Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Penelitian Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-01-21 06:14:11

Description: Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat

Search

Read the Text Version

PENELITIAN Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat Disusun Oleh: Oloan Sitorus Mitra Wulandari Eri Khaeruman Khuluki DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENGEMBANGAN DAN STANDARISASI KEBIJAKAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BPN 2020 NDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH

PENELITIAN PENGATURAN PENGUASAAN TANAH DI WILAYAH PERAIRAN STUDI KASUS WILAYAH PESISIR, PULAU-PULAU KECIL, DAN SUNGAI BESAR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, JAWA BARAT, DAN KALIMANTAN BARAT TIM PENYUSUN : Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.Si. Koordinator : Mitra Wulandari, S.T., M.H. Pembantu Peneliti Eri Khaeruman Khuluki, S.P., M.Si. Tenaga Ahli : Amir Mahmud, S.Sos. M.Si. Sekretaris Peneliti : Nabila Tryani Putri Annahru, S.Pt. Diterbitkan Oleh: Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966 Cetakan Pertama - 2020 ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

KATA PENGANTAR Penelitian dengan judul Pengaturan Penguasaan Tanah di Wilayah Perairan Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat merupakan salah satu penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan (PPSK-ATP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2020. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan anggaran DIPA PPSK-ATP. Laporan penelitian ini telah melalui berbagai tahapan/proses sesuai kaidah penelitian, yang dimulai dari penyusunan rancangan dan instrumen penelitian, pengumpulan data lapang, pengolahan data dan seminar akhir. Dari awal hingga akhir proses penelitian terdapat banyak dukungan, saran dan kritik yang memberikan perbaikan pada kualitas penelitian. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terwujudnya penelitian ini. Tanpa mengesampingkan peran yang lain, perkenankan kami berterima kasih kepada: 1. Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN yang telah memberikan arahan, pemikiran dan motivasi untuk seluruh jajaran PPSK-ATP; 2. Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama yang memberikan masukan dalam merancang berbagai tema-tema penelitian yang harus dikaji oleh PPSK-ATP; 3. Para narasumber dan moderator yang turut mengawal dan memberikan masukan, seperti Bapak Wakil Menteri Kementerian ATR/BPN Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M, Dr. Yagus Suyadi, S.H., M.Si., Dr. Husaini, S.H., M.Kn, Sukiptiyah, S.P., Hesekiel Sijabat, S.T., Sri Nurnaeni M.Eng, S.T., Amelia Novianti, S.T., M.Si; 4. Kepala Kantor Wilayah Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat serta Kepala Kantor Pertanahan Kota Tanjungpinang, Batam, Cirebon, Pontianak, dan Kabupaten Mempawah; dan 5. Instansi Pemerintah (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perumahan Rakyat dan ii



ABSTRAK Tanah di Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Sungai Besar (WPPPK dan SB) termasuk tanah timbul merupakan lokasi yang menarik perhatian para pihak untuk pelbagai tujuan pemanfaatannya (seperti permukiman, perikanan, transportasi, rekreasi, pelestarian fungsi lingkungan) dengan mekanisme perizinan, penguasaan turun-temurun dan pemilikan secara yuridis formal. Penguasaan/pemilikan dalam rangka pemanfaatan itu menjadi tantangan bagi signifikansi dan relevansi muatan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 dan efektivitas implementasinya. Atas dasar masalah tersebut, penelitian dilakukan di WPPPK dan SB dengan tujuan untuk mendeskripsikan secara analitis: (a) penyebab ketidakefektifan aturan Permen ATR No. 17 Tahun 2016, dan (b) bentuk penataan pertanahan yang tepat ke depan. Penelitian hukum-empiris ini berlokasi di 3 (tiga) provinsi (5 kabupaten/ kota), dan mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok, diskusi kelompok terfokus dan observasi, yang dianalisis secara kualitatif terkait pemahaman hukum, aspirasi dan penilaian terhadap ukuran pengelolaan pertanahan bertanggung jawab. Data sekunder berasal dari bahan hukum (primer, sekunder, dan tertier), yang dianalisis dengan Analisis isi (content analysis) mencakup ketentuan aturan yang dilihat keefektivannya dalam praktik di lapangan, termasuk ukuran pengelolan pertanahan bertanggung jawab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Ketidakefektifan Permen ATR No 17 Tahun 2016 disebabkan oleh (a) substansi hukum yang belum akomodatif: (i) persyaratan pemberian hak atas tanah di wilayah terbatas (perairan pesisir dan pulau-pulau kecil) belum diatur secara spesifik; (ii) Permen belum mengakomodasi konversi HAT sebagai cara lahirnya HAT bagi masyarakat lokal dan masyarakat tradisional. (b) struktur hukum yang memaknai Permen dengan multi tafsir dan ragu. Petugas di Kantah ragu dalam memberikan hak atas tanah, dan instansi pemerintah mempunyai pandangan beragam terkait penataan pertanahan. (c) sarana penegakan hukum yang belum memadai: (i) tata ruang skala besar di WPPPK, data Citra Satelit untuk pemutakhiran data, data IP4T WPPPK di Indonesia masih tersedia terbatas, (ii) Belum ada arahan teknis dalam penerapan proporsi penguasaan 70:30 (dan 30% untuk kawasan lindung) di pulau- pulau kecil, (iii) minimnya kegiatan monitoring dan evaluasi terkait administrasi pertanahan. (d) budaya hukum yang belum memiliki kesadaran hukum mengenai sertifikat tanah sebagai alat pembuktian hak. Hubungan masyarakat dengan tanahnya lebih familiar (akrab) dengan surat keterangan dari desa, dan mereka tidak memperoleh informasi yang memadai terkait aturan tersebut, yang berakibat pada minimnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap Permen. Kedua, Pengelolaan pertanahan di WPPPK dan BS belum sepenuhnya berjalan secara bertanggungjawab: (i) ketersediaan tata ruang belum memadai sebagai persyaratan untuk menanggapi (responsive) kebutuhan dalam penataan pertanahan, (ii) rekomendasi (pemerintah daerah) dan rencana zonasi sebagai alternatif ketiadaan tata ruang dalam persyaratan penataan pertanahan belum berjalan baik (lenting/resilient), (iii) kerentanan dari aspek hukum terhadap iv

sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki sertipikat tanah, (iv) jenis hak yang beragam (Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Milik) masih dipersepsikan seragam (Hak Milik) (reliable), (v) terdapat ragam pandangan (setuju/tidak setuju, jenis hak dan jangka waktu) dalam penataan hak pertanahan (respected), (vi) minimnya kerjasama yang kuat (pemerintah daerah sebagai pennanggung jawab tata ruang) dalam penataan pertanahan (tracebility), (vii) minimnya pengetahuan mengenai Permen (sebagian pemerintah daerah dan masyarakat) berkonsekuensi pada jalannya pelaksanaan penataan pertanahan (recognizeable), dan (viii) Permen memiliki keterbatasan tertentu (antara lain definisi tanah timbul, persyaratan/pertimbangan tata ruang yang memadai) sehingga disadari perlu kiranya revisi (reflexive). Penelitian merekomendasikan antara lain: (a) untuk kebutuhan jangka panjang, penataan pertanahan di WPPPK dan SB sebaiknya diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagai langkah pengembangan dari Pasal 60 PP 40 Tahun 1996 sekaligus mengoptimalkan pengaturan dalam penataan pertanahan. Untuk kebutuhan jangka pendek sebaiknya menyempurnakan Permen ATR No 17 Tahun 2016. (b) Penataan pertanahan dan pengaturan di WPPPK ke depan kiranya dapat memberikan Hak Pakai secara maksimal atau bahkan Hak Milik kepada masyarakat (adat, tradisional dan lokal) dengan ragam pertimbangannya. (c) Keberadaan jenis HAT di WPPPK dan BS cukup diatur sebagaimana dalam UUPA, dengan catatan penting menambahkan pengaturan persyaratan pemberian HAT sebagai wilayah terbatas. Kata Kunci: Penataan Pertanahan, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Tanah Timbul, Sungai Besar. v

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................................... ii ABSTRAK ............................................................................................................ iv DAFTAR ISI......................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix I. PENGANTAR .................................................................................................1 A.Latar Belakang ..............................................................................................1 1. Rumusan Masalah ...............................................................................10 2. Manfaat Penelitian ..............................................................................10 B.Tujuan Penelitian ........................................................................................10 II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................11 A.Kerangka Teoretis .......................................................................................11 1. Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Sungai..................................11 2. Sumberdaya Alam dan Dialektika Hukum Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil .............................................................19 3. Pengelolaan Pertanahan dan Tata Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil ..........................................................................................33 B.Kerangka Konseptual ..................................................................................46 III. METODE PENELITIAN.............................................................................50 A.Penentuan Lokasi Penelitian .......................................................................50 B.Pengumpulan Data Penelitian .....................................................................52 C.Analisis Data ...............................................................................................53 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN........................................54 A.Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam dan Kondisi Pertanahan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.......................................................................................55 1. Sekilas Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau .....................................................................................................55 2. Rumah Bertiang Pancang pada Tanah yang Tertutup Air dan Penguasaan Pulau Kecil ......................................................................60 B.Kabupaten Cirebon dan Tanah Timbul .......................................................67 1. Sekilas Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat ................................67 2. Pengaturan Tanah Timbul di Tiga Desa: Sebuah Inisiatif? ................70 C.Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah dan Sungai Besar ..................77 1. Sekilas Kota Pontianak dan Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat ................................................................................77 2. Rumah tiang dan ruang hidup sungai..................................................82 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................83 A.Penyebab Ketidakefektivan Permen ATR No 17 Tahun 2016 ...................83 1. Substansi Hukum yang Belum Akomodatif........................................84 2. Struktur Hukum yang Memaknai Permen dengan Multi Tafsir dan Ragu ..................................................................................................118 3. Sarana Penegakan Hukum yang Belum Memadai ............................120 vi

4. Budaya Hukum yang Belum Memiliki Kesadaran Hukum Mengenai Sertipikat Tanah ................................................................................136 B.Penataan Hak Pertanahan di WPPPK dan Sungai Besar ..........................139 1. Pengelolaan Pertanahan yang Belum Sepenuhnya Bertanggung Jawab139 2. Upaya Penataan Hak Pertanahan Berkelanjutan: Pengaturan Kepentingan Publik dan Kepentingan Privat ....................................151 VI. PENUTUP ...................................................................................................160 A.Kesimpulan ...............................................................................................160 B.Rekomendasi .............................................................................................165 VII.DAFTAR PUSTAKA..................................................................................167 VIII. LAMPIRAN ..............................................................................................176 A.Organisasi Peneliti dan Biodata Peneliti ...................................................176 B. Gambar ......................................................................................................180 1. Surat Keterangan Penggarapan Tanah Timbul .................................180 2. Contoh Hak Guna Bangunan di Pelantar Kota Tanjungpinang ........181 3. Contoh Hak Milik di Pelantar Kota Tanjungpinang .........................181 4. Contoh Hak Pakai di Pelantar Kota Tanjungpinang .........................182 vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ilustrasi Bagian-Bagian Wilayah Pesisir............................................. 12 Gambar 2. Jarak Sempadan Sungai....................................................................... 18 Gambar 3. Hak yang Kompleks dan Kemungkinan Tumpang-Tindih di Bagian Tertentu Pesisir ..................................................................................... 24 Gambar 4. Perspektif Global tentang Sistem Administasi Pertanahan Modern ... 34 Gambar 5. Peta Kota Tanjungpinang .................................................................... 56 Gambar 6. Peta Kota Batam.................................................................................. 58 Gambar 7. Desa/Kelurahan di Kota Tanjungpinang ............................................. 61 Gambar 8. Sampah di Kelurahan Senggarang dan Kampung Bugis .................... 64 Gambar 9. IPAL Komunal dan Pipa Saluran di Kampung Bugis......................... 65 Gambar 10. Bangunan Rumah Pelantar di Kampung Tua, Batam ....................... 66 Gambar 11. Pembentukan Tanah Timbul Melalui Pembuatan Tanggul dan Tambak ................................................................................................. 72 Gambar 12. Peta Kota Pontianak .......................................................................... 78 Gambar 13. Peta Kabupaten Mempawah.............................................................. 81 Gambar 14. Bangunan Rumah dan Sungai ........................................................... 83 Gambar 15. Area Permukiman Suku Bajo di Perairan Pesisir yang Diakomodir dalam Rencana Tata Ruang .................................................................. 96 Gambar 16. Area Perumahan di Pulau Manis yang tidak Diakomodir dalam Rencana Tata Ruang............................................................................. 98 Gambar 17. Pulau-Pulau Kecil Di bawah 10 Ha................................................. 105 Gambar 18. Pulau Batumandi Utara pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Manggarai (Perda Nomor 9 Tahun 2012)........................................... 106 Gambar 19. Pulau Messah Kabupaten Manggarai Barat (Contoh Pulau Sangat Kecil yang Sudah Padat)..................................................................... 109 Gambar 20. Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil ............................................ 121 Gambar 21. Ketersediaan RDTR Kabupaten/Kota di Indonesia (Oktober, 2020) ............................................................................................................ 123 Gambar 22. Pulau Wejim Pale Kab. Raja Ampat Provinsi Papua Barat (Masuk RTRW) ............................................................................................... 128 Gambar 23. Pulau Messah Kab. Labuan Bajo Provinsi Nusa Tenggara Timur (Masuk RTRW) .................................................................................. 129 Gambar 24. Pulau Penyengat Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau (Masuk RDTR) ................................................................................... 130 Gambar 25. Peta Pertimbangan Teknis Pertanahan di Pulau Pengalap .............. 157 viii

