Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore E-Book "PUISI IBUNDA"

E-Book "PUISI IBUNDA"

Published by SMK Negeri 1 Takengon, 2021-06-26 16:08:30

Description: E-Book ini berisi Top 100 Karya Puisi Terbaik dari Peserta Lomba Menulis Puisi Nasional dengan tema “Ibunda” yang diadakan oleh Catatan Pena.

Keywords: karya puisi,puisi terbaik,puisi nasional,catatan pena,puisi ibunda

Search

Read the Text Version

Daster Abu Oleh Nabielah Zamzamy Bu, mainanku rusak! Ia tersenyum menenangkan Ibu di sini, untuk bermain denganmu Bu, teman sekolahku memusuhiku! Ia tersenyum mengelus rambutku Ibu di sini, sebagai temanmu Bu, aku sedang patah hati! Ia tersenyum menggenggam jemariku Ibu di sini, untuk menguatkan kembali hatimu Bu, tugas-tugasku banyak sekali! Ia tersenyum menemaniku Ibu di sini, untuk menyemangatimu Bu, aku lulus! Ia tersenyum memelukku Ibu di sini untuk bersyukur atas dirimu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 41

Bu, lamaran kerjaku ditolak! Ia tersenyum dengan belas kasih Ibu di sini dengan doa selalu Bu, masalahku kian bertumpuk! Ia tersenyum menahan tangis haru Ibu di sini, untuk selalu di sisimu. Ibu di sini, dengan banyak harapan padamu. Semoga sukses selalu Ibu di sini, mengharap kebaikanmu. Berdoalah untukmu Ibu di sini, menguatkan tekadmu. Jadilah gadis tangguh Ibu di sini, untuk menyayangimu. Bahagialah putriku Bu, aku sukses! Hening. Tubuhmu mengkaku! Bu, aku sudah sukses! Sekali lagi, tetap hening. Bu, kubilang aku sudah sukses! Berilah ucapan selamat untukku! Tersenyumlah untukku! Katakan kau ada di sini untukku! Hening. Tubuhmu kian dingin! 42 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Dan tubuhku gemetar hebat penuh rasa takut Mataku memanas dengan benda cair Langkahku lunglai tuk sekadar berlutut Kau dibawa pergi orang-orang Lalu kau disembunyikan di bawah gundukan tanah merah Padahal, aku tak sedang mengajakmu bermain petak umpet! Kau bersembunyi, tanpa kembali lagi! Kau terlihat jahat dengan gayamu, Bu! Tidakkah kau lupa memberi selamat untukku?! Tidakkah kau lupa mencicipi buah manis usahaku?! Tidakkah kau lupa, bahwa aku belum membalas budimu?! Seharusnya kau tagih itu! Seharusnya begitu! Katakan kau marah padaku! Katakan kau kecewa padaku! Tapi kau datang pada malam itu, Memberi salam perpisahan lewat mimpiku Kau tersenyum padaku, sembari berucap tulus menatapku Ibu bangga denganmu, putriku. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 43

Aku kian tersedu Menangis sesal atas kebodohanku Kau benar selalu ada di sisiku Tapi tidak denganku! Aku jauh darimu, Ibu Aku tak pernah peduli padamu! Aku hanya memikirkan diriku Diriku, diriku, dan selalu begitu Tanpa peduli keriput di wajahmu Tanpa peduli beban di punggungmu yang penuh keluhanku Tanpa peduli usiamu, yang membawamu jauh dariku Tanpa peduli jatah bahagiamu, yang sudah kurenggut itu! Mataku memandang kosong pada lemarimu Daster abu setulus kasihmu Selembut jiwamu Mulai kumal tertutup debu Daster abu yang berharga Kini kusesali dalam doa Aku, putrimu yang lupa Pada daster abu, yang kau beri tanpa harga. 44 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

DI ATAS PUSARA Oleh Wahyu Indriani Tanah masih merah Rumput pun baru menggeliat untuk tegak kembali Setelah mata besi dan berpasang-pasang kaki Menghujam dan mengiris bumi Merampas hak hidup apa pun yang menghalangi Kamboja baru sebatas kaki Kulihat senyum bumi memangku ibuku Pandemi telah melarangku mengantarnya pergi Aku hanya bisa melihat senyum ikhlasnya Seperti sebelum-sebelumnya Ketika aku tak bisa Ketika aku memaksa Ketika aku meminta Atau tingkah laku lain yang tak pernah bisa ditolaknya Pusara ini sebenarnya tak berpenghuni Karena ia tak ada di sini Karena ibuku tidak pernah mati Ia tak mati karena racun dari madu hitam yang pernah ditenggaknya Ia tak mati karena kerasnya hidup dalam mengasuh lima anaknya sendi- Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 45

rian Ia tak mati karena ia tak egois Ia tak rela mati demi anak-anaknya Pusara ini menyaksikan Walaupun ia hanya tanda Bahwa seorang wanita dengan lesung pipi Telah menari dengan selendang halus di atas pelangi Naik ke awan-awan yang putih permai Tangan kasarnya telah dihaluskan Kaki perkasanya telah dilembutkan Otot-otot baja di lengannya telah menghilang Berganti dengan lengan lentik yang gemulai Keriputnya telah pudar menjadi kulit bayi Dan rambut putihnya, lihatlah Halus berderai-derai di tiup angin Walau ia kini tak bisa kujangkau Aku masih merindukan dekapan hangatnya Dendangan lagu nina bobok yang selalu mengalun merdu dari bibirnya Sehingga aku tertidur pasrah dalam buaian Lupa dengan kuatnya keinginan untuk terus bermain Bersama ikan-ikan kecil di parit Dalam aroma amis lumpur yang kusuka 46 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibu Sebuah sebutan yang dulu enak buat diteriakkan Ketika sebuah permintaan harus dituruti Sebuah sebutan yang menentramkan Ketika panas tubuh telah menghadirkan beribu kepala berjajar Menyeringai menakuti Dan Ibu adalah dekapan ketiaknya yang mengusir rasa takut Ibu Sebuah sebutan yang harus hadir Ketika kakak-kakak tak berpihak Dan Ibu adalah amarah yang amanah Kini Ibu Hanya sebuah pusara tak bersuara Sebuah sebutan yang menciptakan kekosongan jiwa Dan kenyerian di dada buat mengingatnya Namun gemetar tanganku Tak urung menyentuhmu juga Walau hanya pusara Tapi aku tahu Ibu akan bahagia Ketika aku melakukan yang dia inginkan Pusara ini adalah saksi Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 47

Akan sebuah janji yang tertancap di hati Dan doa Adalah penguat asa Ketika kata ‘Amin’ meluncur dari bibir Bersamaan dengan turunnya tetesan air Dari sudut mata 48 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

DOA PUAN BERSAUH Oleh Tanti Melasari /1/ Tentang pelbagai jentaka, yang tak mau kau sebut malapetaka. Malam-malam kau sapa sengsara, dengan aamiin-aamiin penutup suara. Setiap tangis yang kau aku haru, terselip makna yang teramat keliru. Kucuran doa tak pernah berakhir, kau rapalkan hingga titik nadir. /2/ Katamu, tidak ada pinta yang sia-sia, selagi satu yang utuh, daksa manusia. Kau memintaku dengan jelas, agar menyintas hingga tuntas. /3/ Dalam rengkuhanmu pertama kali aku kau sentuh, setelah berhasil melalui pintu rahim yang utuh. Kau acuhkan sembilu sakit tak karuan, Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 49

demi nyawa yang bergantung sembilan bulan. Dalam dekap abadi tanpa nelangsa, terselip ejaan yang tak biasa. Saat kau mengajariku mengeja agar bisa mengaji, kau adalah puan dicintai tuan agar anakmu jadi menawan. /4/ Puan, selaksa mualif yang khatam aksara, doamu menyambung abadi tiada tara. Sejuk dalam sepi, bersauh tenang meski dalam mimpi. Puan, bila esok harus kugapai urip1 penuh jerih, bungsumu menanti dekap agar berkurang si rintih. Mengurangi sambatan, terus sembahyang, “Gusti Allah mboten2 tilem3, sayang.” Jember, Januari 2021 1 Urip : Jw v hidup 2Mboten : dalam bahasa jawa artinya tidak. 3Tilem : dalam bahasa jawa artinya tidur. 50 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

DUA RATU KALBU Oleh M.Sholikhul Amin Ketika rembulan tampak bersama bintang Arunikapun masih berselimutkan petang Engkau tegapkan langkah membanting tulang Menggeluti dunia dagang hingga siang Ketika jalan yang kulalui sukar dan curam Tersesat arah belukar dan buram Engkau hadir memberi pelita kebenaran Hingga jiwa dan raga terselamatkan Bu.. Sembilan bulan engkau sabar mengandungku Meski tertatih tak pernah merintih pilu Gurat lelah itu engkau selimuti dengan penyejuk kalbu Senyum tulus adiwarnamu memangku Umy.. Saat logika lemah aksara Engkau mengenalkan ilmunya dalam percaya Saat raga hampa nan taksa Engkau ajarkan bakti kepada guru dan orang tua Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 51

Ibu.. Umy.. Panggilan dua yang mulia Sosok ibunda yang bermentalkan baja Dua Ratu kalbu yang kupuja Ibu kandung dan Ibu Guru yang tercinta Jangan bertanya, sanggupkah membalas Tentu tak sebanding dengan jawaban memelas Seberapapun tak akan pantas Jika untuk mengganti kasih sayang yang luas Kala intuisi bertanya Akankah diriku bisa bersama selamanya? Akankah Ratuku selamanya bisa bersama? Sungguh kuberharap bisa Ibu.. Umy.. Terima kasih atas kasih yang engkau tebar Maaf karena sering menabur luka nalar Aku selalu berdo’a kepada Sang Pencipta Untukmu dua Ibundaku yang tercinta 52 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Goresan Rindu Untuk Ibu Oleh Tria Yunita Dialah udara dalam belenggu asap Cakrawala indah tempatku menatap Laksana bumi untukku menetap Halus lembut sutra yang selalu kudekap Wanita tangguh yang tak kenal lelah Merajut asa tak pernah lengah Selalu bersujud seraya berserah Demi aku yang tak luput dari salah Aku, raga yang mencintamu Jiwa ini rapuh bila tak bertemu Rasa gelisah tak ada jemu Menahan rindu hanya untukmu Kita sama tapi tak serupa Satu hati satu rasa Tak ada ucap yang mampu tercipta Hanya ada rasa sedih dan air mata Awan pun tahu rindu bersemayam Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 53

Hujan rintik turut menghantam Sang surya pun surut terpejam Senada denganku yang terpuruk suram Ingin ku peluk cium ragamu Namun jarak yang buatku tak mampu Bu, aku ingin selamanya denganmu Hingga waktu yang jadi penentu Tulisan ini tentang ibu Betapa aku mencinta dan merindumu Tak banyak, namun hanya untukmu Inilah goresan rinduku untuk ibu 54 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

IBU Oleh Qurrata A’yun Sinaga Menalun lembut angin malam Menelisik telinga menderu deru Mengiring sukma yang kian menggebu Pada mentari kau terbangun Dengan khusyuk kau sentuhkan Jiwa lembutmu meredam hiruk pikuk dunia Jemarimu kau tengadahkan Dalam lingkup doa kau bernada Rintih suara yang menggema Dalam tulus suaramu Kau panggil anak-anakmu sembari bertelu Khawatirmu membuncah di dada Kau dekap kami dalam kisah syahdumu Ibu ............... wanita hebatku Ibu.................wanita teguhku Ibu................wanita dalam nirwanaku Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 55

Ibu Dalam Deru Oleh Taufiq Zakaria Bu, derapku kini tersisa dusta Dari badai menerpa hingga dera yang tak kunjung reda Yang kumengerti, dihempas sunyi Tersisa asa, yang terus kau percaya Kala aku dihujami sunyi Hadirmu yang terjaga di tepi kelam Membawa arahku pulang Saat kaki kecilku tak dapat berhenti Kau ikatkan aku tali sepatu untuk berlari Dapatkah kini, kau lakukan lagi? Kali ini untuk lari dari badai, menyelamatkan diri Lalu, bekal yang selalu ku jinjing Agar tak lapar, tak gusar Dapatkah kini, kau bekali aku lagi? Kali ini agar aku tahan berdiam dalam sepi Bu, pohon yang kutanam kini Gugur dan berserakan tanpa arti 56 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Hanya ibu yang mengerti Mengubah sisa nyali Kembali nyala, kembali tumbuh Menjadi utuh Terpaksa patah, lalu merekah Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 57

IBU JALANAN Oleh TP M Siddiq Meski terik memanggang kulit bumi Tak jua menyerah mengais remah rezeki Menjajakan lembar berita hiruk-pikuk kehidupan Menenteng helai peristiwa ragam kejadian Pada kerudung lusuhmu menempel debu berdaki Di antara lalu-lalang roda kereta tiada henti Bersimbah tatapan iba dari balik kemudi Akankah jerihmu menjadikan bangga untuk dikenang Oleh anakmu ketika kelak menjadi seseorang Ataukah terlalu sengaja disembunyikan Memilih malu berkisah tentang ibu jalanan Berladang nasib di trotoar tepi perlintasan Kepri, 06 November 2020 58 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibu Kita Petani Oleh Rori Maidi Rusji Aku gantung doa sepanjang pagar ladang padi. Acap kali kita menghibur suratan hidup pada rumpun-rumpun padi Kau, ibuku. Menitip pesan pituah keperantauan dalam kesiur angin Mengasuh aku dalam bayang-bayang rindu Wajahmu selalu ada dalam papan reklame di pinggir jalan, Dalam langit-langit rumah, Dalam gelas kopi, Dalam diskusi-diskusi, Dalam aliran darah. Mengenang wajahmu, membuat air mata berkelindan Terkenang telaten tangan mengasuh benih, Menabur pupuk, Menyiang pangkal, Menghalau pipit, Menuai hasil. Bungkuk kudukmu, menjadi harap yang berkecamuk Benar, kau milik semesta, sedang aku hanya milikmu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 59

IBU PAHLAWANKU Oleh Novita Harjanti Wajah datar seperti tak berirama Polos tanpa warna Tatapan yang kadang sulit dimakna Cerminan hati yang tegar oleh segala tempa Riuhnya dunia dengan segala yang ada Hadirmu jadi penawarnya Lenganmu jadi penenangnya Doamu jadi penyelamatnya Kau bagai setetes embun dipadang tandus Kau bagai setitik cahaya dikegelapan Tak usai kulukiskan sosokmu Pribadi penyempurna kehidupan Pusara yang diam membisu Jadi saksi tidur abadimu Kurelakan pergimu pahlawan hidupku Tuhan, berikan padanya surgaMu 60 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibu Suri Teladanku Oleh Hermansyah jaya kemit Di lereng merapi usai tanah meliuk turun, sunyi Ada seorang Ibu, insan luhur dan pekerti Meronta menjerit, tengadah menilik langit Tak nyenyak gelapnya, tak tenang terangnya Menjaga membasuhi hati ibnu, emas tempawannya Saban subuh bersujud syukur, pecah berlinang air matanya Meniti lereng merapi, tangkas berjalan di tanah bendang Menyibakkan palawija, jeli mencari padi yang jarang Di sedang istirahatnya, di bawah terik surya Dia kumpulkan rumput benggala Lalu senja menutup mata, tuntun dia keluar dari belukar Menggengam sesuap kenyang, perut anak yang menunggunya Mengikuti liku terjal tanah, acuhkan renyem tubuhnya sepanjang jalan Di dingin malam dia bercerita, dedahkan lelah dan luka tubuhnya Gemetar jemari keriputmu Ibu, saat kau genggam tanganku Lalu tuturkan nasihat dan amanat Sampai malam nyanyikan kesunyian Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 61

Hati dan mulutmu, masih mengucap doa dan zikir untukku Ingatmu utang piutang dan belum sempat kau bersedekah Terpojok, dan harus kau menitip harapan pada tukang riba Meski kau tahu sukar untuk percaya Masih semerbak Ibu, mulia doa dan harapanmu Pada bayi merah yang kini dewasa Masih segar Ibu, ucap bibirmu di akalku Biarlah lelah dan keringat berbuah berkah katamu Masih semerbak harum cinta yang kau berikan Ibu Bercampur lelah dan luka tubuhmu Tapi tak sanggup kubayar utang budiku Tak sempat kumekarkan senyummu Ibu Tak sempat kululuhkan hatimu Ibuku Tak sempat kusuguhi dirimu Ibu, cinta anakmu Hanya tersisa kenangan, diseluk lembar kitab injilmu Tertinggal doa dan cinta kasihmu, di buku tua yang sudah berdebu Tapi rumah kayu dan tikar tua meratapi Masih berharap, menanti janjiku ditepati 62 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Termenungku dalam lamunan, bawa hadirmu segar dalam pikiran Rawat kejenuhan, lalu buatku sadar Seindah apa awan di langit, tanpa jalur angin yang menuntunnya Maka seindah apa bianglala, tanpa mendung hitam Ibunya Maka cintaku Ibu, tak layak engkau terima Maka tangan kasarku Ibu, tak sanggup jamah dirimu Tak pantas diriku, bersemi dan menggerogotimu Biarkanlah aku terduduk Ibu, sungkur dan tersujud dihadapanmu Izinkanlah air mata dan maafku Ibu, membasahi telapak kakimu Kering dan gatal mulutku, sampai aku layak Ibu Rata dan kotor wajahku dengan tanah, sampai aku pantas Ibu… Layu, merambat tua, mendatangimu, hingga aku pantas Ibu Tinggikan kakimu dan mencium suri teladanku Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 63

Ibu, Maafkan Aku Oleh Windy Marthinda Windari Jelaga itu meninggalkan banyak jejak Di tangan, pipi, bahkan di mata, seperti celak Kayu-kayu yang terbakar terdengar berderak Suara selongsong ditiup bak seruling menyalak Begitu, sejak hari masih dini Saat gelap masih merajai bumi Kokok mandung belum juga berbunyi Ia duduk melawan dingin menghadap kuali Pagi masih beberapa jam menjelang Namun, kelopak mata tak boleh aleman Kabut yang menyusup dianggap gurauan Meski perut sendiri gempar riskan Nanar menjerang air Merebus batu bersama keladi Tak ada jagung apalagi nasi Satu, dua, tiga, empat, dihitungnya jari-jemari Senyum memulas wajah syahdu 64 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Lambung-lambung kecil itu akan penuh Bila umbi matang menyeluruh Perutnya bisa sedikit lebih lama menunggu Mungkin siang atau petang Bila lebih sabar mungkin malam Pintu akan terbuka menuju tuah membentang Bukankah sabar mengusir gamam? Setidaknya itu yang diajarkan para ulama Tak boleh putus asa walau papa Usaha di muka kemudian panjatkan doa Bukankah lapar bukan sekadar derita? Ia terbatuk di sela kantuk Berusaha tidak lelah dan mengutuk Kakinya sudah lama menahan beban Jadi ayah, jadi ibu dalam waktu bersamaan Bukan satu, dua, tiga, tapi empat Ada empat pasang mata yang menatap Ada empat mulut yang lapar dan dahaga Ada empat pasang tangan yang meminta Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 65

Salah satunya aku Anak cangga dan bisu Tak kuasa memanggil namamu Ibu ... Ibu ... Ibu .... Maafkan aku 66 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibuku Memendam Mendung di dalam Doanya Sepanjang Tahun Oleh Diana Tri Rahayu Waktu dipenuhi musim penantian bagi mendung ibuku yang tak kunjung reda sebab ayah—lelaki bertangan baja—memilih menjadi angin yang mengembara hingga ke luar benua. Ia bermimpi membangun istana dengan kebodohan. Sejak kecil aku hidup dengan kesepian ibu yang sabar menjaga dapur untuk tetap mengebul dengan selalu menengadahkan tangan dhuha keliling menjual kue sekecil mimpiku untuk bertahan hidup. Tak jarang ibu mencuci baju-baju tetangga yang selalu membuatku tersudut di pojok sekolah karena seolah-olah telah menjadi orang paling rendah. Ketika aku di tepi jendela dan melihat langit sering kubayangkan ibuku adalah ibu semesta yang menahan mendung sehingga berpura-pura cerah dengan senyum dan kata-kata penuh doa. “Ibu harus tetap bernafas sampai ayah pulang” katanya pada suatu lebaran, tapi tak ada baju baru sebab tak ada yang harus kami maafkan pada hari itu. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 67

Ibu lebih menginginkanku berbaju sekolah yang kelak bisa membaca zaman dan membuat hidup berubah. Di kota ini, sebagian nasib ditentukan oleh ijazah, kata ibu setelah membaca sebuah koran untuk membungkus diri bersama kue kecil. Di hadapan si Mbah, ibu selalu memasang wajah bulan bahwa ayah adalah matahari yang akan kembali pada pagi setelah kami semua terlelap dalam mimpi-mimpi. Demikianlah takdir istri adalah menepati janji menjaga pintu rumah dengan keyakinan bahwa hari tak selalu gelap. Bahwa ibu tak hanya menyusui bagi luka dan kesepian anaknya bahwa luar benua itu taklah ada arti selama masih di dunia masih bisa berkirim doa sekalipun sakit mendera lantaran tak ada kabar yang terbawa. Saat aku compang-camping untuk bertahan hidup ibu menjahit dengan tambal sulam hutang. Aku mengigil kedinginan pada awal tahun, ibu memeluk dengan tafakur. Sekalipun ia bilang, sejelek-jeleknya jalan rezeki adalah hutang dan meminta-minta. “Hanya kepada Tuhan, kau boleh meminta” katanya, mendung Januari seolah tak tertahan di langit 68 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

sebab langit belum memberikan kepastian jawaban bagi pertanyaan tetangga: kapan semua terbayar dan kapan lelaki itu menampakkan ujung hidungnya. Sebab bagi mereka, luar benua penuh barang berharga. Tapi setelah sekian tahun tak ada jejak, hanya doa keselamatan yang jauh berharga. Saat aku ingin membantu ibu mengelilingkan kue kecil, matahari menyala dari matanya bahwa aku harus belajar menjadi lebih baik karena perempuan tak boleh bergantung pada laki-laki, perempuan harus bisa menghidupi anak-anaknya. Perempuanlah yang melahirkan, yang punya kasih sayang. Perempuan adalah air kehidupan yang tak boleh surut. Pagi pun termenung dalam tanya bisakah aku mengubah impian ibu itu jadi cahaya; mungkinkan tak ada lagi mendung di wajah ibu? Sejak itu, aku mengerti arti kasih sayang sepanjang jalan yang ibu berikan padaku untuk dilalui adalah jalan pintas menuju surga. Ibuku perempuan dengan hati seluas semesta menunggu ayah sampai akhir hayat tak mau kawin lagi. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 69

Konon, ia selalu ingat saat pecah ketuban, bercak darah hampir melepas nyawanya tapi senyumku setelah ronta tangis itu membuat ruhnya bertahan dengan mendung sepanjang tahun. Saat itu, genap satu purnama ayah berlayar untuk kembali. Ibu menelan kata-katanya hingga abadi. Ibu menjadi hujan saat tak ada jawaban dari kawan yang sesama ke luar benua konon malah kawin lagi dengan peri penunggu burung hingga lupa di mana daratan tempat dilahirkan. Dalam hatinya bertanya, apakah kehidupan di sana terlalu keras ataukah perjalanan yang mengubah takdir. Begitulah, ungkapnya pada sebuah sore yang melati saat aku harus melepas masa lajang bulan pada hari yang dijanjikan. Yakni saat aku telah mampu berdiri sendiri dengan nasib yang lebih baik. Berdiri di kota ini dan bersiap menghadapi badai maupun terik matahari dalam rumah yang berbeda. Matahari kini membuat rambut ibuku menjadi perak wajahnya tak lagi mendung wajahnya lebih menyerupai tanah kering karena lebih memilih hidup dalam celah sunyi. 70 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ia tetap memeluk kue kecil dan berkeliling ke beberapa gang untuk meyakinkan dunia bahwa ia adalah yang dulu. Bahkan, ketika aku mengulurkan tangan, katanya lebih baik untuk infaq atau sedekah saja. Kepadaku ia malah memberi saku anaku yang lucu dan membawa mainan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Walaupun anakku serasa asing bila datang. Ia sering datang saat aku lepas tugas tapi tak mau tinggal seatap. Pada sorot matanya, kulihat mendung itu abadi surat kecil yang dikirimkan ke Tuhan kini dikirmkan pada semesta. Sungguh aku kesulitan memberikan balasan kebaikan selain memberinya matahari yang cerah dari dada yang paling berdetak. Diam-diam pula, selama nyawanya masih berhembus kuajak ibu menemui Tuhan ke tanah putih. Karena aku tak tahu cara lain berbakti sebab sujudku di telapak kakinya terlalu memberatkan hidup. Sebab senyumnya selalu lebih dalam dari lautan manapun. Sebab doanya selalu lebih tinggi dari gunung manapun. Semoga mampu mengurangi mendung yang bersarang Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 71

dalam tubuh ibu. 2020 72 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibuku Seorang Pendongeng yang Cengeng Oleh Ilham Nuryadi Akbar seorang Ibu pendongeng dengan keempat jantung hati hidup nun di ujung pulau sumatra tatkala malam belum sempat menjatuhkan mimpi-mimpi Ibu memainkan perannya bercerita kisahan agama kicuh bibirnya adalah bejana memasung alunan-alunan merdu; Allah hai jak lon timang preuk1 sayang riyeuk ji sipreuk pante2 oh rayeuk sinyak nyang puteh meupreuk3 toh sinaleuk gata boh hate4 yang terlahir dari rahimnya pun tenggelam di ruang imajinasi sementara purnama mulai pudar dan embun berhenti menitik ibu menggumbuk raga yang rebah membentangkan sajadah untuk menghadap rabbi maha tinggi 1Kemarilah nak, agar Ibu dapat menimang engkau (Syair Aceh) 73 2Sayangnya ombak memecah pantai (Syair Aceh) 3Jika anak-ku yang putih ini sudah besar (Syair Aceh) 4Di manakah engkau akan berada nanti, anakku (Syair Aceh) Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

begitu tegas didikan Ibu, yang berkata kejam sudah pasti merasa iri menjelang dewasa, tubuh Ibu memantik wangi rindu mengingat jantung hatinya jauh tak tergapai sedang memenun hidup dengan sibuk mencari gawai tak ada lagi dongeng dari bibirnya melainkan hanya meniup do’a pada sepertiga malam menjatuhkan airmata bersamaan dengan harapan ia meminta kepada Tuhan agar tubuh-tubuh kecil, dapat tumbuh menjadi manusia berhasil suatu hari di antara tiga ratus enam puluh lima hari jantung hati pulang ke rumah Ibu, untuk bercerita menggantikan mulut yang telah berdeham mata Ibu yang tak pernah nanar menjadi berbinar, tirta amarta jatuh pada pipi nisbi membanjuri peluh pada tubuh yang berpuluh tahun ia papah Ibu yang dulunya pendongeng lamat-lamat menjadi cengeng Ibu mendera masa lalu mengingat riak-riak badai yang pernah ia tiupkan 74 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

telah berbiak menjadi sungai syukur. Bekasi, 16 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 75

Ibunda Oleh Tati Haryati (1) Merintih lirih sadrah Butiran mutiara berjatuhan Menghujani paras sahaja Terengah-engah berkejaran Tarik buang tarik buang Tanpa yakin siapa menang Suara hati menggelora Gelisah meronta-ronta Antara cita dan semu Wahai yang Maha Segalanya Pertemukan rindu ini padanya (2) Senja menatap riang Menyambut harsa dilembar kisah Raut sendu terpancar haru Lunglai lesu ditempat beradu Tangis lantang memecah keheningan Menggetarkan jiwa yang gundah Memberi simpul disudut bibir 76 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Menghapus kusut membuka tabir Berat masa penantian Bulan bertemu bulan Hingga minggu menggenapkan hari (3) Senja mengusik lamunanku Mengingatkanku akan petuahmu Sedari kubuka mata Tak satupun luput dari jangkauan do’a Kasih sayangmu lebih indah dari dirgantara Dengan sabar semangat jiwa Pilon kecil mulai melangkah Menggapai indahnya asa Terjatuh terasingkan Terbuang jauh dari rangkulan Kau bentangkan sayapmu tanpa angkuh Menjeremba tanpa masam Mendekapku kembali hangat dipangkuan Sahmura buana mengurung diri Tertunduk malu pada cintamu Begitupun daku Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 77

(4) Senja barulah terasa Tetap dengan warna yang sama Dengan rindu yang sama Rindu belai kasihmu Rumah untuk semua penghuni Jauhnya raga tetap terikat batinmu Budimu tak mampu kubalas Tak sanggup aku memohon pamit Ataupun Engkau mendahului pamit Hanya dengan bayang pamit terasa amat pahit Ibunda Yang pertama dalam jumpa Yang terakhir menetap dihati Kini senja gata menembus batas waktu Mencari celah sempena menjura dikeheningan Selaksa cinta ibunda Wahai yang Maha Segalanya Sampaikan rindu ini padanya Catatan : Sungguh meski sampai pena ini tak mampu menorehkan warna tintanya Terlampau banyak ungkap kagum pada sosoknya Ibunda lautan ampunan, sumber berkah, muara kasih dan sayang 78 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Guru atau madrasah pertama, do’a mustajab, rida dan murka Tuhan Surganya seorang anak, bidadari tak bersayap, malaikat pelindung Keajaiban yang menakjubkan dan lebih dari istimewa. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 79

Ibunda, Tempatku Pulang Oleh Fika Falikhatus Sa’adah Hangat Sehangat selimut yang kau rajut Di dekapmu, aku menangis dengan ceria Kala angin malam menusuk bilur tanpa jera Aku yang tumbang penuh lara Melawan semesta yang keras dan durjana Belum sempat mati Ragaku kalut menopang teguh sendirian Lalu kau bukakan jendela Membiarkan angin mengintip masuk Menyeduhkan secangkir teh hangat dengan kepulan asap nan memabukkan Aku membayangkan sosokmu Bertanya-tanya perihal makhluk yang terlalu sempurna untuk kusebut sebagai nirmala Bisikan lembutmu nan sahdu Membuatku pulas di bawah teduhmu Aku benar-benar pulang Setelah sekian ribu detik hancurnya jumantara Kau mematik kasih tanpa upah Tersentak dekapan sehangat fajar Kendati dengan terseret bayangmu yang remang nan gamang 80 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Hatimu bak malaikat tanpa sayap Intuisimu bagaikan atma dalam dewa Kau memang rumah Tempatku berpulang Wahai ibunda Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 81

IBUNDAKU, BIDADARI TERINDAH Oleh Siti Aziza Jamal Semakin hari, engkau perlahan menua Bertanda keriput, Bahkan jemariku sering mendapati helai putih dikepalamu. Aku terdiam, menganggap akan baik-baik saja, Tapi ternyata tidak. Kadang retinaku berkaca. Kapan ‘ku bisa membahagiakanmu? Apakah aku bisa? “Bahagia” kata yang sederhana Tapi sungguh, tak mudah ‘ku hidupkan untukmu. Aku adalah benih jagung yang masih belajar tuk tumbuh Bagaimana mungkin bisa sepertimu? Yang penuh kasih, Memilih sabar, Saat ‘ku malah membalas senyummu dengan ego Tidak. Aku belum mampu berdiri tegak Rasan ini masih seberkas kapas Yang mudah diterbangkan angin, 82 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Butuh penopang. Tetaplah di sampingku Mengiringi langkahku Memelukku ketika ‘ku terjatuh Merangkulku ketika ‘ku merasa khawatir Menjadi tangan pertama Yang akan menerima penghargaan Disetiap pencapaianku. Hingga, ‘ku tumbuh sekuat batu karang. Yah… izinkan aku Agar aku mampu mengerti Lalu menyederhanakan kebahagiaanmu Dan, bersyukur bahwa Engkau Adalah ibundaku, bidadari terindah yang kumiliki. Masamba, 28 November 2020 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 83

JENDELA IBUNDA Oleh Gusdi Sastra Ke jendela ini tak habis kulambai tangan padamu ibu, tak terhitung entah berapa waktu telah menyisa yang lalu, bertumpuk ragu membalik arah pintu, sudah berbilang tahun tak pernah tertutup tirai kaca itu, karena dibaliknya aku tergagu, membayang langkah ayah berlalu, mengibas angin limbubu, dari balik kaca jendela berdaun kayu, aku terpaku mengingatmu ibu berselimut rindu. Di jendela ini kau bersaksi berputih tulang berdarah air mata, lalu kau reguk bersama cinta yang tak pernah berakhir masa, membiarkannya berlalu hingga hilang dibalik kaca jendela, padahal banyak yang mengetuk sampai datang senja, tak kau biarkan siapapun membukanya walau cahaya menerpa di ufuk sana, karena kilau doa risaumu ibunda, masih mengalir tak henti mendenyut tiba, mengguncah ini dada. Kini kutitip rindu ini lagi bagimu ibu, lewat jendela kita yang berkayu tak berpaku, 84 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

tak berwarna tapi tiada debu, kulipat rapi dalam kain segiempat putih berbenang ungu, setumpuk doa sehektar rindu segalanya untukmu ibu. Almara, 12/20. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 85

JUTAAN PEDULI DI KEPALA BUNDA Oleh Yohanes Viktorius Lewo Iri Lumuran keringat memungut duka Sembari menyekah kawanan jelata Takpulang menuju kursi empuk sua Sebelum tawa sedap menatap mata Hobinya meluncur dalam lumpur Bersetubuh Kumal berjubah cinta Gelora menggebu meski terus uzur Adalah bunda bernama Tri Risma Sepanjang jalan amarah mendera Ketika tubuh kota sedang goncang Menyala peduli menyeret para ceroboh Redah tak bertuan sebelum utuh kota Menyayat mata menatap kelana Sang bunda dengan hati putih Berkendara diatas tiang cinta Surabaya apik asri nan bersih 86 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Hingga jelang malam mencekam Diatas meja tergeletak aroma rindu Pena ajaib melukis kasih tak kusam Diary bergejolak memeluk tubuh ibu Bak taman yang masih gersang usang Berdiri perawat bunga nan lembut gemulai Tarian jemari bunda menyirami kerontang Tak jeda langkah bunda mengairi Pertiwi Rintihan kawanan jelata didekap dengan kasih Seketika sebuah sapa dalam tangis menggugah “Aku mau ibu Tri Rismaharini yang menjenguk” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 87

KASIH YANG RENTA Oleh Siyuk sujarwati Kerutan renta kian bertambah. Kendurkan kulit yang dulu kencang. Seingatku terlihat samar. Namun kini tergurat jelas. Ibu, laksana gemintang dengan kilaunya. Laksana pelangi dikala hujan. Layaknya pohon beri keteduhan. Bagaikan bunga tampakkan keindahan. Aku tahu engkau lelah. Dengan fisik yang makin melemah. Siratkan beban yang kau emban. Tapi senyummu tetap merekah. Rentangkan tangan, mendekapku dalam pelukan. 88 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

KATA PERTAMA DALAM KEHIDUPAN Oleh Kamila Saida 17 April 2006 Aku menitis bentala Mulai memandang, nur seorang perempuan Sosok perempuan dengan titisan air mata, Mengenai tubuh mungil ini Kala malam berlabuh Rintihan nan terdengar Membuat sosok perempuan itu bangkit Terasa halus, begitu tangannya menyentuh Buram penglihatan pada awalnya Mengajak bicara, dengan hati yang terlihat begitu murni Senyuman halus yang di gambarkan sosok perempuan itu, ketika me- mandangku “ Hai anakku, ini IBU. Yang pertama kau lihat tepat ketika tanggal 17 April 2006.” Kata pertama yang terdengar jelas, itulah awal dari segala kata, IBU. “ BU....H. BUH.” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 89

Senyuman tipis terlukis, di wajah sosok perempuan itu Ialah Ibuku, nur pertama yang terlihat awal aku menitis bentala Ialah nur, yang bangkit ketika rintihan nan terdengar, kala malam ber- labuh Kata pertama dalam kehidupanku ialah....IBU. 90 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook