Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dari Tangan Pertama

Dari Tangan Pertama

Published by binarsoeko, 2021-05-21 04:20:38

Description: Kumpulan cerita perjalanan di gunung, hutan, sungai dan laut.

Keywords: Adventure,Gunung,Hutan,Sungai,Laut,Wisata Alam,Koperasi,Petualangan,Indonesia,Pecinta Alam,Wisata Petualangan,Wisata Minat Khusus

Search

Read the Text Version

“Kamu gila! Kemarin ada sapu ranjau di situ dan bla bla bla bla….!“ katanya bernada tinggi sambil membelalakkan mata. Aku lemas, lututku tak mau kompromi lagi. Segera kucari kursi untuk duduk menenangkan diriku sendiri. Sosok si scarf kumal dan desa sepi tanpa penghuni tadi kembali berkelebat dalam ingatan. Ternyata, di koran itu dikabarkan bahwa kemungkinan akan terjadi baku tembak antar separatis muslim Thailand selatan dengan aparat angkatan bersenjata setempat di daerah Mai Kaen yang indah dan mengasyikan itu. Lokasi di mana aku bersandar santai di batang pohon kelapa menyedot susu kotak serta berfoto-foto menyimpan kenangan. Mai Kaen adalah salah satu basecamp kelompok separatis tersebut. Sang scarf kumal bersenjata tadi adalah seorang anggota separatis yang peduli dengan keselamatanku dengan memaksa mengayuh keluar dari daerah ranjau itu. Upayanya menjagaku telah menjadikan sosok asing itu sebagai saudara dalam hatiku walau aku tak mengindahkan peringatannya. Tuhan pun masih menyayangi kerasnya kepalaku. Ya, tanah selatan Thailand telah mengajarku lebih menghargai arti keselamatan, nyawa dan perlindunganNya. Ketidaktahuan itu adalah anugerah. Baru kusadari ketika aku sudah dalam keadaan aman. Bayangkan jika aku tahu berita ranjau serta baku hantam itu saat di tengah jalan tersebut, pastinya aku diserang ketakutan yang sangat walaupun tak bisa menghindar. Ketakutan serta kekuatiran kadang justru menjadi magnet atas hal-hal buruk yang tadinya tidak ingin menghampiri kita. Benar, ketidaktahuan itu anugerah yang membuatku jauh dari pikiran negatif hingga aku diantarkan oleh Tuhan dengan aman sampai ke tujuan. SARAT KENDALA YANG MENGASYIKAN Bersyukur bahwa kisah-kisah pemalakan oleh petugas di perbatasan tak pernah aku alami di sepanjang perjalanan. Bahkan petugas-petugas imigrasi Tiongkok yang berwajah dingin dan kaku, dengan sabar melayani beberapa pertanyaanku dalam bahasa Inggris campur bahasa Tarzan. Juga berusaha menjawabku dengan terbata dan kerap berpikir mencari kosa kata. Tekun pula menolong menuliskan huruf-huruf kanji Tiongkok dari beberapa gambar simbol penting seperti rumah sakit, kantor polisi dan sebagainya yang kubuat untuk berkomunikasi selama dalam penjelajahan di sana. Beberapa kali aku harus mengirim pesan singkat pada Om Wiejanto Soehardjo, petualang senior yang merupakan sahabat ayahku, dan / 49KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Mas Bambang Hertadi alias Paimo, seorang petualang dan pengelana sepeda kawakan, untuk bertanya soal jalur. Aku memberi info nomor rute jalan nasional dan beliau mencari nama kota selanjutnya yang akan jadi tujuanku berhenti. Maklumlah, yang terpampang di hadapanku adalah rambu-rambu petunjuk jalan dengan tulisan kanji Tiongkok. Saat itu sambungan internet belum ada dalam genggamanku. Masuk warnet pun, layar komputer penuh tulisan yang tak dapat kubaca. Sempat mampir rasa pesimis bahwa aku tak bisa mencapai kota Beijing. Namun minggu berikutnya, hari demi hari aku mulai mendapat celah dan berbagai cara untuk berkomunikasi dengan warga yang kutemui. Bekal peta tulisan latin yang kubawa dari Indonesia semakin terlihat gunanya. Bagiku hingga hari ini, pengelanaan dengan sepeda di dataran Tiongkok adalah yang paling mengesankan. Kendala bahasa verbal serta nonverbal dengan penduduk lokal mengharuskanku berpikir kreatif agar dapat berkomunikasi. Bentangan daerah antar kota juga amat sangat luas. Belum lagi terpaan ekor taifun Megi dari Filipina yang sempat menyambangi beberapa daerah Tiongkok yang aku lalui. Juga pertama kalinya aku harus terpaksa menembakkan senjata darurat stungun ke arah seorang kriminil pemula. Di RRT ini aku merasakan nikmatnya bertemu dengan orang-orang yang dapat ngobrol dengan sambungan gelombang yang baik. Waktu 1,5 bulan itu terasa lama sekali karena begitu sedikitnya komunikasi verbal yang baik aku temui. Rasa rindu rumah pun lebih terasa akibat jarak yang jauh dan perjalanan yang panjang. Rindu itu pula yang merekatkan jiwa, menguatkan rasa, membuatku ingin pulang memeluk ibu. Sayangnya perjalanan belumlah usai. HARU BIRU TANAH TIONGKOK Tak kenal maka tak sayang. Don’t judge a book by its cover. Itulah yang banyak terjadi dalam pengembaraanku di negeri hewan lucu bernama Panda ini. Di rumah sederhana di pelosok Tiongkok itu misalnya. Aku dilarang membuka tenda di halamannya. Lenganku dicengkeram oleh perempuan berambut keperakan itu dan diseret kasar masuk ke rumah mereka. Aku diharuskan tidur di ruang tamu mungil yang tiap malam disulap menjadi kamar untuk tiga orang cucunya. Tak kuasa aku menahan air mengalir di sudut mata, saat si cucu membagi ubi rebus yang hanya ada separuh di tangannya dan 50 / DARI TANGAN PERTAMA

menyodorkan kepadaku dengan mata tersenyum. Di rumah mungil itu aku merasa jadi seorang tamu agung yang hatiku lumer oleh kehangatan penghuninya. Nenek tadi tetap berucap dengan nada kasar tak peduli aku tak paham apa yang dimaksudkan. Tapi aku tahu hatinya bening. Pagi hari disiapkannya seember air timba khusus untuk aku membasuh diri. Hatiku haru. Aku memiliki keluarga yang tak akan dapat kutemui lagi… Malamnya, setelah mengayuh ke stasiun kota Shijiazhuang, aku rebah kelelahan berbantal handlebar bag bersama puluhan orang yang mungkin tak berumah, atau sekedar menunggu kereta pertama dini hari nanti. Tergesa seorang kakek bungkuk berjalan ke arahku, seakan memarahiku dengan tudingan telunjuk dan suara parau kasar yang tinggi. Tatapan beberapa pasang biji mata menanti reaksiku yang saat itu mulai gemetar. Mendadak dia pergi begitu saja meninggalkanku dalam balutan keheranan dan kecemasan. Seorang anak muda berkacamata dengan bahasa Tarzan dan Inggris semampunya berusaha menjelaskan bahwa beliau hanya ingin memberitahu agar berhati-hati dan mendekap tasku. Jangan dijadikan bantal kepala yang dapat mengundang maling saat aku terlelap. “Dekap! Waspadalah!” mungkin itu katanya dengan bahasa Mandarin yang tak ada segurat pun artinya dalam kepalaku. Mungkin pula, kendala bahasa dan kebiasaan cara berkata-katalah yang membuatnya bernada tinggi. Lagi aku belajar, bahwa hal yang terlihat dan terasa buruk, belum tentu berarti tidak baik bagi kita. BERJUANG DAN BERDOA Sapuan taifun Megi siang itu dikabarkan lewat pesan singkat oleh mas Paimo. “Ada taifun ke arah Changsa. Hati-hati.“ Berita yang didapatnya dari jaringan internet itu segera membuatku gundah. Tapi berhenti bukan pilihan, karena aku telah mengayuh sekitar 50 km keluar dari kota dan berada di tengah daerah sunyi yang terbuka. Pantas saja cuaca lebih dingin dari biasanya. Di Tiongkok, awal Oktober adalah permulaan musim gugur dan Desember memasuki musim dingin. Suhu yang biasanya terpampang di jamku kisaran 18 derajat Celcius, pagi itu kulihat 12 derajat Celcius. Sudah sejak dua jam yang lalu cuaca mendung disertai angin dingin. Baru kutahu biang kerok perubahan cuaca ini adalah si taifun Megi dari Filipina yang kibasan ekornya membuat banjir besar di kawasan Fujian, 700 kilometer dari Changsa, lokasiku mengayuh. Ekornya saja sudah membuatku bergidik. Dari kejauhan kulihat awan semakin gelap, seakan mendekat ke / 51KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

tanah. Angin menderu di telinga lengkap dengan rintik air dingin yang seakan menggores kulit wajahku. Aku terus mengayuh. Jaket penahan angin yang selalu kupakai sudah kuyup dan dingin semakin terasa meresap ke dalam tubuh. Jika berhenti pasti aku menggigil karena tak ada tempat untuk berteduh sama sekali. Hamparan tanah seluas mata memandang bekas ditanami jagung di kanan dan kiri jalan, semakin membuat angin tak terhalang menerpaku. Sepeda terus kukayuh perlahan sambil berdoa agar aku diberi kekuatan melaluinya dan cuaca tidak bertambah parah serta berbahaya. Sekitar satu jam lebih sepeda menemaniku berjuang dalam keadaan yang mengerikan. Hingga akhirnya di sisi kiri jalan terdapat reruntuhan bangunan dengan tembok-tembok yang masih berdiri. Aku melipir, bersembunyi dari hujan angin dan berjongkok di bawah flysheet untuk menutupi tubuh kuyupku. Tak sampai dua jam cuaca ngeri berangsur mereda. Telah habis sekantong kacang diremukkan gigi masuk ke pencernaan. Mengisi perut sekaligus melawan dinginnya tubuh. Selalu bersyukur karena TanganNya terus ada saat aku dalam keadaan yang tak bersahabat. Mungkin jika tak ada reruntuhan tembok itu, aku masih terus mengayuh dalam dingin, kelelahan yang memuncak melawan angin, haus lapar dan bukan tak mungkin dapat terserang hypothermia. TUHAN TAHU TAPI MENUNGGU Setiap kilometer yang sarat kendala mental dan fisik membuat manusia semakin kuat dan dewasa. Yang penting tidak putus asa dan menyerah di tengah jalan. Mengayuh di tanjakan panjang dan curam, di bawah terik mentari yang menyengat kulit tanpa ampun, adalah gambaran kehidupan yang penuh cobaan, ujian, serta himpitan. Sedangkan jalan mulus meluncur turun, cuaca sejuk, angin sepoi menerpa wajah dan pelangi di akhir hujan adalah cerminan hidup yang sedang berada di atas awan setelah mampu melampau ujian atas kehendakNya. Falsafah bersepeda adalah juga falsafah kehidupan. Kata si jenius Albert Einstein, “Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep movin.” Jika kita berhenti mengayuh, maka akan terjatuh. Jika kita berhenti dan menyerah, habislah kita. Begitulah hidup di dunia. Berusahalah terus menggapai impian. Kata Tolstoy, “Tuhan tahu tapi menunggu.” Maka jangan menyerah, ikhtiar dan tunggulah dengan sabar serta percaya bahwa setelah tanjakan, pasti ada jalan yg menurun. Setelah kesulitan dan pergumulan dalam kehidupan, pasti berujung dengan 52 / DARI TANGAN PERTAMA

kebahagiaan. Bersepeda jarak jauh seorang diri pulalah yang selalu mengingatkanku bahwa ada sepasang orang tua yang diberkati hati seluas samudra oleh Tuhan dan kesabaran luar biasa saat mengikhlaskan aku berangkat. Satu-satunya anak perempuan mereka pergi merambah dunia yang penuh tanda tanya dan ketidakpastian. Ibu dan ayah selalu menemaniku dalam doa yang terus terhembus bersama tarikan nafas mereka. Khawatir? Pasti! Namun kata ibuku, mereka percaya bahwa Tuhan akan menjaga setiap kayuhan dan deru nafasku hingga kembali pulang ke pelukan hangatnya. Ya, hanya Tuhan yang memampukanku menjalani setiap jengkal jarak yang kutempuh. Setiap kemustahilan menjadi nyata. Membiarkan manusia-manusia baik bersinggungan denganku. Mengizinkanku membawa berbagai warna hati, serta memungkinkanku menulisi sudut- sudut jiwa dengan berlembar pelajaran berharga yang tak akan pernah kudapati jika aku tak pernah beranjak pergi. / 53KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Mengisi jiwa dengan pelajaran pahit manis kehidupan adalah hutang yang harus dibayar pada diri kita sendiri. Beristirahatlah namun jangan pernah berhenti! ARISTI PRAJWALITA MADJID 43 tahun, dokter yang menggemari bersepeda jarak jauh (touring bike), pengelola Bianglala Adventure yang menangani kegiatan bersepeda bersama di beberapa tempat menarik. 54 / DARI TANGAN PERTAMA

CERITA BIASA PERJALANAN SUMBING AYU RISMAYANTI AGUSTIN Ini adalah cerita biasa. Cerita yang dapat dialami siapapun yang pernah mendaki gunung. Cerita biasa tentang arti sebuah kebersamaan. PCerita biasa tentang arti sebuah kesabaran. Penasaran bertemu kunang-kunang, lautan awan, taburan bintang dan pemandangan terhampar luas dari atas, sudah ada sejak SMA. Rasa itu semakin mencuat ketika memasuki dunia kerja. Ada seorang kawan yang sering mendaki gunung dan bercerita segala indah yang dinikmatinya. Maka melangkahlah aku menuju Gunung Sumbing. 29 MARET – 1 APRIL 2018 Pertama kali mendaki gunung. Pertama kali mengaplikasikan secara nyata kata-kata “Tas gede amat, mau naik gunung apa?” Rasanya / 55KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

excited sekali, sampai pinjam sana-sini semua peralatan gunung. Catat ya, semua kecuali celana hiking. Selain karena harganya yang lumayan mahal, juga belum yakin apakah nanti akan terpakai lagi atau tidak. Jadi ya, pinjam dulu aja. Berhubung packing pun nggak bisa, jadilah H-1 berangkat mampir dulu ke rumah kak Ain. Dia yang atur barang-barang ku, tapi matras entah mau diselipkan dimana karena ransel sudah tidak cukup. “Bawa dulu aja, nanti dititipin,” ucap kak Ain sambil menyodorkan alas tidur itu. Untuk ke Gunung Sumbing, kami naik kereta dari stasiun Senen ke Stasiun Purwokerto. Ini pertama kalinya aku naik kereta ke luar kota. Selama ini hanya menumpak commuter line Jabodetabek. Pertama kali juga keluar Jawa Barat selain untuk study tour. Makanya aku ikut dan manut aja, tinggal masuk dan duduk manis. Ada 14 orang dalam rombongan, empat diantaranya perempuan. Ini perjalanan jauh dan cukup lama. Kereta berangkat jam 9 malam dan sampai Purwokerto jam 8 pagi. Sebagai bungsu diantara 14 orang peserta, aku terbilang anak bawang. Belum terlalu kenal juga dengan para lelakinya karena baru tahu nama saja. Cuma sama kak Ain dan kak Ling yang sudah lumayan dekat. “Ay, mau bantal nggak?“ tanya kak Ain. Ketika itu sudah cukup malam, dan sudah ada petugas yang menawarkan bantal. “ Nggak usah kak.“ “ Bener?“ “ Iya....“ “ Ya udah. Kalau mau cemilan ada di tas ini ya, ambil aja” Ah, Allah maha adil. Ketika aku menjadi anak pertama di rumah, Alhamdulillah di sini sebagai bungsu dan mereka baik sekali memperlakukanku. JUMAT, 30 MARET 2018 Sampai di stasiun Purwokerto jam 8 pagi. Untuk menuju basecamp Sumbing via Banaran, dari stasiun kami naik mobil ELF dengan estimasi perjalanan sekitar 4 jam. Tapi karena terlalu banyak selingan seperti ambil uang dulu di ATM stasiun dan cewek-cewek mandi kelamaan saat lelaki Sholat Jumat, jadilah kami sampai di basecamp sekitar pukul 15.30. Sekali lagi kami check perlengkapan di basecamp. Akhirnya sekitar jam 16.30 satu persatu naik ojek menuju Pos 0 di Brangkalan, rute Timur 56 / DARI TANGAN PERTAMA

