Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dari Tangan Pertama

Dari Tangan Pertama

Published by binarsoeko, 2021-05-21 04:20:38

Description: Kumpulan cerita perjalanan di gunung, hutan, sungai dan laut.

Keywords: Adventure,Gunung,Hutan,Sungai,Laut,Wisata Alam,Koperasi,Petualangan,Indonesia,Pecinta Alam,Wisata Petualangan,Wisata Minat Khusus

Search

Read the Text Version

sekitar tahun 1989-an, wilayah ini masih masuk Provinsi Jawa Barat. Namun, sekarang sudah masuk Provinsi Banten. Kami memulai rute perjalanan dari Labuan menuju Desa Sumur terus ke Karang Ranjang lanjut Cibunar. Dalam semalam, kami sampai Sanghyang Sirah. Perjalanan dengan garis finish di Pulau Peucang ini kami perkirakan akan selesai dalam dua atau tiga hari. Dari Peucang, kami akan kembali ke Labuan dengan menggunakan kapal motor kecil sekitar 4-5 jam pelayaran. Total perjalanan dari Jakarta pergi pulang sekitar lima hari dalam keceriaan dan persahabatan. PERSAHABATAN DALAM PETUALANGAN Sentot, pemimpin rombongan kami, adalah sosok yg ramah. Tawa dan senyuman selalu singgah di wajahnya yang dihias rambut ikal. Dia paling senior di antara kami, teman-teman bermain sejak Siaga Pramuka di Gudep 149-150 di bilangan Matraman, Jakarta Timur. Persahabatan dan petualangan sejak remaja ini berlanjut hingga kini, bahkan sudah ada yang punya cucu. Kegiatan alam bebas kami yang terakhir adalah mendaki gunung Semeru di Jawa Timur beberapa tahun yang lalu dengan peserta mencapai 40 orang. Perjalanan bersama-sama menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Senen Jakarta menuju Kota Malang, disambung dengan naik truk bak terbuka sampai ke Ranu Pani di kaki gunung Semeru, pulang pergi. Sesekali grup JT kami, singkatan dari Jakarta Timur, mengadakan bakti sosial dengan acara penyuluhan kesehatan, pengobatan dan sunatan massal, putar film layar tancap, bazar murah buku dan perabot layak pakai untuk masyarakat setempat di seputar Gadog, Ciapus, dan Cianjur. Gerakan Pramuka seperti diketahui adalah organisasi yang membentuk karakter dan kecintaalaman. Ternyata semangat Pramuka itu melekat cukup kuat ke jiwa kami hingga sekarang. Sampai remaja dan kuliah pun kegiatan cinta alam ini terus kami lakukan, bahkan lebih total rasanya. Bahkan dari Gugus Depan kami ini, ada dua orang yang sempat menjadi ketua organisasi sekaliber Mapala UI yaitu saya sendiri dan Titus Soentrit PEUCANG NAN INDAH Perjalanan hiking di Ujung Kulon masih berlanjut. Debur suara ombak dan garis tepian pantai adalah nuansa yang selalu menemani / 199KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

dalam beberapa hari ini. Sesekali foto bersama sambil makan siang mengobati rasa letih seluruh rombongan. Kemudian, perjalanan dilanjutkan lagi. Santai tetapi tetap dalam organisasi untuk menjaga keselamatan bersama. Kemudian perjalanan kami lanjutkan menyusuri pantai menuju Mercusuar. Panas matahari lumayan terik. Namun, karena hati senang, hal itu tidaklah kami rasakan. Menjelang maghrib rombongan sampai di Mercusuar. Meski hari sudah mulai gelap tetapi perjalanan harus dilanjutkan sekitar empat jam lagi. Esok hari sudah harus sampai di Peucang untuk dijemput kapal nelayan yang sudah kami sewa. Ada yang bertindak sebagai leader untuk merintis jalan di bagian paling depan. Dia dipilih karena mempunyai kemampuan fisik dan orientasi medan yang lebih baik. Rombongan besar di tengah sebagai disebut follower dan beberapa orang di barisan paling belakang disebut sweeper. Perjalanan berjam-jam dalam sehari pasti menyebabkan rombongan terpisah. Itulah fungsi sweeper, untuk menjaga anggota rombongan yang ketinggalan.Ternyata bukan hanya orang yang bisa ketinggalan, melainkan barang bawaan teman pun bisa ketinggalan. Nah, menjelang istirahat malam itu tiba-tiba Rudy bilang kameranya ketinggalan. Berembuk bersama akhirnya diputuskan Andry dan Supri yang akan balik untuk mengambil kamera besok subuh. Perjalanan kembali mengambil kamera itu bukan hal yang mudah juga. Bayangkan, mencari tustel di hutan Ujung Kulon. Bahkan di perjalanan itu mereka sempat mendengar suara auman harimau atau macan kumbang. Entahlah. Yang pasti ini membuat mereka lari terbirit- birit jatuh bangun, hehehe. Alhamdulillah akhirnya kamera tersebut dapat ditemukan, tergeletak di atas sebuah batu besar. Dari tustel inilah lahir foto fenomenal rombongan Ujung Kulon yang menyertai tulisan ini. Pada siang hari ketiga, kami tiba di Pulau Peucang. Bukan hanya indah karena air lautnya yang bening, melainkan pulau ini juga punya sejarah tersendiri pula. Unesco menjadikannya sebagai Situs Warisan Dunia karena merupakan tempat tinggal spesies langka, yaitu badak bercula satu begitu juga vegetasi rain forest yang masih terjaga serta keindahan dan keunikan alamnya. Peucang sudah lama menjadi pulau tujuan wisata. Sudah banyak juga jasa pariwisata yang menawarkan perjalanan ke tempat ini. Dalam salah satu iklan traveling mengatakan, Anda harus menyambangi Pulau Peucang Ujung Kulon jika sungguh mencintai keindahan alam Indonesia. Keindahan pasir putih serta eksotisme terumbu karang dan air lautnya 200 / DARI TANGAN PERTAMA

yang jernih kebiruan, sangat sempurna bagi para wisatawan untuk berenang, menyelam atau sekedar snorkeling. Pulau resort ini bisa langsung dicapai dengan kapal motor dari pantai Marina di Ancol Jakarta Utara. Bisa juga melalui Labuan seperti kami waktu itu dengan menyewa kapal nelayan, jika kita tidak mau menempuhnya secara berjalan kaki. Keasrian Pulau Peucang dilengkapi dengan keberadaan hewan- hewan jinak seperti rusa dan biawak, serta tentu beragam unggas yang tak henti berkicau. Perairan lautnya bahkan memiliki ikan lumba-lumba yang dapat kita lihat dengan bebasnya. Pulau seluas tiga hektar ini secara administratif terdapat di selat Panaitan, Kabupaten Cibaliung, Banten atau sebelah timur Taman Nasional Ujung Kulon. Sekarang, terbayarlah sudah tiga hari perjalanan hiking kami. Hamparan laut yang bersih dan asri di depan mata siap direnangi. Yuuuuukkk... / 201KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

EPILOG Di hening malam itu tepatnya di Pulau Handeuleum Rubani dan Sandi, Petugas Harian Lepas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) tengah merebahkan badan. Bertugas dari pagi hingga malam di pulau terbesar di TNUK itu membuat mereka merasa penat. Suasana senyap, cuma ada bunyi serangga dan debur ombak. Seperti biasa saja. Namun tak lama datang ombak bergelung tinggi. Innalillahi. Ternyata erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi dan turut menggulung keduanya. Mereka wafat dalam sahid. Pulau Handeuleum bersama Peucang dan Panaitan termasuk dalam wilayah Taman Nasional Ujung Kulon yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Saat saya sedang menuliskan artikel ini dan berbagi cerita keasyikan beberapa kali perjalanan ke Ujung Kulon, tanpa dinyanya musibah itu datang di Sabtu malam, 22 Desember 2018, pukul 21.30 WIB dan menyebabkan kerusakan dan korban tidak sedikit. Menurut BNPB tercatat 426 jiwa meninggal dunia. Tulisan inipun dipersembahkan bagi saudara-saudara kami disana, teriring doa tulus semoga almarhum diterima di sisiNya. Semoga selesai juga penderitaan ini dan Allah segera memberi hikmah dan berkahNya bagi masyarakat Ujung Kulon dan sekitarnya. Amin. SULISTYA PRIBADI 55 Tahun, anggota Mapala UI wiraswasta, pengajar. 202 / DARI TANGAN PERTAMA

LAMALERA: PERJALANAN SANG PEMIMPI TITA LUVIA SSatu kata yang sangat melekat padaku, laut. Aku sangat menyukai laut dan semua makhluk yang hidup di dalamnya, dan semua misteri di dalamnya. Walau terkadang menakutkan juga. Belum banyak laut yang aku kunjungi dan selami, salah satunya adalah Lamalera. Aku sangat ingin mengunjungi Lamalera. Berawal dari tontonan di kanal TV BBC Earth kesukaanku, tentang Lamalera dan ikan pausnya. Di sana diceritakan bagaimana penduduk bertahan hidup dengan berburu ikan paus untuk menghidupi seluruh desa. Selain paus mereka juga berburu manta, salah satu hewan laut favoritku. Aahhhh, ada rasa ketidakrelaan di hatiku dan sedih, membayangkan paus dan manta, hewan laut yang begitu megah, diburu, dan dibawa / 203KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

hingga ke pantai. Dipotong-potong dan dagingnya dibagikan ke seluruh warga desa. Tapi itulah yang mereka lakukan untuk bertahan hidup, turun-temurun dari zaman nenek moyang mereka. Keindahan lautnya, gelombang besar, dan perjuangan para penangkap paus yang sulit bahkan mempertaruhkan nyawa, membuatku kagum dan bermimpi untuk dapat kesana. TERUS BERMIMPI Lamalera terus mengusikku, setiap saat. Bulan berganti, tahun berlalu, membuatku semakin penasaran. Tapi tak pernah sedetikpun ia hilang dari ingatanku. Semakin hari semakin besar hasratku untuk segera mengunjunginya. Aku adalah seorang pemimpi karena sering kuceritakan mimpi-mimpiku kepada sahabatku. A million dreams. Cerita bahwa aku ingin berkelana menjelajahi tempat-tempat yang menurutku eksotik, kultur dan adat istiadat yang berbeda, pemandangan alam nan indah, gunung-gunung, laut-laut, bahkan orang-orangnya. Dan anti mainstream tentunya. Temanku itu selalu mendukung mimpi-mimpiku. Dia selalu berkata, “Kenapa tidak? Kamu punya waktu dan kesempatan untuk itu. Tinggal tunggu saat yang tepat.” Dia selalu benar, karena satu per satu, perlahan tapi pasti, mimpiku terwujud. Bahkan hal-hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Awalnya aku berkelana ke tempat-tempat yang dekat dengan tempat tinggalku di Cilegon. Mulai dari Tanjung Lesung, Ujung Kulon, menyusuri Pulau Peucang, Handeleum, bahkan memancing di Selat Sunda sering aku lakoni. Kemudian aku mulai melakukan perjalanan yang jauh. Bermula dari Tanjung Putting di Kalimantan Tengah, trekking di malam hari dan bertemu orangutan tentunya. Kemudian Alor, Sumba, dan terus menjelajah di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Bahkan perlombaan Aquathlon pun kujalani di daerah yang belum pernah aku kunjungi. Akhirnya, hari yang kutunggu-tunggu itu pun datang. Aku mendapat kabar dari seorang teman yang akan ke Lembata dan Lamalera. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Jantungku berdegup kencang. Hampir tak percaya, aku berteriak, “Arrrrggghhhhhhh…Mantap jiwa! Hahahaha!.” Lalu tertawa lepas, bahagia luar biasa. PERJALANAN KE LEMBATA 204 / DARI TANGAN PERTAMA

Kali ini aku akan melakukan perjalanan yang cukup panjang dan lama. Jauh-jauh hari aku sudah sibuk melakukan persiapan. Aku bawel sekali karena kegirangan. Karena sebelum ke Lamalera aku akan mendaki beberapa Gunung di Lembata, tidak hanya perlengkapan yang kusiapkan tapi juga fisik. Aku rajin berolahraga agar kuat dan sehat. Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Aku berangkat sendirian, langsung terbang ke Kupang. Sesampainya di sana, aku melihat beberapa perubahan di Bandara El Tari dari dibanding dua tahun silam. Sekarang jauh lebih rapi dan tertata apik, dan banyak bermunculan tempat makan dan minum baru. Cool. “Wow, keren banget tempat ini?” Aku tertegun, mataku membelalak seakan tak percaya melihat sebuah kafe minum kopi yang enak dan biasa hadir di tengah-tengah kota. Pak Petrus pun tertawa terbahak melihat tingkah lakuku yang dianggapnya lucu. Pak Petrus adalah seorang porter di bandara El Tari, Kupang. Tubuhnya berperawakan sedang, dengan kulit agak gelap, berambut keriting pendek, dan selalu tersenyum. “Nona, nanti kalau pulang dari Lembata cari Bapa di sini ya,” katanya. Aku pun mengangguk, mengiyakan tawaran Pak Petrus. Bertambah teman baruku. Perutku terasa lapar sekali, sehingga kuputuskan untuk makan siang dulu di sebuah restoran. Di sana aku bertemu dengan satu keluarga yang tinggal di Kupang, dan kami pun terlibat percakapan yang mengasyikkan. Aku bercerita pernah sedikit menjelajah Kupang dua tahun lalu, dan aku bisa melihat mereka terkesan dengan ceritaku. Di akhir pertemuan sang ayah berkata,”Kami orang NTT, rambut boleh keriting tapi hati kami lurus.” Kata yang sangat indah sekali dan kami pun tertawa. Setelah beristirahat, aku melanjutkan perjalanan dengan terbang naik pesawat kecil menuju Bandara Wunopito di Lembata. Tiba di sana, aku langsung menuju hotel tempatku bermalam untuk hari itu. Keesokan harinya, saat matahari masih di peraduannya, aku sudah berjalan menuju pelabuhan untuk naik kapal menuju Ile Batutara. Ile artinya gunung, sehingga gunung di tepi laut itu bernama Batutara. Aku sengaja berangkat dini hari karena ingin melihat semburan lava yang mengalir keluar dari kepundan Batutara. Di saat hari masih gelap, lava akan terlihat jelas. Sayang hari itu lava tidak keluar. Aku hanya melihat asap tipis yang membumbung ke atas lalu lenyap. Memang, akhir-akhir ini lava tak terlihat lagi. Kalau tidak salah, lahar yang masih menyala itu terakhir terlihat pada tahun 2016. Dari Batutara aku melanjutkan perjalanan ke desa-desa terpencil / 205KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

di beberapa pulau. Desa Dikesare, jelajah Pantai Lewolein, Desa Tapolangu, Nuhanera, dan masih banyak lagi. Saat malam datang, aku tidur di tenda atau rumah penduduk. Bertambah keluargaku. Again, pengalaman yang sangat berkesan. Ile Lewotolok adalah gunung pertama di Lembata yang kudaki. Gunung ini dikenal juga dengan nama Ile Ape, yang artinya gunung berapi. Perjalanan ke sana cukup jauh, melewati hutan-hutan gersang dan berdebu. Sebelum memasuki kawasan Ile Lewotolok, dilakukan upacara adat, yaitu dengan mengibas-ngibaskan daun dan air ke kendaraan yang mengangkut rombongan para pendaki, agar kami selamat selama di perjalanan. Hanya saja, kendaraan harus berhenti di titik tertentu, karena kondisi jalan tak memadai. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki cukup jauh, mendaki tanjakan berdebu. Tapi aku sangat menikmatinya. Ketika rombongan tiba di kaki gunung, hari mulai gelap. Angin berhembus kencang sehingga tubuhku mulai kedinginan. Tenda bergoyang keras, menimbulkan suara bising yang tidak putus-putus. Terlintas dalam benakku adegan di film Everest. Lebay. Aku mulai menggigil padahal sudah memakai jaket dan sarung tangan. Segera saja kutambahkan atribut anti dingin lainnya. Malam itu kami dikunjungi bapak juru kunci Ile Lewotolok, dan beliau melakukan ritual agar kami diberi keselamatan selama di sana. Si bapak berjalan ke atas dari tempat tendaku berdiri dan mulai melakukan ritualnya. Penasaran aku ingin mengikuti si Bapa, tapi hati kecilku mengatakan jangan. Akhirnya kuputuskan hanya berdiri di luar tenda. Sebelum berangkat ke Ile Lewotolok, aku sudah diingatkan agar tidak membawa benda yang berasal dari darat dan laut. Misalnya, garam untuk benda laut, dan gula dari darat. Itu adalah salah satu kepercayaan mereka. Tak lama kemudian si bapak kembali dan tersenyum kepadaku. “Pasti aman,” kataku dalam hati. Makan malam yang kunanti-nanti akhirnya siap juga dengan menu nasi panas, rebusan sayur, ikan asin dan sambal. Terasa nikmat sekali. Aku nikmati taburan bintang di langit, ditemani secangkir kopi hitam, dan biskuit. Angin terasa kencang, mungkin karena aku berada di daerah terbuka dan tinggi, bukannya di dalam hutan. Sebelum matahari terbit, aku sudah berjalan mendaki Ile Lewotolok. Sesampainya di puncak, aku menunggu sang surya muncul. Akhirnya…, sejauh mata memandang hanya keindahan yang terlihat. “Luvvvvvvvv….!” 206 / DARI TANGAN PERTAMA

Ini gunung antimainstream pertamaku. Jauh di NTT, bukan gunung yang dekat rumah. Amazing. Tapi, pikiranku kembali melayang ke Lamalera. “Sabar, tinggal beberapa hari lagi,” kataku menenangkan diri. Keesokan harinya aku langsung menuju desa-desa adat, berbaur dengan penduduk setempat. Kami berkenalan, bercerita dan makan siang bersama. Sorenya dilanjutkan dengan ngopi bareng dan menikmati makanan kesukaanku, singkong goreng. Sore itu juga perjalananku lanjut ke Ile Werung, gunung keduaku dalam perjalanan ini. Aku tiba malam hari, langsung tidur di tenda. Sebelum matahari terbit, aku sudah bersiap mendaki, karena aku ingin melihat matahari terbit di puncak. Pemandangannya sangat berbeda dengan Ile Lewotolok. Ile Werung adalah gunung yang sangat terjal, dan kita tidak bisa turun ke kawahnya karena sangat dalam dan curam. Berbahaya sekali. Namun aku tetap terpesona. Terlebih lagi, dari sini aku akan menuju Lamalera. “Lamaleraaaaaa. Wait for me”, kataku berteriak dengan lantang. PERJALANAN KE LAMALERA Setelah beristirahat sejenak dan membereskan peralatan, aku melanjutkan perjalanan ke Lamalera. Jantungku berdegup kencang, tak sabar. Perjalanan turun dari Ile Werung ternyata tidak mudah dan cukup berbahaya. Kami melalui jalan menurun dan tanjakan yang curam. Sangat menyeramkan karena di kedua sisi, terbentang jurang yang cukup dalam. Kadang jalanan tidak terlihat karena debu yang sangat tebal. Aku ketakutan. Mulutku terus komat kamit tak hentinya merapal doa. Kadang kami harus berhenti karena Pak Mahmud, pengemudi kami, harus menolong kendaraan di depan yang tidak kuat menanjak. Terkadang jeritan kecilku keluar karena kengerian itu. Untung Pak Mahmud jago dan cekatan. Dan dia senantiasa menghibur agar rasa takutku berkurang. ”Tenang Mbak, tidak apa-apa.” Bah, apanya yang bikin tenang! Turunan dan tanjakan tiada henti. Aku mencoba tidur tapi gagal. Akhirnya aku nikmati pemandangan di sekitarku. Pohon-pohon, hutan meranggas dan berdebu. Udara sangat panas menyengat. Akhirnya aku terbiasa dan mulai menikmati hamparan di depan mata. “Asyik juga,” pikirku. Tak lama kemudian kami memasuki sebuah desa. Anak-anak sekolah keluar menyambut, dan mengajak makan siang. Tradisi khas di sana / 207KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

adalah menenun kain. Di setiap desa pasti kujumpai orang yang sedang menenun, dan aku selalu tergoda untuk mampir walau hanya sekadar melihat-lihat. Penduduk di sana sangat ramah dan bersahabat. Aku suka sekali. Tak lama kemudian, mulai terlihat di sisi kiri laut nan luas. Aku pun langsung berteriak, ”Lamalera, Lamalera.” Pak Mahmud menyauti dengan tidak kalah serunya. ”Belum, belum, belum sampai Mbak.” Kami pun tertawa. Perjalanan di sepanjang sisi pantai ternyata sangat panjang. Tapi aku terhibur dengan hamparan laut biru nan luas itu. Tak puas mataku memandang dalam diam. Akhirnya aku pun sampai di Lamalera. Mobil belum berhenti aku sudah melompat turun. Tak lupa aku menyapa bapak dan mama yang berada di sana. Pertanyaan pertamaku. “Di manakah jalan menuju pantai?” Seorang bapak menunjuk ke jalan kecil. Sambil berlari, tak lupa kuucapkan terima kasih. Aku tertegun. ”This is my Lamalera. Tempat yang selama ini aku impikan.” BERJUMPA PUJAAN HATI Aku berhenti dan terdiam. Untuk sesaat aku benar-benar ingin menikmati pemandangan ini dengan seluruh yang ada di sana. Terasa sesuatu jauh di dalam, deep inside me, yang terus bergejolak. Inderaku merasakan angin berembus kencang, sinar matahari menusuk tajam menembus kulitku, dan gelombang besar saling berkejaran tanpa henti. Aku tertegun, bersyukur tiada hentinya mendapat nikmat ini. Tuhan menciptakan isi bumi dengan penuh warna. Merinding karena sangat bahagia dan bersyukur kepada-Nya, karena akhirnya, aku sampai ke Lamalera. Perjalanan panjang dan melelahkan sangat sebanding dengan apa yang aku lihat sekarang. Aku menghela nafas panjang dan mengucap dalam hati, “Terima kasih Tuhan”. Tiba-tiba lamunanku buyar. Ada yang menghampiriku dan berkata, ”Mau coba naik kapal penangkap paus?” Tanpa pikir dua kali aku langsung mengangguk. Dengan sigap dan cekatan, sejumlah orang mulai menyusun strategi untuk mengeluarkan kapal-kapal dari galangan kapal yang sederhana namun kokoh. Setelah menyusun balok-balok kayu di depan kapal, mereka mulai mendorong kapal maju beberapa meter, berhenti, memindahkan balok kayu yang sekarang ada di belakang ke depan, mendorong lagi. Demikian seterusnya hingga kapal mencapai 208 / DARI TANGAN PERTAMA

bibir pantai. Budaya menangkap ikan paus di Lamalera dilakukan pada bulan- bulan tertentu. Biasanya Maret sampai September. Itu pun belum tentu mereka pulang membawa hasil, karena terkadang mamalia laut itu tidak muncul. Begitu pula dengan manta. Gelombang lumayan besar saat itu, dan sengatan Matahari terasa sangat pedih di kulitku. Tapi semua itu tak kuhiraukan karena aku sangat menikmati cara kerja mereka mengeluarkan kapal ke bibir pantai. Orang- orang ini kuat dan tangguh. Dari bibir pantai langsung laut dalam. Mereka memintaku untuk memakai pelampung dan menaiki kapal. Aku memilih duduk di bagian tengah. Tak lama berselang, kami mulai melaut. Mereka mendayung kuat, melawan ombak besar dan angin kencang. Aku mulai penasaran. ”Bapa, apa boleh saya ikut mendayung kapalnya?” Dengan semangat si bapak memberikan dayungnya kepadaku. Aku senang sekali. Karena tidak hati-hati, jari manis tangan kiriku terjepit dayung dan badan kapal. Berasa sakit, tapi aku hanya meniupnya dan kembali bersemangat. Sambil mendayung, para penangkap paus mulai menyanyikan lagu-lagu pemompa semangat. Aku tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, tapi aku ikut saja berteriak. “Aaauuuuu aaauuuu aaauuuu papaaaaa papaaaaa,” begitu terus. Entah mengapa, terdengar enak di telinga, bagai nyanyian alam yang sangat indah. Di dalam kapal kulihat tombak-tombak dari besi kokoh yang diikat tali panjang. Tujuannya agar tombak tidak hilang di telan laut dalam, saat dilemparkan. Harpun Lamalera. Jantungku semakin berdegup kencang ketika seorang anak muda mengambil salah satu harpun itu, dan dengan gagah berjalan ke depan kapal, bersiap melemparnya, seakan-akan ada paus di depan kami. Secepat kilat dia melompat sambil menancapkan tombaknya. Tak lama kemudian dia muncul di permukaan air. Wowww tontonan yang hebat sekali. Entah mengapa, tiba-tiba kepalaku menengadah dan terpukau dalam diam. Di sana berdiri seseorang yang sangat aku kagumi, walaupun aku hanya mengenalnya dari acara televisi kesukaanku. Gagah, tangguh dan berwibawa sosoknya. Dialah The Legend Bapak Karolus Keraf. Tak percaya rasanya bisa bertemu. Tak tahan lagi, aku berteriak, ”Bapak Karolussssss!” dan si Bapak tersenyum memandangku. Hatiku girang dan masih tak percaya. Terlintas sekilas, bagaimana kegagahan si bapak ketika menancapkan tombaknya ke badan paus. / 209KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Daging paus akan dibagikan kepada seluruh warga desa. Dan Manta boleh buat siapa yang mendapatkannya, karena ketika dijual harganya mahal. Sebelum melaut selalu diadakan upacara adat yang cukup panjang dan lama, agar mereka diberi keselamatan dan membawa pulang hasil tangkapan ke desa. Aku ditunjukkan beberapa foto saat upacara pelepasan dan bagaimana gagahnya Bapa Karolus Keraf. Menakjubkan sekali. Setelah beberapa lama melaut, kami memutuskan untuk pulang. Saat turun dari kapal, sekali lagi aku memandangi desa dipinggir pantai dan galangan kapal mereka yang sederhana namun kokoh. Aku kagum. Di desa aku diajak berkeliling melihat tulang belulang paus dan manta. Perasaan sedih muncul, membayangkan mamalia yang besar itu meronta-ronta sampai mati, kemudian dibawa dari tengah laut ke pantai. Yang berhasil menangkap paus akan membawa pulang bagian yang paling besar. Dan yang mendapatkan Manta, boleh menjualnya. Di desa banyak dijual daging Paus dan minyaknya. 210 / DARI TANGAN PERTAMA

Aku juga diajak ke perajin tulang paus. Si bapak membuatkan liontin dari tulang paus untukku, berbentuk ekor hewan itu. Sederhana tapi aku senang sekali. Sambil dia mengerjakannya, kami saling bercerita dan sesekali berfoto bersama. Ini juga hobiku. Setelah liontinku selesai, kami pun makan siang, eh makan sore, bersama karena hari telah menjelang sore. Setelahnya, seperti biasa, aku disuguhi kopi, singkong goreng, pisang goreng kesukaanku, serta kelapa muda. Entah mengapa, selama di sana aku jadi sukai kopi hitam, yang sebelumnya tidak pernah aku sentuh. Bak kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Tiba saatnya aku harus pulang. Aahhhh, again, ada satu perasaan yang tak dapat kulukiskan. Melalui perjalanan jauh dan panjang akhirnya, aku dapat mewujudkan satu lagi mimpiku, ke Lamalera. My Lamalera. Terima kasih buat bapak mama semua yang telah bersedia menerimaku untuk tinggal di rumahnya. Dengan semua keramah tamahan selama aku disana. Doaku, berharap suatu hari nanti aku bisa kembali lagi. Aamiin. Leaves nothing but footprints, take nothing but pictures. TITA LUVIA 49 tahun. Ibu Rumah Tangga. / 211KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

MENJELAJAH KETIDAK- NYAMANAN VASSILISA AGATA B“Bagaimana rasanya jalan dengan Wanadri?” Dua orang Wanadri menatapku, menanti jawaban. Seorang lagi duduk menatap lembah, tak mendekat, tapi tak menutup telinga juga. Di hari ketiga bersama mereka, apalagi yang bisa dikatakan kalau bukan kejujuran? TIDAK NYAMAN, MESKI AMAN “Hari pertama, jujur saja, merasa tidak nyaman,” aku mengaku, melepaskan suntuk yang kutahan di hari pertama menjelajah Taman Buru Masigit Kareumbi. Aku menjelajah dalam rombongan tujuh orang Wanadri, dua orang dari Indonesia Mengajar, enam orang peserta seleksi akhir pendakian Puncak Mandala, Festival Puncak Papua. “Alam adalah media belajar paling jujur,” Ade, si penanya, menggarisbawahi kenapa alam membuat kita tak bisa berbohong atau 212 / DARI TANGAN PERTAMA

menutupi, meski ingin. Karena hal yang sama, keenam peserta seleksi akhir dipertemukan di alam, ditantang bergerak menjelajah hutan, hanya dengan bantuan peta, roomer, kompas. Hanya satu, dari enam orang, yang sudah terbiasa melakukan navigasi darat. Kelima lainnya tercenung menatap peta. Meski ‘hanya’ setinggi 1.500-an meter, bukan berarti Kareumbi mudah dijelajah dengan mengikuti jalan setapak. Checkpoints yang disusun Wanadri, tak hanya lewat setapak kecil, tapi lebih banyak melintasi belantara, terkadang dengan vegetasi rapat yang menuntut ditebas. Setiap lima belas menit, tim peserta berhenti. Bolak-balik mengecek peta dan kompas, tak yakin dengan navigasi sendiri. Melirik ragu ke arah tim Wanadri dan Indonesia Mengajar yang hanya duduk menunggu. Navigasi darat ini adalah ujian kekompakan dari mereka, cara kami melihat lebih dekat ketangguhan orang-orang yang akan mendaki Puncak Mandala nantinya. Tim panitia hanya memantau keselamatan mereka dari belakang. Memastikan tidak jauh tersesat, meski sering mengajukan pertanyaan sesat untuk menguji keyakinan. “Yakin nggak jalannya sudah benar?” “Yakin, Kang. Jalannya ke arah sana karena ada lembah dan kelokan sungai di sisi kiri.” Di checkpoint pertama, satu orang akhirnya bisa menentukan dan membaca arah. Kini, dua orang tersebut memimpin kelompok, sementara yang seorang aktif mengecek kontur, bolak-balik maju mundur memastikan ketersediaan jalur dengan parang di tangan. Menuju ketinggian 1.200, kami melewati banyak semak dan ladang, pandangan kami tak terhalang ke arah puncak-puncak ketinggian yang akan didaki di hari kedua Kurang tidur dan perubahan cuaca membuatku terkena flu. Kalau yang lain sering mengambil tactical food (baca: cemilan penambah energi yang membuat mood naik), aku menyelipkan tisu di pinggang, bolak-balik mengeluarkan ingus hingga hidung memerah. Namun bukan flu yang membuatku tidak nyaman, bukan juga semak hijau dan pepohonan yang semua tampak sama dan tiada akhir, melainkan ketidakbisaanku mengimbangi Wanadri yang cekatan. Tepat saat kami berhenti di titik bivak malam pertama, trangia dan bahan makanan dikeluarkan, bunyi pisau terdengar memotong bawang, bersahutan dengan parang yang beradu dengan kayu bakar, dan desir flysheet yang menjadi atap tidur malam itu. Sebelum aku sempat membantu, derak kayu terbakar mengeluarkan api bersamaan dengan / 213KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

desis asap yang meniupkan wangi rendang. Saya bukan anak pecinta alam, meski suka naik gunung. Percayalah, naik gunung dengan jalur jelas jauh lebih mudah dibandingkan menjelajah hutan. Tidak bisa bekerja banyak dan malah menjadi tamu dalam perjalanan ini membuat saya tidak nyaman, apalagi terus-terusan menghabiskan persediaan tisu. MENJADI YANG TERPINTAR Di hari kedua, tiga orang peserta mulai fasih membaca arah, mencari jalur, dan membaca kontur. Tiga lainnya masih membolak-balik kompas, menunduk di atas meja, berusaha keras menguasai arah seperti lainnya. Saya tak mau ketinggalan. Meski dua tahun lalu juga pernah belajar, saya sudah melupakan semuanya. Karena di kota, google maps jadi andalan atau sekadar tanya orang di pinggir jalan. Derry, seorang teman Wanadri sambil cengar-cengir mengajari saya. Keesokan harinya saya lupa, lalu minta diajari lagi oleh teman lainnya. Lalu bisa lupa lagi. Jangankan di hutan, di belantara Jakarta saja, semua gedung terlihat sama, apalagi melihat vegetasi yang makin rapat di hutan. Hari kedua di Kareumbi, saya berharap sepintar teman-teman Wanadri membaca tanda-tanda alam. “Hanya pintar teknis saja, tidak akan berguna di tim,” Dzaki, Ketua Tim Teknis Festival Puncak Papua, berkomentar. Malam itu kami duduk mengitari api unggun, membahas kembali kebutuhan tim pendaki. “Mencapai tujuan itu penting dalam navigasi, bukan berarti tidak perlu memperhatikan teman-teman satu tim,” ujarnya. Hari itu saya teringat pelatihan navigasi darat saya dua tahun silam, bersama Wanadri juga dalam masa pelatihan Pengajar Muda. Takut gagal sebagai navigator dan menyesatkan tim, saya hanya fokus pada tujuan, lupa kalau saya punya tim yang bisa diajak bersama-sama kerja. “Kamu berjalan cepat sekali,” seorang peserta mengevaluasi temannya yang hari itu selalu punya kaki lebih panjang dan menggebu- gebu jalan di depan. “Saya berusaha ambil bagian dalam tim dengan menghitung langkah kaki. Tapi jadi sulit karena harus mengimbangi kecepatanmu.” Sembari mengetik semua hasil refleksi peserta dan pergerakan di hari kedua, saya mencatat dalam hati saya sendiri. Apalah guna menjadi yang terpintar, jika tidak mau berbagi dan bergerak bersama? 214 / DARI TANGAN PERTAMA

JUJUR SAAT TERSESAT “Sudah lewat checkpoint di sungai?” “Kami lihat ada sungai sesuai checkpoint yang ditunjukkan di peta.” Hari ketiga seleksi, tim peserta dibagi menjadi dua. Tim satu menelusuri hutan dengan cepat karena yang pandai navigasi ada di tim tersebut, lebih cepat 15 menit dari tim panitia yang menjaga di belakangnya. Sementara tim kedua, dengan keahlian navigasi yang lemah, berjalan berputar, tersesat, hingga perlu dikejar tim panitia. “Sudah lewat checkpoint belum?” Seorang Wanadri bertanya kembali pada tim kedua. “Kami sudah jalan sesuai koordinat,” satu peserta tetap tak menjawab pertanyaan. Hingga akhirnya, seorang peserta yang terdiam menjawab lugas, “Belum, Kang. Kami nggak tahu titik checkpoint di mana.” Hari ketiga, kondisi alam lebih menekan. Titik pendakian berada di sekitar 1.400 mdpl, vegetasi makin rapat, matahari kian tertutup, lalu hujan deras mengguyur. Jalan setapak, meski nyaman, justru menyesatkan. Karena titik koordinat dan kompas akan mengarahkan peserta menuruni lembah, melewati sungai kecil, menaiki lembah curam, melewati punggungan menuju ketinggian 1500 meter. Di hari ketiga, pikiran pun mulai lelah dan sanggup memanipulasi diri. Perdebatan tentang arah dan jalur yang tepat, membuat perjalanan tim menjadi lebih berat. Apalagi berkata jujur dalam tekanan. “Menurutmu siapa yang tidak berperan dalam kelompok? Ada dan tidaknya dia tidak berpengaruh dengan kinerja kelompok.” “Apa kontribusi terbesarmu sehingga kamu layak dipertahankan?” “Kami tidak mencari yang terpintar. Kalau demikian, yang paling pintar bisa ekspedisi sendiri. Tapi dalam tim, kami butuh orang yang mau belajar sama-sama untuk mengejar tujuan bersama,” aku menegaskan dalam refleksi malam ketiga bersama peserta. “Tiga hari perjalanan di hutan ini akan jadi permainan saja kalau kalian tidak serius menunjukkan komitmen.” “Apa satu kontribusi yang bisa kalian lakukan besok untuk menunjukkan kalian memang siap terpilih sebagai tim pendaki Puncak Mandala?” Satu-satunya perempuan dari tim peserta mengangkat tangannya. “Saya merefleksikan jawaban sebelumnya. Selama ini saya bilang, hanya ambil bagian memasak saja. Besok saya akan berkontribusi lebih banyak di lapangan.” / 215KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Sama seperti dirinya, saya sering tersesat. Merasa sudah melakukan hal penting, sudah berbuat banyak, tapi sebenarnya saya belum berbuat apa-apa. Tersesat, namun berani jujur, tidak malu mengakui kesalahan, lalu memulai kembali. MENJELAJAH KETIDAKNYAMANAN “Duh, aku insecure,” aku mengaku di pagi terakhir seleksi. Setelah tiga hari menyesuaikan diri dengan tim Wanadri, rasanya menjadi nyaman berjalan bersama mereka. Hari keempat, saya harus ikut dalam tim peserta. Menuruni puncak menuju titik awal. Perjalanan terakhir, yang anehnya membuat saya grogi. Berjalan bersama Wanadri bukan berarti saya selalu nyaman. Sepatu saya licin, jari-jari terkena duri, sering kali tersandung akar yang terpendam di tanah, terjatuh di tanah becek. Tak sekali pun teman- teman Wanadri menanyai saya, “Butuh bantuan nggak?” Atau “Hati-hati, ya.” Kalau saya tertinggal di belakang, mereka hanya melihat dari jauh, memastikan arah saya sudah benar, lalu berjalan lagi. Kalau saya jatuh, disenyumin aja. Tapi karena itu saya jadi bertanggung jawab dengan pijakan saya sendiri. Memahami benar beban tas yang saya panggul di pundak, kaki mana yang lebih kuat menarik badan ke atas, atau yang lebih kokoh menjadi pijakan saat turunan curam. Kenapa harus bawa topi, kenapa harus pakai kaos tangan, kenapa kaos kaki harus panjang, kenapa sendok, garpu, piring, botol minum tidak boleh dilupakan, dan sleeping bag menyelamatkan hidup di malam hari. Karena alam tidak pernah memberikan toleransi kepada siapapun. “Kakak bagian menghitung langkah kaki dan pengingat waktu,” peserta dalam tim saya memberi peran. Peran sederhana, mengikuti mereka, sembari mengobservasi kerja sama mereka. Namun berbagi peran, sesederhana apapun, bisa membuat kepercayaan diri meningkat karena kita dipercaya. Rasa percaya yang sama saat saya cuma dikasih senyum ketika terjatuh. “Saat ekspedisi, kami selalu memikirkan kemungkinan terburuk atau masalah. Dari masalah, baru bisa memikirkan solusi. Namun, solusi pasti membawa konsekuensi, yang berujung kembali pada masalah lain,” Dzaki merumuskan refleksinya setelah mengikuti ekspedisi sebagai Anggota Muda Wanadri di tahun silam. Menurutnya, membiasakan diri menjelajah ketidaknyamanan selalu berujung pada temuan baru. Atau temuan lama dengan hasil tak terduga. 216 / DARI TANGAN PERTAMA

“Kita harus keluar dari zona nyaman. Terlalu lama di kenyamanan, kita akan semakin sulit keluar,” Teh Mili, anggota Wanadri sekaligus KSR mengingatkanku. Karena seperti alam, hidup dan waktu tidak pernah memberikan toleransi kepada siapapun. Jadi, bagaimana rasanya berjalan dengan Wanadri? Saya pastikan tidak akan makan mie instan di atas gunung, semua perlengkapan yang dibutuhkan tersedia, bertanggung jawab dengan setiap pijakan, dan tidak melupakan teman sesama pejalan. “Bisa ikut jalan lagi nggak sama kalian?” Aku mengakhiri perjalanan dengan sumringah. VASSILISA AGATA 29 tahun. A story crafter. Setiap orang memiliki cerita. Setiap orang berhak menyuarakan pemikirannya. Napas ini yang saya bawa saat bekerja sebagai jurnalis, editor, dan akhirnya aktif di Gerakan Indonesia Mengajar. Setahun menjadi guru di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, meyakinkan saya bahwa keadilan dapat tercapai jika kelompok minoritas terbuka terhadap akses informasi. Sebentar lagi akan bertolak ke negeri seberang untuk memperdalam ilmu tentang media sebagai alat intervensi perubahan sosial. Suka nongkrong berjam-jam di warung kopi, berbicara tentang media, pendidikan, serta ruang publik. Apapun ceritamu, saya siap mendengarkan. / 217KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

DKB8EEEHTRNAAGGRKEAIULNTUATN WAHYU ADITYO PRODJO PPenjelajahan Taman Bukit Barisan Selatan, Lampung berhasil mengubah persepsi saya tentang kegiatan alam bebas. Pantai, hutan belantara, bukit, dan ancaman hewan buas membuat pribadi kami jadi lebih tangguh sekaligus bisa berdamai dengan alam. Beruntung kami bisa selamat. “Mang, lu dengar enggak? Anjriiit Pak Kumis..... Gua dengar bangeeet. Mendengus gitu suaranya,” ujar Ridwan Hakim di hari keenam penjelajahan. Kami bertatapan dalam diam. Sontak bulu kuduk berdiri saat mendengar suara mirip harimau yang kami juluki Pak Kumis. Langkah kaki terhenti sejenak. Pikiran saya campur aduk dan berkata dalam hati, “Apakah hidup saya akan berakhir tragis di hutan belantara Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBS) ini lantaran diterkam harimau 218 / DARI TANGAN PERTAMA

Sumatera?” Sungguh menyedihkan kalau itu terjadi. “Selow Drong (nama panggilan Ridwan), selow. Jalan pelanlah,” balas saya. Namun, kami berdua malah berjalan cepat alias terbirit- birit seusai mengambil ransel. Matahari sudah hampir tergelincir ke peraduannya. Saat itu, saya dan Ridwan bertugas sebagai tim pembuka jalur alias tim babat-membabat semak belukar untuk jalur penjelajahan. Tugas kami sebenarnya sudah selesai. Rombongan sudah melewati kami. Sekarang, anggota tim lainnya sudah berada sekitar 20 meter di depan. Tinggal kami berdua di belakang, mengambil ransel yang tadi ditinggal. Ketika itu saya bersama tim penjelajahan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) masih bergelut dengan proses navigasi. Ya, hampir setiap hari kami tersesat. Jangan bayangkan rute kami ini seperti kebanyakan hutan di Pulau Jawa. Apalagi, kalau disamakan dengan jalur pendakian gunung- gunung yang sudah umum didaki oleh penggiat alam. Kami memulai perjalanan di Desa Karang Brak, Kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus dan berakhir di Dusun Pengekahan, Desa Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Belimbing, Lampung. Hutan BBS, khususnya yang di Lampung, bukan sembarang hutan. Ini merupakan rumah dari tiga satwa paling langka dan kharismatik, yaitu badak sumatera, gajah sumatera, dan harimau sumatera. Pak Kumis yang tadi disebut Ridwan, adalah julukan untuk harimau sumatera yang diberitahu oleh Pak Uhar, polisi hutan TNBB Selatan yang mendampingi kami selama penjelajahan. Menurut catatan lembaga World Wide Foundation (WWF) Indonesia, BBS terbentang seluas 356.800 hektar dan masuk wilayah administrasi Provinsi Lampung dan Bengkulu. Sementara berdasarkan catatan Wildlife Conservation Society (WCS), BBS memiliki kekayaan flora seperti pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), cempaka (Michelia champaka), meranti (Shorea sp.), mersawa (Anisoptera curtisii), ramin (Gonystylus bancanus), keruing (Dipterocarpus sp.), damar (Agathis sp.), rotan (Calamus sp.), dan bunga raflesia (Rafflesia arnoldi). Setiap hari dalam penjelajahan ini, kami selalu dibayangi ketakutan bertemu harimau. Belum lagi ancaman gajah alias Pak Gendut. Bisa tewas seketika bila terinjak Pak Gendut. Namun, Pak Uhar selalu menenangkan kegelisahan kami. “Kalau di hutan jangan bilang harimau dan gajah. Sebut saja Pak / 219KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Kumis dan Pak Gendut. Kita setiap malam bakar kayu membuat api unggun biar Pak Kumis dan Pak Gendut nggak lewat,” kata laki-laki setengah baya itu. Kami sedikit lega mendengar penjelasannya, senang bisa tahu panggilan lokal untuk harimau dan gajah di sana. Perjalanan pada bulan Agustus tahun 2014 itu bisa dibilang yang mengubah hidup saya. Tubuh kerempeng saya harus memanggul ransel berbobot sekitar 30 kilogram pada awal penjelajahan. Berat ransel itu setengah dari berat tubuh saya, karena waktu itu berat badan saya hanya 60 kilogram. Total jarak yang harus ditempuh di hutan sekitar 17 kilometer, dan direncanakan memakan waktu delapan hari. “Kita di mana? Abis ini lewat mana? Coba cek jalur di depan,” itulah sejumlah kalimat yang selalu keluar dari mulut kami. Rasanya jantung langsung jatuh ke perut setiap kali mendengar kalimat tanya itu. Hampir stres. Setiap hari. Kami benar-benar harus memutar otak demi selamat dari beringasnya hutan BBS. Seringkali kalimat itu diucapkan oleh Ridwan, mentor perjalanan sekaligus senior kami di Mapala UI. Selain itu, Tubagus alias Tebe, selaku penanggung jawab teknis penjelajahan, juga kerap mengucapkan kalimat itu. Jangan bayangkan rute kami ini seperti kebanyakan hutan di Pulau Jawa. Apalagi, kalau disamakan dengan jalur pendakian gunung- gunung yang sudah umum didaki oleh penggiat alam. Kami memulai perjalanan di Desa Karang Brak, Kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus dan berakhir di Dusun Pengekahan, Desa Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Belimbing, Lampung. Dua perempuan dalam tim ini, Nabila dan Gita, pun harus berperan setara dengan peserta laki-laki karena setiap orang juga memiliki tugas sebagai penanggung jawab teknis harian. Mereka berdua ikut kebagian membuka jalur yang masih tertutup rotan, mantangan, dan tepus. Kami susah bersama, senang bersama. Bermodalkan pisau merek Tramontina, pisau komando, dan golok betawi, kami susah payah merapihkan jalur penjelajahan agar bisa dilewati. Fajri, rekan saya yang lain, terkadang terlihat berjalan gontai sama seperti saya yakni menyeret kaki dengan sepatu boot. Bahkan ada rekan sahabat pena saya yang menyebut jalur kami persis petualangan ala National Geographic. Pada hari pertama, jalur di titik awal penjelajahan adalah jalan yang dicor, atas hasil Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan. Elevasinya sekitar 40 derajat, sejauh hampir satu kilometer. Kemudian jalan cor berubah menjadi jalan setapak. Kami 220 / DARI TANGAN PERTAMA

disambut dengan suara siamang (Symphalangus syndactylus) yang saling bersahutan dengan harmonis. Tumbuhan mantangan menghalangi jalan seperti tidak membiarkan siapa pun lewat. Mantangan belum tentu putus dalam sekali tebas. “Kayak ngelawan pas dibabat,” kata Ridwan. Tumbuhan itu mirip dengan tanaman ubi jalar, berdaun bulat dan tumbuh merambat. Pak Uhar bilang, mantangan dapat membuat mati pohon yang dirambatinya. Namun, sepanjang perjalanan, mantangan jadi sahabat kami. Kanopi hutan tropis Sumatera membuat sinar matahari kesulitan menembus sampai ke tanah. Pengap rasanya berada di dalam hutan ini. Sementara pijakan tanah yang gembur menyulitkan langkah kami. Belum lagi ketika turun ke lembah-lembah dan menyeberang sungai-sungai kecil. Saya dan teman-teman musti berhati-hati melangkah. Bila tak waspada, bisa terpeleset, jatuh terantuk batu, lalu cedera kepala. Ada lagi cerita yang menegangkan. Pada hari ketujuh penjelajahan kami melewati percabangan sungai, dengan masing-masing lebarnya sekitar tiga meter. Saat itu, saya berada di posisi leader sebagai pembuka jalur bersama Fadhli, atau akrab disapa Bimbim. Saya kembali bertatapan dengan Bimbim, seperti hari sebelumnya dengan Ridwan. “Anjing, suara apa lagi ini, Bim?” kata saya. “Ular kali apa ya?” jawab Bimbim. Suasana kembali mencekam. Suara mendesis terdengar jelas di telinga kami, seperti ular sedang merayap di batang pohon. Ketika itu kami tengah mencari jalur untuk keluar dari hutan menuju pantai. Kami berjalan mengendap-ngendap seperti ingin menyergap maling. Semakin lama, semakin dekat, lalu? “Ternyata semut, Bim. Nih lihat,” ujar saya sambil menunjuk batang pohon. Suara semut-semut itu memecah kesunyian hutan, mengetuk gendang telinga saya. Mereka merayap di dahan dan batang pohon, berbaris rapi dan mengeluarkan suara mendesis. Semut itu berukuran seruas jari kelingking. Sempat tebersit bayangan andaikata semut-semut itu menggerayangi pada saat kami tidur? Apakah mereka akan menggigit dan menghabiskan daging tubuh kerempeng saya? Soal tidur selama perjalanan ini memang penuh dengan ketidakpastian. Setiap malam setelah habis evaluasi, kami bergantian bertugas menyalakan api unggun. Untuk apa? Kata Pak Uhar, api unggun berguna untuk menghalau hewan buas. “Sambil kumpul di api unggun, enak nih bikin kopi,” ujar Pak Uhar sambil tertawa. / 221KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Bagi saya, rimba Bukit Barisan Selatan yang kami lewati benar-benar perawan. Pak Uhar menyebut tim kami sebagai rombongan pertama yang melintasi rute ini. Dia ditugaskan menemani kami, karena pihak taman nasional mensyaratkan kami harus ditemani polisi hutan. Pasalnya, rute ini masih rawan hewan buas. Hari-hari kami di sana laksana kucing yang dibawakan lidi. Mungkin terlihat klise. Namun, bila diingat hingga hari ini, perjalanan itu saya anggap sebagai hal paling gila yang pernah saya lakukan selama saya hidup. Sampai sekarang saya masih sering merenungi arti penjelajahan ini. “Lauuuutt…lauuttt…lauuttt,” teriak kami begitu mendengar deburan ombak di hari keenam penjelajahan. Rona bahagia sedikit terpancar di wajah. “Itu depan udah laut, berarti exit point sudah dekat?” kata kami saling bertanya. Ternyata itu semua fatamorgana, ibarat jauh panggang dari api. Sore itu kami masih berkemah di pinggir sungai selebar kira-kira empat meter. Kami tutup hari dengan memasak hasil tangkapan ikan sungai. Namun, kali ini ada yang spesial untuk mengobati kekecewaan. “Ridwan..., Ridwan, tolong bantu sini,” teriak Pak Uhar dari arah sungai. Ketika itu kami sedang menyiapkan kemah dan bahan-bahan masakan. Mendengar teriakan itu, sontak saya, Ridwan, dan beberapa rekan langsung menuju ke arah sungai. Ternyata dia memperoleh ikan sidat. Kami sedikit tercengang dan berpikir, “Bagaimana ya, cara Pak Uhar menangkap ikan sidat?” Pak Uhar memang unik dan selalu menghibur kami dengan tindakannya. Beberapa kali dia membagi ilmu melangkah di medan tanah gembur yang menanjak. Belum lagi kebiasaanya merokok sambil berjalan. Dia membawa stok satu slop rokok kretek untuk perjalanan ini Ikan sidat itu menjadi makanan termewah kami dalam perjalanan ini. Ikan itu kami potong-potong dan digoreng dengan bumbu tepung. Asyik benar menu makan malam hari itu. “Di balik kesulitan, kami masih mendapatkan berkah,” kata saya dalam hati. Fatamorgana tentang ombak laut kembali terulang di hari ketujuh. Kesulitannya tetap berulang. Bedanya, pada sore hari kami harus menyeberangi sungai selebar kira-kira lima meter. Saat itu hujan deras dan petir terdengar bersahutan. Kami membagi tugas untuk membuat sistem tyrolean untuk penyeberangan basah. Tugas saya adalah mendokumentasikan peristiwa itu sambil berpayung. Semua sepakat Rayhan atau Arab yang pertama menyeberang. Dia mengenakan pelampung dan diamankan menggunakan tali belay di 222 / DARI TANGAN PERTAMA

harness yang dipakai di pinggangnya. Dari raut wajahnya terlihat sedikit keraguan, karena sempat terlintas pertanyaan apakah di muara ini ada buayanya? “On belay, Rab” kata Fajri. Lalu Rayhan mulai menyeberang semeter demi semeter. Jantung saya berdegup kencang melihat Rayhan berada di tengah sungai yang kami duga ada buayanya. Syukur, dugaan kami salah. Rayhan selamat. Episode menyeberang muara sungai sedalam 1,5 meter di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memang tak terlupakan. Tentu dengan agak kepayahan karena mesti setengah berenang. Apalagi ada kekhawatiran soal buaya yang sempat kami pikir ada. Keniscayaan bertemu dengan pantai di akhir perjalanan akhirnya terwujud. Di hari kesepuluh sejak meninggalkan Depok, akhirnya gundah-gulana berganti sukacita setelah mendengar suara deburan ombak dan laut yang sebenarnya. Saat membuka jalur di depan bersama Fadli, kami melihat ombak laut dan pasir pantai. Maka langsung lah kami berlarian menuju air berdebur itu. Lega rasanya bisa keluar dari rimba “antah-berantah” yang telah kami jelajahi selama delapan hari. Nabila dan Gita menitikkan air mata lega. Kami pun berpelukan dan menyeduh kopi sambil menikmati deburan ombak laut. Lalu, kami lanjutkan perjalanan menyusuri pantai menuju tempat istirahat malam itu. Penjelajahan ini ibarat titik balik dalam hidup saya, persiapan untuk menghadapi perjalanan-perjalanan saya berikutnya. Segala yang dilewati mengajarkan saya untuk lebih sabar, penuh perhitungan, tangguh, setia kawan, dan lebih adaptif. Saya percaya dalam perjalanan selalu ada rintangan berupa bahaya subyektif dan obyektif. Terima kasih atas petualangan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan! ••• EPILOG Perjalanan ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung merupakan bentuk perjalanan panjang selama 10 hari yang dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas anggota Mapala UI. Delapan orang diantara kami adalah anggota Mapala UI BKP 2012, satu anggota Mapala UI dari BKP 2011, dan satu polisi hutan dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tim BKP 2012 yaitu Rayhan Dudayev (M-882-UI), Fadhli Ramadhan Suryana (M-884-UI), Nabilla Rastania (M-876-UI), Gita Rinjani (M-881- / 223KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

UI), Tubagus Ryan Aronda (M-897-UI), Andhika Bagaskara (M-904-UI), Fajri Fadhillah (M-880-UI), dan Ridwan Hakim (M-863-UI) dari BKP 2011. Perjalanan panjang dari anggota Mapala UI bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen perjalanan, navigasi darat, kerjasama tim, dokumentasi perjalanan, dan kemampuan beradaptasi di lingkungan baru. WAHYU ADITYO PRODJO 29 tahun, anggota Mapala UI, bekerja sebagai wartawan pariwisata di Kompas.com. Di sela-sela waktu kerja, gemar mendaki gunung dan memanjat tebing. Menyukai dan memerhatikan dunia petualangan khususnya pendakian gunung. Aktif di dunia pengembangan penulisan perjalanan dan pemberdayaan sosial. 224 / DARI TANGAN PERTAMA

MMOENUDNATKI BLANC WIEYANTO SOEHARDJO TTramway du Mont Blanc, yang berangkat dari stasiun Le Fayet-Saint Gervais (584mdpl), merayap perlahan di jalur menanjak menuju L’Nid d’Aigle (2.372 mdpl). Stasiun terakhir di kaki Gunung Putih (Mont Blanc, 4.810 mdpl), yang menjadi puncak tertinggi Eropa Barat. Cuaca di pagi hari pada musim panas tahun 1985 itu sangat cerah. Di sepanjang perjalanan menuju L’Nid d’Aigle terlihat banyak turis berjalan-jalan di jalur-jalur trekking. Kami, saya dan Chandra Dezyanto, mencoba mendaki puncak gunung tertinggi di Eropa Barat yang selalu bersalju dan berwarna putih itu dari sisi Barat Laut. Ini adalah jalur normal namun sangat mematikan, karena harus melewati Grand Couloir (cekungan besar) yang rawan dengan longsoran batu dan salju. Tebingnya disebut Gouter, menjulang setinggi 700 meter berupa campuran batu dan salju. Membayangkan medan pendakian yang terlihat dari kejauhan, membuat adrenalin mengalir sehingga irama jantung sedikit meningkat. / 225KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Ada rasa cemas dan penasaran dengan tebing berbatu terjal tersebut. Kala itu, referensi satu-satunya tentang tebing Gouter yang saya miliki hanyalah cerita dari alumni Sabhawana yang menjadi anggota Wanadri, Gatot Sudaryono. Beberapa tahun sebelumnya dia tergabung dalam ekspedisi Alpen Wanadri. Suara derit roda besi kereta gunung yang sedang berkelok-kelok di tanjakan, semakin menambah suasana hati saya tak karuan. Apalagi dari kejauhan kami melihat tebing Gouter, yang lama-lama tampak semakin jelas medannya. Tebing itu tegak lurus seperti menembus langit. Sungguh menyeramkan. Bagaimana tidak? Pendakian ini adalah pendakian pertama kami ke gunung bersalju. Saat itu saya baru lulus dari SMA Negeri 3 Jakarta. Ijazah pun belum saya terima. Sedangkan Chandra adalah kakak kelas yang sedang kuliah semester dua. Kebetulan kami sama-sama anggota Pecinta Alam Sabhawana SMAN 3. PERSIAPAN Ambisi mendaki puncak gunung bersalju begitu menggebu di hati, semenjak saya mengenal Sabhawana. Selama SMA, saya belajar memanjat tebing dan menguasai teknik-teknik pemanjatan tebing vertikal secara otodidak dari buku-buku dan majalah berbahasa Inggris dan Belanda. Hampir setiap akhir pekan saya berlatih intensif di Ciampea, Cibinong, dan Citatah, serta tebing-tebing lain seperti Gunung Parang, Purwakarta. Apalagi setelah tahu medan yang harus dihadapi berupa tebing terjal, latihan pemanjatan semakin intensif. Sebelum berangkat ke Perancis, kami mempersiapkan diri dengan berlatih fisik dengan program yang disusun secara otodidak. Bentuknya bermacam-macam seperti lari, push up, pull up, sit up, dan mendaki Gunung Gede-Pangrango. Selain persiapan fisik, kami juga mempersiapkan pakaian pendakian, yang saat itu saya pesan langsung ke toko Jayagiri di Bandung. Pakaian itu kami uji coba di Lembah Jayagiri, Lembang, dengan cara tidur di luar tenda. Lembah Jayagiri saat itu merupakan lokasi yang terkenal sangat dingin. Sehingga, setelah mengambil pesanan di toko Jayagiri, saya dan Chandra langsung menuju Gunung Tangkuban Perahu. Kebetulan saat itu ada kegiatan pelantikan angkatan ke-6 Pecinta Alam Sabhawana di sana. Malamnya kami berdua turun ke Lembah Jayagiri untuk menjajal pakaian penahan dingin yang kami pesan khusus itu. Peralatan pendakian gunung bersalju lainnya kami beli di Chamonix 226 / DARI TANGAN PERTAMA

(1.035 mdpl), kota turis kecil yang sangat ramai di kaki Mount Blanc. Di situ banyak toko peralatan pendakian gunung. Sambil aklimatisasi, kami belanja sepatu dobel (double boot), cakar es (crampon), tali kermantel, kapak es (ice axe), pasak es (ice piton), cincin kait (carabiner), dan keperluan pendakian lainnya. Semua perlengkapan dan peralatan pendakian dimasukkan ke dalam ransel yang kami beli di Indonesia. Pakaian yang tidak dibutuhkan kami masukkan ke duffle bag dan dititipkan di loker stasiun Chamonix. Medan pendakian dan pemanjatan di tebing Gouter yang bersalju, serta rute pendakian ke puncak Mount Blanc berupa tebing-tebing dan pegunungan bersalju, membuat kami ingin cepat-cepat menguasai peralatan es. Namun apa daya, peralatan salju baru kami peroleh di Chamonix. Namun kami tak kurang akal, di kamar hotel kami coba memakai sepatu es dan crampon, mondar-mandir di kamar dan teras. Bahkan, saking kebelet menancapkan crampon di salju, kami balikkan kasur dan dengan santainya mondar-mandir di atas kasur itu. Norak. Asli norak banget! MENUJU TETE ROUSSE Kereta gunung itu akhirnya tiba di stasiun L’Nid d’Aigle. Penumpangnya berhamburan turun dan berpencar. Ada yang langsung mengikuti jalan setapak menanjak ke arah Pondok Tete Rousse (Tete Rousse Hut, 3.167mdpl), ada pula yang menuju restoran kecil dekat stasiun. Sedangkan kami berdua terdiam di luar stasiun, bingung ke arah mana menuju Tete Rousse. Peta yang kami pegang adalah peta pariwisata yang kami ambil di lobi hotel. Akhirnya ilmu dasar navigasi pun keluar, kompas bidik yang kami bawa berbicara. Akhirnya ketemu arah jalannya. Siang di hari itu cuaca masih cerah dan cenderung panas. Di sepanjang trek menuju Pondok Tete Rousse kami berpapasan dengan para pendaki yang berjalan turun. Dengan nada ramah, mereka menyapa kami dengan kata bonjour, yang artinya selamat pagi atau selamat siang. Kami pun membalasnya dengan ucapan sama. Karena setiap kali berpapasan selalu mendengar kalimat itu, akhirnya kami pun berinisiatif mengucapkan bonjour lebih dulu manakala berpapasan dengan pendaki atau trekker. Meskipun kadang-kadang sambil tersengal, karena kami berjalan menanjak. Pada suatu ketika, kami berpapasan dengan dua anak kecil diiringi oleh kedua orangtuanya. Wah anak-anak saja sudah trekking di / 227KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ketinggian 3000-an dengan riang gembira. Tentu ini menambah moral kami. Namun, yang bikin kami terheran-heran dan sedikit berdecak kagum adalah ketika melihat pasangan kakek-nenek trekking di dataran tinggi itu. Geloooo….. Usia mereka sudah terlihat di atas 60 tahun tetapi masih aktif mendaki. Luar biasa. Hampir dua jam kami berjalan perlahan, dan pondok Tete Rousse sudah tampak di kejauhan, persis di sebelah kanan, di bawah punggungan. Semangat kami semakin menggebu, karena jalur yang kami lalui ini sudah benar. Kami pun beristirahat dan mengeluarkan bekal makan siang, roti lapis, dan coklat. Sambil beristirahat kami melakukan orientasi jalur pendakian. Grand Couloir yang terkenal berbahaya kami amati lebih seksama. Kebetulan ada beberapa pendaki yang sedang turun melewati cekungan itu, dan mereka terlihat aman-aman saja. Tidak ada longsoran salju atau pun batu. Terlihat mereka menyeberangi cekungan satu persatu. Lebar jalur di cekungan yang harus dilewati, sebelum memanjat tebing Gouter, sekitar 30-40 meter. Ini titik paling berbahaya. Jika terjadi longsoran, pendaki yang berada di jalur itu akan tertimpa dan bisa berakibat fatal. Di jalur tersebut sudah terpasang sling baja yang diikatkan pada pasak-pasak besi yang kokoh menancap di tebing. Sling baja itu digunakan pendaki yang melewati Grand Couloir sebagai pengaman, dengan mengaitkan cow’s tail ke sana. Apabila si pendaki terpeleset, dia akan tergantung di sling baja tersebut. Jalur ini memang sangat menakutkan waktu, karena lintasannya berada di bibir jurang sedalam ratusan meter, sempit dan tertutup salju dan es. “MOVING TOGETHER” Malam itu kami bermalam di Pondok Tete Rousse. Di sana sudah ada beberapa pendaki yang menginap sambil beraklimatisasi. Waktu yang ada sebelum matahari terbenam, sekitar jam 9 malam, kami manfaatkan untuk latihan berjalan di medan salju secara bersama-sama. Moving together, istilahnya. Di sekitar pondok ada medan bersalju, sehingga kami bisa menggunakan crampon dan mempraktikan teknik belaying di medan salju dengan kapak es. Teknik moving together biasa dilakukan oleh pendaki gunung untuk mengamankan satu sama lain. Utamanya dilakukan di medan salju dan tebing yang banyak memiliki celah di jalurnya. Dengan teknik ini pendaki bergerak secara harmonis, karena ada tali kermantel yang menghubungkan dua pendaki. Tali itu terpasang di harness setiap orang. 228 / DARI TANGAN PERTAMA

Jika tiba di medan sulit dan berbahaya, salah satunya akan memasang pengaman untuk menjaga rekannya, lalu bergerak bergantian. Dengan teknik ini, pendakian dapat berjalan lebih cepat. Setelah puas latihan, kami makan malam di pondok. Menunya sup kental, kentang goreng, dan steak daging. Menu ini saja yang kami kenal dan cukup mengenyangkan. Setelah makan dan minum seperlunya, kami tidur di dipan yang dilengkapi dengan bantal dan selimut tebal. Tempat tidur di pondok disusun seperti barak, penginap bisa memilih tempat tidurnya masing-masing. Dan malam itu kami nyenyak tidur di bawah selimut hangat. Ketika bangun, Matahari sudah terbit. Rutinitas pagi pun dilakukan, salah satunya adalah membuang hajat di luar pondok. WC-nya terletak di atas jurang, dibuat menggunakan rangka besi yang kokoh. Meski aman, rasanya ya kurang nyaman juga buang hajat di atas tebing. Setelah sarapan, kami mengemas ransel dan menyiapkan crampon, kermantel, harness, dan carabiner. Tak lupa memasang headlamp di helm, untuk persiapan jika cuaca buruk di tengah jalan. Setelah siap, kami bergerak secara moving together menuju kaki tebing Gouter. Saat itu cuaca cerah, angin bertiup tidak begitu kencang. Tak sampai lama, kami sampai di kaki tebing dan segera mulai memanjat. Tepatnya scrambling, karena sesekali kami menggunakan kedua tangan berpegangan pada tebing untuk menjaga keseimbangan. Jalur tidak terlalu sulit, namun kami tetap waspada. Dengan teknik moving together ini, jika satu orang terpeleset, pendaki satunya harus berusaha menahan agar tidak jatuh. Jika tidak berhasil menahan, maka pendaki yang mengamankan harus bergerak cepat menyelipkan tali kernmantel di antara tonjolan-tonjolan batu di kanan-kiri jalur. Dengan cara itu pendaki yang terjatuh akan tertahan oleh tali. Akhirnya kami tiba di titik awal untuk menyeberangi Grand Couloir. Kami terdiam sejenak, mengamati lintasan maut itu. Kami berada di posisi aman karena berdiri di belakang tebing, sambil mengamati pola guguran batu di cekungan itu. Sesekali ada batu-batu kecil meluncur jatuh. Akhirnya kami memutuskan bergerak. Cow’s tail kami kaitkan dengan karabiner berkunci ulir (screwgate carabiner) ke sling baja di dinding tebing. Saya di depan berjalan duluan, Chandra mengamankan (belaying) saya dengan tambatan (anchor) salah satu pasak besi kokoh yang menjadi tambatan sling baja. Alhamdulillah, aman sampai di seberang. Setelah saya berhasil membuat anchor, saya kasih kode ke Chandra untuk bergerak. Alhamdulillah, aman juga. / 229KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

JATUH Lega, tapi tetap waspada karena lintasan berikutnya adalah tebing tegak lurus. Pijakan dan pegangan lumayan besar, tapi memanjat dengan double boot bukan sesuatu yang mudah. Saat itu kami belum pernah sama sekali menggunakan double boot, apalagi untuk memanjat. Jadi meskipun secara obyektif tebing itu mudah, tetap saja secara subyektif itu sulit. Apalagi, di bawahnya jurang menganga siap menerima pendaki yang jatuh. “Siap, Bal?” tanya saya ke Chandra. Jubal adalah nama panggilannya. “Siap,” sahut Jubal sambil memegang peralatan belaying. Ketika itu dia memakai alat bantu turun tebing (rappeling) berbentuk angka delapan (figure eight descender), yang dikaitkan dengan screwgate carabiner ke sit harness. Sistem itu mengurangi sedikit beban, dibandingkan memakai alat pengaman khusus berbentuk piringan (belay plate). Dengan penuh kehati-hatian saya memanjat tebing yang nyaris tegak lurus itu. Untuk pengaman jalan (runner), saya kalungkan pita (webbing) ke tonjolan batu-batu besar di sepanjang lintasan naik atau mengikatkan di pasak-pasak besi yang nampaknya ditanam untuk keperluan pengamanan pemanjatan. Setelah sekitar 20 meter memanjat, saya menemukan lokasi yang bagus untuk membuat tambatan pengamanan pemanjatan Chandra. Saat itu saya berada di sebuah punggungan, Pondok Gouter terlihat di atas saya. Sebelah kanan menganga jurang yang ratusan meter dalamnya, yang berakhir di dasar gletser Tete Rousse. Di sebelah kiri saya cekungan besar Grand Couloir. Fuiiihh…, sungguh pemandangan yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Sementara nun jauh di sebelah kanan atas ada punggungan bersalju menuju ke Dome du Gouter, yakni sebuah area salju dan es berbentuk kubah besar yang menyambung dengan punggungan utama menuju ke puncak Mount Blanc. “Baaaallll….. Off belay!” teriak saya dari atas, setelah berhasil membuat tambatan kuat dengan mengalungkan webbing di sebuah tonjolan batu besar. Kode itu untuk memberi tahu Chandra saya sudah dalam posisi aman. Dia bisa melepas tambatan pengamannya. “On belay?” terdengar teriakan Chandra dari bawah, memastikan kesiapan saya mengamankan pemanjatannya. Saya menyahut 230 / DARI TANGAN PERTAMA

kencang,”Belay on”. Artinya saya sudah siap dengan alat pengaman pemanjatan (belay device). “Climbing!” teriak Chandra memberi kode mulai memanjat, dan saya mengonfirmasi dengan berteriak, “Climb!” Chandra pun memanjat. Saya menarik tali perlahan-lahan sesuai iramanya, agar tali karmantel tidak kendur, sehingga apabila terjatuh tidak terlalu jauh. Kurang lebih setengah jalan, tiba-tiba tali kernmantle yang saya pegang terhentak. Dengan cepat tali tersebut saya pegang erat. Terasa sangat tegang, tanda ada beban yang sepenuhnya bertumpu pada tali. Rupanya Chandra terpeleset di pijakan tipis dan tubuhnya bergelantungan, sehingga tali kernmantle menjadi lurus ke bawah. Lurus ke jurang! “Baaaalll! Elo okeee??” tanya saya dengan sedikit cemas. Pasalnya, saya tahu di posisi Chandra tergantung memang pijakannya tipis, dan di bawahnya jurang menganga. Kebetulan jalur agak sedikit serong ke kanan, sehingga ketika Chandra jatuh, tubuhnya pendulum ke kanan. “Gua oke!!” sahut Chandra dari bawah. “Pull abisss…!” teriaknya, memberi kode agar saya menarik dan menahan tali, sehingga memudahkannya memanjat kembali ke jalur. Tak lama kemudian Chandra muncul dengan nafas kudanya, hoss…, hoss. Alhamdulillah kami selamat. Saya lihat headlamp di helm Chandra hancur terbentur tebing. Aman, kami punya cadangan lampu bohlam, dan baterai. Ketika kami memulihkan nyali akibat kecelakaan tadi, tiba-tiba terdengar deru helikopter dari jurang di sebelah kanan kami. Tak lama kemudian helikopter itu melintas, dengan plastik jenazah tergantung di bawahnya. Rupanya ada pendaki yang jatuh ke jurang. Hal ini membuat nyali kami rada menciut. Kamipun lebih hati-hati dan waspada dalam memanjat menuju Gouter Hut. Setelah memanjat tebing Gouter setinggi kurang lebih 700 meter, akhirnya kami sampai di Gouter Hut, sebuah pondok pendaki yang dibangun tepat di puncak tebing Gouter. Segera kami melepas dan merapikan alat pemanjatan, kemudian memesan makan malam. Meski matahari masih terlihat terang, kami langsung beristirahat dan tidur. MOTIVASI KAMI Sekitar jam 2 dinihari, para pendaki mulai berkemas untuk melakukan summit attack, pendakian menuju puncak. Kami pun / 231KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

menyiiapkan diri dengan sarapan sup hangat, roti, dan teh manis. Setelah melakukan check and recheck, kamipun bergerak keluar pondok dengan terikat pada satu tali. Udara terasa sangat dingin menusuk kulit, telinga terasa perih, bibir kaku dan sulit untuk bicara. Selangkah demi selangkah kami bergerak naik dengan mengikuti bekas jejak kaki di salju, dan cahaya lampu headlamp pendaki yang telah bergerak lebih dulu. Semakin jauh kami melangkah, pengaruh ketinggian mulai terasa. Nafas mulai pendek-pendek. Secara teratur kami berhenti sejenak mengatur nafas. Rasanya puncak Mount Blanc masih jauuuhhh. Kombinasi rasa dingin dan nafas yang berat membuat langkah kaki kami ikut terasa berat. Satu-satunya yang membuat kami terus melangkah naik di tengah padang es yang sangat dingin itu adalah motivasi. 232 / DARI TANGAN PERTAMA

Ya, tekad kami. Kami telah jauh melintas dua benua, kami telah mempersiapkan diri begitu lama, kami telah didukung tim Sabhawana yang membantu mencari dana door to door. Kami tidak boleh mundur. Kami tahu betapa besar harapan keluarga, harapan teman-teman, dan sanak saudara agar kami berhasil mencapai puncak dan pulang dengan selamat. Setelah beberapa jam berjalan menanjak, kami tiba di sebuah pondok emergency yang tidak berpenghuni, Vallot Hut. Di sana kami beristirahat dan mengisi energi dengan memasak salju untuk membuat teh manis. Matahari sudah bersinar terang, sehingga suhu udara menjadi hangat. Setelah dirasa tenaga kembali pulih, kami pun segera bergegas mendaki menuju Puncak Mount Blanc. Rutenya berupa punggungan bernama Bosses Ridge yang di kanan-kirinya jurang dalam. Kami bergerak berhati-hati dengan tetap terikat satu sama lain. Perjalanan menuju puncak ternyata terasa panjang dan melelahkan. Salju yang telah mencair membuat perjalanan bertambah berat. Namun, kami terus mendaki meski perlahan. Target kami, hari ini harus bisa mencapai puncak. Dan, sekitar tengah hari, kami menginjakkan kaki di puncak Mount Blanc. Kami langsung bersujud syukur. Alhamdulillah. Terbayarlah segala jerih payah kami dan tim Sabhawana. Kami berpelukan, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan air mata bercucuran. Setelah berfoto, kami segera turun dan menginap di Vallot Hut, karena tenaga kami terkuras hampir habis. Dalam kondisi seperti ini, turun ke Gouter Hut menjadi lebih berisiko. Esoknya, dengan kondisi yang lebih fit, kami turun ke Gouter Hut dan makan siang di sana. Hari itu juga kami lanjutkan turun ke Tete Rousse Hut. Baru keesokan harinya kami turun ke L’Nid Aigle, dan dilanjutkan naik kereta gunung ke Chamonix. Usai sudah perjalanan kami ke puncak tertinggi Eropa Barat. WIEYANTO SOEHARDJO 57 tahun, founder dan bekerja di PT Rakata Adventure. / 233KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

PERJALANAN MENDAKI SEMERU YULIA NINGSIH GDua tahun lalu tepatnya, tanggal 7 Mei 2016, saya bersama teman dari Surabaya memutuskan mendaki Semeru. Ini gunung tertinggi di Pulau Jawa yang puncaknya berada di 3.676 meter di atas permukaan laut. Letaknya di Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Tak ada rencana akan naik barengan dengan siapa, tapi kami berdua tak sengaja bertemu rombongan komunitas dari Surabaya yang akan mendaki juga. Total ada 23 orang, termasuk kami berdua. Bersama rombongan ini, kami berdesakan di dalam mobil elf yang membawa kami ke desa Tumpang, Malang. Kemudian kami harus berganti kendaraan yakni dengan hardtop menuju Desa Ranupane, yang terletak di kaki Gunung Semeru dengan mayoritas penduduknya adalah Suku Tengger. Antusiasme, kesopanan dan keramahan masyarakat Suku Tengger membuat saya terkagum-kagum. Perbincangan dengan mereka sungguh menyenangkan. Setelah itu itu kami melanjutkan pendakian ke Gunung 234 / DARI TANGAN PERTAMA

Semeru. Tak lupa para rombongan berdoa dan mengecek perlengkapan yang dibawa karena termasuk Standar Operasi Prosedur (SOP) pendakian ke Gunung Semeru. Sebagai pendaki, keamanan kami harus benar-benar terjamin melalui perlengkapan yang dibawa. Semua harus dimulai dari diri sendiri. Kami harus mendaki dengan prinsip safety first. Seperti pepatah bilang puncak gunung adalah bonus dan kembali ke rumah dengan selamat adalah tujuan utama. Sinar matahari sudah mulai panas. Sudah saatnya melanjutkan perjalanan. Dari pos ke pos sambil beristirahat, kami menyempatkan minum dan makan kudapan walaupun hanya sebentar. Bila terlalu kenyang, justru akan menghambat perjalanan. Namun, kami harus juga menjaga agar tubuh tidak terlalu diforsir. Ketika kami beristirahat, banyak pendaki yang melintas sambil bertegur sapa dengan ramah dan sopan. Itulah nikmatnya mendaki gunung. Kita bisa saling kenal dan menjadi teman baru di perjalanan. Matahari sudah condong ke Barat ketika kami sampai di Danau Ranu Kumbolo yang berada di ketinggian 2.400 mdpl. Tempat ini disebut- sebut sebagai surganya Gunung Semeru. Keindahannya memang luar biasa dan membuat siapapun takjub saat memandangnya. Begitupun dengan saya yang sampai menetaskan air mata saat pertama kali melihat keindahannya. Rombongan kami beristirahat sebentar sambil masak dan minum kopi. Kemudian saya dan teman saya melanjutkan perjalanan karena waktu hampir malam. Yang lain menyusul karena ada rekan perjalanan yang sudah tidak dalam kondisi prima untuk melanjutkan perjalanan. Sampai menjelang malam saya masih ada di tengah-tengah Oro-Oro Ombo. Di sana, saya sangat berhati-hati karena takut tersasar saat berjalan di tengah kegelapan. Kami sempat bertemu pendaki lain yang juga menuju ke Arcapada, tempat kemah terakhir sebelum menuju Puncak Mahameru. Suasana sangat gelap dan dingin itu diisi dengan suara alam di sekitar. Saya merasa kedinginan. Kemudian, saya minum teh hangat karena saya tidak mau berisiko terkena hipotermia, penyakit yang bisa membuat orang tidak sadarkan diri atau kalau fatal bisa menyebabkan kematian. Tak lama rombongan saya datang. Kami beristirahat karena waktu sudah menunjukkan pukul 21. Sesuai rencana pendakian, kami harus menempuh perjalanan ke puncak pada pukul 00.00. Perjalanan menuju Puncak Mahameru memakan banyak waktu. Bagi / 235KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

kami yang baru mendaki gunung, Puncak Mahameru tergolong sangat tinggi. Tepat satu jam sebelum berjalan menuju puncak, kami makan dan mulai berkemas seperlunya. Bila barang bawaan terlalu berat, justru bisa membahayakan saat perjalanan naik. Tepak tengah malam kami berdoa agar Allah memberi kelancaran dan keselamatan perjalanan kami ke Puncak Mahameru. Perjalanan ke puncak pun dimulai. Tapak demi setapak kami lalui. Rute yang kami tempuh yakni medan berpasir dan berbatu. Kami tak lupa untuk tetap melihat area sekitar. Jangan sampai terkena lemparan batu karena akan berisiko sekali. Di tengah perjalanan, saya sempat mulai goyah karena cuaca yang sangat dingin. Namun, berkat dukungan teman-teman, saya sangat termotivasi untuk sampai Puncak Mahameru. Tepat pukul 7, saya beserta rombongan sampai ke tempat yang dikenal dengan sebutan Puncak Para Dewa. Saya sangat bangga dan terharu karena bisa sampai di sana meski dengan susah payah. Memang bergiat di alam membutuhkan tekad besar dan kesetiakawanan yang baik agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Saya sangat berterima kasih karena akhirnya sampai juga di Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. YULIA NINGSIH 30 tahun, bekerja di PT Supra Surya Indonesia sebagai Admin QHSE, penggemar kegiatan alam bebas, mendaki gunung, dan pemerhati lingkungan. Meminati juga bidang jurnalistik, relawan kegiatan sosial, fotografi, dan crosser. 236 / DARI TANGAN PERTAMA


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook