Theresa 245 bahwa Cam illus telah berbuat ini dan itu, bahwa ia m em pu- nyai sifat-sifat baik yang begini dan begitu, dan bahwa Cam illus m encintainya dengan cara begini dan begitu. Selalu Cam illus yang disebut-sebutnya, penuh kelem butan dan penyesalan, dan selalu m enangisi kem atian Cam illus. Theresa m engarahkan seluruh kebencian dan kedengkiannya untuk m enyiksa Laurent dengan m aksud m enyelam atkan dirinya sendiri. Dia m engutik-ngutik soal-soal kecil yang sangat pribadi, m enyebut-nyebut peristiwa tak berarti ketika m asa kecilnya dengan keluh penuh penyesalan, dan dengan dem ikian m encam purkan kenangan pada yang sudah m ati kepada setiap perbuatan hidup m ereka sehari-hari. Mayat yang m em ang sudah lam a m enghantui rum ah itu sekarang dihadirkan secara terbuka. Digambarkan hantu itu sedang duduk di kursi, menarik meja, berbaring di ranjang, menggunakan semua perabotan dan barang-barang dalam rum ah. Akibatnya Laurent tidak berani lagi m enyentuh garpu, sikat, dan apa pun juga, karena Theresa akan m engingatkannya bahwa Cam illus telah m enyentuhnya lebih dahulu. Karena terus-m enerus dihadap- kan kepada orang yang dibunuhnya, pem bunuh itu akhirnya m engalam i guncangan batin yang sangat hebat, sehingga ham pir m enm tuhkan dirinya sam a sekali. Karena selalu diperbandingkan dengan Cam illus, dan selalu m enggunakan benda-benda yang pernah digunakan oleh Cam illus, m ulailah dia m erasa dirinya sam a dengan korbannya, m ulailah dia m em bayangkan bahwa dirinya adalah Cam illus. Akal dan jiwanya berada di tepi kegilaan, lalu m enerkam istrinya untuk m enghentikan kata-kata yang m em buatnya bingung. Sejak itu pertengkaran m ereka berakhir dengan hantaman dan gamparan.
BAB XXX UNTUK MELEPASKAN diri dari kepedihan dan siksaan, Madam e Raquin berniat untuk membunuh diri dengan tidak makan. Daya tahannya sudah ham pir habis, tidak sanggup lagi m enahan siksaan-siksaan yang tim bul akibat terus-m enerus hadirnya kedua pem bunuh anaknya, m engharap penderitaannya akan berakhir bersam a kem atiannya. Setiap hari am arahnya sem akin m eningkat kalau Theresa m encium nya, dan kalau Laurent m em angkunya seperti anak kecil. Sudah bulat tekadnya m em bebaskan diri dari cium an dan pelukan yang m em buatnya m uak. Karena m erasa sudah tidak berdaya sam a sekali untuk m em balaskan dendam anaknya, ia lebih suka m ati dan m eninggalkan hanya m ayat dirinya, yang dapat m ereka perlakukan sekehendak hati tanpa merasakan apa-apa. Dua hari lam anya dia m enolak sem ua m akanan, m engerahkan seluruh sisa tenaganya untuk m erapatkan gigi-giginya, dan untuk
Theresa 247 m eludahkan kem bali sem ua yang dipaksakan m asuk ke dalam m ulutnya. Theresa putus asa dan bingung. Dia bertanya-tanya dalam hati, di depan siapa dia harus merangkak-rangkak dan meratap nanti kalau bibinya sudah tiada. Tak henti-hentinya dia m em beri sem angat hidup kepada Madam e Raquin dan m eyakinkan bahwa dia perlu hidup. la menangis bahkan marah, kembali kepada am arahnya yang lam a. Dengan paksa dia m enguakkan m ulut perem puan lum puh seperti m enguakkan m ulut binatang yang m enolak m akan. Madam e Raquin tetap pada tekadnya. Terjadilah pertarungan tekad yang hebat dan m engerikan. Laurent bersikap netral dan tak peduli. Dia heran m elihat ikhtiar Theresa yang m ati-m atian m encegah Madam e Raquin membunuh diri. Sekarang, karena kehadiran perempuan tua itu sudah tak ada gunanya lagi baginya, dia m engharapkan perem puan itu akan m ati. Dia tidak berm aksud m em bunuhnya, tetapi karena toh, perem puan tua itu ingin m ati, Laurent tidak m elihat m an faatn ya m en cegah kehen dakn ya. “Biarkan dia!” teriaknya kepada istrinya. “Bagus kalau dia m ati.... Mungkin kita akan berbahagia kalau dia sudah mati.” Pernyataan Laurent yang diungkapkan berulang-ulang m enim bulkan reaksi yang aneh pada Madam e Raquin. Dia takut kem auan Laurent terpenuhi, bahwa setelah dia m ati kedua suami-istri itu akan menemukan saat-saat tenang dan bahagia. Lalu dikatakannya pada diri sendiri, bahwa pengecut sekali bunuh diri itu, bahwa dia tidak berhak mati sebelum drama itu sam pai kepada akhirnya yang seram . Hanya setelah itu ia dapat pindah ke alam gelap m em -bawa berita untuk Cam illus, “Dendam m u telah terbalas.” Niat bunuh diri itu dianggapnya keliru ketika tiba-tiba teringat bahwa ia akan masuk kubur tanpa pengetahuan apa-apa. Di sana ia akan tidur dalam kegelapan dan kesunyian bum i, dan akan terus-m enerus
248 Emile Zola tersiksa karena tidak mengetahui apakah kedua pembunuh itu telah m enerim a hukum annya atau belum . Untuk dapat m ati dengan tenang ia harus mati ketika sedang merasa puas karena dendam sudah terbalas, ia harus membawa serta mimpi kebencian yang terlam piaskan, im pian yang akan dim im pikannya sepanjang m asa. Sebab itu sekarang dia m au m enerim a m akanan yang disodorkan kem enakannya. Dia setuju untuk m eneruskan hidup. agar kedua pem bunuh anaknya tidak m enem ukan kebahagiaan. Selain itu dia telah merasakan pula bahwa akhir drama sudah mendckat, kian hari keadaan suami istri itu kian tegang m enyeram kan. Sebuah ledakan yang akan m enghancurkan segala-galanya pasti sudah dekat. Setiap hari Theresa dan Laurent saling ancam dengan lebih m engerikan lagi. Bukan lagi hanya pada malam hari mereka menderita, siang pun sudah demikian. Seluruh waktunya dilalui dengan kegelisahan dan ketakutan dengan krisis-krisis yang dapat m enghancurkan. Segala sesuatu membuat mereka celaka dan menderita. Mereka hidup dalam neraka, saling m elukai, apa pun yang m ereka lakukan dan katakan menjadi pahit dan kejam, mencari kesempatan untuk saling m elem parkan ke dalam jurang yang m ereka rasakan berada di bawah kaki-nya dan jatuh bersam a-sam a. Niat untuk m elepaskan diri dari kehadiran yang lain tim bul pada keduanya. Masing-m asing m etnpu-nyai keinginan untuk melarikan diri, mencari teinpat beristirahat dan memencilkan diri di m ana saja asal jauh dari Passage du Point-Neuf yang kelem bapan dan kekotorannya seperti sengaja diciptakan untuk kehidupan m ereka yang sudah hancur itu. Tetapi m ereka tidak punya keberanian untuk m elakukannya, tidak dapat lari. Saling m enyakiti dan tetap tinggal di sana untuk m enderita dan m em buat yang lain m enderita seakan-akan sudah m erupakan suatu keharusan. Keduanya telah dipengaruhi kebencian dan kekejam an yang sangat kuat. Seperti ada daya tolak dan daya
Theresa 249 tarik yang sekaligus bekerja bersam a-sam a m em isahkan dan mempersatukan mereka. Seperti biasa terjadi pada orang-orang yang habis bertengkar m ereka m engalam i perasaan aneh, ingin berjauhan tetapi sekaligus juga ingin kembali untuk melontarkan hinaan dan cercaan baru kepada lawannya. Ada hal lain lagi yang m enghalangi m ereka m elarikan diri. Mereka tak tahu apa yang harus diperbuat dengan Madam e Raquin yang tidak ber- daya, juga tidak m engetahui apa yang harus dikatakan kepada tam u-tam u m alam J um at. Lari, m ungkin akan m enim bulkan kecurigaan. Lalu m ereka m em bayangkan diri diburu-buru, ditangkap, akhirnya dihukum penggal. Maka tetaplah m ereka tinggal bersama karena kepengecutan mereka, dan dengan berat m enjalani hidup dengan segala kepahitan dan kengeriannya. Kalau Laurent sedang pergi pada pagi dan siang hari, Theresa bolak-balik antara ruang makan dan toko, gelisah dan bingung, tanpa m engetahui bagai-m ana harus m engisi kekosongan yang kian siang kian terasa mencekam. Dia tidak dapat menemukan kesibukan lain kalau sedang tidak meratap-ratap di kaki Madame Raquin atau sedang tidak dipukuli dan dicaci m aki suam inya. Begitu berada di toko, dengan wajah dungu dia m em andangi orang-orang lalu lalang di Passage yang gelap kotor, dan hatinya bertambah sedih dalam gua muram berbau hawa kuburan itu. Akhir-akhirnya dia m engundang Suzanne m elewatkan wakiu siangnya bersam a di toko, dengan harapan kehadiran m akhluk pucat yang m alang itu akan dapat m enenangkan hatinya. Dengan senang Suzanne m enerim a undangan itu. Dia selalu m enyenangi Theresa disertai sem acam rasa horm at dan persahabatan. Sudah lama sekali dia ingin mengunjungi Theresa selagi Oliver di kantornya. Dia m em bawa serta pekerjaan m enyulam dan m engam bil tem pat di kursi Madam e Raquin di belakang m eja bayar.
250 Emile Zola Mulai saat itu waktu yang Theresa berikan kepada bibinya kian berkurang. Sekarang dia tidak lagi terlalu sering pergi ke atas untuk m enangis dan m encium wajah m ati bibinya. Dia paksakan m enyim ak obrolan Suzanne tentang urusan rum ah tangganya dan kehidupannya yang dari itu ke itu juga. Obrolan ini m em buat Theresa dapat m elupakan dirinya sendiri. Kadang-kadang ia m erasa heran dapat tertarik oleh hal-hal kecil yang kem udian m enggelikannya lagi. Lam bat laun toko itu kehilangan langganan-langganan tetapnya. Sejak bibinya tertam bat pada kursinya di atas Theresa m engabaikan keadaan tokonya. Dia m em biarkan barang-barang tertim bun debu dan ditelan kelem bapan. Udaranya berbau apak, laba-laba dengan bebas bergelantungan dari langit-langit, lantai tak pernah disapu. Yan g juga m em buat lan ggan an -lan ggan an n ya m en jauh adalah sikap aneh yang kadang-kadang diperlihatkan Theresa dalam m enerim a m ereka. Kalau ia sedang di atas, sedang dipukuli Laurent atau sedang terserang ketakutan, lalu bel toko berbunyi keras terus-menerus, dia turun sebentar ke bawah dengan hampir tanpa m em bereskan dahulu ram butnya atau m enyeka air m ata dari m ukanya, dan kem udian m elayani langganan yang telah lam a menunggu dengan kasar sekali atau bahkan sama sekali tidak mau m elayaninya, tapi cukup dengan berteriak dari atas m engatakan persediaan barang yang hendak dibeli sudah habis. Sikap tidak ram ah ini tidak pernah diperhitungkannya dalam m em elihara langganan. Gadis-gadis pekerja dari pinggir kota yang sudah terbiasa dengan senyum ram ah Madam e Raquin m erasa ter- kejut m elihat sikap kasar dan m ata liar Theresa. Ketika Theresa m engundang Suzanne, ham pir sem ua langganan tetapnya sudah tak m au kem bali. Agar tidak terganggu obrolan kosongnya, kedua perem puan itu berusaha supaya lekas terlepas dari langganan- langganan yang tinggal sedikit yang m asih m au kem bali. Sejak
Theresa 251 itu toko sudah tak sanggup lagi memberikan penghasilan untuk m em biayai keperluan rum ah tangga. Maka sim panan yang em pat puluh ribu frank lebih itu terpaksa berangsur-angsur diam bil. Kadang-kadang Theresa keluar sepanjang hari. Ke m ana dia pergi tak seorang pun tahu. Rupanya dia m engundang Suzanne bukan saja untuk mengawani, tetapi juga untuk menolong m enjaga toko selam a dia bepergian. Kalau kem bali di waktu petang, badan letih dan kelopak mata gelap karena capai, ia me- nem ukan istri Oliver di belakang m eja bayar, duduk tenang dan tersenyum sam ar, m asih dalam sikap seperti ketika ditinggalkan lim a jam sebelum nya. Kira-kira lim a bulan setelah pern ikahan n ya Theresa m engalam i lagi pukulan lain yang hebat. Dia yakin sekali sedang m engandung. Pikiran m em punyai anak dari Laurent m engganggu sekali hatinya, sekalipun dia sendiri tidak tahu m engapa. Ada pikiran gila yang sangat m enggodanya, yaitu bahwa ia sedang m engandung bayi yang sudah m ati tenggelam . Seakan-akan dalam rahim nya ia m erasakan dinginnya m ayat yang telah m em busuk dan lunak. Tekadnya sudah bulat, dengan jalan apa pun ia akan berusaha agar perutnya terbebas dari janin yang m eresahkannya itu dan yang sudah tidak sanggup lagi ia m engandungnya. Suam inya tidak diberi tahu. Pada suatu hari setelah ia m em buat jengkel sekali suam inya dengan cara-cara yang am at kejam , dan ketika suam inya m engangkat kaki hendak m enendangnya, ia m enyerahkan perutnya untuk m enjadi sasaran. Theresa m em biarkan suam inya m enghantam i perutnya sehingga ia sendiri m erasa ham pir m ati. Hari berikutnya kandungan itu gugur. Bagi Lauren t pun hidup tidak kuran g m en yeram kan . Baginya, hari-hari terasa panjang sekali dan setiap hari m em bawa siksaan yang serupa, m em bawa keputusasaan yang sam a yang m enim panya berulang-ulang secara teratur. Dengan tersaruk-
252 Emile Zola saruk dia m enjalani hidupnya, setiap m alam disakitkan oleh kejadian di siang hari dan oleh apa yang akan terjadi keesokan harinya. Dia tahu setiap hari akan serupa saja, setiap hari akan m em bawa siksaan dan penderitaan yang sam a. Dia m enerawang m inggu-m inggu, bulan-bulan dan tahun-tahun yang m enantinya di m asa depan. Sem uanya gelap dan keras, berturut-turut datang m enim panya dan berangsur-angsur m elem askannya sam pai b in a sa . Kalau m asa depan sudah tak m engandung harapan, keadaan kini akan terasa lebih keji dan pahit. Laurent tidak berusaha berontak lagi, dia terbenam dalam kemalasan, membiarkan dirinya hanyut dalam keham paan yang m em ang sudah m enguasai seluruh dirinya. Kem alasan sedang m em bunuhnya. Setiap hari dia berangkat pagi sekali tanpa tujuan, disertai rasa jemu karena m elakukan lagi apa yang telah dilakukannya hari kem arin dan terpaksa harus m engulanginya lagi. Dia m engunjungi studio hanya karena kebiasaan saja, tem pat yang telah m enjadi obsesi- nya. Studio dengan dinding-dindingnya yang kelabu tanpa pem andangan, kecuali sepetak langit di atas, hanya m em berikan kesedihan yang sangat. Ia berbaring di kursi panjang dengan tangan bergantung ke bawah, pikiran hampa. Selain itu, ia sudah tidak berani lagi m enyentuh kuas. Pernah ia m elakukan beberapa percobaan lagi, nam un setiap kali hanya wajah Cam illus saja yang m uncul m engejek di kanvas. Untuk m encegah jangan sam pai m enjadi gila, akhirnya dia m elem parkan sem ua alat-alat m e- lukisnya ke sudut ruangan dan berjanji tidak akan m elakukan apa-apa lagi. Pengangguran yang dipaksakan ini m enipakan beban berat baginya. Tengah hari dia memeras otak mencari kesibukan. Setengah jam dia habiskan dengan jalan-jalan sepanjang Rue Maarine sam bil m em ilih apa yang kiranya dapat m enyenangkannya. Dia m enolak pikiran untuk kem bali ke studio. Putusannya yang
Theresa 253 terakhir selalu memilih berjalan-jalan sepanjang pelabuhan, tanpa tujuan tertentu sam pai senja. Kalau pandangannya jatuh ke Sungai Seine ia m erasa pusing dan bergidik tiba-tiba. Apakah ia berada di studio atau di jalan tekanan pada batinnya sam a saja. Keesokan harinya. Hal itu diulangnya kem bali. Pagi hari dihabiskannya dengan berbaring di kursi panjang dan sepanjang siang berjalan-jalan di tepi pelabuhan. Ini telah berjalan berbulan- bulan dan masih dapat berjalan bertahun-tahun lagi. Kadang-kadang Laurent ingat, bahwa tujuan m em bunuh Cam illus itu agar dapat hidup m ewah tanpa perlu bekerja, dan sekarang ia merasa heran sendiri, setelah tidak mengerjakan apa-apa mengapa harus mengalami penderitaan seperti ini. Dia paksakan hatinya untuk berbahagia. Dia yakinkan dirinya bahwa menderita itu salah, bahwa dia telah mencapai puncak kebahagiaan dalam wujud tidak harus bekerja, dan bahwa dungu kalau dia tidak m au m enikm ati kebahagiaan ini. Nam un pikiran ini tidak berdaya sam a sekali terhadap kenyataan-kenyataan. Batinnya terpaksa m engakui, bahwa pengangguran hanya m enyiksanya lebih kejam lagi dengan jalan m endorongnya kepada m erenungi keputusasaan dan kepedihannya setiap detik, sam pai akhirnya m enyadari sesadar-sadarnya bahwa kepahitan itu m eningkat setiap saat tanpa mungkin terobati. Mengang-gur, suatu kehidupan binatang yang m enjadi idam annya selam a ini, kini m enjadi hukum an bagin ya. Kadan g-kadan g tim bul lagi kein gin an n ya un tuk m em punyai pekerjaan yang dapat m engalihkan perhatiannya. Nam un keinginan ini tak pernah bertahan lam a. Kem bali dia m enyerah kepada nasib yang telah m em belenggunya dengan kekencangan yang pasti akan m em binasakannya. Sebetulnya, satu-satunya rasa lega dialam inya kalau ia m enyiksa Theresa di m alam hari. Ini dapat m elepaskannya sejenak dari kesedihan.
254 Emile Zola Penderitaan yang paling m enyakitkan, baik lahiriah m aupun batiniah, bersum ber di bekas gigitan Cam illus. Pada saat-saat tertentu dia m em bayangkan bekas luka itu m eliputi seluruh tubuhnya. Kalau pun pernah dia berhasil m elupakan m asa lalu, dalam tem po singkat ia m erasakan lagi tusukan tajam yang m engingatkannya kem bali kepada peristiwa pem bunuhan. Dia tidak dapat bercerm in tanpa m elihat bekas luka ajaib itu, yang kehadirannya sudah begitu sering dia lihat dan yang selalu m enggetirkannya. Di bawah tekanan perasaannya darah m engalir naik ke leher, lalu bekas luka itu menjadi merah dan terasa sakit m enusuk. Luka yang seakan-akan hidup ini, yang dapat m enganga lagi setiap saat, m enggerogotinya hanya karena suatu rangsangan yang tidak berarti, benar-benar m enyiksa batinnya. Sam pai- sam pai dia percaya bahwa gigi Cam illus telah m enularinya dengan sesuatu yang dapat m em binasakan. Bagian leher tem pat letaknya bekas luka itu bagi Laurent seakan-akan sudah bukan lagi m erupakan bagian dari tubuhnya, m elainkan sebagai sepotong benda asing yang ditem pelkan, seperti sepotong daging beracun yang m em busukkan dagingnya sendiri. Dengan dem ikian ke m ana pun dia pergi dia selalu m em bawa kenangan yang hidup dan m enyakitkan tentang kejahatannya. Kalau dia m enyiksa istrinya, Theresa selalu m encoba m encakar tem pat yang khusus itu, m enancapkan kuku-kukunya di sana, sehingga m em buat Laurent berteriak-teriak kesakitan. Kalau m elihat luka gigitan itu, biasanya Theresa berpura-pura sedih lalu m enangis, sem ata- m ata hanya untuk m em buat hati Laurent sakit. Pem balasannya untuk kekejam an Laurent adalah m enyakitinya m elalui bekas gigitan Cam illus. Sering Laurent tergoda, kalau sedang bercukur, untuk m em buat sebuah luka yang besar di lehernya sendiri untuk m enghilangkan bekas gigi Cam illus. Di depan kaca, kalau dia m engangkat dagunya dan m elihat tanda m erah di bawah kerah bajunya, tiba-tiba saja dia bisa m arah, lalu m enurunkan pisau
Theresa 255 cukurnya untuk m engerat lehernya. Tetapi rasa dingin pisau di kulitnya selalu pula m em buat dia urung m elakukannya. Sehabis itu badannya selalu terasa lem ah dan terpaksa duduk m enanti sam pai kepengecutannya dapat dikendalikan kem bali agar dapat m enyelesaikan bercukur. Malam hari Laurent m engam uk lagi m em babi buta seperti anak kecil. Kalau sudah bosan bertengkar dan m enyiksa Theresa, tem bok dibuatn ya m en jadi sasaran ten dan gan . Betul-betul seperti anak kecil. Tetapi bagi dia m elegakan hati. Laurent benci sekali kepada Francois, kucing besar yang segera m elarikan diri ke pangkuan Madam e Raquin kalau m elihat Laurent datang. Kalau sam pai sekarang ia belum m em bunuh binatang itu, alasan sebenarnya hanyalah karena dia tidak berani m elakukannya. Kucing itu selalu m em andangnya dengan m ata bundar seperti m ata setan. Mata itulah, m ata yang selalu m enatapnya, yang sangat m enjengkelkannya. Dia tidak m engerti m engapa m ata kucing itu tidak pernah beralih darinya. Akhirnya dia benar- benar takut, lalu m em bayangkan hal yang bukan-bukan. Um pam anya, kalau sedang m akan m alam , atau di tengah-tengah pertengkaran atau di tengah-tengah keheningan yang panjang, Laurent kebetulan m em alingkan kepala dan tiba-tiba m elihat m ata Francois m enatap tajam kepadanya, dia bisa hilang akal dan ham pir-ham pir m an berteriak kepada kucing itu, “katakan sekarang juga, apa m aum u!” Kalau dia dapat m enginjak salah satu kakinya atau ekornya, dia m elakukannya dengan gem bira sekali, tetapi selanjutnya eongan kucing itu m em buatnya gelisah, seperti dia m endengar suara orang yang m enjerit kesakitan. Laurent betul-betul takut kepada Francois. Sejak kucing itu suka berlindung di pangkuan perempuan tua lumpuh seperti berlindung di balik sebuah benteng yang tak dapat ditem bus dari m ana dia dapat m enyorotkan m ata hijaunya kepada m usuhnya dengan am an, Laurent m elihat adanya persam aan yang sam ar-
256 Emile Zola sam ar antara binatang itu dengan m ajikannya. Dia pikir kucing itu sam a dengan Madam e Raquin, m engetahui sem ua dosanya dan akan m engungkapkannya apabila pada suatu saat ia dapat berbicara. Akhirnya pada suatu m alam Francois m enatapnya begitu tajam , sehingga Laurent ‘yang m erasa lebih ter-ganggu daripada biasa, m em utuskan akan m engakhiri-nya untuk selam a-lam anya. Dibukakannya jendela ruang m akan lebar-lebar, lalu dijinjingnya kucing itu pada tengkuknya. Madam e Raquin m engerti. Dua titik air m ata m enggelinding di pipinya. Kucing itu m enggeram dan m enegangkan urat-uratnya, m encoba berbalik hendak m enggigit tangan Laurent. Tetapi Laurent tetap pada niatnya. Diayunkannya ku cing itu dua-tiga kali, lalu, dengan sem ua tenaga di tangannya dilem parkannya ke dinding gelap di seberang jalan. Francois m em bentur tem bok, punggungnya patah, lalu jatuh ke atap kaca Passage. Kucing itu berjalan terhuyung-huyung di parit sepan- jang malam, sambil mengeong kesakitan. Malam itu Madame Raquin menangisi Francois, hampir sama dengan ketika dia m enangisi Cam illus. Theresa m enjadi histeris. J erit kucing di bawah jendela-jendela terdengar seperti mengandung kedengkian di dalam gelap. Segera Laurent m em punyai alasan baru untuk m enjadi gelisah. Dia khawatir m elihat adanya perubahan-perubahan tertentu pada istrinya. Theresa berubah menjadi muram, diam. Dia sudah tidak lagi m engham buri Madam e Raquin dengan curahan hati yang tak habis-habisnya dan cium an-cium an terim a kasihnya. Dia kem bali kepada sikap lam anya yang dingin, kejam , egois, tidak peduli kepada si lum puh. Kelihatan n ya seperti, setelah dia m encoba m enyesal dan penyesalan-penyesalannya tidak berhasil m elegakannya, dia beralih kepada cara lain. Pasti kesedihannya
Theresa 257 berasal dari ketidakm am puannya m enyelesaikan m asalah. Theresa sekarang m em andang perem puan tak berdaya itu dengan pandangan m erendahkan, m enganggapnya sebagai benda tidak berguna yang sudah tidak dapat lagi m enghiburnya. Dia hanya m elayaninya sekadar cukup agar tidak m ati kelaparan. Sejak itu di dalam rumah, Theresa membisu dan dengan batin tertekan. Lagipula dia lebih sering keluar rum ah, em pat sam pai lim a kali sem in ggu . Perubahan ini mengherankan dan mengkhawatirkan Laurent. Dia m engira penyesalan yang telah berubah dalam bentuk lain dalam diri Theresa, kini menampakkan diri dalam bentuk kelesuan dan kebosanan. Kelesuan ini bagi Laurent jauh lebih m em bahayakan daripada keputusasaan yang hiruk-pikuk, yang sejauh ini sudah sangat m enjengkelkannya. Theresa sudah tidak mau bicara lagi, tidak mau bertengkar lagi, seakan-akan dia hendak m enyim pan segala sesuatunya dalam hati. Laurent lebih suka m elihatnya m enjerit-jerit histeris daripada m engucilkan diri seperti sekarang. Dia takut pada suatu hari kegelisahannya akan m enyesakkan dadanya, dan untuk m elepaskan diri dari tekanan itu Theresa pergi menemui pastur atau jaksa untuk mengakui semua dosa. Seringnya Theresa m eninggalkan rum ah kini m enim bulkan kecem asan pada Laurent. Siapa tahu Theresa sedang m encari orang tem pat ia m em percayakan niatnya, sedang m em persiapkan pengkhianatan terhadap dirinya, pikirnya. Dua kali sudah Lau- rent m encoba m engikutinya, nam un kehilangan jejak di jalan ram ai. Laurent sudah m ulai m em ata-m atai Theresa. Laurent dihantui sebuah obsesi, karena tak kuat lagi menahan puncak derita kalau Theresa akan m enyingkapkan seluruh kebenaran, dan dia harus memberangus mulut Theresa, mencegah jangan sam pai pengakuan keluar lewat tenggorokannya.
BAB XXXI SUATU PAGI Laurent bukannya pergi ke studio, m elainkan mengambil tempat di sebuah kedai minum di salah satu sudut Rue Guegenaud, tepat di hadapan Passage. Dari sana ia m engamati orang-orang yang m uncul di trotoar Rue Mazarine. Dia m encari Theresa. Malam kemarin perempuan itu mengatakan bahwa ia akan keluar pagi sekali dan mungkin tidak akan kembali sebelum m a la m . Laurent m enunggu setengah jam penuh. Dia tahu bahwa istrinya selalu m engam bil jalan lewat Rue Mazarine. Nam un untuk beberapa saat tim bul juga rasa khawatir, sekali ini istrinya m engam bil jalan Rue de la Seine. Terpikir olehnya untuk kem bali ke Passage, dan bersem bunyi di jalan kecil di belakang toko. Dia sudah mulai tidak. sabar ketika tiba-tiba Theresa muncul bergegas keluar dan Passage. Pakaiannya berwarna cerah. Untuk pertam a kalinya Laurent m elihat dia berdandan seperti seorang pelacur, m engenakan rok dengan pancung panjang. J alannya
Theresa 259 menantang sepanjang trotoar, melemparkan pandangan m engundang kepada setiap laki-laki yang lewat, m engangkat rok depannya tinggi-tinggi m em pertunjukkan kaki bagian depan, sepatu dan stoking putih. Dia m enuju Rue Mazarine. Laurent m engikutinya. Udara sangat lem but dan perem puan itu berjalan lambat-lambat, muka sedikit diangkat, rambut berurai lepas di punggung. Laki-laki yang berpapasan berbalik lagi untuk m em andanginya dari belakang. Theresa m engam bil Rue de l’Ecole-de-Medecine. Laurent cem as. Dia tahu bahwa di sana ada pos polisi. Dia yakin sudah bahwa istrinya benar-benar akan m engkhianatinya. Dia bertekad akan m encegahnya kalau Theresa akan m asuk ke pos polisi. Ia akan m em intanya dengan sangat, kalau perlu m em ukulinya, m em aksanya untuk tutup m ulut. Di sudut jalan Theresa m elihat kepada polisi yang kebetulan lewat, dan Laurent gem etar, m engira Theresa akan m engham piri polisi itu. Laurent bersem bunyi, dicekam rasa takut ditangkap di tempat. Seluruh perjalanan ini merupakan siksaan tersendiri baginya. Sem entara istrinya m enawarkan diri di bawah sinar pagi di trotoar, m engangkat-angkat roknya tanpa sopan dan m alu, dia sendiri m engikutinya di belakang dengan wajah pucat dan badan gemetar ketakutan, sambil berulang-ulang berkata dalam hati, bahwa habislah sudah riwayatnya, bahwa ia tak dapat m elarikan diri, bahwa ia akan dihukum pancung. Ketakutannya m em berikan keyakinan itu dan setiap gerak-gerik Theresa, betapa pun kecilnya, m enam bah keyakinannya. Walau dem ikian; dia tetap m engikutinya, dia m enuju ke m ana Theresa pergi, lunglai seperti orang yang digiring ke tem pat pem ancungan. Ketika sam pai ke Place Sain t-Michel, tiba-tiba Theresa m em asuki sebuah kafe yang berlokasi di sudut Rue Monsieur- le-Prince. Dia mengambil tempat di salah satu meja di trotoar di antara sekian banyak perem puan dan m ahasiswa, lalu berjabatan tangan dengan akrab dengan mereka. Setelah itu baru dia memesan segelas minuman keras.
260 Emile Zola Tam paknya ia tenang saja, berbincang-bincang dengan seorang pem uda pirang yang rupanya telah lam a m enantinya di sana. Dua orang pelacur m endekatinya, lalu berbicara akrab sekali dengannya dengan suara serak. Di sekeliling Theresa beberapa orang perempuan sedang duduk-duduk merokok, dan beberapa laki-laki sedang berciuman dengan perempuan di depan orang lalu-lalang yang sam a sekali tidak m em pedulikannya. Kelakar-kelakar kasar dan tawa kotor sam pai ke telinga Laurent yang ber-diri di seberang jalan, bersem bunyi di sebuah pintu gerbang. Setelah m enghabiskan m inum annya Theresa berdiri, m em egang pem uda pirang di tangannya lalu berangkat m elalui Rue de la Harpe. Laurent m engikutinya sam pai ke Rue Saint- Andre-des-Arts. Di sana dia m elihat m ereka m asuk ke dalam sebuah rum ah pem ondokan. Laurent berdiri di tengah jalan, menengadah melihat ke lantai atas pemondokan itu. Sebentar istrinya kelihatan di jendela terbuka di tingkat tiga. Setelah itu dia merasa melihat tangan pemuda pirang itu memeluk pinggang Th er esa . J endela segera tertutup. Laurent m engerti. Tanpa m enunggu lebih lam a lagi, dengan tenang dia pergi, hatinya.tentram kem -bali dan m erasa bahagia. “Bah,” katanya ketika berjalan m enuju derm aga, “lebih baik begitu. Perbuatan itu akan m em buatnya sibuk dan tidak akan ingat untuk m em buat kesusahan.... Ternyata dia lebih pintar daripada aku.” Yang m engherankannya m engapa bukan dia yang lebih dahulu m em punyai gagasan terjun ke dalam perzinahan. Mungkin sekali dalam dunia pelacuran itu ia akan menemukan obat untuk keresahan hati-nya. Dia tidak pernah m em ikirkannya karena nafsu berahinya telah m ati. Sedikit pun tak ada keingin-annya untuk berpesta pora dalam percabulan. Penyelewengan istrinya sam a sekali tidak m em buatn ya pan as. Baik tubuh m aupun
Theresa 261 jiwanya tidak berontak m elihat istrinya berada dalam pelukan laki-laki lain. Sebaliknya, dia berbahagia. Seakan-akan dia mengi-kuti istri seorang kawan dan tertawa geli melihat siasat perem puan itu. Theresa sudah m enjadi begitu asing baginya, sehingga kehadirannya sudah tidak terasa lagi dalam hatinya. Mau rasanya dia m enjual istrinya seratus kali lagi untuk m em beli rasa bahagia barang satu jam. Dia berjalan terus, m enikm ati reaksi yang m en-dadak dan m em bahagiakan yang telah m engalihkannya dari keresahan ke kedamaian. Hampir-hampir dia mengucapkan terima kasih kepada istrinya karena m enem ui laki-laki lain, dan bukan m enghadap polisi seperti yang disangkanya sem ula. Pengalam an itu berakhir di luar dugaannya, m engejutkan dan m enyenangkan sekaligus. Yang paling jelas bagi Laurent dari kejadian ini, dia sadar telah salah merasa cemas dan bahwa dia sendiri pun sekarang harus m en-coba perzinahan sebagai obat bagi dirinya. Sore itu, dalam perjalanan pulang Laurent m em u-tuskan akan m em inta beberapa ribu frank kepada istrinya dan ia akan m elakukan apa saja un tuk m em perolehn ya. Bagi laki-laki, perjinahan itu mahal dan ia merasa iri terhadap perempuan karena m ereka dapat m enjual dirinya. Di rum ah, dengan sabar dia m enunggu Theresa yang belum pulang. Ketika dia datang Laurent pura-pura gem bira, tanpa m engata-kan sepatah pun bahwa ia telah m einata-m atainya tadi pagi. Theresa sedikit m abuk. Pakaiannya yang tidak rapi berbau tem bakau dan alkohol seperti yang biasa tercium di bar. Dengan badan letih dan wajah pudar, dia berjalan terhuyung-huyung, berat karena kesibukan yang m em alukan sehari tadi. Selama makan tak ada percakapan. Theresa tak mau makan apa-apa. Pada waktu m inum kopi Laurent m enelekankan sikutnya pada m eja dan tanpa berliku-liku m em inta lim a ribu frank.
262 Emile Zola “Tidak,” jawab Theresa pendek kasar. “Kalau aku m engikuti kem auanm u bisa-bisa kita kehilangan atap.... Apa engkau tidak m engetahui keadaan kita? Kita sedang m enuju ke kem iskinan.” “Mungkin,” jawab Laurent tenang. “Aku tak peduli, aku hanya perlu uang.” “Tidak, tidak, dan sekali lagi tidak! Engkau telah m elepaskan pekerjaanmu, usaha kita sudah macet, dan kita tidak dapat terus hidup dari bunga hadiah perkawinan. Setiap hari aku m enggerogoti m odalku untuk m em berim u m akan dan m em bayar- m u seratus frank setiap bulan. Hanya itu yang akan kaudapat, dan sebaiknya engkau m em aham i itu. Tak ada gunanya engkau m em in t a .” “Pikirkan dahulu, jangan cepat-cepat m enolak. Aku katakan aku perlu lim a ribu frank, dan aku akan m endapatkannya. Engkau akan m em berikannya, tak peduli apa yang akan engkau katakan.” Kegigihan Laurent m enyebabkan Theresa tersinggung dan m em buatnya betul-betul m abuk. “Ya, aku tahu,” teriaknya, “engkau m au kem bali ke asalm u.... Kam i telah m enunjangm u selam a em pat tahun. Engkau datang ke m ari hanya untuk m akan dan m inum dan sejak itu engkau m enjadi tanggungan kam i. Tuan Besar tidak berbuat apa-apa, Tuan Besar telah m engaturnya dem ikian rupa, hingga dapat hidup atas tanggunganku, dengan me-nganggur.... Sekarang engkau tidak akan mendapat apa-apa lagi, tidak satu sou pun.... Kalau m au tahu, akan kukatakan—engkau seorang....” Dan Theresa m engucapkan kata itu. Laurent tertawa terbahak- bahak, lalu m engangkat bahu. Satu-satunya jawabannya adalah, “engkau telah m em pelajari bahasa m anis dari lingkunganm u yang sekarang.” Itulah satu-satunya sindiran yang dapat dia lontarkan untuk petualangan asmara Theresa. Theresa cepat mengangkat kepala dan berkata dalam suara m asam , “setidak-tidaknya aku tidak bergaul dengan pembunuh.”
Theresa 263 Laurent m enjadi pucat sekali. Untuk sejenak dia bungkam , m atanya tertancap pada istrinya. Lalu, dengan suara gem etar dia berkata, “dengarkan, Sayang. J angan sam pai kita kehilangan kesabaran. Tak ada baiknya, baik bagim u m aupun bagiku. Ke- beranianku sudah habis. Sebaiknya kita saling m engerti kalau kita tidak m au celaka.... Aku m em inta lim a ribu frank karena aku m em butuhkannya. Bahkan aku dapat m engatakan akan aku pergunakan untuk membeli kedamaian batin kita.” Lauren t tersen yum an eh, lalu m elan jutkan , “Nah, coba pikirkan lagi dan berilah aku jawaban pasti.” “Aku sudah m em ikirkannya,” perem puan itu m enjawab. “Aku sudah m engatakan, engkau tidak akan m endapat satu sou p u n .” Suam inya bangkit m endadak. Theresa takut dia akan m enyiksanya lagi. Dia bersiap-siap, bertekad untuk tidak m enyerah terhadap pukulan-pukulan Laurent. Tetapi Laurent tidak m em ukul, bahkan m endekat pun tidak. Dia hanya mengatakan, ia sudah capai hidup dan ia akan pergi ke pos polisi terdekat untuk mengungkapkan seluruh peristiwa pembunuhan Cam illus. “Engkau telah m endesakku,” katanya, “engkau telah m em buat hidupku tak tertahankan. Aku ingin m engakhirinya.... Kita akan diadili dan dihukum m ati bersam a-sam a. Hanya itu.” “Engkau kira aku takut?” istrinya berteriak. “Aku pun jem u, sama seperti engkau. Dan kalau engkau tidak pergi ke polisi, aku yang akan pergi. Ya, ya, aku siap m engikutim u ke tiang gantungan, aku bukan pengecut sepertimu.... Mari kita pergi ke polisi sekarang.” Dia berdiri dan berjalan menuju tangga. “Baik,” Laurent m enjawab, “kita pergi bersam a-sam a.” Ketika sam pai di ruang toko m ereka saling pandang, gelisah dan takut. Mereka merasa seakan-akan terpaku di lantai. Dalam
264 Emile Zola tempo beberapa detik selama berjalan dari atas melalui tangga ke ruang toko mereka melihat konsekuensi-konsekuensi dari peng- akuan yang hendak dilakukannya. Mereka m elihat polisi, penjara, ruang pengadilan, guillotine; bolak-balik di depan m atanya dengan jelas. Dan jauh di dalam lubuk hati mereka menjadi lemah, tergoda untuk berlutut, untuk saling meminta tutup m ulut. Ketakutan dan kebingungan m em buat m ereka terdiam bungkam untuk selam a dua atau tiga m enit. Theresa yang lebih dahulu m enyerah kepada kelem ahannya. “Aku pikir,” katanya, “buat apa bertengkar tentang uang se- banyak itu denganm u. Toh, engkau akan berhasil m em boroskan- nya esok lusa. Apa bedanya kalau aku berikan sekarang.” Theresa tidak berusaha m enyem bunyikan kekalahannya. Dia duduk di belakang m eja bayar dan m em buat cek sebesar lim a ribu frank. Malam itu tak ada lagi pem bicaraan tentang polisi. Setelah m engantongi uang Laurent berm abuk-m abukan, mengunjungi pelacur-pelacur, memaksakan diri memasuki kehidupan liar dan riuh. Malam-malam bergadang, siang tidur, m alam nya berkeliaran lagi m encari kepuasan nafsu, m encoba m elarikan diri dari kenyataan. Tetapi hasilnya hanya tekanan batin yang lebih berat. Kalau orang berteriak-teriak di sekelilingnya, ia m endengar kesunyian dalam hatinya sendiri. Kalau seorang pelacur m encium nya, kalau dia m engosongkan gelas anggurnya, kemewahan itu tidak memberikan apa-apa kecuali kesedihan yang berat. Dia sudah bukan lagi pem uas nafsu dan pelahap yang baik. Dirinya sudah beku dan kaku, cium an perem puan dan pesta pora hanya m engganggu sarafnya. Karena sudah m erasa m uak sebelum nya, ia tidak pernah berhasil lagi m enghidupkan daya khayal untuk m erangsang nafsu dan seleranya. Dengan m elem parkan diri ke dalam kehidupan cabul penderitaannya justru bertam bah lagi. Hanya itu. Lalu, kalau dia pulang, kalau melihat lagi Theresa dan Madame Raquin, keletihan dan kejemuan
Theresa 265 berubah menjadi ketakutan dan keresahan. Dia bersumpah tidak akan keluar malam lagi, akan tetap tinggal di rumah bersama penderitaannya, dengan harap-an akan m enjadi terbiasa bahkan akhirnya dapat m engatasinya. Adapun Theresa, m akin lam a m akin berkuran g pula m eninggalkan rum ah. Sebulan lam anya ia hidup seperti Laurent, di jalanan, di kafe-kafe. Pulang sebentar untuk m enyuapi Madam e Raquin, m enidurkannya, lalu pergi lagi sam pai keesokan harinya. Pernah dia dan suam inya tidak bertem u selam a em pat hari. Akhirnya dia m uak, ia m erasa bahwa perzinahan sam a dengan kom edinya, tidak m em bantunya lagi. Sia-sia saja dia keluar-m asuk hotel m urahan di Latin Quarter, sia-sia saja dia m engarungi kehidupan kotor dan kasar. Saraf-sarafnya seakan patah. Percabulan, kesenangan badaniah sudah tidak sanggup lagi m em buat dia m elupakan kenyataan hidupnya yang sebenarnya. Ia seperti pem abuk yang langit-langit m ulutnya sudah hangus, tidak dapat lagi m erasakan panasnya m inum an keras yang paling keras pun. Dia tetap lesu di tengah-tengah gairah nafsu. Dalam pelukan laki-laki yang bersem angat pun ia tidak m enem ukan apa- apa kecuali kebosanan dan kejemuan. Sebab itu dia meninggalkan dunia itu, m erasa bahwa penghuninya sudah tidak ada gunanya lagi. Dia ditim pa keputusasaan yang m enahannya tetap tinggal di rumah dengan berpakaian kusut dan lusuh, rambut tidak bersisir, m uka dan tangan kotor. Dia m encoba m elupakan keadaan dirinya dalam serba kekotoran. Ketika kedua pem bunuh itu berhadapan m uka lagi dalam keadaan letih setelah masing-masing berusaha dengan segala macam cara untuk membebaskan diri dari kehadiran dan gangguan yang lain, m ereka sadar bahwa m ereka sudah tidak m em punyai tenaga lagi untuk bergelut. Perzinahan telah m enolak m ereka, dunia ini telah m elem parkan m ereka kem bali ke asalnya. Sekali lagi mereka mendapatkan diri di dalam ruang gelap lembap
266 Emile Zola di Passage, terpenjara di sana. Telah sering kali mereka mencoba melarikan diri, tetapi tidak pernah berhasil mematahkan ikatan berdarah yang m em persatukan m ereka. Mereka sudah tidak m au m em ikirkan lagi untuk m encoba hal yang tidak m ungkin itu. Mereka merasa begitu terdesak, begitu terpukul dan begitu erat terbelenggu, sehingga sadar bahwa setiap perlawanan hanya akan menggelikan saja. Mereka lanjutkan hidup bersama, namun kebencian yang satu terhadap yang lain m akin m endahsyat. Pertengkaran m alam terbuka lagi. Berarti pula teriakan dan pukulan berlangsung sepanjang hari. Mula-mula saling membenci, lalu saling mencurigai. Dan kecurigaan itu membawa mereka kepada kegilaan. Yang satu takut oleh yang lain. Kejadian-kejadian yang m enyebabkan Laurent m em aksa m em inta lim a ribu frank segera berulang lagi pagi dan malam. Masing-masing dihantui ketakutan bahwa yang lain akan berkhianat. Tak ada sesuatu pun yang dapat m enghapuskan obsesi ini. Kalau salah seorang berbicara atau berbuat sesuatu, yang lain m em bayang-kannya sebagai persiapan untuk pergi ke polisi. Lalu, m ereka saling cegah dengan keras atau saling m ohon dengan sangat untuk tidak m elakukannya. Dalam marah sering mereka berteriak mengancam akan lari dan m em bukakan seluruh rahasia. Mereka saling m enyakiti separah mungkin, lalu merendahkan diri lagi dan berjanji, dengan air mata pedih, akan menutup mulut. Mereka sangat m enderita tetapi tidak m em punyai keberanian untuk m em bakar lukanya dengan besi m em bara, agar hilang sem ua kum an-kum an penyakitnya. Kalau m ereka saling ancam dengan akan m em buat pengakuan dosa, pada hakikatnya itu hanya untuk m em buat yang diancam takut, padahal seorang pun tak akan pernah m em punyai keberanian untuk m engucapkannya dan m encari kedam aian dalam hukuman.
Theresa 267 Lebih dari dua puluh kali m ereka telah pergi sam pai ke pintu polisi, yang satu m engikuti yang lain di belakang. Sekali ini Laurent yang berm aksud m engaku, lain kali Theresa yang berlari hendak m enyerahkan diri. Dan selalu m ereka saling cegah di jalan, dan akhirnya selalu m em utuskan m elepaskan niat itu setelah saling mencaci-maki dan saling memohon dengan mesra. Setiap krisis baru membuat mereka lebih curiga dan lebih biadab. Dari pagi sampai malam mereka saling memata-matai. Laurent tidak pernah m eninggalkan rum ah, dan Theresa tidak akan pernah m em biarkan Laurent pergi sendiri. Kecurigaan dan ketakutan bahwa suam i atau istrinya akan m enyerahkan diri kepada polisi m enyebabkan m ereka tetap berada bersam a-sam a, terikat dalam keakraban yang keji sekali. Belum pernah sejak perkawjnannya m ereka begitu dekat satu sam a lain, dan belum pernah pula menderita sesakit sekarang. Namun, betapapun pedihnya siksaan yang disebabkan yang lain, m ereka tidak pernah mau me-lepaskan intaian masing-masing. Mereka lebih suka m enahan derita yang terpedih daripada berpisah barang sejam . Kalau Theresa turun ke toko Laurent m enguntitnya, karena khawatir Theresa akan m en goceh kepada lan ggan an . Kalau Laurent berdiri di am bang pintu m elihat orang lalu lalang di Passage, Theresa m engam bil tem pat di sebelahnya m enjaga agar dia jangan sampai berbicara dengan orang lain. Malam J umat, kalau tamu-tamu sudah hadir, mereka saling menjelajahi dengan pandangan mata, saling memperhatikan obrolan dengan seksama, sebab masing-masing menduga akan terlontar pengakuan, dan m asing-m asing m em berikan arti yang salah kepada kalim at- kalim at yang tidak selesai diucapkan. Perang semacam ini tak mungkin berlangsung terus. Secara terpisah Theresa dan Laurent m asing-m asing telah sam pai kepada pem ikiran m em buat kejahatan baru yang
268 Emile Zola diperhitungkan akan dapat m enyelam atkan dirinya dari kejahatan pertama. Tak ada jalan lain, salah satu harus musnah, sehingga yang tinggal dapat m enem ukan ketenangan. Pikiran ini terus- m enerus m enggoda benak m asing-m asing. Keduanya m erasakan pentingnya berpisah, keduanya m enghendaki perpisahan untuk selam a-lam anya. Niat m em bunuh yang tim bul di benak m asing- m asing, bagi m ereka m erupakan hal yang wajar, suatu hal yang harus terjadi, suatu konsekuensi yang tak terhindarkan sebagai akibat pem bun uhan Cam illus. Mereka sudah tidak sem pat lagi m em pertim bang-kan untung-ruginya, m ereka m engganggapnya se-m ata-m ata sebagai satu-satunya jalan dem i keselam atan sendiri. Laurent m em utuskan hendak m em bunuh Theresa karena Theresa m enghalangi jalannya, karena Theresa dapat m em binasakan hidupnya cukup dengan satu kata saja, dan karena dialah penyebab penderitaan yang tak tertahankan. Theresa m em utuskan m au m em bunuh Laurent dengan alasan yang sam a pula. Niat itu membuat mereka tenang sedikit. Masing-masing telah membuat rencana. Walau demikian mereka gugup dan gegabah. Mereka tidak memikirkan dengan seksama akibat- akibat yang m ungkin tim bul dari pem bunuhan tanpa persiapan yang baik, terutam a dalam m elarikan diri untuk m enghindari hu-kum an. Mereka hanya m erasakan m utlaknya m em bunuh, dan mengikuti perasaan itu seperti binatang mengamuk. Mereka tidak m au m enyerahkan diri karena kejahatan yang pertam a yang telah dengan sem purna sekali berhasil m ereka sem bunyikan, tetapi sekarang mereka akan mengambil risiko dihukum pancung untuk kejahatan kedua yang tidak pernah m ereka pikirkan untuk disem bunyikan. Pertentangan ini tidak m ereka rasakan. Masing- m asing hanya m eyakinkan diri kalau berhasil lari, m ereka akan pindah ke luar negeri, itu pun setelah m enyelam atkan dan m enguasai uang yang m asih tersisa. Dua m inggu sebelum nya
Theresa 269 Theresa telah m enarik sisa uangnya di bank yang tinggal beberapa ribu frank lagi, lalu m enyim pannya di sebuah laci dan diketahui oleh Laurent. Sedetik pun tak pernah m ereka m em ikirkan nasib Madame Raquin nanti. J auh sebelum nya lagi di jalan Laurent pernah bertem u dengan salah seorang bekas kawan sekolahnya, yang sekarang m enjadi asisten laboratorium seorang ahli kim ia yang ternam a yang m endalam i ilm u racun. Kawan ini m em bawa Laurent ke laboratorium tem pat dia bekerja, dan m em perlihatkan kepadanya berbagai peralatan dan racun-racun. Suatu malam, setelah m em punyai niat m em bunuh, ketika m elihat Theresa m inum segelas air manis tiba-tiba ia ingat bahwa ketika mengunjungi laboratorium ia pernah melihat botol kecil berisi cairan asam biru. Ia teringat pula kepada keterangan kawannya betapa kuat- nya racun itu, dapat m em atikan seketika dan tidak banyak m eninggalkan bekas. Itulah racun yang di-perlukannya. Keesokan harinya dia berhasil keluar rum ah sendirian dan m engunjungi kawannya, dan ketika kawannya sedang lengah Laurent m encuri gelas beracun itu. Pada hari yang sam a Theresa m em anfaatkan kepergian Laurent dengan m engasah sebilah pisau dapur. Pisau itu besar, biasa digunakan untuk membelah gula batu, dan telah berigi-rigi. Theresa m enyem bunyikannya di sebuah sudut lem ari.
BAB XXXII MALAM J UMAT berikutnya, suasana di keluarga Raquin gem bira sekali. Pertem uan berlangsung sam pai setengah dua belas. Ketika hendak pulang Grivet m engatakan bahwa ia belum pernah mengalami saat-saat gembira seperti sekali itu. Suzanne yang sedang ham il berbicara dengan Theresa sepanjang waktu tentang suka dan dukanya. Theresa seakan- akan m enunjukkan perhatian yang besar, m ata tetap m enatap, kedua bibir m erapat. Kadan g-kadan g ia m en un duk sedikit, membuat kelopak mata bagian bawah memberikan kesan gelap kepada seluruh wajahnya. Laurent dengan penuh perhatian m endengarkan Michaud dan Oliver yang berganti-ganti bercerita. Kedua laki-laki ini tak pernah m engenal lelah, dan hanya dengan sangat sulit Grivet berhasil m enyelipkan satu kata di antara kalim at-kalim at ayah dan anak. Di sam ping itu, Grivet m em punyai suatu penghargaan tertentu kepada m ereka. Dia m enganggap m ereka pem bicara-pem bicara yang baik.
Theresa 271 Pembicaraan telah menggantikan domino malam itu. Dengan polos sekali Grivet m engatakan bahwa pem bicaraan pensiunan polisi itu m enyenangkannya, ham pir sam a dengan berm ain d om in o. Selam a em pat tahun Michaud dan Grivet m enghabiskan waktu m alam J um atnya di keluarga Raquin, m ereka tak pernah m erasa jem u dengan pertem uan yang begitu-begitu juga, yang berlangsung dengan keteraturan yang m enegangkan saraf. Tak pernah sedetik pun m ereka m encium dram a yang sedang berlangsung dalam rum ah itu, yang m ereka rasakan begitu dam ai dan m enyenangkan setiap kali m ereka m asuk. Oliver sering m engatakan, ruang m akan itu berbau kejujuran. Grivet yang tak m au kalah, m enyebutnya Kuil Perdam aian. Belum lam a ini Theresa pernah menerangkan sekali dua kali bahwa parutan- parutan di wajahnya disebabkan karena terjatuh. Tak seorang pun dari m ereka m enduganya sebagai bekas tinju Laurent. Mereka yakin bahwa rum ah tangga tuan rum ahnya adalah rum ah tangga teladan, penuh dengan kemanisan dan kemesraan. Madame Raquin sudah tidak lagi mau mencoba m engungkapkan kebusukan yang berada di balik ketenangan itu. Setelah m enyaksikan penderitaan-penderitaan yang dialam i kedua pembunuh itu, dan setelah mempunyai irasat bahwa krisis-krisis itu pada suatu hari nanti akan menemukan jalan ke- luarnya sendiri untuk m enam pakkan diri, akhirnya dia m engam bil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa. Sejak itu seakan-akan dia m engundurkan diri, m em biarkan akibat pem bunuhan Cam illus berproses sendiri, sam pai akhirnya ganti m em bunuh kedua pem bunuh itu. Yang m en jadi harapannya hanyalah sem oga Tuhan m engizinkan dia hidup cukup lam a untuk m enyaksikan akhir pahit yang sudah diram alkannya. Keinginan terakhirnya hanyalah m em uaskan m ata m elihat puncak siksaan yang akan m em binasakan Theresa dan Laurent.
272 Emile Zola Malam itu Grivet duduk di sebelahnya dan berbicara lam a sekali, dan seperti biasa bertanya dan m enjawabnya sendiri. Nam un ia tak berhasil m enarik perhatian Madam e Raquin. Ketika jam berbunyi setengah dua belas tam u-tam u bangkit cepat-cepat. “Menyenangkan sekali di rum ah ini,” kata Grivet, “sehingga kita lupa pulang.” “Soalnya,” Michaud m em bantu, “aku tak pernah m engantuk di sini, padahal aku biasa tidur pukul sembilan.” Oliver m enganggap sudah saatnya dia berseloroh. “Nah, percaya tidak,” katan ya m em pertun jukkan gigi kun in gn ya. “Tem pat in i berbau kejujuran . Itulah sebabn ya m enyenangkan.” Grivet yang tersinggung karena kedahuluan Oliver berkata dengan tegas, “ruangan ini adalah Kuil Perdam aian.” Sam bil m engikatkan tali topinya Suzanne berkata kepada Theresa, “Saya akan datang besok pukul sem bilan.” “J angan,” Theresa m enjawab cepat. “J angan datang sebelum tengah hari.... Mungkin pagi-pagi saya pergi. Theresa berkata dengan suara aneh dan gugup. Dia m engantarkan tam u-tam unya sam pai ke pintu. Laurent pun turun ke bawah membawa lampu. Setelah tinggal berdua lagi, keduanya bem afas lega. Rasa tidak sabar telah m enekan m ereka sepanjang malam. Sejak hari kemarin, keadaan mereka lebih suram daripada biasa, lebih gelisah kalau sedang berdua. Mereka m en ghin dari bertem u pan dan g. Keduan ya kem bali ke atas tanpa berkata. Tangan m ereka gem etar sekali, sehingga Laurent terpaksa segera meletakkan lampu di meja, menjaga agar jangan sampai terlepas. Sebelum menidurkan Madame Raquin mereka biasa m em bereskan dahulu ruangan m akan, m enyediakan segelas air m anis, bergerak bolak-balik di sekitar yang lum puh itu sam pai se gala-galanya selesai.
Theresa 273 Malam itu, setelah kembali ke atas mereka duduk dahulu sebentar, saling menghindari pandangan dan bibir masing- m asing pucat sekali. Setelah lam a berdiam Laurent bertanya seperti baru sadar dari m im pi, “Apa kita tidak akan tidur?” “Ya, tentu saja kita akan tidur,” Theresa m enggigil seperti ked in gin a n . Dia bangkit lalu mengambil botol air. “Biar,” seru suam inya dengan suara yang dicobanya terdengar wajar. “Akan kusiapkan air gula.... Engkau urus saja bibim u.” Laurent m engam bil botol dari tangan istrinya, lalu m engisi sebuah gelas. Lalu, dengan setengah berbalik ia m engosongkan pula botol racun ke dalam gelas itu dan selanjutnya m em bubuhinya dengan gula. Sementara itu Theresa berhasil mendekati lemari. Dia m engam bil pisau dan m encoba m enyem bunyi-kannya di saku bajunya yang lebar. Pada saat yang bersamaan, sebuah irasat aneh yang m em beritahukan adanya ancam an bahaya m em buat keduanya cepat membalikkan badan secara naluriah. Pandangan mereka bertem u. Theresa m elihat botol racun di tangan Laurent dan Laurent m elihat kilat pisau di antara lipatan baju Theresa. Untuk sejenak mereka saling tatap lagi dengan terbelalak, diam dan dingin, suam inya dekat m eja, istrinya m em bungkuk di depan lem ari. Mereka m engerti. Keduanya terkejut m elihat pikirannya sendiri terbayang di m ata m usuhnya. Ketika m asing-m asing m em baca rahasia batin sendiri pada wajah yang lain, pada ke- duanya tim bul rasa iba sekaligus takut. Madam e Raquin yang m erasakan bahwa akhir kisah sudali mendekat, memandang mereka dengan tajam tanpa berkedip. Tiba-tiba saja Theresa dan Laurent m eledak m enangis berbarengan. Krisis terakhir telah m eliputi diri dan m elem parkan m ereka ke dalam pelukan yang lain, lem ah bagaikan anak kecil. Terasa sesuatu yang m anis lem but m enguak dalam dada m asing-
274 Emile Zola m asing. Keduanya m enangis tanpa kata, teringat kepada hidup kotor yang telah dijalani dan yang akan tetap harus dijalani seandainya tidak ada keberanian untuk hidup. Lalu, keduanya merasa letih, kesal dan jemu terhadap diri sendiri, bahkan begitu rupa, sehingga terasa keperluan yang sangat m endesak untuk beristirahat, untuk m elupakan segala-galanya. Laurent dan Theresa bertukar pandang terakhir kalinya, pandangan penuh syukur disaksikan oleh pisau dan gelas beracun. Theresa m engam bil gelas itu, m eneguk setengahnya, lalu m enyerahkan kepada Laurent yang segera m enghabiskannya. Adegan itu berlangsung secepat kilat. Berturut-turut m ereka terjatuh seperti disam bar petir, yang satu m enim pa yang lain. Akhirnya m ereka m enem ukan kedam aian dalam m ati. Mulut Theresa m enem pel pada leher Laurent, tepat pada bekas luka yang ditinggalkan gigi Gam illus. Kedua m ayat itu tergeletak di lantai ruang m akan sem alam suntuk. Dan ham pir sebelas jam lam anya sam pai siang keesokan harinya, m ata Madam e Raquin berpesta-pora m em andangi kedua m ayat yang bergelim pangan di dekat kakinya dengan tak puas- puasnya, dengan sorot m ata penuh kebanggaan dan kebencian. TAMAT
TENTANG PENULIS EMILE ZOLA dilahirkan di Paris pada tahun 1840 . Ayahnya berdarah cam puran Itali dan Yunani, ibunya seorang Perancis. Bakal pengarang ini dibesarkan di kota Aix, dan satu-satunya peninggalan ayahnya hanyalah sebuah perkara pengadilan. Tahun 1851 dia kem bali ke Paris. Bukunya yang pertam a diterbitkan tahun 1864 dan pada tahun 1866 ia m elepaskan pekerjaanya sebagai kerani untuk m encurahkan seluruh hidupnya kepada kesusasteraan. Setelah itu m em banjir karya-karyanya yang m em buat dia m eraih nam a internasional sebagai seorang raksasa realism e. Karyanya yang paling tersohor adalah Rougon- Macquarts, satu seri terdiri dari dua puluh novel, di antaranya Nana, karyanya yang abadi. Theresa (Theresa Raquin) sudah merupakan suatu sukses sejak penerbitannya di tahun 1867. Belakangan buku ini digubah oleh Zola sendiri untuk keperluan teater dan pernah dim ainkan di seluruh dunia dalam berbagai versi. Zola m eninggal di Paris pada tahun 190 2. Pada pem akam annya, Anatole France m engucapkan pidato, di antaranya berbunyi: “Dia
EMILE ZOLA THERESA Emile Zola adalah seorang penulis Prancis yang berpengaruh. Ia adalah tokoh pening aliran naturalisme dalam sastra Prancis dan tokoh terkemuka dalam liberalisasi poliik di Prancis. Berlatar kehidupan Prancis yang kumuh dengan lorong-lorong gelap tahun 1800-an, Emile Zola memotret kehidupan masyarakatnya lewat tokoh Theresa, Madame Raquin, Camillus, dan Laurent. Penuh dengan intrik, nafsu, dan keegoisan, Theresa mampu menampilkan kerapuhan manusia. SASTRA KPG: 59 16 01196 KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3, Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3359; Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com KepustakaanPopulerGramedia; @penerbitkpg; penerbitkpg
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284