Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Sistem Informasi Geospasial Tematik Pertanahan dan Tata Ruang

Penelitian Sistem Informasi Geospasial Tematik Pertanahan dan Tata Ruang

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-10 02:26:51

Description: Penelitian Sistem Informasi Geospasial Tematik Pertanahan dan Tata Ruang

Search

Read the Text Version

b. Kebijakan data diarahkan pada investasi Belum ada arah menuju investasi c. Keterllibatan sektor swasta Tidak ada keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan IG di lingkup Direktorat Land Reform. H. Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan analisis dengan menggunakan standar readness Index kondisi pengelolaan IG di unit produksi data Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah sebagai berikut: 1. Institusional a. Komitmen Pengelolaan Informasi Geografis (IG) pada Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang menjadi komitmen bersama. b. Payung Hukum Payung hukum dalam pengelolaan IG berdasarkan peraturan – peraturan terkait IG baik berupa Undang - Undang, Peraturan Presiden , Keputusan Presiden, SK Kementrian dan Lembaga Setingkat Kementrian. 2. Ketersediaan Data a. Data Digital Data – data yang dimiliki Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang sudah tersedia secara digital dan dapat diakses oleh pengguna data melalui web “https://pengendalian.atrbpn.go.id/siwastek/. b. Metadata Metadata yang dimiliki Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang dimiliki tetapi tidak dapat diakses secara umum. 3. Sumberdaya Manusia a. Human Capital 89

Pengelolaan IG di lingkup Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang dikelola oleh pihak internal Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang. b. Budaya dan Edukasi SDM Pengelolaan IG sudah menjadi awareness bagi Direktorat Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan sudah dijalankan. c. Leadership Individual Pengelolaan IG menjadi prioritas pimpinan dan sudah dijalankan secara optimal. 4. Aksesibilitas a. Konektivitas web Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang sudah menyediakan webgis “https://pengendalian.atrbpn.go.id/siwastek/” dengan data yang disediakan berupa kinerja pengendalian dari masing Kantor Wilayah. b. Akses data Data yang ada di webgis dapat diakses secara terbuka oleh pengguna data tetapi tidak dapat di download secara terbuka. 5. Pendanaan 1) Pendanaan pengelola IG Pendanaan pengelolaan IG sepenuhnya bersumber dari APBN. 2) Kebijakan data diarahkan pada investasi Belum ada arah untuk investasi 3) Keterllibatan sektor swasta Tidak ada keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan IG di lingkup Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang. 90

BAB VI. DINAMIKA DAN TANTANGAN SERTA POTENSI PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL DI LINGKUNGAN KEMENTRIAN ATR/BPN A. GEOPORTAL TEMATIK KEMENTRIAN ATR/BPN SEBAGAI ENTRY POINT PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL TERPADU Sejak Agustus 2019, Direktorat Survey dan Pemetaan Tematik telah mengembangkan Geoportal Tematik melalui akses internet pada laman https://geoportaltematik.atrbpn.go.id/v3/public/. Portal ini dapat disebut sebagai geoportal Kementerian ATR/BPN yang memuat beberapa data, diantaranya adalah Peta Tematik Pertanahan dan Tata Ruang (PTPR) yang berisi data tematik penggunaan dan pemanfaatan tanah, PTPR food estate, PTPR pola ruang, peta inventarisasi tanah pemerintah (INTIP), Toponimi, dan peta kawasan Ibukota Negara (IKN). Diluncurkannya geoportal tematik ini salah satunya dilandasi oleh kebutuhan integrasi data untuk keperluan pembangunan berkelanjutan yang mendukung kemudahan berusaha, kemudahan investasi, penciptaan lapangan kerja, serta penggunaan tanah yang sesuai dengan peruntukannya. Keberadaan Geoportal Tematik ini diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi para pemangku kepentingan yang memerlukan data dan informasi spasial berbasis bidang/tanah. Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 293/Kep-4.1/VII/2018 mengamanatkan bahwa Direktorat Survey Pemetaan Tematik ditunjuk sebagai unit pengelola data dan informasi geospasial yang ada di Kementerian ATR/BPN, sementara unit penyebarluasan data berada dalam kewenangan Pusat Data dan Informasi. Keberadaan Geoportal Tematik ini merupakan sebuah penanda penting dalam menuju digitalisasi data pertanahan yang ditargetkan akan tercapai di Tahun 2024. 93

Sebagai ‘jendela utama’ dan ‘beranda’ pengelolaan data dan IG yang ada di Kementerian ATR/BPN, Geoportal Tematik merupakan pintu utama bagi para calon pengguna data untuk dapat mengakses data yang tersedia. Dengan tipe akses terbatas, maka user diharuskan melakukan login terlebih dahulu, dan pendaftaran aku diverifikasi terlebih dahulu oleh admin. Geoportal Tematik ini juga terkoneksi dengan aplikasi SIPETIK, yang merupakan mobile application yang digunakan untuk pengumpulan data tematik di lapangan secara online maupun offline. Saat ini, Geoportal Tematik masih dalam taraf pengembangan, sehingga fokus ketersediaan data yang ada masih diprioritaskan kepada Proyek Strategis Nasional, diantaranya adalah Ibukota Negara (IKN), Food Estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, PSN Borobudur, dan penyelesaian masalah pertanahan. Ke depannya, pada Tahun 2021 setiap Kantor Pertanahan akan dialokasikan anggaran untuk kegiatan pengumpulan data tematik untuk memperluas cakupan data yang ditampilkan di Geoportal Tematik. Untuk saat ini, pengumpulan data tematik yang ditampilkan pada Geoportal Tematik dilakukan oleh Direktorat Survey Pemetaan Tematik secara swakelola, melalui survey lapangan maupun identifikasi citra satelit. Identifikasi terhadap Geoportal Tematik yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi user interface, portal Geoportal Tematik dapat dengan mudah dipahami oleh pengguna dengan pembagian menu yang informatif (menu yang tersedia adalah beranda, layanan peta, dukungan, informasi, tentang kami). Pada menu layanan peta, user dapat menampilkan layer secara on screen sesuai dengan pilihan layer yang akan ditampilkan. Tampilan peta tematik berbasis bidang berada dalam menu view only (pengguna tidak dapat melakukan download data secara langsung), tetapi dapat menambahkan ataupun mengurangi layer yang ditampilkan dalam pilihan menu. Meskipun begitu, apabila user menginginkan format data dalam bentuk .shp untuk digunakan dalam pengolahan selanjutnya, dimungkinkan untuk mengakses data tersebut dengan mengajukan permohonan langsung kepada pengelola Geoportal Tematik. 94

Karena masih dalam tahap pengembangan, beberapa menu dalam Geoportal Tematik belum dapat beroperasi secara penuh. Beberapa pengembangan yang dapat dilakukan dari segi user interface diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penambahan menu dan informasi terkait deskripsi data dan metadata. Sebagai contoh, tidak tersedia deskripsi data untuk setiap layanan peta yang ada di Geoportal Tematik, yang dapat memudahkan pengguna dalam mengidentifikasi jenis peta yang ditampilkan. Informasi mengenai jenis informasi tematik yang ditampilkan, Tahun pengumpulan data, cakupan data, metode pengolahan, dan justifikasi lain terkait data yang ditampilkan akan sangat membantu user saat akan menggunakan dan mengakses data. 2. Belum tersedia informasi, deskripsi, dan kontak terkait unit pengelola data (dalam hal ini Direktorat Survey Pemetaan Tematik). 3. Belum tersedia petunjuk teknis terkait akses data sebagai guideline bagi user dalam mengakses data, termasuk juga katalog data. 4. Belum disebutkan term and condition akses data, yang berisi syarat penggunaan data, requirement yang dibutuhkan. Dalam kegiatan berbagi pakai data, statement ini penting di Selain melakukan identifikasi terhadap geoportal tematik, penelitian ini juga melakukan identifikasi pada 4 (empat) portal lain yang disebutkan dalam Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 293/Kep-4.1/VII/2018, diantaranya adalah portal (i) kkp.atrbpn.go.id; (ii) peta.atrbpn.go.id; (iii) tematik.atr.bpn.go.id; dan (iv) webgis.atrbpn.go.id. Dari keempat portal tersebut, portal kkp.atrbpn.go.id merupakan portal yang paling efektif berfungsi, karena digunakan dalam kegiatan utama dalam melakukan pendaftaran tanah. Sementara itu, 3 (tiga) portal lainnya tidak dapat diakses melalui jaringan yang digunakan saat melakukan pengumpulan data, sehingga tim peneliti tidak dapat melakukan identifikasi dan analisis. 95

B. DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK LAIN DARI UNIT PRODUKSI DATA Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa selain Geoportal Tematik yang merupakan geoportal resmi yang dikelola oleh Kementerian ATR/BPN, beberapa direktorat yang berperan sebagai Unit Penyedia Data juga telah mengembangkan beberapa portal webgis yang digunakan untuk pengelolaan data dan informasi geospasial yang diproduksi oleh masing- masing unit tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya terdapat 5 (lima) portal pengelola data geospasial yang ada di masing-masing direktorat, dan beberapa di antaranya telah beroperasi secara optimal. Keberadaan portal/webgis data tematik dari masing-masing direktorat ini tentunya memberikan keuntungan dan nilai lebih dari sisi organisasi, yang mengindikasikan bahwa awareness mengenai pentingnya diseminasi data spasial dan berbagi-pakai data telah ada di masing-masing unit produksi data. Selain itu, webgis juga menjadi salah satu alat untuk mengelola dan mengorganisir data spasial yang ada di masing-masing unit produksi data. Hasil pengumpulan data dalam kajian ini menunjukkan bahwa kelima webgis yang dijadikan sebagai unit sampel penelitian memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak hanya pada struktur data dan teknis pengelolaan data geospasialnya, tetapi juga pada aspek organisasional dalam mengelola portal, sebagaimana diuraikan pada deskripsi berikut. 1. Dari aspek akses jaringan, beberapa webgis dapat diakses secara terbuka (open access), beberapa diakses dengan pembatasan (memerlukan halaman login). Hal ini terutama berkaitan dengan karakteristik data yang ditampilkan, apakah memiliki data credential tertentu ataukah tidak. Sebagai contoh, pada webgis tata ruang (gistaru) akses data bersifat terbuka dan data dapat diunduh dalam bentuk SHP, yang memudahkan bagi pengguna untuk melakukan pengecekan Rencana Tata Ruang pada wilayah tertentu . 96

2. Beberapa webgis telah berfungsi secara optimal oleh publik sebagai media penyebar luasan data, beberapa belum secara optimal diakses oleh publik. Hal-hal yang mempengaruhi akses data oleh publik ini diantaranya adalah jenis data yang ditampilkan, dan bagaimana data tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, data RTRW dan data terkait ibukota negara merupakan jenis data yang banyak diakses oleh masyarakat. 3. Ketersediaan data yang lengkap dan meliputi cakupan seluruh wilayah Indonesia masih menjadi isu bagi hampir setiap webgis yang digunakan dalam sampel analisis ini, termasuk juga dalam hal updating data secara berkala (pemeliharaan data). Indikator yang paling mudah untuk diamati adalah tersedianya anggaran khusus untuk updating atau pemeliharaan data yang terlepas dari anggaran pengumpulan data (baru). Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa belum semua portal webgis tersebut memiliki anggaran rutin yang digunakan untuk pemeliharaan data. 4. Ketersediaan SDM pengelola portal juga masih beragam. Pada webgis yang berkaitan dengan banyak stakeholder seperti GISTARU, terdapat SDM khusus yang menangani operasional portal, baik dari pengolahan data maupun pemeliharaannya. Sementara itu, beberapa webgis lain belum memiliki SDM khusus yang bertanggung jawab dalam pengelolaan portal, dan masih melekat secara personal (belum tersistem dengan baik), yang menyebabkan inefektivitas pengelolaannya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa GISTARU dianggap paling efektif dalam manajemen portal dikarenakan adanya unit khusus yang bertanggung jawab untuk mengelola portal tersebut. Hal tersebut juga didorong dari tingginya traffic pengguna data RTRW. 97

5. Masing-masing portal tidak saling terkoneksi satu sama lain, dan juga tidak terkoneksi kepada Geoportal Tematik sebagai geoportal milik Kementerian ATR/BPN. Dalam sudut pandang pengelolaan jaringan, distribusi pengelolaan data (basis data terdistribusi) memiliki keunggulan dalam kemudahan pengelolaan dan operasionalnya. Meskipun begitu, dalam kegiatan diseminasi data, hal tersebut harus dapat diantisipasi dengan membentuk jaringan data distribusional dengan Geoportal Tematik sebagai pintu masuk utama akses menuju data tematik tersebut. Masing-masing portal yang dikelola oleh Unit Produksi Data sebaiknya terhubung dengan Geoportal Tematik, dan Geoportal Tematik ditempatkan sebagai jendela akses utama untuk mengakses portal lain dari masing-masing unit produksi data. 6. Adanya kemungkinan tumpang tindih antar portal, jika ditinjau dari jenis dan sifat data yang ditampilkan. Sebagai contoh, data yang ditampilkan dalam portal bhumi.atrbpn.go.id memiliki potensi tumpang tindih dengan yang dikelola oleh geoportal tematik, mengingat data yang disajikan memiliki tema yang hampir sama. Hal ini dapat menimbulkan potensi redundansi data dan inefisiensi pengelolaan data. Selain itu, dalam skema Kebijakan Satu Peta, hal ini dapat menimbulkan dampak kontra produktif. Identifikasi lebih lanjut juga menunjukkan bahwa secara teknis, portal yang dikelola oleh masing-masing unit produksi data saling terhubung dan memiliki keterkaitan dengan geoportal tematik maupun KKP, yang juga mendukung 4 (empat) komponen dalam land management paradigm melalui fungsi tenure, value, use dan development. Diagram berikut menjelaskan hubungan antar portal tersebut. 98

Gambar 10 Diagram Hubungan Antar Portal Dalam alur yang ditunjukkan oleh diagram tersebut, portal KKP berfungsi sebagai penyedia data dasar bagi IGT yang dikelola oleh portal lainnya, yang berfungsi sebagai referensi dalam pembuatan IGT. Portal KKP memiliki fungsi utama sebagai infrastruktur informasi pertanahan yang mendukung kegiatan pendaftaran tanah, yang mendukung fungsi tenure dalam land management paradigm. Sementara itu, Geoportal Tematik merupakan portal sentral dalam menyediakan dan menyebarluaskan IGT yang ada di tingkat kementerian, yang juga digunakan sebagai referensi dalam penyusunan IGT lainnya. Geoportal Tematik ini juga mendukung fungsi tenure, value, dan development. Sementara itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dua portal lain, portal bhumi dan portal wp3wt, merupakan turunan dari Geoportal Tematik yang memiliki kemungkinan untuk dapat diintegrasikan dengan Geoportal Tematik, jika ditinjau dari jenis data yang disajikan. Dua portal ini juga memiliki fungsi tenure, value dan development. Portal lainnya, gistaru dan siwastek, mendukung fungsi use dan development, serta berperan dalam memastikan fungsi tata ruang dan pengendaliannya berjalan dengan efektif. Secara ideal, kedua portal ini terintegrasi dengan KKP dan Geoportal Tematik terutama dalam hal berbagi- pakai data, dan dapat diakses secara terpisah dari Geoportal Tematik karena memiliki fungsi yang berbeda. Hal ini juga dapat disimpulkan untuk portal 99

sigtora, yang memiliki muatan IGT yang berbeda dengan yang dikelola oleh Geoportal Tematik. C. PEMBAGIAN KEWENANGAN PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL TEMATIK DI KEMENTRIAN ATR/BPN Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 293/Kep-4.1/VII/2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi Geospasial Tematik di lingkungan Kementerian ATR/BPN telah membagi kewenangan pengelolaan data menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu (i) Unit Produksi Data dan Informasi Geospasial Tematik; (ii) Unit Pengelola Data dan Informasi Geospasial Tematik, dan (iii) Unit Produksi Data dan Informasi Geospasial Tematik. Unit produksi data dan informasi yang dimaksud dalam SK tersebut adalah unit kerja setingkat Eselon II yang sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam mengelola data dan informasi geospasial tematik (11 unit Eselon II), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Pertanahan. Sementara itu, Unit Pengelola Data dan Informasi adalah direktorat Survey dan Pemetaan Tematik , dan Unit Penyebarluasan Data dan Informasi adalah Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pangan Berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, dimana setiap simpul jaringan memiliki 1 (satu) perwakilan sebagai unit penyebarluasan data, sementara data dapat diproduksi dan dikelola oleh unit lain dalam satu simpul jaringan. Hal ini berarti bahwa data dan informasi geospasial tematik yang diproduksi oleh masing-masing simpul jaringan hanya disebarluaskan melalui 1 (satu) pintu unit penyebarluasan data melalui geoportal di masing-masing simpul jaringan. Dalan konteks kebijakan tersebut, keberadaan berbagai macam webgis dan geoportal tematik yang dikelola oleh masing-masing unit produksi data sebenarnya memiliki potensi kontra produktif dengan pengaturan penyebarluasan IGT menurut UU No. 4 Tahun 2011. Kondisi ini dapat mengarah kepada potensi duplikasi penyebarluasan data (dengan adanya berbagai macam webgis yang memuat informasi yang hampir sejenis), inefiensi pemeliharaan data (terkait pemeliharaan portal dan update data), infesiensi dalam pemberlakuan standarisasi data dalam alur akses data 100

oleh pengguna. Sebagai contoh, dalam setiap IGT yang disajikan oleh webgis yang dikelola oleh unit produksi data, kebijakan akses data beragam tergantung pada kebijakan internal masing-masing unit produksi data. Selain itu, pengelolaan webgis tersebut tidak secara berkala dikoordinasikan ke Pusdatin sebagai Unit Penyebarluasan Data. Dalam konteks pengelolaan IGT, Pusdatin berperan sebagai simpul jaringan yang berkoordinasi dengan geoportal nasional dengan melakukan upload data-data terkait bidang tanah seperti hak milik, HGU, dan lain sebagainya. Saat ini, Pusdatin juga mengelola webgis bhumi.atrbpn.go.id yang menyajikan data bidang tanah beserta informasi pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang ke depannya akan diarahkan untuk menuju monetisasi data pertanahan yang direncanakan akan dilakukan di Tahun 2024. Secara garis besar, penelitian ini menyimpulkan bahwa data dan informasi geospasial tematik yang terdapat di masing-masing unit produksi data sudah tersedia cukup lengkap, dan sebagian besar sudah dikelola untuk menuju keterbukaan akses berbagi pakai. Hanya saja, pengelolaannya masih bersifat parsial dan belum terintegrasi dalam pengelolaan IGT yang komprehensif dan terpadu. Selain itu, apabila pengelolaan data dan IGT termasuk penyebarluasannya dimungkinkan untuk dilakukan oleh unit produksi data dengan alasan efisiensi dan kemudahan dalam pengelolaannya, maka diperlukan suatu mekanisme yang mengatur bahwa aktivitas akses data harus disesuaikan dengan peraturan yang sudah ada, yaitu melalui satu pintu pada Unit Penyebarluasan Data. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik, bahwa data dan informasi hanya dapat dikeluarkan secara terpusat melalui satu pintu. Terkait dengan penyesuaian tersebut, maka beberapa hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif menuju pengelolaan IGT terintegrasi: 1) Pengelolaan data dan IGT dapat dilakukan secara terdistribusi di masing-masing Unit Produksi Data, tapi setiap portal/webgis harus terintegrasi dengan satu geoportal Kementerian (geoportal tematik) sebagai pintu masuk utama. 101

2) Pengelolaan kewenangan dapat diatur bahwa dalam setiap portal/webgis yang dikelola oleh masing-masing Unit Produksi Data, maka sifat data yang ditampilkan berupa view only berikut katalog data yang tersedia, sementara akses data yang lebih luas dilakukan melalui satu pintu (Unit Penyebarluasan Data). Diperlukan kesepakatan dan pengaturan mengenai penetapan satu geoportal tunggal yang dijadikan sebagai geoportal resmi Kementerian, yang dijadikan sebagai portal utama kementerian. Dengan banyaknya portal/webgis yang ada saat ini, maka kesepakatan antar unit yang mengelola portal/webgis tersebut harus dibuat untuk menghindari inefisiensi pengelolaan data. D. KENDALA DALAM PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL TERPADU Integrasi data merupakan salah satu tantangan yang paling sering dihadapi dalam mewujudkan sistem informasi dan basis data terpadu. Pembangunan infrastruktur sistem informasi, penyediaan data dan pengelolaan basis data merupakan salah satu hal kunci dalam pengelolaan data geospasial, akan tetapi pengelolaan basis data secara terpadu juga merupakan kunci penting dalam pengelolaan sistem informasi yang efektif dan efisien. Arah pengembangan Kebijakan Satu Peta yang ada saat ini, dengan menerapkan prinsip open initiative yang mendesain pengelolaan basis data secara distribusional kepada masing-masing simpul jaringan (Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memproduksi dan mengelola data terkait geospasial) menjadi salah satu strategi penting dalam mengoptimalkan dan mengefisiensikan pengelolaan data geospasial di Indonesia. Dalam lingkup lokal organisasi pada setiap simpul jaringan, hal ini juga merupakan sebuah strategi yang dapat secara efektif diterapkan, sehingga Unit Pengelola Data tidak memiliki beban yang terlalu berat dalam mengelola data geospasial tematik yang beragam pada satu unit organisasinya. Selain itu, hal ini juga menjadi salah satu strategi penting dalam rangka optimalisasi data, dengan memberikan akses yang lebih luas untuk pemanfaatan data untuk kepentingan yang bersifat lintas sektor, 102

memangkas alur administrasi dan birokrasi, serta meningkatkan kualitas layanan bagi pengguna data. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam tren pergerakan pengembangan data dan informasi geospasial saat ini adalah perkembangan pengguna data yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada sektor pemerintah saja, tetapi juga sektor swasta, organisasi non-profit dan masyarakat luas. Semakin luasnya pasar pengguna data dan informasi geospasial menunjukkan semakin tingginya demand atas ketersediaan informasi geospasial, yang juga memberikan berbagai konsekuensi positif maupun negatif bagi para penyedia informasi geospasial. Di lingkungan Kementerian ATR/BPN, keberadaan portal penyedia informasi geospasial pada masing-masing direktorat yang bertugas sebagai unit produksi data mengindikasikan bahwa kesadaran untuk berbagi-pakai dan penyebar luasan data dan informasi geospasial pada masing-masing direktorat sudah mulai terbentuk. Hal ini tentunya harus diselaraskan dengan kebijakan pengelolaan data di level kementerian. Keberadaan peraturan yang digunakan sebagai legal standing pengelolaan informasi geospasial menjadi salah satu komponen dasar dan utama dalam integrase pengelolaan data dan informasi geospasial. Keputusan Menteri ATR/BPN No.293/KEP- 4.1/VII/2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi Geospasial Tematik di Lingkungan Kementerian ATR/BPN dapat dikatakan sebagai salah satu legal standing dalam pelaksanaannya, dimana peraturan tersebut memberikan landasan bagi tugas, kewajiban dan kewenangan bagi unit produksi, pengolah dan penyebar luasan data dalam pengelolaan informasi geospasial. Meskipun begitu, agar pengelolaannya dapat dilakukan dengan efisien, diperlukan beberapa pengaturan sebagai pengelolaan informasi geospasial tematik yang meliputi beberapa hal berikut: 1. Identifikasi sifat data yang yang diproduksi oleh masing-masing unit produksi data, apakah bersifat terbuka, tertutup ataukah dengan pembatasan, yang disesuaikan dengan karakteristik data. 2. Pengaturan akses data untuk publik, sampai sejauh mana pengguna data dapat mengakses data tersebut dan batasan 103

penggunaan data untuk keperluan tertentu, termasuk juga bagaimana cara mengakses data tersebut. 3. Pengaturan tema informasi geospasial tematik yang dikelola oleh masing-masing portal, untuk menghindari inefisiensi yang berasal dari redundansi pengelolaan portal oleh masing-masing unit produksi data. 4. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria data geospasial tematik yang memenuhi persyaratan secara nasional, termasuk juga standarisasi sistem pengelolaan data di masing-masing unit produksi data, seperti misalnya ketersediaan katalog data, metadata, dan lain sebagainya. Selanjutnya, lampiran III pada Keputusan Menteri ATR/BPN No.293/KEP-4.1/VII/2018 juga telah memberikan gambaran mengenai Skema Tata Kelola Informasi Geospasial Tematik di Lingkungan Kementerian ATR/BPN, dimana keberadaan portal tematik dan portal tata ruang telah teridentifikasi dalam keputusan tersebut, namun belum secara keseluruhan mengatur mengenai portal-portal lain yang saat ini sudah dikelola oleh masing-masing unit produksi data. Pada peraturan tersebut, terdapat 2 (dua) portal pengelolaan IGT, yaitu portal tata ruang yang dikelola oleh Unit Produksi Data (Direktorat Penataan Ruang) dan portal tematik yang dikelola oleh Direktorat Survey dan Pemetaan Tematik yang bertugas sebagai unit pengolah data. Sementara itu, saluran informasi geospasial tematik yang dapat diakses oleh publik dikelola oleh Unit Penyebarluasan Data (Pusdatin), yang juga berfungsi sebagai simpul jaringan. Sementara itu, dalam pengelolaannya, sumberdaya manusia juga masih menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan portal informasi geospasial tematik. Seperti halnya banyak dijumpai di berbagai organisasi, fokus utama dari unit produksi IGT adalah pengumpulan data, sementara pengelolaan dan pemeliharaan data kurang menjadi fokus dalam keseluruhan proses penyediaan IGT. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar IGT yang ada di unit produksi data masih belum diorganisir dengan baik, dan anggaran yang direncanakan lebih berfokus pada pengumpulan 104

data. Hal ini dapat dipahami, mengingat cakupan data yang luas dalam skala nasional memerlukan sumberdaya yang sangat besar, baik tenaga, teknologi, manajerial maupun finansial. Dapat dikatakan, pada kondisi saat ini, fokus utama unit produksi IGT masih pada taraf pengumpulan data dan pembangunan infrastruktur sistem informasi untuk mengelola data yang sudah ada. Di samping itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa belum ada keterkaitan antar unit produksi data dalam mengelola data masing-masing, ataupun saling memanfaatkan data satu sama lain untuk mendukung pekerjaan mereka. Demikian juga halnya dari segi tekniks pengelolaan, sebagian besar IGT masih dikelola dengan masih melekat pada person tertentu, belum tersistem secara sistematis dalam prosedur pengelolaan IGT. Oleh karena itu, secara ideal, perencanaan pembangunan infrastruktur informasi untuk pengelolaan IGT, harus mampu mengidentifikasi semua komponen dalam pengelolaan Sistem Informasi Pertanahan, yang meliputi data, SDM, kebijakan, standar/prosedur, dan teknologi. Dari segi organisasional, keberadaan Keputusan Menteri ATR/BPN No.293/KEP-4.1/VII/2018 dan dibentuknya geoportal tematik Kementerian ATR/BPN sebenarnya menjadi salah satu pintu masuk penting dalam pengelolaan IGT yang sistematis. Keberadaan peraturan ini, dan dukungan infrastruktur teknologi informasi melalui Geoportal Tematik, merupakan salah satu indikasi utama adanya komitmen lembaga yang kuat dalam melakukan pengelolaan IGT dan mendukung kebijakan berbagi pakai data. Ke depannya, agar keberadaan portal IGT yang dikelola oleh Unit Produksi Data dapat lebih terpantau dan terstruktur, maka perlu dilakukan integrasi masing-masing portal tersebut dengan Geoportal Tematik yang dikelola oleh Direktorat Survey dan Pemetaan Tematik. Model basis data distribusional bisa menjadi pilihan untuk efisiensi pengelolaan data, tetapi setiap portal tematik yang dikelola oleh Unit Produksi Data harus terhubung dengan Geoportal Tematik. Penyederhanaan portal yang memuat informasi serupa, sejenis maupun setipe juga perlu dilakukan, untuk melakukan efisiensi pengelolaan data dan diseminasi data. 105

E. MENUJU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (KAJIAN TERHADAP KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERKAIT DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL) Perkembangan Open Data Di Indonesia Pemerintah Indonesia telah memulai inisiatif open data sejak Tahun 2010. Hal ini sesuai dengan dasar hukum yang telah diterbitkan, yaitu UU No. 14/2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang yang juga dikenal sebagai UU KIP ini kemudian dilanjutkan dalam peraturan pemerintah melalui PP No. 61/2010. Untuk menjalankan UU dan PP itu, pemerintah membentuk Komisi Informasi yang bertugas menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa jika terjadi perselisihan mengenai informasi publik. Meskipun demikian, langkah konkret pemerintah Indonesia dalam melaksanakan transparansi data secara aktif baru dimulai pada bulan September 2011. Langkah itu bertepatan dengan pengumuman kerja sama delapan negara (Indonesia, Filipina, AS, Inggris, Norwegia, Meksiko, Brazil, Afrika Selatan) dalam membentuk gerakan Open Government Partnership (OGP), yang saat ini sudah diikuti 64 negara. Indonesia adalah salah satu dari empat anggota Steering Committee OGP yang diwakili oleh Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto (Kepala UKP4/Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Amanat implementasi OGP di Indonesia ditunaikan melalui gerakan Open Government Indonesia (OGI) yang diikuti oleh beberapa unit kerja, kementerian, dan organisasi masyarakat yang peduli terhadap reformasi birokrasi dan transparansi pemerintahan. Area kerja OGI adalah untuk mendorong transparansi di institusi-institusi pemerintah, memberi edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya keterbukaan data, dan mengajak mereka untuk aktif berpartisipasi. Salah satu institusi yang berperan penting dalam OGI adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 106

(Kemenpan-RB). Sebagai ujung tombak reformasi birokrasi di tanah air, mereka mencanangkan Indonesia mampu memenuhi standar world class government pada Tahun 2025. Kriterianya antara lain bebas KKN, akuntabel dan berkinerja tinggi, dan memberi pelayanan publik yang berkualitas. “Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah harus terbuka kepada masyarakat. Implementasinya melalui OGI dengan tiga value: transparansi informasi yang disertai partisipasi aktif masyarakat supaya menghasilkan inovasi untuk perbaikan layanan publik. a. Portal Data Indonesia Keseriusan pemerintah dalam membuka informasi publik bisa dilihat melalui situs SatuLayanan (satulayanan.net). Di situs ini, masyarakat dapat mengakses beragam informasi tentang urusan-urusan publik yang berkaitan dengan lembaga pemerintah. Contohnya tata cara pembuatan surat tanah, pengurusan akta catatan sipil yang rusak atau hilang, dan pengurusan izin keramaian. Informasi seperti ini sebenarnya sudah tersedia sejak lama. Tapi, masyarakat masih kesulitan untuk mengaksesnya. Tidak semua tersedia di situs setiap lembaga sehingga harus datang langsung ke kantor lembaga bersangkutan. Gambar 11 Portal Data Indonesia Pada awal September 2014, OGI juga memperkenalkan Portal Data Indonesia (www.data.id). Jika satulayanan.net berfokus pada informasi publik, data.id lebih banyak memuat dataset dan statistik tentang berbagai 107

bidang, seperti ekonomi, kependudukan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Saat diluncurkan, ada lebih dari 700 dataset yang bersumber dari sekitar 24 instansi, meliputi kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah pelopor keterbukaan (DKI Jakarta, Bandung, Bojonegoro). “Data.id dikembangkan sejak Februari 2014 di atas platform open source, diperkenalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2014, dan telah dikunjungi lebih dari 8000 pengunjung,” sebut Mardianto. Semua data di situs ini bisa diakses secara bebas dan gratis. Tersedia API untuk pengembang yang ingin memanfaatkan data-data di sini. Pengguna juga akan diberi kesempatan untuk memvisualisasikan data dalam bentuk grafik atau peta, dengan sumber dari Badan Informasi Geospasial. Pengembangan situs Data.id membutuhkan waktu cukup lama karena harus mengumpulkan macam-macam data dari berbagai instansi. Masing-masing memiliki format data yang berbeda, bersifat tertutup (.jpg, .pdf, dan sebagainya) sehingga sulit untuk diolah kembali, bahkan ada data- data yang sifatnya berbayar. Untuk itulah, UKP4 merencanakan penataan peraturan mengenai data dan kelembagaan supaya formatnya seragam dan lebih mudah dimasukkan ke portal data. b. Tantangan Open Data Tantangan ke depan yaitu membentuk ekosistem open data, mulai dari penyedia data, tim pengelola data, masyarakat yang memanfaatkan data, serta komunitas yang menggerakkan inisiatif open data. Semua unsur ini harus turut berperan aktif dan berkolaborasi. “Kalau masyarakat tidak mengonsumsi data yang sudah ada, penyedia data juga akan malas untuk membuka data. Begitu pula sebaliknya,” Bernard Myers (Senior Public Sektor Specialist, World Bank) melontarkan pendapat yang senada. “Publikasi data adalah baru permulaan. Tantangan selanjutnya yakni mengelola data supaya tetap akurat dan updated serta mencari cara untuk memanfaatkannya supaya membawa maslahat bagi masyarakat. Inilah cara mengukur kesuksesan open data di suatu negara,” 108

Gambaran Keterbukaan Informasi Publik di Kementrian ATR/BPN ( Perka BPN No.06 Tahun 2013) a. Kategori Informasi Publik 1) Informasi yang wajib di sediakan setiap saat a) Profil Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia meliputi Sejarah, kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi; b) Penanganan terhadap pengaduan masyarakat; c) Peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dan yang berkaitan; d) Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan pertanahan mengenai persyaratan, waktu dan biaya; e) Rencana Strategis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia; f) Rekap pegawai penerima Tanda Jasa, Bintang Jasa, Satya Lencana; g) Daftar nama pejabat; h) Alamat Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan di seluruh indonesia; i) Jumlah Pegawai; j) Rekap Jumlah Penjatuhan Hukuman Disiplin; k) Rekap Jumlah Mutasi dan Promosi; l) Pakta Integritas; m) Dokumen Reformasi Birokrasi; n) Pembentukan Kantor Pertanahan Baru dan Definitif; o) Standar Kompetensi Jabatan Struktural dan Fungsional; p) Pengembangan Perpustakaan antara lain koleksi buku teks, Jurnal ilmiah, Tesis, Disertasi, Majalah, e-Library, kliping pertanahan, brosur; q) Pengadaan Barang dan Jasa secara Elektronik; r) Penghapusan Barang Milik Negara; dan s) Peta Online. 2) Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala meliputi : 109

a) Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN); b) Laporan Penerimaan Gratifikasi; c) Formasi pegawai meliputi penerimaan pegawai dan pengangkatan CPNS menjadi PNS; d) Formasi penerimaan Diploma I, Diploma IV dan kejuruan lainnya; e) Formasi penerimaan dan pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; f) Pejabat Penilai Tanah yang mendapat lisensi dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia; g) Informasi perkembangan penanganan laporan kasus pertanahan kepada pihak yang terkait; h) Rekap jumlah penyelesaian penanganan kasus pertanahan kepada para pihak yang terkait; i) Jumlah dan tipologi kasus pertanahan; j) Hasil penelitian dan pengembangan pertanahan, meliputi Paper Kebijakan, Diseminasi Penelitian, Jurnal Iptek Pertanahan, Jurnal Pertanahan, Buletin dan Media Audio Visual; k) Laporan Akuntabilitas Kinerja; dan l) Kegiatan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang bersifat strategis setiap Tahun. 3) Informasi yang disediakan atas permintaan yang berkepentingan diberikan setelah mendapat persetujuan PPID, antara lain : a) Ringkasan laporan keuangan; dan b) Ringkasan tingkat penyelesaian proses permohonan pelayanan pertanahan. 4) Informasi yang dikecualikan meliputi : a) Surat Izin Perceraian; b) Surat Penolakan Izin Pernikahan/Perceraian; c) Surat Cerai; d) Pemberhentian dalam Jabatan Struktural/Fungsional dengan tidak hormat; 110

e) Perselisihan/Sengketa Kepegawaian; f) Hasil pengujian/pemeriksaan kesehatan; g) SK Hukuman Jabatan/Hukuman Disiplin PNS; h) Penelitian di bidang pertanahan yang sedang dalam proses; i) Buku tanah, surat ukur, dan warkahnya; j) Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) dan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK); k) Berita Acara Gelar Perkara Internal, terbatas di lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia; l) Surat, memorandum, disposisi, dan nota dinas yang menurut sifatnya dirahasiakan; dan m) Informasi Publik lainnya yang harus dikecualikan atau dirahasiakan berdasarkan pengujian oleh Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi. b. Mekanisme Permohonan Informasi 1. Permohonan Informasi Publik dapat dilakukan secara tertulis atau tidak tertulis. 2. Dalam hal permohonan diajukan secara tertulis, pemohon membuat surat permohonan. 3. Dalam hal permohonan diajukan secara tidak tertulis, pemohon menyampaikan secara langsung atau tatap muka. 4. Permohonan Informasi Publik disampaikan kepada Petugas Meja Informasi. 111

1 hari PETUGAS MEJA 1 hari PPID kerja INFORMASI kerja PEMOHON 2 hari kerja 2 hari kerja Permohonan Perpanjangan 7 hari 1 hari 2 hari Diterima kerja kerja kerja Permohonan Ditolak PEJABAT INFORMASI (Pemberitahuan Tertulis) 2 hari kerja Gambar 12 Diagram Mekanisme Pengajuan Informasi Publik Keterangan : 1. Permohonan Informasi Publik yang telah diterima Petugas Meja Informasi disampaikan kepada PPID dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja, sejak diterimanya permohonan informasi publik. 2. PPID menyampaikan permohonan Informasi Publik kepada Pejabat Informasi dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja, sejak diterimanya permohonan informasi publik dari Petugas Meja Informasi. 3. Pejabat Informasi memberikan jawaban atau tanggapan atas permohonan Informasi Publik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja, sejak diterimanya permohonan informasi publik. 112

4. Jawaban atau disampaikan kepada PPID dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja, sejak dibuatnya jawaban atau tanggapan oleh Pejabat Informasi. 5. PPID setelah menerima jawaban atau tanggapan dari Pejabat Informasi, memberikan jawaban kepada Pemohon Informasi Publik melalui Petugas Meja Informasi dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya jawaban atau tanggapan dari Pejabat Informasi. 6. Petugas Meja Informasi meneruskan jawaban atau tanggapan kepada Pemohon Informasi Publik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya jawaban atau tanggapan dari PPID. 7. PPID dapat memperpanjang waktu untuk menyampaikan jawaban atau tanggapan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja, sejak berakhirnya batas waktu penyampaian jawaban atau tanggapan kepada Pemohon Informasi Publik. 8. Perpanjangan waktu hanya dapat dilakukan apabila PPID belum menguasai atau mendokumentasikan Informasi Publik yang dimohon dan/atau belum mendapat keputusan dari Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi apakah informasi yang dimohon termasuk Informasi Publik yang dikecualikan. 9. Perpanjangan waktu dilakukan dengan memberitahukan kepada Pemohon Informasi Publik secara tertulis beserta alasannya. 10. Dalam hal permohonan Informasi Publik ditolak, PPID melalui Petugas Meja Informasi menyampaikan pemberitahuan tertulis bersamaan dengan Keputusan Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi tentang Penolakan Permohonan Informasi. c. Mekanisme Pengajuan Keberatan 1. Alasan pengajuan keberatan a) Tidak disediakannya informasi berkala b) Penolakan atas permohonan Informasi Publik dengan alasan pengecualian 113

c) tidak ditanggapinya permohonan Informasi Publik; d) permohonan Informasi Publik ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; e) tidak dipenuhinya permohonan Informasi Publik; f) pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau g) penyampaian Informasi Publik yang melebihi waktu yang diatur dalam Peraturan ini. 2. Pengajuan keberatan dengan alasan kepada Penanggung jawab di masing-masing tingkatan melalui PPID. 3. Pengajuan keberatan diajukan secara tertulis maupun melalui Petugas Meja Informasi. 4. Petugas Meja Informasi mencatat permohonan pengajuan keberatan pada Buku Pencatatan Keberatan Informasi. Keterbukaan Informasi Publik Terhadap Informasi Geospasial Dalam Perka BPN No.06 Tahun 2013 Informasi Geospasial (IG) merupaka bagian dari informasi yang wajib disediakan setiap saat (dapat dilihat pada sub bab sebelumnya point s) yaitu berupa Peta Online. Berdasarkan Perka diatas untuk memperoleh data pemohon perlu mengajukan permohonan ke Kementrian ATR/BPN, akan tetapi kondisi saat ini beberapa direktorat pemproduksi data telah memiliki portal webgis yang menyajikan data secara online yang mana beberapa direktorat telah menyajikan data secara opensource dan dapat diakses oleh seluruh pengguna data tetapi beberapa direktorat menyajikan data online secara terbatas yang hanya diakses oleh pihak – pihak tertentu saja. Dengan adanya perkembangan web gis yang dimiliki beberapa direktorat di dalam Lingkup Kementrian ATR/BPN keterbukaan informasi publik tentang Informasi Geospasial lebih mudah dijangkau oleh pengguna data, akan tetapi belum ada pengaturan baru tentang system perolehan data secara online di dalam Perka BPN No.06 Tahun 2013 sehingga perlu adanya pembaharuan kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik terutama dalam penggunaan data online. 114

Beberapa kelemahan yang ada di dalam Keterbukaan Informasi Publik dengan adanya opensource IG dibandingkan dengan Keterbukaan Informasi Publik menggunakan pedoman Perka BPN No.06 Tahun 2013 antara lain: a. Kementrian ATR/BPN tidak dapat mengidentifikasi tujuan penggunaan data, sedangkan dengan kebijakan sesuai Perka dapat diidentifikasi penggunaan data karena melalui proses permohonan. b. Tidak ada pencegahan dalam penyalahgunaan data, pada data – data free acces. Sedangkan beberapa keuntungan di dalam Keterbukaan Informasi Publik dengan adanya opensource IG dibandingkan dengan Keterbukaan Informasi Publik menggunakan pedoman Perka BPN No.06 Tahun 2013 antara lain : a. Setiap orang dapat mengakses data yang bersifat opensource tanpa biaya. b. Kemudahan bagi pengguna data untuk memperoleh data tanpa mengajukan permohonan data. c. Waktu yang dibutuhkan oleh pengguna data untuk memperoleh data lebih cepat dibandingkan melalui proses pengajuan sesuai dengan pedoman Perka. Keterbukaan informasi publik terhadap data IG belum diatur secara spesifik dalam peraturan, sehingga beberapa celah dapat digunakan secara tidak semestinya oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab dan dapat mengakses data secara terbuka. Untuk menghindari adanya potensi penyalah gunaan data maka perlu adanya pengaturan secara khusus terhadap keterbukaan informasi publik terhadap Informasi Geospasial. Beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam Keterbukaan Informasi Publik dengan adanya Kebijakan Satu Peta dan Keterbukaan akses data melalui web gis yang dapat ditambahkan dalam Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik antara lain : a. Penambahan kebijakan dengan penambahan syarat – syarat tertentu yang harus dimiliki oleh pengguna data, yang dapat diupload secara 115

online tanpa harus mengajukan langsung ke Pejabat Informasi, contoh : surat permohonan dari instansi pemohon. b. Pengaturan terhadap data – data yang dapat diakses secara terbuka, dan data – data yang bersifat tertutup. Pengaturan terhadap data – data yang dapat diakses secara terbuka dan data – data yang bersifat tertutup sangat diperlukan karena tidak semua data dapat disebarluaskan secara umum terutama bagi data – data yang dilindungi undang – undang, data yang bersifat informatif bagi masyarakat dapat disebarluaskan secara terbuka salah satunya Data tentang Rencana Tata Ruang, sedangkan data yang bersifat tertutup salah satunya Data tentang kepemilikan tanah. c. Pengaturan terhadap aksesibilitas data, meliputi : 1) Jenis Akses Pengaturan jenis akses juga menjadi pertimbangan dalam keterbukaan informasi publik mengenai IG, jenis akses terhadap IG dapat bersifat : Terbuka (free acces & free download), Terbuka (free acces & tidak bisa di download), Terbatas (Melalui login dengan username dan password). 2) Batasan akses Pengaturan Batasan akses menjadi pertimbangan dalam keterbukaan publik mengenai IG karena data IG tidak seluruhnya dapat diakses secara terbuka oleh semua orang, penentuan Batasan akses ditentukan agar data dapat dimanfaatkan secara bijak. 3) Cara akses Cara akses menjadi pertimbangan dalam keterbukaan publik mengenai IG karena pengaturan cara akses secara terbuka dapat mempermudah pengguna data untuk dapat mengakses data. d. Perlindungan terhadap data – data yang bersifat tertutup terutama data – data yang dilindungi undang – undang. 116

Tidak semua data dapat diakses terbuka oleh masyarakat, terdapat beberapa data yang tidak boleh disebarluaskan secara bebas, dan bersifat dilindungi undang – undang. Sehingga dalam penyiapan keterbukaan publik terhadap data IG perlu adanya pemilahan terhadap data yang bersifat tertutup dan bersifat terbuka. e. Pengaturan terhadap sifat – sifat data yang berbayar dan data yang dapat diperoleh secara gratis / free acces. Data – data informasi geografis dapat dimanfaatkan secara umum terutama bagi pengembangan pengetahuan bagi masyarakat, tetapi perlu adanya pengklasifikasi data yang bersifat berbayar (tarif dapat diatur dalam peraturan). F. POTENSI PUBLIC – PRIVATE PATNERSHIP UNTUK PENGEMBANGAN GEOPORTAL TEMATIK Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, salah satu tantangan utama dalam pengelolaan data dan informasi geospasial adalah keterbatasan SDM dan biaya untuk penyediaan maupun pemeliharaan data. Tidak dapat dipungkiri, investasi teknologi untuk pembangunan infrastruktur informasi pertanahan memerlukan biaya yang sangat besar, begitu juga dalam pengumpulan data yang melibatkan teknologi, sumberdaya manusia maupun waktu yang sangat banyak. Sebagai contoh, pemerintah telah mengeluarkan anggaran dan sumberdaya yang sangat besar untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia secara sistematis, dan sampai saat ini masih merupakan agenda besar yang harus diselesaikan. Hal ini juga berlaku untuk data-data tematik lainnya, seperti data P4T, nilai tanah, dan lain sebagainya. Besarnya dana yang harus dialokasikan untuk dapat memetakan seluruh wilayah di Indonesia, termasuk juga SDM yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut, telah menjadi sumber permasalahan ‘klasik’ bagi hampir tiap kegiatan pengumpulan data pertanahan, dan telah dikonfirmasi oleh banyak penelitian. Dengan perkembangan penggunaan informasi geospasial tematik yang semakin meluas yang diiringi dengan pesatnya perkembangan aplikasi dan teknologi informasi yang mendukung penggunaannya, dalam satu dekade 117

ini, penyediaan IGT telah berubah menjadi industri yang menjanjikan dalam lingkup internasional. Banyak perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang GIS yang mulai menguasai pasar dan teknologi saat ini, dan berinvestasi untuk pengembangan teknologi informasi di bidang pengumpulan dan pengolahan data spasial. Tren perkembangan informasi geospasial yang saat ini juga sudah mulai mengarah pada open access yang menjadikan penggunaan data geospasial menjadi semakin luas lagi dan menyentuh masyarakat awam, semakin mendorong sektor swasta untuk terus mengembangkan industri ini menjadi bisnis yang menjanjikan dan berinvestasi pada bidang ini. Menilik kepada hal tersebut, sebagai salah satu strategi dalam pengembangan pengelolaan IGT yang memungkinkan untuk diterapkan adalah dengan pengembangan mekanisme Public Private Partnership (PPP), yang merupakan kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta. Dalam pengembangan SDI, skema PPP ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, dan sudah dilakukan di awal perkembangan SDI pada era 2000-an. Sebagai contoh adalah proyek GDI NRW – sebuah SDI regional untuk data terkait wilayah sepanjang North Rhine -Westphalia di wilayah Jerman yang mulai dikembangkan di Tahun 2004. Saat ini, GDI NRW initiatives memuat lebih dari 140 layanan, 20 aplikasi dan 2 sistem informasi yang dikembangkan dengan skema PPP (Remke, Altmaier and Riecken, 2004). Dalam GDI NRW ini, sebanyak 37 insitusi yang terdiri dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, otoritas regional, perusahaan swasta dan lembaga penelitian bergabung di dalamnya, dan dikepalai oleh Komite GI yang beranggotakan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Survey dan Pemetaan Pemerintah Jerman, dan menyepakati tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada aspek sosio- ekonomi dan organisasional. Contoh lain adalah dalam pembangunan sistem metainforamsi untuk data spasial di Republik Czech, yang dikenal sebagai MIDAS, dan telah beroperasi sejak Tahun 2000. Sistem ini juga dibangun menggunakan skema PPP, dan telah berhasil membantu Pemerintah dalam mereformasi sistem administrasi publik secara lebih efisien (Horakova, Kubicek and Horak, no 118

date). Dalam berbagai pembahasan SDI, skema PPP dalam struktur pengelolaan SDI juga telah menjadi hal yang sering dilakukan (Masser, Rajabifard and Williamson, 2008). Lebih lanjut lagi, pada Tahun 2012, Geospatial World Forum yang diadakan di Amsterdam pada tanggal 27-27 April 2012 juga telah menyebutkan kolaborasi sektor privat-publik dalam pengelolaan SDI, dan menyebutnya sebagai “Exchange Forum – Public Private Partnership for SDI”, yang menetapkan bahwa OGC harus ditetapkan berdasarkan konsensus dan kolaborasi, yang menjadi elemen kunci dalam PPP, di samping pula networking (Ramage, 2012). Berbeda dengan model kolaborasi tradisional (tender) dimana scope kerjasama ditentukan sepihak oleh Pemerintah dan Pemerintah menanggung semua biaya, layanan, penerapan teknologi baru, termasuk juga resiko, skema PPP memiliki nature yang lebih fleksibel, dengan sharing nila, resiko dan rewards yang seimbang antar semua pihak sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, PPP juga menguntungkan bagi pihak pemerintah dalam hal akses terhadap inovasi dan keahlian, dan kesempatan untuk transfer resiko dengan sektor privat (English, 2006). Konsep PPP juga berbeda dengan privatisasi, dimana dalam privatisasi pengelolaannya diserahkan secara penuh kepada sektor swasta, dimana dalam privatisasi tidak terjadi sharing value, risk dan reward. Kontrol pemerintah akan dibatasi ‘hanya’ sebatas pada peraturan dan kebijakan, tapi tidak memiliki kewenangan untuk intervensi langsung untuk mencapai tujuan berdasarkan nilai bersama. Ali (2008), dalam penelitiannya juga telah menguraikan tentang nilai lebih dan pentingnya PPP dalam pengembangan NSDI, yang terkait dengan beberapa faktor seperti yang diuraikan pada tabel berikut. Tabel 14 Faktor Pengembangan NSDI Aspek PPP Added Value untuk pengelolaan SDI Pembiayaan dan IG Sumberdaya keuangan yang terbatas dari Pemerintah untuk investasi di bidang infrastrutkur geospasial dapat diatasi dengan kerjasama dengan pihak swasta 119

Aspek PPP Added Value untuk pengelolaan SDI dan IG yang memiliki aset finansial yang lebih memadai. SDM dan tenaga ahli Kurangnya kapasitas SDM yang seringkali menjadi alasan utama dalam kurang efektifnya pengelolaan IG dapat diatasi dengan skema PPP, dimana kolaborasi SDM tersebut dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan isu keterbatasan kapasitas SDM, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dukungan politik Skema PPP akan membuka kesempatan untuk dukungan politik yang menjadi salah satu kunci kesuksesan pengelolaan SDI. Implementasi yang lebih Sektor swasta biasanya memiliki cepat (efisiensi waktu) keluwesan dalam decision making, dengan tidak memerlukan hierarki birokrasi yang rumit dan seringkali menghambat. Hal ini akan berimbas pada implementasi yang lebih efisien. Solusi inovasi Biasanya, sektor pemerintah ‘kurang’ dalam merespon inovasi dan kreativitas, sementara sektor swasta menjadikan inovasi dan kreativitas sebagai kunci utama dalam menguasai pasar. Dengan arah perkembangan SDI dan pengelolaan IG yang sekarang lebih market-oriented dan service-based, maka pengelolaan IG harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini. Kualitas layanan NSDI dan IG harus dikelola dengan tetap meningkatkan kualitas layanan, agar dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang semakin cepat. Efisiensi biaya Data/informasi yang dikumpulkan dapat digunakan untuk banyak kepentingan, sehingga akan mengurangi duplikasi dan menekan pengeluaran, dan dapat ‘dijual’ 120

Aspek PPP Added Value untuk pengelolaan SDI dan IG dengan harga yang lebih murah dan mampu menarik lebih banyak pengguna. Transparansi PPP memungkinkan pengelolaan NSDI dan IG secara lebih transparan dengan skema partnership. Pendekatan bottom-up Sharing data, expertise dan dana Sharing merupakan salah satu keunggulan dari skema PPP. Akan tetapi, lebih dari itu, skema PPP juga dapat mengatasi halangan birokratis dan meningkatkan efisiensi pengelolaan, sehingga mampu meningkatkan kualitas layanan. Resiko dan reward Sharing resiko dan reward dapat meningkatkan sense of responsibility. Konsekuensinya, setiap pihak akan memiliki kemauan lebih untuk berkontribusi secara optimal sesuai dengan peran dan kapasitas masing- masing. Kolaborasi pemerintah- Kolaborasi pemerintah-swasta swasta memberikan akses skope stakeholder Efisiensi service delivery yang semakin luas Skema PPP akan memberikan keuntungan dalam hal efisiensi service delivery dalam layanan IG dan NSDI. Ada beberapa skema delivery model dalam PPP yang dapat diterapkan untuk berbagai macam tujuan. Secara singkat, delivery model dalam PPP dapat dijelaskan melalui tabel 14 , sementara tabel 15 Memberikan gambaran mengenai level keterlibatan dalam beberapa skema PPP. Tabel 15 Pengembangan Geoportal melalui PPP DELIVERY MODEL PPP KETERANGAN Operation & Maintenance Contract (O&M) Sektor swasta, di bawah kontrak dengan pemerintah, mengoperasikan aset publik dengan periode waktu yang spesifik. Kepemilikan aset tetap menjadi milik pemerintah. Model ini memberikan resiko 121

DELIVERY MODEL PPP KETERANGAN dan keterlibatan yang paling rendah pada pihak swasta. Build – Finance (BF) Pihak swasta membangun aset dan membiayai segala pengeluaran selama periode konstruksi, setelahnya, tanggung jawab ada pada pemerintah. Buid – Operate – Transfer Model ini memberikan perjanjian bahwa (BOT) pihak swasta memiliki kontrak untuk mendesain, membangun, mengoperasikan, memelihara dan membiayai proyek. Setelah periode konsesi tertentu yang telah disepakati, fasilitas diserahkan kepada pemerintah. Build- Own – Operate – Skema ini mirip dengan skema BOT, hanya Transfer (BOOT) saja dalam BOOT pihak swasta memiliki fasilitas tersebut, selama masa pembangunan sampai periode konsesi tertentu yang telah disepakati, dengan fokus bahwa pihak swasta memperoleh keuntungan dan dapat menutup biaya produksi. skema ini biasa digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, pembangkit listrik, dan sejenisnya. Built – Own – Operate (BOO) Dalam skema ini, pihak swasta membangun infrastruktur, memilikinya, dan mengoperasikannya. Contoh dari skema ini adalah proyek yang melibatkan pembiayaan besar dengan return value lama, seperti jaringan telekomunikasi. Build – Lease – Transfer (BLT) Dalam skema ini, pihak swasta membangun proyek dan kemudian menyewakannya kepada pemerintah, sehingga pemerintah memiliki keleluasaan untuk mengontrol proyek tersebut selama periode sewa. Setelah periode konsesi berakhir, infrstruktur dapat dialihkan kepada pemerintah dengan harga yang disepakati. Design – Build – Finance – Pihak swasta mendesain, membangun dan Maintain (DBFM) membiayai proyek, serta menyediakan manajemen fasilitas dan layanan 122

DELIVERY MODEL PPP KETERANGAN pemeliharaan dalam jangka waktu tertentu. Pihak pemerintah mengoperasikan fasilitas tersebut. Design – Build – Finance – Skema ini mirip dengan BOOT, hanya saja Maintain – Operate (DBFMO) tidak ada pengalihan pemilikan yang nyata. Pihak kontraktor menanggung resiko pembiayaan sampai akhir periode kontrak, and pemerintah bertanggung jawab pada pemeliharaan dan pengoperasiannya. Model ini sering diterapkan dalam infrastruktur seperti pembangunan jalan tol. Dalam hal ini, pihak swasta bertanggung jawab dalam pembuatan desain dan pembangunan konstruksi untuk pemerintah sebagai pemilik sebenarnya. Pihak swasta juga bertanggungjawab untuk mengumpulkan dana selama periode konstruksi dan eksploitasi. Pemerintah mulai membayar ke pihak swasta untuk penggunaan aset setelah konstruksi. Skema ini banyak diterapkan di negara-negara Uni-Eropa. Design – Construct – Manage – Dalam model ini, sektor swasta bertanggung Finance (DCMF) jawab sepenuhnya untuk mendesain, Konsesi membangun, mengelola dan membiayai fasilitas, sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Pihak swasta mendapatkan keuntungan dari pembayaran sewa oleh pemerintah untuk pemakaian fasilitas tersebut. Pemberian hak, tanah atau properti oleh pemerintah kepada pihak swasta, dan pihak swasta membayar kepada pemerintah untuk mendapatkan konsesi tersebut selama periode waktu tertentu. Tabel 16 Rincian dari Pengembangan melalui PPP Indetifikasi Mengajukan Desain Pembiayaan Konstruksi Operasional Pemeliharaan Kepemilikan Konsesi kebutuhan solusi proyek proyek infrastruktur Swasta Tidak Pemerintah Swasta Tidak Bid – Build Pemerintah Pemerintah Desing – bid Pemerintah Tidak – build Pemerintah Swasta Tidak DB Tidak DBFM Pemerintah Swasta Pemerintah Tidak DBFO Pemerintah Swasta DBFMO Pemerintah Pemerintah Swasta Pemerintah Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta Pemerintah 123

BF Pemerintah Pemerintah Swasta Pemerintah Pemerintah Tidak OM Pemerintah Swasta Swasta Pemerintah BOT Pemerintah Tidak Pemerintah Swasta Swasta Sementa BLT Pemerintah Pemerintah Swasta ra BOOT Sementa Swasta BOO ra Market-Led Swasta Sementa proposal Pemerintah ra Ya Tidak Skema public-private partnership sendiri sudah mulai diadaptasi di Indonesia sejak Tahun 2005. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh urgensi pembangunan infrastruktur dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan pelayanan publik yang baik. Di Indonesia, PPP diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Adapun yang menjadi definisi dari PPP berdasarkan perpres tersebut adalah, kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh penanggung jawab proyek kerjasama, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak. Meskipun begitu, dalam hal infrastruktur geospasial, skema PPP ini belum banyak diterapkan di Indonesia, meskipun skema kolaboratif tradisional melalui tender sudah sering diterapkan dalam kegiatan pendaftaran tanah sistematis, seperti misalnya dalam program ajudikasi maupun PTSL. Penelitian ini juga mengidentifikasi kelebihan konsep PPP dalam pengelolaan informasi geospasial, dan bagaimana skema tersebut bisa diterapkan untuk melakukan pengelolaan IGT di Kementerian ATR/BPN, yang diuraikan sebagaimana berikut. 1. Desain data dan infrastruktur sistem informasi Sektor swasta memiliki kepekaan dan fleksibilitas tersendiri dalam hal mengenali kebutuhan pasar dan tren perkembangannya. Orientasi bisnis dan persaingan pasar akan mendorong kreativitas dalam mendesain data tematik dan desain infrastruktur sistem 124

informasi yang lebih bersifat market-oriented. Dalam hal ini, sektor swasta memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor publik, sehingga data dan informasi geospasial yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas dengan cakupan dan jangkauan yang semakin luas juga. 2. Pengumpulan data Pengumpulan data merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan infrastruktur IGT, dan dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Data IGT yang ‘dimonopoli’ oleh satu pihak (pemerintah) sebenarnya memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah: a. Monopoli terhadap data dan informasi yang menghambat kultur berbagi-pakai data dan ego sektoral pengelolaan data. b. Kurangnya kontor terhadap kualitas data dan standar pengelolaan data, termasuk juga pengelolaan dan pembaharuan data. Dalam hal ini, kolaborasi pengumpulan data melalui skema PPP dapat memberikan keuntungan dalam melakukan kontrol kualitas data, penggunaan teknologi terbaru untuk efisiensi pengumpulan dan pengolahan data, serta memberikan kewenangan yang terkontrol terhadap akses dan penggunaan data. 3. Data sharing dan pertukaran data Data sharing dan pertukaran data akan memerlukan standar data yang merupakan faktor mutlak. Penetapan standar yang melibatkan multi-stakeholder, termasuk juga sektor privat, akan memberikan pengaturan yang memungkinkan partisipasi dari berbagai macam pemangku kepentingan dan disesuaikan dengan kebutuhan bersama, sehingga standar yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pasar dan dunia industri. 4. Distribusi data Sektor swasta memiliki fleksibilitas dan efisiensi distribusi data yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor pemerintah. 125

Pengelolaan data berbasis bisnis yang memberikan keuntungan ekonomi akan lebih mendorong diseminasi data yang lebih luas dan lebih public-friendly, yang berarti juga bahwa fungsi data akan lebih optimal dengan pemakaian data yang lebih luas. 5. Otoritas dan responsibility Otoritas dan responsibility merupakan isu sensitif dalam IGT. Dalam model PPP, selama masing-masing pihak memiliki kesepakatan visi dan misi, hal ini dapat diantisipasi dan disepakati sebelumnya, sehingga masing-masing pihak akan berkomitmen dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Hal ini juga akan lebih menjamin akuntabilitas pengelolaan data. Setidaknya, ada 3 cakupan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan IGT dengan skema PPP, yaitu dalam lingkup pengumpulan data, pembangunan infrastruktur informasi geospasial, dan operasional sistem informasi. Meskipun skema PPP dapat memberikan fleksibilitas dan kreativitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengelolaan penuh oleh sektor publik, terdapat pula batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam hal pengelolaan data geospasial, mengingat beberapa informasi geospasial memiliki sensitivitas privacy tertentu yang harus diperhitungkan. Beberapa poin berikut memberikan gambaran mengenai critical point yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan informasi geospasial dengan skema PPP: a. Dalam berbagai skema PPP untuk pembangunan NSDI di berbagai negara, PPP dapat juga mencakup kolaborasi bersama dalam menetapkan standar data dan pengelolaannya. Argumen ini didasarkan bahwa semakin banyak pihak yang terlibat dalam penetapan konsensus tentang standar data dan pengelolaannya, maka data dan informasi geospasial yang terstandarisasi akan semakin luas juga cakupannya. Mengingat bahwa IG memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak hanya terkait jenis informasi yang disajikan, tetapi juga privacy, restriksi atau pembatasan akses, penggunaan data serta publikasinya. Hal 126

tersebut harus disebutkan secara spesifik dalam skema PPP, termasuk pula dukungan peraturan yang jelas mengenai kebijakan berbagi pakai data. b. Kepemilikan data (copyright) dan batasan penggunaan data. Dalam skema PPP yang mencakup kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, kepemilikan data (copyright) harus dicantumkan dengan jelas untuk menjamin reliabilitas, akuntabilitas dan kepemilikan data, baik pada saat kontrak masih berlangsung maupun saat sudah berakhir. Keamanan akses terhadap data lain yang terkait di luar IGT. Mengingat bahwa sebagian besar data pertanahan bersifat sensitif dan menyangkut keamanan dan kepentingan negara, batasan yang jelas mengenai pengelolaan sistem informasi dan kewenangan akses terhadap data tertentu harus diperhitungkan dengan jelas. G. PARTICIPATORY MAPPING SEBAGAI BAGIAN STRATEGI OPTIMALISASI DATA Pemetaan Partisipatif menjadi menjadi salah satu strategi yang dapat digunakan dalam optimalisasi data dalam lingkup Kementrian ATR/BPN, pemetaan partisipatif merupakan metode pemetaan yang bersifat bottom up yang melibatkan masyarakat dalam penyusunannya, didalam optimalisasi data yang dimaksudkan penggunaan metode Pemetaan Partisipatif dapat diterapkan pada tahapan produksi data terutama pada saat tahapan pengumpulan data. Kelebihan Penerapan Metode Pemetaan Partisipatif di Lingkungan Kementrian ATR/BPN Kementrian ATR/ BPN merupakan salah satu walidata dalam pengadaan Informasi Geospasial Tematik (IGT), salah satu metode yang dapat digunakan dalam penyusunan IGT tersebut adalah menggunakan metode partisipatif, metode ini sesuai dengan konsep system perencanaan 127

secata Bottom Up yang berasal dari masyarakat. Beberapa kelebihan yang diperoleh dari penggunaan metode pemetaan secara partisipatif antara lain : a. Validitas data lebih efektif karena berasal dari stakeholder serta lokasi yang bersangkutan. Pemetaan secara partisipatif mempunyai sumber data primer yang berasal dari masyarakat setempat, sehingga validitas data yang diperoleh lebih efektif dibanding dengan pemetaan dengan sumber data sekunder. b. Potret Tata Ruang yang Detail Peta memiliki kegunaan sebagai alat dokumentasi keadaan di suatu wilayah terkait dengan batas maupun penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan di dalam wilayah tertentu. Dengan adanya keterlibatan langsung masyarakat dalam pembuatannya, seperti menggambarkan sketsa kampung dengan pengetahuan keruangan yang mereka miliki serta memasukkan norma-norma adat yang biasanya digunakan dalam pengelolaan suatu wilayah, peta tersebut dapat menggambarkan seluruh informasi masyarakat terkait tata ruang di wilayahnya dan kearifan lokal yang mengikat di dalamnya. Hal ini sangat penting mengingat peta yang dihasilkan harus mampu mendukung kepentingan masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. c. Membuka peluang kolaborasi antar stakeholder Dalam melaksanakan proses pemetaan partisipatif maka memerlukan kolaborasi dan kerjasama antara stakeholder agar proses dan hasil pemetaan lebih maksimal. Dengan adanya pemetaan partisipatif maka membuka peluang kolaborasi antara pemerintah pusat (Kementrian ATR/BPN), pemerintah daerah, akademisi, privat sektor, LSM, dan Masyarakat. d. Peluang berbagi pengetahuan dengan masyarakat local Masyarakat sebagai salah satu sumber data tetapi tidak semuanya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam hal pemetaan. Dengan 128

adanya pemetaan partisipatif maka membuka peluang untuk dapat berbagi pengetahuan dengan masyarakat. Kesiapan Kementrian ATR/BPN dalam Pelaksanaan Pemetaan Partisipatif Pemetaan Partisipatif merupakan salah satu alternatif metode yang dapat digunakan untuk penyusunan / pembuatan Informasi Geospasial yang bersifat Bottom Up. Setiap Direktorat di dalam lingkup Kementrian ATR/BPN dapat melaksanakan metode Pemetaan Partisipatif, untuk melaksanakan Pemetaan Pertisipatif maka perlu dipersiapkan berbagai macam mulai dari peraturan hingga bagaimana implementasinya di lapangan. a. Penyusunan Peraturan Peraturan dapat menjadi salah satu pedoman dalam pelaksanaan Pemetaan Partisipatif. Peraturan yang perlu ditetapkan dalam pelaksanaan Pemetaan Partisipatif antara lain: 1) Petunjuk Pelaksanaan penyusunan IGT melalui metode Pemetaan Partisipatif. 2) SK pembentukan Tim Pemetaan Partisipatif 3) Penentuan Tupoksi masing – masing tim b. Implementasi Pemetaan Partisipatif Sedangkan dalam implementasi pemetaan partisipatif maka beberapa hal yang perlu disiapkan antara lain : 1) Surat menyurat 2) Materi Teknis dan Non Teknis 3) Peta Dasar 4) Koordinasi internal dan eksternal Tim Pemetaan Partisipatif di Lingkup Kementrian ATR/BPN Setiap pemetaan yang dilakukan secara partisipatif melibatkan berbagai pihak baik dari pemerintah, akademisi, NGO, maupun masyarakat. Dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif yang dapat dilakukan Kementrian ATR/ BPN maka perlu adanya penetapan Tim Pemetaan Partisipatif. Adapun stakeholder yang dapat dilibatkan dalam pemetaan partisipatif antara lain : 129

a) Tim Pemetaan Partisipatif Internal Kementrian ATR/BPN Yang dimaksud dengan Tim Pemetaan Partisipatif dari Kementrian ATR/BPN adalah tim yang dibentuk melalui SK Tim Pemetaan Partisipatif yang terdiri dari : 1) Penanggungjawab 2) Ketua 3) Sekertaris 4) Anggota b) Tim Pendamping Pemetaan Partisipatif Tim Pendamping Pemetaan Partisipatif merupakan tim yang dapat dibentuk oleh Kementrian ATR/BPN dengan tugas mendampingi stakeholder dalam penyusunan Pemetaan Partisipatif. Yang dapat menjadi tim pendamping antara lain : 1) Akademisi 2) Profesional 3) NGO c) Tim Pemetaan Partisipatif dari Stakeholder Tim Pemetaan Partisipatif dari Stakeholder merupakan pihak – pihak yang terkait dengan Pemetaan Partisipatif terutama masyarakat yang berada pada Kawasan yang menjadi lokasi pemetaan, yang dapat menjadi stakeholder antara lain : 1) Pemerintah daerah 2) Pemerintah setempat (kecamatan dan desa) 3) Tokoh Masyarakat 4) Masyarakat yang dianggap memiliki kapasitas 5) Masyarakat yang ingin terlibat 130

Tabel 17 Tupoksi Tim Pemetaan Partisipatif INSTANSI JABATAN TUPOKSI Tim Pemetaan Penanggungjawab Bertanggungjawab atas seluruh rangkaian kegiatan Pemetaan Partisipatif Partisipatif. Memimpin rangkaian kegiatan Kementrian Pemetaan Partisipatif. Mengatur kesekertariatan ATR/BPN Ketua Bertanggunjawab keterlaksanaan kegiatan Pemetaan Partisipatif di Sekretaris lapangan. Anggota Tim Pendamping Akademisi 6. Menyiapkan materi penyusunan Pemetaan Partisipatif yang akan Pemetaan Profesional / Tenaga disampaikan kepada masyarakat/ stakeholder. Partisipatif Ahli 7. Memberikan paparan materi NGO tentang Pemetaan Partisipatif sebelum dilaksanakan kegiatan. 8. Menyiapkan bahan – bahan yang akan digunakan dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif. 9. Melakukan pendampingan dalam Kegiatan Pemetaan Patisipatif. Tim Pemetaan Pemerintah Daerah • Mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Pemetaan Partisipatif Partisipatif Dari Pemerintah Setempat yang ada di lapangan. Stakeholder (Kecamatan & Desa) Tokoh Masyarakat • Memberikan informasi – informasi Masyarakat yang terkait data – data yang mempunyai kapasitas dibutuhkan dalam penyusunan Masyarakat yang peta. ingin terlibat • Memvalidasi data – data yang ada. 131

Tahapan Pemetaan Partisipatif Dalam pelaksanaan Pemetaan Partisipatif terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan, beberapa tahapan tersebut meliputi : a. Tahap 1 : Penyusunan Rencana Kegiatan dan Pembentukan Tim Pemetaan Partisipatif Koordinatoor Pemetaan Partisipatif dari Kementrian ATR/BPN akan membentuk tim pelaksanaan Pemetaan Partisipatif yang dipilih berdasarkan peran dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan lapangan. Perencanaan kegiatan ini berupa : 1) Memberikan pelatihan bagi tim pelaksana Pemetaan Partisipatif 2) Pembuatan rencana kerja kegiatan Pemetaan Partisipatif dengan menentukan lama kegiatan dan capaian dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif. 3) Rencana kerja tim menentukan Kawasan / lokasi prioritas yang akan dilakukan Pemetaan Partisipatif. 4) Menyiapkan peta dasar mengenai lokasi. b. Tahap 2 : Koordinasi Internal Kegiatan koordinasi internal meliputi : 1) Rapat internal tim Pemetaan Partisipatif. Rapat ini ditujukan untuk menyepakati atau persetujuan atas rencana kegiatan dan komposisi tim Pemetaan Partisipatif Kementrian ATR/BPN. 2) Mempersiapkan bahan sosialisasi untuk disampaikan ke masyarakat dan stakeholder lain. Materi sosialisasi disusun dengan Bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat dan para pihak lainnya. Materi sosialisai minimal mencakup informasi sebagai berikut : latar belakang/ dasar pemikiran, tujuan, hasil yang ingin dicapai implikasi/ dampak yang akan terjadi, perkiraan durasi, hak masyarakat atas pelaksanaan pemetaan partisipatif, peran penting masyarakat, proses pemetaan partisipatif, biaya, tim yang akan terlibat dan lain – lain. 3) Sosialisasi Internal 132

Sosialisasi internal ditujukan untuk mencapai pemahaman yang sama mengenai latar belakang, metode dan capaian Pemetaan Partisippatif. c. Tahap 3 : Koordinasi dan Komunikasi Dengan Stakeholder Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah sebagai berikut: 1) Mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak pemerintah setempat minimal tingkat Dearah untuk diteruskan kepada Kecamatan dan Desa yang memberitahukan tentang latar belakang dan tujuan kegiatan Pemetaan Partisipatif. 2) Diperlukan rapat koordinasi antara Tim pendamping dari Kementrian ATR/BPN dengan seluruh stakeholder. 3) Rapat Koordinasi menjelaskan dan mendiskusikan tentang gagasan/ usulan pelaksanaan Pemetaan Partisipatif. Dari kegiatan ini diharapkan disepakati beberapa hal, antara lain : a) Seluruh stakeholder memahami arti, maksud dan tujuan, durasi dan siapa saja yang penting untuk terlibat dalam Pemetaan Partisipatif. b) Mengerti bahwa setiap masyarakat memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif. c) Para stakeholder mengerti bahwa pembentukan tim stakeholder dilakukan melalui musyawarah seluruh stakeholder. d) Perwakilan masyarakat yang diundang diharapkan memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup mengenai sejarah dan wilayah terkait. e) Perwakilan masyarakat yang diundang sebaiknya mewakilikomponen agama, pemerintah setempat, adat, perempuan, pemuda atau komponen masyarakat lain yang terlibat dalam kegiatan ini. f) Partisipasi masyarakat bersifat sukarela tanpa paksaan. 133

g) Memberikan kesempatan waktu yang cukukp (sesuai kesepatan) kepada pemerintah setempat dan stakeholder lain untuk berkomunikasi dan menyetujui jadwal pelaksanaan. d. Tahap 4 : Sosialisasi Pemetaan Partisiptif Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain: 1) Persetujuan dari pemerintah setempat serta seluruh stakeholder tentang jadwal sosialisasi sehingga Tim Pendamping Kementrian ATR/BPN dapat menyiapkan kelengkapan dan logistic sosialisasi. 2) Melalui komunikasi (surat) dengan pemerintah setempat dan stakeholder lainnya Tim memastikan Kembali agar keterwakilan masyarakat mengikuti sosialisasi. 3) Pada tanggal dan waktu yang telah disepakati untuk melakukan sosialisasi, Tim melakukan proses sosialisasi. 4) Dari kegiatan sosialisasi diharapkan : a) Masyarakat mengerti dan memahami dengan baik isi sosialisasi. b) Menyepakati dan atau tidak menyepakati diadakannya pemetaan partisipatif. c) Jika disepakati untuk dilakukan Pemetaan Partisipatif maka masyarakat diberi waktu dan kesempatan untuk memutuskan hal – hal berikut : (1) proses dan jadwal pembentukan tim Pemetaan Partisipatif dari unsur pemerintah setempat dan stakeholder, (2) jadwal pertemuan berikutnya. d) Jika tidak ada persetujuan maka kegiatan Pemetaan Partisipatif ditunda atau dihentikan. e) Dalam proses sosialisasi dan pengembilan keputusan tentang pelaksanaan Pemetaan Partisipatif, masyarakat diberikan kebebasan berpendapat dalam situasi tanpa tekanan. 5) Pada saat pelaksanaan sosialisasi jika masih dibutuhkan oleh masyarakat maka kegiatan sosialisasi masih dapat dilakukan lagi. e. Tahap 5 : Pertemuan dengan Masyarakat Untuk Pembentukan Tim dan Rencana Kerja Pemetaan Partisipatif 134

Pada tahap ini kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: 1) Jika masyarakat menyetujui dilakukannya Pemetaan Partisipatif maka masyarakat akan dibentuk menjadi Tim Pemetaan Partisipatif yang ditetapkan melalui berita acara dan selanjutnya ditetapkan melalui SK Pemerintah setempat. 2) Tim Pemetaan dari Kementrian ATR/BPN dan Tim Pemetaan Partisipatif melakukan pertemuan untuk mendiskusikan, merumuskan dan mendokumentasikan hal – hal sebagai berikut: a) Rencana Kerja Pemetaan Partisipatif dan jadwal dimulainya kegiatan pemetaan. b) Pembagian tugas dan tanggung jawab diantara anggota tim. c) Mendokumentasikan (jika ada) isi hukum adat (hukum tak tertulis) yang diakui oleh masyarakat untuk ditaati sebagai hukum. Pelaksana Pemetaan Partisipatif tidak perlu membuat kesepakatan baru dalam penerapan hukum yang ada di masyarakat karena tugas Tim Pemetaan Partisipatifhanya mendokumentasikan isi hukum tersebut, contoh : (1) Aturan adat tentang kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam (termasuk lahan), (2) Aturan adat terkait penyelesaian sengketa antar warga, (3) Hukum adat lain yang sebelumnya merupakan hukum tidak tertulis. 3) Tim Pemetaan Partisipatif mensosialisasikan rencana pemetaan kepada masyarakat setempat dan jika ada yang mau terlibat maka harus dilibatkan dalam prosesnya. f. Tahap 6 : Pelatihan Pemetaan Partisipatif Bagi Tim Pemetaan Partisipatif Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain : 1) Tim Pemetaan Kementrian ATR/BPN memberikan pelatihan mengenai Teknik pengumpulan data, penggunaan alat – alat pemetaan partisipatif dan penjelasan singkat tentang proses pengolahan data menjadi peta. 2) Pelatihan tersebut difasilitasi oleh Kementrian ATR/BPN, 135

g. Tahap 7 : Pengumpulan Data Tahapan pengumpulan data disesuaikan dengan tema peta yang akan dibuat. Contoh pengumpulan data untuk pembuatan Peta Desa antara lain sebagai berikut : 1) Pembuatan sketsa desa yang berisikan informasi berikut : a) Struktur ruang desa dengan informasi keberadaan wilayah pertanian, perkebunan, budidaya ikan, jalan, hutan dll. b) Batas indikatif administrasi desa (apabila batas desa telah ditetapkan sebelumnya oleh kedua desa yang berbatasan, maka Tim Pemetaan Partisipatif dapat menggunakan data tersebut yang meliputi minimal berita acara penetapan batas desa dan data spasialnya). c) Jika ada dan disepakati oleh masyarakat lahan cadangan pengembangan desa yang akan digunakan untuk kegiatan pertanian dalam rangka ketahanan pangan untuk masa depan. d) Apabila ada informasi penggunaan lahan maka yang tidak diketahui secara pasti oleh Tim Pemetaan Partisipatif maka tim akan berkonsultasi dengan narasumber yang berkompeten di desa tersebut. 2) Data penggunaan lahan a) Data penggunaan lahan berisi lokasi lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomi sosial budaya dan keagamaan. b) Lokasi permukiman c) Lokasi wilayah pertanian baik yang bersifat subsisten dan komersial : d) Lahan cadangan pengembangan desa yang akan digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dalam rangka ketahanan pangan untuk masa depan. Lahan ini dipetakan dalam bentuk polygon. 3) Data indikatif batas administrasi desa 4) Data pola kepemilikan tanah 136

Meliputi : a) Tanah adat yang menjadi milik Bersama (communal) dan tanah adat yang bersifat kepemilikannya personal. b) Tanah agama yaitu tanah yang digunakan untuk kegiatan keagamaan atau kepercayaan. c) Tanah Negara yaitu tanah yang diakui sebagai tanah milik desa yang ditujukan untuk kepentingan pembangunan desa. 5) Data profil desa h. Tahap 8: Pengolahan Data dan Pembuatan Draft Peta Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini antara lain : 1) Tim Pemetaan Partisipatif selanjutnya melakukan pengolahan data hasil pemetaan tematik untuk menghasilkan laporan awal/ sementara. 2) Penyusunan draft awal profil Kawasan yang akan digunakan untuk verifikasi dan validasi Bersama masyarakat. i. Tahap 9 : Verifikasi Data Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini antara lain : 1) Kegiatan ini merupakan kegiatan verifikasi dan validasi data yang diperoleh. 2) Peserta yang mengikuti kegiatan ini antara lain Tim Pemetaan dari Kementrian ATR/BPN, Tim Pemetaan Partisipatif, Stakeholder lain dan Narasumber yang kompeten. 3) Jika data peta dan profil yang diperoleh atau dikumpulkan masih belum lengkap, maka Tim Pemetaan akan melengkapinya. Jika ada perbedaan data dan atau pemahaman masyarakat maka harus disepakati cara/ proses penyelesaiannya. Apakah diperlukan pengecekan lapangan Bersama ataukah cukup dengan consensus. 4) Jika data yang ada dinilai cukup dan atau proses pengambilan data lapangan tambahan sudah cukup maka proses ini bisa dilanjutkan ke tahap pengolahan data dan pembuatan peta final. j. Tahap 10 : Pengolahan Data dan Pembuatan Drat Final Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini meliputi : 137

1) Pembuatan peta hasil pengumpulan data Hasil informasi yang diperoleh atau dikumpulkan akan diintegrasikan dalam sebuah peta. Peta ini akan dipersiapkan untuk dipresentasikan kepada masyarakat pada kegiatan konsultasi publik. k. Tahap 11 : Konsultasi Publik l. Tahap 12 : Laporan Final Laporan final dapat berupa : 1) Laporan naratif proses dan temuan lapangan 2) Dokumen peta yang telah disahkan 3) Dokumen poin – poin kesepakatan di masyarakat 4) Notulensi pertemuan masyarakat 5) Foto kegiatan 6) Daftar hadir 138

BAB VII. SKEMA DESAIN PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK DI KEMENTRIAN ATR/BPN Pada bab ini, hasil kajian dan desk study yang telah dilakukan pada bab sebelumnya diolah lebih lanjut dengan menggunakan analisis SWOT, untuk dapat memberikan gambaran mengenai kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman yang dapat ditemui dalam melakukan pengelolaan IGT yang ada di Kementerian ATR/BPN. Hasil analisis tersebut ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 18 Analisis SWOT Kekuatan (strength) Kondisi internal yang dapat dijadikan sebagai kelebihan dalam pengembangan IGT di level organisasi ▪ Keberadaan data pertanahan berbasis bidang yang dapat digunakan sebagai data dasar dan sudah dikelola dalam sistem informasi (data bidang tanah dalam KKP) ▪ Geoportal Tematik sebagai starting point dalam pengelolaan IGT terintegrasi ▪ Keberadaan portal webgis dari Unit Produksi Data yang dapat diintegrasikan dengan Geoportal Tematik untuk pengelolaan data yang lebih efisien ▪ Sudah adanya peraturan mengenai pengelolaan IGT di lingkungan Kementerian yang telah memberikan pengaturan yang jelas tentang pembagian tugas dan kewenangan pengelolaan data dan IGT. ▪ Keberadaan SDM melek teknologi sebagai pengelola IGT ▪ Sudah terbangunnya awareness dari pemangku kepentingan mengenai pengelolaan IGT dan publikasinya ▪ Adanya roadmap transformasi digital yang mendukung pengelolaan IGT terintegrasi ▪ Dukungan TI yang memadai ▪ Agenda transformasi digital dan digitalisasi data pertanahan yang dapat menjadi dasar percepatan pengelolaan IGT yang terintegrasi ▪ Program kota lengkap sebagai base point ketersediaan data dasar pembangunan IGT 139

Kelemahan (weakness) Kondisi internal yang menjadi penghambat pengembangan IGT ▪ Pengelolaan portal webgis yang belum terintegrasi ▪ Belum adanya standarisasi pengelolaan IGT untuk data yang dikelola oleh Unit Produksi Data ▪ Pengaturan terhadap akses data yang belum jelas dan masih memerlukan payung hukum yang lebih spesifik ▪ Luasnya cakupan data yang memerlukan investasi besar untuk pengumpulan, pengelolaan dan pemeliharaannya ▪ Kultur berbagi pakai data yang belum terbentuk secara optimal, baik dalam level organisasi maupun di luar organisasi ▪ Manajemen data yang kurang efisien yang menyebabkan data kurang dikelola secara baik ▪ Kualitas data yang masih memerlukan perbaikan ▪ Budaya organisasi menuju layanan digital yang belum terbentuk secara efisien Kesempatan (opportunity) Kondisi eksternal yang menjadi faktor pendorong keberhasilan pengembangan pengelolaan IGT ▪ Pasar pengguna IGT yang semakin luas dan menjadikannya sebagai marketplace yang menjanjikan ▪ Arah perkembangan pengelolaan IGT dunia yang semakin menuju ke arah open access ▪ IGT sebagai bisnis yang menjanjikan dan berpeluang untuk dilakukan pengelolaan secara PPP (KPBU) ▪ Adanya payung hukum pemetaan partisipatif yang dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan pemetaan partisipatif untuk percepatan pengumpulan data dan IGT ▪ Arah kebijakan pembangunan nasional untuk percepatan pertumbuhan ekonomi yang memerlukan IGT sebagai basis decision making secara reliable dan timely Ancaman (threat) Kondisi eksternal yang menjadi faktor penghambat pengembangan pengelolaan IGT ▪ Competitiveness dengan pihak swasta yang menyediakan IG yang lebih market-friendly dan lebih fleksibel ▪ Data pertanahan yang sebagian bersifat ‘sensitif’ dan memiliki tingkat privacy tinggi ▪ Sinkronisasi dengan data lain ketika akan melakukan upgrading data menjadi data olahan. 140


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook