Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dari Tangan Pertama

Dari Tangan Pertama

Published by binarsoeko, 2021-05-21 04:20:38

Description: Kumpulan cerita perjalanan di gunung, hutan, sungai dan laut.

Keywords: Adventure,Gunung,Hutan,Sungai,Laut,Wisata Alam,Koperasi,Petualangan,Indonesia,Pecinta Alam,Wisata Petualangan,Wisata Minat Khusus

Search

Read the Text Version

mengatakan lebih baik coba pahami dulu ‘jurus-jurus’-nya dengan kayak yang mudah bermanuver. Saya pun bersiap menyambut juluran ombak yang menarik saya keluar pantai. Saat sudah mulai mendayung, terasa benar perbedaan yang kontras antara mengendalikan Si Belerang dengan Yoda. Yoda terlalu mudah berbelok sehingga perlu tenaga lebih untuk bisa mendayung maju. Saya perlu memakai teknik sprint hanya untuk bisa tegak lurus menerjang ombak. Ketika ombak terhantam, tak terasa kemulusan mendobraknya seperti ketika menggunakan Belerang. Yoda mendongak ke atas seperti hendak terhempas mundur jika saya tak menambah kekuatan dayung. Keluar dari medan ombak dengan agak lebih sulit dari biasanya, saya pun mendayung santai sejenak di teluk. Sore itu pantai jauh lebih ramai sehingga saya harus lebih memperhatikan pendaratan agar tidak menabrak siapa pun. Lalu mendayunglah saya masuk kembali ke medan ombak. / 149KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Gelombang datang silih berganti mendorong kayak ke arah pantai, semakin lama semakin kuat. Ketika ombak besar pecah di belakang, saya pun memposisikan dayung sebagai sirip pelurus. Sekali lagi saya merasakan kontras, betapa lincahnya Yoda berputar sehingga saya dapat mengambil sudut yang diperlukan di waktu yang tepat. Lalu Yoda meluncur cepat dan lurus bak roket. Saya ber-kayak surfing! Mendarat dengan dahsyat, Yoda ngesot jauh ke darat hingga berhenti tepat beberapa sentimeter dari seorang penjaga pantai. Saya terkaget ketika menyadari betapa serunya apa yang baru saja terjadi. Segera saya seret kembali Yoda ke pinggir ombak dan mengulangi apa yang tadi saya lakukan. Saya pun kembali meluncur bak roket hingga menabrak seorang wanita yang untungnya sedang dalam mood baik. Saya mencobanya beberapa kali bahkan ketika ombak datang dari samping. Teknik bersandar pada ombak pun terpakai. Lalu saya berselancar dan berselancar. Dari sekitar sepuluh kali percobaan saya hanya gagal menunggangi ombak dua kali. Saya sampai enggan melepas si Yoda ketika Kang Atot datang untuk mengambil kayaknya. Saya belum sempat melakukan latihan ulang menghadapi ombak dengan Kayak Laut Ekspedisi saya Si Belerang Merah, tapi setidaknya saya sekarang paham prinsip menghadapi ombak. Dan saya juga belajar melihat riuh ombak tidak lagi sebagai kedatangan sebuah ancaman melainkan kedatangan sebuah kesenangan. PRIYO UTOMO LAKSONO 150 / DARI TANGAN PERTAMA

KEINDAHAN TERSEMBUNYI DI LEMBAH MASURAI RAHMAN MUKHLIS NNama Gunung Masurai bagi sebagian orang mungkin asing dan baru. Saya sendiri baru mengetahui keberadaannya pada tahun 2012, saat mendengar cerita ekspedisi teman ke sana. Saya langsung jatuh hati pada gunung tersebut karena konon dibalut hutan hujan tropis yang masih terjaga keasliannya. Setelah itu nama Gunung Masurai saya masukan dalam daftar gunung-gunung yang akan saya jelajahi di kemudian hari. Saya mulai aktif mencari data dan informasi seputar gunung itu sampai akhirnya jodoh tersebut tiba pada tahun 2016. Saya mendapatkan kesempatan ke sana karena menjalankan pekerjaan rutin sebagai pemandu gunung. Ada 18 orang dalam rombongan pendakian. Saya dan Sofyan menjadi pemandu untuk delapan orang peserta, dan delapan orang lokal sebagai porter yang membantu membawa barang dan logistik. / 151KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Gunung Masurai dengan ketinggian 2.935 mdpl merupakan gunung strato vulcanic yang masih masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Secara administratif terletak di tiga wilayah yaitu Kecamatan Jangkat, Lembah Masurai, dan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Selain Kerinci yang sudah sangat terkenal, sebenarnya di Provinsi Jambi masih banyak gunung yang indah dan menarik untuk dijelajahi, termasuk Gunung Masurai ini. Di sekitar gunung kedua tertinggi di Jambi tersebut terdapat dua gunung lain yang letaknya berseberangan dengan Masurai, yaitu Gunung Sumbing 2.507 mdpl dan Gunung Hulunilo 2.424 mdpl. Ketiganya dipisahkan oleh jalan utama seperti layaknya Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di Jawa Tengah. Masurai memiliki keindahan alam khas hutan hujan tropis Indonesia yang masih asri. Salah satu yang menarik adalah danau vulkanik indah di kawasan tersebut, yaitu Danau Kumbang dan Danau Mabuk. Nama Masurai sendiri menurut masyarakat lokal berarti emas yang terurai. Nyatanya keindahan alam Gunung Masurai memang terurai bagaikan emas. Bagi masyarakat sekitar, gunung ini merupakan sumber kehidupan. Di sana terdapat mata air Batang Tembesi yang mengairi sumber-sumber penghidupan masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Sungai Tenang. Mata air yang terletak di sisi utara Gunung Masurai itu juga mengalir sampai ke sungai-sungai di Provinsi Jambi. Mengingat wilayah hutannya belum banyak dikunjungi manusia, di sana masih menjadi tempat bermukim hewan-hewan khas hutan Sumatera, seperti harimau. Gunung Masurai memiliki berbagai akses menuju puncak. Yang paling sering dipakai adalah jalur Sungai Lalang yang dibuka oleh Tim Ekspedisi Mapala Siginjai Universitas Jambi pada tahun 1994, dengan waktu tempuh normal tiga hari dua malam. Ada juga jalur lain yang lebih panjang dan menawarkan tantangan petualangan berbeda. Misalnya jalur Jangkat yang dibuka Tim Ekspedisi Wanadri pada 2004, jalur Tanjung Berugo yang dibuka Tim Ekspedisi Mahitala Universitas Parahiyangan pada 2010 dan jalur Talang Asal yang dibuka Tim Ekspedisi Mapala UI pada 2012. JALAN PANJANG MENUJU LEMBAH MASURAI Salah satu tantangan yang harus kita lalui sebelum menjelajahi Gunung Masurai adalah jauh dan sulitnya akses transportasi menuju lembah di kakinya. Namun sejak tiga tahun terakhir akses jalan dan 152 / DARI TANGAN PERTAMA

transportasi ke sana semakin mudah seiring dengan banyaknya pembangunan di wilayah Merangin. Untuk menuju kaki Gunung Masurai kita dapat melakukan perjalanan darat dari Jambi yang ditempuh selama 8-10 jam perjalanan. Bisa juga menggunakan bus umum dengan rute Jambi-Bangko, kemudian pindah bus dengan tujuan Bangko-Jangkat. Agar lebih nyaman dapat menggunakan mobil-mobil travel dengan sistem sewa langsung pulang pergi dari Jambi menuju Sungai Lalang. Tentu dengan harga yang lebih mahal. Biaya perjalanan pulang pergi akan mencapai kurang lebih Rp 3.000.000 dengan mobil kapasitas empat orang ditambah barang- barang perlengkapan pendakian. Keperluan pendakian seperti makanan, minuman dan lain-lain sebaiknya dibeli saat di Jambi atau Bangko. Setelah Bangko, kita akan tiba di kota kecil yang agak sulit untuk mendapatkan kebutuhan pendakian karena stok yang terbatas. Jalur menuju Bangko masih berada di dataran rendah dengan melewati juga jalur Trans Sumatera. Setelah Bangko kami memasuki daerah dataran tinggi dan kawasan pegunungan dengan jalan yang meliuk-liuk dan naik turun bukit. Mendekati kaki Gunung Masurai kami disuguhi pemandangan perkebunan yang didominasi tumbuhan holtikultura. Yang paling banyak tentunya perkebunan kopi yang terkenal dengan Kopi Lembah Masurai. Setibanya di Desa Sungai Lalang kami singgah di basecamp Masurai, yang terletak di pinggir jalan raya Desa Sungai Lalang, sebelah Musholla Al Hidayah. Mengingat belum terlalu ramainya wisata mendaki gunung di sini, hanya ada satu rumah yang dapat disinggahi dan dijadikan tempat menginap. Basecamp ini dapat menampung maksimal 20 orang dengan dua kamar dan ruang tamu bersama yang dapat digunakan untuk tidur. Basecamp ini juga dapat menyediakan makan sesuai kebutuhan, juga bekal makan siang di hari pertama pendakian. HANGATNYA KOPI LEMBAH MASURAI Selasa, 19 Juli 2016, setelah melalui perjalanan darat dari Jambi selama 9 jam, pada pukul 18.35 kami tiba di basecamp Masurai, Desa Sungai Lalang. Kami disambut dengan antusias oleh Penas dan kawan- kawan masyarakat lokal. Setelah menurunkan barang-barang dari mobil ke rumah, kami bercengkrama di ruang tamu, saling berkenalan dan tukar cerita sambil menyeruput hangatnya kopi dan teh. “Kopi di sini alami, langsung diambil dari perkebunan sekitar,” / 153KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ucap Penas seraya menuangkan kopi panas ke cangkir-cangkir kami. Lembah Masurai memang terkenal dengan daerah penghasil kopi terbaik di Provinsi Jambi. Suasana penuh kehangatan pun tercipta malam itu mengawali pertemuan kami dengan masyarakat Sungai Lalang yang kemudian setelah menikmati secangkir kopi dan teh kami tutup perkenalan ini dengan makan malam bersama yang telah disediakan oleh Ibu Penas. Setelah makan malam, kami segera melakukan briefing untuk membahas rencana kegiatan pendakian dan mengatur ulang barang- barang yang akan dibawa. Malam semakin larut udara pun semakin dingin. Walaupun di luar rumah langit tampak cerah, namun angin malam hari itu berhembus cukup kencang. Rasanya seperti di kawasan Puncak Jawa Barat. Pagi hari diwarnai cuaca mendung dan hujan gerimis. Walaupun cuaca kurang begitu menguntungkan, tidak menghalangi semangat kami untuk memulai petualangan. Pukul 07.10 kami awali perjalanan dengan berdoa bersama di depan basecamp Gunung Masurai. Rute hari itu bermula di jalan setapak di area ladang perkebunan penduduk yang didominasi oleh tanaman kopi dan hortikultura. Sepanjang jalan menuju pintu rimba, sejajar dengan kontur punggungan utama, kami lihat deretan perkebunan kopi di sisi kiri dan kanan jalur yang nampak mulai memerah dan siap untuk dipanen. Diperkirakan jumlah kopi robusta yang ditanam di wilayah Lembah Masurai mencapai 30 juta pohon dengan produksi green bean mencapai 10 juta kilogram atau10.000 ton per tahun. Harga Rp 18.000 perkilogram. Dapat dibayangkan besarnya potensi ekonomi masyarakat sekitar Lembah Masurai dari hasil perkebunannya sendiri. Potensi ekspor sangat bagus mengingat kopi robusta Lembah Masurai mempunyai kualitas sangat baik karena ditanam di dataran tinggi. Dari kebun kopi itu, terpampang dengan gagah Gunung Masurai yang menarik perhatian untuk segera dikunjungi. Jika menoleh ke belakang di sisi seberang yang hanya terpisah oleh jalan, kami dapat melihat pemandangan indah Gunung Hulunilo dan Gunung Sumbing. Setelah berjalan sekitar satu jam, tibalah kami di batas perkebunan dan pintu rimba. Di sini kami sempatkan waktu untuk beristirahat di sebuah pondokan. Sekitar 20 menit perjalanan lagi kami akan tiba di Pintu Rimba. Jalurnya cukup sulit di mana kami harus melewati batang- batang pohon tumbang yang melintang tidak beraturan. 154 / DARI TANGAN PERTAMA

PETUALANGAN SERU MELINTASI HUTAN “Welcome Pintu Rimba, Salam Lestari, Jaga Kekompakan dan Kesopanan,” sepenggal kalimat yang terpampang di sebuah papan yang bersandar di bawah pohon besar menyambut kedatangan kami. Selain kalimat tersebut juga terdapat himbauan-himbauan lain untuk menjaga kebersihan dan etika saat berada di gunung. Kami pun sejenak membaca kalimat-kalimat tersebut dengan seksama dan berdoa untuk mengawali pendakian hari ini memasuki kawasan hutan dan gunung. Memasuki Pintu Rimba (1.618 mdpl), kami disuguhi suasana rimbun dan lebat pepohonan khas hutan hujan tropis Sumatera. Harum dedaunan hijau dan tanah basah tercium dengan sejuknya, kicauan burung-burung dan nyanyian simpai bersahutan terdengar nyaring di telinga. Suasana yang benar-benar jarang kita temui di gunung-gunung lain yang sudah ramai. Nyanyian alam ini menjadi teman sepanjang perjalanan kami menuju Shelter 1, selama 1,5 jam. Jalur yang menanjak menjadi tak terasa karena kami benar-benar menikmati suasana pendakian ini. Kami beristirahat sejenak disana sambil menikmati snack dan minuman. Shelter 1 yang berada di ketinggian 1.815 mdpl itu ditandai dengan adanya batang pohon roboh di tengah jalan, sehingga siapapun harus menunduk di bawahnya. Di bagian atas terdapat gundukan tanah dan area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Terdapat pula sungai kecil di sebelah kiri jalur, sekitar lima menit dari lokasi camp. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak 1 yang diperkirakan memakan waktu empat jam perjalanan dengan melewati trek yang semakin terjal dan kawasan hutan yang semakin rimbun. Banyak pepohonan yang ditumbuhi lumut sehingga menambah hijaunya hutan. Di jalur ini kami juga akan menjumpai beberapa pohon tumbang di mana kami harus merayap atau melompatinya. Jangan lupa mengisi botol air terlebih dahulu di Shelter 1 karena sepanjang perjalanan tidak ada lagi sumber air dan tidak ada lokasi yang luas untuk beristirahat. Mengingat trek yang panjang dan terjal, siang hari itu kami memutuskan untuk istirahat dan makan siang di tengah perjalanan. Tidak lama, karena menu kami roti sandwich dan buah apel yang sudah kami siapkan sejak dari basecamp. Saat istirahat makan siang itu, tiba-tiba saja cuaca berubah. Rintik hujan mulai membasahi tubuh sehingga kami bergegas merapikan barang-barang dan bersiap melanjutkan perjalanan. Hujan pun turun / 155KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

semakin lebat sehingga trek pendakian menjadi licin, tak jarang beberapa kali terdengar teriakan dari anggota kami saat ia tergelincir. Kami terus berjalan beriringan secara konstan, sampai akhirnya pada pukul 14.10 kami tiba di Puncak 1 dengan ketinggian 2.713 mdpl. Sekitar 50 meter sebelum puncak, terdapat simpang antara jalur ke kiri menuju Danau Mabuk, sedangkan jalur lurus menuju Puncak 1. Di sini kami disuguhi keindahan alam yang luar biasa dengan pemandangan Danau Kumbang yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan lereng-lereng di kawasan Gunung Masurai. Puncak 1 adalah titik terbaik untuk mengabadikan indahnya Danau Kumbang dan memandangi bentang alam lainnya. Dari sini perjalanan kami lanjutkan dengan melewati igir-igir puncak sekitar 15 menit untuk menuju persimpangan jalan, kemudian mengambil jalur kiri turun ke Danau Kumbang. Untuk sampai ke danau kami harus menuruni jurang yang cukup terjal bahkan ada yang kemiringannya sekitar 90 derajat. Disebutnya tanjakan atau turunan Syaiton. Kami berjalan dengan hati-hati saat melewati trek ini, karena sekali tergelincir bisa jatuh ke jurang di bawahnya. Untuk itu pada beberapa titik, kami pasang tali webbing yang kami gunakan sebagai pegangan untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Untuk menuruni Danau Kumbang dari persimpangan puncak diperlukan waktu sekitar 40 menit. Akhirnya setelah melewati lintasan yang menantang dan melelahkan sejak dari desa sungai Lalang, pada pukul 15.50 kami semua tiba di Danau Kumbang disambut dengan pemandangan yang menakjubkan. PESONA DANAU KUMBANG Danau Kumbang dengan ketinggian 2.539 mdpl merupakan salah satu pesona yang menarik para petualangan untuk menjelajahi Gunung Masurai. Danau yang terbentuk dari aktivitas vulkanik dengan luas sekitar 2 hektar memberi keheningan dan kedamaian pada kami. Airnya tampak berkilauan terkena sinar matahari dengan dikelilingi jajaran bukit seputaran danau. Keindahan yang disajikannya tidak kalah menarik dengan Danau Gunung Tujuh di kawasan Gunung Kerinci, Danau Ranukumbolo di Gunung Semeru ataupun Danau Segara Anak di Gunung Rinjani. Menurut sejarah dan cerita-cerita turun temurun penduduk setempat, konon danau ini ditunggui oleh seorang kakek tua bernama Panglima Kumbang. Dia dapat berubah wujud menjadi macan kumbang. 156 / DARI TANGAN PERTAMA

Versi lain, dinamai Danau Kumbang karena dahulu banyak bintik hitam di pinggir danau yang mengkilap serta bersinar menyerupai kumbang. Terlepas dari cerita mana yang benar, sebagai pendaki yang baik, kami tetap harus menjaga etika dan sopan santun termasuk mengikuti kearifan masyarakat disana. Misalnya saat buang air kecil atau besar tidak boleh di tepi danau dan tidak diperkenankan pula menghadap ke danau. Pengunjung juga diminta menjaga perkataan dan perbuatan serta tidak berbuat amoral. Selain itu tentunya yang harus kami perhatikan adalah menjaga kebersihan dan kelestarian alam, karena memang keindahan di kawasan danau ini masih alami dan terjaga dengan baik. Di Danau Kumbang kami tidak dapat menikmati suasana matahari terbenam karena posisi matahari berada di balik bukit belakang area perkemahan yang tertutup hutan belantara. Kebalikan dari suasana matahari terbit yang sangat indah karena matahari muncul di seberang danau. Area kemping di pinggir di Danau Kumbang tidak terlalu luas, hanya dapat menampung sekitar 8-12 tenda. Selebihnya hutan belantara. MENUJU PUNCAK UTAMA MASURAI Setelah bermalam di Danau Kumbang, pukul 8.30 esok harinya, kami lanjutkan perjalanan menuju puncak utama Masurai. Pendakian dilakukan dengan kembali menuju persimpangan antara jalur utama, Danau Kumbang dan puncak utama. Walaupun jarak relatif dekat, perjalanan ke persimpangan cukup menguras tenaga karena harus melewati tanjakan Syaiton yang sangat terjal itu Sesampainya di persimpangan, kami beristirahat sejenak sambil mengatur kembali perbekalan yang akan dibawa naik dan yang ditinggalkan untuk diambil setelah kembali dari puncak nanti. Kami berjalan mengikuti igir-igir dengan trek menanjak namun tidak terlalu terjal. Kemudian kami turun sekitar satu jam ke lembah, menuju Shelter 2 yang memiliki dataran untuk mendirikan dua sampai empat tenda. Ada mata air kecil juga sehingga dapat menjadi alternatif untuk tempat bermalam. Selepas Shelter 2, kami berpindah punggungan untuk menuju Puncak Masurai. Tanjakan terjal dan sempit ini pastilah licin sekali jika terkena hujan. Kadang kami harus merayap atau melompat karena banyak halang rintang berupa akar dan batang pohon yang melintang. Di beberapa titik terdapat lorong-lorong dari akar pepohonan yang berlumut sehingga terlihat sangat unik dan menarik. Mirip pemandangan / 157KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

dalam cerita The Hobbits. Perjalanan menuju Puncak Utama Masurai ditempuh selama tiga jam dari Shelter 2. Pemandangan di situ tidak terbuka seperti puncak pada umumnya karena dikelilingi pepohonan yang cukup tinggi. Suasananya yang sangat hening menimbulkan kedamaian di hati. Kami habiskan waktu 30 menit untuk berfoto, makan dan minum serta bersenda gurau, menghilangkan kepenatan setelah melewati trek yang cukup berat. Usai melakukan selebrasi, kami segera berkemas untuk turun kembali. Di tengah perjalanan menuju Shelter 2, hujan turun dengan deras sehingga menyulitkan kami melangkah di lintasan yang licin. Beberapa kali anggota rombongan terpeleset dan terjatuh. Pukul 14.00 kami sudah tiba kembali di persimpangan dan kebetulan hujan sudah berhenti. Di sini kami sempatkan waktu 30 menit untuk beristirahat makan siang dan packing kembali semua barang. Hari semakin sore dan hujan rintik-rintik kembali turun mengiringi langkah kami menuju Shelter 1. Perlu waktu empat jam melewati jalur yang menjadi semakin licin karena hujan masih terus turun. Akhirnya pada pukul 19.10 dengan sisa-sisa tenaga setelah melalui hari yang panjang ini, kami tiba dengan selamat dan dapat menikmati malam terakhir di Shelter 1. Beberapa porter yang tiba lebih dahulu telah menyiapkan tenda, minuman hangat dan makanan untuk menyambut kami. Malam ini kami nikmati kebersamaan dengan ditemani cuaca yang indah setelah hujan berhenti, sambil menyantap makan malam dan diselingi candaan antar sesama anggota tim. Esok hari kami bangun dengan penuh semangat. Setelah melalui pengalaman dua hari yang seru dan menyenangkan di hutan Masurai, hari ini kami akan kembali ke peradaban. Perjalanan tidak terlalu panjang dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Pukul 09.00 kami mulai menuruni bukit, melewati batas-batas hutan terakhir menuju wilayah perkebunan. Perjalanan semakin asyik di bawah suasana pagi yang sangat cerah. Ditambah dengan suara burung dan monyet yang saling bersahutan mengiringi langkah kami kembali ke desa. Mereka seakan menyampaikan salam perpisahan untuk kami. Semakin turun, pemandangan menjadi semakin terbuka dan tibalah kami di wilayah perkebunan penduduk. Perasaan kami semua senang karena akhirnya pendakian selesai. Kami pun menyempatkan waktu untuk menikmati salam perpisahan kepada Gunung Masurai dan berfoto bersama di area perkebunan penduduk. Kami tiba kembali di Desa Sungai Lalang, basecamp Masurai, disambut dengan hangat oleh keluarga Penas yang penuh keramahan 158 / DARI TANGAN PERTAMA

dan suguhan kopi panasnya. Sungguh sebuah pengalaman yang seru, menyenangkan dan sangat berkesan bagi kami semua karena dapat menikmati sebuah tempat yang masih asri, hening dan tersembunyi dari Lembah Masurai. RAHMAN MUKHLIS 30 tahun, pendaki dan pemandu wisata gunung, praktisi experiential learning pada Indonesia Outdoor Consultant. / 159KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

MENDAKI BERKEBAYA RAHMI HIDAYATI MMendaki gunung berkebaya memang rada bikin orang nggak percaya. Buktinya selalu saja ada yang bertanya, “Yang bener naik gunung pakai kebaya? Gila ajaaa!” Lama-lama komentar seperti itu jadi biasa untukku. Bukan apa- apa, hampir setiap orang ekspresinya sama. Ada yang matanya melotot dengan mulut ternganga, ada juga yang nyengir-nyengir dengan tatapan melecehkan karena nggak percaya. Ah biar lah, yang penting aku enjoy melakukannya. Selain itu, aku juga maklum mengapa begitu khas tanggapan teman-teman terhadap kebiasaanku ini. Bagaimanapun, di jaman serba instan, serba praktis dan serba milenial ini, kebaya bukanlah busana keseharian yang dirasa nyaman dikenakan. Jangankan ke gunung, ke pasar atau ke tempat kerja aja rasanya sudah sangat merepotkan. “Nekat banget sih? Nggak takut keserimpet? Trus pakai sepatu sandal atau sepatu kets? Di balik kain pasti pakai celana pendek ya? Eh, jangan-jangan kainnya udah dijahit model kulot supaya gampang melangkah.... Trus kebayanya, apa nggak gerah? Keringetan kali kalau lagi nanjak gitu!” Itu runtun pertanyaan yang biasa mampir di kuping. Yang pasti, buatku kebaya bukanlah sekedar pakaian pesta seperti anggapan 160 / DARI TANGAN PERTAMA

sebagian orang sekarang ini. Sehari-hari aku mengenakannya, baik dalam urusan bersantai bersama teman-teman, maupun ketika bertemu mitra kerja untuk urusan bisnis. Pilihan gaya busana ini mulai aku jalankan di akhir 2014, ketika bersama empat orang teman bersepakat mendirikan Komunitas Perempuan Berkebaya. Bukan sekedar untuk gaya-gayaan, tapi karena kami menyadari bahwa perempuan Indonesia punya busana yang memiliki nilai seni dan filosofi tinggi. Sejarah masuknya Islam di tanah Jawa juga menjadi jejak perjalanan kebaya di bumi tercinta ini. Ketika para penyebar ajaran Rasulullah SAW menapakkan kaki di sana, para perempuan masih banyak yang bertelanjang dada atau melilitkan kain untuk menutup bagian atas tubuh mereka. Ajaran Islam untuk menutup aurat akhirnya membuat selembar kain berbentuk selendang menjadi pakaian yang sekarang kita kenal dengan nama kebaya. Konon asal katanya abaya, bahasa Arab yang berarti baju. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata abyak yang berarti penutup dada. Sejarah panjang kebaya juga terekam dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Para aktivis di awal abad ke-20 yang berdemo turun ke jalan, meneriakkan tuntutan kemerdekaan dan mendampingi tokoh-tokoh lelaki dalam berhadap-hadapan dengan Belanda, banyak yang tampil dengan kebaya. Belum lagi para tokoh perempuan seperti R.A. Kartini yang mengenakan busana ini di keseharian mereka. Kebiasaan tersebut dilanjut oleh para ibu negara sejak jaman kemerdekaan sampai saat Ibu Tien Soeharto menempati Istana. Setelah itu kebaya dikenakan para ibu negara dalam acara-acara resmi baik dalam maupun di luar Istana Kepresidenan. Naik turun memang minat memakai kebaya seperti juga bukit dan gunung yang tersebar di bumi pertiwi. Ada masanya para perempuan sukanya pakai blus dan rok serta celana panjang gaya noni-noni Belanda. Kemudian diwarnai pula dengan model jilbab atau hijab yang berasal dari Arab sana. Syukurnya kebaya tetap masih ada peminatnya walaupun dipakai hanya di acara-acara resmi, pesta pernikahan maupun acara adat dan budaya. Aku bukan orang Jawa, bukan juga keturunan Bali seperti yang banyak disangka orang. Memang asal usul kebaya dari Jawa dan sekarang ini paling banyak dipakai perempuan Bali. Namun seumur aku mengenal nenek yang lahir dan besar di Payakumbuh, Sumatera Barat, beliau selalu berkebaya diseling baju kurung. Ke sawah, ke pasar, ke surau, dan masak di dapur, selalu saja berkebaya. Maka kupikir, mengapa tidak dicoba? / 161KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Ribet memang awalnya. Tapi pepatah ‘Allah bisa karena biasa’ memang terbukti benarnya. Lama-lama melilitkan kain panjang atau sarung di pinggang bukan lagi pekerjaan sulit. Tinggal memahami bagaimana memilih cara memakainya untuk disesuaikan dengan medan yang akan dilalui. Gaya ke mal, ke acara kawinan, ke acara adat dan ke gunung tentu lah jadi tak sama. Yang penting sih, tetap berkebaya dan berjarik asli asal negeri tercinta. Adalah pendakian Rinjani tahun 2012 yang pertama membuatku kagum pada para perempuan berkebaya. Ketika itu aku berpapasan dengan sekitar 30 orang Bali yang akan sembahyang di dekat danau Segara Anak (2.004 mdpl). Mereka tengah mendaki ke Pelawangan Senaru, sementara aku berjalan turun. Para perempuan di rombongan itu berkebaya khas Bali dengan selendang warna putih yang melinggar di pinggang. Penampilan cantik mereka membuatku terkagum-kagum, apalagi melihat model sandal yang mereka pakai kurang lebih sama dengan sandalku kalau jalan-jalan ke mal. Mereka, para jegeg dan bli itu, berjalan dengan santai sambil bersenda gurau dalam bahasa Bali yang kedengarannya seru. Sementara aku yang gagah dengan kaos, celana panjang dan sepatu gunung merasa terengah-engah saat mendaki setapak demi setapak. Kagumku terutama karena melihat luwesnya para perempuan cantik berkebaya putih itu saat berjalan. Ketika akhirnya terbiasa berkebaya, terpikir juga untuk mencoba mendaki dengan pakaian nenek moyang bangsaku ini. Maka pada akhir Agustus 2015, untuk pertamakalinya ku coba berkebaya ke Puncak Prau, Dieng (2.565 mdpl). Pendakian relatif pendek, sekitar dua jam, di bawah langit pagi yang biru jernih. Di puncak gunung semua mata memandang tak percaya padaku dan dua teman yang juga pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya. Ada yang matanya tak berkedip, mulut ternganga. Ada juga yang senyum- senyum seolah berkata, “Lebay banget sih ibu-ibu ini.” Tapi tak sedikit yang datang menghampiri sambil malu-malu bilang, “Boleh foto bareng nggak?” Setelah itu aku merasa, alam begitu bersahabat dan menerima kami yang menyambanginya dengan kecintaan bukan saja pada hijaunya daun, birunya langit dan merahnya mentari senja, tapi juga pada kebaya yang kami kenakan. Maka mulailah aku menebar racun cinta itu kemana- mana. Yang pertama termakan keseruannya adalah teman-teman yang menghadiri HUT Mapala UI di Alun-alun Surya Kencana pada Desember 162 / DARI TANGAN PERTAMA

2015. Cewek-cewek gagah yang tomboy itu tanpa terduga menyambut antusias ajakan berkebaya. Yang tak punya langsung pinjam sana-sini dan beberapa diataranya minta diajarkan cara berkain yang praktis dan tetap indah dipandang mata. Kebiasaan ini berlanjut ke pendakian-pendakian berikutnya dengan pengalaman yang berbeda-beda. Tapi tatapan mata orang-orang di sekelilingku tetaplah sama. Pertanyaan mereka juga itu-itu aja. “Nggak ribet ya?” “Kalau kesrimpet bagaimana?” “Bagaimana cara pakai kainnya?” “Emangnya nggak gerah mendaki pakai kebaya?” Dan jawabanku selalu sama. “Nggak ribet kok kalau sudah tau bagaimana mengikat kain yang membuat kaki leluasa melangkah. Kalau soal kesrimpet memang risikonya selalu ada, tapi tanpa berkain pun kita tetap harus hati-hati melangkah. Nah, supaya nggak gerah, pakai kebaya kaos kayak yang aku kenakan ini. Jadi akan nyaman selama naik dan turun gunung.” CUACA TAK SELALU MENDUKUNG Ah, tapi sesungguhnya sih nggak segampang itu juga. Ada beberapa hal yang akan nggak nyaman saat mendaki berkebaya. Pada saat hujan, misalnya. Potensi kain menjadi basah pastilah besar. Maklumlah, jas hujan model celana panjang tak bisa digunakan. Kalaupun pakai jas hujan model jubah, kemungkinan kain menjadi basah tetap besar. Kebayang kan kalau kesrimpet karena kain basah itu menempel di kaki sehingga menyulitkan untuk melangkah naik atau menjulur turun? Pengalaman itu kurasakan saat mendaki Gunung Gede, Desember 2018 lalu. Ketika memulai perjalanan dari Pos Gunung Putri pukul 10 pagi, cuaca sedang cakep-cakepnya. Langit biru jernih, dihiasi awan di kaki langit dan kicau burung ceria dimana-mana. Sekitar jam 2 siang, menjelang Pos 4, awan menebal membuat sekeliling menjadi lebih gelap dan angin kencang menyelinap di antara pepohonan rindang. Petir menggelegar dan akhirnya air tercurah tak tertahankan. Dalam kondisi seperti ini, mau tak mau aku harus menyesuaikan diri. Membiarkan kain basah, selain bikin ribet kaki melangkah, juga akan mempengaruhi suhu tubuh secara keseluruhan. Maka opsi mengganti kain dengan celana pendek atau celana panjang menjadi sesuatu yang / 163KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

tak elok untuk ditawar. Itu soal kain. Kebayanya? Ah nggak ada masalah dengan kebaya. Apalagi bila mengenakan kebaya kaos seperti yang aku pakai, karena pada dasarnya tak beda jauh dengan kaos-kaos lainnya. Modelnya saja yang mengikuti pakem kebaya yakni mengikuti lekuk tubuh, sisi kiri dan kanan simetris, dan ada belahan di bagian depan. Keribetan lain dirasa pada saat harus ganti baju di dalam tenda. Kalau pakai celana panjang atau celana pendek, sambil berguling di atas matras pun bisa dilakukan. Maklumlah tak selalu bawa tenda yang tinggi sehingga bisa berdiri di dalamnya. Maka diperlukan keahlian khusus dan kesabaran ekstra agar kain bisa dililit di pinggang, dan diikat sedemikian rupa supaya nggak melorot tanpa sengaja. Nah, pada saat turun melewati medan terjal, justru teman- teman pendaki lain lah yang deg-degan. Mereka membayangkan aku keserimpet atau kain nyangkut di akar atau nyangkut di bebatuan. Maka akan berguling-gulinglah aku berpuluh meter ke bawah karena tak ada pohonan atau undakan yang bisa menahan. Seperti turunan antara Savana 1 dan Pos 3 Gunung Merbabu yang kunaiki awal Februari 2019 ini. Kemiringan medannya mencapai 70 derajat dan berada dalam satu bidang nyaris lurus sampai bawah. Kekhawatiran seperti itu mungkin yang menyebabkan salah satu cowok di rombongan bertanya beberapa jam sebelum pendakian dimulai, “Serius mau ikutan naik, Mbak?” Ketika aku jawab, “Ya, serius dong,” dia langsung melotot. Trus bertanya lagi, “Emang sebelumnya pernah mendaki kemana aja?” “Pernah ke Prau di Dieng,” jawabku sambil senyum manis. “Tapi nggak kebayaan gini kan? Medan di sini lumayan berat,” katanya sambil melihatku dari atas ke bawah, kembali ke atas. Kekhawatiran terpancar jelas di matanya. Dan ketika akhirnya kami menapak selangkah demi selangkah menuju puncak, beberapa kali ku lihat dia melirik dengan pandangan cemas. Ah Mas, andai kau tahu bahwa perempuan kalau sudah bertekad, tak ada yang bisa menghalangi kecuali penguasa alam semesta. Apalagi perempuan seperti aku yang mencintai kebaya sama besarnya dengan cinta pada tiap helai dedaunan dan tiap butir oksigen yang kuhirup di pegunungan. Yang bikin hepi, semakin ke sini semakin banyak teman-teman yang 164 / DARI TANGAN PERTAMA

tertarik berkebaya saat beraktivitas di alam terbuka. Yang minta diajak naik gunung pun selalu ada. Untuk para pemula, aku tawarkan mendaki ke puncak yang relatif mudah dicapai karena jalur perjalanan yang landai. Lebih asyik lagi kalau bisa didaki dalam waktu dua sampai tiga jam saja. Selain memberi pengalaman baru, jalur pendek yang relatif landai membuat penyesuaian diri menjadi lebih mudah. Nah, kalau para perempuan sudah muncak berkebaya, para lelaki ikutan juga yuk. Bukan kebayaan tentu saja hehehe.... Bisa pakai sarung, beskap atau baju lurik. Kenekatanku mendaki berkebaya menumbuhkan rasa percaya diri mengajak siapa saja untuk berbusana daerah saat menapaki ketinggian gunung. Bersama-sama menjaga kekayaan budaya yang punya sejarah panjang di negeri kita, sambil menikmati indahnya alam Indonesia yang sesungguhnya adalah syurga dunia. RAHMI HIDAYATI 51 tahun, anggota Mapala UI. Sehari-hari bekerja sebagai konsultan komunikasi dan aktivis Perempuan Berkebaya Indonesia. / 165KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

PERJALANAN PANJANG DI PENTECOST, VANUATU RIDWAN GUSTIANA RRoti tebal dengan olesan selai kacang dan kopi pahit menemani sarapan pagi saya hari ini, Jumat tanggal 22 Februari 2019. Saya tengah berada di sebuah perkampungan dengan pusat Gereja Katolik peninggalan pemerintah Perancis bernama Melsisi. Tepatnya di Pulau Pentecost, Vanuatu. Ini salah satu dari 86 pulau di negara kecil berpenduduk 270 ribu jiwa yang terletak di antara Benua Australia sebelah barat dan Fiji di sebelah Timurnya. Desa ini dicapai dengan penerbangan satu jam menggunakan pesawat twin otter 18 seaters dari Port Vila, Ibukota Vanuatu. Kemudian dilanjutkan satu jam perjalanan darat memakai mobil 4WD. Penduduk yang sekitar 600-700 orang saja, selain berbahasa Pentecost, rata rata berbicara bahasa Bislama, bahasa nasional mereka. 166 / DARI TANGAN PERTAMA

Bislama merupakan adaptasi dari Bahasa Inggris tanpa grammar sehingga banyak yang menyebutnya broken English atau Pidgin. Ada pula yang berbahasa Perancis, yang ditinggalkan negara asal Eropa tersebut saat menjajah Vanuatu sampai 1983. Ketika itu, negara yang memerdekakan diri tersebut berubah nama dari New Hebrides menjadi Vanuatu. Saya masih ingat pertama kali menginjakan kaki di desa ini sekitar enam tahun yang lalu. Waktu itu saya menjadi relawan yang membantu UNICEF melakukan pelatihan bagi para petugas kesehatan pemerintah setempat dalam melaksanakan kampanye imunisasi campak. Dan Pentecost merupakan salah satu pulau prioritas karena berpenduduk besar. Lupakan persepsi besar dan kecil secara jumlah karena di sini penduduk lebih dari lima belas ribu itu besar sekali, lha wong di ibukotanya saja tidak lebih dari lima puluh ribu penduduknya. Pulau ini secara geografis sangat sulit dijangkau. Jalan bebatuan hanya ada di satu jalur yang menjulur dari utara ke selatan sepanjang 50-60 km saja. Hanya kendaraan dobel gardan saja yang bisa melintas, yang jumlahnya juga masih terbatas. Ironisnya, penduduk banyak tinggal jauh di dalam hutan sehingga untuk mencapai sebagian desa di pulau ini banyak yang harus berjalan kaki berjam-jam melalui jalan setapak. Pentecost ini terkenal dengan pulau tempat dilakukannya land diving, sebuah ritual untuk para pria suku Pentecost terutama di bagian Selatan, dalam menunjukan kedewasaan mereka. Seperti halnya loncat batu di Pulau Nias, di sini pria dianggap dewasa bila mereka sudah melakukan loncatan keberanian atau the leap of faith dari sebuah menara kayu setinggi 25-30 meter dengan kaki terikat tali yang dibuat dari akar akar pohon. Konon bungee jumping terinspirasi dari ritual ini. Benar-benar sebuah loncatan keberanian dan kepercayaan bahwa leluhur mereka akan menjaga para peloncat agar tidak mengalami hal yang fatal ketika mendarat di bumi dengan kepala atau punggung duluan. Jangan tanya berapa orang yang meninggal karena ritual ini, ada tapi tidak banyak, menakjubkan. Sayang selama di sini ritual tersebut belum bisa saya saksikan karena hanya berjalan di bulan April sampai Juni saja setiap tahunnya. BERBAGI SEHAT Perjalanan saya ketika itu yang harusnya hanya tujuh bulan saja, ternyata berlanjut sampai sekarang. Enam tahun sudah saya tinggal di / 167KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

sini, jauh dari kampung halaman. Saya hanya pulang ke Indonesia setiap 4-6 bulan saja, biasanya saat Lebaran atau akhir tahun seperti layaknya para perantau lain. Awalnya memang relawan, tapi kantor tempat bekerja meminta agar saya melanjutkan bantuan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan cakupan program imunisasi rutin. Saya melatih para petugas di sekitar 125 fasilitas kesehatan yang tersebar dari ujung Utara sampai Selatan negeri kecil ini, dengan berbagai topik mengenai program imunisasi. Juga merencanakan perbaikan infrastruktur di fasilitas kesehatan tersebut agar semua anak bisa mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan terutama vaksinasi. Ini tentunya bukan perjalanan pertama kali saya ke desa ini, namun sepertinya akan menjadi yang terakhir. Pekerjaan di sini akan selesai dalam beberapa bulan ke depan. Saya sudah mengunjungi desa dari ujung Utara sampai Selatan di pulau yang terbentang sepanjang 60 km ini. Banyak masyarakat tinggal di daerah terpencil yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui jalan setapak melalui hutan yang sebagian besar licin. Sebagian besar masyarakat yang mampu, atau pasien yang membutuhkan evakuasi di desa-desa yg dekat dengan pantai memilih memakai perahu. Jangan bayangkan perahu PELNI atau ferry yang besar, ini hanya perahu nelayan kecil yang di sini di sebut Banana Boat karena banyak yang berwarna kuning seperti pisang matang. Saya sendiri telah mencoba berbagai mode perjalanan termasuk memakai perahu pisang tadi, menyusuri pantai atau kadang menyebrang ke pulau lain. “What am I doing here risking my life?” tanya saya dalam hati karena perjalanan dengan perahu kecil di tengah Samudera Pasifik ini tidak selalu mulus. Pertanyaan tersebut juga banyak dilontarkan teman- teman saya dan keluarga. Maklumlah, di sini jauh dari keluarga dan meninggalkan banyak kenyamanan dan kemudahan di negara sendiri. Tetapi pertanyaan itu selalu terjawab ketika saya kembali bertemu para penduduk yang menyenangkan, setelah berjalan menelusuri jalan setapak di desa desa terpencil, menikmati empuknya jok mobil ketika terguncang-guncang waktu menjelajahi jalanan terjal dan licin, atau ketika menikmati berlayar dengan perahu kecil di waktu ombak tidak ada. Kalau ombak besar sih yang terpikir bagaimana caranya tempat yang dituju segera keliatan. Selain itu, pekerjaan ini sudah jadi pilihan saya. Saya selalu ingin berada di tempat di mana saya paling dibutuhkan dan di sini lah salah 168 / DARI TANGAN PERTAMA

satunya. Selain itu juga karena ketertarikan dengan pekerjaan yang dijalankan. Di sini dokter hanya bisa dihitung jari, dan kebanyakan mereka hanya ada di ibukota saja. Hampir seluruh fasilitas kesehatan hanya menyediakan perawat atau bidan saja. Rata-rata hanya satu orang per lokasi untuk mengerjakan berbagai tugas melayani pasien. Selain itu secara pribadi saya banyak belajar mengenai kesederhanaan, kekeluargaan, dan tentunya mengenai kemanusiaan. Sebuah pelajaran yang mungkin tidak akan pernah diperoleh bila saya tidak pernah meninggalkan zona kenyamanan dengan segala kemudahan yang ada. Setiap perjalanan saya di sini dan cerita para petugas kesehatan, meyakinkan saya bagaimana sulitnya mereka menjangkau desa-desa yang terpencil ini. Saya jadi mengerti mengapa selama puluhan tahun hanya 50% saja anak-anak balita mendapatkan imunisasi. Tantangan geografis, kurangnya petugas kesehatan dan juga terbatasnya infrastruktur membuat masyarakat sangat sulit menjangkau fasilitas kesehatan, dan para petugas kesehatan pun dalam posisi yang sama. Tidak mudah dan murah memberikan layanan kesehatan untuk semua orang. Perlu usaha, niat dan sumber daya yang cukup yang tidak mudah didapat. Perjalanan ke pelosok-pelosok terpencil itu juga yang membuat saya terinspirasi untuk melakukan inovasi. Terutama bagaimana caranya mempersingkat waktu dan mempermudah petugas kesehatan beserta obat-obatan yang diperlukan untuk sampai ke lokasi. Hari ini saya akan menyaksikan pertama kalinya vaksin akan dikirim melalui drone ke pulau ini. Bayangkan, perjalanan berjam-jam yang harus ditempuh lewat darat, laut atau berjalan kaki untuk mengirimkan obat- obatan termasuk vaksin ke berbagai lokasi di pulau ini, bisa dilakukan melalui udara dalam hitungan menit. Dengan daya angkut sampai lima kilogram sebuah drone bisa terbang dengan jarak 50 sampai 100 km. Dua perusahaan drone dari Australia dan Jerman di kontrak oleh Kementerian Kesehatan Vanuatu untuk melakukan pengiriman obat- obatan terutama vaksin ke tiga pulau utama termasuk Pentecost. Di sini saya melihat bagaimana sebuah teknologi masa kini bisa dipakai sebagai sebuah jawaban dalam memecahkan masalah di daerah-daerah terpencil karena keterbatasan infrastruktur. Hal menarik lain adalah reaksi masyarakat saat melihat teknologi masa kini yang dapat memecahkan persoalan mereka. Selama ini mungkin sebagian besar mereka melihat mobil pun hanya setahun sekali / 169KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ketika mengunjungi kota. Maka menjadi sebuah pengalaman yang tidak akan tergantikan oleh apapun, ketika melihat masyarakat yang hidup sederhana, terutama anak anak, melihat sebuah drone terbang ke desanya. Mereka tercengang melihat obat-obatan dan vaksin turun dari langit dan diterima oleh petugas kesehatan di sana. Mungkin sama dengan perasaan saya ketika pertama kali melihat dan mempunyai sebuah telepon genggam dua puluh tahun yang lalu. Buat saya perjalanan ke desa ini sangat sentimental, mengingat kemungkinan besar merupakan kunjungan terakhir ke sini. Berkunjung lagi setelah misi ini selesai adalah sebuah hal yang sepertinya mustahil. Dalam dua atau tiga bulan ke depan saya akan mengakhiri perjalanan panjang saya di sini. Kembali ke keluarga di tanah air atau melanjutkan ke daerah terpencil lainnya di negara lain. Kita hidup cuma sekali dan saya ingin mengunjungi, berinteraksi, belajar hidup dan bisa selalu mengabdi di manapun saya dibutuhkan. Sambil menikmat satu batok kelapa Kava, minuman tradisional Vanuatu saya akhiri tulisan ini. RIDWAN GUSTIANA Ridwan Gustiana “dr Jack”, 43 tahun, berprofesi sebagai seorang dokter, biasa disapa dengan ‘Dokter Jack’. Pegiat organisasi kemanusiaan, pendiri IBU Foundation, pegiat kesehatan dan keselamatan kegiatan di alam terbuka, anggota Atlas Medical Pioneer FK- UNPAD. Saat ini bekerja di UNICEF based di Korea Utara 170 / DARI TANGAN PERTAMA

PENGALAMAN HIPOTERMIA RONIE IBRAHIM G“Geeer… Weeer… Sessssstttt….,” hanya itu suara yang bisa keluar dari mulutku. Napas tersengal-sengal, tubuh merinding dan bergetar hebat tanpa bisa kukendalikan. Kulitku putih memucat, bibir membiru. Pandangan mata pun nanar, sementara otak sudah tidak bisa berpikir lagi. Kurasakan kesadaranku pelan-pelan menurun. “Wake up! Don’t sleep! Come on, wake up!” samar terdengar suara Tshering, guide-ku yang berteriak-teriak di telingaku. Seketika itu, empat lapis pakaian terdiri dari inner fleece, outer fleece, down goose jacket, dan raining jacket dilucuti satu persatu hingga aku telanjang. Segera flysheet dari bahan aluminum foil dibungkuskan ke badanku. Assistant Guide Chhiring bergegas menyalakan kompor dan memasak salju hingga cair dan mendidih. Air panas dari termos diminumkan secara perlahan. Sebagian dimasukkan ke dalam botol dan diselipkan ke dalam sleeping bag yang dibungkuskan sebagai penghangat tubuh. Perlahan guncangan dan getaran mereda sedikit demi sedikit. Kulit dan bibir yang memucat putih kebiru-biruan kembali memerah. Otak kembali bekerja dan ingatan perlahan mulai mengalir dan merunut mundur berbagai peristiwa. / 171KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

BEGINI RASANYA HIPOTERMIA Mimpi mendaki gunung salju menjadi keniscayaan bagi jiwa petualang dan pendaki gunung, juga bagi aku yang sudah menjelang 50 tahun. Sisa-sisa masa muda dan semangat seorang Aranyacala menepis semua keraguan yang pernah ada. Belum lagi niatku untuk berkarya di bidang petualangan menjadi pemacu semangat. Medio September 2012 kujejakkan kaki di Bandara Internasional Tribhuvan, Kathmandu. Setelah dua bulan sebelumnya aku berkutat dengan pencarian operator dan guide melalui mesin pencari google yang akan menemaniku dan membantuku mempelajari pendakian gunung salju sesuai dengan niatku. Akhirnya aku menemukan Tshering Pando Bhote, guide lokal asli Suku Bhote yang berasal dari bagian Timur Pegunungan Himalaya, di ketinggian 4.000-an mdpl. Tshering sudah memiliki operator pendakian lokal dengan nama ‘Top Himalayan Guides’. Akhirnya Tshering sebagai guide utama dan Chhiring sebagai asisten guide yang bersedia mendampingi dan sudah menyiapkan materi-materi yang akan dipelajari sebelum pendakian dimulai. Dengan berkendara kami memasuki salah satu bagian dari Pengunungan Himalaya yang membentang ribuan kilometer dari barat ke Timur. Lantang Region adalah salah satu dari empat Taman Nasional di situ yang dikenal dengan nama Annapurna Region, Everest Region, Makalu Region. Lantang Region memiliki jarak terdekat dari kota Kathmandu. Beberapa hari pertama kami gunakan untuk aklimatisasi atau penyesuaian diri dengan ketinggian mulai dari 2.000-an, 3.000-an dan 4.000-an. Kami menginap di beberapa kampung besar termasuk Lama hotel di ketinggian 3.400 mdpl dan kampung Kyangin Gompa kampung tertinggi di Lantang Region pada posisi 3.850 mdpl. Puncak yang dijadikan tujuan pelatihan adalah Urkema Peak yang juga sering disebut Baden Powell Peak, si Bapak Pandu Dunia, dengan ketinggian 5.825 mdpl yang terletak di Lantang Region. Hari selanjutnya kami mulai mendaki menuju Camp 1 di ketinggian 4.200 mdpl. Gejala penyakit ketinggian atau altitude mountain sickness (AMS) mulai menyerang dengan rasa pusing dan mual. Setelah istirahat satu malam kami melanjutkan ke summit camp di ketinggian 4.900 mdpl, ini untuk persiapan menuju puncak pada keesokan harinya. Hari itu, Selasa 25 September tahun 2012, pagi-pagi kupakai semua perlengkapan yang memang jauh dari baik dan lengkap. Sepatu 172 / DARI TANGAN PERTAMA

dan crampons pun aku pinjam dari Tshering. Kami berjuang tujuh jam dengan salju yang sangat tebal. Kadang salju menutup sampai pangkal paha dan membuat bagian bawah tubuhku menjadi basah akibat salju yang mencair di pakaian. Akhirnya pukul satu siang aku menginjakkan kaki di puncak gunung Urkema 5.825 mdpl. Setelah mengabadikan keberhasilan itu, kami segera bergegas turun kembali ke camp. Terik matahari mencairkan salju-salju yang menempel di celana dan menjadikannya basah. Tak terhindari air masuk ke kulit. Rasa dingin ini mulai terasa hebat saat mendekati camp dan terus bertambah hebat dan menjadi rasa dingin yang tidak tertahankan, hingga akhirnya aku harus ditelanjangi dan dimasukkan aluminium foil. Mudah-mudahan ini bukan salah satu pelajaran yang memang ingin diberikan guide-ku. Karena memang aku hanya menggunakan dua lapis inner fleece dan outer fleece tanpa celana anti hujan atau salju. Mungkin ini bagian dari pelajaran berharga itu sendiri, yang kadang nilainya melewati silabus yang ingin kita dapatkan. Persiapan fisik, mental dan perlengkapan yang sesuai dengan medan yang akan dituju adalah kunci besar untuk mendapatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan saat kita melakukan sebuah perjalanan. Setelah mendapat pelajaran berharga ini, sepulang dari Nepal, perlengkapan gunung salju pun ditambah dan dilengkapi. Dedicated to humanity. RONIE IBRAHIM 53 tahun, penggerak wisata petualangan Indonesia. / 173KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

YAKIN, LO? YUK, NANJAK! RUDI NURCAHYO EEdward Whymper, seorang pendaki asal Inggris yang berhasil menjadi orang pertama mencapai Puncak Matternhorn (4.478 m) di perbatasan Swiss dan Itali, cukup pantas menggambarkan perbedaan pemahaman kata-kata bijaknya; “Climb if you will, but remember that courage and strength are not enought without prudence, and that a momentary negligence may destroy the happiness of a lifetime. Do nothing in haste; look well to each step; and from the beginning think what may be the end”, antara pendaki amatir muda dan minim pengalaman, dengan pendaki yang sudah melanglang buana. “Dakilah gunung jika kau ingin, tetapi ingatlah bahwa keberanian dan kekuatan tidak ada artinya tanpa kehati-hatian, dan bahwa kelalaian sesaat dapat menghancurkan kebahagiaan seumur hidup. Jangan melakukan apapun dengan tergesa-gesa; perhatikan setiap langkah dengan baik; dan dari awal pikirkan apa yang mungkin menjadi akhirnya,” begitu pesan Edward Whymper. Bagi saya yang tahun 1992 baru pertama kali ke luar negeri untuk mendaki gunung, yang ada di pikiran hanyalah happiness. Senang memulainya tapi lupa mempersiapkan bagaimana dan apa yang mungkin terjadi pada akhirnya nanti dari sebuah keputusan, dari sebuah perjalanan, dari sebuah pengalaman baru mendaki gunung es tertinggi di benua Amerika Selatan, Aconcagua (6.962 m). 174 / DARI TANGAN PERTAMA

Setelah persiapan yang lumayan panjang dan berbelit-belit, terutama urusan administrasi dan hal klasik seperti pencarian dana untuk ekspedisi, akhirnya saya termasuk orang yang beruntung terpilih sebagai anggota Tim Ekspedisi Aconcagua-Mapala UI tahun 1992. Lebih dari 10 calon pendaki, namun akhirnya diputuskan untuk memberangkatkan lima orang saja. Dua diantaranya senior kami Norman Edwin dan Didiek Samsu, sementara tiga lainnya adalah Mohammad Fayez Indra Permadi, Dian Hapsari, dan saya. Senang dan bangga rasanya bisa menjadi bagian dari sebuah organisasi Pencinta Alam Mapala UI yang saat itu tengah menjajaki puncak kelima dari proyek Seven Summit-nya. Dulu itu, jangankan ke Argentina, naik pesawat terbang paling jauh saja hanya ke Manado. Itu pun karena “dipaksa” ke sana beberapa hari untuk menengok orang tua saat liburan. Ketika itu bapak saya sempat ditugaskan menjadi salah satu pimpinan di Kantor Wilayah Pertanian Sulawesi Utara selama lima tahun. Jadi bisa dibayangkan bagaimana saya saat terbang menggunakan pesawat dari Jakarta sampai ke Chile. Perjalanan dengan Garuda Indonesia ke Los Angeles, AS, ditempuh selama 22 jam dengan transit di Denpasar, Biak, dan Hawaii. Keesokan harinya meneruskan penerbangan dengan menggunakan American Airlines dan transit di Miami sebelum akhirnya tiba di Santiago, Chile. Membayangkan suasana 27 tahun lalu itu, saya jadi ingat lagunya almarhum Mbah Surip; “Bangun tidur, tidur lagi.... Bangun lagi, tidur lagi. Bangun..., tidur lagi”. Semua gaya tidur sudah dicoba, dari mulai nyender, miring kanan, miring kiri, nekuk, sampai mati gaya lah, istilah sekarang. Yang awalnya norak, sampai mulai muncul benci dan bosan naik pesawat terbang, karena tidak sampai-sampai. ••• “Besok kita ambil rute Polish Glacier,” tiba-tiba Norman Edwin, Pimpinan Pendakian, menyampaikan hal tersebut kepada seluruh anggota tim saat kami over stay di Los Angeles untuk membeli perlengkapan serta kebutuhan pendakian yang masih kurang. “Bukannya kita mau lewat rute normal, Man?” sahut Didiek. “Semalam gue ketemu saudaranya Pat Morrow, seorang pendaki dan juru foto dari Kanada yang pertama kali menyelesaikan pendakian Seven Summits di tahun 1986 (versi Reinhold Messner). Dia nyaranin gue buat ambil rute itu,” Norman menjelaskan. Bukan tanpa alasan Pat Morrow menyarankan agar Norman mengambil rute itu. Mungkin dia sudah cukup yakin dengan kemampuan / 175KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

dan pengalaman seorang Norman Edwin. Mungkin juga menurut Pat, rute normal kurang menantang buat Norman. Mereka berdua memang sudah saling kenal sejak Agustus 1986 saat Norman menemani Pat menyelesaikan proyek Seven Summit nya ke Puncak Carstensz Pyramid, Papua. Yang dimaksud Norman adalah rute False Polish Glacier yang tidak terlalu berbeda dengan rute normal, karena setelah sampai di Camp II (5.500 m), kami akan traverse menuju rute normal. Namun jaraknya sekitar 20% lebih panjang dibanding rute normal dan lebih banyak melalui medan salju. Pilihan ini memang sangat baik untuk sekalian latihan pendakian di gunung es, terutama untuk melanjutkan pendakian ke puncak-puncak berikutnya dari Seven Summit Project. Beruntung saat tiba di kemah induk, Plaza Argentina (4.200 m), kami bertemu dengan salah satu legenda pendaki dunia asal Inggris, Doug Scott, yang baru saja turun dari puncak Aconcagua melalui rute Polish Glacier. Menurutnya situasi dan cuaca saat itu kurang bersahabat dan menemui banyak kesulitan saat melalui jalur tersebut. Dalam pendakiannya menuju puncak, Doug Scott kerap kali dihadang angin sangat kencang dan sangat dingin. Gunung Aconcagua memang terkenal dengan cuacanya yang ekstrim bernama El Viento Blanco, yaitu badai yang disertai butiran salju. Kecepatan angin 200 km perjam, dan dapat dengan mudah berubah semakin ekstrim hingga berkali lipat. Pencarian data pendakian di tahun 80-90an tidak semudah sekarang. Saat ini semua informasi dapat kita temukan dengan berselancar di media-media pencari data seperti Google misalnya. Dian adalah anggota tim yang ditugaskan dan paling sabar mencari data tentang gunung Aconcagua. Itupun hanya dapat dilakukan melalui surat-menyurat. Tentu saja butuh waktu paling cepat seminggu untuk menerima balasan dari sumber yang kita cari. Berdasarkan data-data yang sangat terbatas itu, kami sepakat memilih jalan aman dengan mengambil rute normal, yang kemah induknya ada di Plaza de Mullas (4.200 m). Namun ternyata Dian juga sudah berhasil mengumpulkan sebagian data pendakian puncak Aconcagua melalui rute Polish Glacier, yang kemah induknya ada di Plaza Argentina (4.200 m). Ketika kemudian kami bertemu dengan beberapa pendaki legendaris dunia ketika itu dan mendapatkan data-data yang lebih akurat, tentu menyebabkan kami dan Norman sebagai Ketua Tim Pendakian menjadi berpikir lain. Pada akhirnya, setelah diskusi di antara anggota tim dengan mempertimbangkan penjelasan dari Doug 176 / DARI TANGAN PERTAMA

Scott serta kalkulasi paling realistis saat itu, kami kuatkan tekad untuk mengambil rute Polish Glacier Traverse atau dikenal juga dengan sebutan rute False Polish. ••• Persis seperti masa-masa awal pacaran, segalanya terasa indah. Perjalanan menuju kemah induk terasa sangat berkesan dengan kehadiran Duta Besar Indonesia untuk Chile, Bp. Soekarno. Beliau menemani kami menyusuri tepi Sungai de Vacas, hingga sekitar 2 km perjalanan. Bapak Duta Besar memandang positif kegiatan pendakian ini, terlebih dengan misi menancapkan Merah Putih di puncak tertinggi Benua Amerika Selatan tersebut. Sebuah upaya patriotisme dan cinta tanah air dari para pemuda yang tentu saja diperlukan bagi sebuah bangsa yang sedang membangun untuk mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Tantangan pertama datang ketika menyebrang Sungai de Vacas tidak jauh dari Shelter 2, Casa de Piedra. Dian tergelincir dan sempat terbawa arus beberapa belas meter. Saya yang berjalan persis di belakangnya langsung terjun ke sungai dan berusaha mengejar hingga akhirnya berhasil menggapai Dian. Segera Dian saya angkat ke batu besar di tengah sungai dan untuk menormalkan suhunya, kami bungkus tubuh Dian dengan kantung tidur. Air sungai memang sangat dingin mengingat bersumber dari gletser atau sungai es. Norman yang saya kenal di beberapa perjalanan ekspedisi sebelum ini, seperti di Sungai Progo bagian bawah, Yogyakarta maupun Sungai Alas dan Teripa, Aceh, tampak tenang dan mengabadikan kejadian tersebut dengan kamera videonya. Di sini saya melihat adanya perbedaan sikap antara yang berpengalaman dengan yang amatir. Saya jadi ingat reaksi Norman ketika melintasi jembatan di atas Sungai Progo. Ketika itu terlihat satu perahu karet akan menuju jeram Budil, salah satu jeram berbahaya di sungai tersebut. Segera dia meminta David Agustinus Teak yang berada di belakang kemudi jip Hard Top kami untuk putar arah dan kembali menuju tepi sungai. Ternyata Norman yang melihat perahu karet dengan kondisi tidak memenuhi standar berarung jeram terlebih untuk melewati jeram Budil, langsung berpikir bahwa perahu tersebut pasti terbalik. Dan ternyata benar! Tepat ketika kami berhasil kembali sampai di tepi sungai, perahu yang melewati jeram Budil tersebut terbalik. Syukurlah kami berhasil menolong salah satu pengarung jeram yang terpelanting keluar perahu dengan melemparkan life line (tali penyelamat). / 177KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Berbeda dengan reaksi Norman ketika melihat Dian yang terseret arus Sungai Vacas yang dingin. Saya dibiarkan mengejar Dian sendirian, sementara dia asyik mengabadikan “kecelakaan” tersebut dengan kamera videonya. Tampaknya Norman sudah mempelajari situasi sungai sebelum menyeberang dan dia sudah memperkirakan bahwa di antara kami ada salah satu yang akan hanyut terseret arus sungai yang dingin. Dia sudah siap dengan kamera videonya! ••• “Cak, elo harus yakin dengan keputusan dan jalan yang akan elo tempuh, apapun risiko yang akan elo hadapi,” bisik Norman ketika kami sama-sama terbaring di tempat tidur sebuah rumah sakit di Mendoza, Argentina. Becak adalah panggilan sayangku di lingkungan teman-teman Mapala UI. Saat itu kami sudah kembali ke kaki gunung setelah lebih dari tiga hari berjuang menghadapi badai yang menyergap upaya kami di ketinggian sekitar 6.100 meter saat melakukan summit attact Aconcagua. Kami berdua terkena frost bite atau radang beku di beberapa ruas jari tangan kami, saat menjemput Fayez yang tergelincir di salah satu lereng cukup terjal. Memang keputusan kita dalam bergiat di alam bebas terutama di aktifitas yang ekstrim menuntut persiapan dan perencanaan yang matang. Keberanian dan kekuatan saja tidak cukup. Kehati-hatian harus dimulai sejak awal hingga akhir. Kalau tidak, maka risiko dan penyesalan boleh jadi akan menimpa kita. Demikian kata Edward Whymper. Saya percaya Norman Edwin dan Didiek Samsu adalah sosok petualang yang meyakini bahwa keberanian dan kekuatan tidaklah cukup dalam menjalani aktivitas ekstrim. Kehati-hatian dan keselamatan sudah menjadi syarat mutlak yang mereka jalankan sejak awal. Saya yakin sikap itu mereka pegang teguh bahkan menjelang raga keduanya terbujur kaku dan tewas beberapa meter menjelang Puncak Aconcagua. Mereka memang memutuskan untuk mendaki ulang gunung tertinggi di benua Amerika Selatan itu dalam upayanya mengibarkan Merah Putih di sana. RUDI NURCAHYO 51 tahun, anggota Ekspedisi Aconcagua 1992 bersama Norman Edwin (alm) dan Didiek Samsu (alm). Pada 1997 juga menjadi bagian dari Tim Ekspedisi Everest Indonesia, bersama Kopassus. Saat ini bekerja sebagai Business Partner Allianz Indonesia. 178 / DARI TANGAN PERTAMA

MELANJUTKAN HASRAT BERTUALANG SOFYAN EYANKS M“Merapi meletus, banyak korban di Turgo. Ayo kita nge-SAR.” Begitu ajakan beberapa rekan pencinta alam Yogyakarta sesaat setelah erupsi Merapi, 22 November 1994. Pesan dari mulut ke mulut itu mengantarkan puluhan anggota pencinta alam dari berbagai organisasi berkumpul dan telah siap untuk melakukan misi SAR. Pagi itu tidak ada berita tentang tanda-tanda geliat Merapi di koran lokal seperti umumnya. Sabtu malam pun masih banyak anak-anak pencinta alam yang nongkrong di rumah Mbah Maridjan atau kawasan wisata Kaliadem yang dikenal dengan Bebeng. Semua seakan berjalan normal. Mungkin juga karena suasana ramai dan kegembiraan yang dipenuhi tawa canda khas anak gunung, menyebabkan berbagai tanda alami tidak begitu dirasakan. Secara bergelombang, relawan dari berbagai organisasi pencinta alam yang sebelumnya berkumpul di Sekretariat Bersama PPA DIY mulai menuju lokasi. Namun, tidak banyak yang bisa dilakukan. Jalan menuju dusun Turgo, Tritis atau Ngandong ditutup. Jalanan dijaga TNI dan polisi. Tidak ada yang boleh lewat kecuali petugas. Kami para pencinta / 179KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

alam, sekalipun telah mencoba bernegosiasi untuk melakukan pencarian dan penyelamatan sama sekali tidak mendapatkan izin. Sementara itu pos pengungsian yang tersebar di beberapa dusun, selain dipenuhi oleh warga yang mengungsi, juga penuh relawan. Hampir tidak ada peran yang bisa dilakukan, apalagi jika dikaitkan dengan kapasitas saat itu dalam menangani pengungsi. Mengingat kondisi saat itu, timbul amarah yang begitu besar. Tidak saja yang kurasakan, tapi juga puluhan atau ratusan orang kecewa karena merasa dihalangi untuk bisa berbuat baik. Merasa telah siapkan diri terjun ke lokasi bencana. Namun, amarah yang menggelora tersebut bisa jadi menjadi lelucon saat refleksi diri. Apa yang bisa kita lakukan di sana? Apakah kita memahami karakteristik ancaman erupsi gunung api yang telah memporak- porandakan sebagian Dusun Turgo? Apakah kita punya kemampuan menangani luka bakar parah akibat awan panas? Apakah kita memiliki perlengkapan yang memadai untuk melakukan upaya pencarian dan penyelamatan? Ditolak berbuat baik menjadi pengalaman yang begitu membekas. Saat WALHI Yogyakarta mengundang seluruh anggota, di mana hampir sebagian besar organisasi pencinta alam di Yogyakarta saat itu adalah anggota WALHI Region Yogyakarta, terbuka ruang peran yang baru. Peran yang jelas berbeda dari yang terbayang selama ini, yakni pencarian dan penyelamatan atau search and rescue (SAR). Ternyata kebutuhan pengungsi itu tidak hanya tidur dan makan. Pengungsi butuh aktivitas. Anak-anak yang mengungsi pun butuh ruang belajar. Makanan perlu dilihat dari sisi kecukupan nutrisinya, air bersih dan sanitasi yang sehat maupun segudang prinsip-prinsip yang harus terpenuhi. Bagaimana dengan keamanan aset warga yang ditinggalkan selama mengungsi, siapa yang menjamin keamanannya? Wow, begitu banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Tidak sekedar evakuasi atau ngurus dapur umum ternyata. Apakah kita akan mengambil peran itu atau tidak, menjadi pilihan masing-masing tentunya. MERAPI, SEKOLAH ALAM KAMI Pasca erupsi, Dusun Turgo dihapus sebagai bagian dari wilayah administratif Desa Pargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta karena dianggap lokasi berbahaya. Dusun harus 180 / DARI TANGAN PERTAMA

dikosongkan dan seluruh warga diperintahkan untuk relokasi. Warga punya pilihan sendiri. Turgo, menurut penuturan para leluhur, merupakan wilayah paling aman karena dilindungi. Merapi adalah saudara muda dari Turgo. Bibi biyung atau kakak dari ibu adalah istilah yang disandarkan pada Turgo sebagai saudara perempuan tua. Dan saudara muda, Merapi, tidak mungkin mencelakai saudara tuanya. Warga Turgo sangat meyakini amannya wilayah pemukiman mereka. Bahkan setelah awan panas yang memporak-porandakan sebagian dusun tersebut. Karena itu lah mereka enggan dipindahkan. Selain alasan penghidupan mereka yang memang berada disana tentunya, serta adanya pantangan meninggalkan tanah leluhur. Menyelami keyakinan yang tampak tidak logis menjadi pengalaman baru bagiku sebagai anak sekolahan. Keyakinan yang tak masuk diakal kerap langsung diabaikan karena dianggap tidak penting. Sehingga jarang sekali ditemukan benang merah antara kearifan lokal dengan ilmu pengetahuan modern. Kesempatan beraktivitas bersama aktivis WALHI Yogyakarta dengan beragam latar belakang, termasuk ahli geologi, membuka jalan dalam memaknai berbagai kearifan lokal yang tampak tidak logis tersebut. Termasuk memaknai Turgo sebagai kampung aman dari erupsi Merapi. Padahal ketika itu tengah terjadi luncuran awan panas yang oleh masyarakat lokal disebut wedus gembel. Adalah Eko Teguh Paripurno dari KAPPALA Indonesia, salah satu anggota WALHI DI Yogyakarta yang juga dosen Geologi UPN Veteran Yogyakarta, yang secara sederhana mampu menerjemahkan benang merah kearifan lokal dan ilmu geologi. Menjadi masuk akal, kampung Turgo lama aman dari dampak Merapi karena keberadaan Gunung Turgo yang secara alamiah menjadi benteng dari awan panas. Beberapa titik memang menjadi lokasi rawan dan ditetapkan sebagai wilayah larangan melalui kearifan lokal. Pasar Setan atau Hutan Larangan, misalnya, dari sisi vulkanologi memang berpotensi terkena luncuran awan panas. Pemukiman yang terdampak merupakan pemukiman baru yang masuk dalam wilayah larangan. Tragedi Merapi 1994 membuka sedikit kesadaran tentang peran para pecinta alam. Merapi dan warga lereng Merapi tak pernah lelah memberikan apa yang dibutuhkan para pendaki. Tak peduli dari mana asalnya, agama, ataupun rasnya. Semua disambut dengan suka cita dengan keramahan. / 181KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Rumah-rumah warga selalu terbuka untuk menjadi tempat persinggahan. Teh hangat manis dan cemilan dari hasil kebun sudah dipastikan menjadi suguhan pengantar obrolan. Tidak ada tarif untuk itu, karena semuanya bentuk keramah-tamahan warga lereng Selatan Merapi. Saat ada kecelakaan di gunung, tanpa diminta puluhan warga berbaur menjadi bagian dari tim pencari. Juga tidak ada ongkos untuk itu. Termasuk penggunaan berbagai fasilitas dan aset warga. Lalu, timbal balik apa yang dapat kita berikan? Sudahkah kita berbuat, paling tidak ikut mencari jalan keluar, bagi berbagai persoalan yang mereka hadapi baik masalah pertanian, ternak, pendidikan, atau kesehatan warga? Refleksi diri soal peran pencinta alam dalam komunitas seputaran tempat beraktivitas pencinta alam begitu menohok saat hari kelima Pelatihan Lingkungan untuk Kelompok Pencinta Alam Indonesia (PL- KAPAI) yang diselenggarakan KAPPALA Indonesia, sembilan bulan sebelum erupsi Merapi terjadi. Kita tidak pernah tahu ada masalah penyakit kambing yang dihadapi warga lereng Merapi yang menyebabkan kematian dan harga kambing begitu murah. Kita juga tidak pernah menjadikan topik diskusi harga kopi saat itu jatuh. Belum lagi persoalan warga yang selalu bingung mencari kendaraan jika ada yang harus dibawa ke rumah sakit yang berjarak lebih dari 20 km dengan kondisi jalan yang buruk. Kami, peserta pelatihan hanya tersenyum getir saat mendapatkan kenyataan dari hasil diskusi singkat tersebut. Ada rasa malu karena yang kami pikirkan hanya persoalan sampah di gunung, ngomel karena pendaki mengambil bunga edelweiss atau melakukan vandalisme, khawatir mendengar pendaki yang sakit atau tersesat karena tidak melakukan persiapan pendakian dengan baik. Sementara buat warga yang selalu direpotkan, kami belum banyak berbuat. Hanya sekali-kali saja kami mengadakan bakti sosial atau saat terjadi bencana. “MY WORK - MY ADVENTURE” Merapi menunjukkan arah jalan yang kupilih. Tempaan alam merapi, dari mulai pendidikan kepencintaalaman, terlibat dalam operasi SAR, maupun bersama komunitas Merapi mengasah daya kritis menyikapi berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Menjelang akhir Desember 2004, saat asyik berdiskusi mereka-reka arah kebijakan pengelolaan kawasan Merapi sebagai Taman Nasional bersama warga Merapi, masuk pesan singkat. “Posisi di mana? Ditelepon 182 / DARI TANGAN PERTAMA

gak aktif. Bisa ke Jakarta besok? Aceh tsunami.” Hampir seminggu berkeliling di desa-desa lereng Merapi menjadikan tak sempat membaca berita. Proses yang mengangkangi regulasi yang berlaku dan prinsip partisipatif dalam proses menjadikan kawasan Lereng Merapi dan Merbabu menjadi taman nasional, menjadi keharusan untuk disikapi. Bukan persoalan setuju atau tidak setuju saja, tapi bagaimana kesiapan warga berbasis pengetahuan dan kesadaran kritis. Pilihan tetap berada di tangan warga berdasarkan konsekuensinya. Tapal batas lahan warga dan zonasi adalah salah satu yang harus jelas tentunya, karena akan mempengaruhi tata kelola ke depan. Jam telah menunjukan pukul 02.00 dini hari. Dingin khas lereng Merapi langsung menyergap saat keluar dari rumah Pak Kadus di Desa Dukun, Kabupaten Magelang. Aku memutuskan untuk pulang ke Jogja. Pesan pendek yang kuterima sangat mengganggu pikiran. Telpon balik tidak bisa aku lakukan karena sinyal yang kritis dan pasokan pulsa tidak memadai. Setelah sampai rumah kurang lebih jam 3.30, saya langsung menjawab pesan singkat. Hanya beberapa saat, telepon berdering dari Eksekutif Nasional WALHI. Bercerita tentang besarnya dampak tsunami yang terjadi di Aceh menurut berita di CNN. Saya berharap kawan- kawan aktivis Aceh dan keluarganya selamat. “Elo bisa kan nanti ke Jakarta? Sepagi mungkin ya. Carilah pinjaman buat ongkos dulu. Paling enggak, relawan yang mau berangkat ke Aceh elo kasih pembekalan.” Tak ada kesempatan menjawab selain, “Iya, saya usahakan jam lima pagi ke bandara”. Satu hari pasca tsunami, belum terlalu banyak hasil rekaman kondisi wilayah Aceh di pemberitaan. Namun gambaran besarnya dampak yang ditimbulkan membuat merinding. Mesjid Raya Aceh berjarak lebih dari tiga kilometer dari pantai saja terdampak. Bagaimana dengan kampung- kampung yang langsung berbatasan dengan laut? Ada Ulee Lheue, Penayung, Lampuuk, Lampaseh, Alue Naga, dan lain-lain. Tak sanggup rasanya membayangkan besaran dampak yang ditimbulkan tsunami akibat gempa 8,9 skala Richter itu. Muhammad Ibrahim, Direktur WALHI Aceh adalah salah satu yang berada di puncak pikiran. Bagaimana sahabatku dan keluarganya? Keselamatannya menjadi harapan kami saat itu. Briefing buat relawan yang datang dari berbagai penjuru baru berakhir kurang lebih pukul satu dini hari. Dilanjutkan diskusi internal / 183KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

tim tanggap darurat koalisi masyarakat sipil yang menggunakan kantor WALHI Eksekutif Nasional sebagai sekretariat bersama. Saat itu itu diputuskan bahwa saya harus ikut serta menemani relawan yang akan diberangkatkan dengan berbagai moda transportasi. Tidak ada waktu untuk berpikir selain mengiyakan, sekalipun tidak ada baju ganti atau perbekalan lainnya. Prinsipnya, berangkat lalu yang lainnya menyusul. Karena memang tim sekretariat sedang dalam proses menyiapkan segala kebutuhan. Terlibat dalam penanganan kemanusiaan di Aceh akhirnya menjebak diri sehingga tidak bisa keluar untuk menangani isu manajemen risiko bencana pilihan. Dan rentetan kejadian pasca gempa Yogyakarta, Klaten dan erupsi Merapi tahun 2006, serta tsunami di Pandaran rasanya tak berkesudahan. Bencana berskala besar seakan mengantri di negeri yang sebelumnya lebih dikenal dengan zamrud khatulistiwa. Negara kita bak kolam susu, di mana kail dan jala cukup menghidupi anak-anak negeri. Tiada badai dan topan. Indonesia adalah tanah surga, di mana tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Sepenggal lagu Koes Plus merupakan cermin, bagaimana kayanya negeri ini. Lebih dari 12 tahun sekolah, hanya kekayaan dan keindahan yang menjadi topik dalam mata pelajaran. Nyatanya, di balik kekayaan sumberdaya yang luar biasa, terselip ancaman yang berpotensi menjadi bencana mengerikan. Kelalaian dalam mengelola dua potensi akan berakhir menjadi air mata. KEMBALINYA HASRAT BERPETUALANG Tahun 2006 adalah terakhir mendaki gunung. Mendaki untuk memenuhi hasrat yang tak pernah pudar di tengah berbagai kesibukan. Gunung Tampomas (1.684 mdpl) di Sumedang jadi tujuan. Jaraknya tak sampai tiga kilometer dari rumah tinggal kami saat itu di wilayah Kecamatan Conggeang. Aku hanya bisa memandang anggunnya gunung-gunung dan tebing atau mendengar informasi adanya jeram dan goa waktu berkesempatan mengunjungi banyak daerah. Bersemangat mencari teman untuk bisa bersama-sama menjajal yang belum pernah atau sekedar mengulang kenangan jika pernah melaluinya. Tapi itu hanya berhenti di obrolan karena jadwal kegiatan lain telah menanti. Risiko kerja di WALHI yang tak punya hari libur. Itu selalu menjadi alasan penghibur diri saat kembali gagal rencana untuk mendaki atau aktivitas alam bebas lainnya. 184 / DARI TANGAN PERTAMA

Setelah selesai bekerja di WALHI Nasional April 2008, pilihan menjadi pekerja lepas tentu membuka ruang gerak. Pekerjaan kita yang pilih, mengerjakan pun kita yang akan atur. Begitu pikiranku saat itu untuk memenuhi dahaga kembali ke alam bebas. Apalagi Aceh dengan berbagai alam yang ditawarkan. Leuser, Sungai Alas, atau jajaran goa di kawasan karst Tamiang atau jajaran tebing ciamik di pinggiran Danau Laut Air Tawar, Aceh Tengah. Betul bak berada di surga dunia petualangan. Waktu pun berlalu sampai menjelang masa akhir kontrak di penghujung tahun 2009. Belum satu pun perjalanan yang menjadi impian terwujud. Jangankan Leuser yang membutuhkan kurang lebih 14 hari, Gunung Selawah dan Burni Telong pun belum sempat dikunjungi. Akankah tersia-siakan kesempatan langka ini? Hasrat itu begitu mengganggu di sela-sela menyusun laporan, menyiapkan dokumen, dan bukti transaksi yang masih menumpuk. Di kontrakan berdinding kayu di jajaran ruko pasar Bener Meriah, mulai kuhitung kembali sisa waktu yang ada. Leuser menjadi daftar yang paling pertama dicoret. Selain membutuhkan waktu yang panjang, faktor lain adalah tim dan tentu biaya yang tidak murah. Tebing Laut Air Tawar yang hanya berjarak kurang dari 10 km pun menjadi bagian yang tercoret karena membutuhkan peralatan khusus dan tim yang solid. Demikian juga mengarungi gemulai jeram Sungai Alas. Burni Telong dan Seulawah adalah yang paling mungkin. Semalaman kusingkirkan semua urusan pekerjaan. Mulai lah mencari informasi melalui internet jalur pendakian Burni Telong. Tidak begitu banyak informasi tersedia. Karena google lebih akrab dengan gunung- gunung seputaran pulau Jawa atau gunung-gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl. Asyiknya mencari informasi bak memangkas waktu. Kumandang ayat suci Al Quran mulai menggema menembus dingin kota penghasil kopi nomor wahid. Setengah jam kemudian disusul suara Adzan Subuh. Ada rasa bangga saat aku beranjak tanpa menutup laptop. Bangga mulai bangkitnya semangat kembali ke alam tidak hanya sekedar kata- kata. Tapi mulai ada langkah berikutnya yang dilakukan secara sungguh- sungguh. Dan ini harus terjaga sampai pelaksanaan nanti. Bukankan mencapai puncak gunung itu bukan tujuan akhir dari sebuah pendakian? Sekalipun kerap kata-kata itu lebih tepat sebagai ‘penghibur diri’ saat kita tak lagi memiliki kesempatan untuk mencapainya. Aku pun mencoba menghubungi beberapa peserta pelatihan pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat yang diadakan Dinas / 185KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Sosial Bener Meriah untuk anggota TAGANA, untuk mendapatkan informasi selain yang tersedia di internet. Kebetulan beberapa orang pernah mendaki. Dan saat aku tawarkan untuk jalan bersama, mereka sambut dengan suka cita. Dari rencana awal yang akan menemani tiga orang, saat pelaksanaan telah terkumpul 13 orang. Tiga perempatnya belum pernah naik gunung. Aku hanya tersenyum hambar melihat kenyataan. Ada rasa khawatir dalam pendakian. Bukan meragukan kemampuan mereka untuk berjalan dengan medan mendaki. Karena jika itu, aku yakin kemampuan mereka jauh di atas kemampuanku atau mungkin kemampuan para pendaki kebanyakan. Karena mereka sehari-hari naik turun medan mendaki khas daerah pegunungan. Kekhawatiran pertama terkait perbekalan, baik makanan, alat masak dan bahan bakar, alat penerangan, ketersediaan air bersih juga perlengkapan standar pendakian. Logistik yang kusiapkan hanya untuk empat orang, standar pendakian dua hari. Dengan sedikit menekan perasaan tidak enak hati, aku mencoba mengajak diskusi sebelum berangkat. Mengecek perbekalan dan perlengkapan. Tepat dugaanku, mereka menganggap naik gunung seperti layaknya jalan-jalan di tempat wisata umum. Tidak banyak yang mereka siapkan karena menganggap perjalanan hanya pulang pergi dalam satu hari. Berangkat pagi, sore sudah sampai kembali di desa terakhir. Di gubuk di tengah kebun kopi yang teramat luas, aku pun mengajak diskusi tentang prosedur pendakian yang aman. Dari bahasa tubuh, sebagian mengabaikan alias tidak percaya. “Ini daerah kita cuy, kita lebih tahu daripada kamu,” mungkin itu yang ada dipikiran mereka. Atau, bisa jadi mereka punya prinsip, “Sekali layar berkembang, pantang untuk kembali.” Tawaran untuk menunda pendakian tidak diterima forum. Bahkan mereka tetap akan mendaki jika aku tidak jadi ikut. Akhirnya disepakati tetap lanjut. Aku pun mulai membagi logistik yang ada dan mulai mengatur ketersediaan air. Meminta beberapa orang untuk saling mengawasi. Dan yang terpenting, jangan sampai terpisah dari rombongan. Kami baru mulai melakukan pendakian jam delapan pagi, telat dua jam dari rencana awal. Lepas dari hamparan kebun kopi, kami mulai memasuki hutan sekunder. Tim mulai terpisah-pisah. Yang merasa kuat terus berjalan seakan sedang mengikuti lomba kebut gunung. Sedangkan yang lain yang mulai merasakan perbedaan berjalan biasa 186 / DARI TANGAN PERTAMA

dengan mendaki, mulai terseok-seok mengatur nafas. Memasuki Pos I, sambil ngobrol santai, saya kembali mengingatkan tentang kebersamaan demi keselamatan. Namun kondisi kembali seperti awal. Yang merasa kuat ternyata tidak cukup sabar menunggu kawannya. Bahkan di Pos II yang seharusnya menjadi titik kumpul, tidak dijadikan sebagai tempat untuk sekedar beristirahat. Seluruh tim baru kembali berkumpul di Pos IV sebelum puncak. Tim yang mendaki seolah dikejar debt collector itu, menunggu pun karena kehabisan air minum. Aku meminta salah satu anggota tim yang paling tua dari sisi usia untuk mengingatkan kembali tentang kebersamaan dan keselamatan. Semua air yang masih tersisa dikumpulkan, selanjutnya mulai diatur pembagiannya. Sepanjang jalur pendakian di Burni Telong tidak tersedia sumber air bersih. Untuk itu, mengelola ketersediaan air menjadi kunci kenyamanan perjalanan. Sambil beristirahat, obrolan santai pun akhirnya menjadi semodel kursus lapangan. Secuil pengetahuan tentang survival mulai dibagikan. Demikian juga tentang manajemen perjalanan dan teknik pendakian. Situasi nyata yang langsung dihadapi sangat membantu mengantarkan pemahaman prinsip-prinsip paling mendasar. Beberapa tanaman yang menyediakan air atau bisa dimakan langsung dipraktekan. Beberapa orang bahkan berkumpul untuk membuat maket bivak alam dan saling ejek karena hasilnya dianggap buruk. Pendakian pun dilanjutkan setelah sebelumnya mulai melakukan refleksi diri, siapa yang tidak lagi sanggup untuk melanjutkan perjalanan. Satu orang menyatakan tidak bisa ikut naik karena kakinya kram. Untuk menemani, dua orang diminta kesediaannya menjadi relawan. Jika tidak ada, maka akan diputuskan semuanya harus turun. Kata ‘relawan’ ternyata begitu mujarab. Relawan bagi TAGANA adalah satu ‘mantra’. Kata yang memang telah tertanam di jiwa sejak awal mereka bergabung. Dua orang merelakan diri untuk tidak ke puncak menemani temannya yang sakit. Toh sebagai orang lokal, kapan pun bisa untuk kembali ke sini, begitu tekadnya. Jam 14.16, akhirnya kami sampai puncak Burni Telong. Gunung api aktif yang jika berulah dapat berisiko terhadap sebagian besar penduduk Kota Kabupaten Bener Meriah. Tidak lama kami di puncak. Setelah membetulkan posisi beberapa puluh bendera Merah Putih yang dipasang pada hari Kemerdekaan RI, kami pun turun. Kembali bergabung dengan tiga orang rekan di Pos IV dan turun bersama-sama. / 187KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Tidak ada lagi yang berlari kencang mengikuti birahinya untuk cepat sampai di desa terakhir. Menjelang gelap, pelajaran berikutnya dimulai. Tidak cukup tersedianya penerangan menjadikan perjalanan turun menjadi terhambat. Obrolan penting kembali mengalir. Bagaimana persiapan perjalanan harus tetap dilakukan, sekalipun ditargetkan tidak melewati malam. Satu headlamp dan tiga senter untuk 13 orang memang sesuatu banget. Entah berapa kali anggota tim terjatuh, dari mulai menjadi bahan tertawaan, sampai no comment yang berarti derita ditanggung masing-masing saja, karena rasa lelah. Jam telah menunjukan pukul satu dini hari ketika kami sampai desa terakhir. Pengalaman ini begitu membekas bagi hampir seluruh tim. Ketidaksiapan, menganggap sepele sesuatu atau ego menjadi pembahasan yang berlanjut. Keingintahuan yang besar untuk menjadi lebih baik dengan banyak bertanya dan meminta bahan bacaan memunculkan rasa bangga yang luar biasa. Terbersit dalam pikiran, apakah model pendidikan dasar bisa dikemas dengan cara seperti ini? Tinggal mengatur, bagaimana standar keamanan bagi peserta pendidikan dasar dan tentu tindak lanjut setelah rasa ingin tahu mulai terbuka. TITIK BALIK Pendakian Burni Telong pada 2009 menjadi titik awal kembalinya hasrat berkegiatan di alam bebas. Saya berharap perjalanan seperti ini dapat tetap dilakukan seiring dengan kewajiban mencari nafkah. “Kata-kata tanpa implementasi adalah omong kosong,” begitu kira-kira ungkapan tentang sebuah mimpi. Atau sang Maestro Rendra si Burung Merak lebih indah merangkainya dan menjadi salah satu bait lagunya Kantata Takwa, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Ya, omong kosong jika kita mengatakan tidak punya waktu untuk memenuhi hasrat kembali berkegiatan di alam bebas. Kemalasan untuk menjalankan lah yang menjadikan angan-angan itu hanya berhenti di keinginan dan kata-kata. Kesempatan menjajaki daerah eksotis di Indonesia pun tak lagi gersang. Setiap kesempatan tidak lagi tersia-sia untuk memenuhi hasrat. Tidak hanya sekedar mendaki gunung, tapi ada sesuatu yang bisa kita sampaikan untuk menjadi bahan renungan bersama. Paling tidak, kita bisa saling berbagi informasi dan pengalaman dengan 188 / DARI TANGAN PERTAMA

teman dan masyarakat yang ditemui di perjalanan. Berbagi ide dan mengembangkannya dalam obrolan yang hangat. Memadukan hobi dan pekerjaan menjadikan ongkos berkegiatan di alam bebas tidak lagi mahal. Beberapa gunung mulai bisa kucumbu di sela-sela menjalankan kewajiban nyambut gawe. Binaiya di Maluku, Kerinci di Jambi, Rinjani dan Tambora di NTB, Semeru di Jatim, Latimojong di Sulawesi Selatan, Seulawah di Aceh, Ile Api, Egon, Ranaka dan Kalimutu di NTT dan Kaba di Bengkulu. Riam Udang dan Riam Panjang serta beberapa riam-riam di sepanjang sungai Mahakam Ulu juga dapat kunikmati tanpa harus meninggalkan pekerjaan. Atau indahnya berperahu menyusuri hutan di Danau Sentarum Kalimantan Barat juga Danau Tempe. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan kawan? SOFYAN EYANKS 48 tahun, anggota Perhimpunan Pencinta Alam Indonesia Sanggabuana. / 189KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

TERSESAT DI BELANTARA KALIMANTAN SONNY ‘PECHON’ SUPRIYADI PPerjalananan ke Pulau Kalimantan ini terjadi sekitar tahun 1994-1995. Saat itu saya mewakili Rakata Adventure untuk menjadi trip leader bagi para voluntir dari Inggris yang akan membantu proyek konservasi orangutan di Tanjung Puting. Sebelum berangkat, mereka wajib mengikuti pembekalan tentang teknik hidup di alam bebas agar memiliki pengetahuan mengenai penjelajahan hutan dan bertahan hidup ketika tersesat di sana. Jumlah voluntir saat itu 25 orang termasuk ketua ekspedisinya, Richard. Untuk kegiatan penjelajahan hutan di kawasan Tanjung Puting, Richard menunjuk Edward sebagai penanggungjawab, sedangkan saya sendiri sebagai orang kedua. Setelah memperoleh penjelasan dari Richard, seluruh peserta bersiap diri dipimpin oleh Edward yang saat itu berstatus anggota aktif dari Angkatan Darat Inggris (British Army). Rencananya penjelajahan akan dilakukan berjalan kaki di hutan selama dua sampai dua setengah hari. Tantangan dari rute yang jarang dilalui orang itu adalah minimnya informasi. Maka, saya mengusulkan agar setiap orang membawa 190 / DARI TANGAN PERTAMA

perbekalan air bersih antara 5-6 liter. Dengan demikian kebutuhan minimal dapat terpenuhi seandainya di perjalanan kesulitan memperoleh air bersih layak minum. Menurut pengalaman sebelumnya, di daerah dataran rendah banyak hutan gambut dan airnya payau. Sesuai informasi, titik awal perjalanan menjelajah hutan akan dimulai dengan menumpang perahu bermotor yang disebut klotok. Mungkin karena bunyi mesin pendorongnya yang terdengar seperti bunyi tok otok otok. Titik awal itu diperkirakan terletak sekitar empat jam ke arah hulu sungai. Petualangan seru dan menegangkan telah dimulai begitu klotok mulai meluncur membelah air. Perahu berukuran kecil, ramping, dan panjang sekitar delapan meter itu lincah menerabas sungai yang kadang berbatu dan berkelok-kelok. Jangan pernah membayangkan terbalik, sebab kami tidak memakai pelampung. Sebagai alat survival di air, para peserta penjelajahan telah diajarkan tentang cara menggunakan ransel sebagai pelampung. Pertama, masukkan kantong plastik ukuran besar ke dalam ransel. Kedua, masukkan pakaian dan perbekalan lainnya ke dalam plastik. Ketiga, ikat rapat bagian atas plastik. Dengan cara itu, ransel dapat dipergunakan untuk mengapung di air. RAWA PEMBAWA DERITA Setelah empat jam mengarungi sungai yang berkelok-kelok dan sedikit menegangkan karena memasuki cabang-cabang sungai yang lebih kecil, kami kesulitan menemukan titik pendaratan. Semua pinggiran sungai ditumbuhi pepohonan yang rapat. Akibatnya, waktu perjalanan dengan klotok molor. Kami baru bisa menemukan lokasi yang tepat untuk mendarat setelah mengarung sungai selama enam jam. Itu pun dengan cara menceburkan diri ke sungai yang agak dangkal karena klotok tidak bisa merapat. Perut yang keroncongan dan tegang selama dalam perjalanan membuat kami begitu lahap menyantap bekal makan siang masing- masing. Setelah itu Ed, panggilan Edward, memutuskan bahwa tim ekspedisi segera berangkat dengan arah koordinat yang telah ditentukan untuk menuju kemah sementara (flyng camp). Medan yang ditempuh ternyata cukup berat. Selain belum ada jalan, kami juga harus menembus rawa-rawa dengan kedalaman air setinggi lutut. Karenanya kami mengatur anggota untuk bergantian di posisi depan sambil menebas ranting-ranting yang menghalangi jalan. / 191KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Selain semak yang padat, alang-alang tumbuh dengan tinggi sehingga memerlukan energi untuk menyibaknya. ‘’Oh my God!’’, terdengar jeritan dari arah depan. Setelah dicek, rupanya ada orang yang kakinya terkena sabetan parangnya sendiri. Padahal mereka telah diajarkan agar menyabetkan parang ke arah luar atau menjauh dari tubuh. Beruntung lukanya tidak parah. Setelah dibebat, posisinya digantikan orang lain. Begitu seterusnya, hingga diputuskan berhenti. Dan, pada hari pertama ini dua orang terluka oleh parangnya sendiri. Begitu menemukan lokasi datar yang kering dan terbuka berukuran sekitar 1x2 meter saya memutuskan berhenti. Jam sudah menujukkan pukul 4 sore. Namun Ed bersikeras tetap melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi yang lebih luas. Ketegangan pun terjadi. Saya tetap dengan argumen, bahwa dalam 1-2 jam ke depan medan tidak akan berbeda banyak, tetap berupa rawa-rawa. Selain itu, di bawah pohon-pohon hutan yang tinggi dan rapat, kegelapan akan lebih cepat terjadi. Sehingga lebih aman membangun kemah sekarang, mumpung masih terang. Spirit tim tetap terjaga bila kualitas istirahatnya baik. Akhirnya, setelah saya tetap bersikukuh dengan argumen yang logis, Ed setuju. Untuk tidur semua peserta harus menggunakan hammock, menggantung di antara pepohonan dan dilindungi ponco di bagian atasnya. Makan malam disiapkan di dapur umum darurat berukuran 1x2 meter, yang merupakan satu-satunya lokasi datar dan kering. Setelah makan malam, kami menyalakan api unggun dan melakukan evaluasi. Hasilnya, disimpulkan bahwa hari pertama cukup baik, tetapi melelahkan. Sekitar jam sembilan malam, para anggota ekspedisi sudah tidur menggantung di hammock masing-masing dan tak terdengar suara orang bercakap-cakap lagi. Pagi hari sekitar pukul lima subuh, terdengar suara owa, burung- burung dan orangutan yang bersahut-sahutan dari berbagai arah di sekitar flying camp. Sangat merdu layaknya sebuah paduan suara. Mereka seolah membangunkan kami yang malam tadi tidur sangat lelap karena kelelahan setelah seharian menyusuri sungai dan menerabas hutan. Pagi itu, kami sarapan bubur sereal, selai, dan kopi. Rasanya luar biasa nikmat. Tapi jangan ditanya tentang mandi pagi, ya. Nggak pake soalnya, hahaha. Dan satu hari ke depan pasti badan basah lagi karena menerobos rawa dan mandi keringat. Satu-satunya rutinitas pagi yang harus dipenuhi adalah buang hajat. Nggak bisa nggak. Untuk itu masing- masing membawa tisu basah dan parang untuk menggali dan menutup 192 / DARI TANGAN PERTAMA

lubang tempat buang hajat. Biasanya peserta berjalan beberapa puluh meter di sekeliling flying camp, sehingga memperlebar jarak lubang hajat satu sama lain. Semua peserta dengan semangat mengemas barang-barangnya. Pakaian kering yang dipakai untuk tidur dilepas dan diganti dengan pakaian trekking bekas kemarin yang masih basah, termasuk sepatu dan kaos kaki. Nggak ada alasan untuk menggantinya dengan pakaian baru yang masih kering karena rute selanjutnya masih tetap berupa rawa-rawa dan semak belukar. Entah untuk berapa jauh. Di medan rawa-rawa ini kami bergantian tugas untuk membuka jalan. Tentu saja tetap dengan kewaspadaan tinggi, karena tidak tahu seberapa dalam genangan di depan kami. Menjelang sore hari kedua ini sebagian peserta mulai kehabisan bekal air bersih. Mau nggak mau harus minum air payau. Setelah disaring, air tersebut diberi beberapa tetes cairan iodine untuk membunuh kuman dan bakterinya. Akibatnya, rasa air rawa yang payau jadi nggak karuan. “Puaah… Puahh….” Beberapa orang meludahkan air yang sudah masuk ke mulutnya. Namun, apa boleh buat, akhirnya terpaksa ditelan juga karena tidak ada sumber air bersih. Selain agak berbau tanah dan iodine, rasa air rawa itu memang tidak enak sama sekali. Akhirnya, tiba masa tiba akal. Sari jeruk sachet-an jadi dewa penolong. Rasa air berubah jadi asam manis walaupun tidak menghilangkan aroma yang bikin mual. Tapi lumayanlah, membuat kami bisa menelannya dengan lebih mudah. Hari ketiga semua berharap menjadi akhir penjelajahan. Namun, hingga siang hari kami belum menemukan titik penjemputan sesuai dengan perencanaan semula. Rute yang dilalui cukup berat dan rombongan berjalan lebih lambat karena ada beberapa peserta yang mengalami pusing dan mual-mual. Bisa jadi pusingnya disebabkan oleh dehidrasi karena menahan diri tidak meminum air payau. Seingat saya ada lima orang yang mengalami kondisi itu. Dokter yang ada di rombongan juga menjadi lebih repot karena harus mengobati orang lain, sementara dirinya sendiri juga mengalami kelelahan. Optimisme Ed menemukan titik penjemputan sekitar tengah hari tidak kunjung terbukti hingga akhirnya kami berhenti mendirikan flying camp lagi di tengah situasi yang hampir gelap dan dihantui oleh perasaan cemas akibat banyak yang sakit. Bersyukur saat itu perjalanan lebih ringan karena ilalang tidak begitu banyak dan hanya sesekali / 193KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

melewati medan basah yang tidak seberapa jauh jaraknya. Tanda-tanda mendekati tepi sungai sebagai tempat kami akan dijemput belum tampak. Biasanya di tepi sungai tumbuh ilalang dan semak yang subur. Namun medan di sini justru sedikit terbuka. Melihat hal ini Ed ngotot akan melanjutkan perjalanan. Tapi saya tidak setuju, sebab orang yang sakit akan semakin lemah kalau dipaksa berjalan lebih jauh lagi. Ed setuju dan memutuskan tim bermalam sebelum hari menjadi gelap. Malam itu, jumlah yang sakit bertambah jadi total sembilan orang. Mereka mulai muntah-muntah. Dokter pun semakin sibuk. Dan yang membuat semakin tegang adalah perbekalan air bersih peserta telah habis. Tinggal punya saya kurang lebih satu liter dan punya Ed setengah liter. Akhirnya, untuk menambah spirit pada yang sakit, air itu dibagi-bagikan ke semua peserta untuk mereka minum, meski hanya membasahi tenggorokan. Malam itu, di acara evaluasi sambil mengelilingi api unggun, Ed marah-marah lantaran merasa rute yang direncanakan oleh ketua ekspedisi, Richard, tidak bagus. Untungnya Richard tidak sedang bersama kami. Dia tinggal di camp induk di Tanjung Puting sehingga tidak mendengar suara Ed. Setelah amarahnya mereda, saya usulkan agar semua makanan peserta dihemat, karena kita tidak tahu berapa lama akan sampai di titik penjemputan. Mendengar ini tentu saja peserta shock. Apalagi mereka yang sedang sakit. Tapi, mau tidak mau, hal ini saya sampaikan agar tim lebih siap mental menghadapi situasi terburuk. Saya sampaikan juga bahwa untuk perjalanan berikutnya semua perbekalan orang yang sakit akan dibagi-bagi dan dibawakan oleh tim. Perjalanan dilanjutkan setelah sarapan pagi. Rutenya tetap mengikuti sudut aziumuth kompas yang diberikan oleh Richard sebelum berangkat. Sementara itu spirit tim terlihat agak menurun, karena masing-masing tahu bahwa perjalanan tidak bisa dipastikan untuk berapa hari lagi. Pergerakan sedikit lambat. Selain medan yang sulit juga karena semangat tim yang mulai menurun. Ditambah lagi para pengangkut barang yang membantu kami juga belum pernah sama sekali melewati daerah tersebut. Klop sudah permasalahan yang kami hadapi. Beberapa kali peserta perjalanan harus naik ke pohon yang tinggi untuk melakukan orientasi medan. Ilalang yang tinggi dan belukar yang rapat sangat membatasi pandangan ke depan guna menentukan titik bidik azimuth kompas. Maka, tidak ada pilihan lagi selain menjaga sudut 194 / DARI TANGAN PERTAMA

azimuth dengan memegang kompas di telapak tangan. Seandainya di tempat terbuka, bisa ditentukan sebuah titik bidik, misalnya sebuah pohon besar di arah azimuth kompas. Setelah itu tanpa memegang kompas, kami bergerak ke arah pohon besar itu dengan lebih leluasa tanpa kuatir kehilangan arah atau nyasar. Hari ini semangat Ed mulai terlihat sedikit mengendur. Biasanya dia ngotot meminta tim terus bergerak hingga menjelang gelap, kali ini tidak. Tim berhenti dan membuat flying camp sebelum gelap tiba. Malam itu peserta tidur lebih awal karena kelelahan. Menjelang waktu subuh saya menyalakan api unggun lagi untuk mengusir nyamuk dan rasa dingin. Ed dan kepala pengangkut barang juga ikut duduk di dekat api unggun. Pada kesempatan itu saya sampaikan rencana pergerakan selanjutnya di hari kelima. Fakta yang ada adalah mulai menipisnya perbekalan makan, kekurangan air bersih, dan mental peserta termasuk pengangkut barang yang drop. Saya menyarankan agar grup dibagi dua. Satu grup dengan Ed dan satunya bersama saya. Ed setuju dengan ide ini, tapi minta bersama yang sakit jalan di belakang. Saya diminta memimpin dan mencari jalan di depan ditemani oleh beberapa pengangkut barang. Tapi saya menolak idenya, sebab kalau saya buka jalan di depan dan dia nggak bisa membaca jejak saya akan percuma. Risiko tersesat semakin besar. Untuk itu saya minta Ed memimpin buka jalan di depan, saya akan menemani yang sakit. Dengan begitu tidak ada kendala bahasa dengan pengangkut barang jika terjadi sesuatu dengan yang sakit dan memerlukan pertolongan mereka. Ed setuju dan langsung bergerak ke depan ditemani beberapa peserta yang masih kuat, dengan sudut azimuth kompas yang telah disepakati. Tidak boleh mengubah arah. Itu intinya. Dan Ed melakukannya dengan sangat cepat. Sementara saya bersama dengan peserta yang sakit berjalan pelan ditemani dokter dan beberapa pengangkut barang. Jangan panik. Itulah salah satu prinsip yang diajarkan pada saat pelatihan jungle training di hutan Sukamantri, Jawa Barat. Namun, dalam kenyataannya, para peserta menjadi panik manakala menghadapi kondisi yang sebenarnya di lapangan. Kepanikan muncul manakala keluar dari zona kenyamanannya. Hal ini terjadi juga pada Ed, yang notabene adalah seorang serdadu Inggris. Rasanya masuk akal, karena situasi saat itu memang mencekam. Di tengah hutan Kalimantan yang belum terjamah manusia, / 195KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ketidakpastian untuk mencapai titik penjemputan menjadi momok yang menakutkan. Perjalanan yang direncanakan hanya memakan waktu dua setengah hari, sekarang sudah memasuki hari kelima. Tapi inilah serunya petualangan. Salah satu kepastian adalah ketidakpastian. Kepanikan para peserta jelas terbaca manakala evaluasi pada malam hari dilakukan. Mereka menanyakan perkiraan waktu tempuh dan kemungkinan pertolongan tim dari kemah induk. Kadang, suara mereka meninggi. Emosi. Ed pun demikian. Tapi saya mencoba menenangkan mereka dengan memberikan argumen yang logis. Seringkali terjadi kesalahpahaman karena kendala bahasa dan cara penyampaian. Namun, jika argumennya masuk akal, mereka akan menerima. Di tengah segala rasa yang dipenuhi ketidak pastian itu, tiba-tiba terdengar, “Tuiitttt….tuuittttt!!” Haaaa, suara peluit dari kejauhan Rasanya saat itu seperti disiram 196 / DARI TANGAN PERTAMA

dengan air segar. Para peserta yang tadinya nampak lemah, tiba-tiba menjadi bersemangat dan bergerak lebih cepat. Peluit yang ditiup Ed memberi tanda bahwa mereka sudah bertemu sungai atau malah bertemu dengan tim penjemput di titik yang telah ditentukan. Tak lama kemudian beberapa dari mereka kembali menjemput kami yang lumayan jauh tertinggal. Alhamdulillah. Beberapa peserta terlihat bergembira. Sebagian dari mereka menangis sambil berjalan menyongsong para peserta yang kembali untuk menjemput. Begitu tiba di tepi sungai sudah ada dua buah klotok menunggu. Richard dan Baba ada di sana menyambut dengan gembira. Semua peserta terharu dan banyak yang menangis. Saya dan Baba, partner kerja di Rakata, seperti biasa haha-hihi saja. Another job has been accomplished!! It could have been better, but hey... it’s life. Enjoy and learn from it! SONNY SUPRIYADI 51 tahun. Pendiri PT Rakata Alam Terbuka. Konsultan bisnis. / 197KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

MENUJU PEUCANG, UJUNG KULON SULISTYA PRIBADI KKabut tipis di tepi pantai masih tersisa kala itu. Rombongan kami baru saja bergerak lagi setelah makan pagi di Pantai Sanghyang Sirah, nama daerah yang terkesan angker dan berwibawa. Entah apa arti persisnya. Pernah kejadian seorang diver sakit lumayan parah berbulan-bulan lamanya setelah menyelam di dekat situ. Entah apa yang dia lakukan, tapi menurut cerita teman-teman sesama pecinta alam, dia sempat membuat marah ‘penguasa’ di sana. Ini hari kedua perjalanan hiking di Ujung Kulon. Kemarin pagi, sejenak setelah subuh dan saat matahari masih kelam, kami berangkat dari Labuan menuju Kecamatan Sumur di Ujung Kulon, dengan kapal ikan kecil menyusuri pantai di ujung Barat Pulau Jawa ini. Waktu itu 198 / DARI TANGAN PERTAMA


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook