Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NKRI dari Masa Ke Masa

NKRI dari Masa Ke Masa

Published by jpraditya8, 2017-03-10 04:48:42

Description: NKRI dari Masa Ke Masa

Keywords: none

Search

Read the Text Version

batas desa belum merupakan referensi resmi batas bagi pemerintah. Kewenangan penetapan batas wilayah daerah adalah kewenangan Kemendagri, sehingga Bakosurtanal memberikan catatan pada garis batas daerah seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011, Pasal 16 berbunyai sebagai berikut: (1) Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e digambarkan berdasarkan dokumen penetapan penentuan batas wilayah secara pasti di lapangan oleh Instansi Pemerintah yang berwenang. (2) Dalam hal terdapat batas wilayah yang belum ditetapkan secara pasti di lapangan oleh Instansi Pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan batas wilayah sementara yang penggambarannya dibedakan dengan menggunakan simbol dan/atau warna khusus. Gambar 6. 2. Peta Rupabumi Indonesia merupakan peta dasar untuk acuan peta tematik Namun pada prakteknya, suatu daerah memakai batas administrasi peta RBI sebagai acuan apabila menguntungkan pihaknya, sedangkan yang merasa dirugikan akan mencari acuan peta lain sebagai batas administrasinya. Hal ini menyebabkan perselisihan karena acuan peta yang berbeda. Peta Batas Pengelolaan Wilayah Laut Disamping peta RBI yang memuat batas wilayah administrasi di darat, Bakosurtanal juga menerbitkan Peta Cakupan dan Wilayah Luas Daerah 1:250.000 untuk provinsi dan 1:100.000 untuk Kabupaten/Kota yang memuat batas daerah di laut. Peta ini dapat digunakan sebagai peta dasar sebagai acuan untuk pengelolaan sumber daya alam di laut oleh pemerintah daerah. Metodologi penentuan batas wilayah pengelolaan laut daerah, mengacu pada Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004, pasal 18. Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 79 Bagian II (buku NKRI).indd 79 13-Jan-15 12:18:01 PM

6.4. Informasi Geospasial Tematik Peta pertambangan adalah salah satu bentuk peta tematik (Informasi Geospasial Tematik). Pembuatan peta tematik seharusnya mengacu pada peta dasar (Informasi Geospasial Dasar). Apabila, peta-peta tematik mengacu pada Informasi Geospasial Dasar yang sama maka permasalahan perbedaan batas wilayah dapat yang dihindari, seperti yang telah diatur diatur dalam UU No. 4 tahun 2011 sebagai berikut: Pasal 19 IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib mengacu pada IGD. Informasi Geospasial Dasar akan sangat membantu penyelesaian masalah perbedaan acuan pada peta-peta tematik . Namun yang menjadi masalah adalah sebagaian besar batas antar daerah adalah masih berstatus indikatif belum mempunyai status legal. Menurut data dari Kemendagri, status batas daerah saat ini adalah sebagai berikut: = Jumlah 946 Segmen (151 provinsi, Kota/Kab 795) = Selesai 107 Segmen (ditetapkan dalam 57 permendagri) = Sedang dalam proses 96 Segmen = Telah dilaksanakn survei lapangan pada tahun 2011 sebanyak 103 segmen = 640 Segmen belum selesai (40 segmen diantara ada sengketa) Oleh karena itu perlu percepatan penyelesaian batas wilayah daerah. 6.5. Percepatan Penyelesaian Batas Daerah Pada Rakornas IGT di Bali Pada Desember 2011 menghasilkan rekomendasi, diantaranya adalah: Perlu segera dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah termasuk didalamnya menyusun SOP penegasan batas daerah yang bersengketa dan SOP penegasan batas dengan mengkombinasikan metode pelaksanaan penegasan batas di lapangan (terestris) dan non lapangan (kartometris). Pada Kamis, 2 Februari 2012 Kepala Bakosurtanal dan Dirjen PUM - Kemendagri melakukan pertemuan untuk membicarakan percepatan penyelesaian batas daerah. Dalam pertemuan tersebut disepakati, bahwa = Hambatan penyelesaian batas daerah yang disebabkan peraturan perundangan (Permendagri No 1 tahun 2006) akan segera diatasi dengan melakukan revisi peraturan perundangan yang dimaksud. = Bakosurtanal akan menyiapkan secara teknis peta Batas Indikatif yang lebih akurat dengan memanfaatkan the best available data sehingga dapat meminimalkan perbedaan/sengketa antar daerah. = Bakosurtanal akan membantu melakukan inovasi (metodologi penegasan batas yang lain) dalam akselerasi penyelesaian penegasan batas daerah (propinsi, kabupaten/kota). = Salah satu langkah inovasi yang bisa dilakukan adalah melakukan ajudikasi 80 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 80 13-Jan-15 12:18:01 PM

secara kartometris di atas peta. Penegasan batas daerah tidak harus dengan memasang pilar batas di sepanjang batas, terutama untuk segmen batas yang berupa batas alam yang sulit dijangkau, jarang digunakan untuk mendukung aktivitas manusia dan membutuhkan waktu dan pembiayaan yang besar untuk melaksanakan penegasan batas di lapangan. Gambar 6. 3. Alur kerja percepatan batas daerah Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 81 Bagian II (buku NKRI).indd 81 13-Jan-15 12:18:01 PM

Dari diagram pada Gambar 6.3 dapat lihat sebagai input kegiatan, dilakukan pengumpulan data geospasial dan peraturan perundang-undangan terkait. Data geospasial memegang peran penting karena menjadi dasar dalam pembuatan peta kerja, dimana kemudian akan digunakan sebagai bahan ajudikasi secara kartometris. Data geospasial yang digunakan adalah peta rupabumi, peta topografi, citra satelit, serta peta wilayah daerah. Untuk pengolahan data geospasial dapat menggunakan beberapa software GIS, terutama yang memiliki fungsi pemodelan tiga dimensi. Dalam menentukan garis batas suatu wilayah selalu didasarkan pada dua tanda batas utama yaitu batas alam dan batas buatan. Tanda batas alam yang sering digunakan adalah sungai dan watershed. Sedangkan untuk batas buatan digunakan pilar batas, jalan, rel kereta api, dan saluran irigasi. Gambar 6. 4. Metode kartometris dibandingkan dengan hasil survei di lapangan Untuk batas alam, terutama yang terletak pada terrain yang memiliki ketinggian, data geospasial berupa peta dapat diperkuat dengan data SRTM atau citra lain yang memiliki nilai ketinggian. Dengan nilai ketinggian tersebut dapat dimodelkan kenampakan tiga dimensi dari kondisi di sekitar batas untuk kemudian dilakukan cek terhadap garis batas yang ditetapkan apakah sudah sesuai dan memenuhi criteria batas alam. Kriteria tersebut dapat berupa, posisi garis batas sudah benar berada di watershed, di punggung bukit, di gunung. Atau dengan kata lain, posisi garis batas tidak melenceng dari batas alam yang dimaksud. 82 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 82 13-Jan-15 12:18:01 PM

Ajudikasi dapat dilakukan sepanjang batas dengan membagi keseluruhan batas menjadi beberapa segmen. Dengan pembagian segmen ini akan memudahkan ketika ditemui ketidaksepakatan terhadap hasil ajudikasi yang sudah dilaksanakan di atas peta. Dalam proses ajudikasi juga dilakukan pengumpulan informasi toponimi di daerah sekitar batas. Hal ini penting mengingat deksripsi batas yang dibuat akan berdasarkan toponimi. JIka ditemukan kesalahan penulisan, lokasi terkait toponimi dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari apabila sudah terjadi kesepakatan antar daerah yang berbatasan. Setelah proses ajudikasi di atas peta selesai dilanjutkan dengan pertemuan antar daerah untuk membuat rancangan peta batas hasil ajudikasi di atas peta. Gambar 6.3 menunjukkan proses alur kerja untuk mempercepat batas daerah. Dalam alur kerja ini dimungkinkan menggunakan metode kartometris untuk mendapatkan titik-titik koordinat geografis secara pasti di lapangan. Metode ini diyakini dapat mempercepat proses penegasan batas daerah dibandingkan dengan alur kerja yang diatur pada Peraturan Menteri dalan negeri no 1 tahun 2006 yang mewajibkan pengukuran atu survei lapangan untuk semua titik batas yang dimaksud. Apabila titik-titik koordinat batas daerah yang diperoleh secara kartometris diragukan ketelitiannya, maka survei di lapangan dapat dilakukan untuk mendapatkan titik koordinat batas yang lebih pasti. Gambar 6.4 memperlihatkan bahwa metode kartometris cukup akurat untuk menentukan batas yang ditandai oleh tanda-tanda alam yang jelas. Penentuan suatu garis pemisah air/watershed pada punggungan bukit/ lembah dapat dilakukan dengan melihat bentuk dari garis kontur serta dengan menggunakan data SRTM. Disebut dalam Permendagri No. 1 tahun 2006 garis batas pada watershed merupakan garis khayal yang dimulai dari suatu puncak gunung dan menyelusuri punggung bukit yang mengarah kepada puncak gunung berikutnya. Penetapan garis batas pada watershed harus memenuhi dua ketentuan utama yaitu garis batas tidak memotong sungai dan garis batas merupakan garis pemisah air yang terpendek. Sungai termasuk bentang alam yang umum diterapkan untuk menandai batas antara dua wilayah yang di daratan. Sungai dapat didefinisikan sebagai aliran air di alam yang mengalir ke ke dasar permukaan atau saluran yang lebih rendah dengan lebar sungai tertentu diantara ke dua dinding sungai (riverbank), yang pada suatu waktu terlihat sebagai aliran kontinyu dalam satu arah atau kadang-kadang terlihat kering Jika digunakan sebagai batas wilayah, thalweg merupakan bagian sungai yang sering disebut dalam penetapan garis batas. Thalweg berasal dari bahasa Jerman yang berarti jalur navigasi sungai bagi perahu yang berlayar ke arah hilir mengikuti arus terkuat. Dalam hukum internasional, istilah thalweg belum didefinisikan secara tetap sehingga masih merupakan istilah ambigu. Pengertian Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 83 Bagian II (buku NKRI).indd 83 13-Jan-15 12:18:01 PM

thalweg yang umum diterima adalah bagian sungai yang terdalam. Thalweg tidak selalu berada di tengah sungai. Selain thalweg, metode lain yang sering digunakan dalam penetapan garis batas adalah median line. Metode median line dianggap lebih mudah dan digunakan dalam penentuan batas wilayah pada Permendagri No.1 tahun 2006. Median line dikaitkan dengan konsep batas wilayah pada bentuk alam sungai sering diartikan sebagai suatu garis yang kontiyu dalam sungai tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama dari tepi sungai yang berseberangan. 6.6. Penutup Mengingat peran penting garis batas daerah yang pasti, maka penyelesaian Batas Daerah perlu segera diselesaikan. Percepatan penyelesaian batas daerah ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Perubahan Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penegasan batas daerah sehingga dapat diimplementasikan secara efisien baik dari segi waktu, tenaga dan biaya. 2. Perkembangan teknologi dan kesediaan data dan informasi geospasial dapat dioptimalkan untuk membantu melakukan penarikan batas daerah secara kartometris dengan tidak mengurangi ketelitian hasil yang di dapat. 3. Tanda-tanda alam, seperti punggung bukit (watershed), sungai, danau dan lain-lain dapat dijadikan acuan untuk menentukan batas, tanpa harus memasang pilar di lapangan. 4. Tanda-tanda di muka bumi yang merupakan buatan manusia, seperti jalan raya, jalan kereta, saluran irigasi atau sungai buatan dapat dimanfaatkan juga untuk mendapatkan titik-titik koordinat batas daerah 5. Pilar batas dapat dibangun di lapangan terutama untuk membuat batas secara pasti apabila titik-titik koordinat batas daerah tidak dapat diperoleh secara kartometris dengan ketelitian yang memadai. 6. Survei lapangan dapat dilakukan untuk memastikan titik-titik koordinat batas daerah yang masih diragukan ketelitiannya. 6.7. Daftar Pustaka LPPM-ITB, 2011 : “Kajian Permasalahan Batas Daerah Kabupaten Blitar dan Kediri” Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial Nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 84 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 84 13-Jan-15 12:18:01 PM

Winhard T., Fahmi Amhar, Dodi Sukmayadi : “Menghitung Luas Laut Daerah dengan Metode Buffer dari Data Seamless Administrasi Level Kabupaten”, Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 12 No. 2, Desember 2007 Winhard T., Fahmi Amhar, Dodi Sukmayadi : “Menghitung Panjang Shoreline dan Shared Boundary Secara Simultan dari Data Seamless Administrasi Kabupaten”, Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 14 No. 1, Agustus 2008 Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 85 Bagian II (buku NKRI).indd 85 13-Jan-15 12:18:02 PM

86 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 86 13-Jan-15 12:18:02 PM

BAGIAN III BATAS WILAYAH, PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN DAYA DUKUNG BUDAYA Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 87 Bagian III (buku NKRI).indd 87 13-Jan-15 12:18:41 PM

VII. DAYA DUKUNG BUDAYA TERHADAP KESINAMBUNGAN SUMBERDAYA ALAM Jajang Gunawijaya 7.1. Kebudayaan, Kesejahteraan dan Daya Dukung Alam Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mengembangkan kebudayaan lokal yang menjadi pedoman kehidupannya. Kebudayaan yang dimaksud adalah konsep-konsep, teori-teori, metode-metoda yang digunakan manusia untuk memahami, menginterpretasikan dan menilai lingkungan di sekelilingnya agar dapat bertahan, mengolah dan mengembangkan lingkungannya (Suparlan, 2005). Masyarakat petani memiliki konsep-konsep tentang sistem pertanian yang mereka pilih untuk dijalankan, apakah pertanian padi di sawah, tebu, jagung, singkong atau kacang-kacangan hal itu sesuai dengan interpretasi mereka terhadap kondisi dan keadaan lahan yang dimilikinya. Mereka juga menggunakan konsep-konsep yang dimilikinya untuk memilih komoditi yang dianggap bernilai ekonomis dan laku dipasaran sehingga penting untuk dibudidayakan. Teori-teori dan metode-metode pembudidayaan komoditi tersebut mereka gunakan dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar untuk menghindari atau meminimalisir risiko yang kemungkinan akan dihadapi dan mengupayakan keuntungan secara optimal. 88 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 88 13-Jan-15 12:18:41 PM

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia menciptakan berbagai pranata sosial budaya yang menjadi wahana dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan hidup tersebut secara sah. Pranata sosial budaya adalah sistem antar hubungan, norma-norma dan pranan-pranan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dianggap penting secara sah. Bentuk-bentuk pranata sosial budaya itu di anatara adalah pranata keluarga yang merupakan wahana dalam pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan perlindungan anak; pranata kekerabatan sebagai wahana dalam pemenuhan pengaturan hubungan darah, warisan dan perkawinan; pranata ekonomi sebagai wahana dalam pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran (seperti perikanan; perdagangan; pertanian; dan lain-lain); pranata agama sebagai wahana pemenuhan kebutuhan spiritual; pranata politik sebagai wahana pemenuhan kebutuhan pengaturan kekuasaan dan keteraturan sosial; pranata olahraga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan penyaluran energi fisik, hobi, kegembiraan olah fisik; dan lain sebagainya. Semakin modern peradaban manusia semakin banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan semakin banyak pranata sosial budaya yang dibutuhkan Agar keteraturan, ketentraman dan kesejahtreraan manusia dapat terus terjamin. Oleh karena itu, pranata sosial budaya tidak hanya harus ada atau tersedia, tetapi juga harus berfungsi dengan baik. Diantara ribuan pulau besar dan kecil, berkembang pulau-pulau kecil yang dihuni penduduk yang sangat padat, dengan aktivitas ekonomi dan transportasi laut yang sangat sibuk. Pulau kecil padat penduduk tersebut dapat dijadikan model sebagai “metro island” yang dapat dikembangkan pada pulau-pulau kecil lainnya. Masyarakat nelayan, seperti penduduk metro island, mempunyai kebudayaan berupa sejumlah konsep tentang perahu, kapal, alat tangkap ikan dan jenis- jenis biota laut yang memiliki nilai ekonomis yang mereka tangkap. Merekapun menggunakan teori-teori dan teknik-teknik tertentu dalam menggunakan berbagai peralatan dalam menangkap ikan yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di pedalaman. Konsep-konsep, teori dan pengetahuan yang mereka miliki digunakan untuk menginterpretasikan lingkungan bahari untuk dapat menjalankan kehidupan dalam memenuhi berbagai kebutuhan secara baik, selamat dan berkesinambungan, melalui pranata-pranata sosial budaya yang tersedia. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang sesuai dengan lingkungan sekitar itu, pada masyarakat metro island mengembangkan berbagai organisasi sosial yang mereka bentuk secara formal maupun informal mulai dari organisasi desa atau kelurahan, kelompok nelayan, juragan kapal, juragan ikan, tengkulak atau pedagang pengumpul, perusahaan lokal maupun nasional yang menampung ikan dan mengemasnya menjadi komoditi ekspor. Agar kohesi sosial di antara mereka yang terdiri dari berbagai etnis, berbagai lapisan sosial, beragam mata pencaharian, beragam keahlian dan profesi menjadi tetap kuat Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 89 Bagian III (buku NKRI).indd 89 13-Jan-15 12:18:41 PM

dan stabil, maka secara berkala diselenggarakan berbagai event budaya yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan menghasilkan kegembiraan massal. Seperti juga masyarakat nelayan lain di Indonesaia, teknologi yang mereka gunakan sekarang ini belum tergolong teknologi modern bila dibandingkan dengan perkembangan teknologi global. Mereka hanya menggunakan perahu kecil yang berlayar di sekitar pantai atau menggunakan perahu motor yang ukurannya lebih besar hingga dapat berlayar dilaut lepas namun tetap menggunakan alat alat tangkap sederhana seperti pancing atau jaring dan tidak menggunakan jaring dengan kapasistas besar seperti yang dilakukan oleh pencuri-pencuri ikan dari negara asing. Meskipun demikian, teknologi yang mereka gunakan adalah teknologi yang ramah lingkungan, tidak menguras sumberdaya alam dan menjamin kesinambungan usaha mereka. Keadaan ini menyebabkan sumber daya alam berupa berbagai jenis ikan laut yang tersedia sangat melimpah tidak terkuras habis, sehingga terjamin kesinambungan kegiatan ekonomi mereka yang bertumpu pada suberdaya alam laut. Selain itu secara alami terbentuk zonasi pemanfaatan sumber daya laut sesuai dengan alat tangkap atau teknologi yang mereka gunakan. Nelayan yang menggunakan perahu kecil hanya menangkap ikan di tepi laut atau sekitar pantai dan tidak memaksakan diri berlayar ke tengah laut, demikian pula sebaliknya, nelayan dengan kapal yang lebih besar hanya menangkap ikan di tengah laut dan tidak mengganggu nelayan-nelayan yang menggunakan perahu kecil. Dengan demikian tidak terjadi persaingan atau perlombaan yang tidak sehat dalam mengeksplotasi sumberdaya laut. Bila sebagian besar dari mereka menggunakan teknologi modern seperti nelayan-nelayan asing, akan semakin besar modal yang mereka perlukan dan akan semakin besar pendapatan yang mereka peroleh. Di satu pihak mereka akan semakin sejahtera, dan bila mereka lebih sejahtera, maka dapat dipastikan kebutuhan hidup mereka akan meningkat, terutama untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan itu sendiri. Di pihak lain, keadaan ini berimplikasi pada semakin terkurasnya sumberdaya alam yang mereka miliki dan terancamnya kesinambungan kehidupan mereka bila teknologi dan kebudayaan yang mereka kembangkan tidak dirancang untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Perebutan mengakses sumberdaya secara serampangan hanya untuk berlomba-lomba meningkatkan kemakmuran pribadi atau kelompok (Ribot, 2003), tidak hanya menyebabkan rusaknya sumberdaya alam, tetapi juga akan menimbulkan ketegangan dan disharmonisasi dalam kehidupan sosial. Keadaan ini tidak terjadi pada masyarakat metro island baik yang berada di Pulau Sapeken, Pulau Pramuka maupun di Pulau Panggang. 90 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 90 13-Jan-15 12:18:41 PM

7.2. Integritas Penduduk pada Masyarakat Metro Island Seperti yang telah disampaikan oleh penulis-penulis yang lain, Pulau Sapeken merupakan Pulau berpenduduk terpadat di Indonesia. Letaknya berada di sebelah Timur Pulau Madura, luasnya sekitar 65.149 ha dihuni oleh penduduk sebanyak 8312 orang, maka kepadatan penduduk sekitar 127 orang/ ha. Beragam etnis yang terdapat di pulau itu di antaranya adalah: orang Madura (berasal dari P. Raas di Madura); orang Mandar; dan orang Bajo. Orang Bajo mempunyai komunitas yang besar dan tersebar di Pulau-Pulau sekitar hingga Sulawesi dan Miangas. Orang Bajo dianggap sebagai etnis yang merintis pemukiman di Pulau tersebut. Oleh karena itu, kebudayaan Bajo dianggap sebagai kebudayaan dominan. Di pulau itu, terdapat dua buah pondok pesantren yang santrinya berasal dari NTT; NTB, Jakarta dan Pulau Jawa. Para santri tidak perlu membawa uang atau perbekalan yang memadai, karena kebutuhan hidup di pesantren dapat dipenuhi dengan menjadi tenaga kerja nelayan di laut pada nelayan setempat. Keragaman etnis, kepadatan penduduk, keterbatasan sumber daya terutama air tawar, tidak meyebabkan mereka terperosok dalam kehidupan konflik sesama warga seperti yang terjadi baru-baru ini pada pulau- pulau lain di tanah air. Mereka justru hidup rukun, damai dan saling bekerjasama dalam berbagai hal. Beberapa faktor yang mendukung kerukunan hidup masyarakat di pulau tersebut antara lain: (1) mereka tidak menggantungkan nafkahnya di darat, tetapi di laut yang wilayahnya sangat luas dan kekayaan biota lautnya melimpah; (2) terdapatnya sistem zonasi spasial pada kegiatan mencari ikan di laut, jenis-jenis perahu dan alat tangkap yang mereka miliki hanya cocok digunakan pada zona atau wilayah laut yang sesuai, sehingga tidak terjadi persaingan di antara mereka dalam mengakses sumberdaya laut; (3) mereka memiliki masalah yang sama yang harus dihadapai bersama dalam kehidupan bahari terutama yang berkaitan dengan ketersediaan air bersih dan iklim yang berkaitan dengan perolehan hasil tangkap mereka; (4) sebagian besar dari mereka adalah pendatang yang mendiami pulau tersebut sehingga memiliki perasaan senasib sebagai pendatang; (5) terdapat kebudayaan dominan yang menjadi acuan bersama dalam berbagai interaksi sosial, yaitu kebudayaan Bajo yang juga menjadi identitas etnis mereka; (6) terdapatnya ruang terbuka hijau yang dipelihara bersama dan digunakan secara bersama-sama dalam berbagai aktivitas sosial seperti olah raga, keagamaan, rekreasi, dan lain sebagainya; (7) pranata-pranata sosial budaya yang menjadi wahana pemenuhan kebutuhan hidup masyarakatnya berfungsi dengan baik, sehingga selain kebutuhan hidup mereka tepenuhi juga gejolak-gejolak sosial yang mungkin timbul dapat diredam, dicegah, bahkan ditangkal oleh pranata-pranata sosial budaya yang memang tersedia dalam masyarakatnya. Karakteristik Metro Island seperti di Pulau Sapeken dapat ditemukan di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Pada kedua pulau itu penduduknya hidup adem Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 91 Bagian III (buku NKRI).indd 91 13-Jan-15 12:18:41 PM

ayem, rukun meski pulau yang mereka huni tergolong sempit bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Enam dari tujuh faktor pendukung kerukunan di Pulau Sapeken terdapat di kedua pulau tersebut, bedanya di kedua pulau itu tidak terdapat kebudayaan dominan seperti yang terdapat di Pulau Sapeken. 7.3. Penutup Konsep metro island perlu dikembangkan sebagai salah satu model pembangunan pulau-pulau kecil baik di wilayah perbatasan maupun di berbagai wilayah pulau-pulau kecil lainnya yang tersebar di Indonesia. 7.4. Daftar Pustaka Jackson, Ian, 1989, An Introduction to Tourism, Melbourne: HYospitality Press. Macleod, Donald V. L, 2004, Tourism, Globalisation and Cultural Change. Toronto: Cannel View Publications. Nash, Manning, 1966,Primitive Economy and Peasant Economic Systems. Pennsylvania: Chandler Publishing Company. Plattner, Stuart, 1989,Economic Anthropology. California: Stanford University. Ribot, Jesse C., 2003, “A Theory of Access,” Rural Sociology. Jun; 68, 2; Academic Research Library, hlm. 153-181. Suparlan, Parsudi, 2005, Sukubangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa. Jakarta: YPK. 92 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 92 13-Jan-15 12:18:41 PM

VIII. DISPARITAS SPASIAL REFLEKSI KESENJANGAN CITA-CITA DAN REALITA 67 TAHUN INDONESIA MERDEKA Al. Susanto, Habib Subagio, Putri Meissarah 8.1. Pendahuluan Baru saja kita sebagai bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun ke- 67 Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Suatu negara kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita selama ratusan tahun dengan segala bentuk pengorbanan dan penderitaan yang begitu besar. Tanpa perjuangan yang penuh dengan pengorbanan dari para pendahulu , tidak mungkin saat ini kita bisa menikmati kemerdekaan dan kebebasandalam negara dimana kita bisa menentukan sendiricita-cita apa yang akan kita gapai. Generasi sekarang dan di masa mendatang sangat berterima kasih, karena para pendiri bangsa dan negara Indonesia telah meletakkan landasan, cita-cita, dan tujuan kemerdekaan yang berpandangan jauh ke depan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Cita- cita kemerdekaan tersebut pada intinya adalah terwujudnya kesejahteraan bagi setiap rakyat Indonesia apapun latar belakangnya dan dimanapun mereka berada. Kesejahteraan tentu saja dalam arti luas yaitu terpenuhinya hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia yang mempunyai harkat dan martabat. Secara lebih realistis bentuk kesejahteraan setiap manusia Indonesia adalah terbebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidak adilan, dan keterbelengguan dari berbagai hal yang bertentangan dengan hakekat dari suatu bangsa yang telah merdeka. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 93 Bagian III (buku NKRI).indd 93 13-Jan-15 12:18:41 PM

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang baru saja memperingati HUT ke- 67 Hari Kemerdekaannya, kita wajib bersyukur atas pencapaian selama ini. Tetap tegaknya NKRI dari berbagai cobaan yang saat ini mencakup wilayah sekitar 8 juta km² dengan segala sumber daya alam dan kondisi geografisnya, telah memupuk rasa percaya diri yang tinggi sebagai suatu bangsa yang merdeka dan sekaligus memberikan pelajaran yang berguna untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan yang diukur dari ekonomi yaitu pendapatan rata-rata per kapita per tahun sebesar US$ 3.500 dan masuknya Indonesia dalam jajaran 20 negara yang mempunyai Produk Domestik Bruto terbesar (G-20) juga merupakan prestasi yang perlu disyukuri. Pertumbuhan ekonomi sekitar 6,3 % pada semester I tahun 2012 di tengah situasi resesi dunia, juga perlu dijaga momentumnya. Demikian juga kondisi ekonomi makro yang kuat dan relatif stabil perlu terus dimanfaatkan untuk menggairahkan berbagai upaya investasi baik yang dimodali PMDN , PMA, maupun kombinasinya. Di bidang politik, sesuai dengan perkembangan zaman, Indonesia telah masuk dalam jajaran negara demokrasi dengan membangun berbagai pranata demokrasi, penyelenggaraan pemilu secara teratur, pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, anggota DPR/DPRD, DPD. Sekalipun berbagai koreksi harus dilakukan agar demokrasi yang berjalan tidak sekedar memenuhi aspek prosedur, tetapi justru yang lebih esensial adalah aspek substansialnya. Demokrasi bukan tujuan tetapi alat untuk mempercepat terealisirnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dimanapun mereka berada. Hak-hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia telah diakomodasi secara tekstual dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Untuk implementasinya perlu kerja keras dari negara untuk meniadakan kesenjangan antara harapan dan realita yang terjadi sehari-hari di masyarakat. Di samping capaian-capaian yang telah berhasil diraih sampai saat ini, harus diakui masih banyak hal-hal yang belum bisa dicapai untuk memenuhi harapan dan cita-cita sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri negara ini dalam pembukaan UUD 1945. Bahkan kalau kita tidak bersegera mewujudkan cita-cita tersebut sesuai tuntutan zaman yang begitu dinamis, Indonesia bisa terperangkap dalam kondisi yang semakin sulit untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sebagaimana cita-cita yang juga diperjuangkan setiap negara di dunia ini. Masih banyaknya rakyat yang berada di garis kemiskinan, adanya kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, disparitas pembangunan dan keberadaan aksesibilitas antar wilayah, sistem politik yang oligarkis dan bahkan mengarah ke polyarkis, penegakan hukum dan keadilan yang diskriminatif, belum terpenuhinya hak azasi manusia, merupakan contoh-contoh masalah negara yang bersifat struktural dan fundamental yang perlu mendapatkan penyelesaian yang segera. Seluruh pimpinan nasional baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif adalah pihak-pihak yang seharusnya 94 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 94 13-Jan-15 12:18:42 PM

memimpin dan melakukan upaya-upaya kongkrit untuk segera menyelesaikan masalah-masalah mendasar tersebut. Demikian juga masyarakat berbagai lapisan harus semakin menyadari bahwa selain menuntut yang menjadi haknya sebagai warga negara Indonesia juga harus semakin nyata dan bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya sebagai anggota organisasi besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai keberhasilan dan kegagalan selama periode 1945 – 2012 seharusnya menjadi bahan pelajaran yang berharga baik oleh rakyat maupun para pemimpin negara ini. Para pemimpin tidak cukup menyampaikan hal-hal yang bersifat normatif, tetapi harus kontemplatif dalam mengambil pelajaran yang berharga selama 67 tahun merdeka. Kontemplasi yang dilakukan secara jujur dan keluar dari hati yang paling dalam pasti akan mencuatkan berbagai evaluasi yang jernih, arif, dan jauh dari sekedar membangun citra semata. Kontemplasi lebih bermakna daripada retorika yang bersifat normatif. Sehingga berbagai permasalahan bangsa yang bersifat mendasar secara terencana dan terpola dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebagaimana disebutkan diatas selain banyak hasil-hasil yang telah dicapai selama 67 tahun merdeka, ternyata banyak pula cita-cita bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang belum tercapai dan bahkan timbul komplikasi permasalahan-permasalahan bangsa yang justru bertentangan dengan tujuan kita bernegara. Salah satu permasalahan mendasar yang perlu segera dipecahkan oleh seluruh komponen bangsa yaitu adanya kesenjangan wilayah atau disparitas spasial yang semakin lebar. Disparitas spasial jika dibiarkan terus melebar dan bertautan dengan faktor-faktor lain seperti sentimen yang berdasarkan kelompok etnis, kepentingan, golongan, agama dlsb. akan potensial menyulut terjadinya konflik sosial baik vertikal maupun horizontal sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di berbagai daerah. Sering kali para pengambil kebijakan kurang sensitif dalam menyikapi kondisi disparitas spasial yang begitu lebar antar wilayah. Banyak para pengambil kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah memandang sebagai sesuatu yang wajar jika misalnya kondisi ekonomi, kesejahteraan sosial, infrasrukturantara kota dan desa, antara pulau Jawa dan luar Jawa begitu timpang karena dipandang sebagai konsekwensi logis yang diakibatkan faktor geografis. Padahal pandangan tersebut sangat keliru karena salah satu tujuan kita bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia“. Dari salah satu tujuan bernegara tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka bermukim entah di kota atau desa, Jawa atau luar Jawa berhak dan harus diperjuangkan untuk menikmati kemerdekaan. Dengan demikian, tidak boleh ada penduduk yang kebetulan dilahirkan dan hidup di daerah miskin sumber daya terus-menerus miskin dan di daerah yang kaya mempunyai hak untuk selamanya lebih kaya dari penduduk di daerah lainnya (Kartasasmita,1997). Artinya mereka harus terbebas dari Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 95 Bagian III (buku NKRI).indd 95 13-Jan-15 12:18:42 PM

kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan keterbelengguan dari berbagai hal yang sebetulnya justru menjadi alasan mengapa para pendahulu kita berjuang dan berkorban untuk memperoleh kemerdekaan. Beberapa indikator adanya disparitas spasial yang tajam bisa dilihat dari misalnya : kontribusi PDB per pulau, kondisi Indek Pembangunan Manusia, ketersedian infrastruktur, sebaran kelompok kaya dan miskin, dlsb. Bersumber dari “ Berita Resmi Statistik” yang dikeluarkan Badan Statistik Nasional 6 Agustus 2012 struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada triwulan II tahun 2012 masih didominasi oleh kelompok provinsi Pulau Jawa. Kontribusi P. Jawa terhadap PDB nasional sebesar 57,5%, P. Sumatera 23,6%, Kalimantan 9,5%, Sulawesi 4,8%, Bali dan Nusa Tenggara 2,4%, Maluku dan Papua 2,2%. Dari data IPM juga menggambarkan adanya ketimpangan spasial yang tajam. Rata-rata IPM nasional pada tahun 2010 sebesar 72,72, provinsi DKI menempati urutan tertinggi yaitu 77,60, dan provinsi Papua menempati urutan terendah yaitu 64,94. Ketimpangan spasial lain yang cukup mencolok adalah di bidang infrastruktur yang merupakan urat nadi mobilitas modal, manusia, budaya, maupun teknologi. Ketimpangan spasial dalam berbagai sektor pembangunan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut selain karena tidak sesuai dengan tujuan bernegara, di lain sisi juga berpotensi menyulut rasa keadilan yang ujung-ujungnya mengancam keutuhan NKRI. Oleh karena itu diperlukan upaya komprehensif untuk mengatasi disparitas spasial melalui sinergitas berbagai disiplin ilmu, termasuk pendekatan ilmu geografi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan tingkat nasional dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pemecahan masalah disparitas spasial yang terjadi di wilayah NKRI saat ini. Sedangkan tujuannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pendekatan yang digunakan bersifat deskriptif-analisis, berdasarkan studi kepustakaan yang terkait. Adapun pendekatan dilakukan melalui ilmu geografi yang berintikan analisis interaksi faktor-faktor geosfer dari sudut pandang keruangan, kewilayahan dan kelingkungan. 8.2. Kondisi Saat Ini Sekalipun kesenjangan spasial atau disparitas spasial merupakan suatu realita yang sulit untuk dihindari, namun kondisi disparitas spasial yang ekstrim tentu tidak akan menguntungkan bagi keberlanjutan/eksistensi suatu negara. Disparitas spasial dalam tingkat kesejahteraan antar negara juga terjadi dalam planet bumi ini. Masyarakat global, terutama negara-negara maju, juga semakin menyadari bahwa mereka tidak ingin menjadi negara yang menikmati sendiri kesejahteraannya, sementara banyak negara yang sedang berkembang masih bergelut dengan kemiskinan. Oleh karena itu dalam berbagai forum global 96 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 96 13-Jan-15 12:18:42 PM

dicetuskan berbagai gagasan dan program untuk mengurangi kesenjangan antara negara kaya dan miskin. Membiarkan kemiskinan negara berkembang (developing country) pada hakekatnya dianggap ancaman bagi negara-negara kaya (developed country). Oleh karena itu kesepakan dan program seperti MDG, Rio+20 dlsb. selalu memasukkan kesepakatan global untuk memerangi kemiskinan. Berbagai instrumen dan indikator yang standar digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu negara. Berbagai organisasi dunia seperti World Bank, IMF, UNEP melakukan berbagai pemetaan untuk mengetahui posisi pembangunan ekonomi, kesehatan, pendidikan, ketersediaan infrastruktur, lingkungan,, dlsb. dari setiap negara anggotanya secara periodik. Dari hasil pemetaan itu masing-2 negara akan dapat melihat pada urutan berapa posisi relatifnya dibandingkan negara lain. Demikian juga secara absolut dapat diketahui sejauh mana skor/nilai yang telah dicapai. Apakah di bawah atau di atas nilai rata- 2 seluruh negara yang telah di survei. Hasil laporan dari badan dunia tersebut merupakan bahan yang sangat berguna untuk pertimbangan suatu negara melakukan koreksi kebijakan dan sekaligus meningkatkan pembangunan bagi kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, disparitas spasial yang terjadi di Indonesia bisa dilihat berdasarkan data-data statistik dari beberapa indikator terkait yang mencerminkan perbandingan tingkat kesejahteraan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Dalam bab pendahuluan telah disinggung P. Jawa yang luasnya sekitar 7% dari total luas wilayah NKRI ternyata menyumbang 57,5% terhadap PDB nasional. Sementara wilayah Papua yang luasnya beberapa kali P.Jawa dan kaya raya dengan sumber daya alam, hanya menyumbang 2,2% terhadap PDB nasional. Lebih memprihatinkan lagi IPM provinsi Papua yaitu hanya 64,94, terendah dari semua provinsi di Indonesia. IPM rata-rata nasional 72,72, sedangkan di provinsi DKI nilai IPMnya 77,60. Permasalahan disparitas spasial ini jika tidak ditangani secara serius akan menimbulkan komplikasi yang semakin sulit diatasi. Komplikasi permasalahan tidak sekedar masalah ekonomi, tetapi akan merembet ke aspek-aspek lainnya seperti sosial, politik, hankam. Masih segar dalam ingatan kita, berbagai wilayah NKRI yang ingin memisahkan diri pada intinya disebabkan oleh adanya kesenjangan antar wilayah baik dalam hal intensitas pembangunan ekonomi maupun upaya-upaya peningkatan kesejahteraan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, aktualisasi peran masyarakat, dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini sering juga terjadi konflik horizontal yang dipicu adanya perselisihan kepemilikan lahan. Kita juga masih mencatat, kehidupan rakyat di pulau-pulau terluar, wilayah perbatasan antar negara, di pedalaman pulau- pulau besar masih memprihatinkan. Sementara untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar perkembangannya begitu pesat dan begitu modern karena ditunjang dengan infrastruktur yang lengkap. Kota-kota besar ini menjadi daya tarik dan tujuan mereka berimigrasi. Tidak Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 97 Bagian III (buku NKRI).indd 97 13-Jan-15 12:18:42 PM

Gambar 8.1. Peta Indeks Pembangunan Manusia (%) Level Provinsi Indonesia 98 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 98 13-Jan-15 12:18:42 PM

mengherankan bahwa bagi sebagian masyarakat pedesaan, urbanisasi ke kota- kota besar ini menjadi impiannya. Akibat yang ditimbulkan adalah semakin menurunnya daya dukung kota-kota besar tersebut. Berdasarkan teori spread effect dan backwash effect, terjadi pergerakan besar orang-orang yang memiliki kualitas baik (brain drain) dari wilayah yang kurang berkembang ke wilayah yang lebih maju (Sirojuzilam, 2009). Kondisi ketimpangan juga nampak pada tingkat mutu pendidikan, kualitas pelayanan kesehatan. Politik pembangunan selama ini belum berhasil mengurangi disparitas spasial yang begitu tajam antara Jawa dan luar Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, antara dimensi darat dan dimensi laut/maritim. Kondisi disparitas spasial yang tajam harus segera dicarikan jalan keluar. Harus diakui juga bahwa pembangunan selama ini telah meningkatkan jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 40%. Menurut ADB kelas menengah di negara berkembang Asia didefinisikan sebagai mereka yang berpengeluaran 2-20 dolar AS/kapita/hari. Dari data tahun 2009, berdasarkan pengeluaran per kapita per hari, struktur masyarakat Indonesia terdiri dari : kelompok atas sebanyak 0,17 % (pengeluaran ≥ 20 dolar AS), menengah atas 0,96% (10-20 dolar AS), menengah antara 9,70% (4-10 dolar AS), menengah bawah 29,93% (2-4 dolar AS), dan miskin 59,24% (≤ 2 dolar AS). Sekalipun pertumbuhan kelompok menengah meningkat, yang bermakna tingkat kesejahteraan rakyat secara nasional semakin baik, namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa, kantong- kantong kemiskinan masih banyak dijumpai baik di Jawa maupun luar Jawa. 8.3. Kondisi yang Diharapkan Melihat kesenjangan spasial yang begitu tajam antar wilayah tersebut, perlu dicari jalan keluar baik pada tataran politik pembangunan, kebijaksanaan makro, strategi, maupun program-program yang lebih memperhatikan keseimbangan spasial. Ketidak seimbangan pembangunan ekonomi antar wilayah telah menciptakan ketimpangan tingkat kesejahteraan antar wilayah. Ketersediaan sumber-sumber ekonomi dan tingkat kemudahan mengakses sumber-sumber ekonomi tersebut di setiap daerah merupakan pra syarat terselenggaranya kegiatan ekonomi yang berkesinambungan dan berkeadilan. Pada hakekatnya setiap daerah mempunyai sumber-sumber ekonomi yang bisa diolah dan memberikan nilai tambah sesuai potensi dan karakteristik geografisnya. Namun selama ini kemampuan untuk mengakses dan mengolahnya terbentur pada beberapa faktor antara lain keterbatasan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, keterbatasan modal, dan berbagai kelembagaan yang menjadi katalisator untuk membangun sinergitas berbagai faktor tersebut. Peran pemerintah untuk menyediakan infrastruktur secara memadai di setiap daerah merupakan faktor utama baik untuk keperluan pembangunan ekonomi maupun yang terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Ketidak mampuan membangun infrastruktur secara merata di seluruh wilayah Indonesia, menjadi penyebab utama tajamnya disparitas spasial Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 99 Bagian III (buku NKRI).indd 99 13-Jan-15 12:18:42 PM

antar wilayah. Apalagi kalau kita sadari bahwa bentuk fisik wilayah NKRI bukan berbentuk wilayah yang kompak. Wilayah indonesia terserak dalam bentuk kepulauan yang berjumlah 13.466 (sesuai yang didaftarkan ke PBB pada akhir Juli 2012) dengan ukuran pulau yang besar dan kecil. Kondisi geografis tersebut di satu sisi menguntungkan, namun di sisi lain mengandung konsekwensi yang berat dan mahal untuk menjaga keutuhannya. Penyediaan infrastruktur di Indonesia yang 75% nya wilayah laut selama ini kurang mendapat perhatian. Pembangunan infrastruktur lebih diutamakan di wilayah darat, dan itupun porsi terbesar di Pulau Jawa. Oleh karena itu tidak mengherankan aktifitas ekonomi antar pulau di luar Jawa, terutama di bagian timur Indonesia tidak sebesar di bagian barat Indonesia. Disparitas pengamanan antara wilayah laut dan darat perlu juga dicarikan jalan keluar, agar berbagai pencurian sumber daya perikanan dan penyelundupan barang-barang ilegal yang merugikan negara dapat ditekan seminimal mungkin. Anggapan-anggapan yang terkesan logis namun sebetulnya keliru secara mendasar harus dikoreksi. Anggapan tersebut misalnya: tingkat kesejahteraan daerah yang kaya sumber daya alam harus lebih tinggi dengan daerah yang miskin akan sumber daya alam; wilayah perbatasan, pulau terluar, dan daerah yang karena sulit secara geografis ditempatkan dalam prioritas rendah untuk dikembangkan. Anggapan semacam ini tentu akan memperlebar disparitas spasial dan jika ditarik lebih tinggi, pandangan tersebut bertentangan dengan tujuan kita bernegara. Indikator kontribusi per pulau terhadap PDB nasional yang masih begitu timpang ke depan harus ada upaya sungguh-sungguh, kongkrit, dan terencana untuk semakin seimbang antar wilayah. Salah satu upaya sentral adalah adanya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi secara merata di semua wilayah dan peningkatan kemampuan SDM dengan berbagai aspek kehidupannya. Sejauh ini melalui RPJMN 2010-2014 telah digariskan kebijakan nasional untuk mengurangi ketimpangan spasial melalui berbagai strategi dan program pembangunan kewilayahan. Berdasarkan arahan umum pembangunan wilayah RPJMN 2005- 2025, dan prioritas dalam RPJMN 2010-2014, maka arah pengembangan wilayah ditujukan untuk : 1. Mendorong terwujudnya kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan secara adil dan merata di seluruh wilayah; 2. Mendorong pengembangan dan pemerataan pembangunan wilayah secara terpadu sebagai kesatuan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan memperhatikan potensi, karakteristik dan daya dukung lingkungannya; 3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya dalam satu ekosistem pulau dan perairannya; 4. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah darat, laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil dalam satu kesatuan wilayah kepulauan, 5. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan lintas 100 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 100 13-Jan-15 12:18:42 PM

sektor dan lintas wilayah yang konsisten dengan kebijakan nasional; 6. Memulihkan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan pembangunan; 7. Menciptakan kesatuan dan keutuhan wilayah darat, laut, dan udara sebagai bagian dari nkri; 8. Mengurangi gangguan keamanan; 9. Menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainya indonesia yang maju, mandiri, dan adil. 8.4. Analisis Disparitas Spasial 8.4.1. Pengertian Disparitas Spasial Banyak pengertian atau terminologi apa yang disebut dengan disparitas spasial. Jika kita pisahkan kata disparitas (disparities) dan spasial (spatial) maka beberapa terminologi dapat kita simak berikut ini. Dalam tulisan Alois Kutscherauer at al. (2010) yang berjudul “Regional Disparities in Regional Development of The Czech Republic”, pengertian disparity: (1) inequality or disproportion of different phenomena, (2)unlikeness, incongruity, (3) dissimilarity. Sementara itu terminologi spatial yang diambil dari beberapa ensiklopedia/ kamus: (1) relating to, occupying, or having the character of space, (2) pertaining to or involving or having the nature of space. Pengertian spasial selalu diikuti dengan dimensi ukuran seperti lebar, tinggi, panjang. Dalam UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, yang dimaksud dengan spasial adalah aspek keruangan suatu obyek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. Selanjutnya masih mengacu pada tulisan Alois Kutscherauer di atas, pengertian disparitas spasial diartikan sama dengan disparitas regional (regional disparities). Menurut ILO, regional disparities: differences between economic performance and welfare between countries or regions. Sedangkan menurut OECD (2002,2003) Regional (spatial) disparities: express the scope of difference of intensity manifestation of economic phenomena under investigation observed within regions of given country. Territorial disparity indicates the scope the intensity of given economic phenomena differs to between regions within given country. Terminologi disparitas spasial (wilayah) baik dari ILO maupun OECD tersebut lebih fokus pada fenomena ekonomi semata. Pada hal disparitas spasial realitanya menyangkut berbagai aspek lainnya seperti sosial, politik, lingkungan dlsb. Sangat mungkin di suatu negara yang tingkat pemerataan pembangunan ekonominya sudah baik sehingga kesenjangan antar wilayah kecil, belum menjamin kondisi sosial politik antar wilayah stabil. Oleh karena itu terminologi diparitas spatial atau regional (spatial) disparity dalam kajian yang terkait dengan ilmu geografi yang lebih cocok adalah terminologi yang disampaikan oleh Karin Vorauer (2007). Menurut dia “Regional disparity means unbalanced spatial structures in some region or in different regions”. Selanjutnya dikatakan Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 101 Bagian III (buku NKRI).indd 101 13-Jan-15 12:18:42 PM

bahwa “Regional disparities are manifested in different conditions of life as well as in unequel economic and development potential. Contrast between city and rural area can be also understood as a form of spatial disparity”. Dari terminologi terakhir ini jelas disebutkan bahwa disparitas spasial atau disparitas wilayah pada dasarnya terjadi karena adanya struktur spasial yang tidak seimbang di beberapa wilayah yang berbeda. Manifestasinya nampak pada adanya perbedaan kondisi kehidupan masyarakat, termasuk juga ketidak seimbangan potensi ekonomi dan pembangunan. Kondisi disparitas spasial yang sangat tidak seimbang antara wilayah satu dan wilayah lainnya menyebabkan lemahnya kohesi antar anggota masyarakat. Disparitas wilayah dapat diklasifikasikan dalam 2 perspektif yaitu perspektif vertikal dan perspektif horizontal. Perspektif vertikal yaitu kesenjangan wilayah berdasarkan perbedaan satuan wilayah geografi tertentu atau perbedaan teritori. Sebagai contoh disparitas wilayah global, regional negara, wilayah, kota. Disparitas wilayah dalam perspektif horizontal berkaitan dengan dimensi sfera dimana subyek disparitas tersebut terjadi. Dalam perspektif horizontal disparitas bisa tangible maupun intangible. Perspektif horizontal ini misalnya berkaitan dengan kondisi sosial ( antara lain: penduduk, infrastruktur sosial, patologi sosial); ekonomi (antara lain: kinerja ekonomi, struktur ekonomi, potensi pembangunan); wilayah (antara lain: potensi kondisi fisik geografi, lingkungan hidup, infrastruktur fisik). Identifikasi dan pengukuran kondisi disparitas wilayah merupakan langkah mendasar untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan upaya mengurangi atau menghapuskan disparitas tersebut. 8.4.2. Evaluasi Disparitas Spasial Membicarakan disparitas spasial tidak bisa dilepaskan dari masalah kesejahteraan, kemiskinan dan keadilan. Kemiskinan merupakan suatu hal yang mutlak untuk diperangi oleh setiap negara apapun idiologinya. Setiap negara selalu menempatkan kesejahteraan rakyatnya sebagai tujuan utamanya untuk bernegara. Realitanya adalah mengapa ada negara yang sejahtera dan tidak sejahtera, atau setidaknya terlalu lamban untuk menggapai kesejahteraan ? Tentu masing-masing negara mempunyai alasan yang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari beberapa negara miskin seperti di Sub-Sahara Arika, Amerika Tengah, dan Asia Selatan diidentifikasi ada beberapa permasalahan yang menjadi penyebabnya yaitu: tidak berfungsinya mekanisme pasar, penduduk yang rendah tingkat pendidikannya, mesin dan teknologi yang sudah usang dan bahkan tidak ada. Namun hal-hal tersebut bukanlah penyebab yang paling mendasar. Penyebab yang paling mendasar dalam pencapaian tingkat kesejahteraan suatu negara adalah aspek geografi dan institusi (Acemoglu D, Johson S, dan Robinson J, 2003). Kalangan yang bersepakat bahwa faktor geografi adalah penyebab pertama adanya disparitas kesejahteraan mengatakan bahwa kondisi geografi, iklim, dan ekologi akan membentuk karakteristik teknologi 102 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 102 13-Jan-15 12:18:42 PM

dan motivasi dari penduduk di suatu wilayah. Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi semangat kerja dan produktifitas. Pada wilayah tropis yang mempunyai temperatur tinggi akan menguras energi , sehingga akan mengurangi produktifitasnya. Dalam hal produktifitas pertanian perbedaan iklim daerah tropis dan sub tropis juga berbeda. Daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan tingkat erosi yang tinggi sehingga akan menurunkan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan daerah sub tropis adanya salju akan melindungi tanah dari erosi, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga. Disamping itu temperatur yang tidak terlalu tinggi di daerah sub tropis menyebabkan energi dalam tubuh manusia tidak mudah terkuras, sehingga produktifitasnya tinggi. Faktor kelembaban yang tinggi di daerah tropis menyebabkan berbagai penyakit yang disebabkan bakteri, jamur, dan virus lebih mudah berkembang dibandingkan daerah sub tropis. Sebagai contoh penyakit malaria yang ditularkan oleh nyamuk mendominasi negara-negara di wilayah tropis seperti Sub Sahara Afrika, Asia Selatan, Amerika Tengah dan negara-negara lain sekitar katulistiwa. Pandangan yang bersepakat bahwa faktor geografi adalah faktor penentu pertama tingkat kesejahteraan suatu negara memberikan bukti dengan peta dunia tentang sebaran kemiskinan. Jika dilihat pada peta dunia ternyata wilayah termiskin di dunia berada hampir semuanya berada di dekat katulistiwa, dengan temperatur tinggi, dan secara periodik terjadi hujan yang lebat. Sedangkan negara-negara kaya/tingkat kesejahteraan tinggi berada di daerah sub tropis. Kalau hipotesis geografi menekankan “kekuatan alam” sebagai faktor primer dalam membentuk kemiskinan/kesejahteraan suatu negara, hipotesis institusi menekankan pengaruh “karya manusia” sebagai faktor primernya. Hipotesis institusi ini berpandangan bahwa faktor primer untuk menjadi negara yang sejahtera adalah, adanya kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir untuk mendukung peraturan/regulasi yang ada (institusi yang baik); mendorong investasi mesin dan peralatan, investasi SDM, teknologi; fasilitasi secara luas kepada setiap warga negara untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik; dan dukungan terhadap berfungsinya transaksi pasar. Hipotesis institusi juga mempunyai bukti bahwa sekalipun secara geografis sama, tetapi karena perbedaan mengelola negara (perbedaan institusi) ternyata menghasilkan tingkat kesejahteraan yang berbeda. Sebagai contoh Korea Utara dengan Korea Selatan. Contoh lain adalah Singapura yang lokasi geografisnya berada di dekat katulistiwa, merupakan daerah tropis, tetapi karena dikelola dengan institusi yang baik mencapai kesejahteraan yang tinggi dan tidak kalah dengan negara- negara sub tropis. Bagi Indonesia yang terletak di wilayah katulistiwa dan termasuk daerah tropis, tentu saja pengaruh faktor geografi tidak bisa dinafikkan akan menjadi faktor yang tidak menguntungkan dalam mengejar kemakmuran/kesejahteraan. Namun faktor geografi, khususnya yang tidak menguntungkan tersebut perlu Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 103 Bagian III (buku NKRI).indd 103 13-Jan-15 12:18:42 PM

Gambar 8.2. Peta Persentase Kontribusi Pulau Terhadap Produk Domestik Brutto (PDB) Nasional 104 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 104 13-Jan-15 12:18:42 PM

diatasi dengan membangun institusi yang baik di semua sektor dan tingkatan wilayah. Untuk faktor geografi yang menguntungkan dipadukan dengan berbagai institusi yang baik tentu akan menjadi kekuatan yang sangat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga tidak bisa disangkal pada saat ini masih terjadi perbedaan yang mencolok yang berkaitan dengan kondisi kehidupan masyarakat antar wilayah satu dengan wilayah lain. Indikator perbedaan kondisi kehidupan bisa diukur dari tingkat kemakmuran secara ekonomi, kemudahan akses memperoleh air bersih, pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, transportasi dlsb. Terjadi ketimpangan yang cukup lebar antara P. Jawa dan luar Jawa, antara Kota dan Desa, antara daerah perbatasan dan wilayah non perbatasan, antara pulau besar dan pulau kecil. Hal tersebut merupakan gambaran adanya disparitas spasial yang tajam antar wilayah. Disparitas tersebut terrefleksi dari kontribusi masing-masing wilayah/pulau terhadap PDB nasional. Dari data yang ada, setidaknya dalam kurun waktu tahun 2006 - Agustus 2012 (sekitar 6 tahun) ternyata disparitas spasial belum mengalami perubahan yang signifikan. Berdasarkan data BPS yang diolah di bawah ini dapat dilihat tabel tentang luas daratan masing-masing pulau-pulau besar, % luas masing-masing pulau besar terhadap luas total daratan, dan kontribusi masing-masing pulau besar terhadap PDB nasional per triwulan II tahun 2012. Total wilayah daratan Indonesia sesuai data BPS (2006) adalah 1.910.931, 32 km². Tabel 9. 1. Pulau Besar, Luas Daratan, % Luas, dan Kontribusi Terhadap PDB Nasional Kontribusi terhadap % luas terhadap Luas daratan PDB Nasional Pulau wilayah (dalam km²) (per Triwulan II darat Indonesia 2012) 1. Sumatera 480.793,28 25,16 23,6 2. Jawa 129.438,28 6,77 57,5 3. Bali , NTB, NTT 73.070,48 3,82 2,4 4. Kalimantan 544.150,07 28,47 9,5 5. Sulawesi 188.522,36 9,86 4,8 6. Maluku & Papua 494.956.85 25,90 2,2 Sumber : Data BPS yang diolah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kontribusi wilayah Sumatera dan Jawa yang luasnya hampir 32% memberikan sumbangan terhadap PDB nasional sebesar 81,1% dari PDB nasional. Sementara wilayah Indonesia yaitu Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang merupakan 78% wilayah Indonesia hanya menyumbang sekitar 18 % terhadap PDB nasional. Bahkan jika kita simak lebih lanjut untuk Maluku dan Papua yang luasnya mencapai lebih Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 105 Bagian III (buku NKRI).indd 105 13-Jan-15 12:18:42 PM

dari 25% dari total wilayah darat Indonesia ternyata hanya mengkontribusi 2,2% dari PDB nasional. Dari tabel tersebut sangat jelas bahwa ketimpangan antara Jawa dan Sumatera di satu pihak, dengan luar Jawa dan Sumatera di lain pihak terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi. Jika dibandingkan data BPS tahun 2006 mengenai penguasaan PDRB(Produk Domestik Regional Bruto) provinsi Jawa dan Bali menguasai 61%, Sumatera 22,2%, Kalimantan 9,3%, Sulawesi 4,2%, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 3,3% (Saputra.E, 2009). Data ini menunjukkan bahwa ketimpangan spasial yang begitu tajam antar Jawa dan Sumatera di satu pihak dengan pulau lainnya belum mengalami perubahan yang berarti selama kurun waktu 6 tahun (2006-2012). Ketimpangan kesejahteraan yang besar antar wilayah akan menjadi potensi yang akan merenggangkan kohesifitas masyarakat dalam suatu negara. Kohesifitas masyarakat yang rendah jika bertautan dengan aspek-aspek yang bersifat sentimen negatif bernuansa SARA akan menjadi sumber konflik sosial baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Hal tersebut sering kita saksikan akhir-akhir ini, dan tentu saja akan kontra produktif bagi semua pihak dan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana kita ketahui PDB merupakan nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu wilayah tertentu (dalam hal ini Indonesia) dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Sekalipun secara teori PDB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan, namun karena pendekatan pengeluaran lebih mudah menghitungnya maka perhitungan PDB pada umumnya dilakukan dengan pendekatan pengeluaran. Secara sederhana rumus PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor-impor). Konsumsi adalah pengeluaran oleh rumah tangga, investasi oleh sektor swasta, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. APBN yang dirancang oleh pemerintah dan legislatif setiap tahunnya adalah pengeluaran pemerintah. Pada tahun 2012 besarnya APBN-P adalah 1.548,3 trilyun rupiah, dan 2013 direncanakan sebesar 1.657,9 trilyun rupiah atau naik sekitar 7,1%. Secara umum fungsi APBN untuk memberikan stimulus bagi pembangunan ekonomi. Sejauh ini APBN mengkontribusi sekitar 20% PDB nasional. Oleh karena itu pemilihan program-program yang dibiayai oleh APBN seharusnya dipilih secara cermat agar mempunyai fungsi menstimulasi kegiatan ekonomi dan pelayanan publik yang semakin baik. Namun kenyataannya 79% anggaran dalam RAPBN 2013 tersedot untuk belanja wajib seperti belanja pegawai dan subsidi energi. Sedangkan belanja tak wajib tinggal 21% (Menkeu RI, 2012). Belanja tak wajib sebesar 21 % dari RAPBN 2013 inilah yang diharapkan dimanfaatkan untuk belanja modal dan barang seperti membangun infrastruktur. Tahun 2012 APBN-P untuk infrastruktur Rp. 174,7 trilyun dan RAPBN 2013 sebesar Rp. 188,4 trilyun atau naik 7%. Tentu uang sejumlah ini daya stimulannya terlalu kecil. Politik anggaran yang memberikan kewenangan anggaran kepada daerah otonom yang semakin 106 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 106 13-Jan-15 12:18:42 PM

besar jumlahnya ternyata juga belum mampu secara signifikan mengurangi disparitas spasial yang begitu tajam. Sejauh ini sekitar 30% dari APBN di transfer ke daerah untuk dikelola masing-masing daerah otonom untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Namun harus diakui trasfer uang tersebut belum optimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketimpangan spasial juga nampak pada ketersediaan infrastruktur yang menjadi faktor kunci keberhasilan Indonesia dalam mensejahterakan rakyatnya dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terdiri dari 13.466 pulau, dimana 75%nya adalah wilayah laut, dan jumlah penduduknya sekitar 237 juta orang. Baik kualitas dan panjang jalan sejauh ini tidak memadai dengan tingkat kebutuhan. Demikian juga infrastruktur lain seperti terminal bis, pelabuhan udara, pelabuhan laut, saluran irigasi, saluran air bersih, dlsb kurang memadai dan sebaran spasialnya sangat timpang. Di Jawapun dirasakan tidak memadai apalagi di luar Jawa dan pulau-pulau kecil. Peran infrastruktur adalah penggerak utama segala aktifitas manusia baik yang bernilai ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, keamanan/pertahanan dlsb. Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan seharusnya anggaran untuk penyediaan infrastruktur proporsinya terhadap PDB lebih besar dibandingkan berbagai negara yang wujud wilayahnya relatif kompak seperti Malaysia, Thailand. Namun kenyataannya penyediaan anggaran untuk infrastruktur di Indonesia sangat kecil. Tabel di bawah ini menunjukkan hal tersebut. Tabel 9. 2. Tabel Rasio Anggaran Infrastruktur Terhadap PDB Beberapa Negara Data Tahun 2012 Negara Ratio (%) 1. Indonesia 2,1 2. China 9 3. India 8 4. Vietnam 10 5. Filipina 3 Sumber : Litbang “Kompas”/GI, diolah dari KemKeu dan pemberitaan media Data tersebut menunjukkan rendahnya proporsi anggaran infrastruktur Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara. India, Cina, dan Vietnam yang cukup tinggi menyediakan biaya untuk infrastrukturnya ternyata berkorelasi dengan pertumbuhan ekonominya yang juga tinggi. Ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur yang baik akan menumbuhkan dan juga menjaga momentum investasi dalam Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 107 Bagian III (buku NKRI).indd 107 13-Jan-15 12:18:42 PM

berbagai sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, industri, pariwisata, perdagangan, jasa, dan lain sebagainya. Dari sisi upaya memperkokoh ikatan antar kelompok masyarakat untuk menegakkan bangunan negara NKRI, faktor infrastruktur adalah mutlak. Berbagai negara yang maju dan kaya ciri utama yang langsung kita bisa lihat adalah tersedianya jalan, pelabuhan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi dan infrastruktur lainnya yang bisa menjangkau seluruh pelosok wilayah negara tersebut. Keterbatasan dan ketimpangan sebaran infrastruktur antar wilayah di Indonesia perlu dicarikan terobosan yang betul-betul mampu mengatasi ketertinggalan ketersediaan infrastruktur selama ini. Kondisi geografis yang sulit di suatu wilayah mestinya tidak bisa dijadikan alasan lagi sebagai pembenaran bahwa infrastruktur yang ada belum memadai dan belum tersebar secara merata di berbagai pelosok tanah air. Politik pembangunan yang ada selama ini ternyata belum mampu menerjemahkan hakekat dari NKRI sebagai negara kepulauan yang kondisi geografisnya harus dijembatani dengan berbagai infrastruktur yang memadai. Hal tersebut membuktikan bahwa kesadaran geografis para pengambil kebijakan masih perlu terus ditingkatkan. Infrastruktur merupakan salah satu faktor untuk mengukur Indeks Daya Saing Global. Berdasarkan Indeks Daya Saing Global yang dilaporkan Forum Ekonomi Dunia bulan September 2012 posisi Indonesia pada peringkat 50 dari 144 negara. Tahun lalu (2011) Indonesia pada posisi 46, dengan demikian peringkat Indonesia saat ini turun 4 tingkat. Indeks Daya Saing Global memiliki 3 sub indeks yaitu : persyaratan dasar, pendorong efisiensi, serta faktor-faktor inovasi dan kecanggihan. Pengukuran menggunakan 12 pilar. Disamping peningkatan pendapatan per kapita nasional yang saat ini telah mencapai sekitar US$ 3.500 /orang/tahun dan meningkatnya kelompok menengah sebagaimana disampaikan sebelumnya, data BPS menunjukkan masih adanya penduduk miskin di berbagai wilayah indonesia. Prosentase sebaran penduduk miskin inipun juga mengalami kesenjangan yang timpang. Penduduk miskin di daerah kota 8,78%, sedangkan desa 15,12%. Penduduk miskin di Jawa 11,7%, sedangkan di Maluku dan Papua lebih dari dua kalinya yaitu 24,77%. Data BPS yang diolah dari data Susenas Maret 2012 tentang jumlah dan prosentase penduduk miskin menurut pulau dapat dilihat dalam tabel 9.3 berikut ini. 108 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 108 13-Jan-15 12:18:42 PM

Tabel 9. 3. Tabel Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Pulau Maret 2012 Pulau Penduduk Miskin % 1. Sumatra 6.300.870 12,07 2. Jawa 16.107.200 11,57 3. Bali dan Nusa Tenggara 2.033.940 15,11 4. Kalimantan 954.570 6,69 5. Sulawesi 2.097.240 11,78 6. Maluku dan Papua 1.638.600 24,77 Indonesia 29.132.420 Sumber : BPS (diolah dari data Susenas Maret 2012) Kelompok penduduk miskin diatas yang berjumlah 29.132.420 orang merupakan 11,96% dari total jumlah penduduk Indonesia. Pengertian miskin yang digunakan adalah penduduk yang berpenghasilan ≤ dari US$ 1 per hari/ orang. Dengan demikian kalau kriteria miskin misalnya penduduk yang yang mempunyai penghasilan ≤ dari US$ 2 per hari/orang tentu saja jumlah penduduk miskin akan meningkat drastis. 8.5. Kebijakan Mengatasi Disparitas Spasial Disparitas spasial yang timpang selain tidak sejalan dengan salah satu tujuan bernegara yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”, juga sangat berpotensi menjadi faktor disintegrasi NKRI. Sejarah perjalanan negara Indonesia selama 67 tahun tidak henti-hentinya didera dengan permasalahan-permasalahan politik dan sosial yang jika dirunut dari hulu permasalahan tidak bisa lepas dari persoalan ketimpangan spasial antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, antara pengelolaan sumber daya alam di darat dan laut dlsb. Dari gerakan politik dan pembrontakan seperti Republik Maluku Selatan, PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, Organisai Papua Merdeka, dan juga konflik-konflik horizontal akibat sengketa lahan yang intensitas dan magnitudenya meningkat akhir-akhir ini menunjukkan bahwa disparitas spasial yang begitu timpang antar wilayah memicu rasa keadilan sosial yang menjadi sendi utama kita bernegara. Kita bersyukur bahwa berbagai permasalahan tersebut satu persatu dapat diatasi, sekalipun akar permasalahannya belum dapat terselesaikan dengan tuntas. Hal ini terbukti dengan masih adanya gagasan maupun gerakan dari sekelompok orang yang bernuansa untuk memisahkan diri dari NKRI. Tanpa menafikan aspek-aspek lainnya, aspek disparitas spasial yang sangat timpang merupakan masalah kunci yang harus dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi disparitas spasial yang timpang tersebut, beberapa saran yang bersifat kebijakan nasional kami sampaikan sebagai berikut: Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 109 Bagian III (buku NKRI).indd 109 13-Jan-15 12:18:42 PM

8.5.1. Politik Pembangunan Pro Spasial Wilayah Indonesia yang begitu luas dengan kebhinekaan kondisi geografisnya harus disadari oleh para pengambil keputusan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kondisi wilayah yang terdiri dari sekitar 13.466 pulau, 75% merupakan wilayah laut, terletak pada jalur yang potensial gempa namun kaya akan sumber daya alam, sebaran penduduk tidak merata dlsb. seharusnya diikuti dengan pola dasar pembangunan wilayah yang mencakup seluruh tumpah darah Indonesia dimanapun penduduk bermukim. Disinilah sebetulnya perlunya Politik Pembangunan yang pro spasial. Pola pembangunan antar Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan pulau- pulau kecil lainnya harus jelas arah dan keterkaitannya satu dengan lainnya. Pola pembangunan antar pulau tersebut juga harus jelas visi dan misinya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat NKRI dimanapun mereka bermukim. Politik pembangunan ke depan selain meningkatkan PDB juga harus dibarengi dengan sasaran kuantitatif untuk mengurangi ketimpangan spasial. Misalnya rasio dalam hal kontribusi PDB nasional antara Jawa dan Sumatera dengan pulau- pulau lainnya dalam 10 tahun ke depan menjadi 60:40. Politik pembangunan ke depan harus bisa mengantarkan pada kondisi dimana disparitas spasial antar pulau kesenjangannya semakin menipis. Jangan seperti sekarang ini peran Sumatera dan Jawa begitu dominan, yaitu mengkontribusi hampir 80% dari PDB nasional, padahal luas wilayah daratnya hanya sekitar 32%. Dimensi politik pembangunan ke depan ( seharusnya bisa dimulai 2014 yaitu RPJMN III) tidak cukup hanya pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment, tetapi harus ditambah satu dimensi lagi yaitu pro spatial. Dibutuhkan peletakan sistem politik yang kondusif sehingga setiap rezim pemerintahan yang terbentuk secara demokratis, secara berkesinambungan tetap bisa menjamin pola dasar pembangunan nasional yang pro spatial. Adanya wacana perlunya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai payung besar pembangunan negara yang bervisi ke depan, berkesinambungan dan menjangkau waktu setidaknya dalam 25 tahun perlu mendapat perhatian para pengambil keputusan nasional. Dengan demikian setiap Presiden terpilih dari manapun aspirasi politiknya tetap tunduk pada GBHN tersebut. 8.5.2. Peningkatan Pembangunan Infrastruktur Infrastruktur adalah penggerak utama mobilisasi modal, barang, manusia dengan segala aktifitasnya. Pemerataan ketersediaan infrastruktur yang berupa jalan, pelabuhan, bandara, listrik, telpon, saluran irigasi, waduk meupakan faktor kunci untuk mengatasi disparitas spasial yang begitu timpang selama ini. Keterbatasan anggaran infrastruktur dalam APBN selama ini telah memerangkap sehinga terjadi stagnasi dalam pembangunan infrastruktur. Diperlukan upaya- upaya yang kreatif yang bersifat terobosan untuk mengatasi keterbatasan dana pembangunan infrastruktur. Disparitas spasial dalam pembangunan 110 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 110 13-Jan-15 12:18:42 PM

infrastruktur tidak saja terjadi di wilayah darat, tetapi juga infrastruktur di wilayah laut. Keterbatasan infrastruktur wilayah laut menyebabkan berbagai komoditas pertanian dan perikanan yang melimpah dihasilkan di berbagai pulau terbengkalai dan akhirnya tidak bernilai ekonomi lagi. Kebijakan nasional yang terkait dengan kelembagaan, pendanaan, dan pengelolaan infrastruktur perlu dibenahi dan disesuaikan agar upaya mempercepat ketersediaan infrastruktur terutama di daerah-daerah terpencil seperti pulau-pulau terluar, wilayah perbatasan, dan daerah-daerah pedalaman lebih cepat terealisir. 8.5.3. Ekoregion Basis Pengembangan Wilayah Sejauh ini politik pembangunan kita terlalu ekonomi-sentris. Politik pembangunan seperti itu ternyata memberikan dampak yang serius terhadap daya dukung dan daya tampung wilayah. Banyak wilayah pengembangan baik berupa kota, pusat industri, pusat pertambangan dan lain sebagainya menimbulkan beban wilayah yang yang begitu berat sehingga berakibat terjadinya polusi, kerusakan lingkungan di daerah hinterland, sulitnya memperoleh air bersih, dan lain sebagainya. Akibat-akibat negatif tersebut karena sejak awal pengembangan suatu wilayah tidak didasarkan pada informasi sejauh mana suatu wilayah mempunyai kemampuan daya dukung dan daya tampung. Pertimbangannya hanya sejauh memberikan keuntungan ekonomi maka dibangunlah suatu wilayah. Apalagi dalam era ekonomi yang sangat liberalistis saat ini, peran pemerintah seringkali terhanyut oleh kekuatan pemodal besar yang memang tujuannya yang terpenting adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Disinilah pemerintah dengan aparaturnya seharusnya berperan untuk menjaga kondisi dan fungsi lingkungan hidup agar tetap bisa berfungsi dengan baik bagi generasi mendatang. Bukankah akhir-akhir ini Presiden kita selalu menyampaikan bahwa pembangunan kita tidak saja harus pro growth, pro job, dan pro poor, tetapi juga pro environment? Bahkan Presiden SBY dalam pidatonya di KTT Rio+20 menyerukan perlunya dunia tidak menganut green economy, tetapi green economy yaitu pembangunan yang mendasarkan pada 3 pilar yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan demikian sudah waktunya Indonesia baik dalam tataran kebijakan maupun dalam implementasinya harus konsisten menggunakan pertimbangan dimensi lingkungan sebagai salah satu parameternya. Ekoregion sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 adalah wilayah geografis yang mempunyai kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 8.5.4. Peningkatan Peran Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan dari aspirasi daerah, termasuk bagaimana daerah yang diwakilinya tidak Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 111 Bagian III (buku NKRI).indd 111 13-Jan-15 12:18:42 PM

terlalu ketinggalan jauh tingkat kesejahteraannya dari wilayah-wilayah lain yang telah lebih maju pembangunannya. Memang harus diakui perjuangannya secara politik, misalnya dalam memperjuangkan suatu Undang-Undang masih terganjal masalah peraturan yang membatasi hak anggota DPD untuk ikut membahas suatu RUU. Namun dalam hal lainnya seperti memberikan masukan pengembangan suatu daerah atau antar daerah untuk mengurangi disparitas spasial seharusnya bisa lebih vokal dan efektif dibandingkan dengan anggota DPR yang mewakili parpol. Apalagi akses terhadap informasi kewilayahan baik bersifat spasial maupun non spasial dapat diperoleh dengan mudah dari daerah masing-masing. DPD belum menjadikan informasi kewilayahan sebagai alat yang powerful untuk mendukung tugas-tugasnya baik untuk menyampaikan sikap politik yang pro wilayah, usulan-usulan pengembangan wilayah di daerah, maupun evaluasi kritis terhadap kebijakan dan implementasi pengembangan wilayah yang saat ini menimbulkan disparitas spasial yang timpang. 8.5.5. Urgensi Informasi Geospasial Setiap pembangunan wilayah yang memanfaatkan berbagai sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengendaliannya, faktor ketersediaan informasi geospasial yang andal merupakan prasyarat. Wilayah yang belum/kurang dikembangkan seperti pulau-pulau terluar, wilayah perbatasan, dan lain sebagainya. pada umumnya berkorelasi langsung dengan keterbatasan informasi geospasial yang ada. Di sisi lain daerah yang telah berkembang jauh seperti Jawa atau daerah perkotaan justru dari waktu ke waktu informasi geospasialnya selalu dimutakhirkan dan didetailkan. Akibatnya pembangunan ekonomi dengan segala infrastrukturnya pada daerah-daerah padat pemukiman semakin cepat, sedangkan daerah pedalaman, pulau terluar, daerah perbatasan semakin tertinggal. Kondisi inilah yang menyebabkan disparitas spasial antar Jawa dan luar Jawa, antara Kota dan Desa, antara pulau besar dan pulau terluar, antara dimensi darat dan dimensi laut, dari waktu ke waktu semakin timpang. Dengan adanya Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, seharusnya BIG menjadi inisiator dan motor dalam memobilisasi kapasitas nasional yang terkait dengan penyelenggaraan informasi geospasial. Penyelenggaraan informasi geospasial nasional yang andal harus menjadi masukan pertama dan utama dalam merumuskan berbagai kebijakan yang terkait dengan pengembangan wilayah. Dalam kaitannya dengan mengurangi disparitas spasial peran BIG untuk memobilisasi adanya informasi spasial harus nyata, terukur, dan jelas indikatornya . Visualisasi yang menarik adanya disparitas spasial yang sangat timpang dalam wilayah nasional dan analisisnya yang akurat, serta kemungkinan pengembangan wilayah yang saat ini belum berkembang (terutama kawasan timur Indonesia) sesuai karakteristik geografisnya merupakan tantangan BIG 112 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 112 13-Jan-15 12:18:42 PM

dan sekaligus kontribusi yang berharga bagi upaya menjaga keutuhan NKRI. Visualisasi dalam wujud Peta Disparitas Spasial yang selalu dimutakhirkan akan menjadi salah satu informasi yang sangat berharga bagi legislatif dan eksekutif untuk mengkoreksi politik pembangunan selama ini yang tidak pro spasial. 8.6. Penutup Hari Ulang Tahun ke 67 Kemerdekaan Republik Indonesia baru saja kita peringati. Keberhasilan dari kemerdekaan yang direbut dengan segala pengorbanan oleh para pendahulu kita, patut kita syukuri. Bagi generasi penerus sudah seharusnya menyampaikan hormat dan terima kasih kepada para pendiri bangsa dan para pahlawan yang telah berjasa merebut kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekurangan dan capaian-capaian yang belum memenuhi cita-cita kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 perlu terus diperjuangkan oleh generasi penerus. Salah satu kekurangan yang perlu dicermati dan secara terpola serta terprogram untuk diatasi adalah adanya masalah disparitas spasial antar wilayah yang tajam. Ketimpangan yang tajam dalam dimensi spasial tentu saja akan menimbulkan berbagai komplikasi masalah yang mengancam keutuhan NKRI, karena akan mengusik salah satu pilar utama bernegara yaitu keadilan sosial. Data yang ada menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan spasial yang tajam dalam tingkat kesejahteraan masyarakat antara P. Jawa dan luar Jawa, Kota dan Desa, pulau besar dan pulau kecil. Hal ini terlihat dari pendapatan per kapita, ketersediaan infrastruktur, kualitas pelayanan publik, indek pembangunan manusia, sebaran penduduk kaya dan miskin dan lain sebagainya. Mengatasi masalah disparitas spasial tentu saja harus melalui pendekatan yang komprehensif dengan dukungan berbagai disiplin ilmu. Salah satu pendekatan dan disiplin ilmu yang dapat memberikan masukan adalah ilmu geografi. Pendekatan ini merekomendasikan beberapa masukan untuk mengatasi disparitas spasial antar wilayah yang terjadi sampai saat ini. Masukan yang disampaikan lebih difokuskan pada tataran kebijakan untuk mengatasi disparitas spasial yang begitu timpang. Beberapa masukan yang menurut penulis sangat penting untuk diperbaiki dalam kebijakan pembangunan wilayah selama ini adalah: reorientasi politik pembangunan yang lebih memihak pada pertimbangan spasial disamping dimensi lainnya yang telah lebih dahulu dijadikan pertimbangan. Hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah, peningkatan dan pemerataan penyediaan infrastruktur di seluruh pelosok tanah air, meningkatkan peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyambung lidah aspirasi daerah, digunakannya konsep ekoregion sebagai basis pertimbangan pembangunan wilayah, dan peyediaan serta pendayagunaan informasi geospasial dalam penyelenggaraan pembangunan wilayah. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 113 Bagian III (buku NKRI).indd 113 13-Jan-15 12:18:42 PM

Sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan dan komitmen global maka pembangunan wilayah dan antar wilayah harus mensinergikan 3 aspek yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu redistribusi pembangunan dan hasil-hasilnya di masa mendatang harus lebih mendapat perhatian, sehingga disparitas spasial yang tajam saat ini secara berangsur-angsur akan berkurang. 8.7. Daftar Pustaka Acemoglu D, Johnson S, Robinson D, 2003, Understanding Prosperity and Poverty: Geography, Institutions and The Reversal of Fortune, Quarterly Journal of Economics. Badan Pusat Statistik, 2011, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Katalog BPS : 3101015, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2012, Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th.XV, BPS 2 Juli 2012, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2012, Berita Resmi Statistik No. 54/08/Th.XV, BPS 6 Agustus 2012, Jakarta. Kartasasmita G, 1997, Mewujudkan Masyarakat Indonesia Masa Depan : Suatu Tinjauan Khusus Mengenai Pembangunan Daerah dan Peran Perguruan Tinggi, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke-15 Universitas Bengkulu, Bengkulu. Kompas, 2012, Daya Saing Indonesia, Harian Kompas, Jakarta. Kutscherauer A at al, 2010, Regional Disparities in Regional Development of The Czech Republic, VSB-Technical University of Ostrava, Faculty of Economics, Ostrava. Martisasi F, Suhartono, 2012, Infrastruktur Indonesia Yang Dibutuhkan tetapi Diabaikan, Harian Kompas , Jakarta. Saputra E, 2008, Isu Strategis dan Permasalahan Pembangunan Wilayah di Indonesia, Diskusi Terbatas Insist-REMDEC, Yogyakarta. Sirojuzilam, 2009, Disparitas Ekonomi Regional dan Perencanaan Wilayah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi Regional pada Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Venables AJ, Rethinking Economic Growth in a Globalizing World : An Economic Geography Lens,2009, Berlin Workshop Series 2009 : Spatial Disparities and Development Policy, The World Bank, Washington DC. 114 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 114 13-Jan-15 12:18:43 PM

IX. ETNIS MARITIM DAN PERMASALAHANNYA Endang Susilowati 9.1. Pendahuluan Indonesia merupakan sebuah negara perairan yang ditaburi oleh ribuan pulau. Tidak kurang dari 13.466 pulau terdapat di wilayah Indonesia. Luas 1 wilayah perairan Indonesia kurang lebih 8 juta km , yang terdiri dari laut teritorial, 2 perairan pedalaman, perairan kepulauan dan ZEE. Disamping itu Indonesia masih memiliki wilayah yurisdiksi di landas kontinen di luar 200 mil laut seluar 4.209 km . 2 2 Sebagai sebuah negara perairan dengan wilayah yang sangat luas, sebagian penduduk Indonesia tersebar di berbagai kawasan pesisir. Diperkirakan ada sekitar 40 juta orang penduduk, tersebar di 4.735 desa pesisir yang sebagian di antaranya terletak di wilayah perkotaan. Desa-desa pesisir tersebut terutama terkonsentrasi di wilayah pantai Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Makassar. Sebagian besar penduduk di desa-desa pesisir itu merupakan 3 1 Jumlah pulau tersebut merupakan hasil survei dan verifikasi nama rupabumi tahun 2012 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi berdasarkan Perpres Nomor 112 tahun 2006. 2 Asep Karsidi, Yurisdiksi Perairan Indonesia dalam Rangka Peningkatan Sumberdaya Manusia, dalam buku ini, 2012. 3 Djoko Pramono, op.cit., hlm. 16. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 115 Bagian III (buku NKRI).indd 115 13-Jan-15 12:18:43 PM

masyarakat yang masih tradisional, dengan strata sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah. Mereka merupakan sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai suku atau etnis yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya pada laut. Bagi mereka laut bukan hanya merupakan sumber penghidupan, tetapi juga merupakan penghubung (bukan pemisah) antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu etnis dengan etnis lainnya. Istilah etnis maritim perlu diperjelas batasan dan pengertiannya, karena belum ada definisi yang eksplisit tentang istilah tersebut. Selain “etnis maritim” masih ada istilah lain yang juga biasa digunakan yaitu “komunitas maritim” dan “masyarakat maritim”. Makalah ini terutama bermaksud untuk mengetahui apa dan siapa yang dimaksud dengan etnis maritim, serta apa saja permasalahan yang mereka hadapi. 9.2. Etnis Maritim, Komunitas Maritim, Masyarakat Maritim Kata etnis berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti “suku bangsa” atau “orang” atau “kelompok orang”. Menurut Koentjaraningrat, suku bangsa adalah kelompok manusia yang terikat pada kesadaran dan identitas “kesatuan kebudayaan”, sementara kesadaran identitas seringkali (tetapi tidak selalu) juga dikukuhkan dengan kesatuan bahasa. Istilah etnis sendiri juga sering diartikan 4 sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya yang mengindikasikan adanya kenyataan kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat. Menurut Fredrick Barth, yang dimaksud dengan etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal- usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budaya. Di dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah etnis didefinisikan sebagai 5 kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sementara itu Ricardo Delgado dan Stefanis memperluas pengertian kelompok etnis menjadi kelompok sosial yang dapat tersusun atas ras, agama, atau asal negara. 6 Apakah yang dimaksud dengan etnis maritim? Mengacu pada beberapa pengertian etnis di atas, maka istilah etnis maritim barangkali dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang diikat oleh kesatuan tempat tinggal, asal-usul, adat-istiadat, dan bahasa, yang pada umumnya menggantungkan sepenuhnya atau sebagian terbesar kehidupan ekonominya pada pemanfaatan sumber daya laut. Kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai etnis maritim adalah suku Bajau/Bajo yang antara lain mendiami perairan di sebelah timur Selat Makassar, pantai timur Kalimantan, pulau Alor dan sekitarnya, 4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 267. 5 Fredrick Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (Jakarta: UI Press, 1988). 6 Ricardo Delgado dan Stefanis. Critical Race Theory: an Introduction. (New York: New York University Press, 2001). 116 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 116 13-Jan-15 12:18:43 PM

kepulauan Banggai, kepulauan Togian di Teluk Tomini, kepulauan Bacan, Kepulauan Sulu, dan lain-lain; suku Orang Laut di Selat Malaka dan perairan Sumatra Timur, sekitar Pulau Belitung (dikenal juga dengan sebutan Orang Ameng Sewang) dan Orang Laut di sekitar Pulau Bangka yang dikenal dengan sebutan Orang Sekak. Orang Laut yang berlabuh dan mendiami pesisir pantai 7 Kalimantan Selatan selanjutnya dikenal sebagai Orang Banjar; yang mendiami pesisir pantai Sulawesi Selatan dikenal sebagai Orang Bugis; yang mendiami Pulau Irian dikenal sebagai Orang Tabati; dan yang mendiami Pulau Sumbawa, terutama di sekitar Nusa Tenggara Barat, dikenal sebagai Orang Mbojo. Selain itu 8 masih ada Suku Mandar, Makassar, Buton, Sangir, Talaud, dan Madura yang juga dikenal sebagai etnis maritim. Sedikit berbeda dengan pengertian etnis, yang dimaksud dengan komunitas (community) adalah sekelompok orang yang berinteraksi dan hidup berdampingan karena adanya kesamaan nilai-nilai yang dianut, tempat tinggal, dan kepercayaan, serta memiliki kohesi sosial. Sementera itu menurut 9 Soerjono Soekanto, yang dimaksud dengan komunitas adalah sebuah kelompok yang hidup bersama sedemikian rupa, sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Berdasarkan pengertian tersebut, kelompok masyarakat yang dapat 10 dikategorikan sebagai komunitas maritim antara lain adalah komunitas nelayan, komunitas bakul/pedagang ikan atau penjual hasil laut, komunitas pengolah hasil laut (misal pembuat ikan asin atau terasi), komunitas pelayar baik pengusaha maupun pekerja transportasi laut, komunitas pembuat perahu, dan lain-lain. Menurut Oxford Dictionaries setidaknya ada dua definisi masyarakat. Definisi yang pertama adalah sekelompok orang yang hidup bersama dalam komunitas yang teratur, misalnya kelompok orang yang hidup di sebuah negara atau wilayah tertentu dan memiliki kebiasaan bersama, hukum, dan organisasi. Definisi kedua adalah sebuah organisasi atauklub yang dibentukuntuk tujuan atau kegiatan tertentu. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi dengan sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. 11 Berdasarkan beberapa definisi tersebut maka kelompok masyarakat yang bisa dikategorikan sebagai masyarakat maritim antara lain adalah kelompok nelayan beserta kelompok lain yang terkait, serta kelompok orang-orang yang 7 Djoko Pramono, op.cit., hlm. 131-133. 8 Ibid., hlm. 134-135. 9 Lihat Ensiklopedi Bebas Wikipedia. 10 Soerjono Soekanto, Sosiologi. Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 162. 11 Lihat Ensiklopedi Bebas Wikipedia. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 117 Bagian III (buku NKRI).indd 117 13-Jan-15 12:18:43 PM

meskipun tidak berdomisili di wilayah pantai atau pesisir tetapi menggantungkan kehidupannya kepada aktivitas kemaritiman, seperti misalnya kelompok marinir, kelompok buruh bongkar muat kapal/perahu di pelabuhan, para pelaku ekspedisi muatan kapal laut, para pelaku wisata bahari, para pelaku industri dan jasa maritim (misal industri perkapalan yang meliputi indusrti galangan kapal, penunjang galangan kapal, bangunan lepas pantai), dan sebagainya. Secara umum sebenarnya semua kelompok masyarakat, baik yang merupakan pelaku langsung berbagai aktivitas kemaritiman maupun para pelaku tidak langsung/para pendukung dan pemerhati bidang kemaritiman dapat dikategorikan sebagai masyarakat maritim. Namun, oleh karena luasnya pengertian tersebut, makalah ini hanya akan memusatkan perhatian pada etnis maritim saja, khusunya Orang Laut atau Suku Bajau. 9.3. Orang Laut dan Suku Bajau: Suku Pengembara Laut Lingkungan hidup yang sangat dekat dengan laut telah mendorong penduduk pantai untuk mengembangkan cara hidup yang bersifat maritim. Meskipun demikian tidak semua penduduk di kawasan pesisir memanfaatkan laut untuk kelangsungan hidup mereka. Atau sebaliknya orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan yang berhubungan erat dengan laut, belum tentu bermukim di wilayah pantai atau pesisir. Sebagai contoh, penduduk Desa Ara di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai ahli pembuat perahu, tetapi lebih memilih untuk tinggal di darat. 12 Sejarah mencatat setidaknya ada 3 (tiga) kelompok etnis yang merupakan pengembara laut (sea nomads) atau yang dikenal sebagai “orang laut”, yaitu suku Moken di Kepulauan Mergui (perairan Birma), Orang Laut di Kepulauan Riau-Lingga, dan Suku Bajau yang tersebar di sebagian besar wilayah perairan Indonesia bagian timuu. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang tidak 13 hanya bermukim di wilayah perairan, tetapi juga menggantungkan seluruh kehidupannya pada kekayaan hayati laut. Cara hidup ketiga etnis ini mirip satu sama lain, bahkan diduga mereka memiliki nenek moyang yang sama. Namun, di dalam makalah ini suku Moken tidak akan dibicarakan karena mereka bukan termasuk bagian dari bangsa Indonesia. Orang Laut merupakan suku bangsa yang bertempat tinggal di dalam perahu serta hidup mengembara di perairan Provinsi Riau dan pantai Johor Selatan. 14 Di berbagai wilayah di Indonesia, Orang Laut masih merupakan komunitas 12 Adrian B. Lapian, Orang Laut,Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 77. 13 Akifumi Iwabuchi, “Marine Culturology”. Bahan Kuliah pada Tokyo University of Marine Science and Technology. Diakses dari www.soi.wide.ad.jp/class/20090061/...for.../ 20090061-03-2in1.pdf. Dikunjungi pada 4 Juli 2012. Lihat juga Muhammad Ridwan Alimuddin, Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. 11. 14 Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 78. 118 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 118 13-Jan-15 12:18:43 PM

yang koheren. Mereka adalah kelompok-kelompok kecil yang tersisa dan cukup beranekaragam, tetapi semuanya hidup bersimbiosis dengan laut. Dari lautlah mereka mendapatkan semua bahan makanan. Dalam sejarah perekonomian 15 Indonesia, Orang Laut pernah memainkan peran penting. Mereka adalah para pedagang tripang dan sarang burung walet yang merupakan produk ekspor bernilai tinggi. Kecuali itu mereka juga pernah mengambil bagian dalam aktivitas pelayaran antar pulau dengan perahu-perahu layar mereka, dan hingga kini sebagian besar dari mereka tetap merupakan nelayan-nelayan yang gigih. Artinya, mereka juga ikut menopang perekonomian Indonesia. Namun demikian, Orang Laut di wilayah Indonesia ternyata dimasukkan dalam kategori “suku terasing”, sedangkan di wilayah Malaysia dianggap sebagai kelompok “orang asli”. Istilah “orang laut” atau pengelompokan mereka sebagai “suku terasing” maupun “orang asli” jelas mengandung arti pejoratif, seperti halnya sebutan “orang dusun” untuk orang-orang yang bermukim di wilayah pedesaan atau “orang gunung” untuk orang-orang yang bermukim di wilayah pegunungan. Etnis maritim lainnya adalah suku Bajau, yang tersebar di hampir seluruh 16 wilayah perairan Indonesia, bahkan hingga ke beberapa perairan negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Menurut A.B. Lapian, nama Bajau semula dipakai sebagai sinonim bagi Orang Laut di wilayah perairan Riau-Lingga. Nama Bajau 17 atau Bajo, seperti halnya nama Orang Laut, sebenarnya merupakan nama yang diberikan oleh orang di luar suku tersebut. Menurut François-Robert Zacot, 18 orang Bajau menyebut diri mereka dengan istilah sama (berasal dari kata sasama yang merupakan kependekan dari kata “sama-sama”). Istilah sama hanya 19 digunakan di antara sesama suku Bajau sendiri. Apabila berbicara dengan orang lain yang bukan dari kalangan suku Bajau, mereka akan menggunakan kata Bajo untuk menunjukkan siapa diri mereka. Orang-orang Bajau menyebut orang lain di luar suku mereka dengan sebutan bagai (orang asing). Bagi orang Bajau, bagai adalah semua masyakatan pada umumnya selain orang Bajau itu sendiri. 20 15 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 2: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 88. 16 Di kawasan Timur Indonesia suku Bajau disebut juga Orang Bajo atau Suku Bangsa Bajo, di kawasan Barat Indonesia mereka disebut Rakyat Laut, Orang Laut, atau Suku Laut; sedangkan di wilayah Johor Malaysia, suku Bajau disebut Orang Kuala dan Orang Laut. Sementara Orang Bajau, Suku Asli, Sama Bajau,Sama di Laut, Bajau Laut, Orang Samal, atau Samal Bajau Laut menjadi panggilan khas bagi mereka di wilayah Sabah, Brunai Darussalam dan Filipina. 17 Adrian B. Lapian, op. cit.,hlm. 80. 18 François-Robert Zacot adalah seorang antropolog berkebangsaan Perancis yang bersama isterinya melakukan penelitian tentang kehidupan suku Bajau di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provisnsi Gorontalo. Mereka tinggal bersama suku Bajau di Torosiaje lebih dari setahun. Mereka bahkan sudah dianggap Sama Bajo atau orang Bajo, bukan bagai (bukan Bajo/orang asing). 19 François-Robert Zacot, Orang Bajo: Suku Pengembara Laut. Diterjemahkan oleh Fida Mulyono- Larue dan Ida Budi Pranoto (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 241. 20 Ibid., hlm. 243. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 119 Bagian III (buku NKRI).indd 119 13-Jan-15 12:18:43 PM

Kini nama Bajau lebih dikenal di wilayah Indonesia bagian timur. Pemukiman suku Bajau dapat dijumpai di perairan Selat Makassar (di Pulau Laut dan pantai timur Kalimantan sekitar Bontang), di Teluk Bone (di Pulau Bajo-e yang berhadapan dengan Watampone), di daerah Nusa Tenggara Timur (Pulau Alor dan sekitarnya), di kepulauan Banggai di sebelah timur Sulawesi, di teluk Tomini (terutama di kepulauan Togian dan di Torosiaje), di Maluku Utara (kepulauan Bacan dan Halmahera), di perairan Laut Sulawesi (baik di pantai Sulawesi Utara, Kalimantan Timur hingga Sabah Timur, maupun Kepulauan Sulu). 21 Tidak berbeda dengan Orang Laut, Suku Bajau juga merupakan para pengembara laut yang sangat tangguh. Sebagian dari mereka tinggal di dalam rumah perahu yang disebut leppa atau lepa-lepa dan sebagian lainnya tinggal di 22 rumah-rumah yang didirikan di atas air atau di tepian pantai. Mata pencaharian mereka yang utama adalah penangkap ikan/nelayan. Setiap hari mereka berlayar ke tengah laut, menuju tempat yang menurut pengalaman mereka terdapat banyak ikan. Berkaitan dengan hal itu maka perpindahan orang Bajau dari satu wilayah perairan ke wilayah perairan lainnya sangat dipengaruhi oleh daur atau siklus penangkapan ikan. Sebagai contoh, pada saat bulan purnama dan air 23 pasang penuh maka air laut akan memenuhi beting-beting karang yang biasanya kering. Bersamaan dengan itu, berbagai jenis ikan dari kedalaman laut yang lebih dalam akan memasuki kawasan beting karang. Pada saat itulah perahu-perahu nelayan Bajau berdatangan dari berbagai penjuru dan berkumpul di sekitar beting karang untuk melakukan penangkapan ikan. Pada saat yang lain, ikan-ikan dari jenis lain yang berada di tempat berbeda akan menjadi sasaran penangkapan nelayan Bajau; atau ketika air laut sedang mencapai titik surut terendah dan jenis ikan lain berkumpul di daerah beting, maka nelayan Bajau akan kembali berpindah ke daerah beting. Begitu seterusnya sehingga perpindahan orang Bajau sebenarnya mengikuti pola tertentu. Kecuali dipengaruhi oleh siklus penangkapan ikan, pengembaraan Suku Bajau juga dipengaruhi oleh arah angin dan derasnya arus di suatu wilayah perairan. 24 Orang Laut dan Suku Bajau menggantungkan seluruh kehidupannya kepada laut. Bagi mereka laut bukan hanya merupakan “desa” tempat mereka lahir dan menetap hingga akhir hayat. Laut juga merupakan tempat mereka mengadu nasib dan menggantungkan seluruh harapan. Meskipun laut begitu dekat dan sangat akrab dengan mereka, namun Suku Bajau sadar benar bahwa “bila dayung kering, maka keranjang juga kering” atau “bila ikan tidak makan umpan maka tuannya juga tidak makan”. Oleh karena itu pekerjaan Suku Bajau sepanjang 25 21 Adrian B. Lapian, loc. cit. 22 François-Robert Zacot, op.cit., hlm. 127. 23 Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 92. 24 Ibid. 25 François-Robert Zacot, op.cit., hlm. 395. 120 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 120 13-Jan-15 12:18:43 PM

hidupnya adalah mendayung perahu dan menangkap ikan, alias menjadi nelayan. Dengan demikian Orang Laut dan Suku Bajau dapat dikategorikan baik sebagai etnis maritim, komunitas maritim, maupun masyarakat maritim. 9.4. Para “Penjaga Laut” Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang mengandalkan laut sebagai rumah sekaligus tempat menggantungkan semua harapan, suku Bajau jelas tidak dapat dipisahkan dari laut. Meskipun ada sebagian dari mereka yang terpaksa “mendarat” namun laut tetap menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Apabila kebanyakan dari kita saat ini sedang berusaha mengubah mindset untuk dapat menerima laut sebagai halaman depan rumah kita, Suku Bajau sudah sejak zaman dahulu menjadikan laut tidak hanya sebagai halaman depan, tapi juga halaman samping dan belakang rumah mereka. Artinya, laut adalah segalanya bagi Suku Bajau. Ibaratnya hidup dan mati mereka sangat tergantung pada laut. Laut juga dianggap sebagai cermin dari kehidupan masa lalu, kekinian, dan harapan masa depan. Laut adalah kawan, jalan, dan persemayaman leluhur. Mereka menghormati dan menjaga laut sedemikian rupa sehingga tidak berlebihan apabila Suku Bajau disebut sebagai simbol “garis pertahanan terakhir” hubungan manusia dengan laut, yang hidup dalam harmoni. 26 Seorang anak Suku Bajau sejak lahir sudah diperkenalkan pada laut. Mereka harus bisa secepatnya beradaptasi dengan laut yang akan menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Anak-anak usia sekolah dasar sudah biasa membawa sampan kecil untuk bermain dengan teman-teman mereka atau belajar menangkap ikan di sekitar rumah panggung mereka. Perkenalan dengan laut berjalan seiring dengan bertambahnya usia seorang anak Bajau. Makin besar seorang anak makin luas pengetahuannya tentang laut dan potensi yang terkandung di dalamya. Mereka juga semakin memahami arti penting laut bagi kehidupan mereka. Ketika dewasa orang Bajau telah menjadi seseorang yang memahami dengan baik apa yang boleh dan tidak boleh mereka perbuat terhadap laut, apa yang harus dan tidak perlu dilakukan terhadap laut, rumah mereka. Suku Bajau juga memiliki filosofi tentang kesakralan laut berbunyi, Papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana. Artinya, Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. 27 Oleh karena itu, suku Bajau melestarikan sumber daya laut antara lain dengan cara ikut serta menanam bakau di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Sinjai 26 Muhammad Ridwan Alimuddin, op.cit., hlm. 12. 27 “Kearifan Lokal Manusia Perahu. Diakses dari http://www.koran-jakarta.com. Dikunjungi pada tanggal 3 Juli 2012 Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 121 Bagian III (buku NKRI).indd 121 13-Jan-15 12:18:43 PM

Timur, Sulawesi Selatan. Sepanjang pantai Sinjai Timur ditanami bakau hingga sekitar 800 meter ke arah laut. Menurut Munsi Lampe, seorang antropolog dari Universitas Hasanuddin, upaya penanaman hutan bakau tersebut merupakan strategi mitigasi bencana, terutama untuk mencegah terjadinya erosi dan abrasi pantai, serta menahan badai dan angin kencang dari arah laut. Pengetahuan tentang penanaman pohon bakau tersebut konon merupakan kearifan lokal yang telah dilakukan sejak para pendahulu mereka dan merupakan hasil dari suatu proses yang panjang dalam menghadapi tantangan alam. Kecuali itu 28 suku Bajau juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut, seperti di Kabupaten Wakatobi. Dalam menangkap ikan banyak nelayan Bajau memilih mengunakan jaring atau jala berukuran besar, sehingga hanya ikan-ikan berukuran besar saja yang tertangkap. Contoh kearifan lokal lainnya dijumpai pada nelayan Bajau di Taka, Bonerate. Suku Bajau di sana sangat menyadari perlunya menjaga kelestarian sumber yang menjadi tumpuan pemenuhan nafkah mereka. Untuk mengambil ikan atau sumber hayati laut lainnya sudah ditentukan waktu dan peralatan yang digunakan, daerah tempat operasi penangkapan, dan lain-lain. Misalnya, pada bulan Januari sampai pada Maret nelayan Bajau biasanya menyelam untuk mengambil tripang; bulan Juli dan Agustus mereka mengambil kima dan jenis kerang lainnya; pada bulan September hingga Desember sebagian dari mereka akan memancing dan sebagian lainnya menangkap ikan dengan pukat dan jaring. Bulan April merupakan masa istirahat karena pada waktu itu adalah masa pancaroba sehingga sering terjadi gelombang besar. Di saat tidak melaut para nelayan Bajau biasanya menggunakan waktu untuk memperbaiki peralatan tangkap mereka. 29 9.5. Permasalahan yang Dihadapi Bagi suku Bajo, tradisi melaut sudah menyatu dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi mereka. Hidup di atas perahu atau perkampunga laut dan mencari kehidupan di laut telah membangun tradisi mereka sebagai manusia laut. Mereka sangat teguh berpegang pada tradisi nenek-moyang untuk tetap tinggal di laut, meski dengan rumah darurat yang tidak layak huni. Suku Bajau yang masih bertahan di laut merupakan salah satu kelompok masyarakat tradisional yang hidup dengan cara sangat berbeda dengan kebanyakan suku bangsa di Indonesia. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat kota dan desa yang serba teratur. Suku-suku semacam ini 28 Sudirman Saad, Bajo Berumah di Nusantara (Jakarta: Coremap II, 2009), hlm. 51. 29 Munsi Lampe, “Pengelolaan Laut Kawasan Terumbu Karang dalam Perseptif Budaya Bajo (Kasus Taka Bonerate, Sulawesi Selatan)”. Makalah disajikan dalam Rapat Pembahasan Buku atas kerjasama CV Mareto Agri Persada dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta, Juli 2008. Lihat juga Sudirman Saad, op. cit., hlm. 73-74. 122 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 122 13-Jan-15 12:18:43 PM

seringkali dipandang dengan sikap ambivalen. Di satu sisi mereka dilihat sebagai kelompok masyarakat yang masih “liar” dan “tidak berbudaya”, tetapi di lain sisi mereka ditakuti dan dianggap memiliki sifat magis. Cara hidup yang sangat 30 dekat dengan alam sekitar telah memberi mereka pengetahuan yang lebih baik tentang tumbuh-tumbuhan atau hewan yang dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit, sehingga dukun mereka sering dianggap lebih hebat dan memiliki kekuatan magis. Semua “keanehan” dalam pandangan masyarakat modern itulah yang kemudian melahirkan stigma “suku terasing” bagi kelompok masyarakat seperti suku Bajau. Akibatnya mereka dianggap perlu untuk dibina dan “dibudayakan”. Salah satu upaya pemerintah untuk memudahkan pembinaan terhadap suku Bajau yang berada di wilayah perairan Indonesia adalah dengan “mendaratkan” mereka. Masyarakat Bajau diupayakan untuk hidup di darat dan memiliki rumah ataupun kebiasaan seperti masyarakat lainnya. Berkaitan dengan hal itu, suku Bajau menghadapi dua permasalah, yaitu permasalaha sosial budaya (penyesuaian diri dengan lingkungan baru) dan permasalahan sosial ekonomi seperti yang dialami oleh kebanyakan kaum nelayan di Indonesia. Permasalahan Sosial Budaya Suku Bajau biasa menghabiskan lebih dari 90 % waktunya di laut, sisanya dimanfaatkan untuk mencari kebutuhan mereka di darat. Secara turun temurun, masyarakat Bajau sudah terbiasa hidup dengan lingkungan laut seperti guncangan-guncangan ombak dan terpaan angin kencang. Mereka telah menyatu dengan semua itu secara harmonis. Kehidupan di darat yang sangat berbeda membuat mereka tidak mudah untuk menyesuaikan diri. Sebagai contoh, ketika masih bermukim di perkampungan Bajau di laut, orang Bajau jarang berjalan kaki karena mereka lebih banyak menggunakan perahu untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Kalaupun ada jalan “darat” (biasanya berupa jembatan kecil terbuat dari papan) yang menghubungkan antara rumah yang satu dengan rumah lainnya, jaraknya tidak panjang. Apalagi bagi masyarakat Bajau yang hidup dalam lepa-lepa dan hampir tidak pernah mengenal daratan. Kaki dan badan mereka betul-betul telah menyesuaikan dengan kondisi lepa- lepa yang sempit dan rendah. Sementara itu di darat mereka harus lebih banyak berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Kebiasaan yang sangat berbeda itu tentu mendatangkan persoalan fisik yang serius, terutama bagi masyarakat Bajau yang sudah lanjut usia. Permasalahan psikis juga dapat muncul karena kerinduan pada kehidupan di laut. Jiwa bahari yang bersemayam di dalam diri orang Bajau membuat mereka selalu ingin kembali ke perkampungan di laut. Sejak ada gagasan merumahkan warga Bajau yang memilih beranak pinak di atas air, pemerintah mencari solusi 30 Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 78. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 123 Bagian III (buku NKRI).indd 123 13-Jan-15 12:18:43 PM

dengan menawarkan bangunan rumah di darat. Salah satu contoh adalah Desa Torosiaje Darat, persis di poros Popayato, di trans Sulawesi. Pada tahun 1982 pemerintah menyediakan rumah dan kebun untuk bercocok tanam. Namun tampaknya tidak banyak warga Bajau yang bisa bertahan. Mereka yang pada awalnya bersedia pindah, perlahan lahan meninggalkan daratan dan kembali ke laut. Rumah rumah semacam rumah transmigrasi pemberian pemerintah, ditinggalkan begitu saja. Keluarga Bajau yang terpaksa bertahan di darat 31 sering meninggalkan rumah untuk berkumpul kembali dengan saudara-saudara yang tetap bermukim di laut. Mereka tinggal di darat hanya apabila kepala desa mengumumkan bahwa akan ada kunjungan dari pemerintah. 32 Persoalan sosial budaya yang lebih penting lagi adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Bajau. Sebagian besar anak-anak Bajau hanya lulus Sekolah Dasar. La Ode Muharram yang melakukan penelitian terhadap etnis Bajau di Desa Laut Mekar Bajo menyimpulkan bahwa 94 % anak-anak Bajau di desa tersebut putus sekolah dan sisanya hanya tamat SMU. Anak-anak Bajau 33 harus membantu orang tua mencari nafkah di laut, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kemiskinan membuat anak-anak Bajau tidak mungkin menggapai masa depan yang lebih baik dan membuat masyarakat Bajau pada umumnya terpinggirkan dari geliat pembangunan di negeri bahari ini. Permasalahan Sosial Ekonomi Meskipun laut kita terkenal luas dan kaya, pada kenyataannya masyarakat Bajau yang hidup bergantung padanya sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal itu antara lain terlihat dari rumah-rumah suku Bajau, baik yang masih bertahan di laut maupun yang sudah “mendarat”. Secara kasat mata terlihat bahwa rumah-rumah orang Bajau di berbagai tempat terlihat sangat sederhana, kumuh, dan kotor. Tanpa mengesampingkan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan suku Bajau (salah satunya dengan menjadikan kawasan pemukiman suku Bajau sebagai obyek wisata bahari, seperti yang terjadi di Wakatobi dan Torosiaje Laut), kenyataan di depan mata kita adalah bahwa sebagian besar suku laut itu masih sangat miskin dan jauh dari perhatian pemerintah. Orientasi budaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut di perairan dangkal sebenarnya telah ikut mempengaruhi terbangunnya konsepsi ekonomi masyarakat Bajau yang berbasiskan ekonomi rumah tangga 31 Iman Brotoseno ,“Perkampungan Suku Bajo – Torosiaje “. Diakses dari blog.imanbrotoseno. com/?p=1600. Dikunjungi pada tanggan 2 Juli 2012. 32 François-Robert Zacot, passim. Lihat juga “Potret Bajo Torosiaje, Tetap Bertahan Di Atas Laut”. Diakses dari www.denun.net/potret-bajo-torosiaje... Dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2012. 33 Arif Ramdan “Lebih Dekat dengan Etnis Bajo”. Diakses dari http://arif-ramdan.blogspot. com/2007/07/25. Dikunjungi pada tanggal 3 Juli 2012. 124 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 124 13-Jan-15 12:18:43 PM

sebagai unit produksi yang bersifat subsisten. Pada awalnya mereka hanya mengenal budaya “petik dan makan” untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Namun karena bahan kebutuhan hidup lainnya seperti beras, gula, garam, dan solar harus dibeli, maka konsep “petik dan makan” tentu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga dikembangkan menjadi konsep “petik dan jual”. Dalam hal ini hasil penjualan ikan tangkapan selain untuk dimakan juga untuk dijual sehingga mereka dapat membeli kebutuhan pokok lainnya dan keperluan operasi penangkapan berikutnya. Konsep berikutnya, yaitu “petik, olah, dan jual”, belum mampu dilakukan oleh suku Bajau. Konsep terakhir ini biasanya hanya dapat dilakukan oleh para pedagang pengumpul atau koordinator penjualan hasil tangkapan. 34 Kecuali kurang memiliki kemampuan mengolah dan memasarkan hasil tangkapan, kebiasaan hidup boros dengan menghabiskan semua penghasilan sekaligus juga semakin memperparah kemiskinan nelayan Bajau. Mereka beranggapan bahwa laut telah menyediakan semua yang mereka butuhkan dan mereka dapat mengambilnya hampir setiap saat. Kemudahan untuk mendapatkan kebutuhan subsistensi itu membuat mereka tidak mengembangkan kebiasaan berhemat atau menabung. Oleh karenanya 35 mereka juga tidak memiliki cukup modal produksi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, selain hanya mengandalkan tenaga saja. Meskipun nelayan hidup di tengah sumberdaya laut yang melimpah, namun menurut Haeruman masyarakat nelayan merupakan lapisan masyarakat yang paling miskin di Indonesia. Bahkan, menurut Sediono Tjodronegoro (1987), dibandingkan 36 dengan golongan petani kecil, golongan nelayan kecil jauh lebih miskin. 37 Ketidakberdayaan nelayan Bajau menghadapi tuntutan kebutuhan hidup seringkali membuat mereka terjerat hutang yang hanya bisa mereka dibayar dengan tenaga. Posisi ekonomi yang sangat lemah itu membuat sebagian besar nelayan Bajau sulit untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. 9.6. Penutup Indonesia adalah negara bahari dengan perairan yang sangat luas dan sumber daya laut melimpah. Penduduk Indonesia pun terdiri dari beragam suku bangsa dengan kekhasan masing-masing. Itu semua merupakan modal dasar bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa besar yang dapat menempatkan diri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai bangsa maritim yang dulu pernah jaya dan memiliki pengaruh luas 34 Sudirman Saad, op. cit., hlm. 72. 35 François-Robert Zacot, passim. 36 Herman Haeruman Js., Pengelolaan Lingkungan Laut, Debur Lautan Kita (Jakarta: Meneg KLH, 1987), hlm. 2. 37 Chalida Fachruddin, “Etos Kerja Nelayan Melayu” dalam M. Arif Nasution, dkk. (editor), Isu-isu Kelautan. Dari Kemiskinan hingga Bajak Laut (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 82. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 125 Bagian III (buku NKRI).indd 125 13-Jan-15 12:18:43 PM

hingga ke berbagai negara tetangga, sungguh merupakan suatu ironi bila suku bangsa atau etnis maritim yang notabene merupakan “penjaga laut” kita, kini justru hidup dalam keterbelakangan, ketertinggalan, dan keterpurukan secara sosial ekonomi; dan bahkan juga sosial budaya. Uluran tangan pemerintah dan kita semua yang mempunyai komitmen terhadap kemajuan suku bangsa bahari ini sungguh sangat diperlukan. Memaksa etnis maritim seperti Orang Laut atau Suku Bajo untuk menjauh dari laut adalah tindakan sia-sia. Hal itu bahkan hanya akan mendatangkan konflik berkepanjangan. Sebaliknya, melibatkan mereka untuk memelihara laut dan segenap habitat yang ada di dalamnya bukan sesuatu yang mustahil, walaupun tentu saja tidak mudah. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, Orang Laut dan Suku Bajo pada akhirnya tentu harus dapat hidup lebih terbuka dan dapat berinteraksi dengan kehidupan modern. 9.7. Daftar Pustaka Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2004. Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Antara News.com. Selasa, 24 Februari 2009. Barth, Fredrick. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI Press. Brotoseno, Iman. “Perkampungan Suku Bajo – Torosiaje “. Diakses dari blog.iman brotoseno.com/?p=16. Dikunjungi pada tanggan 2 Juli 2012. Cribb, Robert dan Michele Ford (editor). 2009. Indonesia beyond the Water Edge. Managing an Archipelagic State. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Delgado, Ricardo dan Stefanis. 2001. Critical Race Theory: an Introduction. New York: New York University Press. Ensiklopedi Bebas Wikipedia. Fachruddin, Chalida. 2005. “Etos Kerja Nelayan Melayu” dalam M. Arif Nasution, dkk. (editor), Isu-isu Kelautan. Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haeruman Js, Herman. 1987. Pengelolaan Lingkungan Laut, Debur Lautan Kita. Jakarta: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Iwabuchi, Akifumi. “Marine Culturology”. Bahan Kuliah pada Tokyo University of Marine Science and Technology. Diakses dari www.soi.wide.ad.jp/class/ 20090061-03-2in1.pdf.Dikunjungi pada 4 Juli 2012. Kearifan Lokal Manusia Perahu. Diakses dari http://www.koran-jakarta.com. Dikunjungi pada tanggal 3 Juli 2012. Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kompas, 8 Februari 2012. 126 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 126 13-Jan-15 12:18:43 PM

Lampe, Munsi. “Pengelolaan Laut Kawasan Terumbu Karang dalam Perseptif Budaya Bajo (Kasus Taka Bonerate, Sulawesi Selatan)”. Makalah disajikan dalam Rapat Pembahasan Buku atas kerjasama CV Mareto Agri Persada dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta, Juli 2008. Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut,Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Potret Bajo Torosiaje, Tetap Bertahan Di Atas Laut. Diakses dari www.denun.net /potret-bajo-torosiaje... Dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2012. Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Ramdan, Arif. “Lebih Dekat dengan Etnis Bajo”. Diakses dari http://arif-ramdan. blogspot. com /2007/07/25. Dikunjungi pada tanggal 3 Juli 2012. Saad, Sudirman. 2009. Bajo Berumah di Nusantara. Jakarta: Coremap II. Soerjono Soekanto, Sosiologi. Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Zacot, François-Robert. 2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut. Diterjemahkan oleh Fida Mulyono-Larue dan Ida Budi Pranoto. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 127 Bagian III (buku NKRI).indd 127 13-Jan-15 12:18:43 PM

X. MARJINALISASI ETNIS MARITIM: Studi Kasus Di Kepulaun Karimunjawa Yety Rochwulaningsih 10.1. Pendahuluan Sangat menarik mengkaji kehidupan etnis maritim di kepulauan Karimunjawa yang memiliki tingkat keberagaman latar etnis yang sangat tinggi. Pada umumnya keberagaman etnis disuatu kawasan kepulaun apalagi kepulauan terpencil di Indonesia menjadi tipical masyarakat etnis maritim yang sangat mobile. Mobilitas etnis maritim yang sangat tinggi antara lain dipengaruhi oleh cara pandang tradisional mereka, bahwalaut sebagai ruang terbuka yang merupakancommon property right, sehingga dapat dimanfaatkan bersama-sama oleh siapapun. Cara pandang ini juga memiliki legitimasi ketika penguasa tradisional menerapkan kebijakan laut bebas atau free ocean policy/mare liberum (A.B. Lapian, 2009; J. Kathirithamby-Wells & J. Villiers (eds), 1990). Dengan kondisi seperti itu, maka kepulauan terpencil yang berada diantara/dikelilingi laut menjadi tempat persinggahan dan kemudian tempat hunian menetap yang strategis bagi etnis maritim. Demikian juga etnis maritim di kepulauan Karimunjawa, menunjukan tipikal etnis maritim yang khas, meskipun dalam perkembangannya menunjukkan kecenderungan semakin termarjinalkan baik secara sosiokultural maupun ekonomi. Kondisi objektif etnis maritim dimanapun jika itu mengacu pada komunitas nelayan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan 128 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 128 13-Jan-15 12:18:43 PM


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook