Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Published by nathaniakaylab, 2021-06-05 06:58:10

Description: Buku bahan pembelajaran bagi mahasiswa hukum dan kedokteran, juga ditujukan untuk profesi medicolegal di Indonesia

Keywords: medicolegal,consumer protection

Search

Read the Text Version

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Permasalahan selanjutnya adalah, apakah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini akan menciptakan pasar yang kompetitif?, Apakah pelaku usaha akan dihadapkan pada tuntutan penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas?. Jawabannya mungkin ya, jika hal tersebut terjadi pada pasar yang kompetitif, tapi bagaimana dengan pangsa pasar275 yang di dalamnya terdapat monopoli276 ? Tentunya hal tersebut menjadi kewenangan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena antara Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang- undang Larangan Praktik Monopoli merupakan satu paket reformasi di bidang hukum di Indonesia. Penulis sependapat bahwa korelasi antara perlindungan konsumen dengan kebijakan persaingan usaha terletak pada struktur pasar yang kompetitif. Secara umum manfaat pasar yang kompetitif adalah harga yang lebih rendah, produksi dan pilihan yang lebih banyak, serta proses produksi yang lebih baik dan pemborosan yang lebih kecil atas sumber-sumber daya. Konsumen akan lebih diuntungkan, masyarakat lebih diuntungkan serta penggunaan sumber-sumber daya yang lebih efisien. Oleh karena itu, tantangan pergerakan perlindungan konsumen pada abad ke 21 ini adalah menghilangkan bentuk monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasar. Paling tidak ada dua prinsip yang harus dipegang oleh organisasi pergerakan konsumen dalam era 21 ini:277 1. Menyatukan misi dalam satu pergerakan bersama, yaitu perlindungan terhadap konsumen, dimana wadah ini dapat dijadikan sumber informasi bagi konsumen dan apa yang telah dilakukan untuk menata ulang strategi dalam memberikan advokasi kepada konsumen. 275 Pangsa pasar menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah presentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. 276 Monopoli sendiri berasal dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani “monos” yang berarti sendiri dan “polein” yang berarti penjual, atau disebut juga sebagai penjual tunggal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka orang-orang menyimpulkan monopoli sebagai kondisi dimana yang terdapat satu penjual yang menawarkan barang atau jasa tertentu. Istilah monopoli dipakai jika terjadi pada permintaan, dan istilah yang dipakai jika pada penawaran disebut juga sebagai monopsoni. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, monopoli diartikan sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 277 Chris Field, “Out of Bounds or in the Courts? – Globalisasi Consumers or Australian Citizen”, paper yang dipresentasikan pada Australian Consumers Advisory Council Public, 11 November 2004. 192

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 2. Menyeimbangkan antara pergerakan perlindungan konsumen dengan kerangka kebijakan pemerintah yang menyangkut konsumen, antara lain mengenai kebijakan persaingan dalam pasar yang selama ini dapat dibilang saling tumpang tindih. Pergerakan perlindungan konsumen pada abad ke-21 ini lebih menghadapi tantangan yang besar, kalau dahulu pergerakan perlindungan konsumen sebatas pada mencari legitimasi dan penegakkan atas hak-hak konsumen, namun sekarang dihadapkan pada kepastian yang kuat pada adanya pasar yang kompetitif. Selain telah dibentuknya organisasi ataupun komisi-komisi antimonopoli pada setiap negara, konsumen juga harus memastikan dan mengawas terbentuknya pasar yang kompetitif yang akan membawa dampak pada harga yang baik, mutu dan akses akan barang atau jasa menjadi hal yang utama. Semua itu tanpa kita sadari, adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen selama ini, lebih disebabkan oleh persaingan yang tidak kompetitif, akibatnya konsumen harus membayar barang atau jasa jauh lebih mahal dan hal tersebut digunakan untuk biaya produksi yang tidak efisien. Hal ini juga dinyatakan oleh John Vickers, ketua dari United of Kingdom Office of Fair Trading, “persaingan membawa dampak positif bagi kesejahteraan konsumen karena antar penyalur barang atau jasa ke konsumen akan menjadi terjaga”. Bertrand Russell, filsafat dari Inggris, juga mengatakan bahwa musuh yang paling utama abad ke-21 adalah monopoli. Oleh karena itu, setiap organisasi yang mempunyai misi untuk menegakkan hak-hak konsumen harus berada pada satu tujuan, yaitu sebagai sumber informasi bagi masyarakat lainnya. Tokoh perkembangan teori ekonomi modern, yaitu Adam Smith, mengatakan bahwa konsumsi adalah dasar dan menjadi tujuan dari setiap produksi dan produsen harus sebisa mungkin mengadakan promosi kepada konsumen. Dengan kata lain, sangat diperlukan sumber informasi bagi konsumen sebagai alasan yang masuk akal dalam memilih dan mengkonsumsi barang dan jasa dari produsen. Dengan demikian, pergerakan konsumen juga dapat memberikan dukungan kepada kebijakan pasar, perpajakan, dan reformasi tenaga kerja untuk kearah ekonomi yang lebih baik. Perjuangan pergerakan konsumen akan sama melihat suatu ketentuan menjadi sebuah sumber informasi untuk keadilan distribusi yang merata. Oleh karena itu, dengan materi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kami rasa kurang memberikan 193

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 perlindungan, meskipun berjudul perlindungan konsumen, bilamana tidak mampu berperan sebagaimana telah dikemukakan adalah undang-undang yang dihasilkan dengan setengah hati. 278 Harus disadari pula, bahwa untuk memperbaiki suatu undang-undang lebih sulit daripada memperjuangkan undang-undang yang belum ada. Selain monopoli, hal menarik lainnya lagi yang perlu dicermati dalam pergerakan perlindungan konsumen adalah globalisasi atau era pasar bebas. Saya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Victor Hugo, dalam World Peace Conference, yang diselenggarakan di Paris, Perancis, tahun 1848, yang mengatakan: ”....A day will come, when the only fields of battle will be markets opening up to trade, and minds opening up to ideas.” (Akan tiba saatnya, dimana medan perang hanya terjadi pada pembukaan pasar untuk perdagangan, dan terbukanya pemikiran oleh ide-ide baru). Ancaman bagi pergerakan perlindungan konsumen yang bernama perdagangan bebas ini, dimulai ketika pada akhir tahun 1940an, terdapat 23 negara, telah sepakat untuk menandatangani Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade disingkat GATT). Perjanjian ini berisi kerangka yang mendasari berbagai peraturan perdagangan internasional, yang bertujuan mencari berbagai solusi yang damai bagi konflik perdagangan, penurunan tarif dan hambatan perdagangan lainnya melalui berbagai perundingan. Pada perundingan ke delapan (Perundingan Uruguay/Uruguay Round), yang berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994 melahirkan apa yang disebut dengan WTO (World Trade Organization), pada tanggal 1 Januari 1995.279 Organisasi perdagangan dunia ini merupakan wadah untuk: Penyelesaian sengketa dagang antarnegara dan Mendukung dan mencanangkan perdagangan bebas antarnegara tanpa dibatasi oleh peraturan maupun kondisi negara. Perjanjian WTO tidak saja mencakup barang saja (yakni GATT the General Agreement on Tariffs and Trade), tetapi juga jasa (yakni GATS the General Agreement on Trade in Services), dan hak cipta (yakni TRIPs the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights). Meskipun perjanjian- 278 Agus Brotosusilo, “Kajian Kritis Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999”, Makalah disajikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta bekerjasama dengan YLKI, Yogyakarta, 14 April 2000. 279 Astim Riyanto, World Trade Organization (Bandung: YAPEMDO, 2003), hal. 20. 194

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 perjanjian ini berbeda dalam ruang lingkup dan isinya, namun, ada sejumlah prinsip dasar yang mendasari ketiganya, yakni:280 1. Most Favoured Nations (Pasal I). Apabila suatu negara anggota memberikan konsensi kepada suatu negara anggota lainnya, maka konsensi tersebut harus diberikan kepada negara anggota lain tanpa diskriminasi. ini berarti bahwa pemerintah harus memperlakukan semua negara asing secara setara.281 Namun, boleh ada pengecualian, misalnya perjanjian perdagangan bebas regional. 2. Aspek non-diskriminasi yang kedua adalah “perlakuan nasional” (national treatment : Pasal III); ini berarti bahwa barang-barang yang diimpor dan yang diproduksi lokal harus diperlakukan sama, setidaknya sesudah barang itu masuk ke pasar. 3. Transparency (Pasal X). Untuk mendorong perdagangan bebas, lingkungan bisnis harus stabil dan dapat diramalkan. Aturan dan praktik perdagangan harus jelas dan terbuka untuk umum. 4. Elimination of Quantitative Restrictions (Pasal XI). Setiap negara anggota tidak diperbolehkan menerapkan pembayaran impor atau ekspor melalui quota atau lisensi. Hambatan hanya diperbolehkan melalui tarif, pajak atau sejenisnya. 5. Restriction to Safequard the BOP (Pasal XII). Untuk melindungi kesulitan serius dalam neraca pembayaran, suatu negara anggota diperbolehkan melakukan pembatasan kuantitatif (jumlah atau nilai) barang yang diimpor dengan persyaratan-persyaratan tertentu. 6. Special and Differential Treatment (Pasal XXXVI – XXXVIII). Pada dasarnya negara-negara maju mengakui bahwa negara-negara berkembang perlu mendapat kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, negara-negara maju tidak menuntut adanya resiprositas dalam negoisasinya dengan negara-negara berkembang dan memberikan prioritas tinggi pada penghapusan hambatan perdagangan yang menyangkut kepentingan negara-negara berkembang. 280 Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round (Jakarta: UI – Press, 1997), hal. 17. 281 Perlakuan yang tidak kurang setara berarti bahwa harus adanya kesetaraan dan keadilan dari kondisi daya saing. 195

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Namun demikian, berkaitan dengan keenam prinsip tersebut, hanya dua prinsip yang wajib diberlakukan pada kebijakan pemerintah menyangkut perdagangan jasa, yaitu most-favored nations282 dan perlakuan nasional.283 Untuk meningkatkan transparasi, GATS mengharuskan pemerintah untuk menerbitkan semua undang undang dan peraturan yang relevan dan memungkinkan sehingga negara Anggota WTO lainnya mendapatkan kesempatan dalam mendapatkan informasi mengenai peraturan nasional yang berlaku pada berbagai sektor jasa yang berbeda-beda. Khusus untuk negara berkembang, regulasi domestik WTO terkait dengan sektor jasa, akan dikembangkan lebih fleksibel sehingga negara-negara berkembang masih bisa menggunakan haknya untuk mengatur, menentukan langkah dan rangkaian reformasi kebijakan, dan menyediakan ruang kebijakan nasional seperti akses pada sektor jasa publik.284 Pengecualian dan pembebasan diperbolehkan dalam GATS untuk kedua prinsip tersebut, meskipun substansi dari pengecualian ini cukup berbeda; Pertama, Pembebasan dari MFN. Ketika perundingan GATS dimulai, sejumlah negara sudah menandatangani perjanjian istimewa dalam jasa dengan beberapa mitra perdagangan mereka, apakah itu secara bilateral ataupun dalam kelompok kecil. Anggota WTO merasa bahwa penting untuk memelihara perjanjian istimewa tersebut untuk sementara. Maka dari itu, mereka memperbolehkan negara mereka sendiri untuk memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan pada negara tertentu dalam kegiatan jasa tertentu dengan memperbolehkan \"pembebasan dari MFN\" di samping komitmen mereka. Supaya tidak mengurangi prinsip umum MFN, pengecualian 282 Perlakuan MFN berarti bahwa negara harus memperlakukan semua mitra perdagangan asing secara setara, oleh karena itu, negara tidak diperkenankan untuk membedakan barang, jasa atau agen (supplier) dengan dasar perbedaan asal (asing). Dalam prinsipnya, doktrin MFN berlaku untuk semua jasa dan semua sektor, bahkan ketika negara belum membuat komitmen untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing dalam sektor itu 283 Perlakuan nasional berarti memperlakukan perusahaan, produk atau jasa asing tidak kurang setara dari perlakuan terhadap produk dan jasa negara sendiri. Meskipun perlakuan nasional adalah prinsip umum WTO, dalam konteks GATS ini hanya berlaku ketika negara telah membuat komitmen spesifik, dan pengecualian diperbolehkan. 284 Laporan yang dikeluarkan oleh Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNTAD), “Trade and Development Aspects of Professional Services and Regulatory Frameworks” tanggal 17 – 19 Januari. Dalam laporan tersebut, GATS juga mendukung adanya negosiasi yang lebih jauh lagi mengenai regulasi domestik di sektor jasa. Perundingan-perundingan yang dilakukan di WTO adalah menentukan disiplin dalam kualifikasi dan prosedur, serta standarisasi teknis, seperti yang dimandatkan pada Artikel VI.4 Kesepakatan Umum ntuk Perdagangan Sektor Jasa GATS, menyatakan bahwa pengaturan multirateral harus memberikan ruang fleksibilitas yang memadai akan hak untuk mengatur langkah; menyediakan kelonggaran untuk tujuan kebijakan nasional, ketentuan akan akses untuk sektor pelayanan dasar dan transparansi, khususnya yang berhubungan dengan pergerakan manusia. Sumber : Martin Khor, dalam SUNS Nomor 5720, 17 Januari 2005. 196

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tersebut hanya dapat dilakukan sekali saja (misalnya pada saat masuk ke dalam WTO); tidak ada yang dapat ditambah lagi nantinya. Selanjutnya, pengecualian MFN ini, yang harus dilaporkan, biasanya berlaku tidak lebih dari 10 tahun. Kedua, Perlakuan nasional. Perlakuan nasional berarti memperlakukan negara asing tidak kurang setara dengan ke negara sendiri. Ini berarti kalau perusahaan asing telah diperbolehkan untuk mensuplai sebuah jasa, tidak boleh ada diskriminasi antara perusahaan asing tersebut dengan perusahaan lokal. Dalam perjanjian yang mengatur perdagangan internasional dalam barang, biasanya perlakuan nasional secara otomatis berlaku untuk semua barang impor yang sah. Kebalikannya, dalam GATS, 'perlakuan nasional' tersebut hanya berlaku ketika sebuah negara telah membuat sebuah komitmen yang spesifik untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing ke pasar jasanya. Perlakuan nasional tidak berlaku untuk sektor yang belum ada komitmen sesungguhnya, bahkan dalam komitmen, GATS memperbolehkan beberapa pembatasan pada perlakuan nasional. Pengecualian lainnya yang penting untuk dicatat adalah bahwa GATS tidak berlaku untuk jasa pemerintahan, yaitu \"jasa-jasa yang disediakan dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintah\"; jasa seperti ini telah dijabarkan sebagai jasa yang \"tidak disuplai pada dasar komersial, maupun dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia (supplier) jasa\". Contoh khas dari jasa tersebut termasuk jasa polisi, pengumpulan pajak dan bea cukai. Definisi ini juga terlihat tidak memasukkan perawatan kesehatan cuma-cuma di fasilitas kesehatan masyarakat dari peraturan GATS, tetapi jasa kesehatan komersial yang disediakan oleh klinik dan rumah sakit swasta berada dalam lingkupan GATS. Selanjutnya, ada risiko bahwa pengecualian ini tidak dapat berlaku jika pelayanan kesehatan swasta dan publik hidup berdampingan.285 Permasalahannya sekarang seberapa jauh implementasi kebijakan WTO ini terhadap eksistensi negara-negara berkembang? Para ekonom yang berkumpul di Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang diadakan di Davos 26 sampai 31 Januari menyimpulkan bahwa Amerika Latin akan sulit memperbaiki keadaan ekonominya, 285 Karin Timmermans, “GATS, Perdagangan, Kesehatan & Jasa: Sebuah Penilaian Awal (Laporan Lokakarya Perjanjian GATS dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan) <http://www.who.or.id/download/ind/GATS%20-%20id.pdf> Jakarta, 26-28 Maret 2003, hal. 7. 197

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 khususnya setelah kawasan tersebut terpukul krisis moneter, sedangkan untuk kawasan asia, negara Cina akan menjadi economic leader.286 Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penawaran perdana (initial offer) di sektor jasa untuk diliberalisasikan dalam kerangka WTO. Atas dasar itu, Departemen Perdagangan RI memberikan 7 initial offer, ketujuh sektor jasa yang ditawarkan RI tersebut antara lain pendidikan kejuruan; profesi kesehatan; kepemilikan perbankan kepada warga asing dari yang semula 49% menjadi 51%; diizinkannya profesi pengacara asing beroperasi di Indonesia; jasa konstruksi asing untuk membangun infrastruktur di Indonesia; pembangunan rumah sakit asing dengan kapasitas minimal mempunyai 400 tempat tidur; dan Ketujuh, perluasan izin keimigrasian.287 Dalam hal ini, bidang jasa kesehatan menyangkut lima, yaitu: tenaga medis termasuk perawat; penyelenggara pelayanan kesehatan; penyedia pelayanan kesehatan; penyedia dana dan fasilitas kesehatan. Seperti halnya jasa lainnya (pendidikan dan profesi pengacara asing, jasa konstruksi asing), penyediaan tenaga medis mengikuti beberapa model perdagangan versi WTO, yaitu antara lain: Pertama, disebut Model Cross Border Supply. Dalam hal ini penyediaan pendidikan dan keterampilan tenaga medis termasuk juga tenaga perawat tidak perlu menghadirkan secara fisik kepada konsumen yang berada di negara lain. Contoh riilnya, banyak orang-orang tenaga medis dan perawat Indonesia yang mengikuti program pendidikan dan keterampilan jarak jauh (distance learning) dan maya (virtual education) yang diselenggarakan negara mancanegara. Kedua, disebut Model Consumption Abroad. Para pasien pergi ke Negara lain untuk mendapatkan pelayanan jasa kesehatan ataupun fasilitas pelayanan kesehatan yang dipercayanya lebih baik dari pada yang ada dalam negaranya. Selain pasien ada juga pelajar yang khusus belajar mengenai kedokteran ataupun farmasi di Negara lain. Consumption abroad ini cukup merugikan Indonesia apalagi saat ini masyarakat tidak percaya akan tenaga medis yang dimiliki Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pelayanan maupun perlindungan hukum Indonesia. Perlindungan hukum tidak sedemikian terjamin pelaksanaannya sehingga pelayanan yang diberikan pun kurang maksimal. Dengan adanya pelayanan yang demikian, makin memicu 286 Sumber: Gustavo Capdevila, dalam SUNS, Nomor 5728, 28 Januari 2005. 287 http://www.bakun.go.id/modul/terkini/index.php?id=636 198

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 kerisauan dan ketidakpercayaan di hati masyarakat sehingga makin banyak yang menggunakan pelayanan kesehatan yang ada di luar Indonesia seperti: Cina, Amerika, Jerman, Singapura, Malaysia dan banyak lainnya. Ketiga, disebut Model Movement of Natural Persons. Para tenaga medis dari luar negeri masuk ke dalam negeri dan memperdagangkan jasanya. Saat ini prosedur tentang masuknya tenaga medis dari luar sudah ada namun dokter asing yang berpraktik di Indonesia baru beberapa dokter gigi. Rintangan terbesar dari para tenaga medis asing untuk bekerja di Indonesia adalah mengenai masalah prosedur yang harus dilewati mereka untuk bekerja di Indonesia dan juga masalah isu keamanan yang ada. Sedangkan bagi Indonesia makin banyaknya jasa yang datang dari luar akan mempererat tingkat kompetisi dan kualitas para dokter Indonesia, bagi yang kurang memberikan yang terbaik malah akan tersingkirkan. Keempat, disebut Model Commercial Presence, yaitu usaha yang didirikan oleh perusahaan asing dalam rangka pengembangan usahanya. Usaha tersebut antara lain adalah rumah sakit, klinik, kantor asuransi dan lain sebagainya yang berkaitan daengan usaha kesehatan. Bagi pihak investor hal yang ditakutkan adalah perlindungan hukum dan jaminan hukum yang ada di Indonesia sedang bagi Indonesia ini dapat membawa efek negatif, salah satunya adalah usaha kesehatan yang dimiliki oleh pihal Indonesia akan merosot atau bahkan dapat kalah bersaing. Oleh karena itu, penerapan model perdagangan versi WTO ini akan membawa dampak negatif pada ketidaksiapan negara berkembang, khususnya yang erat kaitannya dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Kelemahan yang didapat dari globalisasi di bidang kesehatan:288 1. Kegiatan pelayanan kesehatan menjadi komersial sehingga hanya melayani yang membayar. Bila kita lihat sekarang ini, keadaan rumah sakit saja sudah sedemikian rupa buruknya, yaitu misalnya ketika datang untuk mendapatkan pelayanan UGD haruslah membayar dahulu bila tidak maka tidak akan dilayani. Keadaan sekarang yang demikian akan dapat memburuk bila tidak ditangani secara baik dan serius. 2. Fasilitas serta pelayanan yang diberikan menjadi sangat berlebihan dari apa yang diperlukan. Biasanya karena ingin mengeruk keuntungan lebih, 288 “GATS dan Pelayanan Kesehatan Modern di Indonesia”, Makalah disampaikan oleh Vichi Lestari, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, 2007. 199

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 terkadang rumah sakit akan merekomendasikan pengecekan yang sebenarnya memakan biaya besar dan bahkan tidak diperlukan. 3. Yang miskin akan menjadi semakin miskin yang kaya akan semakin kaya (efek dasar dari globalisasi). Hal ini seperti misalnya tiap negara saja sudah tidak bisa menghadapi persaingan yang ada pada dalam negeri di bidang ini, bagaimana bisa negara tersebut menghadapi hal yang lebih besar yakni berkaitan dengan masuknya pesaing baru dari luar. Tentunya usaha kecil akan menjadi makin tertindas dan makin terpuruk. 4. Lapangan pekerjaan akan menjadi semakin sempit dan tertutup, tingkat kriminalitas akan semakin tinggi. 5. Kesehatan bagi kalangan bawah akan menjadi kurang terpelihara. 5.3 Hukum Perlindungan Konsumen Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”.289 Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen. 5.3.1 Pengertian konsumen Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). UU Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UU Perlindungan Konsumen, yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 289 Edmond Cahn, op. cit., hal. 27. 200

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR Nomor 11/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000; satu tahun setelah diundangkan). UU ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UU Perlindungan Konsumen. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F.Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include assail. 290 Akan tetapi, Anderson dan Kumpt menggambarkan kesulitan merumuskan definisi konsumen seperti berikut ini.291 Some difficulties are encountered if one approaches the wide spectrum of situation in term of a “consumer”. For example, one does not usually think of a borrower or an inverter as a “consumer”. The pedesterian whom you run over when your car goes out of control is not ordinarily regarded as being a consumer. There is in ale this situation, however, a common denominator of protecting someone from a hazard from which he cannot by his own action protect him self. Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten)292. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. 290 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar) ( Bandung: Binacipta, 1986), hal. 57. 291 R. A. Anderson and W. A. Krumpt, Business Law, 9th ed., (Cicinnati: South – Werstern Publishing Co., 1972), hal. 553. 292 Hondius, “Konsumentenrecht,“ Perlindungan... op. cit.,Mariam Darus Badrulzaman 201

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Masalahnya, apakah pengertian konsumen hanya menyangkut orang atau termasuk bukan orang? Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains goods or services for personal or family purposes”. 293 Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (l) konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual-beli atau lebih luas daripada itu? Undang-undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975 mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di Perancis. Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal 236); walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang syarat-syarat umum perjanjian), napas yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan.294 Di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu: “Any individual or company who is the ultimate Bayer or user of personal or real property, products, services or activities, regardless of whether the seller, supplier or producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”295 Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Hal yang agak berbeda dengan definisi itu dianut oleh Republik Rakyat Cina. Dalam Pasal 2 Beizing Municipal Regulation or Protection of Consumers' Legal Rights and Interests dinyatakan, istilah konsumen mengacu kepada: “Units and individuals who obtain, by paying the value consumer goods 293 Tim FH UI dan Depdagri, Rancangan Akademik Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta, 1992). 294 AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hal. 72. 295 Tim FH UI dan Depdagri, op. cit., hal. 58. 202

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 (hereafter as commodities) and commercial services (hereafter as services) for the needs of l iving.”296 Consumer Protection Act of 1986, Nomor 68 dari negara India mirip dengan rumusan dari peraturan yang berlaku di Republik Rakyat Cina, tetapi lebih sempit. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen India dinyatakan, Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.297 Anak kalimat terakhir sama maknanya dengan kata-kata “for the needs of living” dalam rumusan ketentuan yang berlaku di Republik Rakyat Cina. Namun, subjek dan objek peraturan di India ini dibatasi hanya pada orang pembeli dari suatu barang (tidak termasuk jasa). Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practices Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai, Seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang di atas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melebihi 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus. Dalam rumusan peraturan tersebut dinyatakan, “Where that price exceeded the prescribed amount - (l) the goods were of a kind ordmarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a commercial road vehicle; (2) the services were ofa kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption.”298 Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal l Angka (2) UU Perlindungan Konsumen. 296 Ibid. 297 AZ. Nasution, op. cit. 298 R. Steinwall and L. Layton, Annotated Trade Practices Act 1974 (Sydney: Butterworths, 1996), hal. 35-36. 203

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 5.3.2 Hukum perlindungan konsumen Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik. MJ. Leder menyatakan, “In a sense there is no such creature as 'consumer law”.299 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni: “... rules of law which recognize the bargaining weakness ofthe individual consumer and which ensure that that weakness is not unfclmy exploited.300 Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. AZ. Nasution, misalnya, berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.301 AZ. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang bukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. 302 Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tetapi memberikan perlindungan kepada 299 AZ. Nasution, “Profil Undang-undang Perlindungan Konsumen, “Warta Konsumen Nomor 6 (Jakarta, 1999), hal. 7. 300 R. Lowe, Commercial Law, 6th ed. (London: Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23. 301 AZ. Nasution, “Sekilas Hukum…” loc. cit., hal. 65-66. 302 Ibid., hal. 64. 204

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenal jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat. Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP itu juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. 5.3.3 Hak-hak Konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak- haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu: a. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), b. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), c. hak untuk memilih (the right to choose), d. hak untuk didengar (the right to be heard). Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The Intemational Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu hak 205

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca-hak konsumen.303 Dalam UU Perlindungan Konsumen, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy juga diakomodasikan. Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dimasukkan dalam UU Perlindungan Konsumen ini karena UU Perlindungan Konsumen secara khusus mengecualikan hak- hak yang diatur dalam undang-undang di bidang hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan. Tidak jelas mengapa hanya kedua bidang hukum ini saja yang dikecualikan secara khusus, mengingat sebagai undang- undang payung (umbrella act), UU Perlindungan Konsumen seharusnya dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara lebih komprehensif. Ada delapan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu sebagai berikut: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 303 YLKI, Panca Hak Konsumen (Jakarta: YLKI, 1985). 206

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain. Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Di sini letak arti penting mengapa hak ini perlu dikemukakan, agar tidak berlaku pepatah: “dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah”. Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut. a) Hak konsumen mendapatkan keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena selama berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. Falsafah yang disebut caveat emptor (let the bayer beware) ini, mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring dengan berkembangnya paham rasional-individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha berisiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong dalam narkotika dan psikotropika. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menetapkan, psikotropika dan narkotika golongan l hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Restriksi demikian perlu dilakukan 207

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 semata-mata demi menjaga keamanan masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat perbelanjaan, hiburan, rumah sakit, dan perpustakaan belum cukup akomodatif untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna produk barang atau jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, tetapi juga terlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berjalan dan naik tangga di tempat-tempat umum karena tingkat risiko yang sangat tinggi. b) Hak untuk mendapatkan informasi yang benar Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang). Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (l) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas, dan (2) pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat tertentu, padahal tidak. Menurut Troelstrup konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun 208

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 lalu. Alasannya, saat ini: (l) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2) daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.304 Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26- 30 Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini. 305 la menyatakan, sebelum kita melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dahulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu konsumen yang terinformasi (well-informed) dan konsumen yang tidak terinformasi. Ciri- ciri tipe pertama, antara lain (l) memiliki tingkat pendidikan tertentu, (2) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan (3) lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen kedua memiliki ciri-ciri, antara yaitu (l) kurang berpendidikan, (2) termasuk kategori kelas menengah ke bawah, dan (3) tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius. 304 A.W. Troelstrup, The Consumer in American Society: Personal and Family Finance, 5th ed. (New York: Mc. Grow Hill, 1974), hal. 515. 305 “RUUPK di Mata Pakar Jerman,“ Warta Konsumen (Jakarta: 1988), hal. 33-34. 209

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dengan penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Adalah mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besamya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. ltulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif. c) Hak untuk didengar Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. Pengaturan demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik (self- regulation) akan mengarah kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dinyatakan, lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/atau beritajika diketahui terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya satu kali 24 jam berikutnya atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/atau berita yang disanggah. Ketentuan dalam Undang-undang Penyiaran itu jelas-jelas menunjukkan 210

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk membela diri. d) Hak untuk memilih Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. La tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik monopoli ini adalah adanya persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang merugikan kepentingan umum (konsumen). Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan konsumen, akhimya konsumen pasti didikte untuk mengkonsumsi barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian-perjanjian antarpelaku usaha yang bersifat membatasi hak konsumen untuk memilih. Dalam dunia perdagangan dikenal apa yang disebut market sharing agreements, quota agreements, pricefixing agreement, resale price maintenance, dan sebagainya (dalam sejarah perdagangan dikenal sejak 1870-an). 306 e) Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa 306 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 33-37. 211

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sesuai dengan nilai tukar yang diberikan dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari perimainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi: take it or leave it. Jika setuju silakan beli, jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk altematif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik yang tidak terpuji ini lazim dikenal dengan istilah extemalities. f) Hak untuk mendapatkan ganti kerugian Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausula-klausula eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausula seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pada toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Dalam uraian tentang hak untuk didengar dikatakan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 307 mewajibkan lembaga penyiaran wajib mencantumkan ralat isi siaran dan/atau berita yang 307 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139. 212

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 disanggah pihak lain. Jika penyanggah isi siaran itu konsumen, walaupun ralat dimuat, hak konsumen tidak berarti dengan sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak terbebas dari tanggung jawab atas tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan. g) Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak (pihak) terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak (pihak) yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. Tentu ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak memperbolehkan tuntutan ganti kerugian ini, seperti dalam upaya legal standing LSM yang dibuka kemungkinannya dalam Pasal 46 Ayat (l) Huruf c UU Perlindungan Konsumen. h) Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik. 213

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dalam Pasal 6 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup308, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Dalam ketentuan itu jelas bahwa lingkungan hidup, selain sehat juga harus baik. Kemudian dikatakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Menurut Heindrad Steiger, sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri,309 hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak-hak subjektif (subjective rights) sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Ini berarti setiap pemilik hak dapat mengajukan tuntutan agar kepentingannya terhadap lingkungan yang baik dan sehat dapat dipenuhi. Steiger menjelaskan, tuntutan tersebut memiliki dua fungsi yang berbeda. Pertama, the function of defense (Abwehrfunktion), yakni hak bagi individu untuk mempertahankan diri dari pengaruh lingkungan yang merugikannya. Kedua, function of performance (Leistungs-funktion), yakni hak individu untuk menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dipulihkan atau diperbaiki. Fungsi-fungsi itu telah tertampung sejak lama dalam hukum positif Indonesia. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemukan akhir-akhir ini. Misalnya, munculnya gerakan konsumen hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di negara- negara yang bergabung dalam The Intemational Tropical Timber Organization (ITTO), jika telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil 308 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 309 Kasnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, cet. 11 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hal. 119. 214

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah negara-negara anggota ITTO. Untuk itu, Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) pada 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000. i) Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang Persaingan curang – atau dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” – dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.310 Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang, konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek, tetapi cepat atau lambat, pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan akhimya produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah, guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu 310 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, “Aspek Yuridis dan Cara Penanggulangan Persaingan Curang,“ Makalah (1992), hal. 1. 215

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan adanya (l) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikai, perjanjian tertutup, dari perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Sementara kegiatan yang dilarang mencakup monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. j) Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. Di Singapura, konsumen bahkan diajarkan untuk memecahkan masalahnya dengan cara menggugah kesadaran hukum warganya. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Ho Peng Kee.311 An important aspect of consumer protection is that of consumer education and information. The consumer Association of Singapore (CASE) has been set up to help consumers to help themselves, lt plays a pivotai rôle in promoting consumer awareness and protecting consumers' rights by means of publication of articles of general interest and by conducting comprehensive surveys on essential food items at various supermarkets and emporiums to assist consumers in price-comparison. 311 Ho Peng Kee, “Customer Protection I Singapore, dalam Asean Law Association, Record of the Proceeding of the General Assembly and Conference of the ASEAN LAW Association,” ALA Vol. 3 (Singapore:1984), hal. 37-38. 216

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenamya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Perusahaan pengembang perumahan, misalnya, dalam memasarkan rumah dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan fasilitas rumah, pemeliharaan tanaman untuk kesehatan lingkungan. 5.3.4 Pengertian Pasien dan Pengertian Konsumen Pengertian pasien tidak banyak dibahas dalam literatur hukum kesehatan atau kedokteran. Pengertian pasien lebih lanjut terdapat dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 1 angka 10, dikatakan: ”Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), tidak dijumpai kata pasien, pasien dalam kode etik tersebut diganti dengan kata ”penderita”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan pasien sebagai orang yang sakit (yang dirawat dokter); penderita (sakit).312 Dari definisi tersebut, tersirat bahwa pasien adalah orang-perorangan yang memerlukan jasa dari orang lain, yang dalam hal ini adalah dokter untuk konsultasi masalah kesehatannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Jasa yang dimaksud adalah keterampilan yang dimiliki seorang dokter atau dokter gigi untuk mencari solusi kesehatan yang diderita pasien. Dalam hal ini, keterampilan tersebut dimiliki oleh seorang dokter atau dokter gigi dengan menempuh sebuah pendidikan yang formal, memenuhi ketentuan formal yang dipersyaratkan sebagai seorang dokter atau dokter gigi, yang kemudian disebut sebagai profesi. 312 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). 217

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Profesi kedokteran tidak berbeda dengan profesi lainnya, yaitu setiap orang yang akan menjalankan profesi ini, harus tunduk pada kode etik organisasi profesinya sehingga orang yang menjalankan profesi ini disebut dengan ”menyediakan jasa”. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 5 dikatakan, bahwa Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Kosumen sendiri dalam pasal yang sama, angka 2 mempunyai pengertian, ”Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pasien menggunakan jasa dokter atau dokter gigi tersebut, yang tentunya jasa tersebut telah tersedia dalam masyarakat sebelumnya, tentunya akan digunakan untuk kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, apakah dapat dikatakan bahwa pasien adalah konsumen? Berikut ini adalah unsur-unsur konsumen, apakah unsur-unsur ini dapat diimplimentasikan pada pengertian pasien?, yaitu antara lain sebagai berikut. 1. Adanya subjek atau orang. Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal l Angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan”. Pengertian pasien yang diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sangat jelas menyebut sebagai setiap orang, artinya menunjuk pada natuurlijk persoon. 2. Pemakai. Sesuai bunyi penjelasan Pasal l Angka (2) UU Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa 218

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privaty of contact). Dengan demikian, UU Perlindungan Konsumen sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen. Konsumen memang tidak sekadar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Istilah product knowledge sangat diperlukan oleh konsumen, dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen. Produsen mempunyai kewajiban terlebih dahulu untuk membagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang mengkonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen sehingga wajib dilindungi hak- haknya. Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (the privaty of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Di Amerika Serikat, cara pandang seperti itu telah ditinggalkan, walaupun baru dilakukan pada awal abad ke-20. Konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan ia memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk. Dalam pengertian pasien, untuk bisa dimasukkan ke dalam unsur pemakai (jasa), harus ada hubungan hukum antara pasien tersebut dengan dokter. Seperti yang kita bahas dalam Bab II tersebut di atas, bahwa hubungan hukum antara dokter dengan pasien, dan pasien dengan rumah sakit dibedakan ke dalam 4 bentuk. a. Rumah Sakit dengan Perawat yang diatur dengan Perjanjian Kerja (arbeidsovereenkomst), Pasal 1601 KUH Perdata. 219

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 b. Dokter Spesialis dengan rumah Sakit yang diatur dengan toelatingscontract. c. Dokter Spesialis dengan pasien yang diatur dengan behandelingsovereenkomst. d. Pasien dengan Rumah sakit yang diatur dengan verzorgingsovereenkomst. Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien bisa berdasarkan 2 hal. 1) Perjanjian (ius contractual) Hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya wawancara medis dan pemeriksaan oleh dokter. Seorang dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan sangat tergantung pada banyak faktor-faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakitnya, macam penyakit yang diderita, komplikasi, dan lain-lain). Dengan demikian, maka perjanjian antara dokter-pasien itu secara yuridis dimasukkan ke dalam golongan ”perjanjian berusaha sebaik mungkin” (inspanningsverbintenis). Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa dokter itu boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan hal itu harus berdasarkan standar profesi medis yang berlaku. Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa dalam melakukan suatu tindakan medis ia harus: bertindak dengan hati-hati dan teliti; berdasarkan indikasi medis; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medis; dan adanya persetujuan pasien (informed consent). Jika seorang dokter (1) tidak melakukan, (2) salah melakukan, atau (3) terlambat melakukan sehingga sampai menimbulkan kerugian/cedera kepada pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti tercantum di dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu: ”Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila si berhutang sesudah ditagih, tetap lalai 220

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tidak memenuhi kewajibannya, atau apabila si berhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan dalam jangka waktu tertentu, dan waktu mana telah dilampauinya.” Prinsip ini juga dianut dalam sistem hukum Anglo Saxon, dikatakan suatu wanprestasi (breach of contract) jika seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan pasiennya, namun kemudian ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan semacam ini, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu. Negara kontinental menamakannya suatu perjanjian hasil (resultaatsverbintenis). Di dalam perjanjian hasil semacam ini, maka seolah-olah telah terjadi suatu kontrak di dalam mana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medis dokter tersebut. Jika gagal, maka unsur wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya. 2) Undang-undang (ius delicto). Di dalam KUH Perdata, selain gugatan mendasarkan pada wanprestasi, juga dapat mendasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum, ”dat onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders rechtsplicht of indruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed” (sebagai suatu tindakan atau non tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban sipelaku, atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain). Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “apa yang dimaksud dengan ketidakhati-hatian atau ketidaktelitian?”, yang menjadi acuannya adalah standar-standar dan prosedur profesi medis di dalam 221

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 melakukan suatu tindakan medis tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang dengan tegas telah mengatur pelbagai kewajiban tersebut. 3. Barang dan/atau Jasa. Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini kata “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Dalam dunia perbankan, misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UU Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan bahwa jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual tidak tercakup dalam pengertian tersebut. Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa perbuatannya sebagai transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UU Perlindungan Konsumen. Sedangkan jasa pelayanan kesehatan oleh dokter ataupun rumah sakit, tidak dikenal adanya produk, juga tidak menjelaskan tentang pengertian mengenai jasa. Namun, untuk memperjelas, bahwa pelayanan kesehatan oleh dokter atau rimah sakit, dapat disebut sebagai jasa, paling tidak ada dua alasan. Pertama, Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 angka 1, dikatakan, ”Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap 222

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan”. Upaya kesehatan juga tidak dipertegas, apakah berbentuk produk atau jasa. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 11 dikatakan, “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.313 Pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kedua, dalam perundingan ke delapan (Uruguay/Uruguay Round), yang berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994 melahirkan apa yang disebut dengan WTO (World Trade Organization), pada tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian WTO mengatur masalah (yakni GATT the General Agreement on Tariffs and Trade); jasa (yakni GATS the General Agreement on Trade in Services), dan hak cipta (yakni TRIPs the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights). 314 Meskipun perjanjian-perjanjian ini berbeda dalam ruang lingkup dan isinya, namun, ada sejumlah prinsip dasar yang mendasari ketiganya, yakni: 315 Most Favoured Nations; National Treatment; Transparency; Elimination of Quantitative Restrictions; Restriction to Safequard the BOP; Special and Differential Treatment. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, hanya dua prinsip yang wajib diberlakukan pada kebijakan pemerintah menyangkut perdagangan jasa, yaitu most-favored nations316 dan perlakuan nasional.317 Jasa yang berlaku dalam perjanjian GATS adalah jasa-jasa kecuali jasa 313 Pen: Memberikan garis bawah untuk memperjelas bahwa kegiatan tersebut mencakup dalam lingkungan perekonomian (untuk mendapatkan penghasilan, dan adanya konsumen), sehingga jelas, bahwa kegiatan tersebut menyebut sebagai Jasa. 314 Astim Riyanto, World Trade Organization (Bandung: YAPEMDO, 2003), hal. 20. 315 Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round (Jakarta: UI – Press, 1997), hal. 17. 316 Perlakuan MFN berarti bahwa negara harus memperlakukan semua mitra perdagangan asing secara setara, oleh karena itu, negara tidak diperkenankan untuk membedakan barang, jasa atau agen (supplier) dengan dasar perbedaan asal (asing). Dalam prinsipnya, doktrin MFN berlaku untuk semua jasa dan semua sektor, bahkan ketika negara belum membuat komitmen untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing dalam sektor itu 317 Perlakuan nasional berarti memperlakukan perusahaan, produk atau jasa asing tidak kurang setara dari perlakuan terhadap produk dan jasa negara sendiri. Meskipun perlakuan nasional adalah prinsip umum WTO, dalam konteks GATS ini hanya berlaku ketika negara telah membuat komitmen spesifik, dan pengecualian diperbolehkan. 223

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pemerintahan, yaitu \"jasa-jasa yang disediakan dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintah\"; jasa seperti ini telah dijabarkan sebagai jasa yang \"tidak disuplai pada dasar komersial, maupun dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia (supplier) jasa\". Contoh khas dari jasa tersebut termasuk jasa polisi, pengumpulan pajak dan bea cukai. Definisi ini juga terlihat tidak memasukkan perawatan kesehatan cuma-cuma di fasilitas kesehatan masyarakat dari peraturan GATS, tetapi jasa kesehatan komersial yang disediakan oleh klinik dan rumah sakit swasta berada dalam lingkupan GATS. Selanjutnya, ada risiko bahwa pengecualian ini tidak dapat berlaku jika pelayanan kesehatan swasta dan publik hidup berdampingan.318 Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penawaran perdana (initial offer) di sektor jasa untuk diliberalisasikan dalam kerangka WTO. Atas dasar itu, Departemen Perdagangan RI memberikan 7 initial offer, ketujuh sektor jasa yang ditawarkan RI tersebut antara lain pendidikan kejuruan; profesi kesehatan; kepemilikan perbankan kepada warga asing dari yang semula 49% menjadi 51%; diizinkannya profesi pengacara asing beroperasi di Indonesia; jasa konstruksi asing untuk membangun infrastruktur di Indonesia; pembangunan rumah sakit asing dengan kapasitas minimal mempunyai 400 tempat tidur; dan Ketujuh, perluasan izin keimigrasian.319 Dalam hal ini, bidang jasa kesehatan menyangkut lima, yaitu: tenaga medis termasuk perawat; penyelenggara pelayanan kesehatan; penyedia pelayanan kesehatan; penyedia dana dan fasilitas kesehatan. 4. Yang tersedia dalam masyarakat. Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat juga bunyi Pasal 9 Ayat (1) Huruf e UU Perlindungan Konsumen). Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan 318 Karin Timmermans, ”GATS, Perdagangan, Kesehatan & Jasa: Sebuah Penilaian Awal. Laporan Lokakarya Perjanjian GATS dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan,” <http://www.who.or.id/download/ind/GATS%20-%20id.pdf>, terj. Untung Suseno (Jakarta, 26-28 Maret 2003). 319 <http://www.bakun.go.id/modul/terkini/index.php?id=636> 224

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan. Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak disebutkan apakah jasa pelayanan kesehatan harus tersedia dalam masyarakat atau tidak. Namun, jika kita lihat dalam praktik di masyarakat, ketersediaan pelayanan kesehatan oleh dokter ataupun oleh rumah sakit sudah menjamur di masyarakat, khususnya masyarakat kota. Komersialisasi rumah sakit sudah bukan rahasia lagi untuk dibicarakan. Semakin mahal rumah sakit dan dokternya, maka semakin baik pelayanan kesehatannya. Sebagai contohnya, untuk memeriksakan suatu penyakit di dua rumah sakit yang berbeda, satu milik negara, sebagai contohnya RSCM dan satunya milik swasta contohnya RS Mitra Kelapa Gading, harga pelayanan kesehatan kedua rumah sakit tersebut pasti berbeda. 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain. Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa, juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk anjing peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki anjing yang sehat. Unsur ini sangat jelas, jika diterapkan dalam pelayanan kesehatan. Orang tidak akan mungkin menggunakan jasa dokter untuk 225

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 keperluan orang lain. Kecuali jika ada kerabat, tetangga yang sedang sakit, dan kita memanggilkan dokter untuk penyembuhannya. 6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Unsur ini juga sangat jelas jika kita praktikkan dalam pelayanan kesehatan, baik leh dokter atau rumah sakit. Jasa dokter dan rumah sakit yang berupa ”upaya penyembuhan”, pastinya tidak untuk diperdagangkan kembali. Dari kelima unsur-unsur tersebut, kami berkesimpulan bahwa pengertian konsumen adalah sama dengan pengertian pasien. Untuk lebih memperkecil perbedaan pengertian antara konsumen dan pasien tersebut diatas, kami akan membandingkan lagi antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara konsumen yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pasien yang diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 dan UU Nomor 29 Tahun 2004, yang akan kami bahas dalam sub bab berikut. 5.3.5 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pasien Sebelum kita membahasa mengenai hak dan kewajiban pasien dan konsumen, seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan yang diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu tujuan dari masing-masing undang-undang tersebut. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dilahirkan untuk memberikan perlindungan terutama bagi pihak konsumen. UU Perlindungan konsumen memiliki tujuan, hal ini terlihat pada Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 226

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Berikutnya kita coba kaitkan tujuan-tujuan yang diatur dalam pasal 3 tersebut dengan tujuan yang ada dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tujuan dikeluarkannya UU Kesehatan, juga diatur dalam pasal 3 yang berbunyi, Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Sementara tujuan dikeluarkannya UU Nomor 29 Tahun 2004, juga diatur dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk: a) memberikan perlindungan kepada pasien; b) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan c) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999, UU Nomor 36 Tahun 2009 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 pada hakikatnya berisi materi yang sama. Kesamaan tersebut dapat dirangkum dalam 3 hal, yaitu: Pertama, adanya kesadaran untuk mengangkat harkat dan martabat dan upaya-upaya untuk melindungi pihak pasien/konsumen; Kedua, adanya upaya untuk mengawasi kualitas dari pihak lainnya, yaitu pelaku usaha atau dokter; Ketiga, memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Dari tujuan ketiga undang-undang yang pada hakikatnya adalah sama tersebut, kita akan kembali membahas tentang hak dan kewajiban pasien dan konsumen. Dalam pembahasan hak dan kewajiban konsumen dan pasien tersebut subbab berikut ini, kami akan membagi menjadi dua bagian, yaitu hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban pasien sehingga dalam analisisnya nanti dapat ditarik sebuah pernyataan yang jelas dengan menarik dua komponen pembahasan ini. a. Hak-hak konsumen 227

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Pertama-tama akan kita bahas mengenai hak-hak konsumen. Hak- hak konsumen ini diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999, yang berisi antara lain: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan dan keamanan atas barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Terhadap barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha berisiko tinggi terhadap keamanan konsumen maka pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar dalam menentukan pilihannya dan menurut hak konsumen ini maka konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar dengan kata lain kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. 3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas barang dan atau jasa. Informasi ini disampaikan dengan berbagai cara seperti secara lisan, melalui iklan di media atau mencantumkannya dalam kemasan produk (barang). Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif) dan secara proposional. 228

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Konsumen berhak untuk memberikan pendapatnya sehubungan dengan barang dan atau jasa yang digunakan. Pendapat yang dikeluarkan oleh konsumen ini berkaitan dengan hak konsumen dalam memperoleh informasi. Hal ini disebabkan seringkali informasi yang diterima oleh konsumen kurang memuaskan sehingga konsumen mengemukakan pendapatnya dan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi yang lebih lanjut. 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan oleh konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian namun kedua hak tersebut tidak berarti identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu sebaliknya setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. 6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hal ini terkait dengan permasalahan perlindungan konsumen yang masih merupakan hal baru di Indonesia. Saat ini masih sedikit konsumen yang menyadari akan hak-haknya oleh karenanya perlu diberikan pendidikan yang lebih jauh lagi mengenai perlindungan konsumen bagi masyarakat Indonesia. 229

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Pendidikan yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya terbatas pendidikan secara formal namun juga dapat melalui penyuluhan-penyuluhan. 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Setiap konsumen memiliki hak yang sama oleh karenanya setiap konsumen wajib untuk diperlakukan secara sama tanpa adanya diskriminasi. 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan hak untuk melakukan upaya hukum maka setiap konsumen berhak memperoleh ganti kerugian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Perolehan ganti kerugian ini bisa didapatkan oleh konsumen baik melalui upaya hukum ataupun tidak. 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. b. Hak-hak pasien Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan, The Right of Self Determination. Meskipun sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pemenuhan layanan kesehatan tersebut sehingga masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan layanan kesehatan yang terjangkau, berkualitas, dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya, di dalam praktik kedokteran terjadilah hubungan pasien-dokter yang esensi hubungannya adalah saling menghargai dan saling mempercayai, namun hubungan ini tidak seimbang. Secara relatif pasien berada pada posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk membela kepentingannya, yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan pasien pada masalah pengobatan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan hak-hak 230

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan. Hubungan yang terjadi biasanya lebih bersifat paternalistik, yaitu pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter/dokter gigi, tanpa bertanya apapun. Sebenarnya dokter adalah “partner” pasien dalam hal mencari kesembuhan penyakitnya dan kedudukan keduanya sama secara hukum. Pasien dan dokter sama-sama mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Dimulai pada bulan September 1981, pada Musyawarah ke-34 Asosiasi Kedokteran Sedunia (World Medical Association) di Lisabon, untuk pertama kalinya dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih dokter secara bebas, hak untuk dirawat oleh dokter yang memiliki kebebasan dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan perincian kesehatan dan pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual. Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui hak-haknya sebagai pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary sebagai kode etik dokter dan belum ada jaminan hukumnya. Kemudian pada tahun 2009, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang- undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini pasien, bila berhubungan dengan dokter, benar-benar harus mempercayakan seluruh nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasan hukumnya. Isi pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hampir sama, hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi. Tahun 2009 disahkan juga Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang didalamnya juga mengatur tentang hak-hak pasien. Berikut adalah tabel perbandingan hak-hak pasien yang diatur dalam UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran dan UU Rumah Sakit yang digambarkan dalam Tabel 5.1. 231

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Tabel 5.1. Perbandingan Hak Pasien yang diatur dalam UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, dan UU Rumah Sakit UU Nomor 36 Tahun 2009 UU Nomor 29 Tahun 2004 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang Praktik tentang Rumah Sakit Kedokteran 1. Hak atas kesehatan, Pasal 52 menyebutkan: Setiap pasien mempunyai hak: termasuk juga didalamnya 1. Hak untuk mendapatkan a. memperoleh informasi akses untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tata tertib dan sumber daya dibidang tentang tindakan medis peraturan yang berlaku di kesehatan; memperoleh sebagaimana dimaksud Rumah Sakit; pelayanan kesehatan yang dalam pasal 45 ayat (3); b. memperoleh informasi tentang aman, mutu dan 2. Hak untuk meminta hak dan kewajiban pasien; terjangkau; dan pendapat dokter atau c. memperoleh layanan yang menentukan sendiri dokter gigi lain; manusiawi, adil, jujur, dan pelayanan kesehatan yang 3. Hak untuk mendapatkan tanpa diskriminasi; diperlukan bagi dirinya pelayanan sesuai dengan d. memperoleh layanan kesehatan sendiri. kebutuhan medis; yang bermutu sesuai dengan 2. Lingkungan yang sehat 4. Hak untuk menolak standar profesi dan standar bagi pencapaian derajat tindakan medis; prosedur operasional; kesehatan 5. Hak untuk mendapatkan e. memperoleh layanan yang 3. Hak atas informasi dan keterangan yang efektif dan efisien sehingga edukasi tentang kesehatan merupakan rahasia dokter pasien terhindar dari kerugian yang seimbang dan dan isi dari rekam medis. fisik dan materi; bertanggungjawab, f. mengajukan pengaduan atas termasuk informasi tentang kualitas pelayanan yang data kesehatan dirinya didapatkan; termasuk tindakan dan g. memilih dokter dan kelas pengobatan yang telah perawatan sesuai dengan maupun yang akan keinginannya dan peraturan diterimanya dari tenaga yang berlaku di Rumah Sakit; kesehatan. h. meminta konsultasi tentang 4. Hak atas pendapat kedua; penyakit yang dideritanya 5. Hak atas rahasia kepada dokter lain yang kedokteran; mempunyai Surat Izin Praktik 6. Hak untuk memberikan (SIP) baik di dalam maupun di persetujuan dan menolak luar Rumah Sakit; tindakan medis; i. mendapatkan privasi dan 7. Hak atas ganti rugi apabila kerahasiaan penyakit yang ia dirugikan karena diderita termasuk data-data kesalahan atau kealpaan medisnya; tenaga kesehatan. j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta 232

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 perkiraan biaya pengobatan; k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. menolak pelayanan' bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak atas informasi pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama dengan hak untuk mendapatkan penjelasan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang lebih rinci menyebutkan hak tersebut sesuai dengan Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran yang berbunyi : 233

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang- kurangnya mencakup: a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Hak untuk meminta pendapat kedua, yaitu memberikan keleluasaan pada pasien untuk meminta pendapat dokter/dokter gigi lain bila dia merasa ragu ataupun belum yakin dengan diagnosis dokter yang pertama. Hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, diperlukan untuk menjaga; supaya pasien benar-benar mendapatkan pelayanan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan penyakitnya, (misalnya apabila perlu mendapatkan pelayanan rontgen maka perlu dirontgen) tidak boleh dihilangkan ataupun sebaliknya tidak terjadinya pelayanan yang berlebihan yang sebenarnya tidak diperlukan (tidak perlu dirontgen tetapi dirontgen). Pasien juga berhak menolak tindakan medis tertentu. Di sini adalah kewajiban dokter/dokter gigi untuk menjelaskan kepada pasien bila dia menolak, maka akan ada risiko-risiko penyakit yang akan dialaminya. Bila pasien tetap menolak, dan terjadi sesuatu (misalnya pasien meninggal), maka dokter tidak dapat disalahkan membuat kelalaian karena sudah menjelaskan sebelumnya. Isi rekam medis adalah hak pasien sehingga memudahkan pasien bila nanti akan berobat ke dokter lain ataupun memerlukan perawatan untuk penyakit yang lain. Dari hak-hak pasien tersebut, yang juga penting sebenarnya adalah hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi yang ada pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tapi tidak ada pada Undang- undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Bila memang kerugian pasien terjadi (misalnya cacat, bertambah parah penyakitnya, ataupun meninggal) terbukti akibat kesalahan dan kelalaian dokter, maka 234

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 sudah seharusnya pasien mendapatkan ganti rugi yang dapat disepakati bersama sesuai dengan kerugian yang diderita. Selain kedua undang-undang tersebut di atas, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medis (Ditjen Yanmed) Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504, merumuskan hak-hak pasien rumah sakit dengan lebih rinci, dengan tambahan-tambahan keterangan yang menekankan pada hak pasien untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai seluruh pelayanan rumah sakit, serta hak pasien untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit yang bermutu dan manusiawi (termasuk seluruh pelayanan dokter dan tenaga medis yang bekerja di sana). Hak pasien rumah sakit yang belum tercakup pada kedua undang-undang di atas, antara lain adalah: 1. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya. 2. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis. 3. Hak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya. 4. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit. 5. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya. 6. Hak menerima atau menolak bimbingan moril atau spiritual. Ada juga hak pasien lainnya yang dakui oleh World Health Organization (WHO), namun belum tercermin dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia, antara lain: a. Mendapatkan pelayanan medis tanpa mengalami diskriminasi berdasarkan ras, suku, warna kulit, asal, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan fisik, orientasi seksual, aliran politik, pekerjaan, dan sumber dana untuk membayar; 235

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 b. Menerima atau menolak untuk dilibatkan dalam penelitian, dan jika bersedia ia berhak memperoleh informasi yang jelas tentang penelitian tersebut; c. Mendapat penjelasan tentang tagihan biaya yang harus dia bayar. Dengan berlakunya UU Perlindungan Konsumen, maka diharapkan ada kesejajaran posisi antara konsumen dengan pelaku usaha, yang bila dihubungan dengan jasa pelayanan kesehatan, maka berarti ada keseimbangan posisi antara pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dengan rumah sakit sebagai pihak pemberi layanan kesehatan. Sesuai dengan tujuan Undang-undang Perlindungan Konsumen maka pihak rumah sakit akan lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan rumah sakit dan akan berusaha melakukan yang terbaik sehingga kepentingan pasien lebih terjamin. Pasien dan rumah sakit memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban ini lahir karena adanya hubungan hukum antara dua pihak yaitu rumah sakit selaku penyedia jasa kesehatan dan pasien selaku konsumen jasa kesehatan. Apabila dikaitkan antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Kesehatan maka pasien dan rumah sakit juga memiliki hak-hak dan kewajibannya masing-masing. Sebagai konsumen, maka pasien memiliki hak yang di antaranya sebagai berikut. 1) Berhak atas derajat kesehatan yang optimal. Sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia yang memberikan jaminan kesehatan bagi setiap warganya maka pasien dalam posisinya sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan berhak untuk mendapatkan pelayanan yang optimal dalam meraih kesehatannya tanpa adanya diskriminasi. 2) Berhak atas Informasi. Pasien memiliki hak akan informasi yang terkait dengan kondisi kesehatan dirinya. Hal ini didasarkan pada kondisi pasien yang pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dalam hal medis. Pasien berhak mendapatkan penjelasan yang lengkap sebelum dilakukan tindakan tertentu. Pasien berhak untuk menerima ataupun menolak bila ia tidak menyetujui rencana 236

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tindakan yang akan dilaksanakan dokter dan rumah sakit terhadapnya. Bila ada penolakan tersebut, segala akibat tidak dilakukannya tindakan tersebut menjadi tanggung jawab penderita. Pasien juga berhak atas informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit terkait. 3) Berhak memberikan persetujuan. Setiap tindakan yang akan dilakukan oleh pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan wajib untuk meminta persetujuan dari pihak pasien karena setiap individu berhak untuk atas dirinya sendiri baik fisik dan moral. Pasien berhak untuk memberikan persetujuan ataupun menolak pelayanan yang akan dijalankan pada dirinya ataupun keluarganya yang padanya diberikan kuasa. 4) Berhak mendapatkan kerahasiaan. Terhadap setiap perawatan atau pengobatan yang dijalankan oleh pasien, pasien berhak atas kerahasiaan data terkait dirinya. Rumah sakit sebagai pihak penyelenggara layanan kesehatan wajib untuk menjamin terjaganya kerahasiaan sehubungan dengan diri masing-masing pasien. Dalam rumah sakit terdapat bidang yang disebut dengan rekam medis, dalam bidang inilah data-data mengenai pasien terutama hal-hal yang berkaitan dengan tindakan medis dan penyakit yang dialami oleh masing-masing pasien disimpan dan dijaga kerahasiannya. 5) Berhak untuk meminta pendapat kedua (second opinion). Apabila oleh pasien atau keluarganya dirasakan bahwa pelayanan seorang dokter tidak/ kurang meyakinkan kalau perlu pindah rumah sakit. Penderita berhak untuk mendapatkan catatan pengobatan di rumah sakit lama. 6) Berhak memperoleh ganti rugi/kompensasi apabila terjadi kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi diri pasien. c. Kewajiban-kewajiban konsumen 237

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sehubungan dengan hak tersebut maka konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Pada pasal 5 (lima) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen adalah sebagai berikut. 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan apabila ia telah memenuhi kewajibannya dalam memberikan informasi yang benar mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan olehnya, di lain pihak konsumen berhak untuk mengikuti petunjuk yang telah diberikan oleh pelaku usaha. 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4. Konsumen wajib memenuhi nilai yang harus dibayarkan olehnya dalam pemanfaatan barang dan atau jasa. Nilai tukar ini ditetapkan oleh pelaku usaha yang harus disesuaikan dengan kemampuan dari konsumen. Hal ini terkait dengan hak konsumen dalam mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 5. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. d. Kewajiban-kewajiban pasien Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya. Bila pasien sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus menceritakan perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu atau ayahnya berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau penyakit lainnya sehingga dokter dapat mendiagnosis 238

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 penyakit secara lebih tepat). Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang kewajiban pasien, yaitu: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: 1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; 2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; 3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan 4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Yang dimaksud dengan memberikan informasi yang lengkap dan jujur, misalnya untuk hal-hal seperti yang disebutkan di bawah ini: a. memaparkan keadaan kepada dokter yang memeriksa, termasuk menceritakan awal dirasakannya keluhan tersebut dan berbagai kemungkinan yang bisa dikaitkan dengan keluhan. b. menyampaikan informasi tentang hal-hal/tindakan yang sudah dilakukan sehubungan dengan keluhan tersebut. Mematuhi nasihat dan petunjuk, termasuk meminta penjelasan kepada dokter untuk hal-hal yang tidak dipahami ketika dokter memberikan informasi mengenai keadaan dan situasinya. Mematuhi peraturan sarana pelayanan kesehatan tempat ia dirawat, tidak boleh berbuat seenaknya, misalnya memakan makanan yang dilarang ataupun membuang obat yang diberikan dan berperilaku yang tidak sopan. Pasien yang menjalankan perawatan haruslah memberikan imbalan jasa sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena itu, penting bagi seorang dokter/dokter gigi untuk menjelaskan kepada pasien ataupun keluarganya tentang biaya yang harus dikeluarkan, kecuali dalam hal emergency, saat pasien harus ditolong dengan cepat, tanpa terlebih dahulu menerangkan tentang biaya yang diperlukan. Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik bagi kesembuhan pasien. Bila dari permulaan hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka, 239

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 maka banyak masalah dapat diatasi bersama karena dokter yang sudah mengetahui semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak pasien yang juga sudah mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh rangkaian proses yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis. Selain itu, kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya pasien antara lain: 1) wajib untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi, keluarga dan masyarakat; 2) pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya; 3) wajib membayar jasa pelayanan sesuai dengan yang disepakati; 4) wajib untuk memberikan informasi dengan jujur dan lengkap tentang penyakit yang diderita kepada tenaga kesehatan yang merawatnya; 5) wajib untuk mematuhi prosedur dan tata cara pengobatan Sebagai umbrella act maka semua hak dan kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha yang tercantum pada UU Nomor 8 Tahun 1999 secara tidak langsung merupakan hak dan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh konsumen dan pelaku usaha dalam bidang kesehatan. Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa pasien adalah konsumen seperti yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5.4 Beberapa Catatan Penerapan UU Perlindungan Konsumen dalam Praktik Kedokteran Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwasanya secara normatif, hubungan antara dokter dengan pasien dapat disamakan dengan hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Namun hubungan antara dokter dengan pasien tidak dapat diterapkan sedemikian rupa seperti menyamakan antara pelaku usaha dengan konsumen, karena hubungan ini bersifat khusus. Dokter sebagai pemberi layanan kesehatan yang kemudian bekerja pada rumah sakit sebagai penyedia layanan 240

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 kesehatan dihadapkan pada pasien yang memerlukan profesi keahlian dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Pertama, Sebagai suatu kegiatan yang memiliki konsumen yakni para anggota masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consuinens), serta memiliki pelaku usaha, yakni para dokter dan/atau pelbagai sarana pelayanan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers), maka UU No. 8 tahun 1999 juga berlaku pada pelayanan kesehatan (health care services). Para konsumen pelayanan kesehatan, yakni para pasien yang datang berobat, memang juga memerlukan perlindungan konsumen. Malah jika dibandingkan dengan pelbagai konsumen lainnya, adanya perlindungan konsumen pada konsumen pelayanan kesehatan tampak lebih penting. Penyebabnya bukan saja karena kedudukan konsumen pelayanan kesehatan yang pada umumnya berada dalam keadaan lemah (weaknessess), tetapi juga karena pengetahuan yang dimiliki konsumen tentang pelayanan kesehatan dan/atau tindakan kedokteran juga lebih terbatas. Kedua, Sebenarnya dalam pelayanan kesehatan, pentingnya perlindungan konsumen/patient tersebut, yang pada dasarnya merupakan kewajiban bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk senantiasa menghormati hak-hak pasien, bukanlah merupakan hal yang baru. Kode Etik dan Sumpah Dokter dengan tegas telah mengatur pelbagai kewajiban tersebut. Bab I dan Bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mengatur tentang kewajiban umum dan kewajiban dokter terhadap penderita menyebutkan antara lain sebagai berikut. 1. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi (ayat 2) 2. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (ayat 3) 3. Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk kepentingan penderita (ayat 5) 4. Seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya (ayat 7) 5. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani (ayat 10) 241


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook