Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NKRI dari Masa Ke Masa

NKRI dari Masa Ke Masa

Published by jpraditya8, 2017-03-10 04:48:42

Description: NKRI dari Masa Ke Masa

Keywords: none

Search

Read the Text Version

Indonesia di New York. Berdasarkan submisi ini, Indonesia telah memenuhi target submisi sebelum jatuhnya batas waktu 13 Mei 2009. Selanjutnya submisi parsial untuk wilayah potensi Batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut di sebelah Selatan Nusatenggara dan Utara Papua dapat disusulkan di kemudian hari. Sampai saat ini masih dilakukan kajian dan perhitungan serta penyusunan dokumen submisi untuk area selatan Nusa Tenggara dan utara Papua. Andaikan ada potensi batas landas kontinen di utara Papua , maka kemungkinan klaim dari negara-negara sekitar (Palau, Micronesia dan Papua Nugini) harus diperhitungkan, karena dimungkinkan klaim yang saling overlapping. Untuk itu, perlu dilakukan Join Submission. g. Laut Bebas (High Seas) Laut bebas adalah perairan yang tidak termasuk ke dalam ZEE, laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman dimana semua negara dapat menikmati segala kebebasan, kecuali hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang dimiliki negara pantai. Laut bebas merupakan bagian wilayah laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun. Laut bebas terbuka untuk semua negara baik negara pantai maupun negara tak berpantai, untuk dapat menikmati kebebasan yang meliputi: kebebasan pelayaran, penerbangan, memasang kabel dan pipa di dasar laut, kebebasan untuk menangkap ikan, kecuali di ZEE dan kebebasan untuk melakukan riset ilmiah. Pengaturan tentang laut bebas terdapat dalam Bab VII UNCLOS 1982. h. Kawasan Dasar Laut Internasional (International Sea-bed Area-The Area) Letak Kawasan Dasar Laut Internasional berada di dasar laut dan dasar samudera serta tanah di bawahnya yang terletak di luar batas terluar landas kontinen, atau batas terluar yurisdiksi nasional. Setiap negara pihak diwajibkan untuk memberikan sumbangan kepada Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-bed Authority – ISBA ) dari hasil eksploitasi sumberdaya alam non-hayati yang terdapat pada landas kontinen yang berada di luar batas 200 mil dari garis pangkal. Status hukum dari Kawasan Dasar Laut Internasional (The Area) serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), dengan demikian tidak dapat dimiliki oleh negara manapun. Penggunaan Kawasan Dasar Laut Internasional digunakan semata-mata hanya untuk tujuan damai, sebagaimana diatur dalam Bab XI UNCLOS 1982. 2.5. Batas–batas Maritim Indonesia Secara geografis Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga. Di darat, Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan dengan Timor-Leste. Sedangkan di wilayah laut, Indonesia berbatasan dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 29 13-Jan-15 12:16:48 PM

Australia, dan Timor-Leste. Sebagaian besar batas negara Indonesia tersebut telah disepakati dan berhasil mencapai sejumlah persetujuan tentang garis batas laut teritorial, zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen dengan negara tetangga, namun masih ada beberapa segmen yang memerlukan negosiasi lebih lanjut. Tidak semua perundingan dengan mudah membawa hasil kesepakatan tentang garis batas internasional. Hal yang sering terjadi dalam prakteknya adalah para pihak sering berbeda penafsiran tentang prinsip-prinsip hukum yang dapat diterapkan untuk mengatur masalah perbatasan ini. Dalam demarkasi perbatasan darat, kompleksitasnya bertambah mengingat adanya perbedaan faktual di lapangan dengan naskah perjanjian yang pada umumnya merupakan warisan kolonial. Pengaturan tentang batas-batas maritim antar negara diatur dalam Pasal 3, Pasal 57 dan Pasal 76 UNCLOS 1982, namun demikian sebelum berlakunya UNCLOS 1982 Pemerintah Indonesia telah secara intens melakukan perundingan batas-batas maritimnya, baik batas kedaulatan (sovereignty) maupun hak berdaulat (sovereign rights) NKRI, yaitu dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, dan Australia. Hasilnya adalah terselesainya 19 perjanjian batas maritim yang keseluruhan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan negara tetangga, kecuali perjanjian ZEE dengan Australia, dan perjanjian laut wilayah di selat Singapura dengan Singapura. Secara keseluruhan batas- batas maritim Indonesia dapat dikelompokan sebagai berikut: batas maritim yang ditetapkan secara unilateral sebagaimana ketentuan dalam UNCLOS 82 dan batas maritim yang ditetapkan secara bilateral/trilateral. Hal ini merupakan bagian dari kewenangan dan kewajiban Pemerintah terhadap wilayahnya. Lebih lanjut akan dijelaskan terkait dengan batas wilayah maritim Indonesia yang dapat diklasifikasikan sebagai: batas yang sudah ditetapkan, batas yang sedang dirundingkan, batas yang belum dirundingkan, dan batas yang tidak perlu dirundingkan 2.6. Batas maritim yang sudah ditetapkan Sejauh ini Indonesia sudah menyepakati batas maritim dengan tujuh negara tetangga, berikut ini penjelasannya : a. Garis batas RI – Malaysia. Batas maritim dengan Malaysia meliputi batas laut wilayah dan batas landas kontinen di Selat Malaka, di Laut China Selatan dan di Laut Sulawesi (perairan Kalimantan Timur). Garis batas laut wilayah, garis batas laut wilayah terletak di Selat Malaka dan disetujui oleh kedua negara pada tanggal 17 Maret 1970. Sedangkan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia terletak di Selat Malaka, Laut China Selatan disebelah Timur Malaysia barat dan laut cina selatan bagian timur di bebas pantai Serawak, ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur. 0 NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 30 13-Jan-15 12:16:48 PM

b. Garis batas laut wilayah RI - Singapura. Garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura sebanyak 6 titik disetujui di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 berdasarkan prinsip equitabilitas antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 15 mil laut. Dan pada tanggal 10 Maret 2009 Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian dengan menyepakati 3 titik yang merupakan perpanjangan 6 titik sebelumnya namun perjanjian ini belum diratifikasi. c. Garis batas landas kontinen Indonesia - India. Garis batas landas kontinen antara Indonesia dan India terletak di Laut Andaman sebanyak 9 titik, Samudera Hindia, diantara perairan Sumatera dan pulau Nicobar Besar sebanyak 4 titik. Perjanjian tersebut ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974. d. Garis batas landas kontinen Indonesia - Thailand. Indonesia dan Thailand telah memiliki empat perjanjian atas batas Landas Kontinen (LK) yang telah ditetapakan pada periode tahun 1971 – 1978, yaitu : batas LK di Selat Malaka bagian Utara sampai Laut Andaman (1971) sebanyak 2 titik, batas LK di Laut Andaman (1975), tripartite tentang trijunction point antara Indonesia – Thailand – Malaysia (1971), dan Perjanjian tripartite tentang trijunction point antara Indonesia – Thailand – India (1978). e. Batas maritim Indonesia –Papua Nugini (PNG). Pada 13 Desember 1980, Indonesia dan PNG menandatangani perjanjian batas-batas maritim di kawasan Samudera Pasifik sebanyak 3 titik di selatan Papua sebanyak 4 titik. Perjanjian ini meneruskan hasil perundingan batas maritim antara Indonesia dan Australia tahun 1971. f. Batas maritim Indonesia – Australia. Perairan antara Indonesia dan Australia merupakan daerah yang sangat luas, terbentang lebih dari 2100 mil laut dari Selat Torres sampai dengan perairan Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Christmas. Kedua negara telah menyelesaikan hampir seluruh batas landas kontinen di kawasan laut yang berhadapan di bagian selatan Indonesia. Persetujuan Garis Batas dasar laut Tertentu di Laut Arafura disahkan pada tahun 1971 disepakati sebanyak 15 titik. Pada tahun 1972, disepakati sebanyak 13 titik batas landas kontinen di wilayah perairan Laut Timor dan Laut Arafura. Disamping itu kedua negara juga telah menandatangani Persetujuan Garis Batas ZEE dan dasar Laut Tertentu Indonesia Australia dari perairan selatan Jawa, termasuk perbatasan maritim di Pulau Ashmore dan Pulau Christmas pada tanggal 14 Maret 1997 sebanyak 160 titik, namun persetujuan itu belum disahkan. g. Batas maritim Indonesia – Vietnam. Garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam terletak di laut China Selatan telah dilakukan perundingan selama kurang lebih 25 tahun (sejak 1978 s/d 2003) dan telah ditandatangani sebanyak 6 titik batas Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial 1 Bagian I (buku NKRI).indd 31 13-Jan-15 12:16:48 PM

landas kontinen di Laut China Selatan oleh Menteri Luar Negeri kedua negara pada tanggal 26 Juni 2003 di Hanoi, Vietnam. Persetujuan tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2007. 2.7. Batas maritim yang sedang dirundingkan : a. Batas maritim Indonesia - Filipina. Batas maritim Indonesia - Filipina berada di Laut Sulawesi, Perairan Marore- Mindanau-Miangas (M3), Laut Filipina sampai Samudera Pasifik sebelum tri junction Indonesia-Philipina-Palau. Rezim batas yang ditetapkan adalah batas ZEE dan landas kontinen. Dalam beberapa kali pertemuan belakangan ini telah disepakati bersama prinsip delimitasi batas ZEE di Laut Sulawesi untuk mencapai sebuah common provisional line berdasarkan proportionality line. b. Garis batas laut wilayah Indonesia - Singapura. Garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura di bagian tengah Selat Singapura telah disepakati sebanyak 6 titik batas melalui perundingan pada tahun 1973. Namun demikian, pada segmen barat masih menyisakan tri junction point dengan Malaysia. Untuk segmen timur timur dengan adanya keputusan ICJ terkait kepemilikan Pulau Batu Puteh (Pedra Branca) kepada Singapura, maka Indonesia akan menunggu perundingan Indonesia dan Malaysia terlebih dahulu. c. Garis Batas maritim Indonesia - Malaysia. Batas maritim yang sedang dirundingkan berada di Laut Sulawesi, yaitu batas teritorial, batas landas kontinen dan batas ZEE. Perundingan batas-batas maritim tersebut dilaksanakan dalam satu paket dengan perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan Laut China Selatan, serta garis batas wilayah di Selat Malaka bagian selatan. d. Batas maritim Indonesia - Palau. Republik Palau adalah negara kepulauan dan terletak di timur laut Indonesia, di sebelah utara Papua. Saat ini telah dilakukan pertemuan teknis pertama di Manila pada April 2010 setelah dibukanya hubungan diplomatik kedua negara. e. Batas ZEE antara Indonesia dengan Vietnam. Pertemuan teknis pertama pembahasan batas ZEE antara Indonesia dengan Vietnam di laut China Selatan telah diselenggarakan di Hanoi, Vietnam pada 18 Mei 2010. Pembahasan masih terkaist diskusi Principles and Guidelines dalam delimitasi batas ZEE. 2.8. Batas Maritim yang belum dirundingkan a. Batas maritim Indonesia - Timor-Leste. Negara Timor-Leste merdeka pada 20 Mei 2002. Penyelesaian batas maritim akan dilakukan dalam hal demarkasi batas darat kedua negara telah diselesaikan. Hingga saat ini batas darat baru terselesaikan 97 %, sehingga  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 32 13-Jan-15 12:16:48 PM

negosiasi batas maritim belum dapat dimulai. Area batas maritim yang akan didelimitasi berada di Laut Sawu, Selat Ombai, Selat Wetar, Selat Leti dan Laut Timor berupa batas laut wilayah, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Untuk persiapan delimitasi, Indonesia telah menyiapkan beberapa titik pangkal di wilayah sekitar Pulau Timor yang telah diterbitkan pada PP no 37 tahun 2008. b. Batas ZEE antara Indonesia dengan India, dan Thailand . Batas ZEE antara Indonesia dengan India dan Thailand pada wilayah dimana batas landas kontinennya telah disepakati sampai saat ini belum pernah dilakukan perundingan. 2.9. Batas yang tidak perlu dirundingkan Dengan berlakunya UNCLOS 1982 secara efektif sejak tanggal 16 November 1994, maka Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan PP No. 38 tahun 2002 yang telah direvisi dengan PP No. 37 tahun 2008 telah menetapkan koordinat geografis titik-titik garis pangkal berdasakan prinsip negara kepulauan. Dapat disampaikan bahwa titik-titik garis pangkal ditetapkan secara unilateral, maka juga telah dilakukan klaim Indonesia pada seluruh batas maritim yang cukup ditetapkan secara unilateral menurut ketentuan UNCLOS. Yaitu mencakup batas laut dan garis pangkal, serta batas wilayah selebar 12 mil laut dari garis pangkal, batas zona tambahan hingga 24 mil laut dari garis pangkal, ZEE dan landas kontinen hingga 200 mil laut dari garis pangkal. Yurisdiksi atas ZEE dan landas kontinen sampai selebar 200 mil laut dari garis pangkal, berada di Samudera Hindia (sebelah barat Sumatra dan sebelah selatan Nusa Tenggara Barat) dan di Samudera Pasifik. Di luar batas 200 mil laut masih dapat diklaim landas kontinen sampai maksimum 350. 2.10. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Pengukuhan atas rezim hukum Indonesia sebagai negara kepulauan, selain di satu sisi memiliki penambahan kedaulatan wilayah dan hak-hak berdaulat atas sumberdaya alam, yang demikian signifikan penambahannya, namun disisi lain penetapan perairan kepulauan dengan garis pangkal kepulauan Indonesia, sesuai Pasal 47 UNCLOS-82 maka Indonesia berkewajiban untuk menetapkan ALKI untuk kepentingan kapal-kapal asing melintas di perairan kepulauan Indonesia dari satu wilayah ZEE Indonesia ke wilayah ZEE Indonesia lainnya. Untuk itu sesuai ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996, telah ditetapkan tiga ALKI melalui Peraturan Pemerintah No 37 tahun 2002, yaitu: ALKI I (Selat Sunda, Selat Karimata, dan Laut Natuna), ALKI II (Selat Lombok, Selat Makassar dan Laut Sulawesi), maupun ALKI III (Selat Ombai Wetar, Laut Banda, Laut Arafuru, Laut Maluku dan Laut Halmahera). Pentingnya Indonesia menetapkan ALKI adalah untuk dapat mengontrol lalu lintas kappa lasing yang melalui perairan Indonesia. Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 33 13-Jan-15 12:16:48 PM

2.11. Penguasaan dan Pemajuan Iptek Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri lebih dari 17.000 pulau membentang sepanjang lebih dari 5000 km disekitar katulistiwa dengan kira- 2 kira 70% wilayahnya terdiri dari lautan atau seluas 6,8 juta km . Pengertian hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Untuk itu Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas dalam pemanfaatan dan pemajuan IPTEK dalam rangka Ketahanan Nasional diperlukan penguasaan iptek dan riset ilmiah kelautan, peningkatan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan serta pengembangan system informasi kelautan. Pembangunan kelautan harus diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, social budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. Riset ilmiah kelautan mempunyai peranan penting dalam menggali potensi kekayaan sumber daya laut yang kemudian harus dioptimalkan bagi pembangunan nasional untuk bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, penyediaan anggaran yang cukup, pembenahan kerjasama dan koordinasi yang baik, serta peralatan yang memadai antara instansi yang terkait mutlak diperlukan dalam melaksanakan riset ilmiah kelautan Indonesia sebagaimana yang diatur oleh Konvensi Hukum Laut 1982 Bab XIII tentang riset ilmiah Kelautan, Pasal 238-265. Diantaranya dari Pasal 238 menyatakan bahwa semua Negara tanpa memperhatikan lokasi geografisnya dan organisasi internasional mempunyai hak untuk melakukan riset ilmiah kelautan sebagaimana diatur oleh konvensi. Konvensi Hukum Laut 1982 menentukan prinsip-prinsip umum penyelenggaran riset ilmiah kelautan, yaitu sebagai berikut: a. riset ilmiah kelautan harus dilaksanakan semata-mata untuk tujuan damai (peaceful purposes); b. riset ilmiah kelautan harus dilakukan dengan metode ilmiah (scientific methods); c. riset ilmiah kelautan tidak boleh mengganggu penggunaan laut lainnya yang sah sesuai dengan Konvensi; d. riset ilmiah kelautan harus diseleggarakan sesuai dengan peraturan perundangundangan dan konvensi. Lebih lanjut dalam konvensi juga disebutkan bahwa, negara-negara pantai dalam melaksanakan kedaulatannya mempunyai hak eksklusif untuk mengatur, mengizinkan, dan melaksanakan riset ilmiah kelautan di laut teritorialnya, sehingga riset tersebut harus berdasarkan persetujuannya. Negara-negara pantai juga mempunyai hak untuk mengatur, mengizinkan dan melakukan riset ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, sehingga negara lain dan organisasi internasional harus mendapat persetujuan dari negara pantai tersebut. Riset ilmiah kelautan di ZEE dan landas kontinen adalah riset untuk tujuan damai dan bagi kepentingan umat manusia (benefit of all mankind).  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 34 13-Jan-15 12:16:48 PM

Dengan mengingat wilayah laut yang sangat luas maka Indonesia wajib melakukan pengembangan dan alih teknologi kelautan dalam rangka upaya pemanfaatan kekayaan sumber daya kelautan seperti eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan tersebut baik kekayaan hayati seperti ikan dan nonhayati seperti minyak, gas, dan pertambangan lainnya. Di samping itu, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membentuk pusat-pusat nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, sehingga kekayaan sumber daya laut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kepentingan nasional. Dalam rangka menghadapi persaingan global maka di dalam pengembangan sistem informasi kelautan juga diperlukan penguasaaan serta pemanfaatan teknologi yang baik salah satunya terkait dengan teknologi geospasial. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait hal ini antara lain adalah Global Navigation Satellite System (GNSS), fotogrametri dan penginderaan jauh serta Sistem Informasi Geografis (SIG). Perkembangan teknologi penentuan posisi dengan menggunakan metode satelit saat ini sudah sangat berkembang diantaranya yang sangat familiar adalah Global Position System (GPS). Sistem satelit navigasi tersebut merupakan bagian dari GNSS yang memberikan posisi yang lebih akurat untuk berbagai macam aplikasi. Beberapa bidang aplikasi GNSS antara lain adalah survei pemetaan dan penentuan posisi baik di darat maupun di laut, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik, Dengan semakin banyaknya satelit penginderaan jauh (QuickBird, Landsat TM7 +ETM, ALOS dan SPOT, dll) tersebut maka berbagai macam aplikasi aplikasi diantaranya pemanfaatan sumber daya alam, kelautan, pemetaan wilayah laut dapat dikembangkan. Dengan dipadukan dengan teknologi Sistem informasi geografis (SIG), maka dapat mendukung analisis geografis yang mencakup berbagai aplikasi geospasial. Teknologi geospasial yang ada dan berkembang saat ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk dapat menghasilkan aplikasi-aplikasi geospasial yang salah satunya dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengambil kebijakan. Indonesia terletak diantara samudra Pasifik dan Samudra Hindia, wilayah ini merupakan tempat bertemunya air dari dua samudra dan laut – laut kecil baik yang internal (Laut Jawa, Laut Banda, Laut Bali dsb) maupun laut yang eksternal (Laut Natuna, Laut Sulawesi, Arafuru dsb.). Indonesia juga merupakan tempat bertemunya tiga lempeng tektonik utama, dan variasi topografi dasar lautnya sampai mencapai kedalaman lebih dari 8000 meter menambah kompleksnya kondisi laut Indonesia. Untuk menginventarisasikan dan memanfaatkan sumber daya laut dengan optimal dan untuk mendukung kegiatan eksplorasi , studi- studi kelautan diperlukan data dari berbagai disiplin ilmu seperti geologi dan geofisika , oseanografi , biologi kelautan dan pemetaan dasar laut atau batimetri. Juga diperlukan pemetaan kelautan sistimatik dan tematik untuk wilayah seluruh perairan Indonesia. Pemetaan geologi kelautan untuk mengetahui sumber daya alam seperti migas, sumber daya mineral. Penjelajahan laut dalam Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 35 13-Jan-15 12:16:48 PM

memungkinkan untuk mengetahui keragaman hayati di dalam ekosistemnya. Informasi mengenai lempeng bumi di laut dalam juga bermanfaat dalam kajian gempa dan tsunami. Dalam melakukan survei dan kajian sebagai di atas tentunya diperlukan dukungan riset kelautan dan teknologi dan berbagai peralatan seismik, bathimetri, kapal riset yang memadai. Adanya perubahan suhu bumi (Global Climate Change), diprediksikan akan menyebabkan kenaikan air laut. Untuk dapat memprediksikan seberapa jauh dampaknya terhadap pulau-pulau di Indonesia, maka dibutuhkan juga data Batimetri. Masih banyak pemanfaatan lain dari data Batimetri untuk berbagai macam keperluan untuk mendukung aktivitas-aktivitas terkait dengan kelautan, seperti: studi ilmiah, industri maritim, penarikan batas wilayah laut dll. Sebagai Negara kepulauan, dengan potensi wilayah laut yang sangat luas, Indonesia juga harus mengembangkan energi nasional yang bersumber dari laut, dasar laut maupun tanah di bawahnya, serta pengembangan industri kelautan yang bertujuan untuk mendukung sektor utama perekonomian kelautan. Di masa yang akan datang energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) tentunya akan semakin menipis. Oleh sebab itu, energi Kelautan yang merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumber daya kelautan nonhayati yang dapat diperbarui memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Sumber energi kelautan lainnya seperti energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. 2.12. Meningkatkan Kualitas SDM dalam Pembangunan Kelautan Sebagaimana telah disinggung di atas, untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional, maka diperlukan keuletan, ketangguhan dan kemampuan bangsa dalam mengembangkan kekuatan nasional. Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas dengan kekayaan alam laut yang berlimpah, maka untuk pemanfaatan dan pembangunan nasional khususnya kelautan tidak dapat terlepas dari penguasaan iptek dan riset ilmiah kelautan, peningkatan kualitas SDM di bidang kelautan serta pengembangan sistem informasi kelautan. Tujuan pembangunan kelautan secara berkelanjutan sebagaimana telah dijelaskan diarahkan pada pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut, pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, serta untuk mendukung dan memperkuat tegaknya kedaulatan dan yurisdiksi nasional. Terlepas dari penting dan mendasarnya semua kegiatan ekonomi, politik dan sosial budaya di bidang kelautan, Sumberdaya Manusia (SDM) dan IPTEK menjadi kunci penting dalam pembangunan kelautan nasional. Maka dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM kebaharian merupakan sebuah keharusan demi tercapainya sasaran pembangunan kelautan. Kondisi saat ini SDM kelautan baik kualitas maupun kuantitas masih sangatlah  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 36 13-Jan-15 12:16:48 PM

kurang, hal ini yang menyebabkan lambatnya pembangunan di bidang kelautan. Padahal berkembang dan stagnasinya suatu bangsa ditentukan kesiapan atau tidaknya sumberdaya manusianya. Dengan demikian mutlak dan wajib bagi pemerintah untuk meningkatkan SDM dan IPTEK kelautan yang berkaitan dengan perikanan, pelayaran, pariwisata bahari, hukum dan kelembagaan, lingkungan laut, dan energi dan sumberdaya mineral. Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan telah tertuang dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004. Meskipun pemerintah Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan dengan baik. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tidak lepas dari political will, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta SDM. Berkaitan dengan masalah perikanan, hampir sebagian besar di Indonesia para pelaku perikanan adalah nelayan tradisional. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan kemampuan nelayan tradisional, sehingga kemiskinan struktural nelayan dapat teratasi serta mampu untuk menaikkan produktivitas serta mengangkat daya saing perikanan Indonesia. Demikan halnya dengan sumber daya energi dan sumberdaya mineral serta industri maritim lainnya yang umumnya SDM kurang mengusai teknologi. Berdasarkan data geologi, diketahui Indonesia memiliki lebih dari 60 cekungan minyak di dasar laut yang masih banyak yang belum dieskplorasi. Tentunya hal ini selain membutuhkan teknologi yang canggih juga SDM yang handal di bidangnya. Sumberdaya manusia merupakan bagian terpenting dalam pembangunan, sehingga peningkatan kemampuan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mutlak diprioritaskan oleh setiap daerah yang menjadikan pesisir dan laut sebagai tumpuan pertumbuhan daerah. Untuk itu perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan peranan kualitas SDM dan teknologi dan pengetahuan untuk mendayagunakan sumberdaya lautan agar industri-industri perikanan, perhubungan laut, dan maritim perkapalan dapat terangkat. Selain itu diperlukan juga meningkatkan anggaran pada masing-masing sektor untuk upaya pengembangan sumberdaya manusia dan teknologi. 2.13. Penutup Sektor kelautan merupakan pilar ekonomi Pembangunan Nasional dan SDM merupakan satu aspek penting dalam pembangunan kelautan yang menjadi bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia yang berkesinambungan. Pembangunan kelautan merupakan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Perlu perubahan paradigma aparatur maupun non aparatur yang masih berparadigma darat (land based sosio economic oriented) menjadi ke laut Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 37 13-Jan-15 12:16:48 PM

(marine sosio economic oriented). Untuk terwujudnya Indonesia sebagai negara kesatuan berwawasan Nusantara, perlu membangun sistem pemerintahan yang berorientasi kelautan, untuk itu berbagai upaya seperti membangun kapasitas SDM di bidang kelautan baik secara individual maupun kelembagaannya dalam rangka menghadapi tantangan, mengintensifkan pendidikan dan pelatihan pada sektor kelautan, yang didukung oleh berbagai upaya. Antara lain pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, meningkatkan kontribusi sektor kelautan dalam perekonomian nasional, menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumber daya kelautan. Selain hal tersebut di atas untuk eksplorasi dan penelitian menyeluruh atas segala sumber daya maritim Indonesia, dibutuhkan kesiapan lebih dari apa yang saat ini dimiliki seperti pengembangan teknologi beserta peningkatan kemampuan kualitas SDM Indonesia secara profesional yang kredibel. 2.14. Daftar Pustaka Hassan Wirajuda (2006), Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dalam buku Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. IHO (2006), The technical aspects of the law of the sea (TALOS), Special Publication No. 51. Mochtar Kusuma atmadja (1977), Indonesia dan perkembangan hukum laut dewasa ini. Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri, Departemen Luar Negeri RI. PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 38 tahun 2002. Sobar Sutisna (Ed.); Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal, 2006. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1971 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka. Undang-Undang Nomor 4/Prp. tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Negara antara Indonesia dengan Australia atas perbatasan darat antara Indonesia-Papua Nugini. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura. Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara.  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 38 13-Jan-15 12:16:48 PM

III. KEPASTIAN HUKUM WILAYAH PERBATASAN NKRI SEBAGAI BASIS DALAM PERTAHANAN DAN PENGAMANAN WILAYAH NEGARA Sobar Sutisna 1*) 3.1. Pendahuluan Pengamanan wilayah NKRI bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan saja, akan tetapi menyangkut masalah politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, kesejahteraan dan dokumentasi informasi geospasial. Layaknya sebuah lukisan zamrud khatulistiwa yang dibingkai, wilayah NKRI memiliki batas- batas kedaulatan dan hak berdaulatnya sebagai bingkai. Batas wilayah NKRI belakangan ini menjadi isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif, legislatif, aparatur pertahanan, maupun masyarakat umum, termasuk kalangan elit politik (pusat dan daerah). Sensitivitas tersebut kemudian diikuti dengan sentimental dan emosional yang kadang dapat membuat kehilangan konteks terhadap permasalahan yang sebenarnya. Akibatnya pengambil keputusan bisa keliru. Menyimak pernyataan Pangdam Udayana yang dikutip oleh harian Kompas tertanggal 4 Januari 2006, dimana dinyatakan bahwa dukungan undang- undang khusus perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI kini terasa kian mendesak[1], undang-undang itu ibarat sertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan yang akan dibahas berikut ini. Sentimen dan emosi itu berkembang sejak diputuskannya kasus Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional serta mencuatnya kasus Ambalat beberapa waktu lalu. Hal ini tentunya merupakan suatu tanda masih adanya kepekaan nasionalisme yang baik dari setiap anggota masyarakat Indonesia. Tetapi hal ini juga memerlukan suatu penanganan khusus yang tenang, cermat dan cerdas. Informasi permasalahan 1 *) SobarSutisna, Ir., M.Surv.Sc., Ph.D., Peneliti Utama Bakosurtanal, dan praktisi perbatasan. Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 39 13-Jan-15 12:16:48 PM

batas NKRI yang beredar di masyarakat hendaknya ditanggapi secara arif oleh para pemimpin bangsa, baik di tingkat nasional maupun daerah, baik legislatif maupun eksekutif, dengan memberikan informasi yang jelas dan benar berdasarkan data/informasi dari instansi atau pakar yang kompeten. 3.2. Rancangan Undang-undang Perbatasan: Sebuah polemik masa lalu Pada saat ini, di masyarakat ataupun di jajaran eksekutif dan legislatif sedang gencar membicarakan isu tentang perlunya sebuah undang-undang khusus tentang perbatasan sebagai dasar hukum dari wilayah kedaulatan NKRI. Merujuk kepada pernyataan yang dikeluarkan oleh Pangdam Udayana yang dikutip oleh harian Kompas tertanggal 4 Januari 2006, dimana dinyatakan bahwa dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI kini terasa kian mendesak, undang-undang itu ibarat sertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan. Pernyataan dari Pangdam Udayana tersebut perlu dicermati dengan seksama. Di satu sisi pentingnya dasar hukum sebuah wilayah Negara adalah sangat penting, namun bila melihat kepada perundang-undangan kita, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan undang-undang perbatasan sudah dimiliki oleh Indonesia, baik yang menunjukkan klaim integritas wilayah NKRI ataupun perundangan yang merupakan hasil kesepakatan dengan negara tetangga. Sebagai contoh perundangan nasional terkait dengan batas wilayah NKRI adalah PP No.38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (kini telah diperbaharui dengan PP No. 37 tahun 2008). Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut dicantumkan daftar koordinat geografis dari titik-titik garispangkal kepulauan Indonesia yang merupakan. Garis pangkal dimaksud adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari wilayah NKRI. Selanjutnya titik-titik tersebut dihubungkan satu sama lainnya sehingga membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia sebagai “fondasi pagar” batas wilayah negara di laut. Dari garis pangkal tersebut diukurlah lebar laut territorial sejauh 12 mil laut (NM) atau sesuai kesepakatan bila terjadi overlapping dengan laut territorial negara tetangga. Dari batasan ini jelas bahwa segala sesuatu yang berada di dalam zona laut territorial Indonesia adalah mutlak merupakan wilayah kedaulatan NKRI. Disamping PP No. 38 tahun 2002 dan PP No. 37 tahun 2008 tersebut, masih banyak peraturan-perundangan lainnya yang terkait batas wilayah NKRI.Sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1971 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Malaysia Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara Di Selat Malaka, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1973, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973, serta 14 peraturan perundang- undangan lainnya yang mengesahkan perjanjian batas kedaulatan maupun hak berdaulat Indonesia dengan negara tetangga. 0 NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 40 13-Jan-15 12:16:48 PM

Dengan adanya berbagai perundangan tersebut, ditambah dengan status Indonesia yang juga negara pihak terhadap UNCLOS 1982, nampaknya tidak perlu adanya keraguan tentang bata-batas terluar dari NKRI. Perundangan yang telah ada tersebut juga dapat menjadi dasar bagi TNI untuk menjalankan tugas dan fungsi pengamanan dari wilayah NKRI. Permasalahan bagi TNI sekarang ini bukanlah berada pada kurangnya landasan hukum untuk menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi lebih kepada sarana dan prasarana yang dapat menunjang perannya tersebut. Seperti yang kita telah ketahui bahwa alat tempur dan sistem pertahanan yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari memadai untuk dapat mengamankan seluruh wilayah NKRI yang luas daratannya sekitar 2 juta km , 2 dan luas laut wilayahnya sekitar 3 juta km , ditambah sekitar 3 juta km lagi luas 2 2 wilayah hak berdaulatnya di lautan. Untuk itu sejatinya yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan kebijakan politik dari pemerintahan NKRI (eksekutif dan legislatif) untuk dapat memperlengkapi kekuatan Alutsista TNI di masa datang. Sedangkan polemik RUU tentang perbatasan negara kini telah berlalu dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara pada tanggal 14 November 2008, dan kemudian dengan Perpres No. 12 tahun 2010 dibentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). 3.3. Pulau Batek dan Mengkudu: Polemik atau isu? Menanggapi status Pulau Batek dan Pulau Mengkudu yang keduanya berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan kemudian ramai diberitakan di media massa sebagai adanya kejadian penguasaan wilayah Indonesia oleh negara asing, seharusnya tidak perlu menjadi polemik berkepanjangan. Kedua 2 pulau tersebut tidak perlu diragukan status kedaulatannya, yaitu berada dan merupakan bagian dari wilayah NKRI. Isu tentang kepemilikan kedua pulau tersebut juga dikaitkan dengan isu yang sebelumnya diberitakan tentang status Pulau Batek yang oleh sementara pejabat pemerintah Timor-Leste dan UN-PKF pernah “melakukan penjajakan klaim” terhadap Pulau Batek. Namun hal ini telah diprotes oleh Pemerintah Indonesia dan hal ini sudah dibicarakan dengan Timor Leste. Dalam hal ini, dasar hukum yang menunjang status Pulau Batek sebagai bagian dari wilayah NKRI adalah sangat kuat karena adanya Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad/Ordonansi) No.331 Tahun 1916 yang secara eksplisit menyebut bahwa Pulau Batek berada di bawah kedaulatan dan administrasi Pemerintah Hindia Belanda. Dari penjelasan ini maka tidak perlu diragukan dan dipersoalkan lagi tentang status dari Pulau Batek yang merupakan bagian dari wilayah NKRI. Kembali ke persoalan status Pulau Mangkudu atau disebut juga dengan nama Pulau Mangkudu, keberadaannya juga sudah sangat jelas berada di wilayah NKRI.  Status keduapulautersebutmasihmenjadipolemik di masyarakat.Lihat: PanglimaKodamUdayana: UU PerbatasanMendesak, Kompas,  Januari 006 Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial 1 Bagian I (buku NKRI).indd 41 13-Jan-15 12:16:48 PM

Hal ini didasarkan pada PP Nomor 38 Tahun 2002 yang mencantumkan Pulau Mangkudu sebagai salah satu pulau lokasi titik dasar kepulauan Indonesia. Di Pulau Mangkudu sendiri terdapat 2 buah titik dasar, yaitu TD. 125 dan TD. 125 A. Bila polemik yang ada saat ini terkait dengan adanya warga negara Australia yang bernama David yang tinggal disana dan mendirikan resort berskala internasional, hal ini perlu dicermati dengan seksama mengingat dia tinggal disana juga karena sudah menikah dengan anak dari raja dari Sumba Timur. Bila David pada saat ini mendirikan resort berskala Internasional maka juga perlu ditinjau dari sistem perundangan yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dan peraturan pelaksanaannya berkenaan dengan Pendaftaran Tanah (PP No.10 tahun 1961 sebagaimana telah diganti dengan PP No. 24 tahun 1994. Perlu dikaji apakah pengelolaan resort internasional tersebut menggunakan kepemilikan tanah keluarga dari istrinya ataukah tanah yang dimiliki oleh David sendiri. Perlu diingat bahwa dalam Hukum Agraria kita, status kepemilikan tanah yang dilarang bagi non-WNI hanyalah status hak milik. Oleh karenanya polemik tentang kepemilikan (apalagi kedaulatan) Indonesia atas Pulau Mangkudu atau Pulau Mengkudu ini tidak perlu diperpanjang, dan juga tidak perlu dikaitkan dengan meragukan status kedaulatan NKRI atas pulau tersebut. Yang sejatinya saat ini mendesak bukanlah meragukan kedaulatan atas pulau Mangkudu, melainkan lebih kepada bagaimana pengelolaan pulau tersebut (sebagai pulau terluar) dari sisi hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini, Pihak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur hendaknya dapat melihat kawasan Pulau Mangkudu dan juga Pulau Batek sebagai aset dan potensi wilayah yang dapat dikembangkan, dan yang mungkin malah dapat memberikan revenue yang besar bagi pemerintah daerah bila dikelola dengan baik. 3.4. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan: Suatu Kehilangan atau Kegagalan Memiliki Di dalam setiap polemik tentang perbatasan NKRI, masih banyak masyarakat kita yang selalu merefleksikan terhadap kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai sebuah kehilangan kedautan Indonesia atas kedua pulau tersebut. Benarkah demikian?, bukankah itu adalah sebagai suatu kegagalan memiliki kedua pulau tersebut yang kita sengketakan dengan Malaysia? dan kemudian diputus oleh Mahkamah Internasional pada Desember 2002. Sebagai contoh perhatikan pernyataan Pangdam Udayana berikut ini, yang menyatakan: ”Indonesia kini menunggu undang-undang perbatsan hingga pulau-pulau kecil dekat perbatasan dengan negara lain tidak mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan” 3 Merefleksikan masalah kedaulatan terhadap Kasus pulau-pulau Sipadan dan Ligitan perlu dilihat dari konteks permasalahannya. Kasus pulau Sipadan dan  Kompas,  Januari 006  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 42 13-Jan-15 12:16:48 PM

pulau Ligitan (Siplig) adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau 4 tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yang berawal pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen antara kedua negara. Pada perundingan tersebut menemukan bahwa pulau Sipadan dan pulau Ligitan merupakan pulau-pulau yang ”tidak bertuan” (terranulius), hal ini mengingat bahwa kedua negara tidak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah masing-masing. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang No.4/Prp/1960 tidak mencantumkan pulau-lulau Sipadan dan Ligitan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas dasar saling klaim tersebutlah, kedua negara sepakat untuk menempatkan kedua pulau tersebut ke dalam status quo yang pada akhirnya pada tahun 1997 kedua negara bersepakat untuk dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk diputuskan tentang kepemilikannya. Pencantuman Pulau Sipadan dan Ligitan di dalam PP Nomor 38 Tahun 2002 adalah langkah yang sudah terlambat, dan kemudian dikoreksi pada tahun 2008 dengan PP No. 37 tahun 2008. Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa pemahaman yang perlu ditanamkan adalah bahwa Indonesia bukan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, melainkan Indonesia gagal di dalam upaya memasukkan keduanya ke dalam wilayah NKRI. Perlu pula dipahami bahwa kasus Siplig bukanlan kasus sengketa batas wilayah negara, melainkan kasus sengketa kepemilikan pulau- pulau tersebut. Kasus Siplig yang unik dan khusus ini hendaknya menjadi pembeda dan tidak menjadi refleksi terhadap keraguan atas kedaulatan wilayah NKRI atas pulau-pulau terluar lainnya yang telah masuk didalam sistem hukum Indonesia. 3.5. Penutup Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu ragu atas status kedaulatan dari wilayah Indonesia, terutama yang berada di perbatasan dengan negara tetangga, karena semuanya telah jelas diatur dalam peraturan-perundang-undangan yang sah. Yang masih belum tuntas adalah tinggal sebagaian kecil dari perbatasan laut wilayah saja, seperti di selat Malaka bagian Selatan, selat Singapura bagian Timur, di sekitar perairan Tanjung Datu, periran Selat Letti, Selat Wetar, Selat Ombay, dan Laut Sawu, selebihnya yang belum tuntas adalah di wilayah perairan hak-berdaulat, terutama zona ekonomi eksklusif (ZEE). Berbagai ketentuan perundangan yang kita miliki telah cukup menjadi landasan integritas wilayah NKRI. Tinggal persoalan aktual sekarang ini adalah bagaimana menjaga, mengawasi, mengamankan dan mengelolanya dengan baik dari berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan. Dalam pandangan penulis, pada saat ini yang perlu dikedepankan oleh  Hassan Wirajuda, Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Pandang wilayah Perbatasan Indonesia, Editor: Dr. Sobar Sutisna (Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal) Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 43 13-Jan-15 12:16:48 PM

para pengambil keputusan (politik dan anggaran) adalah bagaimana Indonesia mengelola wilayah perbatasan dengan sebaik-baiknya. Bila ingin menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan wilayah NKRI, maka pengawasan, pengamanan, pengembangan dan pembangunan wilayah perbatasan tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dan tentunya, oleh karena masih terdapat segmen-segmen batas maritim yang belum tuntas dirundingkan dengan negara tetangga,maka perlu terus melanjutkan kebijakan Border Diplomacy oleh seluruh instansi yang terkait, yang dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Kementerian Luar Negeri RI. 3.6. Daftar Pustaka Harian Umum Kompas tanggal 4 Januari 2006. Hassan Wirajuda (2006), Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dalam buku Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 24 tahun 1994 . PP No. 37 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 38 tahun 2002. PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Sobar Sutisna (Ed.); Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal, 2006. Staatsblad Hindia Belanda No. 331 Tahun 1916. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1971 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka. Undang-Undang Nomor 4/Prp. tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Negara antara Indonesia dengan Australia atas perbatasan darat antara Indonesia-Papua Nugini. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura. Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982. Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara.  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 44 13-Jan-15 12:16:48 PM

IV. URGENSI PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LANDAS KONTINEN INDONESIA Khafid, Eko Artanto, dan Teguh Fayakun Alif 4.1. Pendahuluan Kekayaan alam yang berlimpah di lautan mendorong negara-negara pantai untuk memperluas garis batas yurisdiksinya, misalnya dengan klaim atas landas kontinen yang dimungkinkan di dalamnya mengandung kekayaan alam. Klaim atas landas kontinen pertama kali dideklarasikan oleh Amerika Serikat secara sepihak melalui Proklamasi Truman pada tanggal 28 September 1945 tentang “Continental Shelf”. Klaim tersebut segera diikuti oleh negara-negara lain dan merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis. Agar tidak terjadi sengketa, dirasakan perlu adanya hukum internasional yang mengatur tentang landas kontinen. Untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut, diadakan Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa tahun 1958 yang menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) I, yang didalamnya juga membahas tentang landas kontinen. Pada tahun 1960 pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan lebih spesifik diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengacu pada UNCLOS I. Ketentuan landas kontinen dalam UNCLOS I yang mendasarkan pada kriteria “technical exploitability” sudah tidak memuaskan lagi terutama bagi negara- negara yang sedang berkembang dan tidak mempunyai kemampuan serta teknologi untuk memanfaatkannya. Hal ini merupakan salah satu alasan untuk meninjau kembali UNCLOS I. Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 45 13-Jan-15 12:16:48 PM

Pada tahun 1960 diadakan Konferensi Hukum Laut PBB II sebagai usaha untuk membuat rumusan tentang landas kontinen yang dapat memuaskan semua pihak, namun usaha tersebut gagal dan konferensi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan baru. Rumusan tentang landas kontinen terselesaikan dengan disepakatinya UNCLOS III yang dihasilkan dalam Konferensi Hukum Laut PBB III di Teluk Montego, Jamaica tahun 1982. Konferensi yang dihadiri oleh 119 negara termasuk Indonesia tersebut telah diakui secara internasional dan berlaku efektif menggantikan ketentuan UNCLOS I. 4.2. Konsepsi Landas Kontinen Landas Kontinen (continental shelf) dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratan. Landas kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta sebagai sumber daya alam hayati. Landas kontinen biasanya tidak terlalu dalam (kedalaman sekitar 50 hingga 550 meter), sehingga sumber-sumber alam dari landas kontinen dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada. Teori Landas Kontinen pertama kali diproklamirkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Harry S. Truman, pasca-Perang Dunia II pada tanggal 28 September 1945. Tindakan Amerika Serikat ini bertujuan untuk mencadangkan kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat. Proklamasi Truman tersebut mengundang berbagai reaksi dari negara- negara pantai lain yang juga menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di landas kontinen negaranya. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai landas kontinen menyebabkan banyak negara menuntut landas kontinen seluas-luasnya tanpa memperdulikan kepentingan negara tetangganya. Agar tidak terjadi perselisihan, diadakan Konferensi Hukum Laut PBB yang menghasilkan kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). 4.2.1. Landas Kontinen dalam Istilah Geologi Topografi dasar laut secara geologis dibagi menjadi Continental Margin (dasar laut yang masih berhubungan dengan benua) dan Abyssal Plains (dasar laut dalam yang bukan merupakan bagian dari benua). Continental margin mencakup continental shelf, continental rise dan continental slope. Continental shelf (dataran kontinen) merupakan wilayah dasar laut yang berbatasan dengan benua atau pulau-pulau yang turun ke bawah secara bertahap yang diukur dari garis air rendah sampai kedalaman mencapai 130 meter (R.R. Churchil dalam Hasibuan, 2002). 4.2.2. Landas Kontinen dalam Istilah Hukum Seiring perkembangan teknologi di bidang eksplorasi dasar laut, diketahui  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 46 13-Jan-15 12:16:48 PM

bahwa continental shelf menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta berbagai sumberdaya alam hayati. Hal tersebut melatarbelakangi klaim pemerintah Amerika Serikat atas continental shelf melalui proklamasi Truman tanggal 28 September 1945, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain dan menjadi permasalahan baru dalam bidang hukum laut. Klaim ini merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis (hukum). Landas Kontinen (Continental shelf) berdasarkan istilah hukum telah jauh berbeda dengan istilah yang sebenarnya secara geologis. Jika dalam istilah geologis continental shelf diartikan secara fisik sebagai kelanjutan alamiah dari daratan (natural prolongation), maka dalam istilah hukum continental shelf adalah salah satu batas maritim dimana suatu negara pantai memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumberdaya alam di dasar lautnya. Istilah landas kontinen untuk continental shelf dalam istilah hukum diberikan untuk membedakan continental shelf dalam pengertian geologis (dataran kontinen). Rejim hukum laut di Indonesia termasuk mengenai landas kontinen tunduk pada ketentuan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Perbedaan definisi landas kontinen menurut UNCLOS 1958 dan UNCLOS 1982 adalah sebagai berikut: UNCLOS 1958 : Konvensi mengakui kedalaman negara pantai atas landas kontinen sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumber- sumber alam dari daerah tersebut [pasal 1 dan 2]. UNCLOS 1982: Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut [pasal 76]. Dari definisi diatas, terlihat perbedaan signifikan dalam menentukan batas terluar landas kontinen yaitu UNCLOS 1958 mendasarkan pada kedalaman 200 meter dan kemampuan eksploitasi, sedangkan UNCLOS 1982 berdasarkan jarak tertentu (200 mil laut). Lebih lanjut akan dibahas di sub-bagian berikut. 4.3. Dasar Hukum Landas Kontinen UNCLOS Tahun 1958 Konferensi Hukum Laut PBB di Jenewa Tahun 1958 menghasilkan konvensi yang dikenal dengan UNCLOS I. Indonesia meratifikasi konvensi ini menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973. Secara ringkas dikemukakan substansi dari konvensi ini sebagai analisa mengapa konvensi ini perlu dilakukan penyesuaian dan kemudian digantikan dengan UNCLOS III Tahun 1982. Konvensi yang terdiri dari 15 pasal (article) ini mengandung pokok-pokok antara lain: Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 47 13-Jan-15 12:16:48 PM

Article 1 = Mengemukakan definisi dan batasan mengenai landas kontinen : = Berada di luar wilayah laut teritorial, mengingat bahwa dasar laut dan tanah di bawah batas laut territorial ada di bawah kedaulatan negara pantai. = Batas terluar ditentukan dengan ukuran kedalaman 00 meter. Batas tersebut diperluas dengan ”...or beyond that limit to where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas”. Perluasan tersebut menimbulkan keraguan apakah ketentuan yang didasarkan atas technical exploitability itu dapat dianggap sebagai alternatif yang dapat menggantikan ketentuan yang didasarkan atas kriteria 00 meter isobath seandainya tidak ada dataran kontinen dalam arti geologis. Article  = Mengatur hak negara pantai atas landas kontinen, antara lain : = Hak eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam = Hak untuk tidak melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam. Negara lain yang ingin melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam di wilayah tersebut harus mendapat izin dari negara yang bersangkutan. = Tidak perlu melakukan klaim tertentu untuk mendapatkan haknya atas landas kontinen. = Sumberdaya alam yang dimaksud meliputi mineral dan sumberdaya tak hidup lainnya di dasar laut maupun tanah di bawahnya serta organisme jenis sedenter. Article  = Hak-hak negara pantai atas landas kontinen tidak merubah status hukum wilayah tersebut dan udara di atasnya yang tunduk terhadap rejim laut bebas. Negara pantai hanya memiliki ”sovereign right” atau hak berdaulat atas landas kontinen. = Praktik negara-negara Amerika Latin (Argentine, Chile, Peru, El Salvador, Guatemala, Honduras, Mexico dan Brasil), yang dalam peraturan perundang-undangan nasional mereka telah menetapkan kedaulatan negaranya atas landas kontinen termasuk perairan di atasnya tidak dapat dibenarkan. Article  = Negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan kabel dan pipa bawah laut di landas kontinen.  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 48 13-Jan-15 12:16:48 PM

Article  = Pelaksanaan hak-hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh menyebabkan gangguan (unjustifiable interference) terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan sumber daya alam hayati laut dan juga tidak boleh mengganggu penyelidikan oseanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya. = Pemasangan instalasi-instalasi dan alat-alat eksploitasi serta penetapan ”safety zone” di sekelilingnya. Article 6 = Mengatur penetapan batas landas kontinen antara dua negara yang berhadapan (opposite) maupun berdampingan (adjacent) menggunakan prinsip sama jarak (median line). = Delimitasi batas diwujudkan dalam peta. Article 7 = Menjamin hak Negara pantai untuk melakukan eksploitasi di dasar laut yang berdekatan dengan pantainya dengan jalan pembuatan terowongan (tunelling) dari daratan. Article 8-1 = Penandatanganan konvensi dibuka untuk semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga 1 Oktober 198. = Membahas tentang ratifikasi atas konvensi. Pada saat perumusan UNCLOS tahun 1958 teknik pengeboran minyak lepas pantai belum melebihi kedalaman 50 meter, sehingga penetapan batas terluar landas kontinen atas dasar ukuran geologis yakni batas kedalaman 200 meter hingga kedalaman air yang masih memungkinkan eksploitasi kekayaan alamnya dianggap sebagai penyelesaian yang memuaskan. Para ahli saat itu berpendapat bahwa kemampuan teknologi untuk melakukan eksploitasi sampai kedalaman 200 meter masih akan terjadi jauh di kemudian hari. Akan tetapi perkiraan itu keliru, karena perkembangan teknologi pengeboran maju sedemikian pesatnya. Menjelang tahun 1965, ekspedisi Glomar Challenger mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam bawah laut hingga mencapai kedalaman beberapa ribu meter (Hasyim Djalal, dalam Sutisna 2004). Pesatnya perkembangan teknologi pertambangan tersebut membuat konsep landas kontinen pada UNCLOS 1958 yang mendasarkan pada kemampuan eksploitasi sumberdaya alam dipertanyakan dan tidak lagi memuaskan semua pihak. Ketidakjelasan batasan ini mendapat protes dari negara-negara berkembang dan kemudian mendapat perhatian PBB dengan ditetapkannya kekayaan alam di luar batas yurisdiksi nasional sebagai “common heritage of mankind” yang diurus oleh Badan Internasional untuk kepentingan seluruh umat manusia. Wacana tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Konferensi Hukum Laut PBB II Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 49 13-Jan-15 12:16:48 PM

pada tahun 1960, tetapi konferensi ini hanya membahas tentang Laut Teritorial dan itu pun tidak berhasil. Rumusan tentang landas kontinen terselesaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982 yang menghasilkan sebuah konvensi yaitu UNCLOS 1982. UNCLOS Tahun 1982 Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). Terkait dengan landas kontinen, dimuat dalam UNCLOS 1982 Part VI Article 76. Pasal 76 Batas Landas Kontinen 1. Landas kontinen suatu Negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 00 mil laut dari pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. . Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat  hingga 6. . Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada dibawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah di bawahnya. (a) Untuk maksud konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut lebih lebar dari 00 mil laut dari garis pangkal dan manalebar laut teritorial diukur, atau dengan: (i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 menunjuk pada titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1 % dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau (ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk apada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. (b) Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. . Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat  (a) (i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 0 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) .00 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman .00 meter. . Walaupun ada ketentuan ayat , pada bukit-bukit dasar laut, batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 0 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan 0 NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 50 13-Jan-15 12:16:48 PM

(rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs) nya. 6. Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinennya di mana landas kontinen itu melebihi 00 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungakan titik-titik tetap, yang ditetapkan dengan koordinat- koordinat lintang dan bujur. 7. Keterangan mengenai batas-batas kontinen di luar 00 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur harus disampaikan oleh Negara pantai kepada Komisi Batas-batas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continental Shelf) yang didirikan berdasarkan Lampiran II atas dasar perwakilan geografis yang adil. Komisi ini harus membuat rekomendasi kepada Negara pantai mengenai masalah yang bertalian dengan penetapan batas luar landas kontinen mereka. Batas-batas landas kontinen yang ditetapkan oleh suatu Negara pantai berdasarkan rekomendasi-rekomendsai ini adalah tuntas dan mengikat. 8. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa peta-peta dan keterangan yang relevan termasuk data geodesi, yang secara permanen menggambarkan batas luar landas kontinennya. Sekretris Jenderal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan. 9. Ketentuan pasal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan. 4.4. Aspek Teknis Penentuan Batas Terluar Landas Kontinen Berdasarkan dasar hukum yang ada yaitu UNCLOS 1982, maka dibuat sebuah dokumen yang mengatur tentang aspek teknis penentuan batas maritim. Dokumen ini dinamakan A Manual of Technical Aspects of the United Nation Convention on the Law of the Sea – 1982 atau lebih dikenal dengan TALOS yang diterbitkan oleh International Hydrographic Bureau (IHB). Teknis penentuan batas terluar landas kontinen diatur dalam Pasal 76 ayat 4 – 6 UNCLOS 1982. Secara umum, penentuan batas landas kontinen dapat dibagi menjadi tiga kondisi, yaitu : 1. Penentuan batas landas kontinen kurang dari 200 mil laut. Batas terluar dari landas kontinen adalah sejauh 200 mil laut atau berhimpit dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Konsep ini dikenal dengan Coextensive Principle. 2. Penentuan batas landas kontinen lebih dari 200 mil laut. Batas terluar landas kontinen mengacu pada empat ketentuan penentuan pinggiran luar tepian kontinen. 3. Penentuan batas landas kontinen yang berbatasan dengan negara pantai lainnya. Batas terluar landas kontinen mengacu pada perjanjian antara negara yang berkepentingan. Hal ini terjadi jika jarak antar negara kurang dari 400 mil laut. Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial 1 Bagian I (buku NKRI).indd 51 13-Jan-15 12:16:48 PM

Batas Maritim Garis Pangkal Berdasarkan titik dasar dalam PP. 8 Batas Legal Garis ZEE, 00 mil laut dari garis pangkal dan hasil perjanjian dengan negara tetangga Pasal 76 UNCLOS Menentukan garis Constraint (Cut-Off) Penentuan garis isobath 00m Penentuan batas 0 mil laut + 100 mil laut Kombinasi dua metode ini untuk mendapatkan yang optimal Garis Formula Pertama-tama menentukan kaki lereng (the Foot of the Slope / FOS Tentukan letak titik-titik 1% Proyeksikan setiap titik FOS ketebalan sedimen 60 mil laut ke arah laut. Konstruksikan garis Garsiner berdasarkan ketebalan Sedimen Kombinasi 2 rumus ini untuk m Final Outer Limit Merge the most landward portions of the formula and cut-off lines to construct the new outer limit of the jurisdictional claim Final Evaluation Evaluation that all contributing points are <60nm apart Gambar .1 Diagram alir penentuan batas terluar landas kontinen Batas terluar landas kontinen dapat ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : = Penentuan Garis Pangkal Garis pangkal digambarkan berdasarkan daftar koordinat titik dasar yang dapat diperoleh dalam PP No. 38 Tahun 2002 dan telah diperbarui dengan PP No. 37 Tahun 2008. = Penarikan Garis Batas Maritim Berdasarkan garis pangkal, maka batas maritim Indonesia terkait dengan penarikan batas terluar landas kontinen dapat ditentukan batas-batas sebagai berikut:  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 52 13-Jan-15 12:16:48 PM

= Garis ZEE merupakan garis proyeksi garis pangkal ke arah laut sejauh 200 mil laut = Batas-batas dengan negara tetangga berdasarkan hasil perjanjian Gambar . . Penentuan garis pangkal dan garis batas maritim = Penarikan Garis Constraint (cut-off) Berdasarkan pasal 76 ayat 5 UNCLOS 1982, garis constraint (cut off) didefinisikan sebagai garis yang tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak melebihi garis isobath 2500m + 100 mil laut. Garis constraint (cut off) ini merupakan batas maximal yang diperbolehkan untuk mensubmisi batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut. Gambar . .Penentuan garis constraint (cut-off) Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 53 13-Jan-15 12:16:49 PM

Gambar . .Penentuan garis formula = Garis Formula Penarikan garis batas terluar landas kontinen harus didasarkan pada penentuan kaki lereng atau Foot of the Slope (FOS), yang didefinisikan sebagai perubahan maximum gradien pada permukaan dasar laut. Penarikan garis formula dapat dilakukan dengan cara salah satu atau kombinasi dari dua cara sebagai berikut: = Rumus jarak merupakan garis berjarak 60 mil laut dari FOS = Rumus Gardiner merupakan 1% ketebalan sediment = Batas Terluar Landas Kontinen Batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut ditentukan berdasarkan kombinasi dari hasil-hasil perhitungan di atas. Selanjutnya jarak antar titik pada batas terluar landas kontinen ini tidak boleh melebihi 60 mil laut. 4.5. Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Landas Kontinen Indonesia Dalam rangka menjamin kepastian hukum serta dasar bagi pelaksanaan hak-hak eksploitasi di landas kontinen Indonesia, Gambar . . Penentuan batas terluar landas pada tanggal 6 Januari 1973 kontinen  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 54 13-Jan-15 12:16:49 PM

Pemerintah mengukuhkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang ini terdiri atas 14 pasal dengan sistematika sebagai berikut : BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 = Landas Kontinen Indonesia diartikan sebagai dasar laut dan tanah dibawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor  Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 00 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. = Kekayaan alam tersebut meliputi sumberdaya alam hayati (organisme jenis sedenter) maupun non-hayati (mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut). BAB II Status Kekayaan Alam di Landas Kontinen Pasal = Menyatakan bahwa penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara. Pasal = Dalam hal landas kontinen berbatasan dengan negara tetangga, penentuan batas dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. BAB III Eksplorasi, Ekploitasi dan Penyelidikan Ilmiah Pasal  dan = Mendelegasikan kepada peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing bidang terkait kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan penyelidikan ilmiah di Landas Kontinen Indonesia. BAB IV Instalasi Pasal 6 dan 7 = Mengatur tentang pembangunan instalasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen. = Penetapan daerah terlarang (safety zone) yang lebarnya tidak melebihi 00 meter dihitung dari setiap titik terluar instalasi dimana kapal pihak ketiga dilarang lewat dan membuang/membongkar sauh. = Penetapan daerah terbatas (prohibited area) selebar tidak melebihi 1.0 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang, dimana kapal-kapal pihak ketiga boleh lewat tetapi dilarang membuang atau membongkar sauh. BAB V Pencemaran Pasal 8 = Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilaksanakan di landas kontinen berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu diwajibkan mengambil langkah-langkah pencegahan Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 55 13-Jan-15 12:16:49 PM

terhadap terjadinya dan meluasnya pencemaran air laut di landas kontinen dan udara di atasnya. BAB VI Yurisdiksi Negara Pasal 9 = Menyatakan bahwa hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, di atas atau di bawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang berada di landas kontinen. Prinsip yurisdiksi tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh Hukum Internasional. = Untuk melindungi perekonomian nasional, instalasi dan alat-alat di landas kontinen Indonesia yang dipergunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Pabean Indonesia. BAB VII Perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan lain Pasal 10 = Mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan lain yang ada di landas kontinen Indonesia, antara lain: = Pertahanan dan keamanan nasional; = Perhubungan; = Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut; = Perikanan; = Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; = Cagar alam. = Apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut izin usaha yang bersangkutan. BAB VIII Ketentuan-Ketentuan Pidana Pasal 11 dan 1 = Mengatur sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal , , dan 8 yaitu maksimal hukuman penjara 6 tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000,- BAB IX Ketentuan Penutup Pasal 1 dan 1 = Menyatakan pemberlakuan Undang-undang dan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Landas Kontinen Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 yang pembuatannya mengacu kepada UNCLOS I Tahun 1958. Undang- Undang ini ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 yang mana disebutkan bahwa Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 56 13-Jan-15 12:16:49 PM

Definisi diatas dinilai masih rancu, karena tidak ada batasan yang jelas tentang sejauh mana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi boleh dilakukan mengingat kemampuan dan teknologi yang digunakan masing-masing negara tidaklah sama. Interpretasi seperti itu tidak dapat diterima karena hanya akan menguntungkan negara dengan letak geografis tertentu terutama negara dengan perkembangan teknologi yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ketidakpastian mengenai landas kontinen berakhir dengan dirumuskannya UNCLOS III Tahun 1982 yang kemudian ditetapkan sebagai satu-satunya Hukum Laut Internasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota harus tunduk kepada UNCLOS 1982 dan kemudian meratifikasi peraturan tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 merupakan ratifikasi dari UNCLOS 1982 secara keseluruhan, Undang-Undang tersebut hanya memuat tentang Landas Kontinen secara umum. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara terperinci mengatur tentang Landas Kontinen Indonesia, sehingga Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas Kontinen di wilayahnya. Mengingat Undang-undang tentang landas kontinen Indonesia yang berlaku saat ini (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973) sudah tidak relevan karena menggunakan acuan yang sama sekali berbeda, maka perlu dilakukan revisi atau pembuatan Undang-Undang baru untuk menggantikan Undang-Undang tersebut. 4.6. Permasalahan terkait Landas Kontinen Indonesia Ditinjau Dari Segi Hukum Terdapat perbedaan rezim hukum landas kontinen dalam UNCLOS 1982 dengan yang telah diatur sebelumnya dalam UNCLOS 1958. Jika UNCLOS 1958 menggunakan kriteria keterikatan geomorfologis (natural prolongation) dan kemampuan eksploitasi (technical exploitability), sebaliknya UNCLOS 1982 menggunakan kriteria jarak (distance criteria) minimal landas kontinen negara pantai sejauh 200 mil laut dan boleh melebihi jarak tersebut dengan syarat tertentu. Dibandingkan dengan UNCLOS 1958 yang menggunakan prinsip kemampuan eksploitasi (technical exploitability) sehingga menguntungkan negara-negara yang memiliki teknologi maju dalam bidang pertambangan, UNCLOS 1982 memberikan rumusan hukum yang jelas dan adil bagi semua negara. Ditinjau Dari Segi Teknis Dasar hukum yang berbeda berdampak pada teknis penentuan batas landas kontinen yang berbeda pula. Salah satu contohnya adalah tata cara penentuan batas landas kontinen untuk negara yang berhadapan atau berdampingan (diatur dalam Pasal 6 UNCLOS 1958 dan Pasal 84 UNCLOS 1982). Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 57 13-Jan-15 12:16:49 PM

Pada UNCLOS 1958, menerapkan prinsip median line atau equidistance principle bilamana tidak terdapat keadaan khusus yang memungkinkan garis batas ditentukan tidak sama jarak. Sebaliknya, UNCLOS 1982 memberikan keleluasaan dengan merujuk pada tercapainya kesepakatan antar pihak yang terkait sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional publik. Ditinjau Dari Segi Ekonomi Kejelasan batas maritim sangat penting ditinjau dari pengelolaan sumberdaya laut. Wilayah landas kontinen mengandung sumber energi dan mineral, sehingga berpotensi besar mengakibatkan sengketa antar negara yang berbatasan dan berkepentingan. Kasus perebutan Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia yang merebak mulai tahun 2005 merupakan salah satu contoh sengketa akibat ketidakpastian posisi, eksistensi dan status hukum di wilayah landas kontinen. Ditinjau Dari Segi Politik dan Pertahanan Keamanan Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Posisi tersebut membuat Indonesia rawan bersengketa dengan negara tetangga. Salah satu masalah yang rentan menjadi konflik adalah mengenai wilayah perbatasan, terutama batas maritim yang mana tidak terdapat tanda batas secara fisik sebagaimana batas darat. 4.7. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia, yaitu: 1. Pengertian landas kontinen berdasarkan istilah geologi (UNCLOS 1958) dengan pengertian hukum yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah berbeda, sehingga Indonesia perlu meninjau kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973. 2. Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara sekitarnya umumnya masih didasarkan pada UNCLOS 1958, sehingga perlu dikaji secara seksama apakah perlu untuk merevisi perjanjian, terutama pertimbangan kerugian Indonesia akibat perjanjian yang telah ada. 3. Dari aspek teknis, persoalan utama yang dihadapi berupa masalah biaya untuk keperluan survei. Semua data dan dokumen terkait (peta dan keterangan lainnya) yang mengidentifikasikan tepian kontinen terutama untuk mengklaim batas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut dari garis pangkal, akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Perlu inventarisasi ulang semua data yang telah ada, terutama yang telah dikumpulkan oleh Dishidros, Bakosurtanal, PPGL, dan perusahaan- perusahaan eksplorasi lepas pantai.  NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 58 13-Jan-15 12:16:49 PM

4. Perlu dibuat suatu sumber hukum turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 yang khusus mengatur tentang landas kontinen untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur Landas Kontinen di wilayahnya. Kajian Historis NKRI dalam Perspektif Geospasial Bagian I (buku NKRI).indd 59 13-Jan-15 12:16:49 PM

0 NKRI dari Masa ke Masa Bagian I (buku NKRI).indd 60 13-Jan-15 12:16:49 PM

BAGIAN II ASPEK TEKNIS PEMETAAN BATAS WILAYAH Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 61 Bagian II (buku NKRI).indd 61 13-Jan-15 12:18:00 PM

V. PERAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL DALAM PENATAAN BATAS WILAYAH Asep Karsidi 5.1. Pendahuluan Lahirnya UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG) mengukuhkan pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan kemudahan akses IG yang dapat dipertanggungjawabkan. Informasi geospasial adalah informasi menyangkut aspek keruangan yang menunjukkan posisi, letak dan lokasi suatu objek atau kejadian yang berada dibawah, pada atau diatas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu. Wujud IG disajikan dalam bentuk peta atau catatan koordinat. IG terdiri dari IG Dasar (IGD) dan IG Tematik (IGT). Dalam undang-undang tersebut dalam pasal 22 ayat 2 diamanatkan bahwa penyelenggara IG yang berjenis IGD adalah Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai lembaga Pemerintah yang menggantikan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). BIG lahir sebagai transformasi dari BAKOSURTANAL yang memiliki tugas dan fungsi lebih antisipasif ke depan yakni menyambut perkembangan–kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik teknologi pembangunan IG maupun teknologi ICT. BIG memiliki tugas untuk membangun IG yang tentunya melalui proses yang selama ini dilaksanakan yakni melalui kegiatan Survey dan Pemetaan, melakukan pembinaan dan pembangunan infrastruktur penyebar luasan dan berbagi-pakai IG. IG Dasar 62 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 62 13-Jan-15 12:18:00 PM

yang hanya diselenggarakan oleh BIG sebagai IG yang harus dirujuk oleh penyelenggaran IG Tematik, terdiri dari Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar, terdiri dari Rupa Bumi Indonesia (RBI), Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Lingkungan Laut Nasional (LLN). IGT mengandung informasi geospasial bertema tertentu diselenggarakan oleh lembaga pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya, seperti Kementerian Kehutanan untuk aspek kehutanan, Kementerian Pertanian untuk aspek pertanian, Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) menyangkut energi dan sumber daya mineral, BPN menyangkut hak kepemilikan setiap persil lahan dan lain-lainl. Maka dari itu, IG Dasar harus dijadikan rujukan (Referensi Tunggal) para penyelenggara IGT. Dengan merujuk kepada IG Dasar sebagai referensi tunggal akan dihasilkan IG yang berkualitas, mudah diintegrasikan dan dapat dipertanggungjawabkan. IG dasar yang berupa Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang harus menjadi rujukan ini isinya terdiri dari 7 layer dasar yakni: garis pantai, hipsografi (contour dan bathimetry), badan air (sungai, danau, rawa dst), transportasi dan utilitas, penutup lahan, nama rupabumi (toponimi), bangunan dan fasilitas umun, dan batas wilayah administrasi. Batas wilayah, baik batas wilayah antar negara maupun batas wilayah administrasi dalam negeri dijadikan salah satu layer IG Dasar RBI dengan tujuan agar tidak menimbulkan kerancuan dan kebingungan para pengguna IG, khususnya para penyelenggara IG tematik. Disinilah letak strategis pembangunan IG Dasar yang hanya boleh diselenggarakan oleh BIG. Peraturan perundangan telah banyak yang mengamanatkan keterlibatan BAKOSURTANAL (yang sekarang berganti nama menjadi BIG) dalam penataan batas wilayah ini. Diantaranya; Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-garis Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973 tentang ratifikasi Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura; dimana Bakosurtanal ditugaskan untuk melakukan penetapan titik-titik pasti di lapangan. PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sebagaimana telah diubah PP No. 37 tahun 2008 ; dan PP No.37/2008; dimana Bakosurtanal bertugas untuk memelihara titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Melalui paper ini disampaikan kajian kebijakan dan penetapan peran BIG dalam penataan batas negara dan wilayah khususnya dalam membangun IGD yang mengandung layer batas wilayah agar menjadi rujukan pembangunan IG yang dapat dipertanggung jawabkan. 5.2. Peran BIG dalam Penetapan Batas Wilayah Antar Negara Telah disampaikan bahwa BIG memperoleh amanat dalam berbagai peraturan perundangan untuk terlibat aktif sebagai pendukung Kementerian Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 63 Bagian II (buku NKRI).indd 63 13-Jan-15 12:18:00 PM

Luar Negeri dalam penetapan batas wilayah antara negara. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1973 misalnya, tentang Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-garis Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua New Guinea dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973 tentang ratifikasi Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura; dimana BAKOSURTANAL/BIG ditugaskan untuk melakukan penegasan titik-titik batas secara pasti dilapangan. Dalam kesempatan ini BIG bersama lembaga teknis Dinas Hidro-Oseanografi TNI- AL melakukan kegiatan pengukuran dan penentuan koordinat titik-titik batas wilayah antar negara di wilayah perairan, sedangkan bersama Dinas Topografi TNI-AD melakukan pengukuran dan demarkasi wilayah daratan. Kebijakan Border Diplomasi Indonesia (Skep. Menlu) merujuk kepada Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, BIG menjadi anggota tim perunding batas negara. Peta ilustrasi hasil-hasil pertemuan Joint Ministerial Committee (JMC) dan SOM, Joint Border Committee (JBC), Joint Technical Sub-Commision (JTSC) survey dan Demarkasi, JTSC-Border Demarcation and Regulation, dan Joint Working Group (JWG) antara Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Filipina, Papua Nugini dan Timor Leste. Hasil-hasil pertemuan dan perjanjian tersebut dituangkan dalam Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti pada Gambar 5.1. Gambar 5. 1. Peta wilayah NKRI hasil sidang Tim Nasional tentang penetapan Peta NKRI, edisi 17 Agustus 2012 64 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 64 13-Jan-15 12:18:00 PM

Peta tersebut berlatarbelakang gabungan data raster berbasis citra penginderaan jauh dan data vektor (batas admnistrasi, toponimi dan beberapa informasi geospasial lainnya). Peta tersebut telah disebarluaskan melalui sosialisasi ke berbagai daerah baik dalam bentuk peta cetak maupun dalam format digital. Peta NKRI tersebut juga dapat diakses melalui situs web http:// tanahair.indonesia.go.id. Peta NKRI tersebut setiap 6 tahun sekali dimutakhirkan. Dalam hal penetapan batas antar negara, BIG bersama lembaga teknis lainnya melaksanakan tugas pengukuran untuk menyiapkan dokumen perundingan dimana focal point-nya adalah Kementerian Luar Negeri. Hasil kesepakatan biasanya dituangkan dalam bentuk dokumen perjanjian antara negara yang bersangkutan. 5.3. Peran BIG dalam Penetapan Batas Wilayah Administrasi Propinsi, Kabupaten/Kota Dalam penataan batas wilayah administrasi di dalam negeri, yakni penetapan batas wilayah administrasi antar Provinsi, Kabupaten dan Kota, BIG mendapat tugas sama halnya dengan penetapan batas wilayah antar negara, yakni melakukan kegiatan pengukuran batas di lapangan bersama-sama dengan Dinas Topografi TNI-AD untuk wilayah darat dan dengan Hidro-Oseanografi TNI- AL untuk wilayah perairan. Gambar 5. 2. Skema Pembentukan Daerah Otonom Baru Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 65 Bagian II (buku NKRI).indd 65 13-Jan-15 12:18:00 PM

Amanat ini dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan seperti: Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang- Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah RI nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau- pulau Kecil terluar. Adapun focal point penetapan batas wilayah administrasi ini adalah Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan legitimasi dalam penetapan batas wilayah administrasi. Hasil penetapan batas yang telah legitimate digambarkan dalam Peta RBI sebagai layer batas wilayah administrasi definitif, sedangkan yang belum mendapat pengesahan dari Kementerian Dalam Negeri digambarkan sebagai batas wilayah administrasi Indikatif. Khusus untuk pengusulan pemekaran atau pembentukan Daerah otonomi baru telah disusun prosedur mekanisme pembentukan Daerah Otonomi Baru yang diturunkan dari PP No 78 tahun 2007, dimana salah satu syarat Fisik adalah harus dilengkapi Peta wilayah yang diusulkan (gambar 5.2) Sering terjadinya kerancuan batas wilayah administrasi di tingkat kabupaten/kota karena umumnya disebabkan belum selesainya penetapan wilayah administrasi secara definitif khususnya di daerah pemekaran sebelum Perpres Nomor 78 tahun 2007 diterbitkan. Karena pada saat mengusulkan pemekaran tidak dilampiri Peta Wilayah sebagai salah satu persyaratannya. Melalui mekanisme diatas diharapkan kedepan masing-masing wilayah memiliki batas wilayah administrasi yang definitif sehingga tidak menimbulkan sengketa diantara wilayah yang bersangkutan. 5.4. Peran BIG dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan Menurut Pasal 6 Bab III Perpres Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kepala Bakosurtanal/BIG adalah anggota BNPP. BNPP memiliki tugas dan fungsi utama mengelola wilayah perbatasan dengan tujuan agar wilayah perbatasan yang sementara ini sering dinilai wilayah tak tersentuh program pembangunan, diupayakan agar menjadi halaman depan negara yang terbangun. Diharapkan program pembangunan diwilayah ini berlangsung maksimal agar masyarakatnya merasa diberdayakan nyaman dan aman hidup berbatasan dengan negara tetangga. BIG sebagai anggota BNPP mengupayakan untuk mensupport berbagai keperluan data dan informasi geospasial, yakni berupa IG Dasar yang menyangkut peta hasil pengukuran di setiap segment perbatasan dengan negara tetangga, maupun IG tematik tertentu. Pulau-pulai kecil terluar yang berhadapan dengan wilayah negara tetangga atau laut lepas hendaknya merupakan kawasan yang harus turut dikelola pula. Hingga saat ini BIG beserta instansi terkait lainnya telah merampungkan pemetaan pulau-pulau kecil terluar sejumlah 92 pulau. Telah dipetakan pada skala 1: 10.000 sebanyak 40 pulau. Mengenai toponimi dan inventarisasi jumlah 66 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 66 13-Jan-15 12:18:00 PM

“ BIG sebagai anggota BNPP mengupayakan untuk mensupport berbagai keperluan data dan informasi geospasial, yakni berupa IG Dasar yang menyangkut peta hasil pengukuran di setiap segment perbatasan dengan negara tetangga, maupun IG tematik tertentu. pulau diwilayah NKRI telah selesai dilaksanakan dan hingga saat ini terinventarisir “ sebanyak 13.466 pulau yang telah diberinama serta tercatat koordinatnya. Pasal 19 UU IG menyatakan bahwa IGT wajib mengacu pada IGD, dan pasal 57 ayat 1, mengamanatkan bahwa BIG melakukan pembinaan mengenai pemaknaan, pengarahan, perencanaan dan evaluasi terhadap penyelenggraab IGT. Dalam konteks ini BIG memiliki tugas utama untuk menyiapkan IGD yang berkualitas dan melakukan pembinaan pembangunan IGT yang tentunya berkualitas pula agar dapat dimanfaatkan secara maksimum. 5.4.1. Peran BIG dalam Pembinaan Pembangunan IG Tematik (IGT) Pembangunan IG berreferensi tunggal melalui rujukan ke IGD merupakan upaya agar terbangunnya “One Maps” maksudnya pembangunan IG dalam satu platform IGD yang sama sesuai dengan skala / resolusi IG yang dibangun. Banyaknya kerancuan peta tematik (IG Tematik) yang dijumpai bisa jadi karena tidak samanya IG dasar yang dipakai atau masing-masing instansi membangun IGTnya tanpa sinkronisasi dan harmonisasi dengan instansi lainnya. Dalam hal ini pembinaan tentang standar, norma serta cara dan metode pembangunan IG tematik yang menjadi bahagian tugas BIG memerlukan langkah implementasi yang nyata dan dipatuhi oleh instansi atau masyarakat penyelenggara IGT agar IGT yang terbangun tidak menimbulkan kerancuan bagai pengguna. Contoh IG tematik tentang hak penguasaan hutan, tentunya kandungan deliniasi hak penguasaan hutan kewenangan kementerian kehutanan dan penarikan batas hak tersebut tidak tumpang tindih dengan penetapan batas hak kepemilikan Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 67 Bagian II (buku NKRI).indd 67 13-Jan-15 12:18:00 PM

yang merupakan kewenangan BPN. Dalam konteks ini IGD merupakan rujukan generik agar kedua kewenangan penarikan batas tersebut sinkron dan harmonis tidak menimbulkan konflik. Contoh hasil pengharmonisasian IGT yang baru diselesaikan adalah tentang Peta Indikatif Pemberian Izin Baru Kehutanan (Moratorium Kehutanan). Peta indikatif ini menyangkut peta kawasan hutan dan lahan gambut yang sebelumnya tidak memiliki informasi yang pasti tentang luasan kawasan hutan dan lahan gambut di Indonesia, melalui Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang moratorium pemberian izin pembukaan kawasan hutan, BIG ditunjuk sebagai focalpoint bersama-sama Kementerian Kehutanan dan BPN untuk memutahirkan peta indikatif setiap 6 bulan. Hasil pemutahiran 6 bulan pertama yakni bulan November 2011 telah diterbitkan Peta indikatif skala 1: 250.000 sebagai baseline kawasan hutan dan lahan gambut di wilayah NKRI yang legitimate. Dengan tersusunnya Peta indikatif kawasan hutan dan lahan gambut yang legitimate ini maka akan terhindar dari kesimpang siuran informasi luasan hutan dan lahan gambut yang akan dipergunakan sebagai dasar perhitungan pengurangan emisi CO2 di wilayah NKRI. Isu lain yang sedang hangat dibicarakan adalah luasan lahan baku sawah yang sangat penting untuk perhitungan cadangan ketahanan pangan khususnya beras. IG tematik lahan baku sawah adalah kewenangan Kementerian Pertanian, namun kewenangan kepemilikannya ada ditangan BPN. Berarti ada dua instansi yang membangun IGT; satu kementerian pertanian memetakan lahan baku sawahnya (IGT lahan baku sawah), kemudian BPN membangun IGT hak kepemilikan dari persil-persil sawah tersebut. Idealnya kedua IG tematik ini sikron, harmonis dan terintegrasi. BIG dalam kesempatan ini memperoleh mandat untuk menjamin bahwa IGT-IGT yang dibangun oleh instansi terkait dapat diintegrasikan, sinkron dan harmonis. Langkah yang ditempuh adalah mengarahkan agar dalam melaksanakan pemetaan lahan baku sawah maupun pemetaan persill kepemilikan lahan harus merujuk kepada IG Dasar, sekurang-kurangnya merujuk jaring kontrol geodesi nasional (apabila Peta Dasar RBI pada wilayah yang bersangkutan belum tersedia) agar hasilnya dapat diintegrasikan secara nasional. Cara lain untuk mengarahkan IGT-IGT yang dibangun oleh instansi terkait lainnya agar dapat diintegrasikan dan berbagi pakai adalah melalui pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (Ina-SDI). Perpres. No. 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional, menugaskan BIG sebagai Penghubung Simpul Data Spasial Nasional . Platform IGD telah dibangun dalam Indonesia Geospasial Portal (Ina-Geoportal). Melalui Ina-geoportal ini berbagai IG dapat di integrasikan dan berbagi-pakai dengan sesama instansi atau pemakai. Basis spasialnya yang telah lengkap dibangun baru pada Skala 1 : 250.000. Melalui Ina-geoportal, IGT yang tidak merujuk pada IG dasar yang dibangun BIG, tidak dapat diintegrasikan dan tidak dapat dioverlaykan utnuk kepentingan 68 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 68 13-Jan-15 12:18:00 PM

Gambar 5. 3. Gambar status terkini INA-SDI analisis lebih lanjut. Ina-geoportal ini pula menjadi alat pengujian apakah IGT yang bersangkutan dibangun diatas IGD yang benar. Dalam pembangunan IGT yang tidak dibangun oleh instansi yang berwenang namun dibutuhkan sebagai bahagian IGT untuk kepentingan yang lainnya misalnya untuk penyusunan rencana tata ruang, maka IGT tersebut menjadi kewenangan BIG untuk membangunnya. IGT lereng misalnya yang menggambarkan kelas kemiringan lahan, atau upaya pengintegrasian IGT-IGT lainnya, misalnya IGT kemampuan lahan yang menyajikan gambaran kemampuan kondisi fisik suatu wilayah sebagai penggabungan layer ketinggian (dari RBI), kemiringan (BIG) dan jenis tanah (IGT dari Kementerian Pertanian). Bulan Februari tahun 2012, BIG telah melaksanakan RakorNas Survei dan Pemetaan dengan tujuan untuk duduk bersama menyusun rencana aksi nasional survei dan pemetaan pada masing-masing instansi yang berwenang (siapa melakukan apa sesuai fungsinya masing-masing) dalam satu referensi IG dasar dan metode prosedur serta standar yang disepakati bersama. Dari hasil rakor ini pula ada yang dijadikan bahan penyusunan peraturan perundangan turunan dari UU IG agar UU ini dapat diimplementasikan. Dalam rakor tersebut dilakukan Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 69 Bagian II (buku NKRI).indd 69 13-Jan-15 12:18:01 PM

sinkronisasi program antar instansi. Disamping itu juga identifikasi kebutuhan penelitian lebih lanjut agar menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif dan pemanfaatan teknologi IG yang lebih efisien dan efektif. 5.4.2. Peran BIG dalam menunjang penambahan luas wilayah Landas Kontinen Tepat pada peringatan ke-65 hari jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, di tengah bangsa ini hiruk pikuk membahas kasus penangkapan petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan oleh aparat Malaysia di sekitar perairan Pulau Bintan, sesungguhnya pada saat yang sama seluruh bangsa Indonesia mendapatkan sebuah hadiah hari jadi Indonesia yang tidak ternilai harganya di dalam konteks kewilayahan Indonesia. Usulan penambahan wilayah hak berdaulat Indonesia untuk landas kontinen di luar 200 mil laut di barat laut Pulau Sumatera diterima oleh UNCLCS. 5.4.3. Indonesia dan Zona Maritimnya Indonesia sebagai salah satu negara pihak dari the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) memiliki hak untuk menetapkan batas- batas terluar dari zona maritimnya sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut. Selain berhak menentukan zona perairan pedalaman dan perairan kepulauan; dari garis pangkal kepulauannya ke sisi luar, Indonesia juga dapat menentukan 12 mil laut territorial, 24 mil laut zona tambahan, 200 mil laut zona ekonomi eksklusif dan 200 mil laut landas kontinen. Selain perairan pedalaman dan perairan kepulauan yang berada di sisi dalam garis pangkal kepulauan, Indonesia dapat menentukan zona-zona maritim lainnya secara maksimal bila tidak terjadi tumpang tindih klaim dengan negara lain. Bila ada tumpang tindih, maka sesuai dengan hukum internasional, Indonesia wajib untuk menentukan batasnya melalui perundingan. Sampai dengan saat ini, Indonesia telah memiliki 18 perjanjian batas maritim dengan negara tetangga. Yang terbaru adalah perjanjian batas laut territorial Indonesia dengan Singapura di segmen Selat Singapura Bagian Barat yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No.4 tahun 2010. Terkait dengan zona maritim landas kontinen, UNCLOS 1982 mengatur segala sesuatunya di dalam Bagian VI yang terdiri dari 10 Pasal, yaitu pasal 76 sampai dengan pasal 85. Secara umum, landas kontinen adalah area yurisdiksi negara pantai terkait dengan pengelolaan dasar laut dan tanah di bawahnya. Mengenai batas terluar landas kontinen di dalam UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa negara pantai dapat memiliki landas kontinen sampai dengan 200 mil laut, namun bila ada bukti alamiah perpanjangan landas kontinennya, maka negara pantai dapat menetapkan batas terluar landas kontinennya sampai dengan maksimum 350 mil laut. Perlu digaris bawahi bahwa khusus untuk penetapan landas kontinen diluar 200 mil laut tersebut, negara pantai perlu mendapatkan persetujuan internasional 70 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 70 13-Jan-15 12:18:01 PM

Gambar 5. 4. Area yang diarsir adalah lokasi yang potensial bagi Indonesia untuk melakukan submisi landas kontinen diluar 200 mil laut dengan cara mengajukan submisi kepada the United Nations Commission on the Limit of the Continental Shelf (UNCLCS). Submisi yang disampaikan harus mencantumkan bukti-bukti ilmiah yang dipersyaratkan oleh Pasal 76 UNCLOS 1982. Bukti-bukti tersebut lalu dikaji oleh UNCLCS untuk selanjutnya dikeluarkan rekomendasi penerimaan batas terluar landas kontinen terkait yang mengikat bagi negara pantai dan dunia internasional. 5.4.4. Submisi parsial landas kontinen Indonesia Lokasi dan kondisi geografis Indonesia memberikan peluang bagi negara kepulauan terbesar di dunia ini untuk melakukan klaim submisi landas kontinen di tiga area yang potensial, yaitu di perairan sebelah barat Pulau Sumatera, sebelah selatan Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, serta sebalah utara dari Papua. Dimulai dengan berbagai kajian dan data awal yang dimiliki, yang salah satunya didapat ketika diadakan survey dasar laut pasca bencana Tsunami 2005 di Aceh, Tim Teknis Pemerintah Indonesia yang terdiri dari BIG, Kementrian Luar Negeri, Kementrian ESDM, Kementrian Kelautan dan Perikanan, BPPT, LIPI dan TNI AL mempersiapkan berbagai data dan menyusun dokumen yang diperlukan, termasuk melakukan survey menggunakan kapal survey Sonne, sampai akhirnya menyampaikan klaim submisi parsial Pemerintah Indonesia untuk area sebelah barat laut Pulau Sumatera kepada UNCLCS pada tanggal 16 Juni 2008. Sembilan bulan setelah submisi disampaikan, pada 24 Maret 2009, Pemerintah Indonesia melakukan pertemuan pertama dengan UNCLCS di Markas Besar PBB di New York. Pada kesempatan tersebut Indonesia memaparkan materi dari submisinya kepada seluruh anggota UNCLCS yang merupakan para pakar dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan landas kontinen. Salah satu hasil dari pertemuan itu adalah UNCLCS membentuk sub komisi yang akan membahas Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 71 Bagian II (buku NKRI).indd 71 13-Jan-15 12:18:01 PM

secara khusus terkait submisi parsial Indonesia dimaksud. Pada 8-10 September 2009, dilakukanlan pertemuan pertama Pemerintah Indonesia dengan sub-komisi UNCLCS. Di dalam pertemuan tersebut dilakukan berbagai diskusi teknis tentang berbagai data yang disajikan oleh Pemerintah Indonesia. Karena padatnya materi yang didiskusikan, pertemuan dengan sub- komisi perlu dilaksanakan tidak kurang dari dua kali setelah pertemuan pertama, yaitu pada 30 Maret – 1 April 2010 dan yang terakhir dilaksanakan pada 12-13 Agustus 2010. Di sela-sela waktu pertemuan tersebut, sub-komisi UNCLCS dan Pemerintah Indonesia terus melakukan diskusi melalui jalur diplomatik yang ada. Diskusi tersebut berbentuk klarifikasi ataupun penambahan data atas data yang sudah ada. Tercatat pula bahwa di sela-sela diskusi yang ada, untuk melengkapi data yang diperlukan, khususnya data seismic, Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan survey lapangan tambahan. Atas dasar tersebut, dilakukanlah survey lapangan dengan menggunakan Kapal Survey Baruna Jaya II pada tanggal 20 Januari – 18 Februari 2010. Survey tersebut dilakukan oleh para ilmuan Indonesia perwakilan dari instansi-instansi terkait. Hasil dari survey tersebut, setelah diolah lalu disampaikan kepada sub-komisi UNCLCS untuk dikaji. Sub-komisi menerima dengan baik data yang disampaikan dan menyampaikan penghargaan atas usaha keras yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Gambar 5. 5. Peta batas terluar landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah barat laut Pulau Sumatera yang telah disepakati bersama antara Pemerintah Indonesia dan UN-CLCS 72 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 72 13-Jan-15 12:18:01 PM

Pada pertemuan yang terakhir antara Pemerintah Indonesia dan Sub-Komisi UNCLCS pada tanggal 12-13 Agustus 2010 yang dilanjutkan dengan pertemuan Sub-komisi dengan Komisi UNCLCS pada tanggal 16 Agustus 2010 dan antara Pemerintah Indonesia dengan Komisi UNCLCS pada tanggal 17 Agustus 2010 di New York, disepakati bahwa Pemerintah Indonesia dan UNCLCS telah mencapai kesamaan pandangan terkait submisi parsial Indonesia tersebut. Dengan kata lain, area seluas kurang lebih 4209 km² di sebelah barat laut Pulau Sumatera telah resmi menjadi area landas kontinen Indonesia, menambah yang telah ada sejauh 200 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia, dan menjadi area di bawah hak-hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Patut digaris bawahi bahawa luasan 4209 km² tersebut lebih luas dibandingkan usulan Indonesia sebelumnya yang seluas ± 3500 km². Hal itu dikarenakan survey tambahan yang dilakukan oleh tim teknis Indonesia dan diskusi intensif yang dilakukan dengan sub-komisi UNCLCS. Ini membuktikan bahwa pertemuan dengan UNCLCS secara keseluruhan merupakan diskusi yang dijalankan secara terbuka, bersahabat dan kerangka professional. Jauh dari kesan bahwa UNCLCS merupakan suatu lembaga yang memiliki otoritas penentuan extended continental shelf sehingga dapat bertindak subjektif dan/atau otoriter. 5.5. Penutup Masih banyak kasus yang dijumpai di lapangan yang menunjukkan belum tertata dan terintegrasinya IG tematik, hal ini menunjukkan bahwa masing- masing instansi masih jalan sendiri-sendiri. Lahirnya UU no 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial merupakan kesempatan baik untuk menata dan membangun sistem pemetaan nasional agar terbangun informasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai mana diamanatkan oleh undang undang ini. Jaminan tersedinya IG dasar yang berkualitas merupakan tugas utama BIG untuk segera dapat memenuhinya, serta menjadikan sumber utama referensi tunggal untuk penyelengaraan IG tematik. Tentu pekerjaan ini tidak ringan mengingat luas wilayah NKRI yang hampir mencapai 8 juta km2 termasuk wilayah perairannya. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut baik pada tingkat kebijakan maupun teknis sehingga penyelenggaraan IG yang berkualitas dan mudah diakses dapat cepat terwujud. Dalam penetapan batas wilayah baik wilayah antar negara maupun wilayah administrasi di dalam negeri BIG berperan sebagai juru ukur untuk memetakan delineasi batas wilayah termasuk embarkasinya. Kementerian dalam negeri merupakan instansi yang berwenang penetapan yuridis untuk batas wilayah administrasi dalam negeri. Kementerian Luar Negeri sebagai penanggung jawab perundingan batas wilayah antar negara. Pembangunan IG tematik diharapkan mengacu kepada norma, standard dan metode yang baku serta merujuk kepada IG dasar agar IG tematik terbangun Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 73 Bagian II (buku NKRI).indd 73 13-Jan-15 12:18:01 PM

dengan harmonis, sinkron dan dapat diintegrasikan. Peraturan perundangan turunan dari UU IG akan segera dibahas dan dirampungkan agar penyelenggaraan IG dapat diimplentasikan sehingga menghasilkan IG yang dapat dipertanggung jawabkan, tidak rancu, terintegrasi dan mudah diakses. 5.6. Daftar Pustaka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 85 Tahun 2007 Tentang Jaringan Data Spasial Nasional. Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial Nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi UNCLOS 1982. 74 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 74 13-Jan-15 12:18:01 PM

VI. ASPEK TEKNIS PEMETAAN BATAS WILAYAH DALAM UPAYA PERCEPATAN PENYELESAIAN BATAS DAERAH Anas Kencana, Khafid, Niendyawati 6.1. Pendahuluan Batas antar daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia banyak ditemui berupa batas alam. Gunung, punggung bukit, sungai danau, watershed seringkali dijadikan pemisah wilayah antara daerah satu dengan daerah yang bertetangga. Hal ini terkait erat dengan kondisi hampir di seluruh wilayah di Indonesia mudah dijumpai fitur alam yang biasanya dijadikan batas. Seringkali juga ditemui segmen-segmen batas untuk sebuah daerah bisa berupa beberapa fitur alam sekaligus misalnya sungai, punggung bukit dan gunung yang berbatasan dengan beberapa daerah sekaligus. Masih sering didengar bahwa sengketa antar daerah terjadi karena masalah batas. Terutama ketika pada daerah sekitar batas, terdapat potensi yang bisa dimanfaatkan oleh daerah setempat, baik berupa potensi ekonomi maupun potensi yang lain. Apalagi saat ini di Indonesia terdapat 33 propinsi dan 502 kota/kabupaten dimana kejelasan batas antar masing-masing propinsi dan kota/ kabupaten penting adanya. Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 75 Bagian II (buku NKRI).indd 75 13-Jan-15 12:18:01 PM

Pemerintah telah mengatur hal-hal terkait penegasan batas daerah di Indonesia dalam beberapa produk hukum. Diantaranya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pada tanggal 12 Januari 2006 ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah (selanjutnya disebut Permendagri) dimana Permendagri tersebut merupakan tindak lanjut dari kedua UU di atas. Permendagri No. 1/2006 berisi tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yang mengatur teknis penegasan batas antar daerah. Permendagri No. 1/2006 secara umum terdiri dari delapan bab, yaitu ketentuan ketentuan umum, penegasan batas daerah, tim penegasan batasdaerah, keputusan penegasan batas daerah, fasilitasi perselisihan batas daerah, pembiayaan, ketentuan lain-lain dan penutup serta ditambah dengan lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berisi Pedoman Penegasan Batas Daerah. Dalam Permendagri ini, banyak dibahas mengenai aspek-aspek teknis penegasan batas antar daerah, yakni meliputi definisi,metode penarikan batas, dan sebagainya. Dalam permendagri 1 2006 disebutkan penegasan batas antar daerah diwujudkan dalam tahapan : penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, pembuatan peta batas. Keterkaitan antara pelaksanaan penegasan batas yang sesuai dengan Permendagri no.1/2006 dengan kondisi di Indonesia menjadikan penegasan batas yang dilaksanakan sampai saat ini dirasa perlu untuk diakselerasi. Data dari Kementrian dalam negeri tahun 2010 menyebutkan sampai saat ini terdapat segmen batas antar propinsi sebanyak 151 segmen, antar kab/kota sebanyak 795 segmen. Sudah diselesaikan 107 segmen yang ditetapkan dalam 57 Permendagri. Sedangkan jumlah segmen yang sedang dalam proses penetapan menjadi permendagri sebanyak 96 segmen. Tahun anggaran 2011 dilaksanakan 103 segmen. Segmen yang belum diselesaikan 640 segmen dimana 40 segmen diketahui bersengketa. Banyaknya jumlah propinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang tidak dibarengi dengan jumlah segmen batas yang bisa dilaksanakan tiap tahunnya patut menjadi perhatian. Dengan volume pekerjaan tersebut, bisa dipastikan dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaiakan penegasan batas. Belum lagi dengan banyaknya potensi pemekaran daerah yang masih akan terjadi di masa yang akan datang. Payung hukum yang sudah dibuat pemerintah sampai sejauh ini juga belum bisa secara optimal digunakan untuk penyelesaian penegasan batas daerah. Dalam acara Rakornas Grand Design Pemetaan Tematik di Bali bulan Desember tahun 2011, muncul masukan untuk melakukan revisi pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Permendagri 1/2006. Revisi tersebut yaitu dirasa perlu untuk penambahan satu pasal di dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 76 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 76 13-Jan-15 12:18:01 PM

2004 yang berbunyi “penegasan batas dan penetapan luas secara pasti ditetapkan oleh menteri dalam negeri” untuk memperjelas pengertian “Penegasan batas secara pasti di lapangan” yang terdapat di setiap UU pembentukan daerah tidak harus dilakukan di lapangan akan tetapi dapat dilakukan juga secara kartometris. Perlu segera dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah termasuk didalamnya menyusun SOP penegasan batas daerah yang bersengketa dan SOP penegasan batas dengan mengkombinasikan metode pelaksanaan penegasan batas dilapangan (terestris) dan non lapangan (kartometris). Permendagri No. 1/2006 berisi tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yang mengatur teknis penegasan batas antar daerah. Permendagri No. 1/2006 secara umum terdiri dari delapan bab, yaitu ketentuan ketentuan umum, penegasan batas daerah, tim penegasan batas daerah, keputusan penegasan batas daerah, fasilitasi perselisihan batas daerah, pembiayaan, ketentuan lain- lain dan penutup serta ditambah dengan lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berisi Pedoman Penegasan Batas Daerah. Dalam Permendagri ini, banyak dibahas mengenai aspek-aspek teknis penegasan batas antar daerah, yakni meliputi definisi, metode penarikan batas, dan sebagainya. Berikut adalah upaya Bakosurtanal dalam menyelesaikan permasalahan: Perbedaan Penggunaan Peta Dasar dalam penegasan Batas Daerah. 6.2. Mewujudkan Referensi Tunggal Permasalahan batas pada umumnya berawal dari perbedaan referensi peta yang digunakan. Setiap peta dasar akan mencantumkan Referensi atau datum yang digunakan untuk pembuatan peta tersebut. Penyatuan referensi dan Informasi Geospasial Dasar seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial. Untuk penyatuan referensi ini, Bakosurtanal telah membangun: a. Jaring Kontrol Vertikal Nasional b. Jaring Kontrol Horizontal Nasional c. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional Jaring kontrol ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa data dan informasi geospasial dapat saling diintegrasikan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal. Program pemetaan nasional diharapkan menggunakan datum geodetik nasional yaitu Datum Geodesi Nasional (DGN95). Namun masih banyak peta atau data geodesi yang mempunyai datum yang berbeda dengan DGN95, misalnya datum Indonesia Datum 1974 (ID74). Untuk itu perlu suatu model transformasi datum antara datum ID74 ke datum DGN95. Gambar 6.1 menunjukkan analisa GIS berdasarkan berbagai macam peta yang mengacu pada referensi yang sama. Sebagai contoh kasus, apabila peta pertambangan yang dipakai untuk memberikan ijin pengelolaan tambang tidak Aspek Teknis Pemetaan Batas Wilayah 77 Bagian II (buku NKRI).indd 77 13-Jan-15 12:18:01 PM

Gambar 6. 1. Konsep Overlay berbagai peta Dasar dan Tematik yang mengacu pada referensi tunggal memiliki referensi yang sama dengan peta batas daerah yang dipakai sebagai batas administratif dan pengelolaan sumberdaya alam maka akan terjadi sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu referensi tunggal merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan untuk menghindari kemungkinan sengketa di masa mendatang. 6.3. Mewujudkan Informasi Geospasial Dasar Peta Dasar Rupa Bumi Secara umum pada peta Rupabumi Indonesia (RBI) yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial menampilkan berbagai informasi yaitu garis pantai, hipsografi (berupa garis kontur), perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umun dan penutup lahan. Salah satu informasi penting pada peta RBI adalah garis batas wilayah yang digambarkan dengan menggunakan simbol untuk membedakan kriteria batas internasional dan batas administrasi nasional. Mengingat dalam penarikan garis batas di RBI belum melalui pengesahan Kemendagri sebagai instansi yang berwenang, sehingga selalu dicantumkan catatan (disklaimer) sbb : peta Rupabumi ini bukan referensi resmi mengenai garis-garis batas administrasi nasional dan internasional. Jika terdapat kesalahan pada peta ini, harap memberitahukan kepada Bakosurtanal. Pencantuman catatan tersebut dimaksudkan agar para pengguna peta RBI memaklumi bahwa garis batas administrasi seperti batas provinsi, batas Kabupaten , batas kecamatan sampai 78 NKRI dari Masa ke Masa Bagian II (buku NKRI).indd 78 13-Jan-15 12:18:01 PM


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook