Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Published by nathaniakaylab, 2021-06-05 06:58:10

Description: Buku bahan pembelajaran bagi mahasiswa hukum dan kedokteran, juga ditujukan untuk profesi medicolegal di Indonesia

Keywords: medicolegal,consumer protection

Search

Read the Text Version

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 2.3. Berakhirnya perjanjian Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Pembayaran Pembayaran oleh hukum perikatan bukanlah sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan, pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”. Dengan terjadinya pembayaran, maka terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak.141Mengenai pembayaran diatur dalam Pasal 1382 KUH Perdata. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan (consignatie) diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata. Penawaran pembayaran tunai adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan, apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran dari pihak debitur. Seorang kreditur berhak untuk menuntut prestasi yang dilakukan oleh debitur, namun jika terjadi suatu keadaan debitur telah melakukan prestasinya tersebut namun kreditur menolak prestasi yang telah dilakukan debitur tersebut, maka pihak debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan atau penitipan, dan dengan adanya ini maka hapuslah perjanjian antara kedua belah pihak. 3. Pembaharuan utang atau novasi Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang atau novasi yaitu:142 a) Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. b) Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan perikatannya. 141 Ibid., hal. 116. 142 Ibid., hal. 133. 92

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 c) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Pembaharuan utang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi yang disebut pada huruf a, dinamakan sebagai novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objek perjanjiannya, sedangkan yang disebutkan pada huruf b dan c, dinamakan novasi subjektif karena yang diperbaharui adalah subjek-subjeknya atau orang-orangnya dalam perjanjian. Novasi subjektif terjadi dengan pemindahan dari perikatan kepada pihak lain, baik pihak itu debitur maupun kreditur dengan pemindahan mana perikatan lama dihapuskan. Perikatan yang baru itu mungkin perjanjian dengan syarat-syarat atau isi yang sama sekali baru. Novasi ada kaitannya pula dengan subrogasi. Definisi dari subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian itu terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1400 KUH Perdata. Novasi subjektif berkaitan pula dengan perjanjian cessie seperti yang tercantum dalam Pasal 613 KUH Perdata, dimana terdapat suatu perpindahan piutang yang berupa hak ataupun benda kepada pihak yang baru, dan pihak ini yang mempunyai hak untuk menagih sesuatu kepada debitur. Apabila seorang pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur kepada kreditur yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur dengan kreditur asli. Akan tetapi, pada saat yang sama hubungan hukum tadi beralih kepada pihak ketiga yang melakukan pembayaran kepada kreditur aslinya, dengan pembayaran tersebut maka perikatan itu sendiri tidak lenyap, tetapi yang terjadi ialah pergeseran kedudukan kreditur kepada orang lain. Apabila memperhatikan novasi ini maka terlihat ada kesamaannya dengan subrograsi, yakni di dalam masalah penggantian atau pemindahan. Perbedaan antara novasi dengan subrogasi adalah bahwa dalam subrograsi pemindahan tersebut tidak menghapuskan perikatan, sedangkan dalam 93

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 novasi pemindahan tersebut menghapuskan perikatan. Perbedaaan antara perjanjian cessie dengan novasi adalah, dalam perjanjian cessie perpindahan tersebut menghendaki adanya suatu akta, sedangkan dalam novasi tidak mengharuskan dilakukan dalam bentuk akta. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau kompensasi adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang satu pada yang lainnya, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh Pasal 1425 KUH Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.143 Namun lebih baik jika perjumpaan utang atau kompensasi ini dilakukan oleh tiga pihak karena jika dilakukan oleh dua pihak saja kemungkinan seorang kreditur untuk mempunyai utang terhadap seorang debitur adalah sangat kecil, dan kemungkinan untuk melakukan suatu kompensasi adalah sangat kecil. Namun jika dilakukan oleh tiga pihak kemungkinan berubahnya status seorang kreditur tersebut berubah menjadi seorang debitur adalah sangat besar, jika ia meminjam uang kepada pihak ketiga yang berlaku sebagai kreditur bukan kepada pihak debitur dimana ia meminjamkan uangnya. Oleh karena itu, untuk melakukan suatu kompensasi dalam hal ini adalah sangat besar, jika ketiga belah pihak bertemu dan ingin memperhitungkan utang piutang secara timbal balik. 5. Percampuran utang Yang dimaksud dengan percampuran utang adalah percampuran kedudukan (kualitas) dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga kualitas sebagai kreditur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang 143 Subekti, Hukum... op. cit., hal. 72. 94

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Hal ini diatur dalam Pasal 1436 dan Pasal 1437 KUH Perdata. 6. Pembebasan utang Bahwa apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan, yaitu hubungan utang–piutang hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Hal ini diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata dan Pasal 1439 KUH Perdata.144 7. Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Hal ini diatur dalam Pasal 1444 KUH Perdata. Seandainya debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), ia pun akan bebas dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya.145 8. Batal/Pembatalan Meskipun disebutkan batal dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan jika kita melihat apa yang diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata, bahwa ketentuan pada pasal tersebut kesemuanya mengenai “pembatalan”. Jika suatu perjanjian batal demi hukum, maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dapat dihapus. Ketentuan yang diatur oleh Pasal 1446 dan selanjutnya, adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan (vernietigbaar atau voidable) 144 Marian Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 142. 145 Subekti, Hukum... op. cit., hal. 74-75. 95

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 sebagaimana yang sudah tertera pada waktu membahas syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (Pasal 1320 KUH Perdata). 146 Mengenai pembatalan ini harus dimintakan ke pengadilan negeri karena pengadilan negeri adalah suatu lembaga yang dapat mengeluarkan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, selain itu pengadilan negeri akan mengeluarkan putusan “win-win solution” bagi kedua belah pihak. Jadi pengadilan akan memberikan putusan yang seadil- adilnya dan memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. 9. Berlakunya syarat batal Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUH Perdata. Ketentutan syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.147 10. Lewat waktu Menurut Pasal 1946 KUH Perdata, yang dimaksud dengan daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan lewatnya waktu maka hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggalah suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis), artinya jika dibayar boleh, tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang daluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.148 2.4. Hubungan hukum antara Dokter dengan Pasien 146 Ibid., hal. 75. 147 Ibid., hal. 77. 148 Ibid., hal. 78. 96

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sebelum kita utarakan mengenai hubungan hukum antara dokter dengan pasien, sebenarnya, menurut Wilson 149 , dapat digambarkan, bahwa antara dokter dengan pasien terjalin hubungan secara personal. Dapat disamakan dalam hubungan antara pendeta dengan jamaah. Ada anggapan dalam diri jemaah bahwa pendeta tersebut adalah orang utusan Tuhan dan kepercayaan itu diberikan oleh jemaah kepada pendeta karena imannya kepada Tuhan. Kepercayaan bahwa kegagalan yang diterima oleh jemaah tersebut adalah merupakan kehendak dari Tuhan, jadi tidak ada anggapan bahwa pendeta telah gagal melaksanakan tugasnya. Berbeda dengan keadaan berkurangnya kepercayaan pasien kepada dokternya, kepercayaan itu berkurang karena dalam praktiknya telah banyak dokter yang gagal dalam melakukan penyembuhan karena akibat kelalaian atau kurangnya ilmu dari dokter tersebut. Dengan demikian pengibaratan hubungan dokter-pasien sebagai hubungan antara pendeta dengan jemaahnya seperti yang diungkapkan oleh Wilson adalah sudah tidak cocok lagi. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa dalam menangani pasien perlu adanya suasana keakraban. Untuk terjadinya pengakuan dari pasien dibutuhkan keadaan yang nyaman dan terlindung dalam sisi psikologi pasien, dan ruang konsultasi dokter diibaratkan sebagai tempat suci yang aman pada gereja sehingga proses pengakuan dapat dilakukan. Dengan demikian pasien senantiasa percaya pada kemampuan dan keahlian dokter, kepada pasien mempercayakan keselamatannya. Dassen 150 mengemukakan terjadinya perkembangan berkaitan dengan hubungan antara dokter dengan pasien sebagai berikut. 1. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya. Segi psiko-biologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit. Dalam hal ini dokter dianggap sebagai pribadi yang dapat menolongnya karena kemampuannya secara ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan lebih tinggi dan peranan yang lebih penting daripada pasien (dari sudut pandang pasien). 2. Pasien pergi ke dokter karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu menyembuhkannya. Dalam hal ini, pasien menganggap kedudukannya sama dengan dokter, tetapi peranan dokter lebih penting darinya. 149 Wilson dalam H. Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malapraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik (Surabaya: Srikandi, 2005), hal. 53. 150 Ibid, hal. 55. 97

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 3. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif. Dassen151 berpendapat bahwa jika hubungan antara dokter dengan pasien itu didasarkan pada asuransi sosial, maka hubungan itu tidak dapat dilihat terlepas dari keseluruhan hubungan antara pelayanan kesehatan dan masyarakat. Dengan kata lain, jika asuransi itu oleh pemerintah dijadikan sebagai salah satu usaha untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat, maka hubungan antara dokter dengan pasien merupakan hubungan individual yang tidak terlepas dari masyarakat. Dengan demikian apabila dokter yang bersangkutan merupakan pegawai sebuah rumah sakit, maka tindakannya juga terikat pada hubungan dengan rumah sakit yang bersangkutan dan peraturan yang lain. Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien bisa berdasarkan 2 hal, yaitu: Perjanjian (ius contractual) atau yang disebut dengan transaksi terapeutik, hubungan ini sifatnya pribadi antara dokter dengan pasiennya karena didasarkan pada kepercayaan; dan undang-undang (zaakwarneming). Sebelum kita membahas dua bentuk hubungan hukum tersebut di atas, ada baiknya kita melihat esensi dari hubungan dokter dengan pasien. Menurut buku kemitraan hubungan antara dokter dengan pasien, dikatakan bahwa hubungan tersebut baru ada, ketika dokter bersedia menerima klien itu sebagai pasiennya. Hubungan dokter dengan pasien tersebut menempatkan kedudukan dokter lebih kuat dari kedudukan pasien. Dalam hubungan yang demikian, dokter diharapkan akan bersikap bijaksana dan tidak memanfaatkan kelemahan pasien sebagai keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika dalam hubungan itu disertai dengan permintaan dokter untuk mendapatkan imbalan jasa dari klien (pasien) dan klien (pasien) bersedia memenuhinya, maka terjadilah hubungan yang disebut sebagai hubungan kontraktual. Selanjutnya, dalam hubungan tersebut, lahirlah kewajiban dan hak dari kedua belah pihak yang harus saling dihormati, serta tanggung jawab jika ada yang tidak memenuhi kesepakatan tersebut. Dikarenakan sifat hubungan yang tidak seimbang tersebut maka faktor kepercayaan memegang peranan penting. Pihak klien (pasien) akan bersedia bersikap jujur dalam mengungkapkan berbagai hal yang ingin diketahui oleh dokter, termasuk 151 Ibid 98

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 hal yang bersifat pribadi, dan dokter akan bersikap jujur dalam upaya yang akan dilakukannya untuk menolong klien (pasien). Selain itu dokter juga harus dapat dipercaya bahwa ia tidak akan menyimpan semua rahasia klien (pasien) serta tidak akan mengungkapkan rahasia itu kepada siapapun juga tanpa persetujuan klien (pasien) kecuali atas perintah undang-undang. Saling percaya dan saling dapat dipercaya ini sangat penting (krusial) dalam menjaga hubungan yang akan memungkinkan dokter mencari penyelesaian bagi keluhan klien (pasien)nya. Profesionalisme merupakan janji publik bahwa dokter akan terus dapat dipercaya sebagai penolong pasien. Di dalamnya terdapat kontrak sosial untuk memegang teguh komitmen terhadap kepentingan terbaik pasien, jujur, dan menghormati hak-hak pasien dalam menjalankan praktiknya sebagai upaya altruistik (tanpa pamrih). Profesionalisme memperhatikan keseimbangan antara harapan kesembuhan pasien, yang merupakan kuasa Tuhan, dengan upaya maksimal yang dilakukan dokter sebagai penolong pasien. Dengan demikian, profesionalisme adalah pupuk upaya kerja sama antara dokter dan pasien menuju kesembuhan pasien. Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran, keduanya membentuk baik hubungan medis maupun hubungan hukum. Hubungan medis dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidak-harmonisan dan kesimpangsiuran 2.4.1. Ius contractual (transaksi terapeutik) Dalam hal hubungan yang timbul dari perjanjian atau yang disebut dengan transaksi terapeutik (perjanjian terapeutik)152. Definisi mengenai perjanjian terapeutik tidak disebutkan secara khusus dalam KUH Perdata, tetapi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 1319 KUH Perdata, maka perjanjian terapeutik masuk sebagai bentuk perjanjian yang dikenai ketentuan yang ada dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1319 KUH Perdata tersebut berbunyi: 152 D. Veronica Komalawati, Peranan Infomed Consent Dalam Transaksi Terapeutik: Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 139 99

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab-bab terdahulu”. Hubungan hukum ini terjadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya wawancara medis dan pemeriksaan oleh dokter. Dalam hal ini pasien memberikan kepercayaannya kepada dokter. Hubungan ini dalam kepustakaan diwujudkan dalam suatu “guidance-cooperation relationship”153 yang menegaskan bahwa: “…although the patient is ill, he is conscious and has the feeling and aspiration of his own. Since he is suffering, he is ready and willing to cooperate. The physician considers himself in a position of trust”. Hubungan kontraktual ini juga mungkin terjadi dalam hal penderita mendatangi dokter untuk mendapatkan pemeriksaan intensif tentang penyakitnya dan mengobati penyakit yang ditemukannya. Dalam hubungan tersebut, memungkinkan terjadinya pemeriksaan oleh dokter yang sifatnya preventif (pencegahan) terhadap penyakit ang diderita, tidak hanya bersifat kuratif (penyembuhan) saja. Hubungan tersebut mencerminkan suatu “mutual–participation relationship”, 154 yang menunjukkan bahwa: ”…the patient thinks he is juridically equal to the doctor and that his relationship with the doctor is in nature of a negotiated agreement between equal parties”. Dari hubungan tersebut tercermin bahwa pasien sadar bahwa dirinya memiliki kedudukan yang sejajar, sederajat dengan dokter, begitu juga dalam hubungan kontraktual antara dokter-pasien keduanya memiliki kedudukan yang sejajar. Hubungan kontraktual ini dengan demikian bersifat horizontal karena secara hukum pasien menganggap dirinya berkedudukan sederajat dengan dokter. Kegiatan wawancara medis antara dokter dengan pasien tersebut, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu ‘working diagnosis’ atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu 153 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran... op.cit, hal.72. 154 Ibid, hal. 73 100

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 diikuti agar kesembuhan dapat segera dicapai oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter-pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan perencanaan terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan suatu tindakan medis. Tindakan medis tersebut ada kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 1. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkret. 2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran. Kedua syarat ini dapat juga disebut sebagai bertindak secara lege artis. 3. Harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien. Secara yuridis sering dipermasalahkan, apakah tindakan medis yang tidak mengenakkan/menyakitkan itu dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan yang merupakan konsep dalam hukum pidana. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas hal ini menjadi dasar tindakan medis yang telah sesuai dengan hukum. Ditinjau dari segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan antara dokter dengan pasien. Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu: Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja; dan 2) Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang maksimal. Meskipun demikian, hubungan dokter-pasien yang merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal (inspanningverbintenis), tetapi, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai perjanjian, maka untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya Syarat kesepakatan, dalam perjanjian terapeutik, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter. Untuk mengurangi kelemahan tersebut, telah bertambah prinsip yang dikenal dengan “informed consent”, yaitu suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. Lebih lanjut, informed consent diatur dalam Peraturan 101

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik. Pasal 2 Permenker tersebut menyatakan: (1) Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adequat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya. (4) Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien. Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Selain itu, dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medis. Apabila dokter yang melakukan tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif, berupa pencabutan surat izin praktiknya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Syarat kecakapan, seseorang dikatakan cakap hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah: Pertama, belum dewasa, yang menurut KUH Perdata Pasal 1330 adalah belum berumur 21 tahun dan belum menikah. Kedua, berada di bawah pengampuan, yaitu orang yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental. Ketiga, wanita dalam hal yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini masih berstatus istri dan pada umumnya semua orang kepada siapa ketentuan hukum telah melarang membuat persetujuan tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis telah diatur secara jelas, bahwa persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat 102

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 mental, yaitu yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Terhadap pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele), maka persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/curator, sedangkan pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/curator. Apabila pasien tersebut, adalah pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orangtua/wali dan/atau orangtua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat dan/atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. 3. Suatu hal tertentu. Syarat hal tertentu. Ketentuan mengenai hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau bendanya (dalam hal ini pelayanan medis) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Dalam suatu perjanjian medis umumnya objeknya adalah “usaha penyembuhan”, dimana dokter harus berusaha memaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Oleh karena itu, secara yuridis, umumnya termasuk jenis “inspanningsverbintenis”, dimana dokter tidak memberi jaminan kepastian dalam menyembuhkan penyakit tersebut tetapi dengan ikhtiar dan keahliannya dokter diharapkan dapat membantu dalam upaya penyembuhan. 4. Suatu sebab yang halal. Syarat sebab yang halal. Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang menjadi pokok perjanjian tersebut harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain, objek hukum tersebut harus memiliki sebab yang diizinkan. KUH Perdata Pasal 1337 menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan atau ketertiban umum. Misalnya dokter dilarang melakukan abortus provocatus criminalis menurut KUHP Pasal 348. Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka kita dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 103

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa: ”Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dari Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata, dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik dapat diambil pemahaman sebagai berikut: 1. Bahwa perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang- undang bagi pihak dokter maupun pihak pasien. Undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan. 2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa adanya kesepakatan lain dari pihak dokter dan pasien, misalnya: seorang dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter itu tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan perawatan pasien kepada teman sejawat lainnya tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya. 3. Para pihak, dalam hal ini dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Pemberian informasi secara timbal balik atau disebut wawancara pengobatan harus dilakukan dengan berdasarkan itikad baik oleh kedua belah pihak. 4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian, yaitu penyembuhan penyakit pasien dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dalam memberikan pelayanan medis, dokter harus menjaga mutu pelayanannya dengan berpedoman pada standar pelayanan medis yang telah disepakati bersama dengan rumah sakit maupun organisasi profesi (IDI) sebagai kebiasaan yang berlaku. Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa ia di dalam melakukan suatu tindakan medis harus: bertindak dengan hati-hati dan teliti; berdasarkan indikasi 104

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 medis; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medis; dan adanya persetujuan pasien (informed consent) sehingga jika seorang dokter (1) tidak melakukan, (2) salah melakukan, atau (3) terlambat melakukan sehingga sampai menimbulkan kerugian/cedera kepada pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti tercantum di dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu: ”Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila siberhutang sesudah ditagih, tetap lalai tidak memenuhi kewajibannya, atau apabila siberhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan dalam jangka waktu tertentu, dan waktu mana telah dilampauinya.” Prinsip ini juga dianut dalam sistem hukum Anglo Saxon, dikatakan suatu wanprestasi (breach of contract) jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan pasiennya, namun kemudian ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan semacam ini, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu. Negara kontinental menamakannya suatu perjanjian hasil (resultaatsverbintenis). Di dalam perjanjian hasil semacam ini, maka seolah-olah telah terjadi suatu kontrak di dalam mana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medis dokter tersebut. Jika gagal, maka unsur wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya. Guwandi155 memberi beberapa contoh objek perjanjian terapeutik dilihat dari segi medis, antara lain: 1. Dokter berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita pasien. Dokter melakukan upaya penembuhan (kuratif) dengan melalui beberapa tahapan, yaitu pemeriksaan diikuti dengan diagnosis. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik atau dapat juga dengan sarana penunjang, seperti laboratorium, USG, CT scan, dan sebagainya. Setelah melakukan diagnosis, kemudian dilakukan upaya terapi (pengobatan) yang terdiri atas terapi simtomatis (mengurangi gejala penyakit), terapi definitif (menghilangkan penyakit), dan terapi suportif (mempercepat proses penyembuhan). 2. Meringankan penderitaan. Terdapat kasus-kasus penyakit pasien sangat sulit untuk disembuhkan, seperti misalnya pasien menderita kanker stadium lanjut. 155 J. Guwandi, Tindakan Medis dan Tanggung Jawab Produk Medis (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993), hal. 48 105

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dalam hal ini penggunaan terapi definitif tidak mungkin menyembuhkan sehingga dokter hanya melakukan upaya yang sifatnya meringankan penderitaan pasien (terapi paliatif), seperti menghilangkan gejala nyeri yang ditimbulkan oleh kanker tersebut. 3. General check-up. Hal ini dilakukan untuk melakukan deteksi (penemuan) secara dini terhadap kemungkinan adanya penyakit yang belum diketahui seseorang, atau mengetahui apakah seseorang dalam keadaaan cukup sehat untuk melakukan suatu pekerjaan. 4. Memperpanjang hidup. Dapat terjadi terapi yang diberikan hanya bersifat untuk memperpanjang usia pasien, yang bila terapi tersebut tidak dilakukan pasien tidak mampu bertahap hidup lagi, seperti misalnya pada penderita gagal ginjal kronis. Dalam hal ini maka dilakukan terapi cuci darah sebagai upaya agar pasien dapat bertahan hidup lebih lama, tetapi tidak dapat menyembuhkan penyakit pasien. 5. Dalam pengaturan keluarga berencana. Dalam hal ini, pasien berada dalam keadaan sehat, tetapi pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter hanya untuk melakukan pembatasan atau menghindari kelahiran anak yang oleh pasien. Dapat juga upaya untuk membantu pasien yang ingin memiliki anak. 6. Transplantasi organ tubuh. Hal ini dilakukan dalam hal seseorang yang berkeinginan untuk mendonorkan organ tubuhnya bila ia meninggal dunia. Dokter kemudian melakukan upaya tertentu untuk menjaga agar organ pasien tersebut dapat digunakan sebagai donor bagi pasien lain yang membutuhkan. 7. Bedah plastik untuk estetika. Dapat terjadi pasien datang kepada dokter Ahli Bedah Plastik untuk melakukan bedah plastik sebagai permintaan pasien untuk memperbaiki bagian tubuhnya. Ketujuh objek yang telah disebutkan sebelumnya merupakan objek perjanjian yang memenuhi syarat sahnya transaksi terapeutik karena termasuk dalam unsur sebab yang halal atau diperbolehkan oleh undang-undang. Objek perjanjian terapeutik yang dilarang oleh undang-undang antara lain: euthanasia, abortus provocatus, dan sebagainya. 2.4.2. Undang-undang (ius delicto) Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak mungkin memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya medis 106

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tanpa seizin pasien sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela atau menurut ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata disebut zaakwarneming. Dalam Pasal 1354 KUH Perdata, pengertian zaakwarneming adalah mengambil alih tanggung jawab dari seseorang sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian, perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum, yaitu: dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya setelah pasien sadar kembali, dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut. Untuk tindakan selanjutnya tergantung pada persetujuan pasien yang bersangkutan. Teori yang dipakai sebagai alasan tindakan dokter tersebut adalah pendapat dari Leenen yang mengemukakan suatu konstruksi hukum yang disebut “fiksi hukum” dimana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang ada pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam suatu situasi dan kondisi yang sama. Tindakan medis pada pasien tidak sadar bisa dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu zaakwaarneming atau perwakilan sukarela. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien bukan hubungan hukum yang bersifat khusus, artinya antara dokter dan pasien, meskipun bersifat inspanningsverbintenis, tetapi tunduk pada ketentuan- ketentuan Buku III KUH Perdata, khususnya tentang syarat sahnya hubungan hukum antara mereka. Meskipun Pasal 1338 (3) menyatakan bahwa persetujuan yang mereka buat, adalah sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat persetujuan, namun kita tidak boleh melupakan Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 585/MEN- KES/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis. Peraturan itu dibuat oleh lembaga yang berwenang sehingga ketentuan tersebut bersifat publik. Dalam bentuk hubungan ini, apabila terjadi sengketa antara dokter dengan pasien yang didasarkan pada penyelenggaraan pelayanan medis, maka gugatan dapat diajukan selain dengan gugatan mendasarkan pada wanprestasi, juga dapat mendasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum: ”dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders 107

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 rechtsplicht of indruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed” (terjemahan bebas: sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban sipelaku, atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain). Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan ketidakhati-hatian atau ketidaktelitian?, yang menjadi acuannya adalah standar- standar dan prosedur profesi medis di dalam melakukan suatu tindakan medis tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang dengan tegas telah mengatur pelbagai kewajiban tersebut. Bab I dan Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mengatur tentang kewajiban umum dan kewajiban dokter terhadap penderita menyebutkan antara lain: a) seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi (ayat 2) b) dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (ayat 3) c) tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita (ayat 5) d) serta seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya (ayat 7) e) setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (ayat 10) f) setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita (ayat 11) g) dalam hal ia tidak mampu melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut (ayat 12) h) setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia (ayat 13) i) setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu untuk memberikannya (ayat 14) 2.5. Inspanningsverbintenis menjadi alasan unconscionability156 Seperti yang telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa bentuk hubungan hukum antara dokter dengan pasien membawa kedudukan yang tidak 156 Agus Budianto, “Kajian Juridis Hubungan Hukum Dokter dan Pasien:, Jurnal Kajian Hukum Al- Adalah Fakultas Syari’ah Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Inten, Lampung Vol. 7, No. 1, Juni 2008. 108

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 seimbang di antara keduanya. Hubungan tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh. Dalam konteks ini, hubungan ikhtiar (menjanjikan) tidak dikenal dalam ilmu hukum karena hubungan ikhtiar (menjanjikan) tidak memberi kepastian hukum. Hubungan hukum berat sebelah ini dikenal dengan doktrin ketidakadilan atau keadaan yang berat sebelah (unconscionability)157. Doktrin ini adalah suatu doktrin dalam hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak walaupun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ini mengacu kepada posisi tawar-menawar (bargainning position) dalam kontrak tersebut yang tidak seimbang atau berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar. Di lain pihak, doktrin ini juga bisa berlaku bagi keadaan pasien yang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan mengharuskan berada pada posisi “memerlukan pengetahuan“ orang lain untuk bisa menyembuhkan keadaan sakit yang ada pada dirinya. Dalam hal ini, si dokter yang memiliki pengetahuan tersebut, memberikan saran dan nasihat tentang penyakit si pasien dengan mendasarkan pada “upaya penyembuhan“. Padahal, apa yang telah dilakukan dokter terhadap pasien tersebut sudah merupakan bentuk kesepakatan yang kemudian berlaku hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak beserta akibat-akibat hukumnya. Posisi ini yang kemudian membawa pada pasien pada keadaan yang berat sebelah (unconscionability). Black’s Law Dictionary memberi definisi tentang Unconscionablity sebagai berikut. 158 A doctrine under which courts may ignore enforcement of unfair or oppressive contracts because of: a. procedural abuses arising out of the contract formation ; or b. substantive abuses relating to terms of the contract, such as terms which violate reasonable expectations of parties of which involve gross disparities in price. 157 Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hal. 4. 158 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet.1 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 116 109

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Suatu doktrin dimana pengadilan dapat mengabaikan pelaksanaan dari ketentuan yang tidak adil atau menekan yang disebabkan : a. kesewenang-wenangan dalam proses pembentukan perjanjian itu, atau ; b. kesewenang-wenangan dalam menentukan isi perjanjian, seperti ketentuan yang bertentangan dengan kemauan yang patut dari para pihak atau terdapat perbedaan harga yang menyolok. Schaber dan Rohwer dalam bukunya Contract,159 yang dikutip oleh Hardijan Rusli membagi unconscionability menjadi dua bagian, yaitu procedural unconscionability atau ketidakadilan prosedur dan substantive unconscionability ketidakadilan substantif. sebagai berikut. 1. Ketidakadilan prosedur (procedural unconscionability), adalah berhubungan dengan terbentuknya suatu bagian dalam perjanjian (a term) menjadi bagian dalam perjanjian itu. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor kekurangan pengetahuan atau pengertian dari salah satu pihak terhadap isi perjanjian karena faktor-faktor seperti : a. Cetakan yang tidak menarik perhatian (inconspicuous print). b. Bahasa hukum yang sulit dimengerti (un intelligible legalistic language) c. Kurang kesempatan untuk membaca kontrak atau bertanya tentang isi perjanjian. d. Perjanjian yang telah dibuatkan atau dicetak sebelumnya oleh salah satu pihak. (adhesion contract) 2. Ketidakadilan substantif (substantive unconscionability). Ketidakadilan substantif terjadi apabila kontrak atau bagiannya, ada salah satu pihak yang menekan (oppresive) atau terlalu kejam (overly hash). Hal tersebut dapat terjadi apabila dalam kontrak terdapat ketentuan-ketentuan yang: a. melepaskan suatu pihak dari keuntungan perjanjian, b. tidak memberi ganti rugi atas tidak terpenuhinya suatu prestasi, c. kedudukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang dimiliki orang lain, d. karena sifatnya perjanjiannya menyebabkan orang yang membantu orang lain atas permasalahan kesehatannya berada dalam “upaya penyembuhan”, e. tidak berhubungan dengan risiko dalam bisnis (no reasonable relation of the business risk), 159 Ibid. 110

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 f. perbedaan yang menyolok antara modal dengan harga jual. Inspanningverbintenis yang kemudian menjadi dasar hukum bagi dunia kedokteran agar tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha menurut UU Perlindungan Konsumen tersebut, sebenarnya di dukung lebih lanjut dengan kode etik profesi. Kode etik ini yang kemudian sebagai penjembatan antara inspanningverbintenis dengan kesepakatan antara dokter dengan pasien. Profesi yang didapat dengan mengikuti keterampilan pendidikan tertentu yang kemudian dijalankan secara profesional tersebut, harus mendapatkan payung hukum dengan etika yang kemudian menjadi kode etik profesi. Sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi. “Profesi” adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian dari para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan khusus untuk itu. Dokter sebagai profesi memiliki kriteria sebagai berikut. 1. Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi). Bidang keahlian yang dipelajari dan ditekuni. Biasanya tidak ada rangkapan dengan pekerjaan di luar keahliannya. Seperti: dokter ada dokter umum, dokter jantung, dokter anak, dan sebagainya 2. Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus. Memiliki keahlian dan keterampilan khusus yang diperoleh melalui pendidikan dan keterampilan, dan ditempuh secara resmi pada lembaga pendidikan dan latihan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan Undang- Undang. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.160 160 Lihat pada Pasal Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal yang berikut: Pasal 27 Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 28 (1) Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. 111

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Keterampilan diperoleh dan dibuktikan oleh sertifikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau lembaga lain yang diakui, ini juga dipenuhi yaitu melalui Pasal Pasal 34 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang mana berisi tentang perlunya ditetapkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi.161 3. Bersifat tetap atau terus-menerus. Tetap berarti sekali berkiprah di suatu profesi tertentu seterusnya tetap pada profesi tertentu itu. Terus-menerus: berarti berlangsung sampai jangka waktu lama sampai pensiun. Misalnya dokter, sebagai dokter bukan hanya tempat di mana dia bekerja, namun ke mana pun dia pergi status dan identitas dokter tersebut tetap melekat padanya. 4. Mengutamakan pelayanan daripada imbalan. Pelayanan diutamakan karena keahlian profesional bukan amatir. Imbalan dengan sendirinya akan dipenuhi secara wajar apabila konsumen merasa puas dengan pelayanannya. Ini berarti adanya pengabdian berupa pelayanan sehingga fokus ada pada pelayanannya sendiri dan bukan karena semata- mata mencari nafkah. 5. Tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Dokter harus bertanggung jawab kepada diri sendiri berarti bekerja karena integritas moral, intelektual, profesional. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti ada kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, layanan yang berdampak positif, dan berani mengambil risiko terhadap pelayanannya. 6. Terkelompok dalam suatu organisasi. Bertens menyatakan kelompok profesi merupakan community moral yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dokter di sini terkelompok dalam (2) Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Dikatakan di atas bahwa pendidikan dan pelatihan dilakukan sesuai standar pendidikan profesi kedokteran. Ini menyatakan bahwa keterampilan dan keahlian khusus sebagai dokter harus diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan Pendidikan dan pelatihan tersebut memiliki standar tersendiri yang kemudian di buat dan disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Dalam penelitian kemudian penulis menemukan bahwa acuan umum pada standar ini mengikuti standar umum World Federation for Medical Education yang telah diterbitkan sejak tahun 2000 dan baru dirampungkan. 161 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.1 Tahun 2005 Tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 5 Oktober 2005. 112

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia. Sebagai profesi kelompok ini memuat kode etik disebut Kode Etik Kedokteran Indonesia yang kemudian yang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.434/MENKES/SK/X/1983 yang direvisi terakhir tanggal 19 April 2002. Suatu profesi harus senantiasa dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya oleh seluruh anggotanya. Para anggota penyandang suatu profesi harus senantiasa berkomunikasi dan bersatu dalam suatu wadah agar segala segi-segi keprofesiannya dapat dikembangkan. Upaya ini diwujudkan melalui terbentuknya suatu organisasi profesi. Dengan adanya organisasi profesi, maka setiap anggota dapat mewujudkan profesionalitasnya secara lebih terarah dan efektif. Para profesional itu terkelompok dalam suatu organisasi biasanya organisasi profesi menurut bidang keahlian dari cabang ilmu yang dikuasai. Bertens menyatakan bahwa kelompok profesi merupakan masyarakat moral (moral community) yang memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut kode etik profesi. Contoh organisasi berkaitan dengan dokter profesi antara lain adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pengakuan terhadap organisasi profesi didasarkan pada nilai moral yang tercermin pada keahlian dan keterampilan anggota profesi yang bersangkutan bukan karena ketentuan positif. Ikatan Dokter Indonesia sebagai organisasi profesi kedokteran pun membuat kode etik kedokteran (ciri-ciri lain profesi kedokteran dapat ditemukan dalam kamus- kamus sosioliogi berdasarkan telaah ex post facto, seperti altruisme (sikap rendah hati), trust, persamaan semua anggotanya, kedudukan yang bermanfaat di dalam masyarakat, memiliki himpunan yang diakui oleh masyarakat, hormat terhadap para guru, dan masih banyak lagi). Etik kedokteran tempat tertentu terikat pula pada tempat tersebut, maka status perkembangan etik kedokteran sekarang ini di Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi 162 dan Code of Hittites 163 , yang penegakannya 162 Hammurabi (Bahasa Akkadia, dari kata Ammu \"saudara laki-laki pihak ayah\", dan Rāpi \"seorang penyembuh\"); adalah raja keenam dari dinasti Babilonia pertama (memerintah 1792-1750 SM), dan ia mungkin juga Amraphel, raja dari Sinoar menurut alkitab (Kejadian 14:1), banyak sekali melakukan peperangan menaklukkan kerajaan lain, namun ia lebih terkenal karena pada masa pemerintahannya dibuat kode resmi (tertulis) pertama yang tercatat di dunia, yang disebut sebagai Piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Piagam Hammurabi tersebut diukir di atas potongan batu yang telah diratakan dalam huruf paku (cuneiform). Piagam tersebut seluruhnya ada 282, akan tetapi terdapat 32 113

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam- macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 melahirnkan sumpah dokter (yang diakui sedunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktik kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika kedokteran memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberi latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap diantaranya yang terpecah dan sulit untuk dibaca. Isinya adalah pengaturan atas perbuatan kriminal tertentu dan ganjarannya. Beberapa contoh isinya, antara lain: - Seorang yang gagal memperbaiki saluran airnya akan diminta untuk membayar kerugian tetangga yang ladangnya kebanjiran. - Pemuka agama wanita dapat dibakar hidup-hidup jika masuk rumah panggung (umum) tanpa permisi. - Seorang janda dapat mewarisi sebagian dari harta suaminya yang sama besar dengan bagian yang diwarisi oleh anak laki-lakinya. - Seorang dukun yang pasiennya meninggal ketika sedang dioperasi dapat kehilangan tangannya (dipotong). - Seseorang yang berhutang dapat bebas dari hutangnya dengan memberikan istri atau anaknya kepada orang yang menghutanginya untuk selang waktu tiga tahun. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Code_of_Hammurabi diakses tanggal 20 juli 2007 163Hittite laws merupakan suatu yang tertuang dalam piagam-piagam hitite yang ditemukan di Hattusa berbentuk huruf paku(ca. 1600–1100 BC), hukumannya berupa per kasus, misalnya “Barang siapa memotong telinga dari budak laki-laki atau perempuannya, maka ia harus membayar 3 talenta emas”. Hukumannya tidak terlalu jelas, dan tidak ada yang berbentuk larangan seperti “Anda tidak boleh melakukan…” Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Hittites. 114

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).164 Hal ini sehubungan dengan adanya kewajiban dalam hubungan dokter pasien yakni inspanningverbintenis, yakni berdasarkan perjanjian pengupayaan maksimal, artinya dokter bukan berjanji untuk memberi kepastian untuk sembuh, namun berupaya agar pasien dapat sembuh. Upaya inilah yang kemudian dihubungkan dengan adanya dedikasi, sehingga bila ada keterlambatan dalam praktik karena masalah pribadi atau praktik di tempat lain akan menyebabkan rusaknya ikatan tersebut. Apabila ini diabaikan dan tidak mendapatkan perhatian, maka hubungan tersebut akan menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat. Keadilan menurut Aristoteles, yaitu “Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”, kemudian Aristoteles membagi keadilan menjadi: Keadilan Distributif (distributive justice), yaitu keadilan yang memberi kepada tiap-tiap orang bagiannya menurut jasanya. Maksudnya adalah tidak menuntut supaya tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan akan tetapi kesebandingan yang diperhatikan, terutama mengenai hubungan antar masyarakat, khususnya negara dengan perseorangan tertentu. Corrective atau remedial justice, yaitu keadilan yang tanpa memandang jasa, biasanya diberikan secara sukarela (biasanya terjadi di lapangan hukum perdata). Dalam mengatur hubungan-hubungan hukum, harus ada suatu ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan, tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan; untuk keperluan tersebut tindakan-tindakan harus diukur dengan suatu ukuran objektif. Keadilan ini memberi pada tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan. Maksudnya memegang peranan dalam perjanjian tukar-menukar, pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena merupakan jaminan stabilitas hidup manusia. Keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian dalam kesatuan, antara tujuan-tujaan pribadi dan 164 Budi Sampurna, “Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia,” <http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/>, diakses pada tanggal 23 Maret 2009. 115

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tujuan bersama. “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran\". 165 Namun, menurut kebanyakan teori, keadilan belum lagi tercapai: \"Kita tidak hidup di dunia yang adil\". Di dalam masyarakat yang adil timbulnya ketidakadilan tidak pernah akan diizinkan kecuali untuk menghindarkan suatu ketidakadilan yang lebih besar (perlu diperhatikan juga bahwa peraturan-peraturan yang telah diakui dalam masyarakat sekarang belum menjamin kesamaan orang-orang sebagaimana dikehendaki, seperti contohnya yang diserukan dalam peraturan praktik kedokteran). Kesamaan yang dituju ialah pertama-tama kesamaan sebagai manusia, tetapi ternyata kesamaan hak itu belum terwujud. Kesamaan lain adalah kesamaan karena kedudukan. Ternyata kesamaan ini belum terwujud juga, maka disimpulkan bahwa struktur dasar masyarakat belum sehat dan karenanya harus diatur kembali. Itulah yang disebut oleh Rawls: seruan untuk reorganisasi (call for redress), sebagai syarat mutlak untuk dapat menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru. Menurut Rawls prinsip keadilan harusnya mengerjakan dua hal166: Pertama, memberi penilaian yang konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional. Kedua, membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. 2.6. Berakhirnya hubungan dokter dengan pasien Dalam kepustakaan dapat ditemukan hal-hal yang menyebabkan berakhirnya hubungan dokter-pasien, yaitu dalam hal-hal berikut.167 1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi pengobatan sehingga tidak ada manfaatnya lagi untuk meneruskan pengobatannya. Penyembuhannya tidak usah sampai total. Penyembuhan dianggap bahwa keadaan pasien tidak memerlukan lagi pelayanan medis. Hal ini berarti bahwa penyembuhan keseluruhan hanya dapat diperoleh melalui perawatan yang tepat, penerusan minum obat yang diresepkan, atau memang sudah sembuh benar. 165 John Rawls, A Theory of Justice, Revised ed (Oxford: OUP, 1999), hal. 3. 166 H. Priyono, Teori Keadilan John Rawl, dalam: Tim Redaksi Driyarkara (Ed.), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 37. 167 J. Guwandi, Hukum Medik... op.cit., hal. 33 116

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Penentuan apakah pasien sudah sembuh benar sehingga tidak memerlukan pengobatan lagi karena sudah tidak ada manfaatnya bagi pasien tergantung kepada dokternya. Hal ini dapat dilakukan sesudah dilakukan penelitian lagi dan mengadakan evaluasi terhadap catatan medisnya, dan pasien itu mengadakan penilaian dirinya sendiri bersama orang-orang yang mengkhawatirkan kondisinya. Mengakhiri secara prematur dari pemberian pelayanan pengobatan sementara pasien masih memerlukannya bisa mengakibatkan tuduhan terhadap penelantaran (abandonment). 2. Dokternya mengundurkan diri. Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter-pasien dalam hal: a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut, atau; b. Kepada pasien diberi waktu cukup dan memberitahukan sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain, c. Atau jika dokter merekomendasikan kepada dokter lain sama kompetennya untuk menggantikan dokter semula dengan persetujuan pasien. Namun apabila seorang dokter mengundurkan diri dari hubungannya dengan pasiennya, maka ia wajib untuk memberi keterangan dan record yang cukup dan informasi kepada penggantinya sehingga penerusan pengobatannya terjamin. 3. Pengakhiran oleh pasien. Seorang pasien adalah bebas untuk mengakhiri pengobatannya dengan dokternya. Apabila diakhiri, maka sang dokter wajib untuk memberi nasihat mengenai apakah masih perlu pengobatan lanjutan dan memberi kepada penggantinya informasi yang cukup, sehingga pengobatannya dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila pasien memakai seorang dokter lain, maka dapat dianggap bahwa dokter yang pertama itu telah diakhiri hubungannya, kecuali ada perjanjian bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk konsul tujuan khusus. 4. Meninggalnya sang pasien. 5. Meninggalnya atau tidak lagi mampu menjalani lagi (incapacity) profesi sang dokter. 6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan di dalam kontrak. Pelayanan pengobatan yang diminta pasien sudah dilaksanakan oleh dokternya. Contoh ini misalnya dalam kasus-kasus rujukan kepada seorang spesialis 117

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 untuk memeriksa organ atau sistem untuk mendeteksi apakah adanya penyakit dan penerapan prosedur medis yang tepat. Kecuali ditentukan lain, maka konsultasi klinik berakhir pada setiap akhir kunjungan dari pasien. 7. Dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawatdaruratannya. 8. Lewat jangka waktu, apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka-waktu tertentu. 9. Persetujuan kedua belah pihak antara dokter dengan pasiennya bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah berakhir. 2.7. Latihan Soal 1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian? Apa perbedaan perjanjian dengan perikatan? Apa asas-asas perjanjian? Apa syarat sahnya suatu perjanjian? 2. Apa yang dimaksud dengan prestasi? Bagaimana syarat-syarat prestasi? 3. Apa yang dimaksud dengan wanprestasi? Apa syarat-syarat wanprestasi? Apa akibat dari adanya wanprestasi? 4. Apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum? Apa syarat-syarat adanya perbuatan melawan hukum? 5. Sebutkan dan jelaskan macam-macam berakhirnya perjanjian? 6. Bagaimana terjadinya hubungan hukum keperdataan antara dokter dengan pasien? Jelaskan apa yang dimaksud dengan ius contractual dan ius delicto? 7. Apa yang dimaksud dengan inspanningverbintenis? Apa yang dimaksud dengan resultaatverbentenis? Apa yang dimaksud dengan unconscionability? 8. Bagaimana berakhirnya hubungan antara dokter dengan pasien? 118

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 BAB III ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN Tujuan Instruksional Umum Pada akhir pokok bahasan ini mahasiswa mampu memahami pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, kelalaian, dan menyadari bahwa setiap kelalaian praktik kedokteran membawa konsekuensi dalam hukum pidana dengan sanksi yang sifatnya dapat dipaksakan oleh aparat negara, yaitu pemenjaraan. Tujuan Instruksional Khusus 1. Mendefinisikan pidana dan tindak pidana. 2. Menerangkan sejarah terbentuknya hukum pidana; menerangkan bagaimana kelalaian dalam hukum pidana, menerangkan unsur-unsur dalam tindak pidana. 3. Menerapkan prinsip kesalahan atau kelalaian dalam praktik kedokteran. 4. Menggambarkan kelalaian praktik kedokteran membawa konsekuensi pemidanaan dalam hukum pidana. 5. Menghubungkan antara kelalaian praktik kedokteran dengan kelalaian dalam asas- asas hukum pidana 6. Menyimpulkan setiap kelalaian praktik kedokteran tidak serta merta memenuhi usur-unsur tindak pidana dalam hukum pidana. 3.1 Sekilas Lahirnya Hukum Pidana di Indonesia Setelah kita bahas aspek hukum perdata di atas, khususnya adanya perjanjian yang menyertai hubungan antara pasien dengan dokter dan akibat-akibatnya apabila perjanjian tersebut tidak dilaksanakan, yaitu adanya wanprestasi, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perdata atas kelalaian dokter tersebut. Dalam aspek hukum pidana ini, maka yang berkepentingan bukanlah para pihak dalam hubungan tersebut, tetapi menjadi kepentingan negara yang dalam hal ini menjadi kewenangan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara kelalaian praktik kedokteran tersebut. Sebelum menerangkan lebih lanjut aspek hukum pidana dalam khasanah praktik kedokteran, kita uraikan terlebih dahulu, bagaimana hukum pidana tersebut, yang bersumber dari zaman kolonial mengalami proses dari perumusannya sampai pada pemberlakuannya di Indonesia. 119

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sebelum masuknya kolonialisme ke Indonesia, hukum yang berlaku adalah hukum adat dari masing-masing daerah di Indonesia. Pandangan masyarakat Indonesia mengutamakan keseimbangan atau hubungan masyarakat Indonesia mengutamakan keseimbangan atau hubungan harmonis manusia, makhluk gaib dengan lingkungannya. Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum, dan para penegak hukum akan mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. 168 Pada waktu VOC berkuasa tahun 1602, VOC telah mengatur organisasi pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javasche Wetten. 169 Hal itu dilanjutkan oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami sepanjang pengetahuannya tentang hukum adat.170 Sebelum perundang-undangan baru berlaku di Negeri Belanda, dikeluarkannya Firman Raja tanggal 15 Agustus 1839 No.102171 mengawali usaha- usaha untuk mengadakan hukum acara pidana di Hindia Belanda, dengan membentuk komisi yang terdiri atas Scholten, Schneirther dan JFW Van Nes. 172 Komisi ini bertugas mengadakan rencana-rencana peraturan untuk memberlakukan undang- undang negeri Belanda yang baru dan mengajukan usul-usul yang berhubungan dengan itu. Hasil karyanya adalah sebuah rancangan peraturan tata peradilan, rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.173 Setelah komisi dibubarkan, maka keluarlah Firman Raja tanggal 15 Agustus 1845, Wichers diutus ke Hindia Belanda sebagai ketua Mahkamah Agung tentara yang sebelumya dia bersama Scholten diwajibkan untuk menyiapkan rencana peraturan hukum untuk Hindia Belanda. 174 Sebagai hasil kerja sama tersebut dikeluarkan firman Raja tanggal 16 mei 1846 Nomor 1 (Staatblad 1817 No.23) yang terdiri dari 9 pasal.175 Salah satu peraturan yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 (Staatblad Nomor 7) 168 R. Supomo, Bab–Bab Tentang Hukum Adat, hal. 112-124, sebagaimana dikutip oleh Andi Hazmah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 47. 169 Javasche Wetten adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus di pulau Jawa. 170 Ibid., hal. 49 171 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 5 172 Andi Hamzah, op. cit., hal. 49. 173 Ibid. 174 Darwan Prinst, op. cit., hal. 6. 175 Ibid. 120

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 adalah Inlands Reglement (IR).176 Reglement tersebut berisi Acara Perdata dan Acara Pidana. Wichers menyusun bagian Acara Pidana tersebut dengan mengambil sebagian besar dari Reglement op de Strafvordering untuk Raad van Justitie. Setelah melalui perdebatan, akhirnya Reglement itu disahkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No.93 (Staatblad 1049 No.63).177 Setelah mengalami berbagai perubahan akhirnya dengan Staatblad 1941 No.44 diumumkan lagi dengan nama Herziene Inlands Reglement (HIR). HIR tadinya direncanakan pula untuk berlaku di luar Jawa dan Madura, tetapi pada kenyataanya di luar Jawa dan Madura berlaku bermacam-macam Hukum Acara yang pada akhirnya disatukan dalam bentuk Reglement voor de Buitengewesten (Staatblad 1927 No. 227). Untuk golongan Eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV). Di samping itu, ada Landgerechtsreglement (Staatblad 1914 No. 137) sebagai Hukum Acara untuk Pengadilan Landgerecht, yaitu Pengadilan untuk semua golongan penduduk yang memutus perkara kecil.178 Pada zaman pendudukan Jepang, Hukum Acara Pidana tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtsreglement masih berlaku. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan Undang-undang Darurat tahun 1951 No. 1 Pasal 5 (1) dan Pasal 6 (1) ditetapkan bahwa HIR diberlakukan sebagai pedoman acara pidana sipil. 179 Dalam perjalanannya, HIR dirasakan tidak lagi memenuhi hasrat dan rasa keadilan masyarakat Indonesia pada umumnya karena merupakan produk dari masa penjajahan yang masih menganut sistem inkuisitor. Hal ini terjadi karena itu diusahakan untuk menggantikan HIR dengan produk hukum Indonesia. Usaha tersebut memakan waktu selama 14 tahun, diawali dengan diselenggarakannya Seminar Hukum Nasional II di Semarang pada tahun 1968. Pada tahun 1973 konsep-konsep tersebut kembali dimusyawarahkan. Pada tanggal 12 September 1979 atas amanat Presiden Republik Indonesia waktu itu, Soeharto, rancangan undang-undang hukum Acara Pidana dibahas oleh para anggota DPR. Pembahasan itu memakan waktu selama dua tahun. Akhirnya RUU Hukum, Acara 176 Andi Hamzah, op. cit., hal. 51. 177Darwan Prinst, op. cit., hal. 6. 178Andi Hamzah, op. cit., hal. 52-54. 179Darwan Prinst, op. cit., hal. 10. 121

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Pidana disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian presiden mengesahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No.8 tahun 1981). Sebagaimana diketahui bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain.180 3.2 Pengertian Tindak Pidana Sebelum membahas tentang tindak pidana di Indonesia, yang nantinya dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk dapat mempidanakan malapraktik dalam ranah hukum pidana, tentunya dapat kita lihat dahulu dasar-dasar ilmu pidana. Ahli hukum pidana Indonesia, Andi Hamzah, membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf181. Istilah hukuman182 adalah istilah umum yang digunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin, dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit, yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. 180 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet.6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 54. 181 Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 27. 182 Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crimen sine lege, yang tercan-tum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, meliputi pula misalnya, guru yang merotan murid, orang tua yang menjewer kuping anaknya, yang semuanya didasarkan kepada kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Kedua istilah ini, juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dst. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hal. 20. 122

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Ada istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana” 183. Istilah ini karena tumbuhnya dari pihak kementrian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan, Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tetapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai ”ditindak.” Oleh karena itu, “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana dalam pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir dipakai pula kata perbuatan.184 Tindak pidana merupakan terjemahan dari kata strafbaarfeit, atau delict yang dialihbahasakan menjadi delik. Pembentuk undang-undang Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara terperinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dan kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dan kenyataan yang dapat dihukum.185 Apakah istilah “tindak pidana” itu dapat disamakan dengan istilah Belanda strafbaarfeit. Untuk menjawab ini Simons 186 menerangkan bahwa “Tindakan melanggar hukum yang tetah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. Alasan Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas adalah sebagai berikut.187 1. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang, pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum; 183 Selain tindak pidana, istilah lain yang dipakai adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana atau perbuatan yang dapat dihukum. 184 Ibid., hal. 56. 185 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 5. 186 Ria Hapsari, “Apa Itu Korupsi?” <http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/apa-itu-korupsi.html>, diakses pada tanggal 5 Maret 2009. 187 Ibid. 123

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dan delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang; 3. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling. Jadi, sifat melawan hukum timbul dan suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dan delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.188 Moeljatno memberi definisi perbuatan pidana yang dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dan bagi barangsiapa yang melakukan tindak pidana tersebut akan timbul suatu tindakan berupa pemberian ancaman (sanksi) berupa pidana oleh negara bagi mereka yang melanggarnya sesuai dengan yang diancamkan pada larangan tersebut.189 Utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen- positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dan peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab.190 Pompe menyatakan bahwa perkataan straafbaarfeit secara teoretis dapat dirumuskan sebagai suatu: “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaiminnya kepentingan umum”. Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif, yakni semata-mata dengan menggunakan 188Ibid. 189 Moeljatno, Asas-asas…..op, cit, hlm. 54. 190 Evi Hartanti, op., cit. hal. 6 . 124

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pendapat secara teoritis. Perbedaan antara hukum positif dengan teori adalah semu. Oleh karena itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar melanggar hukum dan telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Adapun hukum kita juga mengenal adanya schuld tanpa adanya suatu wederrechtelijkheid.191 Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik (an objective of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Di sini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa). Culpa di sini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan. Moeljatno melihat bahwa pada pengertian yang disebabkan di atas terdapat dua pokok bahwa Pertama, feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku. Moeljatno melihat pengertian perbuatan di sini berbeda dengan perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah kejadian uang ditimbulkan oleh kelakuan. Kedua, pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Moeljatno melihat bahwa perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan saja. Jadi harus dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana, dipisahkan dari kesalahan.192 Oleh karenanya, Moeljatno memberi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tidak boleh dilakukan. Untuk menghindarkan pengertian tindak pidana yang beragam maka di dalam rancangan KUHP 1992 pasal 14 menjelaskan tindak pidana secara pasti, yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinayatakan sebagai perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana. Wiryono Prodjodikoro memberi definisi tindak pidana sebagai ”suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”. 193 Perbuatan pidana dapat 191 Ibid. 192 Moeljatno, op. cit., hal. 56. 193 M Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op. cit., hal. 264. 125

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dan bagi barangsiapa yang melakukan tindak pidana tersebut akan timbul suatu tindakan berupa pemberian ancaman (sanksi) berupa pidana oleh negara bagi mereka yang melanggarnya sesuai dengan yang diancamkan pada larangan tersebut.194 Pada sisi lain Van Hamel merumuskan sebagai berikut: strafbaarfeit adalah “kelakuan orang” yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan “kesalahan”. 195 Jika melihat pengertian-pengertian ini, maka di situ ada pokoknya terdapat: 1. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti kelakuan atau tingkah laku. Ini berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan kata lain sama dengan kelakuan, akibat, dan bukan kelakuan saja. Sebetulnya Simons juga berpendapat bahwa Strafbaar itu bukan hanya kelakuan saja, menurut Simons strafbaarfeit itu sendiri terdiri atas Handeling dan Gevolg (kelakuan dan akibat).196 2. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Hal ini berbeda dengan perbuatan pidana sebab ini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana jika hal tersebut dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancam, ini tergantung pada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan. Lain halnya strafbaarfeit, tercakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan.197 3.3 Unsur-unsur Tindak Pidana Sebuah praktik kedokteran yang dapat dituntut/diselesaikan melalui proses pidana adalah malapraktik yang memenuhi unsur-unsur: 1) ada kesalahan dokter; 2) kesalahan tersebut akibat dokter tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat 194 Moeljatno, op. cit., hal. 54. 195 Ibid. 196 Ibid. 197 Ibid., hal. 57. 126

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 keterampilan yang seharusnya dilakukan; 3) berdasarkan standar profesi (yang telah ditentukan berdasarkan bidang keahliannya); dan 4) sehingga mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau meninggal. Apabila dokter dalam menjalankan praktik kedokteran telah memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, maka dokter tersebut dikatakan sebagai telah melakukan tindak pidana.198 Tindak pidana merupakan suatu istilah untuk menggambarkan suatu perbuatan dapat dipidana. Moeljatno menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur: Adanya perbuatan (manusia); memenuhi rumusan undang-undang; dan bersifat melawan hukum.199 Sedangkan Saeur, menyebut adanya ”trias dalam hukum pidana”, yaitu sifat melawan hukumnya perbuatan, kesalahan dan pidana itu sendiri.200 Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu” (yang dalam doktrin disebut sebagai een nalaten) yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, dikatakan sebagai tindak pidana. Sungguhpun demikian, tiap tindak pidana dalam KUHP itu, pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.201 Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu. Juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. Selain itu, perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, jelas masuk perumusan pelbagai tindak pidana, yang dalam hal ini sebagai perwakilan, yang terkena hukuman pidana adalah oknum tersebut, yaitu yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum itu. 198 Anny Isfandyarie, op. cit., hal. 45. 199 Masruchin Ruba’i, “Asas-Asas Hukum Pidana” Bahan Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen UM dan Unbraw cet. 1 (Malang: 2001), hal. 21. 200 Masruchin Ruba’i, Mengenal Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia (Malang: IKIP, 1997), hal. 1. 201 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 193. 127

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 3.3.1. Unsur Subjektif Unsur subjektif tersebut meliputi : 1. Kesengajaan (dolus) Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan (dolus), bukan culpa, hal ini pantas karena yang layak mendapatkan hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan kesengajaan. Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu: pertama, perbuatan yang dilarang; kedua, akibat yang menjadi pokok, alasan diadakan larangan itu; dan ketiga, bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Biasanya diajarkan, bahwa kesengajaan itu terdapat tiga macam, yaitu ke-1: kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); ke-2: kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidan sebagainyaewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian; dan ke-3: kesengajaan seperti sub-2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa sesuatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan). Kesengajaan yang bersifat tujuan Sebagai contohnya adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Menurut teori kehendak, si pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian karena ia menghendaki bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain, barang itu akan menjadi miliknya. Menurut teori bayangan, kesengajaan ini ada karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik orang lain tersebut, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan akibat yang terbayang tadi. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian 128

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Kalau hal ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan. Menurut teori bayangan (voorstelling-theorie), keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi. Hazewinkel-Suringa memberi contoh menganai hal ini, dalam perkara yang pernah diputus oleh Pengadilan Arrondissement-recht bank di Amsterdam 17 Agustus 1894, termuat dalam Weekblad van het Recht 6573, yaitu seorang pelaku yang berniat akan membunuh ibunya dengan cara menaruh racun dalam makanan ibunya itu, tetapi paman si pelaku tinggal bersama serumah dengan ibunya itu, dan selalu bersama-sama makan.202 Maka, dianggap pasti bahwa tidak hanya ibu tetapi juga paman itu akan makan racun dan meninggal dunia. Dengan demikian si pelaku harus dianggap ada kesengajaan membunuh si paman juga. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kesengajaan secara tujuan dan kesengajaan secara keinsyafan kepastian. Kesengajaan keinsyafan kemungkinan Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaku akan akibat itu. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan tidak sama dengan dua macam kesengajaan tersebut di atas, tetapi hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai berikut: apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju, maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau hal ini terjadi, maka dapat 202 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Rafika Aditama, 2003), hal. 69. 129

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 dikatakan bahwa kalau perlu akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibat kemudian tetap terjadi. Bagaimana dapat ditentukan si batiniah si pelaku yang sangat rumit ini, secara perumpamaan belaka, dan kalau ini tetap boleh ditentukan oleh seorang hakim, ada kekhawatiran bahwa terlalu mudah diadakan ketentuan ini sehingga mungkin sekali suatu hubungan kesalahan (schuldverband) yang sebetulnya hanya merupakan culpa atau kurang berhati-hati, dianggap sudah merupakan kesengajaan.203 Sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan syarat materiil karena perbuatan yang dilakukan tersebut oleh masyarakat betul-betul dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan, sedangkan memenuhi rumusan undang-undang merupakan syarat formil yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi adanya asas legalitas dalam hukum pidana. Asas legalitas tersebut tercantum dalam Pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang berbunyi:” Tiada suatu perbuatan yang dapat di pidana, melainkan atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”. Asas legalitas menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya. Moeljatno mengartikan asas legalitas dengan 3 pengertian, yaitu: Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh dilakukan analogi; Ketiga, aturan pidana tidak berlaku surut. Selain dikenal adanya asas legalitas, dalam nenetukan suatu perbuatan itu, masuk dalam perbuatan pidana atau bukan, juga dapat ditentukan dengan asas geen straf zonder schuld (tiada pemidanaan tanpa kesalahan). Artinya 203 Ibid. 130

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 adalah bahwa asas legalitas tidak diterapkan sesuai bunyi kata-katanya saja, tetapi juga melihat sifat kesalahan dari si pembuat. Apabila sifat kesalahan tersebut termaksud adanya niat dan perencanaan terlebih dahulu, maka si pembuat tersebut dapat dipidanakan. Namun, jika sifat kesalahan tersebut, timbul di luar kemampuan si pembuat maka si pembuat tidak dapat dikenakan pemidanaan. Asas ini ditujukan untuk merumuskan perbuatan pidana yang muncul dari kealpaan atau kelalaian, mana kealpaan yang menjadi tindak pidana dan mana kealpaan yang tidak dapat dipidana. Dengan demikian, jika kita berbicara geen staf zonder schuld, maka kita tidak lagi berbicara tentang kesengajaan. Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memori van Toelichting, kesengajaan diartikan, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.204 2. Ketidaksengajaan (culpa) Kini saatnya kita membahas tentang ketidaksengajaan (culpa). Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati- hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi. Lebih lanjut tentang kealpaan ini, diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang berbunyi, “Barangsiapa karena kekhilafannya menyebabkan orang mati.....”. kata kekhilafan tersebut diartikan sebagai lalai atau culpa. Dalam hukum pidana sendiri, kelalaian juga dikenal sebagai tindak pidana, yaitu dengan pembagian delik dolus (delik kesengajaan) dan delik culpa (delik kelalaian). Kealpaan sendiri, menurut Danny Wiradharma, dibedakan menjadi 2, yaitu 205 : Pertama, Culpa Lata (kelalaian berat), kelalaian ini disebabkan oleh kekuranghati-hatian yang menyolok. Untuk menentukan gradasi ini, harus membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan dengan petindak. Bila yang dilakukan petindak berbeda dengan perbuatan rata-rata orang lain yang segolongan dengannya dalam 204 Moeljatno, op. cit., hal. 171. 205 Danny Wiradharmairadharma, op. cit., hal. 101. 131

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 menangani suatu keadaan, maka petindak masuk dalam kategori culpa lata ini. Kedua, Culpa Levis (kelalaian ringan). Kelalaian ringan dinilai dengan membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan orang yang lebih ahli dari golongan si petindak. Perlakuan yang berbeda antara petindak dengan orang yang lebih ahli dari golongan si petindak di dalam menangani hal yang sama menunjukkan adanya kelalaian ringan si petindak. Untuk lebih mendalami bagaimana kelalaian dapat menjadi tindak pidana yang harus diberi sanksi, maka harus dilihat unsur-unsur yang ada dalam diri si pelaku, antara lain: adanya kekurangan pemikiran (penggunaan akan yang diperlukan); kekurangan pengetahuan yang diperlukan; dan kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan. Dari ketiga kekurangan ini, terjadinya kesalahan dalam membuat diagnosis dengan akibat timbul kesalahan pula dalam mengambil keputusan pemberian pengobatan yang sesuai. Dalam menjalankan praktiknya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya: seorang dokter ahli kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti penganiayaan adalah, “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.206 Di dalam semua jenis pembedahan, sebagaimana Sectio Caesaria tersebut, dokter sebagai “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan, oleh karena itu, di dalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah hati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya: terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi sebagai akibat dilakukannya pembedahan, yaitu luka operasi tidak bisa menutup), bila hal ini terjadi, pasien akan menganggap dokter melakukan kelalaian/kealpaan.207 206 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prefensinya (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 5. 207 Anny Isfandyarie, op. cit., hal. 52. 132

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 3. Niat (voornemen) Hal ini terdapat dalam percobaan (poging) - Penal 53 KUHP. 4. Maksud (oogmerk) Ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan objektif, tetapi ada keadaan subjektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Misalnya pasal 362 KUHP menyebutkan: “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu”. Dalam hal ini dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkannya pada niat orang yang mengambil barang tadi. Apabila hatinya itu baik, misalnya barang diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang karena bukan pencurian. Sebaliknya apabila hatinya jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.208 5. Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade) Hal ini terdapat seperti dalam pembunuhan rencana-Pasal 340 KUHP; membunuh anak sendiri dengan rencana-Pasal 342 KUHP; dan lain-lain. 6. Perasaan takut (vrees) Hal ini terdapat, seperti dalam membuang anak sendiri-Pasal 308 KUHP; membunuh anak sendiri-Pasal 341 KUHP; membunuh anak sendiri dengan rencana-Pasal 342 KUHP. 3.3.2. Unsur Objektif Unsur objektif, yaitu unsur di luar diri si pelaku tindak pidana. Menurut Lamintang unsur itu adalah unsur yang tidak ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di dalam keadaan nama tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif ini meliputi sebagai berikut. 208Ibid., hal. 63. 133

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 1. Perbuatan atau kelakuan manusia Perbuatan atau kelakukan manusia itu ada yang aktif berbuat sesuatu, misalnya membunuh-Pasal 338 KUHP; menganiaya-Pasal 351 KUHP; mencuri-Pasal 362 KUHP: menggelapkan-Pasal 372 KUHP; dan lain-lain. Dan ada pula yang pasif (tidak berbuat sesuatu), misalnya. tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada yang terancam, sedangkan ia mengetahui ada suatu permufakatan jahat, adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan tertentu-Pasal 164, 165 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut undang-undang sebagai saksi ahli atau juru bahasa- Pasal 224 KUHP tidak memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi maut-Pasal 531 KUHP. 2. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik Hal ini terdapat dalam delik-delik materiil atau delik-delik yang dirumuskan secara materiil, misalnya pembunuhan-Pasal 338 KUHP, penganiayaan-Pasal 351 KUHP, penipuan-Pasal 378 KUHP, dan lain- lainnya. 3. Unsur melawan hukum Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung pada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi merupakan unsur yang subjektif. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian dinamakan subjektief onrecthselement, yaitu unsur melawan hukum yang subjektif. 209 Untuk menyimpulkan fakta apa yang diajukan di atas, maka yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah: kelakuan dan akibat (perbuatan); hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; keadaan tambahan yang memberatkan pidana; unsur melawan hukum yang objektif; Unsur melawan hukum yang subjektif. Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik terdapat unsur melawan hukum, namun tidak berarti bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tersebut sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen 209 Ibid. 134

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin, yaitu sifat melawan hukum yang subjektif. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusannya. Ternyata sebagian besar dari perumusan Delik dalam KUHP tidak menyebutkan dengan tegas unsur melawan hukum ini, hanya beberapa Delik saja yang menrebutkan dengan tegas, seperti: dengan melawan hukum merampas kemerdekaan-Pasal 333 KUHP; untuk dimilikinya secara melawan hukum Pasal 362 KUHP, dengan melawan hukum menghancurkan-Pasal 406 KUHP; dan lain-lain. 4. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Ada beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti: penghasutan-Pasal 160 KUHP; melanggar kesusilaan-Pasal 282 KUHP; pengemisan-Pasal 504 KUHP; mabuk-Pasal 536 KUHP. Tindak pidana- tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum. Melarikan wanita belum dewasa-Pasal 332 ayat (1) butir 1 KUHP, tindak pidana ini harus disetujui oleh wanita tersebut, tetapi pihak orang tuanya atau walinya tidak menyetujuinya; dan lain-lain. Selain daripada itu ada pula beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan hal-hal subjektif, misalnya kejahatan jabatan-Pasal 413 – 437 KUHP, harus dilakukan oleh pegawai negeri, pembunuhan anak sendiri-Pasal 341 – 342 KUHP, harus dilakukan oleh ibunya; merugikan para penagih-Pasal 396 KUHP, harus dilakukan oleh pengusaha. Unsur-unsur tersebut di atas harus ada pada waktu perbuatan dilakukan, oleh karena itu maka disebut dengan “yang menentukan sifat tindak pidana\". 5. Unsur yang memberatkan pidana Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidananya diperberat. Seperti: merampas kemerdekaan seseorang-Pasal 333 KLTHP diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun - ayat (1) jika 135

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidananya diperberat menjadi paling lama 9 tahun - ayat (2), dan apabila mengakibatkan mati ancaman pidananya diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun - ayat (3): penganiayaan-Pasal 351 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan - ayat (1), apabila penganiayaan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidananya diperberat menjadi penjara paling lama 5 tahun - ayat (2), jika mengakibatkan mati maka diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun - ayat (3) dan lain-lain. 6. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Hal-hal yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana adalah : 1) Kelakuan dan akibat; dan 2) Hal mana atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Hal mana yang disebutkan di atas, oleh van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, dan mengenai hal-hal di luar diri pembuat.210 Dalam suatu rumusan perbuatan pidana yang tertentu, kadang-kadang dijumpai adanya tambahan hal tertentu, misalnya dalam pasal 165 ayat (1) KUHP : kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan.211 Apabila kejahatan kemudian betul-betul terjadi, orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana, maka hal tersebut merupakan unsur tambahan dalam tindak pidana sebagaimana dinyatakan oleh pasal. Pasal 531 KUHP menyatakan: “Barangsiapa ketika 210 Ibid., hal. 58. 211 KUHP dan KUHAP, diterjemahkan oleh Andi Hamzah (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Pasal 165 ayat (1) menyebutkan: Barangsiapa mengetahui ada niat untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104,106,107, dan 108, 110-113 dan 115-129 dan 131 atau niat untuk lari dari tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam Bab VII dalam kitab Undang-Undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera tidak segera memberitahukan hak itu kepada pegawai negeri kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 136

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah”. Dalam keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika seseorang tidak memberi pertolongan terhadap orang yang dalam bahaya, maka orang tadi baru melakukan perbuatan pidana apabila orang yang dalam bahaya tersebut meninggal. Hal mana tambahan ini disebut syarat-syarat tambahan untuk dapat dipidananya seseorang.212 Keadaan-keadaan yang terjadi kemudian dari perbuatan yang bersangkutan, dinamakan unsur tambahan. Alasan untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan gangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi pidana.213 Permasalahannya ialah apakah hal ikhwal tambahan sungguh merupakan elemen atau unsur perbuatan pidana. Banyak penulis Belanda rupanya berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan elemen strafbaarfeit, sekalipun tambahan. Meskipun demikian, menurut Moeljatno hal tersebut tidak perlu dialihkan begitu saja untuk perbuatan pidana, lebih-lebih bahwa di antara mereka, yang tidak memandangnya sebagai elemen strafbaarfeit, adalah misalnya van Hamel. Menurut beliau, syarat tambahan tidak mengenai strafbaatfeit, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang ditimbulkannya kemudian dari perbuatan, memberi kepadanya sifat dilarangnya perbuatan tersebut. Juga tidak mungkin keadaan yang dengan demikian tadi menghilangkan sifat tersebut. Yang mungkin ialah bagi pembuat undang-undang untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilarang tadi menjadi ”patut dipidana”.214 Menurut Simons syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai elemen strafbaarfeit yang sesungguhnya. Bertalian dengan pendapat-pendapat di 212 Moeljatno, op. cit., hal. 60. 213 Ibid. 214 Ibid., hal. 60. 137

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 atas Moeljatno lebih condong untuk memandangnya bukan sebagai elemen perbuatan pidana, tetapi sebagai syarat penuntutan, artinya meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi sudah merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sanksi pidana. Jadi untuk menuntut supaya perbuatannya dijatuhi pidana, dalam pasal-pasal yang dimaksud seyogianya bagian rumusan delik yang sesungguhnya adalah syarat penuntutan itu, dikeluarkan dari rumusan tersebut, dan dijadikan ayat atau pasal tersendiri. Karena keadaan yang memberatkan tersebut dinamakan unsur-unsur yang memberatkan pidana. Biasanya dengan adanya perbuatan tertentu seperti dirumuskan dengan unsur-unsur di atas, maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini, adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. 215 Pasal 227 ayat (1) KUHP menentukan bahwa dengan salah satu perbuatan sengaja membuat gelap asal-usul seseorang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut sudah jelas. Tidak perlu ditambahkan lagi. Akan tetapi, ada kalanya larangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-unsur diatas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal 167 ayat (1) KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau perkarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai, dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangan perbuatan. Harus ditambah dengan unsur: secara melawan hukum.216 Dalam pasal 335 KUHP dimana rumusannya memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan cara-cara yang tertentu, dianggap belum cukup untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, 215 Ibid., hal. 61. 216 Pasal 167 ayat (1) KUHP menyebutkan “barangsiapa memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau perkarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, atau berada disitu dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu” 138

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 sehingga perlu diadakan elemen melawan hukum, memaksa, dan seterusnya. Contoh lain dalam KUHP adalah, dalam hal misalnya dengan suka rela masuk tentara negara asing, yang diketahuinya bahwa negara itu akan perang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana saat pecah perang – pasal 123 KUHP; tidak melaporkan pada yang berwajib atau kepada orang yang terancam, jika mengetahui akan adanya keadaan- keadaan tertentu, pelakuknya hanya dapat dipidana jika kejahatan jadi dilakukan – 164 dan 165 KUHP; membujuk atau membantu orang lain bunuh diri, pelakunya hanya dapat dipidana kalau orang tersebut jadi bunuh diri pasal 345 KUHP. 3.4. Jenis Tindak Pidana Pernah dijelaskan bahwa strafbarfeit delict oleh Simons dirumuskan sebagai “Een strafbaar gestalde onrechtmatige (werechtelijke), met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon“. Dalam mempersoalkan hukum pidana telah diterangkan, bahwa di Nederland, sebelum Kitab Undang-undang Hukum Pidana (W.v.S) yang bersumber Nasional, masih diperlukan “Code Penal“. Code Penal mengenal 3 macam delik, yaitu: Crimes–Kejahatan; Delicts; Contraventions–Pelanggaran. Pembagian code penal dalam 3 jenis delik yang dibuatkan oleh code penal itu perlu diterangkan, bahwa pembagian itu tidak disandarkan pada sesuatu sendi akan tetapi pembagian itu bertalian erat dengan beratnya delik yang ditentukan oleh hukuman yang diancamkan. Pembagian ini penting berhubungan dengan pembagian kekuasaan kehakiman, yaitu perkara-perkara: 1. Crimes : diadili oleh gerechtshoven 2. Delits : diadili oleh rechtsbanken 3. Contraventions : diadili oleh arrodisement dan Gercht Di samping itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yang bersifat Nasional dan yang mulai berlaku sejak tahun 1886, hanya mengenal dua jenis delik, yaitu: Misdrijven (kejahatan), diatur dalam Buku II dan Overtredingen (pelanggaran), terdapat dalam Buku III. Akan tetapi jika mempelajari riwayat pembentukan W.v.S di Nederland, yaitu di dalam Memorie van Toelichting akan dapat diketahui bahwa 139

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 sandaran yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-undang Nederland ialah untuk membedakan misdrijven dari overtredingen. Kita mengenal 2 macam sandaran pembedaan, yaitu: Rechtdelicten untuk menunjuk kejahatan dan Wetsdelicten untuk menunjuk pelanggaran. Rechtdelicten adalah perbuatan-perbuatan optimum yang dianggap telah mengandung sifat ketidakadilan dan berdasarkan sifatnya itu supaya perbuatan yang demikian itu sudah patut dilarang dan diancam oleh hukuman. Sungguh pun perbuatan itu belum dilarang dan diancam dengan hukum undang-undang. Sementara Wetsdelicten, adalah perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dihukum oleh karena dilarang oleh undang- undang. Pembagian dari tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelangaran” itu bukan hanya merupakan dasar dari pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita menjadi buku ke-2 dan buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan. Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran seperti dimaksud di atas membawa berbagai akibat hukum yang bersifat hukum material, yaitu sebagai berikut. a. Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa di dalam pelanggaran. b. Pecobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum. c. Keturutsertaan atau medeplichtigheid di dalam pelanggaran tidak dapat dihukum. d. Di dalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjadi dengan sepengetahuan mereka. e. Di dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu “pengaduan” itu merupakan suatu syarat bagi penuntutan. f. Jangka waktu kadaluwarsanya hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat 1 angka 1 KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (pasal 82 ayat 2 KUHP) dan pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat. g. Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu pembayaran secara sukarela dari nilai denda yang setinggi- tingginya (pasal 82 ayat KUHP) hanya berlaku bagi pelanggaran. 140

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 h. Adanya ketentuan yang tersendiri mengenai dapat disitanya benda yang diperoleh karena pelanggaran (pasal 39 ayat 2 KUHP). i. Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia di luar negeri itu hanya menimbulkan hak untuk melakukan penuntutan bagi penuntut umum, apabila tindak pidana yang berlaku di Indonesia telah dikualifikasikan sebagai kejahatan dan bukan sebagai pelanggaran. j. Ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia itu hanya dapat diberlakukan terhadap pegawai negeri yang di luar negara Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan jabatan dan bukan pelanggaran- pelanggaran jabatan. k. Pasal-pasal penadahan (pasal 480 KUHP dan seterusnya) selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang bersangkutan haruslah diperoleh karena kejahatan bukan karena pelanggaran. l. Ketentuan-ketentuan pidana khusus mengenai keturutsertaan di dalam “drukpersdelicten” atau di dalam delik-delik yang telah dilakukan dengan alat cetak di dalam pasal-pasal 61 dan 62 KUHP itu hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan dan bukan untuk pelanggaran-pelanggaran. 3.5 Pemidanaan dalam Malapraktik Medis Setelah kita membahas tentang dasar-dasar hukum pidana tersebut di atas, pertanyaannya adalah apakah mungkin seorang dokter yang melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya dapat dituntut secara pidana? Malapraktik medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Kelalaian yang dimaksudkan disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Dapat juga disebut kelalaian jika tindakan dokter dilakukan di bawah standar pelayanan medis. Kelalaian bukanlah suatu kejahatan jika kelalaian itu tidak menyebabkan kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya (de minimus non curat lex=hukum tidak mengurusi hal-hal sepele), tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang 141


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook