Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore E-Book "PUISI IBUNDA"

E-Book "PUISI IBUNDA"

Published by SMK Negeri 1 Takengon, 2021-06-26 16:08:30

Description: E-Book ini berisi Top 100 Karya Puisi Terbaik dari Peserta Lomba Menulis Puisi Nasional dengan tema “Ibunda” yang diadakan oleh Catatan Pena.

Keywords: karya puisi,puisi terbaik,puisi nasional,catatan pena,puisi ibunda

Search

Read the Text Version

Sekarang ia lebih bahagia Bersama semua perjuangannya Membawa senyum dan cinta untuk dunianya Biarkan kehangatan Sang Surya tetap tersimpan Menguatkan hati kala hujan mendera Biarkan ketulusan sinarnya membekas di hati Agar jalan panjang ini bisa terlewati... Kenangan Sang Surya selalu bersinar sepanjang masa Karena dunia merindukannya meski ia telah tiada... Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 141

Meruwat Jalan Kemanunggalan Oleh M. Habib Syafa’at Kau ubah wujud hening tangis ibu menjadi diriku Kau bawa aku mengunjungi kediaman ibu jauh ke dalam diri-Mu Kau bawa aku melintasi bintalak ladang kandung penciptaan awal dan akhir Tempat bungaran bernas jatuh dari punca tanduk para kerbau sebelum afkir Bersesaran ke luas padang rukuh tempat Kau mengaurkan bibit-bibit gemah Tumbuh menjadi tambak-tambak susu dan rimbunan subur cempurit kisah Di situ disuguhkan surga pangupajiwa, hasil panen buah musim perawan dijamin oleh tangan para malaikat. Bahan-bahan mentah pangan dipagari pukat tirakat petani sebelum menggelar gegar gala peruwatan jagat. Menggugat geliat akar tuba gegat bala Kulihat air matanya memecah rahasia di balik tempurung telur kemu- ngkus 142 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

hingga tangan-tangan pencuri inti api dari lumbung kuali berhasil dir- ingkus Menumpas tuban-tuban pati yang diselundupkan dalam kerempung periuk sebelum diarak menuju meja penghidangan. Sebelum Kau babat alas suluk Kulihat pula serumpun anak sungai menakik buih sari getah nila Setelahnya, jasadku Kau peram biar menjadi salah satu dari mereka Setelahnya, babadku Kau tinggal begitu berpualam di pangkuan ibu Akhirnya, jenazah murtad tenggelam dalam sungai khalwat seorang ibu Akhirnya, hanya ada kami berdua dalam wujud baru yang hening itu Hanya aku dan ibu Manunggal dalam diri-Mu Bojonegoro, 2020 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 143

Musim Ibu Oleh Landak Kusut Ketika musim kering tiba, kami sekeluarga mandi dan wudhu, dengan air mata Ibu. Terima kasih, Bu. Kamu tulang punggung, sekaligus tulang rusuk keluarga. #LandakKusut Ciganjur, 25 Desember 2020 144 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

NASKAH, AKU, IBU Oleh Muhammad Akbar Febriansyah Tubuh semampai terasa ingin melesakkan ingatan Kerap meratap saat perempuan sedang merayakan luka Peluh anak sudah buyar tertiup bisik angin Kata tunda selalu terselip dalam tubuh semesta Remah-remah tanah melengkapi adonan air mata Sebelum menggulung lembaran dalam rahim sang ibunda Jutaan detik terus berjalan sebelum sebuah delusi Melicinkan peluh diatas undakan berbatu Sedang lelaki langit meminum uap kopi yang bercerai berai Seberapa jauh jarak pertanyaan yang ingin melontar Dalam sekeranjang doa yang dipanjatkan Andai doa pagi selalu berkelindan dalam rumah keluarga Apakah naskah kehidupan sudah patut dirasakan? Jejak jemari antara aku dan ibu Kadang kadang mengadu tawa Kenangan kami antara aku dan ibu Kadang kadang diterpa angan Jauh jarak seribu bulan Lampu jalanan yang ada didepan mata Mengembalikan sosok ibu yang berdirii didepan baju toga Dan prasasti emas yang membuatnya tertawa renyah Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 145

Kota tua dan puisi melompat Mengguriskan naskah kehidupan Aku, ibu, dan sebongkah kasih 16 Desember 2020 146 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Nisan Tanpa Tulisan Oleh Sunarta Kupinang dari latar yang terlantar Pada tubuhmu tempat hujan bersandar Ketika mata mulai menampung binar Perlahan doa-doa jatuh bergetar Sesalmu seperti ingatan Entah windu yang terlalu lama Atau lupa yang telah menguburku Sudah berapa lamakah kau setia menemaninya? Katanya amal yang tersembunyi lebih berbobot pahala Biar tiada dahan dan jalar ranting meneduhi Juga tanpa tanah dibusungkan Agar datar kekal tawadhu Kau bisikan padanya waktu senja masih menyisa: Lihat cucumu Bulan gemerucu Senyum dan air mata mengusik pilu Ketika anak-anak menawarkan belahan kaca Maafkan ibu, aku tak bisa membalas semua kasihmu Karena kasihnya tenang berbiduk di sendang surga Kragilan, 15 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 147

Nyanyian di Sepertiga Malam Oleh Tegar Pratama Basuki Putra (Wahai Bapa Angkasa, izinkan aku bernyanyi. Wahai Ibu Bumi, restui anakku menyusuri.) Di antara ilalang-ilalang, orang-orang berkata bahwa kau adalah api, yang menjilati tubuh ilalang-ilalang hingga sirna. “Mereka salah mengira, kau adalah air, yang senantiasa membasuh hati yang lusuh; meluruhkan yang keruh.” Di antara rintik-rintik hujan, orang-orang mengatakan bahwa kau adalah petaka, menjadi bencana bila kau berada di sekitar mereka. “Mereka salah menerka, kau adalah payung, yang selalu meneduhkan pikiran-pikiran buruk mereka. Tetapi bisa jadi kau akan membantah perkataan ini, sebab tempo hari kau menangis dari balik kelambu kamarmu, kau beralasan penyebabnya adalah terjatuh, namun tak ada jejak luka di tubuhmu. Tetapi seorang ibu dapat melihatnya, luka itu ada di dalam sanubarimu.” 148 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Di antara ramainya jalanan, orang-orang mengatakan bahwa kau adalah kemacetan, yang menghalangi; membuat sejenak terhenti. “Mereka salah melihat, kau adalah angin, yang berembus membawa kedamaian. Mereka yang terburu-buru, mungkin tak suka melihat angi, menerbangkan layang-layang.” Di antara kelap-kelip lampu kota, orang-orang mengatakan bahwa kau adalah kabut hitam, yang menutup cakrawala, merusak pemandangan kota. “Mereka salah menganggap, kau adalah cahaya, yang membuka pengelihatan mereka. Di hatimu tersimpan berjuta renjana, justru di hati dan mulut merekalah, yang kerap melahirkan musibah.” Di antara kemajuan zaman, orang-orang mengatakan bahwa kau adalah beban. “Mereka salah berkata, kau adalah aksara, yang harus dibaca dan direnungkan. Barangkali mereka hanya mampu berkata, atau memang tak suka membaca.” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 149

Dan di antara orang-orang yang menyebutmu, tak ada yang benar-benar mengetahuimu, anakku, kecuali aku, ibumu. Sukoharjo, 22 Desember 2020 150 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Pantaskah Oleh Lia Syukriyah Sa’roni Sedari pagi telah ku sapa deretan mimpi Ambisi sempurnanya realita Ambisi tercapainya cita Ambisi harapan masa depanmu balita Nyatanya .. Hariku rasa tak sempurna Dekorasi rumah nan indah tercoret penuh tinta Kilau lantai berserak jejak mainan dan noda Rencana cerdaskan jiwa beralih air mata Dan yang ada hanya rengekmu penuhi gendang telinga Semangat ambisiku berubah jadi emosi Kau kacaukan hariku .. Runtuhkan pondasi istana harapanku Ku luapkan rasaku dalam hentakan nada tinggi Ku sampaikan kecewaku dalam garang paras diri Ku salurkan amarahku meledak di luar kendali Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 151

Tapi, sesaat tubuhku melemas .. Saat nampak ku lihat jelas Tubuh kecilmu gemetar Sayup matamu berbinar Merunduk penuh dalam ketakutan Menangis pilu tanpa suara nyaringmu Hanya isak, terjeda nafas tertahan Melemah dalam diam Plakkk .. Egoku tertampar Ragaku terlempar Sadar akan kebodohan nalar Pantaskah aku kau panggil Ibu? Dengan kekhilafanku akan usiamu Pantaskah aku kau panggil Ibu? Dengan kekanakanku memarahimu Pantaskah aku kau panggil Ibu? Dengan logika kalah oleh nafsu Pantaskah? 152 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

PELUK-SIMPUHKU UNTUKMU, MALAIKATKU Oleh Tarkiman /1/ iya, dulu-dulu sekali, ketika ku masih di alam ruhi; ku telah berjanji pada-Mu ya robbi, untuk menjadi manusia sejati. /2/ ku menangis sebelum pergi, ketika ada ragu dalam diri; untuk mengarungi alam duniawi, tapi pesan-Mu meneguhkan hati. /3/ pesan-Mu terus terpatri begini: Ku ciptakan sosok buatmu penuh arti; akan ada malaikatmu di sisi, yang terus membimbingmu sampai nanti. /4/ dia akan mengajarimu berdiri dan berlari, Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 153

juga menjagamu dengan sepenuh hati; tanpa kau mintapun dia akan memberi, cintanya akan menemanimu sampai kau kembali. /5/ tugasmu terus belajar jangan berhenti, jagalah dia sepanjang hari; hormati dia jangan kau sakiti, karena do’anya menggetarkan arrasy. /6/ panjangkan usia malaikatku ini ya robbi, curahkan cahaya ilahi-Mu di hati kami; untuk terus mampu menemani dan mendampingi, sampai tiba akhir waktu nanti. 154 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

PEMBAWA BAKUL ITU BERNAMA IBU Oleh Yara Yulistia Belum sempurna sang surya terbangun dari peraduannya Dan belum juga terdengar suara ayam jantan memecah kesunyian malam Kegelapan pun masih enggan beranjak pergi Seorang wanita tua tampak di belakang perapian menandakan telah adanya kehidupan Sambil berjalan lemah, wanita itu mulai mempersiapkan kehidupan un- tuk keluarganya Sambil menunggu mentari mengucap salam, dia pun mempersiapkan dirinya Tampaknya wanita itu akan pergi Sejenak dia terhenti, panggilan Illahi sudah terdengar Tak lama sebuah kendaraan berhenti di depan rumahnya Wanita itu pun bergegas keluar dan pergi bersama lajunya kendaraan Wanita itu datang Kembali Ketika matahari sudah mulai meninggi Ada yang lain dari dirinya Banyak barang di karung yang dia bawa Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 155

Kelelahan tampak di wajahnya Tapi entah mengapa senyum tipis yang keluar dari bibirnya Esok harinya Barang yang dia bawa kemarin sudah rapi di dalam bakul miliknya Bukan dengan kendaraan dia membawanya Di atas punggungnya bakul itu kini berada Wahai ibu Tubuhmu tidak akan sekuat diriku Tapi cinta dan sayangmu Kokohnya Tebing Breksi tidak bisa menandingi kokohnya punggungmu Wahai Zat Pemilik Cinta Berikan kebahagian untuknya Diri ini tidak mampu membalas semua Kebahagiaan yang dia berikan tidak aku temukan ujungnya Wahai Zat Pemilik Semesta Ampunilah dosanya Sayangilah dia seperti dia menyayangiku Berikan kedudukan mulia bagi wanita yang bernama ibu 156 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Pendaratan yang Miring Oleh Nanda Alifya Rahmah bu, bu, kakiku terangkat satu, memperlihatkan jejak-jejak bumi yang hi- lang, jalur kota terran jadi pasir kekuningan, melingkar di kelingkingku artefak wajah dan rambutmu, jadi patung-patung pahlawan yang terba- lik, berkhianat pada gravitasi ingin segera lepas landas, bayangan kabut multipolar, seperti jembalang menunggang sembrani, membelah angkasa dengan pedang api bu, bu, ada apa pada lanskap, mengubahku jadi gadis kecil berpayung merah jambu, terkembang oleh suara nyanyimu, hujan ter-pause di atasnya, bagai serbuk mengambang di udara tapi belum kutemukan, pintu ley terakhir menuju kebun anggur, sebe- lum bimasakti menetas lagi di atas langit ini, cuma abunawas yang membumbung dari asap rokok bapakmu, tahu ke mana segala bau semebar belum kelihatan, katamu semua akan melayang pada waktunya: din­ ding, pintu, jendela, katamu segala tanda pasti ada tafsirannya kenapa bintang-bintang dan bulan mabuk dalam kamarku, minum sesa- ri pikiranku yang pecah, duh, membuatku ingin jadi ikan, di laut kosmik Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 157

yang keruh ini, bergerak tanpa kelopak mata, menonton hidupku sendiri, bergerak seperti balon helium dalam perutmu, tak berwarna-berasa, perempuan hampir inertia di ruang hampa hingga nanti kau dapati aku menggembung sebesar bulan, dan lahir, jadi mata kiri buat kegelapan bu, bu, ada lumpur di sepatuku setelah menjalani lubang hitam dalam dadamu, bola mataku jadi kristal, memantulkan lukisan planet salju, terbaca lembah dan danaunya seper- ti perasaan sangsi yang melebar, mengukur kedalaman jiwaku bu, aku tidak punya ide untuk mendarat dengan aman, di jagat tanpa dasar ini tubuhku pejal seperti inti matahari, tapi orbit yang terbuka untukku tak punya bintang lain untuk ditempuh sementara kudengar suara galaksi bagai wahyu ada dan tiada, aku ingin menyusu kegelapan, lelap dalam nina bobo kesenyapannya, dan mene- mukanmu: korona putih yang berpendar di tepian mimpiku sebelum aku melayang juga, seperti pintu dan jendela, tanpa sabuk atau 158 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

cincin melesat ke segala arah, di atas kaki yang miring 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 159

Penghargaan Terbaik Untuk Ibu Oleh Sinthia Marlina Amperawati Turnip Aku lahir dengan tembang tangis Berlianmu juga bebanmu yang manis Harta yang diaminkan dalam pengharapan lewat peluh Kepada yang tak tahu laramu, kau beri haru sebagai perayaan hadirku Sayapmu menghalau ribuan prahara Rebas bulir-bulir letihmu jadi citaku Laparmu demi kenyangku Geru tangismu hanyalah karam, sejarah yang bisu Waktu telah berbalik menyerangku Memaksaku bertanggung jawab atas lejarmu Kini tilikanmu tak lagi tangguh Rupanya masa telah menelan separuh jiwamu Lembaran hidup terus mencatat perjuanganmu Perjuangan dalam lengangmu yang menggandeng rapuh Entah kah kau masih berjuang atau malah sedang menunggu? Memberiku tambahan waktu tuk membawakanmu penghargaan ter- baik 160 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Perempuan Bernama Ibu Oleh Bhima Priantoro Perempuan itu bersimbah peluh memintal nasib, bertarung dengan matahari dan memerasnya bersama lipatan usia di kulitnya, hanya agar bisa berkata: bangunlah, nak. mari kita pandang dunia. Perempuan itu memahat tubuhnya untuk menebar benih, menuai rimbun kebijaksanaan yang bersemayam di reruntuhan puing-puing, kokok ayam jago jadi buaian bulan, dan aku dibisikinya pelan: sabarlah, nak. jalanmu masih terentang panjang. Perempuan itu terjaga malam sunyi lembar-lembar almanak berarak lenyap beriring dengan detak doadoa mengalahkan lampu temaram bercermin embun di sepanjang musim lalu disampaikannya padaku: tegarlah, nak. akan selalu ada jalan. Perempuan itu berdamai dengan ketulusan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 161

terentang sejauh mata memandang, menghitung mantra dan merapal lara sendiri, dalam diam, dalam kelamnya, untuk disisipkan sejenak oleh mimpi yang membumbung dan dikisahkannya kembali: bersyukurlah, nak. atas hidupmu dan nikmat ini. Perempuan itu berabad menjelang oleh kesunyian dan sahaja dipanggil ibu, yang menukar luka dunia dengan doa dan air mata 162 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Perempuan Subuh Oleh Safrijul Selepas sembahyang, ia mengecup pipi subuh kita sedang berperang, bisiknya penuh sungguh sepeda tuanya berdecit menggerayangi temaram nan lusuh serupa cermin dari kain pembungkus tubuh Timba kumal berayun-ayun bergelantung di setang sepeda tua ia bersicepat mengejar angka-angka masa sebelum subuh telanjur disekap sang surya dan pohon para menjelma makhluk pemalu sejagat raya; hanya sekejap getahnya mengucur berhari-hari perut keroncongan ananda ditambal bubur Gentar ialah ia yang berselimut tegar enyahlah takut ditikam sorot mata berperisai asa kita sedang berperang, bisiknya pada pohon-pohon para yang telah lama terjaga menunggu enggan membuat bising yang mengganggu lelapnya rumpun-rumpun bambu Dengung nyamuk menjarah telinga tak mampu mengusir derai tawa ananda pacet yang diam-diam mencuri darah berkhayal bisa menghentikan ge- Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 163

sitnya langkah Aku sedang berperang, bibirnya diterkam gigil berbisik pada dua tetes air yang perlahan turun dari netra sendunya, menyapa pagi berkalung mendung terbayang isak timba kumal mengusaikan cengkerama yang tak sempat dimulai dengan getah para yang membeku dan rekah senyum ananda menyambutnya pulang nanti meluluhkan kalbu Melibur, 29 Desember 2020 164 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Perempuan yang Mengajari Bagaimana Caranya Memaknai Kesedihan Oleh Yuditeha Gemuruh dunia yang telah merobek hatinya telah dia sembunyikan dengan cermin penyembuhan, luka sebesar nyawa pun tak membuatnya lari terlebih menghindar dari segala bentuk fitrah perempuan sekadar untuk mencari kenyamanan semu. Dia berkata: “Aku siap menggambar perihal liku-liku warna untuk menjawab pertanyaan atas nama kejengkelan.” Meski takdir membawanya ke dasar laut, hingga menghabiskan tenaga untuk kembali ke daratan, dia ikhlas ketika lukisan air bahnya disalah mengerti karena dia telah memahami ganasnya lautan dan menyadari bahwa tidak semua mulut pandai menjelaskan. Dia berkata: “Aku telah menaruh samudera pemaaf untuk menguatkan keyakinan yang merapuh.” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 165

Pada saat dia pergi ke barat untuk berkarya segala nasihat bersarang dalam setiap langkah menggoyang tiang marwah perihal kesantunan mengukuhkan pelajaran tentang aliran sungai yang tak mungkin menuju ke pegunungan. Dia berkata: “Aku telah menyediakan jarik lurik berwarna kepasrahan untuk meninggalkan harta karun yang meski tidak semua mau menerimanya.” Dunia kesepian tidak membuatnya pasrah, lalu mengingkari derita yang selama ini bersanding, dia mengatakan segala yang butuh akan dia cukupkan dengan keras kepala untuk melawan rapuh, dan melewatkan lembah bertuah agar tak tergoda tentang pemujaan. Dia berkata: “Aku telah membawa kejujuran untuk dinilai sebagai teman pengorbanan diri.” Ketika waktunya pohon-pohon besar tumbang adalah waktu di mana dia akan menuai kerentaan burung-burung pulang ke sarang 166 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

tembang pengertian tentang nasib segera diluruhkan dalam ruang harap yang dia terima sebagai berkah. Dia Berkata: “Aku bermimpi tentang dunia, dari sana akan muncul surganya manusia yang bersanding dengan udara, api dan tanah.” Setiap kata adalah mantra yang dia yakini menjadi baju untuk memulai berkaca dan mawas diri, jika ada kata-kata berbalik lalu marah meremehkan yang dia lihat perihal benih yang ringkih dengan sepasang matanya yang sendu dia menyimpan doa. Dia berkata: “Aku adalah kata-kata tak tertulis, yang bisa saja telah didustai dalam perjalanan menggapai kemegahan, aku telah biasa lesap bersama pengucapan siapa pun dan menjadi gaung rima tidak kentara dari setiap huruf yang dieja.” Dia biasa terjaga dari kesenangan bumi untuk membangun kesadaran, lalu bertanya tentang putus asa yang sepantasnya Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 167

hanya berlalu sebagai lelucon tentang batu belah yang hanya ada pada zaman perbudakan. Dia berkata: “Aku tidak memungkiri, kecerobohan kadang muncul berguna sebagai pengingat jati diri.” Hanya kepada esa dia menuju kerahiman tanpa perlu memegahkan diri dengan lukanya, juga tanpa membawa patung kehormatan sebagai bukti bahwa dia pernah menderita karena segala yang hidup adalah mimpi-mimpi sementara. Dia berkata: “Aku berserah kuasa, terjadilah apa yang menurut Sang Kuasa memberikannya.” Januari – 2021 168 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Pergi Tanpa Pesan Oleh KataPelita Ibu adalah meja makan yang mulai berdebu, tak ada lagi aroma nasi panas serta lauk pauk yang membuat selera menggebu, Ibu adalah ranjang ayah yang selalu kosong, berdenyit, berderak, kayu-kayu dipan yang sudah mulai bolong, Ibu adalah lagu nina-bobo yang dibuat, saat mata lelah melekat, dan langit mengubah jingga menjadi pekat, Ibu adalah hujan, /tangisan/ seorang anak yang datang membawa kain kafan, Ibu adalah doa yang tak pernah putus, pelukan hangat dari mimpi yang dingin, dan tentang kepergian tanpa pesan. Halaman Awal, 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 169

PERJAMUAN DI UJUNG SEPI Oleh Mulyono Ardiansyah /1/ Tepat mengulang warsa nikah ketujuh belas Celoteh nan pekik riak mengetuk daun suara Aku melamar kata “Siapa?” kataku “Ibumu.” pungkasnya /2/ Ibu lama mengurus sepi, membantu rumpun sanak mandiri Kudengar bias sumringah terpantul di celah pem- buluh itu Tebersit detak haru menarik celah bibir Lantaran dipenjara jemu Bersama tarian jumantara, kututup, kusisakan sepenggal bait sendu /3/ Esok aku menyapa paruh baya, berwindu-windu nunggaknya Keriuhan metropolitan menodai anjangsana, lama menggelepar Kala menjabat tuan rumah, aku luput aroma apak di singgasana rempahnya Aku ragu, mungkin ia berlatih melawan hedon wasangka Yang teramat lucah 170 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

/4/ Perjamuan pertama menagih Aku merapikan sejumput nyali Ibu siaga bersandar di rahang pintu Tak ingin membeberkan haru Ibu memendekkan hasta, berlari menenteng dak- sa bermandikan sayup /5/ Kubuka kikuk bermuka rayu Tak kenal malu Bercakap melulu tak pandang waktu Hidangan yang membungkus lapar Rumah makan memilin untaian renjana Tak terasa haribaan rindu serasa menjaring ulu sapa /6/ Kupesan variasi selera Aksa itu nanar, sekejap harsa pecah dari cang- kirnya Nafsu makan terkuras, lenggana cicip konon melahap Selaksa ratapan dama riap, “sudah lama kita di- tawan temu.” Di sepertiga lahapan aku menukas “ini pertama kali, besok kedua kali.” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 171

Semburat wajah menjarah lelah Makin meraja titahnya diangon jengah /7/ Rutinitas kembali bertalu Ibu menanti warita dariku, di bangku ujung Mengeja panggilan demi panggilan Sementara aku hibuk melayani gundukan naskah Di pelataran gedung-gedung bisu Bak pembantu Ingkar akad temu /8/ Beberapa penghujan terlewati Fitrah ibu berkunjung, meronta-ronta menawar sakit Pamit sebelum aku bertandang Pemakaman kian menjerat deru tangis Sesuatu menelisik hati Aku menggunjing diri, “Andai aku lenggang menyi- ta hari.” /9/ Sepulang bermakam gawai berdering Termaktub “Ada surat beralamat nomormu.” Setibanya, aku gontai, terdayuh mengurai kata berharian terjelampah di meja “ini malam terakhir kita, meski ada yang kedua, aku tak yakin, makanlah ber- 172 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

dua istrimu, aku sudah membayarnya.” Perjamuan itu sepi, sepi dari tamu, Sepi dari temu, sepi dari rindu, sepi dari candu, sepi dari Aku (Born: Gang Rela, 06 Januari 2021) Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 173

PERJUANGAN BUNDA UNTUK BETA Oleh Yovi Nur Aeni Seperti gelas bening yang beta pegang erat semakin erat semakin menyayat perih, tergores kepingan beling Mungkin sakit itu tak sebanding tatkala tulang bunda terbanting membungkuk di tengah lautan lumpur menancapkan benih tanpa sempat berlunjur Pabila semua telah rampung dibukalah caping gunung sambil mengusap butiran keringat penuh asa yang tampak tersirat Mata menatap hati meratap “tidak mungkin aku di sini berani melahap itu” “sedangkan buah hatiku?” 174 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Dengan raut yang riang dibungkuslah pakai daun pisang sebagai hadiah ketika pulang “biarlah aku lapar, yang penting anakku kenyang” Senja berkelir jingga pertanda beta harus mencari lentera gelap, saat angin meniup kencang menambah suasana hati yang bimbang Beta arahkan pandangan ke jendela tampak langkah kaki bunda penuh gembira membawa rentengan di kedua tangan beta terenyuh air mata berlinangan Gelap menjadi terang ketika bunda datang mendung petang di hati beta menghilang karena hadirnya bunda Tangan suci penuh asa yang tergores penuh luka meraih beta menyodorkan kudapan dengan senyum lebar keikhlasan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 175

Gerak lahapan dalam sekejap terhenti setelah mendengar keroncongan bunyi seperti busur panah menusuk hati beta tersadar, bunda belum makan sehari Ada yang jauh lebih menyakitkan pada saat semua tertidur lelap terngiang bunyi rintihan pelan menahan keletihan dan senyap Wahai rembulan... turunkanlah satu kartika paling terang di antara semua yang mampu membawa ceria Menyusuri denai penuh bebatuan besi tua yang menemani ayuhan demi ayuhan tak hentinya meniti Di belakang terdapat bakul tertali ilalang kukuh namun hampir menimpa dengkul 176 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

ketika badai menerjang angkuh Suasana megap terucap berharap ada satu insan dermawan hendak membeli acap untuk menyambung kehidupan Bunda... kau sungguh malaikat beta penolong tanpa harap balas jasa Bunda... kau sungguh surya beta penerang redup dalam duka Bunda... tinta di samudra takkan cukup mengaksarakan buaian yang mengukup Bunda bijak berarang beta bijak mengerang bagai tergerus aparatus batin tertekan pelik berhembus Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 177

Netranya berkaca-kaca di durja yang mulai renta lantas berlinang membutir meresapi nasib getir Diam membisu terpaku di antara riuh membelenggu tak dihiraukan hujan mengguyur telapak berkecai pergi mengeluyur Tepat dimalam kelam terbaring di kursi panjang keras memeram karam dan diterangi kandil abang Beta terpana menatapi denyutan aorta tanpa berkedip menala lega, masih ada gelagatnya Lalu melangkah meredam menghampiri sang pemejam yang tertikam dalam kemalangan menguruskan kerongkongan 178 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Buaian abu-abu beta salin dengan dekapan bercorak menjamu seribu ungkapan Maafkan... maafkan beta ini berambisi menjadi kerani hingga engkau harus begini Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 179

Pesta Kekalahan Oleh Khonita Maulidiyah /0/ Menetap aku di bawah jantungnya Menarik sari pati yang ia makan Menghirup udara baik yang ia simpan Berdiam hangat atas selaput yang ia sediakan Pukul empat subuh lewat lima Wanita itu mengejan penuh derita; Berjuang hingga lesu Mendekapku yang masih biru Selamat datang di dunia, anak ibu. /5/ Pagi itu aku berumur lima Kami duduk di depan kaca Mempersiapkan pesta 180 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ia sibuk mengikat pita di atas kepala Anak ibu, selamat merintang asa di umur yang kelima Lekat sekali telingaku atas suaranya Lirih seperti angin dari arah utara Disusul kecup erat penuh cinta Hari berjalan Kerabat berdatangan Si bungsu tak luput dari pelukan Mempelajari sikap ibu yang sangat idaman Ibu, si jenaka; Selalu pandai mengundang gelak tawa Bermodalkan kalimat sederhana Bersahaja Ibu, si cerdas; Mampu meredam pembicaraan panas Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 181

Dihadapinya dengan lugas Masalah terselesaikan hingga tuntas Ibu, si sabar; Menghadapi fobia anaknya yang hambar Dibawanya pergi tanpa tawar Senyumannya hadir sebagai penawar /10/ Lima bulan yang lalu Air payau terus melindungi bola mataku Umurku belum genap sepuluh Kata orang Igauanku berbunyi ibu Lawan bicaraku adalah ibu Tawaku juga karena ibu Ada yang salah? 182 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Ibu tidak beli kado tahun ini Duduk berhadapan cukup menjadi selebrasi Berjanji tidak ada yang pergi Kecupan tiga kali di pipi kiri Kata orang Aku berbicara sendiri Mereka tidak melihat ibu di sisi Biarkan, mungkin mereka berhalusinasi /15/ Lima tahun yang lalu katanya Tubuh ibu telah mati Tapi sampai saat ini juga Aku masih tak percaya Tak kupedulikan juga ucapan mereka Karena hakikatnya, Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 183

Tiap kali ingatanku dijajah, Jiwaku ─yang orang bilang telah rusak─ Masih melancarkan simposium dengan sang cahaya Baik dan manis sekali senyumannya Matanya sama sekali tak sayu dan tak berkerut Semacam insan yang tidur cukup Telapaknya putih berkurai Hangat aku didekap Dan Tak sampai empat detik lamanya Ia enyah __ Lima tahun berlalu Nyawa dan tawanya Direnggut, diculik, dan dicacah Menyisakan aku 184 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Hidup dengan rusuk kosong Bernapas dengan debu yang tak baru Bertangiskan darah sisa yang lalu lalu Selamat merintang payah Nyonya bertubuh biru nan pucat Aku menunggumu di pusara /20/ Ibu, urusan kejiwaanku telah diselidiki Telah mahir aku mendatangi ahli psikologi Kini aku telah mengikhlaskanmu untuk pergi Ibu, waktuku sangat sedikit untuk mengenalmu Tapi jiwamu seumur hidup menjadi pengajarku Terima kasih tidak pernah alpa dua empat per tujuh Ibu, hari ini dua dekade yang lalu Aku telah mengoyak liang kewanitaanmu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 185

Andai aku paham tentang hal itu sedari dulu Rasanya ucapan selamat ulang tahun Akan lebih pantas disematkan padamu Selamat ulang tahun juga, ibu 186 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

PIATU Oleh Mohammad Mukarom Kulihat mentari kembali sibuk menanggalkan angka hari ada yang perlahan mati berkalang sayap-sayap patah di lampu dermaga, ada juga yang tiba-tiba hidup di dalam kepala. Menghidu aroma ibu di sini datang dengan napas samudera menjadi ombak dadaku memuing seiring air laut menghantam batu dan tebing. Waktu adalah kedua bola mataku yang beredar mencari-cari jelas pandang wajah di sepanjang tubuh lautan. Menatap surga di samar tapak kakinya dan tak kutemukan biji kuldi lagi kecuali sekelompok kata-kata yang mendadak mati sebagai bahasa. Kunarpa burung-burung letih mencari oase seperti tubuhku perlahan tenggelam ditelan pasir teluk. Tiada yang dapat menjelma ibu di sini. Kucoba sisihkan ibu dari seluruh almanak meskipun begitu rindu terus tertanak. Batang, 5 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 187

REKAYASA IBU Oleh Amik Ayu Lestari Lumar dan waktu, Serangkai parit membakar liku Purnama meratapi sendu, Di pelupuk surai bayangan ibu Perihal pantang bederma lawa Beliau sebuah pemikat tawa Enggan menaruh setitik anca Demi belahan jiwa menaungi samudra Aku pulang, Diantar haru lantang Sesosok pujaan meradang Mendamba peluk kasih tak terindahkan Ibu dan sangkar, Barisan jejak pengar Mengantarkan sejuta nalar, Bagaimana bisa ia berlaku hambar? Tapak sandang berbilah samar 188 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Dipandang namun jenuh terdiam Jawabnya rakit kelakar Surat bukat hanyut tanpa kabar Dentingan nada historis, Hujan berbuih tangis, Lebu menjelma ilusi, Menjadikan ibu semata pajangan memori. Ia menaruh ribuan makna Tak lupa kusut mala Wajahnya mewujud kata Tak sempat memeluk buah hatinya Di pelabuhan tempatnya lelap Bongkahan rindu mencuat Lama ia menjadi bahtera kama Jauh antara rawa nestapa Bumi masih berputar Terkaan alam beranjak dalam Meski langis senyum ibu Aku terus membangun binara tumpu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 189

Ibu, Nanti, begitu aku memelukmu Banyak bintang merajuk, Karena purnama kehilangan redupnya. 190 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook