MODERASI BERAGAMA: Merajut Persaudaraan Antarumat Beragama Abdul Jalil, Alaika M. Bagus Kurnia PS, Apriani Magdalena Sibarani, Endro Tri Susdarwono, Hadirman, Hironimus Bao Wolo, I Putu Yoga Purandina, Ilyas Yasin, Ishak Wanto Talibo, Sri Mulyono, Taufiq Hidayat, Zaedun Na’im, Zetty Azizatun Ni’mah, Nur Kholik, A. Samsul Ma’arif, Jaharuddin
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PASAL 72 KETENTUAN PIDANA SANKSI PELANGGARAN 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2 Moderasi Beragama
Abdul Jalil, Alaika M. Bagus Kurnia PS, Apriani Magdalena Sibarani, Endro Tri Susdarwono, Hadirman, Hironimus Bao Wolo, I Putu Yoga Purandina, Ilyas Yasin, Ishak Wanto Talibo, Sri Mulyono, Taufiq Hidayat, Zaedun Na’im, Zetty Azizatun Ni’mah, Nur Kholik, A. Samsul Ma’arif, Jaharuddin MODERASI BERAGAMA: Merajut Persaudaraan Antarumat Beragama
MODERASI BERAGAMA: Merajut Persaudaraan Antarumat Beragama Penulis: Abdul Jalil, dkk. ISBN: 978-623-95865-7-7 Cetakan Pertama, Januari 2021 xvi+ 186 hal; 14,8 x 21 cm Penyunting: M. Yusuf Desain Sampul: Ahmad Nahid Awwalur Rahman Layouter: M. Yusuf Diterbitkan oleh: Global Aksara Pres Jl. Wonocolo Utara V/18 +628977416123/+628573269334 Surabaya Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit. iv Moderasi Beragama
Prof. Dr. Hj. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag. (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya) Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, menjadi sorotan penting dalam masalah moderasi beragama. Kata moderasi disinyalir sebagai bentuk ideal bagi sikap keberagamaan seorang muslim, baik dalam konteks pemikiran, pemahaman, maupun pengama- lannya. Seorang yang moderat tidak akan terjebak pada sikap ekstrim, baik ke kiri, yang biasa dikenal dengan “kaum liberal”, maupun ke kanan, yang biasa dikenal dengan “kaum radikal atau fundamentalis”. Seorang moderat akan bersikap wajar, tidak berlebihan, juga tidak bersikap ekstrim. Bila ditinjau dari kata moderasi itu sendiri yang berasal dari bahasa Inggris, moderation, yang berarti sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Artinya, seorang yang moderat selalu berada di tengah-tengah, baik dalam menyelesaikan masalah, yakni tidak memihak kepada salah satu pihak, maupun ketika bersikap dan berprilaku, yakni tidak berprilaku ekstrim, baik ke kiri maupun ke kanan, yang selalu ia tonjolkan adalah kearifannya, bukan semata-mata keunggulan ilmunya. Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi diistilahkan dengan wasath atau wasathiyah; orangnya disebut wasith. Contoh, dermawan, yaitu sikap di Kata Pengantar v
antara kikir dan boros, pemberani, sikap di antara penakut (al- jubn) dan tanpa perhitungan (tahawur), dll. Karena itulah, sangat wajar bila moderasi menjadi isu dunia, bahkan menjadi idaman bagi semua pemeluk agama. Sebab, tidak ada satu agama pun yang dapat menolerir sikap ekstrim. Makanya, perbincangan tentang hal ini seringkali diadakan baik di tingkat regional maupun internasional, demi memperoleh formulasi yang tepat tentang apa itu sikap moderat, juga demi membangun komitmen bersama untuk mewujudkan sikap moderat tersebut. Moderasi beragama ini diperlukan karena sikap ekstrem dałam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci, intoleransi, dan bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Contoh, ketika seorang pemeluk agama mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama yang sama hanya gara-gara mereka berbeda dalam paham keagamaan. Seseorang juga bisa disebut berlebihan dalam beragama ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain, atau gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus seperti ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi. Dalam moderasi beragama ada dua prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu adil dan berimbang. Bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya serta melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin. Term ‟adl juga berarti keseimbangan/keserasian, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Infitār [83]: 7, artinya: Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Ayat ini pada vi Moderasi Beragama
mulanya menginformasikan tentang kekuasaan dan kebijaksanaan Allah dalam menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, sehingga kata „adala di sini berarti menjadikan bentuk manusia sesuai dengan bentuk ciptaannya (al-Biqa‟i, 358). Mencermati beberapa makna yang dikandung oleh term „adl, maka sikap moderasi hanyalah salah satu makna yang dicakup oleh term „adl tersebut, yaitu seimbang, serasi dan tidak memihak. Masalah ibadah misalnya, seorang moderat yakin bahwa beragama adalah melakukan pengabdian kepada Tuhan dalam bentuk menjalankan ajaran-Nya yang berorientasi pada upaya untuk memuliakan manusia. Sementara orang yang ekstrem sering terjebak dalam praktek beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan- Nya saja seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela membunuh sesama manusia “atas nama Tuhan” padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama. Term moderasi secara historis sudah lama dikenal sebagai prinsip hidup dalam sejarah umat manusia. Dalam mitologi Yunani kuno misalnya, prinsip moderasi sudah dikenal dan dipahatkan pada inskripsi patung Apollo di Delphi dengan tulisan Meden Agan, yang berarti \"tidak berlebihan\". Prinsip moderasi saat itu sudah dipahami sebagai nilai untuk melakukan segala sesuatu secara proporsional. tidak berlebihan. Moderasi juga dikenal dalam tradisi berbagai agama. Dalam Islam ada konsep wasathiyah, di dalam tradisi Kristen ada konsep golden mean. Dalam tradisi agama Buddha ada Majjhima Patipada. Dalam tradisi agama Hindu ada Madyhamika. Dalam Konghucu juga ada konsep Zhong Yong. Begitulah, dalam tradisi semua agama, selalu ada ajaran \"jalan tengah\". (Yaqin: 2005) Dari sini dapat diketahui bahwa setiap agama itu Kata Pengantar vii
mengacu pada satu titik makna yang sama yaitu memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal. Di Indonesia, moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam merawat kemajemukan dan keragamannya. Sebagaimana kesepakatan founding father bangsa bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk merawat jati diri kita tersebut. Mencermati tinjauan historis tersebut, maka setiap komponen bangsa harus yakin bahwa Indonesia memiliki modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama. Modal sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan keragaman adat istiadat, tradisi bermusyawarah, serta budaya gotong- royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun. Modal sosial itu harus di rawat, demi menciptakan kehidupan yang harmoni dan damai dalam keragaman budaya, etnis, dan agama. Karena itulah pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya moderasi beragama di Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyak kultur, budaya dan adat-istiadat. viii Moderasi Beragama
Buku yang berada di tangan pembaca ini berjudul “Moderasi Beragama Merajut Persaudaraan Antar Ummat Beragama” merupakan kumpulan artikel atau gagasan tentang moderasi beragama atau tema2 terkait dengan Islam Rahmatan Lil „Alamin. Dengan harapan buku ini dapat memberikan wacana atau informasi bagi para pembaca tentang keberagaman dan perbedaan dalam beragama dan bagaimana implementasi moderasi beragama di Indonesia. Selamat membaca dan menikmati buku ini, mohon maaf bila terdapat kekhilafan dan semoga bermanfaat. Surabaya, Januari 2021 Prof. Dr. Hj. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag. Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Kata Pengantar ix
Dr. (C). Muhamad Basyrul Muvid, S.Pd.I., M.Pd. (Direktur CV. Global Aksara Pers Surabaya) Agama diturunkan untuk mewujudkan perdamaian, kesejukan dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Eksistensi agama akan terus dinanti dan diharapkan oleh semua manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesejukan di tengah dinamika zaman yang terus berlanjut. Agama tidak bisa dimanfaatkan dan digunakan untuk memecah belah umat dengan alasan apapun dan juga tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menentang pemerintah yang sah dalam konteks kenegaraan. Tidak ada satu pun agama yang dilahirkan untuk menggiring umatnya kepada perbuatan keji dan mungkar, jika dipahami secara esensi semua agama mengajarkan kepada keluhuran budi, keluhuran etika, moral dan susila serta akhlak yang digunakan sebagai “media” untuk menghiasi diri dalam kehidupannya. Hiasan moral akan mewujudkan pola interaksi sosial yang lembut dan saling menghargai yang pada akhirnya membentuk pribadi yang toleran. Perbedaan tidak bisa dijadikan alasan untuk berkonflik antar golongan, agama, suku, budaya, ormas maupun kelompok. Adanya perbedaan merupakan sebuah kodrat x Moderasi Beragama
Tuhan yang Maha Esa. Perbedaan yang ada sebagai wujud kekuasan-Nya dan kehendak-Nya sehingga barangsiapa yang menafikkan adanya perbedaan sama halnya ia menentang takdir-Nya. Mereka yang menentang takdir Tuhan sama saja telah durhaka terhadap-Nya baik disadari maupun tidak. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya kelompok atau individu yang bersikap intoleran, radikal dan gerakan ekstremis lainnya yang berusaha memecah belah kehidupan yang penuh keberagaman ini. Keberagaman harus dijadikan sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada umat manusia yang harus senantiasa dijaga, dijunjung dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Keberagaman yang dijaga dengan baik akan melahirkan kehidupan yang damai dan tenang. Kedamaian dan ketenangan akan bermuara kepada aktivitas manusia dan keberlangsungan hidup yang aman. Dengan demikian, pembangunan sumber daya manusia, alam dan juga negara akan berjalan lancar. Dalam hal ini bisa kita maknai bahwa aspek keberagaman menjadi penting untuk terus dikaji, ditelaah dan didiskusikan dengan harapan untuk memberikan aspek pendidikan kepada masyarakat dan juga generasi penerus agar tetap menjunjung tinggi keberagaman di tengah kehidupan sampai kapan pun demi terwujudnya kemaslahatan secara universal. Kemaslahatan universal menjadi tujuan dari terawatnya sebuah keberagaman yang ada. Konflik yang terjadi di berbagai tempat, daerah bahkan negara secara umum disebabkan kurangnya rasa menghargai, menghormati adanya perbedaan dan juga lebih mengede- pankan egoisme dibanding sikap humanis. Sikap toleransi dan juga sikap humanisme menjadi kunci utama untuk merawat Kata Sambutan xi
keberagaman, sehingga manusia tidak akan mudah menyalahkan sebuah perbedaan. Buku bersama yang digagas oleh pimpinan penerbit CV. Global Aksara Pers Surabaya ini patut kita syukuri dan sambut dengan baik sebagai wujud kontribusi untuk tetap menjaga keberagaman yang ada dengan tidak mudah menyalahkan dan merasa paling benar. Sisi kemanusiaan dan “kewelasan” harus tertanam dalam-dalam pada diri kita agar tidak menjadi manusia yang keji. Buku hasil nulis bersama ini semoga bisa menjadi referensi bagi masyarakat secara umum untuk menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penulis semoga senantiasa keberkahan menyelimuti kehidupan kita. Amiin. Selamat membaca dan salam sukses…………….!! Surabaya, 10 Januari 2021 Dr. (C). Muhamad Basyrul Muvid, S.Pd.I., M.Pd. Direktur CV. Global Aksara Pers Surabaya xii Moderasi Beragama
Prof. Dr. Hj. Kata Sambutan iii Husniyatus Salamah iv Zainiyati, M.Ag. xiii 1 Dr. (C). Kata Pengantar 16 Muhamad Basyrul Muvid, S. Pd.I., M.Pd. - Daftar Isi Apriani Urgensi Pengembangan Magdalena Pendidikan Perdamaian Bagi Sibarani Generasi Z Alaika M. Bagus Mega Project Bhineka Tunggal Kurnia PS Ika: Perawatan Toleransi Dalam Pendidikan Berbasis Rumah Tangga Daftar Isi xiii
Taufiq Hidayat Kerukunan dan Toleransi 28 AntarumatiBeragama Dalam MembanguniRasa Persaudaraan Negara Republik Indonesia Hadirman Membumikan Moderasi 34 Beragama di Lembaga Pendidikan Islam pada Masyarakat Multikultural Ishak Wanto Moderasi Beragama dan 46 Talibo Lembaga Pendidikan Islam Abdul Jalil Laboratorium Kebhinekaan 58 (Sebuah Refleksi Praktik “Moderasi Beragama” Pada Institusi Sekolah di Kendari) Ilyas Yasin Merawat Keragaman Merayakan 68 Perbedaan: Pengalaman Dari Yogya Sri Mulyono Peranan Moderasi Beragama 80 Dalam Menghadapi Fanatisme Zetty Azizatun Peran Startegis Madrasah 90 Ni‟mah Menyemai Moderasi Beragama Sebagai Upaya Mereduksi Radikalisme I Putu Yoga Literasi Digital Ditengah 106 Purandina Keluarga Sebagai Kunci Terwujudnya Moderasi Beragama Endro Tri Moderasi Beragama Melalui 117 Pergaulan Sesama Manusia xiv Moderasi Beragama
Susdarwono Sebagai Upaya Mewujudkan Kemaslahatan Bersama Zaedun Na‟im Urgensi Moderasi Beragama di 130 Indonesia Hironimus Bao Menenun Kembali Kerukunan 143 Wolo Antaragama Yang Kian Tergerus Ditengah Badai Intoleransi Nur Kholik Membentuk Pribadi Toleran di 153 Pusaran Keragaman Indonesia: Tanggapan Atas Hujair AH. Sanaky A. Samsul Revitalisasi Pendidikan Karakter 166 Ma‟arif Pondok Pesantren dalam Menyukseskan Moderasi Beragama Jaharuddin Moderasi Aplikasi Fikih Ekonomi 179 Syariah di Indonesia Daftar Isi xv
xvi Moderasi Beragama
Urgensi Pengembangan Pendidikan Perdamaian Bagi Generasi Z Apriani Magdalena Sibarani S.Th., MSi. Teol. Dosen Pendidikan Agama dan Etika Kristen di Universitas Methodist Indonesia, Medan F enomena keberagaman agama di Indonesia adalah hal yang penting untuk diperhatikan dan dikelola dengan baik, jika tidak maka ini akan menjadi persoalan yang menyebabkan perpecahan bahkan kekacauan di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keberagaman agama adalah sesuatu hal yang tidak dapat ditolak dalam konteks masyarakat Indonesia. Masing-masing agama memiliki seperangkat konsep ajaran, cara penyembahan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Idealnya, setiap orang termasuk di dalamnya generasi Z diharapkan siap untuk menjalin relasi dan berinteraksi dengan mereka yang berbeda agama. Namun demikian, dalam kenyataannya konflik antar umat beragama dan tindakan intoleransi masih sering terjadi. Meskipun pendidikan agama menjadi menu wajib dalam proses pendidikan di Indonesia mulai dari usia dini sampai kepada tingkatan pemuda namun persoalan intoleransi masih menjadi tantangan dalam kehidupan berbangsa. Tulisan ini membahas urgensi pendidikan agama bermuatan pendidikan perdamaian yang Apriani Magdalena Sibarani 1
ditujukan kepada generasi Z yang merupakan pilar utama bangsa untuk dapat mewujudkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Berkenaan dengan itu, dalam tulisan ini akan diuraikan konteks keberagaman di Indonesia dengan peluang dan tantangan bagi generasi Z, pentingnya pendidikan perdamaian dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, karakteristik yang unik dari generasi Z, model dan metode pendidikan perdamaian bagi generasi Z. Keberagaman Agama di Indonesia: Peluang dan Tantangan Generasi Z Dalam konteks Indonesia, Pendidikan agama sudah menjadi mata pelajaran wajib mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Namun demikian, sikap beragama di Indonesia memperlihatkan kurangnya penghargaan atau toleransi antar umat beragama di Indonesia. (Rumahuru, 2014). Menurut kajian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), setidaknya ada tujuh kampus yang terpapar radikalisme pada 2018. Setahun berselang, Setara Institute yang melakukan penelitian pada bulan Februari sampai dengan April 2019 menyatakan bahwa 10 kampus perguruan tinggi negeri disusupi paham radikalisme. Kondisi ini sangat berbahaya. (Kudus Purnomo, 2020) Hinganaday dalam tulisannya menguraikan bahwa institusi pendidikan justru masuk dalam tiga besar pelanggarkebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dengan perkataanlain, penanaman semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui pendidikan tidak berjalan dengan baik. Hal ini diperkuatnya dengan mengutip data dari Social Progress Index (Index Kemajuan Sosial), yang dirilis oleh Social Progress Imperative pada 21 September 2018 bahwa Indonesia menempati posisi 96 dari 146 negara dalam hal “discrimination and violence against minorities” (diskriminasi dan kekerasan melawan minoritas). Sementara itu dalam hal kebebasan beragama, Indonesia 2 Moderasi Beragama
berada pada peringkat ke 118. Rendahnya peringkat tersebut sebanding dengan masih rendahnya akses masyarakat ke pendidikan yang berkualitas (access to quality education), yang menghasilkan peringkat 97 bagi Indonesia. Data ini memperlihatkan bahwa tingkat akses masyarakat Indonesia pada pendidikan toleransi serta mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan juga masih rendah. (Hinganaday, 2019 : 162) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan pada tahun 2035 Indonesia memiliki penduduk sekitar 305,6 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 68,1 persen (207,8 juta) adalah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Jumlah usia produktif sebanyak itu bisa menjadi berkah sekaligus masalah bagi Indonesia. Jika dikerucutkan lagi, usia paling produktif seseorang biasanya ada di rentang 25-40 tahun. Artinya, mereka yang lahir pada rentang 1995-2010 adalah kelompok generasi emas yang akan menjadi tulang punggung bonus demografi di tahun 2035. Bila merujuk pada teori generasi, kelompok yang lahir pada pergantian milenium itu disebut dengan Generasi Z. (Yudi Kurniawan, 2018) Generasi Z disebut sebagai generasi yang menghargai keberagaman. Akan tetapi, karakterisasi tersebut tidak membuat Generasi Z kebal dari bibit intolerasi. Melalui survei nasional, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengidentifikasi bibit intoleransi dari sikap keberagamaan Generasi Z di sekolah dan universitas. Survei ini menyoroti persepsi siswa, mahasiswa, guru dan dosen terhadap Pendidikan Agama Islam (PAI), hubungan agama dan negara, dan persoalan toleransi di Indonesia. Survei dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 2.181 orang yang terdiri dari 1.522 siswa, 337 mahasiswa, dan 264 guru di 34 provinsi di Indonesia. Untuk persepsi mengenai PAI, survei PPIM menunjukkan 48,95 persen siswa/mahasiswa merasa “pendidikan agama memiliki porsi yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain”. Dengan kata lain, alih-alih berperan sebagai medium belajar Apriani Magdalena Sibarani 3
menghargai perbedaan, pendidikan agama berpotensi membuat siswa merasa harus menjauh dari teman yang berbeda agama. Hasil ini cukup mengkhawatirkan. Rekam jejak Indonesia dalam menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan memang masih jauh dari sempurna. Menurut laporan Setara Institute sepanjang 2016 tercatat ada 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Generasi Z, sebagai generasi pemangku masa depan, idealnya dibekali pendidikan yang membimbing mereka menjauhi diskriminasi. (Terry Muthahhari, 2017 ) Di kesempatan lain, pada tahun 2019, tim dari ICRS UGM yang dipimpin oleh Leonard Chrysostomos Epafras bersama Maksimilianus Jemali, Hendrikus Paulus Kaunang, dan Vania Sharleen, mengadakan penelitian tentang agama dari generasi Z. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi Z di Indonesia memiliki cara tersendiri dalam menghayati nilai-nilai keagamaan mereka dan sedikit berbeda dengan cara beragama dari generasi-generasi sebelumnya. Penelitian ini melibatkan 846 mahasiswa Gen Z dari 30 perguruan tinggi di Indonesia. Perbedaan cara menginternalisasi nilai-nilai keagamaan tidak terlepas dari pengaruh fasilitas digital yang memungkinkan semua orang mengakses apa saja dari sekian banyak tulisan dan praktik hidup sehari-hari. Bagi mereka, media digital tidak hanya menjadi ruang untuk mengakses berbagai informasi aktual tetapi juga memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspos sekaligus mengeksplorasi pengalaman-pengalaman keagamaan personal. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada perluasan terhadap konsep ruang publik. Ruang publik tidak hanya berkutat pada bertatap mukanya orang-orang tertentu di salah satu tempat tetapi lebih dari itu ada perluasan relasi dan komunikasi yang bersifat global. Ruang publik yang mengedepankan optimalisasi akses-akses digital telah memberi pemahaman baru terhadap relasi dan komunikasi yang terjadi di antara banyak orang yang berada di tempat yang berbeda. Ekspresi pengalaman personal dengan penggunaan bahasa-bahasa 4 Moderasi Beragama
religius ditampilkan secara fleksibel dan disesuaikan dengan kreativitas mereka. Fenomena ini meretas ketertutupan aktivitas-aktivitas religius yang hanya terjadi dalam ruang-ruang tertentu. Justru generasi Z membuka ketertutupan ini dengan menciptakan ruang publik yang lebih luas. Mereka menciptakan perjumpaan, diskusi dan sharing pengalaman religius sehari-hari melalui media-media digital. Perjumpaan melalui media digital sebagai ruang publik yang lebih luas telah cenderung menjadikan mereka menghayati nilai-nilai keagamaaan sebagai sesuatu yang sifatnya transisional, ada perspektif, atmosfer, kondisi dan cara-cara baru. (Lian Jemali, 2019) Dalam konteks keberagaman agama dan keunikan generasi Z ini maka terbuka peluang untuk membangun perdamaian di Indonesia antar umat beragama, namun di sisi lain peluang untuk berkembangnya intoleransi juga tetap ada. Disinilah pendidikan, khususnya pendidikan agama memegang peranan penting untuk memaksimalkan peluang yang ada, sehingga keberagaman agama ini dapat dikelola dengan baik. Pentingnya Pendidikan Perdamaian dalam Konteks Keberagaman Agama di Indonesia Keberagaman yang pada awalnya merupakan kekayaan dan kebanggaan dapat berubah menjadi sumber konflik yang menakutkan dan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Dalam hal ini pendidikan mempunyai peranan penting dalam upaya mengantisipasi konflik dan kerusuhan agar tidak berkelanjutan. Karakteristik masyarakat multicultural harus tercermin dalam sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang mengakomodasi multicultural dan pluralism sesuai dengan tuntutan undang-undang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakomodasikan semangat multicultural tercantum dalam Bab III Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak Apriani Magdalena Sibarani 5
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Untuk mewujudkan perdamaian melalui pendidikan maka perlu diberikan pendidikan perdamaian disetiap level pendidikan. Selain untuk penanaman sikap atas nilai-nilai yang wajib dalam menciptakan perdamaian, menurut Harris (1996) seperti yang ditulis oleh Romo, Jaime J; Quezada, Reyes dalam Peace Education, pendidikan perdamaian adalah suatu usaha pembelajaran yang memberikan kontribusi dan membentuk warganegara yang baik di dunia. (Wulandari, 2010) Dalam perspektif pendidikan perdamaian, pendidikan dimaknai sebagai proses transformasi kearah masa depan, sehingga pendidikan menjadi bagian integral dari proses “transformasi” pada kerangka pengembangan perdamaian, sebagai upaya mentransformasi krisis atau konflik masa kini menuju struktur dan relasi sosial yang diharapkan. (Tabita K. Christiani. 2005). Dalam konteks keberagaman agama di Indonesia hadirnya pendidikan agama yang bermuatan pendidikan perdamaian menjadi penting, karena pendidikan merupakan proses yang disengaja supaya naradidik mendapatkan kesempatan untuk merekonstruksi pengalaman mereka. Guru sebagai pendamping dan rekan sekerja membantu naradidik untuk menemukan makna baru melalui pengalaman mereka. (John Dewey,1997:38).Pendidikan memegang peranan penting dalam mendidik mahasiswa/naradidik untuk dapat bersikap kritis terhadap masa lalu dan terlibat dalam gerakan perdamaian saat ini untuk mengupayakan masa depan yang lebih baik dan mengantisipasi timbulnya konflik di masa yang akan datang. Pendidikan agama yang dilakukan melibatkan dialog antar agama dalam aksi konkrit. Berkenaan dengan ini, maka dialog lintas iman yang dilakukan bukan hanya sebatas pertukaran pikiran akan tetapi dialog karya. Dalam hal ini, proses pendidikan agama berisikan aksi dan refleksi. Proses ini mengajak semua pihak untuk memiliki kepekaan dan empati kepada orang-orang yang mengalami 6 Moderasi Beragama
penderitaan, penindasan dan ketidakadilan. Upaya ini dilakukan agar naradidik memiliki solidaritas dengan masyarakat/orang-orang tersebut sehingga dapat bersama-sama terlibat dalam upaya mewujudkan keadilan dan perdamaian. (Tabita K. Christiani, 2005: 190-192) Sebaiknya pendidikan perdamaian dipergunakan sebagai pendekatan untuk menjadikan naradidik memiliki jiwa toleran, memahami perbedaan agama dan memaknainya dengan baik, menumbuhkan dan mengembangkan semangat kepedulian sosial dalam pergumulan/persoalan yang dialami masyarakat. Selain itu melalui pendidikan perdamaian diharapkan mahasiswa memiliki semangat kesetaraan dan berperan aktif untuk mewujudkan kesetaraan ini dengan prinsip keadilan dalam masyarakat. Salah satu bidang kajian yang dapat dipergunakan sebagai wahana berlangsungnya pendidikan perdamaian ini adalah pendidikan agama yang merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi para mahasiswa masa kini yang masuk dalam kategori generasi Z ini. Pendidikan agama bagi para mahasiswa (Generasi Z) yang bermuatan pendidikan perdamaian ini adalah mata pelajaran yang mengembangkan prinsip-prinsip perdamaian dengan menanamkan pemaknaan penerimaan terhadap perbedaan agama dan kesejajaran antara pemeluk agama yang diharapkan dapat diterapkan dalam diri naradidik secara personal dan secara komunal sebagai bagian dari masyarakat. Dengan demikian perdamaian dapat tercipta dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa harus diajak untuk memahami apa yang terjadi di dalam masyarakat, kehidupan dengan kesempatan dan persoalan yang ada di dalamnya. Naradidik dilatih untuk peka dan terlibat aktif dalam upaya memecahkan persoalan keberagaman yang ada di dalam masyarakat. Apriani Magdalena Sibarani 7
Model Pendidikan Perdamaian dalam Pendidikan Agama Bagi Generasi Z Model Pendidikan Agama yang bermuatan pendidikan perdamaian yang dapat dikembangkan dalam konteks Indonesia, yaitu: 1. Berorientasi pada upaya pengembangan perdamaian dalam konteks keberagaman agama di Indonesia dengan memperhatikan pluralitas agama. Dalam hal ini dikembangkan kepedulian, empati dan aksi bersama dalam upaya mewujudkan perdamaian. Dengan perkataan lain, mendorong umat melintasi sekat dan membangun jejaring bersama untuk mewujudkan aksi sosial yang nyata. 2. Mendorong perjuangan kesetaraan kualitatif, keadilan melalui dialog dan kerja bersama antar umat beragama. Hal ini dilakukan sebagai kesadaran bahwa kita semua berperan penting dalam upaya menciptakan perdamaian di masyarakat. 3. Mengembangkan sikap kritis dan mempergunakan pengalaman hidup dalam proses pembelajaran dan pemaknaan teks-teks Kitab suci. Memberikan perhatian penting terhadap dialog lintas iman yang dilakukan dengan openness (terbuka akan adanya perbedaan atau persamaan) dan “commitmen” (tetap setia dengan iman masing-masing). (Tabita K. Christiani, 2005) Pemilihan Metode Belajar Yang Tepat untuk Generasi Z Berkenaan dengan pemilihan metode yang dipakai dalam menyampaikan pendidikan perdamaian bagi generasi Z, maka perlu pengenalan dan pemahaman akan karakteristik dari generasi Z, yaitu : 1. Generasi Z dikenal sebagai generasi mobile, sebagian besar lahir setelah tahun 2000 Generasi Z merupakan generasi yang tumbuh bersama kemajuan teknologi, sehingga memandang teknologi adalah bagian dari mereka. Generasi Z, yang lahir pada tahun 1995-2010, 8 Moderasi Beragama
merupakan generasi yang akrab dengan alat-alat komunikasi pintar (gadget), seperti smartphone, MP3 players, iPads, dan sejenisnya. Mereka juga akrab dengan internet, Google, Facebook, twitter, BBM, WA dan lain-lain. Mereka ingin di mana pun ada sambungan internet sehingga mereka bisa always on. Generasi Z disebut juga I Generation, Generasi Net, atau Generasi Internet. Karena lahir dan dibesarkan di era digital, maka Gen Z sering disebut digital natives. Gen Z banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. 2. Gen Z bersikap positif terhadap teknologi dan tidak takut mencoba hal baru. Melalui internet mereka terhubung dengan seluruh dunia. Mereka juga dapat mencari informasi di internet. Namun demikian kadang mereka tidak tahu mana informasi yang dapat dipercaya. Karena mereka dapat dengan mudah dan cepat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan untuk mengerjakan tugas sekolah maupun kehidupan sehari-hari, mereka jadi bersikap instan. Dalam mempergunakan perkembangan teknologi (Internet) maka generasi Z tidak hanya mengamati, akan tetapi mereka berperan secara aktif. Mereka akan aktif terlibat dengan menanyakan, membantah, mengkritik, menyelidiki, berfantasi, mencari dan memberi informasi. (Tapscott, 2013 : 25-29). 3. Generasi Z dikenal lebih mandiri daripada generasi sebelumnya. Mereka tidak menunggu orang tua untuk mengajari hal-hal atau memberi tahu mereka bagaimana membuat keputusan. Selain itu, bagi generasi Z informasi dan teknologi adalah hal yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Kondisi ini muncul karena generasi ini lahir pada masa akses informasi, khususnya internet sudah menjadi budaya global sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap nilai-nilai, pandangan dan tujuan hidup mereka. (Pipit Fitriyani, 2018 : 312) 4. Generasi Z adalah generasi yang menyukai kebebasan dan tidak menyukai otoritas. Generasi Z juga tidak membedakan dalam hak Apriani Magdalena Sibarani 9
kelompok usia. Tidak pula ada perbedaan baik laki-laki maupun perempuan asalkan sejalan dengannya. (Ozkan & Solmaz, 2015: 479- 480) Lembaga pendidikan atau sekolah pada masa ini sedang dipenuhi oleh generasi Z, berkenaan dengan ini kesadaran dan penggunaan pihak pengelola sekolah untuk menggunakan metode pembelajaran yang tepat dalam menghadapi generasi Z ini menjadi sangat penting. Sekolah merupakan salah satu institusi yang diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi di masa yang akan datang. Jika pihak sekolah masih menerapkan model dan metode pembelajaran yang tidak memperhatikan perkem-bangan zaman dan sesuai dengan karakteristik generasi sekarang maka generasi Z ini tidak dapat dijangkau dengan baik. Sekolah juga harus memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi masa kini. Salah satu karakteristik generasi Z, mereka akan produktif jika tetap terhubung dengan internet dan media sosial, karenanya pihak sekolah juga harus memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan dan penguasaan yang baik dalam penguasaan teknologi ini, sehingga dapat terkoneksi dengan generasi Z ini. Metode pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai objek sudah tidak mampu lagi untuk mendidik generasi Z. Guru harus mempunyai kemampuan untuk mengembangkan model pembelajaran Higher Order Thinking Skill (HOTS) yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dimana siswa diajarkan untuk berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif dan berpikir kreatif. Model pembelajaran Lower Order Thinking Skill (LOTS) yang mengandalkan hafalan atau soal yang langsung menerapkan rumus tanpa perlu berpikir lebih lanjut harus mulai dikurangi di sekolah. (Pipit Fitriyani, 2018: 313) Kondisi mudahnya mendapat informasi dan pengetahuan melalui akses internet sangat relevan dengan pendapat bahwa mengajar anak Generasi Z akan menjadi hal sulit jika guru masih menerapkan gaya masa lalu, seperti menggunakan metode “Duduk Dengar Catat Hafal”. 10 Moderasi Beragama
Untuk itu, sebaiknya pihak sekolah dan pendidik beradaptasi dengan kebiasaan Generasi Z dan berupaya memahami bagaimana cara mereka memproses informasi. Pendidik perlu menerima bahwa cara belajar berubah dengan cepat di era millenials ini.Cara belajar yang berubah bagi generasi Z ini harus dipahami oleh para pendidik, sehingga dalam menjalani proses belajar mengajar para guru tidak hanya menggunakan metode konvensional. Fasilitas berupa proyektor dan gadget dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting dalam mendidik siswa Generasi Z. Dalam proses pembelajaran guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber utama informasi dan pengetahuan. Untuk itu, sudah saatnya pendidik mampu menguasai teknologi dan menggunakannya dalam proses pembelajaran di kelas. (Faqihuddin, 2017) Berdasarkan uraian di atas, Pendidikan Agama yang berbasis pendidikan perdamaian dan mempergunakan metode pengajaran yang tepat sesuai dengan karakteristik naradidik memiliki peranan penting dalam upaya mengembangkan perdamaian dalam konteks keberagaman agama di Indonesia. Secara khusus bagi generasi Z, yang merupakan generasi emas bangsa yang berperan penting dan menentukan apa yang akan terjadi di perkembangan atau kemunduran bangsa ini. Kesungguhan dan kerjasama semua pihak diharapkan dapat membantu terlaksananya proses pendidikan perdamaian ini untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan lebih baik. Daftar Pustaka Christiani, Tabita K, (2005), Blessed are The Peacemakers : Christian Religious Education for Peacebuilding in The Pluralistic Indonesian Context, “ Dissertation, The Graduate School of Arts and Sciences Institute of Religions Education and Pastoral Ministery of Boston College Apriani Magdalena Sibarani 11
Dewey, John, 1997, Experience and Education, First Collier Books ed, The Kappa Delta Pi Lecture Series. (New York: Touchstone) Eka, S., N.(2015). Aku Bisa! Inspirasi dari Gerakan Design for Change oleh Kiran Bir Sethi. Jakarta: Noura Book Faqihuddin, Achmad, (2017) Internalisasi Nilai-Nilai Humanistik Religius Pada Generasi Z Dengan “Design For Change” Vol. 12, No. 2 Fitriyani, Pipit, 2018, Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah‟Aisyiyah (APPPTMA) ke-7, Pendidikan Karakter Bagi Generasi Z dalam Prosiding Konferensi Nasional ke-7., Jakarta 23-25 Maret 2018, Hinganaday, R M, (2019), Inspirasi Agustinus dan Carlo Maria Martini Bagi Keberagaman Agama di Indonesia, Jurnal Teologi Jemali Lian, (2019) diunduh dari https://mediaindonesia.com/read/detail/276911- agama- generasi-z Kurniawan, Yudi, 2018, Gen Z, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia, diunduh dari https://www.kompasiana.com/yudikurniawan/583fc7f9 ba22bda00c8d8bf9/gen-z-bonus-demografi-dan-masa- depan-indonesia?page=2 Muthahhari,Terry ,2017,diunduh dari https://tirto.id/gen-z- intoleransi-dan-pembaharuan- pendidikan-agama- islam-cz9Q 12 Moderasi Beragama
Rumahuru, Y.Z, (2014), Keragaman Sebagai Basis Pembelajaran PAK, Jurnal Mara Wulandari, Taat (2010), Menciptakan Perdamaian Melalui Pendidikan Perdamaian Di Sekolah, MOZAIK,Volume V Nomor 1 Apriani Magdalena Sibarani 13
Biografi Pdt Apriani Magdalena Sibarani, lahir pada tanggal 7 April 1982 di Pagar Alam dari pasangan A. Sibarani dan P Br Siregar. Putri pertama dalam keluarga dengan 2 saudara laki-laki ini, menyelesaikan studi s1 (lulus 2004, STh) di STT GMI Bandar Baru dan Pasca Sarjana (lulus 2012, M.Th) di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Pada tahun 2004 ia mendapatkan kesempatan mengikuti Helen Kim Scholarship sebagai perwakilan dari East Asia Region di Ewha University, Seoul bersama dengan 20 perempuan muda lainnya dari berbagai benua. Ia ditahbiskan sebagai pendeta GMI pada tahun 2008 dan selama 5 tahun terlibat dalam pelayanan di jemaat. Dalam kegiatan pelayanan, ia terlibat aktif dalam pelayanan bagi kaum muda dan perempuan, juga rutin menulis bahan-bahan Pendalaman Alkitab (PA) untuk persekutuan kaum Ibu di GMI sampai dengan sekarang. Ia juga aktif mengikuti kegiatan interdenominasi dalam Christian 14 Moderasi Beragama
Conference of Asia dengan terlibat dalam kegiatan Ecumenical Women‟s Action Against Violence di Bangkok, tahun 2017 dan Asian Ecumenical Women‟s Assembly di Hsinchu, Taiwan pada tahun 2019. Juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Short Term Australia Award dalam program AAI Leadership for Senior Interfaith Women. Namun karena pandemi covid-19, Program tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2021 ini. Selain itu, ia juga beberapa tahun menjadi staff pengajar di STT GMI Bandar Baru untuk mata kuliah liturgika dan Pendidikan Agama Kristen, dan saat ini mendapatkan penempatan sebagai dosen agama di Universitas Methodist Indonesia (UMI) Medan. Bersama dengan suami terkasih, Pdt Antoni Manurung M.Th dan ketiga buah hati mereka : Graciella, Angelina dan Irene, mereka melayani dan tinggal di Medan, Sumatera Utara. Apriani Magdalena Sibarani 15
Mega Project Bhineka Tunggal Ika: Perawatan Toleransi Dalam Pendidikan Berbasis Rumah Tangga Alaika M. Bagus Kurnia PS Dosen Agama Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya N egara Indonesia dibangun atas dasar keimanan dan solidaritas tinggi dari berbagai macam suku, ras dan berbangsa-bangsa yang maksudnya adalah terdiri dari berbagai pulau. Semangat solidaritas apabila tidak didasari atas kesepahaman dari berbagai karakter antar individu maupun kelompok. Sehingga tingkatan paling tinggi dalam menyelaraskan kesepahaman disini adalah majunya proses pendidikan yang mengedepankan moral. Sebagaimana Pancasila yang diungkapkan oleh Muhammad Hatta juga menjelaskan atas dua fundament yang ada di Pancasila. Salah satunya adalah fundament moral yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Soeprapto, 2013). Salah satu suksesor terbesar atas keutuhan dan kebesaran negara Indonesia sampai saat ini adalah pendidikan 16 Moderasi Beragama
sebagai pemeran utama. Selain menjadi pemeran utama, pendidikan juga menjadi penyelamat atas estafet pemegang kuasa keutuhan negara ini. Sehingga masyarakat sebagai penanggung jawab terbesar atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah melakukan pengembangan (inovasi) hingga perawatan (maintenance). Dewasa ini, konfrontasi identitas adalah hal yang paling strategis dalam memicu panasnya problem keberagaman (Lestari, 2016). Sehingga perlu adanya pengawasan dan perawatan intensif atas kebhinekaan sebagai warisan negara ini. Salah satu cara mewariskan yang mumpuni dan efektif adalah melalui pendidikan yang berjangka panjang. Karena pendidikan adalah usaha untuk membentuk karakter manusia agar menjadi lebih baik. Melalui proses pembelajaran adalah bentuk ikhtiar doktrinnya. Pola Pendidikan Toleransi Dalam Rumah Tangga Anak adalah salah satu generasi penerus keluarga. Sebagaimana pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka faktor genetik sebagai posisi utama karakter anak adalah orang tua itu sendiri. Juga demikian tidak kalah pentingnya dengan faktor eksternal seperti sekolah, lingkungan bermain hingga lingkungan keluarganya. Prediksi akurat dapat dilihat pula melalui letak Kesehatan atau kebaikan cara belajarnya. Apabila lingkungan keluarga, bermain hingga sekolah kurang mendukung atas perkembangan belajar anak, maka dapat dipastikan pendidikan baginya dinilai tidak sukses (Hidayati, 2016). Sabda Rasulullah Saw mengenai,”Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak”. Merupakan hal yang logis. Bukan berarti orang tua bertanggungjawab secara materi, Alaika M. Bagus Kurnia PS 17
bertanggungjawab atas menyekolahkan saja, melainkan juga mereka tidak akan pernah menginginkan anaknya gagal dalam berkarir maupun melangsungkan kehidupan semasa dewasanya kelak. Hidup bergantung terhadap orang lain merupakan wajar. Sebagaimana manusia sebagai makhluk sosial(Hantono & Pramitasari, 2018). Artinya, mereka juga memerlukan interaksi sekecil apapun terhadap orang lain. Dia tidak akan pernah bisa menghindari dan tebang pilih dalam berinteraksi. Seyogyanya mereka melangsungkan transaksi jual beli, menggunakan fasilitas publik, sekolah, hingga kebutuhan lainnya. Juga mereka akan dihadapkan oleh berbagai macam petugas yang terkait. Seyogyanya mereka perlu menyiapkan beberapa kompetensi moral dalam memberikan jaminan atas berlangsungnya aktivitas interaksinya. Sebab interaksi di ruang publik merupakan interaksi dua arah hingga multi arah (Romli, 2015). Beberapa persiapan tersebut juga perlu didasari atas dasar pondasi yang kuat. Salah satu contohnya ketika penulis berangkat umrah, penulis merasa kesulitan ketika hilang arah dimana letak hotel sebagai tempat penginapan saya. Saya sebagai pelaku tidak akan mungkin bertanya kepada orang yang sesama warga negara lain, peluang untuk mengetahui lokasinya sangat kecil. Sehingga juga memerlukan komunikasi kepada para mukimin yang ada disekitar agar diberi tahu letak hotel yang benar. Ini menunjukkan kualitas manusia akan semakin berkembang dan maju apabila mereka mau menselaraskan kesepahaman baik bahasa, karakter, budaya hingga corak hidupnya. Sebagaimana penulis menyampaikan pendidikan moral secara dasar dimulai dari sisi informal atau keluarga, keluarga 18 Moderasi Beragama
disini yang memiliki tanggungjawab penuh atas kesuksesannya adalah orang tua (ayah dan ibu). Sehingga menjadi urgen bagi orang tua untuk melakukan pendekatan, pembiasaan dan transfer of knowledge. Pendekatan, adalah sebuah cara utama untuk mengetahui kegemaran hingga bakatnya (Hyoscyamina, 2011). Sebagaimana seorang anak yang baru lahir bak kertas putih yang perlu dilukis seindah mungkin oleh orang tuanya. Dominasi dalam mendidik anak oleh orang tua perlu kiranya menjadi prinsip utama. Sehingga rasa cinta seorang anak terhadap orang tua, menanamkan ekspresi hormat kepada yang lebih tua terutama orang tuanya sendiri, hingga beberapa pembiasaan yang lain yang membawa dampak manfaat bagi masyarakat sekitar maupun luas. Dominasi dalam mendidik, apabila diupayakan secara maksimal dengan cara memberikan perhatian yang lebih serta beberapa pelatihan yang mampu mengatasi tantangan hidup (Gharabaghi, 2011), salah satunya adalah bagaimana anak dapat belajar cepat untuk memahami beberapa kelebihan, kelemahan hingga karakter masyarakat luar. Kurikulum khazanah kebhinekaan menjadi pendidikan wajib bagi orang tua untuk memperkenalkan kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Selain menumbuhkan rasa cinta terhadap negaranya, juga sebagai upaya perawatan inventaris tradisi dan budaya bangsa. Sebagaimana mengembalikan Kembali marwah budaya bangsa pada zaman dahulu seperti beberapa lagu nasional, lagu-lagu daerah, hingga beberapa tarian tradisional merupakan cara orang tua memperkenalkan dengan berbagai cara media yang ada dirumahnya. Dengan bangga atas khazanah tradisi lokal, bukanlah hal yang final. Melainkan orang tua juga perlu memberikan Alaika M. Bagus Kurnia PS 19
wawasan toleransi dalam keberagaman. Kompetensi afektif dapat diraih dengan cara penumbuhan rasa keberagaman, bukan rasa kompetisi. Sebagaimana daerahnya yang lebih baik daripada lainnya. Embrio yan seperti itu apabila dibiarkan, memberikan celah bagi kekurangan dalam pendidikan. Rekonstruksi atas definisi ini menjadi tumpuan yang perlu diperhatikan bagi orang tua. Sehingga budaya lokal disekitarnya bukanlah menjadi alat untuk menyerang dan melemahkan budaya lain, sehingga pengembangan budaya lokal merupakan bukti cinta tanah air dengan mengedepankan promosi atas kearifan lokalnya(Akhirin, 2014). Kesalehan Nasional Sebagai Suksesor Pendidikan Kebangsaan Bertaraf Kebhinekaan Demikian juga selayaknya metode pendidikan diatas dengan beberapa poin yang dapat diambil seperti (1) menghilangkan pola pikir kompetisi atas corak dan karakter tradisi dan budaya kelompok lain. Selama mereka masih berstatus warga negara Indonesia dan tidak membuat kericuhan dan keresahan masyarakat, maka kelompok tersebut masih menjadi inventaris kekayaan bangsa. (2) penanaman rasa bangga atas kekayaan budaya dan tradisi bangsa Indonesia. (3) mengedepankan etika dalam berinteraksi sebagai pembentukan modal awal dari lingkup pendidikan berbasis keluarga. Dengan cara menghormati orang yang lebih tua, khususnya orang tua, mencintai yang muda tanpa tebang pilih sebagaimana fundament moral Pancasila. Kunci kesuksesan tersebut akan dianggap berhasil apabila indikator terakhir pada pembahasan ini menjadi titik tumpu yang wajar. Sebuah kesalehan personal. Seorang anak sebagai objek pendidikan tergantung dalam menyikapi sebuah 20 Moderasi Beragama
persoalan yang dihadapi. Sebagaimana mereka membaca, melihat hingga merespon. Persoalan tersebut bisa menjadi kesempatan, namun juga bisa menjadi boomerang baginya. Beberapa dogma atas perbuatan tersebut bagi anak- anak saat ini adalah cerdas dalam mengoperasikan gadget sebagai media informasi primer di era disrupsi saat ini. Keberadaan gadget adalah sebagai media persoalan besar bagi netizen secara nasional. Sebab lahirnya permasalahan dan hadirnya trending topic atas aib tingkah laku suatu kelompok lokal sering didapat dari gadget(Marpaung, 2018). Mereka ada yang mudah terpengaruh, dan ada yang cerdas dalam memilah. Juga ada yang kritis dalam mengomentari atas persoalan yang dibaca. Mereka yang mudah terpengaruh adalah sebuah persoalan yang lumrah diadapi saat ini. Salah satu menjadi faktor utamanya adalah kualitas membaca masyarakat Indonesia dinilai buruk(Permatasari, 2015). Pesan tersebut perlu menjadi digaris bawahi oleh orang tua, agar menyediakan beberapa media maupun bahan ajar yang ada di rumah dengan mengedepankan mereka gemar membaca. Juga sebagaimana pembiasaan literasi dengan cara gemar resensi atau mengritisi beberapa quotes atau kalimat kesimpulan yang ada didalam referensi bacaannya. Teringat dengan budaya orang eropa tentang seorang suami memberikan tugas matematika bagi istrinya yang hamil. Budaya ibu hamil bukan lagi nyidam buah-buahan lagi, melainkan memperbanyak membaca dan menulis sebuah pengetahuan atau keilmuan. Ini merupakan sebuah corak budaya ibu rumah tangga. Pastinya mereka juga melakukan upgrading pengalaman dan pengetahuannya secara mandiri. Adopsi budaya tersebut juga dilakukan di Bantul(Novianti & Fatonah, 2018). Sebagai pilar rumah tangga, ibu-ibu baik Alaika M. Bagus Kurnia PS 21
dalam kondisi hamil, maupun tidak mampu menjadi garda terdepan dalam memfilter sebuah pengalaman pribadi maupun perkembangan ideologi. Salah satu bentuk penguatan literasi tersebut adalah dengan cara membentuk FGD pada kesempatan perkumpulan PKK. Perkumpulan tersebut juga menjadi momentum tersendiri bagi para ibu rumah tangga sebagai bentuk meminimalisir dampak negatif dari perkembangan digital saat ini. Kemudian dalam lingkup rumah tangga perlu membiasakan berdiskusi dan evaluasi sebagai bentuk ikhtiar pendidikan. Dengan cara metode musyawarah ataupun tanya jawab, dapat membentuk gaya berpikir anak untuk cerdas memilah dan mampu mengkritisi bentuk persoalan. Baik persoalan secara pribadi maupun salah satu berita yang menjadi topik pembicaraan diruang keluarga. Sebagai penguatan utama. Adalah penanaman keagamaan. Hakikat agama dihadirkan sebagai sila pertama adalah negara didirikan atas dasar ketuhanan. Sebagaimana masyarakat yang saat ini dilahirkan adalah menjadi khali>fah fi al-ardh. Menjadi khalifah dalam hal ini adalah untuk menebar cinta dan kasih sayang dengan cara mengembangkan dan merawatnya. Sehingga esensi dari agama diturunkan juga sebagaimana Rasulullah Saw diutus juga untuk memperbaiki akhlak manusia. Dialog mengenai akhlak, masyarakat beragama pastilah menjadi masyarakat yang berakhlak. Maka proses doktrinasi keagamaan adalah sebuah hak dari masing-masing preogratif internal keluarga. Paksaan beragama adalah tidak dibenarkan. Namun toleransi dengan cara memberikan kebebasan dalam beragama juga merupakan bentuk hidup berdampingan (Nazmudin, 2017). Memberikan kebebasan, memberikan 22 Moderasi Beragama
tempat ibadah sesuai dengan takaran kebutuhan di setiap wilayah maupun daerah adalah upaya menciptakan kerukunan. Jauh dari hal tersebut juga tidak dibenarkan atas membiarkan anaknya untuk memeluk agama lain karena alasan toleransi. Maka disinilah batasan yang dimaksud dalam memberikan batasan proyek kebhinekaan dalam keberagaman. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil atas strategi orang tua dalam menciptakan pendidikan toleransi atas kebhinekaan dalam keberagaman perlu memerhatikan beberapa item. Item yang pertama adalah upaya orang tua memberikan wawasan kebangsaan dengan memperkenalkan khazanah tradisi dan budaya bangsa. Dengan memperkenalkan lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah, tarian daerah hingga pada akhirnya memunculkan rasa cinta hingga mempromosikan serta mengembangkan budayanya sebagai bentuk bangga atas budaya lokalnya (inventarisir kekayaan budaya dan tradisi lokal). Memberikan target saleh secara personal pada masing- masing pendidikan keluarga dengan cerdas dalam menghadapi berbagai persoalan maupun berita yang dihadapi maupun dibacanya. Mereka perlu ditanamkan budaya klarifikasi, musyawarah hingga kritis dalam menanggapi sebuah berita maupun persoalan. Karena kewibawaan bangsa bukan hanya ditinjau dari kecerdasan intelektual belaka, melainkan kecerdasan dalam manajemen emosional perlu diseragamkan bagi setiap insan pendidikan. Sehingga pada akhirnya pendidikan prenatal dengan memerhatikan menentukan jodoh, kebiasaan ibu hamil yang Alaika M. Bagus Kurnia PS 23
gemar membaca, hingga memberikan fasilitas maupun media literasi dirumah sebagai kebutuhan pokok belajar anaknya. Daftar Pustaka Akhirin, A. (2014). Manajemen Pemberdayaan Komite Sekolah Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal. Intelegensia: Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 23–39. Gharabaghi, K. (2011). A Culture of Education: Enhancing School Performance of Youth Living in Residential Group Care in Ontario. Child Welfare, 90(1). Hantono, D., & Pramitasari, D. (2018). Aspek Perilaku Manusia Sebagai Makhluk Individu Dan Sosial Pada Ruang Terbuka Publik. Nature: National Academic Journal of Architecture, 5(2), 85–93. Hidayati, N. (2016). Konsep Integrasi Tripusat Pendidikan Terhadap Kemajuan Masyarakat. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 11(1). Hyoscyamina, D. E. (2011). Peran Keluarga Dalam Membangun Karakter Anak. Jurnal Psikologi, 10(2), 144– 152. Lestari, G. (2016). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan SARA. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(1). Marpaung, J. (2018). Pengaruh Penggunaan Gadget dalam Kehidupan. KOPASTA: Jurnal Program Studi Bimbingan Konseling, 5(2). 24 Moderasi Beragama
Nazmudin, N. (2017). Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Journal of Government and Civil Society, 1(1), 23–39. Novianti, D., & Fatonah, S. (2018). Literasi Media Digital di Lingkungan Ibu-Ibu Rumah Tangga di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi, 16(1), 1. Permatasari, A. (2015). Membangun kualitas bangsa dengan budaya literasi. Romli, K. (2015). Akulturasi dan asimilasi dalam konteks interaksi antar etnik. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 8(1), 1–13. Soeprapto, S. (2013). Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam Perspektif Etika Pancasila. 23, 18. Alaika M. Bagus Kurnia PS 25
Biografi Alaika M. Bagus Kurnia PS atau disapa akrab Alex lahir di kota Pahlawan (Surabaya) pada 3 Juni 1992 dari pasangan KH. Agus Fahmi dan Tutik Zahrotul Amaliyah. Lahir dan besar di dunia pesantren, sehingga lingkungan aktivitasnya tidak jauh darinya. Ayah dari dua orang anak Shakeena dan Shakila tersebut memiliki jejak studi yang hanya berkutat di Surabaya saja. Alumni SMA Khadijah Surabaya pada tahun 2011 tersebut, melanjutkan jenjang studi strata-1 nya di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada program studi Pendidikan Agama Islam hingga merampungkannya pada tahun 2015 dengan berubah nama kampusnya menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Kemudian melanjutkan studinya di UIN Sunan Ampel Surabaya pada program Pascasarjana program studi Pendidikan Agama Islam hingga tahun 2017. 26 Moderasi Beragama
Dan saat ini tepat dimulai pada tahun 2019, Ia melangsungkan studi program Doktoral di UIN Sunan Ampel Surabaya dengan mengambil program studi linier, yaitu PAI juga. Aktivitas sehari-harinya menjadi dosen di berbagai kampus. Yaitu dosen Agama Islam dan Ilmu Sosial di STIKes Surabaya, dosen Agama Islam di ITS Surabaya dan dosen LB di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan-Program Studi PAI, UIN Sunan Ampel Surabaya dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Selain menjadi dosen, penulis juga aktif mengikuti beberapa program kepenulisan, penelitian hingga pengabdian masyarakat. Beberapa karya yang sudah terpublish di google schoolar link:https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=eSqX8 dIAAAAJ atau kata kunci sebagaimana nama lengkap penulis. Alaika M. Bagus Kurnia PS 27
Kerukunan dan Toleransi Antar Umat BeragamaDalamMembangun Rasa Persaudaraan Negara Republik Indonesia Taufiq Hidayat, M.Pd STKIP Yapis Dompu M asyarakati Indonesiai merupakani masyarakati yangi terdirii darii beragami agamai, yangi di tandaii dengani keanekaragamani agamai itu mempunyaii kecenderungani yangi kuati terhadapi identitasi agamai masingi-masingi dan berpotensii konfliki. Indonesiai merupakani salahi satui contohi masyarakati multikulturali. Multikulturali masyarakati Indonesiai tidaki sajai karenai keanekaragamani sukui, budayai, bahasai, rasi tapii jugai dalami hal agamai. Adapuni agamai yangi diakuii olehi pemerintahi Indonesiai saati sekarangi ini adalahi agamai Islami, Katoliki, Protestani, Hindui, Budhai, dan Kongi huchui. Darii agamai- agamai tersebuti terjadilahi perbedaani agamai yangi dianuti masyarakati Indonesiai. Dengani perbedaani tersebuti apabilai tidaki terpeliharai dengani baiki bisai menimbulkani konfliki antari umati 28 Moderasi Beragama
beragamai yangi bertentangani dengani nilaii dasari agamai itui sendirii yangi mengajarkani kepadai kitai kedamaiani, hidupi salingi menghormatii, dani salingi tolongi menolongi. Olehi karenai itu, untuki mewujudkani kerukunani kehidupani antari umati beragamai yangi sejatii, harusi terciptai satui konsepi hidupi bernegarai yangi mengikati semuai anggotai kelompoki sosiali yangi berbedai agamai gunai menghindarii konfliki antari umatberagamai yangi terjadii tibai-tibai yangi masihi di Erai saati inii. Makai darii itui, tulisani inii akai mengupas pentingnyai menciptakani kerukunani dan toleransii antari umati beragamai membanguni rasai persaudaraani di Negarai Republiki Indonesia. Dalami konteksi inii jugai sebagaimanai telahi dikemukakani olehi Hasyimi Umari (1970), kerukunani antari umati beragamai merupakani pilari kerukunani nasionali adalahi sesuatui yangi dinamisi, karenai itui harusi dipeliharai darii waktui ke waktui. Kerukunani hidupi antari umati beragamai sendirii berartii keadaani hubungani sesamai umati beragamai yangi dilandasii toleransii, salingi pengertiani, menghargaii kesetaraani dalami pengalamani ajarani agamanyai dan kerjai samai kehidupani bermasyarakati, berbangsai dan bernegarai. Dengani demikiani, bahwai kerukunani antari umati beragamai itui sendirii jugai bisai diartikani dengani toleransii antari umati beragamai. Dalami toleransii itui sendirii padai dasarnyai masyarakati harusi bersikapi lapangi dadai dan menerimai perbedaani antari umati beragamai. Selaini itui masyarakati jugai harusi salingi menghormatii satui samai lainnyai misalnyai dalami hal beribadahi, antari pemeluki agamai yangi satui dengani lainnyai tidaki salingi menganggu. Taufiq Hidayat 29
Pembahasan Dalami konteksi kepentingani negarai dan bangsai, kerukunani umati beragamai merupakani bagiani pentingi dari kerukunani nasionali. Kerukunani umati beragamai adalahi keadaani hubungani sesamai umati beragamai yangi dilandasii toleransii, saling pegertiani, salingimenghormatii, menghargaii kesetaraani dalam pengalamani ajarani agamanyai dan kerjasamai dalam kehidupani bermasyarakati, berbangsai, dan bernegarai di dalami Negarai Kesatuani Republiki Indonesiai berdasarkani Pancasilai dan Undangi-undangi Dasari Negarai Republiki Indonesiai Tahun 1945. Oleh karena itu, kerukunani hidup antar umati beragamai merupakani prakondisii yang harusi diciptakani bagii pembangunani di Indonesiai (Muktii Alii: 1975: 42i). Sedangkan bangsa kita tertekan untuk mempertahankani negara Kesatuani Republiki Indonesia yang berdasarkani Pancasilai dan UUDi 1945i. Kita juga telah bertekadi untuk terus membanguni masyarakati, bangsai dan negarai kitai agari menjadii bangsai yangi majui dan moderni tanpa kehilangani kepribadiani kita dalami konteksi itu, agama-agama mempunyaii tempati dan peranani yangi vitali dan menentukani dalami kehidupani kitai bermasyarakati, berbangsai dan bernegarai.” Demikiani pentingnyai kerukunani hidupi antari umati beragamai dalami prosesi pembangunani bangsai, hal inii disebabkani karenai merekalahi yangi merencanakani, melaksanakani dan merasakani hasili pembangunani tersebuti, Seluruhi umati beragamai di Indonesiai adalahi subyeki darii pembangunani bangsai Indonesiai. Seluruhi umati beragamai harus memberikani kontribusii yang nyatai bagi pembangunani nasionali yang dilaksanakani 30 Moderasi Beragama
bangsai Indonesiai. Nilai-nilaii religiusi harusi dapati memberii motivasii positifi dan menjadii arahi tujuani dalami seluruhi kegiatani pembangunani di Indonesiai. Kerukunani antar umati beragamai dengani pemerintahi sangati diperlukani terciptanyai stabilitasi nasionali dalami rangkai pembangunani bangsai. Kurikulumi ini harusi didukungi oleh kerukunani antar umati beragamai dani kerukunani interni umati beragamai. Kerukunani yangi dimaksudi bukani sekedari terciptanyai keadaani dimanai tidak ada pertentangani intern, umati beragamai atau antari umati beragamai dengani pemerintahi. Kerukunani yang dikehendakii adalahi suatui kondisii terciptanyai hubungani yang harmonisi dan kerjasamai yang nyatai, dengani tetap menghargaii adanyai perbedaani antar umat beragamai dan kebebasani untuk menjalankani agamai yang diyakininyai, tanpa menganggui kebebasani penganuti agamai laini. Jadii kerukunani yangi di cita-citakani bukanlahi sekedari rukuni-rukunani melainkani suatui kerukunani yang benari-benari otentiki dan dinamisi (Suparmani Usmani, 2007i : 58-59i). Dalami pandangani Weinatai Sairini, dengan kerukunani otentiki dimaksudkani bukanlahi kerukunani yang diusahakani hanya oleh karenai alasani-alasani praktisi, pragmatisi dan situsionali. Tapi semangati kerukunani yang benar-benari keluari dari hatii yang tulusi dan murnii, karenai ia didorongi oleh sesuatui keyakinani imaniahi yang dalami sebagaii perwujudani dari ajarani agamai yang diyakinii (PPKHBi,1979 i:39i) Sedangkani kerukunani dinamisi dimaksudkani bukan sekedari kerukunani yang berdasarkani kesediaani untuk menerimai eksistensii yang lain dalam suasanai hidupi bersamai Taufiq Hidayat 31
tapi tanpa salingi menyapai. Melainkanikerukunani yang didorongi oleh kesadarani bahwai, walaupuni berbedai, semua kelompoki agama mempunyaii tugas dan tanggungi jawabi bersamai yang satu yaitu mengusahakani kesejahteraani lahiri dan bathini yang sebesari-besarnyai bagi semuai orang (bukani hanyai umatnyai sendirii). Untuki menjaga kerukunani hidupi antar umat beragamai salah satunya dengani dialog antar umat beragamai. Salah satu prasyarat terwujudnyai masyarakat yang modern yang demokratisi adalah terwujudnyai masyarakati yang menghargaii pluralitasi atau kemajemukan masyarakat, bangsasertai mewujudkannyai dalami suatui keniscayaan. Daftar Pustaka Alii, H. Muktii. 1975i. Kehidupani Beragamai Dalami Prosesi Pembangunani Bangsai. Bandungi: Proyeki Pembinaani Mentali Agamai. Hasyimi, Umari. 1970. Toleransii Dan Kemerdekaani Beragamai Dalami Islami Sebagaii DasariMenujui Dialogi Dan Kerukunani Antari Agamai. Surabayai: PT. Binai Ilmui Usmani, Suparmani. 2007. “Kerukunani SuatuiKebutuhani dan Keniscayaani “. Dalam Dinamikai Umati. Banteni: Kanwili Depagi Provinsii Banteni. Edisii 51i/VIi/2007. 32 Moderasi Beragama
Biografi Penulis Taufiq Hidayat, lahir di Mataram, 6 Mei 1994, Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara buah dari pasangan Ismail H.Ibrahim dan Isten Alwi. Opik adalah panggilan akrabnya, ia terlahir dari di keluarga yang sangat sederhana, Ayahnya seorang Guru PNS disebuah sekolah di SDN 1 Anjani Lombok timur dan Ibu juga Guru PNS di SDN 09 SILA di Bima mereka berdua sudah meninggal dunia. Taufiq Hidayat 33
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203