DAFTAR TABEL Tabel 1. Bagian-Bagian di Wilayah Pesisir .......................................................... 13 Tabel 2. Sempadan Sungai dan Jaraknya.............................................................. 17 Tabel 3. Delapan Indikator Pengelolaan Pertanahan Bertanggung Jawab............ 38 Tabel 4. Aturan dan Dokumen Tata Ruang di WPPPK ........................................ 42 Tabel 5. Pemilikan Tanah dalam Tata Ruang dan Penatagunaan Tanah .............. 45 Tabel 6. Lokasi Penelitian dan Topik Kasus......................................................... 51 Tabel 7. Kecamatan dan Jumlah Pulau di Kota Batam......................................... 59 Tabel 8. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya di Tiga Kelurahan di Tanjungpinang ...................................................................................... 62 Tabel 9. Desa dan Luas Tanah Timbul ................................................................. 69 Tabel 10. Sungai/Parit di Kota Pontianak ............................................................. 79 Tabel 11. Ketepatan Muatan Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Hirarki dalam Perundang-Undangan .................................................... 85 Tabel 12. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah di Wilayah Pesisir (Pasal 4 s.d. 8)..................................... 91 Tabel 13. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah di Pulau-Pulau Kecil (Pasal 9 s.d. 13)............................. 100 Tabel 14. Permen ATR No 17 Tahun 2016 Berdasarkan Ketentuan Pokok Hak Atas Tanah untuk Tanah Timbul (Pasal 14 s.d. 16) ........................... 112 Tabel 15. RTRW dan Jumlah Pulau.................................................................... 121 Tabel 16. Ketersediaan RTRW/RDTR pada Lokasi Penelitian .......................... 123 Tabel 17. Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya di Tiga Kelurahan di Tanjungpinang .................................................................................... 124 Tabel 18. Penguasaan dan Pemanfaatan 70:30 Persen Pulau Kecil.................... 126 Tabel 19. Lokasi IP4T di WP3WT Tahun 2020 ................................................. 131 Tabel 20. Bagian Wilayah Pesisir dan Pengaturan di Indonesia......................... 152 Tabel 21. Kegiatan di Sempadan Pantai ............................................................. 153 Tabel 22. Pengaturan Alokasi Hak Privat dan Hak Publik dan Peruntukan di Pulau Kecil.................................................................................................... 155 DAFTAR RAGAAN Ragaan 1 Gambaran Wilayah Pesisir...................................................................... 7 Ragaan 2. Hubungan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria .... 29 Ragaan 3. Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 50 ix

PENELITIAN PENGATURAN PENGUASAAN TANAH DI WILAYAH PERAIRAN: Studi Kasus Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, dan Sungai Besar di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat I. PENGANTAR A. Latar Belakang Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan pinggiran Sungai Besar (selanjutnya disingkat WPPPK dan SB) merupakan sebuah zona interaksi pertemuan tanah daratan (terestrial) dengan perairan yang menarik perhatian para pihak dengan pelbagai tujuan pemanfaatannya seperti permukiman, perikanan, transportasi, rekreasi, perlindungan dan kegiatan usaha lainnya. Di tengah signifikansi peningkatan aktivitas manusia yang tercakup dalam tujuan pemanfaatan itu, keberadaan pengaturan dan penataan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah (HAT) di WPPPK dan SB justru menemui tantangan serius. Tantangan itu antara lain terkait relevansi muatan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (selanjutnya disingkat Permen ATR No 17 Tahun 2016) dan efektivitas implementasinya dalam dinamika isu sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan karakteristik geografis Indonesia. Merujuk pada United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah diratifikasi tahun 1985,1 pada hakikatnya secara geografis dan historis Indonesia merupakan archipelagic state. Indonesia mempunyai perairan seluas 6,4 juta Km2 (dibandingkan daratan seluas 1,91 juta Km2),2 garis pantai sepanjang kurang lebih 108.000 Km3 dan jumlah pulau-pulau diperkirakan 17.504 pulau dibakukan (dan disubmisi ke PBB sebanyak 16.056 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 2 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2018. (Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, 2018), hal. 173. 3 Ibid. 1

pulau)4 sehingga Lapian5 memaknai archipelagic state sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi pulau-pulau. Corak kepulauan itu semakin terasa penting karena secara administratif terdapat 327 kabupaten/kota pesisir dan 2.232 kecamatan pesisir,6 dan secara demografis sebanyak lebih dari 60% jumlah penduduk bertempat tinggal di wilayah tersebut.7 Ditambah pula, di pulau- pulau besar terdapat sungai yang mengalir ke laut dengan jumlah 131 wilayah sungai.8 Pada masa lalu wilayah pesisir dan sungai besar terhubung erat dalam aspek transportasi, perniagaan dan permukiman termasuk pusat kerajaan.9 Bahkan sebagian besar proses pembentukan peradaban, permukiman, serta pusat-pusat kota di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dimulai dari wilayah pesisir, khususnya oleh masyarakat Islam pesisir.10 Jejak historis dari adanya aktivitas manusia dalam pemanfaatan di WPPPK dan SB itu tercatat dengan baik, dan berkembang berkelanjutan hingga saat ini. WPPPK dan SB dengan ragam aktivitas pemanfaatannya saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah bangsa. Sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA), seluruh wilayah itu merupakan wilayah bangsa 4 Sekretariat Kabinet Indonesia, “UN Verifies Names of 16,056 Indonesian Islands” (https://setkab.go.id/en/un-verifies-names-of-16056-indonesian-islands/, diakses 7 Juni 2020). 5 Adrian. B. Lapian. 2011. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut. (Jakarta: Komunitas Bambu), hal. 2. 6 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc.cit. 7 Akhmad Fauzi, Menakar nilai ekonomis kawasan pesisir, Buletin Tata Ruang, Edisi 5, 2009. 8 Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai. Mengacu pada Keppres ini terdapat 5 wilayah sungai lintas negara, 29 wilayah sungai lintas provinsi, 29 wilayah sungai strategis nasional, 53 wilayah sungai lintas kabupaten/kota dan 15 wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Sebaran wilayah sungai (WS) di pulau besar, yaitu: 48 WS di Pulau Sumatera, 24 WS di Pulau Jawa, 8 WS di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, 17 WS di Pulau Kalimantan, 22 WS di Pulau Sulawesi, 7 WS di Kepulauan Maluku, dan 5 WP di Pulau Papua. 9 Asyhadi Mufsi Sadzali, “Hulu ke hilir: jaringan dan sistem perniagaan sungai kerajaan Srivijaya”, Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 9 No.1, 2019, 61–82, dan Bambang Budi Utomo, “Pemukiman kuno di daerah tepi Sungai Batanghari pada masa Melayu,” Berkala Arkeologi, 11(1), 1990, 13-26. https://doi.org/10.30883/jba.v11i1.548 10 Hilderd Geertz dalam Eka Darmaputera, Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society. (Leiden: E. J. Brill, 1988), hal. 28. …Islamic coastal peoples, include such widely scattered group as The Melayus of Sumatera, The Banjars of Kalimantan, The Makassarese of South Sulawesi. Their similarities are formed by their common history of the participation in the international spice trade especially of the fourteenth to nineteenth centuries. Ethnic heterogeneity and a common commercial orientation, with Islam as the most important unifying element, are the significant characteristic of these coastal peoples. 2

yang menjadi aset utama dalam menopang kehidupan bangsa. Seluruh wilayah bangsa itu akan dikelola secara bijaksana agar tetap terjamin eksistensi dan keberlanjutannya selama bangsa Indonesia ada. Sifat abadi hubungan hukum dalam Hak Bangsa ini harus menjadi moral-utama Negara dalam menjalankan Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, sehingga ketika Negara akan menyelenggarakan kewenangannya untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia harus mengingat prinsip keberlanjutan, termasuk ketika dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan WPPPK dan SB Indonesia. Prinsip keberlanjutan eksistensi WPPPK dan SB beserta sumberdaya alamnya untuk (prinsip) kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan dua prinsip pokok dan utama dalam pengelolaan. Sebab wilayah ini termasuk kawasan yang unik sekaligus rentan terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan hidup. Keunikannya terletak pada potensi tanah (termasuk tanah timbu) dan sumberdaya yang dimilikinya untuk dikembangkan dalam multi-pemanfaatan oleh multi-pihak. Sebagian pihak mengembangkan WPPPK berbasis tanah dan sumberdayanya dengan konsep blue economy.11 Dibalik keunikan itu, pemanfaatan WPPPK dan SB tetap perlu memperhatikan kerentanan alamnya. Data menunjukkan bahwa kawasan pesisir Indonesia yang berada dalam indeks kerentanan sangat tinggi mencakup pesisir utara Jawa (Banten hingga Pekalongan), pesisir Sumatera Selatan, Pontianak (Kalimantan Barat), Makasar 11 Blue economy mencerminkan sebuah proses pengaturan ruang pesisir dan laut melalui teritorialisasi diskursif dan material, di mana kemitraan baru antara aktor sektor publik dan swasta membentuk jaringan, batasan, dan praktik manajemen dalam rangka memanfaatkan potensi ekonomi laut (Satizábal et al). Keena et al, menggambarkan blue economy sesuai konteks wilayahnya dengan memperkenalkan 5 kerangka dalam blue economy yaitu: ecosystem resilience, economic sustainability, community engagement, institutional integration and technical capacity. Kehadiran blue economy menjadi sebuah diskursus terkait relasi manusia-lautan (ocean) yaitu: (1) laut sebagai modal alam, (2) laut sebagai lokasi bisnis yang baik, (3) laut sebagai bagian integral negara berkembang kepulauan di Pasifik, dan (4) laut sebagai tempat nafkah hidup nelayan kecil (Silver et. al). Lihat Paula Satizábal, Wolfram H. Dressler, Michael Fabinyi dan Michael D. Pido. “Blue economy discourses and practices: reconfiguring ocean spaces in the Philippines,” Maritime Studies 2020; Meg R. Keena, Anne-Maree Schwarz, Lysa Wini-Simeon, “Towards defining the Blue Economy: Practical lessons from Pacific Ocean governance”, Marine Policy 2017 xxx (xxxx) xxx–xxx.; Jennifer J. Silver, Noella J. Gray, Lisa M. Campbell, Luke W. Fairbanks, and Rebecca L. Gruby, “Blue Economy and Competing Discourses in International Oceans Governance”, Journal of Environment & Development 2015, Vol. 24(2) 135–160. 3

(Sulawesi Selatan), sedangkan kawasan dengan tingkat kerentanan tinggi berada di pesisir timur dan barat Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan pesisir selatan Papua.12 Kondisi masyarakat pesisir juga rentan secara sosial dan ekonomi seperti tingkat kemiskinan dan kondisi pekerjaannya.13 Dari total Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia sebanyak 17.076 DAS dengan luas 189.278.753 Ha terdapat 14.931 DAS (87,44%) yang dipertahankan dan sebanyak 2.145 DAS (12,56%) yang dipulihkan.14 Mencermati pada kondisi dan dinamikanya itu, maka pengaturan WPPPK dan SB khususnya pertanahan kerapkali menjadi isu sensitif dalam penyelenggaraan pembangunan sehingga perlu memperhatikan aspek 12 Pusat Riset Kelautan, “Peta indeks kerentanan pesisir Indonesia 2009” (http://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/peta-kerentanan-pesisir-nasional diakses pada 28/06/2020). Di Semarang penurunan muka tanah di wilayah pesisir seluas 19 cm/year selama 1999-2011, lihat H.Z. Abidin , H. Andreas , I. Gumilar , T.P. Sidiq & Y. Fukuda, Land subsidence in coastal city of Semarang (Indonesia): characteristics, impacts and causes, Geomatics, Natural Hazards and Risk, (2013), 4:3, 226-240. Pada tahun 2008-2013 tercatat luasan erosi di Kota Semarang terbesar 337,986 ha dan luasan akresi terbesar 195,338 ha. Erosi di Pesisir Kota Semarang disebabkan oleh faktor alam seperti gelombang, pasang surut, penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut, lihat Fani Safitri, Suryanti, dan Sigit Febrianto, “Analisis perubahan garis pantai akibat erosi di pesisir Kota Semarang”, Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 25 No.1 Mei 2019: 37-46. 13 Lihat Christophe Béné, “When fishery rhymes with poverty: a first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries”, World Development Vol. 31, No. 6, pp. 949–975, 2003. Christophe Béné, “Poverty in small-scale fisheries: old issue, new analysis”, Progress in Development Studies 11, 2 (2011) pp. 119–44. Pertanyaan klasik terkait kemiskinan dan nelayan adalah ‘apakah karena miskin kemudian jadi nelayan?’ atau ‘apakah menjadi nelayan menyebabkan miskin?’ Kajian tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di pesisir sebesar 32,14 persen, sedangkan jumlah penduduk miskin total 16,8 persen, lihat Kompas (diakses https://money.kompas.com/read/2015/02/10/141818526/Kelompok.Miskin.Pesisir.Capai.32.Perse n.dari.Total.Masyarakat.Miskin.Indonesia pada tanggal 23 Juli 2020). Berdasarkan data KKP, di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebanyak 15.1802 nelayan kecil (kategori < 10 GT) ditambah 181.178 perahu motor tempel dan 190.923 perahu tanpa motor. Keberadaan Nelayan sedang dan besar sebanyak 15.1802 (kategori > 10 GT sampai dengan >200 GT). Jumlah nelayan kecil jauh lebih banyak jumlahnya. Jumlah nelayan pada tahun 2016 yang bergantung pada sumberdaya perikanan sebanyak 2.261.874 nelayan yang mencakup 1.162.268 nelayan penuh, 772.112 nelayan sambilan utama, dan 327.494 nelayan sambilan tambahan. Lihat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Buku Pintar Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP, 2018) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2018. (Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP, 2018). 14 DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sedangkan DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana mestinya, lihat Ditjen PDASHL KLHK., Statistik Ditjen PDASHL Tahun 2018. (Jakarta: Ditjen PDASHL, 2018) 4

lingkungan yang lestari, aspek sosial yang berkeadilan, dan aspek ekonomi yang merata. Secara asumtif dapat dikatakan bahwa pengaturan sumberdaya alam (sumberdaya agraria) dapat dikategorikan dalam 2 (dua) sisi, yaitu: penguasaan dan pengelolaan. Penguasaan sumber daya agraria diatur dalam Hukum Agraria, dimana Hukum Tanah menjadi salah satu bagian utamanya. Boedi Harsono mengatakan bahwa Hukum Tanah adalah hukum yang mengatur Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua HPAT berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah.15 Mengacu pada tata jenjang HPAT dalam Hukum Tanah Nasional, maka berbuat sesuatu dalam hak penguasaan atas tanah meliputi kewenangan yang beraspek publik dan/atau privat. Berbagai aturan perundang-undangan mengenai HPAT, termasuk penguasaan atas tanah di sekitar WPPPK dan SB ini telah berkembang sejak UUPA, namun ketika UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ditetapkan, disinyalir “lingkup wilayah berlaku” aturan yang berkaitan dengan HPAT di wilayah pesisir mengalami dialektika yang intensif. UU No. 27 Tahun 2007 yang dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, secara samar-samar tampak mengalami pergesekan dengan wilayah rezim pengaturan Hukum Tanah. Ada 2 (dua) persoalan yang muncul. Pertama, UU tersebut yang dimaksudkan untuk melakukan pengelolaan, tetapi dilandaskan pada hubungan hukum yang disebut “hak”, yakni Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Kedua, Lingkup berlaku HP3 mencakup atas ‘permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batasan keluasan tertentu’.16 15 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003) hal. 8 dan 23. 16 Pasal 1 butir 18 UU No. 27 Tahun 2007. 5

Persoalan pertama menjadi berarti untuk dicermati, ketika UU tersebut dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan dengan tekanan penggunaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau kecil, tetapi harus diakomodasi dengan hubungan hukum “hak”. Yang kedua menjadi pertanyaan hukum yang bermakna oleh karena berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPA, pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Persoalan pertama, telah diselesaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-VIII/2010 yang membatalkan beberapa pasal yang terkait HP3 dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan merekomendasikan bahwa hubungan hukum dalam penggunaan dan pemanfaatan bagian wilayah pesisir agar diakomodasi dengan ‘izin’. Dalam pada itulah, maka putusan MK tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK. Di dalam UU ini dikatakan bahwa hubungan hukum pemanfaatan pesisir dan sumber daya pesisir disebut izin lokasi dan izin pengelolaan. Pasal 1 Butir 18 menyatakan bahwa izin lokasi adalah izin yang diberikan utuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau- pulau kecil. Pasal 1 butir 18A UU 1 Tahun 2014 ini mengintroduksi istilah Izin Pengelolaan sebagai hubungan hukum untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. Penataan penguasaan tanah di WPPPK dan SB semakin menguat untuk diimplementasikan. Hal itu tampak dari ditetapkannya Permen ATR No. 17 Tahun 2016. Menurut Permen ini, penataan pertanahan dilakukan dengan pemberian hak atas tanah hanya untuk bangunan yang ada di pantai (Pasal 5 ayat (1)), perairan pesisir (Pasal 5 ayat (2)), dan pulau-pulau kecil (Pasal 9). Gambaran Wilayah Pesisir yang menjadi objek HPAT dapat dilihat pada Ragaan-1 berikut ini. 6

Ragaan 1 Gambaran Wilayah Pesisir Daratan Pasang Pulau- tertinggi Pulau Min. 100 m dari pasang air laut Surut permukaan Kecil permukaan tertinggi ke arah darat terendah kolom air kolom air air laut Perairan laut Sempadan Pantai (SP) dasar wil. Provinsi dasar (12 mil laut) Pantai Perairan Laut Namun, secara operasional Permen ATR No. 17 Tahun 2016 belum efektif berjalan dalam melakukan penataan pertanahan di WPPPK. Alasannya, terdapat limitasi internal di dalam Permen ATR No. 17 Tahun 2016 itu sendiri, seperti: (a) terjadinya private ownership dalam penguasaan wilayah perairan (Pasal 5-6); (b) berpotensi menyebabkan permasalahan lingkungan karena pemanfaatan wilayah perairan pesisir untuk wisata (Pasal 6); (c) objek pengaturan terlalu jauh sampai 12 mil ke arah laut (Pasal 4). (d) dimungkinkannya pemberian hak atas tanah kepada anggota Masyarakat Hukum Adat, padahal Permen ATR 18 Tahun 2019 menyatakan bahwa hak masyarakat adat hanya dideliniasi dan didaftarkan pada Buku Tanah, namun tidak disertipikatkan (Pasal 6 ayat (3) dan (4); (e) masih ambigu dalam pengaturan 30 : 70% untuk pulau-pulau kecil dan belum jelas pengaturan 30% tanah yang dikuasai negara di pulau-pulau kecil Pasal 9 ayat (2); (f) pemberian rekomendasi penguasaan tanah timbul terlalu birokratis (Pasal 15); (g) belum terdapat hubungan tahapan hierarkhi (Pasal 15); (h) belum terdapat hubungan tahapan hierarkhi antara rekomendasi tanah timbul dengan PTP tanah timbul (Pasal 15); (i) jenis hak atas tanah yang bersifat umum, tidak ada kekhususan tanah timbul (Pasal 15); (j) jenis hak atas tanah yang bersifat umum, tidak ada kekhususan perairan pesisir sebagai daerah yang rentan dan belum diatur mengenai jangka waktu haknya.17 17 Mitra Wulandari, “Dinamika pengaturan penguasaan tanah perairan pesisir dan pulau- pulau kecil”, Catatan Evaluatif Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Pulau-pulau Kecil Direktorat PWP3WT, Juni 2020. 7

Penataan HAT di WPPPK dan SB sangat dibutuhkan untuk kepastian hak atas tanah dalam rangka prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan pada level nasional. Pada konteks global, penataan hak atas tanah dan pengelolaan aktivitas pemanfaatan di level nasional seharusnya mengadopsi gagasan dan semangat dari ketentuan-ketentuan global untuk kepentingan nasional. Dari aspek hak tenurial, FAO pada tahun 2014 mendorong The Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (the SSF Guidelines)18 dan tahun 2012 terdapat Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of National Food Security.19 Dua guideline dari FAO ini sebagai rujukan utama di bidang tenurial karena berisi kepedulian yang tinggi terhadap pengakuan dan penghormatan hak tenurial dan sumber nafkah masyarakat untuk ketahanan pangan mereka apalagi di tengah masifnya pembangunan infrastruktur, terbukanya kran investasi20 dan adanya kerentanan wilayah. Dari segi pengelolaan aktivitas pemanfaatan, United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)21 menguraikan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan perairan laut di 18 FAO, “Voluntary guidelines for securing sustainable small-scale fisheries in the context of food security and poverty eradication” (diakses di http://www.fao.org/documents/card/en/c/I4356EN pada tanggal 28 Juni 2020). Pada Bagian 5.3 dan 5.4 dalam SSF Guideline ini dinyatakan bahwa instrumen dan pedoman SSF Guideline mendesak negara untuk kepastian hak tenurial, wilayah tangkap dan tanah yang berdekatan bagi nelayan kecil, pekerja perikanan, komunitas mereka dan kelompok perempuan dalam kerangka pengakuan, penghormatan dan perlindungan. 19 FAO, “Voluntary guidelines on the responsible governance of tenure of land, fisheries and forests in the context of national food security”, (diakses di http://www.fao.org/3/a-i2801e.pdf pada tanggal 28 Juni 2020). Pedoman ini untuk memperbaiki tata kelola tenurial tanah, perikanan dan kehutanan dengan tujuan untuk ketahanan pangan, realisasi progresif hak pada pangan yang layak, pengurangan kemiskinan,nafkah berkelanjutan, stabilitas sosial, jaminan perumahan, pembangunan pedesaan, perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan. 20 Masifnya pembangunan infrastruktur tercermin pada lampiran PP No 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut, dan terbukanya kran investasi tergambar dalam Permen Kelautan dan Perikanan No 8/PERMEN-KP/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau- Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan Luas Di bawah 100 KM. 21 UN, “Report of the United Nations Conference on Environment & Development Rio de Janerio” (Brazil)”, 3-14 June 1992. Vol. 1 Resolution adopted by conference. NY. UN 1993. A/CONF.151/26/Rev.l (Vol. l) (diakses di https://www.un.org/esa/dsd/agenda21/Agenda%2021.pdf pada 28 Juni 2020). 8

Chapter 17, yang di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti tercermin pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) (Pasal 7 UU 27 Tahun 2007), dan PP 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Keberadaan hak tenurial dan aktivitas pemanfaatan yang melibatkan aktor yang ragam cenderung menimbulkan konflik22 nyata dan potensial sehingga perlu keterpaduan pengelolaan pesisir dengan memperhatian keragaman: topik, pendekatan, disiplin, dan wilayah geografis dalam rangka pembangunan manusia berkelanjutan23 seperti yang dilakukan oleh UNESCO melalui platform Environment and Development in Coastal Regions and in Small Islands (CSI). Pengaturan dan penataan hak atas tanah di WPPPK dan SB melalui Permen ATR No. 17 Tahun 2016 kiranya patut untuk dikaji dalam suatu penelitian, sehingga diperoleh persoalan yang benar-benar riil menjadi kendala pelaksanaan Permen tersebut. Penelitian ini mengkaji penyebab-penyebab ketidakefektifan ATR No. 17 Tahun 2016 seputar limitasi internal dan/atau dalam implementasinya. Sebagai aturan di tingkat operasional, apakah Permen ATR No. 17 Tahun 2016 telah memadai dijadikan sebagai landasan operasional oleh pihak pelaksana di lapangan. Keteguhan pihak pelaksana di lapangan biasanya ditentukan oleh kepastian dari substansi aturan terkait sinkronisasi secara vertikal dan horisontal. Setelah itu, peneliti bermaksud memahami kesiapan para pihak yang bertanggung jawab melaksanakan Permen tersebut serta dukungan instansi terkait (stakeholders). Adakah pergesekan-pergesekan pemahaman dalam memaknai Permen ATR No. 17 Tahun 2016 tersebut? Selanjutnya, apakah pergesekan mengakibatkan implementasi Permen tersebut menjadi terganggu? Setelah memahami penyebab ketidakefektifan aturan ini, maka diharapkan adanya saran dan rekomendasi untuk melakukan perubahan yang baik terhadap Permen ATR No. 22 UNESCO, Wise practices for conflict prevention and resolution in small islands. Results of a workshop on ‘Furthering Coastal Stewardship in Small Islands’, Dominica, 4–6 July, 2001. Coastal region and small islands papers 11, (Paris: UNESCO, 2002), 70 pp. 23 UNESCO, Wise coastal practices for sustainable human development. Results of an intersectoral workshop, 30 November to 4 December 1998, and preliminary findings of a follow- up virtual forum. CSI info 10, Paris: UNESCO, 2000, viii + 126 pp. 9

17 Tahun 2016 yang berasal dari aspirasi berbagai pihak yang akan menjadi sasaran pengaturan aturan yang baru, dari masyarakat (masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal), usaha swasta, dan instansi pemerintah. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan permasalahan dalam 2 (dua) pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Apakah penyebab ketidakefektifan Permen ATR No. 17 Tahun 2016 mengenai penataan pertanahan di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil dan sungai besar? b. Bagaimanakah bentuk penataan pertanahan yang tepat bagi pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan sungai besar? 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut: a. untuk mengenali dan mendalami persoalan hak pertanahan dan penataannya di WPPPK dan BS sebagai wilayah terbatas dalam rangka memeriksa kembali pandangan-pandangan teoretik yang bekerja hari ini terkait hak. b. untuk mengevaluasi Permen ATR No 17 Tahun 2016 agar secara praktis menjadi masukan dan saran pada kebijakan dalam upaya perbaikan penataan hak pertanahan di WPPPK. B. Tujuan Penelitian Selaras dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara analitis: a. penyebab ketidakefektifan aturan Permen ATR No. 17 Tahun 2016 mengenai penataan pertanahan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan sungai besar. b. bentuk penataan pertanahan yang tepat bagi pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan sungai besar. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Sungai Wilayah pesisir mempunyai beragam definisi berdasarkan sudut pandang karakteristik fisik hingga susunan aspek biologinya. Di antara keragaman definisi itu, World Resource Institute (WRI) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah intertidal dan subtidal di atas landas kontinen (hingga kedalaman 200 m) dan area daratan yang berdekatan hingga 100 km ke arah daratan dari pantai.24 Definisi dari WRI ini mengacu pada karakteristik fisik wilayah pesisir. Dari segi yuridis formal, Pasal 1 angka 2 UU 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK dan Pasal 1 angka 1 Permen ATR 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di WPPPK, wilayah pesisir disebut sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Kedua definisi di atas (WRI dan yuridis formal) menunjukkan perbedaan, setidaknya terkait kejelasan batas (jarak) tertentu di wilayah pesisir termasuk keberadaan zona (supratidal, intertidal dan subtidal) yang dipengaruhi oleh pasang-surut. Secara operasional, ketentuan jarak dan kejelasan batas fisik di wilayah pesisir dalam sebuah definisi sangat berguna dalam rangka pengaturan wilayah pesisir termasuk dalam penataan hak dan aktivitas pemanfaatannya. 24World Resources Institute (WRI), World Resources 2000–2001: People and Ecosystems: The Fraying Web of Life. (Washington: WRI, 2000), pp. 69. 11

Sumber: https://thewinnower.com/papers/164-the-goldilocks-theory tanggal 16 Juli 2020 Gambar 1. Ilustrasi Bagian-Bagian Wilayah Pesisir Sekalipun definisi wilayah pesisir dari segi yuridis formal di atas relatif bersifat umum, namun terdapat penggunaan istilah lain pada bagian- bagian wilayah pesisir yang melengkapi dalam menggambarkan lokasi dan/atau di sekitar wilayah pesisir, yaitu: sempadan pantai, pantai dan perairan pesisir. Ketiga bagian di wilayah pesisir tersebut dapat dipadu- padankan dengan zona pasang-surut (tidal zone) termasuk tipe pantai (lautan dan teluk) dan bagian-bagiannya untuk memudahkan dalam mengamati batasan dan jarak antar-bagian. 12

Tabel 1. Bagian-Bagian di Wilayah Pesisir Lokasi & batasan 1 Lokasi & batasan 2 Tidal zone Bagian Pantai lautan Pantai Teluk wilyah pesisir Open water (perairan terbuka) Open water Subtidal Perairan Di bawah Mean Low Water pesisir (MLW) Wet beach (pantai basah) Mud flat (dataran lumpur) Intertidal Pantai Antara Mean High Water Antara Mean Sea Level (MHW) dengan MLW (MSL) dengan MLW Marsh low (rawa rendah) Antara Mean High Water (MHW) dengan MSL Dry beach (pantai Marsh high (rawa tinggi) Supratidal Sempadan kering)Antara MHW Antara Mean Spring Pantai dengan strom (rata-rata garis High Water (MSHW) badai tahunan) dengan MHW --vegetation line-- Dry land Upland Dune di atas strom Sumber: Titus; https://thewinnower.com/papers/164-the-goldilocks-theory tanggal 16 Juli 2020; UU No 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil; dan Perpres No 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Secara yuridis formal, sempadan pantai, didefinisikan dalam Pasal 1 Perpres 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, sebagai daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan pantai termasuk dalam area supratidal dan upland atau berada pada lokasi antara Mean High Water (MHW) (rata-rata air tertinggi) dengan di atas rata-rata garis badai tahunan. Untuk daerah antara muka air surut terendah dengan muka air pasang tertinggi disebut pantai (Pasal 1 (angka 6) Perpres 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, dan (Pasal 1 (angka 6) Permen ATR 17 Tahun 2016 tentang Penataan pertanahan di WPPPK). Bila disimak secara seksama, definisi pantai dari segi yuridis formal serupa dengan kawasan yang disebut dengan zona intertidal (terbagi dataran berlumpur, dataran campuran, dan dataran 13

berpasir). Di wilayah pesisir terdapat fenomena akresi dan abrasi yang terjadi secara dinamis. Kejadian akresi melalui proses sedimentasi dapat memunculkan tanah timbul. Tanah timbul merupakan daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan.25 Tanam timbul dapat terjadi di sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul sendiri. Sementara itu, definisi perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (Pasal 1 (7) UU 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK dan Pasal 1 (2) Permen ATR 17 Tahun 2016 tentang Penataan pertanahan di WPPPK). Perairan dengan jarak sejauh 12 mil itu dikategorikan sebagai wilayah kedaulatan Indonesia.26 Berdasarkan kedalaman perairan Indonesia diketahui bahwa perairan laut sepanjang 12 mil terbagi dua, yaitu: laut dangkal (≤ 200 meter) dan laut dalam (> 200 meter).27 Untuk itu, penggunaan konsep pantai dan perairan pesisir beserta definisinya dan penjelasan pendukung lainnya dapat menguraikan lebih rinci terkait seluk-beluk wilayah pesisir. Keragaman definisi juga berlaku pada pulau kecil berdasarkan kategorinya. UNESCO mencatat kategori-kategori untuk mendefinisikan pulau kecil meliputi garis lintang, geologi atau struktur pulau, 25 Penjelasan Pasal 12 PP No 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. 26 Perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia terletak pada segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Pasal 3 UU 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menjelaskan bahwa laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Selain kedaulatan di laut territorial, Indonesia juga mempunyai hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 27 Kedalaman laut Indonesia di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu: (1) laut dangkal (≤ 200 meter) terletak di WPP-NRI 571, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713 dan WPP-NRI 718; dan (2) laut dalam (> 200 meter) terletak di WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, dan WPP-NRI 717. 14

ketinggiannya, pembagian besaran pulau, kependudukan atau politik, variabel ekonomi, dan sosio-kulutral.28 Pulau kecil, mengacu pada kategori hidrologi, adalah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 km2 atau yang lebarnya tidak lebih dari 10 km.29 Bahkan Falkland mendefinisikan pulau yang sangat kecil dengan luas tidak lebih dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih dari 3 km. Definisi pulau kecil dari Falkland tidak terlepas dari sudut pandang hidrologi terkait persoalan sumberdaya air (kuantitas, kualitas dan pengelolaannya) di pulau kecil. Pilihan satu sudut pandang/kategori atau lebih terkait pulau kecil tergantung dengan tujuan dan kebutuhan. Sejauh ini terminologi hukum Indonesia menyebut dan menggunakan tiga istilah/konsep pulau kecil, yaitu: Pulau Kecil, Pulau- Pulau Kecil (PPK) dan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya (Pasal 1 angka 3 UU 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK, dan Pasal 1 angka 4 Permen ATR 17 Tahun 2016 Penataan pertanahan di WPPPK). Mengacu pada Permen ATR 17 Tahun 2016 itu pula, Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil dibatasi pada pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus kepulauan sesuai dengan Hukum Internasional dan Nasional. Serupa dengan Pulau-Pulau Kecil, istilah Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan Hukum Internasional dan Nasional (Pasal 1 angka 1b Perpres 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar). 28 Definisi pulau kecil berdasarkan kategori garis lintang (latitude) (seperti tropis, sedang atau kutub); geologi atau struktur pulau (seperti benua, vulkanik, aluvial, batu kapur tinggi, atau pulau atol); ketinggian (pulau tinggi dan pulau rendah); pembagian besaran wilayah pulau, kependudukan atau politik (bekas afiliasi kolonial) atau variabel ekonomi (GDP), dan sosia- kultural (pusat dan pinggiran dari segi budaya, eonomi atau dalam perencanaan nasional atau daerah), lihat UNESCO, Island Agenda. An overview of UNESCO's Work on Island Environments, Territories, and Societies, (Paris, France: Adolarc, 1994). 29 A. Falkland, Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. (Paris: UNESCO, 1991). 15

PPKT tidak hanya mengungkapkan kategori ukuran luas semata tapi juga terkait dengan kedaulatan negara Indonesia. Mencermati definisi yang digunakan itu, istilah PPK dan PPKT sepertinya menunjuk pada objek yang tidak berbeda. Burke et al menggambarkan sebuah lingkungan pesisir yang mencakup daratan dekat pantai, intertidal, bentik dan lingkungan laut pelagis.30 Sementara Desjardins menyebut lingkungan di wilayah pesisir terbagi tiga zona berdasarkan morfologi dan sedimentologi, yaitu: zona supratidal (backshore), zona intertidal dan zona subtidal.31 Ekosistem pada masing-masing zona mempunyai karakteristik tumbuhan dan hewan yang khas. Dengan kekhasan seperti itu, maka wilayah pesisir menyediakan barang dan layanan. Barang yang tersedia mencakup makanan untuk manusia dan hewan (termasuk ikan, kerang, dan rumput laut); garam; mineral dan minyak; bahan konstruksi (pasir, batu, karang, kapur, dan kayu); dan keanekaragaman hayati, termasuk stok genetik untuk bioteknologi dan obat. Untuk layanan alam yang diberikan, yaitu: perlindungan garis pantai (penyangga garis pantai, perlindungan dari badai dan erosi dari angin dan ombak), penyimpanan dan siklus nutrisi, pertahanan keanekaragaman hayati, penjaga kualitas air (melalui penyaringan dan penurunan polutan), dan berfungsi sebagai area untuk rekreasi dan pariwisata.32 Keberadaan wilayah pesisir dan ekosistemnya termasuk pesisir pulau kecil menyediakan barang dan jasa sangat kaya. Dengan kondisi seperti itu, tidak dimungkiri bahwa wilayah pesisir menjadi ruang hidup bagi manusia. Ruang hidup itu mencakup permukiman, tempat usaha, tempat ritual keagamaan, tempat berwisata/rekreasi dan bernavigasi. 30 Laurett A Burke, Yumiko Kura, Ken Kassem, Carmen Revenga, Mark Spalding and Don Mcallister, Coastal Ecosystems. Washington, DC: World Resources Institute, 2001, pp. 11. 31 Patricio R. Desjardins, Luis A. Buatois and M. Gabriela Ma´ngano, Tidal Flats and Subtidal Sand Bodies, Developments in Sedimentology, Vol. 64, 2012. Fan Daidu, Classifications, sedimentary features and facies associations of tidal f lats. Journal of Palaeogeography, 2013, 2(1): 66-80. 32 Laurett A Burke et al., Op.cit 16

Misalnya, pembagian 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negera Republik Indonesia (WPP NRI)33 menandakan adanya lokasi usaha perikanan. Keberadaan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)34 untuk hak lintas damai bagi kapal dan pesawat udara asing menggambarkan sebuah lokasi bernavigasi. Istilah sungai secara yuridis formal didefinisikan sebagai alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan seperti tercantum dalam Pasal 1 angka 1 PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Sungai terdiri atas palung sungai dan sempadan sungai, yang kemudian disebuat sebagai ruang sungai. Tabel 2. Sempadan Sungai dan Jaraknya Lokasi Sempadan sungai (1) Sempadan sungai (2) Sungai Batas lebar sekurang- bertanggul kurangnya 5 meter di Kawasan perkotaan: sebelah luar sepanjang Paling sedikit berjarak 3 m dari tepi luar kaki Sungai kaki tanggul (Pasal 5 tanggul sepanjang alur sungai (Pasal 11) tidak ayat 1) Kawasan di luar perkotaan: bertanggul Paling sedikit berjarak 5 m dari tepi luar kaki Berdasarkan tanggul sepanjang alur sungai (Pasal 12) pertimbangan teknis Kawasan perkotaan: dan sosial ekonomis a.paling sedikit berjarak 10 m dari tepi kiri dan (Pasal 5 ayat 2) kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai < 3 m; b. paling sedikit berjarak 15 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai > 3 m sampai dengan 20 m; 33 Sebelas (11) WPP Indonesia yaitu: WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), WPP 572 (Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda), WPP 573 (Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa), WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, Laut China Selatan), WPP 712 (Laut Jawa), WPP 713 (Selat Malaka - Laut Flores), WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Teluk Tomini - Laut Seram), WPP 716 (Laut Sulawesi), WPP 717 (Samudera Pasifik) dan WPP 718 (Laut Arafura -Laut Timor). Di WPP itu pula dibagi jalur penangkapan ikan yaitu: (1) I A (0-2 mil), dan I B (2-4 mil), (2) II (4-12 mil), dan III (12 mil - keatas). Laut Indonesia juga terbagi 18 ekoregion laut (EL), yaitu: EL-1 Samudera Hindia Barat Sumatera, EL-2 Samudera Hindia – Selatan Jawa, EL-3 Selat Malaka, EL-4 Laut Natuna, EL-5 Selat Karimata, EL-6 Laut Jawa, EL-7 Laut Sulawesi, EL- 8 Selat Makassar, EL-9 Perairan Bali Dan Nusa Tenggara, EL-10 Teluk Tomini, EL-11 Laut Halmahera, EL-12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi, EL-13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Dan Teluk Bone EL-14 Laut Seram Dan Teluk Bintuni, EL-15 Laut Banda, EL-16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua, EL-17 Teluk Cendrawasih, EL-18 Laut Arafura. Lihat, Kementerian Lingkungan Hidup, Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia. (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Tata Lingkungan, 2013). 34 Peraturan Pemerintah 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. 17

dan c. paling sedikit berjarak 30 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai > 20 m. (Pasal 9) Kawasan di luar perkotaan: a. sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 Km2; dan b. sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan 500 Km2 Sungai besar: Paling sedikit berjarak 100 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Sungai kecil: paling sedikit 50 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai (Pasal 10) Sumber: (1) Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1991 tentang Sungai, dan (2) Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu seperti tercantum dalam Pasal 5 (5) PP No 38 Tahun 2011. Sempadan sungai mempunyai jarak lebar yang tidak sama antara sungai bertanggul dengan sungai tidak bertanggul, dan antara di kawasan perkotaan dengan di luar kawasan perkotaan seperti dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Permen PUPR merupakan petunjuk teknis dalam penetapan batas sempadan sungai, sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Sumber: Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN, 2018 Gambar 2. Jarak Sempadan Sungai 18

Contoh jarak lebar sungai bertanggul kawasan perkotaan paling sedikit berjarak 3 m dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai, dan kawasan di luar perkotaan paling sedikit berjarak 5 m dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Untuk sungai tidak bertanggul kawasan perkotaan terdapat tiga pilihan tergantung kedalaman sungai, yaitu: a. paling sedikit berjarak 10 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai < 3 m; b. paling sedikit berjarak 15 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai > 3 m sampai dengan 20 m; dan c. paling sedikit berjarak 30 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai > 20 m. Sejauh ini sungai merupakan kekayaan negara sehingga dikuasai oleh negara. Sungai berfungsi penting dalam penyediaan air baku dan irigasi, dan jasa transportasi. Sekalipun mengemban fungsi penting itu, namun persoalan pelik pada sungai di antaranya pencemaran air, penyempitan dan pendangkalan sungai, penguasaan dan pemilikan tanah pada sempadan sungai termasuk bangunan permukiman. Pencemaran Sungai Kapuas di Kalimantan Barat berstatus memburuk pada 2016-2017 dan tidak berubah (cemar sedang-cemar berat) selama 2017-2018.35 2. Sumberdaya Alam dan Dialektika Hukum Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil a. Rezim pemilikan sumberdaya alam dan hak pemilikan sumberdaya alam Menurut Bromley,36 rezim pemilikan sumberdaya alam terbagi empat kategori, yaitu: State property, Individual property, Common property, dan Open access. Berkes37 juga membagi empat kategori, yaitu: 35 BPS, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2019: Hutan dan Perubahan Iklim. (Jakarta: BPS, 2019). 36 Daniel W. Bromley, “The commons, common property, and environmental policy”, Environmental and Resource Economics 2, 1992: 1—17. 37 Fikret Berkes. “Property rights and coastal fisheries”, pp. 51-62. In R.S. Pomeroy (ed.), Community management and common property of coastal fisheries in Asia and the Pacific: Concepts, methods and experiences. ICLARM Conf. Proc. 45, 1994, p 189. 19

open access (res nullius), private property, state property (respublica), dan communal or common property (res communes). Keempat kategori tersebut merupakan tipe ideal yang dapat digunakan dalam analisis secara konseptual. Mengacu pada Bromley, State property regimes (rezim pemilikan negara) dimaknai sebagai pemilikan dan kontrol atas penggunaan sumberdaya alam yang berada dalam kewenangan negara. Penggunaan atas sumberdaya alam oleh individu dan kelompok dapat dilakukan atas kehendak negara. Berbeda dengan state property, individu yang memiliki dan mengontrol atas sumberdaya alam dikategorikan sebagai individual property regimes (rezim pemilikan individu). Dalam common property (res communes), individu mewakili kepentingan kelompok, dan individu itu mempunyai sejumlah hak (dan tugas) dalam common property regimes (rezim pemilikan komunal). Sementara, ketiadaan hak pemilikan terhadap sumberdaya alam disebut dengan Open access regimes (rezim akses terbuka untuk semua) atau res nullius. Di Indonesia tidak ada sejengkal tanah pun yang disebut dengan res nullius sebab Indonesia mengenal hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi (miring asli penulis).38 Open access muncul akibat dari ketiadaan sistem kewenangan yang mempunyai tujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap seperangkat kondisi perilaku terkait dengan sumberdaya alam. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran istilah yang digunakan, Ostrom dan Hess39 mengingatkan perbedaan common property dan open access, bahwa dalam common property, anggota kelompok mempunyai hak legal untuk menyingkirkan bukan anggota kelompok dari penggunaan sumberdaya alam, sedangkan dalam open access, tidak ada hak legal untuk menyingkirkan seseorang dari penggunaan sumberdaya alam. Keberadaan State property di Indonesia tercermin dari pemilikan sumberdaya alam oleh instansi/badan pemerintahan. Memang ada istilah 38 Boedi Harsono, Op.cit.. 39 Elinor Ostrom & Charlotte Hess, 2010. Private and common property rights, Chapters, in: Boudewijn Bouckaert (ed.), Property Law and Economics, chapter 4, Edward Elgar Publishing. 20

Hak Menguasai Negara di Indonesia namun istilah ini menunjuk pada hubungan hukum antara negara Republik Indonesia dengan tanah-bersama Bangsa Indonesia adalah semata-mata beraspek hukum publik (miring asli penulis).40 Individual property merupakan pemilikan individu warga negara. Selain kedua rezim tersebut, juga ada common/communal property yang disebut dengan pemilikan adat. Pemilikan oleh masyarakat adat/masyarakat hukum adat dijamin dalam aturan perundang- undangan.41Eksistensi masyarakat adat di WPPPK masih dipraktikkan dalam pengelolaan WPPPK dan sumberdaya alamnya. Misalnya, sistem Sasi di Maluku42 dan di Raja Ampat,43 dan Abanfan Matilon di Papua.44 Selain masyarakat adat, juga dikenal adanya masyarakat tradisional atau nelayan tradisional,45 yang hak perikanan tradisional mereka secara turun- 40 Boedi Harsono. 2015. Hukum Agraria Indonesia. Jilid 1. Cet. Ke-2. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 41 UUD 1945; UUPA; Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; Permen ATR/Kepala BPN 18/2019 Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat; Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8/Permen-Kp/2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sejak 2016-2019, KKP telah melakukan fasilitasi dalam pengakuan masyarakat adat di WPPPK sebanyak 12 masyarakat adat, lihat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP. Laporan Capaian Kinerja Program Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Tahun 2015-2019, 2019, hal. 78. 42 Eddy Mantjoro, Traditional management of communal-property resources: the practice of the Sasi system, Ocean & Coastal Management, Vol. 32, No. 1, pp. 17-37, 1996; Arif Satria1 dan Ahmad Mony. Dinamika praktek sasi laut di tengah transformasi ekonomi dan politik lokal. Sodality, Agustus 2019, hal 143-152. 43 Elva Lestari dan Arif Satria, Peranan sistem sasi dalam menunjang pengelolaan berkelanjutan pada kawasan konservasi perairan daerah Raja Ampat. Buletin Ilmiah “MARINA” Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Tahun 2015: 67-76. 44 Amir Mahmud, Amalia Setya Pratiwi, Puguh Wahyu Widodo dan Kasihartadi, “Abanfan Matilon: Kearifan lokal masyarakat Pulau Liki dalam pengelolaan pesisir” (hal. 77-108), dalam Arif Satria, R. Moh. Ismail, Tely Sasaluti, dan Andi Darwis. Laut dan Masyarakat Adat. (Jakarta: Kompas, 2017). 45 Pasal 1 (35) UU No 7 Tahun 2007 Pengelolaan WP3K menyebut dengan istilah masyarakat tradisional, sedangkan Pasal 1 (5) UU No 7 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam menyebut nelayan tradisional. UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebut tiga kategori Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang 21

temurun masih diakui di sebagian tempat.46 Suku-suku seperti Bajo, Galang, Mantang, Barok, Mapor adalah beberapa contoh dari suku orang laut yang mendiami kawasan perairan secara turun-temurun, mempunyai wilayah, tatanan kehidupan (kearifan lokal), dan memanfaatan wilayah perairan dan sumberdaya alamnya. Mereka dapat dikatakan sebagai subjek hukum dari hak yang dapat diberikan di atas air. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian bahwa suku-suku orang laut mengenal pewarisan dan transaksi (jual-beli) atas wilayah perairan, sehingga dapat disimpulkan bahwa suku tersebut memandang wilayah perairan sebagai benda yang dapat dikuasai dan dimiliki secara perorangan dan mempunyai nilai ekonomis.47 Eksistensi masyarakat adat, nelayan tradisional, nelayan kecil beserta perempuan dalam komunitas pesisir merupakan subjek penting yang didorong untuk diperhatian dalam legislasi pertanahan dalam konteks ketahanan pangan dan pemberantasan kemiskinan dalam dua Guideline dari FAO.48 Perhatian serius yang dimaksud berisi bahwa, negara melalui instrumen legislasi agar mengakui, menghormati dan melindungi hak tenurial mereka seperti wilayah usaha perikanan dan tempat tinggal mereka. Dari uraian rezim pemilikan di atas, terdapat sekumpulan hak (bundle of right) dalam pemilikan (property) sumberdaya alam. Mengacu menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai- nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. 46 Misalnya, perikanan tradisional nelayan Indonesia dijamin melakukan penangkapan perikanan di wilayah Australia. Nelayan tradisional Indonesia diakui hak tradisionalnya untuk menangkap ikan di wilayah Australia seperti di Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatan Reef (Pulau Datu) dan Browse Islet. Wilayah ini dikenal dengan box-shaped area. Lihat, MoU Indonesia dengan Australia di Jakarta tanggal 7 November 1974; The Parliament of The Commonwealth of Australia, Joint Standing Committee on Treaties, Australia-Indonesia Maritime Delimitation Treaty, 12th Report, November 1997. 47 Sri Susyanti Nur, “Pola Penguasaan dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turut-Temurun Oleh Suku Bajo”, Prosiding Seminar Nasional Multi Disipli Ilmu & Call for Papers Unisbank (Sendi_U), Kajian Multi Disiplin Ilmu untuk Mewujudkan Poros Maritim dalam Pembangunan Ekonomi Berbasis Kesejahteraan Rakyat, Tanpa Tahun, ISBN: 978-979-3649-81-8. 48 FAO, Op.cit. Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries. 22

pada pemikiran Schlager & Ostrom,49 sekumpulan hak atas pemilikan itu terdiri atas: Akses (access), Pemanfaatan (withdrawal), Pengelolaan (management), Eksklusi (exclusion), dan Alienasi (alienation). Sekumpulan hak ini menunjukkan adanya cakupan batasan dan tanggungjawab bagi pemegang hak dalam pengusahaan dan pemilikan sumberdaya alam, yang pada konteks yuridis formal batasan dan tanggungjawab tertera dalam UUPA, dan PP No 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, HP atas Tanah.50 Kerangka konseptual sekumpulan hak pemilikan dari pemikiran Schlager & Ostrom itu diperkaya oleh Sikor et al. dengan membagi delapan hak pemilikan atas sumberdaya alam, yaitu: Hak memperoleh manfaat secara langsung (use of direct benefits), Hak memperoleh manfaat secara tidak langsung (use of indirect benefits), Hak pengelolaan (management), Hak eksklusi (exclusion), Hak transaksi (transaction), Hak pemantauan (monitoring), Hak menentukan (definition) dan Hak alokasi (allocation).51 Sekumpulan hak pemilikan atas sumberdaya alam dalam ilmu sosial ini dapat digunakan sebagai kerangka analitis untuk mendalami sejauh mana jenis hak (legal formal) yang 49 Edella Schlager and Elinor Ostrom, “Property-rights regimes and natural resources: a conceptual analysis”, Land Economics, Vol. 68, No. 3 (Aug., 1992), pp. 249-262. Akses: dimaknai sebagai hak untuk memasuki sebuah pemilikan atas sumberdaya fisik yang jelas, sedangkan hak pemanfaatan merupakan hak untuk memperoleh ‘hasil’ dari sumberdaya (penangkapan ikan, dan mengambil air). Keduanya berada pada level operasional untuk menjalankan saja. Berbeda dengan sebelumnya, hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah bentuk sumberdaya dengan membuat perbaikan disebut dengan pengelolaan. Eksklusi merupakan hak untuk menentukan siapa yang mempunyai hak akses dan bagaimana hak itu dialihkan. Alienasi sebagai hak untuk menjual dan menyewakan sumberdaya. 50 Lihat di antaranya UUPA Pasal 6, Pasal 7, Bagian III Hak Milik, Bagian IV Hak Guna Usaha, Bagian V Hak Guna Bangunan, dan Bagian VI Hak Pakai. 51 Thomas Sikor, Jun He and Guillaume Lestrelin. “Property rights regimes and natural resources: A conceptual analysis revisited”, World Development Vol. xx, pp. xxx–xxx, 2017. Hak memperoleh manfaat secara langsung (use of direct benefits): hak untuk memperoleh manfaat secara langsung yang berasal dari smberdaya. Hak memperoleh manfaat secara tidak langsung (use of indirect benefits): hak untuk memperoleh manfaat secara tidak langsung berkaitan dengan sumberdaya. Hak pengelolaan (management): hak untuk mengatur pemanfaatan dan mengubah bentuk sumberdaya. Hak eksklusi (exclusion): hak untuk menentukan siapa yang punya hak pemanfaatan. Hak transaksi (transaction): hak untuk mengurus kegiatan yang membutuhkan perwujudan pemanfaatan. Hak pemantauan (monitoring): hak untuk mengamati penggunaan manfaat dan kondisinya dari sumberdaya. Hak menentukan (Definition); hak untuk menetukan ruang diskresi untuk pelaksanaan hak kontrol. Hak alokasi: hak untuk memberikan hak kontrol pada aktor tertentu. 23

dipegang oleh individu, masyarakat, swasta dan instansi pemerintahan dalam konteks hak atas dasar pemilikan/penguasaan dan hak atas dasar perizinan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sebagian atau keseluruhan WPPPK dan SB beserta sumberdaya alamnya. Secara legal formal, UUPA membagi hak atas tanah, yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. Sementara hak-hak atas air dan ruang angkasa terdiri atas hak guna-air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan hak guna ruang angkasa. Sutherland52 menggambarkan hak yang kompleks dan kemungkinan tumpang tindih di bagian tertentu di wilayah pesisir seperti pantai, permukaan air, kolom air, dasar laut hingga di bawah tanah di dasar laut. Sumber: Sutherland Gambar 3. Hak yang Kompleks dan Kemungkinan Tumpang-Tindih di Bagian Tertentu Pesisir Keberadaan hak-hak di wilayah pesisir di antaranya hak masyarakat adat, hak (akses) tepi pantai, hak akses publik, hak navigasi, hak perikanan, hak pemanfaatan untuk pembangunan, dan hak atas sumberdaya mineral. Seperti dikutip oleh Sutherland, Cockburn menyatakan bahwa terdapat hak tertinggi di wilayah pesisir yang kira-kira tidak boleh hilang, yaitu: hak bernavigasi dan hak akses. Di pulau-pulau 52 Michael D. Sutherland, “Marine Boundaries and Good Governance of Marine Spaces”, Department of Geodesy and Geomatics Engineering University of New Brunswick. Technical Report No. 217, 2005. 24

kecil kondisinya hampir sama, terdapat klaim berbasis pada hak, izin dan sewa dalam rangka pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan. Bagi kepentingan nasional pulau-pulau kecil terluar bernilai strategis sebagai wilayah kedaulatan negara, dan bagi kepentingan kemanusiaan pulau- pulau kecil terluar dan pulau-pulau kecil lainnya perlu dijamin sebagai tempat berlindung sementara bila terjadi ombak besar yang membahayakan keselamatan. Penjelasan kerangka konseptual dan kondisi ragam “hak” ini perlu penegasan terkait dengan batas wilayah hak (boundary), batasan (restriction) dan tanggung jawabnya, dan perlu pengklasifikasian dalam kerangka yuridis formal di antaranya berbasis hak, izin dan sewa bagi kepentingan individu, masyarakat, swasta dan instansi pemerintahan. Penegasan dan pengklasifikasian berdasarkan yuridis formal agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kerancuan hukum. Di WPPPK di Indonesia, keberadaan penguasaan/pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan terhadap tanah dan sumberdaya alamnya telah berjalan berdasarkan turun-temurun, yuridis formal dan turun- temurun yang telah memperoleh keabsahan yuridis formal. Mencermati kondisi pertanahan itu, Permen ATR No. 17 Tahun 2016 merupakan salah satu mekanisme yuridis formal yang bertujuan untuk menata hak di WPPPK. Penataan hak atas tanah di WPPPK mencakup tanah yang telah ada, tanah (hasil) reklamasi dan tanah timbul. Hak atas tanah terhadap tanah reklamasi dalam Pasal 4 Permen ATR No 17 Tahun 2016 disertai dengan ketentuan. Sejumlah ketentuan yang disyaratkan itu selaras dengan semangat yang terkandung dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.53 Sementara tanah timbul diatur dalam Pasal 15 Permen ATR No 17 Tahun 53 Termasuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/PERMEN-KP/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 25

2016.54 Memang aturan penataan hak di WPPPK telah tersedia dan berlaku namun di lokasi tertentu masih muncul masalah seperti perebutan atau konflik penguasaan/pemilikan atas tanah di pulau kecil55 dan tanah timbul.56 Hasil riset UNESCO juga menerangkan penyebab konflik, dan aktor yang berkonflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang kemudian merekomendasikan adanya kesepakatan secara sukarela oleh para pihak dalam pemecahan konflik tersebut.57 Hasil kajian dan pendekatan kesepakatan secara sukarela dalam konflik ini patut menjadi catatan penting dalam pemetaan penyebab konflik, aktor yang terlibat dan upaya pencegahan dan resolusi konflik ke depan. b. Dialektika hukum hak atas tanah dan perizinan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan sungai besar Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran hukum yang lengkap tentang efektivitas aturan hukum mengenai penguasaan 54 Pemilikan tanah timbul berdasarkan luasannya, yaitu (1) tanah timbul paling luas 100m2 dapat dimiliki oleh pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah timbul dimaksud, dan (2) tanah timbul dengan luas lebih dari 100 m2 dapat diberikan hak dengan ketentuan memperoleh rekomendasi dari ATR/BPN dan penggunaan dan pemanfaatannya sesuai dengan RTRW Provinsi/RTRW Kabupaten/Kota atau RZWP3K. 55 Pulau Pari dengan luas 41,32 ha dihuni oleh 530 laki-laki dan 497 perempuan atau 310 kepala keluarga Pada tahun 2016. Rilus A. Kinseng, Fredian Tonny Nasdian, Anna Fatchiya, Amir Mahmud & Richard J. Stanford, “Marine-tourism development on a small island in Indonesia: blessing or curse?”, Asia Pacific Journal of Tourism Research, 2018, DOI: 10.1080/10941665.2018.1515781, dan F. Yoppie Christian. Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta). Tesis. Bogor: IPB, 2018. 56 Setidaknya konflik terkait tanah timbul itu muncul di Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Sidoarjo, lihat Marzuqo Septianto, Lala M. Kolopaking, Soeryo Adiwibowo, “Penguasaan Tanah Timbul oleh Rumah Tangga Buruh Migran Indonesia”, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol 6 No 2 Agustus 2018, hal 175-183, dan Eliza Rafida Hanum, “Dinamika Konflik Tanah Timbul di Pulau Sarinah Kabupaten Sidoarjo”, Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 135-142. 57 Penguasaan tanah sebagai penyebab utama konflik. Salah satu faktor utama penyebab peningkatan konflik adalah peraturan yang tidak memadai dan terbatasnya penegakan hukum dan peraturan. Kelompok yang berkonflik didominasi antara lain: 1. Pengembang dan kelompok pengguna pantai (nelayan dan pedagang pantai), 2. Pemilik lahan pesisir dan masyarakat atas hak akses ke pantai, 3. Operator penambangan pasir dan pengguna pantai, 4. Pemilik properti pesisir (yang melindungi tanah mereka dari genangan air laut) dan pengguna pantai lainnya, dan 5. Orang-orang yang membuang limbah padat dan limbah lainnya ke pantai atau pedalaman dan pengguna pantai. Pendekatan kesepakatan secara sukarela dalam upaya pemecahan konflik harus mempunyai ciri-ciri: efisien, stabil, lenting, dan kesetaraan. Lihat, UNESCO, Op.cit. Wise practices for conflict prevention. 26

tanah di beberapa WPPPK dan SB. Gambaran hukum lengkap dimaksud akan ditemukan dalam apa yang disebut Lawrence Friedman sebagai sistem hukum, yakni meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.58 Selanjutnya, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa efektivitas hukum pun hanya mungkin dicapai ketika komponen sistem hukum di atas memadai untuk mewujudkan tujuan hukum, yakni: (a) substansi hukum yang harus berkepastian dan bermanfaat, dengan tetap mengindahkan keadilan, (b) struktur hukum berupa penegak hukum (yang menerapkan dan menegakkan) yang memahami dan konsisten mematuhi dan menegakkan hukum, (c) masyarakat dengan kebudayaan yang dimilikinya yang mendukung terwujudnya tujuan hukum.59 Pandangan Soerjono Soekanto ini menjadi acuan dalam memastikan efektivitas aturan hukum melalui empat faktor penyebab, yaitu: (a) substansi hukum di antaranya dalam hirarki peraturan perundang-undangan, (b) struktur hukum terkait penegak hukum dan pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum, (c) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum seperti rencana tata ruang, arahan teknis, ketersediaan data lengkap dan peta citra satelit, dan (d) budaya hukum dan masyarakat (kemanfaatan bagi para pihak, tingkat pemahaman, akses terhadap informasi tentang aturan). Sebenarnya menilai efektivitas suatu peraturan perundangan merupakan bagian dari socio-legal research (Penelitian Sosiolegal),60 yaitu hukum sebagai objek yang diteliti dengan pendekatan ilmu hukum dan sosial. Mengutip pandangan Roscoe Pound dalam Oloan Sitorus, yang mengemukakan bahwa dalam pembuatan hukum, penafsiran dan penerapannya perlu memperhatikan fakta-fakta sosial, karena kehidupan 58 Lawrence Friedman, The Legal System A Social Science Perspective, (New York, USA: Penerbit Russell Sage Foundation, 1975). 59 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 110-112. 60 Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Ed. Revisi), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 60. 27

hukum terletak pada pelaksanaannya.61 Seirama dengan pendapat Roscoe Pound yang terkenal “Law as a tool of social engineering”, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa sebagai sarana rekayasa sosial hukum harus digunakan secara sadar agar mencapai suatu ketertiban atau keadaan masyarakat yang diharapkan, sehingga hukum dapat menjadi sarana dalam menyalurkan kebijakan agar tercipta keadaan yang baru/ada perubahan dari kondisi sebelumnya.62 Dikutip dari Franz Benda-Beckmann & Keebet Benda-Beckmann (2006) pernah mengatakan: “The notion of law should not be limited to state, international and transnational law, but should be used to refer to all those objectified cognitive and normative conceptions for which validity for a certain social formation is authoritatively asserted. Law becomes manifest in many forms, and is comprised of a variety of social phenomena”.63 Dialektika intensif dalam faktor hukum tampak pada 2 (dua) persoalan. Pertama, UU tersebut yang dimaksudkan untuk melakukan pengelolaan, tetapi dilandaskan pada hubungan hukum yang disebut “hak”, yakni Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Kedua, Lingkup berlaku HP3 mencakup atas ‘permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batasan keluasan tertentu’.64 Persoalan pertama menjadi berarti untuk dicermati, oleh karena UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan dengan tekanan penggunaan dan pemanfaaran wilayah pesisir dan pulau kecil, tetapi harus diakomodasi dengan hubungan hukum “hak”. Persoalan kedua penting untuk dicermati oleh karena berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPA, pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang 61 Oloan Sitorus, Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif Dalam Penataan Ruang di Indonesia, (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hal. 55. 62 Ibid. Hal. 56. 63 Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011). 64 Pasal 1 butir 18 UU No. 27 Tahun 2007. 28

berada di bawah air. Persoalan pertama, telah diselesaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-VIII/2010 yang membatalkan beberapa pasal yang terkait HP3 dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan merekomendasikan bahwa hubungan hukum dalam pengunaan dan pemanfaatan bagian wilayah pesisir agar diakomodasi dengan ‘izin’. Dalam pada itulah, maka putusan MK tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK. Ragaan 2. Hubungan Hak Penguasaan dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria UU No 1 Tahun 2014 ini mengintroduksi istilah izin lokasi dan izin pengelolaan. Pasal 1 Butir 18 menyatakan bahwa izin lokasi adalah izin yang diberikan utuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Selanjutnya, Pasal 1 Butir 18A merumuskan izin pengelolaan sebagai izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. 29

Tampaknya, izin lokasi dan izin pengelolaan ini keduanya dimaksudkan untuk mengakomodasi hubungan hukum yang lama, yakni Hak Penguasaaan Perairan Pesisir (HP3). Pasal 1 Butir 18 UU Bo. 27 Tahun 2007 merumuskan HP3 sebagai hak atas bagian-bagian dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Hubungan hukum pengelolaan ruang sebagian perairan pesisir dan sumber daya pesisir (izin lokasi dan izin pengelolaan) serta penguasaan dan pemilikan (hak atas tanah) di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil mengalami dinamika dialektis yang sangat kuat, terutama menyangkut wilayah berlaku atau lingkungan berlaku atau objek dari izin lokasi dan izin pengelolaan atau hak atas tanah itu. Pasal 1 butir 2 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan WPPPK dan Pasal 1 butir 1 Permen No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki rumusan yang sama tentang Wilayah Pesisir, yaitu daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pantai adalah bagian dari Wilayah Pesisir ke darat. Pasal 1 butir 6 Permen ATR No. 17 Tahun 2016 merumuskan pantai sebagai daerah yang merupakan pertemuan antara laut dan daratan diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. UU No. 1 Tahun 2014 tidak merumuskan apa yang disebut sebagai pantai. Pasal 1 butir 21 UU tersebut mengatur rumusan Sempadan Pantai, yakni daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Selanjutnya, Pasal 1 butir 3 UU No. 1 Tahun 2014 dan Pasal 1 butir 4 Permen ATR No. 17 Tahun 2016 merumuskan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 beserta kesatuan 30

ekosistemnya. Pasal 1 butir 5 Permen ATR No. 17 Tahun 2016 juga merumuskan definisi Pulau-Pulau Kecil, yaitu pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus kepulauan sesuai dengan Hukum Internasional dan Nasional. Secara sosiologis, masyarakat yang membutuhkan tanah untuk kebutuhan pribadi dan keluarga serta usaha bisa diberikan hubungan hukum terhadap tanah di sekitar WPPPK dan SB. Permen ATR No. 17 Tahun 2016 juga menunjukkan kemungkinan diberikannya hubungan hukum berupa hak atas tanah pada pantai dan perairan pesisir (Pasal 4). Namun, hak atas tanah dimaksud hanya diberikan untuk bangunan yang ada di wilayah pesisir pantai, seperti: bangunan untuk pertahanan dan keamanan, pelabuhan atau dermaga, tower penjaga keselamatan pantai, tempat tinggal masyarakat adat atau anggota masyarakat yang secara turun-temurun sudah bertempat tinggal di tempat tersebut; dan/atau pembangkit tenaga listrik (Pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya, hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir, seperti antara lain: program strategis Negara, kepentingan umum, permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat; dan/atau pariwisata (Pasal 5 ayat (2). Selain itu, pemberian hak atas tanah di Wilayah Pesisir juga harus memenuhi: ketentuan pemberian hak atas tanah pada umumnya serta rencana tata ruang (provinsi/kabupaten/kota atau rencana zonasi Wilayah Pesisir, mendapat rekomendasi dari Pemerintah Provinsi/kabupaten/kota dalam hal belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW, dan memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait (Pasal 6). Untuk Pulau-Pulau Kecil juga dapat diberikan hak atas tanah dengan ketentuan yang lebih ketat, yakni: (a) penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70% dari luas pulau, atau sesuai dengan arahan RTRW dan/atau zonasi pulau kecil tersebut; (b) sisa paling sedikit 30% luas pulau kecil itu dikuasai Negara dan digunakan/dimanfaatkan untuk kawasan lindung area publik atau kepentingan masyarakat; dan (c) harus 31

mengalokasikan 30% dari luas pulau untuk kawasan lindung (Pasal 9 ayat (1) dan (2). Proporsi itu bisa dikecualikan, demi kepentingan nasional. Tegasnya, apabila diperlukan untuk kepentingan nasional, Pemerintah dapat menguasai dan memanfaatkan Pulau-pulau Kecil secara utuh (Pasal 9 ayat (3)). Kepentingan nasional dimaksud meliputi: pertahanan dan keamanan, kedaulatan Negara, pertumbuhan ekonomi, sosial budaya, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, pelestarian warisan dunia; dan/atau program strategis nasional (Pasal 9 ayat (4)). Aparat di jajaran Sekkab dan KKP memandang bahwa hubungan hukum hak (atas tanah) sebagaimana dimaksud dalam Permen ATR No. 17 Tahun 2016 berpotensi menyebabkan private ownership pada perairan. Hal ini dipandang bertentangan dengan Putusan MK No. 3/PUU- VIII/2010.65 Persepsi itu menarik untuk dikaitkan dengan implikasi dari konsep common property atas perairan wilayah pesisir. Abdon Nababan dan Dietrich G Bengen pernah berpendapat bahwa masalah utama dari pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil justru adalah tragedy of open access serta prinsip common property atas wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil yang mengakibatkan tidak memungkinkan pengkaplingan wilayah pesisir atau laut yang ada. Karena konsekuensi logis dari pandangan menjadikan sumber daya pesisir dan laut sebagai common property dan open access adalah pemanfaatan yang semakin meningkat, justru dapat melebihi daya dukung dari sumber daya alam di sana (over- exploitation).66 Perkembangan masyarakat dan kebutuhannya menimbulkan kesan bahwa penguasaan secara individual permukaan bumi di WPPPK semakin dapat dimaklumi. Permen ATR No. 17 Tahun 2016 ini memberi kesan bahwa hak atas tanah yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (orang dan/atau badan hukum) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebatas Hak Guna Bangunan. Timbul pertanyaan, apakah kepada 65 Mitra Wulandari, Op.cit. 66 Arif Satria, Pesisir dan Laut Untuk Rakyat, Cetakan Kedua, (Bogor: IPB Press, 2009), hal. 6-7. 32

anggota masyarakat adat atau masyarakat yang sudah menguasai tanah turun-temurun tidak bisa diberikan hak atas tanah yang lebih kuat, seperti Hak Milik? Farida Patittingi merekomendasikan agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terbukti sudah turun-temurun mendiami wilayah tersebut harus diberikan penguatan atas kedudukannya terhadap tanah dalam bentuk Hak Milik melalui prosedur pengakuan hak dalam sistem pendaftaran tanah; sedangkan investor juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam bentuk perizinan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Kontitusi.67 Kiranya rekomendasi Farida Pattingi tersebut mengacu pada pemikiran bahwa penguasaan dan pemilikan tanah atas masyarakat atau masyarakat hukum adatlah yang menjustifikasi masyarakat atau anggota Masyarakat Hukum Adat layak ditetapkan sebagai pemilik (Subyek Hak Milik). Sementara itu, kepada investor cukup diberikan hubungan hukum Izin, oleh karena asumsinya para investor belum menguasai dan mengusahakan tanah di WPPPK. Namun, saran Farida Pattinggi itu tidak konsisten menyarankan hubungan hukum yang dapat diberikan oleh karena masyarakat dibolehkan dengan hubungan hukum hak atas tanah, sedangkan investor dengan hubungan hukum Izin. Inipun tidak secara spesifik menyarankan izin apakah yang diberikan dan instansi mana yang akan memberikan izin tersebut. 3. Pengelolaan Pertanahan dan Tata Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil a. Pengelolaan pertanahan berkelanjutan dan bertanggung jawab Enemark et al68 menjelaskan bahwa aktivitas pengelolaan pertanahan (land management) tergambar dalam tiga komponen penting, yaitu: kebijakan pertanahan, infrastruktur informasi pertanahan dan infrastruktur administrasi pertanahan untuk mendukung pembangunan 67 Farida Pattingi, “Prinsip keadilan sosial dalam sistem tenurial di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil di Indonesia”, Jurnal Bhumi, No. 38 Tahun 12, Oktober 2013. 68 S. Enemark, I Williamson and J Wallace, “Building modern land administration systems in developed economies”, Spatial Science, Vol. 50, No. 2, December 2005, pp 51-68. 33

berkelanjutan. Ketiga komponen itu disebut dengan paradigma pengelolaan pertanahan yang komponen operasionalnya terletak pada berbagai fungsi administrasi pertanahan untuk memastikan pengelolaan yang tepat terhadap hak, batasan, tanggung jawab, dan risiko terkait dengan properti, tanah, dan sumberdaya alam. Lebih lanjut, Enemark et al menguraikan bahwa fungsi-fungsi administrasi pertanahan mencakup wilayah penguasaan tanah (land tenure) (untuk kepastian hak dan transfer hak atas tanah dan sumberdaya alam); nilai tanah (land value) (nilai dan pajak tanah dan properti); penggunaan tanah (land use) (perencanaan dan pengendalian penggunaan lahan dan sumberdaya alam); dan pengembangan tanah (land development) (pelaksanaan utilitas, infrastruktur dan perencanaan konstruksi).69 Sumber: Enemark et. al. 70 Gambar 4. Perspektif Global tentang Sistem Administasi Pertanahan Modern Administrasi pertanahan terdiri atas serangkaian sistem dan proses untuk mengelola land tenure, land value, land use dan land development. Keempat fungsi ini saling berkaitan erat dalam sistem, yang kemudian disebut oleh Enemark et al sebagai perspektif global tentang sistem 69 Ibid. 70 Ibid. 34

administrasi pertanahan modern. Keterkaitan satu fungsi dengan fungsi yang lain dalam sistem administrasi pertanahan tersebut terlihat dengan jelas dalam kepastian penguasaan hak (land tenure) dengan pemanfaatan pertanahan dalam penataan ruang (pola alokasi dalam zonasi).71 Dalam pengelolaan pertanahan termasuk sistem administrasi pertanahan modern, Enemark et al tidak menjelaskan secara terperinci terkait maksud dari pencapaian pembangunan berkelanjutan itu kecuali bahwa pembangunan berkelanjutan dari segi lingkungan, sosial dan ekonomi sebagai pendorong kebijakan untuk mengintegrasikan fungsi- fungsi administrasi pertanahan dalam sistem administrasi pertanahan. Pada komponen kebijakan pertanahan dalam pengelolaan pertanahan Enemark et al. menerangkan bahwa kebijakan pertanahan adalah bagian dari kebijakan nasional untuk mempromosikan tujuan termasuk kelestarian lingkungan, pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan kesetaraan, dan stabilitas politik.72 Konsepsi Enemark et al dalam kebijakan pertanahan itu bersesuaian dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dibentuk 71 Kepastian hak tenurial ikut serta berpengaruh pada nilai tanah, dan nilai tanah juga kemungkinan besar dipengaruhi oleh rencana penggunaan tanah dalam pengaturan zonasi. Untuk mewujudkan sistem administrasi pertanahan modern termasuk fungsi administrasi pertanahan itu perlu didukung oleh komponen infrastruktur informasi pertanahan yang sesuai mencakup sekumpulan data kadaster dan topografi, dan ketersediaan akses informasi lengkap dan terkini tentang lingkungan terbangun dan alami. Catatan dalam pengelolaan pertanahan bahwa karakateristik tanah tidak dimaknai sebagai aset ekonomi saja tapi juga sebagai identitas; mengandung kesejarahan dan budaya bagi individu dan kelompok; sumber penghidupan; bentuk jaminan sosial; adanya keragaman hak oleh orang/kelompok yang berbeda dalam bidang tanah yang sama; hak tanah, batasan, dan tanggung jawab sebagai sistem penguasaan tanah yang dikonstruksi secara sosial; sumber legitimasi atas tanah berasal dari ragam sumber; dan sistem penguasaan tanah sebagai kerangka kelembagaan. Lihat David Palmer, Szilard Fricska, Babette Wehrmann, “Towards Improved Land Governance”, Land Tenure Working Paper 11. September 2009. FAO. Karakteristik subjek atas tanah juga beragam seperti masyarakat (masyarakat adat, masyarakat tradisional, mayarakat lokla), kelompok masyarakat (laki-laki, perempuan, tua dan muda), swasta dan instansi pemerintah. 72 Kebijakan pertanahan dapat dikaitkan dengan: kepastian kepemilikan; pasar tanah (khususnya tanah transaksi dan akses ke kredit); perpajakan properti riil; pengelolaan dan pengendalian penggunaan lahan yang berkelanjutan, sumber daya alam, dan lingkungan; penyediaan tanah untuk orang miskin, etnis minoritas dan wanita; dan langkah-langkah untuk mencegah spekulasi tanah dan untuk mengelola perselisihan tanah. S Enemark, I Williamson and J Wallace, Op.cit. 35

atas tiga pilar, yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Khan73 menyebutkan bahwa setiap pilar itu mempunyai kriteria keberlanjutan sebagai berikut: (1) keberlanjutan ekonomi mencakup pertumbuhan, pembangunan, produktivitas, dan trickle down; (2) keberlanjutan sosial meliputi keriteria pemerataan, pemberdayaan, aksesibilitas, partisipasi, berbagi, identitas kultural dan stabilitas institusional; dan (3) keberlanjutan lingkungan terdiri atas integrasi ekosistem, daya dukung dan keanekaragaman hayati. Ketiga pilar itu saling mendukung dan membutuhkan keseimbangan dalam praktiknya. Adanya kepastian hak penguasaan dalam dimensi pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilar tersebut di WPPPK berpotensi menumbuhkan dan mengembangkan produktivitas dari segi ekonomi; meningkatnya keberdayaan (khususnya produksi pangan) dan stabilitas sosial (minim konflik) dari segi sosial; dan diharapkan semakin tumbuhnya kesadaran dan praktik lestari dalam aktivitas pemanfaatan pertanahan dan sumberdayanya dari segi lingkungan. Dari sudut pandang pengelolaan pertanahan itu pula, gagasan yang diinisiasi oleh de Vries dan Chigbu dalam Pengelolaan Pertanahan Bertanggung Jawab (Responsible Land Management) mempunyai relevansi dalam komponen kebijakan pertanahan. Sebab, bagi de Vries dan Chigbu,74 pengelolaan pertanahan dianggap sebagai ilmu sekaligus praktik yang berkaitan dengan konseptualisasi, desain, implementasi dan evaluasi 'intervensi' sosio-spasial, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan ketahanan mata pencaharian secara bertanggung jawab, efektif, efisien, konsensual dan cerdas. Dengan demikian, suatu kebijakan pertanahan yang dibuat dalam rangka intervensi pada sosio-spasial tidak hanya disusun konseptualisasi dan desainnya, tapi disertai dengan kerangka implementasi dan evaluasinya. Oleh karena itu, penggunaan 73 M. Adil Kahn, “Concepts, definitions, and key issues in sustainable development: the outlook for the future”, Proceedings of the 1995 International Sustainable De¨elopment Research Conference, Manchester, England, Mar. 27-28, 1995, Keynote Paper, 2-13 74 von Walter T. de Vries & Uchendu Eugene Chigbu, “Responsible land management – Concept and application in a territorial rural context”, fub 2, 2017, pp. 65-73. 36

konsep pengelolaan pertanahan bertanggung jawab berisi susunan kerangka 8 indikator yang mengandung dimensi pertanggungjawaban. Delapan indikator dari de Vries dan Chigbu yang disebut dengan pengelolaan pertanahan bertanggungjawab, yaitu: Responsive (Tanggap), Resilient (Lenting), Robust (Kokoh), Reliable (Dipercaya), Respected (Dihormati), Retraceable (Terlacak), Recognizable (Dapat diakui), dan Reflexive (Reflektif),75 yang digunakan dalam studi de Vries76 mengenai Ibukota Negara (IKN) Indonesia dan evaluasi pengelolaan tanah adat di Ghana.77 Kerangka pengelolaan pertanahan bertanggung jawab yang berisi 8 indikator ini digunakan sepanjang dan berkaitan dengan struktur (structure), proses (process) dan hasil/dampak (outcome/impact). 78 75 Ibid. Delapan indikator digambarkan secara singkat “responsive to needs of a group of citizens, connected to robust, respected and recognizable institutions, embedded in resilient societal and organisational structures, working using reliable ethics, and relying on reflexive mechanisms and retraceable actions and decisions to seek optimal solutions” 76 Walter T. de Vries, “Application of 8R framework of responsible management to evaluate relocation of capital cities”, Power Point Presentation, pp. 1-29, 27 February 2020. 77 Prince D. Ameyaw, Walter Dachaga, Uchendu E. Chigbu, Walter T. de Vries and Lewis A. Asante, “Responsible land management: The basis for evaluating customary land management in Dormaa Ahenkro, in Ghana”, pp 18, Paper presentation 2018 World Bank Conference on Land and Poverty, The World Bank - Washington DC, March 19-23, 2018. 78 Struktur terkait dengan (1) Validitas dan fungsionalitas struktur kelembagaan untuk mengelola proyek atau intervensi, dan (2) Validitas dan fungsionalitas struktur teknis diperlukan untuk intervensi. Proses: (1) Logika proses berurutan, (2) Kesesuaian langkah-langkah individual, dan (3) Kebutuhan terhadap proses / langkah paralel. Outcome/Impact: (1) Kesesuaian hasil, perubahan dan (2) Visibilitas dan bukti hasil, perubahan. von Walter T. de Vries & Uchendu Eugene Chigbu, Op.cit 37

Tabel 3. Delapan Indikator Pengelolaan Pertanahan Bertanggung Jawab Responsible Structures Processes Impacts / outcomes Responsive   Resilient   Robust   Reliable   Respected   Retraceable   Recognizable   Reflexive   Sumber: de Vries 79 Penjelasan dari 8 indikator beserta struktur, proses dan hasil/dampak yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Tanggap (Responsive) a) Struktur kelembagaan dalam aturan tanggap pada kebutuhan para pihak (masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum) b) Ada mekanisme/langkah untuk memeriksa kebutuhan para pihak. Ada juga tanggapan-timbal balik. c) Kebutuhan telah direspon/dipenuhi 2) Lenting (Resilient) a) Struktur organisasi mampu menghadapi dan mengatasi masalah/krisis dalam penataan pertanahan. b) Rencana lain saat ada masalah. c) Struktur masyarakat dapat hidup ketika dan setelah ada penataan 3) Kokoh (Robust) 79 Walter T. de Vries Op.cit. 38

a) Struktur organisasi kokoh sekalipun ada tekanan dari luar. Tingkat kerentanan masyarakat dengan adanya/tidak adanya penataan pertanahan b) Proses pelaksanaan penataan tetap berlangsung/berjalan. c) Penataan pertanahan memperbaiki kehidupan masyarakat 4) Dapat dipercaya (Reliable) a) Penataan pertanahan berdasarkan fakta terpercaya b) Pemeriksaan secara teratur dan berdasar pada fakta dalam proses penataan petanahan c) Penataan pertanahan menghasilkan apa yang dijanjikan melalui monitoring dan evaluasi 5) Dihormati (Respected) a) Persiapan dan pelaksanaan penataan pertanahan dipercaya b) Aktor yang bertanggung jawab dalam penataan penuli pada penataan pertanahan c) Para pihak menerima keputusan dan proses dalam penataan pertanahan 6) Keterlacakan (Retraceable) a) Aturan jelas menguraikan bagaimana keputusan diambil dan siapa/organisasi mana yang ambil keputusan b) Keputusan didokumentasikan dan dapat diakses secara terbuka untuk umum c) Keputusan bermasalah dapat dilacak kembali secara akuntabel 7) Diakui (Recognizeable) a) Struktur organisasi mengakomodasi kepentingan ha katas tanah dari para pihak b) Keterlibatan pada pihak dalam proses penataan pertanahan c) Para pihak mengidentifikasi pencapaian dan tujuan 39

8) Reflektif (Reflexive) a) Ada prosedur formal dlaam struktur untuk mengubah keptusan/aturan jika ada pandangan baru b) Ada langkah-langkah sistematis untuk memikirkan kembali aturan/keputusan c) Tujuan utama sesuai ekskpektasi dan kebutuhan Delapan indikator ini bertujuan untuk menilai secara cepat dan terukur dalam pelaksanaan Permen ATR No 17 Tahun 2016. Melalui penilaian itu, terdapat potensi, kendala dan tantangan dalam melanjutkan kegiatan penataan hak pertanahan di WPPPK. b. Tata kelola pemanfaatan ruang wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan sungai besar Merujuk pada pemikiran Enemark et al.80 bahwa komponen administrasi pertanahan dalam paradigma pengelolaan pertanahan mempunyai empat fungsi: land tenure, land value, land use dan land development, yang harus dikelola dalam sistem dan proses administrasi pertanahan. Fungsi land use mengacu pada pengelolaan tata ruang yang dalam konteks WPPPK terdapat istilah Integrated Coastal Zone Management (ICZM)81 atau nama/istilah lain serupa yang menunjak pada pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 juga menginisiasi dan mendorong negara-negara menggunakan pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan wilayah pesisir termasuk pulau- pulau kecil.82 Di Indonesia pengelolaan ruang laut tercermin dalam 80 S Enemark, I. Williamson and J. Wallace Op.cit. 81 Adalberto Vallega, “A conceptual approach to integrated coastal management”, Ocean & Coastal Management, Volume 21, Issues 1–3, 1993, Pages 149-162; Jens Sorensen, “Baseline 2000 background report: the status of integrated coastal management as an international practice (second iteration)”, Urban Harbors Institute Publications. 2002, Paper 31. 82 UN, “Report of the United Nations Conference on Environment & Development Rio de Janerio (Brazil)”, 3-14 June 1992. Vol. 1 Resolution adopted by conference. NY. UN 1993. 40


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook