NETIQUETTE BERMEDIA SOSIAL DI KALANGAN REMAJA (Studi Kualitatif Mengenai Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform LINE dalam Konteks Sexting) SKRIPSI TENGKU ADRIAN 140904204 Program Studi Jurnalistik DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara
NETIQUETTE BERMEDIA SOSIAL DI KALANGAN REMAJA (Studi Kualitatif Mengenai Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform Line dalam Konteks Sexting) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara TENGKU ADRIAN 140904204 Program Studi Jurnalistik DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Tengku Adrian NIM : 140904204 Program Studi : Ilmu Komunikasi Judul : Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja (Studi Kualitatif Mengenai Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform LINE dalam Konteks Sexting) Dosen Pembimbing Medan, Agustus 2018 Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Yovita S. Sitepu S.Sos, M.Si Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D 198011072006042002 196505241989032001 Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara Dr. Muryanto Amin M.Si 197409302005011002 Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh: Nama : Tengku Adrian NIM : 140904204 Program Studi : Ilmu Komuikasi Judul Skripsi : Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja (Studi Kualitatif Mengenai Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform LINE dalam Konteks Sexting) Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Majelis Penguji Ketua Penguji : () Penguji : Yovita S. Sitepu, S.Sos, M.Si ( ) 198011072006042002 ) Penguji Utama : ( Ditetapkan di : Medan Tanggal : Agustus 2018 Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber yang dikutip maupun diruju telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Nama : Tengku Adrian NIM : 140904204 Tanda Tangan : Tanggal : Agustus 2018 Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tengku Adrian NIM : 140904204 Program Studi : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-ekslusive Royalti-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja (Studi Kualitatif Mengenai Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform LINE dalam Konteks Sexting) Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Medan Pada tanggal : Agustus 2018 Yang Menyatakan Tengku Adrian Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi dengan judul “Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Menyelesaikan skripsi ini tentunya merupakan hasil pembelajaran yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Peneliti banyak mendapat saran, bimbingan, dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat berguna bagi saya. Secara khusus saya ingin mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua peneliti, Ayahanda T. Tajrul Humaidi, S.H. dan Ibunda Effa Rahkmi Astuti serta kakak saya T. Yudi Astuti dan abang saya T. Indra Lesmana yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi peneliti. Ucapan terimakasih lainnya ingin saya sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Dr. Muryanto Amin M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si., Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi. 4. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos, MA selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi. 5. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si selaku dosen akademik dan dosen pembimbing yang telah sabar selama memberikan saya arahan, nasehat, dan bimbingan kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini. 6. Bapak selaku dosen pembanding dan penguji utama yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan bimbingan untuk melengkapi skripsi ini. Universitas Sumatera Utara
7. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah membimbing penulis selama perkuliahan di Program Studi Ilmu Komunikasi. 8. Laboraturium Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis mendapatkan ilmu yang bermanfaat. 9. Santika Heni yang telah memberikan semangat dan dukungan selama masa perkuliahan. 10. Teman-teman seperjuangan selama masa perkuliahan, Anggita Dwi Kesuma, Fildza Suryana, Tengku Alya, Rini Afrila, Natalia Christine, Friska Mariati, Anastasa Siahaan, Rachel Mia, Yessy Lovita, Jessica Stephani, Risnawin dan lain-lain. 11. Sahabat penulis, Nanda Rizki Fadhillah, Jerry Iwan, T.M. Irfan Hernadi, Sastra Ramanda, Roy Siallagan, Iam, Razzaq Ramly, Ricardo Purba, Jovie Samuel, Putra Simanjuntak, Hafiz Maksudi, Dinasty Permana dan kerabat tim Medanvidgram juga alumni futsal dan sepakbola YPSA yang senantiasa memberikan dukungan. 12. Seluruh teman-teman seperjuangan menuntut ilmu di Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2014. 13. Semua yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian pendidikan dan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis berharap semoga skripsi ini kelak dapat bermanfaat dan jika ada kesalahan penulis memohon maaf serta menerima kritik dan saran yang membangun. Medan, Agustus 2018 Penulis, Tengku Adrian Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Netiquette Bermedia Sosial di Kalangan Remaja pada Platform LINE dalam Konteks Sexting”. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perilaku bermedia sosial remaja dalam konteks sexting pada platform LINE dan menganalisis netiquette bermedia sosial dari remaja pengguna LINE. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, disertai dengan paradigma konstruktivisme. Peneliti menggunakan teknik analisis data. Teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian netiquette bermedia sosial di kalangan remaja, antara lain; teori komunikasi massa, teori literasi media, teori media baru, dan teori etika dalam media baru. Dari hasil analisis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa media sosial sudah menjadi kebutuhan pokok dari remaja dan minimnya pengetahuan mengenai sexting para remaja, menjadi hal yang wajar terjadi di media sosial jika dalam ruang-ruang tertentu. Pengaplikasian Netiquette dalam bermedia sosial pada remaja sudah berjalan dengan baik secara sadar dan tidak sadar, karena masih terdengar baru di kalangan remaja. Kata kunci: Netiquette, Remaja, Media Sosial, LINE, Sexting. Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT This research entitled \"Social Media Netiquette on Adult at LINE in Sexting Context\". The purpose of this research is to known the adult behavior on social media at LINE in sexting context and to analize the netiquette from adult LINE user. This research uses qualitative method, accompanied by constructivism paradigm. Researchers use data analysis techniques. Theories used as a reference in research social media netiquette on adult, among others; mass communication theory, media literacy theory, new media theory, and netiquette theory. From the results of data analysis in this study, it can be concluded that social media has been a basic needs for adult but the lack of knowledge from the adult about sexting, make it a normal things if it happened in a private space. Social media netiquette has been applicationed in a good way without realized, because it sounds for the adult. Keywords: Netiquette, Adult, Social Media, LINE, Sexting. Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................i LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.........................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. v KATA PENGANTAR ...................................................................................vi ABSTRAK ....................................................................................................viii DAFTAR ISI.................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah...................................................................................... 1 1.2 Fokus Masalah ........................................................................................ 11 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 12 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 12 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Paradigma dan Perspektif Penelitian .................................................... 13 2.1.2 Paradigma Konstruktivisme ........................................................ 14 2.2 Kajian Pustaka ...................................................................................... 15 2.2.1 Komunikasi Massa ...................................................................... 15 2.2.2 Literasi Media ............................................................................. 16 2.2.2.1 Literasi Media Massa ...................................................... 19 2.2.2.2 Literasi Media Digital ..................................................... 23 2.2.3 Media Baru (New Media)............................................................ 24 2.2.3.1 Internet............................................................................. 27 2.2.3.2 Sejarah Internet................................................................ 28 2.2.4 Media Sosial................................................................................ 29 2.2.5 LINE............................................................................................ 31 2.2.6 Pornografi.................................................................................... 33 2.2.6.1 Perkembangan Pornografi di Indonesia .......................... 35 2.2.6.2 Sexting............................................................................. 36 2.2.6.3 Prediksi Penyebab Sexting .............................................. 37 2.2.7 Etika ............................................................................................ 40 2.2.7.1 Definisi Etika................................................................... 44 2.2.7.2 Etika (Komunikasi) dalam Media Baru........................... 44 2.2.8 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 44 2.2.9 Masa Remaja ............................................................................... 44 2.2.9.1 Definisi Masa Remaja ..................................................... 44 2.2.9.2 Perkembangan Remaja .................................................... 45 2.2.9.3 Penalaran Moral Masa Remaja........................................ 47 2.3 Model Teoritik...................................................................................... 48 Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ................................................................................... 49 3.2 Objek Penelitian...................................................................................... 50 3.3 Subjek Penelitian .................................................................................... 50 3.4 Unit Analisis ........................................................................................... 50 3.5 Lokasi Penelitian..................................................................................... 51 3.6 Waktu Penelitian..................................................................................... 51 3.7 Teknik Pengumpulan Data...................................................................... 51 3.8 Teknik Analisis Data............................................................................... 53 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ........................................................................................................ 54 4.1.1 Proses Penelitian ......................................................................... 54 4.1.2 Deskripsi Informan...................................................................... 54 4.1.2.1 Informan 1 ....................................................................... 55 4.1.2.2 Informan 2 ....................................................................... 56 4.1.2.3 Informan 3 ....................................................................... 57 4.1.2.4 Informan 4 ....................................................................... 58 4.1.2.5 Informan 5 ....................................................................... 59 4.1.2.6 Informan 6 ....................................................................... 60 4.1.3 Penyajian Data............................................................................. 65 4.1.3.1 Media Sosial di Kalangan Remaja .................................. 65 4.1.3.2 LINE Sebagai Pemuas Kebutuhan Favorit...................... 67 4.1.3.3 Konten Pornografi yang Beredar di LINE ...................... 70 4.1.3.4 Pemahaman Tentang Sexting .......................................... 73 4.1.3.5 Netiket Bermedia Sosial.................................................. 77 4.1.3.6 Netiket Bermedia Sosial Sebagai Pembatas Berinternet . 78 4.1.3.7 Peran UU ITE dalam Media Sosial ................................. 81 4.1.3.8 Peran UU Pornografi dalam Mengurangi Sexting .......... 83 4.2 Pembahasan............................................................................................. 88 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ................................................................................................. 88 5.2 Saran ....................................................................................................... 89 DAFTAR REFERENSI ............................................................................... 90 LAMPIRAN Pedoman Wawancara Hasil Wawancara Biodata Peneliti Daftar Bimbingan Skripsi Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Mengirim, menerima, ataupun meneruskan sebuah pesan dalam bentuk teks, audio, visual dan audiovisual yang berunsur seksual kepada seseorang maupun khalayak ramai dalam sebuah platform media sosial manapun, melalui ponsel, komputer atau perangkat digital lainnya merupakan sebuah contoh kegiatan sexting, yang sangat tidak patut untuk di contoh dan ditiru. Penelitian terhadap sexting ini juga masih belum banyak ditemukan, namun secara sadar sudah banyak terjadi di lingkungan peneliti. Kegiatan sexting ini juga termasuk ke dalam sebuah kejahatan atau tindakan kriminal Cybersex di dunia maya. Cyber-sex merupakan cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan termasuk pada orang tua terhadap anaknya, yang di mana termasuk satu masalah dalam bidang kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sering diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cybersex. Kebijakan penegakan hukum pidana terhadap masalah kesusilaan sepertinya kurang mendapat prioritas, tidak seperti korupsi, narkoba serta terorisme. Padahal delik kesusilaan tersebut baik cybersex dan cyberporn sudah semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan bermunculan lebih kurang 1.000 situs-situs porno lokal di Indonesia (Arief, 2011: 41). Cyber sex yang terjadi dalam LINE Official Account biasa kita sebut dengan sexting ini, seperti yang dikatakan oleh Utama (2016: 135): “Sexting merupakan pengiriman, penerimaan, atau meneruskan pesan, foto, gambar dengan konten seksual melalui ponsel, komputer, atau perangkat digital lainnya. Banyak dari gambar-gambar ini didistribusikan dengan cepat melalui telepon seluler atau internet. Survey terbaru mengungkapkan bahwa 20% dari remaja telah mengirim foto atau video tentang dirinya ke media sosial. Beberapa remaja yang terlibat sexting telah diancam atau dipaksa tampil porno seperti telanjang atau setengah telanjang. Hal tersebut menimbulkan tekanan emosional dengan gangguan kesehatan mental lainnya.” Universitas Sumatera Utara
Sexting merupakan kata gabungan dari Sex dan Texting. Biasanya kegiatan ini dilakukan dengan mengirimkan gambar-gambar terkait seks kepada teman atau orang tertentu. Tidak hanya terbatas gambar, percakapan yang erotis dan terkait seks juga merupakan bagian dari Sexting. Sexting sendiri menurut Livingstone (dalam Ringrose, 2015: 9) adalah mengkomunikasikan konten yang secara eksplisit bernada seksual melalui pengiriman pesan teks, audio, visual ataupun audiovisual dan aktivitas media sosial. Selanjutnya Renhard (dalam Ringrose, 2015: 9) mendefinisikan sexting sebagai menerima atau mengirim gambar telanjang atau pun semi telanjang yang bernada seksual. Hasil studi menunjukkan bahwa kata “sexting” sendiri selama ini digunakan mendeskripsikan berbagai macam aktivitas, namun secara umum kata sexting digunakan untuk mendeskripsikan pembuatan dan penyebaran gambar bernada seksual oleh perorangan. Kegiatan sexting ini tentu bisa terjadi pada siapa saja tanpa mengenal waktu, dimana dan kapan saja. Kasus ini terjadi pada tahun 2017 yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2014 dengan inisial RR, yang tanpa sengaja mengirimkan pesan teks bernada seksual pada platform LINE di dalam sebuah grup angkatan 2014, Ilmu Komunikasi FISIP USU, yang sebenarnya ditujukan untuk teman dekat perempuannya. Kasus ini berawal dari RR dengan pasangannya yang sudah duluan melakukan sexting sebelumnya. Ketika ia sudah membalas pesan dari lawan bicaranya tersebut, tanpa mengetahui secara langsung bahwa pesan yang ia kirim malah masuk ke dalam chat grup angkatan. Kejadian tersebut di dasari dengan gawai yang ia gunakan memang sudah sedikit rusak, sehingga mengakibatkan turunnya peforma dari gawai yang ia gunakan. Kasus ini menjadi bukti bahwa kegiatan sexting ini secara sadar dan tidak sadar sudah terjadi di kalangan remaja dengan beberapa faktor pendukung atau motif tertentu dari pelaku maupun korban. Universitas Sumatera Utara
Salah satu contoh kasus lain dari sexting yang terjadi di Indonesia pada tahun lalu atau tepatnya pada akhir Januari tahun 2017 dan menjadi pembicaraan yang panas di masyarakat karena melibatkan salah satu tokoh nasional, yaitu kasus percakapan bernada pornografi yang melibatkan antara Ustad Habib Rizieq dengan salah satu wanita yang diduga bernama Firza Husein. Percakapan yang bernada seksual tersebut atau yang kita sebut dengan sexting ini terjadi di platform Whatsapp. Percakapan tersebut tersebar ke media sosial dalam bentuk screenshot percakapan via Whatsapp yang melibatkan antara Ustad Habib Rizieq dengan Firza Husein. Percakapan tersebut pertama kali diketahui dari situs baladacintarizieq.com. Dalam percakapan tersebut menyajikan foto wanita tanpa busana yang di duga Firza. Sedangkan Ustad Rizieq diduga menjadi lawan bicara Firza dalam percakapan tersebut. Kasus sexting ini menjadi polemik berkepanjangan karena didasari unsur politisi pasca pemilihan calon gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Walau status kasus tersebut sudah naik menjadi penyelidikan dan sudah melakukan penetapan tersangka terhadap Firza setelah di periksa, Namun hingga saat ini, kejelasan status penanganan kasus ini masih juga belum selesai karena oknum penyebar pertama kali dari percakapan tersebut masih dalam penyidikan dan belum tertangkap, sedangkan tersangka Ustad Habib Rizieq juga sedang tidak berada di Indonesia. Penetapan tersangka kepada Ustad Rizieq dan Firza ini berdasarkan dengan bukti-bukti yang sudah di temukan oleh Polda Metro Jaya dan terbukti asli oleh ahli telematika yang menangani kasus tersebut dengan beberapa tahapan proses pemeriksaan (https://www.kompasiana.com). Gejala Sexting yang tidak jarang berakhir dengan hubungan seks, baru-baru ini juga dirilis studinya oleh University of Texas Medical Branch, Galveston. Studi tersebut melibatkan 948 siswa dari tujuh sekolah menengah atas di Texas. Responden studi terdiri dari 55,9 persen perempuan. Studi tersebut melibatkan berbagai remaja dari beberapa etnis seperti Afro Amerika (26.6%), Kulit Putih (30.3%), Hispanik (31.7%), Asia (3.4%), dan etnis lain (8.0%). Hasilnya cukup mencengangkan, yaitu 28% dari responden pernah mengirimkan foto telanjang mereka melalui teks atau email. 31% dari responden pernah menanyakan kepada Universitas Sumatera Utara
orang lain untuk melakukan sexting. 57% dari responden pernah diminta untuk sexting. Naiknya angka yang melakukan Sexting tersebut tentu sebuah fenomena yang perlu dilihat lebih jauh. Studi sebelumnya menemukan hanya satu persen remaja yang melakukan sexting. Namun kini angka tersebut sudah mencapai 28% (https://www.kompasiana.com). Setiap orang dapat dengan mudah menerima informasi hingga hiburan melalui media sosial. Namun, tidak lepas dari beberapa etika dalam bermedia sosial yang harus diperhatikan. Mengunggah konten (posting) hingga berbagi (sharing) konten juga seharusnya dalam konteks yang positif. Sexting yang terjadi dalam LINE merupakan suatu tindak kejahatan pidana. Pelaku sexting di Indonesia bisa dijerat dengan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), selain itu bisa dijerat dengan Pasal 29 Juncto Pasal 4 UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kebebasan berekspresi yang digadang-gadangkan khususnya oleh remaja dalam bermedia sosial membuat mereka lupa akan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Menurut Bungin (2005: 43), tanggung jawab merupakan restriksi (pembatasan) dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia tanpa mengurangi kebebasan itu sendiri. Tidak ada yang membatasi kebebasan seseorang, kecuali kebebasan orang lain. Jika kita bebas dalam bermedia sosial, maka orang lain juga memiliki hak untuk bebas dari konsekuensi pelaksanaan kebebasan kita. Berarti dengan demikian, kebebasan remaja harus dikelola agar tidak terjadi kekacauan dalam bermedia sosial. Kemudian norma untuk mengelola kebebasan itu adalah tanggung jawab sosial. Semua orang berhak bertindak, berinisiatif, berkreasi apa saja tanpa ada yang melarang dan menentang, karena internet itu sendiri bersifat bebas. Namun meskipun bersifat bebas dan terbuka, berinternet juga harus memiliki batasan- batasan atau etika berupa tata tertib berinternet yang sering disebut Netiquette untuk dapat menjadi tawaran sebagai tanggung jawab sosial kita masing-masing dalam bermedia sosial. Namun tidak sedikit juga yang tidak mengetahui tentang adanya netiquette. Penelitian terhadap 302 mahasiswa FISIP USU dari beberapa jurusan seperti jurusan Sosiologi, Kesejahteraan Sosial, Administrasi Negara, Universitas Sumatera Utara
Ilmu Komunikasi, Antropologi, Ilmu Politik dan Administrasi Niaga Bisnis, menunjukkan bahwa sebanyak 255 mahasiswa belum pernah mendengar istilah netiquette. 47 responden yang menjawab pernah mendengar netiquette, hanya 37 orang yang bisa menjawab dengan tepat mengenai netiquette (Sitepu, 2017:101). Hal ini membuktikan bahwa masih banyak yang belum terlalu mengerti mengenai netiquette dalam bermedia sosial. Netiquette (Network Etiquette) atau etika berinternet ini adalah etika dalam berinteraksi melalui internet yang juga merupakan kode sosial dan moral yang harus dipatuhi oleh pengguna internet. Filosofi dari pengguna netiquette itu sendiri ialah komunikasi melalui internet dengan menggunakan norma yang sama sebagai panduan mengenai aturan dan standar dalam berkomunikasi menggunakan internet. Sebagai sebuah kumpulan komunitas, diperlukan aturan yang akan menjadi pedoman orang-orang sebagai pengguna internet, di mana aturan ini menyangkut batasan dan cara yang terbaik dalam memanfaatkan fasilitas internet (http://networketiquette.net/). Netiquette berkaitan erat dengan dua istilah, yaitu etiket dan etika. Etiket didefinisikan sebagai “aturan konvensional perilaku pribadi dalam masyarakat yang menyangkut kesopanan”. Adapun etika yaitu: “berkaitan dengan moral yang baik dan terhormat”. Sedangkan Kelly (dalam Scheuermann, 1997: 269) mengatakan bahwa penulis beberapa artikel netiquette, lebih suka menggunakan kata “nethics” untuk mengistilahkan “pelanggaran berat di dunia maya dari pada netiquette,” dan netiquette untuk pelanggaran ringan. Namun, sebagian besar peneliti tidak membuat perbedaan antara nethics dan netiquette ketika mengacu pada kedua masalah moral dan standar kesopanan. Istilah etika dalam kehidupan bersosial di masyarakat dikaitkan dengan moralitas seseorang. Orang yang tidak memiliki etika yang baik sering disebut tidak bermoral karena tindakan dan perkataan yang diambil tidak melalui pertimbangan baik dan buruk. Kata etika dan moral juga sering dikaitkan dengan dunia pendidikan, karena menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai baik yang harus dilakukan dan nilai-nilai buruk yang harus dihindari. Tidak adanya filter Universitas Sumatera Utara
atau saringan pertimbangan nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana pemanfaatan media sosial di era gawai. Melihat dari kasus-kasus yang terjadi, dapat kita lihat bahwa hal tersebut bisa terjadi juga karena berkembang pesatnya teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan suatu perubahan besar dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat di era modern. Berdasarkan data di Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) (2013: 1), dapat diketahui bahwa “Indonesia saat ini mencapai 106 juta orang pengguna aktif internet. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial”. Memasuki era globalisasi, remaja merupakan kalangan yang sering menggunakan internet khusunya media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi, hiburan maupun berkomunikasi dengan teman di situs jejaring sosial. Berdasarkan data yang diperoleh Kemkominfo (2012: 1) dapat diketahui bahwa “semakin banyak pengguna internet merupakan anak muda. Mulai dari usia 15-20 tahun dan 10-14 tahun meningkat signifikan”. Media sosial sebagai sarana penunjang bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan akan informasi maupun hiburan. Keberadaan media baru yang saat ini digemari oleh kalangan remaja sebenarnya telah membawa dampak yang signifikan. Namun hingga saat ini, belum ada definisi yang tepat merujuk pada arti dari new media. Dennis McQuail (dalam Ibrahim dan Ali, 2014: 117) telah mendefinisikan empat kategori utama dari “media baru”, yaitu; 1) Media komunikasi interpersonal, seperti email, 2) Media permainan interaktif, seperti game komputer, 3) Media pencarian informasi, seperti mesin pencarian di internet, 4) Media partisipatoris, seperti ruang chat di internet. Menurut Flew (2005: 3), ”the idea of new media captures both the development of unique forms of digital media, and the remaking of more traditional media forms to adopt and adapt to the new media technologies.” Beberapa pakar sepakat dalam hal ini bahwa istilah new media digunakan untuk membedakan dari media lama atau media tradisional yang lebih dahulu ada. Misalnya, koran pada puluhan tahun silam berbentuk lembaran kertas, dimana Universitas Sumatera Utara
orang harus membeli atau berlangganan untuk mendapatkannya. Maka sejak adanya internet, koran sudah banyak yang disajikan secara online melalui internet. Munculnya istilah new media sangat terkait erat dengan hadirnya internet di dunia ini. Sekalipun dalam perkembangannya new media tidak hanya terbatas kepada internet, namun internet merupakan alat atau media yang paling dominan dalam era new media. Seperti yang dikatakan oleh Flew (2005: 4),”The Internet represents the newest, most widely discussed, and perhaps most significant manifestation of new media.” Internet memang sangat fenomenal karena pada era telepon kabel dahulu tidak terbayangkan pada masa depan kabel-kabel telepon tersebut dapat memunculkan gambar, tidak hanya suara. Nyatanya Internet pun berkembang terus, awalnya internet dimanfaatkan untuk email dan situs, kemudian dimanfaatkan untuk blog, situs jejaring sosial, situs berbagi video, televisi digital, konferensi video, game online dan lain-lain. Internet juga tidak lagi mengandalkan kabel telepon, melainkan sudah menggunakan teknologi Wireless Fidelity (Wi-Fi). Laptop generasi sekarang sudah dilengkapi fasilitas Wi- Fi dan area hotspot semakin banyak sehingga semakin mudah bagi seseorang untuk menjelajahi internet. Hadirnya internet dalam kehidupan masyarakat global terus berkembang memberikan inovasi–inovasi dan berbagai macam fitur baru. Situs hiburan, website, portal, media sosial merupakan beberapa diantaranya. Media jejaring sosial menjadi fokus tersendiri karena kehadirannya memberikan fenomena perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari. Salah satunya media sosial LINE. Perubahan cara berkomunikasi dalam media sosial yang kemudian terjadi dalam pembicaraan pada ruang-ruang obrol yang lebih intim misalnya dalam komunikasi dengan pasangan. Komunikasi dengan pasangan romantis yang biasanya terjadi dalam model komunikasi tatap muka, kini seakan tidak lagi memiliki batasan jarak dan waktu. Terlebih lagi ketika perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini, memungkinkan orang-orang untuk berkomunikasi secara real time, melakukan video call, dan juga mengirimkan gambar atau video dengan cepat seperti yang di sajikan dalam platform LINE. Universitas Sumatera Utara
LINE adalah salah satu contoh media sosial yang sangat digemari masyarakat Indonesia sekarang ini, terutama dikalangan remaja Medan. Bukan lain karena fitur-fiturnya yang banyak, efektif, menarik dan juga penggunaannya yang mudah dalam berkomunikasi ataupun dalam mencari informasi, baik itu informasi diluar keseharian dalam perkuliahan ataupun informasi tentang perkuliahan dan institusi. Business Developer Manager LINE Indonesia Inez Yorisya Kemala mengungkapkan pengguna aplikasi LINE di Indonesia terbanyak berasal dari kalangan usia 18-25 tahun. Para pengguna LINE ini adalah termasuk pengguna yang tergolong heavy sticker user atau hampir selalu menyisipkan stiker dalam setiap obrolan mereka, karena dinilai lebih ekspresif. Saat ini LINE digunakan oleh 90 juta orang Indonesia yang 80 persen di antaranya pengguna aktif. Secara global, aplikasi ini telah digunakan di 43 negara. Salah satu contoh dan yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah pengguna dari platform LINE itu sendiri (www.tekno.tempo.co). Bukti bahwa semakin banyak dan berkembang pesatnya pengguna LINE khususnya di Medan adalah dengan diresmikannya akun Official LINE Medan dari dua kota lainnya yang di luncurkan, yaitu Makassar dan Surabaya. LINE medan ini akan menyediakan beragam pengetahuan dan nasihat, sekaligus informasi terbaru seputar kota Medan. Sejalan dengan misi besar bertema “Closing the Distance” (menghapus jarak), demi menjadi portal cerdas yang menyambungkan lebih dari 230 pengguna secara global, LINE meluncurkan akun resmi di tiga kota besar tersebut pada 13 April. Tiga kota tersebut diketahui memiliki angka pengguna aktif, yang tinggi dan terus berkembang. Hal ini menginspirasi LINE untuk mengakomodasi antusiasme masyarakat di tiga kota besar tersebut dengan menyediakan platform komunikasi serta layanan yang lebih komperhensif. Akun-akun resmi ini mewadahi masyarakat agar dapat saling berbagi aspirasi, mengembangkan minat dan ketertarikan, mendekatkan satu sama lain, serta tumbuh bersama sebagai sebuah komunitas. Akun resmi ini akan menjadi penyambung aspirasi, sekaligus menjadi komunitas digital bagi masyarakat. Tersedia beragam informasi dan konten menarik yang berkaitan dengan isu di Universitas Sumatera Utara
masing-masing daerah. Bahkan pada tahun 2017, LINE melaksanakan mini concert pertama kali di Medan dengan artis papan atas ibu kota sebagai pengisi acaranya (www.tekno.tempo.co). LINE adalah pesan instan (instant messaging) yang berasal dari perusahaan Jepang yang bernama NHN Corporation. Bahkan LINE telah menjadi instant messaging nomer satu terunduh di dunia pada tahun 2012. LINE mulai masuk ke Indonesia pada tanggal 28 Mei 2013 dan bahkan dalam satu bulan peluncuran LINE berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 750.000.000 dalam mendukung program konservasi orang utan oleh WWF Indonesia. Tidak hanya itu, LINE di Indonesia juga menempati urutan kelima di dunia di antara 43 negara dengan unduhan 23 juta kali dalam lima bulan sejak awal peluncuran. Meskipun di 2018 LINE tidak termasuk tiga besar aplikasi paling populer di dunia menurut DailySocialLid, Local App Preference Survey 2018, dimana posisi pertama ditempati oleh Whatsapp, kemudian diikuti oleh Youtube dan Facebook, LINE memliki prospek bagus di banding brand instant messaging lainnya. Karena LINE terdiri dari banyak fitur-fitur yang sangat inovatif seperti LINE Camera, LINE Card, LINE Tools, LINE Pop, LINE Play dan LINE antivirus. LINE juga menciptakan karakter seperti Beruang Coklat Brown, Kelinci Putih Cony, Si Botak Moon yang ekspresif, dan James Si Rambut Pirang yang narsis (Novan, 2013: 4). Fitur yang sangat sering digunakan oleh remaja selain bisa memiliki akun/user pribadi adalah LINE Official Account (LINE OA). LINE Official Account pada dasarnya memiliki dua jenis tipe. Jenis yang pertama adalah Official Account yang tercipta lebih dahulu hasil dari kerjasama dengan LINE. Inilah Official Account yang asli, yang ditandai dengan tanda centang hijau atau biasa disebut dengan verified. Sedangkan yang kedua merupakan pengembangan dari LINE Official Account sendiri yang dikenal dengan Line@ (Line at) yang bebas diciptakan hampir semua orang. Kebanyakan yang menggunakannya untuk keperluan bisnis. Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan LINE Official Account, pasar LINE@ menyasar pengusaha-pengusaha kecil yang belum memiliki ‘nama’. LINE@ di sini memberikan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan LINE OA yang memiliki biaya lebih mahal untuk nama besar mereka. Sehingga banyak bisnis yang mengarah kepada pelanggaran etika dalam media. Salah satu contohnya adalah cybersex atau cyberporn. Munculnya situs-situs pertemanan (media sosial) yang kian digandrungi jutaan penduduk dunia ternyata juga mampu memicu pergeseran nilai-nilai sosial dalam masyarakat, khususnya remaja. Media sosial telah menjadi bagian dari pengalaman tumbuh dewasa untuk para remaja (Griggs, 2009: 5). Salah satu periode dalam perkembangan adalah masa remaja. Saat ini remaja di seluruh dunia begitu lekat dengan internet, gawai dan media sosial. Mereka terus berkomunikasi dengan satu sama lain lewat media sosial, bahkan pada saat makan, berjalan dan belajar. Remaja bisa menghabiskan 10 hingga 12 jam untuk mengakses media sosial dan mengesampingkan belajar serta berkumpul dengan orang tua. Berbagai hal menjadi alasan media sosial begitu menarik bagi para remaja, beberapa alasannya yaitu untuk keperluan berkomunikasi, mencari informasi dan referensi, hingga hiburan. Perkembangan internet di Indonesia bedasarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, internet diminati oleh masyarakat dengan usia 19-34 tahun sebesar 49,52%. Sedangkan layanan terbanyak yang diakses pada tahun 2017 dalam penggunaan internet adalah chatting dengan persentase 89,35% dan diikuti peringkat kedua yakni media sosial dengan persentase 87,18%. Hal ini menunjukkan bahwa remaja pada tahun 2017 pengakses internet terbanyak (www.teknopreneur.com). Mahasiswa merupakan kalangan remaja yang akrab dengan perkembangan teknologi. Tentu sudah seperti suatu kewajiban untuk mempunyai berbagai media sosial dalam berkomunikasi serta mencari informasi. Remaja saat ini lebih banyak menghabiskan waktu dengan teknologi yang mereka miliki saat ini. Kebanyakan dari mereka (remaja) banyak mengakses internet untuk mendapatkan informasi hingga untuk sekedar mencari hiburan semata. Internet menjadi salah satu faktor Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi penggunaan gadget pada remaja, sehingga sebagian besar mereka memiliki komputer, laptop, Ipad atau telepon genggam sendiri (Dewi, 2015: 125). Semakin banyaknya media sosial yang muncul, menguntungkan banyak remaja di berbagai belahan dunia untuk berinteraksi dengan mudah dan dengan biaya yang murah daripada menggunakan telepon. Dampak positif yang lain dari adanya situs jejaring sosial adalah percepatan penyebaran informasi. Akan tetapi ada pula dampak negatif dari media sosial, yakni berkurangnya interaksi interpersonal secara langsung atau tatap muka, munculnya kecanduan yang melebihi dosis, serta persoalan etika dan hukum karena kontennya yang melanggar moral, privasi serta peraturan. Kemudahan yang didapat melalui media sosial membuat penggunanya lupa akan etika dalam bermedia, lupa bahwa adanya norma-norma yang harus ditaati, sehingga pelanggaran dalam bermedia sosial terjadi dalam aplikasi instan messenger LINE. Ini merupakan suatu contoh persoalan etika dan hukum dalam bermedia yang disebabkan oleh konten yang melanggar moral, privasi, serta peraturan. Eksploitasi seksual terbukti bahwa bukan lagi hanya terjadi dalam media- media nasional, namun juga terjadi dalam ruang yang lebih intim lagi, karena teknologi yang semakin memudahkan hal tersebut terjadi sedemikian rupa. Hal ini terbukti dengan ada dan sering terjadinya aktifitas sexting di kalangan remaja pada beberapa platform media sosial, khususnya pada platform LINE. 1.2 Fokus Masalah Fokus masalah yang ditelisik oleh peneliti berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya adalah “Bagaimanakah Netiket Bermedia Sosial para Remaja dalam Platform LINE terhadap sexting?” Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perilaku bermedia sosial remaja dalam konteks sexting pada platform LINE. 2. Untuk menganalisis netiquette bermedia sosial dari remaja pengguna media sosial platform LINE. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperluas penelitian komunikasi serta pengalaman khususnya mengenai remaja dan etika bermedia sosial. Sehingga penelitian ini layak berkontribusi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 2. Secara teori, penelitian ini diharapkan memperkaya khazanah penelitian berbasis deskriptif kualitatif di bidang ilmu komunikasi terutama untuk konsentrasi Jurnalistik. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih atau bahan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan agar dapat memberi pemahaman tentang etika dalam bermedia sosial. Universitas Sumatera Utara
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma dan Perspektif Penelitian Paradigma merupakan suatu model teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir. Menurut Guba dan Lincoln (dalam Wibowo, 2013: 36), paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya, paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Cara pandang disebut juga perspektif. Sebagaimana diutarakan, perspektif dimaknai sebagai paradigma. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Thomas Khun (dalam Vardiansyah, 2008: 50), yang sinonim dengan disciplinary matrix atau weltanschaung. Maka, definisi paradigma ilmu adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan kebenaran. Cresswel (dalam AW dan Kartajaya, 2011: 9) membedakan dua macam paradigma yakni kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif yakni sudut pandang dalam penelitian yang melihat hubungan antara fakta yang diteliti dengan peneliti yang bersifat dependen, sehingga fakta yang diteliti dalam berbagai dimensi bersifat subjektif dan tidak bebas nilai (Ardial, 2014: 520). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy Nur Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma yaitu: (1) Paradigma klasik yang mencakup positivisme dan post positivisme, (2) Paradigma konstruktivisme, (3) Paradigma kritis (dalam Bungin, 2008: 237). Universitas Sumatera Utara
Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam mengambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberi respon yang berbeda. 2.1.1 Paradigma Konstruktivisme Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya (dalam Morissan, 2009: 107). Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dalam pandangan konstruktivisme, dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Littlejohn, 2009: 180). Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak mengambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaitu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly (dalam Littlejohn, 2009: 180). Ia menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya. Universitas Sumatera Utara
Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada pada perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik. 2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi Massa Komunikasi bermedia (mediated communication) adalah komunikasi yang menggunakan saluran atau sarana untuk meneruskan suatu pesan kepada komunikan yang jauh tempatnya dan banyak jumlahnya. Salah satu bentuk komunikasi bermedia adalah komunikasi bermedia massa (Sikumbang, 2014: 65). Sering kali istilah “media massa” dan “komunikasi massa” dipergunakan untuk tujuan yang sama. Sesungguhnya kedua istilah tersebut adalah singkatan dari “media komunikasi massa” (media of mass communication). Media massa adalah komunikasi dengan menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang seluas-luasnya. Komunikasi massa tak akan lepas dari massa, karena dalam komunikasi massa, penyampaian pesannya adalah melalui media. McQuail (2005:3) menyatakan bahwa media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan oleh para ahli komunikasi lainnya, antara lain oleh Jalaluddin Rakhmat (1992: 189) merangkum beberapa definisi komunikasi massa sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan “dapat” dalam definisi komunikasi massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Literasi Media 2.2.2.1 Literasi Media Massa Kondisi media massa khususnya di Indonesia, rentan dengan campur tangan pemilik media. Akibatnya, banyak pesan yang ditampilkan melalui media massa, baik cetak maupun penyiaran menjadi bias kepentingan pemilik atau kelompok tertentu. Hal tersebut dibenarkan oleh McQuail (2011:245) yang menyebutkan bahwa media merupakan titik pusat dari tiga macam pengaruh yang saling tumpang tindih, yakni ekonomi, politik dan teknologi. Media massa sekarang ini tidak lagi dilihat sebagai sebuah media yang ditujukan untuk kepentingan publik semata, tetapi juga dilihat sebagai sebuah industri yang menguntungkan. Oleh karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam menerima pesan yang disampaikan oleh media. Karena hal tersebut, banyak lembaga di Indonesia yang mulai mengembangkan pendidikan literasi media. Tujuannya, untuk mendidik masyarakat Indonesia agar kritis terhadap media dan tidak mudah dikontrol oleh media. Literasi media massa menurut James Potter (2013: 22-23) adalah “Seperangkat perspektif yang kita gunakan secara aktif saat mengakses media massa untuk menginterpretasikan pesan yang kita hadapi”. Ia meyakini bahwa media massa mampu memberikan dua efek sekaligus terhadap khalayak, yakni efek positif dan negatif. Tingginya terpaan pesan media massa yang bias kepentingan dianggap berpotensi memberikan dampak negatif bagi mereka. Oleh karenanya, kegiatan literasi media dinilai mampu membentengi khalayak dari dampak negatif media. Selain itu, kegiatan literasi media juga dilakukan untuk memberi pengetahuan dan keterampilan pada khalayak agar mengoptimalkan isi media demi kepentingan mereka. Secara sederhana, semakin seseorang terliterasi media, semakin mampu orang tersebut membangun hidup yang dia inginkan alih- alih membiarkan media membangun hidupnya sebagaimana yang media inginkan (Poerwaningtias, 2013:16) James Potter (2013:15-16) menambahkan bahwa literasi media dibangun dari tiga hal, yakni personal locus, struktur pengetahuan dan skills. Ketiga hal yang disebutkan Potter merujuk pada kemampuan khalayak dalam membaca dan Universitas Sumatera Utara
menulis untuk mengkritisi media cetak dan kemampuan khalayak menangkap pesan audiovisual yang disampaikan oleh media penyiaran. Personal Locus merupakan tujuan dan kendali khalayak akan informasi. Ketika khalayak menyadari akan informasi yang dibutuhkan, maka kesadaran itulah yang akan menuntun mereka kepada proses pemilihan informasi lebih cepat. Hal kedua, yakni struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam pikiran khalayak. Sementara skills merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi media atau dengan kata lain alat untuk meraih kesadaran kritis bermedia khalayak. Terdapat tujuh skills literasi media (Potter, 2013:18-22), yakni: 1. Analisis, Kemampuan yang diperlukan khalayak untuk mengurai pesan yang diterima kedalam elemen yang berarti. 2. Evaluasi, Kemampuan yang diperlukan untuk membuat penilaian atas hasil analisis. 3. Pengelompokkan, Kemampuan khalayak untuk mengkategorisasikan persamaan atau perbedaan elemen yang telah dievaluasi. 4. Induksi, Kemampuan khalayak untuk mengambil kesimpulan dari pengelompokkan sebelumnya, kemudian melakukan generalisasi ke dalam pesan yang lebih besar. 5. Deduksi, Kemampuan khalayak untuk menggunakan prinsip-prinsip umum untuk memberi penjelasan terhadap hal yang lebih spesifik. 6. Sintesis, Kemampuan khalayak untuk mengumpulkan elemen yang dikelompokkan sebelumnya agar menjadi suatu struktur yang baru. 7. Abstracting, Kemampuan khalayak untuk menciptakan deskripsi singkat, jelas dan akurat untuk menggambarkan esensi pesan secara lebih singkat. Selain dibangun dengan personal locus, struktur pengetahuan dan skills, terdapat tiga karakteristik literasi media. Karakteristik yang pertama ialah literasi media harus dilakukan secara berjenjang dan terus menerus, sehingga diperoleh pemahaman seutuhnya (Potter, 2013:24). Terdapat tiga jenjang literasi media, yakni: Universitas Sumatera Utara
1. Jenjang awal, berupa kemampuan memahami jenis, kategori, fungsi, pengaruh dan penggunaan media. 2. Jenjang menengah, berupa pemahaman baik-buruk, proses produksi, perbedaan fakta-fiksi dan pengaruh iklan. 3. Jenjang tinggi, berupa pemahaman menyangkut industri, etika, regulasi, kritik, bahkan memproduksi media alternatif. Karakter kedua ialah literasi media perlu dikembangkan (Potter, 2013:25). Terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan, yakni: 1. Kemampuan intelektual penggunaan media beserta pemahaman konten didalamnya. 2. Kemampuan emosi untuk merasakan apa yang dirasakan oleh diri sendiri dan orang lain terkait pesan media 3. Mengembangkan kematangan moral. Karakter ketiga dari literasi media ialah multidemensional (Potter, 2013:23- 24), yang terdiri atas: 1. Dimensi Kognitif, merujuk pada proses mental dan pemikiran. (Contohnya: Informasi faktual, tanggal, nama dan pengertian). 2. Dimensi Emosi, merujuk pada perasaan yang dialami diri sendiri dan orang lain terkait konten media (Contohnya: Marah, senang, sedih, khawatir dan lain-lain). 3. Dimensi Estetika, Kemampuan untuk menikmati, memahami dan menghargai konten media secara artistik (Contohnya: Fotografi, pencahayaan, komposisi gambar dan lain-lain). 4. Dimensi Moral, Kemampuan untuk menangkap makna yang mendasari pesan, khalayak melihat konten media sebagai sebuah makna yang mengandung norma dan nilai moral baik atau buruk yang dibuat oleh pembuat pesan (Contohnya: Karakter antagonis, protagonis, gambar bermoral, gambar porno dan seterusnya dinilai menggunakan dimensi moral). Universitas Sumatera Utara
Definisi lain mengenai literasi media juga dikemukakan oleh National Association for Media Literacy (NAMLE), yakni kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk (Poerwaningtias, 2013:18). Literasi media yang dikemukakan oleh NAMLE lebih berkembang dibanding yang dikemukakan oleh Potter. Jika Potter lebih menekankan pada kemampuan aktif menginterpretasi pesan menggunakan seperangkat perspektif dan juga beberapa skills, maka NAMLE melihat literasi media sebagai kemampuan untuk menjadi pemikir kritis sekaligus produsen yang kreatif untuk memperluas pesan. Meskipun demikian, kedua defenisi ini merujuk pada hal yang sama, yakni literasi media merupakan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap pesan yang disampaikan media massa, sehingga khalayak lebih berdaya terhadap pesan-pesan yang ditampilkannya (Poerwaningtias, 2013:18). Dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi media massa merupakan kemampuan yang harus dimiliki khalayak agar lebih kritis menganalisis, menginterpretasi dan menilai pesan-pesan dari media massa agar kemudian dapat diteruskan ke dalam bentuk pesan yang baru. Untuk mempelajari literasi media, diperlukan beberapa tahapan sebelum seseorang bisa memiliki kemampuan kritis sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan literasi media. Jadi, literasi media bukan suatu kemampuan yang secara instan dimiliki seseorang agar berdaya di depan media massa, tetapi kemampuan yang senantiasa dikembangkan. 2.2.2.2 Literasi Media Digital Semakin luasnya jaringan komunikasi dan informasi mendorong pengguna media untuk semakin aktif, kritis dan juga interaktif untuk memilih media komunikasi. Belum lagi kehadiran media baru yang tidak bisa dilepaskan dari kelahiran internet (Abrar, 2003:37), memfasilitasi individu untuk menjelajahi dunia yang lebih luas dimana informasi dan koneksi tersedia tanpa batas. Defenisi internet atau interconnection networking sebagai jaringan komputer terbesar di dunia, yang menghubungkan semua jaringan komputer menggunakan kabel (wired) ataupun nirkabel (wireless) (Pratama, 2014:65). Internet memungkinkan komunikasi jarak jauh antar individu melintasi batas negara dan budaya. Sebab Universitas Sumatera Utara
itulah literasi media semakin dibutuhkan guna membentuk masyarakat yang aktif, kritis, dan interaktif menggunakan internet sebagai media berkomunikasi. Istilah untuk menyebut literasi media pada media baru diantaranya adalah literasi digital. Istilah ini dipopulerkan oleh Paul Gilster (dalam Martin, 2009:7). Istilah literasi digital digunakan untuk menunjukkan aspek mendasar dari media baru, yakni digitalisasi. Adapun tiga pengertian literasi digital berdasarkan University of Illinois Urbana Campaign (dalam Pratama, 2014:120): 1. Literasi digital merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh pribadi agar dapat menggunakan beragam teknologi digital, peralatan komunikasi dan jaringan komputer untuk mempermudah mereka dalam membuat, menempatkan dan mengevaluasi informasi. 2. Literasi digital merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh pribadi untuk memahami dan menggunakan informasi kedalam format file untuk kemudian disajikan, ditampilkan, ataupun direpresentasikan melalui komputer dan perangkat komputer lainnya. 3. Literasi digital merupakan kemampuan pribadi yang diharapak dapat dimiliki agar dapat mengerjakan segala pekerjaan dengan efektif, menghasilkan data, mengolah data menjadi informasi, memperoleh pengetahuan dari teknologi yang digunakan, serta turut aktif dalam proses pengembangan teknologi terkini. Literasi digital merupakan kemampuan personal dari pengguna media dalam berkemampuan menggunakan teknologi dan untuk melakukan pengembangan teknologi. Sedangkan literasi digital juga mengenai kemampuan untuk menempatkan, mengorganisasi, memahami, mengevaluasi, dan menganalisis informasi dengan teknologi digital. Tidak semua orang berkemampuan menggunakan teknologi digital sekaligus berkemampuan menempatkan, mengorganisasi, memahami, mengevaluasi dan menganalisis informasi. MacQuarrie (dalam Amalia, 2016: 12) mengungkapkan sebuah studi yang menghasilkan temuan bahwa digital native yang menguasai cara menggunakan beberapa teknologi digital memiliki Universitas Sumatera Utara
kekurangan dalam hal mengevaluasi dan mengkritisi informasi. Padahal, Nicholas C. Burbules (dalam Virginia Montecino, 1998) mengatakan: “... Web bukanlah merupakan sebuah sistem referensi biasa. Web memiliki beberapa keunikan dan dalam banyak hal, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menyulitkan tugas memilah sesuatu yang dipercaya dari informasi yang tidak dipercaya dan bahkan mempersulit suatu pemikiran yang mana kita memiliki rasa yang jelas dari perbedaan itu. Bagaimana untuk membedakan kredibilitas dari informasi penipuan bukanlah masalah baru, tapi mengungkap ini ke dalam konteks”. Oleh sebab itulah, Virginia Montecino (1998) memberikan guidelines yang dapat digunakan untuk membantu pengguna internet dalam menilai kredibilitas sumber-sumber WWW, beberapa diantaranya: 1. Mencermati Kualifikasi dan hubungan antara subjek yang ditulis dengan siapa yang menulis. Periksa apakah penulis memang ahli di bidang yang ia tulis. 2. Mencermati keterlibatan penulis dengan suatu asosiasi lembaga atau organisasi. Hal ini dapat dilihat melalui link sponsor atau link asosiasi ataupun kontak yang dapat dihubungi misal telepon atau e-mail. Meskipun demikian, bukan bearti semua konten dari penulis yang terasosiasi dengan suatu lembaga atau organisas telah disetujui dan dapat dianggap sumber yang kredibel. 3. Periksa kembali apakah tulisan dari penulis pernah diulas oleh cendikiawan atau profesional. Meskipun bukan bearti tulisan yang belum pernah diulas tidak kredibel. 4. Periksa hubungan antara penulis dengan konten yang ia tulis. Hal ini terkait dengan objektivitas penulis. Apakah penulis bermaksud memberikan informasi ataukah mempromosikan suatu produk. Meskipun bukan berarti hal ini buruk atau menjadikan informasi kredibel atau tidak kredibel, tetapi ini menjelaskan hubungan antara penulis dengan apa yang ia tulis. 5. Periksa apakah penulis menyertakan referensi atau daftar pustaka jika mereka menggunakan atau meminjam pemikiran orang lain. Universitas Sumatera Utara
6. Memperhatikan website dari informasi yang digunakan, apakah berasal dari personal home pages, special interest sites, professional sites, news anda journalistic sites atau commercial sites. 7. Memperhatikan nama domain, seperti (.edu)- Education sites, (.gov)- Government sites, (.org)- Organization sites, (.com)- Commercial sites, (.net)- Network infrastructures dan seterusnya. Serupa dengan literasi media massa, literasi digital memerlukan beberapa kompetensi untuk dikuasai. Akan tetapi, kompetensi yang diperlukan untuk menguasai literasi digital sedikit banyak berbeda dengan kemampuan yang diperlukan untuk menguasai literasi media. Pertama, Dobson T dan Willinsky J menyebutkan kompetensi literasi informasi berupa penguasaan bagaimana mengakses informasi dan bagaimana menggunakan informasi yang telah dikumpulkan. Selama mengakses media digital, pengguna akan dihadapkan pada metode kolaboratif yang difasilitasi internet, yakni berupa tagging, feeds, dan social media sites like. Tagging merupakan metode yang digunakan untuk menandai seseorang apabila pengguna lain membuat tautan ke profilnya. Feeds merupakan metode yang dapat menampilkan berita sesuai aktivitas ataupun koneksi yang dimiliki oleh seorang pengguna. Social media sites like merupakan metode untuk memberi tahu teman bahwa anda menikmati postingannya, tanpa meninggalkan komentar (Amalia, 2016: 13). Kedua, kompetensi collaborative tools berupa pemahaman yang benar terkait etika dan ketrampilan menggunakan media sosial (online) agar dimungkinkan memperoleh kolaborasi dan kontribusi informasi. Ketiga, kemampuan negosiasi disebutkan juga oleh Jenkins (2007) sebagai “Kemampuan untuk mendekati komunitas yang beragam, memahami berbagai perspektif, dan memegang serta mengikuti norma-norma”. Keempat, reproduction literacy berupa menggunakan peralatan digital untuk mengedit dan mengkombinasi informasi menjadi bentuk yang baru. Kelima, social-emotional literacy berupa penggambaran sosial dan emosional melalui komunikasi secara online. Universitas Sumatera Utara
Sejauh ini, terlihat bagaimana perbedaan literasi media massa dengan literasi digital pada aspek penggunaan teknologi digital yang dimungkinkan untuk mengkombinasi informasi dan penggunaan pesan multimedia. Selain itu, perbedaannya terdapat pada aspek interaktivitas yang sangat ditonjolkan oleh media digital, yakni menciptakan informasi yang sebelumnya dalam media massa tidak bisa dilakukan secara interaktif. Implikasinya, pemahaman lebih mendalam dan kritis diperlukan oleh pengguna media digital untuk mengidentifikasi setiap pesan yang disampaikan dalam media digital (merujuk pada internet). Hal lainnya yang baru dalam literasi digital ialah kemampuan membangun hubungan sosial dan membentuk jaringan online yang disebutkan oleh European Commission (2009) sebagai kemampuan berkomunikasi. 2.2.3 Media Baru (New Media) Denis McQuail dalam buku Teori Komunikasi Massa (2011) menjelaskan, ciri utama media baru yaitu: a) Adanya saling keterhubungan (Interkonektivitas). b) Aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun pengirim pesan. c) Kegunaan yang beragam sebagai karakter yang terbuka. d) Sifatnya yang ada di mana-mana. Perkembangan teknologi komunikasi belakangan ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan kemunculan media baru merupakan salah satu hasil dari perkembangan teknologi komunikasi yang baru dan digital. Komunikasi, dalam prakteknya, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, organisasi maupun negara; telah banyak memanfaatkan media baru sebagai salah satu alat untuk mendukung proses komunikasi. Sama halnya dengan media cetak dan media elektronik, New media pun memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi kepada target komunikasi (audiens). Media baru atau disebut juga media digital adalah media yang kontennya berbentuk gabungan data, teks, suara, dan berbagai jenis gambar yang disimpan dalam format digital Universitas Sumatera Utara
dan disebarluaskan melalui jaringan berbasis kabel optik broadband, satelit dan sistem transmisi gelombang mikro (Flew, 2005:2-3). Hingga saat ini masih belum ada kerangka teori yang mempelajari secara khusus dan jelas apakah itu media baru. Akan tetapi, penulis akan menjelaskan pengertian media baru secara umum dan mewakili semaksimal mungkin karakteristik dari media baru. Mungkin hal yang dipertanyakan disini adalah media seperti apa yang dikategorikan sebagai media baru, yang pada akhirnya dapat membedakannya dengan media lainnya. Mungkin saja para pembaca akan berpikir bahwa media baru yang dimaksud disini adalah media yang memiliki perkembangan dan teknologi generasi terbaru atau bisa saja, produk teknologi yang akan mengeluarkan suatu lini produk terbaru di tahun yang akan mendatang dengan spesifikasi yang lebih canggih. Akan tetapi, media baru menurut Miles, Rice dan Barr dalam New Media: An Introduction 3rd Edition (dalam Flew, 2005: 2) merupakan suatu media yang merupakan hasil dari integrasi maupun kombinasi antara beberapa aspek teknologi yang digabungkan, antara lain teknologi komputer dan informasi, jaringan komunikasi serta media dan pesan informasi yang digital. Editor dari buku Handbook of New Media, Lievrouw dan Livingstone, pada tahun 2006 mendefinisikan new media sebagai gabungan dari teknologi komunikasi dan informasi (Information Communication Technology) yang terkait dengan beberapa konteks sosialnya yang tergabung ke dalam tiga elemen, yaitu: peralatan dan perlengkapan teknologi; aktivitas, praktek dan penggunaan; serta susunan sosial dan organisasinya yang terbentuk di sekitar peralatan dan penggunaannya (dalam McQuail, 2000: 39). 2.2.3.1 Internet Secara umum media massa terbagi dalam tiga jenis, (Vivian, 2008: 15): a. Media massa cetak, yaitu media massa yang dicetak dalam lembaran kertas. b. Media massa elektronik, yaitu media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan suara dengan menggunakan teknologi elektro, seperti radio, televisi, dan film. Universitas Sumatera Utara
c. Media massa online, yaitu media massa yang menggunakan sistem internet. Saat ini dari tiga jenis media massa yang telah disebutkan sebelumnya, media massa online banyak dipilih sebagai sarana untuk bertukar informasi. Online dalam konteks ini diartikan sebagai menggunakan komputer atau sumber informasi lain yang terhubung ke jaringan untuk mengakses informasi dan layanan dari komputer lain atau sumber informasi lainnya. Sedangkan jaringan adalah sistem komunikasi yang menghubungkan dua komputer atau lebih. Internet adalah contoh jaringan yang terbesar (William dan Sawyer, 2007:5). Internet pada dasarnya merupakan suatu jaringan dengan beberapa perangkat komputer yang terhubung satu sama lain. Dimana jaringan ini dapat mengakses pesan elektronik, termasuk e-mail, pengiriman/transmisi pesan, dan komunikasi dua arah antar individu atau antar komputer (Severin dan Tankard, 2009: 6). Kemunculan media baru turut membawa perubahan pola komunikasi manusia. Media baru, dalam hal ini internet sedikit banyak mempengaruhi cara individu bekomunikasi dengan individu lainnya. Seperti yang dikatakan oleh McNamus (dalam Nasrullah, 2014: 1) bahwa ada pergeseran dari ketersediaan media yang dahulu langka dengan akses yang juga terbatas menuju media yang melimpah. Keberadaan media baru memberi ruang tersendiri bagi masyarakat karena media baru menawarkan banyak kelebihan. Kehadiran jenis-jenis media baru telah memperluas dan merubah keseluruhan ketidakmungkinan hubungan sosio teknologi terhadap komunikasi publik. Internet adalah salah satu bentuk dari media baru (new media) dimana internet merupakan bentuk konvergensi dari berbagai media seperti radio, televisi dan telepon. Penemuan komputer pada tahun 1960-an hingga 1990-an ternyata mampu menciptakan masyarakat dunia global. Sehingga tanpa disadari internet telah membentuk komunitas manusia menjadi dua dunia kehidupan, yakni kehidupan masyarakat nyata dan masyarakat maya (cybercomunity). Kebanyakan dari anggota masyarakat maya menjadi penduduk tetap dalam masyarakat tersebut dengan memiliki alamat rumah seperti email, website dan lain sebagainya (Bungin, 2006: 164). Universitas Sumatera Utara
DiMaggio (dalam Arthapaty, 2011: 1) mendefinisikan internet sebagai jaringan elektronik dari jaringan yang menghubungkan orang dan informasi melalui komputer dan semakin bertambah melalui teknologi media lainnya. Internet adalah salah satu bentuk dari media baru. Internet dinilai sebagai alat informasi paling penting untuk dikembangkan ke depannya. Internet memiliki kemampuan untuk mengkode, menyimpan, memanipulasi, dan menerima pesan. Internet merupakan sebuah media dengan segala karakteristiknya. Internet memiliki teknologi, cara penggunaan, lingkup layanan, isi, dan image sendiri. Internet tidak dimiliki, dikendalikan atau dikelola oleh sebuah badan tunggal. Tetapi merupakan sebuah jaringan komputer yang secara terhubung secara intensional dan beroprasi berdasarkan protokol yang disepakati bersama. Sejumlah organisasi khususnya provider dan badan telekomunikasi berperan dalam operasi internet (McQuail, 2005: 28-29). Menurut Bagdakian (2008: 114), internet juga dianggap memiliki kapasitas besar sebagai media baru. Tidak hanya memperkecil jarak dalam mengkomunikasikan pesan, teknologi komputer dan internet juga telah berkembang dan mengeleminasi penggunaan koneksi kabel, namun tetap bisa memfasilitasi transmisi informasi yang sangat cepat ke seluruh dunia. Duplikasi dan penyebaran materi dari internet ini bisa mencapai jangkauan yang sangat luas. Satu orang khalayak bisa mengunduh, kemudian menyebarkan pada orang-orang dalam jaringan pertemanan atau jaringan kerjanya. Internet sebagai media baru pada prinsipnya dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun. Situs dapat dimanfaatkan untuk mencari pengetahuan sebagai bahan pelajaran ataupun tulisan namun situs juga sering sekali menampilkan gambar-gambar porno yang dapat merusak akhlak manusia terutama anak kecil karena sudah banyak anak kecil yang mahir bermain internet. Akan tetapi semua itu dikembalikan kepada pengguna internet yang sebagian besar masih memanfaatkan internet untuk hal-hal yang positif. Universitas Sumatera Utara
2.2.3.2 Sejarah Internet Bila melihat sejarah, jaringan Internet sebenarnya sudah dimulai sekitar tahun 1970-an, hanya saja perkembangannya yang menakjubkan baru terjadi sekitar awal tahun 2000 (Oetomo, 2007: 51). Sejak 1999, Internet telah memiliki 200 juta lebih pemakai di seluruh dunia, dan jumlah ini meningkat cepat. Lebih dari 100 negara terhubung dengan Internet untuk bertukar data, berita dan informasi lainnya (Fathul, 2002: 144). Jaringan Internet ini pertama kali dikembangkan oleh Defence Advance Research Project Agency (ARPHA- Dehun 1983 saat protocol parlemen Pertahanan USA) pada tahun 1973 dengan membangun jaringan ARPHA-net yang dimaksudkan untuk menghubungkan beberapa jenis jaringan paket data seperti BITnet, Csnet, NSFnet dan lain-lain. Internet bisa dikatakan berdiri pada tahun 1983 saat protocol TCP/IP mulai digunakan. Saat itu Internet belum dikenal oleh masyarakat umum, namun hanya digunakan oleh kalangan akademis dan riset. Internet baru mulai berkembang pesat sejak tahun 1993 setelah Mosaic, penjelajah World Wide Web (WWW) dengan kemampuan grafis pertama dikenalkan. Hadirnya layanan World Wide Web (WWW) dan penjelajahnya inilah yang menjadi titik belok perkembangan Internet dari hanya digunakan oleh kalangan akademis dan riset menjadi digunakan oleh masyarakat umum. Internet juga menyediakan mesin pencari seperti browser dan search engine. Melalui mesin ini, informasi atau teks dalam situs manapun dapat dilacak sehingga para pengguna dapat melakukan browsing acak secara cepat dan sistematis. Internet juga menyedikan banyak aplikasi yang memanjakan penggunanya agar dapat saling terkoneksi satu sama lain, seperti surat elektronik (e-mail), surat bersuara (voice note), sistem percakapan tertulis (chat), media sosial dan lain-lain. Di Indonesia, jaringan Internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di Universitas Indonesia, berupa UINet oleh Joseph F.P Luhukay yang ketika itu baru saja menamatkan Program Doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat. Jaringan itu dibangun selama empat tahun. Luhukay, di tahun yang sama juga mulai mengembangkan University Network (Uninet) di lingkungan Universitas Sumatera Utara
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan jaringan komputer dengan jangkauan yang lebih luas yang meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Hasanudin dan Dirjen Dikti (Oetomo, 2007: 52). 2.2.4 Media Sosial Sebelum mendefinisikan media sosial, sebaiknya peneliti mengartikan terlebih dahulu media itu sendiri. Media adalah instrumen dalam komunikasi, seperti surat kabar atau radio, jadi media sosial dapat diartikan sebagai instrumen sosial dalam berkomunikasi. Mengingat istilah Web 2.0, media sosial tidak hanya merupakan jaringan yang hanya memberikan informasi saja, akan tetapi juga interaksi ketika terjadi pertukaran informasi. Interaksi dapat semudah ketika dimintai pendapat atau dukungan atas suatu artikel, atau dapat pula hal kompleks seperti merekomendasikan film dengan rating tinggi yang sesuai dengan minat. Media sosial, dengan kata lain merupakan jalan dua arah yang memberikan kesempatan untuk mendapat informasi, dengan kelebihan memberikan reaksi kita terhadap informasi tersebut. Tercantum di dalam buku Social Media Marketing: An Hour A Day (Evans, 2012: 33), sosial media memiliki beberapa karakteristik yang membuatnya berbeda dengan media tradisional seperti surat kabar, televisi, buku dan radio. Perlu diingat bahwa hal ini tidak berarti “memakai saja” namun dilengkapi dengan seperangkat alat yang dapat memberitahu apa yang sedang anda lakukan sekarang, dan dalam kelompok diskusi pada Wikipedia, “Audiensnya dapat ikut berpartisipasi dalam media sosial dengan menambahkan komentar atau bahkan mengedit sendiri artikelnya.” Menurut Kotler & Keller (2012: 570) media sosial untuk para pemakainya merupakan media untuk membagikan informasi teks, gambar, audio dan video dengan pemakai lainnya dan dengan perusahaan dan lain sebagainya. Media sosial memberikan kesempatan bagi para pemakainya untuk memberikan opini publik dan melakukan aktivitas komunikasi. Media sosial pun sudah mulai dipakai oleh banyak perusahaan untuk kegiatan marketing maupun public relations. Universitas Sumatera Utara
Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang seperti bisa memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau koran, dibutuhkan modal yang cukup besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan media sosial. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses media sosial dengan menggunakan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Kita sebagai pengguna media sosial dengan bebas bisa menyunting (edit), menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lainnya. Media sosial, sesuai namanya merupakan media yang memungkinkan penggunanya untuk saling bersosialisasi, dan berinteraksi, berbagi informasi maupun menjalin kerjasama (Rohmadi, 2016: 1). Rogers (dalam Hamidati dan Fajar, 2011: 15) menguraikan tiga ciri-ciri media baru yaitu: 1. Interactivity yaitu bersifat interaktif yang tingkatannya mendekati sifat interaktif pada komunikasi antarpribadi secara tatap muka. 2. De-massification yaitu memiliki kontrol pengendalian terhadap pesan yang dipertukarkan. 3. Asynchronous yaitu kemampuan media baru untuk mengirimkan dan menerima pesan pada waktu yang dikehendaki oleh peserta komunikasi. Dapat di tarik kesimpulan bahwa media sosial merupakan instrumen dalam komunikasi yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dengan kelebihan memberikan reaksi kita terhadap informasi tersebut yang berupa teks, gambar, audio dan video. Dengan semakin berkembang pesatnya media sosial, hal tersebut sangat membantu kegiatan keseharian penggunanya. 2.2.5 LINE LINE Corporation berbasis di Jepang dan diubah namanya dari NHN Japan Corporation pada tanggal 1 April 2013, dan mengoperasikan bisnis LINE, NAVER matome, dan livedoor. Sejak meluncurkan LINE pada bulan Juni 2011, LINE Corporation telah menempatkan inti bisnisnya pada layanan ini dan secara Universitas Sumatera Utara
aktif mendorong perluasan layanan lebih lanjut dalam skala global, serta mempercepat pengembangan LINE sebagai sebuah platform. LINE telah menjadi instant messaging nomer satu terunduh di dunia pada tahun 2012. LINE mulai masuk ke Indonesia pada tanggal 28 Mei 2013 dan bahkan dalam satu bulan peluncuran LINE berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 750.000.000 dalam mendukung program konservasi orang utan oleh WWF Indonesia. Tidak hanya itu, LINE di Indonesia juga menempati urutan kelima di dunia di antara 43 negara dengan unduhan 23 juta kali dalam lima bulan sejak awal peluncuran. Meskipun di 2018 LINE tidak termasuk tiga besar aplikasi paling populer di dunia menurut DailySocialLid, Local App Preference Survey 2018, dimana posisi pertama ditempati oleh Whatsapp, kemudian di ikuti oleh Youtube dan Facebook, LINE memliki prospek bagus di banding brand instant messaging lainnya. Karena LINE terdiri dari banyak fitur-fitur yang sangat inovatif seperti LINE Camera, LINE Card, LINE Tools, LINE Pop, LINE Play dan LINE antivirus. LINE juga menciptakan karakter seperti Beruang Coklat Brown, Kelinci Putih Cony, Si Botak Moon yang ekspresif, dan James Si Rambut Pirang yang narsis (Novan, 2013: 4). Fitur yang sangat sering digunakan oleh remaja selain bisa memiliki akun/user pribadi adalah LINE Official Account (LINE OA). LINE Official Account pada dasarnya memiliki dua jenis tipe. Jenis yang pertama adalah Official Account yang tercipta lebih dahulu hasil dari kerjasama dengan LINE. Inilah Official Account yang asli, yang ditandai dengan tanda centang hijau atau biasa disebut dengan verified. Sedangkan yang kedua merupakan pengembangan dari LINE Official Account sendiri yang dikenal dengan Line@ (Line at) yang bebas diciptakan hampir semua orang, yang menggunakannya untuk keperluan bisnis. Fitur-fitur yang ditawarkan oleh LINE kepada penggunanya sangat bervariatif, sehingga memudahkan penggunanya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Inovasi fitur terbaru tersebut juga dirasa sangat dekat dengan keperluan para penggunanya seperti sticker-sticker dan emoticon yang di tawarkan. LINE juga memberi kesempatan penggunanya untuk membuat sticker mereka sendiri, sehingga hal tersebut membuat ketertarikan penggunanya dengan LINE. Universitas Sumatera Utara
2.2.6 Pornografi “Porno” dan “Pornografi” sudah tidak asing lagi bagi kita semua, namun definisi dari pornografi itu sendiri tidak jelas karena ragam budaya dan juga adat istiadat yang berbeda beda menjadikan definisi pornografi juga berbeda. Banyak seniman yang mengekspresikan ide mereka dalam banyak bentuk karya seni, namun kadang sesuatu yang dianggap sebuah seni melainkan sebagai pornografi. Hal ini yang menyebabkan definisi dari pornografi memiliki banyak persepsi tergantung dari sudut pandang mana seseorang mendefinisikan suatu objek tertentu sehingga dapat mengatakan bahwa objek tersebut merupakan pornografi. Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu pornographos yang terdiri dari dua kata porne (=a prostitute) berarti “prostitusi atau pelacuran” dan graphein (=to write, drawing) berarti “menulis atau menggambar”. Secara harfiah dapat diartikan sebagai tulisan tentang atau gambar tentang pelacur, (terkadang juga disingkat menjadi “porn” atau “porno”) adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan memenuhi hasrat seksual (Mutia dalam Kesumastuti, 2010: 96). Pengertian pornografi dalam Undang Undang Nomor Tahun 2008 tentang ponografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Secara garis besar dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontenporer ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat dikonseptualisasikan menjadi pornografi, pornoaksi dan pornosuara. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan promedia. Menurut Bungin menjelaskan pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia. Sifatnya yang serontak, jorok, dan vulgar membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual (Bungin, 2005: 124). Universitas Sumatera Utara
Konsep porno media meliputi realita porno yang diciptakan oleh media seperti gambar-gambar dan teks-teks porno yang dimuat melalui media cetak, film-film porno yang ditayangkan di televisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan di radio, provider telepon yang menjual jasa-jasa suara rayuan porno dan sebagainya serta proses penciptaan realitas porno itu sendiri. Seperti proses tayangan- tayangan gambar serta ulasan-ulasan pencabulan media massa. Proses rayuan yang mengandung rangsangan seksual melalui sambungan telepon, penerbitan teks-teks porno, dan sebagainya. Bentuk-bentuk porno media antara lain: a. Pornografi adalah gambar-gambar pencabulan yang lebih banyak menonjolkan bentuk tubuh dan alat kelamin manusia. Sifatnya yang seronok, jorok dan vulgar, membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk foto, poster, gambar video, film, atau alat visual lainnya yang membuat gambar atau kegiatan pencabulan. b. Pornoteks adalah karya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita atau berita dalam berbagai versi hubungan seksual dalam berbagai bentuk narasi, konstruksi cerita, testimonial atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks menyebabkan terciptanya theatre of mind pembaca tentang arena seksual yang sedang berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu-gebu terhadap objek hubungan seks yang sedang digambarkan itu. c. Pornosuara adalah suatu tuturan kata-kata dan kalimat yang diucapkan seseorang yang langsung atau tidak langsung secara halus atau vulgar melakukan rayuan seksual dengan suara atau tuturan tentang objek seksualitas atau aktifitas seksualnya. d. Pornoaksi adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh penonjolan bagian tubuh yang dominan memberikan rangsangan seksual sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja atau disengaja memancing nafsu seksual orang yang melihatnya. Hal-hal yang memiliki unsur seksual memang sudah terjadi di beberapa media massa seperti televisi, radio dan koran dengan materinya masing-masing seperti dalam bentuk teks, audio, visual dan audiovisual yang di sajikan. Universitas Sumatera Utara
2.2.6.1 Perkembangan Pornografi di Indonesia Pornografi di Indonesia merupakan perbuatan yang ilegal, namun penegakan hukumnya lemah dan intrepretasinya pun tidak sama dari waktu ke waktu. Bidang pertelevisian merupakan salah satu media yang paling banyak menyumbang persebaran pornografi sebelum tahun 2000-an, karena masa itu masyarakat belum mengenal internet. Film Antara Bumi dengan Langit merupakan film pertama yang mengandung unsur pornografi yang diputar pada tahun 1955 yang menampilkan adegan ciuman antara Frieda dan S. Bono (http://wikipedia.com). Memasuki tahun 1970-an persebaran pornografi di Indonesia kian memarak, ini dibuktikan dengan banyaknya film yang menjurus ke pornografi seperti Bernafas di Atas Ranjang, Satu Ranjang Dua Cinta, Wanita Simpanan, Nafsu Birahi, yang beredar di masyrakat yang dipertontonkan dalam bentuk hiburan layar tancap (http://wikipedia.com). Pengaruh kemajuan teknologi informasi pada tahun 2000-an semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola televisi, Video Compact Disc (VCD), laser disc, Digital Versaitle Disc (DVD) dan internet, semuanya membuat film dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota-kota sampai ke pedesaan sekalipun. Tersedianya kamera video dan videophone dengan harga relatif murah telah memungkinkan orang merekam adegan-adegan panas, yang pada mulanya dimaksudkan hanya untuk koleksi pribadinya. Namun setelah masyarakat mengenal internet, tak sedikit yang mengunggah video panas mereka ke situs-situs tertentu seperti youtube dan berujung pada hukum Indonesia seperti kasus Ariel Noah, Hannah Annisa dan Maria Eva. Majalah Playboy edisi Indonesia, adalah media cetak yang terbit pertama kali pada April 2006 yang merupakan majalah khusus pria dewasa yang isinya penuh dengan pornografi. Namun di tahun pertama terbit, majalah Playboy langsung mendapat tentangan keras dari masyarakat dan hasil akhirnya majalah tersebut dilarang beredar di Indonesia dan pengadilan mempidanakan pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan majalah tersebut. Berawal dari kasus majalah Playboy pemerintah semakin giat menggagas undang-undang anti pornografi. Universitas Sumatera Utara
Ironisnya masih banyak majalah yang mengandung unsur pornografi sejenis Playboy yang masih bebas beredar di Indonesia misalnya majalah Popular yang di dalamnya banyak membahas masalah seksualitas dan menampilkan foto-foto model yang vulgar (htt://wikipedia.com). Hadirnya Internet di Indonesia mengakibatkan banyak masyarakat mulai meninggalkan media cetak dan beralih menggunakan internet untuk menggali informasi. Hal itu dikarenakan mencari informasi dari media cetak harus menunggu waktu terbit media cetak tersebut untuk memperolehnya. Sedangkan jika menggunakan internet setiap orang dapat kapan saja mencari informasi yang diinginkan asalkan jaringan internet tersedia. Pemanfaatan internet oleh masyarakat Indonesia masih banyak untuk hal yang kurang bermanfaat dalam artian hanya sekedar mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan zaman atau hanya untuk mencari kepuasan biologis dengan mengakses situs-situs porno. Data hasil survei media cetak Cina tahun 2009 menyebutkan di Asia, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai pembuka situs porno. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pornografi di negara kita sangat banyak (http://radarsolocom). Melalui media massa segala informasi yang penting dapat diperoleh dengan mudah oleh seseorang yang berada di daerah terpencil sekalipun. Seiring berkembangnya media massa maka kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya juga mengalami perkembangan serta perubahan. Sehingga media massa merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya suatu perubahan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak dan cepat kepada audience (pendengar) yang luas dan heterogen (Nurudin, 2007: 23). Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tidak terbatas. Dua fungsi dari media massa adalah media massa memenuhi kebutuhan akan fantasi dan informasi (Rakhmat dan Kesumastuti, 2010: 17). Universitas Sumatera Utara
2.2.6.2 Sexting Chatting merupakan sarana yang ditawarkan internet untuk pertukaran informasi di dunia yang tidak nyata atau dunia maya. Aplikasi chatting adalah aplikasi pendukung untuk saling berkomunikasi, sifatnya bisa melalui individu dengan individu atau individu dengan kelompok. Pengguna aplikasi chatting dalam pelaksanaannya dapat berupa teks, simbol, audio, maupun audio visual. Penelitian Jackson (dalam Ningtias, 2015: 44) dengan adanya pertukaran informasi sesama pengakses aplikasi chatting ditemukan bahwa dahulu seseorang (khususnya remaja) cenderung jatuh cinta dengan orang yang sudah dikenal dengan baik, seperti teman sekolah, teman bermain dan tetangga. Perubahan cara berkomunikasi terjadi dalam pembicaraan pada ruang- ruang obrolan yang lebih intim misalnya dalam komunikasi dengan pasangan atau teman terdekat. Komunikasi dengan pasangan romantis yang biasanya terjadi dalam model komunikasi tatap muka, kini seakan tidak lagi memiliki batasan jarak maupun waktu. Komunikasi yang biasanya akan terhenti karena terbatasnya jarak dan waktu sekarang ini dapat dihindari dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi. Terlebih lagi ketika perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini memungkinkan orang-orang untuk berkomunikasi secara real time, melakukan video call, dan juga mengirimkan gambar atau video dengan cepat. Dampak sosial media yang termasuk kategori konten tidak layak adalah sexting. Sexting didefinisikan sebagai suatu tindakan mengirimkan, menerima, atau meneruskan pesan berupa teks, gambar, atau video yang mengandung konten porno (Attorney dalam O’Keeffe dan Pearson, 2011: 801). Sexting mengarah pada suatu tindakan seksual yang tidak dikehendaki berupa dorongan atau paksaan untuk mengajak orang lain berbicara tentang seks, melakukan seks, membagikan informasi pribadi dapat dijelaskan melalui rendahnya kesadaran anak pada isu privacy. Eksploitasi seksual bukan lagi hanya terjadi dalam media-media nasional namun juga terjadi dalam ruang yang lebih intim lagi, karena teknologi yang semakin memudahkan eksploitasi untuk dilakukan maka aktifitas sexting ini sering terjadi dikalangan remaja. Sexting sendiri menurut Livingstone (dalam Universitas Sumatera Utara
Ringrose dan Harvey, 2015: 9) adalah mengkomunikasikan konten yang secara eksplisit bernada seksual melalui pengiriman pesan teks, ponsel pintar, atau visual dan aktifitas sosial media. Selanjutnya Lenhart (dalam Ringrose dan Harvey, 2015: 9) mendefinisikan sexting sebagai menerima atau mengirim gambar telanjang ataupun semi telanjang yang bernada seksual. Hasil studi menunjukkan bahwa kata “sexting” sendiri selama ini digunakan untuk mendeskripsikan berbagai macam aktivitas, namun secara umum kata sexting digunakan untuk mendeskripsikan pembuatan dan penyebaran gambar bernada seksual oleh perorangan. 2.2.6.3 Prediksi Penyebab Sexting Sexting terjadi apabila adanya hal yang menjadi pemicu sehingga hal tersebut terjadi, di bawah ini adalah beberapa prediksi dari penyebab terjadinya sexting (dalam Farouk, 2008:7 dan Ringrose, Gill, Livingstone dan Harvey, 2012: 7-8): 1. Kecanggihan Teknologi Informasi: Kecanggihan dokumentasi digital, storage serta kemudahan transfer, ditambah dengan ekspansi besar-besaran ke seluruh lapisan masyarakat serta biaya yang rendah, menjadikan media teknologi informasi melesat jatuh ke tangan berbagai lapisan dengan strata usia penggunanya tanpa literasi media. Kegagapan tentang potensi begitu mudahnya dokumentasi serta transfer media digital, yang mungkin saja sengaja tidak sengaja mengalir ke ranah publik. Kesadaran atas potensi pembunuhan karakter dokumentasi serta transfer adegan pribadi dapat tersebar secara luas di internet. 2. Eksperimentasi dan Eksibisionisme: 95% dari jumlah video porno lokal yang beredar dimotivasi oleh keisengan, eksperimentasi, dan eksibisionisme. Motivasi demikian berpadu atau sebagai momen dating & sex yang ceroboh di kalangan remaja. Jargon yang paling mengemuka di kalangan remaja adalah “just for fun”, “ungkapan kasih sayang”, “potret cinta”. Konten remaja putri Indonesia dengan gaya eksibisionisme, tak ketinggalan ikut meramaikan Universitas Sumatera Utara
berbagai kamar chatting, mailing list, bulletin board, forum dan situs pertemanan lain. 3. Remaja perempuan menjadi korban: Sexting bukanlah praktek-netral gender; Sexting dibentuk oleh dinamika gender dari kelompok sebaya di mana terutama, anak laki-laki melecehkan perempuan, dan diperparah oleh norma-norma gender budaya populer, keluarga dan sekolah yang gagal untuk mendidik atau mendukung anak-anak perempuan. Penemuan membuktikan di mana anak laki-laki yang aktif secara seksual harus dikagumi dan 'dinilai', sedangkan anak perempuan yang aktif secara seksual yang direndahkan dan dihina sebagai 'pelacur'. Hal ini menciptakan resiko spesifik gender di mana perempuan tidak dapat secara terbuka berbicara tentang kegiatan seksual dan praktek, sementara anak laki-laki bangga menceritakan tentang kegiatan seksualitas mereka. 4. Teknologi menjadi permasalahan: Kemajuan teknologi yang pesat menghadirkan banyak sekali fitur, situs jejaring sosial bahkan teknologi komunikasi lainnya yang memfasilitasi adanya bertukar pesan dengan gambar-gambar yang vulgar. Perlu adanya alat yang sesuai untuk usia yang mudah digunakan anak-anak dan remaja agar dapat menghindari, mengurangi sirkulasi dan tampilan gambar seksual yang tidak di inginkan. 2.2.7 Etika 2.2.7.1 Definisi Etika Etika merupakan pilihan nilai moral dalam menghadapi realitas, yang secara substansial dapat ditarik ke akarnya, yaitu bagaimana pelaku mendefinisikan alter dalam interaksi sosial (Siregar, 2006: 73). Kebutuhan akan etika hadir karena manusia adalah makluk sosial. Sebagai makluk sosial, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari interaksinya dengan pihak lain. Dibutuhkan pedoman perilaku dalam interaksinya tersebut agar masing-masing mengetahui bagaimana seharusnya bertindak, menempatkan diri dalam keseluruhan interaksi dengan manusia lainnya sehingga tidak menimbulkan kegoncangan ataupun kekacauan sosial. Oleh karena etika ditempatkan dalam Universitas Sumatera Utara
interaksinya dengan orang lain, maka etika dapat dilihat sebagai filosofi tentang apa perilaku yang baik dan berterima (right and acceptable behavior), mempromosikan suatu fair play bahkan terhadap orang yang tidak disukai sekalipun, dan merupakan kode personal berupa suatu pilihan pribadi untuk berperilaku etis (Nasution, 2015: 22). Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat. Kebiasaan baik ini lantas disebarluaskan, disosialisasikan, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kaidah-kaidah, norma, dan aturan yang menyangkut baik buruk perilaku manusia yang secara singkat kemudian dipahami sebagai kaidah yang menentukan apa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan. Etika disamakan dengan ajaran moral dalam konteks ini. Etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Etika, di sisi lain bisa dipahami sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu. Etika dipahami sebagai filsafat moral, suatu ilmu yang membahas secara kritis persoalan benar dan salah secara benar, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret (Keraf, 2002: 3-5). Menurut Nasution (2015: 23), etika merupakan filosofi untuk berperilaku yang berterima di tengah orang lain. Etika mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in some circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai aktivitas atau profesi. Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi (Gumila dalam Nurmala, 2008: 9) Universitas Sumatera Utara
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165