Theresa 195 berpikir. Aku berani bertaruh bahwa m ereka akan saling habiskan dengan ciuman begitu kita pulang.” Dan sem ua kenalan m ereka berpikir begitu juga. Bahkan, Theresa dan Laurent dijadikan pasangan suam i-istri teladan. Seluruh Passage du Point-Neuf m enyanjung-nyanjung kem esraan m ereka, kebahagiaan m ereka dan bulan m adu m ereka yang tak kunjung padam . Hanya m ereka berdua yang m engetahui bahwa m ayat Cam illus berbaring di antara m ereka di ranjang. Hanya m ereka yang m erasakan, di balik ketenangan air m uka ada badai dahsyat yang m engom bang-am bingkan m ereka setiap m alam , m erubah air m uka yang tenang itu m enjadi topeng m em uakkan penuh penderitaan.
BAB XXV SETELAH EMPAT bulan barulah Laurent berpikir untuk m em etik keuntungan dari perkawinannya seperti yang ia perhitungkan dahulu. Dia sudah m eninggalkan istrinya dan lari dari hantu-hantu Cam illus tiga hari setelah perkawinan andaikata keuntungan yang dibayangkan itu tidak m engikatnya tinggal di toko dalam Passage. Dia mau menerima malam-malam penuh kengerian itu, mau tetap tinggal di tengah-tengah siksaan-siksaan yang m enyesakkannya, un tuk tidak kehilan gan keun tun gan -keun tun gan itu. Kalau dia meninggalkan Theresa ia akan menjadi laki-laki melarat lagi, harus tetap m em pertahankan pekerjaannya. Sebaliknya, dengan tetap tinggal ia dapat m em enuhi keinginannya untuk bermalas-malasan, dapat hidup senang dari hasil modal Madame Raquin yang dialihkan kepada Theresa tanpa harus bekerja. Tidak m ustahil pada suatu saat ia akan lari m em bawa uang yang em pat puluh ribu frank itu kalau ia dapat m enguasainya. Tetapi
Theresa 197 Madame Raquin, atas nasihat Michaud, bertindak cukup hati- hati m engam ankan kepentingan kem enakannya dengan jalan mencantumkan perkara modal itu dalam perjanjian perkawinan. Dengan dem ikian Laurent terikat erat kepada Theresa dengan tali yang sangat kuat. Sebagai im balan untuk m alam -m alam yang m enakut-kan itu, paling sedikitnya ia m au ditunjang dalam hidup m alas yang m em bahagiakannya, diberi m akan cukup, pakaian hangat, dan uang dalam kocek untuk memenuhi segala keinginannya. Hanya dengan itulah dia m au tidur bersam a janda laki-laki yang m ati tenggelam itu. Suatu senja dia memberitahu Madame Raquin dan Theresa, bahwa ia sudah mengajukan permohonan berhenti dan akan m eninggalkan pekerjaannya dua m inggu m endatang. Theresa m enunjukkan kegelisahan. Cepat-cepat Laurent m enam bahkan, bahwa dia berm aksud hendak m enyewa sebuah studio kecil dan akan m ulai m elukis lagi. Dilebih-lebihkannya kejem uan di kantor, dibesar-besarkannya pula m asa depan cerah yang m ungkin diberikan bidang seni. Karena sekarang ada sedikit uang dan kesem patan, ia ingin m encoba dapat tidaknya berbuat sesuatu yang besar. Keterangan ini hanyalah untuk m enyem bunyikan keinginan sebenarnya yang kuat untuk kem bali ke dalam kehidupan dalam studio. Dengan air muka tidak senang Theresa menggigit bibir dan tidak menjawab. Dia tidak berkeinginan m em biarkan Laurent m enggunakan uangnya yang tak seberapa itu. Ketika suam in ya m en ekan n ya den gan pertan yaan - pertanyaan, ia m enjawab pendek dan kasar. Ditegaskannya bahwa kalau Laurent berhenti bekerja dia tidak akan m em punyai penghasilan apa-apa, dan itu berarti bahwa untuk selanjutnya ia akan tergantung sam a sekali pada Theresa. Ketika dia berbicara, Laurent m enatapnya dengan tajam sehingga ia m erasa takut dan tidak dapat m engucapkan kata penolakan yang sudah bergantung di bibirnya. Sebagai kawan sekejahatan seakan-akan dia m elihat
198 Emile Zola ancam an di m ata Laurent yang berbunyi, “awas, akan kubuka sem ua rahasia kalau engkau tidak setuju.” Bicaranya m enjadi gugup. Madam e Raquin m enyatakan bahwa keinginan m enantu tercintanya patut dipenuhi, bahwa dia harus diberi kesem patan untuk m enjadi senim an besar. Perem puan tua yang baik ini m em an jakan Lauren t seperti dia m em an jakan Cam illus. Ia terkesan dan terharu sekali oleh perlakuan penuh kasih sayang yang telah ditunjukkan anak m uda itu kepadanya. Laurent telah berhasil m enguasainya dan perem puan tua itu selalu saja m enyetujui pendapatnya. Maka diputuskanlah bahwa senim an ini akan m enyewa sebuah studio dan bahwa dia akan m enerim a seratus frank sebulan untuk biaya-biayanya. Anggaran keluarga itu diatur dem ikian: keuntungan dari toko digunakan untuk m em bayar sewa toko dan rumah tinggal dan untuk keperluan hidup sehari- hari. Untuk m em bayar sewa studio dan yang seratus frank akan diam bil dari bunga m odal sebanyak dua ribu frank lebih, sedangkan penghasilan selebihnya disediakan untuk m enutup keperluan-keperluan keluarga lainnya. Dengan dem ikian m odal asli tidak akan terjam ah. Kegelisahan Theresa m engendur. Dia m em inta suam inya bersum pah untuk tidak m elebihi anggaran yang disediakan. Paling tidak Theresa dapat m erasa yakin, bahwa Laurent tidak akan m ungkin m enjam ah m odal yang em pat puluh ribu frank itu tanpa tanda tangan dia, dan dia berjanji kepada dirinya tidak akan m an. m enandatangani apa pun yang berhubungan dengan uang itu. Langsung keesokan harinya Laurent m enyewa sebuah studio yang sudah sebulan lam anya diincarnya. Letaknya dekat ujung Rue Mazarine. Laurent tidak m au m eninggalkan pekerjaannya tanpa m em punyai tem pat pelarian, tem pat dia dapat m enghabiskan hari-harinya dengan tenang dan dam ai, jauh dari Theresa. Dua
Theresa 199 minggu kemudian dia mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekannya. Grivet sangat terkejut. “Anak m uda itu,” katanya, ‘”yang m em punyai m asa depan yang baik, anak m uda yang dalam waktu em pat tahun telah m encapai gaji sebanyak yang harus aku nantikan selam a dua puluh tahun!” Laurent m em buat dia lebih terperanjat lagi dengan mengatakan, bahwa ia akan mencurahkan seluruh hidupnya untuk m elukis. Akhirn ya sen im an kita pin dah ke studion ya, sebuah ruangan kecil di loteng berukuran lim a atau enam yard persegi. Langit-langitnya m iring sekali dengan jendela lebar yang dapat m engantarkan cahaya ke atas lantai papan dan ke dinding kelabu kotor. Hiruk-pikuk di jalan tidak sampai terdengar ke atas ini. Sunyi, dengan cahaya m enyilaukan dan langit terlihat di atasnya, ruangan ini serupa gua dalam tanah lem pung abu-abu. Laurent m em perlengkapi sekadarnya saja. Dia m em bawa dua buah kursi yang sudah rusak dudukannya, sebuah m eja yang disandarkan ke dinding agar tidak terguling, sebuah lemari dapur tua, kotak alat m elukis dan sebuah kuda-kuda untuk kanvas. Satu-satunya barang yang m ewah adalah sebuah kursi panjang yang sangat besar yang dia beli dari penjual barang bekas seharga tiga puluh frank. Dia sudah m enghabiskan waktu dua m inggu lam anya di sana tanpa sedetik pun ingat untuk m enyentuh alat- alat m elukisnya. Ia datang antara pukul delapan dan sem bilan pagi, m erokok, berbaring di kursi panjang m enunggu datangnya tengah hari, merasa berbahagia karena hari masih pagi, sehingga ia m asih m em punyai banyak sekali waktu sebelum m alam . Tengah hari ia pergi makan siang, lalu cepat-cepat kembali lagi untuk m enyendiri, pergi jauh untuk m enghindari wajah Theresa yang pucat. Di sana dia m encernakan m akanannya, lalu tidur, berm alas-m alasan sam pai petang. Studionya m erupakan tem pat yang dam ai di m ana dia tidak m engenal takut. Suatu hari istrinya m em inta dibolehkan berkunjung ke tem pat pelarian tercintanya.
200 Emile Zola Dia menolak, dan ketika, sekalipun telah ditolak, Theresa datang dan m engetuk pintunya, dia tidak m au m em bukanya. Sorenya dia mengatakan kepada Theresa bahwa siang tadi dia habiskan waktunya di Museum Louvre. Dia takut Theresa akan m em bawa hantu Cam illus ke studionya. Akhirnya kem alasan itu m enjem ukannya juga. Ia m em beli kanvas dan cat, lalu m ulai bekerja. Karena tidak m em punyai cukup uang untuk m enyewa seorang m odel, ia m em utuskan untuk menggambar berdasarkan imajinasi saja. Ia mulai menggambar kepala seorang laki-laki. Di samping melukis, sekarang ia mengurangi waktu mengunci diri di studio. Dia bekerja dua atau tiga jam setiap pagi, lalu m enghabiskan waktu-waktu lainnya dengan berjalan- jalan di seputar Paris dan pinggirannya. Ketika kem bali dari pengem baraannya inilah dia bertem u dengan kawan lam anya yang telah berhasil m encapai sukses gem ilang berkat bantuan kawannya di pam erannya yang terakhir. “Engkau?” kata pelukis itu heran. “Mengapa, Laurent. Aku pangling sekali. Engkau m enjadi sangat kurus!” “Aku telah m enikah,” Laurent m enjawab dengan nada m alu. “Menikah! Engkau m enikah! Aku tahu sekarang m engapa engkau kelihatan begitu aneh.... Apa yang kaulakukan sekarang?” “Aku m enyewa sebuah studio kecil. Aku m elukis sedikit- sedikit, pagi-pagi.” Dengan singkat Laurent m enceritakan tentangperkawinannya, lalu dengan suara gemetar dia menerangkan rencana untuk masa depannya. Kawannya m enatap dengan wajah terheran-heran yang m em buat Laurent rikuh dan gelisah. Soalnya, dalam diri suam i Theresa ini, pelukis itu tidak lagi menemukan pemuda biasa yang lam ban seperti yang pernah dikenalnya dahulu. Di m atanya Laurent kelihatan sudah m em punyai m artabat diri. Mukanya tidak gem pal berlem ak lagi, sedikit pucat, dan gerakannya anggun dan mempesona.
Theresa 201 “Engkau m enjadi tam pan sekali,” pelukis itu tak dapat m enahan pujian. “Bajum u seperti pakaian duta besar. Ini m odel m utakhir. Aliran m ana yang kau anut?” Laurent tidak m erasa senang diteliti seperti itu. Nam un dia tidak berani pergi m eninggalkannya. “Mau ke studioku seben tar?” akhirn ya dia m en gajak kawannya yang tidak m em berikan tanda-tanda untuk pam it. “Senang sekali,” jawab pelukis itu. Karena tidak dapat m em aham i perubahan-perubahan yang ditem ukannya pada Laurent, pelukis itu ingin sekali m elihat studio kawannya. Yang pasti, dia tidak berm aksud m enaiki lim a anak tangga hanya untuk m elihat-lihat lukisan-lukisan Laurent yang baru, yang hanya akan m em buatnya sakit saja. Ia hanya ingin m em uaskan rasa ingin tahunya saja. Ketika sam pai di studio dan m elem parkan pandangan ke lukisan-lukisan di dinding, keheranannya m akin m eningkat. Ada lim a buah gam bar bergantung di sana, tiga kepala laki-laki dan dua kepala perem puan, dilukis dengan sem angat yang kuat. Kesannya kaya dan padat. Setiap gam bar m encuat dengan garis- garisnya yang kuat dari latar belakangnya yang berwarna abu- abu halus. Pelukis itu m endekatinya dengan terpesona, kagum , bahkan sam a-sekali tidak m enyem bunyikan keheranannya. “Engkaukah yang m elukis ini sem ua?” “Ya,” jawab Laurent. “Itu baru skets untuk lukisan besaryang aku rencanakan.” “J angan m ain-m ain, benarkah engkau yang m elukis ini?” “Tentu saja. Mengapa tidak?” Pelukis itu tak berani m enjawab, “oleh karena ini adalah karya senim an besar, sedang engkau tak pernah lebih dari seorang pelukis bodoh dan sial.” Dia berdiri di depan sketsa- sketsa itu untuk beberapa saat tanpa berkata-kata. Sketsa-sketsa itu kasar dan kaku saja, tetapi m em punyai kelainan dan kekuatan
202 Emile Zola sentuhan seorang artis yang sudah sangat jauh berkem bang. Sketsa-sketsa itu memberikan kesan wajah dari orang-orang yang pernah hidup. Kawan Laurent belum pernah m elihat sketsa dengan kem ungkinan-kem ungkinan yang begitu luas seperti itu. Setelah selesai m engam ati, dia berbalik kepada pelukisnya. “Terus terang,” katanya, “aku tidak pernah m engira engkau dapat melukis seperti itu. Dari mana engkau memperoleh bakat itu? Biasanya tak dapat dipelajari.” Lalu dia m em andang kepada Laurent, yang suaranya terdengar lebih halus dan gerak-geriknya m em punyai sem acam keindahan yang baru. Dia tak dapat m enerka kejutan m acam apa yang telah m engubah lelaki di hadapannya ini, yang telah menanamkan dan mengembangkan kehalusan seorang wanita dalam dirinya dengan kepekaan yang tinggi. Tak dapat disangkal telah terjadi fenom ena aneh dalam diri pem bunuh Cam illus ini. Tidaklah mudah mengukur kedalaman perubahan semacam itu. Barangkali Laurent telah m enjadi seorang senim an seperti berubahnya dia m enjadi seorang pengecut, sebagai akibat dari gangguan hebat yang m erusak keseim bangan tubuh dan pikirannya. Dahulu dia seorang yang kesesakan di bawah tekanan darah binatang yang pekat, terbutakan oleh kesehatan tubuh. Sekarang, kurus, pucat, dan agak malu-malu, tetapi bergairah dan perasaannya pun peka. Karena panik dan takut jiwanya m enjadi tidak seimbang dan dalam ketidakseimbangan itu muncul pribadi baru dengan gairah seorang jenius. Gejolak batin, goncangan saraf yang m enggetarkan seluruh dirinya, telah m engem bangkan sem acam kepekaan senim an yang aneh tetapi jelas. Karena dia telah m em bunuh, gejolak darah kebinatangannya seakan-akan m ereda, jiwanya yang selalu tegang m encapai dim ensi baru, dan dalam perkem bangan jiwa yang m endadak itu dia m endapatkan im ajinasi seorang penyair untuk m enciptakan suatu karya yang indah. Dan karena gerakan-gerakannya pun m endadak m enjadi halus, m aka lukisannya pun m enjadi bagus, personal dan hidup.
Theresa 203 Kawannya tak sanggup lagi m enganalisa dan m em aham i kelahiran seniman baru ini. Dia pergi masih dalam keheranan. Sebelum berangkat, sekali lagi dia melihat kepada sketsa-sketsa lalu berkata, “aku hanya m em punyai satu kritik, sem ua wajah dalam lukisan itu m em punyai kesam aan keluarga. Kelim a wajah itu serupa sem uanya. Bahkan yang perem puan itu m em punyai sem acam ekspresi yang keras, sehingga m em buat dia kelihatan seperti laki-laki yang m enyam ar.... Kalau engkau berm aksud hendak m em buat potret dari sketsa-sketsa ini, sebaiknya beberapa wajah engkau ubah dahulu. Lukisan-lukisanm u tak m ungkin sem uanya bersaudara. Hanya akan m em buat orang tertawa saja.” Dia meninggalkan studio, lalu berhenti lagi sebentar dan m enam bahkan sam bil tertawa, “ini bukan berlebih-lebihan, aku sungguh-sungguh gembira dapat bertemu lagi. Mulai saat ini aku akan percaya kepada keajaiban-keajaiban.... Engkau betul-betul hebat.” Dia m enuruni tangga dan Laurent kem bali lagi ke studionya, pikirannya terganggu. Ketika kawannya m engatakan bahwa sem ua sketsanya m em punyai kesam aan, dia cepat-cepat m em alingkan m uka untuk m enyem bunyikan wajah yang m endadak m enjadi pucat. Kesam aan itu telah m en gejutkan n ya. Dia kem bali perlahan-lahan lalu berdiri di depan gam bar-gam barnya. Ketika dia m em perbandingkan yang satu dengan yang lain, keringat dingin m engucur di punggungnya. “Dia benar,” gerutunya, “sem uanya serupa.... Sem ua seperti Cam illus.” Laurent m enjauh, lalu duduk di kursi panjang, nam un m ata- nya tak dapat dialihkan dari gam bar-gam bar itu. Yang pertam a, sketsa seorang laki-laki tua dengan janggut putih panjang. Di balik janggut putih itu Laurent m elihat dagu Cam illus yang kurus kering. Yang kedua, seorang perem puan pirang, dan perem puan pirang itu m enatap kepadanya dengan m ata biru Cam illus. Ketiga
204 Emile Zola lainnya, m asing-m asing m em punyai sesuatu yang sam a dengan orang yang m ati tenggelam itu. Sem uanya Cam illus, m enyam ar sebagai lelaki tua, sebagai perem puan pirang, sem uanya m em akai topeng yang dipilih pelukisnya sendiri, nam un sem uanya tetap m enunjukkan perwatakan um um yang asli. Ada lagi kesam aan yang m engerikan, sem uanya kelihatan m enderita dan ketakutan, sem uanya seakan-akan sedang dicekam kegoncangan batin yang sama. Mulut sebelah kiri sama-sama sedikit menegang, menarik kedua bibirnya, sehingga kelihatan m enyeringai. Seringai itu, yang Laurent ingat pernah dilihatnya pada wajah m ayat Cam illus yang m enyeram kan, adalah ciri yang sangat dibencinya karena selalu m enghubungkan dia dengan Cam illus. Laurent baru sadar bahwa ia telah terlalu lam a m em perhatikan m ayat Cam illus di rum ah m ayat. Wajah m enyeram kan itu telah terukir di benaknya. Sekarang, di luar kekuasaannya, untuk selam anya tangannya hanya akan dapat m encoretkan garis-garis wajah yang sangat dibencinya, dikendalikan benak yang berisi ukiran wajah itu. Laurent kem bali berbaring di kursi panjang. Secara berangsur- angsur dia m elihat wajah-wajah itu m enjadi hidup. Akhirnya m uncullah lim a Cam illus di hadapannya, lim a Cam illus yang diciptakan oleh jari-jem arinya sendiri, dan anehnya sekaligus m enakutkannya. Sem uanya m enyam ar, ada yang bertopeng ketuaan, ada pula yang berselubung jenis kelam in. Laurent bangkit, m erobek-robek sem ua gam bar, lalu m elem parkannya ke luar. Dia m erasa bisa m ati ketakutan dalam studionya sendiri kalau tem pat itu dipenuhi oleh potret-potret korban pem bunuhannya. Kekhawatiran lain datang m enyerang. Dia khawatir tidak akan mampu lagi melukis wajah-wajah lain selain wajah korbannya. Dia ingin segera m eyakinkan apakah dia m asih dapat m enguasai tangannya. Maka dipasangnya kanvas yang baru, lalu dengan konte dibuatnya seraut wajah. Wajah itu seperti
Theresa 205 Cam illus. Dengan kasar sekali dihapusnya corat-coret itu dan m encoba lagi yang lain. Satu jam lam anya dia bergelut m elawan bencana yang m enim pa jari-jem arinya. Pada setiap percobaan wajah Cam illus lagilah yang m uncul. Sia-sia saja dia m eneguhkan hati m enghindari garis-garis yang sam a. Mau tidak m au ia harus m engikuti gerakan-gerakan ototnya, m engikuti saraf-sarafnya yang tetap m em bangkang. Mula-m ula dia m enggam bar dengan cepat, lalu m encoba lam bat-lam bat. Hasilnya sam a saja, Cam illus yang m enyeringai dan m enahan sakit. Secara berturut-turut seniman itu melukis bermacam- m acam potret, kepala bidadari, perawan dengan lingkaran cahaya di sekitar kepala, kepala prajurit Roma bertopi helm, anak- anak, bandit tua dengan bekas luka di wajah, namun selalu, selalu wajah laki-laki yang m ati tenggelam juga yang m un - cul, m enyam ar sebagai bidadari, perawan, prajurit, anak-anak, dan bandit. Kem udian, dengan putus asa Laurent m encoba m em buat karikatur, dilebih-lebihkannya bentuknya, dibuatnya proil-proil yang menyeramkan, diciptakannya wajah-wajah yang aneh. Tetapi yang dihasilkannya hanyalah Cam illus yang lebih m engejutkan lagi. Akhirnya dia m enggam bar binatang, anjing dan kucing. Anjing dan kucing itu pun m em punyai kesam aan dengan Cam illus. Hatinya geram . Dipukulkannya tinjunya m enem bus kanvas. Dengan cem as ia m em bayangkan karya-karya besar yang akan diciptakannya nanti. Menyeram kan. Dia m erasa harus meninggalkan cita-cita itu. Sekarang dia tahu betul bahwa untuk selanjutnya ia tak akan m am pu lagi m elukis selain wajah Cam illus, dan seperti dikatakan kawannya, wajah-wajah yang serupa hanya akan m em buat orang m entertawakannya. Dia m em bayangkan m acam apa karya besarnya nanti kalau dia paksakan juga m em buatnya, di setiap lukisan, laki-laki m aupun perem puan, ia m elihat wajah pucat m enakutkan laki-laki yang
206 Emile Zola m ati tenggelam . Gam baran aneh yang terbayangkan itu kelihatan sangat kejam dan m em buatnya m arah. Laurent tidak berani lagi m elukis, sebab takut sentuhan kuasnya sehalus apa pun akan m enghidupkan kem bali korbannya. Kalau dia m au tetap tinggal di studionya dengan dam ai, dia tidak boleh melukis di sana. Dengan hati kecut dan gentar dia menatap tangan yang sudah m em punyai kem am puan m enghidupkan Cam illus di luar kesadarannya. Rasanya tangan itu sudah bukan lagi bagian dari dirinya.
BAB XXVI KRISIS YANG m engancam Madam e Raquin akhirnya tiba juga. Kelum puhan yang bcrbulan-bulan lam anya m erayap m elalui anggota badan dan sewaktu-waktu dapat memberikan pukulan terakhir, tiba-tiba kini m enyergap tenggorokan. Suatu senja, ketika sedang bercakap-cakap dengan Theresa dan Laurent, tiba-tiba dia berhenti di tengah-tengah pembicaraan. Mulut terganga, nafas sesak seperti dicekik. Ketika m encoba m enjerit m em inta tolong, dia hanya berhasil m engeluarkan suara berdesis. Lidahnya sudah kelu. Tangan dan kaki kaku. Madam e Raquin lumpuh dan bisu. Theresa dan Laurent terloncat, cem as dan terkejut m elihat serangan m endadak yang m em buat tubuh perem puan tua itu menggelepar selama lima detik. Sambil duduk kaku di kursi, m ata Madam e Raquin m em ohon, sedang Theresa dan Laurent bertubi-tubi m enanyakan apa yang telah terjadi. Madam e Raquin
208 Emile Zola tidak dapat m enjawab, dia hanya m enatap dengan kesedihan yang m endalam . Akhirnya sadarlah Theresa dan suam inya bahwa perem puan tua di hadapannya itu sekarang telah m enjadi tidak lebih dari sesosok m ayat hidup yang dapat m endengar dan m elihat tetapi tak dapat berbicara. Krisis ini m em buat m ereka kalut. Dalam batin sebenarnya m ereka tidak peduli dengan penderitaan perempuan tua itu. Namun mereka sedih, menangisi diri sendiri, karena dengan adanya kejadian itu untuk selanjutnya m ereka terpaksa hidup berdua dalam kesunyian, m elanjutkan dialog batin yang tidak berkesudahan. Mulai hari itu keadaan m enjadi lebih berat lagi. Mereka harus menghabiskan, waktu-waktu senja yang kejam , berhadap-hadapan, disaksikan perem puan tua lum puh yang sudah tidak lagi dapat m enenangkan goncangan batin m ereka dengan cerocos kata-katanya yang m anis. Madam e Raquin terbaring di kursinya seperti sebuah karung, seperti benda m ati, sedang Theresa dan Laurent m asing-m asing di ujung m eja, bingung dan gelisah. Ini adalah badan yang tak berdaya untuk m em isahkan m ereka. Kadang-kadang m ereka lupa akan hal itu dan m engiranya m ebel. Lalu badai dalam batin mereka mengamuk lagi. Ruang makan menjadi seperti ruang tidur, tem pat yang m enyeram kan di m ana hantu Cam illus biasa muncul. Ini berarti masa penderitaan bertambah dengan empat sampai lima jam setiap hari. Segera setelah senja tiba, mereka gemetar. Tudung lampu direndahkan agar mereka tidak dapat m elihat wajah m asing-m asing dengan jelas. Keduanya mengharapkan Madame Raquin akan dapat berbicara, sehingga dapat m engingatkan m ereka kem bali akan kehadirannya. Kalau mereka tidak mau jauh dari Madame Raquin dan dengan senang bersedia m erawatnya, sebabnya hanyalah karena m ata perem puan tua itu masih hidup, sehingga kadang-kadang mereka merasa sedikit lega melihat mata itu bergerak dan berkilat.
Theresa 209 Selalu perem puan tua itu ditem patkan di bawah cahaya lam pu, supaya wajahnya terus-m enerus jelas kelihatan. Wajah pucat dan bergayut itu bagi orang lain m ungkin m enyeram kan, tetapi Theresa dan Laurent m em butuhkan sekali kehadirannya dan m erasa senang sekali m elihatnya. Bola m ata yang bergerak berkilat itu seakan-akan sepasang m ata hidup pada wajah m ayat yang pucat. Hanya m ata saja yang bergerak lincah, sedang m ulut dan pipi m em batu, m engerikan karena kakunya. Kalau Madam e Raquin m engantuk dan m em ejam kan m ata, m aka m ukanya yang pucat dan kaku itu betul-betul serupa dengan wajah m ayat. Maka Theresa dan Laurent pun m erasa hanya berdua saja, lalu membuat gaduh sampai perempuan lumpuh itu membuka mata lagi. Mereka memaksa mata Madame Raquin tetap terbuka. Mereka memerlukan Madame Raquin untuk membangunkan mereka dari mimpi-mimpi buruk. Setelah lumpuh, Madame Raquin harus dirawat dan dilayani seperti bayi. Karena harus banyak m encurahkan perhatian kepadanya m ereka lupa kepada hal-hal lain. Pagi-pagi Laurent m enem patkannya di ruang m akan dan m alam hari m engem balikannya lagi ke ranjangnya. Tubuh perem puan lum puh itu m asih berat. Laurent m em erlukan seluruh tenaganya untuk dapat m engangkatnya. Dia pula yang m em indah-m indahkan kursi, selebihnya m enjadi kewajiban Theresa. Theresa m engganti pakaiannya, m enyuapi, m encoba m em aham i keinginannya. Untuk beberapa m inggu Madam e Raquin m asih dapat m enggunakan tangannya. Dia dapat m enulis pada batu tulis, m em inta apa yang diperlukannya. Tetapi kem udian tangannya pun lum puh juga. Sejak itu Madam e Raquin tidak m em punyai bahasa lain kecuali sorot m ata, dan kem enakannya harus m enerka-nerka apa yang ia m aksud. Dengan senang Theresa mencurahkan seluruh perhatian kepada kewajiban merawat ini, sebab pekerjaan ini merupakan kesibukan badaniah dan batiniah yang m em berinya banyak kelegaan hati.
210 Emile Zola Untuk m encegah jangan sam pai berada hanya berdua saja di ruang m akan, m aka yang dikerjakan Theresa dan Laurent di pagi hari pertama-tama adalah mendudukkan Madame Raquin di ruang m akan. Menem patkan kursinya di antara m ereka seperti sesuatu yang m utlak perlu bagi kehidupan m ereka. Madam e Raquin harus selalu hadir pada waktu makan, juga pada waktu bercakap-cakap. Kalau ia m enunjukkan keinginan m asuk kam ar m ereka pura-pura tidak m engerti. Kegunaan perem puan tua itu hanyalah untuk m encegah jangan sam pai m ereka ditinggal berdua. Dia sudah tidak lagi m em punyai hak untuk m em punyai keinginan sendiri. Pukul delapan pagi Laurent pergi ke studio, Theresa turun ke toko, dan yang lum puh ditinggal sendirian di ruang makan sampai tengah hari. Sesudah makan siang bersama, dia ditinggalkan lagi sampai pukul enam sore. Theresa sering naik ke atas untuk m elihat kalau-kalau ada yang diperlukan Madam e Raquin. Michaud dan yang lain-lainnya sudah kehabisan kata- kata untuk m em uji kebaikan Theresa dan Laurent. Acara m alam J um at berlanjut terus, dan perem puan tua yang tak berdaya itu tetap m enghadirinya seperti yang sudah- sudah. Kursinya didekatkan ke m eja. Mulai pukul delapan sam pai pukul sebelas ia harus membuka mata memandang tajam kepada tam u-tam u, berpindah-pindah dari yang satu kepada yang lain. Pada m ulanya Michaud dan Grivet m erasa sedikit kikuk dengan kehadiran ‘m ayat’ kawan lam anya itu. Mereka tidak tahu harus bersikap bagaim ana. Rasa sedih m ereka hanya sekadarnya saja, dan bertanya pada diri sendiri kesedihan seperti bagaim anakah yang sepatutnya m ereka tunjukkan. Haruskah m ereka berbicara kepada ‘m ayat’ itu ataukah sebaiknya m engabaikannya sam a sekali? Lam bat laun m ereka sam pai kepada kesim pulan, bahwa sebaiknya m ereka m em perlakukan Madam e Raquin seperti tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, lalu m ereka berpura-pura tidak menghiraukan keadaan Madame Raquin. Mereka berbicara
Theresa 211 kepadanya, m engajukan pertanyaan dan m enjawabnya sendiri, tertawa untuknya dan untuk dirinya sendiri, dan tidak pernah merasa terganggu oleh pancaran air muka Madame Raquin. Pemandangan ini aneh sekali. Seakan-akan mereka berbicara kepada sebuah patung seperti gadis-gadis kecil berbicara kepada boneka. Yang lum puh duduk kaku dan bungkam di hadapannya, sedang mereka berbicara terus sambil menggerak-gerakkan tangan, m em buat gem bira dan m enghibur yang sakit. Michaud dan Grivet m erasa bangga dengan tingkah lakunya yang hebat ini. Mereka m enganggapnya sebagai bukti nyata dari kelakuan baik. Tambahan lagi mereka usahakan untuk tidak mengucapkan kata-kata turut bersedih sebagaim ana lazim nya. Mereka anggap Madame Raquin akan senang sekali diperlakukan seperti orang yang sehat, dan karena itu m ereka anggap m ereka boleh bergem bira sesukanya tanpa rasa was-was sedikit pun. Grivet m em punyai suatu obsesi. Dia bersikeras bahwa dia betul-betul dapat memahami Madame Raquin. Dari setiap pancaran m atanya ia m erasa dapat segera m engetahui apa yang dikehendakinya. Ini m erupakan hal lain yang m enyenangkan Madam e Raquin, pikirnya. Meskipun Grivet selalu salah terka. Seringkali dia berhenti bermain domino, menoleh kepada perem puan itu yang m atanya sedang m engikuti perm ainan dengan tenang, lalu berkata bahwa Madame Raquin menghendaki ini atau itu. Tapi setiap kali ternyata bahwa Madam e Raquin tidak m enghendaki apa-apa, atau m enghendaki yang lain daripada yang diterka. Nam un dem ikian Grivet tidak berkecil hati, bahkan selalu berteriak gem bira, “betul kataku, bukan?” Dan perm ainan terka-m enerka ini diulangnya lagi berkali-kali beberapa m enit kem udian. Lain lagi halnya kalau perem puan tua itu betul- betul m em beri isyarat bahwa dia m em erlukan sesuatu. Theresa, Laurent dan tam u-tam u m enyebutkan nam a benda satu per satu yang m ungkin dim aksudnya. Dalam kesem patan ini Grivet
212 Emile Zola m enonjol sekali khayalnya. Dia m enyebut apa saja yang terlintas di benaknya secara untung-untungan, dan selalu saja salah. Ini tidak m enghalanginya untuk tetap bersikeras m engatakan, “Aku m em baca m atanya seperti m em baca buku. Lihat, dia katakan aku benar.... Begitu, bukan?.... Ya, ya.” Tidaklah mudah memahami keinginan-keinginan perempuan tua m alang itu. Hanya Theresa sendiri yang dapat m elakukannya. Dengan mudah sekali dia dapat berhubungan dengan inteligensi Madam e Raquin yang terpenjara, m asih hidup terkubur dalam tubuhnya yang sudah m ati itu. Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri yang telah rusak itu hanya yang berkem am puan m elihat kehidupan tanpa ikut terlibat di dalam nya? Tak dapat diragukan Madame Raquin dapat melihat, mendengar, berpikir, tetapi dia tak dapat lagi bergerak, tidak lagi m em punyai suara untuk m enyatakan pikirannya. Dia tidak m am pu m engangkat tangan atau berkata, sekalipun um pam anya hanya sepatah kata yang akan dapat m enentukan sejarah dunia. J iwanya seakan- akan seperti jiwa orang yang karena suatu kekeliruan terkubur hidup-hidup lalu terbangun dalam bum i yang gelap, dua atau tiga jari di bawah permukaan. Dia menjerit-jerit, meronta-ronta, dan orang-orang lain berlalu di atasnya tanpa dapat m endengar ratap tangisnya yang m em ilukan. Seringkali Laurent m elihat bibir Madam e Raquin m erapat, kedua tangannya lem as di atas lutut, seluruh daya hidupnya berpusat di kedua m ata yang lincah bening. Laurent suka bertanya dalam hatinya, “apa yang sedang dipikirkannya?.... Pasti ada suatu tragedi kejam yang sedang berkecam uk dalam tubuh m ati itu.” Laurent keliru. Madam e Raquin m erasa sangat berbahagia, berbahagia dalam rawatan dan perhatian anak-anaknya yang tercinta. Sudan lam a ia m em im pikan akhir hidup yang begini, m ati tenang di tengah-tengah kesetiaan dan kasih sayang.
Theresa 213 Tentu saja ingin sekali ia dapat mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawannya yang juga telah m enolongnya dapat mati dengan damai. Namun dia menerima takdir ini tanpa protes. Kebiasaan hidup dam ai jauh dari segala hiruk-pikuk dan kebaikan hatinya m em buat dia tidak terlalu berat m enerim a kelumpuhan ini. Dia menjadi anak-anak kembali, menghabiskan waktu tanpa kebosanan, menerawang ke masa depan dan berpikir tentang m asa lalu. Pada akhirnya bahkan ia m enem ukan suatu kesenangan duduk tenang di kursinya seperti anak perem puan kecil yang baik. Setiap hari m atanya bertam bah lem but dan jernih. Ia menggunakan mata itu seperti menggunakan tangan, seperti mulut, untuk meminta tolong sesuatu atau mengucapkan terim a kasih. Dengan cara yang aneh m engharukan kedua m ata itu m enggantikan peranan anggota tubuh lainnya yang sudah lum puh. Di wajah yang lem but berkerenyut kedua m atanya tam pak sangat indah. Karena bibirnya sudah tidak m am pu lagi tersenyum , m aka ia tersenyum dengan m ata dan kelem butan yang m engharukan. Di sana bersinar cahaya dini hari. Tak ada rasanya yang lebih aneh daripada m ata yang tersenyum pada wajah yang m ati. Wajah bagian bawah pucat pasi, sedang di bagian atas cem erlang tiada bandingannya. Untuk kedua anaknya yang tercinta itulah dia pusatkan sem ua rasa terim a kasihnya, sem ua kelem butan hatinya, dan m enyatakannya dengan sorot m atanya. Apabila setiap pagi Laurent m em angkunya, m atanya bersinar mesra karena rasa terima kasih. Ada beberapa m inggu lam anya dia hidup dalam keadaan itu, m enantikan kem atian, dengan keyakinan sudah terbebas dari kem ungkinan ditim pa m alapetaka lain yang baru. Dia yakin bahwa penderitaannya telah berakhir. Tetapi dia keliru. Pada suatu senja sebuah pukulan yang sangat hebat m enim panya. Sebenarnya tak ada gunanya Theresa dan Laurent mendudukkan Madame Raquin di antara mereka di bawah lampu,
214 Emile Zola karena dia sudah tidak cukup hidup untuk dapat menjauhkan dan melindungi mereka dari ketakutan. Sering mereka lupa bahwa Madam e Raquin berada di dekatnya, m elihat dan m endengar. Pada saat lupa itu kegilaan mencekam lagi. Mereka melihat Cam illus dan m encoba m engusirnya. Dalam keadaan seperti itu sering tanpa terkendali terlontar kata-kata atau kalimat-kalimat yang akhirnya m enyingkapkan seluruh rahasia pem bunuhan kepada Madam e Raquin. Saking paniknya Laurent m engigau. Serta-merta perempuan tua lumpuh itu mengerti seluruh p er soa la n . Guncangan batin yang sangat hebat tercerm in di wajah Madam e Raquin. Begitu m em edihkan pukulan itu, sehingga Theresa mengira Madame Raquin akan meloncat dan menjerit. Tetapi dia kaku m em besi. Kejutan itu lebih m engerikan lagi karena ia seperti m enggalvanisasikan sesosok m ayat. Rasa, yang tadinya hidup kem bali sebentar, hilang lagi; perem puan tak berdaya itu sekarang m enjadi lebih hancur luluh hatinya, dan m akin pucat. Mata yang sebelum nya begitu lem but berubah menjadi gelap dan keras, sekeras logam. Belum pern ah rasan ya kepedihan m en ghan tam seoran g m anusia dengan begitu kejam . Kebenaran yang pahit, bagaikan kilat yang m enyilaukan, m enem bus m ata orang lum puh ini lalu m enerobos ke dalam hatinya dengan kekerasan halilintar yang tak terkirakan. Andaikan dia dapat bangkit, dapat m elepaskan jerit kesakitan yang m endesak-desak di kerongkongannya, m engutuk pem bunuh anaknya, m ungkin dia tidak akan begitu m enderita. Tetapi setelah m endengar sem uanya, setelah m engerti segalanya, dia ditakdirkan supaya tetap tak berdaya dan bisu, dipaksa m enahan ledakan-ledakan hati di dalam dirinya. Ia m erasa seakan-akan selam a ini Theresa dan Laurent sengaja m em akunya di kursi dan m enyum bat m ulutnya, sehingga m ereka dapat dengan kejam dan leluasa berulang-ulang m engatakan, “kam i m em bunuh
Theresa 215 Cam illus.” Segala perasaan pahit berkecam uk dalam dirinya dan tidak menemukan jalan keluar. Dengan segala kekuatan dia m encoba m enghem paskan beban yang m enekan dirinya untuk m em bebaskan tenggorokannya agar banjir kepedihan dapat m engalir ke luar. Nam un sia-sia saja. Lidahnya terasa dingin, kelu di langit-langit m ulut. Kelum puhan tetap m em belenggunya. Ketidakberdayaan m em buatnya kaku tegang. Kem bali dia m erasa seperti dikubur hidup-hidup selagi tidur nyenyak, dan ketika terbangun mulut seperti tersumbat lidah sendiri, namun telinga dapat m endengar tanah ditim bunkan orang di atasnya. Guncangan pada hatinya lebih hebat lagi. Serasa ada gem pa bum i bergetar dalam dirinya yang m em binasakan segala-galanya. Seluruh hidupnya rusak, sem ua kelem butan, kebaikan dan kasih sayang tercabut keluar dari dirinya. Seum ur hidup dia telah percaya kepada kelem butan dan kasih sayang. Nam un pada hari-hari terakhirnya, ketika dia sudah siap m eninggalkan dunia ini dengan m em bawa kepercayaan itu, tiba-tiba suatu suara gem uruh sam pai di telinganya, m enyatakan bahwa hidup ini hanya berisi kebohongan dan kejahatan belaka. Lewat tabir kepercayaan yang telah koyak dia m elihat bahwa di balik kasih sayang dan persahabatan yang selam a ini diyakininya, ada kehidupan berdarah tanpa m oral dan m alu yang sangat m enyeram kan. Mau rasanya dia m eneriaki Tuhan seandainya m em punyai suara untuk m enyum pah. Dia m erasa telah dikicuh Tuhan selama enam puluh tahun, diperlakukan sebagai anak perem puan kecil yang baik dan m anis, dikelabui dengan kepuasan palsu. Dan seperti anak-anak yang polos ia m em percayai segala macam kepalsuan itu tanpa berhasil melihat kehidupan sesungguhnya yang berlalu penuh nafsu angkara, berdarah dan berlum pur. Tuhan kejam . Mengapa Dia tidak m enyingkapkan tabir kepalsuan itu lebih awal atau membiarkan dia mati dalam ketidaktahuan dan kebutaan. Sekarang tak ada lagi pilihan lain
216 Emile Zola bagi perem puan baik hati itu selain m engutuk kasih sayang, m engutuk persahabatan, m engutuk kesetiaan. Baginya sekarang dunia ini hanya berisi pem bunuhan dan nafsu syahwat. Cam illus telah m ati di tangan Theresa dan Laurent dan m ereka m em bunuhnya di tengah-tengah kebusukan perzinahan. Untuk Madame Raquin, perbuatan keji itu merupakan sebuah lubang gelap yang tak terbayangkan dan m ustahil dipaham i. Hanya ada satu perasaan padanya, yaitu perasaan terjatuh. Rasanya dia terlempar ke dalam jurang gelap dingin dan dalam sekali. Dan dia berkata sendiri, ;”Aku akan hancur berkeping-keping di dasar jurang.” Setelah m enerim a kejutan yang ham pir m em buatnya pingsan itu, kejam nya kejahatan anak-anaknya m akin jauh dari jangkauan akalnya. Setelah m engetahui ada perzinahan dan pem bunuhan telah berlangsung di balik punggungnya dan setelah dia ingat kem bali kepada beberapa peristiwa kecil di waktu yang lalu yang tidak dapat dipaham inya, tiba-tiba tim bul ketakutan m enjadi gila. Theresa dan Laurent jelas pem bunuh anaknya, Theresa yang dibesarkannya dan Laurent yang dicintainya dengan kasih sayang dan kelem butan seorang ibu. Kepalanya serasa berputar seperti sebuah roda maha besar dengan suara m em ekakkan. Dalam pandangannya perbuatan itu begitu hina, kemunaikannya begitu dalam, dan drama keduanya begitu memuakkan, sehingga dia merasa lebih baik mati saja agar tidak perlu m em ikirkannya lagi. Suatu perasaan berat terus-m enerus dan tak terhindarkan m enekan jiwanya dengan kekuatan seberat batu giling. Berulang-ulang hatinya berkata, “anak-anakku sendiri yang m em bunuh anakku.” H anya kalim at itu yang m am pu terbisikkan untuk m enyatakan seluruh kepedihan hatinya. Karena perubahan yang begitu hebat dia tidak m engenali lagi dirinya sendiri. Gelom bang dahsyat nafsu pem balasan telah m elandanya dan m enghanyutkan segala kebaikan dan kelem butan dirinya. H atinya yang sem ula selalu terang-benderang kini m enjadi gelap-gulita. Tubuhnya yang sudah m ati lum puh, tetapi
Theresa 217 kini m enjadi wadah pribadi baru yang kejam serta tidak m engenal kasih, meronta-ronta dalam diam hendak menerkam pembunuh a n a kn ya . Ketika dia sadar tidak m un gkin dapat m elam piaskan dendam nya, dia kem bali tenang dan pasrah kepada ketidakberdayaannya. Titik-titik air m ata berjatuhan dari kedua m atanya m enggelinding satu per satu ke wajah bekunya. Tak seutas saraf pun di wajahnya bergetar. Wajah pucat yang sudah tidak dapat m enangis, kecuali m ata yang m asih dapat m enangis sendiri m erupakan pem andangan yang m em ilukan. Theresa m erasa sangat m enyesal dan takut. “Kita harus m em bawa dia ke kam arnya,” katanya kepada La u r en t . Dengan cepat Laurent m endorong kursi m ertuanya. Lalu dia m em bungkuk untuk m engangkatnya. Pada saat itu Madam e Raquin betul-betul m engharapkan datangnya suatu keajaiban yang dapat m em buat dia sanggup berdiri. Dia m engharapkan Tuhan tidak akan m em biarkan Laurent m enjam ahnya, m em angkunya, dia m engharap ada halilintar m enyam bar Lau- rent sam pai m ati kalau dia berani m engangkatnya. Nam un Tuhan tidak m eledakkan halilintarnya. Madam e Raquin tetap lum puh, mati seperti buntalan kain rombengan. Dia dipeluk dan diangkat oleh pem bunuh anaknya. Batinnya sangat tersiksa karena berada dalam pangkuan pem bunuh Cam illus tanpa dapat m elawan, tanpa berdaya. Kepalanya terkulai ke bahu Laurent, m atanya m elotot m enatap Laurent, m em ancarkan seluruh isi batinnya. “Pandanglah aku sesukam u,” kata Laurent, “m atam u toh, tak akan dapat melahapku ....” Dan tanpa berperasaan Laurent m elem parkan Madam e Raquin ke atas ranjang. Perempuan tua lumpuh itu pingsan. Perasaannya yang terakhir sebelum pingsan adalah takut dan m uak. Untuk selanjutnya, pagi dan petang, dia akan terpaksa harus m erasakan rabaan tangan Laurent durhaka.
BAB XXVII HANYA KARENA kepanikan yang sudah m encapai titik kritis belakalah yang m enyebabkan terlontarnya pengakuan di hadapan Madam e Raquin. Tak seorang pun dari m ereka yang berm aksud kejam kepada perem puan tua itu. Berdasarkan pertim bangan kemanusiaan, mereka tidak bermaksud membukakan rahasia itu, sekalipun um pam anya pengakuan itu tidak akan m em bahayakan mereka sendiri. Kam is berikutnya m ereka gelisah tidak seperti biasanya. Pagi-pagi Theresa bertanya kepada Laurent apakah bijaksana membawa Madame Raquin dalam acara malam. Perempuan tua itu telah m engetahui segala-galanya, m ungkin sekali dia akan m em bahayakan. “Nonsen!” Laurent m enjawab. “Menggerakkan kelingking pun ia sudah tidak m am pu. Bagaim ana dia dapat berbahaya?” “Siapa tahu dia m enem ukan suatu akal,” jawab Theresa. “Sejak m alam itu kulihat m atanya ganas sekali.”
Theresa 219 “Tidak, tidak, Dokter m engatakan dia tidak dapat sem buh lagi. Kalaupun dia dapat berbicara lagi, itu akan bersam a-sam a dengan nafasnya yang terakhir.... Lagi pula dia tak akan lam a lagi hidup. Bodoh sekali m em bebani lagi pikiran kita dengan mencegah dia hadir nanti malam....” Theresa bergidik. “Engkau salah paham ,” katanya m enangis. “Oh, engkau benar, m em ang sudah cukup banyak darah.... Maksudku, kita dapat m enguncinya di kam arnya dan m engatakan bahwa dia sedang sakit atau tidur, bukan m em bunuhnya.” “Tepat sekali,” kata Laurent, “dan si Michaud gila itu akan langsung masuk ke kamar, tak akan dapat dihalangi, untuk m elihat bagaim ana keadaan kawan lam anya.... Cara yang bagus supaya kita terperangkap.” Laurent ragu, dia m encoba bersikap tenang, nam un kerisauannya m em buat dia gagap. “Sebaiknya kita biarkan saja seperti biasa,” katanya lebih lanjut. “Orang-orang itu sem uanya dungu seperti angsa, m ereka tidak akan melihat perubahan apa-apa pada bibimu. Mereka tidak akan mencurigai apa-apa, karena untuk sampai ke situ mereka harus tidak terlalu jauh dari kebenaran. Tidak perlu kita khawatir. Akan engkau lihat sendiri nanti, tak akan ada kesulitan apa-apa.” Malam itu ketika tamu-tamu datang, Madame Raquin berada di tem pat biasa, di antara perapian dan kursi. Laurent dan Theresa pura-pura bersem angat, m enyem bunyikan kecem asan sambil menunggu dengan hati berdebar-debar saat-saat buruk yang m ungkin tim bul. Dengan sengaja m ereka m erendahkan lam pu sebanyak m ungkin, sehingga hanya tinggal taplak m eja saja yang kena sinar. Para tam u sibuk dengan percakapan pendek yang ram ai dan dangkal yang selalu m endahului dim ulainya dom ino. Grivet dan Michaud tidak lupa seperti biasa m enanyakan kesehatan Madam e
220 Emile Zola Raquin, pertanyaan yang seperti biasa pula m ereka jawab sendiri. Setelah itu perempuan tua lumpuh itu terlupakan, dan setiap orang terbenam dalam permainan. Sejak mendengar rahasia pembunuhan itu dengan harap- harap cemas Madame Raquin menantikan malam J umat ini. Dia m engum pulkan seluruh sisa-sisa tenaganya untuk m enyingkapkan kejahatan Theresa dan Laurent. Sam pai detik terakhir dia khawatir tidak akan dibawa hadir. Dia m engira Laurent akan m enjauhkannya, akan m em bunuhnya m ungkin, atau setidak- tidaknya m engurungnya dalam kam ar. Ketika dia tahu diizinkan turut, dan terutama ketika sudah berada di antara para tamu, hatinya m elonjak gem bira karena m engharap akan dapat m encoba m em balaskan dendam anaknya. Karena tahu lidahnya kelu, dia akan m encobanya dengan cara lain. Dengan kem auan yang luar biasa m engagum kan dia berhasil m enggerakkan tangannya, m engangkat dari pangkuannya, tem pat tangan itu biasa terletak. Sedikit dem i sedikit dia paksakan m erayap m elalui kaki m eja yang kebetulan berada di depannya sam pai akhirnya berhasil m eletakkannya di atas taplak m eja. Setelah itu, dengan lem ah sekali ia m enggerak-gerakkan jari-jem arinya, hendak m enarik p er h a t ia n . Ketika para pem ain dom ino m elihat tangan lum puh, lem ah dan putih di atas m eja, m ereka sangat terkejut. Grivet berhenti bermain, tangan kanan tertahan di udara, tepat pada saat ia hendak melemparkan balak enam dengan penuh rasa kemenangan. Sejak diserang kelumpuhan baru sekaranglah Madame Raquin m enggerakkan lagi tangannya. “Lihat, lihat, Theresa,” Michaud berteriak. “Madam e Raquin m enggerakkan jari-jem arinya .... Dia pasti m enginginkan sesuatu.” Theresa tidak dapat menjawab. Dia sendiri melihat usaha keras perem puan lum puh itu, dem ikian juga Laurent. Theresa m enatap tangan bibinya yang kelihatan sangat putih di bawah
Theresa 221 sinar lam pu, dan m elihatnya sebagai tangan pem balas dendam , siap untuk m enghukum . Kedua pem bunuh itu m enunggu dengan nafas tertahan. “Ya, benar!” kata Grivet. “Dia m inta sesuatu.... Oh, dia dan aku dapat saling mengerti dengan baik.... Dia ingin turut main dom ino.... Betul begitu, Kawan?” Madam e Raquin m em buat isyarat tegas bahwa bukan itu yang dim aksud. Dia m erentangkan telunjuknya, m engepalkan yang lain dengan sukar sekali, lalu m ulailah dengan susah payah m enuliskan beberapa huruf di atas m eja. Sebelum huruf-huruf itu m ewujud, Grivet sudah berteriak bangga, “Aku sudah m engerti, dia mengatakan aku tepat mengeluarkan balak enam.” Madame Raquin melemparkan pandangan marah kepada klerek tua itu, lalu m ulai lagi m enulis. Tetapi Grivet tetap m engganggunya, tetap bersikeras bahwa tak perlu Madam e Raquin bersusah payah m enulis sebab dia sudah cukup m engerti. Lalu dia m enduga-duga lagi dan selalu keliru. Akhirnya Michaud berhasil m em buatnya diam . “Diam , biarkan Madam e Raquin berbicara,” katan ya. “Katakanlah, Kawan.” Michaud menatap taplak meja seakan-akan hendak mendengarkan sesuatu. Tetapi tangan lumpuh itu sudah mulai capai. Untuk m enyelesaikan sebuah kata pun harus diulang- ulangnya sam pai lebih dari sepuluh kali, dan itu pun dengan bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Michaud dan Oliver m em bungkuk, dan karena tidak berhasil m em bacanya Madam e Raquin terpaksa m engulangnya lagi. “Nah!” tiba-tiba Oliver berteriak. “Aku dapat m em bacanya sekarang.... Dia m enuliskan nam am u, Theresa.... Lihat, The-re-sa dan.... Teruskan, Kawan.” Theresa hampir berteriak karena takut. Dia melihat jari-jari bibinya m erayap pelan di atas taplak m eja, dan baginya seakan-
222 Emile Zola akan jari-jari itu sedang m enuliskan nam anya dan pengakuan kejahatannya dengan huruf-huruf berapi. Laurent terloncat dari kursinya. Sesaat dia ragu apakah harus m enerkam perem puan lum puh itu dan m em atahkan tangannya atau jangan. Dia m engira habislah sudah riwayatnya, dia sudah m erasakan beratnya dan pedihnya hukum an atas dirinya ketika dia m elihat tangan yang su- dah mati hidup kembali membawa pembalasan atas pembunuhan Cam illus. Madame Raquin melanjutkan menulis, namun makin t er h en t i-h en t i. “Aku dapat m em bacanya dengan jelas,” Oliver m elanjutkan lagi setelah beberapa saat, lalu m em andang kepada Laurent dan Theresa. “Bibim u m enuliskan nam a kalian berdua: Theresa dan Laurent ....” Perem puan tua itu berulang-ulang m em buat isyarat setuju, lalu m elihat kedua pem bunuh itu dengan sorot yang melumpuhkan mereka. Dia mencoba lagi meneruskan. Tetapi jari-jem arinya sudah kaku kem bali. Kekuatan luar biasa yang m enggalvanisasikan jari-jem arinya kini sudah surut kem bali. Dia m erasakan kelum puhan m erayap m enuruni lengannya, lalu kem bali m encekam pergelangan tangannya. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan berhasil m em buat satu kata lagi. Michaud tua m em bacanya “Theresa dan Laurent adalah....” Dan Oliver bertanya, “Mengapa m ereka, ada apa dengan anak-anak Nyonya tercinta ini?” Karen a ketakutan , ham pir saja kedua pem bun uh itu m enyelesaikan sendiri kalim at terputus itu dengan kata-katanya sendiri. Mereka sedang menatap tangan pembalas itu dengan penuh ketakutan ketika tiba-tiba tangan itu kejang lagi dan tergeletak tak berdaya di atas m eja, lalu m eluncur dan terjatuh kem bali ke tem pat asalnya seperti segum pal daging m ati. Kelum puhan sudah kem bali, Theresa dan Laurent selam at dari
Theresa 223 hukum an. Michaud dan Oliver duduk kem bali, kecewa, sedang Theresa dan Laurent m erasa lega, sehingga m ereka ham pir pingsan karena aliran darah yang sem ula tertahan tiba-tiba m enyem bur deras ke jantung. Grivet pun kecewa karena m erasa tidak dipercaya. Dia m engira saatnya sudah tiba untuk m enunjukkan lagi bahwa ia selalu benar. “J elas sekali,” katanya, selagi yang lain berpikir-pikir apa kiranya yang dim aksud Madam e Raquin. “Aku dapat m engerti kalim at yang tidak selesai dari pancaran m ata Madam e Raquin. Bagiku, tak perlu dia m enulis di m eja. Dari m atanya pun aku sudah tahu.... Dia m au m engatakan, Theresa dan Laurent telah merawat aku dengan baik sekali.” Grivet m em punyai alasan untuk m erasa bangga dengan im ajinasinya itu, sebab setiap orang m enyetujuinya. Tam u-tam u m ulai m em uji pasangan Theresa dan Laurent yang telah berbuat baik sekali kepada perempuan tua malang itu. “Tak dapat diragukan,” kata Michaud tua tenang “bahwa Madam e Raquin m au m engucapkan penghargaannya kepada kedua anaknya atas kasih sayang yang telah m ereka tunjukkan. Ini berarti kehormatan bagi seluruh keluarga.” Lalu dia lanjutkan lagi sam bil m engam bil kartu-kartu dom ino, “m ari kita teruskan perm ainan kita.” “Giliran siapa sekarang? Grivet akan m engeluarkan balak enam, kalau aku tidak salah.” Grivet m elem parkan balak enam nya. Mereka berm ain lagi, lugu dan m onoton. Terhenyak dalam keputusasaan Madam e Raquin m enatap tangannya. Tangan itu telah m engecewakannya. Tangan itu sekarang terasa begitu berat, seberat timah. Dia tak m am pu m engangkatnya lagi. Tuhan tidak m engizinkan pem balasan un tuk Cam illus. Dia telah m en ghalan g-halan gi satu-satunya niat Madam e Raquin yaitu m em buka rahasia
224 Emile Zola pem bunuhan Cam illus. Dan perem puan tua yang tidak berdaya itu kini berkata dalam hati bahwa dia sudah tidak berguna lagi dan harus segera bergabung dengan anaknya dalam kubur. Dia m em ejam kan m ata, ingin m em bayangkan bahwa dia sudah berada dalam kubur yang gelap.
BAB XXVIII DUA BULAN sudah Theresa dan Laurent m enanggung derita perkawinan m ereka. Yang satu m enderita karena kehadiran yang lain. Lam bat laun rasa saling m em benci tum buh. Mulailah kini mata mereka memuat amarah, sarat dengan ancaman-ancaman t er selu b u n g. Benci itu m esti datang. Selam a ini m ereka saling m encintai dengan kekasaran binatang, dengan nafsu yang panas, sem uanya hanya karena gejolak darah. Lalu, dalam kegilaan akibat kejahatan mereka, cinta mereka berubah menjadi kengerian dan tim bullah rasa takut apabila hendak m em uaskan cinta berahinya. Di tengah-tengah am ukan badai yang m erusak perkawinan dan hidup m ereka, m ereka berontak, dan dengan sendirinya am arah menguasai diri masing-masing. Kebencian ini kebencian yang m engerikan dan kejam sekali sebab dapat m eledak dahsyat setiap saat. Mereka tahu bahwa
226 Emile Zola dirinya m enjadi gangguan bagi yang lain. Keduanya yakin bahwa hidup akan menjadi berbahagia kalau mereka tidak terus-menerus bersam a-sam a dan berhadap-hadapan. Kalau sedang bersam a- sam a, yang satu m enjadi beban yang sangat berat m enekan bagi yang lainnya, dan keduanya ingin sekali m elepaskan tekanan itu, bahkan ingin m enghancurkannya. Mulut m enjadi kaku, pikiran- pikiran liar berpancaran di mata dan mereka merasa ingin m enelan lawannya. H akikatnya, yang m em akan hati m ereka adalah rasa marah kepada diri sendiri. Mereka marah dan putus asa karena telah menghancurkan hidup sendiri. Inilah sumber dari segala kem arahan dan kebenciannya. Mereka m erasa kejahatannya tak dapat ditebus, bahwa mereka akan menderita sampai mati karena m em bunuh Cam illus. Dan pikiran akan m enderita sepanjang m asa ini m enggiring m ereka kepada kegilaan. Karena tidak tahu siapa yang harus dihadapi, m aka antar m erekalah saling terkam dan saling benci. Tak mau mereka sadar bahwa perka- winan itu sendiri sudah merupakan hukuman terberat bagi kejahatannya. Mereka m enolak m endengar batin sendiri m enjerit- jeritkan kebenaran, m engungkapkan kenyataan hidup m ereka yang sebenarnya. Nam un, di tengah-tengah serangan kegilaan yang m engguncangkan itu, m ereka dapat m elihat dengan jelas hakikat amarah mereka, mereka melihat setan-setan dalam jiwa egois m ereka yang telah m endorong kepada pem bunuhan dem i pem uasan nafsu sendiri, dan sekarang m elihat pula dengan jelas bahwa hasil pem bunuhan itu hanyalah kehidupan yang rusak dan tidak tertanggungkan belaka. Mereka teringat pada m asa yang silam , dan tahulah m ereka bahwa sekarang hanyalah harapan yang tidak terpenuhi untuk dapat m em uaskan nafsu, untuk m encapai kebahagiaan yang tentram lah yang m em buat m ereka kecewa. Andaikan m ereka dapat saling dekap dengan perasaan dam ai dan hidup dengan gembira, mereka tidak akan berdukacita karena
Theresa 227 Cam illus, m ereka akan dapat m enikm ati hasil kejahatannya. Tetapi tubuh mereka memberontak, menolak perkawinan itu, dan m ereka bertanya sendiri ke m ana pem berontakan dan kebencian ini akan m em bawa m ereka. Yang terlihat oleh m ereka hanyalah m asa depan yang sangat pedih belaka, suatu hasil yang menakutkan dan bengis. Sekarang, seperti dua orang berm usuhan yang diikat dipersatukan dan mau tidak mau harus terjadi persentuhan, m ereka m enegangkan seluruh otot dan saraf, bergulat, nam un tak berhasil m em bebaskan diri. Lalu, karena tahu betul bahwa masing-masing tidak akan pernah dapat melarikan diri, mereka m arah karena adanya rantai pengikat yang m enem bus pedih ke dalam kulit dan daging, muak oleh persentuhan-persentuhan tubuh, dibarengi perasaan m eningkatnya kerusakan diri m asing- m asing jam dem i jam , lupa pula bahwa m erekalah yang sebenarnya merantai diri bersama, dan karena mereka sudah tidak sanggup lagi menahan ikatan ini lebih lama, maka untuk meringankan penderitaan dan kepedihan luka yang m ereka buat sendiri itu mulailah mereka saling cerca dengan tajam, saling kutuk, saling teriaki dan saling m enyalahkan. Setiap malam pertengkaran baru meledak. Seolah-olah untuk m elem askan saraf-saraf m ereka yang tegang, kedua pem bunuh itu sam a-sam a m encari kesem patan untuk m em buat gila yang lainnya. Mereka saling intai, saling teliti dengan m ata, saling ukur kedalaman luka dan saling menemukan pusat luka masing-masing, lalu berlomba mencari kenikmatan pedih dengan jalan membuat yang lain m enjerit kesakitan. Mereka hidup dalam kegoncangan yang tidak berkesudahan, saling m em benci. Setiap kata, setiap gerak, dan setiap tatapan m ata yang lain pasti m enyebabkan yang satunya lagi m arah besar. Seluruh diri m asing-m asing dapat meledak sewaktu-waktu. Soal sepele atau pertengkaran kecil biasa menjadi berlebih-lebihan karena akal mereka sudah kacau-balau,
228 Emile Zola dan segera pula diikuti dengan kekasaran. Sesuatu yang tidak berarti dapat m enim bulkan keributan yang berlangsung sam pai esok harinya. Makanan yang terlalu panas, jendela yang terbuka, perbedaan pendapat atau pernyataan yang sangat sederhana sudah cukup untuk mendorong mereka ke puncak kegilaan. Dan selalu, di tengah-tengah pertengkaran mereka saling ancani dengan menghadirkan korban kejahatan mereka. Sepatah kata m endorong keluarnya kata-kata lain dan akhirnya selalu saling m enyalahkan diri dalam hal pem bunuhan di Saint-Ouen itu. Kalau sudah sam pai di sini, seakan-akan keduanya seperti banteng melihat kain merah, lalu mengamuk. Timbullah adegan-adegan m engerikan, nafas tertahan karena am arah, saling hantam , saling teriak dengan kata-kata hina dan keji dan melakukan hal-hal lain yang sangat kasar. Biasanya ini terjadi setelah m akan m alam . Mereka m engurung diri di ruang makan agar jerit dan pekik mereka tidak terdengar ke luar. Di sini mereka dapat saling terjang tanpa terganggu, tersem bunyi di ruang lem bap yang ham pir serupa gua, diterangi sinar lam pu kekuning-kuningan. Dalam kesunyian itu suara mereka terdengar tajam sekali. Dan mereka belum berhenti kalau belum lem ah kecapaian. Baru setelah itu m ereka dapat beristirahat barang sejam. Pertengkaran-pertengkaran itu pada hakikatnya m erupakan obat untuk m elem askan urat-urat dan saraf-saraf, sehingga m ereka dapat tidur sebentar. Madam e Raquin selalu m enyaksikan dan m endengarkan. Dia selalu berada di sana, di kursinya, tangan lunglai di atas lutut, kepala tegak dan air m uka dungu. Dia m endengar sem uanya, nam un tak seutas pun saraf bergetar di wajahnya. Kedua m atanya tetap m engikuti kedua pem bunuh. Akhir kehidupannya seakan kejam kepadanya, sebab dengan m enyaksikan pertengkaran itu dia menjadi tahu detail demi detail kejadian-kejadian sebelum dan sesudah pem bunuhan Cam illus dan sedikit dem i sedikit
Theresa 229 m akin terserap keburukan dan kejahatan kedua orang itu yang dia nam akan anak-anak tersayang. Pertengkaran itu m em berikan gam baran suasana yang sejelas-jelasnya tentang petualangan gila kedua orang itu, m enyingkapkan kejadian dem i kejadian di otaknya yang sudah sangat terguncang. Ketika sem akin jauh dia m asuk ke dalam kebusukan yang seperti lum pur berdarah itu, dia berdoa m em inta ampun, sebab dia mengira sudah sampai ke dasar kebusukan, tapi nyatanya m asih harus m asuk lebih ke dalam lagi. Setiap m alam dia m endengar hal yang baru. Kisah m engerikan itu tak akan pernah hilang lagi dari ingatannya. Dia m erasa seakan-akan terse- sat dalam m im pi buruk tanpa akhir yang sangat m enyeram kan. Pengakuan pertam a dari Theresa dan Laurent sudah kejam m enggetarkan, tetapi kejadian-kejadian berikutnya m em buatnya lebih pedih lagi, terutam a sekali fakta-fakta kecil yang terlontar dari m ulut Theresa dan Laurent selam a m ereka dikuasai am arah yang dapat m em buat kebejatan m ereka terbongkar. Sekali dalam sehari ibu tua itu m endengar kisah pem bunuhan anaknya dari pem bunuhnya sendiri, dan setiap hari kisah itu terdengar lebih m engerikan lagi, lebih m endetail, dan diteriakkan ke telinganya dengan lebih keras dan tanpa disaring sama sekali. Kadang-kadang Theresa dicekam rasa iba m elihat kehadiran wajah polos pucat itu dengan air mata menitik diam-diam. Dengan telunjuk ke arah bibinya sedang m ata m engarah kepada Laurent penuh pengharapan, ia m em inta Laurent untuk diam . “Apa gunanya?” kata Laurent, “engkau tahu dia tak akan dapat m engkhianati kita.... Apa kau kira aku lebih berbahagia daripada dia? Kita sudah m enguasai uangnya, apa perlunya lagi aku pedulikan dia?” Dan pertengkaran berlangsung lagi, pahit dan tajam, m em bunuh Cam illus sekali lagi dan lagi. Baik Theresa m aupun Laurent tak pernah m au m engikuti rasa belasnya yang kadang-
230 Emile Zola kadang timbul, untuk mengunci perempuan lumpuh itu di kam arnya selam a m ereka bertengkar, agar dia tidak perlu m en- dengar lontaran kata-kata tentang pem bunuhan itu. Sebabnya, m ereka takut akan saling bunuh kalau m ayat setengah hidup itu tidak berada di antara m ereka. Rasa belasnya hancur ditelan kepengecutannya. Mereka biarkan Madam e Raquin m enderita sam pai ke pucuknya, karena m ereka m em butuhkan kehadir- annya sebagai pelindung. Pertengkaran selalu menjurus kepada saling tuduh. Segera setelah nam a Cam illus terlontarkan, segera setelah salah seorang m en uduh yan g lain m em bun uh Cam illus, m aka tim bullah bentrokan perangai yang m engerikan. Suatu m alam ketika sedang m akan, Laurent yang m encari- cari alasan untuk m arah, m endapatkan air m inum nya panas. Dia katakan bahwa air panas m em buatnya m ual dan m em inta yang d in gin . “Tidak ada es,” Theresa m enjawab pendek. “Baik, aku tidak m inum .” “Air itu cukup baik.” “Panas dan rasanya seperti lum pur. Seperti air sungai.” Theresa m engulang, “air sungai.” Tiba-tiba saja dia m enangis. Kata-kata itu m enum buhkan asosiasi lain dalam pikirannya. “Mengapa engkau m enangis?” tanya Laurent padahal sudah dapat menduga apa nanti jawaban Theresa. Dia pun pucat. “Aku m enangis,” jawab Theresa terisak-isak, “aku m enangis karena..., engkau tahu sam a dengan aku... ya, Tuhan, Engkaulah yang m em bunuh dia.” “Bohon g!” teriak Lauren t. “Akui en gkau bohon g.... Aku lemparkan dia ke dalam Seine karena engkau mendesak aku untuk m em bunuhnya.” “Aku, aku?”
Theresa 231 “Ya, engkau.... J angan pura-pura, jangan suruh aku m em aksa- m u m engakui kenyataan itu. Aku butuh pengakuanm u, aku perlu pengakuan keterlibatanm u. Itu dapat m enyejukkan hatiku.” “Tetapi bukan aku yang m enenggelam kan Cam illus.” “Ya, ya, dan sekali lagi ya, engkau! Engkau pura-pura terkejut, pura-pura lupa. Tunggu, akan kusegarkan ingatanmu.” Laurent bangkit dari kursinya, m enjulurkan badannya ke depan ke dekat Theresa, pipinya m erah padam , lalu berteriak keras, “engkau berada di tepi air, ingat? Dan aku berbisik kepadamu, akan kulemparkan dia ke dalam sungai. Dan engkau setuju, engkau naik ke perahu.... J elas, engkau terlibat dalam pembunuhan itu.” “Tidak benar.... Aku bingung ketika itu, aku tak tahu apa yang kuperbuat, tetapi pasti aku tak pernah ingin m em bunuhnya. Engkau lakukan itu sendirian.” Penyangkalan ini m elukai Laurent. Seperti dia katakan tadi, rasa m em punyai kawan dengan kadar kejahatan yang sam a, m elegakan hatinya. Kalau dia ada keberanian, dia bahkan m au mencoba mengalihkan seluruh kengerian pembunuhan dengan segala akibatnya kepada Theresa sendiri. Ada kalanya dia ingin m enyiksa istrinya agar m engaku bahwa dialah yang lebih berdosa di antara keduanya. Laurent berjalan hilir m udik, berteriak-teriak, m enyum pah- nyum pah, diikuti oleh pandangan m ata Madam e Raquin. “Gila dia, gila dia,” katanya sendiri dengan nada yang aneh, “dia m au m encoba m em buat aku gila.... Bukankah engkau pernah datang ke kamarku seperti seorang pelacur, tidakkah engkau m em bius aku dengan cum bu rayu supaya aku m engenyahkan suam im u? Dia m em uakkanm u, baunya seperti bau anak kecil sakit—itulah yang selalu engkau katakan kalau aku datang ke m ari.... Ingat tiga tahun yang lalu—apakah aku m em punyai pikiran seperti itu? Apakah aku begitu jahat? Aku hidup tenang,
232 Emile Zola sopan, tak pernah m enyakiti orang lain. Bahkan aku tak akan tega membunuh lalat.” “Engkau yang m em bunuh Cam illus,” Theresa m engulang lagi dengan kekerasan kepala yang m em buat Laurent kehilangan akal. “Tidak, engkau, aku katakan sekali lagi, engkau!” jawabnya m eledak-ledak. “Awas, jangan m em buat aku jengkel, bisa buruk akibatnya buatm u. Gila engkau, engkau lupa sem ua! Engkau m enyerahkan dirim u kepadaku seperti pelacur, di sana, di kamar suamimu. Engkau mengenalkan aku kepada kesenangan yang m em buat aku gila. Akui bahwa engkau m erencanakan itu sem ua, bahwa engkau m em benci Cam illus, dan telah lam a ingin m em bunuhnya. Tidak syak lagi, engkau m em buat aku m enjadi kekasihm u supaya aku m enghadapi dan m enghancurkan su a m im u .” “Tidak, tidak benar. Kata-katam u jahat. Tak ada hakm u m en cela kelem ahan ku. Aku pun dapat berkata, sebelum mengenalmu aku sama seperti engkau, aku pun seorang perem puan sopan yang tak pernah m enyakiti orang lain. Kalau aku membuatmu gila, engkau membuat aku lebih gila lagi. Sebaiknya kita tidak bertengkar, Laurent.... Nanti aku terpaksa m enyesali engkau karena banyak hal lagi.” “Apa yang engkau sesalkan dari diriku?” “Oh, tidak, tidak.... Engkau tidak berhasil m enyelam atkan aku dari diriku sendiri, engkau sudah m enyalahgunakan detik-detik kelemahanku, engkau bersukacita menghancurkan hidupku.... Aku m aafkan itu sem ua.... Tetapi, jangan, aku harap, m enuduh aku m em bunuh Cam illus. Tanggunglah kejahatan itu sendiri, jangan m encoba lebih m enyulitkan aku lagi.” Laurent m engangkat tangannya untuk m enam par Theresa. “Pukullah, aku lebih suka dipukul,” kata Theresa. “Tam paran lebih ringan bagiku.” Theresa m enyerahkan m ukanya. Laurent m engurungkan niatnya, m engam bil kursi lalu duduk di sebelah Theresa.
Theresa 233 “Dengarkan,”katanya dengan suara yang dia paksakan tenang, “pen gecut sekali kalau en gkau m en gin gkari keterlibatan m u. Engkau tahu betul kita m elakukannya bersam a-sam a, engkau tahu engkau sam a berdosanya dengan aku. Mengapa engkau m au membuat bebanku bertambah berat dengan mengatakan engkau tidak bersalah? Kalau engkau tidak bersalah, buat apa engkau m enyetujui kawin dengan aku. Ingat m asa dua tahun setelah Cam illus m ati? Apa engkau perlu bukti? Baik. Aku akan pergi m enghadap J aksa Kerajaan m em beberkan seluruh kebenaran, dan akan engkau lihat sendiri nanti apakah kita sama-sama dihukum atau tidak?” Keduanya gem etar. Theresa berkata, “Mungkin saja orang akan m enghukum aku, tetapi Cam illus tahu bahwa engkaulah yang m elakukan sem ua itu.... Dia tidak m enyiksaku seberat m enyiksam u.” “Cam illus tidak m enakutkanku,” kata Laurent, pucat dan gem etar. “En gkaulah yan g m elihatn ya dalam m im pi-m im pi buruk. Aku m endengar engkau berteriak-teriak.” “J angan berkata begitu!” Theresa m arah. “Aku tak pernah berteriak. Aku tak m au arwahnya datang. Oh, aku m engerti sekarang, engkau sedang berusaha m engusirnya dari sebelahm u .... Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!” Mereka saling pandang, takut, letih dan cemas kalau-kalau dengan m enyebut-nyebut nam anya m ereka m engundang hantu laki-laki yang m ati tenggelam itu. Pertengkaran selalu berakhir dem ikian. Masing-m asing bersikeras m enyangkal rasa bersalah, mereka menipu diri sendiri dengan maksud menghilangkan mimpi-mimpi buruk. Mereka terus-menerus berusaha menolak tanggung jawab, membela diri seperti di sidang pengadilan, dan masing-masing m enggeserkan tanggung jawab yang terberat kepada yang lain. Yang paling aneh adalah, m ereka tidak berhasil m enipu diri
234 Emile Zola dengan sumpah apa pun, mereka tetap tidak dapat melupakan peristiwa pem bunuhan itu dengan segala detail yang sekecil- kecilnya dan hati pun m engakuinya. Masing-m asing m em baca pengakuan di m ata yang lain, tetapi bibir m enolak tuduhan- tuduhan. Kebohongan itu kekanak-kanakan, pengakuan m ereka m enggelikan, dan pertengkaran hanya bersifat adu kata belaka. Mereka berbohong demi berbohong semata tanpa mampu me- nyem bunyikan fakta yang m ereka bohongkan. Bergantian m ereka bertindak sebagai penuduh, dan sekalipun sidang pengadilan itu tak pernah membawa kata putus, mereka memulai lagi setiap malam tanpa jera. Mereka tahu, bahwa mereka tidak akan dapat saling membuktikan dosa, tidak akan dapat menghapus masa silam , nam un dem ikian m ereka tetap m engulangnya sekali lagi dan sekali lagi dengan tekad baru, didorong oleh amarah dan panik, tetapi lucunya, sebelum nya m ereka sudah dikalahkan oleh kenyataan-kenyataan yang terang-benderang. Keuntungan nyata yang m ereka peroleh dari pertengkaran adalah m elontarkan kata-kata dan berteriak-teriak sehingga melemahkan saraf untuk sejen a k. Dan selama mereka diamuk amarah, selama mereka saling tuduh-menuduh, perempuan lumpuh itu tak pernah lepas dari m em perhatikan m ereka. Sekilas cahaya gem bira bersinar di m atanya kalau Laurent m engangkat tinjunya yang besar ke atas kepala Theresa.
BAB XXIX TAHAP BARU segera berm ula. Setelah sam pai ke ujung kepanikan dan tidak tahu bagaimana harus menghibur diri, Theresa mulai m enyatakan rasa duka-citanya atas kem atian Cam illus di hadapan La u r en t . Theresa seakan-akan am bruk m endadak. Saraf-sarafnya yang sudah terlalu tegang seperti putus, wataknya yang keras m elem ah. Pada hari-hari pertam a perkawinannya pernah dia m engenal rasa sesal dan sedih. Rasa itu kini kembali lagi sebagai suatu reaksi pasti dan fatal terhadap keadaan jiwanya sekarang. Setelah berjuang sekuat tenaga m elawan hantu Cam illus, setelah beberapa bulan lam anya hidup di bawah tekanan-tekanan, m em berontak m enghilangkan penderitaan dengan sem angat yang m enyala- nyala, tiba-tiba kini dia m erasa kehabisan tenaga, lalu m enyerah kalah. Dengan kem balinya m enjadi perem puan yang gam pang terharu, bahkan lebih mendekati kekanak-kanakan, karena tidak
236 Emile Zola lagi m em punyai tenaga untuk m elawan segala ketakutannya, ia menerjunkan diri ke dalam kesedihan, ke dalam derai air m ata dan penyesalan, dengan harapan ia akan m endapat sedikit kelegaan hati di dalam nya. la m encoba m engam bil keuntungan dari kelem ahan badan dan pikiran yang m enguasai dirinya; siapa tahu hantu yang tidak m au m enyerah kepada am arahnya akan m enjadi lem ah karena air m atanya. J adi penyesalannya ini m erupakan hasil perhitungan—dia pikir m ungkin inilah jalan terbaik untuk m enenangkan dan m em uaskan arwah Cam illus. Seperti seorang fanatik yang m engira dapat m enipu Tuhan untuk m em peroleh am punan-Nya dengan jalan berdoa di bibir dan m erendah seperti orang yang betul-betul bertobat, Theresa pun merendahkan diri, mengusap dan memukul-mukul dada, m engucapkan kata-kata penyesalan tanpa ada yang lainnya di lubuk hati kecuali ketakutan dan kepengecutan. Betapapun, dengan m em biarkan dirinya hanyut dalam kesedihan sepenuhnya ia menemukan semacam kenikmatan lahiriah. Dengan berurai air m ata diham burkannya rasa putus asanya kepada Madame Raquin. Perempuan lumpuh itu telah menjadi kebutuhan lain sehari-hari, dipergunakan sebagai semacam kursi bertobat, sepotong perabot tempat dia membuat pengakuan dosa tanpa takut dan tempat meminta pengampunan. Setiap kali setelah m erasakan perlunya m enangis untuk m elegakan hati, segera dia berlutut di hadapan perem puan tanpa daya itu, lalu m enangis sejadi-jadinya, m em ainkan adegan penyesalan yang hanya dia sendiri yang m enjadi pem ainnya, adegan yang akhirnya memberi sedikit kelegaan hati setelah dia sendiri merasa capai. “Saya orang celaka,” katanya. “Saya tak berhak m endapat pengam punan. Saya telah m enipu Bibi, saya telah m enggiring putra Bibi ke kem atian. Bibi tak m ungkin m em aafkan saya.... Walau dem ikian, seandainya Bibi dapat m em baca hati yang berisi penyesalan yang sangat m endalam , seandainya Bibi m engetahui
Theresa 237 betapa saya m enderita, m ungkin Bibi akan m em punyai sedikit rasa kasihan.... Tidak, tidak ada rasa iba buat saya. Saya harap dapat m ati di sini di kaki Bibi, m ati karena m alu dan duka.” Berjam -jam lam anya dia berlaku begitu, berpindah-pindah dari putus asa kepada berharap, m enyalahkan dan m em aafkan diri sendiri. Suaranya seperti suara gadis kecil yang sakit, kadang- kadang patah-patah, kadang meratap. Dia merangkak-rangkak, lalu bangkit lagi tergantung kepada suasana batin yang berubah- ubah dari perendahan diri ke kebanggaan diri, dari pasrah ke berontak. Bahkan kadang-kadang dia lupa sedang berlutut di depan Madame Raquin, melanjutkan monolog seperti dalam m im pi. Kalau sudah m erasa kaku dan capai karena kata-kata yang m eluncur tanpa berketentuan, barulah dia bangkit, terhuyung- huyung, sedikit pusing, lalu turun ke toko. Di sana dia m erasa sedikit tenang, tidak lagi takut menangis di muka langganan. Kalau tiba-tiba terasa lagi keinginan untuk m elakukan penyesal- an segera dia naik dan berlutut lagi di depan kaki bibinya yang lumpuh. Dan adegan ini berlangsung berulang-ulang sepuluh kali sehari. Tak pernah terpikirkan oleh Theresa bahwa air mata dan ulahnya itu sangat m enyakitkan hati bibinya. Seandainya ada orang yang m au m encoba m encari cara untuk m enyiksa Madam e Raquin sesakit-sakitnya dia tak akan m enem ukan jalan lain yang lebih syaitani daripada kom edi seperti yang dijalankan Theresa. Perem puan lum puh itu m elihat jelas egotism e yang tersem bunyi di balik kesedihan palsu itu. Dia sangat menderita karena monolog Theresa yang berkepanjangan yang terpaksa harus dia dengarkan setiap saat dan yang selalu m enghidup-hidupkan lagi peristiwa pem bunuhan Cam illus. Dia tidak dapat m em aafkan, hatinya yang sudah bulat hendak m em balas dendam tak tergoyahkan, dan ketidakberdayaannya m em buat tekadnya sem akin hebat. Nam un pedihnya, setiap sepanjang hari dia harus m endengar-
238 Emile Zola kan perm intaan m aaf kem enakannya dengan m erendah-rendah dan pengecut. Ingin sekali dia menjawab, sebab sebagian dari perm ohonan kem enakannya itu m engundang penolakan keras, namun dia terpaksa membisu, membiarkan Theresa melanjutkan kom edin ya tan pa tergan ggu. Ketidakm am puan n ya un tuk berteriak dan m enutup telinga m em buat hatinya sem akin pedih. Kata dem i kata Theresa yang lam bat dan m eratap dengan nada tidak sedap m asuk m eresap ke dalam jiwanya. Untuk sesaat dia m engira bahwa pem bunuh-pem bunuh anaknya dengan sengaja m enganiayanya karena kekejam an syaitani sem ata- m ata. Satu-satunya jalan m em pertahankan diri hanyalah dengan m em ejam kan m ata begitu kem enakannya berlutut di depannya. Kalaupun telinganya m asih m endengar, setidak-tidaknya m ata tidak m elihatnya. Kem udian Theresa bahkan berani m encium bibinya. Suatu hari, ketika sedang m em ainkan sandiwaranya, dia berpura-pura seakan m elihat pancaran m aaf di m ata bibinya. Dia m erangkak, lalu bangkit dan berteriak keras, “Bibi telah m em aafkan saya! Bibi m em aafkan saya!” Lalu dia m encium dahi dan pipi perem puan tua itu. Madam e Raquin tak dapat m enghindarinya. Kulit m uka dingin yang tersentuh bibirnya m enim bulkan rasa jijik pada Theresa. Tetapi bagi dia, seperti juga air m ata dan penyesalan hatinya, kejijikan ini dapat m erupakan salah satu cara pula untuk m elem askan saraf-sarafnya yang tegang. Sejak itu, untuk melegakan hati, Theresa setiap hari mencium Madame Raquin. “Oh, betapa baik hati Bibi!” Kadang-kadang dia berseru, “Ternyata air m ata saya dapat m enyentuh hati Bibi.... Mata Bibi penuh dengan m aaf dan kasih.... Aku selam at....” Theresa m erangkulinya dengan kasih sayang. Dia letakkan kepalanya di pangkuan bibinya, tersenyum bahagia. Selanjutnya dia m erawat bibinya dengan segala cara yang m enunjukkan kecintaan dan kesetiaan. Dalam tem po yang singkat dia sendiri
Theresa 239 sudah m em percayai kom edinya sebagai suatu kenyataan, dia m em bayangkan bahwa dia sudah dapat m erebut hati Madam e Raquin dan m endapatkan m aafnya. Seterusnya tak ada lagi yang diperkatakannya kecuali kebahagiaan karena sudah diam puni. Ini sudah sangat keterlaluan bagi perempuan lum- puh itu, bahkan ham pir m em bunuhnya. H am buran cium an kem enakannya itu m enim bulkan rasa pedih dan benci seperti yang dirasakannya setiap pagi dan sore ketika dijam ah Laurent untuk m endudukkannya di kursi atau m em baringkannya di ranjang. Dia terpaksa m enyerah kepada rangkulan m enjijikkan perem puan yang telah m engkhianati dan m em bunuh anaknya. Mengangkat tangan untuk m enghapus bekas cium an di pipinya pun dia tidak bisa. Berjam -jam lam anya setelah m enerim a cium an itu, pipinya serasa terbakar. Dia m erasa m enjadi barang m ainan di tangan kedua pem bunuh anaknya, seperti boneka yang m ereka dandani, dibolak-balik ke kanan dan ke kiri, dipermainkan menu rut sekehendak hati m ereka. Dia tak berdaya di tangan m ereka, seakan-akan tak ada apa-apanya di dalam dirinya, padahal ada sesuatu yang berontak dan m endidih setiap kali tubuhnya tersentuh oleh Theresa atau Laurent. Yang m em buatnya panas lebih daripada yang lain-lainnya adalah kepura-puraan Theresa m elihat pancaran m aaf di m atanya, padahal kalau m ungkin m atanya akan gem bira sekali m enatap penjahat itu sam pai mati. Seringkali dia berusaha keras untuk berteriak memprotes. Dialihkannya sem ua kebenciannya ke m ata. Nam un Theresa, dem i kepentingan pribadi, m enganggapnya sebagai pem berian maaf dua puluh kali sehari. Sebab itu ia memeluk dan merangkul Madame Raquin lebih sering lagi, tanpa mau tahu apa-apa lagi. Madame Raquin terpaksa menerima curahan terima kasih itu, padahal hatinya berontak m enolak. Selanjutnya dia hidup penuh kepahitan tanpa dapat bereaksi di hadapan kemenakan yang m erendahkan diri, yang selalu m encari sesuatu yang dapat
240 Emile Zola m enarik hati sebagai im balan untuk apa yang dia sebut ‘kebaikan s u r ga wi’. Kalau Laurent sedang ada di situ dan m elihat istrinya ber- lutut di depan Madam e Raquin, dia m enariknya dengan kasar. “J angan bersandiwara,” katanya. “Apakah aku m enangis, apakah aku m erangkak-rangkak?.... Engkau lakukan itu hanya untuk menjengkelkan aku.” Tingkah Theresa m em buat Laurent bingung. Melihat kawan sekejahatannya m enggelepar-gelepar m enyesal di dekatnya, menunduk-nunduk dengan mata merah karena air mata, bibir m em ohon-m ohon, hatinya m akin m enderita. Penyesalan Theresa m em buat ketakutannya sendiri m eningkat berlipat ganda, begitu juga kegelisahannya. Seperti ada perkabungan yang tak berkesudahan dalam rum ah itu. Tim bullah ketakutan penyesalan itu pada suatu hari akan m en-dorong istrinya m enyingkapkan segala-galanya. Ia lebih suka m elihat Theresa tetap tcgang dan mengancam, penuh kepahitan dan kegetiran, gigih menolak segala tuduhan. Tetapi rupanya Theresa m enam bah taktik, sekarang dia bersedia m engakui keterlibatannya, dia m alah m enyalahkan diri sendiri, menjadi tidak bersemangat dan lunak, memohon- mohon keselamatan dengan sangat merendahkan diri. Sikap ini m enjengkelkan Laurent. Setiap m alam pertengkaran m enjadi lebih hebat dan lebih gila lagi. “Dengarkan,” kata Theresa kepada suam inya, “kita telah berbuat dosa besar, kita harus m erasa m enyesal kalau kita m au tenang.... Coba lihat, karena aku m enangis aku m enjadi lebih tenang. Lakukan seperti aku. Mari kita bersam a-sam a m enga- takan bahwa kita telah dihukum setimpal karena perbuatan terkutuk itu.” “Bah,” Laurent m enjawab kasar, “engkau boleh berkata se- sukam u. Aku cukup m engenalm u.... Engkau adalah setannya kepintaran dan kemunaikan. Menangislah kalau itu menyenang-
Theresa 241 kanmu. Tetapi aku minta jangan ganggu aku dengan air matamu itu.” “Mem ang engkau sudah tersesat jauh sekali. Engkau m eno- lak untuk m enyesal. Tetapi engkau pengecut, engkau m enohok Cam illus dari belakang.” “Apa engkau m au m engatakan bahwa aku sendiri yang b er sa la h ?” “Tidak, aku tidak m engatakan begitu. Aku pun bersalah, m ungkin lebih daripada dirim u. Seharusnya aku m enyelam atkan suamiku dari tanganmu. Oh, aku sudah merasakan semua kengerian dosaku, tetapi aku mencoba mendapatkan peng- am punan dan aku akan berhasil, Laurent. Tetapi engkau akan tetap hidup dalam kesepian, kemurungan dan kesedihan .... Begitu kejam engkau, sehingga tega m em biarkan bibiku yang m alang ini m enyaksikan kem arahanm u yang keji itu. Engkau tak pernah m engucapkan sepatah pun kata penyesalan kepadanya.” Lalu Theresa m encium Madam e Raquin yang sedang memejamkan mata. Dia memutar ke belakang kursi untuk m em benarkan bantal yang m engganjal kepala bibinya, lalu m engham burinya dengan kata-kata m anis. Pikiran Laurent kalut. “Biarkan dia!” serunya. “Tidakkah kaulihat bahwa dia benci m elihatm u dan sudah m uak dengan perhatianm u? Seandainya dia dapat mengangkat tangan, pasti dia sudah menamparmu.” Sedikit dem i sedikit kata-kata istrinya yang lam bat dan m eratap, dan sikapnya yang tenang, m em buat Laurent m enjadi gelap m ata. Dia m engerti betul taktik istrinya, hendak berhenti dari bersekongkol dengan dia, untuk mengasingkan diri dalam penyesalannya, agar terlepas dari gangguan-gangguan arwah yang m ati tenggelam . Sesaat dia berpendapat, bahwa m ungkin sekali jalan yang ditem puh Theresa benar, bahwa air m ata penyesalan akan m engobatinya dari rasa takut dan panik. Dia bergidik kalau teringat akan dibiarkan menderita sendirian, ketakutan sendirian. la pun m au m enunjukkan penyesalan,
242 Emile Zola setidak-tidaknya berpura-pura untuk m elihat apa hasilnya, tetapi dia tidak dapat m enem ukan kata-kata dan air m ata yang diperlukan untuk itu. Sebab itu dia menjadi garang kembali, m engguncang-guncang badan Theresa dengan m aksud supaya dia marah dan berteriak-teriak lagi mengawani dia. Theresa tetap tak tergoyahkan, m enjawab teriakan-teriakan Laurent dengan tangis penyesalan yang m akin m enjadi-jadi, lebih m enghinakan diri dan m eningkatkan rasa penyesalannya sepadan dengan m eningkatnya kem arahan Laurent. Dengan jalan begini Laurent lebih didesak lagi ke puncak kemarahan. Dan untuk melengkapi kemarahan Laurent, Theresa selalu m engakhiri ratapannya dengan m em uji- m uji kebaikan Cam illus. “Dia orang baik,” katanya, “kita yang kejam m encelakakan orang yang hatinya begitu baik, orang yang tidak pernah m em punyai pikiran jahat.” “Dia baik, benar, aku tahu,” Laurent m engejek. “Maksudm u dia bodoh bukan.... Apa engkau sudah lupa? Engkau pernah m engatakan bahwa apa saja yang dikatakannya sangat mengganggu hatimu, bahwa dia tak dapat membuka mulut tanpa m engeluarkan sesuatu yang dungu.” “J angan m engejek.... Satu-satunya yang belum kau lakukan hanyalah m enghina orang yang engkau bunuh.... Engkau tidak m engenal hati perem puan, Laurent. Cam illus m encintaiku dan aku m encintainya.” “Engkau m encintainya! Aku ucapkan selam at atas pikiran bahagia itu! Tak syak lagi karena engkau m encintainyalah m aka engkau m engam bil aku sebagai kekasih. Aku ingat suatu hari ketika engkau mempermainkan dadaku sambil berkata, bahwa engkau m erasa sangat m uak kalau engkau m enyentuh tubuh Cam illus, karena rasanya seperti m enyentuh tanah lem pung.... Aku tahu, m engapa engkau m encintaiku. Engkau m em butuhkan tangan yang lebih kekar daripada tangan setan keparat itu.”
Theresa 243 “Aku m encintainya seperti saudara. Dia anak pelindungku, dia m em punyai banyak kebaikan dalam kelem ahannya, dia mulia, murah hati, setia dan dapat mencintai.... Dan kita telah m em bunuhnya. Ya, Tuhan! Ya, Tuhan!” Theresa menangis lagi, lalu pingsan. Madame Raquin m enatapnya tajam , berang m endengar Cam illus dipuji-puji m ulut sekotor itu. Karena tidak berdaya terhadap banjir air m ata Theresa, Laurent berjalan hilir-m udik dengan kesalnya, sam bil m encari akal untuk m em atahkan penyesalan-penyesalan Theresa. Mendengar begitu banyak kebaikan tentang korbannya, hatinya serasa ditusuk-tusuk. Sesaat dia terpengaruh oleh kata-kata istrinya yang m enyentuh, sehingga percaya kepada kebaikan- kebaikan Cam illus. Bersam aan den gan itu gan gguan dalam hatinya lebih m eningkat. Tetapi yang m em buatnya lebih gila dan garang karena Theresa selalu menarik garis antara suami pertama dan suam i kedua dan selalu berpihak kepada yang pertam a. “Ya, ya!” serunya, “dia lebih baik daripadam u. Aku m au dia m asih hidup dan engkaulah yang tergeletak di bawah tanah.” Mula-m ula Laurent m engangkat bahu. “Engkau boleh berkata sesuka hatim u,” kata Theresa lagi lebih bersem angat, “bisa jadi aku tidak m encintainya ketika dia m asih hidup. tetapi sekarang aku rindu kepadanya dan m encintainya.... Aku m encintainya, dan aku benci kepadam u, percayalah. Engkau pem bunuh ....” “Tutup m ulutm u!” Laurent m em bentak. “Dan dia korbanm u. Laki-laki sopan m ati dibunuh laki-laki jahat! Oh, aku tidak takut kepadamu.... Engkau tahu, engkau keparat, kasar, tak berperasaan, tak berjiwa. Bagaim ana engkau dapat m engharapkan aku mencintaimu sekarang setelah engkau berlumuran darah Cam illus.... Cam illus lem but terhadapku, dan aku bersedia m em bunuhm u kalau itu dapat m em buat Cam illus hidup dan mengembalikan cintaku, kaudengar?”
244 Emile Zola “Tutup m ulut, bedebah!” “Mengapa? Aku bicara tentang kebenaran. Aku bersedia membeli pengampunan dengan darahmu. Oh, betapa hatiku m enangis dan m enderita! Akulah yang salah kalau ada penjahat berhasil membunuh suamiku.... Suatu malam aku harus pergi m encium tanah tem pat dia terkubur. Itulah kebahagiaanku yang terakhir.” Mabuk dan m arah karena kebencian yang dilontarkan Theresa, Laurent m elom pat m enerkam Theresa, m enghantam nya sam pai terjatuh, lalu m enekannya dengan kedua lututnya, tinjunya terangkat. “Baik,” Theresa berteriak, “pukul aku, bunuh aku.... Cam illus tak pernah m em ukulku, tetapi engkau m em ang binatang!” Dan Laurent, seperti dicam buk oleh kata-kata Theresa, m engguncang-guncangnya dengan kasar, m em ukulnya lalu m enghantam badannya dengan tinjunya. Dua kali ham pir dia m encekiknya. Theresa terkulai dipukuli Laurent. Dia m enem ukan kenikmatan pada waktu menerima pukulan-pukulan itu. Dia pasrah, m em biarkan dirinya dipukuli, m elecut suam inya agar m enghantam nya lebih keras lagi. Ini m erupakan pertahanan diri yang lain lagi terhadap penderitaan hidupnya. Tidurnya lebih nyenyak kalau sehabis dipukuli sore harinya. Madam e Raquin m erasa senang m elihat Laurent m em banting kem enakannya ke lantai dan mengerjai tubuh Theresa dengan tendangan- t en d a n ga n . Hidup kedua pembunuh itu menjadi ngeri mendirikan bulu rom a sejak Theresa m em punyaigagasan gila m em ainkan sandiwara penyesalan dan m enangisi kem atian Cam illus. Sejak saat itu pula si keparat Laurent hidup dengan korbannya tcrus-m enerus di benaknya. Tak henti-hentinya dia harus m endengarkan istrinya m em uji-m uji dan m enangisi suam i pertam anya. Setiap soal, sekecil apa pun, dapat menjadi alasan buat Theresa untuk berkaca
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284