Theresa 45 juga m em inum nya. Untuk m enyenangkan Bibi terpaksa aku m enelan sem ua obat yang diberikan. Aku tak m engerti m engapa aku tidak m ati.... Mereka m em buat aku m enjadi buruk, Sayang. Mereka mencuri semua milikku, dan engkau tidak akan dapat mencintaiku seperti aku mencintaimu.” Dia m enangis, m encium i Laurent, lalu sam bungnya dengan bersem angat, “Aku tidak m engharapkan m ereka sakit. Mereka telah membesarkan aku, mereka telah merawatku dan m enyelam atkan aku dari kelaparan.... Tetapi sebenarnya aku lebih suka diterlantarkan daripada menerima kebaikan mereka. J iwaku m eronta-ronta m em inta ruang dan udara sehat. Bahkan sebagai anak perempuan kecil aku sudah memimpikan berjalan- jalan di jalan besar, dengan kaki telanjang di atas tanah, meminta- m inta dan hidup sebagai gipsy. Aku dengar ibuku anak seorang kepala suku di Afrika. Sering aku berpikir tentang beliau, naluri dan darahku m eyakinkan diriku bahwa benar aku anaknya. Aku m em bayangkan bagaim ana senangnya kalau aku tidak harus berpisah dengan beliau, aku m em bayangkan betapa senangnya kalau aku selalu digendongnya m enjelajahi gurun pasir... Ah! Suatu m asa kanak-kanak yang m enyenangkan! Aku m asih m erasa mual dan jiwaku berontak kalau teringat kepada hari-hari panjang yang kuhabiskan dalam kam ar tem pat Cam illus terbaring dengan nafas yang sesak. Aku m eringkuk di depan api dan dengan dungu mengawasi ramuan obat mendidih, sambil merasakan kaki dan tangan m enjadi pegal. Dan aku tidak bisa bergerak karena Bibi akan m em bentak kalau aku berisik.... Kem udian, sekali-sekali aku menemukan juga kebahagiaan kecil ketika kami tinggal di rumah kecil di tepi sungai. Tetapi waktu itu otot-ototku sudah menjadi lem ah, aku ham pir-ham pir tidak dapat berjalan. Aku jatuh kalau berlari. Setelah itu mereka mengubur aku hidup-hidup dalam toko yang m enyebalkan ini.”
46 Emile Zola Theresa m enarik nafas berat lalu m engencangkan pelukannya pada leher kekasihnya, ia telah m em balas dendam dan kedua cuping hidungnya yang tipis dan halus m engem bang. “Engkau tak akan percaya,” katanya lagi, “bagaim ana m ereka membuat aku menjadi jelek. Mereka membuat aku menjadi munaik dan pendusta.... Mereka mencekikku dengan sikap m anis yang palsu, dan aku tidak m engerti bagaim ana m ungkin m asih ada darah m engalir dalam urat-urat nadiku.... Aku harus selalu melihat ke bawah, aku harus memasang airmuka gila seperti wajah mereka, aku harus menjalani kehidupan dungu seperti kehidupan m ereka sendiri. Ketika engkau m elihatku pertama kali aku kelihatan seperti orang bodoh, bukan? Memang aku m uram . Tertekan dan m ati. Aku sudah tidak m em punyai masa depan lagi, aku mau menceburkan diri ke Sungai Seine pada suatu hari.... Tetapi setiap kali akan m elaksanakannya, terjadilah pem berontakan di m alam hari! Di Vernon dahulu, dalam kam arku yang dingin aku m enggigit bantal keras-keras untuk m enahan tangis, m em ukul-m ukul diri, m enyum pah-nyum pah diri sebagai pengecut. Darahku m endidih, m au rasanya aku m enyobek- nyobek diriku sendiri. Dua kali aku berniat m elarikan diri, asal berjalan saja, menuju matahari, tetapi keberanianku tidak ada. Mereka telah m engubah aku m enjadi binatang yang jinak dengan keram ahannya yang berlebih-lebihan dan kasih sayangnya yang m enjem ukan. Lalu aku m enjadi pem bohong, aku berbohong terus-m enerus. Aku tinggal di sana, m anis dan hening, sam bil melamun sekaligus mengamuk.” Theresa berhenti, m enekankan bibirnya yang basah kepada leher Laurent. Setelah sunyi beberapa saat, ia m enam bahkan lagi: “Aku tidak m engerti m engapa aku m enyetujui kawin dengan Cam illus. Aku tidak protes, sem ata-m ata sem acam perasaan m asa bodoh dan m em andang rendah. Dia hanya seorang anak kecil yang m enim bulkan rasa iba pada diriku. Ketika m asih kecil
Theresa 47 kami bermain bersama-sama, sering jari-jemariku merasakan tubuhnya seperti m erasakan tanah lem pung. Aku m enerim anya karena Bibi m em berikannya kepadaku dan karena aku pikir tidak akan merepotkan diriku sendiri.... Dalam diri suamiku aku m enem ukan lagi anak kecil penyakitan yang pernah tidur bersama ketika aku berumur enam tahun. Dia masih tetap lemah dan banyak m engeluh, dan m asih m em punyai bau apak badan anak kecil penyakitan, yang biasa m em abukkan aku dahulu.... Aku ceritakan ini sem ua agar engkau tidak cem buru. Sem acam perasaan m ual m endesak kerongkonganku. Aku teringat pada obat-obat yang telah aku m inum dan aku m enolaknya, dan aku m engalam i m alam -m alam yang m engerikan.... Tetapi engkau, en gka u . Theresa duduk lalu bersandar, jari-jarinya m erem as-rem as tangan Laurent yang besar, m enatap bahunya yang bidang, lehernya yang kekar .... “Engkau! Aku m encintaim u, aku m encintaim u sejak saat Cam illus m endorongm u m asuk ke dalam toko.... Mungkin sekali engkau menganggap aku perempuan murahan, karena aku mau m enyerahkan diri seluruhnya, sem uanya dalam sesaat. Terus terang, aku tidak tahu bagaim ana itu terjadi. Aku orang yang angkuh, aku m em punyai perangai buruk. Aku ingin m em ukulm u pada hari pertama engkau mencium dan membaringkan aku di atas lantai, di sini, di kam ar ini.... Aku tidak tahu m engapa aku m encintaim u; aku lebih banyak m em bencim u pada waktu itu. Melihat wajahmu saja membuat aku marah, membuat aku m enderita. Kalau engkau berada di sini urat-urat sarafku menegang sampai hampir putus, kepalaku menjadi kosong, dan aku ingin mengamuk seperti seekor banteng melihat kain m erah. Oh! Betapa aku m enderita! Dan kucari penderitaan itu, aku menunggu kedatanganmu, aku berputar-putar sekitar kursim u, supaya aku dapat m enghirup nafasm u, supaya dapat
48 Emile Zola m enyentuhkan bajuku kepada bajum u. Aku m erasa kalau aku lalu di dekatm u seakan-akan darahm u m enyem burkan gelom bang- gelom bang hangat dan udara panas di sekitarm u, itulah yang menarik aku dan menahan aku dekat kepadamu, walaupun jiwaku meronta-ronta.... Ingatkah engkau ketika melukis di sini? Suatu tenaga semacam tenaga takdir selalu membawa aku kembali ke sampingmu, aku menghirup udara sekelilingmu dengan kegem biraan yang pahit. Aku tahu bahwa aku seperti minta diciumi, aku malu karena penghambaan diri seperti itu, aku m erasa aku pasti akan jatuh kalau engkau m enyentuhku. Tetapi aku perturutkan kelemahanku itu, tubuhku dingin gemetaran selagi mengharapkan engkau berkenan memelukku....” Sesudah itu Theresa diam, gemetar, seperti bangga dan terbalas dendam nya. Bagaikan m abuk didekapnya Laurent ke dadanya, lalu di sana, dalam kam ar yang dingin dan kosong itu m eledaklah luapan-luapan nafsu, m enakutkan karena keka sa r a n n ya . Setiap pertem uan yang baru m em bawa gairah yang tak terbendung. Theresa seakan-akan gem ar m enjadi orang yang berani dan tidak bermalu. Tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Dia terjun ke dalam perzinahan dengan sem acam kejujuran yang m urni, tak ada ketakutan m enghadapi bahaya apa pun, bahkan keberanian itu disertai juga dengan semacam rasa bangga. Apabila kekasihnya datang, satu-satunya kehati-hatian yang perlu dia lakukan hanyalah m engatakan kepada bibinya bahwa ia m au beristirahat. Dan kalau sudah berdua di kam ar,’dia berjalan-jalan, bercakap-cakap, berlaku dengan bebas dan terus terang tanpa sedikit pun berusaha supaya tidak berisik. Pada perm ulaannya Laurent kadang-kadang m erasa takut. “Dem i Tuhan!” katanya berbisik kepada Theresa. “J angan gaduh begitu. Madame Raquin bisa naik nanti.”
Theresa 49 “Om ong kosong!” jawabnya tertawa. “Engkau selalu saja ketakutan seperti anak kecil.... Dia terpaku di belakang meja bayar. Buat apa dia naik ke m ari? Dia terlalu takut kem asukan pencuri.... Lagipula, biarkan dia naik kalau m au. Engkau dapat bersem bunyi.... Aku sendiri tidak takut. Aku m encintaim u.” Laurent tidak dapat diyakinkan begitu saja. Nafsunya yang bergelora pun belum m am pu m enidurkan kebijaksanaan petaninya yang licik. Nam un, segera pula dia terbiasa dengan pertem uan-pertem uan di siang hari yang telah terlanjur itu tanpa terlalu takut, pertem uan di kam ar Cam illus sendiri, hanya beberapa langkah saja jauhnya dari Madam e Raquin. Berulang kali pacarnya m engatakan bahwa bahaya tidak akan datang pada m ereka yang berani m enghadapinya, dan Theresa benar. Mereka tidak akan pernah m endapatkan tem pat yang lebih am an daripada kamar ini. Di sana mereka dapat menikmati cinta berahi dengan sepuas-puasnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madam e Raquin naik juga ke atas, karena m erasa khawatir kem enakannya sakit. Theresa telah berada di kam arnya ham pir selam a tiga jam . Begitu nekadnya Theresa, sehingga dia tidak merasa perlu mengunci pintu kam arnya, yang m enuju ke kam ar m akan. Ketika Laurent m endengar suara langkah-langkah berat m enaiki tangga kayu dia m enjadi sangat takut dan segera m encari baju dan topinya. Theresa tertawa m elihat air m uka Laurent berubah. Dia m enangkap tangan Laurent dan m em aksanya m eringkuk di sudut dekat kaki ranjang, lalu katanya dengan tenang, “diam di situ... jangan bergerak.” Di atas badan Laurent dia m enum pukkan sem ua pakaian Laurent yang bertebaran, lalu m enutupnya dengan rok dalam nya sendiri. Sem ua ini dilakukannya dengan gerakan yang cepat dan tepat, tanpa sedikit pun kehilangan ketenangan. Setelah itu dia berbaring, dengan rambut kusut, tubuh setengah telanjang, wajah masih merah dan badan sedikit gemetar.
50 Emile Zola Dengan perlahan-lahan sekali Madame Raquin membuka pintu lalu menghampiri ranjang, berjalan sepelan mungkin. Theresa pura-pura tidur. Laurent berm andi keringat di bawah rok dalam putih. “Theresa,” tanya Madam e Raquin dengan cem as, “apa engkau sakit, Anakku?” Theresa membuka mata, menguap, membalikkan badan, lalu m enjawab bahwa dia sakit kepala. Dia m em inta bibinya membiarkan dia tidur. Perempuan tua itu pergi seperti dia datang, perlahan-lahan tanpa bersuara. Sam bil m enahan tawa kedua orang yang sedang berkasih- kasihan itu bercium an dengan sangat bernafsu. “Kau lihat sekarang, bukan,” kata Theresa dengan perasaan bangga, “tak ada yang perlu ditakutkan di sini.... Mereka sem ua buta. Mereka tidak mengenal cinta.” Pada suatu hari yang lain Theresa m em punyai pikiran yang fantastis. Kadang-kadang ia suka m engigau seperti orang yang hampir gila. Kucing besar, Francois, sedang duduk tepat di tengah-tengah kamar. Dengan tenang kucing itu memperhatikan pasangan yang sedang bercum buan dengan kedua m atanya yang bundar. Seakan-akan dia sedang m em pelajarinya dengan teliti, tanpa berkedip, terpesona seperti disihir setan. “Lihat Francois,” kata Theresa kepada Laurent, “seakan-akan dia mengerti dan seperti nanti malam dia akan menceritakan kepada Cam illus segala-galanya tentang kita....” Aneh, pikiran bahwa Francois dapat berbicara bisa m enjadi sesuatu yang m enyenangkan bagi perem puan itu. Laurent m elihat m ata kucing yang besar dan hijau itu, seluruh tubuhnya bergidik. “Beginilah yang akan dia lakukan nanti,” kata Theresa lagi. “Dia akan berdiri, dan sam bil m enunjuk dengan salah satu cakarnya kepadaku dan dengan cakarnya yang satu lagi kepadam u,
Theresa 51 ia akan berteriak: Tuan dan Nyonya ini bercum bu dengan bernafsu sekali di kamar tidur. Mereka tidak pernah memperdulikan aku, dan karena perbuatan mereka itu sangat menjijikkan, aku minta agar keduanya dipenjarakan. Dengan begitu aku dapat tidur dengan damai.” Theresa bermain dan bergurau seperti anak kecil, dia meniru-niru perilaku kucing, merentangkan semua jari-jem arinya seperti cakar, dan m engangkat serta m enggeliat- geliatkan bahunya. Francois, diam seperti batu, m em andang Theresa dengan tajam ; hanya kedua m atanya saja yang kelihatan hidup. Pada ujung m oncongnya kelihatan ada dua garis lipatan yang m em buat m ukanya seperti sedang tertawa terbahak-bahak. Badan Lauren t terasa din gin sam pai ke tulan g. Dia menganggap kelakar Theresa tidak lucu. Segera dia berdiri dan melemparkan kucing itu ke luar kamar. Dia benar-benar m erasa takut. Ternyata Laurent belum dapat m enguasai dirinya seluruhnya; jauh dalam dirinya m asih terdapat perasaan tidak enak, yang pernah dia alam i ketika m enerim a cium an-cium an pertama Theresa.
BAB VIII KALAU MALAM-MALAM berada dalam toko, Laurent selalu m erasa berbahagia. Biasanya dia pulang dari kantor bersam a Cam illus. Madam e Raquin m encintainya seperti seorang ibu. Dia tahu Laurent kehabisan uang, m akan tidak beres dan tidur di loteng. Setiap kali dia mengatakan bahwa mereka akan selalu m enyediakan tem pat di m eja m akan untuk Laurent. Dia m enyukai anak m uda itu seperti lazim nya perem puan-perem puan tua m enyukai orang-orang sekam pungnya. Untuk m ereka orang- orang itu membawa kenangan-kenangan indah masa lalu. Laurent tidak m enyia-nyiakan keram ahan ini. Sebelum m enuju rum ah sepulang dari kantor, biasanya dia berjalan- jalan dahulu dengan Cam illus di sepanjang derm aga. Keduanya menemukan keuntungan dari persahabatan ini; mereka tidak merasa begitu jemu, mereka bercakap-cakap sambil berjalan. Setelah itu baru mereka pulang untuk melahap masakan Madame Raquin. Laurent m em buka pintu toko seakan-akan dialah
Theresa 53 pem iliknya. Dikangkanginya kursi-kursi, m erokok dan m eludah, betul-betul seperti di rum ahnya sendiri. Kehadiran Theresa sam a sekali tidak m em buatnya bingung. Dia memperlakukan wanita muda itu dengan keterbukaan seorang tem an. Dia bergurau kepadanya, m elem parinya dengan pujian- pujian basi, dan wajahnya sedikit pun tidak berubah. Cam illus tertawa dan karena istrinya m enjawab kelakar kawannya itu hanya dengan sepatah dua patah kata saja, dia yakin betul bahwa sebenarnya m ereka saling tidak m enyukai. Bahkan pernah pada suatu hari dia m enyesalkan sikap Theresa kepada Laurent yang disebutnya terlalu dingin. Ram alan Laurent tepat sekali. Dia telah m enjadi kekasih istrinya, sahabat suam inya dan anak ibunya yang dim anjakan. Tidak pernah sebelum nya dia hidup dengan kesem patan sebaik ini untuk m em uaskan segala kehendak nafsunya. Dia berpesta pora dengan kem ewahan yang disodorkan oleh keluarga Raquin. Dia m erasa kedudukannya dalam keluarga Raquin sebagai wajar saja. Dia berbicara penuh kekeluargaan terhadap Cam illus, tanpa am arah dan tanpa penyesalan. Ia bahkan sam a sekali tak pernah m enjaga tindakan-tindakan dan kata-katanya. Begitu yakinnya dia kepada kehati-hatiannya dan penguasaan dirinya. Egoism enya m em berinya kenikm atan serta m encegahnya dari m em buat kesalahan. Di dalam toko, pacarnya adalah perem puan biasa seperti perem puan lainnya, yang tak boleh dia jam ah dan yang tidak ada artinya baginya. Kalau dia tidak m encium nya di hadapan orang lain, alasannya hanyalah karena dia takut tidak dapat kembali lagi setelah itu. Hukuman itu saja sudah m encegahnya berbuat begitu. Kalau bukan itu yang ditakutinya, pasti dia akan m enganggapnya m asa bodo terhadap kepedihan hati Cam illus atau ibunya. Dia tidak m engkhawatirkan kesulitan yang m ungkin terjadi kalau rahasia hubungannya terbongkar. Dia percaya bahwa apa yang dilakukannya itu wajar saja, persis
54 Emile Zola seperti yang akan dilakukan setiap orang yang berada dalam keadaan seperti dia, miskin dan lapar. Dari cara berpikir inilah tim bulnya ketentram an hati, keberanian dan sikap yang lugas dan senang. Theresa yang lebih gugup dan lebih tegang daripada Laurent terpaksa pula m enjalankan peranannya. Dia dapat m em ainkannya dengan sempurna sekali berkat kemunaikan yang sudah menjadi bakatnya sem enjak kecil. Ham pir selam a lim a belas tahun dia biasa berbohong, m enahan nafsunya dengan paksa, m em aksakan diri supaya tam pak m enjem ukan dan kaku. Tidak sukar baginya m engenakan topeng m ati yang m em bekukan wajahnya. Apabila Laurent datang, Theresa selalu berada dalam keadaan tenang, suram, dengan hidung lebih panjang dan bibir lebih tipis. Wajahnya tam pak jelek, sungsang dan tak dapat didekati. Walau dem ikian sikapnya itu tidak m enarik perhatian, karena bukan m erupakan sikap yang berlebih-lebihan, m elainkan sikapnya sehari-hari. Dalam m engelabui Cam illus dan Madam e Raquin dia m erasakan kesenangan yang pahit. Berbeda dengan Laurent yang tenggelam dalam kepuasan pem enuhan nafsu seorang pem alas tanpa dibebani tekanan perasaan apa-apa, Theresa sadar bahwa dia berbuat salah. Sering timbul saat-saat dia mau meloncat dari kursinya dan m encium Laurent di bibirnya, untuk m enunjukkan kepada suam i dan bibinya bahwa dia bukan perem puan dungu dingin, dan ingin m em perlihatkan bahwa dia m em punyai seorang kekasih. Kadang-kadang gelom bang-gelom bang kegem biraan yang hangat m em enuhi hatinya dan pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, sekalipun dia seorang aktris yang baik, nam un dia tak dapat m enahan dirinya untuk berdendang riang, asal saja kekasihnya tidak berada di sekitarn ya. Kegem biraan -kegem biraan yan g m endadak ini sangat m enyenangkan hati Madam e Raquin yang selalu m enganggap kem enakannya terlalu m urung. Theresa
Theresa 55 membeli beberapa pot kembang dan menghias jendela kamar tidurnya dengan itu. Lalu m elapisi dinding kam ar dengan kertas dinding yang baru, m em inta karpet, tirai, dan m ebel baru. Sem ua ini untuk Laurent. Alam dan keadaan seakan-akan telah m enjadikan Theresa untuk Laurent dan m endorong yang satu kepada yang lainnya. Antara perem puan yang penuh ketegangan dan kepura-puraan dengan laki-laki yang sem ata-m ata hidup m enurut naluri kebinatangan terdapat suatu ikatan yang kuat sekali, m asing- masing saling melengkapi dan saling melindungi. Pada saat m akan m alam di bawah cahaya lam pu yang pucat akan terasa sekali kekuatan ikatan itu, m em ancar dari wajah m ereka yang sedang berhadapan. Wajah Laurent berhiaskan senyum , sedang wajah Theresa bagaikan topeng bisu yang tak dapat ditem bus. Malam -m alam dem ikian adalah m alam -m alam yang tenang dan m enyenangkan. Dalam kesunyian dan kerem angan terdengar percakapan-percakapan pendek ram ah. Ketiga anggota keluarga Raquin dan Laurent berkum pul berdekatan sekeliling m eja. Sehabis makan buah-buahan pencuci mulut mereka berbincang- bincang tentang segala macam tetek-bengek hari itu, tentang kenangan-kenangan hari kemarin dan tentang harapan-harapan hari esok. Cam illus sangat m enyukai Laurent, sejauh dia dapat m enyukai seseorang, bila dia sedang dalam keadaan m erasa puas diri, dan Laurent pun rupanya m em balasnya dengan perhatian yang sam a. Di antara m ereka terdapat pernyataan suka-m enyukai, sikap ramah-meramahi dan pandangan penuh perhatian. Madame Raquin dengan wajahnya yang pucat m engem buskan udara dam ai di sekeliling anak-anaknya. Berkum pulnya m ereka dapat dikatakan seperti berkum pulnya kawan-kawan lam a yang sudah saling mengetahui isi hati dan masing-masing tanpa perlu merasa kikuk terhadap yang lain.
56 Emile Zola Tanpa bergerak dan tentram seperti yang lainnya, Theresa m em perhatikan kegem biraan dan senyum an santai m ereka. Nam un dalam dadanya sendiri m enggelegak tertawa sinis, seluruh jiwanya m encem oohkan m ereka, sekalipun wajahnya tetap dingin dan tegar. Kegirangan karena m em punyai rahasia, ia berkata dalam hati bahwa beberapa jam yang lalu di kam ar atas sana dia berbaring berbantalkan dada Laurent dengan tubuh setengah telanjang dan rambut terurai. Ia ingat betul semua kejadian siang tadi yang penuh gairah, ditelusurinya dalam kenangannya kejadian dem i kejadian dan diperbandingkannya adegan-adegan m enyala di kam arnya tadi dengan adegan-adegan m ati yang berada di hadapannya sekarang. Ah! Betapa dia telah m enipu orang-orang baik ini dan betapa bahagia rasanya dia dapat menipu mereka dengan perbuatan tanpa malu seperti itu. Dan di sanalah, di kam ar yang hanya berjarak dua langkah dan bersekat dinding tipis dia menerima laki-laki, di sanalah dia berpesta-pora tanpa mengenal batas mereguk kenikmatan berzinah. Tetapi sekarang, kekasihnya itu seperti orang asing baginya, sahabat suam inya, seorang tam u dungu yang tidak boleh dia perhatikan. Kom edi kejam ini, sikap yang m enggelikan dan perbandingan antara siang hari yang m enggelora dengan m alam penuh kepura-puraan ini m em bangkitkan kedahagaan yang baru dalam darah Theresa. Bila karena sesuatu alasan Madam e Raquin dan Cam illus pergi ke bawah, Theresa cepat m elom pat dan tanpa bersuara m enekankan bibirnya kepada bibir kekasihnya dengan nafsu yang m endekati kebiadaban. Nafasnya berdesah, badannya ham pir lem as dan baru m elepaskan kecupannya kalau sudah m endengar tangga kayu berderak. Setelah itu secepat kilat ia m engam bil lagi sikap yang suram seperti tadi. Laurent segera kem bali kepada percakapannya dengan Cam illus yang terpotong tadi. Nafsu sekilas itu berlalu bagaikan kilat di langit m ati, cepat dan m enyilaukan.
Theresa 57 Pada m alam J um at, keadaan agak lebih hidup. Laurent, yang sebenarnya sudah m erasa bosan dengan acara ini, m em aksakan diri juga untuk selalu hadir; sebagai tindak kewaspadaan saja. Dia ingin dikenal dan disukai oleh kawan-kawan Cam illus. Dengan rasa berat dia harus m endengarkan om ong kosong Grivet dan Michaud tua. Michaud selalu bercerita tentang pembunuhan dan pencurian yang itu-itu juga, sedang Grivet selalu m engoceh tentang bawahannya, atasannya dan kantornya. Kalau sudah begitu Laurent berbalik kepada Oliver dan Suzanne, yang kebodohannya agak kurang m em bosankan. Atau, cepat-cepat dia mengajak bermain domino. Pada malam-malam J umat itulah Theresa menentukan hari dan jam pertem uan-pertem uan berikutnya dengan Laurent. Ketika tam u-tam u akan pulang dan Madam e Raquin dan Cam illus mengantarkan mereka sampai ke pintu keluar, Theresa mendekati kekasihnya, berbisik sam bil m enekan tangannya. Kadang-kadang kalau tak ada orang yang m elihat bahkan Theresa m encium nya, semata-mata karena desakan semacam kecongkakan hati. Hari-hari yang penuh kejutan dan kepuasan ini berlangsung selama delapan bulan. Kedua kekasih itu asyik-m asyuk m engecap kebahagiaan yang sem purna. Theresa sudah tidak lagi m erasa jem u m enjalani hidup. Dia tidak m em punyai tuntutan apa-apa lagi. Laurent yang terus-m enerus dijejali m akanan dan dim anjakan m enjadi lebih gem uk dan tidak m em punyai ketakutan apa-apa kecuali berakhirnya kehidupan yang m enyenangkan ini.
BAB IX PADA SUATU sian g ketika Lauren t akan m en in ggalkan kantor untuk m enem ui Theresa, atasannya m em anggilnya dan m engatakan bahwa untuk selanjutnya dia tidak dibenarkan lagi pergi pada jam kerja. Dia sudah terlalu sering m elakukannya. Perusahaan telah m engam bil keputusan untuk m em ecatnya apabila dia m elakukannya lagi. Dengan rasa putus asa ia terpaku sepanjang hari di kursinya. Dia perlu m encari nafkah, dia tidak dapat m em biarkan dirinya dipecat. Malam nya dia m elihat wajah Theresa penuh am arah dan ini m erupakan siksaan lain bagi dirinya. Laurent tidak tahu bagaim ana ia harus m enjelaskan kegagalan m enepati janjinya. Ketika Cam illus sedang m enutup toko, cepat ia m engham piri Th er esa . “Kita tidak m un gkin lagi bertem u,” katan ya berbisik. “Atasanku m elarang aku m eninggalkan kantor.”
Theresa 59 Cam illus kem bali. Laurent terpaksa m enjauh lagi tanpa sempat memberikan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Theresa terperanjat karena kata-katanya yang pendek dan tegas. Hati Theresa geram dan mendongkol karena tidak m au percaya bahwa ada sesuatu yang dapat m engganggu kesenangannya. Sepanjang m alam ia tidak dapat tidur m encari akal untuk pertem uan-pertem uan selanjutnya. Kam is berikutnya ia hanya sem pat berbicara tidak lebih dari satu m enit dengan Laurent. Kecem asan dan kebim bangan m ereka dipertajam lagi oleh kenyataan bahwa m ereka tidak m engetahui tem pat untuk bertemu dan berunding. Pernah Theresa sempat menentukan hari dan jam berkunjung untuk Laurent, tetapi untuk kedua kalinya Laurent gagal datang. Sejak itu Theresa hanya m em punyai satu jalan keluar: dialah yang harus m enem ui Laurent apa pun yang akan terjadi. Dua m inggu berlalu tanpa m ereka dapat bersam a. Baru sekaranglah Laurent m erasakan perlunya Theresa m enjadi m iliknya yang m utlak. Kesenangan yang sudah m em biasa telah m em bangkitkan selera baru dalam dirinya dan sangat kuat tuntutannya. Dia sudah tidak lagi m erasa m alu atau takut m enghadapi pacarnya, bahkan sebaliknya sekarang dia senantiasa m encari dan m endam bakan cum bu rayu Theresa yang bagaikan seekor binatang kelaparan. Darahnya yang bergelora m em bakar pem buluh-pem buluh. Kini, karena m erasa kekasihnya direnggut, gelora nafsu itu m eledak dengan dahsyat. Dia m encintai Theresa setengah m ati. Seakan- akan akal-budinya telah m eninggalkannya dan m em buatnya m enjadi m anusia binatang. Yang diperturutkannya sekarang hanyalah naluri hewaniahnya, m em biarkan dirinya dihela tuntutan jasm aniahnya. Mungkin, setahun yang lalu ia akan tertawa terbahak-bahak kalau ada orang yang m engatakan bahwa dia dapat menjadi budak seorang perempuan sebagai imbalan
60 Emile Zola kem alasannya. Tanpa disadarinya benih-benih nafsu telah bekerja dalam dirinya dan m enyerahkannya dengan tangan dan kaki terbelenggu kepada cum bu rayu lem but Theresa. Sekarang barulah dia m erasa takut akan kehilangan akal sehatnya. Itulah sebabnya dia tidak berani berkunjung ke Passage du Point-Neuf di malam hari, karena khawatir akan berbuat kecerobohan. Dia sudah tidak lagi m enguasai dirinya. Kekasihnya, dengan segala sifatnya yang seperti kucing dan kekerasan hatinya yang hebat, sedikit demi sedikit masuk merasuk ke dalam setiap urat dalam dirinya. Dia m em erlukan perem puan ini dem i hidupnya, seperti halnya orang m em erlukan m akan dan m inum . Mungkin sekali dia sudah m elakukan sesuatu yang tidak senonoh andaikata tidak m enerim a surat dari Theresa yang m em inta supaya dia tinggal di rum ah esok harinya. Theresa berjanji akan datang m enem uinya pada pukul delapan m alam . Ketika pulang kantor dia berhasil m elepaskan diri dari Cam illus dengan dalih m erasa capai dan ingin langsung pulang untuk tidur. Setelah m akan m alam , Theresa pun m em ainkan peranannya. Theresa, sesudah makan bermain sandiwara juga: ia berbicara tentang seorang langganan yang pergi tanpa m em bayar, pura- pura marah sekali dan bersikeras akan pergi untuk menagih uangnya. Langganan itu tinggal di Batignolles. Madam e Raquin dan Cam illus beranggapan perjalanan itu terlalu jauh tanpa harapan akan berhasil, namun mereka tidak menghalangi maksud Theresa. Mereka m em biarkannya pergi. Theresa bergegas ke Wine Port. Dalam ketergesa-gesaannya sering dia tergelincir di jalan kerikil berlumpur dan bertabrakan dengan orang yang lalu-lalang. Mukanya basah oleh keringat, tangannya m em anas karena tegang. Ia tam pak seperti orang mabuk. Dengan cepat dia menaiki tangga rumah penginapan Laurent. Di lantai ketujuh, dengan nafas ham pir habis, dia m elihat Laurent bertelekan ke sandaran tangga, sedang m enanti.
Theresa 61 Theresa m em asuki kam ar Laurent di loteng. Ruangan itu dem ikian sem pitnya, sehingga sukar untuk bergerak leluasa. Dia melepaskan topi lalu bersandar ke ranjang, setengah pingsan.... J endela atap yang terbuka lebar m em ancarkan kesejukan ke atas ranjang yang m em bara. Cukup lam a m ereka berada di sana, seperti di dalam gua. Tiba-tiba Theresa mendengar lonceng berbunyi sepuluh kali. Mau rasanya dia tuli. Dengan rasa berat dia bangun, lalu m elihat ke sekeliling ruangan yang tidak sem pat diperhatikannya tadi. Diam bilnya topinya, m engikatkan talinya, duduk kem bali seraya berkata pelan-pelan, “aku harus pulang.” Laurent berlutut di dekatnya, lalu m enggenggam tangan Th er esa . “Selam at tinggal,” kata Theresa tanpa bergerak. “J an gan selam at tin ggal,” Lauren t m en jawab seten gah berteriak. “Itu terlalu tidak pasti.... Bila engkau kem bali?” Theresa m enatap m ata Laurent. “Engkau ingin aku berterus terang? Baik. Aku tidak percaya akan bisa datang lagi. Aku tidak m em punyai dalih, aku tidak dapat menemukan dalih lagi.” “Artinya kita harus saling m engucapkan selam at berpisah.” “Tidak, aku tidak m au!” Theresa mengucapkan kata-kata itu dengan marah dan hati kacau. Lalu, tanpa m enyadari apa yang dikatakannya dan tanpa bergerak sedikit pun dari kursinya dia m enam bahkan lagi dengan perlahan-lahan, “aku pergi.” Laurent berpikir. Dia berpikir tentang Cam illus. “Aku tidak m em ben cin ya,” akhirn ya dia berkata tan pa m enyebut nam a orang yang dia m aksud, “tetapi dia benar- benar menghalangi kita.... Dapatkah engkau membebaskan diri daripadanya dem i kita? Suruhlah dia pergi ke m ana saja asal jauh.”
62 Emile Zola “Menyuruh dia jalan-jalan,” jawab Theresa m enggelengkan kepala. “Engkau kira laki-laki m acam dia m au bepergian?.... Hanya ada satu perjalanan tanpa kem bali.... Tetapi dia akan m engubur kita sem ua. Orang-orang yang hidupnya bergantung kepada seutas benang tidak pernah mati.” Sunyi. Laurent m aju, m asih dalam keadaan berlutut, m erapatkan tubuhnya dan m enekankan kepalanya ke dada Th er esa . “Aku punya im pian,” katanya. “Aku ingin sekali m enghabiskan semalam suntuk bersamamu, tidur dalam pelukanmu dan pagi-pagi dibangunkan kecupan bibirm u.... Aku ingin m enjadi suam im u.... Kau paham ?” “Ya, ya,” jawab Theresa, suaranya bergetar. Tiba-tiba saja dia m em egang kepala Laurent lalu m encium i seluruh wajahnya. Tali topinya terasa bersentuhan dengan jenggot Laurent yang kasar; Theresa lupa bahwa ia sudah berpakaian dan pakaiannya dapat m enjadi kerisut. Dia m enangis. Di antara cucuran air mata dia mengucapkan kalimat terputus-putus, “J angan berkata begitu, nanti aku tidak m em punyai kekuatan untuk pulang dan terpaksa tinggal di sini.... Sebaiknya besarkan hatiku. Katakan bahwa kita akan bertem u lagi.... Bukankah engkau memerlukanku dan bahwa pada suatu hari kita akan menemukan jalan untuk tetap bersama?” “Kalau begitu kem balilah, kem balilah besok,” jawab Laurent, tangannya yang gem etar m enjalar ke pinggang Theresa. “Tetapi aku tidak dapat datang... sudah kukatakan tadi aku tidak m em punyai dalih untuk m eninggalkan rum ah.” Theresa m engepalkan tangannya. Lalu berbicara lagi, “Oh! Aku sendiri tidak takut pada kehebohan. Kalau engkau m enghendaki, akan kukatakan kepada Cam illus setiba di rum ah bahwa engkau kekasihku dan bahwa aku akan kembali untuk m enginap di sini.... J ustru engkaulah yang aku pikirkan. Aku tidak m au m erusak hidupm u. Aku ingin m em buatm u bahagia.”
Theresa 63 Kehati-hatian pem uda itu bangkit kem bali. “Engkau benar,” katanya. “Kita tidak boleh berlaku seperti anak-anak. Ah, seandainya suam im u itu m ati.” “Kalau suam iku m ati...,” Theresa m engulangnya perlahan. “Kita dapat kawin, tak ada yang perlu ditakutkan lagi, kita akan m ereguk kenikm atan cinta sepenuhnya.... Betapa indah dan m anisnya!” Theresa duduk tegak. Pipinya pucat, dia m em andang kekasihnya dengan sedih, kedua bibirnya m erapat kencang. “Oran g m em an g dapat m ati,” akhirn ya dia bergum am . “Hanya m enjadi berbahaya bagi yang tinggal hidup.” Laurent tidak m enjawab. “Kau lihat,” lanjut Theresa, “sem ua cara yang kita ketahui, buruk.” “Engkau salah paham ,” jawab Laurent tenang. “Aku bukan orang dungu, aku ingin m encintaim u dalam kedam aian.... Aku hanya berpikir bahwa kecelakaan dapat terjadi setiap hari, kaki tergelincir, genting yang jatuh.... Mengerti? Dalam hal seperti itu, tak ada yang dapat dipersalahkan kecuali angin.” Suara Laurent terdengar aneh. Dia tersenyum lalu m elanjutkan dengan nada m erayu, “Sudahlah, jangan khawatir, kita akan tetap saling m encintai, kita akan hidup bahagia.... Kalau kita tak dapat bertemu untuk beberapa bulan, jangan lupakan aku, camkanlah bahwa aku sedang bekerja untuk kebahagiaan kita.” Ketika Theresa hendak m em buka pintu, Laurent m enangkap t a n ga n n ya . “Engkau betul-betul m ilikku, bukan? Maukah kau bersum pah bahwa engkau akan m enyerahkan seluruh dirim u kepadaku, setiap saat, setiap waktu aku m em intanya?” “Ya,” jawab Theresa tegas, “aku m ilikm u. Engkau boleh berbuat apa saja terhadapku.”
64 Emile Zola Untuk sejenak m ereka berdiri tegang dan sunyi. Lalu, tiba- tiba Theresa melepaskan diri dan tanpa menengok kembali berlari keluar m enuruni anak tangga. Laurent m endengarkan suara langkah yang m akin lam a m akin m enjauh. Setelah tidak mendengar apa-apa lagi, barulah dia kembali ke ranjangnya kem udian tidur. Seprainya m asih hangat. Dadanya terasa sesak dalam ruang kecil yang ditinggali kehangatan gairah Theresa. Ia m erasa bahwa paru-parunya m asih m enghirup sesuatu dari kekasihnya. Theresa pernah berada di sana, m enebarkan harum yang tajam . Dan sekarang, ia hanya dapat m em eluk bayangan kekasihnya yang m asih m eliuk-liuk di hadapannya. Darahnya bergolak akibat berahi yang bangkit kem bali dan tak tersalurkan. Laurent tidak m enutup atap jendela. Dengan terlentang dan kedua belah lengan merentang, telapak terbuka, dia mencari kesejukan, berpikir sambil menatap sepetak langit biru gelap yang berpigurakan jendela atap terbuka. Hingga pagi hari benaknya dipenuhi pikiran yang sam a. Sebelum Theresa datang, tak pernah terpikir olehnya untuk m em bunuh Cam illus. Tadi dia berkata tentang kem atian Cam illus, terdorong oleh kenyataan, terganggu oleh pikiran bahwa ia tak akan bertem u kekasihnya lagi. Begitulah aspek baru dari watak yang tak disadari m encuat ke perm ukaan; dalam gelora perzinaan itu dia mulai ingat kepada membunuh. Sekarang, dalam keadaan lebih tenang dan m enyendiri dalam kesunyian, dia m erenungkan niatnya. Pikiran tentang m atinya Cam illus yang m encetus di sela-sela bercium an, kini kem bali lagi secara lebih mendesak. Dalam keadaan diri terguncang oleh kesukaran tidur dan saraf-saraf berada di puncak ketegangan karena bau harum peninggalan Theresa yang terus-m enerus m erangsang, Laurent m erencanakan penghadangan terhadap Cam illus, diperhitungkannya kem ungkinan gagal, ditinjaunya kem bali keuntungan-keuntungan yang akan diraihnya dari pembunuhan itu.
Theresa 65 Sem ua kepentingannya m endorongnya kepada kejahatan itu. Dibisikkannya kepada dirinya sendiri bahwa ayahnya, petani dari J eufose, belum siap untuk m ati. Mungkin sekali dia terpaksa harus tetap menjadi juru tulis untuk selama sepuluh tahun lagi, makan di rumah makan murahan, hidup tanpa perem puan di loteng. Pikiran itu m enyesakkannya. Sebaliknya, dengan kem atian Cam illus dia dapat m engawini Theresa, dia dapat m ewarisi kekayaan Madam e Raquin, dia dapat berhenti bekerja dan m enghabiskan waktunya dengan berm alas-m alasan di sinar m atahari. Telah terbayang olehnya betapa senangnya dia hidup bermalas-malasan; tidak usah bekerja, makan dan tidur, m enunggu dengan sabar saat kem atian bapaknya. Dan ketika kenyataan m em buyarkan im piannya ini, tam paklah lagi Cam illus berdiri m enghalangi di hadapannya. Laurent m engepalkan tinjunya dengan gem as seakan-akan hendak m enghantam nya. Laurent m engingini Theresa, ia m engingininya hanya untuk dirinya sendiri, dan selalu berada di dekatnya. Kalau dia tidak berhasil m enyingkirkan suam inya, m aka istrinya akan terlepas dari tangannya. Theresa sudah m engatakan: dia tidak dapat datang lagi. Dengan senang hati dia bersedia melarikan Theresa, m em bawanya kabur ke m ana saja, tetapi... keduanya akan m ati kelaparan. Dengan m em bunuh suam i kekasihnya risikonya akan lebih kecil; tidak akan terjadi kehebohan, dia hanya m enyingkirkan seorang laki-laki dan m enggantikan tem patnya. Menurut jalan pikiran petaninya yang kasar ia m enganggap hal itu sebagai suatu rencana yang bukan m ain bagusnya dan sangat wajar. Bahkan sifat kehati-hatiannya yang sudah m enjadi pem bawaannya tetap m enganjurkan m engam bil jalan keluar yang pendek seperti itu. Dia berguling di ranjangnya, badan berkeringat, tidur tengkurap, m em benam kan wajah yang basah ke bantal yang pernah ditiduri Theresa dengan ram but terurai. Dijepitnya sarung bantal dengan kedua bibirnya yang kering, dihirupnya
66 Emile Zola bau parfum yang sudah m ulai m enipis. Lam a dia berbaring begitu, nafasnya tertahan ham pir m elem askan, m em perhatikan garis-garis cahaya yang berkelebatan di hadapan m atanya yang tertutup. Dia bertanya kepada dirinya sendiri bagaim ana ia dapat m em bunuh Cam illus. Setelah terasa sesak, tiba-tiba dia m em balikkan badan, m atanya terbuka lebar dan angin yang sejuk dari jendela m em belai-belai wajahnya. Matanya m encari bintang- bintang, m enatap langit yang kebiru-biruan, m encari ilham untuk m enyusun rencana pem bunuhan. Dia tidak m enem ukan apa-apa. Seperti telah dikatakannya kepada kekasihnya, dia bukanlah anak kecil, atau dungu. Dia tidak berm aksud m enggunakan belati atau racun. Yang diinginkannya ialah kejahatan yang betul-betul terselubung, terlaksana tanpa risiko, semacam mati lemas karena kecelakaan, tanpa jeritan dan keributan. Nafsu angkaranya tidak berhasil m endesaknya berbuat ceroboh, karena seluruh dirinya dengan tegas m em inta supaya ia berhati-hati. Sedikit dem i sedikit rasa kantuk m enguasainya juga. Udara yang sejuk telah m engusir bayangan Theresa yang hangat dan harum dari ruang kecil itu. Dalam keadaan lelah dan tenang Laurent terbaring tak berdaya bagaikan terbius. Sebelum tertidur m asih sem pat dia m engam bil keputusan untuk m enunggu datangnya kesem patan yang lebih m enguntungkan, dan m akin m engantuk, niat yang berkecam uk dalam benaknya m enidurkannya, sam bil bergum am , “akan kubunuh dia. Akan kubunuh dia.” Lim a m enit kem udian dia sudah pulas, nafasnya naik turun dengan teratur. Theresa tiba di rumah pukul sebelas. Dengan kepala panas dan pikiran tegang dia tiba di Passage du Point-Neuf tanpa m enyadari dari arah m ana dia datang. Menurut perasaannya dia m asih m enuruni tangga dari kam ar Laurent, karena telinganya m asih penuh dengan kata-kata Laurent. Madam e Raquin dan Cam illus m enunggunya dengan cem as. Dia m enjawab pertanyaan-
Theresa 67 pertanyaan m ereka dengan pendek, m engatakan bahwa usahanya tidak berhasil dan harus menunggu bis selama satu jam. Ketika naik ke ranjang, terasa seprainya dingin dan lem bap. Tubuhnya yang m asih panas bergidik karena m erasa jijik. Cam illus segera saja tertidur. dan untuk beberapa saat Theresa m em andangi wajah pucat yang tolol, dengan m ulut ternganga, tergeletak di atas bantal. Theresa m enjauh. Mau rasanya dia m enghantam m ulut itu dengan tinjunya.
BAB X HAMPIR TIGAm inggu telah berlalu. Laurent m erenungtiap m alam di toko. Ia seperti kelelahan, seperti sakit. Lingkaran-lingkaran biru m engelilingi kedua m atanya, bibirnya pucat dan m erekah. Walau demikian ia masih tetap bersikap tenang, masih bisa m enatap wajah Cam illus dan m asih bersikap bersahabat. Melihat Laurent begitu lesu, Madam e Raquin m akin m em anjakannya. Theresa pun tetap m em pertahankan topeng yang kaku dan suram. Dia menjadi lebih diam, lebih sukar didekati, lebih tenang daripada biasa. Tam paknya Laurent benar-benar dianggap tak ada. Hampir tidak pernah Theresa melemparkan pandangan kepadanya, m engajak bicara pun jarang sekali, dan perlakuannya kepada Laurent betul-betul tidak acuh. Madam e Raquin yang berhati baik merasa terganggu melihat sikap Theresa seperti itu, sehingga kadang-kadang dia berkata kepada Laurent, “jangan hiraukan kekakuan kem enakanku itu. Aku cukup m engenalnya,
Theresa 69 m ukanya saja yang dingin tetapi hatinya hangat dengan segala kelem butan dan keram ahannya. Kedua orang yang saling m encintai itu belum sem pat dapat bersam a lagi. Sejak m alam di Rue Saint-Victor itu m ereka belum lagi memperoleh kesempatan untuk berdua-duaan. Malam hari keduanya duduk berhadap-hadapan dengan tenang, yang satu seperti asing untuk yang lain, padahal badai hasrat asm ara yang mengguncangkan batin sedang berkecamuk di bawah permukaan yang tenang itu. Pada saat-saat seperti itu Theresa m erasakan adanya kem arahan, kepengecutan dan pencem oohan yang kejam dalam hatinya. Sedang Laurent m erasakan gelom bang- gelom bang kebuasan dan keragu-raguan yang m em edihkan. Keduanya tidak berani m engintip ke dalam hati m asing-m asing, ke dalam kegetiran gejolak batin masing-masing. Bila kebetulan ada kesem patan, di belakang pintu, tanpa kata sepatah pun mereka saling memeluk dengan keras dan kasar sekali sampai-sampai tangan masing-masing terasa seolah-olah akan patah. Begitu bernafsunya, sehingga rasanya m ereka m au m erobek daging m asing-m asing dengan jari-jem arinya. Pada kesem patan seperti itu hanya tanganlah yang dapat dipergunakan untuk melampiaskan keinginan. Melalui tangan itulah mereka m enyalurkan seluruh hasrat. Masing-m asing tidak m enuntut apa- apa lagi. Mereka menunggu. Pada suatu malam J umat, sebelum bermain domino, tamu- tamu keluarga Raquin seperti biasa berbincang-bincang dahulu. Michaud tua dim inta bercerita tentang pekerjaannya dahulu dan pengalam an-pengalam annya yang aneh di saat ia sendiri ikut terlibat. Grivet dan Cam illus bergantung kepada bibir pensiunan polisi itu dengan air m uka anak-anak yang sedang m endengarkan cerita si J enggot Biru atau si Kelingking. Cerita Michaud m enarik perhatian mereka.
70 Emile Zola Di akhir cerita tentang suatu pem bunuhan yang m engerikan, Michaud m enam bahkan lagi sam bil m enggelengkan kepala, “dan tidak sem ua rahasia dapat terungkap.... Betapa banyak kejahatan yang tidak terbongkar! Betapa banyak pem bunuh yang dapat lolos dari pengadilan m anusia!” “Apa!” seru Grivet heran. “Maksud Tuan, di jalanan itu banyak bajingan-bajingan pem bunuh yang m asih berkeliaran?” Oliver tersenyum m engejek. “Tuan Grivet yang baik,” katanya dengan suara kasar, “kalau m ereka tidak ditangkap, itu karena tidak seorang pun tahu bahwa mereka pernah membunuh.” Keteran gan in i tidak m em uaskan Grivet. Cam illus m endukungnya. “Saya sependapat dengan Tuan Grivet,” katanya dengan kebanggaan yang dungu. “Saya perlu m endapat kepastian bahwa polisi m am pu dan saya tidak m au bersentuhan lengan dengan pembunuh di jalan-jalan.” Oliver m erasakan adanya serangan pribadi dalam kata- kata itu. “Polisi m em ang m em punyai kem am puan itu,” katanya dengan nada m arah. “Tetapi kam i tidak dapat m elakukan yang tidak m ungkin. Banyak bajingan yang m em pelajari kejahatan langsung dari setan. Bahkan dari Tuhan m ereka dapat lolos.... Begitu kan, Ayah?” “Betul, betul,” Michaud tua m enyetujuinya. “Ketika saya di Vernon Nyonya pasti ingat, Madam e Raquin—seorang tukang pedati dibunuh di jalan raya. Tubuhnya yang dicincang-cincang ditem ukan di sebuah parit. Pem bunuhnya sam pai sekarang tidak pernah diketahui. Mungkin sekali dia masih hidup sekarang, mungkin sekali dia tinggal di dekat sini, dan mungkin sekali Tuan Grivet akan bertem u di jalan kalau pulang nanti.” Wajah Grivet m enjadi pucat pasi. Dia tidak berani m enoleh ke belakang, seolah-olah pembunuh tukang pedati itu sedang berdiri di belakangnya. Walau dem ikian, sebetulnya dia m erasakan ada kenikmatan dalam takut itu.
Theresa 71 “Ah, tidak,” katanya ham pir tak m enyadari apa yang dikata- kannya, “tidak! Saya tak percaya.... Tapi saya pun punya sebuah cerita. Ada seorang pelayan perem puan yang dipenjarakan karena disangka m encuri barang-barang perak m ilik m ajikannya. Dua bulan kemudian, ketika seseorang menebang sebatang pohon, barang-barang itu ditem ukan dalam sebuah sarang burung. Bu- rung itulah yang m encurinya. Pelayan tadi dibebaskan.... Nah, jelas, yang salah selalu m endapat hukum an.” Grivet m erasa m enang. Oliver tertawa m engejek. “Karena itu,” kata Oliver, “burung itu lalu dipenjarakan.” “Bukan begitu m aksud Tuan Grivet,” Cam illus m em otong, m arah m elihat atasannya dicem oohkan..., “Ibu, sebaiknya kita main domino saja.” Ketika Madam e Raquin m engam bil kartu, sam bung Cam illus, ditujukan kepada Michaud, “jadi, Tuan m engakui bahwa polisi tidak berdaya? Tuan m engakui, banyak pem bunuh yang m asih bebas berkeliaran?” “Sayang, tetapi begitulah kenyataannya.” “Am oral sekali,” Grivet m enam bahkan. Selam a percakapan itu Laurent dan Theresa tidak m em buka m ulut. Bahkan kebodohan Grivet pun tidak m em buat m ereka tersenyum . Sam bil bertelekan ke m eja, dengan wajah sedikit pucat, m ata tidak tenang, keduanya m engikuti pem bicaraan dengan penuh perhatian. Sesaat mata mereka bertemu, gelap dan berkilat. Titik-titik keringat membasahi kulit kepala Theresa, dan rasa dingin m em buat kulit Laurent bergetar sedikit.
BAB XI SEKALI-SEKALI PADA hari Minggu, kalau udara cerah, Cam illus suka m en gajak Theresa berjalan -jalan di Cham ps-Elysees. Theresa sendiri lebih suka tinggal di toko yang gelap dan lem bap. Dia sudah m erasa capai dan bosan digandeng suam inya yang sebentar-sebentar berhenti di muka kaca etalase toko, bosan dengan om ongan-om ongannya yang dungu, dengan pendapat- pendapatnya dan diam nya. Tetapi Cam illus tetap m em aksa. Dia senang m em am erkan istrinya. Kalau kebetulan bertem u dengan salah seorang atasannya, hatinya penuh rasa bangga dapat berbasa-basi di hadapan istrinya. Selain dari itu, ia suka berjalan- jalan sem ata-m ata hanya untuk berjalan-jalan, m enggusur-gusur kaki dengan berlagak, hampir tanpa bercakap, kaku dan canggung dalam pakaian hari m inggunya. Theresa sudah m erasa tidak tahan lagi bergandengan tangan dengan laki-laki seperti itu. Kalau m ereka hendak berjalan-jalan, Madam e Raquin suka m engantar anak-anaknya sam pai sejauh ujung Passage. Dia m encium keduanya seperti m ereka hendak bepergian jauh.
Theresa 73 Setelah itu m em beri m ereka setum puk nasihat dan m em intanya agar baik-baik menjaga diri. “Terutam a sekali,” katanya, “hati-hatilah terhadap segala kem ungkinan kecelakaan.... Banyak sekali kereta sim pang-siur di Paris! Berjanjilah tidak akan m asuk dalam kerum unan orang....” Akhirnya dia m elepaskan m ereka, m engikutinya dengan m ata untuk beberapa lam a. Barulah setelah itu dia kem bali ke toko. Kedua kakinya sudah terasa berat, tidak sanggup lagi berjalan jauh-jauh. Pada kesem patan lain, tapi ini tidak begitu sering, Cam illus dan istrinya berjalan-jalan ke luar kota. Mereka pergi ke Saint- Ouen atau ke Asnieres, m akan ikan goreng di salah satu restoran yang ada di sepanjang sungai. Piknik seperti itu m erupakan suatu kejadian besar, sehingga perlu dibicarakan sebulan sebelum nya. Dan Theresa lebih sudi, hampir merasa bahagia malah, bepergian seperti ini yang m em bawanya keluar, berada di udara segar sampai pukul sepuluh atau sebelas malam. Saint-Ouen dengan pulau-pulaunya yang hijau m engingatkannya kepada Vernon. Di sana dia m erasakan kem bali kecintaannya yang kuat kepada Sungai Seine semasa kecil. Suka sekali dia duduk di atas jalan berkerikil di tepi sungai, merendamkan kedua tangan dalam air. Terasa gairah hidupnya bangkit kem bali di bawah terik m atahari yang panasnya sudah dilem butkan oleh udara sejuk dari tem pat yang teduh. Berlainan dengan Theresa yang tak peduli pakaiannya menjadi kerisut dan kotor karena batu-batuan dan lumpur, Cam illus apik sckali; ia m engham parkan dulu saputangannya untuk alas, kem udian baru duduk di sebelah istrinya dengan hati-hati sekali. Akhir-akhir ini pasangan suam i istri itu ham pir selalu m engajak serta Laurent, oleh karena Laurent dapat m enggem birakan m ereka dalam perjalanan dengan tawanya yang cerah dan daya hidup petaninya.
74 Emile Zola Pada suatu hari Minggu, Cam illus, Theresa dan Laurent berangkat menuju Saint-Ouen kira-kira pukul sebelas, setelah m akan siang. Piknik ini telah dibicarakan jauh sebelum nya dan akan m erupakan yang terakhir untuk m usim panas ini. Musim rontok sudah m enunjukkan tanda-tanda kedatangannya, angin dingin sudah mulai membuat orang menggigil di malam hari. Hari itu langit masih berwarna biru. Di udara terbuka hawa terasa panas, sedang di bawah kerindangan pohon-pohon, terasa hangat. Mereka hendak menikmati sinar terakhir matahari m usim panas ini sebanyak-banyaknya. Ketigan ya beran gkat den gan n aik kereta, m en in ggalkan Madame Raquin tua dalam keadaan mengomel dan gelisah. Setelah melintasi Paris, mereka turun di daerah perbentengan lalu melanjutkan perjalanan ke Saint-Ouen dengan berjalan kaki menelusuri jalan besar. Matahari sedang tepat berada di puncak langit. J alan yang berdebu tam pak putih m enyilaukan bagai salju dalam siram an cahaya m atahari. Udara sangat panas, berat dan m enyengat. Theresa berjalan perlahan -lahan digan den g Cam illus, m elindungi dirinya dengan payung. Sedangkan suam inya m engusap-usap wajahnya dengan saputangan lebar. Laurent berjalan di belakang m ereka. Matahari m enyengat tengkuknya, nam un dia seperti tidak m erasakannya. Dia bersiul-siul, menendang-nendang batu kecil dan sekali-sekali melirik dengan m ata berkilat-kilat ke arah pinggul kekasihnya yang bergoyang- goyang di hadapannya. Setelah sampai di Saint-Ouen, cepat-cepat mereka mencari tempat berumput seperti permadani di bawah keteduhan dedaunan yang rim bun. Mereka m asuk ke sebuah pulau, lalu m asuk ke dalam hutan. Daun-daun yang berguguran telah menebal berlapis-lapis di atas tanah, sebuah karpet padat empuk berwarna kem erah-m erahan yang bergem erisik di bawah kaki
Theresa 75 m ereka. Batang-batang pohon m enjulang tegak bagaikan tiang- tiang yang tak terbilang jum lahnya. Ranting-rantingnya yang berdaun rim bun bergelantungan m enyapu kepala orang-orang yang berjalan, sehingga pandangan m ata si pejalan hanya terbatas sam pai kepada ham paran daun-daun gugur yang berwarna kecoklat-coklatan, batang-batang pohon aspen atau pohon oak. Mereka sudah berada di dalam hutan belukar di suatu tempat pengasingan diri, di tem pat yang sem pit dan terpencil, sunyi dan sejuk. Di sekelilingnya m ereka m endengar suara arus air Sungai Sein e. Cam illus m em ilih tem pat yang kering, lalu duduk dengan hati-hati, m enjaga jangan sam pai bajunya kotor. Tetapi Theresa, dengan rok dalam nya yang lebar m enjatuhkan diri ke atas daun-daunan. Wajahnya ham pir tersem bunyi tertutup lipatan- lipatan bajunya. Salah satu kakinya tersingkap sam pai ke lutut. Laurent, dengan berbaring di atas perut dan dagu m engenai tanah, m enatap kaki yang tersingkap itu, sam bil m endengarkan kawannya berbicara m engharapkan pem erintah m erubah pulau- pulau di Sungai Seine menjadi taman-taman seperti di Inggris, diberi pagar, jalan-jalannya berpasir dan pohon-pohonnya dipangkasi, seperti Taman Tuileries. Tiga jam lam anya m ereka habiskan di tem pat itu, m enanti m atahari agak berkurang panasnya, sehingga m ereka dapat berjalan melalui daerah pedalaman sebelum makan malam. Cam illus berbicara tentang kantornya dan cerita-cerita lain yang tidak lucu, lalu m erasa capai, berbaring, lalu tertidur. Wajahnya ditutup dengan topi. Theresa memejamkan mata dan berpura- pura seakan-akan sudah lama tertidur. Dengan perlahan-lahan Laurent m endekati Theresa. Bibirnya dijulurkan m encium sepatu dan m ata kaki Theresa. Ketika bibirnya m enyentuh kulit sepatu dan kaos kaki putih m ulutnya terasa hangat karena nafsu. Bau tanah yang tajam
76 Emile Zola bercam pur bau parfum Theresa yang nyam an m erasuk ke dalam rongga dadanya, m endidihkan darahnya dan m enyentak-nyentak urat-urat sarafnya. Sebulan lam anya dia hidup suci karena terpaksa. Perjalanan di bawah sinar matahari ke Saint-Ouen telah m enyalakan api gairah dalam dirinya. Sekarang, di tem pat yang tersem bunyi, m asih belum dapat dia m endekap perem puan itu, perem puan m iliknya. Suam i perem puan itu bisa terjaga sewaktu- waktu, m elihatnya, dan akan rusaklah segala kewaspadaan dan kehati-hatian yang telah dilakukannya dengan cerm at. Laki-laki itu benar-benar menjadi penghalang. Dengan berbaring rapat ke tanah, bersem bunyi di balik tum pukan rok Theresa, dengan badan gem etar dan perasaan jengkel, Laurent m encuri-curi mencium sepatu dan kaos kaki Theresa. Theresa berbaring seperti orang m ati. Laurent m engira dia tidur. Dia bangkit, punggungnya terasa sakit, lalu bersandar pada sebatang pohon. Barulah diketahuinya bahwa Theresa tidak tidur melainkan sedang menatap langit dengan mata terbuka lebar dan bersinar-sinar. Wajahnya yang terletak di antara kedua lengan yang direntangkan ke atas tam pak pucat, kaku dan dingin. Theresa sedang berpikir. Matanya yang terbuka lebar seakan- akan m erupakan sebuah jurang yang dalam dan kelam yang tidak mencerminkan apa-apa kecuali kegelapan. Dia tidak bergerak, tidak m elirik kepada Laurent yang sekarang sudah berdiri di b ela ka n gn ya . Laurent m em andanginya. Ada perasaan takut pada dirinya m elihat Theresa begitu diam , tidak bereaksi terhadap cum buannya. Wajah pucat dan kaku itu yang seakan-akan m elayang-layang di atas lipatan-lipatan rok membangkitkan rasa takut, tetapi sekaligus juga hasrat yang m enyala-nyala. Mau rasanya dia m em bungkuk untuk m enutup m ata yang terbelalak itu dengan sebuah ciuman. Namun, dekat di sebelah Theresa, terbaring Cam illus. Makhluk buruk yang berbaring agak m iring sehingga
Theresa 77 jelas kekurusannya, m endengkur dengan teratur. Di bawah topi yang m enutupi wajahnya, kelihatan m ulutnya ternganga, bibirnya agak tertarik, sehingga tam pak seperti m enyeringai. Bulu-bulu kem erah-m erahan tersebar m enutupi dagu yang kecil, m enodai kulitnya yang putih. Karena kepalanya agak tertarik ke belakang, m aka lehernya yang kurus jelas sekali kelihatan. J akun yang m enonjol turun naik bersam aan dengan setiap nafas yang ditariknya. Di m ata Laurent Cam illus kelihatan hina dan m en gga n ggu . Tiba-tiba Laurent m engangkat tum itnya. Dia bernafsu sekali hendak m enghancurkan wajah Cam illus dengan sekali tendang. Theresa m em ekik pelan. Mukanya sem akin pucat dan m atanya tertutup. Dia m em alingkan kepala seakan-akan takut terkena percikan darah. Untuk beberapa detik Laurent tetap dalam sikap dem ikian, tum itnya terangkat di atas Cam illus yang sedang tidur. Lalu, dengan perlahan-lahan sekali dia m enarik kem bali kakinya, dan pergi m enjauh beberapa langkah. Dia berkata kepada dirinya sendiri, hanya orang sinting yang m em bunuh dengan cara begitu. Kepala yang hancur akan m enggiring seluruh kekuatan polisi kepada dirinya. Dia ingin terbebas dari Cam illus dengan hanya satu tujuan: kawin dengan Theresa. Dia mau tetap hidup bebas setelah kejahatan dilakukan, seperti bebasnya pem bunuh tukang pedati yang diceritakan Michaud tua. Laurent pergi ke tepi sungai, m elihat arus air dengan pandangan yang ham pa. Tiba-tiba dia kem bali. Dia telah m em buat suatu rencana, dia telah m em ikirkan suatu pem bunuhan yang gam pang, yang tidak akan m em bahayakan dirinya. Laurent m em bangunkan yang tidur dengan m enggelitik- gelitik hidungnya dengan rum put. Cam illus bersin lalu bangkit, dan m enganggap kelakuan Laurent sebagai gurau yang bagus. Dia m enyukai Laurent karena lelucon-leluconnya yang selalu
78 Emile Zola m em buatn ya tertawa. Setelah itu Cam illus m em ban gun kan istrinya yang m asih m erem . Setelah Theresa m em bereskan gaunnya yang kerisut dan penuh dengan dedaunan, ketiganya b er a n gka t . Mereka m eninggalkan pulau, berjalan sepanjang jalan yang penuh dengan orang yang sedang berlibur. Gadis-gadis dengan pakaian cerah berlari-lari antara pagar-pagar hidup. Sekelompok pendayung m endayung sam bil berdendang. Pasangan borjuis, orang-orang yang telah berum ur lanjut, pegawai-pegawai dengan istrinya berjalan perlahan-lahan beriring-iringan. Setiap jalan penuh dan ram ai. Hanya m atahari saja yang m asih tetap tenang, setapak demi setapak memasuki kaki langit barat sambil m enebarkan cahaya lem ah ke pepohonan yang sudah kem erah- m erahan, dan ke atas jalan-jalan yang m em utih. Dari langit yang sudah m enyejuk m ulai terasa udara yang dingin. Cam illus tidak m enggandeng Theresa. Dia berjalan di sam ping Laurent, tertawa-tawa karena lelucon-lelucon dan ketangkasan kawannya, seperti m elom pati selokan dan m em ungut batu- batu karang yang besar dan berat. Theresa berjalan di tepi jalan yang satunya lagi sam bil m enundukkan kepala. Sekali-sekali dia m em bungkuk m enjum put rum put. Kalau sudah berada di belakang mereka dia berhenti, lalu memperhatikan suami dan kekasihnya dari kejauhan. “Hai! Sudah lapar?” akhirnya Cam illus bertanya kepada Th er esa . “Ya,” jawabnya. “Baik, m ari!” Theresa tidak merasa lapar, melainkan lelah dan gelisah. Dia tidak m engetahui rencana Laurent. Kedua kakinya gem etar. Ketiganya kem bali ke tepi sungai, Ialu m encari restoran. Dalam sebuah rum ah m akan m urah yang bau lem ak dan anggur m ereka m enem ukan sebuah m eja kosong di beranda dari kayu.
Theresa 79 Suara orang berteriak-teriak, bernyanyi-nyanyi dan piring-piring bersentuhan menguasai tempat itu. Setiap kamar makan, baik yang khusus m aupun yang um um , dipenuhi sekelom pok orang yang berbicara keras-keras dan penyekat yang tipis m enam bah nyaring suara hiruk-pikuk itu. Para pelayan m em buat tangga bergoyang kalau m ereka m enaikinya. Di beranda lantai atas bau lemak terbakar hilang diembus angin dari sungai. Sambil bersandar kepada tangan Theresa m em andang ke arah sungai. Di kedua tepinya berjajar tem pat berjualan minuman segar dan kedai-kedai kecil. Di tempat teduh di bawah pepohonan yang daun-daunnya telah m enguning dia dapat m elihat putihnya taplak-taplak m eja, hitam nya jas-jas lelaki dan cerahnya gaun-gaun perem puan. Orang-orang hilir- mudik tanpa topi, berlari-lari sambil berteriak-teriak. Nada-nada sedih akordion m enam bah kehiruk-pikukan yang ditim bulkan oleh suara m anusia. Bau orang m enggoreng dan bau debu bergantung di udara yang tenang. Di bawah Theresa sekelom pok gadis dari Latin Quarter berdansa berputar-putar sam bil m enyanyikan lagu kanak-kanak, di atas tanah berum put yang sudah rusak. Dengan topi di atas baju dan rambut terurai, mereka berpegangan tangan, bermain seperti anak kecil. Seakan-akan mereka menemukan kembali suara rem ajanya yang nyaring, dan wajah m ereka yang pucat- pucat serta banyak goresan dan parutan karena cum buan kasar, m em bayang warna kem erah-m erahan perawan. Di m ata yang besar-besar tetapi tidak memancarkan lagi kesucian, berlinang- linang air mata keharuan. Mahasiswa-mahasiswa, sambil merokok pipa tanah lempung warna putih, menonton dan melemparkan senda gurau kasar kepada mereka. Dan jauh di sana, di Sungai Seine, di bukit-bukit, terhamparlah ketenangan senja, dengan cahayanya yang sam ar kebiru-biruan m em buat kabut yang m enutupi pepohonan.
80 Emile Zola “H ai, pelayan !” teriak Lauren t sam bil bersan dar pada sandaran tangga. “Bisa kam i m akan?” Lalu seperti m endapat pikiran yan g lebih baik dia m en am bahkan lagi, “Cam illus, bagaim ana kalau kita berdayung dahulu sebelum m akan. Sam bil m enunggu m ereka m em anggang ayam kita. Kita akan kesal m e- nunggu di sini sejam lam anya.” “Terserahlah,” jawab Cam illus dengan acuh tak acuh. “Tetapi Theresa sudah lapar.” “Tidak, tidak, saya dapat m enunggu,” kata Theresa cepat, setelah m elihat Laurent m enatap kepadanya. Ketigan ya turun . Ketika m elalui bar, m ereka m em esan makanan dan tempat lalu mengatakan bahwa mereka akan kem bali lagi dalam satu jam . Mereka m enyewa sebuah perahu dayung yang banyak disewakan di sana. Laurent m em ilih perahu yang sangat sem pit dan ringan, sehingga m enakutkan Cam illus. “Setan!” katanya. “Kita harus berpegang erat-erat di dalam perahu itu. Kalau tidak, bisa-bisa kita terpaksa m andi berendam .” Padahal sebenarnya; Cam illus sangat takut akan air. Masa kecilnya di Vernon, dengan keadaan badaniah yang penyakitan, tidak m em berinya kesem patan untuk berdayung-dayung di Sungai Seine. Kalau kawan-kawan sekolahnya berlari-lari ke sungai dan m enyelam , dia harus berbaring di bawah dua helai selim ut hangat. Laurent sendiri seorang perenang yang berani dan pendayung yang tak kenal lelah. Sam pai sekarang Cam illus m asih m em punyai rasa takut air yang dalam seperti anak kecil dan perempuan. Dia meraba-raba dasar perahu dengan ujung kakinya seakan-akan hendak m eyakinkan dirinya bahwa perahu itu cukup kuat. “Ayo naik,” kata Laurent sam bil tertawa. “Engkau selalu saja takut.” Cam illus m asuk, lalu dengan ragu-ragu berjalan ke tem pat duduk di buritan. Setelah terasa alas duduk di pantatnya, dia
Theresa 81 menenangkan diri kemudian bergurau, ingin menunjukkan keb er a n ia n n ya . Theresa tetap tinggal di tepi, tenang tanpa bergerak, berdiri di sam ping kekasihnya yang sedang m em egang tali penam bat. Laurent m em bungkuk lalu cepat-cepat berbisik, “perhatikan,” katanya. “Aku akan lem parkan dia ke dalam air.... Lakukan seperti yang akan kukatakan.... Serahkan seluruhnya kepadaku.” Perempuan muda itu menjadi pucat sekali. Dia berdiri seakan-akan terpaku di tem pat. Badannya terasa kaku, m atanya m eleb a r . “Naik!” Laurent berbisik. Theresa tidak bergerak. H atinya dipenuhi pertentangan yang hebat. Dia m enguatkan diri sehabis-habisnya untuk tidak menangis dan jatuh pingsan. “Ha-ha-ha!” teriak Cam illus. “Laurent, lihat Theresa..., dialah yang takut.... Mau atau tidak dia naik?” Cam illus m elonjorkan kedua kakinya dan kedua sikutnya bertelekan kepada pinggiran perahu, berlagak tenang untuk m enunjukkan dirinya tidak takut. Theresa m em andang aneh kepadanya; ejekan laki-laki buruk dan lem ah itu terasa seperti cam buk yang m enyengat dan m em buatnya m arah. Tiba-tiba dia meloncat masuk ke dalam perahu. Dia tetap berdiri di depan. Laurent m engam bil dayung. Perahu m eninggalkan tepian dan melaju menuju pulau-pulau. H ari sudah ham pir gelap. Bayan gan -bayan gan besar berjatuhan dari atas pohon-pohon; air di kedua tepi sungai tampak hitam. Di tengah-tengah sungai tampak petak-petak besar berwarna perak pucat. Tak lama kemudian perahu sudah berada jauh di tengah Sungai Seine. Di tempat itu suara-suara dari tepi sungai sudah sangat lem ah terdengar. Nyanyian dan teriakan terdengar sayup-sayup, sedih dan lelah. Mereka sudah tidak dapat lagi m encium bau ikan goreng dan bau debu. Angin segar meniup. Dingin.
82 Emile Zola Laurent berhenti m endayung dan m em biarkan perahu laju mengikut arus. Di hadapan m ereka tam pak pulau-pulau. Kedua tepi sungai yang berwarna cokelat tua berselang-seling dengan kelabu m erupakan dua buah garis besar yang bertem u di kaki langit. Langit dan air seakan-akan terbuat dari bahan putih yang sam a. Tak ada sesuatu yang lebih tenang m engharukan daripada senja di m usim rontok. Sinar m atahari m em ucat di udara yang dingin kering, sedangkan pepohonan m elepaskan daun-daun yang sudah menua. Setelah dibakar matahari terik, daerah pedalaman sudah m ulai m erasakan datangnya kem atian dengan berem busnya angin-angin dingin yang pertam a, dan ratapan burung-burung terdengar melintasi langit. Setiap malam seakan-akan membawa kain kafan yang gelap. Ketiga orang itu sem uanya diam . Sam bil duduk tenang di atas perahu yang m elaju m enuruti arus air, m ereka m em perhatikan cahaya-cahaya terakhir m eninggalkan puncak-puncak pohon. Mereka m endekati pulau-pulau. Pulau yang tadinya kelihatan m erah karena dedaunan yang sudah tua sekarang sudah m enjadi gelap. Dalam senja keseluruhan pemandangan menjadi sederhana. Sungai Seine, pulau-pulau dan bukit-bukit jadi hanya m erupakan petak-petak kelabu atau cokelat, menghilang dalam kabut tipis. Cam illus, yang sudah m erubah sikapnya m enjadi tengkurap dengan kepala keluar dari pinggir perahu bergantung di atas air, m em asukkan kedua tangannya ke dalam air. “Ya Tuhan , din gin sekali!” teriakn ya. “Tak sudi aku m em asukkan kepala ke dalam nya.” Laurent tidak m enjawab. Ada beberapa saat lam anya ia mengawasi kedua tepi sungai dengan perasaan gelisah; digerakkannya kedua tangannya yang besar ke depan m elalui paha-pahanya, sam bil m enggigit bibir. Dengan kepala agak tertarik ke belakang, Theresa menunggu, tegang dan tidak bergerak.
Theresa 83 Perahu sudah ham pir m em asuki bagian sungai yang sem pit dan gelap yang tersem bunyi di antara dua buah pulau. Dari balik salah satu pulau mereka mendengar senandung seruling dari para pendayung yang sedang berlayar m enentang arus. Di hulu, sungai itu sepi. Laurent berdiri lalu m em egang Cam illus pada pinggangnya. Cam illus tertawa terbahak-bahak. “Stop! Aku geli,” katanya. “J angan bercanda! Lepaskan! Aku b is a ja t u h !” Laurent m em egangnya lebih erat lagi lalu m endorongnya. Cam illus berpaling dan m elihat m uka kawannya yang tegang m enyeram kan. Dia tidak m engerti. Suatu rasa takut m encekam dirinya. Dia ingin berteriak, tetapi sebuah tangan kasar m encekik lehernya. Dengan naluri seekor binatang yang hendak mempertahankan diri dia bangkit berlutut, lalu memegang pinggir perahu erat-erat. Untuk beberapa detik lam anya dia berjuang mempertahankan diri. ‘Theresa! Theresa!” teriaknya dengan suara berdesis. Perem puan m uda itu hanya m elihat, berpegang kuat-kuat kepada salah satu tem pat duduk perahu yang sudah m ulai berderak dan oleng. Dia tidak dapat memejamkan mata. Sesuatu yang m enakutkan m em aksa m atanya terbuka lebar untuk m elihat pergulatan yang m enggentarkan. Theresa tidak dapat bergerak. “Theresa! Theresa!” laki-laki lem ah itu berteriak lagi, nafasnya sudah terputus-putus. Pada jerit terakhir ini Theresa tidak lagi dapat membendung tangisnya. Sem ua sarafnya m elem ah. Kelem ahan yang ditakutinya itu akhirnya m enguasainya juga dan m elem parkannya ke dasar perahu dengan badan gemetar. Di sana dia tergolek, rebah, pingsan, tak bergerak. Laurent m asih m engguncang-guncangkan badan Cam illus, sam bil sebelah tangannya m encekik lehernya.
84 Emile Zola Akhirn ya den gan ban tuan tan gan lain n ya dia berhasil m engangkatnya. Dia m enjunjung Cam illus bagaikan m engangkat seorang anak kecil dengan kedua tangannya yang kuat. Kepala Laurent agak m iring, sehingga lehernya yang kuat tam pak jelas sekali. Dengan m arah dan panik Cam illus berontak, m encakupkan giginya pada leher Laurent. Sam bil berteriak kesakitan Laurent m elem parkan Cam illus ke dalam air, sebagian daging lehernya terbawa gigi korbannya. Cam illus jatuh dengan jerit m engerikan. Dua tiga kali ia m asih m uncul di perm ukaan air, setiap kali m uncul teriakannya makin lemah. Laurent tidak m enyia-nyiakan waktu. Dinaikkannya kerah bajunya untuk m enyem bunyikan luka di leher. Setelah itu diangkatnya kekasihnya yang pingsan, diinjaknya tepi perahu sehingga terbalik, lalu dibiarkannya dirinya jatuh ke dalam sungai dengan Theresa dalam pelukan. Dipegangnya Theresa di atas per- mukaan, sambil berteriak-teriak meminta tolong dengan suara yang m enyedihkan. Para pendayung dari belakang ujung pulau yang nyanyiannya tadi terdengar olehnya, segera m engham piri. Melihat adanya kecelakaan, m ereka segera m enolong Theresa, dan m eletakkannya di atas sebuah bangku, juga Laurent, yang segera benar-benar m eratapi kem atian sahabatnya. Dia m eloncat kem bali ke dalam air, m encari Cam illus di tem pat-tem pat yang tidak akan diketem ukan. Beberapa lam a kem udian dia kem bali ke perahu penolong sam bil m enangis, tangan nya m engepal-ngepal dan m enarik-narik ram butnya. Para pendayung m encoba m enenangkan dan m enghiburnya. “Ini salahku,” katanya sam bil tetap m enangis. “Sebenarnya aku tidak boleh membiarkan dia menari-nari dan berjalan-jalan seperti yang dia lakukan.... Pada suatu saat kam i bertiga berada dalam sisi perahu yang sam a, dan terbalik.... Ketika dia tercebur, dia berteriak padaku m em inta aku m enyelam atkan istrinya....”
Theresa 85 Seperti biasa, selalu ada saja dua atau tiga orang pendayung yang m enyatakan m enyaksikan kejadian itu. “Kam i m elihatm u,” kata m ereka. “Gila! Perahu bukanlah lan tai.... Ah! Kasihan wan ita m alan g itu, apa yan g akan ditem ukannya nanti kalau dia sium an!” Mereka kem bali m endayung, m em bawa Theresa dan Laurent kembali ke rumah makan tempat makanan pesanan mereka sudah siap. Dalam beberapa menit saja semua orang di Saint- Ouen sudah m endengar tentang kecelakaan itu. Para pendayung m enceritakannya seperti m ereka benar-benar m enyaksikannya dengan m ata kepala sendiri. Sekelom pok orang yang m enaruh simpati berkerumun di luar rumah makan. Pem ilik rum ah m akan dan istrinya ternyata orang baik hati. Mereka m em injam i kedua orang yang terkena m usibah itu pakaian. Ketika Theresa sium an ia m enjadi histeris, berteriak- teriak m enangis m em ilukan hati. Tak ada yang dapat dilakukan oran g kecuali m en yuruhn ya tidur. Alam san gat m em ban tu berlangsungnya kom edi jahat ini. Ketika Theresa sudah lebih tenang, Laurent m enyerahkannya kepada rawatan pemilik rumah makan. Dia sendiri memaksakan diri kem bali ke Paris untuk m enyam paikan kabar m enyedihkan ini kepada Madame Raquin, sebaik dan sebijaksana mungkin. Padahal sebenarnya, dia m erasa agak takut m elihat keadaan Theresa. Dia menganggap lebih bijaksana memberi Theresa kesem patan untuk berpikir dan m em pelajari peranannya. Makanan yang disediakan untuk Cam illus akhirnya habis oleh para pendayung.
BAB XII DI SUDUT yang gelap dalam bis yang m em bawanya ke Paris, Laurent m em buat rencana. Dia m erasa yakin, m eskipun tidak sepenuhnya, bahwa ia akan terlepas dari hukum an. Hatinya senang, perasaan senang yang kasar dan keji seorang yang sudah m elakukan kejahatan. Sesam pai di gerbang Clichy dia naik taksi menuju rumah Michaud tua di Rue de Seine. Waktu itu pukul sembilan malam. Pensiunan polisi itu didapatinya sedang duduk berbincang- bincang bersam a Oliver dan Suzanne. Laurent datang ke sini untuk m encari seorang pelindung seandainya pada suatu saat nanti dicurigai, dan juga untuk menghindarkan diri dari kewajiban m enyam paikan berita duka ini kepada Madam e Raquin. Enggan rasanya dia m elakukannya sendiri. Menurut dugaannya Madam e Raquin akan m eraung-raung sehingga ia takut perm ainan sandiwara sedihnya takkan cukup m eyakinkan.
Theresa 87 Selain itu, kesedihan seorang ibu dapat m em pengaruhi hatinya, yan g seben arn ya tidak peduli. Ketika Michaud m elihatn ya m asuk dengan pakaian kasar yang terlam pau sem pit baginya, dia m em andanginya dengan penuh pertanyaan. Laurent menceritakan kecelakaan tadi dengan kalimat terputus-putus, seakan-akan nafasnya tersendat-sendat karena kesedihan dan keca p a ia n . “Saya datang kepada Tuan,” katanya di akhir cerita, “karena tidak tahu bagaim ana harus m enghadapi kedua wanita yang m alang itu.... Saya tidak berani m enem ui ibunya. Saya m inta dengan sangat agar Tuan suka m enyertai saya.” Selam a Laurent berbicara Oliver m enatapnya dalam -dalam , sehingga Laurent takut. Pem bunuh ini telah dengan sengaja melemparkan diri ke tengah-tengah para pejabat kepolisian ini dengan m aksud m enyelam atkan dirinya. Nam un dem ikian tak urung dia gemetar ketika merasakan tatapan mata mereka. Laurent m erasa m elihat kecurigaan dalam m ata m ereka padahal sebenarnya hanya sorot keheranan dan kesedihan belaka. Suzanne, yang lebih lem ah dan lebih pucat, sudah ham pir pingsan karena terkejut. Oliver yang selalu m erasa takut m endengar kem atian, tetapi hatinya yang tetap dingin m em perlihatkan keterkejutan dan kesedihan dalam sem ua sikapnya. H anya karena kekuatan belaka dia bisa m em andang Laurent dengan air m uka seolah tenang. Sedikit pun tak ada kecurigaannya. Sedangkan Michaud tak henti-hentinya m enunjukkan rasa ngeri, rasa sedih dan rasa terkejut. Dia berganti-ganti sikap duduk di kursi, mengadu-adukan kedua telapak tangan, dan membelalak- belalakkan m atanya. “Ya, Tuhanku!” katanya, dengan keluhan di antara kata- katanya. “Ya Tuhanku! Sungguh m engerikan! Berpiknik, lalu mati seperti itu, tiba-tiba. Mengerikan.... Dan Madame Raquin yang m alang, ibu yang m alang, apa yang dapat kita katakan
88 Emile Zola kepadanya?.... Bijaksana sekali Tuan datang kepada kam i. Kam i akan m enyertai Tuan....” Dia bangkit, lalu bergegas ke kam arnya m engam bil tongkat dan topi. Ia m em inta Laurent sekali lagi m engulangi ceritanya dan dia mengeluh dan merasa terkejut lagi bersamaan dengan setiap kalim at Laurent. Keem pat orang itu m enuruni tangga bersam a-sam a. Di gerbang m asuk ke Passage du Point-Neuf, Michaud m enahan Laurent. “J an gan turut m asuk,” katan ya, “kehadiran Tuan akan m erupakan bukti yang kejam , suatu hal yang harus kita hindarkan.... Ibu yang m alang itu akan segera m enyangka sesuatu yang m enyedihkan telah terjadi dan akan m em aksa kita m enceritakannya lebih cepat daripada seharusnya. Tunggu saja di sini.” Pengaturan ini m elegakan hati si pem bunuh yang m em ang sudah mulai gemetar ketika ingat harus memasuki toko. Dia m enjadi tenang. Laurent berjalan-jalan pulang pergi di tepi jalan. Kadang-kadang dia lupa pada apa yang telah terjadi, dia melihat-lihat toko, dan menengok untuk melihat perempuan yang berpapasan dan tak sengaja m enyentuhnya. Dia m enunggu di jalan itu satu setengah jam penuh dan selama itu mendapatkan kem bali kepercayaan dirinya dengan cepat. Laurent belum m akan sejak pagi. Sekarang baru perutnya terasa lapar. Dia memasuki sebuah kedai makanan dan mengganjal perutnya dengan beberapa potong kue. Di dalam toko Madam e Raquin, adegan yang m em ilukan sedang berlangsung. Betapa pun hati-hati dan pandainya Michaud m em ilih kata-kata, nam un tiba juga saatnya Madam e Raquin m em aham i bahwa suatu kecelakaan telah m enim pa putranya. Seketika itu juga dia mendesak untuk diberi tahu tentang kejadian sebenarnya dibarengi ratapan putus asa, tangis keras dan air m ata yang deras, sehingga m em buat kawan-kawannya
Theresa 89 tak dapat berbuat lain. Dan ketika dia m endengar apa yang telah terjadi, kesedihannya benar-benar m em ilukan. Tangisnya m engguncangkan seluruh tubuhnya, punggungnya yang sudah agak bungkuk m enjadi tegak karena gerakan terkejut yang tiba- tiba. Dia histeris, panik dan sedih tak terkendalikan. Keadaan ini berlangsung cukup lama, lemas, kadang-kadang menjerit sakit. Andaikata Suzanne tidak m em eganginya, Madam e Raquin sudah m eronta-ronta di lantai. Suzanne m enangis sam bil berlutut, m endekatkan wajah pucatnya kepada m uka perem puan tua itu. Oliver dan ayahnya tetap berdiri, diam dan pedih, wajahnya dipalingkan ke arah lain, hatinya terguncang. Terbayang oleh ibu yang m alang itu anaknya m enggapai-gapai dalam air Seine yang keruh, badannya kaku dan m em bengkak. Pada saat yang sam a dia m elihat anaknya sebagai bayi dalam ranjang bayi dan m elihat dirinya sendiri sedang m enolak m aut yang m engancam anaknya. Rasanya dia telah m elahirkan anak itu sebanyak sepuluh kali. Dia m encintainya dengan segala kecintaan yang dapat diham burkannya, selam a tiga puluh tahun. Sekarang dia m ati, jauh darinya, secara tiba-tiba, seperti anjing m ati dalam air dingin yang keruh. Lalu dia ingat kepada selim ut-selim ut hangat yang biasa digunakan untuk m em bungkus badan anaknya. Betapa dia telah m erawatnya, m enghangatkan m asa kecilnya, m em eluknya, m enum pahkan segala kelem butannya—dan sem ua itu hanyalah untuk m enyongsong hari anaknya m ati tenggelam dengan sangat mengerikan. Madame Raquin merasa seakan-akan tenggorokannya m engkerut-m enegang. Mau rasanya dia saat itu mati tercekik keputusasaan. Michaud tua bergegas pergi m eninggalkan Suzanne bersam a Madam e Raquin juga Oliver, berangkat m enjem put Laurent untuk segera menuju Saint-Ouen. Dalam perjalanan hampir tiada percakapan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri dalam kereta yang berguncang-
90 Emile Zola guncang di atas jalanan yang tidak rata. Sem ua diam dalam kegelapan yang m enyelim uti ruang kereta itu. Sekali-sekali kilatan cahaya dari lam pu gas penerangan jalan m enyinari wajah m ereka. Peristiwa kejahatan telah mengumpulkan dan mempersatukan m ereka dalam keheningan yang suram . Akhirnya m ereka sam pai di rum ah m akan di tepi sungai dan m enem ukan Theresa m asih berbaring di atas ranjang. Kepala dan tangannya panas. Pem ilik rum ah m akan berbisik, bahwa Theresa terserang dem am yang tinggi. Sebab sebenarnya adalah dem ikian: Theresa m erasa dirinya lem ah dan kehilangan keberanian, dan karena takut telah membuka rahasia pembunuhan ketika ia histeris, dia lalu berpura-pura sakit, membisu, memejamkan mata rapat-rapat, tidak bersedia melihat siapa pun karena takut terpaksa berbicara. Dengan selimut sampai ke dagu dan kepala setengah terbenam pada bantal dia m enyim ak dengan penuh perhatian sem ua yang dikatakan orang di sekitarnya. Dan, dalam cahaya kem erah-m erahan yang m enem bus m elalui bulu-bulu m ata yang m erapat, dia m asih m elihat Cam illus dan Laurent bergulat di pinggir perahu. Dia m elihat suam inya m uncul di perm ukaan air yang keruh, m uka pucat, m enakutkan, lebih besar dari sebenarnya. Bayangan inilah yang m eningkatkan suhu b a d a n n ya . Michaud tua m encoba m enghiburnya. Theresa m em alingkan wajah, lalu menangis terisak-isak. “Biarkan saja dia, Tuan,” kata pem ilik rum ah m akan. “Dia selalu gemetar mendengar suara selemah apa pun.... Tuan dapat m elihat, yang dia perlukan sekarang adalah beristirahat.” Di lantai bawah seorang polisi sedang menulis laporan tentang kejadian itu. Michaud dan anaknya turun, diikuti oleh Laurent. Setelah Oliver m em perkenalkan jabatan dan pangkatnya di kepolisian, dalam tem po sepuluh m enit keadaan jadi berubah sam a sekali. Para pendayung yang m asih berada
Theresa 91 di sana m engisahkan sam pai ke kejadian yang sekecil-kecilnya, menggambarkan bagaimana ketiga orang itu terlempar ke dalam air. Mereka bertindak dan mengaku sebagai saksi mata. Andaikan ada kecurigaan pada Oliver dan ayahnya, kecurigaan itu seketika itu juga terhapus oleh pernyataan para pendayung yang m eyakinkan itu. Dan m em ang m ereka tidak pernah m eragukan kejujuran Lauren t sekejap pun . Bahkan sebalikn ya, m ereka m em perkenalkan Laurent kepada polisi sebagai sahabat dekat korban, dan meminta agar dalam laporan itu ditegaskan bahwa Laurent telah dengan berani m enceburkan diri ke dalam sungai untuk m enyelam atkan Cam illus Raquin. Keesokan paginya surat- surat kabar m em beritakan kecelakaan itu dengan detail yang m elim pah-lim pah, tentang ibu yang m alang, tentang istri korban yang tak terhiburkan dan tentang sahabat yang m ulia dan berani. Berita ini m erupakan berita hangat di koran-koran Paris dan akhirnya m em basi di koran-koran daerah. Setelah laporan resm i selesai dibuat, hati Laurent m elonjak gem bira dan ia m erasakan m erem besnya suatu daya hidup yang baru ke dalam tubuhnya. Sejak Cam illus m enggigit lehernya hatinya terasa m ati m em beku. Selam a itu dia bergerak secara otom atis m engikuti suatu rencana yang telah ditetapkan jauh sebelum nya. Hanya naluri sem ata yang m endorongnya bergerak, yang m em buatnya berkata, yang m em bim bing sem ua tindakannya. Sekarang, dengan adanya keyakinan bahwa ia akan terbebas dari hukum an, darahnya m engalir kem bali m elalui sem ua pem buluhnya dengan iram a yang tenang m enyenangkan. Polisi telah m enyelidiki kejahatannya dan polisi tidak m enem ukan apa-apa. Dia telah berhasil m engelabui polisi yang baru saja m em bebaskannya. Dia selam at. Teringat hal itu, perasaan gem - bira m em enuhi seluruh badannya, gelom bang-gelom bang hangat yang m em ulihkan kelem asan tubuh dan keluwesan pikirannya. Dengan ketetapan hati seorang ahli dia meneruskan permainan
92 Emile Zola sandiwaranya sebagai sahabat yang sangat berdukacita. Padahal hatinya m elonjak-lonjak dengan kepuasan seekor binatang; dia teringat pada Theresa yang sedang berbaring di ranjang di lantai atas. “Kita tidak dapat m eninggalkan Theresa di sini,” katanya kepada Michaud. “Mungkin sekali dia akan terserang penyakit yang m em bahayakan. Kita harus m em bawanya ke Paris, betapapun sulitnya. Mari, kita bujuk dia agar m au kem bali bersam a kita.” Di atas, dia sendiri yang m em inta Theresa bangun, m em inta agar m au dibawa pulang ke Passage du Point-Neuf. Ketika wanita m uda itu m endengar suaranya, tubuhnya bergetar. Dia m em buka m ata lebar-lebar dan m enatap kekasihnya dalam -dalam . Ia tercengang, badannya m enggigil. Dengan susah payah dan tanpa berkata dia duduk. Semua laki-laki keluar, meninggalkan Theresa bersama istri pemilik rumah makan. Setelah berganti pakaian, dengan terhuyung-huyung Theresa m enuruni tangga, lalu naik ke dalam kereta dibantu oleh Oliver. Perjalanan berlangsung sunyi. Dengan keberanian yang luar biasa dan tanpa rasa m alu, tangan Laurent m eluncur di atas rok wanita m uda itu lalu m em egang jari-jem arinya. Dia duduk di hadapan Theresa. Laurent tidak dapat m elihat wajah Theresa karena selain gelap Theresa duduk merunduk. Sesudah tangan Theresa terpegang olehnya, ditekannya tangan itu kuat-kuat dan dipegangnya terus sam pai m ereka tiba di Rue Mazarine. Dia merasakan tangan Theresa gemetar; namun tidak terasa ditarik bahkan sebaliknya, tangan Theresa m engelus-elusnya dengan hangat. Kedua tangan yang bergenggam an itu m enjadi panas, telapaknya yang telah m elem bap berjabat erat dan jari-jem ari yang m engepal erat-erat terasa sakit setiap kali kereta berguncang. Masing-m asing m erasa seakan-akan darah kekasihnya m erem bes m asuk ke dalam dirinya sendiri m elalui tangan m ereka yang berpegangan erat. Tangan mereka seolah-olah menjadi tungku
Theresa 93 yang m endidihkan darah. Dalam kegelapan dan kesunyian yang memilukan itu saling berpegangan erat seakan-akan merupakan kekuatan yang sangat besar yang m enahan kepala Cam illus supaya tetap berada di bawah perm ukaan air. Ketika kereta berhenti, Michaud dan anaknya turun lebih dahulu. Laurent m endekatkan dirinya kepada kekasihnya lalu berbisik, “Kuatkan hatim u. Masih lam a kita harus m enunggu.... I n ga t .” Selam a ini Theresa tidak m em buka m ulut. Baru sekaranglah dia berbicara lagi. “Oh! Aku akan ingat,” katanya dengan suara halus dengan nafas dan badan yang m asih gem etar. Oliver m engulurkan tangan untuk m enolong Theresa turun. Sekali ini Laurent turut m asuk ke dalam toko. Madam e Raquin sudah dibaringkan di ranjangnya dan m asih m engigau dengan hebat. Dengan susah payah Theresa m enuju ke kam arnya sendiri, karena Suzanne harus m enunggui Madam e Raquin. Setelah yakin bahwa segala sesuatu telah berjalan m enurut keinginannya. Laurent m em inta diri. Dengan santai dia berjalan m enuju lotengnya di Rue Saint-Victor. Hari telah lewat tengah m alam . Angin segar berem bus di jalan yang telah sepi. Laurent tidak m endengar suara lain kecuali suara langkahnya sendiri yang teratur. Malam yang sejuk m em buatnya m erasa segar, kesunyian dan kegelapan m em bangkitkan kilatan- kilatan nafsu dalam dirinya. Dia berjalan terus. Akhirnya, kejahatan itu terlaksana. Dia berhasil m em bunuh Cam illus. Segalanya telah selesai dan telah lewat. Dalam waktu singkat soal itu tidak akan diperbincangkan orang lagi. Sekarang dia dapat merasa tenang dan damai sambil menanti saat dapat menguasai Theresa. Rencana pembunuhan itu kadang-kadang m enekan dirinya. Sekarang, setelah terlaksana rasanya seperti sebuah beban yang m enekan dadanya telah jatuh lepas. Dia dapat
94 Emile Zola bernafas lega. Laurent telah sem buh dari rasa ragu dan takut yang selam a ini inenyiksanya. Nam un dem ikian, jauh di dasar hatinya ia agak pusing juga: rasa lelah m em buat badan dan pikirannya berat. Dia m asuk ke kamar lain lalu tidur lelap. Selama tidur itu sentakan-sentakan kecil saraf karena gelisah kelihatan di wajahnya.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284