Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore E-Book "PUISI IBUNDA"

E-Book "PUISI IBUNDA"

Published by SMK Negeri 1 Takengon, 2021-06-26 16:08:30

Description: E-Book ini berisi Top 100 Karya Puisi Terbaik dari Peserta Lomba Menulis Puisi Nasional dengan tema “Ibunda” yang diadakan oleh Catatan Pena.

Keywords: karya puisi,puisi terbaik,puisi nasional,catatan pena,puisi ibunda

Search

Read the Text Version

KEDIAMAN TERAKHIR Karya Tp M Siddiq Usai matahari tergelincir Maka kisah bersama ibunda berakhir Tiada lagi wajah teduh bersahaja Tempat bergelayut manja Di tanah merah ia disemayamkan Tidur panjang dikawal sepasang nisan Tiada sesiapa bisa memberi kehangatan Seperti dekapan kasih yang pernah ia berikan Batin bertutur kata seiring menganak sungai air mata Kehilanganmu seumpama hati dicerabut paksa Namun apabila ikhlasku tak kunjung menjelma Kutakut Tuhan tak merentangkan tangan-Nya Tuhan, kutitipkan ibunda tercinta Tempatkan ia dalam naungan surga Di kediaman terakhir paling mulia Kepri, 21 November 2020 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 91

Kegiatan Mencuci Seorang Ibu Oleh Jamaludin Seperti biasanya: pagi-pagi sekali seorang ibu merendam segala riuh kepala ke dalam ember bekas cat yang sudah berisi air mata. Sebelumnya doa-doa telah ditaburkan, supaya segala penat rontok di perendaman. “Sedang apa, Ibu?” tanya seorang anak kala itu. “Bermain busa dan meniupnya ke langit sana,” jawab Ibu menyembunyikan segala derita. 20 menit kemudian anaknya lupa tentang peristiwa itu. Dan seorang ibu lanjut menyikat isi kepalanya dengan sangat pelan dan bijaksana. Ia membilas segala luka, mengganti air mata demi air mata, dan memeras pelan segala masalah dunia sampai air mata yang menyelimutinya tak menetes di dada anaknya. Seorang ayah bangun dari tidurnya : masuk ke kamar mandi, makan, kemudian 92 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

menyiapkan punggungnya yang renta untuk digantungi jemuran-jemuran istrinya. Al Ikhsan, Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 93

Kehilangan Pertama Oleh Henari Secercah panah kelodan berlatar gelegar selubungi pandang. Selangkah-selangkah kakiku terangkat ke belakang. Mata berkeliling. Sekitar membising. Dunia memuai. Menjauh. Terburai ... Dari adegan ini aku terlempar keluar, tanpa aba-aba yang bisa kudengar. Berjalanlah aku cepat. Lewati hamparan buncis dan bayam ikat, tumpukan keranjang tepas bambu dan ikan-ikan yang baru terbebas dari bubu. Kaki yang menampung panik di ujung kelingking, mengusik ketentraman cabai merah keriting yang tiba-tiba saja berkumpul menggunung hingga ambang kening. Berlarilah aku kuat. Tak ingin jadi udang tertinggal dalam jejaring yang menyisakan rum- put-lumut berkerat-kerat. Mereka telah mengalienasi! Mengganti secubit kain rok yang ada di genggamanku, melenyapkan suara yang selalu merespon pertanyaanku, bahkan menukar kepala yang biasa kutemukan saat tengadah. Lekas kucari gerbang terdekat. 94 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Berpiuh kaki kukayuh. Jauhi monster yang berkali lebih menakutkan dibanding hantu dalam dongengmu. Menapak tanah panjang berbatu yang kurang ramah pada ketukan alas tipis sepatu. Terhadang, pula tergocek benda-benda, juga sesiapa yang muncul-tenggelam sepanjang jalan. Berlomba dengan becak-becak yang kepayahan membawa beban. Menyenggol gerobak kayu berisi jerigen-jerigen air tawar yang di- dorong orang dari arah berlawanan. Perih pun menyeruak dari gores-gores yang tertitipkan. Kukibas ia ke udara tak bergerak yang menjauh di belakang Kini lalu-lalang kendaraan bermotor menyambutku di kerampang jalan. Menyuguhkan keramaian lain di atas aspal. Kakiku terus mengayuh, begitu saja melipir ke tepi kanan. Motor atau mobil satu-satu mengalahkan. Walau tak setapak juga la- juku memelan. Rupanya Tuhan telah menyelam ke dalam kaki. Aku berlari dengan kaki Tuhan. Hingga tiba di gang sempit dengan kebun tebu dan rawa berbambu. Jauh sudah monster di belakangku. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 95

Takutku pun telah tercecer sepanjang pelarian (akan kupakai sebagai jejak untuk kembali mendapatkanmu). Hanya saja semua orang kini berwajah rata dengan rajah “tanda tanya”. Dari halaman rumah, Paman menyapa dengan bahasa yang tak kumen- gerti. Aku berlari ke balik lemari. “Ibu, Ibu..., sembunyikah dirimu?” Rumah Moringa, Cibinong, 27 Oktober 2020 96 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Kelahiran Paling Dalam -untuk Bu Ning Oleh Nora Septi Arini, S.S. Kau adalah ibu yang tekun merawat cuaca Masih tercatat dalam ingatan Tentang sebuah kelahiran Yang menghadirkan gerimis senja Bumi menangisi getaran paling getir Peristiwa demi peristiwa tercatat dalam takdir Saat jutaan rumah roboh tenggelam, Anak-anak hilang suara Malaikat mengirim seserpih rinai penantian Rimba semesta dikoyak tangis suci Langit runtuh dalam helat batin Anak-anak sembunyi dan ruh-ruh menyalakan api Lukisan pilu yang baka berdarah juga Kembang citra lingga yoni lahir dari cupu manik paling duka Matanya membiru serupa abu menyiapkan tungku yang bakal tersapu gerimis malam Sabtu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 97

Barangkali, Guncangan besar dan hujan badai membikin darahmu nanar keluar Di gugup jantungmu kuhitung setiap degup Tubuh tersiram peluh Mengujar napas dengan cengkraman Lengking gerimis berpendar dari sayatan Serat menambal sulam jadi rintihan kelahiran paling dalam Yogyakarta, 16 Januari 2021 98 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

KEPADA BIYUNG —Ibunda Katmini Oleh Wahyu Hidayat engkaulah ibu, kanal tempatku menyusur ke surga yang subur 1. engkaulah ibu, jalan panjang itu aku tak pernah menemukan arah buntu. engkaulah ibu, suaka bagi anak-anakmu aku tak pernah lari dari sekurung cintamu. engkaulah ibu, angin bagi napas cintaku aku tak pernah menjadi sunyi yang beku. jelang petang, engkau tak pernah lupa mencariku dan menggenggam sejumlah kayu yang kau acung-acungkan ke arahku. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 99

dan sebab itu pula, aku jadi mengerti arti mencintai dengan cara yang berbeda. jika tak punya apa-apa, engkau selalu pandai menekuri lorong nasib yang nyaris menjelma aib. jika punya dan berlebihan, engkau mengajari aku tentang memberi serantang sayang. pun tentang kepunyaan yang sebenarnya hadiah dan hasil meminjam dari Tuhan. 2. engkaulah ibu, kanal tempatku menyusur ke surga yang subur: tempat yang selalu ingin kuraih-raih di selingkar bumi ini. engkaulah ibu, panasea 100 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

bagi anak-anakmu maka aku ingin selalu pulang ke peluk-ciummu. dan itu sebabnya aku mengerti arti cinta yang membubung dan pandai memaknai pulang kampung. engkaulah pohon yang merawat dedaun hingga bertahun-tahun, yang menjadikan buah dikunyah orang-orang berwajah ramah. 3. sewaktu kecil dulu, aku kerap membikin dadamu retak sebelah. barangkali sepasang matamu basah oleh basuh luka dari aku. kadang-kadang aku Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 101

menjelma layang-layang putus yang mesti kau kejar dan kau bawa pulang. kadang-kadang aku menyerupai air yang membikin dadamu bertambah getir. kadang-kadang aku seperti seligi yang membikin dadamu ditujah kasih yang serakah. engkaulah ibu: pohon jati itu. Lampung, 02.01.2021 CATATAN: Biyung: ibu Panasea: obat bagi segala penyakit 102 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Kepingan Hati untuk Mamak Oleh Nisrina Fauziyah Fahrudin /1/ Menjelang mangsa kasapuluh bersama usia setengah abadmu Inginku bawa jerami empat ikat itu dalam genggamanku, walau tanganku tak sanggup menggapai. Hari ini pertama kalinya kau melihat aku di dunia, Mak, terasa sudah sangat lama. Dulu seringkali kau ceritakan padaku bagaimana wujud ibukota kita Sungguh lucu karena engkaupun belum pernah melihatnya, Mak. Jalanan pinggir kota Cambridge sudah basah sejak kemarin Banyak anak-anak mulai menggunakan sepatu boots mereka Aku sekarang juga dapat memakainya, Mak, tak perlu telanjang kaki mengorbankan anafilaksis-ku /2/ Menjelang mangsa kasa bersama usia setengah abadmu Inginku bawa benih jagung dua bungkus itu di tangan, walau masih tak sanggup kugapai. Hari ini pertama kalinya kau melihat aku tersenyum kepada dunia, Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 103

mungkin hal itulah yang membuatmu lupa akan tuts piano hitam Aku tak ingat seperti apa rupanya, ceritamu yang seakan menghidupkan keping memori hitam putih masa lalu kita. Toko bunga di sudut jalan Victoria Ave laris manis sore ini bahkan menghabiskan uang saku sebulanku tak boleh. Tanganku penuh oleh bucket bunga bertuliskan Cambridge Flower Shop, tak jauh-jauh seperti diajarimu melahap sego berkat hajatan tetangga. /3/ Menjelang mangsa kapat bersama usia setengah abadmu Inginku bawa bakal maizena satu karung itu di atas punggungku yang sebentar lagi sanggup kugapai. Hari ini pertama kalinya kau melihat aku merangkak melewati tubuh Bapak, mungkin itulah yang membuatmu membiarkan cicit anak tikus terus berdecit. Seseorang bercakap denganku sebelum balon udara mencuri raga, sesaat sebelum semua dilakukan tanpa hadirku. Di akhir perjalanan ini, aku ingin kembali mengawal butiran keringatmu Jiwa yang bekerja terlalu jauh, membuang robekan ingatan butuh isti- rahat. 104 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Menghitung kerut dahimu sama menyenangkannya dengan memungut abu ilmu yang menumpuk, menunggu kuambil satu-persatu. Hari ini pertama kalinya kau melihat aku memakai toga terbaik dunia, kapal sekoci bertaut hati yang pergi pamit ini telah kembali mungkin itu yang membuatmu mengeluarkan cermin emosi warna-war- ni Kau pantas mendapatkannya, Mak walau tak pernah sepadan dengan kaki-kaki yang kian menghitam selama kutinggal pergi Mak, ini ibukota Britania Raya, setelah ini pasti kutunjukkan ibukota kita. Bahkan Mak sudah lupa, Nak. Ibukota ini tidak ada apa-apanya dibanding keberhasilanmu. Tidak, Mak. Engkau yang berhasil. Berhasil menitiku menyusuri lorong kepapaan, melewati dimensi cabar hati, membuatku dapat menaklukkan burung-burung hitam mengudara di luar sana. Matur nuwun, Mak. (2021) Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 105

Kepingan Memori Oleh Bernadette Novalen Erike Henakin Lamunanku penuh dengan pilu Mengingat semua yang telah aku jalani Rindu dalam hatiku ingin meletus, layaknya Gunung Rinjani Aku sepertinya telah jatuh terlalu jauh dalam kerinduanku Aku bertanya kepada Tuhan, Kemana malaikatku pergi? Dimana dia, yang mengandungku selama sembilan bulan? Aku ingin bersamanya untuk sekali lagi. Dengan dia yang melahirkan dan membesarkanku. Aku ingin dibelai, ditimang dan dicium olehmu Ibu, senyummu selalu membuatku candu Kehadiranmu saat bangun tidurku membuatku tersenyum selalu Nasehat dari bibirmu akan kusimpan dalam hatiku Ibu, oh ibu… Engkaulah pelangi dan matahariku Aku begitu berterima kasih padamu sampai tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Walaupun tinggal kenangan, ada kehangatan didalamnnya Ibu. Aku, anakmu rindu akan kehadiranmu disampingku Tuhan, biarkanlah Ibuku tertidur lelap diatas pangkuanMu 106 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Kepingan memori ini akan menjadi hal yang paling berharga dalam hidupku Terimakasih Ibu, untuk kenangan manismu Tuhan telah menjawab pertanyaanku, ini adalah takdir hidupku. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 107

Kisah Langit dan Bumi Oleh Monna Ismaila S. /1/ Di Rumah Aku tidak dapat tidur semalaman. Padahal senja sudah pamitan dan sunyi telah bangun dari pejam. Ingatanku masih saja melayang, teringat tugas sekolah tadi siang. Ibu guru memberikan tugas mengarang tentang ibunda. Maka segera kubaca Kamus Besar Sejarah Manusia, mendalami kisah cinta Adam Hawa, lalu mencari benang dan jarum untuk menjahit jejak peristiwa semesta, yang disimpan oleh ibu di bawah taplak meja. Namun semakin aku mencari, semakin tak dapat kupahami. Siapakah ibuku? Aku pun tak tahu. Harusnya langsung saja aku tanyakan padanya, namun aku malu. /2/ Di Laut Kudayung sampan mengarungi laut lepas, menuju karamnya perahu kehidupan di kedalaman tak berbatas. Konon, peti harta karunnya berisi kisah Raja Neptunus dan doa Nabi Yunus. Maka kutanya ia soal ibuku, 108 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Sayangnya ia tak tahu. Sebab laut tak sedalam itu untuk menampung banyaknya mutiara dari air mata ibu. Namun laut memberitahuku, bahwa laut saat ini sudah sudah tinggal setengah. Sebab setengah laut telah tumpah bersama nyawa dan darah merah! Terguncang laut oleh buncah air mata bayi bungil yang menangis di ten- gah gurun pasir. Namun karenanya ditemukan mata air Zam-zam, surga para musafir. /3/ Di Gunung Belum dapat kupahami cerita lautan, aku berlari menuju gunung, wajah besar daratan. Maka kutanya ia soal ibuku. Sayang, ia pun tak tahu. Ia hanya memberitahuku bahwa daratan yang ada kini hanya tinggal separuh! Sebab separuh jagat bumi pernah runtuh! Tak sanggup ia setiap hari dihentak langkah kaki ibu, yang di tiap jengkalnya tumbuh akar cakrawala yang tangguh. /4/ Di Langit Masih saja tak paham, aku meniti anak awan menuju langit. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 109

Maka kutanyakan ia soal ibuku, Sayangnya ia tak tahu. Ia hanya memberi tahuku, langit kini sudah tak setinggi dulu. Sebab dikalahkan oleh gedung pencakar langit yang dibangun dari lantunan do’a ibuku. Gedung itu berhasil menembus langit! Sejak saat itu, langit mampu menampung amarah petir dan guntur, namun tak mampu menaungi amukan murka ibuku. /5/ Di Hutan Tak kunjung paham atas apa yang langit dan bumi ceritakan, aku masuk ke hutan. Maka kutanyakan ia soal ibuku, Tetap, ia pun tak tahu. Ia hanya mengatakan hutan tak selebat dulu. Sebab rimbanya hutan dapat diterangi cahaya kitab ibuku. Alunan merdunya menghamparkan peradaban di atas rimba lika-liku kebodohan hutan. /6/ Di Rumah Aku lelah. Kembali pulang ke rumah. 110 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Menangis sebab nasib tugasku semakin tak tentu arah. Aku berteduh di bawah alis ibu dan merebah di lengkung senyumnya. Aku akan menulis karangan tentangnya dengan air mata saja. Sebab dengan kata-kata, aku tak bisa. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 111

Kisah-kasih Ibu di tungku abu Oleh M. Irpan Abdurrohman Rozy \\1\\ Tak ada yang sepandai Ibu sewaktu menanak kasih di tungku abu sebelum lebam suhu subuh tubuh Ibu telah tabah padahal saban malam Ibu sibuk menyibak air mata, menyulam segala cuaca dalam tubuhnya, dan menyudahi sedih dengan seduh ramuan doa-doa mujarabnya. \\2\\ Terlihat seikat kayu dipahat tanpa hati sayu di depan batuk yang kian hari kian membentuk; lapuk. Jari jemarinya pandai merangkai tangkai dari pohon berakar sabar yang ditanam di sepanjang hatinya yang lapang. \\3\\ Lalu mula-mula menyala-lah api yang semayam hangat serupa cahaya rembulan jatuh di matanya namun embun membelai ubun rambutnya yang beruban saling bertemu menciptakan gigil yang tertinggal. \\4\\ Terpaksalah memeluk remuk angin dingin 112 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

menusuk pinggang; memaksa memasak dengan tubuh yang bergetar sambil mengambil air kaki yang memapah dan langkah yang susah payah ketulusan yang bening tenggelam di telaga sukmanya yang dalam. \\5\\ Pukul sembilan lebih sembilu Ibu meracik apik kisah hidup yang pelik dengan bahan-bahan yang enggan dan bumbu tak mau dicumbu Ibu mulai merapal doa dan suara-suara itu : “Bismillah, sek-kosrek-kosrek walau beras sekeresek” “Lah-olah-olah walau lauk pauk sekurus-tirus” “Yar yir yur sayur belum dibayar airnya sesumur” \\6\\ Manis asin asam pedas; Ibu ramu atas hati yang awas was-was Ibu ubah bahan jadi masakan saji walau siji sungguh disuguhkan nama-nama menu kasih Ibu nasi hangat kecupan Ibu, tumis tulus, sayur syukur, goreng ikan yang dikail dari debur dada yang kian sabar. “Alhamdulillah, cap cip cup” masakan dicecap, kisah dicicip, kasih Sang Ibu dikecup. (Cianjur, 2020) Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 113

Ksatria Dunia Akhirat Oleh Muhammad Akmal F.A. Dibalik detik yang terus berjalan Engkau setia menanti titipan Tuhan Melawan ekspekstasi menembus realita Menahan derita mengorbankan jiwa dan raga Hampir setahun engkau tanggung beban Menjaga ia dalam kandungan Tak ubahnya burung enggang Kau jaga ia dengan kasih dan sayang Hingga saat waktunya tiba Kau curahkan segala kemampuan Demi lahirnya sang keturunan Tanpa menghiraukan selaksa pun nyawa Tak cukup satu atau dua warsa Bahkan kau habiskan sisa tenaga Hanya untuk melihat buah hati tumbuh Hanya untuk melihatnya tetap utuh Bak seorang pejuang gagah 114 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Kau selalu tegap melangkah Walau seringkali badai menghantam Mencoba mencabik tubuh, meremuk redam Namun itu semua hanya dianggap angin lalu Tak ada yang bisa mengunggulimu Bahkan raja lautan sekalipun Itulah dirimu, Ibu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 115

Kutukan Takdir Ibu dan Anak Oleh Abdul Rahman Di hatiku, di otakku, di setiap bayang-bayang turunnya hujan Atau di setiap bayang-bayang tengah malam dalam kegelisahan Kau tak pernah sekalipun hilang dalam pikiran sosok paruh baya ini Memikirkan kapankah anakmu ini bisa kembali pulang Sudah berapa kali musim berganti Hingga tak ingat berapa banyak musim yang telah aku lewati sendirian di sini Mencoba untuk tetap bertahan atas kejamnya takdir kehidupan Menanti waktu yang entah sampai kapan harus menahan bongkahan kerinduan Anak semata wayangmu di sini baik Bu Walaupun sering diserang oleh kecamuk rindu padamu Tapi tetap kuat, tak gentar pun tak kalah dengan keadaan Bagaimanapun hati kecilku ini, pasti kau tahu bagaimana rasanya Salju pagi telah menampakkan batang hidungnya Menandakan awal musim dingin telah kembali Entah untuk ke berapa kalinya musim dingin ini hadir dalam kehidupanku Menemani beban kehidupan anak semata wayangmu Bu Jarak ini mengiris-iris hati kecil anakmu 116 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tuntutan ekonomi yang mengutuk kita berdua Bagaimanapun aku hidup di sini demi setiap hembusan nafasmu Meskipun harus hidup tanpa penguat yang paling kuat sepertimu Rasa ini tak tahan Sudah tak kuat lagi menahan hari-hari berganti memupuk rindu yang kian subur Aku akan pulang Bu Aku pulang. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 117

Lahir dari Rahim Kotor Seorang Sundal Oleh Muhammad Rizki Al Toriq Prolog: Seludang kebaikan takkan pernah dilirik oleh mereka yang memandang hina. Siaran bibir tetangga melumat habis dharma ibuku, memaksanya moksa dari loka. Rumah-rumah mereka yang kendatinya berjuluk apik nyatanya sa- ma-sama memingit dosa yang bertatakan di atas dipan rumah. Sumpah serapah menyapa lantas membobol hati sang sundal, men- yayatnya hingga sedikit demi sedikit terdedah dan akhirnya meluruh. Melabel ‘jalang, sundal’ pada seorang wanita yang telah melahirkan anak tak berdosa. Maka izinkan aku mengumbar cerita dan menjahit bibir kalian dengan kisah ibuku: /1/ Skandal Pelesiran Kulacino masih membekas di Bar Wine, menjadi saksi bertemunya sa- ban insan. Dentuman suara musik berpendar di seluruh sudut ruangan. Napas-napas alkohol menguar dari tiap mulut. Samar-samar daksa seorang wanita mengatup batas kewarasan pria. Dalam kabut nafsu ia mengurai rambutnya, ronakan wangi batra, ber- lindung dalam aman segepok uang. Usah peduli nama, usah peduli usia, yang ada hanya keterpaksaan di ha- 118 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

dapan. Hingga sebuah lubang diobral dengan bandrol yang bisa ditawar. Menikmati dinginnya malam di rumah pelesiran, memadu hangat, men- yulam pakaian dosa hingga menyemai benih kehidupan di dalam rahim. Ritus imago-imago malam mengibadahi jalang, mengugemi sundal, aksikan skandal. Saat mabuk, mereka bersama-sama menari di atas lembaran dosa, sa- ma-sama mencintai surgawi semu. Hingga pada akhirnya segumpal daging beratma akan bersemayam di dalam rahim, eloklah menunggu waktu dengan kesendirian yang mem- buat hati lintuh. Pada akhirnya penyesalan menyelubungi bangsal hati, memaksa me- mikirkannya walaupun dirinya tak mau. Rinai air mata menjamah pipi dengan binalnya, ciptakan genangan, tem- piaskan malu yang membekap diri. Siapkah ia untuk menghidupi anaknya kelak? /2/ Rahim yang Selalu Suci Selaput besar nan fleksibel pembungkus sebongkah daging bernyawa. Hangatkan malaikat kecil yang bersemayam di dalamnya. Tempat pertama kali bayi bermain rambut, menggenggam pusar, dan menendang. Kata orang rahim itu suci, tempat yang suci untuk diberkahi tumbuhnya seorang janin. Seorang wanita yang baik maka rahimnya pun mengekori suci, lalu jah- anamkah rahim seorang sundal bagimu sekalian?. Bagi kalian rahim seorang penjajan perawan sama lacurnya dengan bi- Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 119

natang. Kotor, berdosa, memalukan, aib, haram itulah kumpulan diksi yang se- lalu diujar. Tatkala Tuhan menganugerahi perempuan rahim suci untuk ditiupNya sebuah sukma, maka masih kelukah lidah kalian mengakui bahwa setiap rahim itu suci?. Maka kudaras dengan lantang bahwa rahim ibuku selalu suci. Persoalan nirmala hanyalah Tuhan yang memilikinya, usah kalian yang mencampuri kehendakNya!. Suci bukan hanya perkara tubuh melainkan juga pikiran serta perkata- an. Semua perempuan mempunyai pikiran yang sama, namun dikuasai oleh keadaan yang berbeda-beda. Memaksa. Daif. Tak dapat memilih. /3/ Hikayat Ibuku–Seorang Sundal Ketika kewarasan bapaknya ternodai oleh ketamakan akan kekayaan, lantas dijual anak gadisnya. Ia yang dikungkung oleh keterpaksaan, menolak tapi tak bisa–ialah ibuku. Ia yang menyokong Arsy Tuhan dengan tangis penyesalan, berharap agar Tuhan berikan perawannya lagi agar ia bisa berpinang bersama te- pian mata dengan halal. Nyatanya Tuhan hanya terdiam mematung, ibuku memilih takdirnya sendiri atau ditetapkanNya, aku tak tahu menahu. Jati diri seorang ibu ialah malaikat yang menyanggul kehidupan anak-anaknya. Raga ibuku ditumbalkan untuk bersetubuh dengan kemalangan. 120 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Bersolek dengan fatamorgana pelik. Bedaknya hanya jelaga kesucian diri. Lipstiknya rona kesumba darah nadi, berkalung nista, dan bercincin ren- jana kehidupan. Adorasi ibuku, tubuhnya mendua, tidaklah ia gugurkan segenggam suk- ma di kandungan. Memasung berahi begundal pelesiran dan menambatkanya dalam bisu. Takkan ia labuhkan perkataan ‘wanita jalang’ di dalam hati. Yang ada hanya bersua dengan sibiran tulang meski tak rasakan dip- inang tepian mata. Filantropi ibuku lagi anfas dan takkan lenyai oleh makian orang-orang. Ia yang tak mampu mengukur masa depannya, tapi mampu menakar dan mengarak masa depan anaknya. Berkeledar dengan sakitnya dunia untuk lindungi buah hati meski ia ter- gopoh oleh cacian. Mendandani anak-anaknya dengan kebajikan, larungkan kebodohan. Tak pernah gamang akan kehidupan seusai melawat ke dunia pelesiran. Takkan ia sia-siakan impian anaknya menjadi gurur, langkahnya takkan mungut untuk antarkan anaknya pada kebenaran. Pantangan ibu padaku untuk jauhi pelesiran ditetak sedemikian rupa meski ia sendiri pernah berkecimpung. Sudah cukup. Ia kembali pada perintah Tuhan. /4/ Lahir Bukan Untuk Mengulangi “Lahir bukan untuk mengulangi, Nak” petuah ibuku. Lahirnya kehidupan baru lewat buah hati bukan perkara mengulangi siklus hidup ibunya melainkan melakonkan drama kehidupan yang lebih Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 121

baik. Ibu yang tiap malam menengadah meminta pada Tuhan lewat tangan bersimbah dosa masa lalu, berharap jauhkan anaknya dari kelamnya masa lalu ibunya. Mengais-ngais pengampunan di sisa-sisa malam. Rapalkan ayat-ayat kitab meski ia terbata dan kaku untuk lagi melafal. Ajarkan pada anak sang penerus kehidupan bahwa kelahirannya bukan untuk mengulangi kesalahan ibunya. Ia tinggalkan kehidupan bejatnya, contohkan kebajikan pada anaknya meski kendatinya banyak hujat menjerat. Ingatkah bu saat engkau memberikan senyum simpul pada tetangga? Hingga kau berpesan: “Meski orang-orang memandang ibumu seorang sundal, tetapi yakinlah bah- wa kau takkan pernah menjadi seperti ibu, Nak. Lumbung kesabaran ibumu ini penuh sesak dan takkan ada habisnya. Doa-doa ibu selalu menyokong se- tiap langkah hidupmu.” Daksa ibu tiap hari kian kemarau dan menuju lembayung senja. Ia yang selalu menguatkan hati dan tekad dalam sebuah pelukan. Kecupan murni dari ibu seorang sundal yang telah bersilih rupa men- jadi batari nirwana. Membubuhi hidup anaknya dengan pelajaran ke- hidupan. Epilog: Mereka yang melabelku ‘anak yang lahir dari rahim kotor seorang sundal’ tak tahu menahu soal sucinya rahim ibuku. Mulut yang terus meludah dan berkoar tak ada hak untuk mencap seorang dewi kehidupan. 122 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Jiwa seorang ibu akan tetap sama meski berbeda tautan zaman. Meski seorang ibu tercipta dari rumah pelesiran sekalipun, ia murni dan tulus mencintai anaknya. Merekalah orang-orang yang buta melihat seseorang dari cangkang luarnya bukan dari isinya. Dengarlah ucapanku dan tancapkan kuat-kuat dihatimu! “Aku bangga lahir dari rahim suci seorang sundal yang kalian semua kira bahwa rahim ibuku kotor!.” Sidoarjo, 22 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 123

Langit di Penuhi Do’a Ibu Oleh Ilham Nuryadi Akbar Di langit lapang tempat Tuhan memandang, terbentang keberkahan menjulang rindang. Sedang di bumi, desir angin menyapa jendela yang menganga, tepat di rumah perempuan tua yang masih menyimpan meja makan berkaki pincang, lagi bersarangkan anai-anai. Tudung sajinya masih tergantung rapi. Tak terhidang nasi atau secangkir kopi. Melainkan nanar di lorong mata sebab mengingat jantung hati, merantau jauh di tempat yang entah. Tatkala malam beserta dingin memukul tubuhnya yang mulai keriput. Perempuan tua itu bergegas memantik api di puting obor. Sembari melimbungkan do’a yang kian tergenang di dada-dada langit, agar yang jauh tak tergambar dapat dibanjuri cinta dan kasih sayang­ nya. Kini ia hanya menimang-nimang lengang. Meneluhi jelaga yang saban malam menyapa. Namun yang jaraknya tidak sedepa acapkali menangis, lantaran tak tahu, kapan dirinya dapat bertemu sang Ibu. Bekasi, 18 Januari 2021 124 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Lembayung Senja Oleh Maudi Sri Rahayu Dia adalah asa yang selalu menjadi cerita Menjerat sukma dalam nada berirama Lantang namun syahdu Pelan namun menggema Menoreh canda melukis tawa Memberi ruang tanpa perlu meminta terus terang Dia adalah lembayung senja pengikat jiwa Jingga yang selalu menjadi cerita Tak ada luka yang tertuang Deras mengalir tidak pun tumpah Dia adalah rona pemilik rindu tak bersyarat Syahdu mendayu dalam qolbu setiap jiwa Meratap tak minta menetap Menjerit tanpa pernah meminta pamit Rona indah sayup pandangannya Melambai menjauh tapi tetap berjuang Mengayuh rindu yang kian mengusik jiwa Berlabuh di batas usia Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 125

Membaca Ibu Oleh Adi Sujana /1/ Aku membaca ibu tengah meredam badai nestapa ketika jerih-jemarinya lebih banyak menjalar liku-luka yang menjamah sudut-sudut rahasia dalam rongga jiwa dengan rasa yang menghanyutkan bongkahan luka ke tubuh derana. /2/ Aku membaca ibu selalu saja tak menjelma jelaga meski senyumnya berkali-kali kueja sebagai sebilah kayu yang membisukan kobar api dan kecamuk bahasa. Baginya, bungkam adalah kata-kata yang tak sanggup memikul beban makna. /3/ Aku, ‘kembara’ dan ‘kota’ barangkali menjadi kata yang membelit penglihatannya sehingga dikenakannya caping koyak ketika dingin pagi masih menyergap. Di sepanjang jalan setapak yang gelap, ia nyalakan harap: semoga di tanah yang sederhana itu, padi dan ubi tumbuh me riap –selepas menghujaninya dengan keringat meski genggamannya penuh lepuh dan sayat 126 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

demi sayap-sayap di punggungku yang harus terus berkepak. Semesta ditangkapnya sebagai kelindan makna yang terdengar tanpa suara, yang terbaca tanpa aksara. Doa-doanya gemetar membuka lembar baru pada nyawaku –meski sebenarnya adalah ibu yang tiada henti menghidu aroma lembar terakhir jiwanya yang berbuku-buku. dan aku masih membacanya di halaman satu. /4/ Aku membaca ibu begitu tabah melipat renjana menjadi rahasia, ia menyembunyikannya ke dalam teduh cahaya. Dan aku menjadi sesuatu yang malang-melintang di antara kesunyian tanda-tanda. Bagaimana bisa ia tabah dalam penantian sedangkan yang selalu bersamanya adalah kerinduan? Bagaimana bisa ia sempurna sembunyikan kejujuran ketika dalam diamnya tak henti-hentinya menyeruku pulang? Bandung, 2020—2021 Semoga sajak ini tak menjelma pisau yang mencabik kemuliaan ibu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 127

Mencuci Segumpal Darah Daging Oleh M. Habib Syafa’at Seorang perindu dalam diriku sibuk mencuci segumpal darah daging Menggotongi reruntuhan sejarah yang menumpuki tulang-tulang ibu Puing-puing sarkofagus tercampur dengan bahan dasar kecemasan Menjadi jembatan bagi segala zona waktu yang ingin bertemu Benar, kematian adalah sekumpulan tangan berwarna lesi yang melempari ingatannya dengan tak terhitung batu kali hingga masa lalu terkesiap menerkam jiwanya yang pasi Bola matanya melesat menggelindingi lorong-lorong waktu Melewati laut-laut dan tikungan jalan penyimpan jejak tunggu Ia dibawa pada sebuah hari lahir Awal dari segala yang akan berakhir Di waktu bibir-bibir hamba memuntahkan zikir; perenungan para kyai Sebuah bilik kecil yang di dalamnya ada seorang dukun bayi seonggok tubuh tinggi besar yang mengenakan jubah arang dan seorang ibu yang hanya bersenjatakan kemban jelamprang Ingar bertarung meraung-raung; mengobrak-abrik jagat gigantik Tersumbar garung jerit membuat pandangannya lebat hujan semantik 128 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Setelahnya ia diputarkan sebuah peristiwa yang panjang yang melibatkan berbagai wajah dan latar belakang Tentang hidup yang begitu pemurah, jauh dari paceklik Tentang langit dan manusia yang saling bertukar nasib baik Tentang adiwarna takdir yang tertuang dan teraduk padu ke dalam sebungkus montase sakral seperti rahim ibu Tempat kisah tuah raja ditegakkan, kisah muslihat musuh dibungkam kisah perawi menanam pertanda, kisah penyair mengunduh kalam kisah-kisah para penguasa, bahkan juga kisah-kisah para pencuri: Rantai kisah yang pernah diputar dalam sekali siklus hidup-mati Setelahnya ia dipasah menuju halaman lapang melalui tikungan cahaya cemerlang Menyaksikan segerombolan bocah berkulit cuaca Menggiring bola yang harganya lebih murah dari sebotol arkeologi kaca hitam di hadapannya Tak beralas kaki; tak mempan bilah duri Setelahnya ia dipelipirkan ke bantaran Bengawan Solo Replika fana sungai lambang kejayaan paradiso Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 129

Menyaksikan bocah-bocah cenayang bertubuh bubu Siap menyergap apa pun yang melewati hulu hingga hilir Penghuni tetap kesayangan wajan penggorengan ibu Tanpa alat penangkap mutakhir; tanpa gelagat khawatir Setelahnya baru ia dipulangkan ke tempat asalnya: Tempat pertama kali ia mengenal dirinya Kelopak mata kayu dengan ukiran daun-daun terbuka, Menguarkan rahayu aroma telur dadar buatan ibu —mengganti sejenak peran udara dalam ruang angkasa Membuat perut kecilnya menjadi berlagu Ia duduk manis sebagai pangeran kesayangan ratu Memegang sendok dan piring dengan wajah berbinar Siap menyantap garnis-garnis musim semi sajian ibu Sebelum waktu yang durhaka itu menariknya keluar kembali melesati koridor cakrawala —kembali duduk di tempat semula Di sebuah kursi ambisi; sebuah pengkhianatan besar yang dahulu ia kira bisa menjadikannya bijak dan ugahari Sebuah mulut peradaban yang menganga lebar 130 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

—siap menggeramus harapannya kembali Lubang hitam yang dasarnya belum bisa ia perkirakan Jadwal-jadwal kepulangan yang terpaksa ia batalkan Kerinduan-kerinduan yang kian hari kian menguning: Mengotori segumpal darah daging Kini ia mabuk menghidu bau ari-ari dalam tanah kering Tanah abadi yang mendarah daging Bojonegoro, 30 Agustus 2020 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 131

Menjadi Sepertimu Oleh Kanza Irdha Rumi Untuk ia yang mengenalkan aku pada cinta /1/ Kutanya Ibu perihal cita-cita Ia menjawab penuh cinta Apa cita-cita Ibu? Menjadi yang terbaik bagimu /2/ Aku kecil menyimpan rupa-rupa tanya dalam hiruk pikuk kepala segala yang tak kutahu tak ayal melahirkan tanda tanya baru kepada wanita itu kuserahkan bising kepalaku yang mengganggu dititipkannya jawaban dari seni kehidupan melalui lembut belaian tentang biru laut yang debur ombaknya tak surut meski wajah langit nampak berkerut tentang deras hujan yang mampu menyapu cerah awan mengusik kenangan di tepi jalan tentang bagaimana dunia tercipta dengan begitu cantik siapa gerangan sang pemilik? tentang apa itu cinta yang tak jarang aku mendengarnya 132 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

apakah cinta baik untuk setiap raga? /3/ Ia adalah ibuku, tak fasih mendefinisikan kata cinta sepanjang alur pahit manis ke- hidupannya pun tak mahir mengungkapkan kasih melalui frasa bak pujangga yang dimabuk asmara juga tak piawai merangkai bait puisi romansa bagai penyair yang merin- du belahan jiwa tetapi, melalui sabda penghujung malam kala jiwa terangkul temaram merdu suaranya mengantarkan petuah cinta ke ruang sukma terdalam lembut tatap tulus pancarkan kasih dari sorot bola matanya yang pad- am peluk hangat tubuhnya sekejap mampu menghempas kisah paling ke- lam /4/ “Bu, mengapa kita menangis?” terkadang manusia tak lagi mampu mengungkapkan rasa melalui kata kabar baiknya, air mata diciptakan bagi siapa saja yang membutuhkannya ia yang terlampau bahagia, ia yang dirundung nestapa bayi kecil tak berdosa, orang dewasa yang menangisi dosa-dosa tangis ada sebagai cermin bagi perasaan kita, Nak Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 133

hanya sang pemilik air mata yang tahu betul bagaimana perasaanya “Apakah Ibu sering menangis?” tidak sesering dulu saat hidup kerap kali memaksa menjadi kuat beban bertumpuk, duka mencekik, dunia terasa begitu sempit perlahan takdir hangat mendekap, membisikkan mantra-mantra bijak air mata dan tawa adalah sahabat manusia, Nak sambut mereka penuh cinta, walau entah dari mana datangnya “Cinta… di mana ia berada? ingin aku melihatnya.” kau bisa merasakan cinta tanpa harus menjumpainya seperti langit yang setia menanti hujan membawakan pelangi untuknya bagai malam yang merindukan kemerlap bintang menghiasi gelapnya serupa nona yang tabah menunggu biru laut mengirim tuan pulang ke pe- luknya kau bisa merasakan cinta di setiap tarikan napas, di setiap darah mengalir di dekatmu, di hadapanmu, dalam hidupmu aku adalah cinta /5/ Jika aku setangkai kuas biar kulukis harum tubuhmu dengan tinta emas bermandikan warna cahaya suci dari batas waktu tak pudar dilahap air di sekian ribu tahunku 134 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Jika aku selembar kertas biar kutulis denyut nadimu dari serangkai napas dilindungi nyawa para bidadari yang abadi tak mati walau hanya tertinggal nama di sisi Jika aku selapang ikhlas biar kucipta untukmu bahagia tanpa batas berpendar dalam kesunyian batin yang pekat tak habis bila rayuan sendu memeluk erat /6/ Di atas selembar kain putih kucoba merayu Maha Pengasih khusyuk meracik doa untuk Ibu terkasih jika kelak tangannya tak lagi kuat mengangkat matanya tak lagi jernih menatap aku yang penat garis wajahnya terlukis sehamparan muka tinta putih menjuntai panjang helai rambutnya telinga sayup-sayup mendengar bahasa manusia akan senantiasa lipat bibirku menyeru bahwa aku adalah cinta /7/ Tuhanku yang Maha Penyayang Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 135

beri kami umur panjang hati setegar karang petunjuk paling terang demi jiwa-jiwa yang tenang /8/ Aku beranjak dewasa Ibu bertanya perihal cita-cita Apa cita-cita anakku? Menjadi yang terbaik sepertimu Bekasi, 12 Januari 2021 136 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Menyusuri Rindu Sungai Batang Anai Oleh Mafira Fitri Katanya aku ini ialah buah yang jatuh di hilir Sungai Batang Anai lalu hanyut makanya aku lupa dari hijau rimbun nan indah pohon mana aku ranum di sungai itu katanya seorang pedusi1 rimpuh nan ripuh tengah melar- ungkan rindu lalu aku yang hanyut itu ia pungut dan disemainya hingga berbunga Namun meski katanya aku tumbuh bak anggrek merah dipohon tua tapi aku tak benar benar merah tak merasa indah aku hanya terus bertanya mengapa aku malah tumbuh menjadi epifit yang tak benar benar memiliki rumah Ketika air mata Enek2 menjelma muara kerinduan pada anak sanak aku menjelma pilau3 yang menyusuri luas nan dalamnya muara itu entah berapa saban sangkala kami jejaki rindu dalam laluan kegelapan sebab kami percaya bahwa rindu ialah cahaya dan hanya kegelapan yang mampu menyibaknya 1 Perempuan 2 Nenek 3 Perahu, kapal Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 137

maka meski bak api yang ingin menyala pada abu rindu ini tak boleh menyerah biar tubuh ini saling berteduh mengasuh rindu Hanya saja masih di sekitar Sungai Batang Anaikah pohon itu? Karena jika masih aku ingin segera berteduh meredam cemburu pada hangatnya lengan Amak Urang aku ingin kenyang tanpa mengandung hati pada rendang dalam periuk Amak Urang aku ingin hersa tanpa gelabah4 menatap wajah dan gelak tawa Amak Urang dan aku tak ingin lagi kuyup oleh linang yang menjelma hujan dalam aksa Amak Urang Masih kususuri sungai batang anai dengan kelesah5 seraya berkaca pada airnya yang kian keruh dan mendapati rupaku yang masih menjelma entah Namun dengan segala harap yang hampir binasa 4 Sedih 5 Tidak tenang, Gelisah 138 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

tetap ku madahkan syair syair Rumi padamu tanpa jelak6 semata karena sesisi semesta menyebutmu surga Namun Mengapa kau mengeluarkanku dari sana, Aku hanya ingin tahu jawabannya bukan katanya. (Padang Pariaman, 2021) 6 Jemu, bosan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 139

Merindukan Sang Surya Oleh Afifah Riska Tiara Maulidina Genggaman tangan nan hangat Pelukan lembut yang menenangkan Senyum tulus tak terkira Kasih sayang yang tiada tara Lelah yang ia rasakan Air mata yang ia sembunyikan Darah keringat yang ia korbankan Tulus cintanya menguatkan hati Meski pilu mendera batinnya Kehangatannya melindungi diri Kala dingin mernusuk jiwa Tak terkira semua yang diberikannya Tak terbalas pengorbanannya nan ikhlas Namun, sekarang sang surya telah menghilang Meninggalkan sisa kehangatan untuk menguatkan Memberi jejak kerinduan yang tak terbalaskan 140 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook