Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore E-Book "PUISI IBUNDA"

E-Book "PUISI IBUNDA"

Published by SMK Negeri 1 Takengon, 2021-06-26 16:08:30

Description: E-Book ini berisi Top 100 Karya Puisi Terbaik dari Peserta Lomba Menulis Puisi Nasional dengan tema “Ibunda” yang diadakan oleh Catatan Pena.

Keywords: karya puisi,puisi terbaik,puisi nasional,catatan pena,puisi ibunda

Search

Read the Text Version

Rintihan Jejak Oleh Karya Shafa Sabela Cahaya malam yang menerkap Tak ada bintang yang berkilau Kabut malam yang menutup Pintu hati yang tertutup Angin malam yang melambai Membuatku merasa ingin berhenti Menghabiskan waktu ini untuk pergi Atau tetap mengejar mimpi Sekarang aku jauh darimu Aku harus belajar hidup tanpa bayanganmu Tak ada lagi belaian kasih sayangmu Tak lagi ku dengar suara indahmu Belum sempat aku membalas jasa Namun kau sudah menghadap illahi Sudah tak ada lagi dirimu saat aku sendiri Hanya dirimulah tempatku mencurahkan isi hati Semua hebatku Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 191

Tak pernah ada Tanpa kehebatanmu yang selalu ada Bu, hari ini aku merindukanmu Entah aoa yang terjadi pada diriku Ku coba tuk melepaskan bayangmu Namun aku tak kuasa Tangisku pecah Berharap kau ada di sini Memeluku, menciumku, dan membelai rambutku Bu, aku rindu... 192 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

RIWAYAT IBU YANG MALANG Oleh Gandhari /1/ Setelah perang, apa yang bisa dibawa pulang selain tangis darah dan perempuan yang kehilangan pangkuan? /2/ Di sana langit menangis angin mengiris gurun : tipis-tipis. Lalu kau tak henti-henti meneguk air mata yang menukik lara. “Mengapa semesta memusuhi anakku? Memerangi mereka dengan memberi takdir Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 193

yang begitu getir. Hatiku kocar-kacir: Saat melihat anakku, menutup liang matanya selama-lamanya. Sekarang tak ada yang kupunya selain kemalangan dan duka yang baka.” /3/ Gandhari, anakmu dihunus maut bukan berarti mereka mati tanpa arti dan menelan mentah-mentah kekalahan. Percayalah, tak ada kesatria paling Agung dari Kurawa kematiannya adalah swarga loka. Sebab mereka telah menyelamatkan manusia dari keangkuhan 194 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

yang beranak-pinak. Tidak seperti Pandhawa yang hanya memendam dendam dalam-dalam dan meluap kesumat perang lalu mengemis kepada Sang Hyang : meminta pulang dengan memegang pedang. /4/ “Terkutuklah dewa-dewi yang membiarkan parang bersilang. Terkutuklah! Krisna yang besar dari doa-doa ibu, terkutuklah! Kau mati di tadah doa ibu ini.” Sekarang tak ada suara Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 195

yang lebih lengking dari jeritan hatimu. Air mata hanya setetes asin nasibmu. Kau sangsai di waktu yang curam. Gandhari, masihkah kau tenggelam pada derai derita panjang sampai suatu saat nyawamu dicekik maut? /5/ “Ya Dewa, mengapa kau takdirkan aku melahirkan seratus anak hanya untuk kau ambil mereka secepat kilat anak panah yang melesat di tengah selangkangan dan menyisakan sakit yang sama?” 196 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Malang memang runcing dan menusuk tubuhmu dalam sangat dalam hingga mulutmu kalam melafalkan kematian yang menyerang, lalu menjadi batu di ulu hatimu. /6/ Setelah perang apa yang bisa dibawa pulang? Selain hati yang runtuh, dan dendam yang tetap utuh! 2020-2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 197

Samahita Nestapa OIeh Fajri Zulia Ramdhani Kidung swastamita1 belum rampung bersenandung tembangnya pilu, entah siapa penyair sendu bersama renggutnya cahaya senja mamak kau disana di pucuk tergelap tak ada bias chandra2 hanya luka-luka hina aku disusui darah derita, tak ada kasih asih buaiku hampa, ditemani titik air mata berat niankah aku mamak, lenyap bahagia getir kau rajut hari hidup, entah besok akan apa Aku diolok kehidupan, hai kau yang tak ber-bapa3 belagak bangga, padahal lahir hina papa dua tiga gunjing temani tumbuh, tak apa mak biarlah kita tetap angkuh Kau adalah semerbak, dengan wangi yang kuhirup sendiri menyimpan resah di teratai merah pada musim ke delapan entah dari mana asal semerbak mu mak, amboi wangi kurasa, kenapa mereka tak rasa 1 Matahari terbenam 2 Matahari 3 Bapak 198 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Setelah tiap musim kita berbagi hangat, tak satupun pilu cerita kau umbar begitu, aku tau, dari dinding kayu reyot tempat kita menggantung cahaya kau adalah berkasan dama4 teguh srimaya5 kasih di bawah dinding cemoh Mamak, kau hilang Aku berteriak lantang memanggil namamu ke langit terang, menantang Hanya sisa berkas tubuh, yang membayang Tak kutemui kau di peraduan, kemanakah pergimu? Mak, bukankah Tuhan tak perasa tak ada bahagia dalam raut wajah lelahmu yang elok rupa belasan tahun ku tatap engkau yang sama, kau menenangkan menyebut tak apa Katanya engkau adalah jalang, sejak aku ada di kandungan kau payah-payah hadirkan ku sendirian membunuh sakit sendirian, di atas tikar tipis, 4 Cinta Kasih 5 Kemegahan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 199

disiksa derita hina, direnggut nyamannya Mak, jika aku adalah alasan matinya hasita6 jika pilu sakitmu sebabku datang kenapa kau hadapi sakit pedih kematian ataukah kau telah mati sejak aku dilahirkan menghadapi angkara7 di mayapada8 Kudapati kau kini tak lagi dicumbu duka, hangatkah disana, di bawah nisan pasi9 usang yang ku beli di pengkolan di bawah gunduk tanah tak beraturan yang kering tanpa kembang Mak, Kau Samahita10 nestapa dipeluk amerta Semarapura, Januari 2021 6 Bahagia 7 Kebengisan 8 Dunia 9 Batu 10 Tegar 200 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Sambel Terasi Ibu Oleh Eddy Setiawan Tungku tanah liat Sabar dilalap nyala jelita Kayu-kayu tersungkur pasrah Habis padam puntung berasap Sudut indah itulah penggugah rindu Mendamba teduh raut wajah ibu Terbuai mimpi menyusur malam Menghujam batin di tanah seberang Gurih Singkong rebus berpinggan daun talas Menantang selera menuntun lidah Mengecap nikmat diatas anyaman tikar Terkulum pedas sambel terasi ibu Bu, anakmu ingin pulang bersimpuh Membunuh rindu, mengadu pilu Mengetuk haru pintu surgaku Meraup manja di padang baktiku Merintih lirih parau tertahan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 201

Ibu, bayangmu menyerbu terendap angan Derap langkah terpasung dalam zona Terkungkung kejamnya wabah sejagad Maros, 08 Juli 2020 202 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Sambutan Malam Sang Kayu Abadi Oleh Putu Ratna Indriyani Manik /1/ Ibu adalah seonggok kayu abadi. Abadi seperti hidup setelah mati Kayu pohon pinus dan jati Yang ihwalnya dibentuk musim Gugur mengering, menjadi tua tinggi menguning Tebal kayu bak selimut rasa Garis-garis usia terukir di atasnya Semata-mata sebagai tanda— baginya; kehidupan dan asa Mana pula jelas tak lagi bersisa /2/ Mimpi-mimpi ditanam jauh, dalam nan sepi Kasih lampau telah mengakar, sebuah alegori; Masa mudanya dibawa pergi Ke antah-berantah, meski— tak dibiarkan luluh lantak Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 203

Kini hidupnya berotasi pada kehangatan Ia merengkuh malam beserta bulan Di bawah atap rumah kami Mengubah rangkaian batu layak dihuni /3/ Ketika langit meredup, ibu rebah di tilam samping Berteman nyanyian burung bulbul— Ia kisahkan, cerita kaisar kesepian Untuk malam ini—katanya—sebagai preambul; “mendalami jatuh cinta dan rasa kepemilikan” Tuturnya lembut di beberapa kalimat Menggambarkan perasaan tokoh Hingga rendah suaranya, tamat “Kalau memang takdir, akan kembali toh?” —ibu menyudahi kisah Kaisar dan Burung Bulbul Dirujuknya patah arang masa lalu Tentang kekasih atau mimpi Si Kayu Mereka tak kembali. “Tapi sekarang hidupku di sini,” —katanya sedu. 204 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

/4/ Aku menimbang-nimbang probabilitas Jika hidup, jika gentas Ibu ibarat seonggok kayu abadi Bila dibakar tak berkutik, bila disiram tak berkelik Maka bayan adanya ibu mesti hidup di sana Rumah fana burung bulbul Si Malang Tepat di tepi hutan akasia Menagih rindu yang sudah menjelma utang /5/ Malam berangsur pekat Ketika aku tersadar lengan ibu masih memelukku erat Air mukanya menggambarkan pengampunan Atas dosa-dosa dan kelalaian Lalu ibu adalah seonggok kayu abadi Serat-seratnya manis, membelu-belai Usianya setia menanti Apa-apa yang perlu dinanti— termasuk maaf dan terima kasih. Sidoarjo, 10 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 205

SANUBARIKU Oleh Sindi Melia Agustin Aku tak bisa menjadi Sapardi Yang sajak – sajaknya begitu digemari Akulah aku, yang menulis sewaktu – waktu Dan hari ini aku kembali ke masa itu Menulis sajakku, dan ini untukmu Kubilang kau surga, kau bilang kau manusia Kubilang kau bidadari, kau bilang kau makhluk bumi Kusapa kau ‘’Ibu…’’ kau balas ‘’Anakku…’’ Tiada yang lebih bermurah hati daripada dirimu Bahkan bunga yang gugur pun perlu waktu untuk jatuh Jurang yang terjal pun perlu masa untuk terkikis Tiada yang lebih lembut daripada alunan melodi tidurmu Bahkan lagu romansa pun kalah dengan lantunan “Nina Bobo” mu Melodi angin pun sayup merdu jadi pengiringmu Kaulah raga dari raga yang kupelihara Kaulah darah dari darah yang mengalir di dalamnya Kaulah juga, telaga nyawa yang tak pernah habis detaknya 206 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tidak ada yang searif cintamu Tidak ada yang seikhlas dan setulus jemarimu membelaiku Tidak ada pula yang sehangat kecupan pertamamu Tidak ada… Kesempurnaan itu hanya milikmu, tuhan kedua setelah Tuhan-ku, ibu... Semoga kelak, bisa kutebus jasamu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 207

SEPASANG TEMPAYAN Oleh Indah Puspitasari Bu, oh Ibu, aku ini tunas dungu pelik kubaca petuahmu namun melekat sepanjang hayat agar aku tak menjadi bersat tampak pinar menembus sela dinding dinding anyaman bambu yang mulai kering betapa sempit pandangan yang masih lena dalam baring enggan bangkit meski gaduh kidungmu memanggil di pagi hening jemari keriputmu mulai menari, mencipta atma merah dalam tungku terpancar, bak zaitun di wajah sepasang tempayan, memantul dahayu hangat bara menguasai sudut dapur, merambah, menusuk tulangku aroma khas muncul dari asap kayu selepas berapi, sebelum berabu kau bilang, “bangunlah sebelum ayam jantan memekik lepas” kau bilang, “tak pantas bermalas, anak bakarat harus lekas lantas pastikan sepasang tempayanmu menjadi bernas janganlah sampai tandas agar perapianmu panas hingga perut kulawangsa menjadi puas” 208 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Bu, oh Ibu, aku ini tunas dungu anju kalbu merayu jawabmu gerangan apa di rangup tempayan kau bilang bupala kehidupan “sedang tempayan adalah kiani kiani mereka, segar ayar, juga biji padi buatkanlah kereta kuda dari seonggok kayu bakar bawalah ke medan maharana, para prajurit barisan tembikar kala candrasa dalam genggaman, sepasang tempayan bertanya, bertempur sebab bernas atau pilih gugur lantaran tiada bupala” Bu, oh Ibu, kini tunasmu berbekal, biar kubawa bersewaka kepulan asap tipis mengabarkan kejayaan rakyat wangsa Bu, oh Ibu, sepasang tempayanku mentak jadi saksi saksi baktiku atas berangta yang tak bisa kuganti meski kusematkan padamu mahkota baskara atau dengan singgasana bumantara Kediri, 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 209

SEPATU KULIT Oleh Tiara Nofitri Surya Br. Harahap Seperti sepatu kulit Dicinta dan diinjak secara bersama Dalam sedih yang teramat mengeruk Selalu ada nyamannya kehangatan Menadah tangis yang mengalir Dalam senang yang terlena Selalu ada bentuk pemberontakan Menampung serangan yang membabi buta Seperti sepatu kulit Pelindung diantara kotornya kemunafikan Menutup diantara terangnya dusta Meraba diantara jelasnya fatamorgana Didikan yang terbalut dalam candaan Pengarahan yang terbungkus halus dalam cerita Seperti halnya sepatu kulit Sering terciprat kotornya lumpur Bercak noda memenuhi Hingga tak tampak lagi warnanya Tapi dalam beberapa usapan kain dan air 210 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Semua belang itu tersisih Seakan berubah menjadi baru Layaknya sepatu kulit Mengiringi langkah demi langkah Perjalanan panjang penuh kerikil Terjalnya naik turun Tajamnya paku-paku di adimarga Tak terasa karena tebal lapisannya Hingga sampai di sana Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 211

SESUAP BIRYANI IBU Oleh Yurna Jingga Sitara Dari puncak lapar sejati ini, selalu ada sekeping matahari yang me­ nyala, membakar jantung ibu paling api. Namun, cinta memang memiliki perhitungannya sendiri. Sesuap biryani mampu memberi sepertiga ke- hidupan. Cinta yang tak kuncup hanya karena kecewa dan cerca. Dari biji-biji rempah ia menyadap air mata paling hitam (barangkali juga pa­ ling suci). Di antara sesuap biryani ibu (setengahnya untukku dan setengahnya lagi untuknya) selalu ada embun yang merintik. Sungguh di antara lapar ada piring-piring yang termangu, menumpahkan sajakku di meja makan kami tanpa penawar. Tapi, hanya lidah yang sungguh jenuh oleh garam yang mampu mendefenisikan pahit menjadi gula. Tiada yang lebih kuning dari sesuap biryani ibu. ketika selendangnya menutupi genangan darah seluruh negeri. Aku yang mengerak noda setebal jangat sapi. Barangkali lupa ada kitab-kitab yang belum tuntas dibaca. Aku tak yakin apakah aku benar atau salah. Tapi, pertanyaannya terus saja mengiang di telinga “sanggupkah kauhidup dengan darah ibu di tanganmu,nak? Jambi, 2018 212 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Suar Penerang Oleh Pratiwi Hidayati I Beringas ombak hidup menebas Mematahkan sebilang sendi perahuku Yang kurakit dengan konsistensi dan mimpi Aku yang seorang diri Tengah berjuang Menghirup harapan sebanyak-banyaknya Hembus pesimis kutiup keras-keras Agar palung putus asa Tak menjadikanku sebagai mangsa Nan patut binasa II Aku kalap Dicekoki asinnya realitas mazmumah Dan peradaban kolot umat manusia Kalau hendak meninggi Cukup menjilat yang berdasi Orang dalam juga bisa jadi alternatif akselerasi Kalau hendak dipuji Merendahkan pun solusi yang patut diuji Gelap pekat samudra hidup Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 213

Sungguh membawaku kepusaran kalut yang tak berujung III Perlahan kuseimbangkan diri Mengeja situasi sekeliling Mengerjapkan kembali mata sembab Yang nanar akan kedustaan Kuturut titik kecil yang berpendar Dari kejauhan Ia merangkul Berusaha mendekap Menjanjikan suaka Pada tubuh kecil yang terkambang Aku, yang mati-matian Residu daya kupupuk habis-habisan Menggapai ramah yang bertuan IV Dekat makin melekat Suar itu makin benderang Menyapaku dengan balut kasih sayang Pijar kekuningan Bukan sebab silau netra Walakin, punca penghangat Untuk tubuh yang menggigil dicucuri penat Suakanya babil dan kekal 214 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Teruntuk bocah yang dari kandungan Wejangan tulus pertolongan Tersalur lewat derit besi kokoh yang menua Biar diterpa hidro penyebab karat Mega bayu yang meraung kuat Ia mampu bertahan dengan segala sakit Agar tuahnya jadi antisakit Bagi para penerusnya V Wujudnya tak melulu abadi Hanya tinggal menakar hari demi waktu Ia akan merepui Melebur dan membumi Tapi hangat sayang Getol pengorbanan Akan mujur terpatri Dalam tiap sanubari Singaraja, 23 Januari 2021 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 215

Suara dari Sang Buah Hati Oleh Raizel Zahra Ardhita /1/ Ku beradu kata layak, dan kau bilang aku mengoyak. Hanya ku cukupkan isi hati, namun angin bilang aku tuntut jantung bukan ati. “ Sabar atau derhaka “, semua mencibir. Bagaimana bisa jika bertubi-tubi. “ Hanya memberi tanggapan dari raga saja“, aku meregas. “ Ya seakan kau tidak saja sehabis mengelak “, pekiknya dengan tegas. /2/ Merentangkan sayap kiri, ku melindungi diri sendiri. Tegakkan kaki, kepalkan tangan, dan berdiri, menyerukan dengan penuh cegak “ Aku bisa sendiri “. Lagi-lagi disebut kualat katanya, aku melanggar kodrat. Layaknya bedudak, melingkar dan menguat. 216 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

/3/ Geram mengerat. Raga pun merasa tak kuat. Mencari jawaban yang tak kunjung diruwat, menanti tatkala lepas dari kawat. Seperti itulah, mereka tak pernah kalah. Tapi aku sangat tak memalarkan mengalah, karena itu tertebar salah. /4/ Kusam namun bersinar. yang terlihat hanya binar. Menggerogotiku dari dalam bagai parasit, namun tak hilang makin merajut. Kau kata ini untuk aku, seluruhnya untuk kebaikanku. Kau kata ini agar ku aman, tapi nyatanya mimpiku jadi angan-angan. /5/ Ku tau aku berhutang tak berbilang. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 217

Namun, rasanya ingin ku hilang. Terbang bebas dengan sayap. Kendatipun harus merayap. Kau sebut aku anugrah. Bak intan buah amarah. Berlayar tak tahu arah. Pendengar setia sang amarah. Kunanti saat kau menghidu, betapa berat ku merindu. Merindu kenangan indah tersandu, membawakan laras malam yang syahdu. Hanya itu, aku rindu. Rindu akan kehangatan dari mu. Tanpa bayang-bayang hasrat membelenggu. Jakarta, 4 Januari 2020. 218 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Surga (Tak) Mungkin Nestapa Oleh Nara Tazkia Larasati [I] Sakitku kambuh lagi. Seperti biasa, seperti remaja yang tak tahu kelak akan kemana. Entahlah. Barangkali ilusi; atau benar memori. Sekira catur purnama; masih jua tak berupa. Aku cuma segumpal darah tak bersalah, dibelai sepi; tak menahu perihal aborsi. Daksa tak sampai sehasta; terendam bersama adenoma. Menari-nari riang, meski sadar benar di kandung dililit sempit; di luar dililit utang. Kala sepertiga malam kelabu, Tuhan tahu-tahu mengadakan temu. Lantas Ia bisikkan perihal perlu. Alangkah aku ingin menanya, padahal bicara saja aku tak kuasa. Karena kalau tak cela, kira-kira begini bunyinya; Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 219

“Pegang satu janji hingga kelak Kau kembali. Kepada si empunya kandung ini, hormati; hormati; hormati.” Benar tiga kali; terpatri laksana ari-ari. Siapa tuan maha baik ini? Sanggupkah kelak aku berbakti? [II] Bunyi arloji dua belas kali, belum mampu mengistirahatkan nyiur nan melambai ke sana kemari. Sebab angin yang berembus paralaks, jatuh cinta pada elok nyala petromaks. Tersentak tuan putri bergegas; Agar sisa mantra masih apik terjaga. Fulan melamun nestapa; Lantaran tak tahu esok hendak makan apa. Sebagian merana; yang lainnya berfoya-foya. Sedang di sini tuan meregang nyawa, merelakan dunia. 220 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Mengapa Kau lakukan padahal aku tak pernah minta? Tuhan, inikah rupa tuanku? Inikah yang pantas kuseru ibu? [III] Belum sempat surut air laut nan terhampar, namun daku sudah piawai mengingkar. Menyedihkan. Muak, bengis, jemu; beri saja itu sebagai hadiah kelahiranku, Ibu. Alangkah maaf hingga melulu, tak lantas mengangkat nila yang terlanjur satu memeluk susu. Bu, aku lahir teramat berjibaku*. Membuat ada jahitan abu-abu, menata cela pada indah tubuh permaimu. Bahkan jika terkutuklah aku menjadi batu, Sudikah Engkau ‘tuk tentu mempertahankanku? Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 221

[IV] Bung, ibuku adalah penipu paling ulung. Ah, tidak tidak. Berbohong dalam liku, sudah bak sembahyang lima waktu. Demi riang bahagianya: bapak dan aku. Saling bersantap sekepal nasi; buah rezeki tempo hari. Tanpa risau berwalang hati, jikalau mesti menyisakan untuk nanti. Namun apabila sudah menyendiri, Atas mata kepala aku bersaksi, senyumnya sudah lain lagi. Lamunannya laksana Fulan alenia kelima. Tatapannya kosong bagai tegar tak menahu apa-apa. Semua duka terperam rapi; menua beserta suka; dalam rahasia nan jauh disana. Terkecuali satu bunyi lirih, nan beradu dengan kerasnya hidup kala itu. Dahaga. 222 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Seperti raut matanya; tak berdaya ia berdusta. Diangsur hingga laksana ombak. Mengendap, mengasam, mengoyak. Lagi-lagi lambung yang jadi sasarannya. Bukan begitu, Bu? [V] Tidak. Pemandangan ini lagi. Aku sungguh tak tahan lagi. Aku harus pergi dari sini. Dalih merantau, izinku. Meski tak yakin harus pergi kemana, bagaimana, dan dengan siapa. Bahkan mungkin jika itu kala terakhir. Kala terakhir aku membangkang; kala terakhir kulihat senyumnya terbentang; dan kala terakhir aku mengucap sayang. “Bu, aku pamit.” Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 223

Tak jua kujumpa tangis; bahkan pada ufuk pelupuk. Benar saja. Tak ada lagi air mata tersisa guna menangisi putrinya. Bahkan ‘tuk bersandiwara; sia-sia belaka. Sudah cukup dengan derita ia dicoba. Atau mungkin pada akhirnya, lepas sudah satu penggaris lara; yang saban hari ia temani tidurnya; diatas dipan beralas pelepah kurma. Takkan berat, pikirku. Daripada harus menyaksikan duka pilu; yang diam-diam mencipta awan kelabu; itu-itu melulu. *berjibaku: nekat, dalam konteks di sini, dengan susah payah. 224 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tangan Kayu Bagai Besi OIeh Chikmatul Islacha Dengan berselimut kesendirian Kuterbangun menatap mahligai bianglala Yang diarahkan oleh si kelopak mata......... Hiruk piruk romansa pun mengelilingi segala yang ada di fikiran asmaraloka............ Dimanakah sang rimpuh itu ??? Dimanakah miniatur surga itu ??? Seolah-olah lelah berdiri menyeret langkah setiap sudut mata Ternyata rezeki dari sang pemilik esa membawanya pergi dari ru- mah.......... Bukannya lupa atau kusengaja Hanya saja arti tak tega itu lah yang menimbulkan beribu ribu retis- laya..... Setiap hari tak terasa Mulai pagi buta hingga matahari menunjukkan kegagahannya Sang kaki telanjang itupun menghiraukan rasa lelah......... Sampai fu’ad berkata Bahwa rudita lah yang masih kini menjadi kebiasaan diri ini Hingga jelampah pun tak dirasa............. Entah berapa banyak panggilan yang tersedia dalam atma Mulai dari ibu, umi, mama, bunda Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 225

Itu sama saja !! Karena cinta kasih takkan pernah mengiris tabir yang dikasih untuk sang buah hati...... Ketika senja tiba bersamaan dengan suara kaki yang ada Hanyalah maksud dunia mempersilahkan ia merebahkan tubuhnya Namun apalah daya Seketika rinau nya air mata ini Menjadikanku lemah dihadapan kekuatannya....... Wahai tangan kayu bagai besi Wahai ibu yang terkasih Bagaimana bisa ku berterima kasih Kalau kasih sayang engkau Tak pernah ternilai dimata illahi.... Seberapa besar yang telah ku beri Seberapa sering permintaan maaf yang menghampiri Itu semua takkan tertandingi Seperti lazuardi yang kekal dalam surgawi...... 226 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tangisan Ibu Oleh LY. Misnoto tangisan ibu adalah ketulusan dari tabah yang dilahirkan setiap langkah sebelum disembunyikan dalam lelap dengan pasrah merelakan senyuman bila saja air mata sinar dari tubuhnya kudekapkan asa di seluruh duka biar menjadi kenang yang sempurna bagi purnama yang segera berlalu dari mata setelah menyimpan permata di rumah tua dengan pelita yang menuai bahagia tangisan ibu adalah restu bagi sebuah kepergian langkah sejak mimpi menggetarkan ingin dengan membawa doa keselamatan kelak akan ada riwayat yang tertunai kembali lewat sebuah hikayat dengan hasrat pasti tanpa menggelar acara kekeramatan yang memantrai lorong-lorong pemujaan Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 227

demi sekadar menyimpan kembang tujuh rupa meski hanya gulita yang lebih sebenarnya … akhirnya, kembalilah pada ibu ada air mata yang belum tuntas dalam doa menjelma sebuah akhir paling rahasia biarkan sirna seluruh mantra di sebuah asa sebab tangisannya akan menjadi laknat pada setiap langkah mati tiba-tiba Bekasi, 06 Januari 2021 228 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

TANGISAN IBU SANG KORUPTOR Oleh Suhra Milhantri Dalam senyum kau simpan rasa sedihmu Ketika derita melandamu penuh dengan air mata Miris hatimu saat aku menjadi tikus berdasi Bukan setumpuk harta yang kau inginkan dariku Raut wajahmu sedih menahan kepedihan Hatimu terluka, akibat perbuatanku yang hina Kau selalu menuntunku ke jalan yang benar Entah mengapa diriku tergoda oleh setan terkutuk Harapanmu kandas, kebahagiaanmu berguguran Menangisiku anakmu yang mendekam di dalam jeruji besi Sayup terdengar tangismu, ketika aku mencium kakimu Meminta maaf padamu, memohon ampun pada Tuhan Menyesali atas semua perbuatanku yang tak bermoral ini Aku telah menjadi manusia tak berguna bagi negaraku Kau tutupi rasa malu akan perbuatanku yang tak berakhlak Dan rela menerima beribu-ribu cacian yang menghampirimu Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 229

Tawassul Keibuan Oleh Ummi Kultsum Kali ini Memang kau bukan Sayyidah Khadijah, namun Demi aku, kau ikhlas atas segalanya Bahkan segudang harta pun Tiada berarti, sebab kau senantiasa Tulus mencintai Kali ini Memang kau bukan Sayyidah Saudah Tapi kau penuh canda Kala aku dirundung duka Ketika dunia terasa tak ada Kau pun jadi pelengkap tiada tara Kau memang bukan Ummu Salamah Bagiku, kau pun cerdas menawan Kala aku bertanding dengan kehidupan Memang kau bukan sayyidah Hafsah Demi aku, kau tetap emban amanah luar biasa Di penghujung langkah dan doa 230 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Selamanya, Memang kau bukan Zainab bintu Jahsy, namun Kau mendidikku layaknya beliau Si wanita ahli ibadah nan sedekah Bagiku, Ibu Kau adalah wanita tiada dua Kau adalah wanita kuat walau sering dihujat Kau adalah wanita pelengkap ketika semua terasa bodo amat. Sedangkan Aku menyayangimu saja kadang aku lupa Mendoakanmu pun kala kuingat Mencarimu pun kala ‘ku tengah dibalut sengsara Pantaskah aku jadi malaikatmu Sudahkah aku membahagiakanmu Ibu Tak terhitung apa yang kau berikan padaku Tak ternilai kasih sayang yang kau curahkan untukku Tak terbatas usia kau tetap menyayangiku Doaku menyertaimu, Ibu. Mojokerto, 10 April 2020 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 231

TEMBANG SEDU DUKA Oleh Ramadhan Eka Syaputra Sedu Daku Dendang air mata bunda Tiada kutemukan permata Pada dasar muara Tempat daku terbenam tahana Di sana kisah binasa Sepi mengalir berdecak jua Kerikil kecil melempar dada Debu di hati perihkan mata Dalam remang kuterlena Ahai, bunda! Siapa gerangan menitip duka? Anakmu lanang meniup luka? Di rumah selalu saja Putung hatinya direkah udara Daku lemah nan merana Senyap air mata menatapnya 232 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Jika bunga di muka bunda Layulah sudah enggan merayu Jangan lupakan daku anakmu Si pengembara berdarah Sumatera Pagi-pagi layar terkembang Bila memang perih menganga Daku siap jauh membuang Ke negeri kuntum berada Selamat malam bundaku sayang Ini kapal menampar-nampar Daku bukan malin kundang Salam sentosa haturkan getar. Lara Bunda Anakku lanang, anakku sayang Bundamu ini memang malang Mengapa sunyi layar terkembang? Belum sempat bunda kumandang Di sana utang di sini gemang Mendiang bapa tiada memandang Berlari seperti seekor anjing Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 233

Malam menggonggong pagi minta daging Selayang pandang layar terkembang Cakap orang anakku sayang Sedang menghadap ganasnya gelombang Biarkan hamba yang tumbang Sepanjang malam tiada terbaring Menunggu pintu menyapa kunjung Bila sayang kembali datang Pastilah hatinya bunda junjung Tembang kini dicecap hari Mengapa di sini semerbak wangi Sunyi siapa ditikai bunga Bagi tanah atau samudera? Malang, Desember 2020. 234 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tentang Wanita itu Oleh Annisa Ahsan Wanita itu berdiri di sana Di ambang pintu menungguku pulang ke rumah Katanya sudah terlalu malam Anak kecil tidak baik bermain hingga matahari terbenam. Paginya wanita itu membangunkanku Aku yang masih tertidur pulas di atas kasur Katanya ini hari pertama bagiku Bersekolah di taman kanak-kanak, bertemu dengan teman baru Kemudian wanita itu berdiri disana Di depan pagar sekolah dasar menungguku yang sedang upacara Katanya aku sekarang sudah besar, Sudah cukup umur untuk diberi uang jajan lima ribu rupiah. Pukul empat sore wanita itu menurunkan kaca mobil Menahan tangis perpisahan sebisa mungkin Katanya aku perlu disekolahkan di sini Sekolah menengah pertama berlandaskan pesantren demi ilmu agama yang mumpuni Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 235

Esok paginya wanita itu sudah siap mengenakan pakaian formal Menunggu sesi foto kelulusan sekolah menengah atas Katanya aku cantik sekali mengenakan baju kelulusan Saking senangnya aku mencium pipinya di tengah keramaian Lalu siang ini aku akan pergi lagi Kuliah merantau demi meraih ilmu yang lebih tinggi Katanya aku jarang sekali berada di rumah ini Kemudian aku tersenyum lalu mengatakan, aku pasti akan kembali lagi Dan malam ini aku kembali dari perantauan Menatap kosong rumah yang dulu sempat hangat Katanya wanita itu pergi meninggalkan rumah Dan katanya lagi, mungkin Tuhan sudah sangat merindukannya 236 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Tepat di Sisi Oleh Larasati Nur Kholisa Sayup-sayup ketukan gubuk kayu tuai sahut Mata bulat si kecil ditatapnya lamat-lamat Lantang memimpin di depan memberi jalan Hingga derap tungkai menjadi beriringan Satu dua sendok nasi tanpa sesuap pun Dua tiga tetes tak tertelan juga Angkat kepala berujar tak jera Jemari bergetar usap peluh sumringah Kaki-kaki itu tegak bertukar jabat Kerut keriput tak buatnya tersenyum kecut Legam hitam memutih dari ujungnya Nestapa gugur tersapu riang si putri Bisik jumawa hingar bingar di desa tua Sedia sandar bertumpu daun pintu Persis membuntut si putri terdorong maju Berujar, ‘aku tepat berada di belakangmu’ Sebiji jagung diberinya satu ladang Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 237

Pandang gamang setitik gulana Kini jejak kaki si putri ingatkan lagi Cekat berbisik, ‘aku selalu ada di hatimu’ 238 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020

Untuk Yang Tersimpan Dibawah Telapak Kaki Oleh Rori Maidi Rusji untuk Amak Menulis kertas dengan pandangan mengeras, Seperdelapan usia terpangkas untuk bait-bait dalam kertas. Pesan amak bermain didaun telinga, Bersajak tak seperti bersujud nak. Mata nanar memandang lembar sajadah tergayut, Tak bisa keyakinan kau ganti sajak. Sujud berupa sajak, sajak sudah jarang bersujud. Semakin memekak terdengar pesan, “Itukah agamamu sekarang nak ?” Mata basah menoleh tikar sujud dan kitab sajak, Kau menimang hobi, pengabai ajaran nabi. Sudah waktunya bermalam untuk memintal bulan di esok subuh, Tergolek pesan ibunda, “Saatnya menaruh tinta mimpi, agar terjauh dari secangkir kopi dan sakitmu dikemudian hari.” Amak juga pemimpi, tidak dengan bait-bait pada kertas. Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020 239

Tapi untuk mengisi cita - cita luhur anaknya. Esok dikemudian hari akan terjemput pesan yang telah mendaun di bi- bir amak. “Simpan sebentar penamu, sudah saatnya kau mematri pikiran untuk induk beras. Lekas pasang sepatu kulit untuk mengeringkan peluh ayahmu”. Tangis pecah serupa anak pengemis, isak menahan lapar. Aku tak akan mendurhakaimu, karena surgaku tersimpan dibawah tel- apak kakimu. Catatan Kaki. Amak = Ibu 240 Antologi Puisi - Lomba Menulis Puisi Nasional 2020


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook