Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NKRI dari Masa Ke Masa

NKRI dari Masa Ke Masa

Published by jpraditya8, 2017-03-10 04:48:42

Description: NKRI dari Masa Ke Masa

Keywords: none

Search

Read the Text Version

(Mubyarto, Soetrisno & Dove, 1984). Etnis maritim di Karimunjawa memiliki latar belakang etnis yang sangat beragam/multietnis, mereka terajut dalam kehidupan multikulturalisme (Tilaar, 2004) yang relatif harmonis saling bertoleransi. Mereka antara lain keturunan etnis; Bugis, Makasar, Mandar, Bajau, Banjar, Buton, Madura, Batak, dan Jawa yang merupakan mayoritas. Sebagai etnis maritim, pada umumnya menumpukan sumber penghidupannya pada aktivitas melaut sebagai nelayan. Oleh karena itu ketersediaan sumber daya laut khususnya ikan menjadi determinan dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Namun demikian persoalannya semakin kompleks, karena tidak hanya menyangkut dimensi ekonomi, tapi juga ekologi dan politik (Arif Satria, 2005). Dimensi ekonomi terkait dengan perkembangan teknologi tangkap ikan yang semakin canggih dengan kebutuhan capital yang besar dan sulit terjangkau oleh hampir semua etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa. Bahkan dalam perkembangannya terintegrasi dengan sistem tangkap itu adalah mekanisme pasar hasil tangkap yang tidak accessible bagi nelayan kecil yang merupakan jumlah mayoritas. Akibatnya, tidak mengherankan jika angka kemiskinan di Kepulauan Karimunjawa relatif tinggi, yaitu sebanyak 3.064 jiwa dari jumlah total penduduk 9.079 jiwa atau 31.34 % yang tergabung dalam 767 KK menyebar di lima pulau (Karimunjawa, Kemujan, Parang, Nyamuk, dan Genting) dalam tiga satuan administrasi pemerintahan desa, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan Desa Parang (Rochwulaningsih, 2011). Hal ini, karena hampir semua etnis maritim apapun latar belakang etnisnya mengandalkan sumber nafkahnya pada hasil tangkap ikan. Dimensi ekologi dan politik, berkenaan dengan ditetapkannya Karimunjawa oleh pemerintah RI sebagai Taman Laut Nasional yang berimplikasi pada penentuan zonasi, sehingga ruang gerak etnis maritim dalam aktivitas mencari ikan dirasakan menjadi terbatas. Dengan latar tersebut artikel ini akan mengkaji secara sosiologis bagaimana fenomena marjinalisasi etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa itu berlangsung? Proses-proses social dan structural apa yang ‘bermain’, sehingga etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa termarjinalkan. Bagaimana bentuk marjinalisasi itu dipetakan, agar supaya dapat menjadi entry point untuk mengurai persoalan yang dihadapi oleh etnis maritim dan menemukan solusi pemecahan serta pengembangan suberdaya yang mereka miliki. Marjinalisasi etnis maritim sangat terkait dengan penetrasi sistem kapitalisme yang semakin massif. Hipotesis ini apakah juga terbukti untuk kasus di Kepulauan Karimunjawa, artikel ini akan mencoba untuk mengungkap hal tersebut. 10.2. Marjinalisasi Etnis Maritim di Kepulauan Karimunjawa Sebuah Keniscayaan Kepulauan Karimunjawa yang yang menjadi tempat tinggal beragam etnis maritim nusantara, secara geografis terletak diantara 5 4039 –5 5500 LS dan ” 0 ’ 0 ” ’ 100 0557 –10 3115 BT dengan jarak sekitar 75 mil dari kota Semarang dan 40 mil ’’ ’’ ’ 0 ’ 0 Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 129 Bagian III (buku NKRI).indd 129 13-Jan-15 12:18:43 PM

dari kota Jepara. Jika ditempuh dengan kapal cepat Kartini dari kota Semarang membutuhkan waktu sekitar 4 jam dan 2 jam jika menggunakan kapal Ekspres Bahari dari Jepara. Adapun luas wilayah teritorial Kepulauan Karimunjawa adalah 107.225 Ha dan dari luas itu, 7.115 Ha diantaranya merupakan daratan, sedangkan 1.626,8 km merupakan wilayah laut. Oleh karena itu berdasarkan data 2 statistik (Karimunjawa dalam Angka, 2011) sebagian besar (55.34 %) penduduk Karimunjawa bermatapencaharian sebagai nelayan dan berikutnya (36.80 %) sebagai petani, lainnya pedagang, buruh, pengrajin, PNS, TNI/POLRI, Pensiunan. Akan tetapi, petani di Karimunjawa pada umumnya hanya sampingan dan sebagian besar yang utama tetap sebagai nelayan. Jadi, dapat dikatakan bahwa hingga saat mayoritas > 80 % penduduk di Kepulauan Karimunjawa merupakan etnis maritim dengan sumber nafkah utama nelayan, meskipun pada awalnya hampir semua penduduk menumpukan sumber nafkahnya pada hasil laut. Diperoleh fakta, bahwa pada awalnya hampir semua etnis maritim yang menetap di Kepulauan Karimunjawa memiliki tingkat kehidupan yang baik, karena rata-rata pendapatan setiap rumah tangga nelayan dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hasil indepth interview dengan beberapa tokoh sepuh (tua) masyarakat, menunjukkan bahwa sebelum terjadi penetrasi secara massif sistem tangkap ikan dengan teknologi padat modal, ikan di wilayah perairan laut Karimunjawa termasuk dalam kawasan dekat pantai sangat melimpah dan mudah didapat. Pada umumnya penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan mudah, karena hasil tangkap ikan melimpah dan dapat dibarter dengan aneka kebutuhan hidup sehari-hari maupun dibeli cash oleh para pedagang. Pola hubungan social produksi antara nelayan dan pedagang terjalin dalam sistem tradisional yang berlangsung saling menguntungkan, saling tergantung dan establis atau meminjam istilah Scott mencerminkan pola patron-client relationship(James C. Scott,1983). Adapun pola tangkap cenderung bersifat perseorang atau kelompok-kelompok kecil dalam corak egaliter yang meletakkan aktivitas kerja sebagai nafkah penghidupan (livelihood). Jadi, aktivitas kerja yang dilakukan nelayan dapat dimaknai sebagai kekuatan produktif (Ken Morrison, 1995) yang mampu menjadi sumber nafkah bagi rumah tangga nelayan. Oleh karena itu, dengan sumberdaya laut yang potensial meskipun teknologi tangkapnya masih sangat sederhana pada waktu itu seperti; pancing, jaring, bubu, dan lain-lain, tapi hasil yang diperoleh cukup melimpah. Terlebih dengan pola hubungan social produksi patron-client memberi peluang pada nelayan jika menghadapi masa-masa sulit, karena musim Baratan di mana nelayan tidak memungkinkan untuk melaut, pedagang biasanya yang memasok kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangga nelayan. Itu artinya terdapat jaminan subsistensi bagi kehidupan nelayan di Kepulauan Karimunjawa. Secara sosiologis mereka terkonstruksi sebagai satu komunitas etnis maritim yang saling membutuhkan dan saling tergantung. Demikian juga pola kerja dalam tangkap ikan yang cenderung perseorangan atau kelompok kecil yang egaliter, dapat 130 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 130 13-Jan-15 12:18:43 PM

mengkonstruksi kemandirian dan daya juang kalangan nelayan untuk bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun demikian, kondisi ketercukupan dan mapan dari penduduk Karimunjawa itu saat ini telah menjadi masa lalu, karena masa-masa sulit lebih sering ditemui dari pada sebaliknya. Pada akhirnya fenomena terjadinya proses marjinalisasi etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa justru semakin tampak jelas. Sebagai indikatornya antara lain kehidupan mereka sebagai nelayan semakin susah, karena rendahnya pendapatan yang diperoleh dan secara social tidak jarang mereka kemudian jatuh pada strata terendah dalam struktur social masyarakat. Dengan kondisi yang demikian itu, tedapat kecenderungan mata pencaharian sebagai nelayan yang menangkap ikan seringkali tidak lagi mampu member jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup apalagi menjanjikan kesejahteraan hidup etnis maritim. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hasil indepth interview dengan anak-anak murid SD di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan, bahwa sebagian besar dari mereka cenderung kurang kalau tidak boleh dikatakan tidak tertarik untuk mengikuti jejak orang tua mereka sebagai nelayan. Dalam pandangan mereka, mencari ikan di laut sangat berat dan tidak menguntungkan, karena selain tidak menentu musimnya hasil yang diperoleh juga tidak dapat dipastikan. Apapun latar belakang etnisnya, penduduk di Kepulauan Karimunjawa yang sebagian besar menumpukan sumber penghidupan dari sumberdaya laut pernah mengalami masa kejayaan hidup di Kepulauan Karimunjawa. Kondisi itu dialami sebelum mereka termarjinalkan sebagai nelayan akibat dari penetrasi kapitalisasi alat tangkap yang sangat massif. Penetrasi kapitalisasi ini oleh Taylor (1989) tidak terlepas dengan gelombong modernisasi yang dilancarkan negara- negara maju untuk menjual produk teknologinya. Hal inilah antara lain yang menyebabkan tersegmentasinya alat tangkap etnis maritim local dalam jenis dan pola tradisional, karena pada umumnya mereka tidak memiliki akses dan modal untuk dapat memiliki teknologi moderen tersebut. Selain itu kepemilikan sumberdaya manusianya juga relatif rendah, sehingga ikut menjadi kendala dan determinan yang memarjinalkan mereka. Dengan demikian proses marjinalisasi itu berlangsung dalam aneka bentuk antara lain segmentasi alat tangkap tradisional, zonasi dan keterbatasan area tangkap, dan kapitalisasi dalam pola tangkap ikan. 10.3. Segmentasi Alat Tangkap Tradisional Pada umumnya etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa baik itu keturunan etnis Jawa, Bugis, Mandar, Bajau, Banjar, Buton, Madura, dan lain-lainnya dalam aktivitas penangkapan ikan di laut masih menggunakan alat tangkap yang masih tergolong tradisional. Hal ini antara lain dapat diketahui dari jenis kapal dan alat-alat tangkap yang digunakan. Kapal-kapal yang digunakan etnis maritim di Karimunjawa kebanyakan kapal kecil perseorangan bermesin tempel/perahu motor dengan alat tangkap sederhana seperti; pancing, jaring, branjang dan Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 131 Bagian III (buku NKRI).indd 131 13-Jan-15 12:18:43 PM

bubu. Periode kemudian juga mulai berkembang alat tangkap ikan muroami dan speargun-compressor yang terakhir ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat nelayan, karena dipandang merusak terumbu karang dan mengancam proses reproduksi ikan. Dari oral history berapa nelayan dapat diketahui, bahwa semula hingga tahun 1990-an dengan kepeloporan keturunan etnis Bugis dalam membuat kapal layar, kapal para nelayan di Karimunjawa masih dominan berupa kapal layar yang mengandalkan tenaga manusia dan angin dan penggunaan perahu bermesin temple/perahu motor belum berkembang. Meskipun begitu hasil tangkapan dirasakan sangat melimpah dan mudah didapat, sehingga hasilnya dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya bahkan berlebih. Wilayah tangkapannya pun dalam radius yang tidak terlalu jauh dari pantai. Disepanjang perairan laut tepi pantai dari pulau-pulau yang bertebaran di Kepulauan Karimunjawa seperti pulau; Karimunjawa, Kemojan, Menjangan, Cemara Besar, Cemara Kecil, Kumbang, Genting, Parang, Nyamuk, dll. dapat dengan mudah ditemukan berbagai jenis ikan dalam jumlah yang sangat banyak. Memasuki tahun 1990-an, kapal-kapal dilengkapi dengan diesel berkekuatan 5-10 PK yang ditempelkan pada bagian kapal dan kemudian menjadi kapal- kapal motor. Dengan motorisasi kapal-kapal, selanjutnya juga berkembang alat tangkap ikan seperti jaring menjadi beberapa jenis, demikian juga pancing, branjang dan bubu. Untuk bubu ada jenis yang pengoperasiannya ditempatkan didaerah dekat pantai dan bubu yang ditempatkan di laut lepas. Bahkan etnis maritim di Karimunjawa semula juga mengenal alat tangkap moderen seperti, Pukat Harimau meskipun dalam kapasitas yang kecil. Akan tetapi kemudian tidak lagi dipergunakan, karena ada larangan pemerintah dan jika tertangkap harus membayar sangat mahal. Pada tahun-tahun awal perkembangan kapal motor dan alat tangkap ikan yang sangat bervariasi itu, menjadikan hasil semakin melimpah dan sejalan dengan itu terjadi juga perubahan pola dan sistem penangkapan ikan. Pola dan sistemnya mengarah pada bentuk satuan kerja kelompok 2-3 orang bahkan untuk alat tangkap jenis muroami dan speargun-compressor diperlukan > 5 orang dalam satuan kerja kelompok. Kondisi ini juga membawa konsekuensi komunitas nelayan menjadi terdiferensiasi dalam kelompok-kelompok social yang disebut juragan (pemilik kapal), juru mudi dan pandega (anak buah kapal/ ABK) dengan mengembangkan system bagi hasil yang secara normatif disepakati. Dengan kapal-kapal kecil dan alat tangkap tradisional itu, pelan tapi pasti pada akhirnya aktivitas melaut etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa jangkauannya menjadi terbatas hanya pada radius tidak lebih dari 3 mil dan dalam radius itu jumlah ikan saat ini semakin berkurang. Sementara itu, kapal-kapal besar dengan alat tangkap canggih hanya dimiliki oleh segelintir orang Karimunjawa dan bahkan kemudian hampir semuanya dari luar daerah Karimunjawa seperti dari Nusatenggara, Madura, Pekalongan, Tegal, Jakarta, Kepulauan Seribu dll. mulai beroperasi mencari ikan di sekitar Kepulauan 132 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 132 13-Jan-15 12:18:43 PM

Karimunjawa. Kapal-kapal itu tentu dengan capital yang besar dan kepunyaan orang-orang yang punya modal besar. Apalagi kapal-kapal dari luar itu membawa ABK > 20 orang yang dilengkapi fasilitas kapal seperti cold storage, fish finder, radio komunikasi dan bahkan kompas magnetic. Ketika beroperasi tidak jarang lepas jangkar untuk merapat di Pulau Karimunjawa. Oleh karena seringkali untuk beberapa hari bahkan beberapa minggu beroperasi mencari ikan diwilayah perairan laut Karimunjawa. sehingga modal yang dibutuhkan semakin besar dan hasil yang diperoleh rata-rata sangat banyak berkisar > 10 ton dengan nilai jual ratusan juta rupiah. Oleh karena itu kalaupun ditangkap petugas, akan bisa memberi kompensasi yang layak dan bisa bebas. Tidak jarang kapal-kapal dari luar Karimunjawa yang beroperasi diwilayah laut Karimunjawa itu kemudian juga mempekerjakan penduduk lokal Karimunjawa sebagai ABK khususnya para pemuda. Dari hasil indepth interview dengan juru mudi/nahkoda kapal KM MJ dari Jakarta, menunjukkan bahwa pertimbangan utama mereka mempekerjakan penduduk local Karimunjawa adalah factor ekonomi di mana penduduk local dipandang lebih mengetahui lokasi-lokasi potensial untuk habitat ikan, karena secara imperik mereka jalani, sehingga lebih memberi peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan dalam jumlah besar. Selain itu juga ada pertimbangan agar tidak mendapat resistensi dan gangguan dari nelayan-nelayan local. Para pemuda nelayan etnis maritim Karimunjawa yang bekerja di kapal-kapal besar dari luar Karimunjawa ini kemudian mengenal beberapa teknik penangkapan ikan yang bisa dengan cepat mendatangkan hasil besar. Contohnya, yang dialami oleh Ik seorang pemuda nelayan Karimunjawa yang menjadi ABK di KM BK, ia harus menyelam untuk menangkap teripang (nilai ekonominya sangat tinggi) atau kadang harus menyemprotkan racun potasium untuk menggiring ikan dari habitatnya ke jaring-jaring besar yang telah dipersiapkan ABK lainnya. Demikian juga yang dialami oleh beberapa nelayan muda Karimunjawa yang menjadi ABK kapal dari luar Karimujawa lainnya, harus melakukan hal-hal yang kurang lebih lebih sama dengan Ik. Dalam menyelam itu, pada umumnya mereka hanya mengenakan alat-alat yang sangat sederhana, sehingga sangat membahayakan keselamatan dan dengan penggunaan potasium untuk memaksa ikan keluar dari persembunyiannya sudah pasti berpotensi dapat merusak lingkungan. Dengan demikian, jelas bahwa kapitalisasi dalam teknik penangkapan ikan yang tidak mungkin terjangkau oleh etnis maritim Karimunjawa, cenderung memarjinalkan baik secara ekonomi, sosial bahkan kultural. 10.4. Zonasi dan Keterbatasan Area Tangkap Fakta di lapangan membuktikan, bahwa wilayah perairan laut di Kepulauan Karimunjawa memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa indah dan unik dengan keanekaragaman hayati biota laut. Barangkali salah satunya oleh karena itu untuk melindungi potensi sumberdaya alam tersebut, Pemerintah RI pada Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 133 Bagian III (buku NKRI).indd 133 13-Jan-15 12:18:43 PM

tahun 1986 melalui Menteri Kehutanan menetapkan Kepulauan Karimunjawa seluas sekitar 111.625 Ha sebagai Cagar Alam Laut Kepulauan Karimunjawa (SK Menhut No. 123/Kpta-II/ 1986 Tentang Penunjukan Kepulauan Kariumunjawa dan Laut di sekitarnya yang terletak di Dati II Jepara Dati Jateng sebagai Cagar Alam Laut). Bahkan kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai kawasan konservasi dan dalam rangka menjaga kawasan konservasi, pada tahun 1988 Kepulauan Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Laut Nasional. Kebijakan itu berlanjut terus bahkan dikembangkan, melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999, kawasan Cagar Alam Karimunjawa dan perairan laut di sekitarnya seluas 111.625 hektar diubah fungsinya menjadi Taman Nasional. Sebagai tindaklanjutnya, melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.79/IV/Set-3/2005 dilakukan revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ). Dengan dasar keputusan ini wilayah Kepulauan Karimunjawa dan wilayah laut sekitarnya dibagi dalam 7 (tujuh) zona, yaitu; 1. Zona Inti Seluas 444,629 hektare meliputi sebagian perairan P. Kumbang, perairan Taka Menyawakan, perairan Taka Malang dan perairan Tanjung Bomang; 2. Zona Perlindungan seluas 2.587,711 hektar meliputi hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove, serta wilayah P. Geleang, P. Burung, Tanjung Gelam, P. Sintok, P. Cemara Kecil, P. Katang, Gosong Selikur, Gosong Tengah; 3. Zona Pemanfaatan Pariwisata Seluas 1.226,525 hektar meliputi perairan p. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Menyawakan, P. Kembar, sebelah timur P. Kumbang, P. Tengah, P. Bengkoang , Karang Kapal; 4. Zona Permukiman seluas 2.571,546 hektar meliputi P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Parang, P. Nyamuk; 5. Zona Rehabilitasi seluas 122,154 hektar meliputi perairan sebelah timur P. Parang, sebelah timur P. Nyamuk, sebelah barat P. Kemujan dan sebelah barat P. Karimunjawa; 6. Zona Budidaya seluas 788,213 hektar meliputi perairan P. Karimunjawa, P. Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk; 7. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisonal seluas 103.883,862 hektar meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Dengan pembagian zonasi tersebut pada dasarnya secara normatif sesuai ketentuan yang berlaku tampak jelas, bahwa wilayah tangkap ikan oleh etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa sangat luas, yaitu mencapai 93,06 % dari jumlah total luas kawasan Cagar Alam Laut Karimunjawa seluas 111.625 hektar. Namun demikian, dalam prakteknya yang dirasakan oleh nelayan tradisional di Kepulauan Karimunjawa tidak sejalan dengan ketentuan normatif tersebut. Hampir semua nelayan tradisional mengakui, bahwa sejak ditetapkannya Karimunjawa menjadi taman laut nasional aktivitas tangkap ikan yang mereka 134 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 134 13-Jan-15 12:18:43 PM

menjadi sangat terbatas, karena banyaknya aturan, ketentuan dan batasan- batasan dalam beraktivitas yang diberikan oleh BTNKJ. Akibatnya, untuk menghindari tindak pelanggaran yang dapat berujung pada pengenaan sanksi hukum, mereka memilih area wilayah tangkap yang ‘aman’ meskipun hasil yang diperoleh tidak memadai. Dengan demikian pandangan tradisional, bahwa laut sebagai common property right yang dapat dimanfaatkan bersama-sama secara bebas menjadi tidak berlaku lagi. 10.5. Kapitalisasi dalam Pola Tangkap Ikan Pada akhirnya aktivitas tangkap ikan yang dilakukan etnis maritim Karimunjawa cenderung tidak menjangkau laut lepas dalam yang sebenarnya potensial. Dengan begitu wilayah yang potensial sumberdaya ikan justru menjadi ajang beroperasinya kapal-kapal besar yang padat modal dengan corak yang kapitalistik yang hampir semuanya berasal dari luar Kepulauan Karimunjawa. Contoh kasus adalah beroperasinya KM. MJ dari sebuah PT yang berkedudukan di Jakarta dan ketika penelitian dilakukan sedang beroperasi selama 2 (dua) minggu menangkap ikan di wilayah laut Karimujawa. Dari hasil indepth interview dengan nahkoda dan beberapa ABK dapat diketahui, bahwa kapal yang memiliki kapasitas cold storage 20-30 ton itu menggunakan alat tangkap Pukat Cincin yang memiliki kecenderungan untuk mendapatkan jenis ikan tangkapan yang sama dan cenderung tidak merusak (baik terumbu karang maupun spesies lain), karena hanya beroperasi pada gerombolan ikan di permukaan. Akan tetapi dari observasi lapang menunjukkan indikasi adanya penggunaan alat tangkap jenis Pukat Harimau yang sebenarnya telah dilarang oleh pemerintah, karena sangat eksploitatif dan berpeluang merusak sumberdaya laut. Pola tangkap dilakukan terorganisasi dalam kelompok besara, terdapat 30 ABK diluar nahkoda dua orang dengan sistem pengupahan berdasarkan bagi hasil. Seluruh hasil tangkapan sekali melaut per kapal, dijual ke perusahaan yang memiliki dan membiayai operasional kapal dengan pembagian hasil: 10% dari total hasil tangkapan ikan untuk ABK (semakin senior posisinya, maka semakin besar prosentase hasil yang diterima), 20% untuk nahkoda dan selebihnya adalah untuk perusahaan yang memiliki dan membiayai operasional kapal termasuk perbekalan hidup kru kapal selama melaut. Dari pola kerja dan sistem bagi hasil tersebut jelas telah terjadi proses kapitalisasi dalam tangkap ikan di wilayah laut Karimunjawa di mana beroperasinya kapal-kapal tangkap ikan yang besar dibutuhkan capital/modal besar dan pemilik modal itu lah sebenarnya yang meraup keuntungan besar. Kalaupun sebagian etnis maritim Karimunjawa bergabung dalam sistem tangkap ikan yang kapitalistik itu, lebih hanya sebagai tenaga tangkap ikan dengan upah ataupun bagi hasil yang sangat rendah. Dalam sistem kapitalisme segala bentuk hasil produksi memiliki kecenderungan untuk dijadikan komoditas Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 135 Bagian III (buku NKRI).indd 135 13-Jan-15 12:18:43 PM

yang dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau “nilai guna” (use– value), tetapi untuk mencari “nilai lebih” (profit) dari “nilai tukar” (exchange value). Dengan demikian dalam sistem kapitalis tercipta proses komodifikasi, yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar. Bagaimana proses masuknya penerapan sistem kapitalis antara lain dapat dirunut dari adanya landasan semangat untuk melakukan akumulasi kapital yang berdampak pada terjadinya perubahan dalam teknologi penangkapan ikan. Secara umum terdapat kecenderungan, bahwa pada awalnya teknologinya lebih bercorak subsistensi di mana aktivitas tangkap ikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan umumnya dikerjakan dengan teknologi dan ketrampilan serta keahlian tradisional yang dikerjakan secara terbatas oleh anggota keluarga, tetangga secara perseorangan maupun kelompok-kelompok kecil 2-5 orang. Dalam perkembangannya aktivitas tangkap ikan digantikan sistem kapitalis yang padat modal dan menempatkan hasil tangkap sebagai komoditas yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam pandangan Marx komoditas disebut sebagai social hieroglyphic, karena komoditi tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi hubungan sosial yang mengeksploitasi sumberdaya tenaga kerja (yang dalam kasus usaha tangkap ikan adalah nelayan yang menjadi ABK) hingga memarjinalkan posisi mereka. Terbangunnya kondisi yang marjinal dalam pandangan kaum Maxian lebih disebabkan oleh adanya kontradiksi dari sistem kapitalisme, yaitu perampasan surplus oleh pemilik capital/modal pada mereka yang hanya memiliki tenaga kerja. Pada keadaan yang demikian ini, sistem kapitalis melalui beroperasinya kapital telah menciptakan kemajuan ekonomi bagi sebagian kecil pemilik modal dan menciptakan kemiskinan bagi sebagian besar kelompok masyarakat yang tidak bermodal. Bahkan menurut Frank, perampasan surplus berkaitan dengan eksploitasi yang kemudian berdampak pada semakin meluasnya jaringan kapitalis. (Culley, 1977) 10.6. Penutup Etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa terdiri dari beragam etnis antara lain; Bugis, Makasar, Mandar, Bajau, Banjar, Buton, Madura, Batak, Jawa dan beberapa lainnya dalam jumlah kecil. Mereka mendasarkan sumber nafkah yang utama sebagai nelayan dengan pola dan teknologi sangat sederhana, karena keterbatasan sumberdaya manusia, akses dan modal dalam memanfaatkan potensi sumberdaya laut yang ada dilingkungan sekitar. Oleh karena itu, kondisi etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa dewasa ini dapat dikatakan marjinal baik secara ekonomi, sosial maupun kultural. Kebanyakan dari mereka kehidupan ekonominya subsisten, meskipun telah melakukan deversifikasi usaha prroduktif di luar kenelayanan. Tidak sedikit dari mereka justru terjebak pada pola pengembangan tangkap ikan yang kapitalisik yang menempatkan 136 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 136 13-Jan-15 12:18:43 PM

mereka hanya sebagai tenaga kerja/buruh penangkap ikan tanpa otoritas dan akses pasar. Marjinalisasi etnis maritim di Karimunjawa itu berlangsung bersamaan dengan proses kapitalisasi yang semakin massif dalam usaha tangkap ikan. Kapitalisasi telah terbukti mampu merubah pola dan sistem tangkap ikan sekaligus merubah pola hubungan sosial produksi yang melingkupinya. Pola hubungan patron-client yang menjamin subsistensi kehidupan nelayan Karimunjawa telah bergeser kearah pola hubungan majikan-buruh dalam ‘aroma’ eksploitasi, sehingga nelayan cenderung tidak ikut menikmati surplus dari hasil tangkapannya. Selain itu, penetapan Karimunjawa sebagai Taman Laut Nasional dalam prakteknya juga memberi kontribusi signifikan pada marjinalisasi etnis maritim terutama dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari terbatasnya area tangkap. Bahkan mereka sampai pada pemahaman, bahwa pandangan tradisional mereka tentang laut sebagai common property right yang dapat dimanfaatkan bersama-sama secara bebas menjadi tidak berlaku lagi. Dampak marjinalisasi yang cukup penting antara lain menempatkan etnis maritim tidak menjadi kelompok sosial strategis di Kepulauan terpencil dengan tingkat kesejahteraan yang layak, sehingga terdapat kecenderungan anak-anak mereka tidak berminat mengikuti jejak orang tuanya sebagai nelayan. 10.7. Daftar Pustaka Culley, Lorraine. 1977. Economic Development In Neo-Marxist Theory. Dalam Hindess, Barry. Sociological Theories Of The Economy. London: The Macmillan Press Ltd. Frank, Andre Gunder. 1998. Re Orient: Global Economy in the Asian Age.Barkeley: University of California Press. J. Kathirithamby-Wells & J. Villiers (eds), 1990. The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise. Singapore: Singapore University Press. Karimunjawa dalam Angka, 2011. Lapian, A.B. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu, KILTV,ANRI, Jurusan Sejarah FIB UGM, Jurusan Sejarah FS UNPAD. Morrison, Ken. 1995. Marx, Durkheim, Weber: Formation Of Modern Social Thought. New Delhi: Sage Publications. Mubyarto, Soetrisno, Loekman & Dove, Michael. 1984. Nelayan Dan Kemiskinan. Jakarta: CV. Rajawali. Rochwulaningsih, Yety. Land Tenure Transformation in A Remote Islands: A Case a Historical Sociology Prespective in Karimunjawa Islands. Semarang: Journal of Coasal Development Diponegoro University, Volume 15 October 2011. Satria, Arif. 2005. Ekologi Politik Nelayan. Jakarta: Lkis. Scott, C. James . 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 137 Bagian III (buku NKRI).indd 137 13-Jan-15 12:18:43 PM

Taylor, G. John. 1989. From Modernization to Modes Of Production. A Critique of the Sociologies of Development and Underdevelopment. London: The Macmillan Press Ltd. Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. 138 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 138 13-Jan-15 12:18:43 PM

XI. KOMUNITAS KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP Agus Maladi Irianto 11.1. Pendahuluan Ribuan tahun lalu, Indonesia – yang secara tradisonal disebut sebagai Kepulauan Nusantara – sangat strategis di wilayah Asia Pasifik. Kepulauan Nusantara sebagai persinggahan dan perdagangan laut kapal-kapal asing seperti Arab, Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, dan Swedia. Akan tetapi, seperti yang diungkapkan Thung Ju Lan dalam artikelnya berjudul “Kebudayaan dalam Perspektif Bahari Nusantara”, dalam Berita IPTEK, tahun ke-46 Nomor 1, 2007, sejak kemerdekaan Indonesia 1945 (bahkan sebelumnya) karakteristik kebaharian tersebut tenggelam ditelan ombak globalisasi industri yang lebih berbasis pada daratan. Diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di daerah pantai. Merekalah yang lazim disebut sebagai etnik maritim. Dari sejumlah etnik maritim di wilayah Nusantara ini, Komunitas Kampung Laut – yang menempati wilayah selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan bergandengan dengan Pulau Nusakambangan – bermukim. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, Komunitas Kampung Laut secara umum adalah beretnik Jawa yang berdialek Banyumasan dan sebagiannya beretnik Sunda berdialek Sunda Pada tahun 2003, saya bersama Mudjahirin Thohir dari Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, telah melakukan studi kelayakan di wilayah Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 139 Bagian III (buku NKRI).indd 139 13-Jan-15 12:18:43 PM

Komunitas Kampung Laut tersebut, dan secara garis besar dapat dideskripsikan sebagai berikut. 11.2. Gambaran Umum Komunitas Kampung Laut Dengan menempuh waktu sekitar dua setengah jam dari dermaga Seleko melalui Laut Segara Anakan dan menyisir bibir Pulau Nusakambangan, perahu kecil berukuran satu kali sepuluh meter berkekuatan 15 PK sampailah di Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Sebuah wilayah yang dikelilingi pohon bakau dan berair payau itu sejak tahun 2002 resmi menjadi kecamatan dengan empat desa yaitu Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel dan Klaces. Padahal dua tahun sebelumnya ia cuma kecamatan pembantu, yang salah satu desa yang kini jadi ibu kota kecamatan adalah Kleces yang waktu itu masih masuk dalam kecamatan Kawunganten. Kecamatan secara geografis terletak pada ordinat 7 35’ – 7 50’ Lintang o 0 Selatan dan 108 45’ - 109 3’ Bujur Timur dengan luas wilayah ± 22.319 Ha 0 o yang terdiri atas perairan ± 1.919 Ha dan sisanya berupa daratan berupa hutan mangrove, pemukiman, sawah, tambak dan lain-lain. Perairan di kawasan Kecamatan Kampung Laut disebut Laguna Segara Anakan yang dipisahkan oleh pulau Nusakambangan. Laguna Segara Anakan merupakan muara dari beberapa sungai seperti Citandui, Cimeneng, dan Cibeureum. Sejalan dengan waktu, material yang dibawa oleh ketiga sungai tersebut akhirnya membentuk daratan atau tanah timbul yang kemudian digunakan oleh masyarakat setempat untuk pemukiman, sawah dan timbulnya hutan mangrove. Seperti yang telah disinggung pada pembahasan terdahulu, kawasan Kampung Laut terdiri atas empat desa, yakni, Ujung Gagak, Desa Ujung Alang, Panikel dan Klaces Desa Ujung Gagak terletak di ujung barat Kecamatan Kampung Laut dan dibatasi oleh: Desa Rawa Apu (Barat), Desa Panikel (Timur), Pulau Nusakambangan (Selatan), dan Desa Guntingrejo (Utara). Jarak antara Desa Ujung Gagak ke Kecamatan Kampung Laut sekitar tiga kilometer lewat jalan laut, ke Kabupaten Cilacap 60 Km melalui laut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk desa Ujung Gagak sebgian besar bekerja sebagai nelayan dan sebagian lagi sebagai petani. Mata pencaharian penduduk Ujung Gagak, sebagian besar nelayan. Para nelayan dari Desa Ujung Gagak biasanya mencari ikan di laut lepas (Samodra Hindia). Dari sejumlah nelayan tersebut sebagian di antaranya juga menjadi juragan ikan. Para juragan ikan inilah kemudian lebih menandai dinamika ekonomi di desa tersebut. Namun bila diperhatikan komposisi mata pencaharian tersebut, sebagian besar para nelayan dan juga juragan ikan, lebih banyak bermukim di dusun Karanganyar, Karang Jaya, Karangsari, Karang Mulya. Di antara mereka ada juga sebagain kecil penduduk yang bermata pencaharian petani, yakni penduduk yang bermukim di dua dusun Cibereum dan Palindukan. Desa Ujung Alang terletak di antara Pulau Jawa dengan Nusakambangan 140 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 140 13-Jan-15 12:18:43 PM

berupa pulau-pulau kecil yang disebut yang oleh penduduk setempat disebut “Grumbul” .Untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk desa Ujung Alang bekerja sebagai nelayan sebanyak 695 orang dan sebagai petani 445 orang. Jika dilihat dari lokasi penduduk yang bermukim di wilayah tersebut komposisi mata pencaharian hampir berimbang. Misalnya, penduduk yang bermukim di dusun Motean dan Peniten sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Akan tetapi, para nelayan di kedua dusun ini ketika melakukan penangkapan ikan hanya di perairan sekitar laguna saja. Sedangkan, penduduk di dusun Bondan dan Lempong Pucung lebih cenderung memilih peternakan ikan, pertanian. Sementara Desa Panikel menjadi satu dengan wilayah Kecamatan Kawunganten, namun demikian akses dari desa ke berbagai tempat baik ke Kecamatan Kampung Laut, Kecamatan Kawunganten maupun Kabupaten Cilacap tidaklah mudah karena harus melalui jalan yang cukup rumit baik jalan darat maupun jalan air. Sedangkan Desa Klaces terdiri dari dua dusun yaitu Klapa Kerep dan Klaces. Berdasarkan penelitian di lapangan pada tahun 2003 lalu, dari keempat desa di Kecamatan Kampung Laut, ternyata ada tiga desa yang harus mengalami permasalahan yang cukup mendasar seperti: (1) Terbatasnya prasarana dan sarana desa, baik transportasi, teknologi maupun komunikasi (2) belum terlayaninya kebutuhan sosial baik bidang pendidikan maupun kesehatan, (3) keterbatasan sumber daya manusia dan lingkungan, serta sistem pengelolalaannya. Ketiga desa yang tergolong menghadapi permasalahan tersebut adalah, Desa Ujung Gagak, Ujung Alang, dan Panikel. Di Ujung Gagak terdapat dua dusun (Cibereum dan Palindukan), Desa Ujung Alang terdapat dua dusun (Bondan dan Lempong Pucung), dan Desa Panikel juga terdapat dua dusun (Muara Dua dan Kalen Bener). Ketiga desa tersebut dilihat mata pencaharian penduduk serta kondisi lingkungan alamnya mempunyai spesifikasi masing-masing. Desa Ujung Gagak misalnya, mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan dan cenderung memilih penangkapan ikan dari laut lepas. Desa Ujung Alang antara penduduk yang bermata pencaharian nelayan maupun petani hampir seimbang, hanya saja penduduk yang memilih mata pencaharian nelayan cenderung menangkap ikan hanya dari sekitar laguna Segara Anakan saja tidak sampai mengarungi lautan lepas. Sedangkan Desa Panikel sebagian bersar lebih cenderung bercocok tanam (pertanian) di pekarangan mereka. 11.3. Karakteristik Komunitas Kampung Laut Berbicara tentang Kampung Laut agaknya tidak bisa melepaskan tentang latar belakang Pulau Nusakambangan. Perlu diketahui bahwa Pulau Nusakambangan merupakan salah satu pulau yang terletak di sebelah selatan Pulau Jawa yang secara administratif pemerintahan masuk wilayah Kabupaten Cilacap. Pulau yang luasnya lebih kurang 17.000 ha tersebut digunakan sebagai pulau penjara. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 141 Bagian III (buku NKRI).indd 141 13-Jan-15 12:18:43 PM

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan, kawasan Kampung Laut mempunyai karakteristik yang di antaranya sebagai berikut. Pertama, masyarakat Kampung Laut mengkategorikan diri sebagai masyarakat pejagan, yang merepresentasi sebagai penjaga laut. Kata “pejagan” mempunyai arti tersendiri dalam setiap urat nadi masyarakat, apalagi dikaitkan dengan nama Ki Jaga Laut. Hal ini dapat dibuktikan dengan penyebutan Ki Jaga Laut apabila masyarakat ingin terhindar dari kecelakaan di laut atau musibah yang lain dengan harapan mereka memperoleh kekuatan gaib dan terhindar dari musibah tersebut. Kedua, masih kuatnya tata nilai tradisional dan spiritual, dalam tata kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah ritual yanfg swelalu diselenggarakan masyarakat setempat, misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi sebagai tanda terima kasih kepada bumi dan laut yang telah memberikan kehidupan. Penduduk Kampung Laut sangat menyadari adanya perubahan alam sekitarnya (laut) yang semakin hari menjadi dangkal dengan adanya sendimentasi, sehingga dirasa semakin sulit diandalkan sebagai mata pencaharian. Ketiga, kuat nilai-nilai spiritual masyarakat juga tercermin pada penghormatan mereka terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat. Antara lain, Goa Masigit Sela yang digunakan sebagai pedoman dalam penataan rumah. Di kawasan Kampung Laut rumah penduduk hanya menghadap ke utara dan selatan, sedasngkan wilayah timur dan barat untuk meletakkan sesaji. Keempat, masyarakat Kampung Laut terkenal dengan keras dan pantang mundur dalam menghadapi segala tantangan. Mereka sangat membanggakan konsep “penjaga”. Sifat keras masyarakat sebagai akibat proses sosialisasi nilai- nilai yang erat kaitannya sebagai nelayan. Mereka hidup secara berkelompok meskipun rumahnya berjauhan satu sama lain dan sebagian besar menempati rumah yang beratap rumbia dan berdinding bambu. Kehadiran mereka ke kawasan ini, umumnya karena terdesak atau terdorong oleh faktor pemenuhan kebutuhan pekerjaan dan lahan pemukiman. Pekerjaan pada sektor kenelayanan dan pertanian. Tetapi karena modal usaha lemah dan pendidikan rata-rata rendah, maka kategori pekerjaan yang dipilih termasuk pendapatan yang didapat, tergolong rendah pula. Dari rendahnya pendapatan yang diperoleh, dewasa ini semakin mengkhawatirkan mengingat lahan usaha yakni kawasan Kampung laut semakin lama semakin dangkal. Sedang upaya mencari ikan di lautan lepas (Samudera Hindia) sering mengalami hambatan mengingat piranti yang dimiliki yakni jenis perahu dan peralatan penangkapan ikan, rata-rata masih bercorak tradisional. Akibatnya, ikan tangkapan semakin mengecil dan berkurang, padahal kebutuhan hidup kerumah tanggaan semakin lama dirasa semakin mahal, sementara fasilitasi seperti transportasi yang ada, masih sangat bergantung pada transportasi laut. Akibat buruk lain yang akan mengikuti ialah kesanggupan orang tua 142 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 142 13-Jan-15 12:18:43 PM

untuk menyekolahkan anak-anak mereka akan semakin terhambat. Untuk bisa melanjutkan pendidikan, bukan saja dibutuhkan fasilitasi pendidikan yang relatif mudah ditempuh, tetapi juga dana. Kalau kedua hal itu, tidak tersedia maka anak-anak mereka akan cenderung berhenti sekolah lalu membantu orangtua menjadi nelayan-nelayan kecil. Kalau kondisi demikian ini yang terjadi, maka dengan mudah mereka akan masuk ke dalam siklus kemiskinan structural. Kondisi demikian sudah barang tentu harus diantisipasi, sebab posisi kaum miskin lebih terlihat sebagai beban daripada energi. 11.4. Permasalahan Umum Komunitas Kampung Laut Dari serangkaian observasi terhadap Komunitas Kampung Laut, wawancara dan diskusi kelompok (FGD) dengan sejumlah informan, terdapat permasalahan yang bisa dikategorikan sebagai berikut. Pertama, menyangkut masalah pendapatan yang rendah. Pendapatan keluarga nelayan semakin berkurang sementara biaya hidup yang dibutuhkan semakin besar. Semakin rendahnya pendapatan itu, dalam satu segi adalah karena rusaknya kawasan lingkungan dan tidak terjangkaunya modal usaha. Apalagi peran tengkulak dan juragan ikan, justru lebih menekan keberadaan para sebagian nelayan di wilayah tersebut. Sedang dalam segi lain, adalah karena terbatasnya fasilitas yang tersediakan. Oleh karena minimnya fasilitas yang tersedia, maka tingkat kesulitan hidup menjadi semakin tinggi. Kedua, sarana dan prasarana yang bersifat fisik seperti prasarana transportasi, jalan, jembatan, bangunan yang terkait dengan pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan sosial lainnya, dirasakan masih jauh dari cukup. Demikian juga kebutuhan akan kemudahan pendidikan, pengobatan, fasilitas ekonomi dan keagamaan, umumnya warga masyarakat secara umum masih merasakan kesulitan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah, belum bisa memberikan pencerahan. Ketiga, sebagai kenyataan dari permasalahan tersebut di atas adalah apakah pemerintah maupun pihak-pihak terkait, berkenan mengulurkan tangan dengan cara memberi prioritas pembangunan sebagaimana yang dibutuhkan oleh umumnya warga masyarakat dimaksud? Keempat, jika pemerintah turun tangan yaitu memprioritaskan pembangunan kepada lingkungan dan masyarakat yang tinggal di kawasan ini, maka bagaimana model dari pembangunan itu sendiri yang bisa bermanfaat bagi warga masyarakat, tidak mengakibatkan tumbuh mental bergantung, bahkan sebaliknya, bisa bangkit sendiri dari segala kesulitan yang dihadapi? Dari hasil kajian lapangan, penduduk lebih nampak pasrah menghadapi lingkungan. Pasrah sembari melakukan strategi-strategi adaptasi yaitu dengan melakukan diversifikasi usaha pertanian kendati dalam skala kecil, baik usaha pertanian laut maupun darat. Diversifikasi dalam usaha pertanian laut ialah: Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 143 Bagian III (buku NKRI).indd 143 13-Jan-15 12:18:44 PM

(1) beternak kepiting dalam empang ukuran kecil, dan (2) beternak jenis ikan bandeng. Keduanya itu hasilnya belum menggembirakan. Selebihnya dari itu ialah tetap bertahan diri dengan mengakses udang dan ikan-ikan kecil dengan cara menjala di kawasan segara anakan. Dengan menggunakan perahu jukong dan jala itulah wajah umumnya nelayan tradisional di daerah ini. Hasil ikan tangkapan, semakin lama semakin berkurang, dan atau karena areal yang dijadikan lahan perburuan semakin menyempit. Hal ini antara lain karena semakin bermunculan laguna-laguna yang mengubah diri menjadi hutan-hutan mangrove. Belum lagi, transportasi untuk menjual ikan hasil tangkapan ke pasar masih relatif sulit. Kalau dijual kepada tengkulak, maka nilai jual ikan tangkapan akan diperhitungkan dengan jumlah ongkos yang ditanggung tengkulak, sehingga jatuhnya harga ikan tangkapan menjadi rendah. “ Penduduk yang bermukim di kepulauan-kepulauan kecil yang saling dipisahkan oleh laut, menjadikan transportasi utama mereka adalah perahu. Transportasi lintas dukuh atau lintas desa, hanya bisa dilakukan dengan naik perahu seperti perahu-perahu kecil. “ Lebih dari itu, dengan pendidikan yang rendah, ketrampilan terbatas, dan pilihan pekerjaan dijalankan karena keturunan, menjadikan mereka tidak atau belum memiliki keberanian untuk melakukan perubahan-perubahan secara cepat, baik dari segi wilayah buruan tangkapan maupun fasilitas peralatan. Bahkan, dengan semakin dangkalnya perariran wilayah tersebut menjadikan 144 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 144 13-Jan-15 12:18:44 PM

kualitas dan jenis ikan yang bisa ditangkap menjadi semakin berkurang, mestinya menginspirasi nelayan di daerah ini untuk melakukan migrasi penangkapan yaitu ke laut lepas (Samudra Hindia). Kemauan dan kemampuan bermigrasi demikian, hanya dimungkinkan kalau ada kemauan keras dan peralatan (perahu penangkap dan alat tangkap) yang tahan terhadap besaran ombak. Permasalahan yang lain, seperti telah disinggung pada pembahasan terdahulu, adalah persoalan prasarana transportasi penduduk. Penduduk yang bermukim di kepulauan-kepulauan kecil yang saling dipisahkan oleh laut, menjadikan transportasi utama mereka adalah perahu. Transportasi lintas dukuh atau lintas desa, hanya bisa dilakukan dengan naik perahu seperti perahu-perahu kecil. Perahu kecil seperti perahu jukong, fungsi utama bagi nelayan ialah untuk mencari ikan. Tetapi fungsi perahu jukong itu akan bertambah seirama dengan kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan mencari air bersih untuk masak dan kebutuhan mengantar anak mereka bersekolah. Sulit dan terbatasnya alat transportasi ini juga berakibat kepada kesulitan ketika ada di antara keluarganya jatuh sakit yang perlu dibawa berobat ke desa lain atau ke kabupeten. Sementara di dukuh bahkan di desanya sendiri, belum ada puskesmas pembamtu bahkan umumnya belum ada tenaga medis yang disediakan oleh pemerintah. 11.5. Penutup Komunitas Kampung Laut yang masuk wilayah Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah, merupakan wilayah yang dikelilingi pohon bakau dan berair payau itu sejak tahun 2002 resmi menjadi kecamatan dengan empat desa yaitu Desa Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel dan Klaces. Komunitas yang bereknik Jawa dan Sunda ini mempunyai karakteristik yang di antaranya sebagai berikut. Pertama, masyarakat Kampung Laut mengkategorikan diri sebagai masyarakat pejagan, atau merasa sebagai masyarakat yang menjaga lautan. Selain itu masyarakat juga mempercayai masih kuatnya tata nilai tradisional dan spiritual, dalam tata kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari adanya upacara sedekah laut dan sedekah bumi sebagai tanda terima kasih kepada bumi dan laut yang telah memberikan kehidupan. Penduduk Kampung Laut sangat menyadari adanya perubahan alam sekitarnya (laut) yang semakin hari menjadi dangkal dengan adanya sendimentasi, sehingga dirasa semakin sulit diandalkan sebagai mata pencaharian. Ketiga, masyarakat Kampung Laut terkenal dengan keras dan pantang mundur dalam menghadapi segala tantangan. Mereka sangat membanggakan penjaga-nya. Sifat keras masyarakat sebagai akibat proses sosialisasi nilai-nilai yang erat kaitannya sebagai nelayan. Komunitas Kampung Laut, ternyata mengalami permasalahan yang cukup mendasar seperti: (1) Terbatasnya prasarana dan sarana desa, baik transportasi, Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 145 Bagian III (buku NKRI).indd 145 13-Jan-15 12:18:44 PM

teknologi maupun komunikasi (2) belum terlayaninya kebutuhan sosial baik bidang pendidikan maupun kesehat, (3) keterbatasan sumber daya manusia dan lingkungan, serta sistem pengelolalaannya. Beberapa kebutuhan yang dianggap mendesak di kawasan Kampung Laut antara lain: (1) Perlu dibangun sarana perhubungan darat dan jembatan antardesa atau jalan darat yang bisa menghubungkan antara desa yang satu dengan desa-desa lain, (2) adanya kemudahan mendapatkan air bersih, seperti sumur artesis pada masing-masing pedukuhan yang sulit memperoleh air bersih, (3) tersedianya bangunan rumah kesehatan semacam puskesmas pembantu atau setidaknya rumah dinas bidan desa beserta dengan bidan dan atau paramedic yang ditugaskan di desa, (4) dibangunnya gedung sekolahan SD/SLTP tingkat desa atau dusun, (5) dibangunnya tempat ibadah seperti masjid pada desa yang belum memiliki, serta (6) tersedianya transportasi laut seperti perahu compreng dalam jumlah yang cukup yang bisa dimanfaatkan sebagai alat transportasi dengan biaya/ ongkos yang murah. Alternatif pemberdayaan yang dapat dilakukan di Kampung Laut antara lain sebagai berikut: Pertama, meningkatkan pendapatan masyarakat dengan diversifikasi usaha di bidang ekonomi seharusnya dilihat dari jenis-jenis kegiatan (pekerjaan) yang menjadi pilihan masyarakat itu sendiri. Demikian juga ketergantungan masyarakat kepada tengkulak atau jurangan ikan harus mulai dikikis dengan semakin diselenggarakan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan SDM mereka. Kedua, pemberdayaan percepatan pembangunan yang menyangkut sarana dan prasarana yang bersifat fisik seperti prasarana transportasi (jalan dan jembatan), alat komunikasi, dan penerangan (listrik) baik dalam keagamaan maupun sosial lainnya, karena selama ini dirasakan masih jauh dari cukup. Ketiga pemberdayaan dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Misalnya, fasilitas akan tenaga medis tingkat desa, obata-obatan, Puskesmas Pembantu, fasilitas kebutuhan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, tersedianya fasilitas sekolah untuk tingkat perdusunan juga bantuan tenaga guru yang dapat difasilitasi instansi terkait. 11.6. Daftar pustaka Abdullah, Irwan (1999) “Dari Bounded System ke Bordeless Society: Krisis Metode Antropologi dalam Memahami Masyarakat Masa Kini”. Dalam Antropologi Indonesia. No. 60, Th.XXIII. Agustus-Oktober. Hlm. 11-18. Boeke, H.W. (1953) Economics and Economic Policy in Dual Societies. Harlem: Universitaire Pres Leiden. Budhisantoso, S. (1997) “Pembangunan Nasional Indonesia dengan Berbagai Persoalan Budaya dalam Masyarakat Majemuk”. Dalam Koentjaranigrat dan Antropologi di Indonesia. Masinambow, E.K.M. ed. Jakarta: Obor. Hlm. 127- 138. 146 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 146 13-Jan-15 12:18:44 PM

Danandjaja, James (1989) “The Impact of Modernization on a Traditional Culture: a Trunyanese Case”. Dalam Antropologi Indonesia. No. 45, Th.XIII. Januari- Maret. Hlm. 11-17. Ju Lan, Thung (2007) “Kebudayaan dalam Perspektif Bahari Nusantara”, dalam BERITA IPTEK,tahun ke-46 Nomor 1. Kartika, Sandra dan Gautama, Candra, eds. (1999) Menggugat Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara. Jakarta: AMAN. Kodiran (1976) “Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat, ed. Hlm. 327- 345. Koentjaraningrat, ed. (1976) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan. Marzali, Amri (1997) 1997 “Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia”. Dalam Koentjaranigrat dan Antropologi di Indonesia. Masinambow, E.K.M. ed. Jakarta: Obor. Hlm.139- 150. Popkin, Samuel L (1979) The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vetnam. London:University California Press Sairin, Sjafri (1997) “Dimensi Budaya Program Inpres Desa Tetinggal”. Dalam Koentjaranigrat dan Antropologi di Indonesia. Masinambow, E.K.M. ed. Jakarta: Obor. Hlm. 151-164. Suparlan, Parsudi (2000) “Ëthnicity and Nationality among The Sakai: The Transformation of an Isolated Group into a Part of Indonesia Society”. Dalam Antropologi Indonesia. Th. XXIV. No. 62. Mei-Agustus. Hlm. 55-74. Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 147 Bagian III (buku NKRI).indd 147 13-Jan-15 12:18:44 PM

148 NKRI dari Masa ke Masa Bagian III (buku NKRI).indd 148 13-Jan-15 12:18:44 PM

BAGIAN IV HARMONISASI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM KERANGKA NKRI Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 149 Bagian IV (buku NKRI).indd 149 13-Jan-15 12:19:10 PM

XII. TANAH UNTUK RAKYAT: STRATEGI MENJAGA HARMONI SOSIAL & KEUTUHAN NKRI Sutaryono, Suprajaka 12.1. Pendahuluan Indonesia, sebagai sebuah nation state dengan mayoritas penduduknya petani yang tinggal di perdesaan, telah merasakan menjadi bangsa yang berdaulat sejak terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berkehendak untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan Negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, jelas merupakan misi utama Indonesia sebagai negara berdaulat. Perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tidak terbatas pada perlindungan wilayah/teritori negara dari gangguan musuh & ancaman negara lain, tetapi juga perlindungan terhadap sumberdaya agraria dan kekayaan yang ada di dalamnya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Inilah yang dimaksudkan sebagai tanah untuk rakyat, sebagai sebuah strategi untuk menjaga harmoni sosial dan mereduksi konflik sekaligus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 150 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 150 13-Jan-15 12:19:10 PM

Pertanyaan yang kemudian diajukan secara kritis adalah apakah benar bahwa Indonesia sebagai nation state sudah benar-benar berdaulat? Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat kedaulatan bangsa Indonesia- yang memproklamirkan diri sebagai negara agraris- tampak belum sepenuhnya berdaulat atas sumberdaya agraria yang dimilikinya. Berbagai sengketa dan konflik keagrariaan/pertanahan yang intensitasnya tidak kunjung berkurang dan ketergantungan sumber pangan kita terhadap negara lain menunjukkan bahwa sejatinya bangsa kita belum berdaulat secara penuh terhadap sumberdaya agraria/pertanahan di negeri sendiri. ’Negara Agraris Ingkari Agraria’ , yang mengupas tentang pembangunan desa 1 dan kemiskinan di Indonesia telah memberikan penyadaran bahwa kebijakan pembangunan nasional selama ini masih belum berorientasi pada persoalan agraria secara optimal. Bahkan kebijakan pembangunannya seringkali menafikan keberadaan sektor agraris sebagai penopang kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tulisan Tjondronegoro ini semakin mengukuhkan bahwa negara dan bangsa Indonesia belum sepenuhnya berdaulat atas sumberdaya agrarianya. Terlepas dari itu semua, jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalahhubungan yang bersifat abadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah satu bagian dari bangsa Indonesia dan merupakan bagian penting bagi keutuhan NKRI. Oleh karena itu perlu dipastikan bahwa pengelolaan pertanahan secara nasional perlu diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat (tanah untuk rakyat), sekaligus untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupanberbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI. 12.2. Realitas Pertanahan di Negeri Agraris Persoalan keagrariaan hampir selalu berhubungan dengan persoalan pertanahan, mengingat tanah adalah obyek yang mewadahi semuanya, sementara agraria secara konstitusional dimaknai sebagai bumi, air, udara dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan persoalan wilayah, tanah dan sumberdaya alam lainnya merupakan persoalan keagrariaan. Kondisi riil bangsa Indonesia menunjukkan bahwa: (1) bangsa Indonesia adalah bangsa agraris; () sebagian besar penduduknya tinggal di perdesaan dan bergerak di sektor pertanian; (3) angka kemiskinan yang tinggi terdapat di perdesaan; (4) angka pengangguran (pengangguran terbuka dan setengah  Tjondronegoro, 2008, Negara Agraris yang Mengingkari Agraria: Pembangunan Daerah dan Kemiskinan di Indonesia, Yayasan AKATIGA 2 Makna yang tersirat dalam Pasal  (3) UUPA Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 151 Bagian IV (buku NKRI).indd 151 13-Jan-15 12:19:10 PM

pengangguran) sebagian besar terdapat di perdesaan. Kondisi ini mengharuskan pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan dan berbasiskan pada sektor agraris. Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa realitas berikut menunjukkan adanya ironi yang terjadi pada negara agraris ini. Pertama, di samping negara agraris, Indonesia juga sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Ini bukan sekedar klaim, tetapi sudah mendasarkan pada hukum laut internasional. Konvensi Hukum Laut Internasional 198 (United Nations Convention Law of the Sea – UNCLOS) memberikan pengakuan kepada Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki hak berbeda dalam penarikan garis batas wilayah. Perbedaan mendasar negara kepulauan dengan negara pantai biasa adalah dalam penetapan titik dasar untuk penarikan batas perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinental. Negara kepulauan diperbolehkan menarik titik dasar dari ujung pulau terluar hingga 00 mil, sedangkan negara pantai hanya sampai 1 mil dari daratan. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memiliki sumberdaya wilayah pesisir yang sangat potensial untuk dikembangkan. Data LAPAN yang direlease oleh www.wikipedia.org, Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki sekitar 18.306 pulau. Dari keseluruhan jumlah pulau, pulau yang sudah bernama hanya mencapai 6.489 pulau, selebihnya belum memiliki nama. Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada tahun 004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama . 3 Namun, data tersebut sudah tidak valid. Informasi terakhir pulau yang sudah diberi nama dan sudah diverifikasi berjumlah 13.466 pulau. Jumlah pulau tersebut masih bertambah. Perlu informasi geospasial yang mutakhir dan dapat dipertanggungjawabkan serta mudah diakses. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam konteks wilayah, bangsa kita belum memiliki strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya agraria dan pertanahan, termasuk di dalamnya adalah pulau-pulau kecil yang ada. Namun demikian dengan potensi dan kekayaan tersebut, terwujudnya welfare state sudah di depan mata apabila pengelolaan terhadap sumberdaya agraria/ pertanahan secara nasional dilakukan dengan baik dan berkeadilan. Tetapi perlu diingat pula bahwa potensi disintegrasi bangsa juga terdapat pada bangsa ini, apabila pengelolaan sumberdaya agraria/pertanahan yang ada dilakukan secara sentralistik dan ekonomistik tanpa mengakomodasi kepentingan ekologis dan kepentingan-kepentingan daerah, masyarakat lokal berikut ragam budaya dan etnisnya. Isu-isu mengenai penyewaan pulau-pulau kecil terhadap swasta atau pihak asing, ancaman disintegrasi bangsa, degradasi dan deteriorasi lingkungan 3 Diakses pada www.wikipedia.org, 29 Oktober 202. 152 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 152 13-Jan-15 12:19:10 PM

merupakan persoalan serius yang perlu segera diantisipasi dan ditangani agar tidak mengalami ekskalasi ke arah chaos yang cenderung kontraproduktif. Belum lagi adanya pemberitaan di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik pada medio tahun 01 yang mengungkap masalah terjadinya ‘jual beli’ terhadap beberapa pulau kecil di wilayah Indonesia. Kedua, adalah ketergantungan negara agraris ini kepada negara lain dalam mencukupi kebutuhan pangan. Fakta yang menunjukkan bahwa setiap tahun kita mengimpor lebih dari 00.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu - jutaan ton beras, sejatinya adalah ancaman krisis pangan yang begitu menyesakkan dan memprihatinkan . 4 Selama ini perlindungan terhadap ancaman krisis pangan selalu dibaca sebagai keberhasilan negara dalam menciptakan ketahanan pangan. Dalam hal ini ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi seluruh penduduk, yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup- baik dalam jumlah maupun mutunya-, aman, merata, dan terjangkau. Tidak perduli apakah ketersediaan pangan tersebut tercukupi oleh produksi nasional ataupun oleh membanjirnya produk impor. Pemaknaan inilah yang menjadikan negara ini selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Padahal potensi wilayah dengan luas lahan kering sekitar 148 juta ha dan lahan basah termasuk lahan sawah sekitar 4,9 juta ha (Sabiham, 007), sangat memungkinkan Indonesia mampu berdaulat dalam penyediaan pangan. Ketiga, berhubungan dengan pekerjaan utama penduduk Indonesia. Data BPS menunjukkan bahwa pada Februari 009, dari 104,49 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di Sektor Pertanian yaitu 43,03 juta orang (41,18 persen), disusul Sektor Perdagangan sebesar 1,84 juta orang (0,90 persen), dan Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 13,61 juta orang (13,03 persen). Pada bulan Februari 01 kondisinya tidak jauh berbeda, dari 11,8 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di Sektor Pertanian (41, juta orang atau 36,5%), disusul Sektor Perdagangan sebesar 4,0 juta orang (1,30 persen), dan Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 17,4 juta orang (15,40 persen). Apabila ditelisik lebih jauh lagi, selama lebih dari 3 dekade terakhir jumlah Rumah Tangga (RT) Petani selalu mengalami peningkatan. Jumlah RT Petani pada tahun 1983, 1993 dan 003 berturut turut adalah 15,9 juta, 19,7 juta dan 4,8 juta. Berdasarkan 5 luasan penguasaan tanahnya, RT Petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha jumlahnya juga meningkat, yakni 40,8% berdasarkan SP 1983, meningkat menjadi 48,60% pada SP 1993 dan meningkat lagi menjadi 53,9% pada SP 003. Ini berarti bahwa pada tahun 003 di seluruh Indonesia terdapat 13, juta RT Petani yang hanya menguasai (belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang  Lihat Sutaryono, 202 ‘Kedaulatan Negara Vs Kedaulatan Pangan’, SKH KR 28 Agustus 202.  Data Sensus Pertanian Tahun 983, 993 dan 2003 Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 153 Bagian IV (buku NKRI).indd 153 13-Jan-15 12:19:10 PM

dari 0,5 hektar. Kondisi demikian menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menjadi topangan hidup terbesar bagi penduduk Indonesia, tidak diimbangi oleh penguasaan tanah yang memadai, bahkan jumlah petani ‘gurem’ semakin meningkat. Keempat, berhubungan dengan kedaulatan pangan. Setelah 67 tahun bangsa Indonesia berdaulat secara politik, sudah selayaknya dan sudah seharusnya negara ini mampu mewujudkan kedaulatan pangan sebagai wujud berdaulat secara ekonomi. Kedaulatan pangan dimaknai sebagai suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, diperlukan: (1) pembaruan agraria; () penguatan akses rakyat terhadap pangan; (3) penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (4) pangan untuk pangan, tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) larangan penggunaan pangan sebagai senjata; dan (7)pemberian akses petani dalam perumusan kebijakan pertanian. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya (SPI, 008). Kondisi inilah yang saat ini terjadi di negeri agraris ini. Kedaulatan negara secara politis ataupun sering terungkap sebagai kedaulatan politik, sesungguhnya tidak akan terwujud tanpa kehadiran kedaulatan pangan yang merupakan satu esensi perwujudan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk itu, dua kemenangan sekaligus ini dapat dijadikan momentum untuk secara bersama-sama mewujudkan kedaulatan pangan di dalam NKRI yang berdaulat . 6 Kelima.Berdasarkan MDGs Report tahun 005 jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 3,4%. Pada tahun 00 turun menjadi 18,%, pada tahun 003 menjadi 17,4% dan pada tahun 004 menjadi 16,6%. Pada tahun 008, data Strategis BPS menunjukkan bahwa penduduk miskin mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,4% dari seluruh penduduk. Namun demikian menurut Tjondronegoro, pada tahun 008 kalau kemiskinan diukur menggunakan kriteria Bank Dunia, di mana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 0 juta. Tetapi apabila kriteria yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD ,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 008 mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 30 juta jiwa (Tjondronegoro, 008:44). Kondisi terakhir menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia  Op cit, Sutaryono, 202 154 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 154 13-Jan-15 12:19:10 PM

versi BPS pada Maret 01 sejumlah 9,13 juta orang (11,96 persen) . Pengukuran 7 kemiskinan yang dilakukan oleh BPS tersebut menggunakan konsepkemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Menurut konsep ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (GK), yang pada tahun 01 ditetapkan sebesar Rp. 48.707 per kapita per bulan . Namun demikian, apabila 8 garis kemiskinan dihitung dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli) sebesar US$ PPP, maka dapat dipastikan bahwa angka kemiskinan akan jauh lebih besar . 9 Jumlah penduduk miskin tersebut berada di wilayah perdesaan mencapai 63,4% dan lebih dari 70% bergantung dari sektor pertanian. Persoalan kemiskinan di perdesaan berhubungan dengan kelangkaan sumberdaya lahan bagi petani. Keterbatasan lahan garapan bagi angkatan kerja di perdesaan semakin meningkatkan angka pengangguran. Hal ini telah disinyalir cukup lama sebagai permasalahan ketenagakerjaan yang paling utama di perdesaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak tertampungnya angkatan kerja pada lapangan kerja yang tersedia menjadi penyebab utama pengangguran, yang pada akhirnya bermuara pada kemiskinan dan keterbelakangan. Kelima realitas di atas menunjukkan bahwa berbagai ironi muncul dan berkembang mengiringi perjalanan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara agraris yang berdaulat. Realitas itupun masih disesaki dengan fenomena konflik tanah yang intensitasnya tidak kunjung berkurang. Mengingat begitu krusialnya persoalan konflik tanah di negeri ini, maka secara khusus perlu dibahas dalam sub bab tersendiri. 12.3. Konflik Tidak Kunjung ‘Padam’ Konflik pertanahan menjadi sebuah fenomena, ketika terjadi di hampir seluruh pelosok dunia dan seakan tiada berujung. Baik yang disebabkan oleh kolonialisme, kapitalisme, dominasi dan hegemoni negara maupun yang disebabkan oleh perbedaan persepsi dan akses antar individu maupun kelompok dalam masyarakat (Sutaryono, 00). Konflik pertanahan baik vertikal maupun horisontal seakan tidak pernah ‘lelah’ mendera manusia yang berpijak di atasnya. Artinya, sangat sedikit persoalan pertanahan yang berkembang menjadi konflik baik laten maupun manifes yang berujung pada sebuah resolusi yang komprehensif dan mampu mengakomodasikan semua pihak yang berkepentingan. Kalau toh ada penyelesaian biasanya bersifat impulsive, instant dan hanya berlangsung sesaat, untuk kemudian muncul kembali dengan intensitas yang lebih besar lagi.  Data Strategis BPS, 202 8 Ibid, BPS 202 9 Pada tahun 2008 saja angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan US$2 PPP, tercatat 9% dari seluruh penduduk Indonesia. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 155 Bagian IV (buku NKRI).indd 155 13-Jan-15 12:19:10 PM

Persoalan tanah merupakan persoalan klasik yang terjadi di mana-mana, sebab tanah memiliki aspek multidimensional. Dari aspek ekonomi tanah dipandang sebagai sarana produksi, sumber hidup dan kehidupan karena semua manusia di dunia ini berpijak di atasnya. Berkenaan dengan aspek politik, tanah dipandang sebagai basis dalam pengambilan kebijakan dalam proses sosial yang berkembang di masyarakat. Dari kacamata sosial dan budaya tanah dimaknai sebagai sesuatu yang mampu meningkatkan status sosial dan harga diri dalam masyarakat sekaligus sebagai simbol perkembangan peradaban, budaya dan eksistensinya. Sisi spiritual, tanah di pandang sebagai harta pusaka yang mampu memberi kekuatan dan perlindungan bagi siapa saja yang menjaganya. Bahkan bagi masyarakat salah satu etnis di Indonesia memberikan makna bahwa tanah adalah seorang ibu yang mampu melindungi, memberi kasih sayang dan memberikan kesejahteraan bagi hidupnya. Oleh karena itu konflik yang berhubungan dengan tanah senantiasa berlangsung, karena setiap individu atau kelompok selalu memiliki kepentingan terhadap tanah. Derajat permasalahannya berbeda-beda, antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, antara kota dan desa, antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara individu dan kelompok, antara kelompok dengan kelompok maupun antara individu dan kelompok berhadapan negara, tergantung dari berbagai kepentingan yang bersinggungan (Sutaryono, 009). Demikianlah, tanah menjadi pijakan dan tumpuan berbagai kepentingan manusia yang saling beriringan, bersilangan, berhadapan dan saling silang sengkurat yang kemudian memunculkan gesekan-gesekan yang kemudian berkembang menjadi sebuah konflik yang seakan tiada berujung. Menurut Dorcey (1986) terdapat empat penyebab dasar konflik, yaitu: (1) 10 perbedaan pengetahuan dan pemahaman; () perbedaan nilai; (3) perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian; (4) perbedaan karena latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Keempat penyebab dasar ini bekerja secara simultan dan saling mendukung. Perbedaan persepsi dalam memaknai sesuatu akan mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai, demikian pula adanya perbedaan nilai dapat memunculkan perbedaan persepsi. Sedangkan perbedaan latar belakang kepentingan biasanya dilandasi oleh pemikiran ekonomistik yang mengedepankan perhitungan untung dan rugi. Sebagai implikasi dari berbagai perbedaan persepsi, nilai, distribusi dan alokasi keuntungan serta perbedaan latar belakang personal dan berkepentingan terhadap sesuatu yang disebut ‘pembangunan’ muncullah berbagai ketegangan yang bermuara pada sebuah konflik. Konflik di sini lebih bernuansa struktural mengingat, sebuah otoritas yang melembaga dan diciptakan oleh negara bertujuan untuk mencapai kepentingan-kepentingan yang sudah ditetapkan- 0 Lihat Mitchell dkk, 2000, dalam Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, terbitan Gadjah Mada University Press. 156 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 156 13-Jan-15 12:19:10 PM

termasuk di dalamnya adalah kepentingan yang ‘memboncengnya’. Fenomena konflik yang terjadi berkisar pada persoalan sumberdaya tanah sebagai media dasar kehidupan manusia. Data BPN RI menunjukkan bahwa jumlah kasus sengketa pertanahan di Indonesia sampai dengan tahun 007 sebanyak 4.581 kasus, konflik sebanyak 858 kasus, dan perkara yang sedang diproses di pengadilan sebanyak .05 kasus (BPN, 009). Pada saat ini (tahun 01) jumlah kasus sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang tercatat pada BPN RI sejumlah 8.307 kasus. Dari sejumlah ini, BPN RI sampai tahun 01 telah berhasil menyelesaikan sejumlah 4.30 kasus . 11 Dalam rangka penyelesaian kasus-kasus tersebut BPN RI mengelompokkan kasus pertanahan menjadi 8 (delapan) tipologi yaitu: 1) Penguasaan dan pemilikan tanah; ) Penetapan hak dan pendaftaran tanah; 3) Batas atau letak bidang tanah; 4) Pengadaan/Pembebasan Tanah; 5) Tanah Obyek Landreform; 6) Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir; 7) Tanah ulayat/adat; dan 8) Pelaksanaan putusan pengadilan. Di samping itu, BPN RI juga membagi kasus pertanahan berdasarkan sektor ang meliputi sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Tipologi kasus pertanahan tersebut menunjukkan bahwa sengketa, konflik dan perkara pertanahan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, lintas sektor bahkan lintas generasi, utamanya berkenaan dengan pemberian hak dalam jangka waktu yang lama. Tampak jelas bahwa tingginya jumlah konflik, sengketa dan perkara pertanahan menyebabkan tingginya jumlah luasan tanah objek sengketa. Objek ini menjadi tidak produktif dan membatasi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap tanah tersebut. Apabila dilihat dari oportunity loss yang dimungkinkan terjadi dari luasan tanah objek sengketa dapat diilustrasikan sebagai berikut (BPN, 009): a. Luasan tanah produktif objek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan secara optimal seluas: 607.886 ha. b. Nilai ekonomi tanah yang menjadi objek sengketa sebesar: 6.078.860.000 m x Rp. 15.000,- (NJOP tanah paling rendah) = Rp. 91.18.900.000.000,- c. Perkiraan opportunity lost dari tanah yang tidak termanfaatkan akibat status sengketa tersebut mencapai Rp. 146,804 triliun. Ilustrasi di atas didasarkan pada hasil estimasi yang dilakukan terhadap luasan objek sengketa pada tahun 007. Apabila semua objek sengketa, konflik dan perkara pertanahan sudah teridentifikasi, niscaya nilai opportunity loss-nya juga semakin besar. Berbagai konflik pertanahan yang perlu dicatat dan mendapat perhatian antara lain konflik masyarakat Suku Amungme dan suku-suku lain dengan 1  Laporan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konf lik Pertanahan pada Rapat Kerja Nasional BPN RI 202. 2 Baca Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah karya Ruwiastuti, dkk, 998:2- Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 157 Bagian IV (buku NKRI).indd 157 13-Jan-15 12:19:11 PM

PT. Freeport Indonesia di Timika Papua, konflik masyarakat Kuan Heun dengan pemerintah di NTT, konflik pertanahan masyarakat adat di Dusun Senaru Lombok Barat, konflik masyarakat adat di Desa Selasih, Tenganan dan Pecatu di Bali dengan investor dan pemerintah, konflik masyarakat adat Kaili di Pombui, Marawola, Sulawesi Tengah sehubungan dengan kehadiran proyek transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit yang menggusur permukiman dan tanah adat masyarakat setempat, konflik masyarakat Dayak Bahau di Kabupaten Kutai dengan PT. Limbang Praja Timber yang mengembangkan HTI (Hutan Tanaman Industri) – Transmigrasi seluas 15.00 hektar di wilayah adat masyarakt lokal dan melakukan pencurian kayu di hutan masyarakat adat, dan konflik masyarakat adat Melayu di Kampung Lama Sumatera Utara sehubungan dengan adanya usaha perkebunan tembakau di jaman kolonial. Di samping konflik di atas beberapa konflik pertanahan lain yang sangat ‘populer’ dan belum hilang dari ingatan kita antara lain kasus Sampang Madura, Kedungombo di Boyolali Jawa Tengah, kasus Jenggawah, kasus Badega di Garut Jawa Barat, kasus perkebunan di Banongan Situbondo Jawa Timur, Malang dan kasus tanah Tegal Buret di Kulon Progo Yogyakarta. Kasus lain dengan nuansa yang agak berbeda adalah kasus Proyek Pulau Bintan yang menggunakan 19.000 hektar tanah untuk kawasan resor wisata pantai dan kawasan industri terpadu, termasuk di dalamnya adalah 40.000 hektar untuk pengembangan sumberdaya air bagi Singapura , konflik tanah di Mesuji 13 Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung, konflik tanah di Tanjung Priuk, konflik pertambangan pasir besi di Kulon Progo, Yogyakarta dan banyak lagi kasus yang dapat dikedepankan sebagai ilustrasi bahwa konflik yang terjadi tidak sekedar sebagai konflik horizontal yang bersekala kecil. Pada dasarnya konflik-konflik tersebut dipicu oleh adanya kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan kemudahan bagi investor untuk melakukan pengadaan tanah secara besar-besaran demi kepentingan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Hak Menguasai dari Negara dan adanya fungsi sosial tanah di dalam UUPA sering dijadikan legitimasi pemerintah yang berkuasa untuk menyediakan tanah dengan jumlah besar bagi megaproyek-megaproyek yang diajukan oleh pengusaha meskipun harus ‘mengorbankan’ hak masyarakat. Argumen demi ‘kepentingan nasional’ menjadian masyarakat berkewajiban untuk merelakan hak mereka bagi megaproyek tersebut. Di samping itu semangat kapitalisme yang mengedepankan capital saving (penumpukan modal) dan cenderung economic oriented, yang menggejala di hampir semua proses pembangunan telah ikut mendorong marjinalisasi masyarakat pemilik tanah. Apabila hal ini tidak segera mendapatkan penyelesaian maka ketimpangan penguasaan tanah 3 Baca Tabloid Adil No 3/Tahun ke-8, April 2000:20 158 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 158 13-Jan-15 12:19:11 PM

akan semakin lebar dan intensitas konflik akan meningkat, yang keduanya bisa mengganggu keutuhan wilayah NKRI. 12.4. Reforma Agraria: Peluang Menyelesaikan Berbagai Persoalan Dalam konteks ini, sebagai negara agraris, mungkinkah kebijakan reforma agraria menjadi satu strategi dalam menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan di Indonesia? Apabila mungkin, bagaimana menerapkannya dalam konteks pembangunan nasional yang berpihak pada rakyat? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat pengalaman di berbagai negara – sebut saja Jepang, Taiwan, Korea Selatan, China dan Vietnam – telah berhasil mentransformasikan struktur agraria ke dalam suatu sistem pertanian individual yang mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Griffin, et al. 00), bahkan menjadi faktor penting yang mendukung keberhasilan dalam proses industrialisasi (Kay, 00). Tidak hanya di negara-negara Asia, negara- negara di Amerika Latin-pun telah sejak lama menerapkan kebijakan reforma agraria untuk memperbaiki struktur penguasaan tanahnya, sebut saja Meksiko, Nikaragua, Honduras, Brazil, Ekuador dan Peru pada awal 1970an. Bahkan negara- negara seperti Bolivia, Kolumbia dan Venezuela, genderang reforma agraria masih bergaung hingga saat ini. Reforma Agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di negeri yang konon disebut agraris ini. Reforma agraria ini juga diorientasikan untuk menyelesaikan berbagai persoalan keagrariaan/pertanahan sekaligus memperkuat keutuhan NKRI. Namun demikian reforma agraria tidak cukup diletakkan pada konteks keterbatasan akses masyarakat atas sumberdaya agraria tetapi lebih luas lagi pada persoalan kelangsungan dan keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya perubahan menuju kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan peluang bagi keberlangsungan usaha masyarakat atas sumberdaya agraria. Reforma Agraria yang disebut pula sebagai pembaruan agraria ini perlu diformulasikan menjadi sebuah agenda aksi yang dapat diimplementasikan. Dalam konteks ini pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk mengagendakan pembaruan agraria menjadi sebuah program dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan harmoni sosial dan menjaga keutuhan NKRI. Landasan politik bagi pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agraria sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 159 Bagian IV (buku NKRI).indd 159 13-Jan-15 12:19:11 PM

ketetapan tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan di bidang keagrariaan. Optimisme penerapan reforma agraria untuk menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini, paling tidak dapat ditengok pada tujuan reforma agraria yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Beberapa tujuan reforma agraria yang dapat dikedepankan adalah: (1) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; () mengurangi kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (7) meningkatkan ketahanan pangan (BPN, 007). Berbagai tujuan tersebut terkait satu sama lain. Dalam konteks ini ketujuh tujuan reforma agraia dapat secara bersama-sama diorientasikan untuk menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan.Strategi tersebut tidak akan dapat diimplementasikan secara baik apabila tidak didukung dengan kebijakan nasional yang mengikat bagi institusi atau departemen terkait. Kebijakan yang parsial hanya akan memboroskan keuangan negara yang ujungnya tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang silang sengkurat dan belum terselesaikan hingga saat ini. Dalam konteks ini berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini saling terkait satu sama lain, yang kesemuanya berujung pada persoalan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat disini berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan atas tanah pertanian sebagai topangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Ketika tanah pertanian sudah diorientasikan untuk kepentingan non pertanian pada skala yang lebih luas melalui kebijakan makro, maka meningkatnya jumlah petani miskin dan tidak bertanah menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu perlindungan terhadap keberadaan tanah-tanah pertanian harus dilakukan, terutama melalui kebijakan yang berorientasi pada usaha-usaha pertanian. Hal ini sebagaimana gagasan Keith Griffin, et al (00) dalam Poverty and Distribution of Land tentang perlunya mengevaluasi kebijakan dan praktek yang cenderung bias kota, karena hanya mempertahankan kemiskinan. Lebih lanjut Griffin mengedepankan pentingnya pendistribusian lahan kepada petani untuk memerangi urban bias policies tersebut. Gagasan Griffin menunjukkan bahwa kebijakan yang mengokupasi 160 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 160 13-Jan-15 12:19:11 PM

tanah-tanah pertanian di wilayah pinggiran kota dan wilayah perdesaan adalah salah satu praktek yang bias kepentingan kota dan cenderung memberikan implikasi pada proses pemiskinan petani. Kebijakan pengembangan tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah terlantar ataupun berasal dari kawasan hutan yang tidak produktif dan secara ekologis tidak mengganggu keseimbangan alam layak dijadikan prioritas. Peluang inilah yang dapat diambil melalui kebijakan dan program reforma agraria dalam rangka meningkatkan harmoni sosial dan menjaga keutuhan NKRI. Statemen Presiden RI pada tahun 007, yang akan mengalokasikan sejumlah 8,15 juta hektar untuk program reforma agraria manjadi satu titik tolak dalam meningkatkan harmoni sosial dan menjaga keutuhan NKRI. Apabila dihitung, kebutuhan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sekitar  ha. Itu berarti bahwa 8,15 juta hektar dapat diorientasikan untuk sekitar 4,075 juta petani ataupun kepala rumah tangga petani. Jumlah yang cukup fantastik, dibanding lapangan kerja baru yang hanya mampu menyerap 48.000 tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun 006 (Bappenas, 006). Apabila strategi tersebut dapat berhasil, ternyata mampu mengurangi angka kemiskinan hampir 5% dari jumlah rumah tangga miskin yang ada di Indonesia saat ini. Inilah barangkali tantangan bagi pelaksanaan reforma agraria dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Berubahnya struktur penguasaan tanah menjadi lebih adil, memberikan peluang bagi penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan yang berujung pada munculnya harmoni sosial dan terhindarnya dari konflik, serta semakin mengukuhkan rasa ke-Indonesiaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 12.5. Informasi Geospasial: Prakondisi Utama Implementasi Reforma Agraria Kebijakan Reforma Agraria dapat diterapkan secara baik apabila tersedia infrastruktur pertanahan secara memadai, utamanya adalah ketersediaan data dan informasi spasial di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini penting di lakukan mengingat penyelesaian persoalan keagrariaan-pertanahan pada dasarnya merupakan bagian yang sangat penting untuk mengurai benang kusut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hal ini muncul akibat dari: (1) keterbatasan data dan informasi dalam kuantitas maupun kualitasnya. Keterbatasan data dan informasi yang akurat berpengaruh pada kegiatan pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang belum dapat berjalan dengan baik; () sistem pengelolaan informasi yang transparan juga belum melembaga dengan baik sehingga masyarakat belum mendapat akses terhadap data dan informasi secara memadai; dan (3) kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 161 Bagian IV (buku NKRI).indd 161 13-Jan-15 12:19:11 PM

Sementara itu, masih rendahnya akses masyarakat terhadap data dan informasi sumber daya alam berakibat pula pada terbatasnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Lemahnya kontrol dan keterlibatan masyarakat, serta penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, juga merupakan masalah penting lain yang menyebabkan hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam menjadi terbatas dan sering menimbulkan konflik antar pelaku, termasuk masalah yang sangat pelik yaitu agraria- pertanahan. “ Apabila reforma agraria dapat diimplementasikan sebagai strategi pembangunan, maka berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini dapat terurai. Redistribusi tanah bagi petani miskin dan petani tidak bertanah, baik secara langsung ataupun tidak langsung mampu menyediakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan. “ Lahirnya Undang-Undang No 4 Tahun 011 tentang Informasi Geospasial (IG) dan kemudian diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 94 tahun 011 tentang Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan momentum penting terhadap masalah perpetaan nasional. Informasi geospasial yang andal dimaknai sebagai 162 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 162 13-Jan-15 12:19:11 PM

informasi yang akurat, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses dan mudah diintegrasikan. Undang-Undang No. 4 Tahun 011 tersebut mengamanatkan bahwa IG harus dijamin kemutakhiran dan keakuratannya, serta diselenggarakan secara terpadu, sistematis, dan berkelanjutan guna menghindari adanya kekeliruan, kesalahan, dan tumpang tindih informasi yang berakibat pada ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran pembangunan dan inefektivitas informasi (Asep Karsidi, 01). Kebijakan lain yang sedang dilakukan oleh BIG adalah mengenai “Single Reference Map” dimana seluruh penyelenggaraan informasi geospasial tematik dan produk turunannya harus menggunakan referensi informasi geospasial dasar tunggal yang dikeluarkan oleh BIG. Hal ini untuk mengeliminir kesalahan geometris sekaligus menjaga konsistensi akurasi dari informasi geospasial yang dihasilkan. Saat ini, sosialisasi dua kebijakan diatas telah melalui proses harmonisasi dari stake holders (kementerian/lembaga, universitas, dan swasta), karena aspek manfaat yang sangat besar dari kebijakan ini. Salah satu contoh implementasi dilapangan adalah kedepan diharapkan semakin menurunnya konflik kawasan yang terjadi pada kawasan hutan yang sekaligus merupakan area konsesi tambang. Salah satu strategi yang diterapkan dalam implementasi kebijakan “Single Reference Map” adalah dalam mendukung program Inpres No. 10 Tahun 011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Peraturan ini bertujuan menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Realisasi dari kebijakan ini adalah penyediaan informasi geospasial tematik khusus peta indikatif penundaan ijin baru (PIPIB) berupa kondisi kawasan hutan alam primer dan lahan gambut beserta ijin konsesi lahan didalamnya, yang dilaporkan setiap 6 bulan sekali ke Presiden, sebagai bahan monitoring dan pelaporan ke komite “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation” (REDD+). Secara teknis, pelaksanaan kebijakan ini terdiri dari multi sektor terdiri dari: Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementrian ESDM,Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional yang saat ini telah bertransformasi menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG), Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Hal ini tentunya merupakan bentuk dari proses pembelajaran di semua pihak terutama yang terkait dengan proses pemberian ijin terhadap sebidang lahan Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 163 Bagian IV (buku NKRI).indd 163 13-Jan-15 12:19:11 PM

sehingga ke depan konflik agraria dapat dieliminir karena setiap bidang lahan dapat memperoleh kepastian hukum. Berkenaan dengan beberapa hal di atas, informasi geospasial yang terintegrasi dan melingkupi seluruh wilayah Indonesia, utamanya berkenaan dengan sumberdaya agraria merupakan prakondisi yang harus terpenuhi untuk mendukung reforma agraria sebagai sebuah kebijakan. Percepatan dalam penyusunan peta dasar pertanahan berikut pengukuran bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ketersediaan informasi geospasial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 011. 12.5. Penutup Apabila reforma agraria dapat diimplementasikan sebagai strategi pembangunan, maka berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini dapat terurai. Redistribusi tanah bagi petani miskin dan petani tidak bertanah, baik secara langsung ataupun tidak langsung mampu menyediakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan. Kondisi ini dipastikan akan mampu mereduksi munculnya konflik, sengketa dan perkara pertanahan, mengingat salah satu akar penyebab konflik sudah terselesaikan. Persoalannya adalah, mampukah kita semua mendorong reforma agraria menjadi satu strategi pembangunan yang diimplementasikan secara nasional. Tidak sekedar sebatas pada level wacana, tetapi harus dapat diimplementasikan pada level operasional sebagai sebuah agenda aksi. Kiranya strategi mereduksi konflik melalui redistribusi tanah yang berorientasi untuk mengurangi angka kemiskinan dan menjaga keutuhan NKRI dalam bingkai reforma agraria layak dan sangat perlu untuk diperjuangkan. 12.6. Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 005-010. Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pertanahan Nasional RI, 007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat. BPN. Jakarta. Badan Pertanahan Nasional, 009. Sayembara Penulisan Dalam Rangka Memperingati Hari Agraria Nasional Tahun 009. BPN RI. Jakarta. Baranyi, Stephen et al. 004. Scoping Study on Land Policy Research in Latin America. The North-South Institute dan IDRC (CRDI), Ottawa Bina Desa, 009. “Reforma Agraria Macet Masalah Bangsa Menumpuk”. Bina Desa No. 117/XXX/Juni/009. Jakarta. Effendi, Tadjudin Noer, 1995. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Tiara Wacana. Yogyakarta. 164 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 164 13-Jan-15 12:19:11 PM

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Nasional. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Griffin, Keith. et al. 00. “Poverty and the Distribution of Land”. Journal of Agrarian Change. Vol  No. 3, July 00. Heriawan, 006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional, 4 Desember 006 di Makasar. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Jamasy, Owin, 004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika. Jakarta. Joyo Winoto, 009. Sambutan Kepala BPN RI Pada Peringatan Hari Agraria Nasional Ke-49 4 September 009. BPN RI. Jakarta. Karsidi A (01), Keynote Speech dalam acara IGI’S Annual Scientific Meeting XV Iternational Seminar Unitization of Geospatial Information to Raise Environmental Awarness in Realizing the National Character, Surakarta, 3- 4 Nopember 01. Kay, Cristóbal, 00. “Why East Asia Overtook Latin America: Agrarian Reform, Industrialisation and Development” dalam Third World Quarterly 3(6): 1073-110. Maksum, Mochammad. 009. “Memantapkan Pilihan Nahdliyyin” dalam SKH Kedaulatan Rakyat, 3 April 009 hal 1. Mitchell, Bruce, 1997, Resource and Environmental Management, Addison Wesley Longman Ltd, Ontario. Mulyanto, Budi, 007. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional. Makalah Kolokium Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional kerjasama STPN – Departemen Ilmu Tanah & Sumberdaya Lahan IPB, 8 Agustus 007 di Yogyakarta. Peraturan Presiden Nomor 94 tahun 011 tentang Badan Informasi Geospasial. SKH Kompas, 19 Januari 008. SKH Kompas, 1 Juni 009. SKH Kedaulatan Rakyat, 3 April 009. Suroto, 199. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sutaryono, 00. “Konflik Pertanahan, Sebuah Kaca Benggala” dalam Majalah Imiah Widya Bhumi No 7 Tahun 3, Juni 00. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta. _________, 009. Reforma Agraria:Strategi Mereduksi Konflik Melalui Perluasan Lapangan Kerja. Naskah Pemenang Lomba Karya Tulis Nasional yang diselenggarakan oleh BPN RI. Jakarta. _________, 01. Kedaulatan Negara Vs Kedaulatan Pangan, SKH Kedaulatan Rakyat, 8 Agustus 01. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 165 Bagian IV (buku NKRI).indd 165 13-Jan-15 12:19:11 PM

Tjondronegoro, 008. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. Yayasan AKATIGA. Bandung. ____________, 008. Mencari Ilmu di Tiga Jaman Tiga Benua. Sajogja Institute. Bogor. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 011 tentang Informasi Geospasial. 166 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 166 13-Jan-15 12:19:11 PM

XIII. DIASPORA DAN URGENSI PEMETAAN ETNIS MARITIM NUSANTARA: SEBUAH PERSPEKTIF HISTORIS Singgih Tri Sulistiyono, Aris Poniman, Priyadi Kardono 13.1. Pendahuluan Makalah ini akan mencoba untuk mengkaji urgensi pemetaan terhadap komunitas dan etnis maritim beserta potensinya di kepulauan Indonesia. Namun demikian mengingat bahwa keberadaan komunitas dan etnis maritim saat ini merupakan sebuah hasil dari proses dinamika sejarah yang terus berlangsung hingga saat ini, maka kajian sejarah diaspora komunitas-komunitas dan kelompok etnis maritim di kepulauan Indonesia itu juga perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada saat ini. Kajian semacam ini perlu dilakukan dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan potensi kebaharian di Indonesia yang selama ini masih perlu dioptimalkan. Pemahaman komprehensif mengenai sejarah diaspora komunitas dan kelompok etnis maritim sangat penting sebagai landasan kebijakan negara dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi kemaritiman di kawasan pantai dan laut. Selain itu kajian mengenai perspektif historis terhadap diaspora komunitas dan kelompok etnis maritim dapat dijadikan sebagai bahan pemikian untuk membuat pemetaan (mapping) potensi kemaritiman dan perumusan kebijakan teknis lainnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pengembangan sektor kemaritiman. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 167 Bagian IV (buku NKRI).indd 167 13-Jan-15 12:19:11 PM

Seperti diketahui bahwa selama ini jika pemerintah melakukan pemetaan potensi kemaritiman berarti melakukan pemetaan terhadap potensi sumberdaya alam maritim yang terletak di kawasan bahari yang terletak di pantai, lepas pantai, maupun di laut dan pulau-pulau kecil. Potensi kelautan tersebut dapat mencakup mangrove, terumbu karang, wisata pantai, perikanan, rumput laut, dan berbagai jenis tambang yang dapat ditemukan di dasar laut. Upaya pemetaan ini biasaya dilakukan oleh berbagai lembaga seperti Pusat Penelitian Oceanografi, LIPI, BPPT, BMKG, Bakosurtanal, TNI-AL, dan sebagainya. Dalam hal ini, keberadaan 1 komunitas-komunitas yang tinggal di pantai dan lepas pantai serta pulau-pulau kecil masih kurang mendapatkan perhatian secara proporsional. Apa yang disebut sebagai potensi kebaharian hanya mencakup potensi sumber daya alam (SDA) sedangkan komunitas-komunitas dan etnis maritim belum dipandang sebagai bagian dari potensi kebaharian. Untuk itulah, makalah ini akan menguraikan beberapa hal yang terkait dengan karakter geografis kepulauan Indonesia yang mendorong terjadinya diaspora di dalam sepanjang sejarah Indonesia serta urgensi pemetaan komunitas dan etnis maritim beserta isu-isu pokok yang dapat dicakupnya. 13.2. Kepulauan Indonesia: Sebuah Zone Terbuka Kondisi geofisika kepulauan Indonesia pada saat ini merupakan hasil dari proses evolusi yang sangat panjang dari jutaan tahun yang lalu. Studi Geomorfologi menjelaskan bahwa selama perjalanan waktu, permukaan air laut telah berubah-ubah beberapa kali dalam beberapa juta tahun terakhir. Selama masa itu, bumi mengalami iklim yang berganti-ganti antara antara zaman glasial dan zaman interglasial. Selama zaman es (glasial) terakhir (sekitar 17.000 tahun lalu), permukaan air laut turun sekitar 00 meter. Dalam kondisi demikian, kepulauan Indonesia bagian barat kemudian membentuk semenanjung benua Asia (disebut sebagai Dataran Sunda). Pada periode yang sama, Papua dan pulau- pulau yang berdekatan membentuk perpanjangan benua Australia (disebut sebagai Dataran Sahul). Ini berarti bahwa jumlah pulau tidak sebanyak kondisi saat ini. Perubahan signifikan terjadi pada periode berikutnya yang berkaitan dengan meningkatnya permukaan laut setelah berakhirnya zaman es terakhir, sedimentasi dan letusan gunung berapi. Proses ini telah menghasilkan kondisi geofisika kepulauan Indonesia saat ini sebagai kawasan kepulauan terluas di dunia.  *Makalah pernah dipresentasikan pada Workshop Reorientasi Kebijakan Informasi Geospasial Tematik Pesisir dan Laut yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (Semarang: -2 Juli 202). Agus Hartoko, “Basis Data Spasial Oseanografi untuk Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan-Kelautan di Indonesia”, paper dipresentasikan pada Sidang Senat Guru Besar Universitas Diponegoro dalam Rangka Pengusulan Jabatan guru Besar (Semarang: 0 Juli 202), hlm. . 2 Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Singapore: Cuzon Press, 2000), hlm. . 168 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 168 13-Jan-15 12:19:11 PM

Pada saat ini, apa yang disebut sebagai ‘kepulauan Indonesia’ membentang di perairan tropis antara Samudra Hindia dan Pasifik, dari Asia tenggara hingga ke Australia Utara. Panjang kepulauan Indonesia timur ke barat lebih panjang jarak dari London ke Moskow atau dari New York ke San Francisco. Kepulauan yang luas ini memiliki luas daratan sekitar 1,9 juta km ², perairan kepulauan dan laut teritorial 1 mil laut sekitar dari 3,1 juta km ², dan zona ekonomi eksklusif 00 mil laut (ZEE) seluas ,7 juta km². Indonesia memiliki garis pantai sekitar 81.000 km yang merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. 3 Karakter geografis kepulauan Indonesia sebagai zone atau kawasan terbuka, juga memberikan pengaruh yang signifikan dengan karakter penghuninya. Mereka sudah sangat mobile. Hal ini sangat didukung oleh iklim di Nusantara yang sangat mendukung mobilitas para penghuni kepulauan ini. Perubahan iklim adalah terutama tergantung pada arah angin muson. Di kawasan ini dikenal dua musim, yaitu musim kemaraudan musim penghujan.Musim hujanberlangsung dari Oktober hingga April yang merupakan dampak dariangin musimbarat laut(musim basah), yang mulai meniup pada bulan September.Musim hujan berakhir ketika datang angin muson tomur yang kering yang bertiup sejak bulan Junidan berakhirpada bulan September. Siklus angin muson ini telah memfasilitasi pelayaran dan perdagangan antarpulau di kepulauan Indonesia. Hal ini juga memungkinkan terjadinya komunikasi lintas budaya di Indonesia. Kondisi alam semacam ini telah menempatkan laut sebagai jembatan, bukan pemisah, di antara pulau-pulau di Nusantara. Fakta bahwa Nusantara memiliki posisi yang strategis dan sekaligus menghasilkan berbagai komoditas yang berlimpah menjadi daya tarik para pedagang dan penakluk asing, sehingga menjadikan kawasan kepulauan Indonesia sebagai medan pertempuran berbagai kekuatan. Letak strategis Indonesia dapat dibandingkan dengan dua jalur pelayaran utama dunia yaitu terusan Panama dan Suez. Sementara itu, signifikansi ekonomi kepulauan Indonesia bersumber dari kenyataan bahwa kawasan ini menghasilkan produk yang berlimpah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara industri. Banyak penjajah dan penakluk telah mencoba untuk mengontrol kepulauan Indonesian seperti bangsa India, Portugis, Inggris, Belanda, Jepang, dan sebagainya. 4 Sulit untuk dipungkiri bahwa karakter terbuka dari kepulauan Indonesia telah memberikan kontribusi terhadapcara memandang kelompok etnis Indonesia terhadap laut. Dalam konteks ini, mereka cenderung untuk melihat laut sebagai ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang tanpa 3 Tomy H. Purwaka, Pelayaran Antarpulau Indonesia: Suatu Kajian tentang Hubungan antara Kebijaksanaan Pemerintah dengan Kualitas Pelayaran (Jakarta: Bumi Aksara, 993), .  Singgih Tri Sulistiyono, “The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Ship- ping and Trade in Process of National Economic Integration in Indonesia, 80s-90s” (Ph.D. thesis Leiden University, 2003). Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 169 Bagian IV (buku NKRI).indd 169 13-Jan-15 12:19:11 PM

mempertimbangkan latar belakang budaya mereka. Semua orang dianggap memiliki hak yang sama untuk mengambil keuntungan tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi seharihari (seperti perikanan) dan tetapi juga untuk sarana transportasidan komunikasi.Dengan secara tradisonal, laut dipandang sebagai common property right yang dapat dimanfaatkan bersama-sama. 5 Sistem pemanfaatan laut yang semacam ini berjalan secara harmonis sebelum kapitalisme menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat tradisional di Nusantara. Kapitalisme telah menyebabkan terjadinya eksploitasi SDA kemaritim melebihi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang merupakan penyebab perusakan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat yang berujung pada kemunculan kompetisi dan konflik yang tidak sehat. 13.3. Diaspora Austronesia Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa karakter terbuka dari geografi kepulauan Indonesia telah memprekondisikan fenomena diaspora sebagai fenomena yang setua dengan keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri, karena nenek moyang bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan para pendatang. Para paleontolog berkeyakinan bahwa homo sapien atau hominid yang merupakan nenek moyang langsung dari manusia modern berevolusi di Afrika dan menyebar darisana ke seluruh dunia termasuk ke kepulauan Indonesia. Sisa- sisa fosildilembah sungai Brantas di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberikan petunjuk bahwa keberadaan hominid sudah ada sejak sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Penemuan sisa-sisa manusia purba (yang kemudian disebut sebagai ‘Manusia Jawa’) oleh Eugene Dubois di Trinil di Jawa Timur pada tahun 1891 membuktikan hal itu. 6 Dalam hal ini apakah ‘Manusia Jawa’ merupakan nenek moyang manusia pertama (Homo sapiens) dari masyarakat di kepulauan Indonesia masih belum dapat dipastikan, meskipun sisa-sisa manusia Jawa lainnya ditemukan dari periode hingga sekitar 100.000 tahun yang lalu yang mewakili masa transisi antara Homo erectus dan manusia awal yang sesungguhnya, yang jejaknya yang paling awal berasal dari sekitar 40.000 tahun yang lalu. Para paleontolog juga menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk meragukan bahwa mereka merupakan manusia pertama dari kelompok etnis yang luas yang sekarang disebut Australo-Melanesia dan bahwa mereka adalah nenek moyang dari Melanesia di Papua Nugini, suku bangsa Aborigin Australia dan masyarakat kecil Negrito di Semenanjung Melayu dan Filipina. Para pakar geomorfologi menyatakan bahwa iklim global telah berubah  Singgih Tri Sulistiyono, “Ocean Territory Border Concept of Indonesia: A Historical Perspective”, pa- per dipresentasikan pada The 22nd Conference of International Association of Historian of Asia (Sura- karta: 2- July 202).  Sebagian besar informasi mengenai persebaran bangsa Austronesia di kawasan kepulauan Indonesia pada bagian ini diambil dari Cribb, Historical Atlas. 170 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 170 13-Jan-15 12:19:11 PM

beberapa kali selama 40.000 tahun terakhir dan perubahan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap manusia purba. Sebagai pemburu dan pengumpul, mereka mungkin melakukan yang terbaik di hutan yang relatif terbuka, sepanjang pantai dan di pinggiran hutan tropis. Oleh karena kenaikan permukaan air laut setelah berakhirnya zaman es terakhir, pemukiman manusia tampaknya telah terkonsentrasi di kawasan yang lebih kering di bagian timur Nusantara. Pada sekitar tahun 7000 SM di dataran tinggi Papua, orang-orang Melanesia telah mengembangkan teknologi pertanian dengan menanam talas, pisang dan ubi- ubian. Pengembangan pertanian ini semakin memperkuat kehadiran orang- orang Melanesia di bagian timur Nusantara. Sejak sekitar 3000 SM, orang-orang Mongoloid dari bagian selatanCina, yang dikenal sebagai bangsa Austronesia, mulai bergerak ke selatan dalam jumlah besar. Orang Austronesia membawa teknologi mereka seperti kemampuan untuk membuat kano bercadik, tembikar, busur, dan anak panah, tradisi memelihara babi, unggas dan anjing, dan mereka bercocok tanam padi dan gandum. Pada saat itu, beras dan gandum cocok untuk ditanam di daerah tropis dan sub-tropis. Mereka juga memiliki kebiasaan makan talas, sukun, pisang, singkong, sagu, dan kelapa. Gelombang diaspora Austronesia terbagi menjadi dua ketika mereka mencapai pantai Papua. Beberapa dari mereka terus bermigrasi ke timur hingga mencapai Fiji dan Tonga sekitar 1500 SM. Keturunan mereka menghuni kawasan kepulauan di Samudera Pasifik yang membentang sejauh Selandia Baru, Pulau Paskah dan Hawaii. Diaspora Austronesia yang menuju ke arah barat akhirnya mencapai Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Beberapa dari mereka menetap di Asia Tenggara daratan dan menjadi nenek moyang orang Champa yang masih merupakan minoritas kecil di selatan Vietnam. Pada periode berikutnya, serangkaian diaspora yang dimulai sekitar abad ke lima Masehi dan berakhir pada abad kedua belas, orang-orang Austronesia mulai bermukim di pulau tak berpenghuni Madagaskar. Sangat menarik bahwa pada kenyataannya penyebaran bangsa Austronesia, membentang lebih dari setengah keliling bumi dan ini adalah salah satu diaspora manusia yang paling spektakuler sebelum era modern. Tidak ada informasi yang memadai tentang bagaimana hubungan antara masyarakat Melanesia dan Austronesia di era awal. Penampilan fisik Indonesia modern menunjukkan adanya pencampuran genetik di berbagai daerah. Masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam penampilan fisik seperti kulit gelap, mata besar dan rambut keriting seperti karakteristik Melanesia. Ciri-ciri Mongoloid dari Austronesia juga masih ditemukan seperti kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus. Pada saat ini, Indonesia memiliki puluhan kelompok etnis utama dan ratusan kelompok etnis yang lebih kecil meskipun belum ada sistem formal resmi yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok tersebut. Namun demikian, penampilan fisik, bahasa, agama, nama pribadi, tempat lahir Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 171 Bagian IV (buku NKRI).indd 171 13-Jan-15 12:19:11 PM

dan kebiasaan sosial dapat digunakan secara longgar untuk membedakan antara orang-orang berbagai kelompok etnis di Nusantara. Pada saat ini, terdapat ratusan bahasa etnis di Indonesia. 7 Dalam jangka yang panjang, gelombang diaspora juga telah menimbulkan keanekaragaman bahasa dan suku bangsa. Pada awalnya para diaspor Austronesia di Nusantara mungkin berbicara dalam satu bahasa. Namun demikian, selama berabad-abad kelompok-kelompok diaspora yang berbeda-beda kehilangan kontak antara yang satu dengan yang lain sehingga semakin lama bahasa mereka semakin berkembang dan timbul perbedaan-perbedaan di antara bahasa mereka. Bahasa dapat berubah dengan cepat meskipun kemunculan dialek masih dengan mudah dapat saling dimengerti dalam beberapa abad. Namun demikian hampir tidak ada catatan dari proses perubahan bahasa di Nusantara sebelum 1800. Pada masa Indonesia modern sekarang ini, masih terdapat sekitar 00 rumpun bahasa Austronesia dan lebih dari 150 rumpun bahasa Papua(Melanesia). Sebagian besar ahli bahasa telah dapat mengelompokkan bahasa-bahasa di Nusantara ke dalam kelompok yang lebih besar yang hampir pasti mengindikasikan keturunan dari leluhur yang memiliki kesamaan bahasa. 8 Pada suatu masa daerah Sumatera Selatan telah memiliki bahasa yang beragam sebagaimana hal nya daerah Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu utara, namun sejak abad ke-7 hingga abad ke-11 telah datang pengaruh kuat dari budaya kerajaan maritim Sriwijaya yang berbasis di Palembang. Sangat mungkin bahwa banyak kelompok-kelompok etnis kecil diserap ke dalam komunitas berbahasa Melayu selama berabad-abad. 9 Meskipun kerajaan kecil muncul di pulau Kalimantan dari waktu ke waktu, terutama pada muara sungai-sungai besar, namun pulau ini tidak pernah menjadi pusat kerajaan besar dan memiliki usia yang panjang seperti Sriwijaya dan pulau ini masih tetap memiliki bahasa-bahasa yang kompleks. Namun demikian kompleksitas itu tidak selalu berarti masyarakat yang terisolasi. Masyarakat pantai utara Borneo selalu berada dalam kontak yang teratur dengan keturunan Austronesia lainnya di Champa yang terletak di pantai yang sekarang berada di antara wilayah negara Vietnam dan China. Bahkan bahasa Manya’an yang terletak di Kalimantan Tenggara memiliki kaitan tertentu dengan bahasa Malagasi di Madagaskar. Semenjak abad ke-15, Melayu telah menjadi bahasa dominan dari daerah pesisir di kawasan Nusantara. Dominasi ini sebagian berkaitan dengan aktivitas komersial sejak munculnya kekuatan-kekuatan Islam di Timur Tengah dan daerah- daeerah di sebelah timurnya. Dalam hubungan itu Bahasa Melayu merupakan  Lihat Christine Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (Honolulu: University of Hawaii Press, 989), hlm. . 8 Lihat juga Thomas Soarez, Early Mapping of Southeast Asia (Singapore: Periplus, 999), hlm.. 9 Lihat juga Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka (Honolulu: University of Hawaii Press, 2008). 172 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 172 13-Jan-15 12:19:11 PM

bahasa yang paling penting bagi perdagangan di Nusantara. Selain itu bahasa Melayu juga sangat berperan penting dalam proses penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara. Melayu adalah bahasa kerajaan Muslim besar, kesultanan Melaka di Semenanjung Melayu, dan itu menjadi bahasa utama orang-orang Islam di kawasan sebelah timurnya. Sama seperti bahasa Melayu yang tersebar luas di sepanjang pantai Selat Malaka dan Sumatra, begitu pula bahasa Jawa telah mendominasi kawasan yang padat penduduknya yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana serangkaian kerajaan berbasis pertanian dikembangkan sejak abad ke-8. Jawa adalah bahasa yang rumit, tidak hanya gramatikal tetapi juga sosial: kosakata yang digunakan oleh pembicara bahasa Jawa tergantung pada status pembicara dalam kaitannya dengan orang yang sedang dihadapi. Untuk pedagang Nusantara, bahasa Jawa mungkin terlalu kompleks untuk penggunaan sehari-hari, sementara Melayu menjadi bahasa utamaIslam yang lebih egaliter. Namun demikian bahasa Jawa menjadi sangat populer sebagai bahasa pengantar di pesantren-pesantren dengan murid-murid yang bukan hanya berasal dari suku bangsa Jawa tetapi berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia. 13.4. Diaspora Internal Semenjak abad ke-17, wilayah kepulauan Indonesia menjadi bertambah ramai sebagai tujuan diaspora dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan sebagainya. Bukan itu saja, ekspansi dan dominasi bangsa-bangsa Eropa juga telah menyebabkan terjadinya diaspora berbagai etnis di Nusantara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leonard Y. Andaya menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh orang-orang Eropa untuk mendominasi kehidupan ekonomi semenjak abad ke-17 menyebabkan gangguan dalam kehidupan masyarakat. Dia mengatakan bahwa salah satu contoh yang paling spektakuler dalam kasus ini adalah diaspora Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan. Selama sekitar dua abad mereka tersebar ke Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan Barat. Orang Makassar adalah kelompok diaspora yang paling tangguh, dengan eksodus ribuan orang yang dipimpin oleh para pejabat tinggi kerajaan. Meskipun pada awalnya disambut hangat, status para pemimpin dan jumlah mereka yang besar menyebabkan timbulnya masalah di daerah yang mereka datangi. Kegagalan mereka untuk dapat menetap dengan baik di perantauan menyebabkan kelompok orang Makassar ini menjadi ancaman besar bagi harapan VOC terhadap stabilitas di perairan Indonesia. Ini merupakan salah satu alasan mengapa Belanda melancarkan ekspedisi militer lagi terhadap Makassar pada tahun 1667. Sementara itu diaspora Bugis lebih berhasil. Keberhasilan mereka lebih disebabkan oleh situasi historis dan keunikan orang-orang Bugis untuk melakukan pembaharuan. Mereka menjadi kelompok diaspora yang Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 173 Bagian IV (buku NKRI).indd 173 13-Jan-15 12:19:11 PM

mapan di dunia Melayu dan pantai timur Sumatra. 10 Selama abad ke-16 dan ke-17 juga terjadi diaspora orang-orang Melayu ke Makassar. Aneksasi Melaka oleh Portugis pada tahun 1511 menimbulkan diaspora Melayu di seluruh kepulauan Indonesia. Orang-orang Melayu membawa budaya yang maju dan agama Islam. Orang-orang Melayu sering menjadi sekutu dekat yang salah satunya dengan melalui pernikahan dengan keluarga penguasa setempat. Ia memberikan gambaran dari sejarah komunitas Melayu di Makassar dan hubungannya dengan para penguasa dan pemerintahan Gowa di Makassar. Di daerah perantauan ini orang-orang Melayu juga terlibat dalam konflik antara Gowa dengan VOC meskipun antara keduanya masih tetap ada batas-batas yang jelas. 11 Abad ke-17 dan 18 merupakan masa-masa di mana konflik dan kekerasan antara Belanda dan kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia terjadi. Konflik dan kekerasan tersebut telah mendorong terjadinya diaspora di kepulauan Indonesia. Selain diaspora masyarakat Bugis, Makassar, dan Melayu sebagaimana yang telah disebutkan di atas, diaspora juga terjadi pada beberapa kelompok etnis seperti orang-orang Madura yang terlibat dalam suksessi di Mataram dan perlawanannya melawan VOC yang dipimpin oleh Trunajaya. Pergolakan ini telah menyebabkan banyak orang Madura yang berdiaspora ke kawasan pantai utara Jawa. Selain itu rekruitmen serdadu serdadu VOC yang terdiri dari berbagai kelompok etnis di Nusantara juga telah memungkinkan terjadinya biaspora berbagai kelompok suku bangsa di kepulauan Indonesia. Penaklukan VOC dan perkembangan kapitalisme global juga telah mendorong terjadinya fenomena perompakan di kepulauan Indonesia. Perompakan dilakukan bukan hanya untuk merampas harta-benda dan komoditi dagang, tetapi juga dilakukan untuk memburu dan menangkap orang untuk dijadikan sebagai budak untuk kemudian dijual. Dalam hal ini, sasaran perompakan bukan kapal-kapal atau pun perahu yang sedang berlayar, tetapi juga masyarakat pantai yang tidak terlindungi keamanannya. Ada informasi yang menyatakan bahwa sebagian kelompok-kelompok etnis Dayak pada awalnya tinggal di pantai, namun karena mengganasnya perompakan menyebabkan mereka kemudian berpindah ke pedalaman. Berbagai pergolakan bukan hanya terjadi pada zaman VOC yang giat melakukan ekspansi terhadap kerajaan-kerajaan lokal. Kebangkrutan VOC pada penghujung tahun 1899 yang kemudian disusul dengan berdirinya pemerintah kolonial Belanda juga telah merangsang timbulnya konflik dan kekerasan antara pemerintah kolonial dengan para penguasa lokal yang selama masa VOC belum ditundukkan terutama di kawasan luar Jawa. Ekspansi militer pemerintah kolonial 0 Leonard Y. Andaya, ‘ The Bugis-Makassar diasporas’, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society; vol. 68 (1995), afl. 1, hlm. 119-138.  W. Cummings, ‘The Melaka Malaydiaspora in Makassar, c. 00-9’, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol.  (998), issue , hlm. 0-22 174 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 174 13-Jan-15 12:19:11 PM

Belanda pada tahun 1906 ke wilayah Bone misalnya, juga telah menyebabkan diasporang secara besar-besaran orang-orang Bugis ke berbagai wilayah pantai di Kalimantan Tenggara. Demikian juga hal yang sama terjadi dengan diasporang orang-orang Bugis ke wilayah Indonesia bagian timur seperti ke kawasan Nusatenggara dan kepulauan Maluku. Selain itu, kebijakan kolonial terhadap rekruitmen tenaga kerja terutama di luar Jawa juga telah menyebabkan terjadinya diaspora orang-orang Jawa ke Sumatra (mulai Lampung hingga Aceh) dan bahkan juga ke Suriname. Di samping itu juga terjadi pula diaspora orang-orang Cina di Sumatra. Sementara itu perkembangan tambang emas di Kalimanta Barat juga menjadi daya tarik bagi berkembangnya diaspora Cina ke kawasan ini. Dengan demikian, selama masa periode kolonialisme, terjadi diaspora baik internal maupun eksternal di kawasan kepulauan Indonesia. Diaspora kelompok- kelompok sosial, etnis, dan ras sangat mewarnai perjalanan sejarah Indonesia pada waktu itu. Beberapa di antara mereka dapat isebutkan antara lain: Aceh, Melayu, Batak, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Makasar, Buton, Bali, Ambon, Papua, 1 Cina, Arab, India, Belanda, dan sebagainya. Fenomena ini telah menjadikan 13 Indonesia sebagai masyarakat multietnis (multiethnic society). 14 Dalam konteks sejarah diaspora di Nusantara, barangkali tidak ada orang asli di Nusantara. Jika ada orang asli Nusantara, barangkali berbagai jenis manusia purba itulah yang paling tua menghuni Nusantara, berdasarkan penelitian mereka juga bukan ‘penduduk asli’ Nusantara tetapi berasal dari daratan Asia ataupun Afrika. Hal yang sama juga terjadi pada berbagai suku bangsa yang ada di Nusantara yang semuanya merupakan pendatang dari daratan Asia. Barang kali persoalannya adalah siapa yang datang terlebih dahulu. Klaim-klaim semacam itu yang seringkali menimbulkan konflik-konflik. Namun demikian semua itu sebetulnya merupakan bagian dari proses sosial dalam sejarah yang menghasilkan akomodasi, akulturasi, ataupun asimilasi yang menghasilkan keseimbangan-keseimbangan baru dalam kehidupan bersama sebagai sebuah 2 Tulisan populer yang singkat mengenai diaspora Bugis-Makassar dalam kaitannya dengan kebangkitan nasional pernah dibuat oleh Mukhlis Paeni. Ada penemuan yang menarik bahwa dr. Wahidin Sudiro Hoesodo merupakan yang merupakan tokoh-tokoh pergerakan nasionalmerupakan keturunan Makassar dan Jawa pada waktu diaspora orang-orang Makassar ke Mataram di bawah pimpinan Karaeng Galesung. Dr. Wahidin merupakan keturunan diapsora yang dididik dalam lingkungan budaya Jawa. Lihat Mukhlis Paeni, Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2008), hlm. -. 3 Kajian mengenai diaspora orang-orang Arab (khususnya Hadramaut) di Asia Tenggara termasuk Indonesia pernah diterbitkan oleh Abushouk dan Ibrahim. Lihat Ahmed Ibrahim Abushouk dan Hassan Ahmed Ibrahim (eds), The Hadhrami Diaspora in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? (Leiden-Boston: Brill, 2009).  Masyarakat multietnis merupakan masyarakat yang terdiri ats lebih dari satu kelompok etnis, yang berbeda dengan masyarakat yang secara etnis homogen. Pada kenyataannya memang hampir semua negara di dunia merupakan negara multietnis. Pada tahun 993 misalnya, hanya sekitar 20 dari 80 negara berdaulat di dunia ini merupakan negara nasional dengan etnis yang homogen (etnis minoritas kurang dari 5 persen dari tolal penduduk). Lihat David Welsh, “Domestic politics and ethnic conflict”, dalam: Michael E.Brown, Ethnic Conflict and International Security (Princeton: Princeton University Press, 993), hlm. 3–0. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 175 Bagian IV (buku NKRI).indd 175 13-Jan-15 12:19:11 PM

komunitas. Demikian juga diaspora internal di lingkungan kepulauan Nusantara antara satu pulau ke pulau lain, antara satu daerah ke daerah lain terjadi sepanjang sejarah Indonesia yang selalu menimbulkan dinamika dan keseimbangan serta adaptasi baru baru dan proses formasi dan transformasi identitas sebagai sebuah komunitas. Kedatangan bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya ke Nusantara dari salah satu sisi juga merupakan satu fenomena diaspora maritim. Sebetulnya orang-orang Nusantara sudah biasa mengenal dan berinteraksi sosial dengan para pendatang baru seperti orang-orang India sejak awal abad masehi, orang-orang Arab dan Persia sejak masa penyebaran Islam. Salah satu hal yang membedakan antara diaspora orang-orang Barat dengan diaspora- diaspora sebelumnya adalah bahwa orang-orang Barat tidak sekedar berdagang ataupun menetap di daerah-daerah baru tetapi melakukan kolonisasi. Mereka memaksakan monopoli, merampas, menduduki, dan mengeksploitasi serta menyedot kekayaan daerah-daerah itu untuk dikirim ke Motherland. Jadi mereka membawa model diaspora baru yang dilengkapi dengan alat-alat kekerasan baik dalam sistem teknologi militer maupun teknologi sosial. Model diaspora kolonisasi yang merupakan produk dari kapitalisme modern di Eropa pada waktu itu telah menciptakan segregasi yang jelas antara the colonizer dengan the colonized. Barangkali istilah ‘orang Indonesia asli’ mungkin merupakan turunan dari konsep yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda yaitu konsep ‘Inlanders’ untuk memisahkannya secara jelas dengan ‘Holanders’ atau ‘Europeanen’ secara umum. Sementara itu untuk meciptakan situasi yang penuh dengan fragilitas di dalam masyarakat, pemerintah kolonial Belanda menciptakan konsep Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang di dalamnya antara lain terdapat orang Cina, India, Arab, dan sebagainya. Sebetulnya sebelum Belanda datang, apa yang kemudian disebut sebagai kelompok Timur Asing ini sudah berdiaspora di Nusantara sejak ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Belanda datang. Mereka telah membangun relasi-relasi sosial yang menghasilkan proses akomodasi dan akulturasi seperti dapat dilihat dalam dunia perdagangan, sistem politik, penyebaran agama, transformasi identitas, dan kebudayaan material seperti bangunan candi, masjid, wihara, kelenteng dan sebagainya. Para diaspora Cina misalnya, memiliki kontribusi yang signifikan dalam dalam formasi masyarakat Nusantara muslim pada waktu itu. Mungkin 15 warisan ungkapan ‘wong Cina’ yang mengandung konotasi tertentu lahir dari masa kolonialisme Belanda ketika mereka ditempatkan sebagai bagian tertentu dari mesin eksploitasi kolonial. Fragilitas sosial juga diciptakan atau mungkin diperkuat di kalangan ‘inlanders’ sendiri. Meskipun secara legal formal berbagai kelompok etnis di Hindia Belanda  H.J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 200), hlm. -. 176 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 176 13-Jan-15 12:19:11 PM

dikategorikan dalam kelompok ‘inlanders’ namun karena kondisi pluralitas yang ada, pemerintah kolonial berusaha memecah-belah mereka dengan menciptakan batas-batas yang tegas antara kelompok etnis yang satu dengan yang lain yang antara lain dapat dilihat dari segregasi tempat tinggal di kota-kota yang dikuasai Belanda. 16 Pemerintah kolonial Belanda juga membuat batas-batas administratif yang berbasiskan etnisitas dan kemudian orang Belanda menyebut dengan istilah ‘plaatselijke bevolking’ (penduduk setempat). Konsep inilah yang patut diduga mengalami metamorfose menjadi istilah putra daerah yang mempertajam garis primordial dan provinsialisme pada masyarakat Indonesia saat ini. dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa pada masa pascakemerdekaan yang seringkali menjadi isu politik untuk melakukan resistensi dan separatisme barangkali juga merupakan warisan kolonial yang secara administratif membagi wilayah Hindia Belanda secara garis besar menjadi dua, yaitu Java & Madoera dan Buiten Gewesten (Buiten Bezittingen). Fragilitas itu juga dikondisikan dengan pembentukan serdadu- 17 serdadu berdasarkan etnisitas. Resistensi di suatu daerah akan dipadamkan oleh serdadu-serdadu yang berasal dari kelompok atnik lainnya sehingga sentimen dan antipati antaretnis menjadi terkondisikan. Apapun kebijakan 18 yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, proses diaspora internal di kalangan berbagai kelompok sosial dan etnis di Hindia Belanda terus berlangsung. Dalam hal ini kota-kota yang berkembang baik sebagai pusat pemerintahan maupun sebagai pusat ekonomi dan perdagangan serta pendidikan menjadi pusat-pusat diaspora. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya relasi sosial di antara mereka yang pada gilirannya memberikan kontribusi tertentu dalam proses pembentukan masyarakat Indonesia. Setelah zaman kemerdekaan, sejalan dengan semakin tingginya mobilitas sosial yang dimungkinkan karena kemajuan transportasi, diaspora juga terus berlangsung. Banyak kelompok sosial dan etnis yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baik di pedalamam maupun di kawasan pantai. Diaspora yang mereka lakukan tidak banyak terkait dengan persoalan konflik dan kekerasan namun terkait dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Fenomena semacam inilah yang menjadi salah satu alasan untuk melakukan mapping terhadap keberadaan komunitas dan kelompok etnis maritim di kepulauan Indonesia khususnya yang berdiam di kawasan pantai, lepas pantai, dan pulau-pulau kecil sebab hal ini secara langsung berkaitan dengan pelestarian dan pengembang SDA bahari.  Lihat Johannes Widodo, The Boat and the City: Chinese Diapora and the Architecture of Southeast Asian Coastal City (Singapore: Marshall Cavendish Academic, 200).  Pembagian ini bisa dilihat antara lain dalam sumber-sumber statistik seperti Koloniaal Verslag. 8 Cari Lihat Paul van ‘t Veer, Perang Belanda di Aceh (Penerjemah Aboebakar) (Banda Aceh: Dinas P dan K daerah Istimewa Aceh, 9), hlm. 20-20. Harmonisasi Sosial dan Budaya Dalam Kerangka NKRI 177 Bagian IV (buku NKRI).indd 177 13-Jan-15 12:19:11 PM

13.5. Urgensi Pemetaan Etnis Maritim: Mengubah Ancaman menjadi Aset 13.5.1. Urgensi Selama ini, jika orang berbicara mengenai pemetaan atau mapping sumberdaya kelautan selalu mengacu hanya kepada pemetaan terhadap SDA, seperti potensi perikanan, rumput laut, terumbu karang, tambang bawah laut, dan sebagainya. Hal ini mudah dipahami mengingat SDA kelautan tersebut yang akan menghasilkan keuntungan ekonomi secara langsung. Keberadaan SDA ini dapat dihitung secara matematis termasuk seberapa besar keuntungan ekonomi yang akan dapat direguk. Dalam hal ini, keberadaan sumber daya manusia (SDM) kebaharian masih relatif dilupakan baik dari pihak peneliti maupun pemerintah. Jangankan penyediaan informasi tentang komunitas dan etnis maritim yang keberadaannya menyebar di berbagai wilayah terdepan Nusantara, penyediaan data tentang jumlah dan persebaran pelaut Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri juga sulit untuk dilacak dan kurang jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap penyediaan data ini. Padahal mereka merupakan aset yang dapat diberdayakan untuk membangun sektor angkutan laut yang kondisinya semakin didominasi oleh kekuatan asing. Mereka banyak yang mencari dollar di kapal-kapal asing di luar negeri, sementara pelayaran di kawasan laut Indonesia baik interinsuler maupun internasional berada di bawah dominasi modal asing. Pertanyaannya adalah: bagaimana potensi tersebut dapat dimanfaatkan jika tidak disediakan informasi yang memadai? Urgensi penyediaan informasi terasa sangat penting khususnya tentang komunitas dan etnis maritim. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa mereka lah yang secara langsung terkait dengan pemanfaatan SDA kebaharian untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa mereka sangat menentukan kelestarian SDA kebaharian yang ada di Nusantara ini. Dalam hubungan inilah maka ketidaktahuan terhadap mereka sebagai akibat dari tidak adanya upaya untuk melakukan pemetaan yang jelas terhadap keberadaan mereka akan menjadi bencana bagi kelestarian SDA kebaharian. Jika mereka memanfaatkan SDA kebaharian tersebut hanya untuk kebutuhan mereka sendiri saja sebetulnya tidak akan memiliki efek destruktif yang berarti. Namun demikian ketika mereka sudah berhubungan dengan kekuatan ekonomi dari luar yang bersifat kapitalistik yang menuntut kapasitas produksi yang besar yang berada di luar kebutuhan mereka, maka eksploitasi dan pemerkosaan SDA kebaharian akan terjadi guna memenuhi tuntutan kebutuhan pasar yang sangat rakus. Jika hal ini terjadi maka, keberadaan etnis maritim yang sebetulnya merupakan asset akan berubah menjadi threat. Oleh karena itu, dengan pemetaan yang valid maka potensi komunitas dan etnis maritim adakan dapat diketahui dengan baik. Selanjutnya, dengan pengetahuan yang memadai, pemerintah akan dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk 178 NKRI dari Masa ke Masa Bagian IV (buku NKRI).indd 178 13-Jan-15 12:19:11 PM


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook