Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Perlindungan Pasien

Published by nathaniakaylab, 2021-06-05 06:58:10

Description: Buku bahan pembelajaran bagi mahasiswa hukum dan kedokteran, juga ditujukan untuk profesi medicolegal di Indonesia

Keywords: medicolegal,consumer protection

Search

Read the Text Version

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Untuk lebih memahami bagaimana kelalaian atau kesalahan itu akhirnya dapat dipidana, maka akan diuraikan lebih dalam perihal kelalaian atau kesalahan. Menurut logika, maka kesalahan harus dibalas. Asas kesalahan dalam hukum pidana adalah yang fundamental, sebab asas telah begitu meresap dan menggema di hampir semua ajaran-ajaran penting dalam hukum pidana. Akan tetapi asas kesalahan juga adalah asas yang normatif. Itulah sebabnya asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, tidak boleh dibalik menjadi tiada kesalahan tanpa pidana. Dengan demikian, sifat hubungan dari kesalahan dan pidana akan menjadi jelas, dan bahwa kesalahan merupakan dasar dari pidana, seperti halnya suatu bangunan yang bertumpu pada fondasinya. Demikian juga pidana bertumpu pada kesalahan sehingga dapat dikatakan dengan lain kata, bahwa karena kesalahan maka pidana itu menjadi sah. Walaupun semua hal tersebut di atas tidak secara tegas disebut dalam KUHP Indonesia, namun asas “tiada pidana tanpa kesalahan” diakui dalam pidana kita, melalui pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut. Kesalahan yang dimaksud dalam asas itu adalah kesalahan dalam arti subjektif, maka kesalahan itu terjelma melalui sikap tindak manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Noyon Langemeijer 96 bahwa: berbeda dari etika dalam pertimbangan dasar dari hukum pidana, yang terutama bukanlah keadaan mental dari apa yang dilakukan atau tidak dilakukan, bahkan juga bukan dari apa yang dipikirkan oleh manusia itu, akan tetapi sikap dari tindakannya sendiri. Dalam hukum pidana, sikap tindak (gedraging) manusia yang menjadi objek pembahasan karena sikap tindak manusia juga yang dapat menimbulkan gangguan bagi ketertiban umum. Namun, bukan hanya perbuatan manusia saja yang menjadi objek, akan tetapi seluruh peristiwa hukum yang menimbulkan gangguan bagi manusia. Jadi seperti tidak berbuat, bahwa sampai situasi pada saat terjadinya peristiwa itu sendiri menjadi relevan bagi peristiwa pidana. Peristiwa pidana adalah terjemahan dari strafbaarfeit. Selanjutnya Hazewinkel-Suringa menjelaskan, feit adalah daad (perbuatan), handeling (perbuatan, tindakan), gebeur-tenis of omstandigheid waarvan de werkelijkheid vaststaat (peristiwa atau keadaan yang menjadikan kenyataan itu pasti). Oleh karena feit itu 96 T.J. Noyon – G.E. Langemeijer, Het Wetbook van Strafrecht bewerkt door J Remmelink, (Samson, Alpen a/d Rijn), 1987, hal 101 sebagaimana dikutip oleh B.I.T Tamba, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Univ. Indonesia, November 1990, hal 223. 42

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 bukan hanya perbuatan manusia saja, tetapi dapat pula tidak berbuat dan kejadian- kejadian lainnya, maka untuk strafbaarfeit selanjutnya akan dipakai istilah peristiwa pidana, sedangkan delict menurut kamus Belanda diartikan sama dengan strafbaarfeit. 97 D. Simons, 98 merumuskannya strafbaarfeit sebagai: “….perbuatan seseorang yang dapat dipidana karena melawan hukum (bertentangan dengan hukum) dan perbuatan itu ada hubungannya dengan kesalahan, orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya). Dengan demikian, maka strafbaarfeit itu mengandung beberapa unsur, seperti: 1. Perbuatan manusia (menselijke handeling): dengan perbuatan (handeling) disini dimaksudkan bukan saja berbuat (het doen) tetapi juga tidak berbuat (nalaten). 2. Pebuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 3. Terdapat unsur kesalahan yang ada hubungannya dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesalahan selalu mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan atau melakukan yang seharusnya tidak dilakukan. Sedemikian rupa sehingga perbuatan itu tidak hanya secara objektif tidak patut, akan tetapi juga dapat dicelakan kepadanya (karena perbuatan itu dianggap jahat). Karena hubungan antara perbuatan dengan pelakunya itu, selalu membawa celaan maka kesalahan itu dinamakan sebagai yang dapat dicelakan. Akan tetapi harus tetap diingat bahwa sesuatu yang dapat dicelakan bukanlah merupakan inti dari suatu kesalahan, melainkan hanya merupakan akibat dari kesalahan itu. Kalau dikembalikan kepada perumusan di atas tadi, maka tiada pidana tanpa kesalahan akan berarti, bahwa untuk dapat dijatuhkannya suatu pidana disyaratkan: orang telah berbuat yang tidak patut secara objektif; dan bahwa perbuatan yang tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya. Kesalahan dalam hukum pidana mempunyai beberapa pengertian, yang sudah lazim dipakai di Indonesia ini, yaitu di samping 97 B.I.T Tamba, Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Univ. Indonesia, November 1990, hal. 225. 98 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 77. 43

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 kesalahan yang diartikan sebagai suatu kesengajaan, kesalahan juga diartikan sebagai:99 1. Sifat tercela (umumnya merupakan syarat yang tidak tertulis). Bagi suatu perbuatan yang belum pasti dapat dihukum, tetapi pelakunya sudah pasti dapat dicela (karena melakukan perbuatan yang tidak dapat dipuji). 2. Kesalahan (schuld) dalam arti kecerobohan (adanya niat), jadi dalam hal ini sudah terkandung unsur kesengajaan dan kealpaan bersama-sama. Karenanya istilah kesalahan atau schuld di sini hanya suatu penamaan saja, kadang- kadang disebut juga roekelos. 3. Kealpaan (nalatigheid) seperti yang disebut dalam pasal 359 KUHP yang juga diterjemahkan sebagai kurang hati-hati. Semua bentuk-bentuk kesalahan ini diangkat dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan disini diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif tidak patut, oleh karenanya perbuatan itu setidak-tidaknya dapat dicela. Sedangkan kesalahan sebagai suatu kesengajaan dapat dibagi menjadi:100 1. Dengan maksud (met het oogmerk) disebut juga dolus directus (memang akibatnya diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi). 2. a. Dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian (als zekerheid bewustzijn) bahwa akibat atau perbuatannya sendiri terjadi; b. Dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja (als mogelijkheid bewustzijn). 3. Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan sengaja dan mengetahui, yang mengarah kepada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan terjadi sangat besar. Kemungkinan besar atau sebagai suatu kemungkinan yang tidak dapat diabaikan dan diterima begitu saja (dolus eventualis). Dikenal dengan “in kauf nehman” (op den koop toe nemen) atau diterjemahkan dengan “teori apa boleh buat”. Sebab di sini keadaan batin si pelaku mengalami dua hal: sebenarnya akibat tidak dikehendaki, bahkan dibenci atau takut timbulnya akibat, akan tetapi meskipun 99 B.I.T Tamba, op.,cit., hal. 229. 100 Ibid, hal. 230-231. 44

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tidak dihendaki, namun apabila akibat atau keadaan itu timbul juga apa boleh buat dan keadaaan itu harus diterima, jadi berarti bahwa sadar akan risiko yang harus diterima. Maka di sini pun terdapat suatu pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih dari sekadar kemungkinan biasa saja. Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini juga mengandung unsur-unsur mengetahui dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar sekali, atau hampir tidak terlihat sama sekali. Memang dalam praktik sulit untuk membedakan apakah perbuatan yang dilakukan merupakan suatu kesengajaan bersyarat atau suatu kealpaan yang disadari. Untuk mengatasinya dipakai rumusan Frank yang berbunyi: “apakah pelaku akan melakukan hal yang sama, seandainya dia mengetahui sebelumnya akibat yang timbul?”. Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah ya, maka pelaku telah melakukan kealpaan yang disadari, tapi jika jawabannya tidak, maka pelaku telah melakukan dolus eventualis. Menjadi masalah di sini adalah membedakan apakah pelaku sadar atau tidak akan akibat yang timbul. Sebab pada kesengajaan biasa (sebagai tujuan), maka akibat itu memang merupakan tujuan atau yang dikehendaki supaya timbul. Di dalam KUHP sendiri tidak dijumpai suatu batasan mengenai apa yang dimaksud dengan kesengajaan, tetapi menurut Memori Penjelasan (MvT) yang waktu dibentuknya Wetbook van Strafrecht Belanda, kesengajaan itu adalah kehendak untuk melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh Undang-undang. Menteri Kehakiman Belanda menjelaskan lebih lanjut bahwa kesengajaan menunjukkan arah yang disadari kehendak seseorang yang tertuju pada suatu kejahatan tertentu. Pada syarat menghendaki dan mengetahui pada perbuatan kesengajaan, maka unsur menghendaki terletak pada tujuan dari pelakunya, sedangkan unsur mengetahui adalah suatu pengertian terhadap apa yang akan dilakukan. Di samping itu ada kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau dilakukan dengan tujuan tersembunyi. Arti dalam pasal yang mengatur tidak disebutkan dengan tegas sebagai suatu kesengajaan, akan tetapi disebut dengan istilah lain seperti dengan maksud yang tidak sah (illegal purpose) atau yang dikehendaki (wilfully) selanjutnya ditegaskan oleh Glen Williams, bahwa101: “the criminal justice act 1967 S.8 establishes that intentian and forsight are to be ascertained by a“subjective” investigation; but the judge may 101 Ibid, hal. 232. 45

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 tell the jury that they may infer these mental states from what the defendant did, provided that they look at the whole of the evidence. However, the definition of intention as actual intention must be modified or explained in one respect. Awareness that a consequence is certain or practically certain may be taken to be intention in law, unless this is contrary to justice.” Selanjutnya akan ditinjau mengenai kealpaan, karena hal inilah yang menjadi pokok pembahasan pada bagian selanjutnya. Pada pokoknya kealpaan adalah suatu keadaan saat seseorang tidak melakukan atau tidak melakukan kewajibannya, sedangkan seharusnya ia melakukan atau tidak melakukannya. Mengenai kealpaan ini Hazewinkel-Suringa mengatakan: Zo leert de MvT (Smidt I, p. 84), dat schuld de zuivere tegenstelling is van opzet enerzijds en toeval (‘casus’) anderzijds. De mensen kunnen daardoor zo’n groot en onherstelbaar nadeel ondervinden, dat de wet mitsdien ook de onvoorzichtigeheid in zo’n geval moet tegengaan met straf. Akan tetapi begitupun kealpaan lebih ringan sifatnya dari kesengajaan, kealpaan itu terjadi disebabkan: “Gebrek aan nadenken, kennis en beleid, dat is het wezen van de culpa” (kurang pikir panjang, pengetahuan dan kebijaksanaan adalah hakekat dari kealpaan). Lebih lanjut Hazewinkel-Suringa menjelaskan kealpaan harus ditentukan lebih normatif dan bukan secara jasmani atau rohani, karena sukar sekali untuk mengetahui batin atau mengukur batin seseorang. Ukuran untuk batin seseorang biasanya diambil ukuran umum, sikap batin manusia biasa, jadi bukan ukuran manusia yang paling berhati-hati dalam bertindak (demikian memori jawaban pemerintah Belanda dalam hal tersebut). Unsur kealpaan dianggap selalu ada dalam setiap peristiwa pidana yang dilakukan orang. Anggapan ini baru hilang kalau dapat dibuktikan dengan cara lain. Akan tetapi kealpaan juga, menurut van Bemellen nampak sebagai bagian dari suatu peristiwa pidana, baik dalam pelanggaran maupun kejahatan. Dengan batasan ini terlihat bahwa kealpaan diartikan lebih dari sekadar bahwa perbuatan itu dapat dicela. Sebab dikenal bentuk kealpaan sebagai kealpaan yang disadari, yaitu jika seseorang akan bersikap apa boleh buat terhadap akibat yang akan timbul karena kealpaannya. 46

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dengan kata lain bahwa ia sadar kalau tidak berbuat maka hampir pasti bahwa akibat yang tidak dikehendaki itu timbul. Contohnya, seseorang karena suatu kepentingan yang sangat mendesak, misalnya memanggil dokter kandungan karena istrinya mau melahirkan dan harus melewati jalan yang penuh dengan anak-anak yang sedang bermain. Maka kalau dia tetap mau lewat di jalan itu dengan mengendarai mobilnya dengan kecepakatan tinggi, walaupun telah dibunyikan klakson mobilnya dengan berulang-ulang namun sesuai dengan sifat anak-anak, biasanya juga tidak ambil pusing, maka hampir dapat dipastikan ia akan menabrak anak-anak di jalan itu. Di samping itu dikenal pula bentuk kealpaan lain, yaitu kealpaan yang tidak disadari. Bentuk ini terjadi jika pembuat tidak memikirkan akan kemungkinan timbulnya suatu akibat, sedangkan ia seharusnya memikirkan hal tersebut. Sebagai contoh misalnya, orang yang kurang teliti memeriksa keadaan mobil (seperti rem dan lampu sen), padahal ia akan masuk ke jalanan yang ramai di kota. Pada saat ia membelok, kendaraan yang ada di belakangnya menabrak mobilnya, karena tidak melihat adanya lampu sen dari mobil yang di depannya. Atau karena keadaan yang tiba-tiba saja, ia harus menghentikan mobilnya. Pada waktu ia akan menginjak remnya, rem itu tidak berfungsi, akibatnya mobil itu menabrak mobil yang ada di depannya. Kedua macam bentuk kealpaan yang di atas adalah kealpaan akibat. Perbedaan besar antara peristiwa pidana kealpaan sebagai perbuatan dan karena akibat ialah tidak hati-hati merupakan inti dari ketentuan pidananya, dan timbulnya akibat merupakan titik tolak suatu kelapaan akibat. Contohnya dapat dilihat dari apa yang ditentukan dari pasal 359 dan 360 KUHP, yaitu karena kealpaan mengakibatnya luka- luka berat atau kematian bagi orang lain. Contoh lain lagi, Pasal 203 KUHP, yatu memasukan benda-benda berbahaya ke dalam sumur atau sumber air lainnya yang dapat mengakibatkan matinya orang lain. Sedangkan dalam Pasal 480 KUHP ditemui suatu bentuk yang khusus yang disebut proparte culpa, pro parte dolus, yaitu sebagiannya masuk bagian kealpaan dan sebagainnya lagi masuk kesengajaan. Kalau berbicara kealpaan dalam perundang-undangan, maka kealpaan diartikan sebagai bagian dari suatu bagian peristiwa pidana. Biasanya kealpaan itu dalam suatu peristiwa pidana dalam pasal-pasal KUHP dirumuskan selain dari perkataan kealpaan sendiri, juga dirumuskan seharusnya mengetahui atau dapat 47

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 mengetahui atau menyadari. Berdasarkan perumusan-perumusan perundang-undangan serta pembahasan diatas menurut Sutorius yang mengutip pendapat van Bamellen yang menyatakan bahwa dapat diketahui paling tidak kealpaan itu memuat 3 unsur: 1. Pelaku berbuat lain daripada yang seharusnya diperbuatnya menurut hukum tertulis ataupun yang tidak tertulis sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (atau tidak berbuat) yang melawan hukum. 2. Pelaku telah berlaku ceroboh, lengah atau kurang berpikir panjang. 3. Bahwa perbuatan pelaku itu dapat dicela. Oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab terhadap atas akibat dari tindakannya itu. Maka kalau ketiga unsur tersebut di atas ini dapat dibuktikan pelaku harus dibebaskan dari dakwaan telah melakukan suatu kealpaan berakibat. Dari sinilah pula menjadi jelas bahwa melakukan kealpaan itu adalah suatu pengertian yang normatif yang sangat berwarna. Dalam hal ini bahwa perbuatan pelaku itu harus diukur dengan, apa yang dapat diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang sama dalam situasi yang sama serta dengan fasilitas yang sama pula. Di samping itu masih harus diperhatikan mengenai hubungan kausal antara kealpaannya dengan akibat yang timbul. Untuk hubungan kausal ini teori conditio sine qua non tentulah tidak dipakai lagi, yang dipakai adalah teori equivalensi, yaitu hanya penyebab yang masuk akal saja dapat dianggap sebagai sebabnya. Khusus mengenai masalah kealpaan dan kecerobohan dalam teori hukum pidana memang terdapat dua macam konstruksi hukum yang telah dipakai: 1) konstruksi hukum Eropa Kontinental, seperti yang selama ini telah dianut di Indonesia karena mengikuti hukum pidana Belanda, dan 2) konstruksi hukum pidana Anglo Saxon. Di samping konsep kesalahan menurut pandangan Eropa Kontinental di Indonesia juga dikenal konsep kesalahan menurut pandangan Anglo Saxon. Kalau konsep Eropa Kontinental tentang kesalahan dimulai dari asas tiada hukum tanpa kesalahan, maka konsep kesalahan dari Anglo Saxon mulai dari suatu asas actus non facit reum, nisi mens sit rea (an act does not make a person legally liable unless the mind is legally blameworthy) atau dalam bahasa Indonesia, sebuah tindakan tidak membuat seseorang bertanggung jawab secara hukum, kecuali pikirannya layak dipersalahkan secara hukum. Berdasarkan asas ini maka terdapat dua 48

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 syarat agar seseorang dapat dipidana, yaitu harus ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan ada sikap batin yang jahat atau tercela (mens rea). Actus reus tidak hanya mengenai suatu perbuatan saja, tetapi meliputi pengertian yang lebih luas lagi, yaitu: 1. Perbuatan dari terdakwa (the conduct of the accused person); 2. Hasil atau akibat dari perbuatan itu (its results/consequences); 3. Keadaan-keadaan yang tercantuk/terkandung dalam perumusan tindak pidana itu (surrounding circumstances which are included in the definition of the offences), misalnya dalam peristiwa pidana pembunuhan disebutkan “jiwa orang lain”. Oleh karena, itu dalam text book sering dirumuskan, bahwa actus reus terdiri dari “semua unsur yang terdapat dalam perumusan peristiwa pidana/kejahatan, kecuali unsur yang berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa” (all element in the definition of crime exept the accused’s mental element). Dalam hal-hal tertentu, keadaan jiwa atau sikap batin korban merupakan unsur atau syarat tindak pidana. Misalnya pada perkosaan tidak adanya persetujuan dari korban untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku, merupakan unsur dari actus reus dalam tindak pidana perkosaan. Demikian juga halnya pada euthanasia dan pengguguran kandungan. Mens rea sering diterjemahkan dengan quilty or wicked mind (sikap batin yang jahat). Akan tetapi terhadap terjemahan ini Barda kurang sependapat karena menurut Barda terjemahan itu dapat membuat keliru. Alasannya ialah misalnya, para ahli hukum pidana lainnya seperti Curzon, Smith, dan Hogan, mengatakan bahwa mens rea itu tetap ada walaupun seseorang berbuat secara jujur (dengan itikad baik) atau dengan kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya itu sesuai dengan moral dan benar menurut hukum. Selanjutnya Barda menjelaskan bahwa ke dalam mens rea itu dapat dimasukkan pengertian kesalahan yang berbentuk: kesengajaan (intention); kesembronoan (recklessness); kealpaan atau kurang hati-hati (negligence). Karena yang akan menjadi pokok permasalahan nantinya adalah kesalahan, yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan perawatan, maka untuk itu kiranya bentuk recklessness dan negligence, adalah bentuk yang perlu dibahas lebih luas. Seperti halnya dalam pandangan/konsep hukum pidana Eropa Kontinental mengenai dolus eventualis dan mengenai kealpaan yang disadari, maka recklessness 49

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 ini baru terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengambil suatu risiko yang tidak dapat dibenarkan (deliberate taking of an unjustifiable risk). Suatu contoh yang umum ialah apabila A mengendarai mobilnya dengan cepat melalui jalan yang ramai dengan anak-anak sekolah, dengan harapan dapat cepat sampai ke rumahnya. A tidak mengharapkan akan terjadi suatu tabrakan yang melukai orang lain, akan tetapi A dapat membayangkan/memperkirakan kemungkinan terjadinya yang demikian itu. Apabila kemudian ternyata bahwa A menabrak B di jalan yang ramai itu, maka A telah melakukan kesembronoan (recklessness). Lain halnya apa yang dikatakan oleh Abdul Majid, sebagaimana telah diingatkan kepada dokter dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan bahwa pelayanan kesehatan merupakan perpaduan antara keterampilan dan seni yang dibentuk melalui pengalaman dan kepekaan. Oleh karena itu, untuk menentukan kecermatan seorang tenaga medis dalam memberikan pelayanan medis, dapat diukur dengan parameter kecermatan dan ketelitian seorang tenaga medis yang sedang atau normal, yang di dalam doktrin hukum dikenal dengan istilah kemampuan rata-rata.102 1.4.2 Risiko medis Risiko sering diartikan sebagai ketidakpastian (uncertainty) dan kemungkinan akan terjadinya kerugian. Menurut kamus Oxford 103 risiko diartikan sebagai ”kemungkinan menghadapi suatu bahaya, penderitaan, kerugian, kehilangan, dan sebagainya”. Dalam konteks perawatan kesehatan, risiko diartikan sebagai kemungkinan pasien mendapat kerugian fisik (gangguan fisik temporer atau permanen), psikologis (depresi, rasa malu, dan sebagainya), atau kerugian ekonomi (kehilangan mata pencaharian, masa perawatan yang lebih lama). Dalam kehidupan sehari-hari, risiko dapat menyebabkan masalah sekaligus peluang yang menguntungkan bagi orang per orang, praktik dokter, pilihan spesialisasi, rumah sakit, perusahaan, dan sebagainya. Pengertian risiko medis lainnya, (ada yang menyebut dengan kecelakaan medis), karena pada risiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan 102 Abdul Madjid, “Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan” Kumpulan Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran, diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, 2001, hal. 2. 103 The Oxford Illustrated Dictionary, 2nd Revised edition (Great Britain: Oxford University Press, 1975). 50

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pelayanan medis (dalam malapraktik dokter atau dokter gigi dapat dituntut secara hukum). Risiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri. Setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga terjadi. Dengan demikian risiko atau kecelakaan medis ini mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijtbaarheid), dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya (verzienbaarheid). Dalam The Oxford Illustrated Dictionary (1975)104 telah dirumuskan makna kecelakaan medis atau risiko medis, adalah sebagai berikut: suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tak disengaja. Sinonim yang disebutkan adalah, accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck. Guwandi menyatakan bahwa makna risiko medis ini adalah sebagai berikut: setiap tindakan medis, lebih-lebih dalam bidang operasi dan anestesia, akan selalu mengandung suatu risiko. Ada risiko yang dapat diperhitungkan dan ada risiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Maka timbulnya risiko itu harus dibuat seminimal mungkin, misalnya dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan pendahuluan, anamnesis yang teliti atau tambahan tes-tes laboratorium. Jika dalam pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu, maka dilakukan pemeriksaan pendahuluan semestinya lebih teliti. Namun demikian tidak semua tindakan yang tak disengaja termasuk perumusan kecelakaan atau risiko medis karena tindakan kelalaianpun dilakukan tidak dengan sengaja. Bagi para dokter yang mengambil spesialisasi bidang tertentu, misalnya bidang bedah atau kebidanan maka peluang mereka untuk mendapatkan finansial akan jauh lebih besar dibandingkan bidang spesialisasi non-bedah. Namun demikian, mereka memiliki risiko mengalami stres secara psikologis dan tuntutan medisolegal jauh lebih besar dibandingkan profesi lain. Pepatah mengatakan, “high risk high return and low risk low return”. Bagaimanapun, tiap pemberi pelayanan medis dan pasien beserta keluarganya mengharapkan kesembuhan, atau paling tidak mendapatkan pengurangan penderitaan dalam setiap proses transaksi terapeutik. Namun dalam kenyataanya, harapan tersebut tidak selalu dapat terwujud. Dalam tiap 104 Ibid 51

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 proses perawatan atau asuhan medis, hasil yang terjadi dapat bersifat positif atau negatif (lihat gambar berikut). Gambar 1.1. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam asuhan medis asuhan medis hasil positif hasil negatif kesalahan tidak ada cedera tidak sembuh (near miss) kesalahan (meninggal) pasien sembuh bukan kesalahan: akibat kesalahan terkait dengan (membaik) kecelakaan medis; (kelalaian medis) penyakit pasien inherent risk yang berat Hasil positif artinya pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan. Meskipun pasien tersebut sembuh atau membaik, bukan berarti bahwa selama proses perawatan tersebut bebas dari kesalahan. Kesalahan mungkin terjadi, tetapi tidak sampai mencederai pasien. Istilah ini dikenal dengan near miss (nyaris cedera). Hasil negatif artinya pasien tidak sembuh atau bahkan mendapatkan masalah klinis baru yang sebelumnya tidak ada. Pasien tidak sembuh atau kondisi penyakitnya makin memburuk dapat terjadi karena tingkat penyakit sudah sedemikian parah sehingga sekalipun mendapatkan pengobatan yang telah sesuai standar pelayanan medis terkini, tetap saja tidak dapat diperbaiki kondisinya. Misalnya, pasien dengan sepsis yang mengalami gagal organ multiple atau pasien yang mengalami syok yang irreversible. Hasil asuhan medis yang memberi dampak cedera medis bisa merupakan kesalahan medis atau bukan karena kesalahan medis (kecelakaan medis dan inherent risk). Pada situasi lain, ada kalanya pasien mengalami masalah klinis baru setelah mendapatkan tindakan diagnosis, terapi, pembedahan, pemberian obat, atau pemeriksaan laboratorium. Pasien mengalami kerugian baik secara fisik, finansial, maupun sosial. Asuhan klinis yang memberi dampak merugikan bagi pasien dikenal dengan istilah medical error (populer di Amerika) atau adverse events (populer di Inggris) dan atau iatogrenic injury (populer di Australia), dan di Indonesia sering disebut kejadian yang tidak diharapkan atau Kejadian Tidak Diinginkan (KTD). Ada 52

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 berbagai sebutan untuk cedera medis atau kerugian yang dialami pasien kibat suatu prosedur medis, yaitu sebagai berikut: Adverse events/outcome; unintended consequence; unplanned clinical occurance; therapeutic misadventure; peri-therapeutic accident; iatrogenic complication/injury; hospital-acquired complication; harm; medical mishap. Meskipun sering digunakan dengan maksud yang sama, sebenarnya ada perbedaan antara medical error dan adverse events. Medical error lebih menekankan pada kesalahan dalam proses (kesalahan dalam pemberian obat, kesalahan dalam identifikasi pasien, dan sebagainya). Sementara, adverse error lebih menekankan pada akibat suatu kesalahan (pasien mengalami cedera fisik, psikologis, atau kerugian finansial). Secara khusus, adverse events dapat diartikan sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan, kematian atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manejemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita. Di Indonesia, istilah ini dikenal dengan KTD didefinisikan sebagai suatu cedera (injury) yang disebabkan oleh manejemen medis (bukan karena penyakit yang diderita pasien) sehingga mengakibatkan perpanjangan masa rawat inap di rumah sakit dan menyebabkan suatu gangguan fisik (disability) pada saat keluar dari rumah sakit, atau keduanya. Sementara, negligence atau kelalaian (negligence) diartikan sebagai suatu perawatan medis yang berada di bawah standar (substandard) yang telah disepakati oleh komunitas dokter. Sebagaimana telah diuraikan di awal, bahwa transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien bentuknya adalah inspanning verbintenis (perjanjian upaya) karena dokter atau dokter gigi tidak memberikan jaminan akan penyembuhan pasien. Dalam pengertian ini yang dapat dipertanggungjawabkan adalah upaya atau usaha maksimal dokter atau dokter gigi dalam upaya melakukan pelayanan medis, jadi bukan terletak pada hasilnya. Oleh karena itu, apabila seorang dokter telah berusaha semaksimal mungkin melakukan pelayanan medis dengan memenuhi persyaratan standar yang telah ditetapkan, namun tetap juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti misalnya meninggalnya pasien atau gagal dalam upaya penyembuhan sakit pasien, atau tidak sepenuhnya bisa sembuh dari penyakit semula, maka untuk kasus semacam ini dokter atau dokter gigi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin dengan segenap ilmu, kepandaian, keterampilan 53

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 serta pengalaman yang, dimilikinya disertai sikap hati-hati dan teliti menyembuhkan pasiennya. Dalam kasus-kasus risiko atau kecelakaan medis semacam ini dokter atau dokter gigi mendapat perlindungan hukum pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya terdapat pada Pasal 24 ayat (1), yang berbunyi: “Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional” juncto Pasal 27 (1), yang berbunyi, “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”. Dalam Undang-Undang, Nomor 29 Tahun 2004 hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Aturan lebih lanjut tentang hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun sayangnya sampai ditulisnya buku ini aturan dimaksud belum pernah ada. 1.5 Fenomena malapraktik di Indonesia Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena malapraktik di Indonesia bukan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Praktik kedokteran yang menyimpang dari standar prosedur kedokteran akan menimbulkan malapraktik dan yang menariknya lagi kasus malapraktik selalu dialami oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Tidak seragamnya data malapraktik di Indonesia karena tiap lembaga pendamping masyarakat selalu mempunyai daftar kasus yang berbeda-beda. Bahkan lembaga negara yang berwenang, misalnya Departemen Kesehatan, lembaga organisasi kedokteran, tidak memiliki data yang akurat. Data yang didapat dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, terhadap kasus malapraktik di Indonesia, sangat mencengangkan. Dari dua lembaga tersebut apabila diinventarisasi kembali, maka sampai saat ini kasus malapraktik di Indonesia tercatat sebanyak 387 kasus dugaan malapraktik. Dari jumlah kasus tersebut, hanya 10% yang masuk ke pengadilan, dari 10% tersebut, sampai saat ini, sedikit kasus yang dimenangkan oleh pengadilan, yakni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 54

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sebuah media cetak di Jakarta, mengungkapkan setidaknya di Jakarta Pusat terdapat 3.085 dokter spesialis dan umum yang melakukan praktik secara perseorangan, praktik bersama di klinik 24 jam, di RS daerah, RS umum dan RS swasta. Dari 3.085 tersebut, sekitar 2.468 tidak memiliki izin praktik105. Dari sisi kelengkapan administrasi kedokteran saja, di wilayah Jakarta Pusat hampir 80% dari total dokter yang ada, tidak memiliki izin. Hal inilah yang membuat masyarakat semakin ”tidak percaya” bahwa penyelesaikan malapraktik di pengadilan akan jelas dan transparan. Sebagai pelengkap derita masyarakat, pemerintah pada tahun 2004 telah mengundangkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang efektif berlaku sejak 6 Oktober 2005. Secara operasional, dikeluarkan juga Peraturan Permenkes No 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaran Praktik Dokter dan Dokter Gigi, juga dikeluarkan peraturan mengenai Konsil Kedokteran Indonesia No 1/2005, yang pada intinya, tujuan peraturan-peraturan tersebut adalah untuk mengatur kegiatan praktik kedokteran yang dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat kedokteran dan perlindungan kepada pasien dari tindakan malapraktik. Namun tetap saja, korban malapraktik masih banyak terjadi. Berikut ini, akan dipaparkan beberapa kasus ”dugaan” malapraktik di Indonesia. Tujuannya tidak untuk objek penghakiman, tetapi masih memegang prinsip ”praduga tak bersalah”, yaitu sebelum dinyatakan bersalah oleh Pengadilan, belum bisa dikatakan dugaan tersebut sebagai sebuah tindak pidana. Maksud untuk menguraikan kasus-kasus tersebut, tidak lain hanyalah untuk perbandingan paparan karena kasus tersebut adalah nyata terjadi dalam masyarakat sehingga perlu untuk dipaparkan. Data mengenai dugaan malapraktik ini diperoleh dari berbagai sumber Media Cetak, yang masih perlu dipertanyakan tentang kesahihan data, meskipun di pihak lain, ada beberapa kasus dari putusan Pengadilan yang dipaparkan juga. Beberapa dugaan malapraktik tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Kesemutan yang berakibat kelumpuhan. Kasus dugaan malapraktik ini terjadi pada pasien Christ, warga Jalan Mangga, Kelapa Duri, Jakarta Barat, berawal dari kaki kanannya yang terasa pegal, hangat dan kesemutan sejak tahun 2001. Korban kemudian datang ke RS Husada, Mangga Besar. dr. Subroto, memberikan obat untuk diminum selama tiga bulan. Namun, kondisi kaki korban 105 Warta Kota, 14 Agustus 2004. 55

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 kian memburuk. Selanjutnya, korban disarankan untuk dirontgent, hasilnya ada tumor di kaki (tumor lipoma pada saraf ke L3-4-5). Dokter mengatakan Christ harus dioperasi untuk menghindarkan dari kelumpuhan dengan biaya sebesar Rp.40 juta pada Juli 2001. Saat operasi dilakukan, dr Subroto mengatakan bahwa operasi dapat dilanjutkan dengan risiko kaki korban akan lumpuh selamanya. Setelah menjalani operasi, keadaan Christ makin memburuk, tidak bisa berjalan, dan pinggangnya terasa sakit ketika akan bangun dari tidur. Kemudian Christ berobat ke dr. Jimmy Sugiharta di RS Mitra Kemayoran, setelah menjalani operasi pada tanggal 1 April 2002, kondisinya justru makin buruk, selain lumpuh juga tidak bisa buang air kecil secara normal. Menurut dokter, apa yang dialami oleh Christ merupakan risiko operasi. Kasus ini telah dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan untuk yang ke-37 kalinya ke Polda Metro Jaya. 2. Tanggal 7 Oktober 2004 LBH Kesehatan mengadukan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke Polda Metro Jaya karena salah satu dokternya diduga melakukan malapraktik. Fahrurozi, dokter yang memasang alat CVP (Central Vena Pressure) telah lalai sehingga menyebabkan kematian. Fahrurozi diadukan telah melanggar pasal 359 KUHP yang diancam hukuman lima tahun penjara. Ia dianggap telah melakukan kelalaian berupa kesalahan pemasangan alat CVP pada istri kliennya, Adya Vitri Harisusanti sehingga menyebabkan kematian pada 20 Desember 2002. Kasus ini berawal ketika Indra membawa istrinya yang sedang sekarat ke RSCM pada 17 Desember 2002. Setelah melalui pemeriksaan radiologi nuklir, Adya divonis mengalami kebocoran di bagian usus sebanyak dua lubang. Namun karena kondisi pasien yang sedang sesak napas dan tangannya sulit untuk dilakukan pemasangan infus atau transfusi maka disarankan dipasang di bagian leher. Fahrurozi kemudian melakukan pembiusan pertama dengan mengganjal pundak pasien dan kemudian mulai memasangkan alat CVP itu ke antara bagian leher dan pundak. Setelah sekian lama mencari-cari lokasi untuk pemasangan alat CVP tetap tidak diketemukan, maka Adya kemudian kembali diberikan pembiusan melalui suntikan dengan dosis yang lebih banyak. Fahrurozi kembali menggunakan CVP ke tempat yang sama dan darah mengalir masuk ke tabung suntikan tersebut. Saat itu pula, Adya tersentak, matanya ke atas dengan mulut terbuka. Fahrurozi yang panik memanggil nama 56

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 pasien tersebut sambil menggoyang-goyangkannya. Ia memerintahkan suster untuk mengambil peralatan darurat. Suami pasien yang menemani saat itu juga menolong dengan menekan dadanya. Namun detak jantung Adya tidak merespons lagi, Adya meninggal karena karena kesulitan bernapas. Fahrurozi adalah dokter resident yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialisasi anestesi di RSCM. 3. Tanggal 30 September 2004, Dherens Kusnanto, bayi berusia 3 tahun mengalami cacat pada kakinya pada waktu dilahirkan di RS Medistra. Orang tua Dherens Kusnanto sudah dua kali mengajukan somasi atas kejadian tersebut, namun pihak RS Medistra tetap bersikukuh bahwa kejadian yang mengakibatkan patahnya tulang paha Dherens saat dilahirkan secara caesar, bukanlah kesalahan rumah sakit. Dalam persalinan itu juga, Ana (ibunda Dherens Kusnanto) mengaku mendapat luka bakar di betis kirinya karena suatu alat untuk melakukan operasi caesar. Janji dokter, bahwa kaki Dherens akan kembali normal setelah 2 - 3 bulan usianya, ternyata tidak terbukti. Sampai saat ini, memasuki umur ke 3, paha kanan Dherens masih nampak sebesar hampir dua kali paha kirinya. 4. Rumah Sakit St. Carolus salah menangani pasien bernama Martha Manulang, berumur 25 tahun yang menyebabkan kematian pada tanggal 25 Februari 2005. Kasus ini berawal dari pada tanggal 27 Desember 2004, ketika Martha mengalami sakit tenggorokan dan suhu badan yang tinggi berobat ke RS MH Thamrin, namun RS ini merujuk ke RS St Carolus dan kemudian dirawat selama 1 bulan. dr. Haris Akman, dokter yang merawat Martha menyatakan Martha telah sembuh dan diizinkan untuk pulang. Malam hari sebelum Martha pulang, dr Indro, dokter spesialis THT memberikan suntikan ”vitamin” ke tubuh Martha. Karena suntikan tersebut, dari dalam tubuhnya keluar bintik merah, dan suhu badan kembali tinggi. Beberapa saat kemudian Martha mengalami kejang-kejang dan langsung tak sadarkan diri, keadaan ini dialami Martha selama 3 minggu hingga akhirnya meninggal dunia. Menurut keterangan dr. Cristian, dokter yang bertugas di UGD, mengatakan Martha terkena penyakit suspect steven jhonson syndrome. Namun, pihak keluarga tidak dijelaskan lebih terperinci lagi penyakit ini sejak Martha berobat ke RS St Carolus tersebut. 5. Tanggal 21 September 2005 bertempat di RSU Kudus, Alfrido yang berumur 7,5 tahun, anak pasangan Bambang 36 tahun dan Hartini 35 tahun, yang beralamat di 57

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 RT 1 RW 6 Desa Pasuruan Lor, Kecamatan Jati, Kudus, sekitar pukul 14.30 meninggal dunia. Alfrido adalah siswa kelas II SDN Puwosari I, Desa Purwosari, Kecamatan Kota, Kudus yang dirawat di RSU Kudus karena mengidap amandel. Alfrido yang mulai masuk ke RSU Kudus pada hari Senin, 19 September untuk persiapan dilakukannya operasi yang dijadwalkan pada hari Rabu, 21 September 2005. Pada hari Rabu, operasi amandel dilakukan di ruang Cempaka, pada pukul 09.00 WIB. Operasi yang dipimpin oleh ahli THT bernama dokter Tris tersebut, sempat mundur sampai pukul 11.00 WIB. Tanpa alasan yang jelas, kemudian Alfrido menuju ke ruang ICU melewati pintu belakang, tanpa sepengetahuan pihak keluarganya yang sedang menunggu dilakukannya operasi. Tak jelas apa yang terjadi saat itu, tapi yang jelas, sejumlah anggota keluarga melihat para tenaga medis di tempat tersebut berjalan hilir mudik, sepertinya menghadapi suatu hal yang gawat. Tiba-tiba pada pukul 17.00 WIB ada seorang tenaga medis yang memberi tahu bahwa Alfrido telah meninggal dunia. Ketika kali pertama melihat mayat bocah tersebut, bagian dadanya terlihat mengeras, sedangkan muka dan punggungnya juga terlihat membiru. Ketika keluarganya menanyakan penyebab kematian Alfrido, Kepala Bidang Pelayanan Medis dan Keperawatan, dokter Luluk Adi Pratikto Sp.P, menjelaskan bahwa semua prosedur perawatan telah dilakukan dengan cara yang proporsional, kematian disebabkan karena adanya kelemahan dinding saluran pernapasan. Kondisi tersebut dipicu oleh pasokan oksigen yang terlalu besar di organ tersebut. 6. Gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Rumah Sakit Kodam Tingkat I / Bukit Barisan (Rumkit I/BB) yang dilakukan oleh dr. Tiu dan drg. RB. Kasus Malapraktik yang dilakukan oleh kedua dokter tersebut berawal dari Robinson Lumbantobing, yang mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Jl. Putri Hijau Medan, pada tanggal 13 Juli 2000. Pada saat kejadian, Robinson yang mengalami luka pada dahi sebelah kiri, berjalan kaki menuju Rumkitdam I/BB, setibanya di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit tersebut masih sempat berbicara dan memberikan nomor telepon kepada perawat. Tidak lama pihak keluarga datang dan korban/penggugat masih dalam keadaan sadar. Sekitar pukul 20.00 WIB, dokter jaga yang bernama Lal menjelaskan bahwa korban harus menjalani tindakan medis operasi, namun tidak dijelaskan apa alasannya, kecuali hanya meminta pihak keluarga untuk menandatangani persetujuan tindakan tersebut. 58

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Namun, permintaan itu ditolak meskipun terus didesak. Pada tanggal 13 Juli 2000 sekitar pukul 21.30 WIB, dr. Tiu melakukan tindakan medis berupa 'general anesthesis' (pembiusan total). Selanjutnya, dalam gugatan dikemukakan, tindakan medis tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan fatal, apalagi tidak perlu dilakukan operasi pada luka di dahi korban. Akibatnya, Robinson Lumbantobing mengalami cacat permanen seumur hidup. Berikut adalah dua kasus malapraktik yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan Negeri (PN), yaitu PN Cibinong dan PN Jakarta Selatan. Dengan telah dikuatkannya dugaan malapraktik oleh putusan PN dan putusan tingkat lanjutnya tersebut, maka bukan lagi sebagai dugaan malapraktik tetapi memang sebuah kelalaian tindakan medis (malapraktik). Paparan kasus ini adalah sebagai berikut. 1. Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No. 126/Pdt.G/2003/PN.Cbn. Kasus gugatan atas malapraktik dokter, dengan kronologi kasus sebagai berikut. Pada awal bulan Maret 2003, Shanti Marina mengalami pusing-pusing kepala disertai suhu badan tinggi (seperti demam) sehingga Shanti Marina datang untuk memeriksakannya kepada Rumah Sakit Puri Cinere (RSPC) yang kemudian ditangani oleh dr. Maas, Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang bekerja selaku Dokter Spesialis Penyakit Dalam pada RSPC. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, dr. Maas menyatakan bahwa pusing-pusing dan suhu badan tinggi yang dialami Shanti Marina kemungkinan disebabkan amandel yang sakit dan membengkak sehingga dr. Maas menyarankan dan merekomendasikan agar Shanti Marina memeriksakannya kepada dr. Wardhani, Sp.THT selaku Dokter Spesialis THT yang bekerja/berpraktik pada RSPC. Setelah mendapat saran dan rekomendasi dari dr. Maas tersebut, Shanti Marina memeriksakan penyakitnya kepada dr. Wardhani, Sp.THT. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, dr. Wardhani, Sp.THT menyatakan bahwa amandel Shanti Marina kelihatan membesar/membengkak dan menyarankan agar amandel tersebut diangkat/dioperasi, kalau tidak penyakit tersebut tidak akan sembuh dan sewaktu-waktu bisa kambuh lagi. Operasi amandel adalah operasi yang masuk kategori operasi ringan dan sudah sering dilaksanakan, tetapi Shanti Marina tetap khawatir adanya akibat buruk/sampingan dari operasi tersebut. Untuk itu Shanti Marina telah menanyakan kepada dr. Wardhani, Sp.THT, dokter menyatakan tidak akan ada efek sampingan dari operasi amandel Shanti Marina. Oleh karena 59

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 percaya dengan keterangan dr. Wardhani, Sp.THT tersebut, Shanti Marina menyetujui dilakukannya operasi terhadap amandel Shanti Marina. Operasi dilakukan pada tanggal 31 Maret 2003 yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT di RS Puri Cinere, sebelum operasi dilakukan dr. Wardhani, Sp.THT mengharuskan Shanti Marina melakukan pemeriksaan/tes darah dan rontgen paru-paru yang hasilnya menyatakan Shanti Marina dalam keadaan baik dan siap untuk menjalani operasi amandel. Satu hari setelah dilakukan operasi Shanti Marina merasakan adanya perbedaan pada suaranya yang sebelum dioperasi dalam keadaan baik/normal, akan tetapi setelah dioperasi berubah menjadi sengau/bindeng dan ketika ditanyakan kepada dr. Wardhani, Sp.THT dikatakan penyebabnya adalah luka operasi karena operasi baru dilakukan. Pada hari Senin tanggal 14 April 2003, Shanti Marina datang kepada Tergugat untuk melakukan pemeriksaan dan konsultasi rutin hasil operasi yang telah dilakukan. Pada pertemuan itu dr. Wardhani, Sp.THT merasa heran dan bertanya mengapa suara Shanti Marina menjadi sengau/bindeng, padahal 1 (satu) hari setelah operasi, dr. Wardhani, Sp.THT sudah diberitahu bahwa akibat operasi, suara Shanti Marina berubah menjadi sengau/bindeng. Setelah dilakukan pemeriksaan dr. Wardhani, Sp.THT menyatakan bahwa sengau/bindengnya suara Shanti Marina disebabkan masih adanya luka operasi yang masih dalam masa pemulihan. Sejak hari konsultasi pada dr. Wardhani, Sp.THT mengenai sengaunya suara Shanti Marina, belum ada perubahan pada suara Shanti Marina sehingga pada tanggal 13 Mei 2003 Shanti Marina melakukan pemeriksaan dan konsultasi kepada dr. Retno Wardhani, Sp. THT, dokter spesialis lainnya pada RSPC, setelah dilakukan pemeriksaan dengan alat sinuscopy dinyatakan bahwa tulang belakang dengan langit-langit atas daerah kerongkongan tidak rapat sehingga ada angin yang masuk mengakibatkan suara di hidung. Untuk memastikan penyebab berubahnya suara dan keluhan lain yang timbul setelah operasi, maka pada tanggal 26 Mei 2003 Shanti Marina memeriksa dan mengkonsultasikannya kepada dokter spesialis THT lainnya yaitu, Prof. Dr. Hendarto Hendarmin, Sp THT, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan bahwa tulang sebelah kiri lebih pendek dari sebelah kanan yang seharusnya sama-sama panjang. 60

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan kedua dokter spesialis tersebut, maka patut diduga dr. Wardhani, Sp.THT telah melakukan kesalahan sewaktu operasi amandel Shanti Marina dengan kata lain operasi yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT tidak sesuai dengan prosedur standar pelayanan profesi maupun standar pelayanan medis. Akibat operasi yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT, mengakibatkan Shanti Marina menderita: a. Suara menjadi sengau/bindeng sehingga tidak bisa berkomunikasi secara normal; b. Napas menjadi pendek; c. Kalau bicara terkadang tertahan karena napas yang pendek; d. Kalau menguap langit-langit dan tulang sebelah kiri kerongkongan terasa sakit seperti tertarik; e. Jika minum dan makan tidak nyaman seperti ada yang mengganjal dan keluar dari hidung. Shanti Marina menyatakan bahwa perbuatan dr. Wardhani, Sp.THT yang telah melakukan operasi tidak sesuai dengan prosedur pelayanan profesi dan standar pelayanan medis mengakibatkan suara Shanti Marina seperti yang disebutkan di atas adalah perbuatan melawan hukum. Dengan memperhatikan bahwa dr. Wardhani, Sp.THT melaksanakan tugasnya melakukan operasi amandel terhadap Shanti Marina di tempat RSPC, maka RSPC juga harus bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas selanjutnya Shanti Marina menggugat dr. Wardhani, Sp.THT melalui Pengadilan Negeri supaya memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu sebagai berikut: “………..(3). Menyatakan dr. Wardhani, Sp.THT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan RSPC turut bertanggung-jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT; (4). Menghukum dr. Wardhani, Sp.THT dan RSPC secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp. 1.020.825.375,- (satu milyar dua puluh juta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah)……..”. Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Cibinong telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 126/Pdt.G/2003/PN.Cbn. tanggal 20 Juli 2004 yang amarnya sebagai berikut : 61

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 “…….Menyatakan dr. Wardhani, Sp.THT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan RSPC turut bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dr. Wardhani, Sp.THT; Menghukum dr. Wardhani, Sp.THT dan RSPC secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi materiel dan immateriel kepada Shanti Marina sebesar Rp.520.825.375,- (lima ratus dua puluh juta delapan ratus dua puluh lima ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) dengan perincian 70% kewajiban dr. Wardhani, Sp.THT dan 30% kewajiban RSPC……..”. Dalam tingkat banding atas permohonan dr. Wardhani, Sp.THT /Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusan No. 511/Pdt/2004/PT.Bdg. tanggal 18 Agustus 2005. 2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1809/Pdt.G/2006/PN.Jak.Sel Kronologis dugaan malapraktik adalah sebagai berikut: bahwa Pitra Azmirla dan Damitra Almira adalah anak perempuan dari Darmoko Slamet dengan istrinya Sita Dewati, dimana Darmoko Slamet telah meninggal dunia pada tanggal 20 September 1999 di Jakarta sedangkan Sita Dewati Darmoko meninggal dunia pada tanggal 9 Mei 2006 di Jakarta, dengan demikian, keduanya merupakan ali waris yang sah dari almarhum Darmoko Slamet dan almarhumah Sita Dewati Darmoko. Semasa hidupnya, alm Ny. Sita Dewati Darmoko pernah mendapat perawatan dan tindakan medis operasi tumor kista ovarium di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) pada tahun 2005 dengan ketua tim Prof. dr, Ichramsyah, dr. Hermansyur Kartowisastro SpB-KBD sebagai operator II, Prof. Dr. I Made Nazar, Sp.PA sebagai konsultan PA, dr. Emil Taufik, Sp.PA selaku konsultan PA, dr. Mirza Zoebir, Sp.PD selaku konsultan Penyakit dalam, dan dr. Bing Widjaja, Sp.PK selaku Kepala Laboratorium. Pada tanggal 12 Februari 2005, dilakukan pemeriksaan Phatology Anatomy (PA) terhadap Ny. Sita Dewati Darmoko sehubungan dengan tumor yang dideritanya terbukti bahwa menurut laporan dari Prof. Dr. I Made Nazar Sp.PA pada Ny. Sita Dewati Darmoko tidak tampak tanda ganas pada tumor yang dideritanya. Namun ketika tanggal 16 Februari 2005 dilakukan pemeriksaan PA di RSPI karena ada keluhan benjolan di sekitar perutnya, yang pada saat itu Ny. Sita Dewati bertemu dengan dr. Hemansyur Kartowisastro, diketahui hasil PA tertanggal 16 Februari 2005 ternyata tumor ovarium pada saat operasi tanggal 12 Februari 2005 tersebut adalah tumor ganas dan hasil pemeriksaan tertanggal 16 Februari tersebut tidak disampaikan oleh para tergugat kepada almarhum 62

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 maupun ahli warisnya sehingga almarhum atau ahli warisnya masih berkesimpulan tidak terdapat indikasi tumor ganas pada diri almarhum. Pada bulan November 2005, almarhum terpaksa dibawa kembali ke RSPI, karena kondisi yang semakin kritis, suhu tubuhnya tinggi dan khawatir terkena demam berdarah. Pemeriksaan dilakukan oleh dr. Mirza Zoebir, di mana hasil pemeriksaan tidak jelas, katanya verdacht typhus, namun melihat Medical Record almarhum pada bulan Februari 2005, tanpa memperhatikan hasil PA tertanggal 16 Februari 2005, menyarankan tindakan-tindakan sebagai berikut. a. Tanggal 7 November 2005: 1) Jenis pemeriksaan: USG Abdomen 2) Radiologist dr. Chandra J 3) Kesan: Hepatemagalie dengan tanda-tanda chronic hepatic disease, tampak dua mass nodule pada lobus kanan hepar (ukuran ±2,0 cm dan ±1,2 cm) tak menyingkirkan adanya Maligannicy, usul dilakukan CT Scan Abdomen untuk konfirmasi lebih lanjut; b. Tanggal 8 November 2005: 1) Jenis pemeriksaan: CT scan Abdomen (minar hepar); 2) Radiologist : hanya tanda tangan, tidak ada nama tertulisnya 3) Kesan: tampak Inhomo Genous mass kecil-kecil ukuran 1,9 X 1,7 X 1,5 cm dan 1,4 X 1,1 X 1,5 cm berbatas tegas, hypodens, lekat dekat kubah liver dengan adanya minimal rimenhanceme dan internal- inhomogenecity, tak tampak bercak calcificasi, susp. Proses meta (DD/multiple hepatic cyst). Menurut dr Mirza Zoebir, ada sesuatu di liver almarhumah tetapi belum perlu diapa-apakan. Pada bulan Februari 2006, almarhum kembali menemui Prof. dr. Ichamsjah karena ada keluhan dan terus dirasakan bahkan ada benjolan yang sangat terasa di sebelah kiri perut. dr Ichramsjah merekomendasikan kepada dr. Hermansyur berhubung benjolan tersebut bukan areanya. Almarhum kemudian membuat janji dengan dr. Hermansyur, dan setelah keduanya ketemu disarankan untuk CT Scan pada tanggal 15 Februari 2006. Berdasarkan CT Scan disimpulkan bahwa almarhumah mengalami kanker liver stadium 4, dan dr. Hermansyur mengalihkan kembali penanganan penyakit ke dr. Ichramsjah 63

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 dengan alasan bahwa dr. Hermansyur bukan yang menangani pertama kali masalah penyakit almahhumah. Atas saran dan bantuan teman lama, almarhumah melakukan pemeriksaan di RS lain dan ditangani oleh dr. Aru di RS Meditra. dr. Aru kemudian melakukan pemeriksaan sampel jaringan tumor untuk diteliti di Singapura. Hasil pemeriksaan di Singapura tertanggal 6 Maret 2006 oleh dr. Wong Su Yong (Consultant Patologist Glen Eagle Hospital) kesimpulannya adalah Further review of 2 poorly prepared paraffin blocks an H&E stained sections: a. 1 blocks consistent with a moderately differentiated endometrioid adenocarcinoma of the ovary; b. 1 blocks consistent with an endometrial tumor of borderlinemalignancy with focal endocervical meteplasia. Disimpulkan terdapat tumor ganas pada diri almarhumah dan atas perbedaan hasil tersebut kemudian diputuskan bersama baik dari dr. Aru dan keluarga almarhumah untuk dilakukan kemo sebanyak 6 kali. Tanggal 16 April 2006, kondisi almarhumah menurun, dan dr. Aru menyarankan untuk CT Scan Brain tertanggal 18 April 2006. Jenis pemeriksaan: CT Scan Brain. Radiologist : dr. Sri Inggriani Sp.Rad. Kesan: Lacunar infarct kecil di periventrikuler kanan area oedema dengan focus nodul kecil di daerah cortical subcortical lobus parietalis posterior, bisa dicurigai sebagai focus metastasis dini. Bahwa terlihat proses penanganan medis selanjutnya pasca 16 Februari 2005 dimana pihak para tergugat telah lalai menyampaikan rekam medis PA tanggal 16 Februari 2005 tersebut sehingga berakibat dari waktu ke waktu kesehatan almarhumah terus saja merosot, bahwa para dokter RSPI sempat terkejut dan terkesan tidak tahu-menahu dengan hasil PA yang menyatakan adanya tumor ganas. Pengadilan dengan bertitik tolak dari seluruh uraian pertimbangan di atas, dimana Para Tergugat (Tergugat I: PT. Guna Medistama, Tergugat II: dr. Hermansur Kartowisastro, Sp.B-KBD, Tergugat III: Prof. dr. Icharmsjah A. Rachman, Sp.Og, Tergugat IV: Prof. dr. I Made Nazar, Sp.PA, Tergugat V: dr. Emil Taufik, Sp.PA, Tergugat VI: dr. Mirza Zoebir, Sp.PD, Tergugat VII: dr. Bing Widjaja, Sp.PK, Turut Tergugat: Komite Medis RS Pondok Indah) telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum, maka menurut Pengadilan adalah beralasan Para Tergugat dihukum secara tanggung renteng 64

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 untuk membayar ganti kerugian materil kepada Penggugat, hal mana sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata yang menegaskan bahwa: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan kepada orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian”. Enam kasus dugaan malapraktik dan dua kasus putusan malapraktik yang kami uraikan tersebut di atas, cukup membuktikan bahwa pasien yaang berobat ke RS tidak mendapat kepastian akan kesembuhannya. Justru sebaliknya cenderung menjadi korban dugaan malapraktik oleh dokter yang menanganinya. Ketujuh kasus tersebut merupakan sebagian kecil dari kasus dugaan malapraktik yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang kami peroleh di LBH Kesehatan106, pada tahun 2004 saja, terdapat sebanyak 20 korban malapraktik yang mengadukan ke Polda Metro Jaya Jakarta. Keduapuluh korban tersebut dapat disimak pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Dugaan Malapraktik yang dilaporkan ke Polda Metro per 2004 No Tanggal Korban Terlapor Kasus 1 23 April Wulan Yulianti RSCM Meninggal dalam operasi usus 2 28 April Lucy Maywati RS Bersalin YPK Penggelapan medical record 3 7 Juni Jeremia Sitorus RS Budi Lestari Operasi caesar 4 12 Juni Mindo Sihombing RS Persahabatan Operasi hernia 5 30 Juni Lucy Maywati RS Bersalin YPK Operasi caesar 6 12 Juli Kundrat Adriansah Amal Peduli Seribu Perbuatan tidak menyenangkan 7 13 Juli Ngatmi RS Persahabatan Operasi payudara 8 15 Juli Rochati RSUD Tarakan Operasi payudara 9 26 Juli Revi Anastasia RS Cikini Keracunan obat 10 10 Agustus Revi Anastasia Apotik RS Cikini Perbuatan tidak menyenangkan 11 18 Agustus Fellina Azzahra RS Karya Medisa Operasi usus buntu Cibitung 12 3 September Anggi dan Anjeli RSCM Pembiaran pasien 13 6 September Maena Nurrochma RS Setia Mitra Operasi usus 14 8 September Andreas Paska RS Pasar Rebo Kelahiran mengakibatkan cacat 106 Hasil wawancara dengan Iskandar Sitorus. 65

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 15 15 September Fellina Azzahra RS Karya Medisa Operasi usus buntu Cibitung 16 16 September Leonardus WPH RS Siloam Tangerang Perbuatan tidak menyenangkan 17 28 September Farel Davin RSIA Evasari Operasi caesar Rawamangun 18 28 September Leonardus WPH RS Siloam Tangerang Perbuatan tidak menyenangkan 19 28 September Lexiano Hamsalim RS Medistra Infeksi operasi jantung 20 30 September Dherens Kusmanto RS Medistra Operasi caesar Data : LBH Kesehatan Data tersebut adalah data yang di dapat dari 1 lembaga dalam kurun waktu 1 tahun. Lembaga lain seperti YLKI atau lembaga bantuan hukum lainnya yang menangani korban malapraktik belum teridentifikasi secara jelas. Diperkirakan dalam tiap tahun telah terjadi lebih dari 100 kasus malapraktik di Indonesia. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sepertinya lebih bersikap defense terhadap adanya fenomena ini. Bahwa tidak dapat dipungkiri juga, kasus-kasus malapraktik tersebut satu dari keseluruhannya ada kepastian memang diakibatkan adanya kelalaian dari si dokter itu sendiri. Bahkan data yang diperoleh dari Majelis Kohormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sejak dibentuk pada tahun 2006, MKDKI telah menerima 6 pengaduan, pada tahun 2007 MKDKI menerima 7 pengaduan, pada tahun 2008, MKDKI menerima 19 pengaduan, dan sampai dengan Desember 2009, MKDKI menerima 36 pengaduan. Hal ini menandakan, bahwa dari tahun ke tahun jumlah aduan masyarakat terhadap ketidakpuasan kinerja profesi kedokteran semakin meningkat. Namun demikian, dari keseluruhan jumlah pengaduan yang masuk ke MKDKI tersebut, tidak seluruh pengaduan tersebut dapat membuktikan bahwa dokter telah melakukan kelalaian atau kesalahan. Berdasarkan data yang ada di MKDKI, dari total pengaduan yang diterima sejak tahun 2006, bidang kedokteran yang menjadi objek aduan beragam, bahkan juga ada bidang yang bukan menjadi bidang kedokteran. Bidang-bidang itu antara lain: kedokteran umum; kedokteran gigi; bedah; obgyn; anak; penyakit dalam; paru; jantung; saraf; forensik; jiwa; THT; Rontgen; akupuntur. Meskipun saat ini MKDKI hanya ada di Jakarta sebagai pusat pemerintahan, tidak menutup kemungkinan, bahwa pengaduan tersebut berasal dari daerah yang dapat dilihat melalui Tabel 1.3. 66

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Tabel 1.3. Jumlah Pengaduan Dugaan Malapraktik yang Diterima oleh MKDKI dari Berbagai Daerah Tahun 2006-2009 Jumlah Aduan Per Tahun No. Daerah 2006 2007 2008 2009 Total Aduan 1. DKI Jakarta 5 4 10 15 34 2. Lampung 1- -- 1 3. Surabaya 1- -- 1 4. Banjarmasin 1- -- 1 5. Solo 1- -- 1 6. Tangerang -22- 4 7. Cirebon -1- - 1 8. Semarang -1- - 1 9. Yogyakarta -1-1 2 10. Riau -1- - 1 11. Sorong -1- - 1 12. Medan - -1- 1 13. Bandung - -1- 1 14. Batam - -1- 1 15. Bengkulu - -1- 1 16. Kalimantan Barat - - 12 3 17. Bogor - -1- 1 18. Depok - -1- 1 19. Jawa Timur -- -4 4 20. Kepulauan Riau -- -2 2 21. Sumatera Utara -- -3 3 22. Sulawesi Selatan -- -1 1 23. Sulawesi Tengah -- -1 1 24. Jawa Barat -- -3 3 25. Banten -- -4 4 Total Jumlah Pengaduan 9 11 19 36 75 Sumber : Data MKDKI Hal ini memperlihatkan bahwa dengan banyaknya jumlah aduan yang berasal dari daerah, MKDKI Propinsi segera dibentuk sebagai wadah untuk menyelesaikan permasalahan sengketa medis antara dokter dengan pasien. Secara historis dan dilihat dari tujuan pembentukannya, banyaknya jumlah aduan masyarakat ke MKDKI memperlihatkan, bahwa sebenarnya masyarakat sudah pesimis dengan hasil penyelesaian yang selama ini diselesaikan oleh pengadilan. Proses yang berlarut-larut dan memakan biaya yang tidak sedikit, menyebabkan, saat ini masyarakat beralih ke 67

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 penyelesaian melalui MKDKI, karena sebagai lembaga yang independen yang tujuannya untuk memeriksa kinerja dokter, apakah telah memenuhi disiplin yang ditetapkan atau tidak. Berbeda dengan penyelesaian melalui Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), yang mana dominasi pihak yang menyelesaikan berasal dari kalangan dokter sendiri, sehingga subjektivitas penyelesaiannya berpengaruh sangat dominan. Hasil pemeriksaan MKDKI terhadap aduan yang selama ini ditangani oleh MKDKI adalah dari seluruh aduan, sebanyak 13 aduan bukan menjadi jurudiksi dari MKDKI; 2 aduan dihentikan karena alasan teknis; dan 20 aduan dinyatakan bahwa dokter telah melanggar disiplin kedokteran. Dari 20 aduan tersebut, 7 dokter diberi peringatan tertulis; 1 dokter dicabut STR/SIP selama 4 bulan; 2 dokter dicabut STR/SIP selama 3 bulan; 2 dokter dicabut STR/SIP selama 2 bulan; dan 4 dokter harus direedukasikan. Hal tersebut harus dieleminasi bahkan diberantas. Namun, sebaiknya harus ada kesepakatan terlebih dahulu mengenai pengertian malapraktik kedokteran, setelah itu baru dibahas mengenai apakah pasien dapat menggugat dengan UU Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen atau tidak. Proses pelayanan medis sendiri dimulai dari wawancara medis (dokter menanyakan gejala-gejala yang terjadi pada pasien), pemeriksaan fisik maupun penunjang, penegakan diagnosis, perawatan atau terapi, serta yang tidak kalah penting adalah informasi/konseling. Sepanjang prosedur tetap (protap) dalam pelayanan medis telah diikuti dokter sesuai dengan kompetensinya, maka apapun hasil dari pelayanan medisnya tidak bisa disebut malapraktik, meskipun pasien yang dirawat menjadi cacat atau meninggal. Meski dokter telah memenuhi protap, terjadinya malapraktik dipengaruhi oleh banyak faktor seperti daya tahan tubuh tiap pasien yang berbeda- beda; faktor lingkungan; komplikasi penyakit; faktor psikologis; sarana dan prasarana rumah sakit; tim dokter dalam sebuah operasi dan sebagainya. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan/dikehendaki oleh pasien, maka pasien hanya mengadakan penilaian dari segi akibat yang timbul. Makin berat akibat yang ditimbulkannya, maka makin besar dianggap kesalahan pada dokternya. Biasanya yang menjadi alat ukur adalah keadaan pasien sebelum dirawat atau diambil tindakan medis dan sesudahnya yang dianggap malahan bertambah buruk keadaannya, atau karena tidak berhasil tindakan yang dilakukan oleh dokternya. Sampai di sini, kebanyakan masyarakat belum memahami akibat dari terjadinya 68

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 malapraktik itu sendiri sehingga wajar jika pasien yang merasa hasil pemeriksaannya tidak sesuai dengan yang diinginkan kemudian mengajukan tuntutan/gugatan. Contoh kasus berikut ini, dapat dijadikan sebagai ilustrasi, bagaimana dokter dalam menjalankan profesinya akan mudah dianggap telah melakukan malapraktik. Contoh berikut ini adalah pengalaman pribadi dari seorang dokter bedah yang menangani pasien, dan pasien tersebut adalah teman sejawatnya yang lebih senior, tentunya seorang dokter ahli bedah107. Pasien (dokter) tersebut terdapat benjolan di belakang lututnya, dan kemudian dioperasi yang dalam istilah kedokterannya disebut ”Ganglion Poplitea”. Operasinya sendiri lancar, namun seminggu setelah operasi, daerah operasi mengalami pendarahan (hematoma) yang pada akhirnya pasien (dokter) tersebut tidak bisa berjalan (cacat). Kalau kita lihat kasus tersebut, maka apabila pasiennya adalah masyarakat biasa, tentunya akan langsung mengatakan sebagai suatu malapraktik. Namun, pasien (dokter) tersebut tidak melakukan gugatan/tuntutan karena sebelum diadakan operasi, pasien (dokter) tersebut memberikan saran-saran kepada dokter bedah juniornya sebagai suatu ”contributory negligence”. 1.6 Latihan Soal 1. Bagaimana pengertian tentang hukum kesehatan, hukum kedokteran, malapraktik, risiko medis dan kelalaian? 2. Bagaimana prosedur perizinan untuk mendapat izin praktik kedokteran?, dan bagaimana perbedaan antara malapraktik dengan risiko medis? 3. Bagaimana unsur-unsur malapraktik dan bagaimana unsur-unsur risiko medis? 4. Apa yang dimaksud dengan kelalaian? Ada berapa macam kelalaian? Apa perbedaaannya? 5. Apa yang dimaksud dengan hukum pidana? Bagaimana hukum pidana mengatur tentang kelalaian malapraktik? 6. Apa hubungan antara profesi kedokteran dengan hukum? 107 Anny Isfandyahrie, Malapraktik & Resiko Medik: Dalam Kajian Hukum Pidana (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 81. 69

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 BAB II ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN Tujuan Instruksional Umum Pada akhir pokok bahasan ini mahasiswa mampu memahami aspek hukum perdata, khususnya aspek hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUH Perdata dalam kaitannya dengan praktik kedokteran. Tujuan Instruksional Khusus 1. Mendefinisikan perjanjian dan perikatan, prestasi dan wanprestasi, rekam medis, inspanningverbintenis, resultantverbintenis, unconscionability. 2. Menerangkan hubungan dokter dengan pasien, menerangkan tentang prestasi dan wanprestasi, menerangkan tentang inspanningverbintenis merupakan unconscionability, menerangkan berakhirnya perjanjian. 3. Menerapkan unsur-unsur perjanjian dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien, menerapkan dugaan malapraktik dalam perbuatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. 4. Menggambarkan bahwa kegiatan praktik kedokteran merupakan hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang dalam hal terdapat kelalaian dari praktik dokter tersebut mengakibatkan tuntutan ganti kerugian. 5. Menghubungkan antara praktik kedokteran dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasien; menghubungkan antara dugaan malapraktik dengan tuntutan kerugian berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum; menghubungkan antara inspanningverbintenis dengan unconscionability. 6. Menyimpulkan bahwa tiap kelalaian dari praktik kedokteran membawa risiko atas gugatan perdata di pengadilan; dan menyimpulkan bahwa inspanningverbintenis bertentangan dengan unconscionability. 2.1. Perjanjian pada umumnya Sebelum kita menguraikan materi mengenai kajian hukum dalam praktik kedokteran, penulis mencoba memberikan alasan pentingnya kajian hukum 70

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 perlindungan konsumen dalam praktik kedokteran. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), merasa perlu dimasukkannya konsep perlindungan konsumen dalam praktik kedokteran, sementara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak konsep tersebut. Besarnya distrorsi pemikiran dua lembaga tersebut dikarenakan adanya pemahaman yang salah tentang hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien tersebut, menurut hukum perdata dikarenakan 2 hal, yaitu: berdasarkan perjanjian (ius contractu) dan berdasarkan hukum (ius delicto), berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Oleh karena itu, kami perlu memasukkan teori-teori perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata dalam bab ini. Selain aspek hukum perdata, dalam praktik kedokteran, apabila terjadi kasus malapraktik, maka perlu dikaji dari aspek hukum pidana, apakah tindakan dokter tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagai tindak pidana atau tidak. Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi antarmanusia tersebut tidak hanya komunikasi saja tetapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek hukum. Hubungan hukum secara perorangan antarmanusia, tergolong dalam hukum perdata. Hubungan hukum perdata mencakup banyak bidang, salah satunya dalam hubungan perjanjian yang pada dasarnya diciptakan sesama manusia untuk mempertegas hubungan antara mereka. Lalu apa yang dimaksud dengan perjanjian? Perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.108 Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dari kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.109 Dengan demikian, untuk memperjelas perumusan perjanjian, yaitu merupakan suatu perbuatan dengan minimal 2 pihak yang telah bersepakat satu sama lain untuk saling mengikatkan dirinya terhadap pihak lainnya. Namun kapankah suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah menurut hukum? Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1320 108 Kitab undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), Pasal 1313. 109 Yusran Isnaini, Sekilas Mengenai Hukum Perjanjian <http://yusranandpartner.wordpress.com/ 2007/11/20/sekilas-mengenai-hukum-perjanjian-somasi/>, 20 November 2007. 71

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 KUH Perdata, perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata sering disebut dengan 4 syarat sah perjanjian, yaitu: 1. Kesepakatan para pihak; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan (dewasa, tidak di bawah pengampuan, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian); 3. Adanya objek tertentu; 4. Adanya kausa yang halal. Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif dan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif. Suatu perjanjian yang melanggar syarat subjektif, akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan (voidable). Maksudnya dari dapat dibatalkan adalah bahwa selama perjanjian tersebut belum diajukan pembatalan ke Pengadilan yang berwenang, maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak seperti perjanjian yang sah. Sedangkan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, maka akibat hukum perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (void). Maksud dari akibat hukum batal demi hukum adalah bahwa meskipun perjanjian tersebut tidak diajukan pembatalan ke Pengadilan, perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal, yang artinya perjanjian tersebut di mata hukum tidak pernah ada dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat di dalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka.110 Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu: a. perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya; b. perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang; c. perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata memuat asas- asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya tiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik 110 Ibid. 72

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang- undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUH Perdata). Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri.111 Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian adalah terjemahan dari bahasa Belanda \"Overeenkomst“, atau terjemahan \"Agreement\" dari bahasa Inggris. Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata, berbunyi: \"Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih\". Pengertian ini oleh beberapa ahli dikatakan banyak mengandung kelemahan, yakni tidak lengkap dan terlalu luas. Pengertian perjanjian pada pasal ini menyiratkan sesuatu hal yang sifatnya merupakan perbuatan hukum sepihak yakni memberikan kewajiban bagi salah satu pihak. Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih”, padahal perjanjian itu selalu merupakan perbuatan yang bersegi dua atau bersegi banyak yang menimbulkan hak dan kewajiban dari para pihak. Selain itu pada kata “perbuatan” tidak jelas menyebutkan perbuatan mana yang dimaksud, padahal perjanjian harus diartikan perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, perbuatan di sini lebih tepat apabila diganti dengan perbuatan hukum. Ketidakjelasan pengertian perjanjian di dalam KUH Perdata tersebut mendorong para ahli hukum untuk memberikan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian. Subekti memberikan definisi bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa saat seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.112 Menurut Sudikno definisi tentang perjanjian tersebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut di atas rumusannya terlalu umum dan tidak jelas karena hanya dikatakan “perbuatan” saja sehingga luas pengertiannya karena meliputi perbuatan hukum maupun perbuatan faktual; di samping itu juga kurang jelas.113 Selanjutnya 111 Ibid. 112 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 17 (Jakarta: Intermasa, 1998), hal. 1. 113 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet.2 (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 110. 73

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Sudikno mengatakan bahwa perjanjian hendaknya dibedakan dari janji karena meskipun janji itu didasarkan atas kata sepakat, namun kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar maka tidak ada akibat hukum dan kepada si pelanggar tidak dapat dikenakan sanksi. Oleh Wiryono Prodjodikoro perjanjian diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. 114 Satrio mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan (verbintenisscheppende overeenkomst) atau perjanjian yang obligatoir115 karena pasal tersebut ditempatkan pada awal titel kedua Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan yang lahir dari perjanjian dan perumusan tersebut dimaksudkan sebagai perumusan tentang perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal-pasal selanjutnya. Satrio mengatakan bahwa tidak semua tindakan hukum banyak pihak merupakan perjanjian, sebagai contoh orang yang mendirikan perseroan dalam hal ini terdapat kesepakatan bersama para pendiri dengan suatu tujuan yang sama dan sejajar, yaitu mendirikan perseroan, hal ini lazim disebut gesammtakt. Pothier mengadakan pembedaan antara \"convention\" atau \"pacte\" dengan \"contract\". Dengan \"convention\" atau \"pacte\" dimaksudkan setiap perjanjian dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau mengubah (wijzigen) perikatan, 116 sedangkan dengan \"contract\" dimaksudkan ialah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya suatu perikatan saja. R. Soetojo dan Marthalena Pohan mengatakan untuk adanya perjanjian, tidak cukup persetujuan dengan debitur saja tetapi harus ada persetujuan dari semua pihak (Pasal 1320 KUH Perdata ayat 1, istilah \"de toestemming van diegenen die zich verbinden\"). 117 Oleh karena itu, perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata haruslah diartikan perbuatan hukum, dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri itu ingin mencipatakan perikatan. Selanjutnya dikatakan bahwa perjanjian menurut Pasal 114 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, cet. 8 (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 4. 115 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 12. 116 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, cet. 2 (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hal. 84. 117 Ibid. 74

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 1313 KUH Perdata adalah \"obligatoir overeenkomsten\", sedangkan perjanjian lain yang tidak disebut titel kedua ini dinamakan perjanjian saja. Menurut KUH Perdata yang diterjemahkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, definisi perjanjian yang terdapat dalam pasal 1313 KUH Perdata, tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.118 Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketenatuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan. Dalam peristiwa hukum, terdapat beberapa jenis perjanjian, yaitu: Pertama, Perjanjian timbal-balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak, misalnya jual-beli. Kedua, Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang memberi keuntungan kepada salah satu pihak saja, misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontraprestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Ketiga, Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd), adalah perjanjian khusus yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat. Keempat, Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir, adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Mariam Darus Badrulzaman, cet. 1 (Bandung: 1983), Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. 75

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Kelima, Perjanjian konsensual dan perjanjian riil, adalah perjanjian di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Namun demikian di dalam hukum perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai Pasal 1740 KUH Perdata, perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Di samping terdapat beberapa jenis perjanjian, terdapat juga perjanjian- perjanjian yang istimewa sifatnya, yaitu: Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di antara para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) Pasal 1438 KUH Perdata; Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian di antara para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka; dan Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata. Di samping itu, terdapat beberapa macam perjanjian, sebagai berikut. a. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas. b. Perjanjian konsensuil, yaitu suatu perjanjian dengan adanya kata sepakat antara para pihak sudah cukup menimbulkan perjanjian yang bersangkutan. c. Perjanjian riil, yaitu suatu perjanjian yang baru terjadi apabila barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. d. Perjanjian formal, yaitu perjanjian yang dipersyaratkan oleh undang- undang dan dituangkan dalam perjanjian dalam suatu bentuk atau disertai dengan formalitas tertentu, selain kata sepakat. e. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang membebaskan seseorang dari keterikatannya atas suatu kewajiban tertentu. f. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga. Perjanjian ini yang hanya mempunyai akibat hukum dalam hukum keluarga saja. Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsesualisme (consensus) atau kesepakatan, bahwa dalam suatu perjanjian diisyaratkan adanya kesepakatan. Sebab perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai suatu hal. Arti asas 76

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. Menurut Sudikno dalam perjanjian ada unsur yang mutlak harus ada bagi terjadinya perjanjian yang disebut essentialia, yang merupakan syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat atau persesuaian kehendak dan kecakapan para pihak. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata sepakat atau konsensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian, jadi perjanjian itu pada umumnya tidak dibuat secara formal tetapi konsensual.119 Menurut Subekti bahwa asas konsensualisme itu harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata, bukan dari Pasal 1338 (1).120 Diambilnya asas konsensualisme tersebut yang berarti \"perkataan sudah mengikat\", oleh Enggens dikatakan merupakan suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis) yang merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul di dalam pepatah \"een man een man, een woord een woord\".121 Dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, berarti orang tersebut ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Apa yang dikatakan oleh Enggens tersebut di atas ditanggapi oleh Subekti bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi hukum yang yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata hukum yang baik. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak, namun kehendak atau keinginan itu harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui oleh pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak itu tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat diterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa, yaitu pihak yang menawarkan (melakukan “offerte\") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Beliau menyimpulkan yang 119 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 111. 120 Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 4. 121 Ibid. 77

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensualisme, harus berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak hal ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak, maka hakim atau pengadilan yang akan menetapkan. Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak dalam suatu perjanjian. Menurut van der Burght, makna yang diberikan atas kesepakatan para pihak erat kaitannya dengan relevansi yang lekat pada kehendak psikis dalam rangka kejadian, keadaan, dan peristiwa hukum. Beliau mengatakan bahwa doktrin membedakan tiga buah aliran sebagai berikut.122 1) Ajaran kehendak (Wilsleer) Pada intinya ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan ialah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan. 2) Pandangan normatif van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan apakah suatu persetujuan telah terbentuk, pada hakikatnya tergantung pada suatu penaksiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama. 3) Ajaran Kepercayaan (Vertrouwenleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan pihak lawan bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda setujunya bagi terbentuknya suatu persetujuan sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian sepakat menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antarpihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan akeptasi (acceptatie). 123 Beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian antarpihak: Pertama, Teori kehendak (wilstheorie), yaitu teori yang 122 Gr van der Burght, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori dan Yurisprudensi, cet 1, diterjemahkan oleh F. Tengker (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 28 123 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, cet. 1 (Bandung: Alumni, 1994), hal. 42. 78

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat; Kedua, Teori pengiriman (verendtheorie), yaitu teori yang mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran; Ketiga, Teori pengetahuan (vernemingstheorie), yaitu teori yang mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima; Keempat, Teori kepercayaan (vertrowenstheorie), yaitu teori yang mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Menurut Subekti dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dapat disimpulkan asas lain dari hukum perjanjian Burgerlijk Wetboek (BW), yaitu adanya asas dianutnya sistem terbuka, atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid). Adapun cara menyimpulkan ialah dengan jalan menekankan pada perkataan \"semua\" yang ada di muka perkataan \"perjanjian\"124. Lebih lanjut Subekti mengatakan pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa semua orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan hal itu akan mengikat para pihak dalam perjanjian sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan \"ketertiban dan kesusilaan umum\" umum. Bahwa Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium untuk apa yang dinamakan perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat atau masih diperlukan syarat-syarat lain. Jawabannya diberikan oleh pasal 1320, cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Perhubungan antara dua orang atau dua pihak dalam perjanjian adalah suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa hak pihak satu dan yang lainnya dijamin oleh hukum atau undang-undang. Terdapat dua sumber perikatan, yaitu: Pertama, Perikatan bersumber perjanjian. Perjanjian dapat menerbitkan atau menimbulkan perikatan, hal ini dinyatakan Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak 124 Subekti, Aneka... op. cit., hal. 4. 79

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Berdasarkan pernyataan dari pasal tersebut dapat dikatakan bahwa hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian. Sebagian besar perikatan adalah bersumber dari perjanjian, seperti yang tertera dalam KUH Perdata, sebagian besar dari Buku III KUH Perdata tersebut ditujukan kepada perikatan-perikatan yang bersumber dari perjanjian.125 Kedua, Perikatan bersumber dari undang-undang. Perikatan yang bersumber undang-undang dibagi lagi menjadi dua, yaitu perikatan yang lahir dari undang- undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang saja meletakkan kewajiban kepada orang tua dan anak untuk saling memberi nafkah. Ini adalah suatu perikatan yang lahir dari undang-undang saja. Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang, yaitu jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain, maka ia wajib untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan menggantikan semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi. Antara dua orang itu ada suatu perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang. Dari pengertian-pengertian perjanjian di atas, dapat dilihat eratnya hubungan antara perjanjian dan perikatan, yaitu bahwa perjanjian itu menerbitkan atau menimbulkan perikatan bagi para pihak yang membuatnya. 2.2. Prestasi dan wanprestasi 2.2.1. Prestasi Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa saat seorang berjanji kepada seorang lain, atau saat dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan suatu prestasi. Berbicara mengenai prestasi dalam hukum perdata, maka kita akan berbicara antara dua belah pihak yang terikat pada hubungan hukum sebagai kreditur (orang yang berpiutang) dan debitur (orang 125 Ibid., hal. 2. 80

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 yang berhutang), sebagai contoh dalam perjanjian pinjam-meminjam. Namun demikian, hubungan hukum dalam hukum perjanjian tidak saja terbatas pada debitur- kreditur saja, tetapi juga hubungan hukum yang terjadi karena kesepakan untuk berbuat sesuatu, seperti hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Meninjau macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian– perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:126 1) Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. Ukurannya adalah objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu berupa suatu kewajiban bagi debitur untuk memberi sesuatu berupa benda bertubuh maupun benda tidak bertubuh yang dilatarbelakangi oleh hubungan para pihak dalam perjanjian tersebut, biasanya para pihak disebut sebagai debitur dan kreditur. Hal ini tercermin dalam Pasal 1235 KUH Perdata yang menyatakan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan” Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat- akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.” Kewajiban menyerahkan merupakan kewajiban pokok dan kewajiban merawat merupakan kewajiban preparatoir. Kewajiban preparatoir maksudnya ialah hal-hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan dari benda yang diperjanjikan, dengan perawatan itu diharapkan benda tersebut dapat utuh, berada dalam keadaan baik dan tidak turun harganya. 2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dapat secara mudah dilaksanakan secara riil, asalkan bagi pihak kreditur tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan misalnya dalam pembuatan sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kecuali yang harus dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan membuat 126 Ibid., hal. 36. 81

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 lukisan itu. Oleh karena itu, perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menepati janjinya. Prestasi ini juga berlaku dalam hubungan antara dokter dan pasien. Seorang dokter yang telah sepakat dengan pasien untuk menyembuhkan rasa sakit dari pasien, terikat pada prestasi untuk berbuat sesuatu, yaitu memberikan jasanya kepada pasien. 3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Pada perikatan ini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, melainkan bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. Mengenai perjanjian ini, bila janji dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan. Mengenai suatu perjanjian dapat dieksekusi secara riil atau tidak, Pasal 1240 dan 1241 KUH Perdata menjelaskan mengenai perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian- perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan sesuatu perbuatan). Mengenai perjanjian macam-macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan.127 Pasal 1240 menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, bahwa si berpiutang berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan dibolehkan untuk meminta kekuasaan yang diberikan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi, jika ada alasan untuk itu. 2.2.2. Wanprestasi Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, sepanjang memenuhi 4 syarat sah perjanjian, berlaku layaknya undang-undang bagi para pihak dalam perjanjian. 128 127 Ibid., hal. 37. 128 Dalam perjanjian berlaku asas Pacta Sunt Servanda, yang tersirat pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 82

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Meskipun dengan adanya ketentuan pada Pasal 1338 KUH Perdata, tetapi pada kenyataannya tidak semua perjanjian ditaati selayaknya undang-undang bagi para pihak. Jadi bagaimana jika salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian dan apa yang dapat dilakukan jika hal tersebut terjadi? Menurut KUH Perdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian ataupun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi. Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. (wanbeheer yang berarti pengurusan buruk dan wandaad yang berarti perbuatan buruk).129 Menurut Subekti, 130 wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) salah satu pihak (debitur) dapat berupa empat macam, yaitu: 1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, 2. melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, 3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat, 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitur harus: a) Mengganti kerugian Debitur harus membayar ganti rugi sebagai akibat kerugian yang diderita kreditur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yang menyatakan: “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.” 129 Ibid., hal. 45. 130 Ibid. 83

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Dalam Pasal 1243 KUH Perdata, menyebutkan perincian ganti rugi yang meliputi: 1) Biaya, yaitu segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. 2) Rugi, adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian si debitur. 3) Bunga, yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan oleh kreditur. Pembatasan tentang apa yang dituntut sebagai ganti rugi, berdasarkan Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata, adalah sebagai berikut: “1247. Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata-nyata telah sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh suatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. “1248. Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan”. b) Pembatalan perjanjian Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Pembatalan perjanjian berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah telah diterima satu pihak dikembalikannya kepada pihak lainnya.131 c) Risiko Menurut Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihaknya yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Pada Pasal 1237 KUH Perdata mengenai risiko menyatakan bahwa: 131 Ibid., hal. 49. 84

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 “Dalam hal adanya perikatan untuk memberi suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah tanggungannya.” Debitur harus bertanggung jawab mengenai hal-hal tersebut di atas, selain itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh kreditur menghadapi debitur yang wanprestasi itu. Kreditur dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut:132 1) Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian. 2) Dapat menuntut pemenuhan perjanjian. 3) Dapat menuntut pengganti kerugian. 4) Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian. 5) Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian. Dalam praktiknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, orang tersebut harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi yang dilayangkan. Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. 133 Mengenai hal ini Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan: ”debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Sebagai konsekuensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberi ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan 132 Ibid., hal. 53. 133 Yusran Isnaini, loc. cit. 85

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 wanprestasi tersebut dan bunganya. Dalam Pasal 1243 KUH Perdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUH Perdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.134 2.2.3. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Selain gugatan yang didasarkan pada wanprestasi tersebut diatas, dalam hukum perdata, gugatan juga dapat didasarkan pada perbuatan melawan hukum (PMH). Pengaturan tentang PMH dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga terjadi di negara-negara yang penganut sistem Eropa Kontinental lainnya, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata ada yang di pengadilan didominasi oleh gugatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai melawan hukum keperdataan. Sebab, untuk perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau kejahatan/pelanggaran pidana mempunyai arti dan pengaturan hukum yang berbeda. Di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda dikenal istilah \"onrechtmatige daad,\" atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah \"tort\". Pengertian perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang oleh karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut : 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (pasal 1365); 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian (pasal 1366); 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (1367). 134 Ibid. 86

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Meskipun Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata mengatur tentang tuntutan ganti rugi akibat adanya PMH, namun kedua pasal tersebut tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu. Pengertian “perbuatan melawan hukum” diperoleh melalui yurisprudensi, yang menunjukkan adanya perkembangan penafsiran yang sangat penting dalam sejarah hukum perdata. Karena hukum perdata kita berasal dari hukum perdata Nederland/Belanda, maka dalam penafsiran ini, kitapun masih harus berkiblat kesana. Kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 1365: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366: Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Menurut para ahli dalam Pasal 1365 di atas, mengatur pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positif = culpa in committendo) atau karena tidak berbuat (pasif = culpa in ommittendo). Sedangkan Pasal 1366 mengatur pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatige nalaten)135. Selanjutnya, Moegni Djojodirjo membagi perkembangan penafsiran pengertian PMH dalam tiga fase, sebagai berikut: a) masa antara tahun 1838 sampai tahun 1883; b) masa antara tahun 1883 sampai tahun 1919; dan c) masa sesudah tahun 1919. Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap pengertian PMH (onrechtmatige daad) yang diartikan pada waktu itu sebagai onwetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melanggar hukum, bilamana perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang 136 . Pengertian sempit ini sangat dipengaruhi oleh aliran legisme dalam filsafat hukum. Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919, pengertian PMH diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain. Dengan kata lain, PMH adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in 135 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (cet. II, 1982, Pradnya Paramita, Jakarta), hal. 27. 136 Ibid, hal 28 87

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 committendo) sedangkan Pasal 1366 dipahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal 1365 juga terdapat pengertian culpa in ommittendo 137 . Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan hukum. Pendirian seperti ini terlihat dalam Putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tentang Singernaiimachine Mij Arrest tanggal 6 Januari 1905 dan Waterkraan Arrest tanggal 10 Juni 1910. Singernaaimachine Mij Arrest, 6 Januari 1905. Maatschappij Singer yang menjual mesin jahit merk Singer tersaingi oleh toko lain yang menjual mesin jahit merk lain yang berada di seberang jalan, dengan cara memasang reklame di depan tokonya berbunyi “Verbeterde Singernaai-machine Mij” (Tempat Perbaikan Mesin Jahit Singer). Akibat reklame ini, orang menyangka bahwa toko tersebut menjual mesin jahit merk Singer yang asli, sehingga toko Singer asli menjadi sepi pembeli. Toko Singer asli menuntut toko penjual mesin jahit palsu tersebut berdasarkan Pasal 1401 NBW/Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi Hooge Raad menolak gugatan tersebut karena berpendirian toko Singer palsu tersebut tidak melanggar undang-undang maupun hak subjektif orang lain. Perkembangan yang spektakuler dan monumental terhadap pengertian PMH terjadi pada tahun 1919 dengan Putusan Hoge Raad dalam kasus Linden-baum lawan Cohen pada tanggal 31 Januari 1919, yang terkenal dengan nama Standaard Arrest atau Drukkers Arrest (Putusan tentang Percetakan), sebagai berikut. Samuel Cohen dan Max Lindenbaum masing-masing pengusaha percetakan. Pada suatu ketika, Cohen membujuk salah seorang pegawai Lindenbaum untuk membocorkan daftar nama pelanggan Lindenbaum dan daftar harga-harga, dan menggunakan daftar tersebut untuk kemajuan usahanya sendiri. Akibatnya usaha Lindenbaum mundur dan mengalami kerugian. Kecurangan ini akhirnya diketahui Lindenbaum dan dia menuntut ganti rugi kepada Cohen atas dasar perbuatan melawan hukum. Akan tetapi Cohen membantah gugatan itu atas dasar pendapat bahwa dia tidak melakukan perbuatan melawan hukum karena undang-undang tidak melarangnya. 137 Ibid, lihat juga: Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, (cet. I, Binacipta, Bandung,1991), hal. 7 88

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 Pengadilan tingkat pertama (Rechtbank) memenangkan gugatan Lindenbaum, tetapi di tingkat banding dia dikalahkan oleh Pengadilan Tinggi (Gerechtshof). Ditingkat kasasi kembali Lindenbaum dimenangkan oleh Hoge Raad dengan alasan bahwa pengadilan tinggi telah menafsirkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti yang sempit, yakni hanya sekadar melawan undang-undang. Menurut Hoge Raad, pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain138. Berdasarkan perkembangan pengertian tentang PMH (onrechtmatige daad) di atas, maka terdapat 4 kriteria dari perbuatan melawan hukum: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. PMH adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku, tetapi tidak semua perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku dapat dituntut ganti kerugian. Untuk dapat dituntut ganti kerugian, disyaratkan: a. Kepentingan penggugat benar-benar terkena/terancam oleh pelanggaran PMH tersebut. Seseorang yang menerobos lampu merah, dia telah melakukan pelanggaran undang-undang secara pidana, tetapi belum dapat disebut melakukan PMH secara perdata selama tidak ada orang yang dirugikan secara materiil. b. Kepentingan penggugat memang dilindungi oleh kaidah/peraturan perundang-undangan yang dilanggar itu (schutz-norm theorie). Untuk memahami ini, perhatikan putusan Hoge Raad yang terkenal dengan nama Tandartsen Arrest (Putusan doker gigi) tanggal 17 Januari 1958 sebagai berikut: Di kota Tilburg (Belanda), pada waktu itu ada 15 dokter gigi yang berpraktik di suatu jalan dengan izin resmi pemerintah. Pada suatu waktu datang seorang tukang gigi yang berpraktik di jalan itu sebagai dokter gigi tanpa izin resmi. Praktik tukang gigi ini laris yang mengakibatkan praktik dokter gigi resmi menjadi sepi. Ketika ketahuan bahwa tukang gigi ini berpraktik tanpa izin, maka dia diadukan secara pidana dan digugat secara perdata. Berdasar Pasal 436 NWvS (Pasal 512 KUHP) tukang gigi tersebut dipidana karena terbukti bersalah menjalankan pekerjaan tanpa izin yang 138 Ibid, Moegni Djojodirdjo, hal.25- 26 dan Rachmad Setiawan, hal 10- 11. 89

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 menurut peraturan perundang-undangan harus pakai izin. Bagaimana dengan gugatan ganti rugi yang diajukan para dokter gigi itu? Pengadilan Tinggi menghukum tukang gigi itu untuk mengganti kerugian karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan pelanggaran terhadap Pasal 436 NWvS (Pasal 512 KUHP) di atas. Namun putusan ini dibatalkan oleh Hoge Raad dengan alasan bahwa peraturan yang dilanggar oleh tukang gigi tersebut (Pasal 512 KUHP) diadakan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat umum, bukan untuk melindungi para dokter gigi tersebut terhadap persaingan curang. Seorang dokter gigi yang menurun jumlah pasiennya karena praktik tak berizin dari si tukang gigi tersebut, tidak dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas dasar perlindungan yang diberikan oleh Pasal 512 KUHP di atas. c. Kepentingan tersebut masuk dalam lingkup kepentingan yang dimaksud untuk dilindungi oleh ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut. d. Pelanggaran kaidah tersebut bertentangan dengan kepatutan terhadap penggugat dengan juga memper-hatikan sikap dan kelakuan si penggugat itu sendiri. e. Tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf menurut hukum. 2. Melanggar hak subjektif orang lain. Mengenai hak subjektif orang lain, berdasar yurisprudensi mencakup: (a). hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya seperti hak eigendom (hak milik), erfpacht (hak guna usaha), hak oktroi (hak yang diberikan atas permohonan kepada seseorang yang menemukan sesuatu/hal yang baru), dan sebagainya; (b). hak-hak pribadi (hak integritas pribadi dan integritas badaniah, kehormatan serta nama baik, dan sebagainya); (c). hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seorang penyewa. 3. Melanggar kaidah kesusilaan, yakni kaidah-kaidah moral sejauh yang diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis (perhatikan kasus Lindenbaum versus Cohen di atas). 4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.139 Kriteria ini diambil dari kaidah tidak tertulis, suatu perbuatan atau tidak berbuat digolongkan kepada perbuatan melawan hukum jika bertentangan dengan 139 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (cet. I, Alumni, Bandung, 1992), hal. 247. 90

SEMESTER AKSELERASI TA 2019/2020 kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat atau terhadap barang milik orang lain. Untuk memahami kriteria ini, marilah diperhatikan kasus sebagai berikut. Pada suatu hari tanggal 6 Juni 1975, de Rijk seorang petugas pemungut sampah Kotamadya Kamerik, Belanda, seperti biasa mengumpulkan kantong-kantong sampah dari pinggir-pinggir jalan dan melemparkannya ke atas truk yang dikemudikan oleh temannya. Ketika mesin pengepres di atas truk bekerja, dari salah satu kantong sampah tersebut menyembur cairan yang mengenai matanya yang mengakibatkannya buta sebelah. Ternyata dalam salah satu kantong sampah tersebut ada ember plastik kecil berisi cairan natroonlog, sejenis zat kimia untuk pembersih yang berbahaya bagi mata manusia. Hasil penyelidikan menemukan bahwa ember cairan tersebut berasal kantor balaikota yang sehari sebelumnya melakukan pembersihan. Petugas kebersihan kantor tersebut menemukan sebuah ember plastik kecil berisi cairan yang telah berada di sana kurang lebih dua tahun dan tidak pernah dipergunakan. Petugas kebersihan tersebut menyangka ember tersebut berisi soda dan meminta izin kepada pengawas di balaikota tersebut untuk membuangnya. Pengawas itu memberi izin. Pengawas tersebut baru bekerja di kantor itu sejak November 1974, dan juga tidak tahu apa isi ember plastik tersebut. Petugas kebersihan setelah memperoleh izin, memasukkan ember tersebut ke kantong sampah dan meletakkannya di halaman kantor seperti biasanya. Dalam persidangan, Hoge Raad menyatakan petugas kebersihan dan pengawas kantor balaikota tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tindakannya dianggap bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Berdasarkan uraian di atas, dan bunyi Pasal 1365 KUHPdt. maka suatu tuntutan ganti rugi akibat PMH (onrechtmatigedaad), haruslah memenuhi unsur- unsur sebagai berikut: (1) adanya perbuatan melawan hukum; (2) harus ada kerugian yang ditimbulkan; (3) harus ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara perbuatan melawan hukum dan kerugian; (4) harus ada kesalahan; (5) Schutznorm.140 140 Ibid, hal. 21. 91


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook