Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

Published by HERMIN AGUSTINI, 2023-08-10 13:52:55

Description: HERMIN NASKAH_PELANGIKOTATEMBAKAU

Search

Read the Text Version

1

2

TOPI MERAH Oleh Hermin Agustini SMPN 3 Bangsalsari “Assalamu’alaikum, anak-anak jangan lupa siapkan segala perlengkapan untuk lomba lusa. Kita kumpul di sekolah pada pukul 05.30 WIB jangan ada yang terlambat,” pesan Pak Serma selaku pelatih PASKIBRA di grup whatsap siswa yang ikut ekstrakurikuler pasukan pengibar bendera. “Siap, Coach!” jawab Ellen sang danton. “Siap, Coach!” susul si Indah dilanjutkan oleh anggota grup lainnya. “Samsul, Aldi, Deni kenapa hanya membaca? Biasakan merespon infor- masi grup supaya tidak ketinggalan,” komentar Pak Serma membiasakan siswa didikannya untuk tanggap informasi dan berdisiplin. “Siap, Coach!” jawab si Samsul disusul oleh Deni dengan ikon minta ma’af. Demikianlah cara pelatih paskibra membiasakan kedisiplinan kepada se- luruh anak didik, mereka dilatih berdisipin, sopan dan santun tidak hanya ketika berlatih baris-berbaris di lapangan, namun sikap-sikap dan perilaku baik para siswa paskibra wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari pada saat di ru- mah bersama orang tua dan saudara, saat di sekolah bersama guru dan teman- teman, juga pada saat berkomunikasi di media sosial. Harapan tersebut seiring dengan harapan sekolah yang menginginkan para siswa memiliki disiplin pribadi tanpa paksaan oleh siapapun karena dengan memiliki kedisiplinan dari diri sendiri akan dapat memotivasi kebiasaan positif un- tuk kegiatan yang lain, khususnya kebiasaan belajar di sekolah maupun di ru- mah, meski prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Namun dengan kesabaran dan kedekatan dengan siswa, pelatih dan sekolah berjuang memben- tuk karakter siswa menjadi lebih disiplin dan lebih baik. “Siswa Aldi belum komen,” ketik Ellen sang danton yang merasa ber- tanggungjawab kepada teman-teman regunya. “Biasa Aldi ngilang,” celetuk si Damar. “Aldi gak punya paketan,” komen si Aril. 3

“Halah, tapi Aldi kalo chatingan dengan ceweknya bisa, Pak” komen Sav- ina. “Aldi tidur, Coach,” Sophia menimpali. “Assalamu’alaikum, anak-anak BANGGA!, tetaplah sopan dan berkomu- nikasi yang baik serta jangan lupa untuk merespon setiap informasi penting di grup ini untuk memastikan bahwa semua orang telah membaca. Untuk Ananda Aldi coba salah satu di antara kalian ada yang menghubungi. Atau kalau dekat dengan rumahnya, coba diberitahu. Siapa tahu dia memang kehabisan pulsa,” komentar bu Tari selaku kesiswaan mengingatkan para siswa. “Walaikumsalam, siap, Bu!” demikan komentar keduabelas anggota regu yang terdiri dari tigabelas siswa anggota ekstrakurikuler PASKIBRA grup satu yang disiapkan untuk mengikuti lomba dalam rangka hari kemerdekaan Indone- sia. “Bu, persiapan kurang dua hari lagi, bagaimana dengan Aldi yang tidak bisa mengikuti informasi grup sampai saat ini? Ditambah dengan kebiasaan-ke- biasan terlambat yang masih belum bisa berubah. Kami khawatir, pas pada hari H, si Aldi belum siap atau terlambat,” Tanya si Ellen sang Danton penuh kek- hawatiran. “Bagaiman kalau semua peserta menginap saja di rumah saya supaya bisa on time di tempat lomba,” usul pak Serma yang rumahnya tak jauh dari tem- pat lomba dan memang sudah terbiasa menjadi posko kegiatan siswa. “Siap Coach, saya setuju!” jawab Damar antusias. “Siap Coach, saya setuju, boleh bawa motor?” kata Samsul yang memang suka menaiki motornya meski masih usia enambelas tahun. “Gak boleh,” jawab Bu Tari cepat. “Kalau kalian memang semua setuju untuk menginap di rumah pelatih, saya mintakan ijin dulu kepada kepala sekolah. Kalau beliau setuju akan saya buatkan surat ijin persetujuan menginap oleh orangtua masing-masing,” Lanjut Bu Tari. 4

“Anak-anak silahkan membuat list atau daftar peserta yang mau menginap di rumah saya,” Pak Serma menimpali yang diikuti oleh pernyataan setuju menginap oleh masing-masing peserta kecuali Ellen, Vina dan Aldi. “Kalau begitu rencana kita rubah ya?” Ketik bu Tari menunggu konfirmasi selanjutnya. “Iya Bu, bila anak-anak setuju menginap berarti penjemputan berubah menjadi pukul 14.30 di sekolah. Para peserta diharap membawa perlengkapan menginap sendiri-sendiri. Jangan lupa seragam untuk lomba termasuk atribut di- jadikan satu wadah dan pastikan tidak ada yang tertinggal,” komentar sang pelatih memberi petunjuk. “Baik Pak, tapi saya konsulkan dulu kepada kepala sekolah. Bila beliau setuju para siswa mengingap maka rencana ini kita lanjutkan. Sebentar nggeh, saya mau menelpon Pak Sulton dulu,” kata bu Tari. “Monggo, Bu,” jawab Pak Serma. “Assalamu’alaikum, Bapak,” Kata bu Tari membuka percakapan telepon kepada kepala sekolahnya yang dijawab dengan salam yang sama. “Mohon ma’af Bapak, mohon ijin sekaligus mohon petunjuk terkait per- siapan lomba PASKIBRA, kami berencana menginap di rumah pelatih untuk me- mastikan anak-anak tidak terlambat hadir pada upacara pembukaan menginagt keterlambatan mendapat sanksi pengurangan skor 100 poin,” Demikian Bu Tari memberi penjelasan panjang lebar kepada kepala sekolah dengan penuh tanggungjawab. “Baik Bu, saya ijinkan dengan catatan para siswa yang menginap harus dibuatkan surat ijin kepada orangtuanya. Dan bagi anak-anak yang tidak menginap, orang tuanya juga diberi tahu agar tidak terlambat mengantarkan pu- tra putrinya ke tempat lomba,” Jawab Pak Sulton dengan cermat. “Njih, siap Bapak!” jawab Bu Tari dengan penuh semangat seraya me- nutup telepon dengan salam. Di bibirnya tersungging senyum penuh keyakinan bahwa kegiatan yang sedang ia jalani akan berjalan sesuai harapan dengan menggerakkan timnya. 5

Setelah selesai berkoodinasi dengan kepala sekolah, bu Tari langsung berkoordinasi dengan Bapak ibu guru yang lain untuk membagi tugas sesuai dengan peran masing-masing. Bu Tari memastikan semua telah siap. Ia catat semua yang akan dilakukan dan memberi tanda centang bila telah terlaksana. Begitulah cara kerjanya yang terstruktur dan cepat dalam menggerakkan tim. Keesokan harinya, semua siswa yang ikut lomba dikumpulkan di aula sekolah. Seperti biasa bu Tari mengabsen kehadiran siswa sebelum memberi pembekalan. “Aldi kok tidak kelihatan hari ini?” Tanya Bu Tari diliputi kekhawatiran sebab tim sekolah tidak memiliki cadangan karena jumlah siswanya memang sedikit. Bila Aldi tidak hadir atau bahkan tidak ikut serta, maka seluruh tim tidak akan bisa membentuk formasi sesuai latihan. Bu Tari tampak semakin galau. “Tolong panggilkan Aldi barangkali di kelas,” pinta bu Tari pada teman- teman Aldi. “Aldi bolos hari ini, Bu,” jawab Damar yang membuat bu Tari semakin ga- lau. Setelah selesai memberi pembekalan kepada anak-anak, ia bergegas meminta Pak Broto selaku walikelas Aldi untuk mencari tahu tenta ng keberadaan Aldi yang ternyata tidak bisa hadir ke sekolah karena sepeda satu-satunya bannya meletus. Aldi yang tinggal hanya dengan nenek dan kedua adik kecilnya serta keadaan ekonomi yang sangat minim, membuatnya tidak bisa bertindak apa-apa selain menyerah pada keadaan. Namun kehadiran pak Brata adalah jalan keluar bagi Aldi, ia siap hadir di acara lomba bersama Pak Brata yang akan menjemput dan mengantarkannya ke tempat lomba. Sementara Bu Rois selaku bendahara dan timnya sibuk menyiapkan kon- sumsi untuk siswa dan guru pendamping, sementara bu Aris dan bu Maryati sibuk memastikan kelengkapan seragam siswa beserta atributnya tidak ada yang tercecer. Begitulah cara kerja tim yang saling mendukung untuk kesuksesan se- buah lomba. Semua bergerak dan saling membantu. Di rumah pak Serma yang tampak asri dan luas sepertinya memang telah terbiasa ditempati para siswa berlatih dan menginap. Dari tatanan bangunan ru- mah yang terdiri dari dua lantai memberikan ruang yang nyaman untuk para 6

siswa. Siswa perempuan mendapat tempat di lantai bawah, sementara siswa laki-laki mendapat tempat di lantai atas. Pak Serma rupanya juga telah menyiapkan berbagai makanan kesukaan anak-anak bahkan mengajak anak2 memasak bersama. Sang pelatih memang sangat dekat dengan para siswa, meski pada saat di lapangan ia terkenal disiplin dan garang, namun di balik semuanya, ia adalah pelatih yang penuh perhatian dan berhati lembut sehingga membuat siswa tak pernah merasa lelah meski lati- han tak kenal waktu. Semua merasa bahagia dalam kebersamaan. Hari menegangkan tiba. Semua telah bersiap berangkat dengan berjalan kaki ke tempat lomba yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari rumah sang serma. Para siswa mengenakan seragam sekolah lengkap dengan topi dan dasi. Aldipun telah hadir, namun dia mengenakan topi coklat kesayangannya. Aldi memang tergolong sering melanggar dan mendapat sanksi dari pelatih. Tapi ya begitulah Aldi. “Hadduh, Aldiiiiiiii...,” pekik bu Tari yang tau persis bahwa Aldi pasti lupa membawa topi seragam. Pekikan bu Tari hanya dijawab dengan senyuman oleh Aldi. “Siap Bu, Aldi lupa,” jawab Aldi yang sudah bisa ditebak oleh semuanya. Para siswa yang lain tampak gusar, namun ditenangkan oleh bu Aris dan bu Mariyati. “Sudah! Sudah!, kita pakai topi seragam PASKIBRA saja. Tolong Bu Tari tanyakan pada panitia apa boleh regu kita mengenakan topi merah pada saat upacara pembukaan?” Kata bu Maryati mencoba mencari solusi. Tanpa menjawab, bu Tari langsung berlari kecil menuju sekretariat panitia. Tampak Bu Tari sedang bernegosiasi dengan mereka. Anak-anak menunggu dengan harap-harap cemas, seakan menahan napas menunggu hasil perb- incangan bu Tari. Dari kejauhan bu Tari mengacungkan dua jempolnya sambil tersenyum lebar yang disambut pekik gembira oleh anak-anak. Topi merah boleh dipakai saat upacara pembukaan. Untungnya semua kelengkapan lomba ada dalam satu 7

tempat sehingga tak ada yang ketinggalan. Anak- anak mengikuti upacara pem- bukaan dengan penuh khidmad sampai selesai. Skor awal lolos tak terkurangi. Debaran jantung tak terelakkan selama menunggu detik-detik penampilan, apalagi diwarnai dengan drama jatuhnya si Vina pada saat menaiki tangga menuju ruang ganti di lantai atas gedung tempat lomba. Kaki Vina terkilir, ia ber- jalan pincang. “Duh Gustiii, kok iso seeeeeeh, gak hati-hati naik tangganya?” Seru Bu Aris geram karena ia melihat anak-anak yang naik tangga sambil berlari bahkan berlomba untuk segera sampai. Begitulah sifat anak-anak, sedisiplin apapun lati- han yang diberikan, mereka masih sering lupa menerapkannya di kehidupan sehari- hari. Pak Sulton yang kebetulan berlatar belakang sebagai guru olah raga sebelum menjadi kepala sekolah langsung mengambil tindakan memberi perto- longan pertama pada Vina. Untungnya, setelah beberapa saat, Vina bisa meng- gerakkan kakinya dengan lumayan baik meski dari wajahnya masih tampak menahan sakit. Sementara yang lain sibuk di make up dan mengenakan pakaian PASKIBRA lengkap, pak Sulton menyarankan agar yang sudah merasa lengkap turun ke lapangan dan duduk rapi saja tidak perlu berlarian atau bersenda gurau yang melelahkan supaya saat tampil tetap bertenaga. Satu persatu regu peserta lomba mulai menampilkan formasi terbaiknya. SMP Negeri Bangga masih menunggu giliran di nomor sebelas. “Angka ganjil, angka keberuntungan”, kata pak Serma memberi semangat meski sejatinya tidak ada korelasi antara angka ganjil dan kemenangan. Detik berlalu serasa cepat. Regu nomor 10 sedang tampil, regu 11 dipanggil menuju tenda persiapan. Detak jantung serasa libih cepat daripada detak jarum jam. Sampai tiba saatnya sang danton, Ellen meneriakkan aba-aba,”Ma- juuuuu…jalan!” yang diikuti gerakan gegap gempita oleh 1 regu dengan seragam merah putih, sepatu putih dan topi merah. Tak terasa, semua pendamping regu BANGGA menahan napas berharap- harap cemas menyaksikan keadaan Vina yang terkilir. Tiap gerakan bagai de- 8

buran ombak menerpa pantai. Hentakan demi hentakan dilakukan dengan san- gat kompak meski di titik akhir rasa sakit yang dirasakan Vina tak tertahan lagi. Tampak raut wajah Vina yang menahan sakit hingga kakinya bergetar dan sedikit bergeser posisi pada formasi penutupan. Para penonton ikut hening, hingga detik penampilah selesai dan barisan dibubarkan. Seketika Vina dievakuasi petugas PMR yang dengan sigab meno- long Vina sebelum ia terjatuh menahan sakit kakinya. Vina dibawa ke UKS untuk mendapat pertolongan pertama. Airmatanya terus berderai. ”Ma’afkan Vina teman-teman, gara-gara Vina regu kita tidak tampil maksi- mal,” Ucapnya seraya terisak. “Sudah, sudah selesai, tidak perlu dipikir terlalu dalam Vina, yang penting kita telah tampil dengan upaya terbaik. Apapun hasilnya, kita berdo’a saja semoga yang terbaik. Aamiin,” kata Bu Tari menenangkan. “Iya Nduk, yang penting kamu sehat dulu, jangan berpikir apa-apa dulu.” Kata bu Aris seraya memeluk Vina yang terus terisak menangis. “Ma’afkan saya Coach, gara-gara bergurau saya jadi terkilir dan merusak semuanya. Tim kita pasti kalah,” pekik Vina ketika melihat pak tentara sang pelatih memasuki pintu UKS. Tangis Vina memenuhi seluruh ruangan. “Tenang Vin, belum ada pengumuman. Semua gerakan sudah dilaksanakan dengan sem- purna dan tanpa kesalahan. Tidak ada yang fatal dibanding regu-regu lainnya. Saya masih yakin,” kata pak Serma menenangkan hingga isak tangis Vina mereda. “Mari kita kembali ke lapangan untuk menunggu pengumuman. Kalau Vina kakinya masih terasa sakit sebaiknya di sini bersama kakak PMR,” Kata pak Serma lembut. Sementara bu Tari dan Bu Aris juga bu Maryati telah menuju tem- pat pengumuman. Meski suasana menunggu pengumuman dimeriahkan oleh berbagai atraksi, namun raut kekhawatiran masih tampak jelas pada para peserta lomba. Teriakan-teriakan beradu yel-yel membuat suasana semakin meriah dan mendebarkan hingga waktu pengumanpun tiba. Pengumuman dibacakan mulai 9

dari peringkat harapan dua, harapan satu, naik ke juara tiga belum juga disebut- kan nama PASBANGGA. Harapan semakin pudar sebab tidak mungkin meraih juara 1 mengingat sang pemenang memang selalu dari PASDUGER. Untuk me- raih juara 2 juga sangat meragukan sebab kaki Fina yang sempat sedikit bergeser dari formasi. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas. “Juara 2 adalah…”, suara juri membuat suasana mendadak hening. Semua serasa menahan napas. “Juara 2 adalah SMP Negeri BANGGA!” seru sang juri membuat semua regu BANGGA bersorak gembira dan terharu. Anak-anak saling berpelukan, ber- jabat tangan penuh haru. Pak Sulton sang kepala sekolah langsung menyalami bu Tari dan seluruh guru pendamping dengan penuh suasana haru. “Selamat untuk semuanya, ini adalah peraihan terbaik the best team kita, harapan saya bukan sekedar piala, namun bagaimana menerapkan sikap-sikap kedisiplinan seorang PASKIBRA dalam kehidupan sehari-hari. Trimakasih Coach!” ucap Pak Sulton penuh bangga sembari menyalami pak Serma. Keduanya saling berjabat erat penuh semangat. Para siswa tampak riang dan bangga, demikian pula dengan para guru pendamping. Meski belum meraih juara satu namun sudah luar biasa dan mem- banggakan mengingat waktu latihan yang masih seumur jagung dan masih be- lum mempunyai banyak pengalaman dalam berlomba. Hal utama yang mem- banggakan adalah semakin eratnya kesadaran bekerja sama dan memiliki kesadaran bahwa setiap orang adalah penting dalam menjalankan peran mas- ing-masing menjadi piala tak ternilai untuk kebaikan sekolah di masa yang akan datang. Profil Penulis Hermin Agustini, M.Pd yang terlahir di Bondowosi pada 31 Agustus 1972 adalah salah satu penggiat literasi di Jember Jawa Timur. Anggota IPP Jawa Timur ini telah menerbitkan be- berapa buku solo dan antology melalui Media Guru Indonesia sejak tahun 2019. Salah satu keinginan terbesarnya adalah 10

membudayakan literasi di SMPN 3 Bangsalsari. Baginya, yang terpenting adalah terus bergiat sekecil apapun asal jangan pernah berhanti. Bila ada kritik maupun saran membangun, bisa menghubungi 081252376628 atau hermina- [email protected]. PELANGI DI MATA BU NARA Oleh : R. Dihni Mareta S., S. Pd. MA. Assunniyyah Kencong Mataku tak berkedip menatap sosok perempuan dengan sepasang mata purba. Umur yang tak lagi muda tapi semangatnya dalam mengayuh sepeda masih sejajar dengan pahlawan perjuangan di tahun 1945. Kulihat dia melempar senyum pada sebaris anak berseragam putih biru dongker, walaupun para siswa SMP itu hanya membalasnya dengan wajah datar. Bu Nara, begitulah wanita paruh baya itu dipanggil, menjadi korban pelampiasan kami sebab mata pelaja- ran matematika yang dibawanya. “Sudah waktunya masuk kelas nak,” bu Nara menepuk bahuku setelah bel berbunyi beberapa kali. Aku membalasnya dengan senyum datar sembari mena- han sesak di dadaku, kemudian berlarian kecil membelah lautan siswa, menuju ruang kelas. *** “Kamu selalu memiliki nilai matematika yang buruk Wan!” bentak Mama pada kak Awan. Mata kak Awan memerah seperti lautan merah ketika Tricho- desmium erythaerum berkembang di laut itu. “Mama sudah bilang, kalau kamu kesulitan, belajar Wan! Apa susahnya belajar matematika?! Kamupun selalu menolak saat Mama mau mendaftarkanmu les matematika! Mau kamu apa Wan?!” Mama menaruh buku matematika kak Awan dengan segumpal kekesalan yang melekat di sana. Saat itu aku hanya memandangi kak Awan. Menangis sambil menggerutu. Kenapa kak Awan diam saja! Kenapa tidak coba dia jelaskan bahwa di bidang matematika mungkin adalah kekurangannya, tapi kak Awan jago dalam pelajaran 11

bahasa inggris. Kenapa kak Awan tidak bilang sama Mama bahwa setiap anak punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kenapa kak Awan hanya menangis! Kedatangan bu Nara di kelas memporak porandakan lamunanku. Seperti biasa dia akan memulai dengan salam, sapaan dan serentetan kegiatan yang pasti membuatku engap dan muak. Tapi aku tahan, sebab aku masih tahu bata- san. “Bagaimana, ada yang ditanyakan anak-anak?” Kalimat tanya bu Nara menjadi kalimat penutup dari penjelasan tentang sistem persamaan linear dua variabel kali ini. Sebagian teman antusias menyambut keramahan guru matematika yang hampir dibilang langka ini. Tapi tidak denganku dan beberapa murid lain yang justru sibuk sendiri. “Pelangi, apakah kamu menemukan kesulitan dalam pemahaman materi ini?” bu Nara membuat berpasang-pasang mata kembali mengarah padaku, lagi. “Tidak.” “Mau mengerjakan soal ini di depan?” Napasku terasa berat, pupil mataku melebar, segumpal kenangan hitam berkelebat di mana-mana. “Aku, tidak, mau.” Jawabku pelan dan ketus. *** Pagi yang tak cukup cerah, udara dingin yang merasuk ke dalam tulangku menambah rasa malas ini menari-nari seakan mendapat dukungan yang mutlak. Aku menarik selimut menutupi baju seragam sekolah yang telah sempurna kupa- kai. “Mama antar sekolah ya?” tanya mama lembut. Belaian tangannya pada rambutku seakan menjadi gergaji yang menyakitkan. “Tidak usah Ma, aku berangkat sendiri saja. Seperti biasanya. Seperti kak Awan juga.” Aku melangkah keluar meninggalkan wajah mama yang terpaku. Dan hatiku yang bagai tertancap sembilu. Akhirnya, setelah sekian purnama, aku mampu menyebutkan nama kakakku, kak Awan. 12

Hamparan jalan raya dengan hiruk pikuknya itu justru tak terdengar apa- pun di telingaku. Air kesedihan terus mengalir melewati pipi dan merebahkan diri di seragam sekolah ini. Hingga tiba di lampu merah pertama setelah rumahku, kakiku berhenti tanpa kuminta. Aku melihat genangan darah di mana-mana yang membuat kepalaku pusing, dan sedetik kemudian aku begitu yakin jalan aspal ini akan memelukku. Aku sedikit kaget, sejak kapan aspal menjadi empuk dan hangat, seperti pelukan kak Awan. *** “Kenapa kakak tidak menjawab pertanyaan mama? Kakak tidak ikut les matematika karena kakak memang tidak menyukainya kan?” selidikku. Kak Awan tersenyum nanar. “Mama itu ingin kakak pintar matematika dek.” “Tapi kakak pintar bahasa inggris. Mama juga bangga akan hal itu. Seha- rusnya mama juga menerima kalau kakak tidak pintar dalam matematika. Kan kakak juga punya kelebihan dan kekurangan,” protesku. “Mama juga manusia dek. Mama hanya ingin anaknya pintar. Mama hanya ingin yang terbaik untuk kita.” Aku diam sejenak. Mencari kejujuran dari kedua mata remaja yang menginjak usia delapan belas tahun ini. “Nanti, kalau kakak sudah lulus dan akan masuk perkuliahan kakak akan jelaskan kakak akan pilih jurusan apa. Yang jelas bukan matematika,” kata kak Awan dengan senyum jahilnya. Kami tergelak bersama. Tiba-tiba keningku terasa hangat sebab handuk yang telah basah dengan air hangat. Dan mataku terbuka perlahan. Ternyata barusan hanyalah kenangan di masa lalu. Kukira kau datang kak Awan. “Nara, kamu sadar Nak?” kulihat mama bersama wajah paniknya. Kuedar- kan pandangan. Ada papa, dan juga bu Nara. Tunggu, kenapa bu Nara di sini? “Bu Nara menemukanmu pingsan di jalan raya. Beliau membawamu pu- lang ke rumah. Jika tak enak badan, seharusnya kau bilang,” wajah panik mama dan papa belum memudar. Bu Nara juga. 13

Aku menghela napas, melepaskan beban yang ada. Ternyata yang tadi memelukku bukan kumpulan karbon, hydrogen, belerang, vanadium dan kawan- kawannya yang berdamai menjadi aspal. Melainkan bu Nara yang berusaha berdamai denganku. Tapi bukankah selama ini bu Nara bersikap baik, justru aku yang membencinya? “Aku ingin sekolah. Walau sudah terlambatpun, aku tetap ingin sekolah. Kak Awan akan kecewa jika aku membolos sekolah. Aku tidak sakit. Aku hanya rindu kak Awan.” Mereka saling tatap. Dan bu Nara menawarkan diri untuk menemaniku berangkat sekolah. Walau aku telat, tapi aku punya alasan tepat. Walau telat, aku akan tetap berangkat. Kata kak Awan, dengan sekolah aku akan punya tujuan. *** Sepekan sudah berlalu. Bagiku waktu seperti hitungan menit. Begitu sing- kat tanpa dapat kunikmati. Tapi setidaknya emosi dan kesehatanku mulai stabil. Semua berjalan baik. Kecuali, bu Nara. Sudah tiga hari ini aku tidak tampak sepeda kayuhnya. Pun juga pelajaran matematika di kelasku. Bu Nara ke mana? Aku mencarinya bukan berarti aku berdamai dengan keadaan. Menerima pelajaran matematika yang telah merenggut nyawa kakak kandungku. Meskipun secara tidak langsung, namun penyebabnya tetap adalah pelajaran itu. Sebab matematika mama selalu marah-marah pada kakakku. Sebab ma- tematika akhirnya kakak harus mengambil les tambahan di luar sekolahnya. Sebab matematika kakakku harus kecelakaan sepulang les matematika sore itu. Dan kejadian itu di depan mataku. Kakakku satu-satunya, menghembuskan nafas terakhirnya di aspal lampu merah. Darah segar menyebar ke mana-mana kembali menyeruak di ingatan. Aku kehilangan sosok awan yang sebenarnya, yang akan melindungiku dari sen- gatan matahari yang membakarku. Aku menjadi anak tunggal. Sendirian. Dari semua itu, aku tidak bisa berdamai dengan pelajaran matematika. Aku membenci setiap hal yang berhubungan dengannya. Termasuk bu Nara. Tapi, kali ini aku mencari sosok itu. 14

“Pelangi, kita pulang bareng yuk!” seru sahabatku, Difa, seraya meng- gamit tanganku. “Kau pulang dulu, aku masih mau ke makam kakakku...” *** “Kemarilah Pelangi!” kata bu Nara. Aku berjalan pelan sambil berfikir keras. Kenapa bu Nara ada di pusara kakakku? Membawakan bunga sedap malam. Bagaimana dia tahu kakak suka dengan bunga sedap malam? “Kau tahu arti bunga sedap malam?” tanya bu Nara, padaku yang hanya ikut berjongkok tanpa membalas sepatah katapun padanya. “Bunga ini memiliki arti kemurnian, kedamaian dan kepolosan. Sama dengan kakakmu kan? Dia orang yang baik dan penuh kedamaian. Dia selalu menghirup aroma bunga ini dalam-dalam ketika sedang les matematika di rumah ibu, dulu. Awan bilang bahwa dia menyukai bunga ini. “Pelangi, kakakmu itu sosok yang pantang menyerah. Dia juga tidak me- nyerah dengan keadaan. Hingga akhirnya dia berhasil mendapat nilai sempurna dalam pelajaran matematika yang awalnya tidak dia sukai. Dia membawa kertas berisi nilai seratus itu kepadaku, lalu dengan semangat dia akan menunjukkan pada mamanya. Tapi Tuhan berkata lain. “Bagaimanapun cara manusia kembali pada Tuhannya, itu adalah cara yang terbaik Pelangi. Tidak ada yang disalahkan atas semua itu. Kita hanya ha- rus belajar memahami dan menerima. Dan semuanya hanya butuh proses.” Bu Nara mendekatiku yang mulai tergugu. Mendekapku layaknya seorang Ibu. “Kakakmu berhasil dalam melewati proses ini, dan di mata bu nara, Pelangi juga akan berhasil dalam melewati semua proses.” “Maafkan aku,” lirihku hampir tak terdengar di sela-sela tangis yang sulit kukendalikan. Profil Penulis 15

R. Dihni Mareta S., lahir di Jember, 18 Maret 1995. Alumni S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut keguruan Ilmu Pendidikan Budi Utomo Malang Jawa timur. Penulis yang aktif mengajar di MA Assunniyyah ini telah menerbitkan novel perdananya pada tahun 2022 dengan judul Naiwa. Pada tahun yang sama penulis menjuarai lomba menulis cerpen remaja LMCR dari WR Academy Malang sebagai juara 3. Menulis adalah hobi yang membuat dirinya lebih bisa berfikir dan mensyukuri semua. Pembaca bisa menyapa penulis lewat gmail [email protected] atau no.hp 081270757033. ______________________________________________________________ MEMUTUS RANTAI Oleh : Diana Mahfiatus Salimah SMKN 5 Jember Apa yang lebih nikmat selain menikmati kepulan asap putih tanpa gangguan? Surga! Apalagi ada cewek cantik lewat di depanku meskipun senyumnya terlihat masam dan sesekali mulutnya mengerucut. Hanya ada sedi- kit kesalahan: Ini bukan di kafe atau taman bunga. Bahkan, aroma pesing men- guar di sela-sela asap nikotin. “Den, mulutnya dikondisikan, gak perlu pake kuah. Mending kuah bakso, ini kuah iler!” Aku terkejut, sontak air liur yang nyaris menetes, kupaksa kembali ke tem- patnya berasal. “Sompret! Gak ngenak-ngenakin orang lagi ngeliat pemandangan bagus,” decakku sebal. “Eh, justru aku nyelametin mukamu di injury time. Jijik kali cewek lihat cowok ileran. Belum-belum kamu sudah dicoret sebelum kualifikasi babak per- tama calon pacar potensial,” kilah Restu sambal memiringkan senyumnya. Aku sangat ingin mendebatnya, tetapi deritan pintu membungkamku. Ilyana, sosok cantik kelas sebelah, muncul dari kamar mandi. Mungkin terlihat 16

lebay, tetapi gerakannya seakan slow motion di film yang sering aku tonton ketika tokoh protagonis perempuan berada dalam adegan. Astaga, begini rasanya bertemu dengan gebetan? Hanya dengan melihat senyumnya, rasanya jantungku jumpalitan. Benar kata Om Ahmad Dhani, seperti genderang mau perang. Ah, andai dia mau menyapaku …. “Den … Den!” Sepasang tangan menarik lenganku. Kampret si Restu. “Den!” “Deni!” Sebentar, suara yang terakhir? Suara bariton ini kenapa lebih berat dan tegas? Apa mungkin gara-gara rokok, suara Restu jadi lebih berwibawa? Dengan sedikit ragu, aku menoleh. “Sudah?” Sompret! Aku terciduk Guru BK. *** Mimpi apa aku semalam sampai tertangkap basah di lorong kamar mandi. Mana rokok masih ada di sela-sela jari yang baranya langsung menyentuh kulit ari saat aku terkejut setengah mati. Apa kuota keberuntunganku sudah habis? “Rambutmu berkarat, Den?” Haa? Aku benar-benar tidak mengerti dengan perkataan Pak Rahmad, Guru BK yang memergokiku merokok. Sejak kapan rambut mengalami korosi? Seingatku aku belum mengoleskan bubuk logam di kepalaku. “Kenapa ada coklat gelap dan coklat terang di rambutmu?” tanya Pak Rah- mad lagi. Sontak aku meringis. Guru BK ini benar-benar ketinggalan zaman. Dia tidak mengerti kalau warna ini sedang tren. Aku hanya mengoles sedikit semir rambut cokelat untuk highlight, tetapi kenapa masih kelihatan? “Ehm … itu a-anu … anu, Pak—.” “Anu terus. Dari tadi anu saja jawabanmu.” decak Pak Rahmad. 17

“Kan nggak mungkin saya jawab Ani, Pak. Ani, kan, gebetannya Pak Haji Rhoma Irama. Nanti saya dimarahi,” kilahku sambil menyeringai. “Kamu ini!” Aku ingin menjawab lagi, tetapi Pak Agus, guru BK yang lain, meminta Restu mejanya. Astaga, kami ditangani guru BK berbeda. Keluar dari ruang BK hidup-hidup sepertinya tinggal harapan. Sudah menjadi rahasia umum aku dan Restu sering dijuluki cover boy buku BK, mungkin karena kami berdua langganan tetap Pak Rahmad. Aku tidak mengerti apa Pak Rahmad tidak punya hobi lain selain memanggil kami berdua? “Kamu ini, ya. Lima hari yang lalu ketahuan bolos. Sekarang ngrokok, ram- but potongan tidak jelas dan warnanya ….” Ini yang paling tidak kusukai dari ruang BK. Ruangan ini tempat di- bacakannya dosa-dosa. Setelah itu, Pak Rahmad akan berlagak seperti Mario Teguh, memberi nasihat dan kata-kata bijak yang memusingkan. Sebenarnya Pak Rahmad itu baik—selain hobinya razia ke tempat-tempat tertentu di sekolahku. Apa dia tidak capek berkeliling SMK seluas ini hanya untuk menangkap dan menceramahiku macam-macam? Lihat saja, penampilannya bahkan tidak diperhatikan. Rambutnya belah tengah dengan potongan jadul. Ka- lau rambutnya ditata powerful undercut dengan sedikit highlight di kiri dan kanan, dia akan mirip Jungkook BTS versi kearifan lokal. “Semoga bapakmu segera datang karena sebentar lagi saya rapat, Kali ini bapakmu yang asli, ya” ujar Pak Rahmad membuyarkanku dari lamunan yang bergentayangan. Aku hanya meringis. Masih jelas ingatanku tentang kejadian seminggu yang lalu. Orang tuaku dipanggil ke BK untuk memberitahukan segala amal dan dosaku. Tentu saja dengan kecerdasan yang tak terbantahkan, aku bisa mencari solusi instan dan aman. Kemenanganku rupanya tak lama. Pak Rahmad mengutak-atik telepon genggam. Lalu, tangan kirinya membuka buku yang sampulnya tertulis “Anecdo- tal Record”. 18

\"Sebentar, bukannya kemarin Bapak sudah ke sini?\" tanya Pak Rahmad dengan tatapan setajam elang. Lelaki yang kupanggil “Bapak” di depanku itu gelisah. Rambutnya yang ikal makin awut-awutan. Kulitnya yang gelap mendadak bersemu merah. Berkali- kali dia melirik ke arahku. “Ini bukannya Bapak, ya?” Ajegile, aku ketahuan! Pak Rahmad menyodorkan foto dan bukti pe- nanganan kasus yang sudah ditandatangani. Sialnya lagi, di foto itu juga ada Restu. Astaga! Kenapa Restu tidak janjian dulu kalau menyewa tukang becak ini sebagai orang tua gadungan. Aduh, pantas aku dan Restu dijuluki “kembar sial”. Belajar dari pengalaman seminggu yang lalu, aku dan Restu harus me- modifikasi rencana. Kami berdua sudah sepakat siapa yang akan menjadi wali murid dadakan. “Nah, bapakmu sudah datang.” Kata-kata Pak Rahmad membuyarkan lamunan yang kubalas dengan senyuman. Sejenak aku terperangah, menyadari bahwa semua tidak sesuai rencana. Sialan! Restu berkhianat. Seorang lelaki berkumis tipis dengan kulit sawo matang dan bereper- awakan tegap masuk ke ruangan setelah mengucapkan salam. Matanya menatapku datar. Aku membuang pandanganku ke arah lain. Lelaki itu duduk di sebelahku. Sebuah sofa three seater menjadi saksi bahwa kami berjumpa kem- bali dengan suasana yang canggung. Mendadak aku merasa ruangan berukuran 6x9 meter ini menjadi pengap. Selanjutnya yang terjadi aku bahkan tidak bisa mendengar apa pun. Hanya kronologi kejadian yang terus-menerus diulang seperti seminggu lalu. Saat itu, aku masih bisa tersenyum, bahkan melancarkan banyolan. Sekarang, semua tawa seperti disembunyikan semesta dan aku tidak bisa menemukannya. “Jadi begitu, Pak. Saya mohon kita bekerja sama untuk Deni agar bisa memperbaiki diri. Sebenarnya, Deni anak baik dan pandai. Hanya saja, ke- pandaian disalurkan pada hal-hal yang tidak pada tempatnya.” 19

“Iya, Pak. Saya akan sering mengingatkan kelakuan Deni agar tidak me- nyusahkan lagi.” Menyusahkan? Sebenarnya aku ingin berteriak bahwa lelaki ini tidak ber- hak mengataiku menyusahkan. Lelaki ini justru sumber kesusahan keluargaku. Dia dengan pekerjaannya yang serabutan, dengan tidak tahu diri meninggalkan rumah dan menyisakan masalah. “Iya, Pak, Mohon perhatian lebih karena ini usia-usia rawan.” “Baik, Pak. Akan saya perhatikan!” Bohong! Lelaki itu pendusta. Perhatiannya hanya sebatas ruangan ini saja. Dia lebih sibuk dengan istri barunya. Bahkan, hanya sekadar menyapaku lewat telepon genggam tidak dia lakukan. Lelaki itu—yang saat ini berjabatan tangan dengan Pak Rahmad— hanya mengingatkanku pada masa-masa suram. Aku hanya anak dari keluarga yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang kekurangan. Seakan itu tak cukup, keluargaku juga berantakan. Bapak kerjanya serabutan, tidak bisa diandalkan. Akhirnya, Ibu menjadi TKI di luar negeri. Enam bulan pertama, aku belum bisa merasakan nikmatnya hasil keringat Ibu. Kudengar dari percakapan Bapak dan Mbah Uti, uang itu masih dipotong untuk pembiayaan ke luar negeri dan utang sana-sini. Tak lama kemudian, Bapak bisa membelikanku baju, tas, dan sepatu baru. Tak hanya itu, televisi dan telepon genggam pun juga baru. Akan tetapi, surga ternyata tak lama mampir di rumahku. Selanjutnya uang tersendat-sendat. Uang kiriman Ibu seharusnya untuk merenovasi rumah: gen- teng bocor, dinding yang masih belum dikuliti, lantai dapur yang dari tanah dik- eraskan, dan—mungkin—perlu menambah satu kamar lagi. Namun, uang itu menjadi modal bapakku berlagak seperti playboy karbitan yang merayu wanita- wanita cantik. Rupanya umpan Bapak ditangkap wanita desa sebelah. Tak lama kemudian, aku mempunyai ibu tiri. Ujungnya bisa ditebak, orang tuaku bercerai. Saat itu aku masih kelas 5 SD dan terpaksa tinggal dengan kakek dan nenekku. Sejak saat itulah bapakku pergi dari rumah dengan meninggalkan lubang berupa utang. Tak hanya utang uang, tetapi utang pada tahun-tahunku yang hilang. 20

Aku berjalan lesu menuju kantin yang disesaki siswa-siswa yang antre membeli makanan dan minuman. Matahari menyengat membuat tenggorokanku makin kering. Setelah pertemuanku dengan lelaki itu—yang aku bahkan malas memanggilnya “Bapak”—tiba-tiba perutku meronta-ronta ingin diisi. Sepertinya bertemu muka dengannya menghabiskan energiku sampai tidak bersisa. Aku menjadi lemas seperti orang terkena anemia. “Kamu ngapain? Udah habis kiriman ibumu yang menjadi wanita karir di luar negeri?” ledek Ardi, temanku lain kelas. Kata-kata Ardi seperti sengatan lebah di telingaku. Aku tidak sedang dalam mode bercanda. “Jangan cuma malas dan bikin masalah, nanti kamu berakhir seperti makmu. Jangan sampai jongos dianggap gen yang tidak bisa hilang,” timpal Sandi, sahabat Ardi. Dua tanganku bergetar dan gerahamku beradu tanpa sadar. Peluh dingin mulai menguasai badan. Kenapa kalau ibuku jongos? Kata itu hanya menggaung di kepalaku yang sekrup-sekrupnya seakan mengendur. Bayangan ibuku yang berkeringat karena membersihkan rumah dan mengepel lantai menari-nari di pelupuk mataku seiring dengan kelima jariku di tangan kanan dan kiri bersatu membentuk kepalan. Kepalan itu begitu kuat sea- kan ada energi lain yang menyusup. Dua anak lelaki di depanku seakan menjadi mahluk kecil dengan racauan yang makin memekakkan telinga. Cukup! Buk! Buk! *** Aku kembali ke ruangan ini. Ruang yang paling kubenci di sekolahku. Ta- tapan tajam Pak Rahmad dan sorot ingin tahu teman-temanku benar-benar mengganggu. Beberapa kali Pak Rahmad mengembuskan napas panjang sembari me- meriksa luka-lukaku. Memar di pipi dan buku-buku tangan menjadi bukti kerasnya perkelahian di kantin tadi. Belum lagi, dua kancingku yang terlepas dan kain ba- gian leher yang sobek. Nasib Ardi dan Sandi tidak jauh berbeda. 21

Aku harus mencatat hari ini sebagai salah satu hari sial di hidupku. Pengkhianatan Restu, kedatangan lelaki itu, serta penghinaan Ardi dan Sandi. “Kamu sudah kelas XI, seharusnya sudah bisa lebih mengendalikan diri,” tutur Pak Rahmad. “Mereka keterlaluan, Pak,” debatku sambil menatap Ardi dan Sandi yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Mereka juga sedang ditangani oleh guru BK yang lain. Terpaksa aku dan mereka dipisahkan karena beberapa kali tinjuku hampir melayang lagi. “Tindakanmu yang impulsif akan merugikan dirimu sendiri!” “Selama saya yang dihina, saya diam saja. Tapi tidak kalau mereka mem- bawa ibu saya. Bagi mereka itu hanya bercanda, Pak. Kondisi ibu saya bukan bahan bercandaan. Saya memang anak ….” Ada kata yang susah payah kukeluarkan, seakan ada batu yang menyumbat tenggorokan, “jongos. Iya … jongos.” Meski dengan suara melemah akhirnya kata itu keluar juga. Ruangan hening seketika. Jari-jari tanganku saling meremas, sedangkan mataku tertunduk. Keramik putih ukuran 40x40 cm sepertinya lebih menarik dibandingkan orang-orang yang duduk di Ruang BK. Terdengar bel masuk yang memecah keheningan dan bunyi detak jam yang menunjukkan angka satu. “Bapak tidak membenarkan tindakan mereka. Hanya saja, tindakan kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Kamu malah menjadi pihak yang salah karena memulai perkelahian,” ujar Pak Rahmad memecah kebekuan pembic- araan. “Saya diam kalau mereka tidak menghina ibu saya, Pak. Saya orang miskin jadi mudah disalahkan. Sa-sa-saya …. Andai saya orang kaya ….” Kata- kataku tertelan oleh napas yang terengah-engah. Aku tidak tahu, mengapa aku tiba-tiba sensitif sekali. Pak Rahmad menatapku dengan pandangan menelisik. Aku seperti ditelanjangi. Sejurus kemudian, dia bertanya, “Andai kamu orang kaya, apa yang kamu lakukan? Andai kamu punya kuasa, apa yang kamu lakukan pertama kali?” Apa yang aku lakukan seandainya aku berharta dan berkuasa? Pertan- yaan sederhana yang saat menjawabnya lebih sulit dibandingkan soal logaritma. 22

“Kamu tahu, Nak? Dengan bekal pendidikan yang cukup, orang tua ber- harap anaknya lebih baik daripada mereka. Pernah dengar bahwa pendidikan dapat memutus rantai kemiskinan? Pendidikan tidak hanya ketrampilan dan pengetahuan, tetapi juga sikap yang unggul,” tutur Pak Rahmad sambil me- megang ponsel pintarnya. “Bapak harus menelepon bapakmu lagi. Padahal, be- lum dua jam bapakmu pulang.” Aku menggeleng sebagai bentuk permohonan pada Pak Rahmad. Jangan lagi! Lelaki itu tidak berhak mencampuri hidupku. Sejak dia memilih perempuan lain ketika ibuku mengumpulkan rupiah demi rupiah, aku sudah menghapusnya dalam hidupku. “Saya akan memecat bapak saya!” Pak Rahmad menghentikan gerakannya sambil mengernyitkan dahi. Pan- dangan matanya tak terbaca olehku. “Bapak bertanya, apa yang saya lakukan pertama kali kalau saya punya kuasa? Saya akan memecat bapak saya.” “Kenapa?” “Karena bapak saya yang menyebabkan keluarga saya seperti ini. Ibu saya—.” “Bagaimana dengan ibumu? Kalau kamu punya kuasa, kenapa kamu tidak fokus pada apa yang akan kamu lakukan pada ibumu?” Seraut wajah polos ibu berkelindan di benakku. Wajah cantik yang tak tersentuh bedak dan pemulas bibir. “Apa kamu memilih rasa benci pada ayahmu sehingga tidak menolong ibumu? Kuasamu tidak memilih rasa sayang pada ibumu? Apakah kamu tidak ingin berhasil untuk membantu ibumu?” Mulutku bungkam seketika. Kata-kata Pak Rahmad terucap pelan, tetapi lebih tajam dari belati yang begitu kejam menusuk ulu hati. Wajah Ibu yang ber- mandi peluh dengan garis-garis di dahi terbayang di pikiranku. Tubuh kurusnya harus bergulat dengan pekerjaan. Tangan lembutnya berubah sekasar tangan kuli bangunan. Mata bening Ibu berubah menjadi telaga yang menggenang. Jika kemarin bapakku, apakah besok aku menjadi pangkal terbitnya air mata itu? 23

Mengapa tidak terpikir bahwa aku bisa melakukan sesuatu untuk ibuku? Sekujur tubuhku gemetar. Entah kenapa mataku tiba-tiba panas dan berair. Profil Penulis Diana Mahfiatus Salimah seorang guru yang mempunyai hobi menulis. Pencinta seafood ini menikmati bacaan secara ran- dom. Baginya menulis adalah merekam peritiwa. Karyanya su- dah dibukukan dalam bentuk buku solo maupun antologi. Penu- lis bisa dihubungi melalui wa 081252218358 dan email mahfia- [email protected] _______________________________________________________________ 24

NASI BUNGKUS Oleh : Lia Dwi Agustin, S.Pd. SMPN 1 Balung “Akmal, sudah jam enam. Ayo ganti baju lalu sarapan”, teriakan Bunda dari dapur membuyarkan keasyikanku memperhatikan ikan Chana yang berjoget di akuarium kamar. “Iya Nda”, jawabku sambil berteriak juga. Khawatir Bunda tidak mendengar kalau aku sudah menjawab. Kuambil baju di lemari pakaian. Kupilih seragam bawahan hijau dan atasan putih. Keduanya sudah disiapkan Bunda di gantungan. Kainnya masih lumayan kaku karena masih baru. Selesai mengenakan seragam, kupatut diriku di depan cer- min rias. Celana panjang dan baju lengan panjang membuatku nampak lebih tinggi daripada seragam yang biasanya kupakai. “Kalau sudah mandi segera sarapan le. Kita berangkat setengah tujuh ka- rena Bunda harus mengantarmu mencari kelas.” suara Bunda yang tiba-tiba muncul di depan pintu mengagetkan konsentrasiku mematut diri. “Siap, bos.” Aku menuju dapur. Aksi nyata langsung ambil sarapan seperti ini lebih disenangi para Ibu saat memeberikan instruksi kepada anaknya da- ripada menjawab “iya” tapi tak segera bertindak.. *** Vario Bunda mengantarkan kami tiba ke sekolahku yang baru. Bunda me- markir sepeda motor. Kali kedua aku masuk sekolah ini. Yang pertama saat Bunda mengajak survey lokasi. Menunjukkanku beberapa SD dan MI di Balung supaya aku bisa memilih sekolah mana yang sreg di hati. Waktu itu aku ditunjuk- kan lima sekolah dan pilihanku jatuh di sekolah ini. Di MIN 2 Jember. Yang kedua sekarang ini. Hari pertamaku menjadi siswa baru. “Ke kantor guru yuk”, ajak Bunda. Kami menuju kantor guru. “Assalamualaikum, permisi Pak. Mau tanya ruang kelas IV Fatahillah ada di sebelah mana nggih?” sapa Bunda ke Pak Guru yang nampak sedang mem- bersihkan meja. 25

“Oh sakmeniko Bu” ruangan yang disebutkan Bunda tepat ada di depan ruang guru. Menurut info di WA grup, ada tiga kelas di kelas IV dan namaku ada di kelas IV Fatahillah. “Ooo, murid baru dari Banyuwangi nggih?”. “Iya Pak. Terimakasih Pak saya antar ke kelas dulu” jawab Bunda sambil tersenyum. Kami menuju ruang kelas yang ditunjuk. “Le, ditinggal apa ditunggu Bunda sampai masuk kelas?” Tanya Bunda saat kami sampai di depan ruang kelas. “Ditinggal aja Nda. Malu kalau ditunggui” jawabku. “Yakin nih?” Tanya Bunda lagi. Sepertinya Bunda takut aku mengalami kendala. “Yakin” jawabku meyakinkannya. Walaupun sebenarnya aku ketar-ketir juga. Kelas baru, guru baru, teman baru, lingkungan baru. “Oke, bunda tinggal ya” pamit bunda sambil mengelus kepalaku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku mau ditunggui sampai masuk kelas tapi seper- tinya akan membuat Bunda khawatir jadi aku harus sok-sokan tegar. Kata Ayah, anak laki-laki harus kuat. Semenit bunda berlalu, datang Ibu Guru mengham- piriku “Ini Akmal ya? Saya bu Ani wali kelasnya Akmal. Ayo Bu Ani antar masuk ke kelas” sapa Bu Ani ramah. Aku tersenyum. Aku diajak masuk ke dalam kelas. Ada beberapa perbedaan dengan ke- lasku yang dulu. Kalau dulu sepatu tetap dipakai masuk ke kelas, kalau sekarang sepatu dilepas di depan kelas. Kelas yang dulu satu meja ada dua kursi kalau yang sekarang satu meja satu kursi. Jadi kami duduk sendiri-sendiri. Aku dipersi- lahkan duduk di sisi sebelah kiri dekat pintu. Hitungan kedua dari meja paling depan. Setelah bel berbunyi dan semua siswa masuk kelas, bu Ani menyapa kami dengan sangat ramah. Menanyakan pengalaman liburan yang kami lalui. Men- jelaskan tentang kegiatan kami seminggu ke depan. Dan kemudian, tiba saatnya aku diminta memperkenalkan diri di depan kelas. Untung semalaman sudah bela- jar memperkenalkan diri. Diajari Bunda. 26

“Assalamualakum warahmatullahi wabaraktuh. Teman-teman perkenal- kan nama saya Muhammad Akmalurijal El ‘Abqory. Biasa dipanggil Akmal. Saya berasal dari Banyuwangi. Pindah ke sini karena ikut Ibu bekerja di Balung.” Alhamdulillah lancar dan lantang. Karena sudah latihan semalaman. *** “Assalamualaikum.” Seruku mengucap salam. “Waalaikumsalam. Wis pulang ngaji le?” sahut Bunda dari dapur. Sepertinya se- dang mencuci piring. “Sudah Nda.” Jawabku seraya merebahkan diri di kasur. Nyaman sekali setelah seharian beraktifitas. Sekolah dari jam 7 sampai jam 1 siang. Istirahat satu jam di rumah kemudian berlanjut ngaji di TPA dekat rumah sampai setengah 5. Jam 6 sampai jam 8 dijadwalkan belajar bersama Bunda. Kuraih gawaiku di meja belajar. Seharian belum sempat kusentuh. Ada beberapa pesan WA yang masuk. Dari Rafa, temanku di sekolah yang lama. “Akmal gimana kabarmu? Teman sekelas kangen semua.” Aku juga kangen Fa, jawabku dalam hati. Kulanjutkan membuka pesan lain, dari Ibel. “Akmal, kamu kemana? Kok nggak pernah masuk sekolah? Aku nyariin lho”. Aku sudah pindah Bel, maaf nggak sempat pamit. Jawabku lagi-lagi dalam hati. Tiba-tiba aku ingin menangis. Bayangan Rafa, Reno, Ibel, dan semua te- man sekelasku. Aku ingat keceriaan, kelucuan, keusilan mereka. Seringkali kami bertengkar tapi tak berselang lama kami baikan kembali. Aku rindu berlarian, ber- gelut, bersepeda, memancing, aku rindu kalian rek. *** Sholat Dhuhur berjamaah usai. Aku duduk di pinggir lantai musholla sekolah untuk memasang sepatu. Sambil melantunkan sholawat. “Akmal, Pak Guru dengar suaramu enak lho kalau sholawatan.” Sapa Pak Hozin guru Fiqih sembari memasang kaus kaki dan sepatu di sebelahku. “Terimakasih Pak.” Jawabku seraya tersenyum malu. “Akmal pindahan dari mana?” “Banyuwangi Pak. Pesanggaran.” 27

“O.. Ibu yang kerja di sini?” “Iya Pak. Guru di SMPN 1 Balung.” “Ayah di mana?” “Di rumah Pak. Bersama adik.” “O.. jauh-jauhan ya. Lalu kapan bertemunya?” “Setiap Sabtu saya dan Bunda pulang Pak.” “Oh gitu.. oke. Semangat ya..” “Ya Pak. Terimakasih.” Pak Hozin berdiri meninggalkanku lebih dulu. Aku masih duduk sambil menunggu temanku, Alif. Sudah dua minggu aku ikut Bunda pindah ke Balung. Kecamatan yang ada di Jember Selatan. Ikut Bunda karena beliau berdinas di sini. Bunda mengajakku karena ingin membersamai perkembangan belajarku yang memang agak ke- teteran di rumah karena tidak ada yang menemani. Ayah sibuk bekerja. Se- dangkan Uti dan Kakung sudah tidak cukup bisa mengajari ilmu zaman sekarang katanya. Aku sendiri bersedia karena dipaksa semua keluarga. Mereka beralasan kasihan Bunda sendirian di sini. Aku sebagai anak laki-laki harus bisa menjadi teman buat Bunda. *** Aku ngantuk sekali. Jam segini harusnya aku sudah ada di kasur. Aku semakin benci keadaan ini. Bunda yang merampas kebahagiaanku. Harusnya aku tidak capek-capek naik kereta api malam-malam begini. Belum lagi Sabtu siang aku harus menahan panas dan kantuk dibonceng Bunda dari Balung ke stasiun Jember. Empat puluh lima menit di atas sepeda motor. Pinggangku rasanya sakit sekali. Setelah di stasiun Jember, kami melanjutkan naik kereta api selama hampir dua jam menuju stasiun Kalisetail. Turun dari stasiun Kalisetail masih menempuh satu jam perjalanan untuk sampai rumah. Sampai di rumah hari Sabtu pukul lima sore. Jam lima sore keesokan harinya harus kembali mengulang perjalanan sebaliknya menuju Balung. Dari rumah menuju stasiun Kalisetail. Menempuh perjalanan di kereta api hampir dua jam. Sampai di stasiun Jember jam 20.45. Menginap di rumah Tante Myta yang berjarak 2 km dari stasiun. Baru keesokan paginya jam 5 pagi 28

melanjutkan perjalanan ke Balung. Sepagi itu aku harus lagi-lagi menahan dingin, kantuk dan sakit pinggang. Bunda mengajakku dengan alasan ingin menemaniku belajar. Tapi nyatanya aku harus semelelahkan ini. Kenapa sih tidak Bunda saja yang melalui perjalanan ini. Aku kangen ayah. Aku kangen adik. Aku kangen teman-temanku. Aku tidak suka hidup di Jember. Aku maunya di Banyuwangi saja. “Le, ayo turun.” Bunda menyentuh pundakku. Aku melamun sampai tidak sadar kereta sudah sampai di stasiun Jember. Aku tidak menjawab. Lelah, mengantuk dan lapar semakin meruncingkan kejengkelanku. “Huh, sudah sampai Jember lagi.” Aku mendengus. “Kenapa? Akmal nggak suka ada di Jember?” ternyata suaraku yang lirih terdengar oleh Bunda.. “Aku nggak suka di Jember. Aku suka di Banyuwangi.” Jawabku kasar. Sesaat Bunda menghentikan gerakannya memasang resleting jaket. Menatapku Sepertinya kaget dengan jawabanku. “Oh..’ jawabnya pendek. “Ayo turun.” Ajak bunda meraih tanganku. “Aku lapar, Nda.” Sahutku kasar. Kali ini sambil merengek dengan nada protes. “Aku juga capek”. Aku hampir menangis. Kelelahanku ada di kereta dit- ambah kelaparan yang aku rasakan membuatku ingin marah. “Iya kita beli makan ya. Kita turun dulu.” Jawab Bunda. Aku mengikuti langkahnya dengan lunglai. Kerumunan ratusan orang keluar gerbong semakin menyesakkan perasaanku yang sudah penat. Berhimpitan kami menuju tempat parkir sepeda motor. Parkiran padat sekali. Penuh sesak dengan kendaraan ber- oda dua. Bunda menggandeng tanganku erat takut aku tertinggal. Mencari jalan keluar menerobos kerumunan orang yang juga ingin segera sampai di motor masing-masing. Setelah mendapati motor kami harus beruaha keras pula menuju jalan keluar. Antri dan berdesakan. “Pegangan le. Awas jatuh ya. Ditahan ngantuknya.” Bunda mengingatkan saat aku sudah berhasil duduk di boncengan. Aku tidak menjawab. Setelah mem- bayar biaya parkir di palang pintu kami bisa segera melaju lebih bebas di jalan raya. 29

“Mau makan apa?” Tanya Bunda sembari membuka kaca helm agar suaranya jelas terdengar. “Terserah. Pokoknya makan.” Aku kembali menjawab kasar. Sebenarnya Ayah selalu marah kalau aku berkata kasar kepada Bunda. Tapi kali ini aku benar-benar marah karena sangat lelah. “Nasi goreng ya. Tapi nanti gemuk. Lalapan ayam?” tawar bunda. “Terserah. Kan aku sudah bilang terserah. Pokoknya makan.” Nadaku meninggi. “Atau soto. Dingin gini enak makan soto.” Bunda menawarkan alternatif lain. Sambil menurunkan laju sepeda motor dan tengok kanan kiri untuk mencari tempat makan yang nyaman. Tapi sepanjang jalan memang tidak ditemukan tem- pat makan yang pas. Lalapan ayam dan soto yang diharapkan belum nampak. “Aku nggak tahan Nda. Aku lapar.” Aku berteriak. Sambil menahan tangis. Aku sudah sangat kesal. Perutku perih sekali. Tanpa menjawab Bunda segera membelokkan arah sepeda motor ke minimarket di tepi jalan. “Oke. Turun sini dulu ya. Bunda belikan salad atau roti untuk pengganjal perut.” Bunda memarkir varionya. Aku bergeming. Tidak berkenan turun. Seper- tinya ada setan yang merasukiku sehingga aku merasa sangat marah. Pukul setengah sepuluh malam di setiap hari Minggu aku harus masih ada di jalanan. Aku rindu kehidupanku yang dulu. “Nggak ikut turun?” tawar Bunda. Aku menggeleng. Bunda menatapku. Entah tatapan apa itu, Seperti tatapan menahan sesuatu. Aku menunduk. Tidak mau balas menatapnya. Bunda beralih. Melangkah menuju pintu minimarket un- tuk membeli pengganjal perut. Mataku menatap sekeliling. Lumayan ramai. Mungkin karena ini daerah perkotaan. Sehingga jam segini masih banyak orang berakitifitas. Kepalaku terasa pusing. Perut melilit menahan lapar. “Mas-mas, beli nasi bungkus mas”. Tanganku disentuh tangan lain. Aku menoleh. Ada anak laki-laki kecil seusiaku. Memakai kaos putih yang agak kebe- saran. Celana pendek bergambar Tayo. Tangan kirinya membawa keranjang berisikan beberapa bungkusan. Seperti bungkusan nasi. Tangan kanannya yang 30

tadi menowel tanganku beralih mengambil satu bungkusan ditunjukkan ke arahku. “Nasi bungkus Mas. Lima ribu saja.” Ia kembali menawarkan sambil tersenyum. Aku menggeleng. Seksama memperhatikannya. “Lima ribu saja Mas. Murah.” Tawarnya lagi. Kulihat masih ada lebih dari lima bungkus di keranjang yang ia pegang. Aku kembali menggeleng. “Terima- kasih, Mas.” Ia berlalu menuju ke pengunjung lain yang menunggu di teras min- imarket. Bergantian dari satu orang ke orang lain. Kuperhatikan terus. Seperti ada magnet yang ia bawa untuk menarik indera penglihatanku. Setelah mena- warkan kepada beberapa orang ia menuju ke pojok sebelah kanan minimarket. Menghampiri seorang wanita. Sepertinya ia ibu dari anak itu. Usianya sepertinya lebih tua dari usia Ibuku. Wajahnya nampak lusuh dan lelah namun mereka ber- dua tetap saling tersenyum meskipun nasi bungkus yang ditawarkan belum laku. Anak laki-laki itu penjual nasi bungkus, seusiaku. Jam setengah sepuluh malam masih bergelut membantu Ibunya mencari uang. Dingin, lelah, lapar, mengantuk. Tapi ia bisa tersenyum. Tidak nampak lelah. Tidak nampah marah. Bayangan wajahku muncul di spion. Bajuku lebih bagus daripada bajunya. Aku memakai jaket. Jam segini aku biasanya sudah tidur. Di kasur empuk. Bangun pagi aku tinggal menyiapkan buku dan air minum, semua bekal sudah disiapkan Bunda. Uang saku selalu tersedia tanpa kuminta. Dari balik pintu minimarket aku melihat wajah wanita yang sangat menya- yangiku. Yang selalu mengkhawatirkanku. Yang selalu memastikan aku baik- baik saja. Wajah yang cantik namun malam ini terlihat pucat. Pasti ia juga lelah. Pasti ia juga lapar. Pasti ia juga merindukan Ayah merindukan adik. Langkahnya tergesa sambil menenteng tas plastik yang nampak berisi penuh air minum dan roti. Pasti itu buatku. Pasti tergesa karena takut aku kelaparan. Pandanganku beralih ke sepasang anak dan Ibu penjual nasi bungkus. Tiba-tiba aku tidak lagi merasa lapar. Tidak merasa lelah. Tidak merasa dingin. Bergegas aku turun dari sepeda motor. Berlari memeluk Ibu. `“Hei, kenapa? Kelaparan banget ya? Maaf ya Bunda lama. Bayarnya an- tre.” 31

Aku tidak menjawab. Kusembunyikan wajahku di jaketnya. Mataku memanas. Ada air hangat yang mengalir. “Bunda maaf. Maaf aku sudah jahat. Aku janji aku akan bahagia. Aku akan sekolah dengan baik. Aku akan rajin ngaji. ” Batinku menjerit. Aku semakin dalam membenamkan wajahku. “Hei, Akmal. Kenapa?” Bunda kebingungan dengan tingkahku. Ia menurunkan kepalanya berjongkok berusaha melepas pelukanku. Dipegangnya wajahku, Bunda tahu aku menangis. “Maaf ya karena Bunda Akmal jadi capek begini sampai nangis.” “Maafin Akmal Nda…….” Jawabku lirih. Profil Penulis Perempuan bernama lengkap Lia Dwi Agustin, S.Pd. ini lahir di Banyuwangi pada 11 Agustus 1987. Pendidikan dasar dan menengah ia selesaikan di Kabupaten Banyuwangi. Ia adalah alumnus Universitas Negeri Malang jurusan Fisika program studi Pendidikan Fisika. Kini ia mengabdi sebagai guru IPA di SMP Negeri 1 Balung. Ibu dari dua jagoan ini merupakan peserta Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 3 Kabupaten Jember. Buku berjudul Dari Pandanwangi Kugerakkan Hati merupakan buku solo pertama yang ia tulis untuk mengabadikan perjalannya selama mengikuti Pendidikan Guru Penggerak. Ia bisa dihubungi di [email protected]. 32

SENANDUNG BUNGA ROBUSTA Oleh: Agus Yudiarto, S.Pd.,M.Si SMPN 1 Jombang Bulan ini bulan Juni pohon kopi sedang berbunga, Kemudian bunga kopi itu akan berkembang dan membentuk secara perlahan buah (ceri) kopi selama 9 bulan. Cuaca dan perawatan sangat mempengaruhi perkembangan bunga kopi tersebut. Semerbak aroma wangi membelai halus hidungku. Bagai aroma tera- pis, harumnya bunga kopi robusta di perkebunan ini membangkitkan lagi gairah dan semangatku untuk segera sampai di SMP tempat aku bersekolah tujuh tahun yang lalu. Hari ini aku menyusuri lagi jalan di tengah kebun kopi ini. Hamparan pohon kopi robusta yang sedang berbunga di sepanjang jalan menuju sekolahku, terihat seperti untaian melati putih yang harum semerbak mewangi. Kicauan burung yang merdu seakan mengucapkan selamat datang kepadaku. Lambaian ranting- ranting pohon kopi robusta di sepanjang perjalanan seakan ingin melepas rindu denganku. Semua itu seolah memanggilku lagi ke masa itu. Masa penuh per- juangan, dengan dorongan semangat senandung bunga robusta. Jalan ini dulu masih jalan makadam yang penuh lumpur saat hujan turun. Berdebu saat musim kemarau. Kubangan di sepanjang jalan bekas ban-ban truk PTP yang melewati jalan itu. Kini jalan ini sudah mulus. Memang benar jalan ini sudah bermetamorfosis sempurna berkat adanya program jalur lintas selatan dari pemerintah. Apabila tidak ada keperluan untuk legalisir ijazah, tak mungkin aku datang ke sekolah ini lagi. Sekolah pinggiran yang benar-benar pinggir. Sekolah kecil yang benar-benar kecil. Bagaimana tidak pinggir, letaknya berada di ujung se- latan perkebunan yang berbatasan langsung dengan pantai di pesisir laut se- latan. Jumlah siswanya pun tidak lebih dari jumlah jumlah jari kita. Memang di sekitar sekolahku itu hanya ada sekitar 50 kepala keluarga yang sebagian besar pendatang yang bekerja di perkebunan PTP. Namun hari ini aku melihat suasana yang berbeda. Sekolah kecil ini ter- lihat tertata rapi. Memasuki halaman disambut dengan pagar kayu yang berjajar 33

rapi disepanjang kanan kiri jalan. Tumbuhan peneduh tumbuh dengan subur. Di sepanjang teras kelas di hiasi bunga anggrek berbagai warna, terawat dengan baik. Kebun singkong yang dulu ada disamping sekolah sekarang diganti dengan Green House. Ada tower Panel Surya di sampimg Green House. Aku tertegun sejenak. Kemudian secara tiba-tiba Pak Andre mendatangiku. Pak Andre adalah guru IPA yang telaten dan semangat membimbing kami. Keriputnya kini semakin banyak, rambutnyapun semakin memutih, Namun semangat dan jiwanya tak pernah kelihatan tua. Setelah saling bertukar kabar, akupun diantarkanya ke ru- ang kepala sekolah yang juga berperan sebagai Ruang TU. “ Ini adalah kenangan terindahmu bersama gengmu saat itu, ya, Sha” “ Ya Allah, Bapak, kok masih ingat sekali Pak. “ “ Sha, studimu sampai mana?, bagaimana kabar Rangga, Dito, dan Yudhistira?” “ Mereka baik-baik, Pak.” Jawabku singkat. Aku memperhatikan piala yang tadi ditunjukan Pak Andre padaku. JUARA 1 BEREGU SSC TAHUN 2015. Aku jadi teringat bagaimana hal itu terjdi. Se- buah perjuangan tanpa menyerah melawan kemustahilan. Namaku Anastasia Rinduasih. Teman-teman dan guru memanggilku Sha. Pak Andre yang guru IPA, memaknai namaku dengan Binomial Nomenclature tiga bahasa. Binomial Nomenclature merujuk pada penamaan ilmiah mahluk hidup, yang terdiri dari dua kata. Namun dalam namaku dua kata itu ada unsur 3 bahasa, yaitu Anestesi dari bahasa Yunani yang berarti penghilang rasa sakit atau pembiusan, Rindu berasal dari bahasa Indonesia yang berarti ingin bertemu dan Asih berasal dari bahasa Jawa yang berarti cinta. Pak Andre mengartikan sebagai rindu membius cinta. Tetapi aku cuek saja menanggapi arti namaku saat itu. Aku bermukim di sini, bersama orang tuaku yang bekerja di perkebunan. Seperti halnya Rangga dan Dito. Kami bertiga berteman sejak kecil, usia kami sepantaran. Kamipun selalu sekelas sejak SD. Kebersamaan kami bertiga dengan Pak Andre sudah mulai sejak kelas 6 SD. Saat itu Pak Andre mengajak 34

kami bertiga untuk ikut pembinaan Sains anak-anak SMP. Aku menyaksikan sendiri kegigihan Pak Andre untuk memajukan sekoah ini. Mengajak anak-anak untuk berprestasi. Namun usahanya belum membawa hasil. Setiap kami ikut suatu kompetisi selalu saja kami kalah. Sampai-sampai ada yang menjuluki kami sebagai tim “Kalah Biasa, Menang Gak Pernah“. Namun demikian Pak Andre sebagai pembina tak pernah putus asa, selalu memberi semangat pada kami. “Kesabaran, keteguhan hati, dan kerja keras adalah kombinasi mutlak menuju kesuksesan”. Kata Pak Andre. “Melangkahlah dengan kepala tegak menuju impianmu!. Raihlah cita- citamu. Tidak ada yang tidak mungkin, selalu ada jalan kemanapun. Kalau kita memiliki keinginan berarti kita memiliki kekayaan. Hampir tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sesuatu itu mustahil. Kesuksesan itu milik mereka yang tidak takut gagal” Kata Pak Andre dengan nada berapi-api. Kamipun menjadi pribadi yang memiliki karakter pantang menyerah dan disiplin. Dengan semua keterbatasan yang ada kami berusaha sekuat tenaga untuk meraih impian.Karena akses internet di tempat kami tidak ada maka kami bertiga berbagi tugas. Aku dan Dito rela bekerja paruh waktu di suatu swalayan agar dapat mendownload dengan mudah materi materi yang kami butuhkan. Se- mentara Rangga ditugasi untuk bekerja sebagai pembajong semangka, yaitu kerja borongan untuk mengangkut semangka dari sawah menuju tempat pen- imbangan. Uang hasil kerja kami di kumpulkan untuk ongkos print out materi dan soal-soal sains. Selanjutnya kami bertiga mendiskusikan materi dan soal yang belum dipahami bersama Pak Andre. Ini pula yang pada akhirnya membawa kami lolos dari babak penyisihan pada kompetisi sains di SMA ternama, dan ber- hak maju ke babak Final yang akan di laksanakan dua minggu kemudian. Namun semangat dan kerja keras kami hampir sia-sia, ketika menjelang putaran final, tiba-tiba Rangga menunjukkan sikap yang aneh terutama kepa- daku. Dia menjadi canggung kepadaku Saat kami bertemu menjadi tidak banyak bicara, hanya diam dan membisu. Aku bingung jadinya. .Akupun mulai berusaha mencari sebab dan alasan mengapa Rangga menjadi seperti itu. 35

Rangga memiliki postur tubuh yang lebih besar dibanding dengan teman sebayanya. Ia terlihat lebih dewasa dari usiannya. Mungkin karena ia anak per- tama yang sudah menjadi tulang punggung keluarganya semenjak ditinggal ayahnya dua tahun yang lalu, kini Rangga tinggal bersama ibunya dan dua adiknya yang masih kecil. Aku kembali mengingat, apa permasalahanku dengan Rangga hingga sikapnya seperti ini padaku. Tetap saja aku belum bisa menemukan jawabannya. Suasana belakang sekolah tampak sepi. Ada bangku kosong di belakang kelas. Aku yang sedari tadi duduk di sini tak menemukan siapapun. Pak Kebun yang biasanya membuang sampah di sini juga tidak terlihat. Hanya kepulan asap kecil keluar dari tumpukan sampah yang dibakar di sudut pagar.Tiba-tiba ada suara jejak kaki mendekatiku. Akupun menoleh. “Sha… Kamu dicari Bu Citra di ruang BK.” Yudhistira memberi informasi padaku. “Ada masalah apa Dhith?” “Aku juga tidak tahu Sha, ayo yang penting sekarang kita ke sana!” Seru Yudhistira kepadaku dan tanpa pikir panjang aku segera mengikuti langkahnya. Dia adalah anak pindahan dari luar kota. Ayahnya adalah sinder di perkebunan ini. Akhir-akkhir ini aku sering bersama dengan Yudhistira, banyak hal yang ditan- yakan Yudhistira kepadaku tentang sekolah ini, daerah ini dan kultur masyarakat di sini. Sesampai di ruang BK aku segera menemui Bu Citra. Kami hanya empat mata dengan Bu Citra di ruang itu.. Hatiku dag dig dug juga. Sambil tetap mikir ada masalah apa gerangan. Namun bahasa tubuh Bu Citra tidak menunjukkan kemarahan, malah ter- lihat tersenyum yang ditahan dari bibir beliau. Pipinya yang lesung pipit tambah kelihatan. “Sha,ini tadi ada wali murid yang datang ke Bu Citra. Beliau bercerita bahwa akhir-akhir ini anaknya sering melamun dan menyendiri di kamarnya. Ia menjadi tidak konsentrasi saat bekerja.” Kata Bu Citra. Aku masih belum paham maksud perkataan Bu Citra. 36

“ini Sha, dari ibunya Rangga”. Bu Citra menyodorkan secarik kertas yang masih terlipat rapi kepadaku. Aku segera menerimanya, karena penasaran apa isi tulisan dalam kertas itu dan segera kubuka kertasnya. Aku hafal, ini tulisan tangan Rangga. .“Anastasia Rinduasih, ternyata benar apa kata Pak Andre. Namanya menc- erminkan dirinya. Rinduku padanya membiusku. Sejak kelas 7 aku sebenarnya sudah perhatian pada dia. Ketika kami satu tim di kompetisi sains, aku sangat bersemangat. Aku sering curipandang ke paras cantik Anastasia. Jujur aku juga mulai menyukai dia. Senyum manisnya yang mengembang saat berpapasan denganku menjadi sesuatu yang tak dapat kulupakan. Menjadi obat hatiku. Perawakan Anastasia ramping, tergolong agak kecil di banding rata-rata tinggi temanku. Namun tampak menarik hatiku. Matanya bulat, dengan bulu mata yang lentik. Sesekali aku melihat ke arahnya, kadang pandangan kami berpapasan, Dia tersenyum manis sekali. Ada rasa aneh di dadaku, jantungku berdebar. Hidungnya kecil sedikit mancung. Bibirnya manis, terlihat seperti buah jambu yang kemerahan. Sering diberi glossy, pembasah bibir. Dagunya sedikit belah. Mungkin karena aku sering memandanginya, hingga lekat dalam pikiranku. Aku tidak bisa melupakannya. Namun aku tidak mengatakan perasaanku ini pada siapapun, termasuk padanya. Aku terkadang sangat rindu dengannya. Untuk itu aku akan rela berangkat lebih pagi untuk sekadar duduk di tempat yang biasa di lewati Anastasia. Menunggu dia lewat. Menunggu senyum manisnya untuk mengobati rasa rinduku. Pada saat pelajaran olah raga aku sengaja berbaris dekat, hingga tidak sengaja tanganku menyentuh tangannya. Dia menoleh kepadaku dan tersenyum. Kebahagiaan yang tak ternilai. Saat ada kesempatan membentuk kelompok kerja aku juga ser- ing mencari kesempatan untuk bisa sekelompok dengannya. Begitulah aku ser- ing mencari cara untuk dapat sekedar bisa dekat dengannya. Namun sekarang 37

berbeda, setelah kedatangan anak baru itu, yang katanya bernama Yudhistira, menjadikan Anastasia seperti semakin dekat dengannya. Aku tidak rela melihatnya. Jangan dibanding-bandingkan aku dengan Yudhistira, aku memang hanya seperti ini. Anak seorang janda. Sedangkan Yudhistira anak seorang sinder perkebunan yang kaya. Namun aku berharap engkau mengerti bahwa di hati ini masih ada kamu. Rindu ini membiusku. Semerbak harum Bunga Robusta memberiku semangat untuk menantimu.” Aku segera menutup kertas itu. Ada rasa malu, marah dan sebagainya berkecamuk di hatiku. Sekarang aku sudah tahu jawabanya tentang sikap Rangga akhir-akhir ini. Tak terasa pipiku panas, air mataku mulai berlinang. Aku menatap wajah Bu Citra. Segera Bu Citra menghampiriku dan mengusap air mataku. “Tak perlu menangis Sha, kamu harus bersikap lebih dewasa, sekarang kamu sudah kelas 9 dan sebentar lagi SMA. Permasalahan ini akan selalu mun- cul pada anak usia pubertas. Ini tantangannya, kalau kamu bisa mengatasinya Insyaallah kamu akan sukses meraih cita-citamu. Jangan beritahu siapa-siapa, termasuk Rangga. Bersikaplah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Besok biar di jelaskan oleh Pak Andre, persiapan untuk menghadapi Final SSC minggu de- pan,” Pesan Bu Citra kepadaku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala, dan segera keluar dari ruang BK. Besoknya kami bertiga diminta ke ruangan Pak Andre untuk pembinaan terakhir sebelum menghadapi Final SSC. “Keberhasilan tidak akan tercapai tanpa di barengi dengan Fokus, dedi- kasi yang tinggi dan disiplin. Kamu semua itu ibarat seperti bunga robusta yang masih butuh proses panjang untuk menjadi buah kopi yang baik. Kita tinggal se- langkah lagi. Ayo berusaha lebih keras!” Kata Pak Andre. “O, iya, ada tawaran dari ayah Yudhistira untuk bisa menginap di ru- mahnya yang di kota. Kebetulan rumahnya dekat dengan SMA tempat Kompetisi Sains. Jadi kita berangkat sehari sebelum pelaksanaan dan menginap semalam di sana. Tidak usah sungkan, Yudhistira itu masih saudarasepupu dengan Ana- stasia. Betul kan Sha?”. 38

‘”Benar Pak, AyahYudhistira itu adik Ibu saya”. jawabku dengan suara agak keras. Mendengar jawaban itu, wajah Rangga yang semula muram menjadi berbinar dan penuh semangat. Semangat pantang menyerah untuk meraih im- pian. Terpaan angin semilir yang menerobos melalui jendela ruang kepala sekolah membawa harum wangi bunga kopi robusta, membuyarkan lamunanku. “Saya penyelesaian tugas akhir di Kedokteran UI Pak, Rangga di BUMN Jakarta, dan Yudhistira Baru lulus dari IPB, Sedangkan Dito, saya belum tahu kabarnya. Katanya dulu sekolah di Bantul.” Aku segera menjawab pertanyaan Pak Andre yang sedari tadi belum terjawab. Setelah dari sini, aku putuskan men- cari mereka untuk mengembalikan semangat masa remajaku. Apapun yang ter- jadi. PROFIL PENULIS Agus Yudiarto, S.Pd.,M.Si., lahir di Jember, 28 Juni 1972 adalah lulusan SMA Negeri Ambulu Jurusan A1 pada tahun 1991 yang aktif menulis di majalah KHARISMA SMAN Am- bulu. Memperoleh gelar Sarjana di IKIP Malang pada 1996 dan meraih gelar Magister Sains (M.Si) di Universitas Negeri Jember pada tahun 2014. Penulis Legenda Rakyat Jember yaitu Asal – usul Pantai Watu Ulo yang berhasil dimuat di majalah “JAYA BAYA” Malang angkatan 1993 ini telah menuliskan beberapa buku solo yaitu “Bersahabat dengan Stainernema”, ”Istana 9 Rasuk”, “Mahir IPA dengan BURAMATESI”,dan ”SUPERTRIK AKM”. Penulis bisa dihubungi melalui email: [email protected] atau wa 085258329370. 39

SEGENGGAM HARAPAN ARMAN oleh : Puji Fitriyanti,S.Pd SMPN 2 mayang Sudah hampir satu jam mobil Toyota Avanza hitam milik Arman berputar- putar menyusuri sebuah desa yang sudah belasan tahun ia tinggalkan. Lebatnya curah hujan diringi suara petir tak menyurutkan niat pemuda berkulit sawo matang itu mencari satu sosok yang hampir lima belas tahun tidak pernah berjumpa “ Mas Arman, sepertinya hujan akan turun semakin deras. Apa tidak sebaiknya kita lanjutkan besok saja nggih mas pencariannya?” Ucap Pak Parto , sopir pribadi Arman.” Sejenak Arman mengalihkan pandangannya ke arah langit. Tampak jelas awan memang semakin gelap. Suara petir juga masih terus menggelegar.Dahi Arman berkerut, memancarkan rona kebimbangan dan kegelisahan. “Sebentar lagi Pak, besok aku harus kembali ke Jakarta. Aku ingin sekali bertemu dengan Bu Wita sebelum pulang.” Arman berujar sambil menatap sebuah lahan kosong. Arman datang jauh-jauh dari Jakarta kembali ke kampung halaman memang khusus mencari Bu Wita, wali kelas Arman ketika ia masih duduk di kelas satu SMP. Namun ketika ia sampai ke alamat yang ia cari, rumah Bu Wita sudah rata dengan tanah. Arman sudah mencoba bertanya pada penduduk di sekitar rumah Bu Wita serta mendatangi sekolah SMPnya dulu tetapi hasilnya nihil. Guru - guru yang ia temui sebagian besar adalah guru baru yang tidak mengenal Bu Wita. Sementara Bu Wita sendiri tampaknya telah lama mutasi dari sekolah tersebut. “Bu Wita, aku harus bertemu denganmu. Aku harus menemukanmu.” Arman berbicara sendiri sambil melihat foto Bu Wita. Arman memang menyimpan foto Bu Wita di dalam dompetnya. Sebuah foto yang dulu sempat ia minta ke Bu Wita menjelang detik-detik kelulusannya. 40

“Pak, coba jalan ke arah warung itu. Disana ada banyak orang. Mungkin salah satu dari mereka bisa memberikan petunjuk keberadaan Bu Wita.” Arman menunjuk sebuah warteg di tepi jalan. Arman mengambil payung dan turun dari mobilnya . Arman berinisiasi membeli makanan sambil bertanya tentang keberadaan Bu Wita. Setelah beberapa saat Arman kembali ke Mobilnya. Melihat raut kekecewaan pada wajah Arman, Pak Parto bisa menebak bahwa Arman masih belum mendapat informasi yang ia inginkan. “Pak, kita kembali ke hotel saja sekarang.” Cetus Arman yang diikuti anggukan Pak Parto. … Arman merebahkan tubuhnya diatas ranjang berbalut sprei warna putih. Setelah seharian mencari keberadaan Bu Wita membuatnya cukup Lelah. Matanya memandangi sebuah amplop putih yang ingin sekali ia berikan pada sosok yang sangat berarti untuknya tersebut. Amplop tersebut masih tertutup dan tersegel rapi. Arman sengaja tidak membuka gaji pertamanya . Ia sangat berharap bahwa hari ini bisa memberikannya pada Bu Wita. Setetes butiran bening jatuh dari pelupuk mata Arman. Memorinya terbawa ke lima belas tahun lalu. Masih teringat sebuah kenangan bagaimana kala itu Bu Wita berjuang membujuknya agar tidak putus sekolah dan membangkitkan semangat hidupnya yang sudah hancur pasca Arman harus kehilangan seluruh anggota keluarganya dalam sebuah kecelakaan. Arman yang saat itu masih berusia empat belas tahun, adalah tipe anak yang keras kepala. Niat baik Bu Wita kala itu seringkali dianggap sebagai angin lalu oleh nya “Cukup bu.Engkau hanya wali kelasku. Engkau bukan Ibuku. Engkau tidak berhak mengatur hidupku. Tolong jangan pernah datang lagi kerumahku. Aku sudah putuskan untuk berhenti sekolah. Titik.” Ucap Arman kala itu. Arman sengaja berkata-kata tajam agar Bu Wita berhenti mengunjunginya di rumah. Sepenggal kalimat tersebut selalu terngiang di telinga Arman. Meskipun sudah lima belas tahun berlalu, Arman tidak pernah melupakan moment tersebut. 41

Sebuah moment yang kalau itu sempat membuat Bu Wita tersinggung dan menangis. Arman berpikir bahwa Bu Wita pasti akan menyerah dan berhenti berkunjung ke rumahnya untuk membujuk Arman agar mau sekolah. Namun dugan tersebut ternyata keliru. Bukannya menyerah, Bu Wita malah semakin sering datang ke rumah Arman sambil membawa makanan untuk Arman. Itulah yang membuat sosok Bu Wita sangat istimewa di hati Arman. Kesabarannya membuat Arman akhirnya luluh dan mau kembali ke sekolah lagi. Sikap Arman yang arogan malah dibalas seribu kebaikan oleh Bu Wita. Bu Wita berhasil menjadi sossok panutan untuk Arman. Arman tidak mungkin bisa berhasil menjadi seorang dokter jika saja Arman tetap teguh pada pendirinnya untuk putus sekolah. … Suasana di bandara pagi ini tiak begitu ramai. Arman dan Pak Parto sudah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Arman adalah dokter muda yang memang memiliki banyak kesibukan. Sehingga Arman baru bisa kembali ke desa kelahirannya setelah 15 tanhun. “Permisi, Pak. Bisa minta KTP Nya “ Ujar salah satu petugas di Bandara. “Tentu” jawab Arman sambil menyodorkan KTP miiknya. Petugas itu memperhatikan wajah Arman dengan seksama seperti sedang mencoba mengingat sesuatu. “Arman. Apakah kamu Arman Wijaya temanku di SMP?”tanya petugas Bandara itu. “Bu…di ? Jadi kamu adalah Budi temanku” Arman mencoba meyakinkan diri. “Iya betul.Aku Budi.” Kedua sahabat lama itu melepas kerinduan. Mereka tidak menyangka akan bertemu kembali setelah lima belas tahun berlalu. “Budi, aku sebenarnmya kemari untuk mencari Bu Wita. Kamu masih ingat Bu Wita kan Bud?”tanya Arman Ekspresi Budi terlihat berubah. Ia mengambil napas panjang 42

“Tentu saja, Man. Siapa sih yang nggak kenal Bu Wita. Wali kelas kita yang sangat sabar dan penyayang.” Akhirnya Budi mengeluarkan sebaris kalimat yang membuat Arman lega. “Bud, apakah kamu tahu dimana alamat Bu Wita sekarang? tolong antarkan aku kesana. Penerbanganku masih dua jam lagi. Aku mohon, Bud. “Budi terlihat bingung. Sepertinya Budi ingin berkata sesuatu tetapi sangat sulit untuk mengungkapkan. “Bud , aku mohon. Antarkan aku. “pinta Arman. “Tapi……” Budi sedikit ragu. “Baiklah Man, aku mau mintatolong teman untuk menggantikan tugasku dulu. “Alhamdulillah. Arman spontan berteriak dan memeluk Budi. Arman sangat Bahagia pada akhirnya ia bisa bertemu Bu Wita sebelum kembaki ke Jakarta. Arman sangat Bahagia. Ia tidak menyangka bahwa sebentar lagi akan bertemu dengan orang yang sangat ia rindukan. Beberapa tetes butiran bening jatuh dari pelupuk matanya. Pikirannya melayang jauh. Membayangkan suasana haru saat pertemuan dengan bu Wita nanti. “Man, Ayo kita berangkat.” Budi menepuk Pundak Arman dari belakang. Menyadarkan Arman dari lamunannya. Kedua sahabat lama itu akhirnya masuk kedalam sebuah taksi yang siap mengantarkan mereka ke arah tujuan yang diminta Arman. Sepanjang perjalanan Arman begitu ceria. Berbeda dengan Budi yang sepertinya tampak tertekan. “Bud, kenapa kamu? Arman menatap ke arah mata Budi , berusaha menyelidik apa yang terjadi. “Oh, nggak papa. Nggak masalah kok. Budi berusaha tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Budi mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia menghapus air matanya yang jatuh agar tidak terlihat oleh Arman. Setelah menempuh 43

perjalanan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya taksi yang membawa mereka itu pun berhenti di depan pelataran tempat pemakaman umum. “Pak. Mengapa berhenti? Tanya Arman pada sopir. Budi mengambil napas panjang. Ia meraih tangan Arman dan menggenggamnya. “Man, maafkan aku. Kita memang sudah sampai di tempat yang kamu inginkan. Arman masih bingung denga apa yang dikatakan Budi. “Apa maksudmu Bud? “ suasana hati Arman mulai tidak nyaman. “Man, disinilah tempat tinggal Bu Wita sejak satu tahun yang lalu. Beliau meninggal karena sakit. Arman menyandarkan tubuhnya. Tubuhnya lemas lunglai. Dunia seakan terasa gelap. Kata – kata yang diucapkan Budi telah meluluh lantakkan semua harapan yang sedari tadi ia bangun. Budi memeluk Arman . Ia berharap pelukannya bisa sedikit mengurangi rasa sedih yang Arman rasakan saat ini. Hampir lima belas menit Arman masih terpaku dalam diam. Ia tidak menyangka bahwa Bu Wita akan pergi tanpa pamit . Arman berusaha mengontrol emosi yang bergejolak dalam dirinya. “Bu Wita..,” Arman berteriak sambil menagis tersedu-sedu di pelukan Budi. “Menangislah, Man. tumpahkan segala yang kau rasakan. Jika kau sudah tenang, ayo kita turun. Bu Wita pasti senang kau datang ke sini . Arman memeluk Budi semakin erat. Ia begitu kehilangan pada sosok yang sudah ia anggap seperti ibu tersebut. Sementara Budi juga menitikkan air mata ikut merasakan duka yang dirasakan oleh Arman. Arman mengambil nafas panjang. Bersama dengan Budi ia turun dari mobil. Langkah keduanya terhenti pada sebuah batu nisan hitam bertuliskan sebuah nama “MARWITA LESTARI” 44

Pandangan Arman masih tertuju pada batu nisan itu. Perlahan tangan Arman mengusapnya, membersihkan debu yang menempelinya.Di dalm hatinya ia bergumam, seolah sedang berbincang dengan guru tercintanya tersebut. Bu, apakah ibu masih mengingatku? Aku Arman. Murid ibu lima belas tahun yang sering merepotkan ibu. Mungkin ribuan kata terima kasih yang aku ucapkan tidak akan pernah bisa membalas apa yang sudah ibu lakukan untukku. Jika bukan karena Ibu, mungkin aku tidak akan bisa seperti ini sekarang. Bahkan mungkin saat ini aku akan menjadi preman jalanan. Bu Wita, saat ini aku sudah berhasil menjadi dokter. Aku yakin Bu Wita pasti bangga,karena Bu Wita lah yang meyakinkan aku bahwa aku bisa mencapai cita- citaku jika aku mau berusaha. Aku mengikuti saran Ibu Untuk tidak menyerah sampai akhirnya aku berhasil mendapatkan beasiswa . Bu Wita, entah apa jadinya aku sekarang jikalau saat itu aku tidak bisa bangkit dan menuruti emosiku untuk tidak melanjutkan sekolah dan larut dalam kesedihan. Tiada bosannya Ibu ke rumah menghibur dan menghidupkan semangat hidupku yang saat itu sudah hampir padam Bagiku, Ibu laksana Peri. Motivasi yang Ibu berikan sangat luar biasa. Kata -kata lembutmu masih selalu terngiang di telingaku. Maafkan aku Bu, aku terlambat datang sehingga aku hanya bisa bertemu dengan nisanmu. Tapi aku yakin bahwa Ibu saat ini sudah berbahagia di surga. Hanya Tuhanlah yang bisa membalas semua kebaikan yang sudah Ibu Tebarkan. Sejenak Arman melihat ke langit. Entah karena kerinduannya yang begitu mendalam, samar-samar Arman seperti melihat Bu Wita yang tersenyum ke arahnya. Arman yakin bahwa Bu Wita melihat dan mendengarnya saat ini. Rasa sedih yang dirasakan Arman berganti menjadi sebuah rasa keikhlasan. Terimakasih Guruku. Hanya doa yang saat ini aku bisa panjatkan untukmu. 45

Profil Penulis PUJI FITRIYANTI dilahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur pada 07 Juli 1984. Ia bertugas sebagai guru Bimbingan Konseling di kecamatan Mayang Kabupaten Jember Jawa Timur. Ia mulai aktif menjadi penulis di akhir tahun 2019.Buku pertamanya terbit pada bulan Juni 2020.Sampai dengan sekarang,ia sudah menerbitkan beberapa buku,antara lain satu buku pelajaran,dua buku digital interaktif, tiga buah novel dan enam buku antologi. Saat ini ia terpilih menjadi salah guru penggerak dari Kabupaten Jember Jawa Timur pada Angkatan 3. Pembaca bisa berinteraksi melalui Whatsapp: 081937581723. Email : [email protected] 46

SEBUAH JANJI Oleh : Ni’matul Khoiroh, M.Pd SMPN 3 Puger Suasana pagi ini tidak berbeda dengan hari kemarin. Kabut tebal mengge- layut manja di pucuk reranting pohon sengon seolah enggan beranjak pergi. Sang Bagaskara pun, masih malu menampakkan dirinya. Tetesan embun pagi nembasahi daun-daun dan jatuh ke tanah. Jaket tebal, sal tidak pernah keting- galan untuk sedikit menghangatkan badan. Tampak Bu Afid sedang terburu-buru memarkir sepeda motornya karena jam ditangannya sudah menunjukkan pukul 06.35 wib. Dia tidak mau datang ter- lambat untuk menyambut kedatangan anak-anak kelas 1 sampai kelas 6. Satu persatu anak-anak sampai di pintu gerbang. Melihat Bu Afid sudah berdiri di de- pan gerbang dengan senyum yang lebar, anak-anak segera turun dari sepeda ontelnya kemudian bersalaman dan mencium tangan Bu Afid dengan takzim. Bu Afid gelisah, bolak balik dia menatap jam tangannya. Ada kekawatiran di matanya. Sampai bel masuk berbunyi, Bu Afid belum bergegas meninggalkan pintu gerbang. Acara pembiasaan pagi dimulai Bu Afid masih berdiri mematung di tempat yang sama. Terlihat anak-anak kelas 1 sampai kelas 6 berbaris rapi setiap kelas. Tampak ketua kelas menyiapkan dengan lantang. “Siap grak. Lencang depan grak. Tegak grak, dua kali istirahat di tempat grak!” Bayu menyiapkan seluruh kelas. Anak-anak kelas 1 sampai kelas 6 segera duduk bersila tetap dibarisannya. Tidak berapa lama lantunan salawat nariyah, Asmaul Husna, ayat-ayat Al-Qur’an terdengar menggema di seluruh halaman sekolahnya. Tampak anak-anak ada yang khusu’ membaca, ada juga yang sam- bil bermain kerikil di sebelah paving tempat mereka duduk. “Menunggu siapa, Bu? Dari tadi tampak gelisah?” tanya Pak Wahyu sam- bil menghampiri Bu Afid yang masih berdiri di pintu gerbang. “Gak ada Pak,” Bu Afid menjawab dengan menundukkan mukanya seolah dia tidak ingin kegelisahan di matanya terbaca oleh orang lain. “Paling menunggu Slamet? Kebiasaan anak itu selalu telat. Paling juga dia mbangkong.” 47

Bu Afid tidak menanggapi pernyataan Pak Wahyu. Matanya terus menatap ke jalan raya. “Kemarin Slamet sudah janji tidak akan terlambat lagi, eh sekarang masih diulang. Mau jadi apa anak ini, kok malas-malasan!. Dasar anak pe” “Pengusaha Pak, amin,” potong Bu Afid sebelum Pak Wahyu me- nyelesaikan kalimatnya. “Ucapan adalah doa, tidak seharusnya menghakimi Slamet seperti itu. Kita belum tahu apa yang membuatnya selalu terlambat datang ke sekolah!” ucap Bu Afid dengan suara sedikit bergetar menahan amarah. Dia tidak terima, anak didiknya dijelek-jelekkan oleh Pak Wahyu. Mata Bu Afid berbinar bahagia, dari ujung perempatan jalan terlihat Slamet sedang mengayuh sepeda. Nafasnya sedikit tersengal-sengal. Melihat Bu Afid dan Pak Wahyu berdiri di depan pintu gerbang, tampak Slamet ragu-ragu untuk masuk halaman. Dia menatap Bu Afid seolah meminta izin. Bu Afid tersenyum dan mengangguk menyilakan dia masuk. “Ayo masuk. Segera ikut pembiasaan pagi,” ucap Bu Afid lembut. Semen- tara Pak Wahyu hanya geleng-geleng, dalam hatinya tidak setuju dengan sikap Bu Afid yang memanjakan Slamet. Setelah bel pulang, Bu Afid memanggil Slamet dan mengajaknya ngobrol di gazebo taman sekolah. “Kamu kemarin sudah janji untuk tidak terlambat, kenapa tadi masih ter- lambat?” tanya Bu Afid penuh kasih. “Maaf Bu. Besok saya janji tidak terlambat lagi.” “Kamu ada masalah apa di rumah? Apakah tidak ada yang mem- bangunkan pagi?” “Saya saja yang malas bangun, saya minta maaf Bu. Besok saya tidak akan terlambat lagi.” Bu Afid tersenyum dan menautkan jari kelingkingnya dengan jari keling- king Slamet. “Janji,” ucap Slamet sambil tersenyum. *** 48

Pulang sekolah, Slamet segera mengganti baju seragamnya. Wajahnya tampak lelah, namun dia harus tetap semangat demi bapaknya. Cacing di perut- nya juga sudah mulai bernyanyi, segera dia memasak nasi dan membuat sayur kelor dan mengukus tahu. Setelah menyuapi Bapaknya yang sakit stroke, Slamet segera mengganti pakaiannya dengan kaos warna oranye bertuliskan Juru Parkir. “Pak, Slamet kerja dulu ya. Bapak jaga diri baik-baik.” Slamet mencium tangan Bapaknya. Pak Karjo mengangguk sambil meneteskan air mata. Hatinya tidak tega, anak semata wayangnya yang masih 11 tahun harus bekerja mencari nafkah. Slamet menggantikan posisinya. Mengambil alih tugasnya mencari nafkah. Istrinya meninggal ketika melahirkan Slamet. Slamet piatu sejak lahir, dia tidak bisa membayangkan ketika Tuhan harus memanggilnya menyusul istri tercintanya. “Ya Allah berikan pertolonganMu, berikan saya kesembuhan, kesehatan. Saya ingin memberikan Slamet kebahagiaan,” Pak Karjo merapal doa dengan segala kerendahan hatinya. Saat ini dia pada puncak tawakkal, dia tidak memiliki siapapun kecuali Slamet anaknya. Slamet bekerja sebagai juru parkir di warnet, dia mulai bekerja sore hari sampai subuh. Setelah azan Subuh dia pulang ke rumah untuk memasak, mecuci baju dan menyuapi Bapaknya. Inilah rutinitas Slamet hampir satu bulan ini setelah Bapaknya sakit. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.20, wajah Slamet beru- bah panik. Dia sudah berjanji untuk tidak terlambat, sebuah janji yang harus dia tepati. “Maafkan Bapak Le, karena Bapak sakit kamu tiap hari harus terlambat sekolah.” Pak Karjo menyeka air matanya. Stroke membuatnya tidak bisa ber- jalan, tubuhnya sebelah kanan masih sulit digerakkan. “Mboten Bapak tidak salah. Kita memang harus sabar menghadapi ujian ini. Slamet berangkat dulu Pak. Assalamualikum.” Slamet mencium tangan Bapaknya dan langsung menyambar sepeda ontelnya yang dia letakkan di dekat 49

dapur bambunya. Dia segera membuka pintu dan mengeluarkan sepeda ontel- nya. Slamet sangat terkejut melihat Bu Afid dan Pak Wahyu sudah ada di de- pan rumahnya. “Maafkan Slamet Bu, Pak. Belum bisa menepati janji. Slamet janji besok tidak akan terlambat lagi,” ucapnya sambil menundukkan muka. Dia tidak berani menatap Bu Afid, apalagi Pak Wahyu yang sangat disiplin dan memarahinya jika dia terlambat. Slamet lebih terkejut lagi ketika Pak Wahyu memeluknya. “Kamu yang sabar ya. Maafkan Pak Wahyu yang selama ini keras ke kamu. Insyaallah saya akan bantu biaya pengobatan Bapakmu. Kamu ikut saya aja. Membantu memberi makan sapi sepulang sekolah. Malamnya kamu bisa istirahat dan bisa belajar.” Pak Wahyu menawarkan bantuannya. Mendengar perkataan Pak Wahyu, Slamet langsung melakukan sujud syukur. “Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Engkau memberikan pertolongan dari tangan Pak Wahyu.” Bu Afid yang melihatnya ikut meneteskan air mata. Dia tidak menyangka Slamet, anak kecil itu harus bekerja untuk menopang hidup dan merawat bapak- nya yang sakit. Slamet kecil membuktikan dia mampu melaksanakan birrul wali- dain seperti yang dia ajarkan selama ini. Berbakti pada bapaknya dengan segala pengorbanannya. Catatan : Mboten : Tidak Birrul Walidain : Berbakti pada kedua orang tua Mbangkong : Bangun Kesiangan 50


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook