memanggil kami. Ternyata hanya dua orang yang mendaftar. Dengan berat hati, sang mentor menyampaikan bahwa divisi layar ditutup. Alasannya karena sedikit peminat. Dari 139 orang calon anggota di BKP ’93 hanya saya dan Hamka yang memilih Divisi Layar. Akan banyak biaya yang kami keluarkan jika hanya berdua. Jadi, diputuskan bahwa kami harus memilih divisi lain. Singkat cerita, dengan pertimbangan yang penuh dengan berbagai alasan yang menari lincah di kepala, saya akhirnya ‘terpaksa’ memilih arung jeram. Ini yang paling mungkin saya lakukan. Karena semua mentornya baik dan dapat saya kelabui. Maafkan mentor-mentor, karena baru sekarang membuat membuat pengakuan. Dari kegiatan awal arung jeram, hingga ekspedisi kecil yang memakan waktu sekitar hampir lima bulan, percayalah, saya tidak pernah memegang dayung sama sekali. Seribu satu alasan saya kemas untuk tidak mengikuti kegiatan di sungai. Bahkan teman-teman satu divisi arung jeram tidak ada yang menyadari bahwa saya tidak pernah mengikuti kegiatan arung jeram selama menjadi calon anggota. Jujur, saya takut. Takut terbawa arus seperti sepuluh orang teman saya. Masih jelas di ingatan, dalam rentang satu minggu setelah kejadian tersebut, setiap hari saya mengantar seorang atau dua orang teman ke liang lahat. Teman-teman ditemukan di hari yang berbeda-beda. Bahkan dua orang tidak jelas keberadaannya. Tubuh mereka sudah menyatu dengan deras sungai, tanpa bekas. Setiap hari dalam satu minggu kepala kami tertunduk melihat duka mendalam dari para orang tua. Berkegiatan arung jeram menjadi momok buat saya. Medio 1997 merupakan masa perdamaian saya dengan sungai. Saya mencoba untuk bermain di sana. Tetap, masih ada rasa takut. Ini saya jalani karena tidak ada pilihan lagi. “Masa anak arung jeram tidak pernah turun sungai,” hati kecil selalu membatin demikian. Hingga akhirnya saya lulus kuliah dan pekerjaan pertama yang saya dapatkan adalah menjadi tim marketing di sebuah perusahaan operator arung jeram. Di sisi lain saya senang bertemu dengan tamu-tamu penikmat wisata air tersebut. Sebagian besar anak muda, dan otomatis menjadi teman-teman baru saya. Di mana ujung-ujungnya adalah, setiap akhir pekan saya harus berangkat ke Sungai Citatih, Jawa Barat. Turun sungai? Nanti dulu. Hingga di suatu hari, sebelum pengarungan pertama pagi itu, saya duduk di pinggir sungai. Sudah lebih dari lima tahun berlalu semenjak tragedi yang menimpa teman-teman gereja. Walaupun sudah kerap / 99KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
berarung jeram, hati kecil saya masih merasa takut melihat sungai. Pagi itu, saya membulatkan hati, menyapa sungai dan memegang air di depan saya. Menceburkan diri ke dalamnya. Menyatukan jiwa saya dengan sungai, sambil berkata “Kamu teman saya. Kita berteman ya.” Plooongggg rasanya. Dan beban yang bertahun-tahun saya bawa itu akhirnya hilang menguap ke angkasa. Momen tersebut menjadi titik balik saya. Dalam tiga tahun bekerja di Cherokee Arung Jeram, setiap minggu saya nikmati dengan turun ke sungai tanpa terganggu masa lalu. Bercengkrama dengan riak-riak dan menikmati derasnya arus. Ada saat di mana sungai bercanda dengan tidak ramah. Saya terpelanting ke luar sehingga tubuh ini ada di bawah perahu dan saya masih survive. Suatu saat kami harus menghentikan pendayungan saat air tiba-tiba naik. Seluruh tamu dievakuasi di tengah perjalanan, namun perahu- perahu harus dibawa ke titik finish. Berdua dengan seorang pemandu sungai, kami bisa bertahan membawa perahu tanpa terbolak-balik. Sementara perahu lain hampir semua flip. Mungkin sang sungai kasihan, karena hanya saya perempuan di sana, yang dirasa tidak punya banyak tenaga untuk membalikkan perahu dan naik kembali. Dan sampai saat ini, saya masih berarung jeram. Bersahabat dengan sungai. Menjadi anggota Mapala UI pada akhirnya adalah salah satu hal penting yang saya syukuri dalam hidup. Bukan karena nama besarnya, tapi dari sana saya belajar berdamai dengan rasa takut. Doa terbaik buat sepuluh teman. Damai bersama Bapa di Surga. Yogyakarta, 16 Februari 2019. INGE SIANTURI Perempuan biasa, 45 tahun. Teman berdebat Rivalinno Handoko yang senang jalan-jalan dan cerewet dengan urusan sekolah Kano, anak mereka. Memimpin Indorope, sebuah perusahaan Jasa dan Training bekerja di ketinggian sejak tahun 2013 dan tetap meluangkan waktu untuk berarung jeram dan bermain kayak laut. Seorang perempuan Indonesia yang mencintai negerinya dengan segala keindahan di dalamnya. 100 / DARI TANGAN PERTAMA
MENEBAR MIMPI DI DALAM PERUT BUMI IRFAN RAMDHANI HHidup berawal dari mimpi, semua persoalan hidup adalah tentang mimpi. Maka kejarlah mimpi itu sehingga ia lelah, lalu tangkaplah. Mengejar mimpi yang indah itu tak kenal lelah, tak kenal susah, dan tak kenal kata menyerah. Pertahankanlah dalam pikiran tujuan-tujuan yang ingin dicapai, lalu percayalah biarkan semesta menuntun dan menjadikannya nyata. Beranilah bermimpi, karena Tuhan Maha Pemberi. Seperti cerita saya ini, tentang mimpi menyusur gua yang menjadi nyata. Sudah lama saya bercita-cita berkelana ke Gua Jomblang dan Gua Grubug yang terletak di kawasan karst Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua gua tersebut saling terhubung di mana di dalamnya / 101KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
mengalir sungai menuju Laut Selatan. Gua-gua ini sering dijadikan tempat latihan dan ekspedisi bagi para caver dari berbagai tempat dan bahkan kini dijadikan tempat wisata umum. Lokasinya mudah dijangkau baik dengan kendaraan pribadi maupun umum. Ada bis kota Santoso dari Terminal Giwangan menuju Terminal Wonosari dengan tarif Rp 15.000. Kemudian dilanjut dengan carter pick up dengan harga Rp 200.000 sampai ke resort Goa Jomblang. Sampai di sini memang tak ada masalah. Kegamangan muncul ketika saya mulai membayangkan perjalanan dari mulut gua hingga akhirnya bertemu Cahaya Syurga nanti. Maklumlah, kondisi fisik saya tak lagi sempurna. Ketika itu saya terjerembab dari ketinggian 10 meter di papan panjat kampus, saat berlatih single rope technique. Akibatnya kaki saya cacat sehingga tak lagi mudah melangkah, membuat gerak saya tak lagi seleluasa sebelumnya. Trauma akibat peristiwa beberapa tahun lalu itu terus menghantui saya. Bisa dimaklumi mengingat trauma memang biasanya terjadi pada diri seseorang yang mengalami kejadian buruk yang sulit terlupakan. Saat akan berhadapan dengan sesuatu yang sama atau mirip dengan kejadian tersebut, maka ketakutan akan menghantui dirinya. Tidak mudah memang menghilangkannya, tergantung tingkat keparahan, dukungan orang terdekat, dan tekad kuat dalam diri penderita trauma. Saya sendiri butuh waktu untuk mengatasi segala rasa yang menyesakkan dada ini. Semua teman dan keluarga bahu-membahu membangun mental sehingga saya kembali terbiasa melihat ketinggian, walaupun hanya lima meter. Bila sedang kambuh, isi perut saya keluar semua disertai rasa sesak di dada. Syukurnya saya dikelilingi orang-orang yang selalu siap membantu, bahkan mengupayakan agar saya dapat berjalan seperti sedia kala. Untuk memberanikan diri ke gua di Gunung Kidul ini, saya berlatih satu bulan lamanya didampingi kakak tingkat saya di MAPA Gunadarma, Edy Belvis Firmansyah. Di awal sekali, saya berlatih untuk mendongakkan kepala ketika berhadapan dengan papan panjat di kampus, tempat saya melayang dan terhempas ke tanah. “Sudah hilang kan, rasa takut dan paranoid lu pada ketinggian?” tanya Bang Belvis memastikan kondisi psikologisku. “Sudah Bang, Alhamdulillah. Makasih ya, untuk latihan hari ini,” jawabku. 102 / DARI TANGAN PERTAMA
“Tapi ini belum selesai. Lu masih harus sering latihan supaya makin mantap percaya diri dan makin hilang rasa trauma lu. Kalau bisa lu ke gua beneran lah. Yang vertical single pitch aja sehingga cukup sekali turun di lintasan. Di Yogyakarta banyak tuh gua-gua daerah Gunung Kidul,” kata Bang Belvis menyarankan. “Oke Bang. Gue masukkan dalam daftar mimpi selanjutnya. Insya Allah Gua Jomblang. Bisa kan, kalau gue ke sana Bang?” tanyaku kembali kepada Bang Belvis dengan semangat. “Bisa kok. Lewat rute VIP aja lu nanti kalau ke Jomblang. Minta temenin sama teman-teman Mapala UGM. Temen lu banyak kan anak- anak Mapala Jogja?” “Siap, ada Bang.” “Oke lah. Berangkat lu ya. Latihan dulu yang benar baru berangkat. Jangan sampai nyusahin saudara-saudara kita yang di Jogja kalau berangkat.” “Pasti Bang, gue juga belum tau ke sana kapan. Yang jelas gue latihan sama ngumpulin duit dulu nanti hehe,” sahutku “Mantaplah, gue tunggu nanti hasil dokumentasinya.” Percakapan di atas masuk daftar mimpi yang saya susun ketika langkah kaki ini sudah mantap untuk kembali menjelajahi alam. Namun, semua mimpi itu tidak akan terealisasi ketika saya tidak menjalankan terapi. Sebelumya saya dirujuk teman-teman Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ke salah satu dokter ahli untuk mengatasi cedera, yang bernama Dr. Ruliando. Biasanya beliau buka praktik di Kampus B UNJ. Setelah check up saya menjalankan terapi berdasarkan materi yang diberikan Pak Dokter dibantu Bang Putra dari Unit Kegiatan Olahraga UNJ. Terapi itu dijalankan sejak tahun 2014 di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Maka dari sinilah saya memantapkan hati untuk menelusuri isi perut bumi di Gua Jomblang. Tanggal 7 Juli 2015 itu saya berharap dapat menatap cahaya Ilahi atau cahaya surga yang menyebar di gua. Disebut begitu karena cahaya tersebut seperti menyelinap dari langit-langit gua, menyebar seperti tirai. Kebetulan saya mendapatkan free ticket untuk memasuki Gua Jomblang dari Mas Cahyo Alkantana, karena sebelumnya saya memenangkan lomba tulisan yang diselenggarakan oleh Blacktrail. Saat itu bulan puasa, tapi tekad dan niat untuk menelusuri gua tidak surut. Puasa tidak menjadi halangan untuk berhenti beraktivitas, temasuk untuk para petualang muda seperti saya yang tengah berada di panasnya kawasan karst di Gunung Jomblang. / 103KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
RAMADHAN PENUH BERKAH Saya memulai penjelajahan menuju dasar gua pada pukul 8, dengan menggunakan jalur hauling di kedalaman sekitar 60 meter. Hauling atau di dalam jenis kegiatan lain disebut vertical rescue adalah suatu sistem yang digunakan untuk menolong atau mengangkat korban keluar dari gua vertikal. Prinsip kerjanya adalah mengupayakan tenaga seminimal mungkin, dalam waktu yang sesingkat mungkin, dengan mempertimbangkan faktor keamanan bagi korban. Peralatan yang sangat vital digunakan adalah pulley dan jummar. Pada prinsipnya semakin banyak pulley akan semakin ringan dalam melakukan hauling. Setelah turun dari lintasan hauling saya pun dipandu oleh guide. “Mas, bisa nggak jalan sampai sana?” tanyanya sambil menunjuk jalan bebatuan yang menanjak. “Bisa mas. Tapi pelan-pelan aja ya, saya pasti sampai kok ditanjakan itu,” jawab saya. “Oke, kalau gitu ayo kita jalan perlahan. Nanti saya papah sampai tanjakan itu. Ngomong-ngomong, mas masih puasa apa tidak?” “Siap mas, saya masih puasa kok,” sahut saya sambil bergerak perlahan. “Subhanallah, semangat Mas. Mari kita jalan perlahan untuk sampai di tanjakan depan,” ajak guide itu. Bulan Ramadhan ini adalah bulan yang penuh berkah. Menurut saya perjalanan menggapai mimpi itu adalah salah satu titik pertemuan dengan berkah tersebut. Puasa tak menyurutkan kami sebagai Mahasiswa Pecinta Alam untuk mengeksplorasi keindahan alam bebas yang telah dilukiskan oleh Sang Maha Kuasa. Dengan dibantu guide, akhirnya saya sampai di tanjakan yang ditunjuk oleh guide tersebut. Perlahan terdengar suara langkah kaki yang menghampiri saya, makin lama semakin dekat. Ternyata teman saya Selamet Raharjo, anggota Mapala Eka Citra UNJ, yang sudah siap membantu saya mengekplorasi Gua Jomblang. “Mas, temannya sudah ada. Saya tinggal dulu ya, soalnya saya harus bawa tamu lagi. Nggak apa-apa kan mas kalau saya tinggal?” tanya guide itu dengan suara parau. “Nggak apa-apa, saya bisa kok. Sudah ada timnya untuk bantu saya menuju Gua Gerubuk,” jawab saya sambil tersenyum. “Wah keren Mas, mau melihat cahaya surga juga ya?” 104 / DARI TANGAN PERTAMA
“Iya, memang tujuan saya ke sini antara lain untuk melihat cahaya surga yang luar biasa indahnya itu.” Saya dibantu oleh Selamet Raharjo dari Eka Citra UNJ, dan Banu Iqra serta Albani dari Mapagama UGM. Mereka bertiga yang bahu- membahu memapah saya agar bisa sampai di Gua Gerubuk. Kami melewati jalur bebatuan yang ditutupi tanah gembur. Selamet dengan sigap memapah saya agar dapat terus berjalan. Walaupun perlahan, tetapi langkah kaki ini semakin menunjukkan semangat pantang menyerah. Karena sudah memupuk mimpi ini sedari tahun 2013, maka kaki ini akan saya bawa menuju kedamaian dalam semesta yang telah dilukis oleh Sang Pencipta. Puasa tidak menyurutkan kami untuk menjaga fisik dan mental, agar tetap menyusuri Gua Gerubuk dengan beberapa teman-teman yang super duper ajaib. Mereka benar-benar mementingkan arti dari ‘solidaritas dan kebersamaan’. Selamet Raharjo memberikan pundaknya sebagai pengganti / 105KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
tongkat saya yang rusak. Jalur menuju Gua Gerubuk penuh batu dan terkadang tongkat yang saya pijakan ke tanah masuk ke dalam sehingga patah ujungnya. Karenanya terpaksa saya berjalan dengan satu tongkat saja. Sebagai gantinya pundak Selamet yang dijadikan pegangan. Argghhh, syahdu sekali perjalanan ini dengan dikirimkannya teman- teman yang istimewa. Jalur yang penuh cerita ini membawa kaki ku terus melangkah menuju impian. Banu yang selalu sigap dengan mengarahkan mata lensanya ke saya, akan mengabadikan perjalanan ini menjadi sebuah kenangan. Sementara Albani selalu siap menyokong dari belakang apabila Selamet kelelahan. Karena kami semua berpuasa, maka teman- teman yang sangat istimewa ini bergantian membopong saya agar sampai di Gua Gerubuk. Aroma khas gua akhirnya menyeruak ke hidung saya ketika kaki menjejak ke dalam gua. Cahaya putih itu pun mulai terlihat perlahan. Pancaran cahayanya semakin dekat, namun kondisi saya semakin melemah. Mungkin karena kehausan. Namun karena dorongan teman- teman dan atas berkahNya, saya kembali bersemangat dan akhirnya bertemu ‘Cahaya Surga’. Sujud syukur pun saya persembahkan kepada Allah SWT yang telah menjadikan mimpi ini menjadi nyata. Kepala saya tundukan ketanah, semata-mata untuk berterima kasih kepada semesta yang telah mendukung mimpi saya kembali menjadi realita. IRFAN RAMDHANI 29 tahun, adalah seorang pejuang mimpi yang sudah menerbitkan buku Tabah Sampai Akhir dan Second Chance, kini Irfan sedang menyelesaikan naskah buku ketiganya dengan Judul Tititk Balik (Perayaan rindu sang pejalan terhadap cinta berbuah surga), Irfan bertutur kata “Aku ingin ketika aku berkarya, Ibuku tidak sia-sia melahirkanku”. 106 / DARI TANGAN PERTAMA
DOWNHILL CHALLENGE: TANTANGAN SAMPAI DETIK PENGHABISAN JACK JACOBS SSelalulah berpikir seperti sebuah maskapai dalam beroperasi; berharap kesempurnaan 100% dalam 100 penerbangan pesawatnya. No mistakes. Begitu lah idealnya hari-hari yang saya jalani saat mengikuti Asia Pacific Downhill Challenge 2014. Bersepeda di turunan terjal penuh risiko memang hobi yang sudah bertahun-tahun melekat di jiwa. Tapi berlomba setelah melayang dan terhempas belasan meter, sungguh suatu cerita yang berakhir bahagia. JUMAT SORE, LATIHAN KE-5 Hari ini target latihan adalah melewati Suksma Rock, rintangan alami berbentuk batu dengan areal pendaratan berbelok ke kanan bertemu dengan jalur Prestasi. Titik ketinggian batu sekitar tujuh meter dari bagian pendaratan yang rata. Kondisi arena balap sepeda di Bukit Tengah, Klungkung, Bali ini memang luar biasa menarik. Membuat saya yang hobi berat bersepeda down hill merasa girang sekaligus tertantang. / 107KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
Ada dua cara melewati batu ini. Pertama dengan rolling atau menggelinding, yang risikonya paling rendah tapi butuh waktu lebih panjang. Cara kedua dengan hip jump, terbang tanpa menyentuh batu namun posisi sepeda harus belok di udara agar bisa mendarat dengan sempurna di area pendaratan yang berada di sebelah kanan. Berdasarkan hitungan waktu, hit jump ini adalah cara yang paling cepat namun mempunyai risiko paling tinggi. Kecepatan yang kurang bisa berakibat ban tersangkut batu dan berisiko terjerembab ke depan. Sekalinya berhasil melewati batu, belum tentu bisa mengendalikan arah sepeda dalam hitungan sepersekian detik sehingga berisiko keluar dari jalur. Cara kedua telah saya coba dan berhasil tiga kali. Tidak terbayang perasaan campur aduk antara senang sekaligus gemeteran karena berhasil lolos dari salah satu rintangan terberat di jalur downhill sepanjang 1.5 km ini. Waktu tempuh rata-rata dari start ke finish untuk jalur sepanjang ini adalah empat menit untuk pembalap Prestasi dan lima menit untuk pembalap Hobi. Suksma Rock berada di km 1,3. Hanya beberapa saat menjelang garis finish. Bergerak perlahan dan tenang dari panggung Start Gate, semua rintangan-rintangan berisiko tinggi lainnya saya lewati dengan santai dan tanpa beban. Tidak terlalu saya pikirkan berhubung fokus dan ketahan fisik saya butuhkan maksimal saat akan melewati Suksma Rock. Beberapa ratus meter menjelang Suksma Rock, beban dan pikiran akan tingkat risiko, cara mengambil jalur, kecepatan yang ideal, kemungkinan yang akan terjadi dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi kesalahan semakin berkecamuk dan berseliweran di benak. Lima puluh meter menjelang Suksma Rock, sambil bergerak stabil saya mengatur napas dan meyakinkan diri sendiri dengan hal-hal yang positif bahwa semua akan aman dan lancar. Yakin seyakin-yakinnya bahwa semua akan indah pada akhirnya. Terlihat banyak penonton di area tersebut, penduduk setempat yang hendak menikmati aksi maupun pembalap lain yang ingin mempelajari cara melewati salah satu rintangan ekstrim di jalur downhill ini. Teringat saat pertama kali berhasil lolos di Suksma Rock, suasana mendadak pecah. Semua berteriak histeris bahkan beberapa teman dekat jingkrakan saking senang melihat keberhasilan ini. Seorang atlit nasional malah mengira yang barusan lolos dan mendarat dengan aman adalah atlit profesional dari luar negeri. Pasalnya saya peserta dari kategori Hobi, masuk dalam kelas berdasarkan umur antara 40-45 tahun 108 / DARI TANGAN PERTAMA
sehingga keberhasilan tersebut merupakan suatu hal yang luar biasa bahkan bisa dibilang yang nekat. Banyak pembalap muda bahkan tidak mau melewatinya dengan cara seperti itu karena tidak berani maupun kurangnya mental dan pengalaman. SEPULUH METER Dua detik terakhir sebelum terbang saya mengerahkan fokus pada semua hal, dari cara melewati hingga kemungkinan yang akan terjadi dan kesiapan menghadapinya. 1001 teknik terbaik yang pernah saya lakukan dalam sekian tahun bersepeda downhill dalam sepersekian detik harus direka ulang dan mencari kombinasi yang tepat untuk dilakukan. Teknik, kecepatan, reaksi, dan mental semua bercampur. Saat bermain downhill, musuh terbesar adalah diri kita sendiri. Ego dan emosi. Sering sekali keputusan diambil tanpa penilaian yang tepat, malah lebih sering mengandalkan alam untuk mengambil alih keputusan. Dalam keadaan bergerak cepat dengan pemikiran yang lambat sering kali keputusan adalah hasil dari keputusasaan. Pasrah dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Secara samar-samar mulai terlihat semuanya. Penduduk yang menonton dengan wajah tegang, pembalap-pembalap yang penasaran, fotografer yang telah bersiaga di balik lensa, dan tonjolan batuan Suksma Rock yang megah menanti. Untuk kesekian kalinya saya melewati rintangan ini dan wusshhh..., terbang melayang dengan sedikit menggeser pinggul ke kanan supaya sepeda bisa bermanuver ke kanan di udara. Terasa ban depan terangkat jauh dari ujung batu yang berarti harusnya semua aman. Namun dalam sepersekian detik fokus saya buyar saat tiba-tiba menyadari ban belakang menyentuh ujung batu sehingga mempercepat rotasi sepeda dan membuat beban badan terlempar ke depan. Oh my God..!! Salah satu ketakutan terburuk akan terjadi dan saya berada di situ melihat dan merasakan semuanya dari balik helm dan kacamata pelindung. Walau tidak terlihat dengan jelas namun saya sadar akan bayangan- bayangan yang terjadi saat saya terjun bebas dari ketinggian tujuh meter. Posisi kepala yang tidak bisa dikontrol secara perlahan berotasi ke bawah mengarah ke tanah. Secara refleks saya menekuk kepala ke dalam berharap akan mempercepat rotasi badan dan minimal hantaman yang terjadi hanya mengenai pundak atau punggung. Dalam beberapa kali kecelakaan kecil, teknik seperti ini sangat berguna sehingga kita tidak berhenti dengan tiba-tiba yang dapat / 109KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
berakibat patah tulang. Ternyata keputusan dan teknik yang diambil dalam waktu sepersekian detik itu tidak cukup membantu menyelamatkan pendaratan saya. Brakk..!! Terasa sensasi-sensasi aneh yang terjadi saat kepala yang berada dalam helm menambrak tanah keras berkarang khas daerah pantai di musim kering. Dalam gelap saya bisa merasakan adanya kilat menyambar dan letupan kecil tanpa gema. Sekilas terdengar teriakan dan kepanikan penonton. Tidak ada sakit yang terasa saat itu. Entah karena efek adrenalin atau mungkin karena beta endorphine yang dikeluarkan oleh otak pada saat stres atau sakit dan merupakan obat penghilang rasa sakit alami. Entahlah. Saat itu saya hanya menginginkan suatu jawaban, dari hasil pemikiran saya atau dari orang lain, bahwa semua aman dan selamat. Dalam posisi masih meringkuk saya diam sejenak menenangkan diri. Kemudian mencoba berkomunikasi dengan semua anggota badan, mencoba mencari bagian mana yang tidak bagus reaksinya atau malah memberikan respon darurat. Satu hal yang saya sadari adalah efek dari hantaman keras yang barusan terjadi dapat menyebabkan kepatahan atau kelumpuhan akibat terjepitnya saraf. Teman-teman yang mendekat hendak membantu tidak saya perbolehkan untuk menyentuh atau mengangkat saya. Setelah yakin aman karena tidak terasa adanya sakit yang luar biasa, baru saya minta mereka membantu saya bergeser ke pinggir jalur. Beruntung saya tidak mengalami cidera langsung akibat terjun bebas tersebut. Tetapi demi keamanan, saya memutuskan untuk berhenti latihan dan meminta tim medis dengan ambulans untuk mengantar ke rumah sakit rujukan panitia. Di dalam ambulans selama perjalanan Klungkung-Denpasar, saya mencoba mengevaluasi semua yang terjadi dan mencoba mengingat tindakan apa yang saya lakukan sebelum, selama dan sesaat setelah kejadian. Mungkin ini hanya hal kecil yang bisa dilakukan setelah suatu kecelakaan terjadi. Tapi buat saya hal kecil ini adalah cara mendapat pelajaran dalam pengalaman bersepeda. Saya belajar tidak hanya dari teknik bersepeda yang benar, saya juga menonton film atau membaca evaluasi suatu kecelakaan demi mencari ilmu. Dengan mempelajari semua kasus kecelakaan saat bersepeda seperti penyebab dan efeknya, apa dilakukan saat itu hingga teknik jatuh dengan benar, manfaatnya besar sekali buat saya. Dokter menyebutkan adanya kerusakan kecil di ruas leher namun kurang terlihat dengan jelas bila hanya menggunakan xray. Untuk itu 110 / DARI TANGAN PERTAMA
dibutuhkan tindakan lanjutan dengan MRI agar bisa melihat dengan jelas tingkat kerusakan yang terjadi. Cidera lainnya boleh dikatakan tidak seberapa, hanya lecet di beberapa bagian badan. Berhubung mesin MRI sedang mengalami kerusakan, saya memutuskan untuk melanjutkan scanning di Jakarta. Diagnosa dokter ini setidaknya menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh lecet-lecet saat terjatuh. Apalah arti lecet di kulit dibanding lecet di ruas tulang di dalam leher yang menyangga beban kepala dan sebagai jalur saraf- saraf penting. Dokter hanya menyarankan istirahat dan berhati-hati saat bergerak, terutama saat melakukan gerakan yang tiba-tiba di bagian leher. Beberapa jenis obat diberikan disertai pemasangan penyangga leher sebagai tindakan pencegahan. Hmmmm creepy… Sementara pikiran saya melayang memikirkan Seeding Run atau Babak Penyisihan yang akan dilakukan pada hari Sabtu dan Babak Penentuan atau Final Run pada hari Minggu. Salah satu aturan umum perlombaan adalah peserta yang tidak ikut atau menyelesaikan Babak Penyisihan tidak dapat mengikuti Babak Penentuan. Untuk bisa mengikuti Babak Final minimal saya harus selamat saat babak penyisihan. Harus. Bisa dikatakan lebih dari 10 bulan persiapan hingga bisa sampai dan ikut berlomba di sini. Kalender nasional perlombaan balap sepeda gunung biasanya dikeluarkan bulan Maret. Isinya jadwal setahun berjalan, nama, tanggal, dan lokasi lomba. Termasuk juga informasi jenis lomba seperti terbuka, berseri tingkat nasional, internasional maupun yang lokalan yang jumlahnya bisa mencapai belasan acara. Perlombaan yang saya ikuti ini diadakan di bulan November, saat seri kejuaraan nasional dan seri dunia selesai. Berdasarkan kalender ini, sebagai pesepeda atau bahasa kerennya downhiller, kami melakukan persiapan yang berhubungan dengan keikutsertaan pada lomba- lomba tersebut. Antara lain persiapan fisik individu dan sepeda, faktor psikologis, hingga program dan jadwal latihan yang ketat serta rajin mengikuti perlombaan yang ada. Semakin sering mengikuti perlombaan akan semakin bagus teknik, strategi serta daya tahan stamina dan konsentrasi menghadapi rintangan ekstrim dalam waktu rata-rata 3-4 menit. Keuntungan saat berlomba salah satunya adalah program latihan harus dijalankan sesempurna mungkin dikarenakan durasi yang terbatas dan target pencapaian yang tinggi. Latihan hari Sabtu dan Minggu yang dilakukan di luar jadwal lomba, biasanya berjalan tanpa target, tanpa beban, durasi tidak terbatas dan beberapa kemudahan lainnya. Namun saat berada di suatu perlombaan, / 111KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
dibutuhkan adaptasi yang cepat dan tepat. Terkadang kita hanya diberikan waktu setengah hari untuk mempelajari dan menghapal bentuk dan rintangan sepanjang jalur lomba. Bisa turut berlomba di even bertaraf internasional ini merupakan suatu kebanggaan buat saya. Selain bergengsi, persaingan juga ketat dan intimidasi jalur terasa luar biasa. Bersepeda di jalur ini bisa dikatakan tidak boleh ada koreksi. Kesalahan kecil bisa berakumulasi dan berakibat kecelakaan fatal. Banyak pembalap yang mengikuti acara ini ternyata tidak siap secara mental. Saya tertera sebagai pendaftar beberapa bulan sebelum hari-H, mengalahkan pendaftar lain karena jumlah peserta dibatasi. Pengumuman tentang lomba biasanya dimulai bulan Mei dengan informasi awal tanggal dan lokasi lomba. Pendaftaran dibuka bulan Juli dengan kuota 350 orang yang terbagi dalam beberapa kelas bergengsi, dan ditutup bulan Agustus atau September. Berhubung banyaknya peminat, sebagian terpaksa masuk ke dalam daftar tunggu. Peserta wajib melakukan track walk atau inspeksi jalur sebagai salah satu peraturan wajib sebelum lomba. Dengan demikian dia bisa mempelajari jalur, memberi penilaian-penilaian yang berhubungan dengan persiapan badan dan sepeda, hingga membuat strategi dalam melewati jalur. Kepanikan dengan mudah terlihat pada seseorang yang secara pengalaman dan mentalnya kurang, terutama pembalap- pembalap dari kategori Hobi. Trek sepanjang 1.5 km ini salah satu jalur downhill terbaik di Indonesia. Atau lebih cocok dikatakan jalur yang paling ekstrim. Konturnya sangat curam dengan permukaan tanah kering yang didominasi batuan lepas dan butiran tanah yang mengeras. Bentukan alamnya sangat mengintimidasi ditambah rintangan yang didisain dan dibuat secara manual selama beberapa bulan. Pengerjaannya dilakukan oleh pembuat jalur berstandar internasional yang khusus didatangkan dari Australia. Sepertinya jalur ini memang diperuntukkan bagi pembalap level atas. Pembalap dari kategori Hobi biasanya cenderung merasa tidak nyaman mulai dari saat latihan hingga perlombaan berlangsung. Ada yang langsung mengundurkan diri dan memilih pergi berjemur di pantai Kuta, ada yang berusaha mencoba mengalahkan perasaan takutnya namun sering melakukan kesalahan hingga akhirnya kalah dan mundur dari perlombaan. Seperti istilah ‘kalah sebelum bertanding’. Ada juga yang berhasil melewati semua proses dan mengakhiri perlombaan 112 / DARI TANGAN PERTAMA
dengan perasaan senang dan bersyukur. Downhill adalah jenis lomba sepeda gunung khusus turunan dengan melewati beragam rintangan ekstrim alami maupun buatan. Biasanya titik start berada di bagian atas bukit dan finish di kakinya. Rata-rata panjang jalur 1.5 - 3 km dan mempunyai perbedaan elevasi titik start dan finish antara 150 m - 600 m. Pembalap harus menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi berbagai rintangan, seperti jalur yang sempit berliku, akar pohon, hamparan batuan, dan rintangan alami lainnya dengan kecepatan 70-80 km perjam. Pemenang lomba diambil berdasarkan waktu tercepat dari masing- masing kelas atau kategori. Biasanya ada dua kategori utama yaitu Prestasi dan Hobi. Kategori Prestasi berisi atlit-atlit andalan yang biasa mewakili daerah, propinsi dan negara. Bisa juga pembalap yang tercatat dalam ranking dunia. Mereka dipecah lagi mewakili atlit pria, wanita, dan remaja. Untuk kategori Hobi terdiri dari beberapa grup kelompok umur, dari usia 19-29 tahun hingga grup 50 tahun ke atas. Saya masuk di kelompok umur 40-45 tahun. Perjalanan saya dan tim yang beranggotakan dua pembalap dan satu manajer dari Jakarta menuju lokasi lomba di Klungkung, Bali melewati jalan darat dengan membawa mobil double cabin. Dengan demikian kami dapat membawa sebanyak mungkin perlengkapan pendukung seperti tenda dan asesorisnya serta peralatan cadangan untuk kebutuhan lomba. Pokoknya semua peralatan ‘perang’ disiagakan. Selain itu, kami akan memanfaatkan mobil double cabin untuk dijadikan kendaraan pengangkut yang akan membawa kami bolak balik ke titik start di atas bukit. SABTU, BABAK PENYISIHAN Setelah semalam berusaha istirahat dengan nyaman, saya menikmati Sabtu pagi dengan semangat dan keinginan yang teramat dalam untuk menyelesaikan perlombaan ini dengan benar. Datang, bermain, moga-moga menang, dan pulang. Ini perlombaan pamungkas di akhir tahun yang telah saya tunggu dari awal tahun, dengan segala macam persiapan dan permasalahan yang terjadi. Downhill adalah genre sepeda gunung yang paling saya sukai dan menjadikan olah raga ini bagian dari gaya hidup selain manfaat untuk kesehatan. Tentu sangat berat untuk tidak mengikuti perlombaan yang sudah terpampang di depan mata ini. Dengan semangat tinggi saya tetap akan menyelesaikan proses ini. Toh informasi panitia menyatakan / 113KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
semua peserta yang melakukan start atau yang menyentuh garis finish bisa mengikuti babak final di hari Minggu. Diagnosa dokter mengatakan cidera saya tidak terlalu parah. Saya mencoba selalu memakai penyangga leher yang didapat dari rumah sakit dan saat bersepeda saya menggunakan penyangga khusus untuk olah raga. Tanpa mengikuti latihan awal sebagai tahap pemanasan, saya langsung berlomba di babak penyisihan dengan kecepatan rendah dan bermain aman pada semua rintangan sepanjang jalur. “Yang penting finish,” pikir saya. Entah saat itu saya finish di peringkat ke berapa tapi yang jelas babak penyisihan telah dilewati tanpa ada keluhan atau rasa sakit yang mengganggu. Setelah itu saya langsung pulang ke hotel agar bisa istirahat lebih banyak dan mengembalikan kondisi badan dan pikiran ke tingkat yang lebih baik. Karena esok hari adalah Final Day. Yeeyyyy..!!! 114 / DARI TANGAN PERTAMA
MINGGU, FINAL DAY Terkadang kita berubah karena kondisi. Lebih berpikir keras atas suatu kecelakaan, setelah kejadian. Lebih bersyukur atas keselamatan yang diberikan, setelah nyaris tidak selamat. Namun sebagai manusia kita hanya bisa belajar, berdoa, dan bersyukur atas kuasa Yang Maha Esa. Dan di hari Minggu ini saya ingin merayakan kuasa itu dengan menikmati lomba downhill yang sangat saya sukai. Saya telah berada di dalam lingkungan lomba ini, hal yang saya tunggu sejak lama. Nikmati saja semua. Tanpa beban untuk mengejar target menang, tanpa emosi yang bergejolak atau degub jantung yang liar, hari ini saya bermain dengan sangat tenang, sangat lincah dan mulus di beberapa rintangan yang terbilang susah. Sangat berbeda dengan kondisi saat saya bermain dua hari lalu yang penuh dengan kepanikan mengontrol arah dan laju sepeda dan sering melakukan kesalahan kecil yang berakibat laju sepeda terhambat. Hari ini saya bisa lepas tanpa ada kepanikan, bisa liar tanpa harus dikontrol, bisa melihat apa yang belum terlihat. Dan di hari Minggu saat babak penentuan ini saya bisa masuk garis finish dengan aman dan perasaan puas berlebihan yang tidak bisa diungkapkan karena ternyata pembalap di kelas saya habis, saya dinyatakan sebagai orang Indonesia tercepat di kelas saya dengan menempati posisi kedua tercepat. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah rekan pembalap dari negara tetangga, Australia. Thank God! JACK JACOBS 47 tahun, pegiat olah raga bersepeda ekstrim. seperti downhill (meluncur dengan cepat dari ketinggian), juga menjadi konsultan pembuatan jalur lomba sepeda gunung. / 115KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
PENANTIAN PANJANG CARSTENSZ PYRAMID JAMALUDIN LLangit tertutup awan tebal ketika longsoran batu terdengar begemuruh dari arah puncak Carstensz Pyramid. Ketika itu kabut tebal dan hawa dingin mengelilingi kami yang sedang menunggu teman-teman di Pinnacle, pos pendakian yang berbeda ketinggian sekitar 20 meter dari puncak. Senior kami di Mapala UI, Ripto Mulyono yang akrab disapa Bang Mul, baru saja memutuskan agar kami turun saja. “Cuaca benar-benar kurang mendukung. Nggak pernah nih salju di jalur Pennacle ini sampai 60 cm tebalnya,” kata Bang Mul yang khawatir pencapaian puncak baru terjadi setelah langit gelap. Saat itu memang sudah hampir pukul 5 sore, sementara belum semua kami berkumpul di sini. Dalam kondisi normal, menurut Bang Mul yang sudah lebih dari 30 kali menjejakkan kaki di sini, puncak Carstensz Pyramid bisa dicapai dalam waktu 30 menit saja. 116 / DARI TANGAN PERTAMA
Beruntung tak melanjutkan perjalanan karena angin dingin yang menghantam tubuh kami ternyata menggulingkan bebatuan yang berserakan di sepanjang jalur pendakian. Cuaca yang sedang tidak menentu juga membuat salju menutupi sepanjang jalur Summit Ridge menuju puncak. Carstensz sedang menunjukkan kelasnya yang berbeda kepada kami. Biasanya pendakian dimulai dari basecamp Lembah Danau-Danau di ketinggian 4.200 mdpl. Start sekitar pukul 2 dini hari dan paling cepat sampai di puncak sekitar pukul 12 siang. Pada kondisi tertentu, baru sore hari kaki menjejak di titik tertingginya. Saat itu kami sedang mencoba summit attack dari ketinggian 4.750 mdpl di kemah Tiga Teras Besar. Sekitar pukul empat pagi kami mulai bergerak naik. Namun, dalam kondisi Carstensz yang berselimut salju seperti ini, baru pukul tiga sore kami sampai di Pinnacle dan gagal pula menyentuh puncak. Kami semua ditarik mundur. Banyak pertimbangan yang disampaikan Bang Mul sebagai pemimpin rombongan pendakian. Kondisi di lapangan terlalu berisiko karena tali fix yang ada di jalur Pinnacle tersebut sudah rapuh dan kami harus merayapi dinding tipis yang diselimuti salju. Di sisi utara dinding tersebut terdapat jurang menganga, siap menanti siapapun yang tergelincir disana. Dengan kondisi kelelahan seperti saat itu, risiko menjadi lebih besar. Tali dinamis yang kami bawa sudah digunakan pada medan sebelumnya karena tali fix di sana tidak ditemukan. Sepertinya terendam salju. Selain itu, waktu pun sudah tidak memungkinkan untuk ke puncak. “Kita sudah kesorean sampai di sini. Kalau dipaksakan ke puncak, potensi risiko lumayan besar. Bisa-bisa kita kemalaman sementara suhu sedang dingin-dinginnya sekarang ini,” ujarnya. Akhirnya dengan berat hati kami kembali ke Kemah Tiga dan melupakan puncak. Entah kapan kami akan kembali menggapainya. Kesempatan itu belum tentu ada dalam satu atau dua tahun ke depan. Semoga Tuhan punya rencana bagus untuk kami di kemudian hari. Kami berjalan turun beriringan dengan perlahan. Hujan salju sudah mulai turun. Setelah melewati celah kedua, kami berteduh di bawah kanopi tebing yang mengarah ke sisi Selatan. Tepat di atasnya terdapat jalur Kandang Babi, jalur klasik yang pernah dilewati Mapala UI. Salju yang ikut turun dari angkasa membuat pakaian kami menjadi basah. Sebenarnya, hujan salju yang rendah lebih menguntungkan ketimbang hujan air. Salju pupur seperti kapas, menempel di pakaian dan akan rontok jika / 117KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
kita kibaskan. Beda dengan kondisi sekarang. Yang turun bukan hanya serpihan salju seperti kapas melainkan serpihan es berupa batuan kristal berbagai ukuran. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan karena bergerak malam akan lebih berisiko. Belum lagi kami harus menyebrangi celah yang cukup lebar dengan sistem tyrolean. Risiko terjadi kecelakaan akan semakin tinggi, apalagi jika dilakukan pada malam hari. Satu persatu kami menyebrangi tyrolean dan tiba di kemah dengan selamat pada pukul 8 malam. MENGUJI KESABARAN Kami memulai pendakian dari Bali Dump di ketinggian 3.950 mdpl. Untuk sampai ke sana kami harus melintasi kawasan pertambangan terbesar di Indonesia, dilanjut trekking ke Danau Hijau. Biasanya hanya butuh 30 menit, namun kali ini kami baru sampai setelah berjalan hampir dua jam. Ini karena Zebrawall yang biasa dilintasi sekarang sudah menjadi danau. Akibatnya jalur yang harus kami tempuh melambung ke atas bukit di sebelah utara Zebrawall. Di hari kedua, perjalanan dilanjut dari Danau Hijau ke Danau Biru. kami menempuhnya sekitar satu jam. Di hari ketiga, kami bergerak dari Danau biru ke basecamp Lembah Danau-Danau sekitar tiga jam perjalanan. Sebenarnya seluruh rute ini bisa ditempuh dalam waktu satu hari. Namun kami perlu melakukan aklimatisasi sehingga waktu yang terpakai jadi lebih panjang. Setiba di setiap basecamp, kami mendaki sekitar 500 meter, dan turun kembali untuk istirahat di tempat yang lebih rendah. Kami membuat basecamp sementara di Lembah Danau-Danau sambil menunggu dropping logistik dari Tembagapura dengan menggunakan helikopter. Keesokan harinya semua barang datang, sehingga kami bisa mendirikan basecamp dengan dua buah tenda berukuran besar untuk dapur dan gudang peralatan, serta tiga tenda dump untuk tidur. Setelah kondisi basecamp di Lembah Danau-Danau rapi dan kondusif, kami angkut sebagian logistik ke Lembah Kuning, dilanjut ke Teras Besar. Ada empat duffle bag besar yang kami bawa. Ada yang berisi peralatan panjat yang kami simpan di Lembah Kuning sebagai titik awal pemanjatan Carstensz Pyramid, ada pula yang dipenuhi bahan makanan, perlengkapan masak, bahan bakar, logistik, dan perlengkapan berkemah yang kami butuhkan selama berada di Teras Besar. 118 / DARI TANGAN PERTAMA
Selama dua hari kami melakukan dropping logistik ke titik berketinggian 4.00 mdpl tersebut. Baru keesokan harinya kami mulai pemanjatan menuju puncak. Target kami pada hari keempat tanggal 16 Februari 2011 itu adalah mencapai Puncak Carstensz Pyramid. Sebelumnya kami mendirikan tenda dan menginap di ketinggian 4.500 mdpl, 4.700 mdpl dan terakhir di ketinggian 4.750 mdpl. Namun sangat disayangkan kami gagal saat itu. Kondisi jalur yang dilalui memang tidak dapat diduga sebelumnya. Dalam evaluasi penyebab kegagalan tersebut, disimpulkan bahwa lambatnya pergerakan kami disebabkan oleh terbuangnya waktu karena harus menggali salju untuk menemukan tali fix yang terpendam. Selain itu, kami kekurangan tali dinamis yang diperlukan untuk mengganti tali fix yang sudah lapuk. Sedianya, jika kami sampai di puncak sesuai rencana, keesokan harinya kami akan kembali ke basecamp Lembah Danau-Danau dan mencoba puncak-puncak lainnya. Ada Puncak Jaya, Puncak Sumantri, dan Puncak Carstensz Timur di sekitar situ. Pilihan kami saat ini adalah kembali ke basecamp tanpa Puncak Carstensz Pyramid dan menggapai puncak lainnya, atau tetap menetap di Teras Besar dan mencoba mengulang kembali pendakian ke Carstensz Pyramid. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengulang kembali pendakian ke Puncak Carstensz Pyramid, dengan catatan dalam dua hari kedepan kami harus istirahat untuk memulihkan kondisi badan kami yang sudah kelelahan. Kami pun harus mengambil logistik tambahan untuk empat hari kedepan. Enam orang anggota tim turun ke basecamp Lembah Danau- Danau untuk mengambil logistik. Empat orang lainnya memilih menetap di Teras Besar untuk menghemat energi. Dua orang yang turun ke basecamp memutuskan untuk tidak mengulang percobaan kedua pencapaian puncak Carstensz Pyramid. Mamo terluka kakinya sementara fisik Dolof drop. Tinggal aku, Agi, Nopul, dan Fahmi yang kembali lagi ke Teras Besar. Pada tanggal 19 Februari 2011, kami putuskan untuk mencoba kesempatan kedua menggapai puncak tertinggi di Indonesia. Dari delapan orang yang ada di Teras Besar, hanya enam orang yang mengulang pendakian itu. Dindi satu-satunya perempuan di dalam tim kami, kondisi fisiknya menurun pada saat akan memulai kegiatan. Dia akan ditemani oleh Fahmi di sini walaupun sebenarnya masih mampu ikut kami ke puncak. Akhirnya hanya tinggal berenam yang melanjutkan / 119KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
perjalanan; aku, Agi, Bang Mul, Nopul, Cemong, Tuber. Kami memulai pendakian pukul 4 dini hari, di bawah kabut dan suhu teramat dingin, mencapai 0 derajat Celcius. Kali ini kami harus berhasil. Beberapa hari lalu kami sempat kecewa dan harus rela hanya menatap puncak dari Pinnacle di ketinggian 4.860 mdpl. Hari ini, kami harus bisa melewati itu, dan menjejak puncak di ketinggian 4.884 mdpl. Harusnya kami akan tiba lebih cepat karena jumlah kami berkurang hampir setengahnya. Pukul enam pagi kami sudah siap menyeberang di tyrolean, Summit Ridge. Langit tampak sangat cerah. Dari Summit Ridge, kami dapat memandang jauh ke sekeliling kami. Di sisi Barat terlihat Grassberg, yang berbentuk mangkuk raksasa. Di sebelah Selatan, kami saksikan hutan hujan tropis Papua hingga tampak lautan Arafuru. Di sebelah Utara menjulang puncak Jayawijaya, Puncak Sumantri, Puncak Carstensz Timur, dan puncak-puncak lainnya di Pegunungan tengah. Sedangkan di sisi Timur, Puncak Carstensz Pyramid dan igir-igir tipis Summit Ridge seperti tersenyum menyapa kami. Pemandangan itu nampak seperti karpet merah buat kami. Satu persatu kami menyebrangi tyrolean. Jantung berdegup kencang membayangkan perlengkapan penyeberangan yang terpasang itu. Di bawahnya tampak jelas jurang menganga yang siap menyantap siapa saja yang lewat di atasnya. Saat menyeberangi, tas ransel yang dibawa seakan menarik kami ke bawah. Hanya helaan nafas yang kami bisa lakukan ketika sampai di ujung tali dan menghinggapi tebing di seberang. Hari masih sangat pagi, sangat jauh berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Pergerakan kami jauh lebih cepat karena semangat yang luar biasa tinggi. Kami sampai di titik menjelang Pinnacle sebelum pukul 9, lalu menyebrangi celah kecil dan meniti tali untuk naik ke Pinacle. Kemarin kami sempat sangat kecewa di sini, namun sekarang tersenyum dengan sumbringah. Agi memasang tali dinamis di belay oleh Bang Mul pada bagian yang tali fix sudah sangat rapuh. Rupanya keputusan kami kemarin sangat tepat. Pijakan di jalur ini ternyata sangat tipis. Sisi utaranya jurang, dan satu per satu kami harus merayapi dinding salju itu secara perlahan. Agi dan Bang Mul berada di posisi depan. Aku, Nopul, Cemong, dan Tuber berada di posisi belakang. Kami saling mengawasi pergerakan satu sama lain. Jalur menjelang puncak masih tertutup salju. Maka kami gali timbunan es tersebut untuk mengangkat tali yang terpendam, agar 120 / DARI TANGAN PERTAMA
dapat melangkah maju dan menambah ketinggian. Akhirnya perjuangan kami membuahkan hasil. Empat kali bolak- balik dari basecamp Lembah Danau-Danau ke Teras Besar. Tujuh hari berada di Teras Besar, dan dua kali percobaan ke puncak. Pada tanggal 19 Februari 2011 pukul 10 pagi, kami sampai di titik tertinggi tebing ini. Titik tertinggi di Indonesia. Salah satu dari tujuh puncak tertinggi benua. Alam rupanya mendengar kegembiraan kami. Seketika hujan salju turun seperti kapas, menyambut keberhasilan kami mencapai puncak. Buatku ini adalah pendakian puncak perdana dari tujuh puncak tertinggi benua. Semoga ada puncak-puncak lain yang dapat kugapai. JAMALUDIN 33 tahun, anggota Mapala UI, hobi panjat tebing dan mendaki Gunung, serta petualangan lainnya di alam bebas. Praktisi di dunia K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). / 121KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
MENGAYUH DARI JAKARTA KE YOGYAKARTA KALVARI SITUMORANG AAku terkena serangan jantung tepat seminggu sebelum umurku bertambah menjadi 33. Kejadian di tahun 2012 itu menjadi momentum bagiku untuk melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat. Kuputuskan untuk bersepeda. Hobi yang aku tekuni lima tahun belakangan ini sungguh menjadi dunia yang sangat menyenangkan bagiku. Aku memfokuskan hidup pada sesuatu yang baru yang lebih baik, sehat, bugar dan bermanfaat bagi sesama. Semua itu menjadi pakem baru yang menggarisbawahi segala aktivitasku kemudian. Aktif bersepeda tiap hari sebagai olahraga kardio yang wajib aku lakukan mempertemukanku dengan beberapa sahabat pesepeda serta komunitas para penghobi moda transportasi roda dua yang ramah lingkungan ini. Semakin dalam aku menggeluti aktivitas ini, semakin aku paham bahwa bersepeda bukanlah olahraga biasa. Bersepeda sarat dengan manfaat dan filosofi hidup. Banyak hal yang baru aku temukan dan pahami saat bersepeda. Rasa setia kawan, tidak mudah putus asa, tetap tenang saat menghadapi masalah, improvisasi 122 / DARI TANGAN PERTAMA
penanganan masalah dan fokus pada tujuan akhir setidaknya menjadi prinsip-prinsip dasar yang semakin aku pahami. Selalu kutemukan cerita baru tiap perjalanan mengayuh sepeda. Satu yang tak akan kulupa adalah perjalanan di akhir November 2017 dari Jakarta ke Yogyakarta. Aku memilih jalur Puncak, Bandung dan kota- kota di jalur Selatan Pulau Jawa dengan tipikal banyak tanjakan terjal. Total jarak tempuh 600 km dan memakan waktu tiga hari. Memang rada gila ide ini. Munculnya sejak enam bulan sebelumnya ketika pulang menjenguk mertua di Yogyakarta. Awalnya diskusi di grup komunitas yang kemudian diajak bergabung untuk gowes bareng ke Yogyakarta. Cuma tiga orang yang menanggapi. Lalu aku persiapkan rute perjalanan dan hubungi sahabatku untuk menyewa mobil pengawalan. Dua hari menjelang keberangkatan, dua sahabat memutuskan batal ikut. Hanya aku dan Niall, pesepeda dari Irlandia, yang memutuskan tetap berangkat. Ya sudah, kami batalkan sewa mobil karena bisa lebih irit. Niall adalah sosok pribadi yang unik, tidak kenal takut dan menyerah dengan berbagai keterbatasan fisik yang dia miliki sejak lahir. Hanya ada masing-masing empat jari di tangan kanan dan kirinya. Selain itu, kami berdua memiliki persamaan, yaitu sama-sama punya masalah dengan jantung. Dan kami berdua hanyalah pesepeda amatiran. Satu hal yang aku selalu katakan padanya sebelum kami berangkat. “Let’s do the craziest thing in our life.” Sebenarnya dia tidak punya sepeda khusus touring jauh. Tapi karena niat sudah bulat, maka dia minta diantarkan ke salah satu toko sepeda di seputaran arteri Pondok Indah. Memang sudah rejekinya mungkin, sepeda yang sesuai dengan kebutuhannya ada di toko itu. Dengan tipe, spesifikasi, warna, dan harga yang pas. MENGAYUH DI BAWAH HUJAN Besok paginya kami pun berangkat setelah janjian di sekitar mal di daerah Pondok Indah. Cuaca kala itu sudah mendung dan dikhawatirkan akan turun badai. Berita yang kami dengar, badai Dahlia tengah melanda kota-kota di sekitar Pantai Selatan Pulau Jawa termasuk Jawa Barat yang akan kami lalui. Meski agak kuatir, nyali kami tidak ciut. Gowes must go on! Itu moto kami. Setelah melewati Parung, Kota Bogor dan mulai masuk di daerah Gadog, hujan rintik-rintik mulai datang. Menjelang Taman Safari, Cisarua, / 123KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
terpaan air dan hembusan angin semakin kencang. Kami putuskan tetap mengayuh mendaki rute ke Puncak Pass. Sekali kami berhenti di toserba sepanjang jalan untuk membeli minuman hangat dan makanan karena udara terasa sangat dingin. Memasuki kawasan kebun teh Gunung Mas, hujan dan angin belum juga berhenti. Bukannya menciut, tapi kami malah semakin bersemangat. Tanpa jas hujan kami teruskan mengayuh. Kami mulai menggigil sementara jarak pandang amat terbatas. Semua terlihat putih. Jalur Puncak Pass, rute terberat di hari pertama, akhirnya berhasil kami lalui sekitar pukul 13.00 saat badai Dahlia benar-benar melewati jalur ini. Kami berhenti di Warung Mang Ade untuk membeli teh hangat dan mie instan plus telur supaya badan kami lebih segar. Saat itu udara benar-benar dingin dan angin bertiup kencang sekali sampai terpal di Warung Mang Ade terhempas ke sana ke mari. Hampir sia-sia kami berlindung di situ karena udara dingin tetap memasuki celah-celah dinding warung yang terbuka. Perutku terasa amat lapar. Begitu juga Niall yang memesan menu yang sama. Dua puluh menit menunggu dan menggigil kedinginan, akhirnya makanan terhidang. Baru saja disajikan di atas meja, teh dan mi instan tak terasa lagi hangatnya. Segera saja aku santap dan minum supaya tidak sampai terlanjur dingin. Setelah makan, aku ajak Niall untuk melanjutkan perjalanan. “I’m gonna go back home,” jawabnya. “Kenapa?” tanyaku kaget sambil tertawa. “I’m freezing, I’m gonna die here.” “Lha, you are ‘bule’, you should be okay with this condition.” “I’ve already become too Indonesian.” Jawabnya yang membuat aku terpingkal-pingkal. Dengan sedikit berkelakar aku ajak dia melanjutkan perjalanan dan katakan bahwa setelah ini tidak ada tanjakan berat lagi dan kota Bandung sudah cukup dekat. Dia pun terbujuk untuk melanjutkan perjalanan. Kami putuskan untuk mengenakan jas hujan seadanya sambil mengayuh menuruni jalan menuju kota Cianjur. Sementara seluruh tubuh menggigil aku bernyanyi sambil berteriak mengusir rasa dingin sepanjang jalan. Ini cukup berbahaya mengingat jalan menurun dan licin sehingga membutuhkan handling yang stabil. Padahal tangan kami gemetar karena menggigil. Untungnya setelah kota Cianjur, cuaca membaik. Dan tanpa halangan berarti kami lewati perjalanan melewati kota-kota kecil 124 / DARI TANGAN PERTAMA
menjelang Bandung termasuk tanjakan panjang Citatah yang legendaris itu. Selepas maghrib saat cuaca kembali hujan, kami susuri jalan Soekarno-Hatta Bandung dan tiba di penginapan yang sudah kami pesan sebelumnya. Tiada hal lain yang kupikirkan, selain mandi air hangat, makan malam dan istirahat setelah perjalanan dari Jakarta dengan baju basah, sempat kering dan akhirnya basah lagi. Belum lagi sepatu yang basah kuyup, serasa kaki berendam di dalam kolam. Esok pagi, kami bangun dan sarapan. Meskipun badan mulai terasa pegal, kami putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Baru saja kami berkemas dan mulai mengayuh, hujan kembali datang menyambut. Menjelang daerah Rancaekek, sepedaku mengalami kendala pada freehub atau as roda belakang dan bottom bracket. Air dan pasir yang masuk sepanjang badai kemarin ternyata merusak bagian dalam kedua perangkat itu. Sambil kupaksakan mengayuh, kami cari bengkel sepeda di sepanjang jalan. Ada tiga yang kudatangi, namun apes karena tidak ada yang bisa memperbaiki sepedaku. Piranti freehub dan bottom bracket memang perlu bengkel sepeda khusus yang punya alat untuk membukanya. Rasa khawatir dan putus asa tidak bisa lanjutkan perjalanan mulai hinggap di pikiranku saat itu. Namun aku berusaha tetap tenang dan mengayuh pelan-pelan menyusuri jalan raya itu. Ternyata keberuntungan masih ada di pihakku. Meskipun di pinggir kota kecil, ternyata kami bisa temukan bengkel sepeda yang memiliki alat yang dibutuhkan. Dan benar saja, ketika dibuka terlihat banyak pasir dan air di dalam rangka sepedaku. Sepeda Niall ikut diperbaiki posisi handlebar supaya lebih nyaman. Setelah itu, perjalanan kami pun lanjutkan. Sesekali kami berpapasan dengan pesepeda dari kota tersebut sambil menyapa dan menebar senyum persahabatan. Melewati jalur Nagrek hingga selepas Garut, kami kayuh sepeda di jalanan menurun sambil menghirup udara segar dan menikmati pemandangan hijau di kiri kanan. Lalu lintas yang padat saat itu tidak menghambat laju kami. Bahu jalan yang berbatu dan licin kami lewati untuk mengejar waktu yang sempat terbuang karena perbaikan sepeda tadi. Tibalah kami di tanjakan Gentong dan kemudian Malangbong yang cukup terjal dan panjang. Kami harus berpacu dengan truk dan kendaraan lain yang merayap menanjak. Niall saat itu berada cukup jauh di belakangku. Tiba duluan di ujung tanjakan, aku berhenti sejenak di / 125KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
pekarangan rumah warga untuk istirahat dan menunggu Niall. Tak lama dia muncul. Sambil mengepalkan tangan, aku memberi dia semangat dan selamat karena sudah menaklukan tanjakan yang cukup berat. Sambil beristirahat, kami pun menyapa dan bercengkrama dengan ibu si pemilik rumah yang kebetulan sedang menyapu. Tak terasa 30 menit lebih kami beristirahat, kami putuskan untuk pamit dan lanjutkan perjalanan menuju kota Tasikmalaya. Setelah Tasikmalaya, tibalah kami di Kota Ciamis. Kami sempatkan berfoto di alun-alun kota dan makan siang, lalu perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Banjar. Tiba di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar pukul 18.00. Kami berhenti sejenak di warung yang lokasinya pas di tugu tapal batas provinsi. Kebetulan di situ ada kawan-kawan dari komunitas motor Tangerang yang sedang istirahat juga dalam perjalanan ke Purwokerto. Sambil minum kelapa muda segar, kami menyapa dan bercengkrama dengan mereka. Perkenalan yang hangat disertai foto-foto dan saling bertukar nomor handphone. Kebetulan aku dan Niall juga pecinta sepeda motor dan kerap touring antarpulau. Sampai saat ini aku tetap berhubungan baik dengan komunitas itu. Bukankah persahabatan tidak mengenal jenis moda yang digandrungi? PANNIER PATAH Hari mulai gelap dan pikiranku hanya berharap segera mencapai kota terdekat untuk bermalam. Dengan tenaga tersisa, kami lanjutkan menanjak berliku melewati kebun karet diterangi lampu depan seadanya. Sambil mengayuh aku bernyanyi, tertawa, dan bercanda dengan Niall mengusir sepi. Perjalanan panjang ini kujadikan momen meditasi seakan berbicara pada Yang Kuasa bersyukur atas segala yang terjadi di hidupku. Aku temukan jawaban-jawaban juga akan masalah-masalah dan kesalahan- kesalahanku ketika menikmati keheningan dan gelapnya malam, sejenak teralienasi meninggalkan masalah dan rutinitas yang membosankan. Kendaraan-kendaraan yang sesekali melintas kencang membuat kami harus berhati-hati apalagi mendadak lampu belakang sepedaku mati karena kehujanan. Selepas perkebunan karet dan memasuki daerah perkampungan warga, jalan yang tadinya aku kira mulus ternyata saat itu berlubang dan sedang dalam perbaikan. 126 / DARI TANGAN PERTAMA
Mendadak terdengar hentakan keras pada saat aku melintasi lubang yang cukup dalam karena jangkauan pandangan yang sangat terbatas. Aku pun menepi berhenti sejenak untuk memeriksa kerusakan di sepedaku. Astaga! Ternyata pannier-ku patah. Selama beberapa saat aku mencoba untuk diam tenang dan menepikan sepedaku sambil mencari penerangan yang lebih baik. Kulihat ada musholla di sebelah kiri jalan dengan pekarangan dan penerangan yang cukup. Kuhampiri musholla itu dan kebetulan ada ibu- ibu warga sekitar yang sedang duduk di situ. Dengan bahasa lokal Jawa ngapak yang sedikit aku mengerti, aku sapa mereka. Aku minta ijin untuk singgah sejenak di tempat itu. Dan mereka pun dengan tangan terbuka menerima kami sambil tersenyum. Sungguh kehangatan warga lokal yang patut kami syukuri. Aku duduk sejenak untuk minum dan mengatur napas sambil tetap memikirkan cara terbaik untuk tetap melanjutkan perjalanan. Yang jelas pannierku tidak mungkin disambung malam itu juga karena bahannya alumunium. Sulit sekali mencari tukang las di desa itu, apalagi sudah malam. Jadi opsi untuk menyambung pannier bukan pilihan yang tepat saat itu. Dengan tetap tenang aku coba pikirkan alternatif kedua yaitu mengikat tas muatanku pada rangka sepeda dengan menggunakan cable ties yang kebetulan aku bawa. Aku buat ikatan seadanya sambil bercengkrama dengan warga di situ. Yang penting perbekalan ku bisa terbawa. Aku pun mencoba mengayuh beberapa meter selepas musholla. Alamak, susah sekali ternyata mengayuh sepeda dengan barang bawaan menggantung di antara dua kaki. Mustahil bagiku untuk dapat melanjutkan sisa perjalanan dari Cilacap ke Yogyakarta jika harus mengayuh seperti ini. Kuputuskan untuk kembali ke musholla tadi dan untungnya ibu-ibu itu masih di situ. Dengan tetap tenang dan cari akal, aku beranikan untuk minta tolong mereka mengirimkan tas perbekalan milikku ke rumahku di Jakarta. Syukurnya salah satu ibu tersebut mau membantu dan dia bilang besok akan minta tolong suaminya mengemas dan mengantarkan tasku ke perusahaan kurir untuk dikirim ke Jakarta. Waaah, lega sekali aku mendengarnya. Segera aku keluarkan beberapa barang penting yang harus tetap dibawa ke Yogyakarta. Dan sisanya aku tinggalkan di dalam tas untuk dikirimkan kembali ke Jakarta. Setelah itu aku memberikan sejumlah uang ke ibu itu dengan estimasi / 127KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
biaya dan kulebihkan untuk dia. Ibu itu senang sekali. Lalu setelah kami saling tukar nomor handphone, aku bergegas melanjutkan perjalanan. Saat itu aku pahami bahwa jika fokus kita pada tujuan akhir, permasalahan dapat tertangani asalkan kita tetap tenang menghadapinya. Mengenal dan berbaur dengan warga lokal membuatku merasakan ketulusan hati mereka. Menyusuri perjalanan ke kota terdekat untuk bermalam di tengah kondisi letih, gelapnya jalan, serangga malam yang berseliweran di depan mata dan kencangnya kendaraan yang melintas, membutuhkan ketegaran niat yang sangat kuat. Sadar bahwa lampu belakang ku mati, demi keselamatan maka aku mencari akal untuk gunakan headlamp menjadi lampu belakang yang aku gantung di ransel supaya lebih terlihat. “Good idea! That lamp really saved your ass Bro” komentar Niall sambil ber-hahahaha. Sekitar pukul 21.30 akhirnya tibalah kami di kota Majenang. Kota kecil yang termasuk wilayah Kabupaten Cilacap. Selepas alun-alun kami berbelok ke kiri, ke satu gang. Terlihat beberapa plang penginapan di kiri kanan jalan. Kami coba satu per satu datangi penginapan- penginapan itu dan tanyakan apakah masih ada kamar kosong. Ternyata semua kamar sudah penuh, sehingga kami harus kembali ke jalan utama kota itu mencoba mencari penginapan lain. Pikirku apapun penginapannya, yang penting kami bisa istirahat malam itu. Tak jauh terlihat di sebelah kanan jalan plang penginapan yang agak usang dan sepintas seperti restoran yang sudah lama tutup. Yah, nggak apa- apalah. Setelah bertanya di mana resepsionis ke penjaga gerbang penginapan itu, aku melangkah ke ruangan cukup luas di depan bangunan itu. Lampu agak redup dan tak terlihat seorangpun di situ. Kudekati meja resepsionis berharap ada seseorang di balik meja. Benar saja, ternyata si resepsionis duduk dengan kepala tertelungkup di atas meja. Tertidur rupanya dia. “Permisi Mbak, apa masih ada kamar kosong?” “Oh, ada Mas,” jawabnya. “Ada yang double bed Mbak?” “Ada Mas,” jawabnya lagi. Setelah diinformasikan soal harga, kami pun bergegas ke lokasi kamar yang dimaksud. Saat aku membuka pintu dan masuk, ternyata kamar ini sudah ada penghuninya. Kami buru-buru menutup pintu dan 128 / DARI TANGAN PERTAMA
meminta kamar yang lain. Kamar berikutnya terasa pengap seperti sudah lama tidak ditempati. Ada banyak sekali serangga sejenis laron di dinding dan di lantai. Ya sudahlah, tidak kami hiraukan. Yang penting bisa mandi dan rebahan. Rasa letih akhirnya menaklukan rasa ketidaknyamanan. Paginya, kami bangun agak terlambat. Mungkin karena badan sudah mulai lelah mengayuh sekitar 400 km dari Jakarta. Kami paksakan untuk tetap melangkah dan berkemas. Perjalanan kami lanjutkan setelah mandi dan sarapan pagi nasi goreng ala kadarnya. MENIKMATI ANGIN DAN DAWET Pagi itu suhu terasa lebih panas. Baru saja 50 meter mengayuh, Niall mendadak berhenti di sebuah toserba. Aku menepikan sepedaku dan menunggu saja di luar. Tak lama Niall keluar dan membawa bungkusan putih yang isinya kaos kaki. “What for Bro?” tanyaku dengan heran. “I’m gonna make it into a pair of manset, Bro,” sahutnya. Hahahaha…, Aku tertawa terpingkal mendengar jawabannya. Ternyata dia tidak tahan panas dan lupa bawa manset. Jadi dia gunting ujung kedua kaos kaki itu agar tangan bisa nongol di ujungnya. Improvisasinya keren juga. Rute selepas Cilacap memasuki wilayah Banyumas yang rata dan panas mulai terasa membosankan. Sesekali kami berhenti di toserba untuk minum dan berteduh. Menjelang memasuki Purworejo tampak pemandangan hijaunya sawah di kiri kanan jalan dan sesekali terlihat lintasan rel kereta. Beberapa pedagang minuman tradisional di sisi jalan seolah menyapa untuk singgah lepaskan dahaga. Minuman tradisional itu bernama dawet hitam. Kucoba menepi dan singgah di salah satu pedagang. Aaaahhhh, nikmat sekali rasanya. Sekejap rasa dahaga menghilang berbarengan dengan lewatnya dawet hitam yang lembut di mulut. Tak lama Niall datang, langsung saja aku tawarkan minuman lezat ini. Aku pun pesan satu gelas lagi…hahaha. Berbarengan dengan pesanan Niall kami sama-sama langsung minum. Tidak menyangka respon Niall yang terkesan sekali dengan minuman tradisional ini. “This drink is really good, Bro.” “This is a traditional drink called es dawet hitam,” saya menjelaskan lebih lanjut. / 129KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
“This is made of rice husk ash,” imbuhku. “Whaaaat…???!!!” Hahaha, dia terkejut. Belum tahu dia kalau pulau Jawa memiliki beragam minuman tradisional dari bahan-bahan alami yang terkadang tidak terpikirkan oleh masyarakat modern. Menjelang malam, selepas kota Purworejo, kami memasuki wilayah Wates dengan jalan mulus dan lebar. Ini berarti kota Yogyakarta sudah semakin dekat. Kondisi jalan yang bagus dan semangat untuk segera tiba di tujuan membuat kami makin laju mengayuh sepeda. Saling menyusul antara aku dan Niall serta mengayuh kencang sepeda sepanjang jalan di Kulonprogo, jadi hiburan tersendiri malam itu. Sesekali aku mendahuluinya melewati tanjakan terjal. Dan sesekali dia pun melewatiku di jalan yang rata. Seru dan penuh tawa meski kondisi letih dan gelap. Semangat untuk segera tiba di tujuan mengalahkan semuanya. Menjelang Tugu Yogyakarta, kami berdua lakukan sprint di sepanjang jalan Pasar Kranggan. Dan tepat pukul 12 malam kami tiba di Tugu yang menjadi landmark Kota Yogyakarta. Tuntas sudah perjalanan ini, 600 km dalam tiga hari. Rasa puas dan bersyukur kami tiba dengan selamat, melalui segala yang kami alami. Perjalanan ini bukan hanya mengenai cerita mengayuh sepeda, namun mengenai refleksi dan pencerahan dimensi kehidupan. Dan roda perjalanan ini tetap akan kukayuh pada rute kehidupan lain demi makin ku maknai segala arti, hingga waktu tak lagi menunjukkan eksistensinya. KALVARI SITUMORANG 40 tahun, karyawan swasta. 130 / DARI TANGAN PERTAMA
TRIP SINGKAT KE CILETUH MEMULIAKAN BUMI UNTUK MENYEJAHTERAKAN MASYARAKAT MUHAMMAD HAFIDH FERRYNO DDari 11 geopark di Indonesia, ada satu yang menarik perhatian saya, yakni Geopark Ciletuh. Taman bumi ini berhasil menyinergikan inisiatif masyarakat dengan dukungan pemerintah setempat dalam pengembangannya. Kekaguman saya kepada geopark yang berada di wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini berawal dari sebuah kunjungan singkat pada pertengahan Desember 2018. Perjalanan itu sendiri awalnya hanya untuk menjawab rasa penasaran akan keindahan alam di Ciletuh. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Ciletuh, hati dan mulut saya langsung memuji tempat ini luar biasa. Kata itu sangat tepat diberikan, lantaran saya tidak hanya terpesona dengan keindahan alamnya, tapi juga menemukan ketenangan, kenyamanan, dan keramahan masyarakatnya. Namun, yang membuat saya tertarik membagi pengalaman lewat tulisan ini adalah keberhasilan gerakan berwawasan pelestarian lingkungan mengangkat perekonomian masyarakat. Saya pergi ke sana bersama empat orang teman, dan kami memilih Desa Tamanjaya di Kecamatan Ciemas sebagai tempat memulai petualangan. Desa tersebut menjadi pilihan, lantaran di sana ada tempat / 131KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
bermalam. Dengan begitu kami bisa beristirahat dengan nyaman, seusai menjelajahi kawasan yang ditetapkan Unesco sebagai geopark pada pertengahan 2018. WISATA BERKELANJUTAN Homestay, sebutan bagi rumah warga yang menerima wisatawan bermalam, di Taman Jaya jauh dari kata buruk atau kotor. Sebaliknya, rumah-rumah penginapan itu sangat rapih, bersih dan wangi, serta memiliki fasilitas penunjang layaknya hotel bintang tiga atau empat. Para pemilik homestay ini tidak hanya menjual fasilitas dan kerapihan, karena mereka juga memberikan kehangatan pertemanan. Seperti yang dilakukan oleh Boyo, pemilik homestay yang kami inapi. Pemuda ini mau berbaur dengan kami, bahkan ikut menemani sebelum kami berangkat pesiar. Saat ngobrol-ngobrol itu, Boyo menceritakan alasan dia membuka rumahnya untuk wisatawan. Dan alasan itu sangat sederhana, yakni karena dia ingin mempraktikkan konsep pemberdayaan masyarakat. Rumahnya kemudian diberinya nama Guay, bahasa Sukabumi yang berarti “gerak” Boyo tak memasang tarif tinggi untuk sebuah kamar di rumahnya, hanya Rp 350.000 sampai Rp 400.000 per malam. Dengan tarif itu wisatawan sudah mendapatkan fasilitas kamar mandi di dalam kamar, air minum, dan lain-lain. Boyo juga menyediakan paket wisata di kawasan Geopark Ciletuh. Dalam paket tersebut dia menawarkan pesiar ke sejumlah tempat wisata yang memiliki rekomendasi terbaik di wilayah itu. Menurut Boyo, dia hanyalah bagian dari sustainable tourism, atau wisata berkelanjutan, yang dikembangkan di Geopark Ciletuh. Ide dasarnya adalah membuat pengunjung terkesan, dan mau datang lagi. Bahkan bukan hanya datang lagi, melainkan membawa teman-temannya berwisata ke Ciletuh. Sebagai pemilik homestay, dia dan warga lainnya yang membuka penginapan, memiliki tugas membuat pengunjung merasa betah selama berada di sana. Tata kelola homestay yang professional itu diperoleh Boyo dari banyak pelatihan yang diberikan oleh badan usaha milik pemerintah dan perusahaan swasta. Uniknya, pelatihan tersebut justru digagas oleh masyarakat Ciemas sendiri, yang membentuk kelompok masyarakat bernama Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (PAPSI). Boyo adalah anggota komunitas tersebut. 132 / DARI TANGAN PERTAMA
SWADAYA Ketika menjelajahi kawasan geopark, saya menemukan cerita menarik lagi. Kali ini dari pengelola tempat wisata Bukit Panenjoan, Ade Setiawan, yang menjelaskan bahwa masyarakat setempat mengelola sebuah tempat wisata secara swadaya. Masih ingat kan arti kata swadaya, yakni menggunakan tenaga sendiri. Contohnya Ade, yang mengeluarkan uang pribadi untuk mengembangkan destinasi Bukit Panenjoan. Tempat itu menawarkan pemandangan indah dan sejarah yang menarik. Pada masa penjajahan, digunakan sebagai tempat untuk memantau kedatangan tentara Jepang ke tanah Sukabumi. Saya langsung paham kenapa para pemantau itu memilih tempat ini, sebab dari situ hampir setengah wilayah Geopark Ciletuh terlihat jelas. Saya sendiri tidak berhenti dibuat takjub melihat keindahan yang terpampang di depan mata itu. Rasa lelah dan kurang tidur seperti langsung hilang karena pemandangan yang menghampar di depan mata. Kang Ade, begitu dia biasa disapa, membuka tempat wisata Bukit Panenjoan para tahun 2013, jauh sebelum Ciletuh ditetapkan sebagai geopark dunia. Dia menggunakan uang pribadinya untuk biaya pemeliharaan dan mengembangkan tempat itu agar layak disebut sebagai tujuan wisata. Bukannya dia tidak berani meminjam uang di bank, melainkan karena Kang Ade ingin mewujudkan moto dari geopark itu, yakni “Memuliakan bumi menyejahterakan masyarakat”. Selain Bukit Panenjoan, tempat wisata lain yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat lokal adalah Curug Awang. Air terjun ini merupakan satu dari delapan curug besar yang berada di kawasan tersebut, dengan ketinggian 45 meter dan lebar 65 meter. Besar memang, sehingga banyak orang menyebut curug ini mirip dengan Niagara, air terjun yang terdapat di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. Hanya saja, jika Niagara Falls dikelola oleh taman nasional, yang pegawainya digaji pemerintah Amerika dan Kanada, maka Curug Awang dikelola oleh Solihin bersama keluarga. Mereka membuat lahan parkir kendaraan di tanah warisan orangtua. Selain itu, mereka juga menjajakan makanan ringan dan minuman. Pengunjung tidak ditarik biaya masuk curug, namun mereka harus membayar uang parkir Rp 10.000 untuk mobil dan Rp 5.000 untuk motor. Uang tersebut digunakan untuk melakukan peremajaan kawasan Curug Awang. Destinasi lain di kawasan ini adalahi Pantai Palangpang, yang terletak di Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat. Di / 133KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
pantai ini pengunjung tidak hanya dapat menikmati pemandangan dan bermain air, tapi juga bisa merasakan sensasi terbang menggunakan paramotor. Hanya saja atraksi ini cukup menguras kantong, karena sekali terbang biayanya Rp 600.000. Atraksi ini dikelola oleh Ricko Legent, yang sama seperti Boyo, Kang Ade, dan Sohiliin, ingin mengembangkan potensi dan kekayaan alam Ciletuh. Namun dia menggunakan olahraga paramotor sebagai sarananya. Meski bukan warga asli Ciletuh, Ricko Legent melibatkan sejumlah masyarakat lokal di usahanya. Tujuannya agar potensi atraksi paramotor di Ciletuh bisa berkembang. Paramotor mirip paralayang, tapi selain menggunakan angin untuk mendorong ke atas, kegiatan ini juga menggunakan mesin bermotor sebagai tenaga pendorong. Saya sempat mengintip, kendaraan itu menggunakan mesin 500 cc. Dilihat dari konstruksi kendaraannya, paramotor tampak jauh lebih aman dibandingkan paralayang, karena ada rangka yang melindungi pilot dan penumpang. Persamaan lainnya dengan paralayang, kata Ricko, pilot paramotor juga harus memiliki lisensi. Mereka yang menjadi pilot biasanya juga sudah paham berbagai macam kondisi udara saat melakukan penerbangan. Meski tidak sempat mencoba terbang dengan paramotor, saya bisa melihat kemahiran mereka dari darat. APA ITU PAPSI? Mendengar cerita Boyo, Kang Ade, Sohiliin, dan Ricko, terus terang saya terkesima dengan gerakan kemandirian yang dibangun oleh kawan-kawan di Ciletuh itu. Mereka tidak menunggu bantuan dari pemerintah daerah atau pusat, dan bergerak sendiri secara swadaya, demi terwujudnya destinasi wisata yang mandiri. Bahkan masyarakat bisa memperoleh status warisan dunia dari Unesco untuk Geopark Ciletuh ini, karena badan PBB itu kagum dengan kemandirian masyarakat di sana. Saya sudah menyebut soal Papsi di atas, sehingga tidak elok jika saya tidak menceritakan tentang kelompok masyarakat ini. Gerakan Papsi dimulai pada tahun 2013, ketika mereka menyosialisasikan arti geopark kepada masyarakat Ciemas. Anak-anak pun menjadi sasaran sosialisasi ini. Kang Asep, seorang anggota Papsi yang juga Kepala Pengelola Museum Konservasi dan Arboretum Geopark Ciletuh, bercerita banyak soal gerakan mereka. Tahun 2013 itu mereka mendapatkan pelatihan dari sejumlah peneliti dan mahasiswa, tentang cara memandu wisata, melakukan penyelamatan, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), 134 / DARI TANGAN PERTAMA
dan pendataan potensi wisata. Kemudian Papsi menularkan ilmu itu kepada masyarakat, dengan membentuk kelompok masyarakat binaan bekerja sama dengan sejumlah instansi pemerintahan dan universitas. Materi yang diberikan antara lain cara mengelola homestay, membuat kaos dengan teknik sablon, bermain musik, konservasi alam, usaha kuliner, dan usaha pertanian. Keuletan yang dibangun sejak tahun 2013 ini peralahan-lahan mulai memberikan efek positif. “Karena yang terpenting bagi kami (Papsi), semua masyarakat Ciletuh harus sejahtera sesuai moto geopark ‘memuliakan bumi menyejahterakan masyarakat’,” katanya. Saya tak bisa mengunjungi semua atraksi di Geopark Ciletuh pada saat itu karena keterbatasan waktu. Namun saya mendapat banyak pelajaran, yakni soal inisiatif masyarakat setempat dan dukungan pemerintah yang membuahkan kemandirian ekonomi. Bagi saya, petualangan sesungguhnya bukanlah soal tinggi gunung yang didaki, atau dalamnya lautan yang diselami. Petualangan sesungguhnya ialah saat kita dapat memetik pengalaman dan belajar dari sebuah perjalanan. Hal itu jauh lebih berharga dari apapun. MUHAMMAD HAFIDH FERRYNO 26 tahun, jurnalis KedaiPena.com / 135KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
MENGUJI KESABARAN DI ACONCAGUA, SI GUNUNG SETAN NUR WAHYU WIDAYATNO AAconcagua, kami menyebutnya si gunung setan. Bukan kekuatan yang dibutuhkan untuk sampai ke puncak tertinggi Benua Amerika itu, melainkan kesabaran hati dan konsentrasi. ACONCAGUA SI GUNUNG SETAN Sejak jaman dahulu kala, manusia menganggap gunung adalah tempat berkumpulnya roh-roh orang yang telah meninggal dunia. Mereka membuat koloninya sendiri. Mempunyai sistem pemerintahan seperti kita yang masih hidup. Mempunyai pemimpin atau lebih tepatnya penguasa. Dalam jajaran Pegunungan Andes, ada Aconcagua atau 136 / DARI TANGAN PERTAMA
dalam bahasa mereka Achon Cahüak, yang berarti Sang Dewa Putih. Ini puncak paling tinggi, 6.962 mdpl, untuk memimpin jajaran puncak lainnya. Aconcagua pun disebut-sebut sebagai gunung istimewa karena letaknya yang dikelilingi oleh Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik serta Laut Arktik. Dengan kondisi alam yang seperti itu maka terciptalah daya yang amat kuat. Terbentuk semacam perisai untuk menghadang pendaki yang ingin sampai ke puncaknya. El Viento de Blanco, Angin Putih, Penjaga Gunung, Mahkota Dewa banyak istilah yang dilontarkan pendaki tentang angin yang mempunyai kecepatan hingga 270 km perjam itu. Kami tertantang untuk mendatangi Sang Dewa Putih, mengetahui yang sesungguhnya, melihat yang sebenarnya. Lalu Turkish Airlines membawa kami ke suatu negeri yang sangat asing, ke suatu negeri yang sangat berkesan untuk menutup tahun 2013. Negeri itu disebut Argentina. Maka pada 17 Desember 2013 tim meninggalkan Jakarta. Ini akan menjadi hari-hari yang sangat menegangkan dan menyenangkan. Hidup memang harus lebih dari sekedarnya. TEAM INDONESIA GREEN EXPEDITION 2013 Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Eka Citra Universitas Negeri Jakarta yang berdiri sejak 29 April 1981 telah memulai langkahnya untuk mendaki tanah-tanah tertinggi di dunia. Menyebarkan berita, informasi serta isu-isu seputar lingkungan. Membawa kabar gembira dari Indonesia, bahwa salah satu langkah konkret untuk menyelamatkan bumi adalah dengan terus Go Green. Sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Menjaga lahan hijau sebagai jaminan keselamatan umat manusia di masa depan. Membuat masa depan lebih baik untuk generasi nanti. Kemudian dalam merealisasikan itu semua, kami membuat program kegiatan yang bernama Indonesia Green Expedition. Dengan semangat pemuda, nasionalis, dan cinta lingkungan kami mengusung tema Green Indonesia For The World. Program ini menyiarkan berita-berita untuk menyelamatkan bumi, membuat masa depan yang hijau untuk anak cucu kita nanti lewat pendakian puncak-puncak tertinggi di dunia. Sebelumnya tim Indonesia Green Expedition telah menjelajah untuk bertemu dengan dewa-dewa penunggu tanah tertinggi dengan sukses. Sebut saja Gunung Elbrus, Rusia-Eropa (2011), Gunung Carstensz Pyramid, Indonesia-Oceania (2012), Gunung Kilimanjaro, di Tanzania- Afrika (2012). Kami mengabarkan bahwa Indonesia membawa pesan / 137KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
penghijaun, mengibarkan bendera hijau dengan semangat penghijauan. Dan untuk menutup tahun 2013 yang lalu, empat pemuda mahasiswa UNJ pergi ke Argentina. Mereka adalah Fico Azhari (23), Khaerul Amri (22), Ali Ataya (21) dan saya sendiri Nur Wahyu Widayatno (24) sebagai tim Indonesia Green Expedition 2013. Kami berempat meninggalkan Indonesia sejak 17 Desember 2013 untuk mengemban sebuah misi yang tidaklah mudah. Kami sudah membaca ratusan referensi, puluhan cerita, ratusan video dokumenter dan jutaan diskusi untuk menapaki tanah tertinggi di benua Amerika itu. Kami pun menyebut Aconcagua dengan sebutan si Gunung Setan karena banyak cerita mengerikan tentangnya. Salah satunya tentang dua pendaki legendaris Indonesia yaitu Almarhum Norman Edwin dan Didiek Syamsu dari Mapala UI yang meninggal dunia ketika mencoba mencapai puncaknya pada tahun 1992 silam. GREEN INDONESIA FOR THE WORLD-BUENOS AIRES Kami berbagi tugas dalam ekspedisi ini. Khaerul Amri sebagai ketua tim pendakian, Ali Ataya adalah kepala operasional, Fico Azhari sebagai manager tim dan saya sendiri sebagai tukang foto. Kami tiba di Buenos Aires pada 19 Desember 2013, kemudian menginap di Hotel Mundial, Av. De Mayo. Pada hari berikutnya kami langsung mencari tempat untuk memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Argentina. Memperkenalkan bumi pertiwi yang indah dan hijau. Menceritakan berbagai petualangan dan budaya khas Indonesia. Mendirikan standing banner untuk mencari perhatian masyarakat Argentina yang kebanyakan tidak bisa menggunakan bahasa Inggris, karena bahasa resmi Argentina adalah bahasa Spanyol. Nyatanya mereka hanya melihat foto-foto di banner tentang keindahan Indonesia. Pulau Komodo, Pulau Dewata, Pulau Lombok, dan Kebudayaan Yogyakarta mampu mengambil banyak perhatian masyarakat Argentina yang sedang berlibur musim panas waktu itu. Mereka tertarik seolah mereka berbondong-bondong akan mendatangi Indonesia. “Wonderful Indonesia!” ucap mereka. Selain mendaki Aconcagua, di sini kami juga mengemban misi untuk mengampanyekan aksi penghijauan global. Selain bertualang, kami juga bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan, mengingat predikat kami sebagai mahasiswa pecinta alam. Menanamkan 138 / DARI TANGAN PERTAMA
kesadaran untuk terus menjaga lahan hijau agar mengurangi dampak dari global warming yang kian lama menghantui keberlangsungan hidup ras manusia. Tahun ini Indonesia Green Expedition sudah melakukan penanaman 2.000 pohon di Jakarta. Ini adalah langkah kecil kami dalam menjaga kelestarian lingkungan. Lalu kami berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia, membuat acara untuk menyampaikan maksud dan tujuan kami datang kesini. Bertepatan dengan HUT KORPRI dan Hari Ibu pada 22 Desember 2013, kami menggelar Kampanye Indonesia Hijau yang dihadiri puluhan WNI dan masyarakat setempat. MENDOZA “Mendoza adalah kota terindah pemberian Tuhan kepada kami. Orang-orang di sini begitu diliputi perasaan cinta dan damai antara satu dengan lainnya. Mereka benar-benar sangat menikmati hidupnya. Apalagi pada saat musim panas seperti ini. Lihatlah, mereka jogging sampai selarut ini, padahal sekarang jam 2 pagi,” jelas Gabi, guide Aconcagua asal Mendoza. Mendoza merupakan kota kecil yang mendapat julukan sebagai kota anggur. Kota ini menghasilkan anggur terbaik dari Argentina yang tersebar ke seluruh dunia. Salah satunya berlabel Malbec. Perkebunan anggur memang sangat luas dan membentang sepanjang kaki Pegunungan Andes. Kami menggunakan bus untuk sampai Mendoza dan menempuh perjalanan selama 15 jam dari Buenos Aires. Cuaca membuat kami kaget ketika pertama kali tiba di sini. Suhu saat itu mencapai 41 derajat Celcius di siang hari dan anjlok menjadi 15 derajat Celcius di malam hari. Pernah suatu malam saya duduk-duduk di taman. Bulan terlihat begitu besar, mirip di film-film barat yang saya tonton. Bintang-bintang berhamburan seperti pemandangan di Surya Kencana, Gunung Gede. Kota ini terletak pada ketinggian 800 mdpl, walaupun panas tapi angin di sini sejuk. Benar kata Gabi, ini kota yang sangat indah. Kami bertemu Mrs. Flavia dan Gabriella Moreta dari Aymara Company. Mrs. Flavia adalah orang yang membantu melengkapi semua persyaratan kami untuk mendaki Aconcagua. Sedangkan Gabriella Moreta adalah satu dari sekian banyak guide yang ditugaskan untuk menemani kami ke Puncak Aconcagua. Gabriella yang akrab disapa Gabi adalah pria berumur 32 tahun yang sudah 11 kali berdiri di puncak / 139KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
Gunung Setan. Di Mendoza kami juga melengkapi peralatan pendakian, logistik dan mengurus administrasi yang harus dilengkapi. Kemudian tim terpecah di kota ini. Saya, Ali Ataya, Khaerul Amri, dan Gabi pergi menuju Penitentes untuk mendaki Aconcagua, sedangkan Fico Azhari sebagai manajer tim harus tetap tinggal di Mendoza dan mengurus keuangan karena saat itu kartu kreditnya mengalami sedikit permasalahan. MILYARAN BATU MENUJU SANG DEWA PUTIH Kami tiba di Penitentes sekitar tiga jam menggunakan mobil dari Mendoza dan menginap semalam di sini. Sepertinya ini zona nyaman terakhir selama 15 hari ke depan sebelum kami benar-benar melakukan pendakian. Penitentes adalah sebuah komplek resort di ketinggian 2.750 mdpl. Jika musim dingin tempat ini ramai dikunjungi orang-orang yang akan bermain ski. Tetapi jika musim panas tempat ini benar-benar sepi. Ditambah lagi saat itu malam Natal, orang-orang pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul bersama keluarganya. Akhirnya Penitentes seperti kota zombie. Di sini, duffel bag kami diangkut ke Puente de Inca untuk ditimbang dan dikemas yang selanjutnya akan dibawa Bagal, anak kedelai jantan dan kuda betina, ke Confluencia. Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan foto-foto, dikelilingi bukit dan tebing-tebing yang tinggi. Esok harinya kami bangun jam 8 pagi lalu sarapan. Kemudian bergegas menuju pintu masuk Provincial Park Aconcagua yaitu Horcones. Jarak Penitentes-Horcones hanya 6 km, sekitar 15 menit menggunakan mobil van. Di Horcones, pintu masuk Aconcagua, Gabi melapor dan mengurus administrasi kami di kantor pengelola Provincial Park Aconcagua. Setelah itu kami langsung trekking menuju Confluencia di ketinggian 3.400 mdpl. Tepat tanggal 25 Desember 2013, kami memulai pendakian Aconcagua melalui jalur normal dengan estimasi waktu 14 hari, ditambah dua hari cadangan. Kami mulai berjalan melewati Laguna Horcones yang begitu indah. ”Danau ini sudah ada sejak malaikat masih hidup di bumi,” jelas Gabi. Danau biru yang ada di antara pegunungan Andes ini memberikan sensasi tiada tara untuk awal pendakian kami. “Gerbang pertama Aconcagua adalah danau,” begitu pikirku. Selama mendaki menuju Confluencia, kami merasakan begitu banyak ketakjuban pada 140 / DARI TANGAN PERTAMA
pemandangan di sekitar. Gunung-gunung tinggi bertumpuk dan tumpah pada garis yang sama, entah mana yang paling tinggi. Tak terasa tiga jam sudah berjalan, kami tiba di Confluencia (3.400 mdpl). Sepanjang perjalanan Horcones-Confluencia kami melihat batu-batu besar yang unik. Misalnya ada batu sebesar mobil tertahan di pinggir jurang dan tidak jatuh, seakan terekat pada kulit jurangnya. Hari ini kami mendaki sangat baik. Hari ini terlihat begitu indah. Setiba di Confluencia kami langsung menyantap buah-buahan yang telah disediakan. Setelah beristirahat sebentar, kami mendirikan tenda lalu bersiap untuk tidur. Waktu itu Amri sempat merasakan pusing, mual dan gelisah. Kemungkinan dia terkena acute mountain sickness (AMS) akibat kurangnya penyesuaian tubuh dengan kondisi di gunung seperti suhu atau kerapatan oksigen. Tak lama setelah minum obat pusing, Amri tertidur lelap. Keesokannya hari cerah, namun agak berangin. Kami melakukan aklimatisasi ke Plaza Francia (4.200 mdpl). Aklimatisasi adalah proses adaptasi tubuh manusia di atas ketinggian 4.000 mdpl terhadap suhu dan tekanan oksigennya. Kami menikmati pemandangan Plaza Francia sambil makan siang. Di sini bulu kuduk saya bergidik. Entah karena dingin atau melihat langsung gunung batu yang sangat besar dan hitam berlapiskan salju tipis tepat menantang di hadapan tubuh kami yang kecil ini. Sejam telah berlalu, kami kembali lagi ke Confluencia untuk beristirahat. PLAZA DE MULAS: EVERYDAY IS BEAUTIFUL DAY Hari-hari yang indah kami lalui di kemah induk Plaza De Mulas, termasuk merayakan pergantian tahun. Kami sempatkan mengunjungi Nautilus, sebuah galeri seni tertinggi di dunia, 4.300 mdpl. Pelukis asal Argentina, Miguel Doura merupakan pemilik sekaligus pengelola Nautilus. Cuaca selama empat hari di sini begitu cerah. Langit yang benar- benar berwarna biru bersih dihiasi rombongan awan besar putih yang bergerak tertiup angin kencang. Rentetan tenda berbagai ukuran dan bewarna-warni menambah suasana damai di basecamp terbesar Aconcagua ini. Sekitar satu km ke arah Utara terdapat Glacier atau padang salju yang sangat besar dan menjadi latar belakang Plaza de Mulas. Di arah Timur terdapat Aconcagua yang siap menantang siapa saja. Di arah Barat terdapat Gunung Bonnete dengan ketinggian 5.100 mdpl yang / 141KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
merupakan titik puncak aklimatisasi selanjutnya. Plaza De Mulas mempunyai banyak tempat yang sangat unik yang membuat perasaan kami sangat senang. Dewa Putih tampaknya sedang berbaik hati dan rasanya Tuhan sedang merestui pendakian kami. Butuh delapan jam menuju Plaza de Mulas dari Confluencia, melewati gurun pasir yang sangat kering. Saat itu, matahari musim panas amat sangat menyilaukan. Namun kami melangkah terus dengan sabar karena katanya orang sabar selalu disayang Tuhan. 4.000+ MDPL! HATI-HATI “ACUTE MOUNTAIN SICKNESS” Waktu berlatih di kampus, kami membuat semacam acara diskusi dengan mengundang beberapa narasumber, salah satu nya pendaki gunung-gunung tertinggi di dunia. Sofyan Arief Fesa adalah salah satu dari pendaki tujuh puncak tertinggi dunia dari Mahitala, Universitas Parahiyangan, Bandung. “Healthy-Enjoy-Summit-Back!” begitu katanya. “Ketika kalian sehat, kalian akan merasa enjoy. Tentunya menggapai puncak jadi tidak sesulit yang dibayangkan,” ujar Sofyan. Narasumber berikutnya Martin Rimbawan, Seven Summitter dari Wanadri. Sebagai mantan atlet lari, ia mengatakan, “Latihan terbaik untuk mendaki gunung adalah dengan mendaki gunung. Karena saat berlatih di ketinggian tubuh akan benar-benar terbebani seperti keadaan yang sebenarnya.” Saat itu kami berlatih di Merbabu, Sumbing, dan Sindoro selama tujuh hari. Memasuki kawasan Plaza de Mulas, tubuh kami merespon suhu, tekanan oksigen dan angin di ketinggian 4.300 mdpl. Karena itu di sini terdapat medical service selama 24 jam yang siap menjaga pendaki- pendaki yang singgah dengan berpedoman pada safety first dan accident zero. Waktu pertama kali tiba, Amri dan Ali merasa pusing dan mual. Ini adalah tanda tubuh sedang beradaptasi. AMS merupakan salah satu faktor yang menghambat banyak pendaki untuk terus sampai ke puncak. Mereka terkena AMS berdasarkan vonis dokter dan diharuskan turun. Saat itu juga helikopter akan menjemput pendaki yang tidak sanggup berjalan ke lokasi yang lebih rendah. Kalau dihitung, kami harus melakukan tiga kali medical check up secara berkala sebagai syarat yang telah ditentukan oleh pengelola Provincial Park Aconcagua. Dokter yang ditugaskan untuk memeriksa pendaki tinggal di sebuah tenda berukuran besar di pojokan Plaza De Mulas. 142 / DARI TANGAN PERTAMA
Selalu minum air mineral yang banyak adalah syarat mutlak di Aconcagua atau untuk melewati proses aklimatisasi. Di Confluencia kami harus minum minimal tiga liter perhari, sedangkan saat memasuki Plaza De Mulas minimal lima liter liter hari. Makin banyak minum air makin bagus, ini membantu untuk menjaga kapasitas oksigen yang dibutuhkan tubuh. Ada tiga macam tes yang harus dilakukan. Pertama, tes kapasitas oksigen dalam tubuh dengan cara menjepit jari telunjuk tangan dengan sebuah alat yang bernama Oxymeter. Kedua, pemeriksaan kondisi paru dengan menempelkan beberapa stetoskop ke punggung bagian belakang lalu sang dokter akan mendengarkan apakah paru-paru kami berfungsi dengan baik atau tidak. Ketiga adalah pemeriksaan tensi darah. Kami tiga kali diperiksa selama pendakian, pertama di Confluencia, kedua di Plaza De Mulas saat rest day 1, ketiga saat rest day 2 juga di Plaza De Mulas. Setelah lolos semua, sang dokter mengeluarkan izin untuk kami maju ke tahap pendakian selanjutnya. “Pada prinsipnya, kalau merasa sehat pasti lolos medical check up. Tes cuma masalah angka,” Jelas Gabi. “SUMMIT ATTACK”! KESABARAN MENUJU PUNCAK GUNUNG SETAN Semalam kami merayakan pergantian tahun di Plaza de Mulas walau hanya setengah jam. Hari ini adalah 1 Januari 2014, kami akan bergerak menuju puncak. Estimasi waktu tiga hari ditambah dua hari cadangan jika kondisi cuaca memburuk dan berarti kami akan tiba di puncak pada tanggal 4 Januari. Perhitungan waktu dan logistik untuk mencapai puncak harus benar-benar matang agar membuahkan kesuksesan. Kami bertiga meninggalkan Plaza de Mulas, menuju Camp 1 di Plaza Canada, 4.925 mdpl. Jarak tempuh sekitar empat jam. Menurut sebuah situs ramalan cuaca khusus Aconcagua yaitu, www.snow-forecast.com, kami mendapatkan informasi dari tim di Jakarta dan Gabi bahwa tanggal 1-3 Januari 2014 cuaca berangin sangat kencang sedangkan tanggal 4-5 cuaca akan benar-benar tenang alias tak berangin. Kami mendaki kerikil-kerikil halus di rute bersudut kemiringan 60°- 70° dengan sabar. Angin kencang sekali saat itu. Pernah topi yang saya gunakan pemberian dari Consina terbang tertiup angin sejauh 60 meter. Hari itu begitu kacau, suara angin seperti mesin-mesin yang bertabrakan. / 143KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
Pukul 15.00 waktu setempat kami tiba di Camp 1. Rasanya susah sekali mendirikan tenda karena angin yang begitu kencang. Esok harinya kami bergerak lagi menuju Nido de Condores, 5.500 mdpl. Cuaca masih sangat buruk. Awan hitam terlihat lalu-lalang dengan cepat di puncak Aconcagua. Kami berjalan selama empat jam dan begitu tiba di Camp 2 kami langsung mendirikan tenda. Kondisi kami juga ikut memburuk. Ali terkena AMS dan terpaksa Gabi memberikan obat, sedangkan Amri terlihat begitu pucat dan lemas. Ambeiennya yang sudah lama sembuh kini kambuh kembali. Malam itu kami beristirahat dengan perasaan cemas, ditemani suara tenda yang bergetar tertabrak angin sepanjang malam. Pendakian berlanjut keesokan hari menuju Camp 3, Colera, 5.100 mdpl terasa begitu berat. Kondisi tubuh makin parah ditambah nafsu makan yang menurun. Angin masih tetap kencang, sedangkan oksigen 144 / DARI TANGAN PERTAMA
kian menipis ditelan ketinggian. Kami berjalan sangat lambat, Ali malah menemukan ritme sendiri, yaitu tiga kali nafas, satu langkah. Kami benar- benar harus sabar meniti batuan kerikil kecil yang berserakan ini. Kadang di depan kadang di belakang, posisi bergantian seperti kehidupan. Anehnya, begitu sampai di Camp 3 sore hari, angin seketika berhenti, sekeliling berganti sunyi. Kini giliran saya terkena AMS. Kepala rasanya pusing dan tak bisa bernafas dengan baik. Darah pun keluar dari hidung ketika bersin. Setelah minum obat yang diberikan Gaby, saya tertidur. Samar-samar terlihat Amri yang sedang berdoa untuk hari esok. Ini adalah hari yang kami perkirakan akan tiba di puncak Aconcagua, Puncak tertinggi di Benua Amerika, dan tertinggi di Pegunungan Andes. Hari begitu cerah dan langit terlihat biru. Kondisi tubuh kami sangat baik. Dari jauh terlihat salib yang ditancapkan di puncak sebagai tanda tanah tertinggi Aconcagua. Kami berdiri dan berfoto, menikmati keajaiban hari terbaik di awal tahun. Kami bertiga tiba di Puncak Aconcagua, 6.962 mdpl, pukul 15.55 waktu setempat dengan penuh rasa syukur. Esoknya kami kembali menuju Plaza de Mulas karena Fico Azhari sudah menunggu disana. Ia mendaki sendirian untuk menyusul kami. Memang benar adanya, bahwa kami bisa karena kami bersabar dan percaya kalau semua akan baik-baik saja. Dan keajaiban acapkali terjadi kepada orang-orang yang percaya. NUR WAHYU WIDAYATNO 29 tahun, pemilik dan pendiri Main Outdoor, berprofesi juga sebagai fotografer dan videographer. / 145KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
KAYAK vs OMBAK BATU KARAS PRIYO UTOMO LAKSONO S16 MEI 2016 Sebagai sea kayaker yang belum terlalu sakti, hubungan saya dengan ombak hanyalah ketika saya menerjang keluar dari ombak menuju laut lepas. Sejauh ini saya belum menemukan masalah yang serius; kayak laut yang panjang dan runcing memang dirancang untuk mampu menusuk ombak yang datang dari depan. Lain halnya ketika mendarat di pesisir. Biasanya ombak akan mempercepat pendaratan di luar kehendak kita. Tergantung posisi, ombak akan menghantam entah dari sudut mana selain dari depan. Jika tak mampu mengendalikan kayak, kita tetap saja akan mendarat namun dengan cara terguling tak karuan. Pengalaman seru berlatih kayak surfing adalah pada bulan Mei lalu bersama pelatih saya Dr. Bachti “Atot” Alisjahbana. Kami pergi ke 146 / DARI TANGAN PERTAMA
Batu Karas untuk berlatih menghadapi ombak samping dan belakang. Lokasi ini dikenal dalam dunia selancar sebagai tempat yang ideal untuk memulai belajar seni menunggang ombak. Pantainya yang berada di sebuah teluk tak menghadap Selatan melainkan ke Timur. Gelombang- gelombang yang terkenal keji dari Samudra Hindia disadur oleh geografi Batu Karas sehingga menjadi ombak-ombak yang moderat tanpa menghilangkan tantangan. Pada hari pertama saya menggunakan Si Belerang Merah. Sea kayak saya ini memiliki panjang 4,8 meter dan didesain untuk keperluan ekspedisi serius. Kayak ini telah menjaga saya tetap tegak di gelombang-gelombang yang lumayan bengis. Crash landing sering saya alami. Bilapun saya berhasil mendarat, biasanya terjadi lebih karena keberuntungan, ketimbang ketangkasan. Semua pakaian dan peralatan lengkap saya kenakan, termasuk helm. Memang lazimnya pelindung kepala ini digunakan saat berkayak di arung jeram, namun ada keadaan-keadaan tertentu di laut yang juga memerlukan helm. Simulasi kecelakaan adalah salah satu keadaan tersebut. Saya pandangi ombak Batu Karas sambil duduk bersiap di dalam kokpit Si Belerang. Deburnya yang riuh dan buih nya yang kolosal membuat saya bergidik. Saya tunggu ombak yang airnya terhempas cukup jauh ke darat, kemudian saya dorong Si Belerang ‘ngesot’ ke depan agar terbawa ombak ke arah laut. Ini disebut dengan seal start, seperti anjing laut. Begitu kayak sudah cukup terangkat dari pasir, saya mendayung secepatnya sebelum ombak lain datang dan mengembalikan saya ke darat. Terlihat sebaris ombak datang dengan cepat. Maka saya pastikan hidung kayak tegak lurus dengan ombak, lalu mendayung sekuat tenaga menjauh dari pantai. Boom! Si Belerang Merah melompat membelah ombak seperti roket. Sebuah sensasi yang sangat menyenangkan ! Seperti saya bilang, keluar dari medan ombak, yang berarti ombak datang selalu dari depan, bukan masalah bagi saya dan Si Belerang. Sejenak saya menikmati kemenangan saya mendayung ke sana ke mari di teluk tersebut, menikmati timangan Samudra. Siluet pantai Pangandaran menatap di kejauhan. Tapi Kang Atot pelatih saya sudah mulai meneriaki saya untuk kembali ke pelajaran utama: memasuki medan ombak. / 147KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT
JULI 17, 2016 Saya kembali menghadap pesisir dan melihat bagaimana ombak pecah ke darat dengan buih yang begitu besar. Di hari kedua ini saya gugup karena tau apa yang akan terjadi. Memasuki medan ombak, gelombang akan datang dengan sangat cepat dari belakang di mana kita tak mungkin bisa mengawasi. Ini juga berarti sedikit sekali waktu untuk memposisikan kayak agar setidaknya tegak lurus dengan arah ombak. Sebelum memulai latihan, Kang Atot memberi tips menanggapi ombak samping: bersandarlah kepada ombak. Artinya kita justru mendekatkan badan ke arah datangnya ombak, dan menikam ombak dengan dayung. Dengan cara itu, demikian kayak tidak akan terguling. Menghadapi ombak yang tepat dari belakang, tipsnya adalah jaga kayak tetap tegak lurus ke arah pantai dengan cara menggunakan dayung sebagai sirip pelurus. Dengan demikian kita akan menunggangi ombak dengan aman. Dua teori itu saya camkan di benak dan saya beranikan diri maju ke medan ombak. Gelombang demi gelombang mulai mengagetkan saya dari belakang, dan semakin dekat ke pesisir semakin mengagetkan. Dua- tiga kali saya berhasil meluruskan arah kayak. Lalu sampailah saya di posisi di mana ombak mulai pecah. Saya sempat menoleh ke arah ombak besar di belakang saya, sementara posisi kayak masih menyamping. “Tikam ombak!” adalah yang terpikir dalam sepersekian detik itu. Lalu saya menikamnya. Saya digulung persis seperti kebab. Untuk beberapa detik saya tak tahu apa yang terjadi. Yang saya ingat, saat itu saya yang dikendarai kayak, dan kepala saya harus menjadi lambung yang mendarat di pasir dalam seretan yang mengenaskan. Tampaknya saya menikam ombak terlalu dini. Kang Atot kemudian ikut berlatih menggunakan Yoda, kayak freestyle hijau miliknya. Pendek dan pesek, kayak tersebut didesain untuk mudah bermanuver, berputar, bahkan salto. Kang Atot menunjukkan apa yang seharusnya saya lakukan. Beliau pada dasarnya adalah ahli kayak arung jeram, tapi tampaknya ia mengadaptasi teknik menghadapi arus dan jeram di ombak laut. Dia membuat segalanya terlihat mudah. Sesekali ia gagal dan terbalik, tapi dengan cepat kembali berputar (eskimo roll) sehingga tak perlu keluar kayak. Matahari sudah tenggelam sebelum saya mencoba lagi. Maka kami teruskan berlatih di hari berikutnya. Saya putuskan untuk mencoba menggunakan Yoda. Sebenarnya tidak mungkin melakukan ekspedisi atau penjelajahan panjang dengan kayak akrobat. Tapi Kang Atot 148 / DARI TANGAN PERTAMA
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238