MERETAS BATAS ASA Oleh : Amin Hidayat, M.Pd. SEKAPUR SIRIH Oleh : Drs. PURWADI SANTOSO, M.Hum. CV SHALMA JAYA ABADI SIUPP No. 00870/11.07/PK.4/XI/2010 Jl. Protokol No 10 RT 04/07 Karangnanas Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah Telp. 0281-6575182 / 085747836249 email : [email protected] www.infopasti.com
MERETAS BATAS ASA Amin Hidayat, M.Pd. CV SHALMA JAYA ABADI SIUPP No. 00870/11.07/PK.4/XI/2010 Jl. Protokol No 10 RT 04/07 Karangnanas Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah Telp. 0281-6575182 / 085747836249 email : [email protected] www.infopasti.com Sekapur Sirih : Drs. PURWADI SANTOSO, M.Hum Editor : Miladiyah Susanti, S.Pd. Lay Out : Tohjiwa Wiji Asmara Ilustrator : Amin Hidayat, M.Pd. Proofreader : M. Hasyim Al Asngari, SP. MP. ISBN : Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang, dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit. Sanksi pelanggaran pasal 72 Undang-undang No. 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
MUKADIMAH KUKUH TEGAR SANTOSA, ikon novel ini, dikisahkan sebagai pemuda jebolan salah satu SMP Muhammadiyah dusun Jeruk Legi di pedalaman Gunung Kidul. Anak keenam dari sebelas bersaudara ini mempunyai tekad kuat untuk dapat melanjutkan sekolah. KUKUH berjuang menghidupi diri sekaligus untuk bisa bersekolah dengan menjadi buruh pengiris bawang di sebuah warung soto. Kukuh menjalani hari-harinya tanpa mengeluh. Ia lewati dengan memeras keringat dan air mata. Sesuai dengan namanya ia tetap tegar dan kukuh untuk meretas batas asa. Ia meyakini akan kekuasaan Sang Khaliq yang menjanjikan pada hambanya, barang siapa berikhtiar dan bertawakal akan dikabulkan doa- doanya. Ending cerita, Kukuh akhirnya mampu menyelesaikan pendidikannya di SMK dengan predikat lulusan terbaik, bahkan diusulkan untuk mendapatkan bea siswa melanjutkan studi teknik penerbangan di Jerman. Untuk lebih gamblang dan utuhnya alur, silahkan baca lembar demi lembar! Semoga bermanfaat. Penulis
SEKAPUR SIRIH Oleh : Drs. PURWADI SANTOSO, M.Hum. Novel “Meretas Batas Asa” ini patut untuk dibaca oleh anak muda, karena memberi motivasi dan inspirasi untuk terus maju menghadapi kesulitan. Ketegaran yang diperlihatkan oleh Kukuh sebagai tokoh utama, tidak hanya menonjolkan ketangguhan tetapi juga sikap bijak dalam menempatkan diri pada posisi yang tepat dan tidak melawan arus terhadap lingkungannya. Ketegarannya tergambar jelas dalam sikap yang pantang menyerah meski dalam kondisi serba sulit. Novel ini mendidik sikap dan karakter anak. Oleh karena itu, tepat jika novel ini disebut novel pendidikan. Tidak salah karena penulisnya adalah seorang pendidik, yang ingin menstranfer seluruh kemampuan, pikiran dan juga pengalamannya agar dapat diadopsi oleh pemuda-pemuda sekarang. Pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak anak putus sekolah. Umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi, disusul kurangnya dukungan keluarga, dan faktor ketiadaan daya juang menghadapi kesulitan, sebagaimana yang dihadapi Kukuh. Novel ini mendidik pula bagi orang tua yang biasanya menjadi loyo jika faktor ekonomi menghimpit keluarganya. Oleh karena itu novel ini patut pula dibaca oleh para orang tua. Demikian pula novel ini layak dibaca bagi siapa saja yang punya keluarga besar. Bagaimana orang tua harus bersikap bijak terhadap anak-anaknya supaya
anak-anak tertua yang telah mapan tidak seperti kakaknya Kukuh, memiliki perhatian terhadap adik- adiknya. Kakak adalah orang tua kedua dari suatu keluarga terhadap adik-adiknya. Begitu seharusnya pepatah yang menjadi pegangan kakak-kakaknya. Novel ini sangat patut dibaca oleh anak-anak muda yang sedang mencari jati diri. Bagaimana bersikap terhadap teman-teman yang berbeda latar belakang maupun karakternya, sehingga mampu diterima. Selamat atas terbitnya novel kecil ini, saya yakin bermanfaat untuk pembentukan karakter anak- anak muda.
DAFTAR ISI Ÿ Mukadimah Ÿ Sekapur Sirih Ÿ MENYIBAK TIRAI Ÿ TERKENA GETAH Ÿ MEMENDAM RASA Ÿ MALAIKAT ITU PERGI Ÿ ASA MASIH MENYALA Ÿ MERETAS JALAN SENDIRI Ÿ MIMPI MENGGAPAI BINTANG KEJORA Ÿ ESOK LEBIH BANYAK ASA
MERETAS BATAS ASA
Pagi masih buta. Temaram sinar bulan masih tersisa. Nyanyian jangkrik juga masih terdengar pemecah lengang. Baru beberapa ekor ayam jantan yang sudah terjaga, berkokok nyaring menyambut fajar datang, membelah kelam malam. Tapi, tubuh kerempeng Kukuh telah berpeluh. Kedua tangannya berkeringat mengkilat, usai mengupas dan mengiris sekeranjang penuh bawang merah. Kelopak matanya sesekali rapat dipejamkan menahan perih. Air bening mengintip malu-malu di sudut kedua mata, sesekali meleleh, bergulir-gulir di pipinya yang tirus. Jalinan otot-otot belia terlihat jelas dari balik kulit mudanya yang cokelat. Bara semangat remaja memancar tajam dari sorot matanya yang bulat, hitam tajam. Sepasang alis tegas dengan bulu mata tebal, kian mempertegas betapa keras jalan hidup yang 19
harus dilalui. Nyaris tak pernah melepas tawa. Hanya, sesekali senyum kecil tersungging, menjadi tanggul bagi air mata yang tak hendak diperlihatkan. Kukuh Tegar Santosa. Pemuda jebolan salah satu SMP Muhammadiyah Dusun Jeruk Legi, di pedalaman Gunungkidul. Umurnya belum genap 16 tahun. Anak keenam dari sebelas bersaudara. Hidup jauh dari orang tua, merantau di Jakarta, menumpang di rumah Pakde Sumar, kerabatnya. Menghidupi diri dengan menjadi buruh pengiris bawang, di sebuah warung soto ayam milik Pak Isak di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. “Tidak akan aku membiarkan diri menjadi peminta-minta. Tak kan kurelakan tanganku tengadah memohon belas kasihan, kecuali pada Tuhan,” tekad dalam hatinya. Sesaat jarum jam baru meninggalkan waktu tengah malam, Kukuh sudah bangkit dari sisi Pakde Sumar. Langkahnya terarah menuju kamar mandi, mencuci muka, lalu ke dapur minum segelas air putih. Tanpa menimbulkan suara, ia keluar menuju tempat kerjanya, dapur warung soto Pak Isak. Segera diraihnya sekarung bawang merah. Disiapkannya sebuah keranjang bambu, tampah besar, talenan, juga pisau kecil yang tajam sebagai senjatanya. Seketika, jemarinya yang kurus panjang-panjang, lincah mengupas kulit bawang. Butir demi butir bawang lokal dikupas kulit arinya, lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Bau menyengat dan gas pedas yang menguras air mata sama sekali tak dihiraukan, hingga setengah isi karung berpindah ke dalam keranjang. Dengan menahan pedih di bola mata, ia mencuci umbi-umbi berwarna merah itu dengan air bersih di bawah keran. 19
Kedua lengan kecilnya yang berpeluh, tampak berkilau-kilau tertimpa cahaya lampu bohlam 80 watt di dapur. Dua bola matanya yang tampak agak menonjol, terlihat memerah berair. Diusapnya mata itu dengan lengan atas, sebelum kemudian mengambil tampah, juga talenan kayu asam. Sejurus kemudian, jemarinya kembali menari-nari sangat cekatan, mengiris butir-butir bawang hingga menjadi serpihan - serpihan tipis. Gerakannya sangat cepat, seakan tak peduli bahwa jarinya bisa tercabik-cabik pula. Baru sepertiga isi keranjang berkurang, air mata telah bergulir-gulir di pipinya. Jika sudah begitu, ia berhenti sejenak. Ditengadahkannya muka, menyeka air mata dan mengambil oksigen segar dari udara sebanyak ia bisa. Sesekali ia pejamkan mata rapat- rapat, menahan pedih yang menusuk-nusuk, sembari terus memainkan pisau. Terkadang digeleng- gelengkan pula kepala, atau bahkan bangkit lalu mencuci muka, jika perih di kedua bola matanya tak lagi tertahankan. Tapi, hanya beberapa saat saja hal itu dilakukan, sebelum ia kembali melanjutkan pekerjaanya, sampai seluruh isi keranjang berubah menjadi serpihan tipis siap goreng. Tak kurang dari 20 kg bawang merah segar setiap menjelang fajar telah ia taklukkan. 19
Setiap menjelang dini hari pekerjaan itu Kukuh lakukan. Sendirian! Dari semenjak bangun tidur, hanya sekitar satu setengah jam selepas tengah malam, baru selesai sesaat menjelang subuh datang. Irisan bawang lalu dicucinya lagi dengan garam dapur, sebelum kembali ditiriskan dan siap digoreng. Usai menyelesaikan pekerjaan, ia bergegas mencuci muka di bawah keran air. Dibiarkannya derasnya cucuran air memijat permukaan wajah, mengalirkan sebagian kecil air untuk membasuh dua bola matanya yang seakan terbakar. Sesaat ia meringis menahan perih yang terasa kian mengiris- iris indra penglihatnya. Dinikmatinya detik-detik ketika air mata deras mengucur melarutkan segala perih dan sakit yang dirasakan, lalu dipejamkannya rapat-rapat kelopak mata. Disekanya air yang masih mengalir dengan lengan baju, lalu diulanginya gerakan itu berulang-ulang. Berkali-kali pula matanya kembali terasa perih teriris, sampai akhirnya hanya sedikit perih tersisa membungkus bola matanya yang bulat dengan bagian putih sangat bersih melingkari bagian hitamnya yang tajam. Untuk semua sakit dan perih yang dirasakan, Kukuh menerima imbalan uang Rp 150 ribu seminggu. Selembar nafas panjang direbut Kukuh dari celah-celah udara pagi di dalam dapur berukuran 7 x 7 meter itu. Lalu seperti biasa, ia mengambil air wudlu. “Bismillaahirrohmaanirrohiim. Nawaitu wudluua lirof'il hukmil khadatsil asghoori lillahita'ala,” bisiknya lirih. Pemuda belia itu mencuci kedua telapak tangan, berkumur-kumur, menghirup air ke lubang hidung kemudian menghembuskannya kembali, membasuh muka, tangan hingga ke siku, 19
membasahi kepala dari dahi ke belakang sampai tengkuk, kedua telinga, sampai akhirnya mencuci telapak kaki juga sela-sela jarinya hingga sebatas mata khaki. Jelas terlihat, pemuda bersahaja itu melakukan seluruh gerakan wudlunya dengan sepenuh hati. Setiap kali membasuh bagian-bagian tubuh, dia lontarkan permohonan agar bagian itu selalu dijaga oleh Tuhannya. “Ashaduanlaailaaha illalloh, wa ashadu anna Muhammadan abduhu warosuuluh. Allohummaj 'alni minattawabina, waj'alni minal mutatohhiriin.” Tak pernah bosan ia mengamalkan doa-doa sederhana, yang pernah diajarkan guru ngajinya sewaktu masih di kampung Jeruk Legi. Beberapa lama setelah itu, barulah Pakde Sumar yang bertugas sebagai koki utama datang ke dapur lalu menghampirinya. “Saya sembahyang Subuh dulu, Pakde,” kata Kukuh. “Ya. Setelah sembahyang, istirahat saja. Biar Pakde yang nggoreng bawange,” jawab Pakde Sumar sambil menggamit pundak keponakannya itu. “Nggih Pakde,” sahut Kukuh sambil sedikit membungkuk, lalu melangkah menuju ruang kecil yang berfungsi sebagai mushola. Pandangan Pakde Sumar melekat di punggung pemuda kerempeng yang tengah menghadap Tuhannya itu. Matanya kian sendu ketika memandangi tubuh kurus keponakannya, yang tengah khusyu bersujud di atas sajadah. Matanya berkaca-kaca. “Le, ndak kusangka tekadmu sebegitu besar sampai-sampai kamu mau bekerja seperti ini. Sebenarnnya ndak perlu kamu menjadi buruh 19
ngiris brambang begini. Kamu sekolah saja, belajar keras dan raih cita-citamu. Aku sanggup menanggung semua kebutuhanmu,” gumamnya terlalu lirih hingga hanya dirinya sendiri yang mendengar. Sejenak pria berusia 54 tahun dan bertubuh gempal itu larut dalam perasaan sentimentil. Namun segera ia menguasai diri, lalu buru-buru disekanya air mata yang hendak bergulir ke pipinya yang tambun. Sehelai nafas panjang dihirup mengusir sesak di dada, lalu bergegas melangkah menuju tungku tempatnya bekerja. Pakde Sumar sebenarnya hanya kerabat jauh Kukuh. Pria berkulit gelap itu, adalah anak kakak perempuan neneknya, dari garis ibu. Meski demikian, pria yang tidak lagi memiliki keluarga setelah ditinggal mati isterinya saat hendak melahirkan anak pertama itu, sangat menyayangi Kukuh, selayak anak sendiri. Tekadnya sangat kuat, ingin membantu Kukuh menggapai mimpi terbesarnya, menjadi seorang guru. Bermula ketika Pakde Sumar pulang kampung. Ia berkunjung ke rumah sepupunya, Siti Aminah, ibu si Kukuh, di pedalaman Gunungkidul. Ketika sampai, ia melihat Kukuh tengah duduk melamun di dekat kandang kambing belakang rumah. 19
Ia menangkap ekspresi wajah anak sepupunya itu teramat muram, dengan mata berkaca-kaca, mulut terkatup rapat, kedua telapak tangan mengepal kuat, dan nafas memburu. Tampak jelas pemuda belia yang baru saja lulus SMP dengan hasil terbaik tingkat kecamatan itu, tengah berusaha keras meredam gelegak emosi mudanya. “Lho Le, ada apa kok duduk sendiri di sini?” tanya Pakde Sumar sambil memegang pundak kanan anak sepupunya itu. Yang ditanya diam seribu bahasa. Hanya mendongak sekejap, berusaha melempar senyum tetapi gagal. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, kemudian menunduk lagi. Tak ada kalimat keluar dari mulutnya, selain hanya sapaan pendek, “Pakde.” Dimain-mainkannya dua telunjuk dan ibu jarinya, seakan tengah mengadu kekuatan antara jari telunjuk tangan kanan dengan tangan kiri, juga antara jempol kanan dengan yang kiri. Sesekali tangannya kembali mengepal. Digosok-gosok kepalanya yang berambut ikal, sebelum akhirnya berdiri, lalu melangkah menuju kandang kambing. Sesaat kemudian terlihat ia menuntun tiga ekor kambing piaraannya, menuju tanah lapang yang berjarak sekitar setengah kilometer dari rumah, terpisah oleh kebun jagung milik tetangga. “Maaf Mas Sumar, kalau sikap Kukuh ndak sopan. Anak itu masih sangat kecewa karena mungkin saja ndak bisa meneruskan sekolah,” kata Bu Aminah yang berdiri di belakang Pakde Sumar. “Ndak sekolah gimana, to? Kudengar, Kukuh itu anak pintar,” sahut Pakde Sumar. 19
“Lha mau gimana lagi, Mas. Kalau Kukuh mau melanjutkan sekolah, wong sekarang sudah ndak ada lagi yang bisa dijual buat membayar biayanya. Dulu, yang pertama Si Iman, kan sudah diangkat jadi pegawai di kantor Bupati, biayanya ndak sedikit. Pekarangan dekat lapangan itu, yang sekarang jadi ladang jagung, sudah menjadi milik orang. Lalu si Ilham sekolah perawat dulu, juga sudah diangkat jadi mantri di Puskesmas. Tebusannya, ya kebon belakang ini. Belum lagi si Zulkifli yang memaksa kepingin jadi polisi, syarat dan kelengkapannya kami dapat dari utangan. Borgnya ya rumah dan tanah ini. Dua kakak perempuan Kukuh, si Retno dan si Septi, juga terpaksa berhenti sekolah setelah lulus SMP. Ndak ada uang lagi untuk sekedar ongkos dan beli buku, Mas”. Bu Aminah, berhenti sesaat, memenuhi paru-parunya dengan oksigen, lalu menambahkan. “Adik-adik Kukuh masih ada yang kelas 2 SMP, kelas 6 SD, kelas 4, dan kelas 2. Lalu yang paling kecil sebentar lagi juga harus sekolah. Dari mana bapaknya bisa dapat uang buat biaya sekolah mereka semua, sedangkan sekarang hanya bisa menggarap sawah orang. Alhamdulilah masih cukup buat makan kami sehari- hari, sudah sangat bersyukur, Mas.” “Apakah tidak ada perhatian dari sekolahnya, to Dik? Kudengar si Kukuh menjadi murid paling pintar se kecamatan. Masa ndak ada perhatian sama sekali. Kan, bisa diusulkan agar mendapatkan beasiswa? Sayang sekali kalau dia ndak melanjutkan sekolahnya,” tanya Pakde Sumar. “Lah Mas, barangkali memang sudah nasibnya si bocah. Gurunya memang bilang kalau si Kukuh diusulkan untuk mendapat beasiswa. Tetapi beasiswa 19
itu hanya untuk mencukupi biaya pendidikan di sekolah saja. Sedangkan biaya lainnya untuk transport ke sekolah yang jaraknya lebih dari 10 km, beli buku, biaya praktikum, dan lain-lainnya, harus tetap ditanggung sendiri. Ndak cukup uang sedikit. Dari mana lagi? Sudah ndak ada barang yang bisa dijual atau digadaikan.” Kembali Bu Aminah menceritakan situasinya kepada sepupunya itu. Sejenak berhenti, seutas nafas panjang kembali dihirup dalam-dalam. Matanya menerawang jauh, menembus rimbunnya kebun jagung, mencari-cari sosok tubuh putra keenamnya yang tengah menghibur lara hati dengan menggembalakan kambing-kambingnya. Kepasrahan memancar tenang dari rona wajah perempuan kurus itu. Ia terlihat berusaha keras mempertahankan sikap tenang, meski di lehernya jelas terlihat urat-uratnya menegang, menahan beban ludah yang mencekek tenggorokkannya. Perempuan berkulit gelap terbakar matahari berumur 50-an itu, mengalihkan tatapan sayunya ke arah saudara sepupunya, Pakde Sumar. Sepertinya ia hendak membagi beban batinnya. “Salah perhitungan, Mas. Dulu kami mengira pekerjaan Bapak sebagai pemborong, bakal terus maju. Bakal langgeng. Karenanya kami berani mempertaruhkan semuanya untuk membeli posisi bagi tiga anak laki- laki pertama. Ternyata, proyek-proyek sekarang sudah dibagi-bagi, dibeli orang-orang yang punya banyak uang dan banyak kenalan pejabat. Terus, bukan lagi ngrasani anak sendiri, ya Mas, tadinya saya kira anak-anak yang sudah mendapat tempat mapan akan ingat sama nasib adik-adiknya. 19
Ternyata kan tidak sama sekali? Begitu mentas, berkeluarga, ya hasilnya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, sama sekali ndak ingat nasib adik- adiknya. Ndak bisa disalahin juga, sih Mas. Lha wong mereka juga sudah memiliki tanggungan sendiri, anak dan isterinya, kok. Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi. Ndak perlu ada yang disesali. Sudah jalannya harus seperti ini. Syukur alhamdulillah, setidaknya sudah ada tiga anakku yang hidup mapan. Sekarang tinggal bagaimana membuat Kukuh dan adik-adiknya bisa menjalani hidupnya dengan nrimo. Tentu saja Bapaknya tetap berusaha keras agar anak-anak juga bisa sekolah.” Bu Aminah kehabisan kata-kata. Ia diam, matanya jauh menerawang. Pakde Sumar terpaku, pandangannya sayu. Kedua kerabat itu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Pak Abdullah ayah Kukuh, semula adalah seorang pemborong yang cukup sukses di lingkungannya. Meski tak mengenyam pendidikan tinggi, hanya lulusan STM jurusan teknik bangunan, ia piawai merancang dan menaksir sebuah bangunan. Karena itu, ia sering dimintai tolong orang untuk memborong pembangunan rumah atau bangunan lainnya. Mahakaryanya antara lain kantor balai desa yang masih berdiri kokoh dengan sisa-sisa kemegahannya, meski telah lebih 20 tahun berdiri. Seiring waktu berjalan, posisi Pak Abdullah kian tersisih oleh pemborong-pemborong lain. Perkembangan dunia property yang sangat dinamis dan pesatnya kemajuan ilmu serta teknik arsitektur maupun konstruksi, tak sanggup diimbangi oleh lelaki yang hampir tak pernah pergi jauh dari 19
rumahnya itu. Minimnya modal juga menjadi faktor lain ia semakin terpinggirkan, lalu tersingkir. Pada akhirnya, ia memutuskan benar-benar mundur dari profesinya sebagai pemborong. Kini ia bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesekali bekerja sebagai bas atau tukang batu. Di lain waktu menjadi makelar berbagai barang kebutuhan para tetangga, bahkan menjadi buruh tani di sawah milik orang lain. Jika sedang tak ada yang meminta bantuan, kakinya melangkah ke hutan yang agak jauh dari rumah, mencari pohon kamboja dan mahoni. Lelaki paruh baya itu biasa mengumpulkan bunga kamboja dan biji buah mahoni, untuk kemudian dijemur hingga kering lalu dijual kepada pengepul dari luar daerah yang telah dikenalnya. Belakangan, ia mencoba peruntungan dengan berjualan bakso keliling kampung. Sementara Bu Aminah, istrinya tak berpangku tangan. Perempuan yang telah melahirkan 11 anak itu membanting tulang bermandi peluh, membantu meringankan beban suaminya. Tanpa malu apalagi ragu, hampir setiap hari ia memanggul keranjang, menenteng sabit, mencari rumput untuk tiga ekor kambing dan dua ekor sapi tetangga yang dipiaranya. Pada musim tanam, biasa menjadi buruh menanam padi, dengan upah tak lebih dari Rp 20 ribu sehari. Lalu saat musim panen tiba, ia juga buruh memetik padi. Upahnya berupa bawon, yaitu gabah sebanyak 10 persen dari bobot gabah yang berhasil dipetiknya. Ketika sedang senggang, ia membuat aneka makanan dan gorengan seperti; gendar pecel, bakmi goreng, 19
bakwan, pisang goreng, tahu, cemplon, atau makanan tradisional lainnya, lalu menjajakannya dengan berkeliling kampung. Seolah tak mengenal lelah, pasangan suami isteri itu memeras keringat. Mereka berusaha keras mewujudkan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap delapan anaknya yang belum mentas. “Dik Minah, bagaimana kalau si Kukuh ikut aku ke Jakarta saja?” tanya Pakde Sumar tiba-tiba. Bu Aminah terhenyak. Cepat-cepat Pakde Sumar menambahkan, “Ya, memang hidupku sendiri tidak berlebihan di Jakarta. Tetapi, kalau si Thole ndak keberatan, biar dia tinggal bersamaku. Aku akan mengasuhnya seperti anakku sendiri. Insya Alloh, aku juga sanggup menyekolahkan. Ya, hitung-hitung dia menemani hidupku yang sendirian ini, Dik.” Wajah Pakde Sumar terlihat serius. Bu Aminah terpaku menatap wajah sepupunya, seakan tak percaya dengan apa yang didengar. Tak ada kata-kata. Baru beberapa saat waktu berlalu, ia menghela nafas panjang lalu berujar tenang, “Kalau begitu, biar Bapaknya yang menjawab, Mas. Wong anaknya belum pernah berpisah dari orang tua, kok. Lagi pula dia belum ngerti pekerjaan apa-apa. Bisa- bisa di Jakarta dia malah menyulitkan Mas. ******* Menjelang jam 9 malam, Pak Abdullah pulang. Tubuhnya yang kurus dengan tinggi hanya sekitar 155 cm, jelas menampakkan gurat-gurat kelelahan. “Hari ini agak sepi, Bu. Tetapi alhamdulillah, lebih dari separoh dagangan yang terjual. Masih sisa sedikit, ndak apa-apa,” ujarnya sesaat setelah menyandarkan gerobak basonya di samping rumah. 19
Disekanya keringat yang membasahi wajah dan lehernya dengan handuk kecil. Dengan rambut yang telah beruban sebagian, laki-laki itu terkesan jauh lebih tua dari usia sebenarnya yang baru 55. “Eh, ada Mas Sumar, to? kapan datang, Mas? Kok ndak kasih kabar dulu jadi saya bisa nunggu di rumah saja. Lama ndak ketemu, bagaimana kabarnya sekarang? Maaf ya, saya baru pulang.” Pak Abdullah memberondongkan kalimat suka cita, begitu melihat kehadiran kerabatnya dari Jakarta itu. Buru-buru dipeluknya Pakde Sumar erat-erat. “Bu, tolong buatkan bakso untuk Mas Sumar. Yang seger, Bu!” pintanya sambil menengok ke arah isterinya. Senyumnya lebar. “Sudah sejak tadi sore, kok Dik. Kebetulan beberapa hari ini aku kepengin libur, terus kok inget sama anak-anak di sini. Aku kangen sama mereka, Dik,” jawab Pakde Sumar dengan senyum lebar pula. “Yah, beginilah hidup kami sekarang, Mas,” ujar Pak Abdullah agak tertahan. “Alhamdulillah, semua sehat, kebutuhan insya Alloh juga ndak sampai kekurangan. Anak-anak masih pada sekolah,” tambahnya. Kali ini senyumnya tak lagi lebar. Dua pria setengah baya itu saling berbagi kabar. Sesekali mereka tertawa bersama, sambil menikmati asap rokok yang dibawa Pakde Sumar sebagai oleh- oleh untuk Pak Abdullah. Tak lama kemudian, Bu Aminah datang menyuguhkan dua mangkok bakso panas dan sepiring tahu isi. Semangkok disajikan untuk Pakde Sumar, yang lain untuk suaminya. “Mari, Mas, dicobain selagi masih panas! Lumayan seger kok bakso bikinan Bapaknya ini,” kata Bu Aminah bernada promosi. “Lha yang ini untuk 19
bapak. Bapak juga belum makan to?” ujarnya lagi sembari menyodorkan mangkok di hadapan suaminya. Sambil menikmati bakso panas, Pakde Sumar kembali menyampaikan keinginannya. “Dik Dul, saya dengar si Kukuh itu pintar. Waktu ujian kemarin, dia mendapat nilai terbaik sekecamatan,” ujarnya memancing. Pak Abdullah yang juga sedang menikmati bakso, hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Pakde Sumar melanjutkan, “Tadi saya juga sudah ketemu sama si Kukuh. Kelihatannya dia sedang kesal.” Pak Abdullah kembali hanya mengangguk- angguk. Senyumnya tak lagi ada. Sesaat pandangannya terarah ke wajah Pakde Sumar. Sesaat kemudian, ia kembali menikmati baksonya. Lagi-lagi tak ada kalimat yang diucapkan. Pakde Sumar kembali berkata, “Kudengar anak itu kesal karena ndak bisa melanjutkan sekolah ke SMA. Apa benar begitu Dik Dul?” Kali ini Pak Abdullah berhenti menyendok baksonya. Ia menatap langsung ke arah Pakde Sumar. Sesaat suasana agak tegang. Tetapi detik berikutnya, senyum lelaki kecil berkulit gelap itu kembali merekah lebar. Ia pun kembali mengangguk-angguk, lalu menyendok baksonya lagi. Diambilnya pula sepotong tahu goreng, lalu dimakan bersama bakso. Melihat sikap Pak Abdullah yang tenang, Pakde Sumar melanjutkan kalimatnya. “Sayang sekali bila Kukuh harus berhenti sekolah. Maaf, bukan berarti 19
saya meragukan tekad Dik Dul untuk tetap berjuang demi anak-anak, tetapi rasanya memang terlalu berat harus menanggung biaya delapan anak sekaligus.” Pakde Sumar diam menunggu reaksi Pak Abdullah. Ketika tak juga ada tanggapan, ia memberanikan diri mengutarakan maksudnya. ”Maksudku begini Dik Dul, bagaimana kalau si Kukuh ikut aku ke Jakarta? Ya, walaupun hidupku juga hidup tidak berlebihan, barangkali cukup kalau hanya untuk membiayai si Kukuh sekolah. Sekalian, biar dia nemenin saya di Jakarta. Dik Dul masih ingat to, kalau saja waktu itu Gusti Alloh mengijinkan aku punya anak, pasti seumuran dengan si Kukuh. Gusti punya kehendak lain, justru istri dan calon bayiku diambil kembali dariku. Lha sekarang ini, sekali lagi kalau Dik Dul ndak keberatan, biar si Kukuh bersama aku, sebagai pengganti anakku.” Wajah Pakde Sumar meredup, menatap sayu mata Pak Abdullah. Pak Abdullah membalas tatapan Pakde Sumar. Sorot matanya tampak lembut dan hangat. Namun lagi-lagi ia tak berkata apa-apa, kecuali menepuk- nepuk pundak lelaki kerabat isterinya itu. Selembar nafas panjang dihirup, lalu kembali menyuapkan bakso ke dalam mulut dan melumatnya, hingga suapan terakhir. Seluruh isi mangkok plus dua biji tahu isi, telah berpindah ke perutnya yang memang lapar. Setelah sudah menyelesaikan kunyahan terakhir dan menyisihkan mangkok dari hadapannya, ia baru berkata, “Terima kasih Mas Sumar. Sebenarnya, masalah si Kukuh itu juga yang sekarang sedang benar-benar saya pikirkan.” Sejenak berhenti untuk mengambil beberapa nafas panjang, membuat ruang lega di dadanya yang terasa menyesak. 19
Dengan nada sangat tenang, ia melanjutkan, “Anak itu memang pandai, jadi aku mengerti kalau dia sangat kecewa bila ndak bisa melanjutkan sekolah. Padahal cita-citanya sangat mulia, kepengin jadi guru, Mas. Terkadang saya merasa ndak enak sama anak ini. Sementara kakak-kakaknya sudah berhasil jadi orang, dia kesulitan untuk sekedar melanjutkan ke SMA hanya karena ndak ada biaya.” Mata lelaki yang masih menampakkan sisa-sisa ketampanan itu terlihat menerawang. “Ya, saya tidak menyangka tiba-tiba sekarang Mas Sumar. Alhamdulillah, kok Mas sudi mengulurkan tangan dengan kemurahan hati seperti ini. Barangkali Alloh memang memberikan jalan buat si Kukuh sekolah melalui Mas Sumar ini.” Pak Abdullah berhenti, terlalu gembira ia mendapati kejutan dari Pakde Sumar, sehingga dadanya semakin terasa sesak. ”Tetapi Mas, tentu saja semua juga tergantung pada si Kukuh, mau tidak dia pergi ke Jakarta, jauh dari orang tua. Makanya lebih baik kalau sekarang kita tanya langsung anaknya. Lagi pula, apakah nanti Mas Sumar ndak kerepotan jika Kukuh ngikut. Anak itu belum pernah pergi jauh dari kami. Belum ngerti pekerjaan sama sekali,” tambahnya. Senyum Pakde Sumar semakin lebar karena gembira. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia berkata, “Dik Dul ndak usah kawatir, 19
insa Alloh aku akan senang sekali kalau bisa mengajak Kukuh, menjadikannya seperti anak sendiri. Ndak akan merasa kerepotan sama sekali.” Ketika niat Pakde Sumar disampaikan langsung kepada Kukuh, seketika raut anak itu ceria. Ia mengangguk-angguk kegirangan. Senyumnya lebar. “Asal bisa sekolah, di manapun ndak apa-apa kok Pak. Ikut Pakde Sumar juga mau. Sambil bekerja juga mau,” jawabnya penuh keyakinan. Tekadnya terpancar kuat. Diraihnya tangan Pakde Sumar lalu diciumnya berulang-ulang. “Terima kasih, Pakde,” katanya. Esoknya, Kukuh langsung mengekor Pakde Sumar, naik bus menuju Jakarta. Sampai di Ibu Kota, ia didaftarkan sebagai murid baru di SMK P di bilangan Blok M. Sekali naik Metro Mini 75 dari kediaman Pakde Sumar di Pasar Minggu. Semula Pakde Sumar ingin agar Kukuh benar-benar hanya bersekolah dan melaksanakan kewajiban belajar. Namun karena pemuda tanggung itu terus mendesak untuk ikut bekerja, akhirnya ia membawanya ke warung soto Pak Isak tempatnya bekerja. “Kamu belum pernah bekerja, kan? Begini saja, kamu coba mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di sini. Apa saja yang kamu bisa. Boleh mencuci peralatan makan. Boleh ikut mengiris bawang. Atau apa saja,” sambut Pak Isak, pemilik warung soto saat pertama Kukuh mengajukan keinginannya untuk bekerja. “Terima kasih, Pak! Saya biasa membantu ibu mengiris bawang. Juga sudah biasa mencuci piring di rumah,” tutur Kukuh tegas. “Bagus! Tetapi kamu tetap harus belajar supaya menjadi anak pintar, ya!” pesan Pak Isak yang sudah mengetahui latar belakang Kukuh dari Pakde Sumar. 19
“Insya Alloh, Pak,” sambut Kukuh bersemangat. Di dalam hatinya telah tumbuh tekad yang sangat kuat untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, sekaligus belajar secara serius. Dari tatapan mata, tutur kata, dan sentuhan Pak Isak, ia merasakan bahwa orang tua bermata sipit itu berempati kepadanya. Tanpa disadari, semua itu menjulangkan motivasi dalam dirinya. Kukuh menjalani hari-hari tanpa pernah mengeluh. Meski sesaat setelah tengah malam sudah harus bangun menjalankan pekerjaan mengiris bawang, lalu belajar sebentar sebelum berangkat sekolah menjelang pukul 06.00 WIB, dan kembali pulang setelah lewat pukul 15.00, ia terlihat selalu gembira. Memang jarang tertawa terbahak-bahak seperti teman-temannya, tetapi senyum tipis selalu menghias bibirnya, menghadirkan dua lekik pipi yang mempesona. Pulang sekolah, setelah meletakkan buku dan berganti baju, ia kembali ke warung soto yang hanya berjarak beberapa ratus langkah dari kontrakan Pakde Sumar. Ia membantu mencuci peralatan makan. Baru ketika Magrib datang, ia pulang lalu berkonsentrasi belajar. “Kamu ndak usah kerja lagi kalau sudah magrib. Waktumu untuk belajar,” Pak Isak memberinya kebijakan. Pukul 22.00 WIB Kukuh berbaring di ranjang berupa kasur pegas ukuran besar di dalam rumah petak yang disewa Pakde Sumar. Sekejap kemudian, ia lelap dibuai mimpi masa depan. Di sampingnya, Pakde Sumar pun terlihat pulas setelah lelah memasak seharian. 19
Menjalani hari-hari sebagai seorang pelajar SMK di Jakarta, bagi Kukuh bukan perkara mudah. Persoalan lingkungan yang berbanding terbalik dengan ketika masih di kampung, membuatnya gagap. Belum lagi kencangnya detak jantung kehidupan ibu kota yang baginya terasa ribuan kali lebih cepat ketimbang saat masih bersama kedua orang tua, membuat remaja ini terengah- engah berusaha menyesuaikan kekuatan. Meski begitu, tekadnya tetap utuh ingin melanjutkan sekolah sampai usai. “Aku harus jadi orang. Kerja apa pun nanti, yang penting sekarang harus terus sekolah” tegas batinnya. Sekolah Kukuh termasuk salah satu yang terbaik di antara SMK-SMK swasta lain di Jakarta. Selain fasilitasnya lengkap, sistem pendidikannya 19
menerapkan disiplin sangat ketat. Dengan prosentase jumlah siswa laki-laki yang mencapai lebih dari 85 persen, atmosfer di sekolah yang usianya sudah cukup tua itu terasa berbeda. Cenderung bertemperamen tinggi, mudah terpicu emosi. Apalagi jika bergesekan dengan pelajar dari sekolah-sekolah lain, yang letaknya berdekatan. Sewaktu-waktu bisa pecah permusuhan, perkelahian, hingga berujung tawuran masal di jalanan. Sekolah ini juga masuk dalam daftar hitam sekolah pelanggan tawuran di Jakarta. Paling tidak sekali dalam sebulan, ada saja perang jalanan yang melibatkan para siswa, baik dalam kelompok kecil maupun yang melibatkan hampir seluruh siswa. Situasi semacam itu sering menghantui Kukuh. Dilema dihadapi anak kampung itu, tatkala ia berkeras untuk tak terlibat dalam kemelut permusuhan dengan pelajar lain. Sejatinya memang ia hanya ingin belajar, tak hendak melibatkan diri dalam kegiatan sia-sia, apalagi keributan tanpa alasan. Namun karena sikap itu pula ia dicap tak setia oleh teman-teman sekolahnya. Alhasil, bukan hanya oleh anak-anak dari sekolah lain yang memusuhi, teman- teman satu sekolah, bahkan satu kelas pun tak melihatnya sebagai kawan. Jadilah ia terasing. Sendirian. Sama sekali tak ada kawan. Ini seperti sebuah potret nyata kehidupannya yang harus menapaki jalan terjal penuh onak menuju cita-cita, tanpa teman maupun keluarga. Ia pernah berusaha mencari akar masalah yang mengharuskannya hanyut dalam arus kebiasaan perang turunan itu. Ia bertanya kepada salah satu seniornya, “Kenapa kita bermusuhan dengan sekolah sebelah? 19
“Sudah dari sononya begitu. Kalau kita tidak melawan, ya pasti babak belur diserang. Pasti dihajar duluan,” jawab siswa senior yang ditanya. Yang lainnya berkata, “Sekarang ini tak ada pilihan bagi kita. Hanya menyerang atau diserang.” “Yang penting kita selalu siaga, jangan sampai kalah!” teriak yang lainnya lagi. Jawaban senada dilontarkan Handi, satu-satunya teman dekat yang sekelas. “Tak perlu kau tanya kenapa kita jadi musuh bebuyutan sama sekolah sebelah. Ada yang bilang, dulunya karena ada anak sekolah ini yang berantem sama anak sebelah, gara- gara rebutan cewe. Lalu teman-temannya pada menunjukkan rasa setia kawan, akhirnya tawuran sampai ada yang mati. Walaupun sudah didamaikan, tapi dendamnya tak pernah hilang. Sampai sekarang. Jadi kita ini mau tidak mau hanya harus melanjutkan tradisi. Sebab kalo kita ga siaga juga, hancur kita, Sob!” “Jadi, tidak ada yang tahu kenapa kita harus bertaruh nyawa setiap hari?” gumam Kukuh. Walau matanya mengarah ke wajah Handi, pandangannya nanar. Mulutnya sedikit melongo. “Amit-amit, semoga saja aku ndak harus terlibat ikut tawuran,” gumamnya lagi. Sejak itu, sebisa mungkin ia menghindari bergerombol bersama teman-teman, terutama jika sedang di luar sekolah. Ia lebih banyak menyendiri, atau sekedar berjalan bersama teman dekatnya saja. Suatu Jumat siang ketika Kukuh hendak pulang. Di halte bus depan sekolah, ia menunggu angkutan bersama puluhan teman satu sekolahnya. Duduk sendiri agak terpisah di belakang, seperti biasanya. 19
Tak terlibat dalam gelombang tawa canda, kecuali sesungging senyum sekedar penyambung rasa. Sekonyong-konyong sebuah bus Metro Mini 69 melintas. Sekelompok pelajar laki-laki berseragam abu-abu batik berjubel di dalamnya, juga bergelantungan di pintu. “Aduh! Astaghfirulloh!!!” Sebuah teriakan histeris terdengar dari kerumunan anak-anak di halte. Seketika Kukuh rubuh ke trotoar. Darah mengucur deras dari kepalanya. Tangan kanannya menekan bagian atas kepala yang terlihat menganga. Sebuah batu runcing sekepalan tangan orang dewasa tergeletak dekat kepalanya. Dalam sekejap ia pingsan, dengan wajah dan tubuhnya yang kurus bersimbah darah. Beberapa orang yang berada di dekatnya mencoba menolong. Selang beberapa kejapan mata kemudian, teman-teman sekolah Kukuh yang sempat terpaku, sontak berlarian mengejar Metro Mini yang penuh dengan pelajar laki-laki berseragam abu-abu batik tadi. Sangat cekatan tangan-tangan mereka memunguti batu atau apa saja yang bisa diambil dari pinggir jalan, lalu melemparkannya secara membabi buta ke arah Metro Mini. Seperti kesetanan, anak-anak itu berlarian sambil berteriak lantang, “Pengecut! Ayo turun! Turun!” Yang lain tak kalah nyaring berseru, “Kejaaaar! Kejaaaar! Hajaaar!” Sumpah serapah pun diluapkan, seolah menjadi api penyulut bara yang telah menyala di dada mereka. Sambil terus berteriak riuh rendah, anak-anak berseragam cokelat krem itu terus berlari, mengejar dan menyerang bus berwarna oranye yang terseok- 19
seok mencoba menembus padatnya arus lalu lintas ibu kota. Namun sesaknya kendaraan di jalan, juga karena penumpang yang terlalu sesak di dalam, membuat bus tua itu tak sanggup berlari. Sopir dan kernetnya memilih kabur, menyelamatkan diri masuk gang. Demikian pula anak-anak sekolah berbaju batik abu-abu di dalam bus, berhamburan keluar, lari tunggang-langgang mencari tempat sembunyi. Tak pelak. Metro Mini pun jadi bulan-bulanan pelampiasan kemarahan teman-teman Kukuh. Kaca- kacanya pecah berantakan terkena lemparan batu. Bodinya pun penyok-penyok tak berbentuk lagi. Belum puas dengan hanya menghancurkan Metro Mini, rekan-rekan Kukuh menyisir sepanjang tepi jalan Ampera Raya. Mereka bahkan juga merazia angkutan-angkutan lain yang lewat, untuk mencari pelajar berseragam batik abu-abu. Dengan mengatasnamakan rasa setia kawan, juga harga diri, 19
anak-anak yang tengah berada dalam masa pencarian jati diri itu berkeras ingin menemukan paling tidak satu anak dari pihak lawan, untuk dimintai pertanggungjawaban. Sebelum target itu tercapai, mereka akan terus menuntut balas. Agenda tawuran terus berjalan, meski tak pernah dikoordinasikan. Ketika perang jalanan terjadi, seolah lenyap segala pengetahuan dan pemahaman anak-anak sekolah itu tentang norma. Seakan tak pernah mendapat pelajaran tentang nilai-nilai agama maupun etika dari guru-guru mereka. Para pelajar itu tak lagi berbeda, bahkan jauh lebih tak bermoral dari anak-anak jalanan, yang tak pernah punya kesempatan mengenyam indah, mewahnya belajar. Mereka sangat beringas, kasar, brutal, dan emosional, seperti siap menghancurlumatkan segala sesuatu yang berbau lawan. Kembali ke tubuh Kukuh yang terkapar bersimbah darah. Besarnya luka di kepala menyebabkan banyak darah yang keluar. Kekuatan tubuh kurus bocah itu tak sekukuh namanya. Ia pun pingsan. Beberapa orang dewasa dan teman sekolahnya segera melarikannya ke sebuah rumah sakit besar, tak jauh dari tempat kejadian. Segera pula ia mendapatkan pertolongan. Setidaknya 15 jahitan benang disematkan, untuk merajut kembali kulit kepalanya yang terkoyak di dekat ubun-ubun. Pak Daud, wali kelas Kukuh yang mendapat kabar dari Handi tentang peristiwa itu, segera menyusul ke rumah sakit. Ia tiba ketika Kukuh baru saja siuman, ditemani beberapa teman sekelasnya. Seketika ia kaget melihat kondisi murid yang selama ini dianggap sangat baik itu. Baju seragamnya yang putih telah berubah menjadi merah karena darah. 19
“Untunglah tidak terkena tepat di ubun-ubun,” kata dokter muda yang menolong Kukuh di IGD kepada Pak Daud. Dokter muda itu menambahkan , “Kita masih belum tahu apakah tulang tengkoraknya baik-baik saja. Barangkali nanti ditunggu perkembangannya, apakah pusingnya berlanjut disertai muntah atau tidak. Kalau memang terjadi seperti itu, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.” Pak Daud mengangguk-angguk. “Terima kasih, Dok,” katanya sambil mengangguk ke arah dokter yang segera melangkah pergi. Sambil memegang ujung kaki Kukuh, Pak Daud bertanya, “Bagaimana kamu bisa terlibat sampai seperti ini.” Ia seakan tak percaya, muridnya yang pendiam itu terkapar menjadi korban tawuran yang brutal. Yang ditanya hanya menggeleng-geleng lemah. Ia masih belum sadar sepenuhnya. Tetapi lirih ia bergumam, “Pakde Sumar.” Air mata pemuda belia itu bergulir. Semakin deras mengalir, membasahi wajahnya. Tak ada kata lain yang ia ucapkan, hanya, “Pakde Sumar.” Pak Daud agak kebingungan. “Ada yang tahu siapa Pakde Sumar?” “Pakde Sumar itu ayah angkatnya Kukuh, Pak. Tinggal di Pasar Minggu,” jawab Handi. “Tadi si Kukuh sedang di halte Pak. Nunggu Metro Mini 75, mau pulang. Dia lagi duduk. Kita-kita lagi pada bercanda. Tiba-tiba ada Metro Mini 69 lewat. Nggak tahu bagaimana, tiba-tiba Kukuh berteriak keras dan rubuh. Jadi, dia, kita-kita juga, nggak sedang tawuran, Pak. Baru setelah melihat Kukuh jatuh pingsan karena kepalanya bocor saja, anak-anak pada emosi. Langsung ngejar Metro Mini 69,” jelasnya berusaha menghapus prasangka buruk sang guru. 19
“Ya sudah, sekarang coba hubungi Pakde Sumar dulu. Barangkali si Kukuh kepengin memberi tahu keluarganya,” kata Pak Daud. Karena tak tahu harus menghubungi Pakde Sumar di mana, Handi memberikan nomor telpon warung soto Pak Isak tempat orang tua angkat temannya itu bekerja. Beberapa saat kemudian, Pak Daud menghubungi Pakde Sumar yang sedang berada di warung soto Pak Isak. Beliau menjelaskan dengan hati-hati apa yang menimpa Kukuh hari itu, sambil berusaha agar tidak menimbulkan kepanikan. Ia juga meminta Pakde Sumar agar datang ke rumah sakit. Lebih dari satu jam kemudian, Pakde Sumar tiba di rumah sakit. Tergopoh-gopoh ia mendekati ranjang Kukuh di IGD. Tampak tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Kukuh. Tak ada kata yang diucapkan. Sorot matanya memancarkan kekhawatian yang amat. Bibirnya bungkam, rahangnya terkatup rapat menyembunyikan gelegak emosi dari dalam batinnya. “Maafkan Kukuh, Pakde,” ujar Kukuh sesaat ia melihat Pakde Sumar datang. Suaranya lirih tertahan. Badannya masih lemah. Air matanya kembali mengalir deras. Dadanya terasa sesak, dengan gejolak perasaan yang ia sendiri sulit menggambarkan. Ada ketakutan karena merasa telah menyusahkan Pakde Sumar, orang yang sudah berbaik hati mengulurkan tangan untuknya melanjutkan sekolah. Ada gelegak jiwa remajanya yang meronta - ronta hendak melawan, saat teman - temannya menyematkan julukan banci, anak kampung tak punya nyali. Emosinya membuncah menohokkan keinginan kuat untuk juga unjuk kekuatan, menjadikan diri diakui. 19
Seluruh tubuhnya bergetar. Tetapi muncul bisikan lain di sudut nuraninya,”Kamu datang untuk meraih cita- cita. Untuk menunjukkan dirimu ada, sebagai seseorang yang berbeda, lebih baik dari semuanya. Jadi kenapa harus merasa terhina oleh sesuatu yang hina?” Bahkan di telinganya masih terngiang-ngiang pesan Pakde Sumar setiap kali ia hendak berangkat ke sekolah. “Kuh, ndak mudah jadi anak sekolah di Jakarta, Le. Penyakitnya banyak. Yang paling gawat itu namanya tawuran. Hampir semua pelajar laki-laki terjangkiti wabahnya. Itu seperti kamu memegang pedang bermata ganda. Soale, kalau kamu terlibat tawuran itu jelas salah. Tetapi kalau ndak ikut, mungkin saja kamu nanti dikucilkan sama teman, atau bisa juga tetap menjadi korban. Ikut ya bahaya, ndak terlibat pun bisa juga babak belur. Apalagi sekolahmu itu, walaupun bagus juga dikenal doyan tawuran. Hati-hati ya, Le! Jangan sampai terpancing provokasi! Ingat cita-citamu!” Begitu nasihat orang tua barunya itu. Air matanya yang mengalir, seolah mewakili sebaris pembelaan diri di hadapan Pakde Sumar. Batinnya berteriak, “Aku ndak pernah melupakan nasihat Pakde. Pakde, aku sudah selalu menghindar karena memang hanya kepengin sekolah. Aku tak pernah marah, walau anak-anak bilang aku banci tak punya nyali. Tapi lihatlah, aku tetap mengecap getah.” “Ndak, ndak apa-apa Le. Pakde tahu, kamu ndak salah. Pak Guru tadi sudah menjelaskan. Hari ini kamu lagi apes,” hibur Pakde Sumar sambil membelai-belai lembut kepala Kukuh yang sudah selesai dijahit dan diperban. Pria itu seperti tahu betul apa yang sedang 19
berkecamuk di dalam hati anak lelakinya. “Katanya kamu sudah boleh rawat jalan. Sekarang kita pulan saja, besok pagi kita kontrol. Syukurlah tadi Pak Guru bilang, biayanya dah ditanggulangi sekolah. Bukan begitu, Pak? Terima kasih,” katanya sambil membungkuk hormat ke arah Pak Daud. Yang diajak bicara membalas dengan anggukan dan sesungging senyum hangat. “Iya, Pak. Peristiwa ini kan terjadi masih di lingkungan sekolah, jadi sekolah nanti yang bertanggung jawab. Lagi pula, kamu memang hanya menjadi korban, Kuh. Mari saya antarkan sekalian sampai ke rumah.” Pak Daud menawarkan kebaikannya. Bertiga mereka keluar rumah sakit menuju rumah Pakde Sumar di Pasar Minggu. Beberapa teman Kukuh yang sejak awal menemani, juga pulang ke rumah masing-masing. Senin pagi, sebenarnya Kukuh belum diijinkan Pakde Sumar untuk kembali bersekolah. “Le, apa ndak lebih baik kamu bikin surat izin saja. Ndak usah ke sekolah dulu, toh surat dokternya masih ada to? Lukamu masih baru, terus nanti apa iya ndak bakal ada tawuran lagi?” saran Pakde Sumar sebelum berangkat ke warung soto Pak Isak menjelang Subuh. Masih jelas tersirat kekhawatiran di wajah pria bertubuh gempal itu. “Ndak apa-apa kok, Pakde. Sudah ndak terasa sakit. Kalau ndak masuk kan sayang, Pakde. Nanti bisa ketinggalan pelajaran,” jawab Kukuh enteng sambil tersenyum riang. Ia berusaha agar pria yang kini menjadi satu-satunya tempatnya bergantung itu, tidak terlalu khawatir. “Malah kalau saja Pakde sama Pak Isak mengijinkan, mulai nanti malam saya sudah mau bekerja ngiris brambang lagi,” tambahnya bersungguh-sungguh dengan senyum lebar. 19
Pakde Sumar menggeleng-gelengkan kepala. “Ndak perlu kerja dulu! Istirahatlah sampai kepalamu yang bocor itu sembuh,” tegasnya sebelum berlalu, menuju dapur warung soto Pak Isak, tempatnya bekerja. Pagi itu, Kukuh mengikuti upacara bendera yang tidak selalu rutin dilaksanakan di sekolah, kecuali pasca terjadi peristiwa penting, termasuk tawuran. Kepala Sekolah yang menjadi pembina upacara, menyinggung tawuran Jumat sore. Kebetulan, perban di kepala Kukuh belum dilepas. “Kalian lihat sendiri, hari ini kembali ada teman kalian yang menjadi korban. Bersyukur, karena hanya kepala yang bocor, bukan nyawa yang melayang. Kebetulan juga barangkali, bila yang bocor itu adalah kepala anak yang justru selalu menolak berkelahi. Anak yang oleh sebagian dari kalian dicap banci, hanya karena tidak pernah mau diajak tawuran,” tuturnya tegas saat menyampaikan sambutan. “Sampai kapan, atau bagaimana caranya agar hal semacam ini tidak terjadi lagi?” tambahnya. Sekolah Kukuh memang dikenal sering terlibat tawuran. Kalau dirunut dari waktu ke waktu, sudah ada beberapa nyawa siswa yang melayang, meski sekolah tak pernah mengijinkannya menjadi bahan publikasi. Kepala sekolah, guru-guru, bahkan para alumni pun tak pernah memahami betul pangkal masalah selalu memicu perang antarpelajar itu. Berbagai langkah telah dilakukan pihak sekolah sebagai upaya pencegahan. Di antaranya dengan melakukan penggeledahan terhadap tas siswa, guna mengantisipasi kemungkinan siswa membawa senjata tajam atau segala sesuatu yang bisa dijadikan 19
senjata dalam tawuran. Upaya pembinaan juga dilaksanakan secara internal sekolah, baik berupa kegiatan bimbingan konseling, pengarahan oleh psikolog dan pakar pendidikan, sampai tauziah oleh tokoh agama, dengan tujuan mengubah kebiasaan tawuran. Beberapa kali juga telah dilakukan pertemuan damai, bermusyawarah, dan mengusahakan kerja sama dengan sekolah-sekolah lawan, terutama setiap kali menghadapi masa-masa ujian sekolah. Efeknya memang tawuran berhenti. Namun hanya sebentar saja, tepatnya ketika ujian berlangsung. Begitu ujian usai, agenda tawuran kembali dimulai. Tak sedikit di antara siswa yang telah mempersiapkan diri. Mereka hampir selalu membekali diri dengan apa saja yang bisa menjadi senjata. Ada yang berupa gesper bermata gir, sangkur, badik, celurit, hingga pedang samurai. Golongan terakhir ini, ketika hendak berangkat sekolah tak ubahnya prajurit yang siap dikirim ke garis depan. Siap pasang badan, membuat pagar betis demi sebuah prestis dan harga diri yang mereka sendiri tidak pernah memahami. O ya, jangan heran kalau para guru hampir tidak pernah melihat siswanya membawa senjata seperti itu. Sebelum masuk kelas, anak-anak jagoan ini sudah tahu di mana harus menitipkan bawaannya. Kios-kios atau para penjaja makanan di sekitar sekolah menjadi salah satu tempat yang aman. Jika tidak, mereka biasa menyembunyikan senjata- senjata itu di balik semak-semak atau bahkan tanaman hias di ligkungan sekolah. Taktik mencari aman seperti itu, sudah menjadi tradisi yang diwariskan tanpa harus diajarkan secara verbal. 19
Seolah sudah menjadi laten, sehingga siapapun yang masuk ke sekolah-sekolah berpredikat tukang tawuran, secara otomatis terinjeksi bakat berkelahi. Menjadi temperamental. Memiliki ikatan emosional kuat dengan sesama siswa. Bahkan tercipta pula loyalitas luar biasa yang cenderung membabi buta terhadap kelompoknya. Biasanya mereka mengusung tema, kesetiakawanan dan harga diri. Walaupun kalau ditanya, nyaris tak ada siswa benar-benar yang mengetahui kesetiakawanan macam apa yang diusungnya itu. Tidak pula ada yang bisa menjelaskan, harga diri siapa yang mereka lindungi dalam setiap perang jalanan itu. Demikian juga dengan anak-anak yang masuk SMK P, tempat Kukuh mengejar mimpinya sekarang. Usai upacara, anak-anak duduk berkelompok. Sebagian terlihat saling berbisik. Entah apa topik yang sedang hangat mereka bicarakan. Barangkali saja mereka mendiskusikan materi pengarahan kepala sekolah dalam upacara tadi, bahwa korban kali ini seorang bocah yang selalu menolak terlibat tawuran, lalu menjadikan mereka menyesal. Tetapi juga bukan tidak mungkin, mereka justru tengah merancang strategi baru untuk menuntut pembalasan dendam, setelah hari Jumat kemarin tak berhasil membuktikan bentuk solidaritas terhadap teman yang dilukai. Bukan mustahil mereka tengah merancang jebakan untuk menangkap atau setidaknya melukai salah satu anak berpakaian batik abu-abu di dalam Metro Mini 69. “Kuh, sekarang kamu dah ngebuktiin sendiri, kan ngga berarti kalau kita ngga ikut perang itu kita menjadi selamat? Tu buktinya kamu sendiri. 19
Kenapa juga tu batu melayangnya ke kepalamu, bukan kepala kita - kita yang lagi berkumpul tertawa - tawa,” kata Handi setengah meledek. “Makanya nggak usah menghindar.Cuma buat ngebela diri. Kita diserang, kan wajib membela diri,” dalihnya. Seperti biasanya, Kukuh hanya tersenyum tanpa berkata sepatah juga. Meski tak lagi mengeluarkan darah, luka di kepala masih menyisakan pening. Sedangkan Handi masih terus berusaha meniup-niup bara dendam ke dalam hatinya. ”Apa kamu masih tetap akan diam? Kamu diam nggak ngelawan, mereka makin beringas menghajar kamu. Tahu nggak sih, mereke-mereka tuh nggak tahu diri. Kalau nggak dilawan, makin besar kepala. Merasa jagoan, sedangkan kita dianggap pecundang. Kalau kita ngalah, babak belur kita. Hancur!” Handi yang memang dikenal doyan tawuran berapi-api. “Aku ini memang ndak boleh ikut perang. Buktinya, sudah menghindar saja kena bogem sampe bocor gini. Lha gimana kalau sampe terlibat? Bisa- bisa kepalaku hilang kena diujung pedang samurai,” jawab Kukuh seakan tanpa beban. Senyum masih tersemat di belahan bibir, merekahkan sepasang lekik di pipi. “Dasar banci!” ledek Handi, setengah jengkel setengah gemas pada teman sekelasnya yang pintar, pendiam, tak pernah marah walau terus diteriaki 19
sebagai banci. Yang diledek hanya tersenyum simpul, karena sudah tahu tabiat sahabatnya itu. “Anak kampung, nggak punya nyali,” sindir seorang siswa lainnya yang tiba-tiba lewat di depan Kukuh. Sejenak senyum Kukuh lenyap. Kupingnya memerah. Hawa panas menyergap mata dan emosinya. Bara amarah nyaris membakar. Raut mukanya membara. Tangannya terkepal. Rahangnya terkatup rapat, mengeluarkan bunyi gemeletuk gigi beradu. Namun hanya dalam hitungan detik. Bibirnya kembali menyungging senyum, walau masam. Tekatnya yang kuat untuk mengejar cita-cita, kembali mampu meredam emosi yang menggelegak, mengusik harga diri remajanya. Ia kembali bangkit. Disandangnya lagi tas gendong hitam, yang baru beberapa hari lalu dibelinya dengan uang hasil keringatnya sendiri sebagai pengiris bawang. Senandung kecil menyertai langkahnya menuju kelas bersama Handi. Kembali meretas setiap rintangan yang menghalanginya menuju cita-cita. Belajar. Terus belajar. Kokoh tekad dalam hati, hendak tunjukkan kepada tiga kakak laki-lakinya bahwa ia lebih bisa! 19
Ia berbeda wajahnya teduh sederhana matanya tajam bintang kejora datang dari sebuah istana diantar kereta kencana bertabur wangi bunga menebar aroma smara ke relung stiap jiwa nun jauh di sudut paling belakang penonton sebuah karnaval, aku berdiri, sembunyi di balik kerumunan malu-malu mencuri pandang tak punya walau sepenggal nyali tuk sekedar bermimpi, bertemu dengan sang putri Duhai bunga silau mata menatapmu nan mempesona resah, gundah, gelisahku membuncah, menohokkan rindu di dada serasa hendak pecah melukis angan tuk milikimu nan indah membasuh luka dengan tatapan sang empunya mata kejora. 19
Untaian puisi sederhana itu terbaca di selembar kertas bergaris. Goresan tinta hitam di atas sobekan kertas dari salah satu buku tulis. Jelas berisi kekaguman terhadap seorang perempuan pujaan. Terselip di antara susunan buku-buku pelajaran, di kamar sempit Kukuh. Telah lama lembaran kertas itu ada. Berulangkali jatuh ke bawah meja. Namun berulang kali kali pula, Kukuh menyelipkannya kembali ke tempat semula. Seperti pagi itu, ketika ia mempersiapkan pelajarannya, usai sembahyang Subuh. Dipilih- pilihnya buku-buku di rak kayu sederhana yang menempel di dinding. Lalu diambilnya satu, dicabut dari tempatnya. Judulnya “Buku Pelajaran Bahasa Indonesia”. Dicermatinya sesaat, lalu diletakkannya di atas meja. Perlahan dibukanya sampul buku pelajaran warna putih, dengan gambar dan tulisan berwarna- warni itu. Lembar demi lembar dicermati, lalu berhenti di salah satu halaman yang bertuliskan, Sastra Indonesia. Bukan tulisan di halaman buku itu yang menjadi pusat perhatian, melainkan selembar kertas bergaris dengan tulisan seuntai puisi sederhana. Puisi yang telah terbaca di muka. Diusap-usapnya lembaran kertas itu. Dibacanya berulangkali untaian kalimat hasil tulisannya sendiri, seakan tengah menikmati bait-bait puisi mahakarya 19
seorang pujangga. Mata pemuda itu menerawang, menembus langit-langit kamar yang sempit berhias sulur laba-laba di empat sudutnya. Tergambar jelas di pelupuk matanya, senyum manis Zulaikha, seorang siswi SMA negeri di Lenteng Agung yang ditemuinya di ajang lomba karya ilmiah tingkat SLTA se Jakarta di kampus Depok beberapa waktu lalu. Senyumnya berulang kali mengembang, meski akhirnya selalu kembali hilang. Pertemuan singkat, hanya satu hari. Bukan! Cuma beberapa menit saja. Ketika ia bersalaman lalu saling menyebut nama, sebelum masing-masing mempresentasikan karya di depan juri, dalam ajang lomba. Momen sekejap itu, telah menorehkan kesan mendalam. Kesan yang tak mudah terlupakan oleh Kukuh. Saat tangan gadis berkulit hitam manis itu terjulur menawarkan persahabatan, gamang ia menyambutnya. Perasaan rendah diri tiba-tiba membuncah, menjalar hingga ke tangannya yang gemetar saat menyambut uluran tangan si gadis hitam manis. Keringat dingin seketika membelah celah setiap pori-porinya, saat si gadis yang jago merakit robot itu menyebut namanya, “Zulaikha.” Tak mampu menyembunyikan kegugupan, Kukuh menjawab gagap, “Eh, iya, e.. aku Kukuh.” Hanya sebatas itu perkenalan Kukuh dengan Zulaikha. Selama lomba keduanya sibuk dengan karya masing-masing, menjalankan amanah dari sekolah agar bisa menjadi yang terbaik. Singkatnya, dalam lomba yang diikuti sekolah-sekolah terbaik se-DKI Jakarta itu, Kukuh berhak menyandang gelar juara. Waktu terus berlalu. Telah enam bulan sejak lomba robot itu usai digelar. Sudah satu semester sejak tangan Kukuh menyambut uluran salam 19
perkenalan Zulaikha. Iseng ketika seorang temannya mengajari chating, dicarinya nama Zulaikha. Ada banyak nama serupa, sedang ia tidak tahu siapa nama lengkap gadis hitam manis yang pertama membuat ciut nyalinya itu. Lalu dibukanya satu demi satu foto orang-orang dengan nama Zulaikha. Jauh di sudut hati yang paling tersembunyi, ia begitu ingin menemukan wajah gadis itu lagi. Satu demi satu nama Zulaikha ditelusuri. Satu demi satu foto diamati. Hingga nama Zulaikha terakhir dibuka, tak satupun yang mirip, apalagi sama dengan wajah gadis dalam ingatannya. Hatinya semakin bertanya-tanya. Semakin penasaran. “Mana mungkin gadis kota seperti dia ndak bergabung di sosial media, FB atau twitter. Atau dia BBMan?” gumamnya. Tetapi meski sudah berulangkali dicari, tak juga ia menemukannya. Walau matanya telah berulangkali mencermati wajah-wajah si pemilik nama Zulaikha, tak juga ia temukan pesona mata Zulaikha yang lekat dalam pelupuk memorinya. Lalu diambilnya pena hitam yang biasa dipakai untuk membuat gambar rancangan. Dilepaskannya selembar kertas dari bendel di buku tulisnya. Dalam sekejapan mata, tangannya menari- nari menggoreskan kata hati, merajutnya menjadi untaian kalimat indah bersajak, yang selama ini tak pernah mampu diucapkan oleh bibirnya. Seketika itu juga, ia seolah menjelma menjadi seorang pujangga dengan kemampuan menghidupkan kata-kata. Puisi tadi menjadi karya pertamanya. Yang membuatnya bangga, tetapi di saat yang sama ia sama sekali tak ingin orang lain mengetahui. Yang membuatnya merasa lega karena bisa 19
mengungkapkan kejujuran, sekaligus menyodorkan kekhawatiran yang besar akan nasib harap masa depannya. “Zulaikha,” gumamnya lirih, terlalu lirih untuk sekedar didengar oleh dingin malam yang menyelimuti tubuh kurusnya. “Ada salam dari Siska. Itu, anak SMA sebelah yang sok kecentilan. Suka dianter pake Jazz merah,” ujar Handi suatu pagi. “Halah! Jangan keterlaluan to kalau ngledek, Han! Salamnya seberapa? Kamu saja yang terima. Kamu naksir, to? Cocok lho buat kamu. Dia ekspresif,” jawab Kukuh enteng setengah cuek. “Ini serius! Dia bilang kepengin kenalan sama anak yang pernah bocor kepalanya dilempar batu di halte. Begitu!” Handi coba meyakinkan. “Sudahlah, aku ndak punya waktu!” tegas Kukuh. “Mana ada cewek naksir cowok pengiris bawang kaya aku. Pengecut lagi, ndak berani maju perang. Begitu kan, kamu bilang?” sahut Kukuh dengan nada datar nyaris tanpa emosi. Pandangannya nanar. Senyum masamnya sekejap datang. Sesaat Handi tercenung mendengar kata-kata sahabatnya. Hatinya merasakan sedikit miris. Meski sangat tersamar, ia menangkap betapa temannya itu sesungguhnya sangat tertekan oleh perasaan rendah diri. Ditatapnya lekat-lekat anak berambut ikal, yang sering dimintai bantuan mengerjakan PR-PRnya itu, lalu mengembangkan senyumnya. “Kamu jangan begitu, Sob! Cewek manapun akan tergila-gila sama kamu. Kamu ni cuma nggak nyadar kalau sebenarnya ganteng. Ditambah sifat kamu yang pendiam, cuek, dan gaptek bahkan hp pun ngga pernah bawa, cool Sob. Cool. Barang langka! Cuma karena terlalu kurus 19
saja, kamu lebih mirip mayat hidup. Kalau saja aku cewek, pasti ngga akan malu buat nembak kamu duluan,” tutur Handi berusaha membesarkan hati Kukuh. “Amit-amit! Bener-bener banci kali Han kalau aku melayanimu,” seloroh Kukuh sambil tersenyum lebih lebar dari biasanya. Ia tahu betul Handi tengah berusaha membuatnya nyaman. Diamatinya sahabat terdekatnya itu. Tampak jelas di matanya, seperti apa sosok pemuda berwajah oriental yang sekarang berjalan bersamanya. Tubuhnya atletis, kulitnya terlalu bersih untuk ukuran siswa SMK yang sering tawuran di jalanan. Pakaiannya selalu bersih dan licin. Rambutnya dipotong cepak, dengan bagian depan sengaja disisir menghadang matahari. Model Tin Tin. Handi tumbuh dalam keluarga berada. Bungsu dari tiga bersaudara. Kedua orang tuanya memiliki bisnis sendiri-sendiri, sehingga jarang bisa menemani anak-anaknya bertumbuh. Selayaknya remaja lain, Handi terlihat terus mencari jati diri. Di rumah hanya ada pembantu. Ia merasa begitu terasing berada di antara keluarga yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ia pun keluar rumah untuk membebaskan dirinya dari keterasingan itu. Mencari tempat untuk mengekspresikan diri. Sendiri, tanpa teman yang dewasa apalagi pembimbing. Di manapun tempat yang menawarkan kebebasan, akan ia datangi. Arena tawuran menjadi salah satu ajang murah meriah baginya melampiaskan gejolak pemberontakan batin. Bahkan diam-diam, dia juga telah menjadi bagian dari sebuah geng motor. Beberapa kali dalam sepekan, terutama jika malam 19
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153