Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Antara Kita dan Kisah

Antara Kita dan Kisah

Published by Jariah Publishing, 2023-02-05 04:30:33

Description: Ebook - Antara Kita dan Kisah

Search

Read the Text Version

ANTARA KITA DAN KISAH Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR2 Angkatan 2022 UIN Alauddin Makassar Editor: Andi Halimah Jariah Publishing Intermedia i

Antara Kita dan Kisah Penulis Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR2 Angkatan 2022 UIN Alauddin Makassar QRCBN 62-1178-0282-274 ID Google Play Books GGKEY:YB2R35AFYBF Editor Andi Halimah Penerbit © Jariah Publishing Intermedia Redaksi Jl. Dahlia No. 17 Batangkaluku Gowa – Indonesia, 92111 Telepon: +62811-444-0319 E: [email protected] IG: @jariahpublishing W: jariahpublishing.co.id Terbitan Ebook, Januari 2023 Format: pdf ; 198 hlm Hak cipta dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit Jariah Publishing Intermedia ii

PENGANTAR EDITOR Alhamdulillah, segala puji hanya dipersembahkan kepada Allah Swt, sang pemilik kehidupan atas curahan nikmat yang tak putus-putusnya kepada kita hamba-Nya, sehingga buku ini bisa diselesaikan dengan baik dan dihadirkan di hadapan pembaca. Selanjutnya, salawat menyertai salam senantiasa terkirim kepada Rasulullah Muhammad Saw. Sang revolusioner sejati yang ajarannya menjadi rahmatan lilalamin. Buku antologi ini berjudul “Antara Kita dan Kisah”, merupakan perwujudan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Kelas AR2 Angkatan 2022. Editor sebagai dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia termotivasi memublikasi karya mahasiswa agar menjadi spirit bagi mereka untuk terus berkarya. Akhirnya, tak ada karya yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah swt, untuk itu dimohon saran konstruktif dari pembaca untuk perbaikan naskah berikutnya. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembacanya. Gowa, Januari 2023 iii

DAFTAR ISI PENGANTAR EDITOR ..................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................... iv Reward untuk Diri Sendiri Oleh: Nulfi Nurhidayat ....................................................... 1 Menjalani Kehidupan Oleh: Sudarman ................................................................ 8 Takdir Oleh: Afif Fadhil................................................................. 10 Kisah Putih Abu-abuku Oleh: Nurhalisa.................................................................. 18 Berpisah Lagi Oleh: Nirwana Delfianti...................................................... 23 Catatan yang Hilang Oleh: Akmal Idris ............................................................... 31 Gerimis Rindu Oleh: Wiwik Ayuasari......................................................... 36 Awal Masuk Pondok Oleh: Muhammad Yahya ................................................... 42 iv

Menjadi Lebih Baik Oleh: Wulandari................................................................. 47 Kehidupanku Oleh: Atdzar Muhammad................................................... 55 Harapan Oleh: Sriwiyanti Kurnianingsih ........................................... 59 Mengukir Cerita di Balik Cita-cita Oleh: Nanda Maisyarah ..................................................... 65 Perjalanan Takdir Oleh: Muhammad Ikhsan Abdullah .................................... 72 Menerimamu dengan Ikhlas Oleh: Nurul Kherina Darwin ............................................... 76 Kisah Inspiratif Diri Sendiri Oleh: Muh. Risman Jaya ................................................... 84 Malaikat di Langit Senja Oleh: Muh. Hidayat Nur Zaidin........................................... 94 Bawakaraeng Oleh: Nasrullah.................................................................. 102 About Me Oleh: Nurmayanti .............................................................. 106 v

Rasa Pilu di Waktu Itu Oleh: A. Erlangga Darmawangsa ...................................... 111 Cara yang Terbaik untuk Sukses adalah Mencoba Lebih dari Satu Kali Oleh: Nur Muslimah........................................................... 115 Kehidupanku di Masa Covid-19 Oleh: Muh. Idris ................................................................. 127 My Life Oleh: Dheby Septiani......................................................... 131 Perjalanan Mahabbah Oleh: Muhammad Raja Fath.............................................. 136 Sore itu Oleh: Moh. Rafli................................................................. 140 Zhafran dan Isi Kepalanya Oleh: Alwan Zhafran.......................................................... 145 Sebutir Kisah Oleh: Husnawati ................................................................ 150 Secerca Kutipan Hidup Oleh: Nur Fadillah ............................................................. 156 Kisah yang Belum Berakhir Oleh: Nabila Silfa Sari M.................................................... 161 vi

Bisakah Aku Kembali? Oleh: Khusnul Khatima...................................................... 169 Anak Singkong Oleh: Akromal Alam Khalqi................................................ 176 vii

viii

“Reward untuk Diri Sendiri” Oleh : Nulfi Nurhidayat Nama lengkapku Nulfi Nurhidayat, biasa dipanggil Nulfi. Di kampung halaman akrab dipanggil Upi‘. Lahir di Bone tepatnya Desa Mappesangka pada tanggal 23 September 2003. Anak ketiga dari enam bersaudara, dua laki-laki dan empat perempuan. Saat tulisan ini dibuat, saya berusia 19 tahun yang artinya sudah memasuki masa dewasa. Setelah dewasa, tugas mengembangkan diri telah menjadi tanggung jawab diri sendiri. Meskipun, tidak dipungkiri bahwa lingkungan keluarga dan orang-orang terdekatlah yang akan menyumbang pengaruh paling besar dalam proses berkembang menjadi lebih baik. Seekor kupu-kupu tidak akan leluasa terbang jika hidupnya di dalam stoples kaca. Kupu-kupu itu harus bisa lepas supaya sayapnya tumbuh makin tangguh saat mengelilingi dunia. Begitu pun kita yang harus membebaskan diri dari belenggu bila tidak ingin manjadi kura-kura dalam tempurung yang mengira dunia hanya sebesar tempat tinggalnya. 1

Aku merasa demikian saat berada di lingkungan orang banyak. Dalam diri, seperti ada tembok-tembok yang menghalangi untuk keluar dari sana dan seakan terperangkap dalam kesendirian. Hal tersebut dimulai sejak aku masih duduk di bangku menengah pertama. Rasa malu, nervous, dan rasa tak percaya diri selalu saja hadir di setiap saat. Karenanya, aku tak mampu berkembang dan menemukan skill apa yang ada dalam diriku. Dalam pergaulan yang sempit dan suka dalam kesendirian itulah yang membuatku sulit untuk berkembang. Pada masa itu, tentu saja aku sama sekali tidak berpikir untuk mengembangkan diri dan mencoba mencari skill apa yang ada pada diriku. Mata akan berkaca-kaca ketika mendengar namaku disebutkan, apalagi jika ditunjuk untuk mengikuti ajang lomba. Berbagai alasan akan kucari agar tidak mengikuti lomba tersebut. Hadir di tengah-tengah orang banyak membuatku gemetaran dan menimbulkan keringat dingin disertai rasa mules. Tetapi, apa boleh buat semuanya tetap dilalui walaupun karena dalam keadaan terpaksa. Hal yang sama masih terjadi ketika aku melanjutkan pendidikan di Rumah Tahfiz yang setara dengan Madrasah 2

Aliyah. Di tempat tersebut aku memulai kehidupan yang baru, karena harus meninggalkan rumah dan jauh dari keluarga. Aku dituntut untuk hidup mandiri dan saling menghargai serta memahami semua karakter yang berbeda-beda dalam satu atap di rumah tahfiz itu. Awal masuk asrama sering sekali aku meneteskan air mata karena tak mampu jauh dari orang tua dan di sisi lain rasanya sangat sulit untuk menghafalkan ayat Al-Qur‘an. Memasuki hari ketiga di asrama, sesak di dada tak dapat terbendung lagi dan akhirnya aku beranjak ke rumah ketua yayasan. Meminjam ponsel miliknya untuk mengungkapkan semua keluh kesah kepada ibu tercinta. Setelah mengungkapkan semuanya dan mendapat nasihat darinya, perasaan menjadi tenang dan sepulang dari rumah ketua yayasan aku mencoba untuk berbaur dengan teman- teman asrama. Hari demi hari telah berlalu, setoran hafalan yang pada saat itu belum diberi target menjadikanku bermalas- malasan dan kadang tidak menyetorkan hafalan sama sekali . Agenda menyetorkan hafalan diberi target pada saat aku sudah duduk di bangku kelas XI semester genap. Hal itu terjadi karena adanya pergantian ustazah. 3

Hal yang sama masih ada pada diriku, rasa malu dan percaya diri tetap ada kepadaku. Bahkan ketika akan menyetorkan hafalan saja pasti mengalami keringat dingin, ditambah sebelum melaksanakan salat fardu diadakan tasmi‘ hafalan di depan teman-teman. Hal tersebut tentu membuatku dipenuhi rasa takut dan grogi. Sering terlintas dalam pikiranku, ―Hal kecil seperti itu saja tak bisa aku lakukan. Bagaimana nanti jika telah memasuki dunia perkuliahan?― Tetapi tetap saja semua itu sulit untuk diubah oleh diriku. Memasuki tahun terakhir di asrama semua santriwati yang akan lulus pada tahun 2022 diwajibkan untuk mengikuti tasmi‘ hafalan minimal 10 juz. Pada saat itu, aku izin pulang ke rumah dengan alasan ingin mengurus pendaftaran kuliah dan di dalam hati terbesit niat untuk tidak kembali ke asrama ketika tasmi‘ hafalan berlangsung. Tibanya di rumah, keesokan harinya aku membuka ponsel dan melihat pesan whatsapp dari ustadzah bahwa tasmi‘ hafalan akan dimulai hari Sabtu dan akan diadakan di masjid. Semua santri/santriwati berkumpul di dalam masjid untuk menyimak hafalan yang akan ditasmi‘kan. Niat tak ingin kembali ketika tasmi ‗hafalan berlangsung aku urungkan. Setelah 4

mendaftarkan diri di beberapa universitas melalui jalur SPAN sembari menunggu hasil pengumuman kelulusan aku pun kembali ke asrama dan ternyata aku yang mendapat jadwal pertama tasmi‘ hafalan. Sabtu pagi, aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan hafalan yang akan ditasmi‘kan. Jarum jam menunjukkan pukul 08.00 WITA. yang berarti sebentar lagi akan dimulai pembukaan. Beranjak dari tempat duduk dan keluar dari asrama aku melihat betapa banyaknya santri/santriwati yang berkumpul di depan masjid yang menjadikanku seketika tidak mengingat apa-apa termasuk hafalan yang akan ditasmi‘kan. Mencoba untuk merilekskan diri dan menghela napas. Melangkahkan kaki menuju masjid dengan perasaan campur aduk dan menggenggam tangan temanku. Semua santri/santriwati memasuki masjid dan merapikan barisannya. Aku dan teman-teman yang memiliki jadwal tasmi hari itu duduk paling depan. Semua mata tertuju ke arah kami. Tak lama kemudian, terdengar namaku disebutkan agar sekiranya mengambil tempat di tengah-tengah para penyimak. Berjalan menuju tempat tersebut sambil berdoa dalam hati agar mampu menyelesaikan tasmi ‗itu tanpa tersendat. Awal membaca 5

ta‘awuz perasaan grogi berusaha aku kontrol. Nervous yang kualami biasanya hanya beberapa menit saja. Setelah beberapa menit akhirnya tasmi‘ pertama telah selesai. Pembagian tasmi‘ hanya 1 juz di hari pertama dan tasmi‘ hafalan diadakan selama satu bulan. Tasmi‘ hafalan telah selesai selanjutnya menunggu hasil kelulusan dari Kementrian Agama. Kegiatan di asrama sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, belum diizinkan untuk meninggalkan asrama dikarenakan akan diadakan wisuda dan perpisahan. Tiba waktu pengumuman pendaftaran jalur SPAN dan hasilnya aku dinyatakan tidak lulus. Usai pengumuman aku merasa biasa-biasa saja dengan hasil pengumuman tersebut dan berpikir mungkin bukan takdirku untuk kuliah. Teman-teman lain yang juga tidak lulus semua bersedih, berbeda denganku yang pada saat itu tak merasa sedih sedikit pun . Beberapa hari kemudian pengumuman kelulusan dari Kementerian Agama telah keluar. Acara wisuda dan perpisahan juga telah diadakan. Aku pun bersiap-siap untuk kembali ke kampung halaman. Selama perjalanan rasanya tak sabar untuk segera sampai di rumah dan bertemu dengan 6

orang tua . Sesampainya di rumah aku disambut oleh ibu. Aku memberi tahu kepadanya bahwa aku dinyatakan tidak lulus di Jalur SPAN sambil menangis. Tak tahu mengapa pada saat menceritakan kepada ibu tiba-tiba meneteskan air mata. Padahal, pada saat pengumuman terasa biasa-biasa saja. Selanjutnya, Jalur UMPTKIN dibuka dan aku pun mendaftarkan diri di satu universitas saja. Besar harapan bisa kuliah di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar meskipun jalur sebelumnya tidak lulus. Akhirnya, pada saat pengumuman Jalur UMPTKIN alhamdulillah aku dinyatakan lulus di Prodi Bahasa dan Sastra Arab yang merupakan pilihan kedua. Di sinilah langkah awal aku mulai berpikir untuk mengubah apa yang selama ini menjadi hambatan dalam hidupku. Aku melangkahkan kaki menuju masa depan dengan menata ulang pola hidupku. Yang dulunya hidup dalam tembok-tembok imajinasi, kini harus membangun tembok tinggi yang menjadi batas agar hal yang tak diinginkan sebelumnya mengganggu proses perjalanan sekarang ini. 7

Menjalani Kehidupan Oleh:Sudarman Kadang kala ada rasa kebingungan yang membuat kita sulit untuk membuat suatu pilihan. Hal ini sering terjadi, apabila diri kita tidak mencoba untuk memikirkan dan mencari informasi yang bias mendukung apa yang menjadi pilihan kita. Terlebih lagi, apabila kita berada di kondisi yang kurang semangat dan tidak ada seorang pun yang memberi semangat. Masa-masa SMA di tingkat akhir merupakan masa siswa-siswi sudah tidak bisa santai lagi seperti pada saat awal- awal masuk SMA. Mengingat pada kelas akhir, kita dipaksa untuk lebih fokus kepada ujian akhir sekolah. Dan sejatinya kita harus bisa memutuskan jalan apa yang kita tempuh setelah keluar dari sekolah itu. Namun, banyak siswa-siswi SMA tingkat akhir justru belum bisa menentukan jalan hidup setelah lulus SMA. Padahal dengan kesibukan yang dihadapi saat belajar, otomatis waktu yang tersedia untuk berpikir juga akan terkurangi. Alangkah lebih baiknya, sebelum siswa menghadapi semester akhir sekolah, sebaiknya sudah mulai 8

sedikit demi sedikit mempelajari langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan. Sembari menunggu ujian akhir, teman-teman saya sudah mulai memikirkan jurusan kuliah yang mereka ambil. Dari situlah saya berinisatif untuk memilih jalan hidup yaitu dengan kuliah. Semenjak itu, saya memutuskan untuk mendaftar di salah satu universitas dengan memilih jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Pendaftaran UMPTKIN pun dibuka, pendaftaran yang saingannya benar-benar ketat, karena bukan cuma saya yang ingin masuk UMPTKN tapi juga ratusan ribu siswa lain yang juga memiliki keinginan sama dengan saya. Suatu jurusan yang tidak pernah terlintas di kepala saya sebelumnya. Sebulan kemudian keluarlah pengumuman hasil ujian UMPTKIN dan saya diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Proses pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan telah dimulai. Dengan semangat, mengendarai motor menuju ke kampus peradaban. Setibanya di kampus, kami dikumpulkan di lapangan dan bergabung 9

dengan sesama mahasiswa baru sefakultas untuk mendengarkan arahan. Setelah semua maba berkumpul, kami diarahkan ke masjid Agung Sutan Alauddin Makassar. Kami belajar tentang apa itu mahasiswa, apa yang harus dicapai sebagai seorang mahasiswa dan masih banyak lagi. Di hari kedua PBAK kami melakukan pawai dengan menggunakan pakaian yang berwarna hitam putih, songkok, kaca mata dan yang lebih menarik adalah kita memakai kostum yang bernama baju zirah. Di pawai itu kami menyanyikan lagu Mars Adab yang berbunyi: Bersatu membangun bangsa, bersatu bela agama Ikhlas beramal mencari rida-Nya Mari membangun, mari membela Melangkahlah demi adab Junjunglah keinginanmu Kembangkanlah pribadimu Syukur ke hadirat Yang Maha Kuasa 10

Berpegang teguh Pada Al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah Bangkitlah wahai putra-putri Adab Titipkan peradaban Islam nan suci Goreskanlah tinta penamu dalam sastramu Ciptakan karya keemasan bagi zamanmu Tuluskan pengabdianmu Ikhlaskan pengorbananmu Hadirkan adab slalu dalam batinmu Kobarkanlah semangat dalam darma baktimu Semoga adab selalu dalam rida-Nya Dan banyak lagi keseruan lainnya di masa PBAK yang berlangsung selama tiga hari itu. Selanjutnya, sebelum acara dututup kami diberi kenangan dari pihak panitia dan berfoto bersama, dan begitulah… 11

Takdir Oleh: Afif Fadhil Di Sore hari aku bersyukur karena masih diberikan Allah kesempatan untuk mencintai dan mengagumi dalam diam, aku pun memandang langit sore betapa indahnya langit itu dan alangkah bahagianya langit itu saat bertemu hari yang begitu cerah tanpa ada mendung. Dan para burung pun menjadi saksi akan indahnya sore hari ini di saat angin, langit, hari yang cerah, dan pemandangan yang indah menjadi satu akan bersatunya kebahagiaan yang teramat dalam . Di sore ini aku pun melihat betapa semuanya tampak bahagia, tetapi hanya hati inilah yang tak tampak ada kebahagiaan. Hari ini pun tiba, semua anak remaja telah berkumpul di depan perumahan yang sangat indah. Kami dapat arahan dari senior untuk berkumpul di depan perumahan sambil berdiskusi untuk acara yang akan dilakukan dan memberikan nasihat kepada kami. Sebelum berangkat ke lokasi, kami membaca doa semoga dalam perjalanan dan segala urusan berjalan lancar. 12

Ya…..hari pun tiba, hari saat kami semuanya berangkat ke suatu lokasi. Hari semua anak remaja sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke bumi perkampungan. Kami berangkat menggunakan mobil yang sungguh canggih. Huft….bagaikan mimpi buruk, sepanjang jalan aku hanya diam, padahal dari kotaku ke bumi perkampungan menempuh waktu yang tidak lebih dari 1 jam. Seperti pasangan baru kenal yang tak mengatakan sepatah kata pun. Setibanya di bumi perkampungan, kami langsung cepat-cepat turun dari mobil dan segera untuk mengambil barang barang. Kami datang sebelum terbenamnya matahari dan kami menyimpan barang-barang di sebuah rumah yang sangat besar. Di saat malam pertama di bumi perkampungan kami melaksanakan salat Magrib berjamaah dan mengaji bersama. Setelah kami melaksanakan semua kegiatan salat Magrib, kami dapat arahan untuk berkumpul. Kami berkumpul dan senior memberikan arahan kegiatan yang akan dilalui. Sebelum melalui kegiatan, kami saling mengenal karena ada pepatah mengatakan, ―Tak kenal maka tak sayang.‖ Di situlah kami saling kenalan dengan sama lain dan mengetahui nama 13

yang kami kagumi. Setelah saling mengenal, kami melaksanakan salat Isya secara berjamaah, dilanjutkan istirahat sejenak sambil menunggu santapan malam. Santap malam berlalu, saatnya acara bumi perkampungan secara resmi dibuka dan menyanyikan lagu kebangsaan. Acara pembukaan dilanjutkan acara-acara dan arahan seperti bekal untuk seorang remaja. Kami diberikan nasihat yang begitu lama, sampai mata kepala seperti mau hancur wkwkwkwkwkw tapi beginilah untuk masa depan. Singkat cerita sebelum kami tidur, kami diarahkan untuk bangun Subuh. Berapa jam kemudian kami bangun untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah dilanjutkan mengaji bersama sebelum terbitnya matahari. Selanjutnya, kami diarahkan untuk mengganti baju untuk melaksanakan senam pagi. Betapa meriahnya kami melaksanakan senam bersama dan kami melakukan game yang begitu menarik. Kami telah melaksanakan semua kegiatan, saatnya untuk membersihkan badan untuk melaksanakan pembekalan ilmu. Saya merasakan seperti mau teler, badan yang belum bersih, perut tidak mempunyai isi, tapi apa daya …yah begitulah kalau belajar, harus merasakan lelah dan pahitnya 14

menuntut ilmu. Kami melaksanakan salat Zuhur secara berjamaah dan dilanjutkan dengan makan siang untuk mengisi perut yang tidak mempunyai stamina, karena setelah makan siang kami akan melaksanakan pembekalan ilmu. Di pertengahan pembekalan, kami dibagi beberapa kelompok, tetapi saya belum mengenal anggota kelompok saya. Di situlah saya mulai mencari tahu yang belum kenal supaya bisa saling mengenal. Singkat cerita saat malam hari kami berlomba dan mulai mengenal anggota kelompok saya, padahal kami berlomba sambil belajar. Saya tidak mengetahui apa-apa dalam perlombaan ini, walaupun pus saya kalah terus ahahahahahahaha. Tiba waktu Subuh, kami bangun dan melaksanakan salat. Setelah salat Subuh, kami diminta mengganti baju dan mulai lagi aktivitas. Kita tidak pernah belajar, tapi apa daya …langsung gaskan saja. Walaupun tidak belajar, yang penting yakin menjawab …canda menjawab. 15

Setelah melakukan berapa rintangan yang sangat sulit dan mengerikan, tapi cukup bertawakkal kepada Allah semoga Allah memberikan kemudahan. Berapa jam, waktu, detik, acara akan berakhir kami melaksanakan pentas dan kami saling kerja sama. Di situlah saya mulai mengenal lebih dalam anggota kelompok dan merasa heran, mengapa dipertemukan di satu kelompok orang yang saya ingin kenal, apakah ini takdir atau hanya kebetulan? Kini tiba waktunya untuk berpisah di bumi perkampungan. Kami bersiap-siap untuk pulang dan mempersiapkan kuliah untuk besok harinya. Tetapi dalam cerita ini saya mendapatkan pengalaman yang belum bisa saya sampaikan. “When i looking at you, I can’t feel my heart race” 16

Kisah Putih Abu-abuku Oleh : Nurhalisa Nama saya Nurhalisa akrab dipanggil Lisa, lahir di Desa Rannaloe Kec. Bungaya. Kab. Gowa pada tanggal 25 April 2005. Anak pertama dari dua bersaudara, adikku bernama Nurhafidza, kami saling menyayangi. Saya anak dari ayah dan ibu yang sangat luar biasa menurutku, ayah bernama Dg. Naba dan ibu bernama Dg. Puji. Mereka sangat handal dalam mendidik dan membimbing kami anak -anaknya, kami keluarga yang sederhana, namun selalu bahagia. Dibesarkan oleh keluarga yang bukan berasal dari keturunan darah biru. Ayah dan ibu saya berasal dari keluarga sederhana. Orang tua beliau atau kakek-nenekku adalah seorang petani. Namun, dengan kehidupan yang sederhana ini kami tidak pernah merasa malu atau gengsi, karena banyaknya harta tidak akan bisa membeli kebahagiaan. Meskipun dari keluarga sederhana, ayah dan ibu mampu membiayai sekolah kami hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ayah dan ibu senantiasa mengasihi dan selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Merekalah yang mengenalkan pada kami betapa indah hidup dan banyak hal yang mesti kita syukuri. 17

Di sini saya akan bercerita tentang momen berkesan saat SMA. Semua orang pasti setuju bahwa masa-masa di SMA adalah masa yang paling indah. Banyak hal dan ngangenin terjadi semasa duduk di bangku SMA. Mulai kejadian waktu MOS (masa orientasi sekolah) di awal masuk sekolah, hingga menjelang akhir di detik-detik perpisahan sekolah. Semua pasti ada yang meninggalkan kesan mendalam di benak atau sanubari kita. Dulu saat saya melangkah di hari² sekolah mulai dari awal hingga akhir, tak pernah terpikirkan bahwa tiap detik, tiap menit yang saya lalui, akan menjadi kenangan berkesan suatu saat nanti. Setiap jengkal kejadian, baik itu kejadian sedih, menyenangkan, menjengkelkan, memalukan ataupun kejadian biasa menjadi hal yang menarik untuk diceritakan dan dikenang bersama teman² lainnya. Masa SMA memang tak akan bisa terlupakan. Di SMA, seorang remaja sedang dalam masa emasnya, dimana pola pikir dan bentuk fisik berkembang dengan pesatnya. Di masa itulah seseorang bisa melakukan berbagai hal yang tidak pernah dilakukan di jenjang sekolah lainnya. Mulai dari merasakan indahnya cinta, mempunyai persahabatan yang luar biasa, berorganisasi dengan sungguh-sungguh, kenal dengan banyak orang, mengeluarkan karya dan berani melakukan hal-hal unik serta konyol yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Momen yang paling berkesan di saat saya SMA yaitu pada perayaan 17 Agustus. Saat itu, saya juga mengikutinya dan pelaksanaannya berada di kantor kecamatan. Berhubung karena ukuran badan saya pendek, dalam beberapa 18

pelaksanaan upacara bendera, saya hanya datang sebagai peserta saja. Tak pernah jadi petugasnya. Meski demikian saya tetap penuh semangat untuk datang dan mengikuti upacara bendera 17 Agustus. Ada rasa bangga dan jiwa patriotisme yang mengakar kala melihat teman-teman yang dipilih sebagai Paskibraka membawa dan mengibarkan bendera merah putih. Setelah upacara biasanya saya dan teman-teman berebutan foto dengan Paskibraka. Walaupun hanya tingkat kecamatan, tapi posisi Paskibraka di mana pun berada sangatlah istimewa. Setelah lulus SMA, saya sudah tidak pernah lagi mengikuti upacara bendera 17 Agustus secara langsung. Biasanya hanya melihat di televisi saja. Jadi kegiatan mengikuti upacara bendera 17 Agustus ini menjadi salah satu momen berkesan dan tak terlupakan saat saya SMA. Di saat SMA juga sering kali ada beberapa kelompok yang terbentuk secara tidak sengaja di antara teman kelas. Meskipun di antara kelompok tidak ada permusuhan, namun keberadaan tiap kelompok memberi warna tersendiri dalam kelas. Ada kelompok yang isinya adalah orang-orang yang alim dan pendiam, ada juga kelompok yang plin-plan, ada pula kelompok yang usil dan biang rame. Kebetulan saya masuk di kelompok terakhir, jadinya sedikit reseh dan selalu bikin ulah. Apa pun bentuknya, kebersamaan dengan teman ini sangat saya nikmati. Baik acara jalan-jalan bareng, nongkrong, bolos bareng dan sampai dihukum bareng merupakan momen yang berkesan di masa SMA. Saat senang, susah dan bahagia kita selalu bersama sama. 19

Di masa SMA juga saya bisa mengetahui bahwa seberapa penting arti sahabat dalam hidup. Tiap dari kita pasti memiliki yang namanya sahabat atau teman dekat, tempat kita selalu menghabiskan waktu bersama. Biasanya di tiap kehidupan ada sahabat yang datang dan pergi, namun yang namanya sahabat biasanya memiliki jangka waktu hubungan yang lama, lebih awet dari jenis hubungan lain seperti teman biasa atau pacar. Berbicara tentang persahabatan yang masih awet semasa putih abu-abu. Di masa SMA saya punya sahabat yang sampai selesai kita benar-benar tak terpisahkan. Kami masuk di Jurusan IPS, mau ke mana-mana pasti selalu bersama, dan di antara kami tidak pernah ada yang baku benci-benci. Karena kita selalu satu tujuan, saling mengerti dan memahami antara satu dengan lain. Di situlah saya mengerti arti akan persahabatan. Buat saya persahabatan itu bukan sekadar ketawa atau menangis bareng. Tetapi dari perjalanan saya dengan kisah persahabatan selalu memberi makna arti dan juga memberi kesan yang mendalam dalam hidup saya. Karena merekalah yang selalu membuatku tertawa, menghibur, dan memberi semangat. 20

Berpisah Lagi Oleh: Nirwana Delfianti “Perpisahan itu pasti datang saat ada pertemuan” Rintik hujan membasahi semua yang nampak di mata. Dinginnya hawa pagi menambah rasa menggigil di tubuh. Namun meski keadaan seperti itu tidak mengurangi keramaian didepan sebuah gedung yang tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil. Orang-orang lebih tepatnya anak muda-mudi kini datang satu per satu dengan kendaraannya memasuki area parkiran gedung itu. Banyak varian pakaian yang mereka kenakan, terutama bagi pemudi di situ. Ada yang memakai kebaya dan ada juga yang memakai gamis. Bagi pemudanya, hanya memakai satu macam pakaian saja namun berbeda model, yaitu kemeja yang berlapis jas hitam tak lupa dengan paduan celana jeans hitam. Mungkin orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat itu mengira bahwa ada acara pernikahan yang sedang dilaksanakan di gedung itu. Tapi nyatanya bukan, melainkan acara yang akan diselenggarakan di tempat itu adalah acara berakhirnya status kami sebagai 'Pelajar Putih Abu-Abu'. 21

Kami yang sudah menempuh pendidikan selama tiga tahun di bangku sekolah menengah, kini harus menamatkan kewajiban itu, lalu menentukan tujuan selanjutnya apakah ingin melanjutkan kewajiban itu atau memilih untuk mencari tujuan hidup lain. Di sinilah kami, di bawah atap dan di atas lantai yang sama, kami dengan waktu yang tidak singkat melepaskan gelar sebagai 'Siswa'. Acara ini dihadiri oleh seluruh murid Kelas XII MAN Jeneponto dan beberapa guru serta orang tua murid. Namun Aku sendiri tidak sempat membawa orang tua karena mempunyai kesibukan yang tidak bisa ia tinggalkan. Aku yang hanya diantar oleh bapakku pun sampai di depan gedung hanya bisa sedikit kecewa, tetapi kekecewaanku tidak berlangsung lama karena salah satu sahabat karibku yang sudah bersamaku sejak SD, ternyata tidak membawa orang tuanya juga. Tentu saja hal ini membuatku lega karena setidaknya aku memiliki teman senasib. Ya teman senasib yang sama-sama tidak membawa wali. Pertemuanku dengan sahabatku di gedung perpisahan ini selain membuat lega tentu saja itu juga membuatku senang. Kami yang saling berkomunikasi hanya lewat media chat 22

karena libur panjang, kini akhirnya dipertemukan di tempat penamatan yang sebentar lagi akan penuh duka ini. Kesenangan dan kegembiraan tak hanya tampak dariku saja, tetapi sahabatku pun merasakan hal yang sama. Rasa rindu ingin melihat wajah dan berbicara random layaknya remaja kepadaku. Karena keasyikan bergosip…ah tidak, lebih tepatnya mengobrol dengannya, kami tidak sadar ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 8 tepat yang menandakan bahwa acara perpisahan akan segera dimulai. Aku dan sahabatku beserta teman seangkatan yang masih ada di sekitaran parkiran pun berbondong-bondong memasuki gedung yang akan menjadi saksi kelulusan dan perpisahan kami di sekolah yang telah membantu kami mengenal dunia 'Putih Abu-abu'. Sesampainya di dalam, kami dikejutkan dengan suasana gedung yang sudah didekor cantik dan kursi-kursi yang sudah tersusun rapi. Tak lupa karpet merah yang membentang di atas lantai putih yang dingin. Kini para siswa dengan mengantri mulai mengambil posisi tempat duduk masing- masing diikuti dengan para orang tua yang sudah disiapkan tempat khusus juga. Acara pun dimulai dengan pembukaan 23

yang sangat meriah, dimulai dari sambutan oleh para guru, sesi menyanyikan lagu Nasional, sepatah kata dari Kepala Sekolah dan lain sebagainya. Namun seperti sifat murid pada umumnya yang memiliki daya ketahanan mata yang rendah atau lebih tepatnya mudah ngantuk, jadi saat memasuki sesi sepatah kata kata, tidak semua siswa menyimak dengan baik, ada yang berbicara dengan teman sekelas atau sahabatnya, ada yang memainkan handphone, ada yang berselfi dan lain sebagainya. Termasuk aku sendiri yang sibuk mengobrol dengan sahabatku saking rindunya, kami jadi tidak bisa menyimak apa yang dibicarakan oleh para guru, dan beginilah sifat siswa pada umumnya ‗kan, haha. Karena keasyikan dengan pembicaraan masing-masing, para siswa jadi tidak menyadari bahwa sesi 'Pengantar Tidur' sudah terlewat dan kini memasuki sesi acara selanjutnya, yaitu penentuan dan pemberian selempang pada siswa yang termasuk kategori sepuluh besar siswa berprestasi dan dilanjut dengan foto bersama dengan teman dan wali kelas. Karena sebenarnya aku dan sahabatku tidak sekelas, jadi untuk yang bagian ini kami berpisah. 24

Setiap kelas dipanggil untuk naik ke atas panggung yang lagi- lagi berlapis karpet merah. Kini giliran kelasku yang mendapat giliran untuk berfoto. Setelahnya kami mengobrol sedikit dengan wali kelas yang sudah membimbing selama setahun ini, kami mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf karena kelakuan di luar batas yang kadang dilakukan. Tak hanya itu, saling bercanda gurau dan memberi pelukan rindu pun aku lakukan dengan teman sekelasku. Mengingat sudah tiga tahun kami melewati hari yang sama, kebahagiaan dan kesenangan yang kami rasakan bersama saat di dalam kelas, susah bersama saat tugas sekolah menumpuk, keasyikan saat ke kantin bersama, serta kenangan lain yang tentu saja tidak akan cukup jika diceritakan hanya dalam waktu sehari saja. Sekarang, kami lagi-lagi akan dihadapkan dengan rasa kesedihan dan keresahan karena yang akhirnya akan datang kini benar-benar sudah datang, yaitu perpisahan yang sangat menguras air mata. Sepanjang acara yang dominannya itu di isi dengan sepatah kata dari para guru, kini sesi yang ditunggu-tunggu oleh para siswa akhirnya tiba juga, apalagi jika bukan sesi makan bersama. Aku sudah berpisah dengan sahabatku karena ia 25

juga sudah bergabung dengan teman sekelasnya dan begitupun juga denganku yang kini sudah bergabung pula dengan teman sekelasku. Para siswa mengantri untuk mengambil makanan. Aku bersama dengan dua orang teman dekatku di kelas pun ikut mengantri mengisi perut yang sedari tadi sudah berdemo. Menikmati makanan di piring yang berisi nasi dan lauk pauk memang sangat cukup memuaskan perut yang sedari tadi berisik. Suara dentingan sendok dan piring diiringi suara yang tengah asyik mengobrol menambah kebisingan di dalam gedung itu. Namun, suara-suara itu seketika lenyap saat musik pop dimainkan oleh guru yang entah siapa itu. Karena musik itu, kemeriahan di dalam gedung yang sederhana tapi mewah ini menjadi lebih terasa dan menyenangkan. Waktu sudah memasuki sekitaran pukul 11.50. Karena hari ini adalah hari Jumat yang penuh berkah, setelah acara makan bersama para siswa, orang tua, maupun guru kini beristirahat atau lebih tepatnya menjalankan kewajiban terlebih dahulu sebelum melanjutkan acara penanaman, yaitu salat Jumat bagi kaum adam dan salat Zuhur bagi kaum hawa. Karena masjid-masjid terdekat gedung itu dikuasai oleh kaum adam, 26

maka kami para kaum hawa hanya bisa bersabar menunggu untuk mendapat giliran salat. Sembari menunggu, aku dengan kedua teman kelasku yang tadi sibuk berjalan-jalan di luar gedung mencari teman sekelas kami yang sempat terpisah saat keluar dari gedung tadi. Rencananya kami ingin berfoto lagi namun dengan latar foto yang lebih alami, yaitu di luar gedung. Namun nihil, ternyata kami tidak menemukan satu orang pun, lebih tepatnya ada yang ditemukan tetapi mereka juga sedang asyik dengan kegiatannya yang lain. Karena hal inilah akhirnya kami hanya bisa foto bertiga saja sembari bertukar cerita dan melepas rindu karena lama tak jumpa. Waktu salat Jumat bagi kaum Adam pun kini sudah selesai dan begitupun bagi kaum Hawa. Kami pun dihimbau kembali agar memasuki gedung untuk melanjutkan acara penamatan ke sesi selanjutnya. Kini puncak acara pada perpisahan kali ini, yaitu sesi pemberian medali bagi para siswa yang sudah berjuang dalam menuntut ilmu selama di MAN, dan sudah berjuang mengerjakan tugas-tugas sekolah yang jumlahnya lumayan. Para siswa dipanggi satu per satu untuk naik ke atas panggung. Siswa yang terpanggil pun berjalan menaiki panggung dan dikalungkanlah medali hijau muda berlambang 27

madrasah oleh kepala sekolah di lehernya. Para siswa juga diberi map coklat bermotif batik yang di dalamnya berisi kartu ucapan selamat. Tak lupa siswa yang sudah menerima keduanya bersalaman dengan para guru yang ada di atas panggung itu. Sekarang, dari nama yang tak henti-hentinya disebut akhirnya namaku terpanggil juga untuk naik ke atas panggung. Aku berjalan dengan gugupnya menapaki karpet merah dan menaiki anak tangga panggung yang hanya tiga tingkat saja. Berjalan berjejer dengan teman kelasku yang mengikut di depan dan belakang, menerima uluran tangan seorang guru untuk dipasangi medali hijau yang sudah lama aku nantikan. Bersalaman dan menerima kembali uluran tangan guru untuk mengambil map coklat batik yang terasa ringan, namun di dalamnnya ada tulisan yang berharga. Aku, yang sedari tadi berpikir, apakah hari ini benar-benar yang terakhir? Yang terakhir untuk berbicara langsung dengan para guru yang telah membagi ilmunya dan pengalamannya? Terakhir bercerita dan bercanda gurau dengan para teman dan sahabat karib yang selalu menemani dalam keadaan apa pun? Terakhir merasakan seragam sekolah dan kerudung sekolah yang 28

kadang sangat susah diatur kerapiannya? Terakhir merasakan jajanan sekolah yang bikin candu dan menguras isi kantong baju? Terakhir merasakan hangatnya kebersamaan saat di kelas saat jam kosong? terakhir...yang terakhir... Membayangkannya saja sudah membuat hatiku perih dan bola mataku berkaca-kaca. Karena berpisah dengan sesuatu yang sudah lama bersama itu sangatlah menyakitkan. Setelah aku selesai menerima medali dan lainnya, kakiku pun melangkah menuruni anak tangga dan berjalan menuju tempat dudukku. Sesi pembagian medali akhirnya berakhir dan hal ini menandakan bahwa acara perpisahan hari ini sudah berada di ujung acara. Dan benar saja, setelah ini masuklah sesi foto bersama dengan para siswa dan guru. Semua siswa berhamburan berjalan ke atas panggung mengambil posisi untuk berfoto. Aku dan temanku juga tak lupa saling bersalaman dan berpelukan hangat. Menitikkan air mata yang sejak tadi tertahan, berbicara tak tentu karena suara tangis, usapan tangan yang lembut kami salurkan satu sama lain saat berpelukan yang mungkin ke depannya akan sulit untuk dilakukan lagi. Saling memberi pesan untuk jangan melupakan dan saling mendoakan kesuksesan masing-masing ke 29

depannya. Kehangatan bersama teman karib yang sudah bersama selama tiga tahun ini lagi-lagi akan dipisahkan oleh masa depan yang akan kita kejar nantinya. Termenung, lagi-lagi aku termenung. Mengingat kembali kenangan yang baru saja terjadi di jam 8 pagi tadi hingga tak terasa sekarang sudah menjelang sore. Waktu memang singkat. Kejadian yang berjalan selama berjam-jam terasa hanya terjadi beberapa menit saja. Bahkan kejadian yang sudah dialami selama bertahun-tahun terasa terjadi hanya beberapa menit saja. Sesingkat itukah waktu sehingga manusia kadang menyia-nyiakannya, hingga akhirnya menyesal saat kesempatan di waktu itu sudah terlewat. Kesempatan untuk lebih banyak menuntut ilmu lagi, kesempatan untuk mencari pengalaman yang lebih banyak lagi, kesempatan untuk berteman yang lebih baik lagi, dan kesempatan yang lainnya, semuanya terasa sudah terlambat karena waktu yang singkat dan disia-siakan ini. Namun ketahuilah, sebelum umur pupus, kesempatan itu masih ada dan waktu itu pun tetap masih ada selama dapat dimanfaatkan dengan baik. Begitupun dengan perpisahan dengan sahabat, teman maupun guru untuk hari ini. Meskipun akan berpisah, 30

tapi bukan berarti tali silaturahmi akan ikut berpisah. Ini hanyalah perpisahan yang bersifat sementara, karena pada dasarnya setiap pertemuan akan menemukan yang namanya perpisahan. Inilah yang aku renungkan dengan mata berkaca- kaca selama perjalanan menuju rumah di atas motor sahabatku. Gowa, Oktober 2022 31

“Catatan yang Hilang” Oleh: Akmal Idris Langit muram, angin yang bertiup menelisik sebagian ruang hati terasa seperti beledu. Suara-suara menelan kesunyian yang sedari tadi membekamnya. Tak ada harapan, seakan ini adalah akhir sebuah pengharapan. Pintu berderit untuk yang kedua kalinya, menghenyakkan perasaan galau. Dia tersadar akan nasibnya, bukan di ujung tanduk lagi, tetapi lebih tepat tinggal menyerah pada kepasrahan. Dia menggenggam selembar kertas lusuh yang tak jelas bertuliskan apa. Tubuhnya berguncang setiap kali terdengar deritan pintu di luar, dalam pikirannya, ―Apakah yang ini?‖ Tak kuasa rasanya ia setiap kali memaksakan perasaanya untuk menebak siapa yang datang ke panti asuhan tua itu. Selama itu pula ia coba mengingat setiap perkataan wanita paruh baya yang pernah menghantarkannya ke tempat itu. Ia tak pernah lupa saat itu ia berumur lima tahun, tidak ingat bagaimana ia hidup sebelum hari itu. Yang ia ingat, saat 32

itu tiba-tiba ia ditinggalkan dan wanita separuh baya datang menghampirinya dengan senyuman penuh keteduhan. Dengan nada rendah dan menenangkan wanita itu menginterograsinya dengan beberapa pertanyaan. Melihat perawakan si ibu tua, dia merasa bahwa ibu tua itu hanya seorang ibu yang menumpang istirahat sebentar di sebelahnya, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan bingung untuk meneruskan perjalanannya, seperti halnya dia yang tengah dirundung ketidaktahuan. Tidak lebih dari sepuluh menit lamanya, si ibu menepuk-nepuk lembut pundaknya, ―Nak, hidup itu sulit. Tapi jangan dianggap sulit, kita itu cuma orang tak berada. Biasa saja, tak usah cemas. Walaupun kita tidak berlebih dalam harta asal kita punya pekerti dan hati yang tulus, orang pasti tak akan menolak kita. Lebih dari lima puluh tahun ibu hidup, dan separuh dari umur itu ibu habiskan sendiri. Ibu tak pernah mengeluh pada Tuhan. Ibu malah mensyukuri setiap apa yang diberikan Tuhan, semua keputusan pasti ada hikmahnya.‖ Ibu tua menarik napas sambil tersenyum menutup mata, dan melanjutkan monolognya. Dia hanya bisa 33

mendengarkan walaupun segala makna tengah berkecamuk dalam pikirannya. ―Nak lapar tidak? Ibu punya sebungkus roti. Makan ya!‖ Dia bahkan tidak mengerti, kalaupun si ibu tua benar- benar tidak mengenalinya, pasti yang pertama kali ditanyakan di mana atau siapa orang tuanya. Tapi tidak. Dia hanya mengangguk lemah. Tanpa sedikit pun senyum dari sudut bibirnya yang mungil sebagai tanda terima kasih, ia mengambil roti yang disodorkan si ibu tua dan memakannya. Ibu tua terlihat senang melihatnya. Tiba-tiba ia menengadah dan memandangi wajah ibu tua itu, ternyata si ibu tua tengah menitikkan air mata. Ibu tua tersipu malu dan menyeka air mata dengan punggung tangannya, lalu mengelus kembali kepala si anak. Dibukanya tas kain yang ia simpan di sebelahnya, dan mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut. Ibu itu mengambil selembar kertas, dan menyerahkannya pada anak itu. Anak itu hanya terheran-heran tidak mengerti. 34

―Nak kalau kamu lupa jalan pulang, pergilah ke tempat yang alamatnya tertera di kertas itu. Tanyakan saja pada orang dan serahkan kertas itu‖ saran ibu tua. Selama anak itu mendengarkan saran ibu tua, ia hanya menatap kertas tersebut tanpa dia sadari ibu tua telah pergi. Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan ibu tua itu, entah apa yang sekarang terjadi padanya. Mungkin saja ia sekadar hidup mengikuti ke mana angin bertiup atau membenamkan diri dalam kesendirian dan lenyap di tengah ketidaktahuan. Dari situlah ia hingga sampai ke panti asuhan tua yang kini ia berteduh. Ia pernah bertanya pada ketua panti asuhan tentang sosok ibu tua yang memberinya alamat itu berikut dengan ciri-cirinya. Ketua panti asuhan membenarkan memang pernah ada seorang ibu yang sempat tinggal di panti asuhan tersebut dan membantunya, tapi itu sudah lama sekali. Dulu ibu tua itu juga pernah menitipkan sebuah catatan kecil tentang suatu hal yang dititipkan pada kepala panti asuhan, namun catatan itu hilang beserta data mengenai 35

setiap penghuni panti asuhan sejak ada renovasi ruangan administrasi di panti asuhan itu. Ia selalu penasaran mencari tahu siapa sebenarnya sosok ibu tua yang ia temui tujuh tahun lalu. Tiba-tiba suara pintu di luar berderit lagi, sekaligus menyadarkannya dari lamunan sesaat itu. Dan ternyata benar, dari pembicaraan yang didengarnya antara ketua panti asuhan dengan seseorang di ruangan sebelah, beliau adalah seseorang yang akan menjadikannya anak angkat. Ia hanya tersenyum lemah, dan menangis karena ingat pada ibu tua itu. Seandainya ia sempat bertemu dengannya, maka ia tidak akan urung untuk meninggalkan panti asuhan itu. Dia benar-benar akan mengikuti nasib tanpa kendalinya sendiri, namun kini ia sudah bertuan. Tuan yang tak dikenali sebelumnya. Takkan berhenti mencari ibu tua itu, dari setiap jejak yang ditinggalkannya. Hingga ia menemukan jawaban atas tanda tanya besar dalam hatinya ***************** 36

Gerimis Rindu Oleh: Wiwik Ayuasari Ketika duduk di bangku SMA, penulis mengira bahwa merantau untuk menuntut ilmu akan sangat menyenangkan. Ilmu, teman-teman, keterampilan bertahan hidup, dan masih banyak lagi yang membuatnya semakin semangat waktu itu untuk cepat-cepat lulus dan pergi jauh untuk menuntut ilmu. Dia teringat dengan perkataannya yang sangat naif kepada sang ayah ketika masih duduk di bangku SMA, ―Aku ingin kuliah di luar negeri, pulang setahun sekali atau sekalian setelah selesai wisuda saja.‖ ―Aku ingin tinggal di kost, pulang setiap 6 bulan‖ ―Aku ingin kuliah di Bogor. Di sana ada asrama dan pulang setiap selesai semester saja.‖ dan masih banyak lagi perkataan yang menunjukkan semangatnya untuk pergi jauh menuntut ilmu, tanpa memedulikan ekspresi panik ayah yang mungkin tidak siap berpisah jauh darinya. Pengumuman kelulusan tes masuk perguruan tinggi membuat penulis sadar bahwa dia betulan harus mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan rumah, meski tak 37

dapat disebut merantau karena waktu tempuh dari rumah ke kostnya tak sampai sejam jika lewat jalan pintas dan bersiap memulai lembaran baru yang dulu membuatnya tak sabar lulus di dibangku SMA. Ah, tak jarang dia merasa bersalah setiap kali mengingat ekspresi ayah ketika melihatnya menaiki mobil untuk menuju ke kost pertama kali. Dia menyesal tidak melambaikan tangan kepada ayahnya dengan senyuman ceria sebagai tanda bahwa dia akan baik-baik saja, malah memilih melihat ke depan dengan perasaan yakin dan siap untuk menetap di tempat yang berbeda dengan orang tua demi menuntut ilmu. Untuk menenangkan dan meluruhkan ekspresi sedih yang terpancar di matanya. Penulis benar-benar merasa memulai lembaran baru di dalam hidupnya tatkala terbangun dari tidurnya dan tersadar dia bukan berada di kamar yang biasa ditempati, melainkan di kamar yang orang-orang biasa menyebutnya kosan. Dia mulai membiasakan diri hidup di lingkungan dan suasana yang baru. Beberapa kali telepon dari ayah terlewat, namun ada perasaan sungkan untuk menelpon balik. Malam itu ayah menelepon lagi dengan menggunakan vitur video call dan tatkala mengangkatnya, dia langsung disambut suara dan ekspresi 38

hangat yang membuat hatinya tenang. Saat itu dia sadar bahwa gelora rindu merambati hatinya, dia ingin pulang. ‖Apa kabar? Jika perkuliahan belum dimulai, ayo pulang dulu! Ayah rindu, memangnya kamu tidak rindu?‖ Kata ayah. Penulis berekspresi datar, ―Biasa saja.‖ Katanya yang langsung disambut gelak tawa ibu di samping ayah. Andai saja mereka tahu bahwa dia hanya malu untuk mengungkapkan kerinduannya. Seiring tetesan waktu berjatuh tanpa henti, penulis sadar bahwa keadaan yang dia alami benar-benar telah berbeda. Tidak ada lagi yang menyuruhnya turun untuk makan, mengepel lantai teras, memanggilnya untuk meminum teh, candaan ayah, dan omelan ibu tatkala melihatnya belajar di tempat yang gelap. Jujur saja dia merindukan semua itu. Setelah sebulan lebih berlalu, penulis dikunjungi oleh ayah dan ibunya. Perasaan senang memenuhi hatinya tatkala melihat mereka berdua secara langsung karena rasanya sudah lama sekali tak berjumpa dengan mereka. Mereka tak lama, mungkin hanya dua jam. Selepas kepulangan mereka, perasaan senang itu terganti dengan perasaan rindu. Saat itu mungkin terbesit keheranan di hatinya, bagaimana mungkin dia rindu? Padahal orang tuanya baru saja selesai berkunjung. 39

Tiga hari setelah kunjungan mereka, gelora rindu itu kian merambat dan melilit hatinya dan membuatnya menelepon ayah untuk minta dijemput pulang besok harinya dengan alasan lelah, karena malu mengungkapkan alasan yang sebenarnya. Hari demi hari berlalu dan itu membuat penulis semakin terbiasa dengan keadaan. Terkadang dia panik jika tiga hari berlalu tanpa telepon dari ayah. Sejujurnya, pembicaraan mereka lewat telepon hanya dua sampai lima menit dan bahkan semenit. Seringnya ayah dan ibu hanya menanyakan hal yang mungkin klasik bagi sebagian orang seperti sudah makan atau belum, sedang apa, belajar apa, dan berakhir dengan nasihat agar berdoa sebelum tidur. Penulis menyadari bahwa menuntut ilmu melelahkan. Lelah belajar dan lelah menahan rindu, setidaknya itu yang dia rasakan. Seakan-akan waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru saja dia belajar secara daring akibat pandemi covid-19 sekarang dia telah menjadi mahasiswi sibuk—keadaan yang membuatnya basah akan gerimis rindu dan selalu menantikan hari kamis—yang harus pandai mengatur waktu. Dia pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang membuatnya harus menginap selama tiga sampai tujuh hari ketika menduduki 40

bangku SMP dan SMA, namun sepertinya belum pernah dia mendapati dirinya serindu itu dengan ayah dan ibu kecuali setelah menjadi wahasiswi. Sekali lagi, menuntut ilmu melelahkan. Hampir dua bulan lamanya tinggal di tempat yang berbeda dengan ayah dan ibu, penulis sadar bahwasanya tinggal bersama kedua orang tua merupakan sebuah nikmat yang wajib disyukuri terlebih jika mendapati keduanya masih hidup. Dia bertanya-tanya, apakah teman-temannya yang tinggal jauh dari orang tua sering membuat bantal basah di malam hari? Rindu yang tak tertahankan itu hanya dapat diredakan dengan tetesan air mata. Setiap kali merenungi bahwa tetesan waktu tak pernah berhenti berjatuh, saat itu jugalah dia sadar bahwa tidak ada hal yang abadi dan menetap. Penulis sadar bahwa setiap detik umurnya semakin berkurang yang mengantarnya pada kedewasaan dan tanggung jawab yang juga semakin besar setiap detiknya. Dia bertanya-tanya apakah itu artinya setiap detik mengantarnya pada rindu yang lebih dalam lagi? Setelah menjadi mahasiswi saja terkadang jantung berdetak ngilu rindu bertemu ayah dan ibu. Terkait mereka.... penulis sangat sadar bahwa mereka 41


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook