ADBM Seri V Jilid 3 (Jilid 403) –––––––––––––––– Bagian 1 PANDAN WANGI terkesiap. Penunggang kuda yang memasuki regol rumah Ki Demang Sangkal Putung itu sangat dikenalnya. Hampir hampir tak percaya dengan pandangan matanya sendiri, Pandan Wangi yang kebetulan sore itu sedang menyirami bunga di sebelah pendapa hampir saja meneriakkan sebuah nama jikalau saja kesadarannya sebagai seorang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 886
Koleksi Goldy Senior perempuan, terlebih seorang perempuan yang sudah bersuami, telah mencegahnya. “Kakang Agung Sedayu,” bibir Pandan Wangi hanya berdesah pelan menyebut penunggang kuda yang telah turun dari kudanya dan sedang berbicara dengan para penjaga regol yang agaknya masih mengingat dengan baik siapa Agung Sedayu. Agung Sedayu bagi para penghuni Kademangan Sangkal Putung bagaikan keluarga sendiri. Selain memang pada akhirnya adik Untara itu menikah dengan Sekar Mirah, bunga Kademangan Sangkal Putung, namun lebih dari itu, Agung Sedayu bagi mereka adalah seorang pahlawan penyelamat Kademangan Sangkal Putung dari kehancuran ketika sisa sisa laskar Jipang yang dipimpin oleh Raden Tohpati pada waktu itu akan menyerbu dan menduduki Sangkal Putung. Sejenak Pandan Wangi justru tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kedatangan Agung Sedayu benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. Rasa kesepian dan sakit hati karena telah berkali-kali dikhianati oleh suaminya, Swandaru, telah memunculkan kenangan kenangan indah semasa dirinya masih seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung dalam hubungannya dengan seorang penggembala yang aneh yang bernama Gupita. Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu menuntun kudanya menyeberangi halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung yang luas itu, sudut matanya menangkap sesosok bayangan seorang perempuan yang berdiri termangu-mangu di samping kanan pendapa. Ki Rangga Agung Sedayu sejenak tertegun. Dengan perlahan dihelanya kuda tunggangannya ke samping pendapa. Setelah mengikatkan kudanya pada patok-patok yang memang disediakan untuk menambatkan kuda yang terdapat di samping pendapa, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 887
Koleksi Goldy Senior dengan perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun menghampiri Pandan Wangi yang masih saja berdiri termangu mangu. “Wangi,” pelahan Ki Rangga Agung Sedayu menyapa ketika dia sudah berdiri di hadapan Pandan Wangi, “Engkau terlihat sangat kurus, Wangi.” Bagaikan bendungan yang pecah diterjang banjir di musim hujan, Pandan Wangi tak mampu menahan air matanya yang sedari tadi memang sudah mengambang di pelupuk matanya. “Wangi,” terkejut Ki Rangga segera mendekati Pandan Wangi, “Apakah kata kataku menyinggung perasaanmu?” Pandan Wangi menggeleng perlahan sambil menahan sedu sedannya yang terasa menyumbat tenggorokannya. Sedangkan kedua tangannya masih saja sibuk mengusap air matanya yang terus jatuh berderai-derai membasahi wajahnya yang cantik. Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi yang sedang terisak-isak di depannya. Akhirnya dengan memantapkan hatinya, Ki Rangga melangkah semakin dekat, kemudian diraihnya salah satu tangan Pandan Wangi dan dibimbingnya perempuan istri adik seperguruannya itu duduk di tlundak pendapa. Ternyata Pandan Wangi tidak menolak. Dibiarkannya saja Ki Rangga Agung Sedayu membimbingnya duduk di tlundak pendapa. Keduanya pun akhirnya duduk bersebelahan sambil berdiam diri. Hanya isak tangis Pandan Wangi yang masih terdengar di sela-sela helaan nafas panjang Ki Rangga Agung Sedayu. “Wangi,” terdengar suara Ki Rangga merendah memecah kebisuan, “Mengapa engkau menangis? Adakah sesuatu yang telah membuatmu bersedih sehingga engkau telah menangis?” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 888
Koleksi Goldy Senior Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang masih berlinangan air mata ditatapnya mata Ki Rangga Agung Sedayu yang juga sedang memandanginya. Sejenak kedua pasang mata itu kini beradu. Menyimpan segala hasrat yang ditutup rapat-rapat dan tersimpan jauh di lubuk hati yang paling dalam. Tidak ada keinginan untuk mengungkit kembali hasrat yang telah jauh terpendam itu. Hanya ada satu keinginan yang sampai sekarang masih dipelihara ibarat sebuah tanaman bunga yang dijaga namun tidak pernah disiangi apalagi dipupuk. Biarlah bunga itu hidup namun jangan sampai berkembang menjadi besar, akibatnya akan sangat berbahaya, dan mereka berdua menyadari itu walaupun hanya lewat pandangan mata. Biarlah bunga itu hanya menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. “Katakanlah Wangi,” terdengar sareh suara Ki Rangga menyadarkan Pandan Wangi yang segera menundukkan wajahnya, “Aku sekarang di sini, di sisimu untuk mendengarkanmu. Aku sudah banyak mendengar tentang Adi Swandaru. Untuk itulah aku datang ke Sangkal Putung ini, ingin berbagi cerita denganmu.” Tangis yang sudah hampir mereda itu kini pecah kembali, bahkan lebih deras. Tubuh mungil anak perempuan satu satunya Ki Gede Menoreh itu sampai terguncang-guncang menahan gelora di dalam dadanya yang rasa-rasanya ingin segera ditumpahkan di hadapan Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan sabar Ki Rangga Agung Sedayu menunggu tangis Pandan Wangi mereda. Hatinya ikut pedih bagaikan teriris iris sembilu jika mengenang perjalanan gadis Menoreh ini. Seorang gadis yang terlalu berbakti kepada orang tuanya sehingga rela mengorbankan masa depannya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 889
Koleksi Goldy Senior “Kakang,” desis Pandan Wangi disela-sela isak tangisnya yang mulai mereda, “Alangkah sulitnya menjadi seorang istri yang berbakti kepada suami. Aku telah mencobanya bertahun- tahun mendampingi Kakang Swandaru, namun tetap saja aku belum bisa menyelami hati suamiku. Aku telah mencoba untuk selalu mengalah, namun ternyata memang akulah yang akhirnya menjadi pihak yang kalah. Kalah dalam segala-galanya, kalah dalam merebut hatinya, maupun kalah dalam menarik perhatiannya. Ternyata ada perempuan lain yang telah mengisi hari-hari Kakang Swandaru.” “Itu tidak benar, Wangi,” perlahan-lahan Ki Rangga mencoba menyadarkan Pandan Wangi, “Engkau tidak kalah dan memang dalam peristiwa yang melibatkan pihak ketiga ini tidak ada yang kalah dan yang menang, akan tetapi, siapakah yang tetap berdiri di atas paugeran? Siapakah yang selalu bepegang teguh pada petunjuk Yang Maha Agung dalam menata kehidupan bebrayan ini? Ingatlah, Yang Maha Agung tidak akan melupakan doa hambaNya yang teraniaya. Berdo‟alah untuk kebaikan masa depan keluargamu. Jangan gunakan kesempatan yang baik ini justru untuk memohon kepadaNya suatu permohonan yang berlatar belakang pada niat balas dendam.” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangisnya benar-benar sudah mereda walaupun kedua matanya masih terlihat merah dan sembab. Sambil membetulkan letak sanggulnya, dia kembali berkata, “Kakang, sebenarnya bagaimanakah seorang istri yang baik itu di mata seorang suami?” Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak, namun kemudian katanya, “Wangi, banyak sekali nasehat dan pitutur dari orang- orang tua maupun para pini sepuh dan sesepuh yang mengajarkan kepada para istri untuk bagaimana bersikap terhadap suami mereka. Namun apabila kita mau kembali pada ajaran yang telah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 890
Koleksi Goldy Senior disampaikan oleh Junjungan kita, seorang istri yang baik adalah istri yang selalu terlihat indah dan menyenangkan hati suaminya manakala suaminya memandangnya.” “Maksud Kakang?” sela Pandan Wangi, “Seorang istri harus selalu bersolek setiap saat di hadapan suaminya?” “O, tidak harus begitu,” jawab Ki Rangga cepat, “Seorang istri tidak harus bersolek di hadapan suaminya, tapi berilah suasana tenang dan damai serta rasa cinta yang tulus pada saat seorang istri berada di sisi suaminya. Berilah perhatian penuh kepada suamimu sebelum dia memperhatikanmu. Setiap saat ketika seorang suami berada di dekat istrinya, ataupun pada saat dia jauh dari istrinya, maka yang ada dalam pandangan dan ingatannya adalah seorang istri yang selalu penuh perhatian kepadanya. Dengan demikian tidak akan ada ruang-ruang kosong di dalam bilik hatinya sehingga memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menempatinya.” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Apakah engkau selalu menyambut suamimu manakala dia pulang ke rumah setelah selesai nganglang atau meninjau sebuah Padukuhan di lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang memerlukan perhatiannya?” Sejenak Pandan Wangi termangu-mangu. Sambil menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng lemah dia menjawab, “Sejak kelahiran anak kami memang segala sesuatunya cepat berubah. Aku terlalu sibuk dengan urusan anak dan jarang-jarang memperhatikan Kakang Swandaru. Aku pikir dengan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga kami, semua perhatian tertuju pada buah hati kami. Ternyata aku telah berbuat kesalahan, aku kurang memperhatikan lagi kebutuhan-kebutuhan Kakang Swandaru.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 891
Koleksi Goldy Senior “Tidak semua beban kesalahan itu terletak padamu, Wangi. Sebuah rumah tangga dibangun atas dasar kesadaran masing- masing pihak, baik suami maupun istri untuk tidak mengedepankan kepentingannya sendiri, namun lebih dari itu, menjaga tetap adanya pembicaraan-pembicaraan dan kesepakatan-kesepakatan antara suami istri dalam mengatasi suatu masalah, itu menjadi syarat utama agar hubungan baik antara suami istri tetap terjalin.” Pandan Wangi termenung. Angin di sore hari yang bertiup lembut telah menyapanya dan mempermainkan anak-anak rambut di keningnya. Pandangan matanya menatap kosong ke mega- mega yang berarak arak di langit. Musim kemarau memang akan segera berlalu dan bagi Pandan Wangi, harapan untuk melihat hujan turun itu ternyata masih tetap ada. “Kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah mereka berdua terdiam sejenak, “Setelah seorang istri harus bisa menjadi perhatian suaminya, kemudian kewajiban apalagi yang harus ditepati oleh seorang istri?” Belum sempat Ki Rangga menjawab pertanyaan Pandan Wangi, tiba-tiba terdengar pintu pringgitan berderit dan Ki Demang Sangkal Putung yang terlihat sudah sangat tua melangkah keluar perlahan lahan. “O,” Ki Demang yang sudah sangat tua itu terlihat memicingkan matanya sambil mengamat-amati orang yang berdiri di sebelah Pandan Wangi. Ki Rangga Agung Sedayu dan Pandan Wangi yang sudah berdiri dari duduknya ketika mendengar pintu pringgitan berderit segera tanggap. Dengan tergesa-gesa mereka berdua segera menaiki tlundak pendapa untuk menyongsong Ki Demang Sangkal Putung. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 892
Koleksi Goldy Senior “Ayah,” bisik Pandan Wangi ketika dia sudah berada di dekat Ki Demang, “Kakang Agung Sedayu yang berkunjung kesini.” “O, Anakmas Agung Sedayu kiranya,” seru Ki Demang dengan gembira sambil menjulurkan tangan kanannya yang segera disambut oleh Ki Rangga Agung Sedayu kemudian diciumnya tangan Ki Demang yang sudah berkeriput itu. “Marilah, marilah,” berkata Ki Demang kemudian mempersilahkan Ki Rangga untuk masuk ke dalam. Dengan sigap Pandan Wangi segera meraih tangan mertuanya itu dan menuntunnya masuk ke ruang dalam. Karena ketuaannya, pandangan mata Ki Demang sudah semakin berkurang. Hanya orang-orang terdekat yang setiap hari bertemu saja yang masih bisa dikenali dengan baik oleh Ki Demang, selebihnya hanya bayangan kabur yang tidak jelas. Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu masih tegak berdiri sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Halaman depan rumah Ki Demang itu memang sudah banyak mengalami perubahan terutama taman yang asri di sebelah menyebelah pendapa. Setelah puas memandangi tempat-tempat yang dapat membangkitkan kenangan masa lalu itu, Ki Rangga pun kemudian melangkah mengikuti Pandan Wangi dan Ki Demang masuk ke ruang dalam. Dalam pada itu, Matahari sudah semakin rendah di langit sebelah barat. Sepasang suami istri tampak sedang berjalan mendekati regol istana Kepatihan. Seorang penjaga regol segera menghentikan mereka berdua. Namun hanya sejenak kemudian, penjaga regol itu telah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk masuk ke halaman Kepatihan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 893
Koleksi Goldy Senior Seorang Perwira yang kebetulan sedang berjalan melintasi halaman tersenyum begitu mengenali sepasang suami istri itu. “Selamat datang Adi Glagah Putih dan Rara Wulan,” sapanya sambil berjalan mendekat. Sepasang suami istri yang ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan itu menghentikan langkah sambil tersenyum lebar. “Ah, kiranya Ki Lurah Ranu Atmaja,” berkata Glagah Putih sambil menjulurkan tangan kanannya yang segera disambut dengan hangat oleh Ki Lurah Ranu Atmaja. “Sudah lama aku tidak berjumpa kalian berdua,” berkata Ki Lurah, “Bukankah kalian mendapat tugas melawat ke timur?” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak, namun Glagah Putih yang akhirnya menjawab, “Engkau benar Ki Lurah. Namun selain tugas melawat ke timur, kami juga mendapatkan tugas tambahan yang tak kalah beratnya. Untuk itulah kami akan menghadap Ki Patih untuk melaporkan hasil perjalanan kami.” Ki Lurah mengangguk angguk. Ada keinginan untuk menanyakan apakah tugas tambahan itu, namun Ki Lurah segera menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan prajurit sandi sehingga keinginannya itupun segera dibuangnya jauh-jauh. “Silahkan, silahkan,” akhirnya Ki Lurah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk menghadap Ki Patih, sedangkan dia sendiri segera melangkah menuju ke regol depan. Glagah Putih sejenak masih memandangi langkah Ki Lurah Ranu Atmaja, namun ketika Rara Wulan kemudian menggamit lengannya, sambil berpaling Glagah Putih pun berdesis, “Marilah Rara, mumpung Matahari belum terbenam. Semoga Ki Patih tidak sedang dipanggil Sinuwun Panembahan Hanyakrawati.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 894
Koleksi Goldy Senior Sambil berjalan beriringan, keduanya pun segera berjalan ke samping bangunan induk istana Kepatihan untuk mengajukan permohonan kepada Pelayan dalam Kepatihan agar diijinkan menghadap Ki Patih Mandaraka. Kebetulan sore itu Ki Patih Mandaraka sedang tidak ada kegiatan sehingga bersedia menerima Glagah Putih dan Rara Wulan di ruang khusus nanti setelah selesai santap malam. Karena Glagah Putih dan Rara Wulan masih harus menunggu untuk waktu yang cukup lama, maka Pelayan Dalam Kepatihan yang bertugas hari itu telah mempersilahkan sepasang suami istri itu untuk beristirahat sejenak di bilik yang telah disediakan di lingkungan tempat para Pelayan Dalam bertugas. Justru karena mereka menyadari bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu sepasang suami istri, maka mereka berdua cukup disediakan satu bilik saja. Baru saja Glagah Putih merebahkan tubuhnya di atas amben besar yang terletak di tengah tengah bilik yang cukup luas itu, tiba-tiba terdengar suara panggilan untuk menunaikan kewajiban menyembah kepada Yang Maha Agung yang berkumandang dari arah bangunan khusus yang terletak di samping kanan dari bangunan induk istana Kepatihan. “Rara,” berkata Glagah Putih sambil bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu bilik, “Aku akan menunaikan kewajiban dulu. Sambil menunggu waktu, engkau dapat beristirahat sejenak.” “Ya, Kakang,” jawab Rara sambil mengikuti langkah Glagah Putih menuju ke pintu bilik, “Aku akan menyelarak pintu ini dari dalam. Kalau nanti Kakang kembali, jangan lupa untuk mengetuk pintu dengan irama dua kali ganda, ingat Kakang, dua kali ganda.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 895
Koleksi Goldy Senior “Ya, aku akan mengingatnya,” sahut Glagah Putih, “Sebaiknya engkau pergi ke pakiwan dulu sebelum beristirahat.” “Ya, Kakang. Nanti saja, biar mereka yang akan menunaikan kewajiban itu yang terlebih dahulu menggunakan pakiwan.” Glagah Putih mengangguk anggukkan kepalanya sambil membuka pintu bilik kemudian melangkah keluar. “Berhati hatilah Rara,” pesan Glagah Putih. “Ya, Kakang,” Sejenak kemudian Glagah Putih telah melangkah menyususri halaman samping istana Kepatihan menuju ke tempat untuk membersihkan diri dan bersuci sebelum memasuki bangunan khusus yang terletak di samping kanan dari istana Kepatihan. Demikianlah setelah Glagah Putith selesai menunaikan kewajibannya sebagai hamba yang bersyukur kepada Penciptanya, ternyata sesampainya di bilik, seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas sore itu telah memberitahukan kepada mereka berdua untuk menghadap Ki Patih Mandaraka saat itu juga. “Apakah Ki Patih ada keperluan mendadak sehingga kami dipanggil menghadap sebelum waktunya?” bertanya Glagah Putih kepada Pelayan Dalam yang datang ke bilik suami istri itu. “O, tidak tidak,” jawab Pelayan Dalam itu cepat, “Justru kalian berdua mendapat kehormatan untuk menemani Ki Patih bersantap malam.” Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling pandang, namun akhirnya Glagah Putih berkata, “Baiklah, kami akan bersiap-siap terlebih dahulu sebelum menghadap.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 896
Koleksi Goldy Senior “Tetapi jangan terlalu lama,” berkata Pelayan Dalam itu, “Sebaiknya kalian mengenakan pakaian yang besar dan longgar, agar perut kalian tidak tersiksa nanti.” “Ah,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa pendek. Kemudian kata Glagah Putih sambil menepuk bahu Pelayan Dalam itu, “Justru rasa-rasanya makanan yang kami telan itu sulit melewati tenggorokan. Kami harus memperhatikan segala suba sita di hadapan Ki Patih Mandaraka.” Pelayan Dalam itu ikut tertawa. Sambil melangkah pergi dia masih sempat berpesan, “Kalau kalian setelah menghadap masih merasa lapar, beritahu kami. Dapur istana Kepatihan masih banyak makanan, kami akan mengambilkan untuk kalian.” Kembali Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Demikianlah ketika Glagah Putih dan Rara Wulan diterima menghadap di ruang dalam Kepatihan, Ki Patih Mandaraka telah berkenan mengajak mereka berdua untuk menemaninya makan malam. “Selama dalam menjalankan tugas, mungkin kalian berdua jarang menemukan makanan yang lengkap seperti ini,” berkata Ki Patih, “Silahkan menikmati sepuas-puasnya. Anggap saja ini adalah sebuah selamatan sederhana menyambut kedatangan kalian setelah selesai melaksanakan tugas.” “Terima Kasih Ki Patih,” hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab. Sejenak kemudian mereka telah sibuk dengan makanan mereka. Hanya sesekali saja Ki Patih mengajak berbicara, terutama menanyakan tentang keselamatan suami istri itu selama menjalankan tugas. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 897
Koleksi Goldy Senior Setelah acara santap malam itu selesai dan para pelayan telah membersihkan tempat itu dari sisa-sisa makanan, mulailah Ki Patih menanyakan hasil dari perjalanan mereka. “Ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain yang warnanya sudah memudar, “Kami akan menunjukkan sesuatu yang barangkali Ki Patih masih mengenalinya.” Selesai berkata demikian Glagah Putih segera membuka bungkusan kain itu dan mengangsurkan isinya kepada Ki Patih Mandaraka. Ki Patih yang menerima isi bungkusan dari tangan Glagah Putih itu sejenak tertegun. Diamat-amatinya benda pipih yang berwarna kuning keemasan itu. Sambil menarik nafas dalam- dalam, akhirnya Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka itu bergumam pelan, “Bagaimana mungkin kalian mendapatkan ini dari Mintarsih? Benda ini tidak mungkin terpisah dengannya, atau barangkali dia memberikan ini kepada kalian untuk suatu tujuan tertentu?” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Glagah Putih menjawab, “Ampun Ki Patih, Nyi Rara Ambarasari menyerahkan lencana itu disertai dengan niat tulus ikhlas demi tetap tegaknya Mataram. Nyi Rara Ambarasari menyerahkan lencana ini disaksikan oleh seluruh bebahu Kademangan Cepaga dengan tujuan agar tidak ada lagi pihak- pihak yang ingin memiliki lencana itu untuk kepentingan pribadi.” Ki Patih Mandaraka sejenak terdiam. Lencana yang ada di tangannya itu sejenak ditimang-timang. Sepertinya Ki Patih terhanyut dengan kenangan masa lalu ketika mendampingi Mas Ngabehi Loring Pasar berkelana mencari kawruh sejatining urip Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 898
Koleksi Goldy Senior sampai bertemu dengan seorang endang di Padepokan Sela Gilang. “Bagaimanakah lencana ini bisa jatuh ke tangan kalian berdua?” bertanya Ki Patih memecah kebisuan setelah mereka terdiam beberapa saat. “Ampun Ki Patih,” sambil membenahi letak kain panjangnya dan beringsut setapak maju Glagah Putih mencoba memberikan keterangan, “Pada awalnya Nyi Rara Ambarasari memang bersikukuh untuk mempertahankan kenang-kenangan satu satunya dari Mas Ngabehi Loring Pasar itu. Namun setelah terjadi peristiwa yang melibatkan keberadaan lencana itu, akhirnya Nyi Rara Ambarasari berubah pikiran. Demi ketentraman dan keselamatan dirinya dan Kademangan Cepaga, lencana itu akhirnya diserahkan kepada kami disaksikan oleh seluruh bebahu kademangan untuk di bawa ke Mataram.” Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sebelum memberikan tanggapan atas cerita Glagah Putih. Katanya kemudian, “Sebenarnya lencana ini adalah lencana ciri khas yang dimiliki oleh para bangsawan Kasultanan Pajang pada waktu itu. Jadi apabila seseorang yang menginginkan kedudukan di Mataram dengan menggunakan lencana ini dan mengaku masih ada trah dari Panembahan Senopati, adalah sangat keliru. Mataram telah menggunakan lencana yang berbeda.” Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak saling berpandangan. Ternyata Rara Wulan lah yang tidak dapat menahan diri, “Ampun Ki Patih, Nyi Rara Ambarasari menitipkan lencana itu untuk diserahkan ke Mataram bukan berarti Nyi Rara ingin menuntut hak atas Mataram, sama sekali bukan. Justru Nyi Rara menyerahkannya kembali ke Mataram dengan niat tulus agar lencana itu tidak digunakan oleh pihak-pihak lain untuk kepentingan mereka sendiri.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 899
Koleksi Goldy Senior “Siapakah yang kalian maksud dengan pihak-pihak yang lain itu?” bertanya Ki Patih sambil mengerutkan keningnya dalam- dalam. “Ada beberapa orang yang bersarang di Padepokan Sela Gilang sepeninggal Ki Ageng Sela Gilang guru orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu.” Glagah Putih berhenti sejenak, kemudian, “Gerombolan itu dipimpin oleh orang yang disebut Ki Lurah dan telah mengadakan perjanjian dengan Ki Wiguna adik Ki Wiraguna yang menerima Nyi Rara Ambarasari sebagai Putri Triman.” “Perjanjian?” bertanya Ki Patih heran. “Benar Ki Patih,” jawab Glagah Putih, “Ki Lurah dan kawan kawannya itu berjanji akan membantu Ki Wiguna meraih kedudukan sebagai Demang Cepaga. Sebagai imbalan, Ki Lurah minta Ki Wiguna mendapatkan lencana yang dimiliki oleh Nyi Rara Ambarasari.” Sejenak Ki Patih merenung. Katanya kemudian, “Untuk keperluan apakah orang-orang itu ingin memiliki lencana ini?” “Mereka mencari harta karun yang konon katanya pada lencana itu terdapat petunjuk menuju tempat harta itu disimpan.” Jawab Glagah Putih. “He?” seru Ki Patih diikuti dengan tawanya yang berkepanjangan, “Dari mana mereka mengetahui semua itu?” Glagah Putih menjawab, “Menurut pengakuan mereka ketika kekuatan mereka kita hancurkan di padepokan Sela Gilang, mereka mendapat petunjuk dari seseorang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra.” “Orang itu lagi,” gumam Ki Patih. Kemudian katanya, “Kecruk Putih sudah mati terbunuh waktu penyerbuan ke Menoreh sebelum Panembahan Senapati menyerang Madiun. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 900
Koleksi Goldy Senior Namun akhir-akhir ini berhembus kabar bahwa Kecruk Putih itu masih hidup karena dia telah berhasil menguasai suatu ilmu yang mampu menghindarkan dirinya dari sakit bahkan kematian sekalipun.” Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarkan menjadi berdebar debar. Kalau memang ilmu sejenis itu ada, alangkah dahsyatnya. “Kalian percaya?” tiba-tiba Ki Patih sambil tersenyum melontarkan pertanyaan yang tak disangka sangka kepada sepasang suami istri itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab, namun tampak keragu raguan membayang di wajah mereka. “Ilmu seperti itu tidak ada,” desis Ki Patih sambil menarik nafas dalam-dalam, “Seandainya seseorang bisa menguasai ilmu seperti itu, dia akan menganggap dirinya seperti Yang Maha Kuasa dan akan memaksakan kehendaknya kepada orang lain agar mengakuinya sebagai Yang Maha Kuasa. Sudah sering kita dengar cerita seperti ini, dan akhir cerita pun sudah bisa kita tebak. Orang itu akan hancur dalam kehinaan.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk anggukkan kepalanya. “Nah,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Agaknya orang yang mengaku-ngaku Panembahan Cahya Warastra ini ingin mengumpulkan harta benda untuk membangun kekuatan di Menoreh. Beberapa perguruan yang diundangnya telah berkumpul di Menoreh, sebaiknya kalian segera bergabung dengan Ki Jayaraga di Menoreh. Atas ijin Cucunda Panembahan Hanyakrawati, aku telah memerintahkan pasukan sandi bergerak mendahului pasukan yang sebenarnya untuk diperbantukan ke Menoreh. Namun perlu dipertimbangkan keamanan dan Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 901
Koleksi Goldy Senior keselamatan kota Mataram, karena sebagian besar pasukan telah dikirim ke Panaraga.” Glagah Putih tertegun. Ternyata orang yang mengaku bernama Panembahan Cahya Warastra itu sangat cerdik. Menggunakan kesempatan pada saat pasukan Mataram sebagian besar melawat ke Panaraga dengan cara menghimpun perguruan- perguruan yang ada di tanah Jawa ini untuk menyusun kekuatan di Menoreh. “Ampun Ki Patih,” berkata Rara Wulan, “Apakah memang benar pada lencana itu terdapat petunjuk untuk menemukan tempat persembunyian harta?” Ki Patih tersenyum lebar sambil memandangi wajah sepasang suami istri itu. Dengan tanpa ragu-ragu Ki Patih menganggukkan kepalanya. Sekejap Glagah Putih dan Rara Wulan terkesiap. Mereka tidak menduga sama sekali kalau ternyata lencana itu mengandung sebuah rahasia yang akan menuntun ke tempat penyimpanan harta. “Tetapi jangan kawatir,” berkata Ki Patih selanjutnya masih sambil tersenyum, “Harta itu sudah diketemukan oleh Jebeng Loring Pasar sendiri. Memang itu semua adalah cara Kanjeng Sultan Pajang untuk membantu Loring Pasar membangun Mataram. Jadi harta itu memang dari Kanjeng Sultan untuk putera angkatnya yang sangat dikasihinya.” Sampai di sini Ki Patih tampak termenung. Memang kasih sayang Kanjeng Sultan Pajang sangat luar biasa kepada Raden Sutawijaya. Bahkan nama Sutawijaya itu adalah hadiah dari Kanjeng Sultan. Bukankah arti nama dari Sutawijaya itu adalah anaknya Wijaya, nama belakang dari gelar Sultan Pajang waktu Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 902
Koleksi Goldy Senior itu, Sultan Hadi Wijaya. Namun yang terjadi kemudian adalah justru Raden Sutawijaya telah memberontak melawan Pajang. “Ah, sudahlah, jangan pikirkan tentang harta itu,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Bagaimana dengan permasalahan yang timbul di Kademangan Cepaga sendiri? Apakah Wiguna tetap berkeinginan menjadi Demang setelah kepergian Ranapati?” “Demikianlah Ki Patih,” jawab Glagah Putih, “Setelah kami berdua dibantu dengan para pengawal Kademangan Cepaga menghancurkan gerombolan yang bersarang di Padepokan Sela Gilang, Ki Wiguna akhirnya menyadari kesalahannya telah bersekutu dengan gerombolan yang ternyata kaki tangan dari Panembahan Cahya Warastra yang menginginkan lencana yang dimiliki oleh Nyi Rara Ambarasari.” Ki Patih mengangguk anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Syukurlah. Semoga Endang Mintarsih menemui kebahagiaan menjelang hari-hari tuanya.” Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak saling berpandangan mendengar kata-kata Ki Patih. Tanda sadar Rara Wulan menyela, “Itulah permasalahan yang sekarang ini ingin kami sampaikan kepada Ki Patih. Nyi Rara Ambarasari mempunyai satu permohonan kepada Mataram, khususnya mengenai diri putra satu-satunya, Teja Wulung.” Wajah Ki Patih menegang sekilas, namun segera tampak sebuah senyum kecil di bibirnya, “Aku rasa permohonan itu tidak ada hubungannya dengan penyerahan lencana ini.” “Benar Ki Patih,” Glagah Putih lah yang menjawab, “Permohonan itu murni dari hati seorang ibu yang ingin anaknya kembali ke Kademangan Cepaga dalam keadaan utuh. Untuk itulah ibunda Teja Wulung melalui kami telah memohon ampunan kepada Mataram agar tingkah laku anaknya yang Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 903
Koleksi Goldy Senior mempengaruhi Adipati Panaraga untuk memberontak diampuni dan biarlah Teja Wulung kembali sebagai Demang Cepaga, karena memang hanya itulah hak yang dapat diwarisinya.” Ki Patih merenung sejenak sambil memandangi lencana yang ada di tangannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Patih pun kemudian bergumam perlahan, nyaris tak terdengar, “Semua itu tergantung perilaku Ranapati sendiri. Kalau perang telah pecah antara Mataram dan Panaraga, aku tidak dapat menjamin kalau anak laki-laki satu-satunya Endang Mintarsih itu dapat selamat dari medan perang yang buas. Pasukan segelar sepapan yang dibawa Cucunda Pangeran Pringgalaya sangatlah kuat. Aku yakin Panaraga tidak akan dapat bertahan.” Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menundukkan kepalanya. Perang memang dapat mengubah segalanya. “Baiklah, kita hanya dapat berdo‟a,” berkata Ki Patih kemudian, “Selebihnya kehendak Yang Maha Kuasa juga yang nantinya akan berlaku. Kita tinggal pasrah dan mengambil hikmahnya.” Ketika kemudian lamat-lamat terdengar panggilan untuk menunaikan kewajiban dari arah Masjid Kepatihan, Ki Patih pun segera mengeluarkan perintahnya, “Sekarang kalian berdua dapat beristirahat. Besuk pagi-pagi kalian segera ke Menoreh untuk membantu Ki Jayaraga menghadapi perguruan-perguruan yang telah dihimpun oleh Panembahan Cahya Warastra.” “Ya Ki Patih,” jawab sepasang suami istri itu hampir bersamaan. Demikianlah akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan segera mengundurkan diri kembali ke tempat para Pelayan Dalam bertugas. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 904
Koleksi Goldy Senior Dalam pada itu, di Kademangan Sangkal Putung Ki Rangga Agung Sedayu sedang duduk di atas dingklik kayu di dalam bilik Swandaru. Wajahnya tampak menegang ketika perlahan lahan Ki Rangga mengamati bekas luka yang ditimbulkan oleh senjata Pemimpin perguruan Toya Upas itu. Menilik bekas-bekas yang ditimbulkan, Ki Rangga dapat menarik kesimpulan bahwa jenis racun yang digunakan adalah semacam racun yang dapat mempengaruhi kerja jaringan syaraf di tubuh manusia. Dan agaknya racun yang mengeram di pinggang anak laki-laki Demang Sangkal Putung itu telah membuat syaraf yang ada di pinggangnya terganggu sehingga tubuh bagian bawah Swandaru telah menjadi lumpuh. “Adi Swandaru,” berkata Ki Rangga setelah selesai mengamati bekas luka adik seperguruannya itu, “Aku akan meramu sejenis obat untuk mengurangi pengaruh racun yang mengeram di pinggang Adi,” Ki Rangga berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Pengaruh obat ini tidak akan serta merta karena justru akan dapat membahayakan dan merusak jaringan syaraf itu sendiri. Paling tidak dibutuhkan waktu tiga hari untuk menghilangkan pengaruh racun itu.” “Terserah Kakang,” desis Swandaru hampir tak terdengar, “Aku telah membuat semua orang kecewa karena tingkah lakuku. Aku tidak tahu lagi apa yang akan aku katakan pada Pandan Wangi.” Mata Swandaru tampak berkaca kaca. Ditengadahkan wajahnya memandangi atap biliknya yang suram terkena bayangan cahaya dari lampu dlupak yang terdapat di ajug-ajug. Pikirannya menerawang ke masa lalu yang penuh dengan liku- liku. “Sudahlah,” hibur Ki Rangga, “Tidak perlu disesali segala sesuatu yang telah terjadi, namun yang perlu dipikirkan adalah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 905
Koleksi Goldy Senior langkah apa yang akan kita laksanakan untuk menghadapi hari esok yang bertumpu pada kejadian-kejadian di masa lalu.” Tiba-tiba pintu bilik berderit dan terbuka sejengkal. Tampak seraut wajah cantik menyembul dari sela-sela pintu bilik itu. Hampir bersamaan Swandaru dan Ki Rangga menoleh. Tampak Pandan Wangi yang termangu mangu berdiri di tengah- tengah pintu bilik yang kini telah terbuka lebar. “Wangi,” berkata Ki Rangga kemudian ketika melihat yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik itu ternyata Pandan Wangi, “Aku memerlukan air panas untuk menyeduh ramuan obat ini.” “Ya Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil melangkah surut, “Aku akan mengambilnya di dapur.” “Trima kasih,” jawab Ki Rangga tanpa menoleh. Kedua tangannya sibuk membuka beberapa bungkusan obat kemudian meramunya menjadi satu dalam sebuah mangkok dari tanah liat. Selama Ki Rangga Agung Sedayu sibuk menyiapkan obat, Swandaru hampir tak berkedip memandanginya. Dalam pandangannya, seolah olah yang duduk di dekat pembaringannya itu bukan Kakak seperguruannya, melainkan gurunya sendiri Kiai Gringsing yang menjelma di hadapannya untuk mengobati penyakitnya dan sekaligus menghukumnya atas segala polah tingkahnya yang telah menerjang wewaler perguruan. Ketika kemudian Pandan Wangi telah datang dengan semangkuk air panas, Ki Rangga segera menuangkan air panas tersebut sedikit demi sedikit ke dalam mangkuk yang berisi ramuan obat. Sambil mengaduk ramuan obat yang berwarna merah kehijauan itu agar menjadi encer, Ki Rangga masih menaburkan lagi beberapa ramuan yang lainnya. Lambat laun tapi pasti ramuan obat itupun akhirnya telah bercampur dengan air panas dan siap untuk diminum. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 906
Koleksi Goldy Senior “Apakah Adi Swandaru bisa duduk?” bertanya Ki Rangga sambil mendekat ke arah Swandaru. “Bisa Kakang, aku masih bisa bangkit untuk duduk,” selesai berkata demikian, dengan bertelekan pada kedua tangannya Swandaru pun kemudian berusaha bangkit dan duduk di atas pembaringan. Pandan Wangi yang ada di sisinya segera membantu suaminya dengan menahan pundak Swandaru, kemudian meletakkan beberapa bantal di belakang punggungnya untuk mengganjal agar Swandaru tetap pada kedudukannya. “Minumlah,” berkata Ki Rangga sambil mengangsurkan mangkuk berisi cairan obat. Dengan tanpa ragu-ragu, diterimanya mangkuk berisi cairan obat itu dan langsung ditenggaknya beberapa kali sampai tuntas. Ketika mangkuk kosong itu diangsurkan kembali kepada kakak seperguruannya, tiba-tiba Swandaru merasakan perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya. Ada hawa panas yang perlahan lahan mengalir dari dalam perutnya menuju ke seluruh tubuhnya. Panas itu pada awalnya tidak terasa mengganggu, namun lambat laun rasa panas itu semakin memuncak dan hampir-hampir tak tertahankan. “Berbaringlah kembali,” pinta Ki Rangga, “Usahakan engkau tetap sadar walaupun rasa panas itu hampir membuatmu pingsan, namun aku jamin rasa panas yang tak tertahankan itu hanya bertahan beberapa saat saja. Selanjutnya akan berangsur angsur seperti sedia kala.” Swandaru hanya mengangguk pelan sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dengan dibantu Pandan Wangi, perlahan lahan Swandaru pun akhirnya berbaring kembali. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 907
Koleksi Goldy Senior Tampak sekujur tubuh Swandaru menjadi basah kuyup oleh keringat akibat panas tubuhnya yang meningkat dengan cepat. Namun sejenak kemudian perlahan lahan rasa panas itu mulai menurun dan akhirnya suhu tubuh Swandaru pun menjadi biasa seperti sedia kala. “Bantu suamimu berganti baju,” berkata Ki Rangga kepada Pandan Wangi, “Aku akan ke pakiwan sebentar.” “Baik Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil berjalan ke geledeg tempat menyimpan pakaian yang terletak di sudut bilik. Sedangkan Ki Rangga telah melangkah keluar bilik menuju ke pakiwan. Ketika Ki Rangga Agung Sedayu telah selesai dari pakiwan, ternyata dia tidak kembali ke bilik Swandaru. Dilangkahkan kakinya menuju ke ruang dalam. Dari celah pintu ruang dalam yang terbuka sejengkal, tampak Ki Demang sedang duduk terkantuk-kantuk sendirian. Derit pintu ruang dalam ternyata telah menyadarkan Ki Demang dari kantuknya. “Siapa?” bertanya Ki Demang sambil mengangkat kepalanya. “Aku, Ki Demang. Sedayu,” “O, silahkan silahkan,” sambut Ki Demang sambil menggeser duduknya setapak ke samping. Ki Rangga Agung Sedayupun kemudian duduk di hadapan Ki Demang yang terlihat sudah sangat tua. Garis garis kehidupan tampak tergurat pada wajah yang sudah keriput itu. Betapapun juga, tingkah polah anak laki-laki kebanggaannya yang diharapkan dapat menjadi penerusnya ternyata telah mengecewakannya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 908
Koleksi Goldy Senior “Ki Demang,” Ki Rangga mencoba mencairkan suasana yang kaku, “Mungkin beberapa hari ke depan Adi Swandaru akan aku bawa ke Padepokan di Jati Anom. Selain untuk memulihkan kesehatannya, aku sebagai pengganti Guru juga berkewajiban memberikan tuntunan lahir dan batin. Selain untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang olah kanuragan, tidak kalah pentingnya olah batin Adi Swandaru juga perlu ditingkatkan agar di hari hari mendatang Adi Swandaru tidak kembali terjebak pada kesalahan yang tidak perlu terjadi.” Ki Demang hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak setitik air mengambang di sudut mata yang sudah berkeriput dan kabur dimakan usia. Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Sambil mengendapkan gelora di dalam dadanya, dia melanjutkan, “Kemungkinan jika Ki Demang dan Adi Pandan Wangi setuju, besuk pagi pagi sekali aku akan membawa Adi Swandaru ke Padepokan Jati Anom.” Wajah tua itu tampak sekilas terkejut. “Begitu tergesa gesa?” bertanya Ki Demang kemudian. Sebelum Ki Rangga sempat menjawab, tiba-tiba pintu ruang dalam terbuka dan Pandan Wangi muncul dengan membawa nampan berisi minuman hangat dan jenang alot. Sekilas Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan melihat kembali peristiwa berpuluh tahun yang lalu. Seorang gadis dari Tanah Perdikan Menoreh dengan pakaian khusus dan sepasang pedang di lambung sedang membawa nampan berisi minuman dan makanan untuk para tamunya, orang bercambuk dan kedua muridnya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 909
Koleksi Goldy Senior Namun kini yang dilihatnya adalah seorang perempuan yang sudah berumur namun masih tetap terlihat cantik dengan bentuk tubuh yang masih sempurna. Dan yang tidak pernah berubah dari perempuan itu adalah wajahnya yang masih saja memendam rahasia seperti dulu, murung dan penuh kediaman. Sambil berjongkok dan meletakkan kedua lututnya di lantai, dengan cekatan Pandan Wangi menghidangkan minuman dan makanan yang dibawanya di atas nampan. Ketika jari jemari yang lentik itu menyodorkan semangkuk minuman hangat ke hadapan Ki Rangga Agung Sedayu, betapa jari jemari itu menjadi gemetar sehingga air yang ada dalam mangkuk itu hampir saja tumpah. Ki Rangga Agung Sedayu hanya termangu mangu melihat kejadian yang hanya sekilas itu. Berbagai tanggapan muncul di dalam hatinya. Perasaan apakah sebenarnya yang sedang berkecamuk di dalam hati perempuan separo baya yang masih terlihat cantik dan menarik ini. “Wangi,” tiba-tiba Ki Demang berkata perlahan ketika Pandan Wangi akan bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, “Tinggallah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu malam ini.” Pandan Wangi yang sudah hampir berdiri itu mengurungkan niatnya. Diletakkannya nampan itu di atas pangkuannya sambil duduk bersimpuh di sebelah mertuanya. “Wangi,” kembali Ki Demang berkata, “Anakmas Agung Sedayu bermaksud membawa Swandaru ke Padepokan Jati Anom besuk pagi untuk melanjutkan pengobatan terhadap penyakitnya. Bagaimana pendapatmu, Wangi?” Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Jari-jari lentiknya memainkan lembar-lembar pandan yang saling berkait di tikar yang didudukinya. Pandangan matanya kosong menatap Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 910
Koleksi Goldy Senior jalur-jalur warna warni yang saling silang menyilang membentuk pola-pola yang indah dan menawan. “Wangi?” agak keras suara Ki Demang menyadarkan Pandan Wangi dari lamunannya. “Ya, Ayah,” tergagap Pandan Wangi menjawab. “Bagaimana tanggapanmu?” Sejenak Pandan Wangi masih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya nafas itu kuat-kuat seolah olah ingin ditumpahkannya segala isi hatinya bersama dengan hembusan nafasnya itu. “Ayah,” akhirnya terlontar juga kata-kata dari Pandan Wangi, “Aku hanya bisa pasrah terhadap apa yang akan Kakang Agung Sedayu lakukan sehubungan dengan sakitnya Kakang Swandaru. Namun jika diijinkan, aku ingin ikut menemani Kakang Swandaru di Padepokan Jati Anom.” Ki Demang mengerutkan keningnya sementara Ki Rangga Agung Sedayu menjadi berdebar debar. Persoalannya akan semakin rumit jika Pandan Wangi bersikeras untuk ikut ke Jati Anom. Sebenarnyalah Ki Rangga sudah mempunyai rencana tersendiri terhadap adik seperguruannya ini, namun dengan kehadiran Pandan Wangi di padepokan Jati Anom, Ki Rangga merasa ewuh pakewuh justru karena Pandan Wangi adalah istri adik seperguruannya itu. Sejenak suasana menjadi sepi. Hanya angin malam saja yang terdengar bertiup cukup keras memukul mukul atap sehingga suaranya terdengar berderak derak. Sinar lampu dlupak yang ada di ajug-ajug tampak bergoyang goyang terkena hembusan angin yang menerobos di sela-sela dinding kayu. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 911
Koleksi Goldy Senior “Wangi,” akhirnya Ki Demang membuka suara kembali, “Apakah pertimbanganmu sehingga engkau perlu mengikuti suamimu ke Padepokan Jati Anom?” “Ayah,” jawab Pandan Wangi, “Aku ingin mendampingi Kakang Swandaru sampai sembuh. Kemudian jika memungkinkan kesehatan kakang Swandaru untuk melakukan perjalanan jauh, aku akan memohon kepadanya untuk mengantarkan aku ke Menoreh, menjenguk Ayah Argapati yang sedang sakit.” “Kemungkinan itu sangat kecil, Wangi,” Ki Rangga Agung Sedayu ternyata yang memberikan tanggapan, “Selain waktu yang diperlukan untuk memulihkan kesehatan Adi Swandaru cukup lama, aku sebagai saudara tua seperguruannya juga mempunyai tanggung jawab baik secara lahir maupun batin terhadap perkembangan Adi Swandaru.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya, “Maksud Kakang?” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, jawabnya kemudian, “Sebagai pengganti Guru, aku mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk meminta pertanggung jawaban atas apa yang selama ini telah terjadi sehubungan dengan aturan-aturan yang harus ditaati dalam sebuah perguruan.” Pandan Wangi sadar, agaknya Ki Rangga Agung Sedayu akan menggunakan haknya dan sekaligus kewajiban sebagai saudara tua untuk menghukum suaminya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Swandaru. Maka katanya kemudian, “Itu adalah hak Kakang Agung Sedayu selaku pengganti Kiai Gringsing untuk menegakkan wewaler perguruan. Namun aku juga berbicara tentang kewajiban seorang istri untuk berbakti kepada suami apapun ujud kesalahan suami itu terhadap istrinya.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 912
Koleksi Goldy Senior Kata-kata terakhir Pandan Wangi itu bagaikan kidung pepujian yang indah terdengar di telinga kedua laki-laki yang duduk di ruang dalam itu. Alangkah indahnya hidup ini seandainya setiap istri menyadari kewajibannya tanpa memandang derajat, pangkat dan semat dari suaminya. Demikian pula sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk selalu memberikan bimbingan dan menjadi contoh yang baik kepada keluarganya dalam hubungannya dengan kehidupan bebrayan dan terlebih lagi kesadaran akan jati diri seorang hamba terhadap Sumber Hidupnya. “Engkau memang benar, Wangi,” kali ini Ki Rangga Agung Sedayu yang memecah keheningan, “Sebenarnyalah antara suami dan istri itu terdapat hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalani hidup bebrayan bersama. Seorang suami dalam memenuhi kewajibannya kepada istri tidak harus menunggu haknya atas istri terpenuhi, demikian juga sebaliknya. Masing- masing merasa mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa menunggu apakah dia sudah mendapatkan haknya atau belum.” Pandan Wangi hanya menundukkan wajahnya. Sesekali dia menarik nafas dalam sekali, seolah olah ingin dihirupnya seluruh udara yang ada di ruang dalam itu. “Nah,” berkata Ki Demang akhirnya, “Bagaimanakah pertimbangan Anakmas Agung Sedayu? Apakah Anakmas keberatan dengan permohonan Pandan Wangi untuk mendampingi suaminya?” “Tentu saja tidak,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menyahut, “Adalah haknya untuk mendampingi suaminya, namun aku hanya memperingatkan bahwa Adi Swandaru aku bawa ke Padepokan Jati Anom bukan untuk bersenang-senang, di Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 913
Koleksi Goldy Senior sana telah menunggu tugas-tugas yang harus diselesaikannya sejalan dengan pengobatan terhadap sakitnya.” Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Pandan Wangi, “Nah, Pandan Wangi engkau dapat berkemas mulai sekarang. Besuk pagi-pagi sekali kalian akan menempuh perjalanan yang pendek saja, namun keadaan suamimu lah yang akan menjadi pertimbangan dalam perjalanan nanti,” Ki Demang berhenti sejenak kemudian berpaling ke arah Ki Rangga, “Bukankah demikian Anakmas Agung Sedayu?” Ki Rangga mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Memang demikianlah, Ki Demang. Kami akan berangkat pagi- pagi sekali agar tidak menarik perhatian, dan aku mohon tiga atau empat orang pengawal Sangkal Putung untuk ikut mengantar kami ke Jati Anom. Sebenarnya tidak ada yang perlu di kawatirkan. Jalan-jalan semakin ramai dan aman, namun alangkah baiknya kalau kita selalu waspada agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.” Hampir bersamaan Ki Demang dan Pandan Wangi mengangguk angguk. “Bagaimana dengan Bayu Swandana?” tiba-tiba Ki Demang berkata sambil berpaling ke arah Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya, “Kalau engkau tinggal pergi, apakah dia tidak akan mencarimu nanti?” Pandan Wangi mengangguk, “Ya, ayah. Lebih baik aku membawanya serta. Anak itu sudah cukup besar, sudah bisa diajak berkuda.” Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menahan nafas mendengar Pandan Wangi menyebut anaknya. Ingatannya segera melayang kepada istrinya yang sedang hamil tua di Menoreh. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 914
Koleksi Goldy Senior Tiba-tiba Ki Demang tersenyum lebar sambil memandang ke arah Ki Rangga. Katanya kemudian masih dengan tersenyum, “Semoga Sekar Mirah diberi kelancaran menjelang hari-hari persalinannya. Sebenarnya aku ingin punya cucu perempuan, karena Pandan Wangi telah memberiku cucu laki-laki.” “Ah,” desah Pandan Wangi, “Semua itu terserah Yang Maha Agung dalam memberi kita karuniaNya. Kita hanya dapat memohon dan bersyukur atas semua limpahan kasih sayangNya.” “Engkau benar, Wangi,” sahut Ki Demang sambil tertawa pendek, “Namun hati orang tua ini kadang banyak permintaan. Namun apapun juga nanti yang terjadi, kita wajib mengucap syukur justru karunia itu datang pada saat Anakmas Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah mendekati usia tua.” “Ya Ki Demang,” berkata Ki Rangga, “Karunia itu memang datang kapan saja atas kehendak Yang Maha Agung. Kita hanya dapat berdo‟a dan berusaha.” “Baiklah,” berkata Ki Demang kemudian, “Sebaiknya kalian beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan besuk,” Ki Demang berhenti sejenak kemudian katanya kepada Ki Rangga Agung Sedayu, “Sebaiknya Anakmas Agung Sedayu memberitahu pemimpin pengawal Sangkal Putung untuk menunjuk empat orang pengawal yang akan menyertai perjalanan kalian besuk pagi.” “Ya, Ki Demang,” jawab Ki Rangga sambil bangkit berdiri. Sejenak kemudian ruang dalam itu telah menjadi sepi. Pandan Wangi segera kembali ke biliknya setelah sebelumnya disempatkan untuk menengok suaminya yang sedang tertidur pulas di bilik sebelah karena pengaruh obat yang diberikan oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Sedangkan Ki Demang pun juga telah masuk ke dalam biliknya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 915
Koleksi Goldy Senior Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah turun ke halaman mendekati regol penjagaan depan. Segera saja dua orang yang sedang bertugas jaga malam itu dengan tergopoh- gopoh telah menyambut Ki Rangga. “Silahkan, silahkan,” berkata pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya, “Kami baru saja mendapat kiriman singkong rebus dengan parutan kelapa muda. Masih hangat. Silahkan kalau Ki Rangga berkenan.” Bagian 2 Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Trima kasih, aku hanya singgah sejenak untuk menitipkan pesan.” “Pesan?” tanpa sadar kedua pengawal itu mengulang, “Pesan untuk siapakah Ki Rangga?” “Untuk pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung,” jawab ki Rangga. Kedua pengawal itu sejenak saling berpandangan. Akhirnya pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya itulah yang berkata selanjutnya, “Apakah isi pesan itu Ki Rangga? Kalau memang sangat mendesak, biarlah salah satu dari kawan kami yang sedang lepas jaga menghubungi pemimpin pengawal Kademangan.” Selesai berkata demikian pengawal yang mempunyai tahi lalat di pipi kirinya itu menunjuk seorang pengawal yang sedang tidur melingkar bersama tiga orang pengawal lainnya di atas sebuah amben besar di dalam gardu penjagaan. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 916
Koleksi Goldy Senior Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu merenung, namun kemudian katanya, “Baiklah, bangunkan dia. Aku memerlukan bantuannya.” Dengan tergesa-gesa, pengawal itupun segera membangunkan kawannya yang sedang tidur pulas. Beberapa saat pengawal yang dibangunkan itu masih menggeliat sambil berdesis, “He, rasa rasanya aku belum puas tidur. Apakah sekarang sudah tengah malam?” “Belum,” jawab pengawal yang membangunkannya. “Gila,” umpat pengawal yang dibangunkan itu sambil menarik kain panjangnya dan kembali tidur melingkar. “He! Bangunlah,” seru kawannya sambil mengguncang guncang tubuhnya, “Ki Rangga Agung Sedayu memerlukanmu.” “Ki Rangga?” kepala yang sudah hilang terbenam dalam kain panjang itu tersembul kembali. Katanya kemudian sambil menggeram, “Jangan main-main. Waktu istirahatku masih panjang. Selain itu untuk apa Ki Rangga memerlukanku?” “Ya, Ki Sanak. Aku memerlukan bantuanmu,” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berbaring. Bagaikan disengat kalajengking pengawal yang sedang tidur itu segera meloncat berdiri. Dengan pandangan yang masih kabur ditatapnya bayangan seseorang yang berdiri di depannya. “Ki Rangga Agung Sedayu,” desis pengawal itu perlahan hampir tak terdengar. “Ya,” jawab Ki Rangga, “Aku memerlukan bantuanmu untuk menghubungi pemimpin pengawal Kademangan ini.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 917
Koleksi Goldy Senior “O,” berkata pengawal yang baru terbangun itu sambil mengangguk angguk. Kemudian lanjutnya, “Apakah yang harus aku sampaikan kepadanya, Ki Rangga?” “Sampaikan pesanku kepadanya, bahwa aku memerlukan empat orang pengawal untuk menemani Ki Swandaru dan istrinya ke Padepokan Jati Anom. Pagi-pagi sekali sebelum Matahari terbit mereka harus sudah siap di sini, di rumah Ki Demang.” Pengawal itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah Ki Rangga. Sebaiknya aku segera berangkat.” “Terima kasih,” berkata Ki Rangga sambil melangkah menuju ke gandhok kanan tempatnya beristirahat. Sementara itu sambil bersungut-sungut, pengawal yang dibangunkan itu membenahi kain panjangnya sambil meraih pedang yang disandarkan di dinding. “Mengapa mesti aku yang disuruh?” gerutunya sambil melangkah meninggalkan gardu penjagaan menyusuri gelapnya malam. Pengawal yang membangunkannya mengerutkan keningnya, katanya kemudian setengah berseru, “He, bukankah rumahmu dekat dengan rumah pemimpin pengawal Kademangan itu? Bilang saja engkau gembira mendapat tugas tambahan ini karena sekaligus engkau dapat menengok binimu.” Pengawal itu masih sempat berpaling sambil berkata, “Nah, jangan salahkan aku nanti kalau aku menggantikanmu tidak tepat waktu. Masalahnya, jika aku sempat mampir ke rumah, aku harus membangunkan istriku. Dan kalian pasti maklum, aku harus membuatnya tidur lagi sebelum meninggalkannya.” “Gila,” umpat kedua kawannya yang sedang bertugas jaga itu. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 918
Koleksi Goldy Senior “Ternyata engkau mulai menikmati tugas tambahan ini,” geram pengawal yang bertahi lalat di pipi kirinya. Pengawal yang mendapat tugas menyampaikan pesan Ki Rangga Agung Sedayu itu tidak menjawab hanya tawanya saja yang terdengar berderai derai memecah sepinya malam. Demikianlah pagi-pagi sekali, setelah menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Agung, Ki Rangga Agung Sedayu segera berkemas-kemas untuk berangkat ke Jati Anom. Empat orang pengawal yang akan mengikuti ke Padepokan Jati Anom pun telah bersiap pula dengan empat ekor kuda yang cukup tegar ditambatkan pada patok-patok yang ada di sebelah kiri pendapa. Sedangkan Pandan Wangi yang pada awalnya ingin mengajak anak laki-lakinya ternyata menemui kesulitan untuk membangunkan anaknya yang masih tidur pulas di bilik pemomongnya. “Sudahlah Nyi,” berkata pemomongnya sambil membelai kepala cucu Ki Demang Sangkal Putung itu, “Biarlah ia tinggal di sini saja. Anak ini sudah besar dan tidak akan mencari biyungnya. Sehari hari ia bermain denganku. Kalau memang ada sesuatu yang penting, biarlah salah seorang pengawal menghubungi Nyi Pandan Wangi di Jati Anom.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil membelai kepala anak laki-laki satu satunya itu. Sejenak Pandan Wangi merenungi wajah anaknya yang sedang tidur pulas itu. Wajah itu benar-benar sangat mirip dengan ayahnya. Namun bukan hal itu yang merisaukan hati Pandan Wangi. Anak ini adalah pewaris tunggal dua buah wilayah yang sangat luas dan subur, Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung. Jika sifat sombong dan cenderung meremehkan orang lain dari ayahnya itu juga menurun kepadanya, Pandan Wangi tidak dapat Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 919
Koleksi Goldy Senior membayangkan apa yang akan terjadi dengan masa depan kedua daerah itu. “Baiklah,” akhirnya Pandan Wangi mengalah, “Jagalah ia baik-baik. Aku sering melihat dia mulai senang memanjat apa saja. Pohon jambu air di belakang dapur itu hampir setiap hari dipanjatnya. Aku kawatir kalau ia sampai terjatuh dan mendapatkan cedera.” Pemomongnya itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Jangan kawatir Nyi. Aku akan menjaganya seperti menjaga anakku sendiri. Ia memang senang memanjat pohon jambu air itu, namun aku selalu mencegahnya apabila ia mulai memanjat agak tinggi.” Pandan Wangi pun tersenyum. Kemudian dengan penuh kasih sayang diciumnya pipi anaknya yang gembil dan lucu itu. Setelah sekali lagi membelai kepala anaknya, Pandan Wangi pun kemudian melangkah keluar bilik untuk berkemas-kemas mengantar suaminya ke Jati Anom. Sejenak kemudian beberapa ekor kuda yang tegar telah siap di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan perlahan lahan dua orang pengawal memapah Swandaru keluar dari biliknya. Ketika kemudian mereka menuruni tangga pendapa dengan hati-hati, ternyata Ki Rangga Agung Sedayu sudah menunggu di samping kuda Swandaru yang berbulu hitam legam dan terlihat sangat tegar. “Adi Swandaru,” bertanya Ki Rangga, “Apakah Adi mampu berkuda sendiri?” Swandaru yang masih di papah oleh dua orang pengawal itu menggeleng lemah, “Aku sudah mampu duduk, namun untuk menjaga keseimbangan tubuhku sangat sulit karena kedua kakiku Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 920
Koleksi Goldy Senior masih sangat lemah, walaupun pengaruh obat yang Kakang berikan semalam sudah menampakkan kemajuan. Aku sudah dapat menggerakkan jari-jari kakiku walaupun masih sangat lemah.” Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Sementara itu dengan telaten Pandan Wangi membantu kedua pengawal itu menaikkan tubuh Swandaru ke atas punggung kuda. “Kakang Sunu,” berkata Pandan Wangi kepada salah satu pengawal yang memapah Swandaru, “Engkau dapat berkuda bersama Kakang Swandaru untuk menjaganya agar tidak terjadi apa-apa nanti di sepanjang perjalanan.” “Baik, Nyi,” jawab pengawal yang bernama Sunu itu sambil memegangi kendali kuda Swandaru. Sejenak kemudian mereka telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing. Sunu yang berkuda dengan Swandaru pun telah berada di belakang Swandaru sambil menjaga keseimbangan Swandaru agar tidak terganggu pada saat kuda itu nanti berpacu di jalan-jalan menuju Jati Anom. “Engkau tidak harus memegang kendali kudamu, Adi,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu ketika menyadari bahwa justru Swandaru sendiri yang memegang kendali kudanya, sedang Sunu yang duduk di belakangnya hanya menjaga keseimbangan tubuhnya dengan memegangi pinggangnya. Swandaru hanya tersenyum, sahutnya, “Aku masih penunggang kuda yang baik, Kakang. Jangan kawatir kakang Sunu cukup menjaga keseimbangan tubuhku.” Ki Rangga Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam- dalam. Kemudian katanya kepada Ki Demang yang berdiri di tangga pendapa, “Kami mohon diri Ki Demang. Setiap saat nanti Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 921
Koleksi Goldy Senior ada pengawal yang akan memberitahukan perkembangan Adi Swandaru.” Ki Demang hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Sepasang mata tua itu tampak berkaca kaca. Bagaimanapun juga setelah kematian Nyi Demang beberapa tahun yang lalu, hidupnya seakan akan menjadi hampa. Namun dengan hadirnya seorang cucu laki-laki, hidupnya yang bagaikan lampu kehabisan minyak itu seakan akan kembali bergairah. Tapi justru Swandaru anak laki-laki kebanggaannya yang digadang-gadang dapat menggantikan kedudukannya sebagai Demang Sangkal Putung itu ternyata telah melakukan beberapa kali kesalahan. Kesalahan itu tidak hanya mengecewakan hatinya, namun yang lebih memprihatinkan, kelakuan Swandaru itu telah menghancurkan hati istrinya. “Ayah,” akhirnya Pandan Wangi yang berkata, “Kami berangkat. Bayu Swandana tidak jadi aku bawa. Biarlah dia bersama pemomongnya. Kalau ada hal yang penting, suruhlah seorang pengawal untuk menyusul ke Jati Anom.” Kembali Ki Demang hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Tenggorokannya terasa tercekat dan tidak ada satupun kata-kata yang mampu diucapkannya. Sejenak kemudian setelah mengucapkan salam, rombongan itupun mulai bergerak meninggalkan halaman rumah diikuti oleh pandangan mata Ki Demang Sangkal Putung yang berkaca kaca. Dalam pada itu, di regol penjagaan depan istana Kepatihan telah terjadi sedikit keributan. Suasana yang masih pagi dan dingin tenyata tidak mengendurkan kewaspadaan para prajurit yang bertugas jaga di istana Kepatihan, terutama di regol depan. Seorang kakek-kakek sambil menjinjing sebuah pikulan ditemani Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 922
Koleksi Goldy Senior nenek-nenek yang menggendong bakul tampak keluar dari regol depan Kepatihan. Tentu saja sepasang kakek nenek itu segera dihentikan oleh para prajurit yang bertugas jaga. Prajurit-prajurit jaga itu merasa heran, bagaimana mungkin sepasang kakek nenek itu justru keluar lewat pintu regol depan, tidak lewat pintu butulan di belakang. “Kek,” sapa seorang prajurit yang terlihat masih sangat muda, “Kakek ini dari mana dan mau ke mana? Mengapa tidak lewat pintu butulan saja? Tidak semua orang diperbolehkan keluar masuk istana Kepatihan melalui regol depan.” Kakek dan nenek itu tampak kebingungan. Sambil terbatuk batuk, kakek tua itu mencoba menjawab, “Ma‟afkan kami, anak muda. Kami kemarin sore memasuki istana Kepatihan ini juga lewat regol depan, maka kami pulang pun juga lewat regol ini.” Sejenak para prajurit penjaga regol depan itu saling berpandangan. Seorang prajurit yang memiliki jambang yang cukup lebat mendesak maju. Katanya kemudian, “Kek, kapan kalian memasuki regol ini kemarin? Karena kami yang bertugas pada waktu dini hari ini adalah para prajurit yang sama yang bertugas pada sore hari kemarin?” Kakek nenek itu saling pandang sejenak sebelum akhirnya kakek yang rambutnya sudah putih semua itu menjawab, “Kami datang ke istana Kepatihan ini menjelang Matahari terbenam.” “He?” beberapa prajurit berseru heran. Namun sebelum kesalah pahaman itu berlarut larut, seorang perwira yang berpangkat Lurah melangkah mendekat, “Sudahlah, jangan dipersoalkan lagi. Biarlah kakek dan nenek ini meneruskan perjalanan mereka. Aku jamin mereka berdua tidak akan menimbulkan permasalahan.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 923
Koleksi Goldy Senior Para prajurit yang sedang berkerumun itu segera menyibak dan memberikan penghormatan. “Ki Lurah Ranu Atmaja,” desis prajurit yang berjambang itu. Kakek dan nenek itu sejenak hampir membeku di tempatnya. Mereka tidak mengira kalau persoalan mereka itu menjadi sedemikian mudahnya begitu Ki Lurah Ranu Atmaja hadir di tempat itu. Ki Lurah Ranu Atmaja agaknya menyadari apa yang sedang bergejolak di dada kedua orang itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah, penyamaran kalian sudah baik sekali dan kalian telah mengujinya di hadapan para prajurit jaga ini. Aku pun memerlukan waktu beberapa saat untuk mengenali kalian, itu bukan karena penyamaran kalian yang kurang sempurna, namun karena pengenalanku selama ini terhadap kalian berdua yang cukup dekat sehingga bentuk tubuh kalian dan gerak gerik kalian tidak dapat mengelabuhiku.” “Apakah itu berarti setiap orang akan dengan mudah mengenali kami?” bertanya nenek yang ternyata suaranya masih terdengar jernih dan merdu. “Tentu saja tidak,” sahut Ki Lurah, “Salah satu hal yang mungkin perlu kalian perhatikan adalah nada suara kalian. Kalian berdua adalah kakek nenek yang sudah cukup tua, jadi adalah aneh kalau suara kalian terdengar seperti suara orang yang masih muda.” Dua orang yang ujudnya seperti kakek dan nenek itu menarik nafas dalam-dalam. Memang selama menjadi prajurit sandi mereka tidak pernah mengubah tampilan mereka. Mereka tampil dengan ujud mereka apa adanya. “Sudahlah Adi Glagah Putih,” berkata Ki Lurah Ranu Atmaja kemudian kepada kakek itu yang ternyata adalah Glagah Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 924
Koleksi Goldy Senior Putih yang sedang menyamar, “Penyamaran kalian sudah cukup sempurna. Hati-hatilah pada saat memasuki Tanah Perdikan Menoreh nanti. Jangan sampai ada yang mengenali kalian berdua.” Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang menyamar itu mengangguk anggukkan kepalanya, sementara para prajurit yang sedang bertugas menjaga regol depan istana Kepatihan itu hanya dapat saling memandang sambil menarik nafas dalam-dalam setelah mengetahui dengan siapa mereka berhadapan. Demikianlah, akhirnya Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Menoreh. Di sepanjang perjalanan hampir tidak ada yang menghiraukan sepasang kakek nenek yang berjalan tersaruk-saruk. Hanya sesekali saja jika mereka berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar, mereka mendapat beberapa pertanyaan sehubungan dengan arah yang mereka tuju. “He, Ki Sanak,” sapa seorang laki-laki yang sudah cukup umur sambil menghentikan gerobaknya, “Bukankah sekarang ini pasaran Kliwon? Mengapa kalian justru pergi ke arah Pasar Pahing?” Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun. Satu hal lagi yang luput dari perhitungan mereka. “Kami tidak akan pergi ke pasar Pahing Ki Sanak,” jawab Glagah Putih akhirnya, “Kami akan menengok keluarga yang ada di Menoreh. Sekembalinya dari Menoreh, barulah kami akan membeli sesuatu di Menoreh yang barangkali dapat kami jual kembali di sini.” Orang yang punya gerobak itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, kemudian katanya sambil Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 925
Koleksi Goldy Senior mendorong gerobaknya kembali, “Baiklah Ki Sanak, selamat jalan. Semoga kalian berdua selamat sampai tujuan.” “Terima kasih,” hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab dengan suara yang mirip orang yang sudah lanjut usia. Dengan penuh semangat orang itu kembali mendorong gerobaknya di atas jalan yang berbatu batu diikuti oleh pandangan sepasang suami istri yang sedang dalam penyamaran itu. “Alangkah bahagia istrinya, jika orang itu nanti pulang membawa setumpuk uang hasil jerih payahnya menjual barang dagangannya itu,” desis Glagah Putih tanpa sadar. “Asal saja tidak dihabiskan di meja judi atau justru untuk bersenang senang sendiri dengan perempuan-perempuan murahan yang menjajakan tubuhnya untuk sekedar memberikan kepuasan sesaat,” geram Rara Wulan. “He,” setengah berseru Glagah Putih menoleh ke arah istrinya, “Mengapa engkau berpikiran seperti itu? Laki-laki itu kelihatannya dapat dipercaya?” “Ah, siapa tahu dalam hati seseorang,” sergah Rara Wulan, “Apalagi kalau istrinya sudah keriput dan jelek seperti aku sekarang ini.” Selesai berkata demikian Rara Wulan memandang tajam ke arah suaminya seolah olah ingin menjenguk apa yang ada di dalam dada Glagah Putih. “Tentu saja aku akan tetap mencintaimu, Rara,” dengan cepat Glagah Putih menjawab sambil berusaha merengkuh istrinya. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 926
Koleksi Goldy Senior “Ah, memalukan,” sahut Rara Wulan dengan suara ketus sambil menghindar dan berjalan cepat-cepat meninggalkan Glagah Putih. Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Kemudian dengan langkah lebar disusulnya Rara Wulan yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya. Dalam pada itu, di puncak Gunung Kendalisada sinar Matahari mulai mengintip dari balik punggung bukit. Sinarnya yang kuning keemasan menyentuh wajah seorang perempuan muda yang sedang duduk di atas sebongkah batu padas menghadap Matahari terbit. Wajah itu begitu berbinar tersentuh sinar Matahari yang masih lemah. Rambutnya yang panjang dibiarkan saja tergerai menyentuh pundak. Sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu sedikit terpejam. Dibiarkan saja sinar Matahari yang lembut itu membelai sekujur tubuhnya yang nyaris sempurna, leher yang jenjang dan dada yang membusung penuh serta pinggang yang begitu ramping dengan pinggul yang melengkung indah. Sementara kedua kakinya yang panjang bagaikan sepasang kaki belalang itu diselonjorkan begitu saja menambah pesona siapa saja yang memandangnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara parau dari arah pondok di sebelah kiri perempuan muda yang sedang duduk itu, “Sedari tadi kulihat engkau duduk diam menghadap ke arah Matahari terbit. Apakah yang engkau tunggu, Anjani?” Perempuan muda yang ternyata Anjani itu hanya berpaling sekilas sambil menjawab, “Eyang Resi, aku sedang menunggu Matahari terbit. Sinarnya yang hangat rasa rasanya seperti melancarkan seluruh peredaran darahku di puncak gunung yang dingin ini. Selebihnya, aku memang sedang menunggu Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 927
Koleksi Goldy Senior kedatangan seseorang yang telah berjanji akan berkunjung ke gunung Kendalisada ini.” Sejenak suasana sepi. Tidak ada suara dari arah pondok. Hanya suara kicau burung yang ramai bersahutan menyambut datangnya Matahari yang kembali menyinari bumi. “Apakah yang engkau maksud itu Ki Rangga Agung Sedayu?” tiba-tiba terdengar kembali suara dari arah pondok memecah sepi. “Ya, Eyang Resi,” jawab Anjani tanpa berpaling, “Dia berjanji akan mengunjungi Eyang Resi untuk memohon obat penawar racun Gundala Wereng yang telah melukainya.” “Ki Rangga tidak memerlukan obat itu,” suara dari arah pondok itu membuat Anjani terkejut sehingga dia berpaling. “Apa maksud Eyang Resi?” bertanya Anjani sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya. Sejenak bau harum seribu bunga semerbak mewangi memancar dari tubuh indah Anjani ketika perempuan muda itu menggerakkan tubuhnya bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah gemulai Anjani pun kemudian berjalan menuju ke arah pondok. Ketika langkahnya telah mencapai pintu pondok yang terbuka lebar, tampak seseorang yang sudah sangat tua sedang duduk bersila di atas amben bambu yang besar yang ada di tengah-tengah ruangan itu. Seseorang yang hampir di sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut yang sudah memutih seperti kapas. Bajunya yang berwarna putih tapi sudah kusam membalut tubuhnya yang tinggi besar. Sepintas orang tersebut mirip dengar seekor kera besar yang berbulu putih. Keadaannya yang seperti itulah yang telah membuat para penghuni padukuhan di sekitar gunung Kendalisada itu menyebutnya Resi Mayangkara, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 928
Koleksi Goldy Senior mengingatkan orang pada cerita babat tentang Hanoman, tokoh yang berujud seekor kera putih yang sangat sakti dan menjadi Panglima Prabu Rama Wijaya semasa mudanya dan kemudian menyepi di gunung Kendalisada dan berjuluk Resi Mayangkara semasa tuanya. Dengan perlahan Anjani mengambil tempat duduk di depan Resi Mayangkara. Amben bambu itu berderit perlahan dibarengi dengan semerbak bau wangi seribu bunga ketika Anjani naik ke atas amben itu. Resi Mayangkara tersenyum tipis begitu bau wangi seribu bunga itu menyentuh indra penciumannya. Sambil sedikit membuka mata, Resi itupun berkata lirih, “Anjani, hati-hati dengan Aji Seribu Bunga yang telah aku ajarkan kepadamu. Aji itu hanya digunakan untuk membahagiakan suamimu kelak. Jangan engkau gunakan sembarangan sehingga akan membuat banyak laki-laki tergoda.” “Ampun Eyang Resi,” terbata-bata Anjani menjawab sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Aku tadi memang sengaja berlatih Aji Seribu Bunga sambil berjemur di sinar Matahari pagi. Namun agaknya aku lupa masih menggunakan aji ini sampai menghadap Eyang Resi.” “Ah, sudahlah. Aku mengerti,” jawab Resi Mayangkara sambil memejamkan matanya kembali, “Sebaiknya engkau segera melepaskan aji itu dan marilah kita bicarakan tentang masa depanmu.” Sejenak kemudian, bau semerbak mewangi seribu bunga itu perlahan lahan memudar. Hanya sekali kali masih tercium bau wangi tubuh Anjani jika angin bertiup cukup keras menerobos pintu pondok yang terbuka lebar itu, namun bau wangi itu tidak sampai memabokkan seperti wangi aji seribu bunga. Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 929
Koleksi Goldy Senior “Anjani,” kembali Resi Mayangkara berkata sareh, “Seperti aku katakan sebelumnya. Ki Rangga Agung Sedayu tidak akan terpengaruh dengan racun Gundala Wereng karena di dalam darahnya sudah mengalir penawar racun yang didapatkannya dengan cara aneh. Memang racun itu akan meninggalkan bekas menghitam pada lukanya. Semakin lama noda hitam itu akan meluas, namun pada saat tertentu warna hitam itu akan berhenti dengan sendirinya karena pengaruh penawar racun yang ada di dalam darahnya.” Sejenak kekecewaan tampak tersirat di raut wajah cantik Anjani. Betapa air mata itu hampir saja tumpah kalau saja wajah itu tidak cepat-cepat menengadah agar air mata itu tidak jatuh berderai derai. “Mengapa engkau justru bersedih, Anjani?” Resi yang waskita itu berkata masih dengan memejamkan matanya, “Seharusnya engkau bergembira mendengar berita ini.” “Ma‟afkan aku Eyang Resi,” suara itu terdengar lirih menahan sedu sedan yang tak kuasa lagi dipertahankan oleh Anjani. Air matanya pun tumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih kemerah-merahan bagaikan buah yang sedang ranum- ranumnya. Sambil menahan isaknya, katanya kemudian, “Apakah ini berarti harapanku akan sia-sia saja untuk menunggu Ki Rangga Agung Sedayu mengunjungi Kendalisada?” Wajah sepuh Resi Mayangkara itu tampak sedang menahan gejolak kesedihan yang tiada taranya. Katanya kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, “Tidak selayaknya engkau mencintai seseorang yang sudah beristri, Anjani. Cobalah mempertimbang- kan kembali angan anganmu itu. Semoga engkau dapat mengendalikan gelora hatimu yang terombang-ambing tak menentu.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 930
Koleksi Goldy Senior “Eyang Resi,” berkata Anjani diantara kesibukannya menyeka air mata dengan kedua tangannya, “Aku tidak mengharapkan Ki Rangga Agung Sedayu membalas cintaku. Aku sadar sesadar sadarnya, Ki Rangga adalah laki-laki sejati yang hanya mempunyai satu hati. Namun yang ingin kulakukan adalah pengabdianku kepada keluarga Ki Rangga. Entah mereka akan menganggapku sebagai apa. Yang terpenting bagiku adalah pelabuhan terakhir bagi biduk hatiku yang selama ini terombang- ambing oleh ganasnya ombak samudra kehidupan ini.” Suasana sejenak menjadi sepi. Matahari mulai menampakkan sinarnya di puncak bukit Kendalisada. Burung-burung mulai berloncatan di dahan-dahan. Beberapa lainnya berterbangan berputar putar sambil mengintai bilalang-bilalang yang masih bersembunyi di bawah batang batang-rumput dan bunga-bunga hutan. “Anjani,” akhirnya Resi yang lebih senang menyepi di gunung Kendalisada itu berkata perlahan lahan, “Engkau mempunyai banyak pilihan untuk masa depanmu dan yang menentukan itu adalah dirimu sendiri. Orang lain hanyalah sebatas memberikan pandangan dan gambaran. Namun yang akan menjalani kehidupanmu adalah dirimu sendiri, bukan orang lain.” Anjani masih terisak isak. Dicobanya untuk menghentikan tangisnya dengan menarik nafas dalam-dalam berulang kali agar rongga dadanya menjadi longgar. Setelah agak tenang dan nafasnya tidak tersengal-sengal lagi, dengan suara yang sangat lirih hampir tak terdengar Anjani berkata, “Eyang Resi, ijinkanlah aku untuk meninggalkan gunung Kendalisada.” Wajah yang sangat sepuh itu terkejut. Sambil membuka kedua matanya, terdengar suaranya yang berat dan dalam bergulung gulung memenuhi ruangan itu, “Anjani, tahukah engkau? Mengapa aku membawamu ke Gunung Kendalisada ini? Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 931
Koleksi Goldy Senior Aku tidak ingin melihat dirimu terlibat semakin jauh dengan urusan keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Aku ingin engkau menggunakan waktumu sebaik baiknya selama tinggal di sini untuk merenung dan menemukan jati dirimu kembali.” Anjani menggigit bibirnya agar air matanya tidak jatuh lagi. Sambil menguatkan hatinya, akhirnya kata katanya pun meluncur bagaikan air bah yang turun dari arah puncak dan menerjang lereng perbukitan menuju ke lembah dan ngarai, “Eyang Resi, aku sudah membulatkan tekatku untuk menentukan sendiri masa depanku. Aku tahu, Ki Rangga Agung Sedayu sangat berat hatinya untuk menepati janjinya membawaku ke Menoreh. Aku tidak akan menuntut lagi kepada Ki Rangga. Aku akan ikhlas menjalani hidupku sendiri apa adanya. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku bebas menentukan jalan hidupku sebagaimana kebebasan seekor burung yang terbang di udara. Terima kasih atas segala pertolongan Eyang Resi kepadaku selama ini. Aku belum mampu membalasnya sekarang ini. Tapi aku berjanji, akan selalu kuingat budi baik Eyang Resi.” Sampai disini Anjani sudah tidak kuat lagi menahan gelora di dalam dadanya. Tangisnya pun segera pecah dan air matanya pun tumpah ruah membasahi wajahnya. Dia tidak lagi menahan tangisnya. Anjani benar-benar menangis sejadi-jadinya, seolah olah ingin ditumpahkan segala macam keluh kesahnya selama ini melalui tangisnya itu. Resi Mayangkara hanya diam termangu. Dibiarkannya Anjani menangis sampai puas, karena hanya itulah sementara ini yang dapat mengurangi beban di hati Anjani. Ketika kemudian tangis Anjani mulai mereda, Resi Mayangkara pun berkata sareh, “Anjani, aku ijinkan engkau meninggalkan gunung Kendalisada. Namun ada dua syarat yang harus engkau penuhi sebelum meninggalkan tempat ini.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 932
Koleksi Goldy Senior Anjani yang sudah mulai mampu menguasai perasaannya itu sejenak menatap wajah sepuh di hadapannya dengan mata yang sembab. Sambil mengusap sisa sisa air mata yang masih ada di pipinya, diapun berkata, “Syarat apakah itu, Eyang Resi? Semoga aku mampu melaksanakannya.” Resi Mayangkara menarik nafas dalam dalam sambil memandang titik titik di kejauhan. Kemudian katanya sambil memandang Anjani lekat lekat, “Syarat yang pertama yaitu, engkau harus jujur kepadaku, kemana engkau akan pergi?” Anjani mengerutkan keningnya. Hatinya agak sedikit tersinggung mendengar syarat pertama yang diajukan oleh Resi Mayangkara. Bukankah dirinya bebas untuk menetukan jalan hidupnya sendiri? Mengapa dia harus memberi tahukan tujuan perjalanannya kepada Resi yang aneh ini? Namun setelah menimbang nimbang beberapa saat, akhirnya Anjani memutuskan untuk berterus terang, “Eyang Resi, aku akan ke Menoreh. Tapi percayalah, aku tidak akan mengganggu keluarga Ki Rangga Agung Sedayu. Justru aku akan memberitahukan kepadanya bahwa aku telah mencabut tuntutanku. Ki Rangga tidak punya lagi kewajiban untuk memenuhi janjinya.” Resi Mayangkara mengangguk anggukkan kepalanya, katanya kemudian, “Syukurlah, Anjani. Kalau memang engkau sudah memutuskan seperti itu. Semoga tidak ada lagi beban di hati kalian berdua.” “Ya, Eyang,” jawab Anjani sambil membetulkan letak duduknya. “Syarat yang kedua,” Resi Mayangkara berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, “Aku tidak mengijinkan engkau berangkat Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 933
Koleksi Goldy Senior hari ini, engkau baru boleh meninggalkan gunung Kendalisada empat atau lima hari lagi.” Wajah cantik yang tampak semakin mempesona sehabis menangis itu menengadah, sepasang mata yang berbinar namun terlihat sembab itu menatap Resi Mayangkara dengan penuh tanda tanya. Akhirnya bibir mungil yang memerah muda itu bergetar mengajukan sebuah pertanyaan, “Mengapa Eyang? Mengapa aku tidak diperkenankan meninggalkan gunung Kendalisada hari ini juga?” Resi Mayangkara menggeleng lemah sambil berkata, “Ketahuilah Anjani. Di Menoreh sekarang ini sedang berkumpul perguruan perguruan dari seluruh penjuru tanah ini. Akan sangat berbahaya bagimu untuk memasuki Menoreh tanpa bekal yang cukup. Selama empat sampai lima hari ini aku akan menurunkan sebuah Aji kepadamu. Namun untuk menguasai Aji ini diperlukan kesungguhan hati dan tekad yang luar biasa selain kesiapan lahir yang memang menjadi syarat utama karena engkau harus melakukan tapa kungkum selama tiga hari tiga malam sekaligus pati geni.” Anjani tertegun sejenak. Ada rona kegembiraan yang terpancar dari wajahnya namun sekaligus juga keragu-raguan yang tersirat dari sorot matanya. “Eyang Resi,” katanya kemudian, “Aku sangat bersyukur akan mendapatkan tuntunan sebuah Aji dari Eyang Resi. Namun demikian syarat itu ternyata sangat berat. Apakah aku akan mampu melaksanakannya?” Resi Mayangkara tersenyum, katanya kemudian dengan sareh, “Anjani, berhasil atau tidaknya engkau melaksanakan laku untuk menguasai Aji itu tergantung besarnya tekadmu yang membara dalam dadamu. Kalau sebelum melangkah engkau sudah ketakutan dan merasa lemah, disitulah letak kegagalanmu.” Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 934
Koleksi Goldy Senior Anjani menarik nafas dalam-dalam. Sambil membetulkan kain panjangnya dia bertanya, “Eyang Resi, kalau aku boleh tahu, apakah nama Aji itu.” Resi Mayangkara menatap dalam-dalam mata Anjani. Seolah olah ingin dijenguknya isi hatinya. Namun akhirnya dia berkata, “Sebenarnya nama itu tidak penting, namun agar nama itu dapat menimbulkan kebanggaan dan memberikan pengaruh kepercayaan diri yang tinggi, Aji itu kuberi nama Aji Mundri.” “Aji Mundri,” hampir berteriak Anjani mengulang nama itu dengan suka cita. “Terima kasih Eyang Resi,” dengan cepat ditubruknya tangan kanan Resi Mayangkara itu dan dengan takdzimnya berkali kali diciumnya. “Sudahlah Anjani,” dengan sareh Resi Mayangkara melepaskan tangannya dari genggaman Anjani, “Sebelum tengah hari, engkau harus bersiap siap untuk menjalani laku tapa kungkum dan sekaligus pati geni selama tiga hari tiga malam. Di belakang pondok ini ada sebuah goa kecil yang lorongnya cukup panjang dan berliku. Di dalamnya terdapat sebuah sendang kecil yang tidak terlalu dalam, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Engkau dapat melakukan tapa dengan duduk berendam dalam sendang itu. Namun satu hal lagi yang harus engkau ketahui, engkau melakukan tapa kungkum ini dengan cara berendam harus dalam keadaan telanjang, tidak boleh ada selembar kain pun yang akan jadi penghalang antara dirimu dengan air sendang.” Diam-diam Anjani merasa merinding. Bagaimana pun juga, berendam dalam keadaan telanjang bulat membuat bulu kuduknya berdiri. Agaknya Resi Mayangkara mengetahui apa yang sedang dalam pikiran Anjani, maka katanya kemudian, “Jangan kuatir, Api Di Bukit Menoreh IV 301-320 935
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183