muslim di dunia yang 27

berpuasa di bulan Ramadan termasuk Abi, Umi, Afifah dan kakak juga” jelas kakak. “Owh, begitu ya Kak.” Jawab Afifah dengan mengangguk-anggukkan kepala seolah-olah sudah paham betul dengan penjelasan kakaknya. Tanpa terasa tugas dan PR Afifah pun selesai. Segeralah ia merapikan buku-buku pelajarannya kembali. Beranjak dari tempat duduk, Kak Fauziyah menghampiri Afifah dengan membawa Al Quran dan mengajaknya bertadarus. “Adikku sayang, tadarus dulu, jangan sia-siakan bulan yang penuh berkah ini,” ajak Kakak. “Baiklah Kakak…” jawab Afifah sembari tersenyum. Belum begitu lama bertadarus, tiba-tiba Afifah berhenti sejenak dan memandangi perutnya yang sudah mulai keroncongan yang menandakan lapar. “Ada apa, anakku?” Tanya umi dengan penuh kasih sayang. “Jangan khawatir, tidak apa-apa, Umi.” Jawab Afifah seraya menggeleng-gelengkan kepala menutupi rasa laparnya. Melihat tingkah laku adiknya itu, Kak Fauziyah hanya diam. Sambil berjuang menahan lapar, Afifah melanjutkan tadarusnya. 28

Merasa tidak tahan tahan lagi dengan kondisi perutnya, tak canggung-canggung lagi Afifah bertanya kepada Umi. “Apakah waktu berbuka puasa masih lama, Umi?” Tanya Afifah. “Owalah…anakku Afifah, ini kan baru jam setengah sembilan pagi, sedangkan waktu berbuka puasanya nanti memasuki pukul enam. Tunggu nanti adikku” sahut kakaknya sambil tersenyum. Merasa tidak tega dengan Afifah, Umi pun akhirnya memberikan penjelasan singkat. “Dengarkan Nak…Kita berpuasa itu wajib. Berpuasa itu menahan diri dari segala hawa nafsu termasuk nafsu amarah, nafsu makan, nafsu minum, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Jadi, Afifah harus bisa bersabar.” “Baiklah, Umi.” “Ya sudah, kalau begitu Afifah mau tidur ya, apakah boleh, Umi?” Tanya Afifah. “Iya adikku, tentu saja boleh, tidurnya orang berpuasa itu ibadah.” Jawab kakaknya. Afifah pun bergegas menuju tempat tidur dan mulai beristirahat sejenak. Waktu pun berjalan hingga tidak terasa 29

sudah masuk salat Duhur. Afifah terbangun ketika suara azan terdengar. “Apakah ini suara azan salat Magrib, Ummi?” Tanya Afifah dengan wajah polosnya. “Bukan, Afifah. Ini adalah azan untuk salat Duhur” jawab Umi dengan sabar. “Kenapa lama sekali, Umi?” Tanya Afifah. “Berlatihlah untuk bersabar, Afifah. Orang sabar itu disayang Allah. Apalagi Afifah sedang berpuasa, jadi harus bisa bersabar, bersabar dan bersabar” jawab Umi. Mendengar penjelasan umi, semangat Afifah bangkit kembali dan bersiap mengambil air wudu untuk segera melaksanakan salat Duhur berjamaah di masjid bersama abi. Waktu bergulir begitu cepat, hingga tibalah saatnya untuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Ketika umi sedang memasak di dapur bersama Kak Fauziyah, Afifah datang dengan pertanyaan yang sama. “Apakah ini sudah tiba saatnya berbuka puasa, Umi?” Tanya Afifah lagi. “Belum adikku sayang, masih satu setengah jam lagi, bersabarlah” jawab kakaknya derngan memeluk adiknya sambil tersenyum. Kemudian Afifah kembali bersama Abi yang sedang mennyiram tanaman di depan rumah. Mencium aroma 30

masakan umi dan kakaknya di dapur, perut Afifah pun makin tidak karuan menahan rasa lapar, betapa ia ingin makan. “Bolehkah Afifah mencicipi sedikit saja masakannya, Ummi?” Teriak Afifah. “Anakku sayang, jangan dulu Afifah, bersabarlah, sebentar lagi sudah tiba waktu berbuka puasa. Bersiaplah untuk berbuka” jawab umi dengan bijak. Akhirnya dengan penuh semangat, Afifah pun ikut membantu umi dan kakaknnya menyiapkan hidangan berbuka di meja makan. Kemudian terdengarlah suara azan pertanda bahwa waktu berbuka puasa telah tiba. “Alhamdulillahirobil ‘aalamiin” gumam Afifah dengan riang gembira. Mendengar Afifah, abi, umi dan Kakak Fauziyah pun tertawa riang sembari menikmati hidangan makanannya. Demikan kisah Afifah berpuasa (kisah dimana pertama kalinya berjuang untuk berpuasa). 31

Biografi Penulis Nur Laeli, S.Pd.I., lahir di Cilacap, 10 April 1979. Seorang guru dan mengampu jabatan Kepala MI Al Muttaqin Binangun Bantarsari Kabupaten Cilacap. Mempunya dua anak, yaitu Zeedny Ilma Al Maki, dan Salma Rizka Fauziyah. Suami bernama Zaenal Maki, berstatus ASN yang mengajar di SMA Negeri 1 Bantarsari. Tempat tinggalnya di Dusun Bendagede RT 05 / 08 Desa Sarwadadi Kec. Kawunganten Cilacap Jawa Tengah . Nur Laeli lulus MI pada tahun 1990, SMP N lulus tahun 1993, SMU tahun 1997, kemudian D2 lulus tahun 2000. Mengambil program Pendidikan S1 di IAIIG (Institut Agama Islam Imam Ghazali) pada tahun 200,8 kemudian melanjutkan Study Pasca Sarjana di IAINU Kebumen yang sekarang tinggal menunggu wisuda. Riwayat pekerjaan, mengabdi di MI Nahmut Bendagede Sarwadadi Kawunganten pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Kemudian pada tahun 2005 diangkat menjadi PNS dan bertugas di MI Al muttaqin Binangun Bantarsari hingga sekarang Untuk menambah wawasan dan motivasinya ikut menulis buku dalam group GUMALIS dengan judul “Afifah Berpuasa”. Semoga bisa berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu ilmu yang bermanfaat barokah dunia dan akherat Fb : LAELY WA : 085225183937 32

Bagian 05 Tabung Impian Musrifatul Ulumi 33

Dokter dan khafiah cita-citaku, seraya bumi dan langit, dunia dan akherat, tak mudah untuk diraih. Selain akademikku selalu nomer wahid juga pelajaran ngajiku menuju tahfiz harus diistiqamahkan. Buku- buku aku baca dari aku usia TK. Les pelajaran di luar jam sekolah aku jalani sampai les nari pun aku nikmati. Walau daya tahan tubuhku tidak begitu baik, sakit flek dari usia 17 bulan sampai pengobatan rutin 1 tahun 3 bulan tapi semangat ibuku menjadi semangatku juga. Vitamin dan pijat menjadi bagian dari rutinitas rileksasiku. Selain ritual keagamaan di lingkungan kami pesantren yang sangat padat salah satunya memprogramkan tabung impian dengan harapan semua cita-cita kami terwujud. Tidak ada ilmu atau keinginan terlepas dari vinansial karena dalam kitab nadom A la la mencari ilmu butuh biaya. Karena itu seribu dua ribu kami masukan di setiap hari agar tabung impianku semakin memperlancar cita-citaku. Tidak sedikit biaya untuk masuk kedokteran dan biaya tahfidzku juga luar biasa. Masih ada kesempatan untuk meraih itu semua dimulai dari sekarang hingga aku besar nanti. Tabung impian aku dapat dari temen ibuku sewaktu orang tuaku berangkat umrah berbentuk kubus warnanya hitam. Ada tulisan ayat Al Quran di atas melingkar berwarna kuning emas di pojok bergambar batu hajar aswad yang 34

hitam berlapis putih, pintu emas nan megah, talang emas di tengah-tengah salah satu sisi kubusnya. Ya, itu tabunganku berbentuk seperti ka’bah. Lucunya lagi, tempat untuk memasukan uang itu berbentuk lingkaran kecil jadi yang dimasukan adalah uang kertas, uang logam tidak bisa masuk. Uniknya, harus dililit- lilit dahulu seperti bapakku sewaktu mau nglinting rokoknya. Tabung impian selalu aku isi dengan doa untuk orang tuaku agar selalu dalam limpahan rizqi dari Allah SWT. Aku suka sekali, dari menabung aku dapat belajar tentang bagaimana caranya mensisihkan uang jajanku. Itu sangat butuh kerja keras untuk memenuhi tabunganku, di situlah aku mulai paham tentang pribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Mengaku sebagai bagian dari generasi modern, ada banyak tantangan finasial yang harus dihadapi, terkait dengan gaya hidup modern. Mulai dari kebiasaan jajan jajanan mahal, kafe yang dapat mengurangi uang yang akan masuk ke tabungan. Padahal masih banyak impian jangka panjang yang menanti untuk diwujudkan. Biar hidup ini isinya tidak melulu cerita impian yang tidak bisa diwujudkan, semangat untuk mulai membiasakan diri menabung sejak sekarang. Masa muda adalah masa-masa yang paling membahagiakan. Di usia muda, tanggung jawab dan beban 35


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook