Penulis Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton 1
BANYUMAS: Fiksi & Fakta Sebuah Kota Penulis : Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton Editor : Cover : Privat Lespanglo Tata letak: : bukutujju Hak Cipta pada Penulis Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit Diterbitkan oleh Beranda Budaya Desa Bojongsari Rt 02/ Rw 05 Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Purwokerto Email : Blog : berandaperadaban.blogspot.com bekerjasama dengan bukutujju divisi bukuKatta villa bukit cemara no. 1, mojosongo, solo blog. bukukatta.blogspot.com | bukutujju.blogspot.com ANGGOTA IKAPI Cetakan 1 Januari 2013 ISBN : 978-979-1032-??-? Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) BANYUMAS: Fiksi & Fakta Sebuah Kota Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton Cetakan 1 – Solo Penerbit Beranda Budaya dan bukutujju, 2013 164 halaman : 14 x 20,5 cm ISBN : 978-979-1032-??-? I. Non Fiksi II. Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton 2
Kata Pengantar BILA dipikir-pikir ataupun diingat secara mendalam, bahwa mulanya kami tak pernah merencanakan untuk membukukan esai-esai di dalam buku ini secara bersamaan. Mulanya, kami menulis esai-esai ini secara lepas, yakni untuk koran-koran, majalah, kata pengantar buku, ataupun menulis saat diminta jadi pembicara dalam sebuah diskusi. Kami menulis secara individu dan subjektif. Benar memang, bahwa kami sering berdiskusi tentang budaya dan sastra, juga perihal masalah sosial di café, angkringan ataupun di kampus, tapi diskusi itu biasanya lebih untuk mecairkan pemahaman setelah suntuk membaca atau saat ada permasalahan yang tak kunjung menemu titik terang. Mulanya, kami lebih ingin menerbitkan majalah atau semacam buletin yang diterbitkan dalam beberapa bulan sekali. Betapa beberapakali kami berdiskusi, berkonsep dan sempat bertanya-tanya pada kawan-kawan di Solo dan Yogya tentang penerbitan buletin, dan hasilnya masih dalam angan-angan. Kehampaan dan kekosongan terus menghantui kami. Butuh waktu yang cukup lama hingga mengantarkan kami bersepakat untuk menerbitkan esai tentang Banyumas ini. Dari cara kami saling mengaggumi pandangan, kritik, sanggahan, juga karakteristik saat berdiskusi, kemudian terbersit rasa penghargaan yang lebih mendalam. Dari diskusi, selalu ada intelektualitas yang baru; sebuah batas 3
pandang yang menambah penemuan. Maka itu, kami berpikir dalam tindakan yang cukup santun, yakni dengan menerbitkan secara bersama esai-esai kami tentang Banyumas: sebuah kotan kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa. Kami menulisnya dengan berbagai macam sudut pandang. Keberagaman itulah yang dapat dilihat dalam buku ini, terutama dalam cara kami berdendang, memosisikan, menafsirkan, dan menelusuri Banyumas sebagai subkultur budaya. Kami tahu dan paham betul bahwa Banyumas tidaklah sehebat kota-kota besar di Indonesia. Namun, kami sadar, bahwa Banyumas sebagai kota yang memiliki relasi sosial juga memiliki sistem kebudayaan. Menarik kiranya, jika mengidentifikasi sebuah pola interaksi dan beberapa dinamika yang ada di Banyumas dari mulai sejarah, teknologi, film, perkembangan trend dan mode, kearifan lokal, pembacaan “tanda sosial”, sampai pada kritik sastra. Beberapa fenomena itu menarik untuk dibicarakan karena tidak banyak orang yang menyadari posisi dan jaraknya dalam keberadaan mereka sendiri. Dan hal itu, ternyata ada di Banyumas. Tentunya, sebuah kota yang dipandang sebagai subkultur Jawa memiliki perbedaan dengan kota lainnya. Iktikad lain yang membuat kami pada akhirnya berkeras hati menerbitkan esai-esai karena minimnya tinjauan popular kritis yang membicarakan Banyumas. Kebanyakan orang membicarakan Banyumas lebih dari sejarah, babad, cerita, dan kenangan-kenangan. Bukan berarti semua itu tidak penting, melainkan patut untuk kita sadari bahwa keberpijakan kita di masa sekarang juga tidak kalah pentingnya. Semua itu dalam rangka kesadaran agar sejarah, babad, cerita, dan kenangan-kenangan tidak menjadi belenggu bagi kehidupan yang lebih cerah lagi. 4
Jika dicermati, tidak banyak buku yang membicarakan Banyumas. Kalaupun ada, jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari, yang kebanyakan bermula dari penelitian, baik penelitian individu dalam tugas belajar maupun penelitian dalam rangka pengabdian kepada masyarakat. Buku-buku tersebut biasanya ditulis dengan sangat ilmiah dan bahasanya cukup kaku sehingga terasa membosankan bila dibaca dari awal hingga akhir. Paling-paling, yang betah membaca adalah orang-orang yang sedang memiliki kepentingan untuk melakukan penelitian serupa. Padahal, yang diharapkan dari sebuah buku yang disebarkan luas pada masyarakat itu untuk dibaca tidak hanya bagi yang berkepentingan saja. Alangkah baiknya sebuah buku yang berisi kata-kata dapat menjadi bagian dari realitas. Mohon maaf bila pernyataan ini menyinggung, namun begitulah kenyataan di masyarakat yang menjunjung tinggi keberlisanan dan senantiasa merayakan visualisasi. Dan kami merasa penting kiranya untuk menyuguhkan bacaan ringan tentang sebuah kota yang menjunjung tinggi keberlisanan dan senantiasa merayakan visualisasi untuk mencintai aksara. Dalam artian, ada usaha dari kami untuk turut menggairahkan “budaya membaca” yang mulai luntur dalam simpang- siur gejolak mode. Kendati esai-esai di dalam buku ini bermula dari koran-koran, majalah, kata pengantar buku, ataupun saat diminta jadi pembicara dalam sebuah diskusi, itu bukan berarti kami berkhianat pada dunia tulis-menulis dengan melakukan auto-plagiasi. Pembukuan esai-esai ini lebih dimaksudkan sebagai dokumentasi, memperbanyak referensi tentang Banyumas, juga untuk menampilkan keutuhan agar mudah dipahami oleh orang, selain —tentunya— mudah dilacak jejaknya. Sulit rasanya untuk dilacak bila tulisan hanya 5
bertebaran di koran, yang berlalu dalam sekali terbit (sehari), lantas menjadi bungkus nasi rames. Perlu untuk diketahui bahwa esai-esai yang ada di dalam buku ini berbasiskan observasi dengan interpretasi yang cukup menarik melalui pembacaan terhadap “tanda sosial”. Adakalanya esai ditulis berdasarkan pengalaman, berdasarkan keturutsertaan dalam peristiwa tertentu, namun tak menutup kemungkinan juga bermula dari diskusi (wawancara mendalam) yang kemudian diolah untuk ditulis secara naratif, deskriptif dan argumentatif. Hanya saja, memang, dalam tulisan-tulisan kami, hanya menggunakan teknik cuplikan untuk memperkuat bukti bahwa pandangan yang ditulis bukan asal menduga. Kendati cara pandang kami di dalam esai (sebagai sebuah pemikiran) adalah subjektif, tetapi kami ingin menyapaikan sesuatu dengan dapat dipertanggungjawabkan dan logis. Begitulah sepantasnya sebuah esai dapat bergema sebagai pengetahuan dan bersuara atas lingkungan di sekitarnya. Di akhir pengantar ini, perkenankanlah kami untuk mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada kawan-kawan di Banyumas yang dengan sengaja atau tidak sengaja berdiskusi dengan kami, dan ternyata menjadi ide dari salah satu tulisan yang termuat di buku ini. Kami sering menghabiskan malam berdiskusi di Angkringan Mas Manggar (di belakang Kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan kepadanya kami ucapkan terima kasih untuk kesediaan tempat dan kerelaan hati turut berdiskusi. Purwokerto, 20 Nopember 2012 Beranda Budaya 6
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi SEJARAH Epik Banyumas sebagai Muatan Lokal Museum Sokaraja Riset Masjid Sayid Kuning TEKNOLOGI Identitas Kultural “KayaKiye” Nativisme dalam Film Indie Banyumas Videografi Budaya Banyumas Regenerasi Sinematografi Purbalingga Perempuan Banyumas dalam Film Video(tron) Pendidikan di Purbalingga IKON, TANDA, DAN RUANG Semiotika Pembangunan Purbalingga Ikonisitas Masyarakat Banyumas Kartun Banyumasan sebagai Dagelan Budaya 7
Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna Ancas Politik Bahasa Banyumas Rumah dalam Lintas Lokalitas KEARIFAN LOKAL DAN REVITALISASI Batik Warisan Budaya Nirgenerasi Kearifan Lokal Banyumas dalam Film Revitalisasi \"Dagelan\" Banyumas SASTRA Kontestasi Sastra di Banyumas Ihwal Ekranisasi Ronggeng Dukuh Paruk Identitas Wong Banyumas dalam Cerpen Antologi Sastra dan Lembaga yang Memproduksi HTKP: Sastra Indie dari Kota Mendoan Sastra Banyumas di Dunia Gadget Religiusitas Alam Penyair Mas’ut Aura Modern dan Tubuh di dalam Puisi Dharmadi Identitas Bahasa dari Cerpen Ryan Rachman Bahasa, Cermin, Kaca Pembesar dalam Puisi Badruddin Emce Badruddin, Diksi dan Identitas Diri BIODATA ESAIS 8
Sejarah 9
Epik Banyumas sebagai Muatan Lokal SEJARAH berdirinya Kabupaten Banyumas dan sekitarnya (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara) memiliki pertalian yang begitu erat, bahkan tak dapat dipisahkan satu dengan lainya. Nama-nama tokoh epik di Banyumas memiliki narasi paralel dengan asal-usul dan tokoh epik di wilayah sekitarnya. Sebut saja; Raden Joko Kahiman, Banyak Catra atau Kamandaka, Pule Bahas, Dewi Ciptarasa, Pasir Luhur, Kembang Wijaya Kusuma, Arsantaka, Tepus Rumput, Adipati Onje, atau Adipati Merden. Nama-nama yang Saya sebut di atas adalah nama tokoh yang terdapat dalam khasanah kearifan sejarah lokal Banyumas Raya. Dalam banyak kisah (babad di Banyumas), nama-nama tersebut saling berkaitan. Nama-nama tersebut sesungguhnya begitu lekat dengan narasi historis berdirinya kabupaten-kabupaten di wilayah Eks Karesidenan Banyumas. Dan tentu saja sangat familiar bagi masyarakat Banyumas. Tapi tunggu dulu, sebab nyatanya nama tokoh epik tersebut ternyata menjadi sangat asing di telinga generasi muda dan pelajar Banyumas. 10
Mereka justru lebih familiar dengan tokoh-tokoh epik ilusif dari negeri seberang. Mereka lebih paham siapa Batman, Peter Parker, Clark Kent, Rambo, atau Harry Potter, Cinderela, atau Romeo-Juliet. Yang tadi memang bukan tokoh epik nyata, melainkan tokoh dunia dongeng atau khayalan. Tapi popularitasnya melampaui tokoh-tokoh epik dalam negeri, apalagi tokoh epik lokal Banyumas. Kearifan Lokal Narasi sejarah berdirinya Banyumas, dan kabupaten di sekitarnya sangat panjang. Di Purbalingga terdapat tiga babad. Yaitu babad Onje, babad Purbalingga, dan babad Jambukarang. Kemudian di Banyumas sendiri terdapat di babad Pasir-Banyumas. Konsekuensinya sejarah ini meninggalkan banyak tokoh yang namanya berkelindan dengan lahirnya Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Belajar sejarah, sebenarnya bukan sekedar mengingat nama, tempat atau angka tahun belaka. Sebab sejarah tidak hanya menyisakan kisah dan latarnya. Pada setiap sejarah atau kisah epik selalu meninggalkan ajaran tentang nilai-nilai moral, kearifan, religiositas, bahkan falsafah hidup. Yang terpenting dari belajar sejarah adalah bagaimana kita menjadi tahu dan mengenal jati diri. Sehingga kita tidak mudah tercerabut dari akar sejarah, tidak mudah terpengaruh gerusan budaya asing yang tidak sejalur dengan peradaban bangsa kita. Sesungguhnya, pada sejarah berdirinya Banyumas terdapat banyak nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang layak dipelajari dan diteladani. Beberapa diantaranya adalah 11
narasi epik Raden Joko Kahiman, Pule Bahas, epik Kerajan Pasir Luhur, kembang Wijaya Kusuma dan Nusa Kambangan. Di Purbalingga terdapat epik Kyai Jambu Karang yang dimakam di petilasan Ardi Lawet Kecamatan Rembang, Raden Narasoma di petilasan Narasoma, Ki Arsantaka di petilasan Arsantaka Kecamatan Purbalingga. Adipati Onje di Onje Kecamatan Mrebet dan Adipati Dipakusuma dan Tumenggung Dupayuda di petilasan Giri Cendana Kecamatan Bojongsari. Kepahlawanan dan keluhuran budi sederet tokoh epik lokal tersebut, patut disejajarkan dengan tokoh-tokoh epik nasional. Namun selama ini, kearifan lokal yang merupakan warisan budaya tak benda (intangible asset) dari tokoh legenda ini tak pernah dikenalkan pada generasi muda. Setali tiga uang, keberadaan artefak peninggalan sejarah bendawi (tangible asset) yang tersebar di wilayah Banyumas Raya juga tak dikenal oleh generasi muda. Beberapa diantaanya berupa bangunan kuno seperti Masjid Kuning di Onje, tempat yang dianggap sakral seperti; Batu Tulis di Desa Cipaku Kecamatan Mrebet, Batu Lingga dan Gua Genteng di desa Candinata Kecamatan Kutasari, Sendang atau Petirtaan di desa Semingkir, Kecamatan Kutasari. Di Desa Kedungbenda Kecamatan Kemangkon terdapat Batu Lingga, Yoni dan Palus, di Kecamatan Karangjambu terdapat Menhir dan Punden berundak. Di Kecamatan Rembang terdapat monumen tempat lahir (MTL) Panglima besar (Pangsar) Jendral Sudirman. 12
Kurikulum Keberadaan artefak peninggalan peradaban masa lampau tersebut sesungguhnya dapat dijadikan media pembelajaran (pendidikan). Bahkan jika dikelola dengan manajemen yang profesional, eksistensi warisan budaya ini menjadi potensi wisata budaya yang menarik wisatawan. Artinya, upaya pelestarian warisan budaya ini tak hanya bernilai edukasi tapi juga ekonomis. Di wilayah Banyumas Raya sesungguhnya terdapat banyak potensi potensi wisata edukasi dan budaya. Seperti museum uang, taman reptile dan insekta, taman biota air tawar dan taman buah-botani di Purbalingga. Iini semua dapat dijadikan media edukasi bidang sains. Kemudian museum Prof Dr Soegarda Poerbakawatja, monumen tempat lahir (MTL) Pangsar Sudirman. Museum Soesilo Soedarman dan Benteng Pendem di Cilacap, belasan Candi dan situs bersejarah di Banjarnegara Nah, permasalahannya adalah keberadaan sumber- sumber belajar sejarah dan kearifan lokal tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh dunia pendidikan. Guru, sekolah dan dinas pendidikan belum memiliki itikad baik untuk mengemas narasi-narasi epik lokal menjadi salah satu mata pelajaran yang penting dipelajari di dunia pendidikan formal. Saya melihat ada kegamangan pada stoke holder pendidikan untuk memasukan sejarah lokal menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Ini terjadi karena KTSP belum dipahami secara holistik. Tafsir linier atas KTSP sebagai turunan KBK membuat guru sejarah dan dinas pendidikan 13
sebagai kepanjangan tangan pemerintah lupa dengan potensi-potensi yang ada di depan mata. Multikulturalisme Yang selama ini terjadi adalah dunia pendidikan begitu gencar mengenalkan peradaban baru yang datang dari luar. Ini merupakan keniscayaan sebagai efek pencanggihan teknologi informasi dan akselarasi kemajuan ilmu pengetahuan. Namun jika tidak diimbangi dengan internalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa maka ini akan mengakibatkan generasi muda teralienasi dari jati dirinya. Mereka tidak lagi mengenal asal-usul karena perkembangan peradaban cenderung membentuk karakter manusia menjadi kongruen, sama dan sebangun. Tak ada lagi identitas, dan lokalitas, semua bergerak ke arah yang sama menuju satu titik yang sama. Lantas menjadi lupa dari mana berasal. Jika narasi sejarah epik Banyumas telah menjadi bagian dari mata pelajaran di sekolah, maka generasi muda terkini akan menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus kehilangan sejarah dan jati dirinya. Mereka akan jadi SDM yang canggih dan selalu terkini tetapi tetap merayakan seni tradisi. Belajar sejarah epik lokal merupakan bagian dari spirit menghargai mulikulturalisme budaya dalam semangat membangun peradaban bangsa.*** 14
Museum Sokaraja SOKARAJA bukanlah wilayah kota yang dibangun dengan konsep tataruang paling mutakhir. Sokaraja hanya sebuah kota kecamatan di Kabupaten Banyumas, secara geografis berada di sebelah timur kota Purwokerto –ibukota Banyumas sekarang-. Namun sudut-sudut tempat ini menjadi sejenis memori yang menyimpan berbagai sejarah yang terekam sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Beberapa diantaranya merupakan potensi warisan budaya (cultur heritage) representasi kearifan lokal yang tak lagi mendapat perhatian. Setidaknya ada 4 (empat) jenis aset warisan budaya di Sokaraja yang layak dijadikan bahan studi. Yaitu (a) sejarah tanam paksa (cultuurstelsel), (b) industri batik Banyumas, (c) lukisan rakyat, dan (d) pendidikan (religiusitas). Ini dapat dijadikan modal dasar bagi pendidikan karakter anak bangsa. Namun sayangnya penetrasi dan gerusan akselarasi arus pencanggihan teknologi mengancam sebagian warisan budaya tersebut. Jika dibiarkan begitu saja, bukan mustahil generasi sepuluh tahun mendatang akan kehilangan referensi tentang identitas kulturalnya. 15
Sejarah Merunut sejarah, masa kolonial Belanda (tahun 1840- 1870), Sokaraja merupakan distrik pertama tempat investasi dan eksperimentasi sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Saat itu adalah masa perlawanan Pangeran Diponegoro. Sistem tanam paksa berimplikasi positif bagi pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api, jalan raya, jembatan, pasar, saluran irigasi, dan lain-lain. Semua dalam rangka kelancaran tanam paksa. Bahkan pada tahun 1839, di wilayah selatan Sokaraja (sekarang Kecamatan Kalibagor) didirikan Pabrik Gula (PG) Kalibagor. Tanam paksa berjasa mengenalkan model pertanian homogen yang hingga sekarang masih dipraktekan. Model ini mewajibkan petani dalam satu wilayah hanya menanam satu jenis tanaman. Saat itu jenis tanaman wajib adalah tebu yang menjamin berlangsungnya produksi di PG. Sementara, di wilayah lain, petani hanya boleh menanam satu jenis tanaman yang berbeda seperti kopi, teh, tembakau, kakao dan lain-lain. Tiap wilayah memiliki keunggulan produk pertanian yang berbeda-beda. Nilai positif praktek tanam paksa merupakan salah satu keunikan warisan budaya yang dilupakan. Setali tiga uang, PG Kalibagor yang pernah menjadi salah satu sentra produksi gula pasir terbesar di tanah Jawa, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Pabrik ini terakhir beroperasi sekitar tahun 1996 dan resmi ditutup oleh pemerintah setempat pada tahun 1997, karena pasokan bahan baku utama terus menyusut. 16
Batik Diakuinya batik sebagai salah satu warisan budaya umat manusia yang berasal asli dari Indonesia oleh UNESCO beberapa waktu lalu membuka horizon harapan bagi perkembangan batik lokal Banyumas. Sejarah batik Banyumasan sebagian bermula dari Sokaraja. Di sini, yang menjadi sentra industri antara lain Desa Sokaraja Kidul, Sokaraja Lor, Sokaraja Tengah, Sokaraja Kulon, dan Karang Duren. Di luar Sokaraja, terdapat di Desa Pekunden, Pasinggangan, Sudagaran, dan Papringan Kecamatan Banyumas. Saat ini industri batik di Sokaraja terancam stagnasi. Ini terjadi akibat minimnya minat generasi muda untuk belajar membatik. Belum lagi persaingan dengan batik dari luar daerah. Lukisan Seni membatik sesungguhnya identik dengan melukis. Ini pula yang kemudian di Sokaraja pernah berkembang industri kreatif jenis lukisan. Sekitar tahun 1970 hingga 1980- an konon Sokaraja dikenal sebagai kota galeri lukisan terpanjang di Asia. Lukisan Sokaraja dikenal dengan gaya Mooi Indie atau Hindia Molek (Tubagus P. Svarajati). Diungkapkan bahwa estetika Mooi Indie pada lukisan Sokaraja relevan dengan kebudayaan masyarakat Jawa saat itu. Lukisan Sokaraja saat ini menjadi barang antik yang sangat langka. Jika pada tahun 1990-an lukisan Sokaraja masih mudah dijumpai, maka saat ini nyaris tidak ada. 17
Semangat dan hasrat untuk melukis mulai luntur dari akar tradisi, ini terjadi akibat kurangnya apresiasi generasi muda dan gerusan arus budaya modern yang merusak sistem sosial. Religiusitas Pada masa kolonial, Belanda sempat mendirikan sekolah di Sokaraja khusus bagi pendidikan anak turunan orang Belanda yang menjadi pegawai di PG. Kemudian, Belanda mendirikan Sekolah Bumiputra (Inlandsche School) atau Sekolah Rakyat (Volksschool) bagi anak turunan pribumi yang orang tuanya bekerja sebagai pejabat pemerintah. Namun, pada bidang pendidikan Sokaraja justru lebih dikenal dalam bidang keagamaan sehingga kerap dijuluki Kota Santri. Julukan ini hingga sekarang masih lekat. Puluhan Pondok Pesantren yang diasuh oleh kiyai kharismatik bertebaran di sudut Sokaraja. Warisan religiusitas masyarakat juga tercermin pada berbagai jenis seni tradisional yang berkembang di Banyumas, seperti Hadroh, Wayang, Kethoprak Tobong, Tari dan lain-lain. Museum Saat ini kondisi sebagian besar warisan budaya tersebut sangat memprihatinkan. Salah satu cara untuk melestarikan sejarah dan nilai-nilai luhur yang terkandung adalah dengan mendirikan museum Sokaraja. Museum ini bisa diwujudkan dengan memanfaatkan gedung eks PG Kalibagor yang juga bagian penting sejarah berdirinya Kabupaten Banyumas. Langkah awal adalah menelusuri dan mengumpulkan kepingan artefak sejarah dan warisan budaya yang pernah 18
ada. Berikutnya didokumentasikan (disimpan) dalam museum. Sebagai pusat dokumentasi warisan budaya, museum dapat dimanfaatkan sebagai pusat studi sejarah dan kearifan lokal, melengkapi keberadaan museum Wayang Sendang Mas di Kota Lama Banyumas. Puncaknya, museum menjadi salah satu media edukasi dan pembentukan karakter bagi pelajar. *** 19
Riset Masjid Sayid Kuning MASJID Sayid Kuning di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, selama ini lebih dikenal sebagai pusat pelestarian ajaran Tarikat Islam Aboge daripada sebagai situs purbakala. Padahal, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, masjid itu termasuk benda cagar budaya yang wajib dilindungi keberadaannya. Nama Islam Aboge, biasanya ramai dibicarakan pada saat menjelang penetuan awal Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Hal itu terjadi lantaran ketentuan hari-hari atau tanggal tersebut kerap berbeda dari ketetapan pemerintah dan umat Islam lainnya. Ajaran Islam Aboge sendiri kali pertama diperkenalkan oleh Ngabdullah Syarif Sayid Kuning. Dalam buku Sejarah Lahirnya Purbalingga, rekontruksi hasil penelitian LPM UGM Yogyakarta 2007, ia disebut dengan nama Sayid Abdullah. Rekontruksi sejarah itu dibangun berdasarkan cerita yang berasal dari beberapa babad yang ada di Purbalingga dan Banyumas. 20
Aboge Terminologi aboge sendiri merupakan akronim dari kata Alif, Rebo, dan Wage. Aboge adalah sistem penghitungan kalender yang didasarkan pada masa peredaran windu atau delapan tahun. Satu windu menurut kalender Aboge terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Menurut kalender Aboge, 1 Muharam —yang pertama— dipercaya jatuh pada tahun Alif, hari Jumat, dengan pasaran Pon. Tahun Alif adalah tahun pertama, sedangkan hari Jumat dan pasaran Pon adalah hari dan pasaran pertama.Kalender Aboge mengenal lima pasaran; yaitu Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing. Kemudian jumlah hari dalam sebulan rata-rata 29 hingga 30 hari. Dengan sistem kalender itu, penganut Aboge dapat menentukan kapan dan pada hari apa 1 Ramadan atau 1 Syawal tiba. Sistem perhitungan itu kerap menimbulkan perbedaan antara penganut Aboge dengan umat Islam lainnya, termasuk ketetapan pemerintah dalam penetapan awal puasa Ramadan. Sayid Kuning Sebenarnya, silsilah atau asal-usul Raden Sayid Kuning sendiri tidak begitu jelas. Dalam buku sejarah versi Babad Purbalingga, hanya ada tokoh bernama Sayid Abdullah atau Kyai Samsudin. Pada versi Babad Onje, nama Abdullah disebut dengan Ngabdullah (hlm 27).Versi Babad Purbalingga menyebutkan, Sayid Abdullah adalah menantu Adipati Onje II, Kiai Dipati Anyakrapati. Dia 21
mempersunting putri pertama Anyakrapati —hasil perkawinannya dengan istri kedua—, yaitu putri Adipati Pasir Luhur (hlm 23). Sementara itu versi Babad Onje justru menyebutkan tokoh bernama Abdullah (Ngabdullah) sebagai Kiai Dipati Anyakrapati. Dia adalah anak tiri Kiai Tepusrumput atau yang dikenal dengan nama Ki Ageng Ore-Ore (Adipati Onje I) (hlm 27). Namun dalam peta silsilah Babad Banyumas (hlm 37); sub-bagian Babad Purbalingga (Onje) disebutkan bahwa Sayid Abdullah adalah suami dari Putri Adipati Onje II, hasil perkawinan dengan Putri Pasir Luhur. Adipati Onje II punya dua istri, yaitu Putri Cipaku dan Putri Pasir Luhur. Karena perselisihan, keduanya lalu dibunuh. Sebagai gantinya, disuntinglah putri Kiai Pingen bernama Arenan. Adipati Onje I menyebarkan agama Islam pada kurun waktu antara Abad XVI sampai XVII. Setelahnya, dilanjutkan oleh Sayid Kuning. Oleh masyarakat, nama Raden Sayid Kuning dikenal sebagai ulama penerus perjuangan Adipati Onje dalam menyebarkan agama Islam. Sayid Kuning-lah yang menciptakan sistem kalender Aboge, yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh pengikutnya. Masjid Tertua Meski belum ada penelitian arkeologi, namun Masjid Sayid Kuning (Masjid Onje) diyakini sebagai masjid tertua di Purbalingga. Bahkan usia masjid tersebut diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Demak. Masjid Onje dibangun sekitar Abad XIII oleh Syekh Syamsudin. Kali pertama dibangun, empat tiang penyangga 22
utama dibuat dari batang pohon pakis, dan atapnya dibuat dari ijuk. Sayangnya tidak ada tanda-tanda khusus, baik berupa goresan, tulisan, gambar, maupun simbol lain yang menunjukkan angka tahun pembuatannya. Pada masa Wali Songo, masjid itu dirombak. Tiang penyangga diganti dengan kayu jati yang hingga sekarang masih asli. Setelah merenovasi Masjid Onje, empat wali yaitu Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, pindah ke Demak dan mendirikan Masjid Agung Demak. Dengan demikian, masjid di Desa Onje itu diyakini lebih tua dari Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak kali pertama didirikan pada 1466 oleh Sunan Ampel. Masjid itu dulunya merupakan bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi. Pada 1477, masjid dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak, dan direnovasi lagi pada 1478. Situs Budaya Secara historis, Masjid Sayid Kuning disebut sebagai masjid tertua. Keberadaanya setara dengan situs yang harus dilindungi. Sebab dalam Pasal 1 UU 5/1992 antara lain disebutkan, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Namun sayangnya, hingga kini belum ada riset mendalam yang mendukung keberadaan masjid itu sebagai situs purbakala. Bahkan berkait dengan usia masjid itu pun —yang dianggap lebih tua dari Masjid Agung Demak— belum dapat dibuktikan kebenarannya. 23
Untuk itu, sebagai artefak, maka Masjid Sayid Kuning perlu dipelajari secara khusus dalam disiplin ilmu arkeologi. Disiplin itu berpotensi mengungkap kehidupan manusia di masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Selama ini, nilai historis masjid tersebut baru diketahui berdasarkan disiplin ilmu sejarah, yang berupaya mengungkapkan kehidupan manusia di masa lalu melalui bukti-bukti tertulis yang ditinggalkannya. Sementara itu bukti-bukti autentik tersebut jumlahnya sangat sedikit. Riset Arkeologi Secara historis, keberadaan situs Masjid Sayid Kuning tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga (versi Babad Onje). Maka sudah saatnya pemerintah daerah setempat memfasilitasi riset arkeologi tersebut. Riset itu penting, untuk membuktikan kandungan nilai sejarah, dan meluruskan simpang siur informasi mengenai usia masjid.Kemudian, terlepas dari hasil riset, mendukung atau tidak, sudah sepantasnya pemerintah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang mengatur (melindungi) dan melestarikan keberadaan masjid tersebut. Perda itu juga penting, untuk mendukung upaya pemerintah pusat yang tengah menggalakan inventarisasi dan memberikan perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya. Perda sebaiknya juga mengakomodasi bentuk- bentuk dan varian cagar budaya serta artefak lain yang bernilai sejarah yang ada di Purbalingga. Dengan demikian, secara yuridis keberadaan situs purbakala itu semakin terlindungi. Dibuatnya perda itu juga menandakan apresiasi 24
yang tinggi terhadap sebagian masyarakat yang berada di sekitar wilayah cagar budaya, termasuk masyarakat yang masih menganut sistem budaya (peradaban) tertentu yang pernah ada. *** 25
Teknologi 26
Identitas Kultural “KayaKiye” TEKHNOLOGI informasi telah menciptakan dunia pengalaman yang didalamnya batas-batas geografi menjadi cair. Lewat sebuah situs jejaring sosial semacam Facebook semisal, seseorang di suatu tempat dapat berkomunikasi dengan seseorang yang tinggal di benua lain. Sedang penguasaan tekhnologi informasi pada akhirnya juga memungkinkan seseorang dapat menciptakan situs jejaring sosial yang diidealkannya: entah itu menyangkut sekadar persamaan minat, profesi atau upaya untuk mengenalkan dan menjaga identitas budaya. Perihal yang saya sebut terakhir itulah yang mungkin menjadi latar belakang penciptaan situs jejaring sosial bernama KayaKiye. Secara sepintas, tampilan perwajahan situs ini memang tak jauh beda dengan tampilan facebook yang didominasi warna biru dengan menampilkan gambar peta dunia. Hanya dalam Kaya Kiye gambar peta Indonesia berwarna lebih pekat, yang menandakan bahwa situs ini berasal dari Indonesia. Pembeda yang lain, adalah penggunaan bahasa jawa semisal jeneng pengguna, jeneng lengkap, asale sekang pada menu pendaftaran, atau sebutan ngarepan, goleti pada daftar halaman awal situs, sedang pada menu pilihan penggunakan bahasa 27
calon anggota memiliki tiga pilihan: bahasa Ngapak, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Karakteristik penggunaan bahasa yang melingkupi wilayah lokal, nasional dan internasioanal ini setidaknya mengidentifikasi bahwa situs jejaring sosial ini mungkin berasal/diciptakan oleh orang Banyumas yang dalam aktifitas komunikasi sehari-hari mengggunakan bahasa ngapak atau dikhususkan sebagai jejaring sosial dari orang Banyumas yang tidak menutup kemungkinan orang diluar Banyumas dapat terlibat untuk berinteraksi. Saat saya mendaftar pada tanggal 12 November 2012, pada menu “ngarepan” (beranda dalam Facebook) ditampilkan informasi-informasi yang menunjukkan eksistensi situs jejaring sosial ini. Dalam kolom keanggotan tercatat 72154 orang telah terdaftar, dengan aktivitas sejumlah 762141, dengan detail pertemanan sejumlah 36997 dan aktivitas komentar sejumlah 889224. Bahkan aktivitas lebih detail yang berkaitan dengan keaktifan seorang anggota ditampilkan dalam tiga kategori yaitu 1). “Juragan Jempol” yang berketerangan identitas nama anggota Kang Eng dengan aktivitas 80343, 2) “Paling akeh sing ngetutna” yang berketerangan nama Imut Wahyuningsih dengan jumlah 403, 3). “Paling akeh kancane” yang berketerangan nama Matlicin dengan jumlah pertemanan 5438. Data-data kuantitatif ini setidaknya menunjukkan bahwa para anggota dalam situs Kaya Kiye aktif untuk saling berinteraksi. Dalam “ngarepan” ini juga tertera menu “berita ngapak.com” yang berketerangan situs beritane wong ngapak. Mengamati menu ini, tersedia beberapa berita yang bersangkut dengan situasi politik, kesehatan atau ekonomi yang secara khusus terjadi di wilayah eks-karisidenan 28
Banyumas. Tapi sayangnya situs berita ini terkesan tak terurus karena info terbaru berketerangan tanggal 7 April 2011 yang memberitakan wabah chikungunya di daerah Bobotsari Purbalingga, relokasi pedagang kaki lima (PKL) pasar wage di Purwokerto, dan isu sabotase terbakarnya kilang minyak di Cilacap. Tidak terurusnya situs berita ini mengindikasikan bahwa upaya pengelola yang ingin memanfaatkan situs ini sebagai salah satu sumber rujukan situasi geopolitik di Banyumas tak tercapai. Entah karena keterbatasan pengelola untuk mencari dan giat memperbaharui berita atau sebab tak adanya minat anggota untuk beraktivitas. Sayangnya tak ada informasi yang dapat dijadikan rujukan untuk melacak sejauh apa aktivas pembaca terlibat dalam berita-berita ini, sebab tak tersedia umpan balik semacam komentar pembaca, atau sekadar keterangan jumlah pembaca yang mengunjungi suatu berita. Selain menu berita juga terdapat menu bertajuk “Kamus Ngapak”. Sayangnya, saat saya membuka menu ini terdapat keterangan dari pengelola yang menjelaskan bahwa kamus ngapak sedang dalam proses perbaikan. Mungkin, kamus ini difungsikan sebagai alat bantu untuk menemukan istilah bahasa Banyumas yang tak dimengerti oleh anggota. Tapi setidaknya dari adanya kamus ini terindikasikan usaha pengelola situs untuk mengupayakan dan mengenalkan bahasa Banyumas sebagai tawaran alat komunikasi bagi para anggotanya yang berasal dari dan luar Banyumas. Usaha-usaha mengenalkan Banyumas memang tampak massif dalam situs ini. Ketika saya memasuki menu profil, identitas visual pada profil foto yang disiapkan pengelola 29
adalah tokoh Bawor (Bagong versi Banyumas). Bawor sendiri adalah ikon Banyumas yang memiliki identifikasi umum cablaka dimana ketika ia berkomunikasi dengan orang lain selalu bertindak jujur dan apa adanya. Ditampilkannya ikon ini, mengindikasikan bahwa spirit komunikasi yang diharapkan oleh pengelola merujuk pada komunikasi khas Banyumas yang tidak menutup-nutupi sesuatu saat berinteraksi dengan orang lain. Sebagai sebuah wilayah komunikasi, kehadiran situs jejaring sosial KayaKiye memang cukup penting sebagai contoh strategi untuk mengikat suatu kelompok masyarakat yang berada pada suatu wilayah lokal (Banyumas) untuk membudayakan berinteraksi dan percaya diri dengan bahasa ngapak yang merupakan identitas sosio kulturnya. Sedang dalam wilayah teknologi informasi yang datang dan pergi, keberadaan situs Kaya Kiye memang tak dapat dipastikan apakah suatu hari mampu membawa lokalitas menjadi mengglobal atau sebaliknya lalu ikut tergerus oleh arus globalisasi yang seperti diutarakan dalam pengantar penerbit Kamus Dialek Banyumas-Indonesia (Penyusun Ahmad Tohari, 2007) telah membuat sedikitnya 169 bahasa daerah Indonesia terancam punah. Memprediksi dua kemungkinan itu memang tak mudah, tapi situs KayaKiye telah memulai diri untuk berniat menjaga dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu. Pada akhirnya, kekuatan penentu berada pada kelompok sosial yang menjadi sasaran situs KayaKiye, yaitu kemauan mereka untuk bertutur dan mengekspresikan segala pemikirannya, keluh kesahnya, ruang sosialnya bahkan persoalan negerinya dalam bahasa daerah. *** 30
Nativisme dalam Film Indie Banyumas SEJUMLAH karya film independen (indie) Banyumas dengan nuansa lokal budaya Banyumasan mendapat banyak penghargaan dan memenangi berbagai ajang festival. Film dokumenter Bioskop Kita Lagi Sedih garapan sutradara Bowo Leksono, misalnya, menjadi film terbaik Festival Film Dokumenter 2006 di Yogyakarta. Senyum Lasminah, juga besutan Bowo Leksono, menjadi film terbaik kedua dalam Festival Video Edukasi (FVE) 2007 kategori budi pekerti. Kemudian Pasukan Kucing Garong jadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Adu Jago juga menjadi film dokumenter terbaik pada ajang yang sama. Geliat perfilman indie Banyumas tidak hanya diakui di kancah nasional. Dua film indie Purbalingga, yaitu Peronika arahan sutradara Bowo Leksono dan Metu Getih karya Heru C Wibowo, bersama 16 film pendek Indonesia lainnya, mendapat kehormatan tampil di Europe on Screen 2007. Nativisme Film kini tidak lagi hanya diminati dan dimiliki masyarakat kota. Film, yang menurut kritikus Seno Gumira 31
Adjidarma disebut wacana kebudayaan, kini mulai mengakar, membudaya, hingga ke pelosok desa. Film diproduksi tak hanya sebagai hiburan. Demikian pula film indie. Selama ini, film indie hanya dianggap tontonan alternatif, saat perfilman nasional mengalami kejenuhan (setidaknya dalam tema yang hanya berkutat pada dunia hantu). Sebenarnya ada banyak hal yang menarik dari film indie. Antara lain kehadiran ideologi nativisme yang menjadi trade mark produk film indie Banyumas. Nativisme saya pahami sebagai gerakan pribumi: gerakan yang mengutamakan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan kaum (penduduk) asli di sebuah teritori atau wilayah geografis. Ideologi, secara positif menurut Jorge Larrain seperti dikutip Sunarto dalam Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-anak, dipersepsi sebagai pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat untuk membela dan memajukan kepentingan anggota kelompoknya. Kualitas ideologi dapat diukur dari dimensi yang membangunnya. Alfian dalam Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional memetakan tiga dimensi: (1) kemampuan ideologi sebagai cerminan realitas sosial, (2) idealisme yang terkandung, dan (3) fleksibilitas yang dimiliki. Ideologi nativisme dalam film indie Banyumas nyata tercermin dari tiga anasir, yaitu penggunaan bahasa daerah, lokalitas isu (tema), dan atribut atau tanda yang diproduksi dalam film. Bahasa Banyumas dalam film indie menjadi salah satu parameter sekaligus karakteristik film. 32
Namun, penggunaan bahasa lokal tidak hanya berfungsi untuk melengkapi ciri sebuah film agar disebut indie. Pada film indie, bahasa lokal juga merupakan sebuah ideologi yang menegaskan kecintaan budaya lokal. Sutradara Bowo Leksono, yang juga manajer Program CLC Purbalingga, memproklamirkan sudah saatnya membumikan bahasa daerah melalui karya sinematografi. Mengenai lokalitas tema, sejak awal film-film indie Banyumas berkutat pada kehidupan masyarakat bawah yang bermukim di pedesaan. Bukan berarti tema-tema yang disajikan tak pernah berkembang mengikuti arus ilmu pengetahuan. Tema tersebut makin mendekatkan masyarakat desa dengan perkembangan budaya itu sendiri. Meski telah mengideologi, tema-tema film indie Banyumas mampu mengikuti perkembangan budaya-teknologi. Hal ini terlihat dalam Peronika dan Senyum Lasminah: dua film yang meraih ba-nyak penghargaan. Sutradara mampu mengemas dua budaya yang berbeda dalam cerita sederhana. Peronika bercerita tentang kegagapan budaya-teknologi pada masyarakat desa. Idenya bermula dari layanan veronica, yaitu mesin penjawab otomatis sebuah operator seluler di Indonesia. Tokoh Ramane (ayah) tidak mampu melafalkannya, sehingga yang terucak ’’peronika’’. Nativisme film indie Banyumas ini juga tercermin dari berbagai atribut yang berperan sebagai tanda yang mewakili hubungan antara penanda dan petanda. 33
Idealisme Idealisme di sini saya pahami sebagai hubungan antara apa yang dipikirkan (diinginkan) dari gerakan kepribumian (nativisme) dan kenyataan yang terjadi dan terbangun pada film. Sedangkan fleksibilitas saya pahami sebagai kelenturan hubungan antara realitas yang tercermin dari ideologi dan pola hubungan sebab-akibat antara keinginan dan kenyataan tersebut. Fleksibilitas ideologi nativisme dalam film indie Banyumas terlihat dari bagaimana gerakan ini sanggup memengaruhi dan mewarnai geliat pertumbuhan film indie Banyumas. Sebaliknya, pertumbuhan film juga mampu melahirkan persepsi-persepsi baru tentang nativisme. Saya melihat nativisme telah membentuk idealisme, sekaligus mengandung fleksibilitas. Penggunaan bahasa daerah, lokalitas tema, dan atribut (tanda) yang diproduksi dalam film menegaskan bahwa dunia perfilman indie di Banyumas sejak awal kelahirannya memang menganut ideologi nativisme. Sebuah gerakan pribumi yang berusaha menunjukkan karakteristik, eksistensi budaya, dan nilai lokal yang oleh sementara orang masih dipandang sebelah mata. Nativisme telah mampu menghegemoni (dalam arti positif) perkembangan film indie Banyumas. Gerakan ini dengan sertamerta menggiring sineas lokal untuk mengeksplorasi khasanah budaya Banyumas, lantas disandingkan dengan budaya lain pada kancah ’’pertarungan’’ budaya nasional bahkan internasional. Nativisme juga tidak bersifat kaku. Lokalitas isu yang diangkat tidak menghambat perkembangan subtema yang ditampilkan. Meski bernuansa lokal, film indie Banyumas 34
tetapi tidak ketinggalan zaman. Tema-tema kegagapan budaya merupakan bukti bahwa yang nuansa lokal tidak selalu ketinggalan zaman. *** 35
Videografi Budaya Banyumas YANG menarik dari geliat perkembangan dunia sinematografi Banyumas adalah keajekan (konsistensi) dalam mengangkat tema, wacana, dan budaya lokal. Konsistensi itu pula yang menggiring film garapan sineas (film maker) Banyumas selalu mendapat apresiasi dan penghargaan dalam ajang festival. Sebut saja Senyum Lasminah (SL) besutan sutradara Bowo Leksono pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. SL terpilih jadi film terbaik II Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Lalu Pasukan Kucing Garong (PKG), fiksi terbaik pada Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007; Adu Jago (AJ) dokumenter terbaik pada ajang yang sama. Demikian juga dengan film Boncengan, dan Lengger Santi. Pada kancah internasional, film Peronika dan Metu Getih mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk “Europe on Screen 2007”. (EOS 2007). Pada 2008, sebuah dokumenter kehidupan orang cacat berjudul Cuthel meraih penghargaan dari Depdiknas sebagai film dokumenter terbaik FVE 2008. 36
Cikal Bakal Sesungguhnya cikal bakal seni sinematografi di Banyumas dimulai pada 1999. Bermula dari sebuah pergelaran film di kampus Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Pada 2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja nirlaba lintas seni memproduksi film perdana berjudul Kepada yang Terhormat Titik 2, disusul film Surat Pukul 00:00 (2002). Namun perkembangan yang mengesankan justru berangkat dari Purbalingga. Pada 2004, CLC memulai debut perdana. Laeli Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek berjudul Orang Buta dan Penuntunnya (OBDP) karya Ahmad Tohari itu. Film tersebut menjadi yang pertama di Purbalingga dan sempat diputar di sekolah-sekolah, kampus, dan kantong-kantong budaya. Sempat pula nongol di TVRI Jakarta, dan meramaikan ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2004. Dari Purbalingga, perkembangan seni sinematografi merambah ke Cilacap, dengan terbentuknya wadah komunitas film Sangkanparan. Hingga 2008, dari dua kabupaten itu telah lahir ratusan judul film. Bahkan film-film Banyumas yang mendapat penghargaan juga berasal dari dua wilayah tersebut. Dus, dua kabupaten itu menjadi kantong-kantong industri kreatif, penyokong terbesar perkembangan sinematografi Banyumas. Keajekan Lokalitas isu telah dipilih sebagai mainstream film-film 37
Banyumas. Itu terlihat dari keajekan tema yang diusung. Film OBDP diproduksi dengan setting masyarakat kelas bawah di Purbalingga. Film itu menjadi film pertama yang menggunakan dialek khas Banyumas. OBDP bercerita tentang seorang pengemis buta bersama pemuda yang setia menuntun dan mengantarkan mencari rejeki dengan meminta belas kasihan orang lain. Konsistensi mengusung budaya lokal itu juga terlihat pada film Peronika, SL, PKG, Boncengan, Metu Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain menggunakan dialek ngapak-ngapak, yang kental dengan fonem /a/, film-film tersebut juga mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat kecil (marginal) di Purbalingga (Banyumas). Film SL, misalnya, selain dialek ngapak-ngapak, juga mengangkat tradisi membatik, sebuah tradisi langka yang sudah mulai memudar dan membutuhkan regenerasi. Adapun film Cuthel mengajarkan falsafah hidup orang Jawa yang pantang menyerah. Nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan budi pekerti, digambarkan dalam film itu. Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar tema. Pertama, penggunaan bahasa berdialek ngapak-ngapak. Bahasa adalah salah satu unsur penting untuk membangun plot. Kedua, setting atau latar film. Ketiga, atribut (aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks, yang muncul dalam scene. Ketiganya dipadu dengan konflik-konflik sederhana namun mengena. Tema kehidupan masyarakat kelas bawah itulah, anasir keempat yang mempertegas keajekan film Banyumas. 38
Produk Budaya Pada dasarnya, film (dalam konteks media massa) lewat sajian yang selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada penonton (Melvin de Fleur, 2004). Artinya, media massa, termasuk film, berkuasa mendefisinikan norma-norma budaya masyarakat. Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respons manusia terhadap masyarakat atau lingkungannya, dan dunia secara umum. Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan memiliki tujuh unsur esensial, yaitu bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem religi, upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian. Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu kepada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian, mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks, termasuk film. Videografi Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik, mengingat khasanah budaya di wilayah saat ini 39
mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan pada unsur-unsur budaya lokal menjadi trademark film Banyumas. Semoga, prestasi yang diperoleh para cineas Banyumas menjadi inspirasi bagi kemajuan film- film di daerah lain. *** 40
Regenerasi Sinematografi Purbalingga MESKI baru berusia lima tahun, namun perjalanan dunia industri kreatif perfilman (pendek) di Purbalingga hingga 2009 ini telah memasuki empat babak. Pertama perintisan, kedua penyemaian masal, ketiga pasang-surut, dan keempat babak regenerasi. Pembabakan ini didasarkan pada periodisasi —jangka waktu— per tahun dan fenomena isu yang terjadi. Babak pertama adalah perintisan, ini dimulai pada 2004. Saat itu Laeli Leksono Film bereksperimen dengan mengadaptasi cerpen karya Ahmad Tohari berjudul Orang Buta dan Penuntunnya menjadi karya sinematografi. Ini film pertama di Purbalingga dan pernah dikampanyekan ke sekolah-sekolah, kampus, dan kantong- kantong budaya. Pernah pula nongol di TVRI Jakarta, dan meramaikan ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2004. Kedua adalah babak penyemaian masal. Secara formal pembibitan industri siematografi di Purbalingga dimulai pada 2006. Penyemaian ini ditandai dengan pembentukan Cinema Lovers Community (CLC). CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi perkumpulan sineas Purbalingga. 41
Saat itu baru ada empat rumah produksi atau production house (PH) yang berafiliasi dalam wadah CLC, yakni Laeli Leksono Film, Glovision Production, Beda Studio, dan SBH Entertainment. Meski baru empat anggota, namun saat itu, mereka mampu unjuk gigi, yaitu dengan memproduksi puluhan judul film pendek. Dengan mengangkat isu-isu lokal sebagai mainstream film mereka terus berkembang dan mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Ini terbukti dengan peraihan berbagai penghargaan atas karya sineas Purbalingga. Sebut saja Senyum Lasminah (SL) besutan sutradara Bowo Leksono yang menjadi Film Terbaik II pada Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Kemudian, Pasukan Kucing Garong (PKG) menjadi Film Fiksi Terbaik di Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Sementara itu film Adu Jago (AJ) menjadi film dokumenter terbaik di ajang sama. Pasang-surut Raihan penghargaan ini sekaligus menadai babak ketiga perjalanan dunia sinematografi di Purbalingga, yaitu pasang- surut. Secara umum pada periode 2006-2007 ini dunia perfilman pendek Purbalingga berhasil mengokohkan eksistensi. Dua film pendek, yaitu Peronika sutradara Bowo Leksono dan Metu Getih karya Heru C Wibowo bersama 16 film pendek Indonesia lain mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk Europe on Screen 2007 (EOS 2007). Disusul film Boncengan, dan Lengger Santi yang lolos dalam kompetisi Festival Film Pendek Konfiden 2007. 42
Tak hanya itu, pada masa sama CLC berhasil membentuk jaringan kerja perfilman pelajar di Purbalingga. Hasilnya sekitar 20 PH berafiliasi di bawah bendera lembaga ini. Puluhan film juga berhasil diproduksi. Namun masa panen ini ternyata harus diawali dengan kenyataan pahit. Pada Juli 2006, sekitar satu peleton Pasukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melarang penggunaan Gedung Graha Adiguna-operational room (Oproom) untuk pemutaran film. Tragedi ini diabadikan dalam seri dokumenter Bioskop Kita Lagi Sedih. Film ini merupakan catatan sejarah kelabu sekaligus tonggak geliat perfilman Purbalingga. Babak Baru Pada 2008 saya sebut sebagai babak baru perjalanan dunia sinematografi di Purbalingga. Pada Mei 2008, CLC menggelar perhelatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF). Ajang ini merupakan ajang regenerasi jilid I dunia perfilman Purbalingga. Karya sinematografi yang tampil di ajang PFF ini adalah karya kreatif para pelajar SMA di Purbalingga. Mereka sebelumnya mengikuti serangkaian kegiatan workshop pembuatan film pendek yang difasilitatori CLC. Selain menghasilkan filmmaker generasi putih-abu-abu (SMA), workshop dan PFF ini juga melahirkan varian film yang lebih beragam. Film berjudul Glue, Mimpi Basah (MB), Kebongkar, Gairah Salimin, dan Blue Horror adalah hasil penajaman talenta seni mereka. Film ini mengangkat kehidupan pelajar masa kini. Namun wacana kearifan lokal tetap melekat. 43
Secara kualitas film generasi abu-abu-putih ini masih di bawah generasi sebelumnya. Namun setidaknya PFF ini merupakan bukti ada regenerasi. Bahkan ajang ini menjadi momen rujuk antara CLC dengan pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga dan DPRD. Pemerintah memberikan sinyalemen positif atas pertumbuhan industri kreatif di Purbalingga. Eksekutif dan legislatif berjanji memberikan ruang gerak luas pada sineas Purbalingga. Meski belum terealisasi, namun saat itu pemerintah dan DPRD berjanji akan segera menata (mengatur) dunia perfilman Purbalingga. Regenerasi Memasuki tahun 2009 CLC terus melakukan penetrasi. Jika sebelumnya generasi putih-abu-abu, kini mereka mulai menggarap generasi biru-putih (pelajar SMP). Meski belum tampak membuahkan hasil atau cenderung gagal —karena ditolak sekolah— namun setidaknya mereka telah berusaha. Di ujung penolakan pihak SMP, mereka lalu melirik pelajar SMK. Pada Maret ini, mereka kembali menjadi fasilitator workshop film pendek yang diperuntukan bagi pelajar SMK. Inilah regenerasi jilid II. Pilihan ini tidak keliru, sebab di Purbalingga saat ini telah berdiri sekitar 28 SMK Negeri dan Swasta. Dari jumlah ini sebagian besar telah membuka program keahlian multimedia (MM). Jadi kegiatan ini jadi alternatif ajang pembelajaran sekaligus prakti kerja bagi siswa. Apalagi banyak nilai moral dan edukatif yang dapat digali dari kegiatan semacam ini. 44
Terbukti pada 2008, film Cuthel meraih penghargaan dari Depdiknas sebagai Film Dokumenter Terbaik FVE 2008. Di luar itu, kegiatan workshop ini merupakan jembatan utuk penyelenggaraan PFF II bulan Mei 2009. Di perhelatan ini seluruh keahlian dan talenta peserta workshop dipertunjukkan. Jika seluruh stakeholder pendidikan di Purbalingga menyadari betapa penting penanaman nilai moral melalui karya seni, maka tak aka nada lagi sekolah yang menolak kerja-kerja budaya. *** 45
Perempuan Banyumas dalam Film DI BANYUMAS, film awalnya hanya diperlakukan sebagai salah satu varian hiburan kelompok sosial tertentu (elite). Film hanya dapat ditonton oleh mereka yang memiliki kelebihan finansial. Perkembangan berikut, film mampu menembus demarkasi kelas sosial. Bahkan film kini menjadi ’’barang’’ hasil kerajinan industri kreatif rumahan yang mudah diperoleh. Ada puluhan rumah produksi film pendek bertebaran di Banyumas. Kegiatan menonton film telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Film menjadi media masa yang efektif menyampaikan pesan. Kehadiran film mampu memengaruhi pola pikir, dan cara tindak individu baik sebagai pribadi maupun kolektif. Kemudian film dianggap efektif untuk menanamkan suatu ideologi secara laten. Lalu bagaimana dengan film pendek Banyumas yang telah berterima di masyarakat? Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana citra perempuan Banyumas digambarkan melalui sistem tanda sebagai unsur pembentuk film (Sobur, 2006). 46
Dari puluhan judul film karya sineas Banyumas, setidak-tidaknya ada empat film yang secara tegas merepresentasikan posisi perempuan Banyumas. Pertama film Senyum Lasminah, kedua Peronika, ketiga Gajian dan keempat Tasmini. Keempat merupakan karya sineas lokal Banyumas yang tergabung dalam Cinema Lover Community (CLC). Citra Positif Citra adalah gambaran yang disajikan dan kemungkinan terekam oleh penonton. Pencitraan dapat membentuk mitos dan ideologi. Secara positif, ideologi menurut Jorge Larrain (Sobur, 2006) dipersepsi sebagai pandangan dunia (wordview) yang menyatakan nilai-nilai (budaya) entitas sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam Senyum Lasminah —film terbaik kategori budi pekerti Festival Video Edukasi 2007— perempuan dicitrakan sebagai entitas masyarakat kelas rendah yang sadar budaya. Film ini bercerita tentang kehidupan perempuan di Banyumas yang masih mewarisi kearifan lokal berupa tradisi membatik. Lasminah adalah gambaraan perempuan muda yang sadar budaya. Ini satire, sebab dalam kondisi kontemporer, hanya mereka (perempuan) yang telah berusia lanjutlah yang mau mewarisi tradisi membatik. Lasminah membatik adalah gambaran positif perempuan muda di Banyumas. Pada scene lain, resistensi Lasminah terhadap ajakan Surti (teman kecil yang baru pulang dari rantau) untuk ke Jakarta hanya sebuah sindiran. Sebab situasi seperti ini sangat langka terjadi di Banyumas. Tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. 47
Sementara pada film Peronika, dan Gajian, sosok perempuan Banyumas yang diperankan Jamilah, dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai perempuan desa yang berstatus istri, Jamilah sukses menjalani tertib rumah tangga. Ia memasak di dapur, dan meladeni suami. Citra yang sama hadir melalui sosok Lasmi dalam film Tasmini. Lasmi sukses menjalankan tertib ibu rumah tangga di desa. Kehidupan sehari-hari Lasmi diisi dengan kegiatan mencuci pakaian di sumur, menjemur, dan memasak untuk suami. Sementar itu, kehadira tokoh Surti dalam Senyum Lasminah justru membentuk citra negatif perempuan Banyumas. Sosok Surti menggambarkan tradisi merantau yang begitu mengakar di Banyumas. Kondisi yang jamak ditemui di wilayah pedesaan di Banyumas. Perempuan yang baru lulus SMP, bahkan SD yang tak mampu melanjutkan studi memilih merantau dan jadi TKW pada sektor domestik di Jakarta, bahkan luar negeri. Dalam Gajian, citra negatif diwakili sosok bakul jamu gendong. Meski tidak semua, namun sebagai bakul jamu, perempuan tak mampu menolak stereotipe negatif. Ia dimitoskan pandai merayu calon konsumen, dengan kalimat- kalimat berbau erotik memaksa konsumen pria mau mengkonsumsi jamunya. Sementara itu, salah satu karakter wong Banyumas yang kental dengan tradisi keberlisanan adalah kebiasaan dopokan (ngobrol atau bergunjing). Dalam konotasi negatif gunjuingan lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan di desa. 48
Bergunjing terekam dalam film Tasmini. Lasmi yang tengah memotong sayur di teras rumah Gedheg terlibat pergunjingan dengan tetangga yang baru pulang dari pasar. Gunjingan yang lebih mendekati provokasi ini meluncur dari mulut tetangga Lasmi. Ia dengan nada dan ekspresi sinis, berkata pada Lasmi bahwa sang suami terlihat berselingkuh dengan perempuan bernama Tasmini di sebuah toko tas. Faktanya, Parno — suami Lasmi— berada di toko hendak membeli tas ukuran mini (kecil) sebagai hadiah untuk Lasmi. Kasur, Sumur, Dapur Secara umum, citra perempuan Banyumas tak pernah jauh-jauh dari tiga kebutuhan dasar rumah tangga di desa. Peran perempuan selalu berputar di wilayah dapur, sumur, dan kasur. Dalam keempat film tersebut, secara umum perempuan dicitrakan marginal. Baik Jamilah, Lasminah, Surti, Lasmi, dan bakul jamu sama-sama memerankan sosok perempuan dalam tiga wilayah dasariah tersebut. Film Senyum Lasminah dimulai dengan scene Lasminah yang menimba air dari sumur untuk mandi dan memasak. Jamilah dalam Peronika dan Gajian sangat tegas menggambarkan ibu rumah tangga yang sukses mengelola urusan dapur (dan kasur). Penggambaran posisi marginal ini tentu saja dapat dipahami sebagai bentuk resistensi (perlawanan) atas ketimpangan perilaku gender pada masyarakat desa di Banyumas. Tatkala film banyak mengangkat isu ketimpangan gender, ia dituduh telah mengonstruksi bias gender. 49
Membentuk mitos. Sebaliknya film yang secara banal mengangkat realitas, dapat berfungsi sebagai penolakan atas mitos tersebut. Di sini terjadi opisisi biner antara dua wilayah yang selalu berhadap-hadapan di belakang kenyataan yang terjadi. *** 50
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164