Sumbing. Ojeknya super sekali, di jalan yang berbatu dan licin seperti itu bisa membawa kami naik. Hanya setengah jam perjalanan, kami sampai di lokasi. Setelah berdoa, pendakian pun dimulai. Melihat jalanan tanah ke atas yang tinggi dan juga agak licin karena sedikit gerimis membuat aku sedikit ragu. Yang tadinya bersemangat, tiba-tiba muncul pertanyaan, “Aku kuat ngga ya? Nanti sesak napas ngga ya? Aduh nyesel banget kemarin cuma olahraga sekali dua kali.” Tapi ada bisikan lain di hati, “Coba aja deh, jalanin dulu, bismillah.” Baru jalan beberapa meter sudah mulai hujan kecil. Untung lah ada pondok, jadi kami berteduh dulu di sana sekalian Sholat Magrib. Udaranya sudah terasa dingin sekali. Hujan sedikit reda, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 1. Karena sudah malam, tidak terlihat apa-apa selain jalan yang terkena senter yang menempel di kepala. Aku pribadi fokus saja mengikuti bang leader. Ketika di belakang minta berhenti untuk istirahat, aku memanggil yang di depan untuk berhenti. Ketika rombongan lanjut, ya aku lanjut. Tiba di Pos 1 jam menunjukkan pukul 9 malam. Sepi sekali suasananya dan agak tidak enak. Ternyata ada makam di dekat kami. Pantas saja suasananya aneh. Tapi abang leader harus berhenti melangkah untuk mencari dulu jalan mana yang akan diambil selanjutnya. Ketika itu terdengar suara dari belakang yang menyuruh kami maju untuk ke shelter di depan. Tiba-tiba terdengar suara “Buggh....” Rupanya Kak Ling jatuh, efek mengantuk sehingga tidak fokus. Alhamdulillah tidak apa-apa. Akhirnya kami pun cepat-cepat pergi dari situ, dan untungnya jalan sudah ditemukan. Kak Ling pun sudah tidak bawa peralatan atau tas lagi, langsung para lelaki berinisiatif mengambil alih bawaannya. Karena untuk tiba di Pos 2 sudah tidak memungkinkan, akhirnya kami nge-camp di kira-kira setengah perjalanan ke Pos 2. Yang penting sudah jauh dari Pos 1 dan ada tempat luas untuk membuat tiga tenda. *Bukan gunung mana yang cocok untuk pemula melainkan dengan siapa kami mendaki. SABTU, 31 MARET 2018 Pagi itu setelah semalam nge-camp, kami sarapan. Mendaki di siang hari itu artinya track-nya keliatan, tingginya kelihatan, terjalnya kelihatan dan masih jauhnya terasa. Sebelumnya aku memang belum terlalu kenal dengan para lelaki di rombongan, karena aku bisa dikatakan anak baru atau anak bawang yang baru masuk ke lingkungan mereka. Jadi di awal / 57KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

agak sungkan untuk minta tolong. Tapi setelah malam itu semuanya berubah. Aku jadi nggak sungkan lagi sama mereka, mereka baik sekali. Yang tadinya aku bawa semua peralatan ku di tas, kini aku berkata, “Abang, nitip sandal.“ “Abang nitip baju kotor.“ Dan mereka hanya jawab “Iya sini, ada lagi nggak?” “Nitip semua barang boleh? Hehe....” Dan mereka hanya jawab “Iya sini, dasar bontot... “ Setelah selesai beres-beres kami melanjutkan perjalanan ke Pos 2. Posisiku tetap di belakang abang leader. Naik terus, masih semangat. Setiap berhenti berfoto dengan senyum bahagia, dan suka jadi penyampai pesan dari belakang untuk rehat. Aku cukup bilang ke depan “Abang,“, maka berhenti deh abang leader. Ada pelajaran yang aku dapat dari tracking seperti ini; jaga sedikit jarak dengan yang di depan. Ketika dia sudah agak jauh, barulah kami jalan dengan agak cepat menyusulnya. Ternyata cara itu cukup efektif dan membuat kami tidak terlalu merasa lelah. Sempat berada di posisi ketiga dari depan, aku bilang ke abang yang di posisi kedua “Abang jangan tinggalin aku, jangan jauh-jauh jaga jaraknya.“ Namun ternyata abang satu itu malah lebih sering berfoto ria daripada aku, jadilah ia aku tinggal dan aku jadi di posisi kedua mengikuti abang leader. Tiba di Pos 2, kami rehat sejenak, berfoto-foto karena spot-nya juga bagus dan di sana ada pohon yang dipagari. Asyik saja kami berfoto di situ, namun ternyata, menurut driver mobil, di bawah pohon itu pernah ada mayat. Pantas lah dipagari. Untungnya kami tahu ketika sudah kembali ke bawah. Perjalanan berlanjut ke Pos 3. Lumayan jauh, namun setiap bertanya ke pendaki yang turun jawabannya kurang lebih sama, “Sebentar lagi.“ “Tuh, di atas.“ “10 menit lagi.“ Allahu akbar! Kalau aku si Alhamdulillah masih semangat-semangat aja. Maklum baru pertama kali mendaki. Untuk mengusir kebosanan dan menghilang sedikit rasa lelah, abang leader suka tiba-tiba ngajakin permainan ABC 5 dasar. Dan, ya lumayan deh jadinya, bisa mengalihkan 58 / DARI TANGAN PERTAMA

perhatian dari kaki yang penat. Naik gunung itu adalah angan-angan ku bisa melihat kunang- kunang, taburan bintang di langit dan lautan awan. Saat di perjalanan aku bertanya, “Kunang-kunang bisa ditangkap, ya?“ Sebenarnya aku berharap bertemu kunang-kunang, cuma memang sedang tidak ada mungkin, ya? Di Pos 3 kami istirahat. Masak mie dan kawan-kawannya. Banyak pendaki yang buat tenda di sini, ramai. Namun ternyata kami bermalamnya di Pos 4. Nah untuk ke Pos 4 ini harus panjat tebing dulu. Aku sebagai orang yang takut ketinggian, di tengah udara yang sudah terasa dingin, sebelah kiri jurang, badan yang kurus dan lutut sudah lemas sehingga rasanya bisa saja terbang terbawa angin, sebenarnya berasa takut. Ah, stay cool saja lah ya. Toh mereka membawa safety tool lengkap dan kami dipandu jika bingung menginjak kemana. Di atas pun sudah bersiap yang akan menarik tangan jika tak tau mau berpegangan apa. Ada juga paha yang siap untuk dijadikan injakan jika bingung menjejakkan kaki. Mereka baik sekali. Sekitar jam 3 sore kami tiba di Pos 4 dan langsung membangun tenda di sana. Disuguhi dengan pemandangan yang indah dan udara yang sejuk, semangat ku kembali membara. Senang, bahagia, seakan tidak ada rasa lelah. Abang-abang banyak yang bertanya, “Udah berapa kali naik gunung?” Dengan wajah polos ku jawab, “Ini baru pertama kali.” Setelah makan, menikmati sore di Pos 4, abang leader memberi arahan, “Kalau mau summit jam 2 dinihari, tidur cepat ya.” Saat itu tujuan utamaku adalah puncak. Ingin sekali rasanya sampai di sana. MINGGU, 1 APRIL 2018 Pukul 2 dinihari, orang-orang yang ingin summit attack harus bangun. Hanya 10 orang yang ikut, empat lagi tidak, termasuk kak Ain, sahabat dekat ku. Terjadi sedikit drama antara aku dengan dia karena hampir semua orang yang tahu kami mau mendaki, menitipkan aku pada dia. “Ay, hati-hati ya.“ “Bang, jagain Ayu.“ “Duh kok gua jadi sedih sih? Hati-hati ya,“ ucapnya. “Iya kak, doain ya,“ dan kami pun berpelukan. Bangun jam 2 dinihari, masih harus jalan menembus angin yang berhembus cukup kencang dan udara yang dingin. Proses pengumpulan / 59KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

nyawa pun belum seutuhnya, baru jalan lima langkah rasanya dada sesak sekali. Beruntungnya mereka santai saja jika aku minta stop. Ketika berenti, selalu diingatkan, “Ayu jangan dis itu, duduk sini deket batu, biar nggak kena angin,” atau “Sini duduk, kita kerubungin, biar kamu nggak kedinginan.“ Aku terharu sekali. Awal perjalanan dari tenda, cuaca cerah namun di seperempat jarak ke puncak sekeliling kami penuh dengan kabut. Maksud hati ingin ke puncak namun apa daya karena sering berhenti target waktunya pun terlewat. Dan jika tidak ingin tertinggal kereta pulang, kami tidak boleh memaksa sampai ke atas. Akhirnya kami memutuskan untuk sampai plank-nya saja. Ada sedikit rasa kecewa, namun segera hilang dengan melihat senyum serta kebaikan hati kawan-kawan dan berpikir, “Masih ada hari esok.“ Ternyata proses turun ini lebih sulit daripada naik, entah sepatu yang licin atau lutut yang sudah lemas, sering sekali aku oleng. Alhamdulillah selalu dibantu dan diawasi oleh mereka. Lelah sekali rasanya, namun karena saat itu sedang senang sekali difoto, ketika kamera mengarah ke aku, wajah tetap senyum ceria. Setelah sempat oleng dan jatuh, untungnya tidak terus terguling ke jurang, kami pun sampai di Pos 4. Setelah menyantap makanan yang sudah disiapkan, kami langsung diinstruksikan untuk beres-beres barang agar dapat mengejar kereta. Di situ aku kesal sekali rasanya. Lutut masih bergetar sekali, mau marah namun rasanya tidak etis dan akhirnya aku hanya berkata, “Abang tolong bawain tas kecil aku. Abang nitip sendal sama matras.“ Dan si abang berkata, “Iya sini, tas gedenya juga sekalian.“ “Gausah aku bawa sendiri aja, hehehe.“ Terima kasih ya Allah, telah mempertemukan saya dengan orang- orang baik. Jangan kira proses turun ini sesemangat saat naik. Entah belum tahu teknik nya atau bagaimana, aku sering sekali terjatuh dan bingung harus jalan ke mana, ditambah lutut yang bergetar. “Nih, jalannya gini neng.” “Sini pegangan.“ “Woy, itu si Ayu jagain, jangan ditinggalin.“ “Mau minum nggak?“ 60 / DARI TANGAN PERTAMA

Ah, mereka baik sekali.... Setelah melalui berbagai drama turun, dikarenakan sering terjadi “Kapal oleng kapten,“ akhirnya kami tiba di basecamp. Sekali lagi karena kami harus mengejar kereta, tidak ada waktu untuk berleha-leha. Begitu tiba langsung pamit sebentar ke orang-orang sekitar, naik ke mobil, lalu berangkat. Tetapi jangan kira dramanya selesai begitu saja. Kereta menuju Jakarta berangkat pukul 8 malam. Sekitar pukul 6 sore mobil yang kami tumpangi selip karena harus mengalah dengan mobil yang berlawanan di jalan yang sempit. Usaha mendorong mobil tidak membuahkan hasil. Kami tak tahu posisi ada di mana karena jalan yang dilalui berbeda dengan jalan kemarin. Beruntungnya ada orang lewat dan abang leader meminta tolong untuk dicarikan mobil bak terbuka. Alhamdulillah orang tersebut bisa menolong kami. Eits, jangan kira drama nya sudah selesai, masih ada lagi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kami meminta kepada supir untuk ngebut. Dan ketika sudah sedikit lagi sampai di stasiun Purwokerto, hujan turun dengan lebatnya. Duh, ini kami di dalam mobil bak terbuka. Entah mengapa rasanya bukan menyedihkan, tidak bisa dibilang bahagia juga. Namun yang pasti hati kami tetap ringan dan bisa tersenyum senang. Atau hanya aku saja? Entahlah.... / 61KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Akhir cerita, Alhamdulillah kami tidak tertinggal kereta dan bisa pulang ke Jakarta dengan sehat dan juga utuh. Hal yang aku dapat dari pendakian pertama kali ini adalah mendaki itu candu, kebersamaan itu menyenangkan, saling menjaga itu menenangkan, dan seakan ada hal yang mendorong ku untuk mendaki lagi, mencari sesuatu, menemukan sesuatu entah apa itu. Lihatkan ini hanya cerita biasa? Cerita yang bisa di alami oleh siapapun. Cerita sederhana yang mengagumkan. Cerita sederhana yang menyenangkan. Sekali lagi aku katakan, ini hanyalah cerita biasa…. **Kemenangan terbesar dalam hidup adalah ketika kita menemukan sahabat-sahabat terbaik sepanjang masa. Cerita Biasa. AYU RISMAYANTI AGUSTIN 22 tahun, mahasiswa yang baru mulai menggemari kegiatan alam bebas, dan selalu ingin mencoba dan menggali hal yang baru. 62 / DARI TANGAN PERTAMA

MEMBRAMO: CINTAKU PADA PAPUA AZHAN FAUZI MMendengar kata Papua selalu mendatangkan ketertarikan yang lebih. Bagaimana tidak, hingga abad-21 yang serba canggih ini, Papua masih menyisakan “ruang kosong” yang luas pada peta. Kondisi alamnya didominasi hutan tropika yang sulit ditembus, sebab dipagari oleh lembah curam dan pegunungan tinggi yang sebagian puncaknya berbalut salju. Topografi kompleks ini kemudian memilah manusia yang hidup di areanya menjadi kelompok dengan budaya dan bahasa paling beragam. Bagi saya pribadi, Papua telah menjadi obsesi, setidaknya ketika mulai membaca betapa heroiknya kisah para penjelajah atau misionaris terdahulu mengakrabi Bumi Cenderawasih. Awal Agustus 2017, ditengah beberapa kesibukan yang menunggu untuk diselesaikan, saya mendapat tawaran penugasan ke pedalaman Papua, tepatnya ke Kabupaten Mamberamo Raya dan Mamberamo Tengah. Sebuah tawaran menggiurkan, dan sulit ditolak dengan alasan apapun. Dua minggu sebelum keberangkatan, saya mulai melakukan riset dan menghubungi pihak-pihak yang sekiranya dapat mendukung / 63KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

operasional selama berada di lapangan nantinya. Namun usaha ini seakan sia-sia, karena informasi mengenai transportasi, akomodasi dan sebagainya yang coba digali masih simpang siur. Antar informan memberikan cerita yang berlainan, bahkan saling bertolak belakang. Keadaan ini tak lantas menyurutkan langkah. Saya bersiasat dengan mengajak Dion, rekan satu tim penelitian saat ekspedisi ke Tambrauw, Papua Barat, tahun lalu. Ia sengaja saya minta terbang dari Malang ke Jakarta, demi ikut serta dalam tugas yang terasa akan berlangsung seru sekaligus menantang ini. Pertimbangan utama, setidaknya Dion sudah terbiasa bergaul dengan lingkungan dan masyarakat Melanesia, sehingga kami bisa berbagi tugas secara taktis agar alokasi waktu yang tak panjang dapat dimanfaatkan secara optimal. PERJALANAN YANG MAHAL DAN TAK PASTI Kami berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta tanggal 6 September 2017 malam, dengan maskapai Garuda Indonesia rute Jakarta-Jayapura. Penerbangan dengan Boeing 737 ini ditempuh selama delapan jam, satu kali transit di Makassar, sebelum akhirnya mendarat di Bandara Sentani. Udara panas menyengat ditingkahi dengan pemandangan dari Gunung Cycloop menyambut kedatangan di bandara utama dan terbesar di Pulau Papua ini. Hal menarik yang saya temui adalah “dikuasai”nya semua troli oleh para porter. Akibatnya para penumpang yang membawa barang dalam jumlah cukup besar harus memakai jasa mereka, tentunya diiringi beberapa lembar rupiah yang harus dirogoh. Di sekitar area bandara, noda bekas pinang bertebaran di lantai dan dinding yang membuat orang yang baru pertama kesana akan sedikit bergidik. Bagaimanapun, mengunyah pinang yang dipadu dengan sirih dan kapur sehingga menghasilkan warna merah di mulut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian orang Papua dan beberapa daerah Indonesia Timur lainnya. Tradisi leluhur ini dipercaya baik untuk kesehatan gigi dan pencernaan. Saya kemudian menghubungi salah seorang petugas maskapai perintis yang kontaknya saya dapat dari Oky, pegawai DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Mamberamo Raya yang akan jadi host kami nanti. Kamipun lantas diarahkan ke salah satu kantor di sebuah ruko dekat bandara Sentani, untuk kemudian melakukan pembayaran tiket, menimbang berat orang dan barang, sekaligus check-in. Dengan tiket seharga tiga juta rupiah per kepala, saya dan 64 / DARI TANGAN PERTAMA

Dion dijadwalkan akan terbang ke Kasonaweja, ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, menggunakan pesawat caravan milik Alda Air pada pukul 09.30. Pilihan lain adalah naik kapal laut KMP Lestari, dengan waktu tempuh tiga hari dua malam untuk rute Jayapura-Kasonaweja. Itupun, hanya berangkat dua minggu sekali. Sembari menunggu, saya asyik berbincang dengan beberapa penumpang lain, sekedar menambah bekal pengetahuan sebelum berinteraksi di daerah yang baru pertama kali dijamah. Namun hingga waktu yang ditentukan, belum ada tanda-tanda keberangkatan. Juga tidak ada keterangan atau alasan dari pihak maskapai mengapa kami belum juga terbang dan terkatung tanpa kepastian. Uniknya, penumpang lain santai saja dengan situasi ini, yang mengindikasikan bahwa kejadian keterlambatan, bahkan pembatalan penerbangan secara sepihak, adalah suatu hal yang lumrah. Setelah empat jam berselang, kami baru dibawa ke ruang tunggu bandara, dan take-off pada pukul 14.00. Jangan harap mendapat kompensasi berupa makanan atau cashback sebagaimana aturan yang berlaku pada penerbangan komersil di kota besar. Ini Papua, bung! Pesawat berkapasitas 12 penumpang ini terbang ke arah timur dalam cuaca yang cerah. Di bagian bawah, hutan primer yang lebat terhampar luas. Sesekali pemandangan diselipi sungai besar dan kecil yang meliuk dengan cantik. Baru kali ini juga saya merasakan berada dalam pesawat tanpa sekat antara ruang kendali pilot dengan kabin penumpang. Terbang dengan pesawat kecil, selain tak bisa terlalu tinggi sebagaimana layaknya pesawat jenis Boeing atau Airbus yang memiliki ketinggian jelajah sekitar 30.000 feet, juga sensitif terhadap cuaca. Perubahan cuaca atau masuk dalam gumpalan awan akan terasa seketika menggoncangkan pesawat. Begitu ringkih, namun tak ada pilihan yang lebih baik. Kami mendarat di Kasonaweja setelah 45 menit mengudara. Bandara di sini lebih berupa airstrip, yaitu lapangan tanah berkerikil tanpa aspal sepanjang 400 meter. Pada saat tidak ada jadwal pesawat, lapangan ini berubah fungsi menjadi lahan pengembalaan babi dan binatang ternak lain. Kasonaweja merupakan pusat permukiman, sedangkan pusat pemerintahan kabupaten yang dimekarkan sejak tahun 2007 ini berada di Burmeso. Dua kampung ini keberadaannya dipisahkan oleh bentang sungai, dan harus menumpang perahu untuk bisa melintasinya. Turun dari pesawat, saya disambut hangat oleh Oky untuk kemudian dibawa ke kompleks perumahan pegawai yang berada sekitar 2 km dari bandara. / 65KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

MENGENAL SI “AIR BESAR” Toponimi atau penamaan tempat Mamberamo konon berasal dari bahasa Suku Dani yang berarti air besar. Sungai sepanjang 670 km berhulu dari ratusan anak sungai di sekitar Pegunungan Tengah Papua dan bermuara ke Samudera Pasifik di titik utara Tanjung D’Urville. Sungai ini menyandang status sebagai sungai terpanjang se-Papua sekaligus terlebar di Indonesia. Mamberamo melintasi 9 kabupaten dengan dipagari oleh Pegunungan Van Rees di sisi barat dan Pegunungan Foja di sisi timur. Dilihat dari udara, daerah aliran sungai membentuk banyak liukan (meander) dan danau kecil sebagai sungai mati (oxbow lake). Mamberamo sering diidentikkan dengan “Amazon”-nya Indonesia, karena luas daerah cakupan yang dilalui, liarnya alam, serta budaya penduduk yang kaya dan beragam. Terdapat zona penyangga (buffer zone) bagi kelestarian yang bernama Suaka Margasatwa Mamberamo Foja seluas 1,4 juta hektar. Suaka ini mencakup beragam tipe habitat, mulai dari hutan mangrove di kawasan pantai, rawa gambut, sungai dan danau serta hutan pegunungan tinggi. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama beberapa organisasi konservasi menemukan setidaknya terdapat 161 spesies burung termasuk cenderawasih serta 101 spesies mamalia termasuk kangguru pohon. Kawasan ini terkenal sebagai salah satu megadiversity karena memiliki keragaman hayati yang sangat kaya. Karenanya telah ditetapkan sebagai kawasan pengembangan karbon rendah dan dalam proses pengajuan untuk dijadikan sebagai Situs Warisan Dunia. Mengamati kehidupan di Mamberamo Raya (Mamra), tampak sungai memegang peranan amat penting sebagai penghubung dan pembawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Sebanyak sembilan distrik dan 59 kampung seantero kabupaten praktis hanya dapat dimasuki lewat jalur air karena ketiadaan jalan darat. Terdapat beberapa perahu motor atau speedboat yang biasa disewakan, dengan tarif 3-5 juta rupiah per harinya. Harga ini diluar kebutuhan bensin yang dijual 30 ribu hingga 80 ribu rupiah per liter, tergantung ketersediaan di pengecer. Mahalnya transportasi ini membuat mobilitas tidaklah begitu tinggi. Perahu hanya dioperasikan untuk kebutuhan yang amat penting, atau mendukung kunjungan dari para pejabat kedinasan. Perjalanan ke arah hulu sungai juga terkenal cukup berisiko karena terdapat beberapa jeram yang jadi momok bagi para motorist perahu. 66 / DARI TANGAN PERTAMA

Tiga jeram tersebut antara lain Edivalen, Marinavalen, dan Bataviavalen. Penduduk menganggap angker wilayah sekitar jeram ini, karena nyaris selalu memakan korban dalam rentang waktu tertentu. Jika dilihat secara fisik, aliran deras ini terbentuk akibat adanya penyempitan badan sungai dan bebatuan yang menonjol ke permukaan sehingga membentuk standing wave dan undercut, yakni arus sungai yang cukup tinggi dan bergulung membentuk pusaran. Kondisi ini memang sangat wajar menenggelamkan hingga menyedot apapun yang melewatinya. Di samping itu, sungai juga hadir sebagai berkah, baik untuk mencukupi kebutuhan pangan harian maupun aktivitas ekonomi. Sepanjang daerah aliran sungai Mamberamo terkandung potensi perikanan dalam jumlah amat besar. Masyarakat biasa menangkap ikan menggunakan alat sederhana seperti pancing, tombak, jala, dan sekali- kali memanfaatkan tuba, racun dari herba lokal. Jenis ikan yang biasa dikonsumsi antara lain ikan manyung, mas, dan nila. Studi gabungan oleh Conservation International dengan DKP Mamberamo Raya mencatat, terdapat 28 spesies ikan air tawar yang hidup di sepanjang sungai. Guna mendatangkan nilai tambah, beberapa kelompok masyarakat di Danau Rombebai, Kampung Bagusa, Warembori, dan Trimuris telah mulai melakukan usaha pengolahan ikan asin air tawar. Biasanya mereka memproduksi untuk kemudian dibawa oleh penadah yang datang bersama KMP Lestari yang datang selang dua minggu sekali dari Jayapura. Selain berasal dari air tawar, keunikan lain produk ini adalah ukurannya yang dapat mencapai tiga kali ukuran ikan air tawar pada umumnya. Saat bertemu Kepala DKP Steven Marlissa di Burmeso, beliau terlihat sangat serius mewujudkan misi menjadikan ikan asin air tawar sebagai ikon kabupaten. Dukungan ditunjukkannya dalam bentuk pendampingan, penganggaran, hingga kebijakan-kebijakan yang menstimulus lebih banyak lagi warga untuk bergerak di sektor ini. Bersama jajarannya, Pak Steven sedang mengupayakan pengadaan speedboat, cooling storage, mesin pengering ikan, dan kemasan. Semuanya direncanakan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan produk olahan ikan yang berkualitas sekaligus menarik perhatian. Potensi lain yang dibawa atas keberadaan sungai yang airnya keruh ini adalah buaya. Terdapat Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Buaya Papua (Crocodylus novaeguineae) yang sejak lama dijadikan objek / 67KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

buruan. Penangkapan yang disertai penangkaran untuk tujuan ekonomi tercatat baru dilakukan sejak tahun 1960an. Saat ini, sentra pengolahan terdapat di Kampung Sikari dan Dabra, dimana masyarakat melakukan penyamakan kulit buaya untuk kemudian dijual dengan harga yang cukup tinggi ke Merauke atau Jayapura. KONTRADIKSI Di samping potensi yang besar itu, ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Selain sulit dan mahalnya akses ke daerah ini, kebutuhan dasar seperti listrik, air bersih, dan jaringan telekomunikasi ternyata belum tersedia dengan memadai di kabupaten ini. Listrik yang bersumber dari genset bersubsidi hanya menyala 12 jam per hari, yakni dari jam 18.00–06.00 WIT. Karena daya yang terbatas, penggunaan pun dilakukan dengan pengalokasian khusus, agar semua rumah khususnya di Kasonaweja dan Burmeso dapat menikmati listrik pada malam hari. Padahal, menurut laporan sebuah studi, aliran Sungai Mamberamo sebenarnya menyimpan potensi untuk dijadikan pembangkit listrik dengan daya mencapai 10.000 megawatt. Akan halnya air bersih, debit Mamberamo yang besar ternyata tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih utama. Air sungai, khususnya di segmen tengah dan hilir tidak cukup aman untuk dikonsumsi. Sebagian masyarakat yang mampu, memilih untuk membeli air bersih dari mobil tangki, khususnya untuk kebutuhan memasak. 68 / DARI TANGAN PERTAMA

Sedang perihal telekomunikasi, hanya bisa dinikmati alakadarnya di sekitar Kasonaweja dan Burmeso saja. Distrik dan kampung lain belum menikmati kecanggihan komunikasi dan teknologi digital yang bagi masyarakat perkotaan telah menjadi semacam kebutuhan dasar ini. Listrik, air bersih, dan komunikasi setidaknya menjadi sedikit contoh kebutuhan dasar peradaban yang bergerak maju dan modern. Sebelum mengakhiri kunjungan, sayapun berharap semoga tiga masalah ini dapat segera diatasi. Tentunya, dibarengi dengan alam yang tetap lestari dan masyarakat yang senantiasa bersahaja. AHZAN FAUZI Akrab dipanggil Ade. Kesenangannya pada aktivitas alam terbuka membawanya terlibat dalam berbagai proyek profesional maupun sosial di berbagai pelosok negeri. Bertualang adalah cara bagi pria penguhujung 20 tahunan ini untuk melatih diri, mengenal dunia lebih luas serta mensyukuri segala nikmat dan keindahan yang diberikan Tuhan. Saat ini sedang menempuh pendidikan magister Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung. / 69KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ALAMAT SOKOLA RIMBA KAMI BUTET MANURUNG MRIMBA LAGI.. Minibus ini, selalu membuatku pusing dan bingung, lagu-lagu daerah yang sedianya bagus dibikin jadi house music. Begitulah yang sering kujumpai di daerah-daerah, sulit sekali dapat menikmatinya. Baru melihat bisnya saja aku sudah mual. Cepat kusumpal telingaku dengan gulungan tisu. Penyiksaan enam jam Jambi-Bangko semakin sempurna ketika memasuki jalanan berlubang besar di sana-sini yang diterjangi begitu saja. Bangko, di sini lagi, kota yang begitu kecil dan sedikit orangnya, cukup sepi dan menyamankan dibanding Jakartaku. Walau kadang masih saja ada orang-orang yang bertanya, “Awak dari mano?” padahal sudah hampir enam tahun aku selalu bolak-balik ke sini. Biasanya kujawab dengan bego, “Dari pasar, Pak.” Berangkat lagi ke rimba selalu menjadi saat-saat yang mendebarkan, tidak pernah aku meninggalkan rimba selama ini, tiga bulan, karena sibuk 70 / DARI TANGAN PERTAMA

merintis sekolah kami di Aceh dan Makassar. Setelah naik angkot 22 km menyusuri jalan lintas Sumatra ke arah kota Padang, aku turun. Kupanggil seorang tukang ojeg untuk membawaku ke desa pinggir hutan, sekitar 35 km lagi dari sini. Aku senyum meringis teringat pada motor Honda Win-ku sayang yang bulan lalu diambil dealer karena tidak mampu bayar cicilannya. Biasanya, aku membawa motor sendiri, sambil menyamar seolah-olah aku lelaki, yang tinggi besar kekar, lengkap dengan jaket yang ditebel-tebelin, sarung tangan, sepatu lars dan helm tertutup, itu membuatku merasa sangat aman, dan keren pula. Teringat tiga tahun yang lalu, aku membawa motor MTS trail –pinjaman LSM yang bergerak di bidang konservasi, WARSI, tempatku dulu bekerja (1999-2003)– membonceng seorang muridku dan dua ransel besar yang masing-masing berkapasitas 60 liter, yang diikat di bagian belakang motor. Di tengah jalan berbatu di antara perkebunan sawit kami terjatuh, karena tergelincir jalan becek di tengah hujan deras. Beberapa motor yang lewat berhenti, dengan panik mendatangi kami yang tertimpa motor dan ransel-ransel menumpuk di atasnya, mereka panik merabaiku, “Gak papa, Mas?” Dalam hati aku mengutuk-ngutuk, “Mas gundulmu! Enak aja pegang-pegang...” hampir kutinju, tapi aku diam saja, cuma menepis halus tangan-tangan mereka. Betis kiriku kena mesin motor, sampai-sampai dari dagingnya keluar asap, mmm yummy.... Aku tahan-tahan supaya tidak terlihat mereka, takut dipegang-pegang lagi. Ketika mereka pergi aku langsung menjerit-jerit nangis. Muridku, Bekilat, tak habis-habisnya menertawai aku sepanjang jalan. Aku suka bekas luka di betisku, cantik sekali, gambar ikan sedang menangkap cacing.. “Sendiri, Mbak?” basa-basi tukang ojek itu buyarkan lamunanku. “Teman-teman sudah di dalam,” bohongku sekenanya. Kulewati jalan- jalan desa dan kebun-kebun karet dengan ojeg, hari sudah hampir magrib. Moga-moga dia bukan orang jahat, pikirku. Kuraba kakiku, ah, pisau komando itu masih terikat di betisku, aku senyam-senyum sendiri dengan gayaku yang meniru-niru cewek James Bond. Aku toh tak pernah tahu bagaimana menggunakan pisau untuk berkelahi, biasanya cuma untuk potong kayu bakar dan mengiris cabai. Ah, desa ini kelihatan semakin berkembang saja. Semakin banyak toko di Pasar Selasa (pasar yang hanya ramai setiap hari Selasa) di Satuan Pemukiman Transmigrasi unit G (SPG) Desa Bungo Tanjung ini. Pemandangan di ujung desa ini adalah sebuah rumah mentereng yang amat menarik, berpagar tinggi berwarna hijau, di sebelahnya rumah bedeng yang ditempati pegawai-pegawainya. Semua itu adalah milik seorang yang dikenal kaya raya di situ, bahkan salah satu dari orang / 71KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

terkaya di Jambi. Bedul Kayo, begitu orang-orang memanggilnya. Aku tidak tahu nama sebenarnya, mungkin namanya Abdul, kalau di Bandung dulu, bedul itu artinya bodoh, ia konon memang buta huruf, dan kayo artinya kaya. Usianya baru 50-an, punya beberapa buldoser, mesin giling, mobil off-road ranger (impianku, hehehe...), puluhan truk, 400 karyawan penyadap getah karet, dan yang lainnya. Kalau kita melewati jalan utama sepanjang kawasan itu, maka kebun karet miliknya adalah 9 km di sepanjang sisi kiri dan kanannya, belum lagi jarak dari pinggir jalan ke dalamnya, bisa berpuluh-puluh kilometer. Konon itu bukan kekayaan warisan, karena dulunya ia cuma berjualan ikan di pasar. Namanya Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) walaupun jumlahnya belum tentu 12 bukit, yang jelas, ada barisan bukit-bukit yang Orang Rimba sebut ‘setali bukit’ tempat para dewa, setan, dan jin berada. TNBD ini meliputi tiga kabupaten: Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Tebo, dan Kabupaten Sarolangun. Kalau ditanya alamatnya, aku bingung, desa terakhir tadi adalah Desa Bungo Tanjung, masuk dalam Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin. Nah, kalau rimba tempatku sekarang aku nggak tahu persis masuk kelurahan mana. Katanya sih, malah masuk Kabupaten Muaro Tebo. Padahal, ke desa tadi nggak jauh-jauh amat (3 jam jalan kaki). Yang pasti kordinatnya: 01005’ LS - 102030’BT, begitu kalau ada orang yang tanya alamat surat kami di hutan, mengantarnya harus pakai merpati pos. Aku bertanya-tanya tentang keadaan rimba, walaupun aku tahu beberapa informasi dari rekan tim SOKOLA serta satu-dua murid yang ikut meneleponku, tetapi tetap saja aku harap-harap cemas tentang keadaan ‘jungle school’ kami itu sekarang. Aku terkaget-kaget melihat jalan-jalan Bedul Kayo di dalam, sudah centang mentang ke mana-mana, persis seperti urat-urat daun. Belakangan aku tahu, sementara ini sudah ada dua jalan yang nyelonong masuk ke Taman Nasional Bukit Duabelas, yaitu sekitar 300 meter ke dalam bedeng muridku, Pengendum, di sungai Napu, dan 2 km di daerah sungai Sako Jernang. Aku menggeleng- gelengkan kepalaku. Aku tahu, aku tidak boleh berharap terlalu keras untuk setiap keadaan apapun. Aku juga tahu, betapapun yakinnya, apa yang kupikir baik belum tentu memang baik. Bukaan jalan itu misalnya, adalah atas persetujuan Orang Rimba sendiri agar memudahkan mobil Bedul sejauh yang ia bisa masuk, sehingga Orang Rimba hanya sebentar saja berjalan kaki sewaktu mengangkut keluar getah karet, damar atau rotan milik mereka. Tentu saja ini tidak bisa dianggap terjadi pada Orang Rimba keseluruhan, karena kali ini memang cuma berita dari sisi barat Taman Nasional. 72 / DARI TANGAN PERTAMA

Kabar apalagi? Motor kini menjadi tren terbaru. Beberapa Orang Rimba menjual kebunnya untuk membeli motor yang pembayaran cicilannya diurus oleh orang desa, karena Orang Rimba tidak punya KTP (Orang Rimba tidak mau bikin KTP, karena harus mengisi kolom agama yang mengharuskan pilih salah satu agama nasional). Terkadang hanya ditukar saja dengan motor bekas, bahkan ada yang ternyata cicilannya belum lunas, sehingga petugas dealer dengan susah payah mengejar-ngejar mereka. Ada lagi yang beli motor cuma untuk dielus dan dipandangi saja, tidak bisa mengendarainya. Celakanya, kebanyakan kebun yang dijual terletak di cincin luar Taman Nasional. Bahkan, ada yang di dalam kawasan taman, itu artinya memberi kesempatan orang luar ekspansi memperluas kebunnya menjorok terus ke dalam taman, dan artinya penghidupan Orang Rimba, dan juga kepentingan konservasi terancam. Hmm... benarkah? Atau aku terlalu romantis? Apakah aku hanya harus mendukung? Seperti orangtua yang mengijinkan apapun yang diinginkan anaknya? Apa memang sebaiknya kawasan-kawasan hutan itu dibabat habis saja supaya segera menjadi gedung-gedung dan kendaraan-kendaraan penuh asap dan mulaikan tradisi sikut kiri kanan berkompetisi seperti di kota-kota. Hidup seperti itu perlu banyak uang kan? Orang Rimba bisa? Orang Rimba siap? Oh, hidup seperti itu teramat mengerikan.... Orang Rimba pasti cuma jadi bulan-bulanan, aku bergidik, membayangkannya saja aku takut. Ah, Orang Rimba, kenapa ya, aku cinta sekali sama mereka, ngeselin tapi bikin kangen. Menurut survei WARSI dulu, jumlahnya di TNBD seluas 60.500 hektar ini ada 1.300-an jiwa. Kalau di seluruh propinsi Jambi jumlahnya sekitar 2.500 jiwa, yang tinggalnya selain di TNBD dan sebagian kecil di TNBT (Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang berbatasan dengan Riau), sisanya “dirumahkan” (resettlement) atau terlunta-lunta di sepanjang jalan Lintas Sumatra bagian tengah, perkebunan sawit atau karet karena sudah kehilangan hutan adatnya. Orang Rimba di Jambi seringkali disebut Kubu (artinya jorok, bau, primitif), kadang tertukar-tukar dengan masyarakat suku Orang Bathin, dan sebagainya, yang sering disamaratakan disebut Kubu, tetapi mereka berbeda. Jangankan dengan orang Bathin, sesama mereka saja di dalam hutan, seringkali tidak mau disama-samakan satu sama-lainnya. Walaupun sering berpindah-pindah, mereka tinggal berkelompok dalam kawasan yang jelas batas-batasnya secara adat, setiap kelompok disebut rombong. Biasanya penyebutan didasarkan pada sungai besar atau anak sungainya, kadang juga ditambah arahya (hilir-hulu) di mana mereka tinggal. Ada tiga sungai besar: Makekal, Air Hitam, dan Kejasung, / 73KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

misalnya rombong Makekal Hulu, rombong Kejasung Kecil, atau rombong Paku Aji (daerah Air Hitam). Ada begitu banyak rombong Orang Rimba, tetapi kalau dilihat dari jumlah temenggungnya, jumlahnya ada delapan temenggung (semacam kepala suku) yang satu sama lainnya otonom dan sejajar (tidak ada yang lebih berkuasa/dikuasai), setiap rombong punya karakter-karakter tersendiri, tetapi menggunakan adat-istiadat dan bahasa yang sama hanya saja masing mempunyai variasi dan dialek yang khas. Terkadang bisa Orang Rimba Makekal meledek temannya, “Mikay jehat mumpa urang Kedasung” (“Kamu jelek seperti Orang Kejasung”). Dari delapan rombong itu, ada dua rombong yang sama sekali menolak pendidikan dilakukan di kelompoknya, selain juga ada kelompok- kelompok kecil yang belum menerima karena memang menolak atau belum dirasakan penting untuk segera dilakukan. Lagi-lagi, dari pinggir hutan, jalan kaki menuju center pondok sekolahku di rimba bertambah pendek, kini tinggal dua puluh menit, gila, aku bahkan belum berkeringat, ini seperti jalan mau ke sawah. Aku mengumpat-umpat ketika tiba di pondok ternyata aku jadi bisa mendengar suara motor. Sial, tiga bulan lalu masih setengah jam, dua tahun lalu satu jam, sekitar lima tahun yang lalu bahkan perlu waktu dua hari berjalan dari desa terakhir ke sini, karena belum ada jalan kebun Bedul Kayo, nyasar-nyasar pula. Jalan menuju sekolahku yang satu lagi, di tempat kepala suku Temenggung Mirak, biasanya dari center ini perlu waktu lima jam, tetapi katanya kini malah bisa cuma dua jam, karena jalan Bedul sudah ada yang sampai Sungai Sako Napu. Aku memutar-mutar otakku, kemanakah sebenarnya arah perjuangan ini? Arah sekolah rimba ini? Untuk menyiasati perubahan? Apakah siasat artinya menghindari ataukah mengikuti perubahan? “Plok!” tiba-tiba seekor ular jatuh dari atas pohon, hampir saja nemplok di kepalaku. Ular itu kelihatannya juga kaget kenapa ia bisa jatuh, sepertinya memandangku dengan begitu heran, lalu sekonyong- konyong marah dan siap menyerang. Ilmu beladiri maut andalanku yaitu langkah seribu, segera saja muncul secara alami. Aku lari dan melompat tinggi ke pondok, seorang muridku Pemilang Laman segera turun dan membunuhnya. Ular hijau, sangat berbisa. Kasihan, kenapa dia harus mati, cuma gara-gara nggak sengaja jatuh? Ular, setidaknya itu tanda, bahwa tempat ini masih bisa disebut hutan, hiburku. Nama sungai ini Makekal, tidak terlalu bagus, tapi airnya bening, punya dasar yang unik –aku pernah terjatuh dengan beberapa gaya di sana– mereka sebut napol, seperti lantai semen berceruk-ceruk warna 74 / DARI TANGAN PERTAMA

abu-abu, keras tetapi bisa ditekan dengan kuku. Kami sering mengukirnya menjadi macam-macam benda. Yang paling lucu, anak-anak senang membuat handphone dan kamera, lalu acting bertelpon dan berpose- pose di depan kamera, waduh, itu pasti karena sering lihat aku. Mereka bahkan menyebut sebuah bukit berjarak satu jam berjalan dari sini dengan nama “bukit setan”, karena di situ kami dapat sinyal yang membuat benda bernama ‘henpon’ mampu menyihir orang menjadi senyam-senyum, tertawa-tawa, sedih atau malah mencak-mencak sewot. Mereka bilang “Au, coknye kanti sobut bukit niyo ma bukit setan,” (Ya, betul apa kata teman-temanku, bukit ini memang bukit setan). Mandi adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Aku selalu ingat di mana persisnya letak ceruk yang seperti bath-tub. Aku sering berbaring berpura-pura mati di sana, terkadang udang mengigit-gigit kulitku, dan kubuat ia terkejut waktu kutangkap, kulepas lagi dan ia pun lari sambil mengutuk-ngutuk. Ada juga kodok kecil mencoba menyeberang sungai, coba kutangkap, agak sulit memang. Seekor berhasil tertangkap dan teringat satu dongeng, iseng-iseng aku pun menciumnya. Oh, ternyata tidak berubah menjadi pangeran. Aku nyengir sendiri menertawai kebodohanku, kodok itu melompat cepat, entah marah entah senang, “wok..., wok..., wok,” katanya. Sentra sekolahku terletak di aliran sungai ini. Sekolah di sini jangan diartikan melulu bangunan dengan gambar presiden atau ada skeleton anatomi manusia di dalamnya, atau tiang bendera dan lonceng di tengah lapangan, bahkan tempatnya saja kadang tidak selalu persis di lokasi yang sama. Yang tetap adalah rombongnya (itupun anak yang ikut sekolahnya bisa bertambah atau berkurang). Penyebutan sekolah (atau “sokola” dalam versi mereka) tidak mereferensikan pada konsep fisik, tetapi lebih kepada prosesnya. Tidak selalu ada bangunan (bahkan pondok sekalipun), bisa saja beratapkan plastik perlak, atau pondok beratap daun, inipun tidak selalu digunakan, karena kalau hari cerah, kami lebih senang di alam terbuka, di bawah pohon atau dekat sungai, atau jalan-jalan ke sana ke mari dengan buku digulung disemat pulpen, diselip di cawat masing- masing. Sekolah juga tidak selalu berkaitan dengan buku dan pena, karena diskusi tentang terjadinya siang-malam, banjir yang kian tinggi setiap tahun, apa itu negara atau tsunami kenapa pesawat (burung besi, kata mereka) bisa terbang atau saat temanku yang perawat membelah kodok dan menjelaskan proses respirasi, sekresi, dan sebagainya itu juga kami sebut sokola. Dan seperti bisa diduga, tidak juga kami mampu menjawab semua pertanyaan cerdas mereka. Dulunya memang sekolah dianggap tabu, tapi kemudian di bulan / 75KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ketujuh aku mendekati mereka, mulai ada pertemanan dan proses belajar meski sederhana sekali, karena masih mencari-cari bentuk. Kemudian sokola bisa berjalan dan direplikasi di tempat-tempat lain di TNBD, hanya saja masih hanya untuk laki-laki, perempuan belum boleh. Selama enam tahun di rimba, cuma lima murid perempuan yang mau belajar, itupun di kelompok yang sudah terbuka dengan pengaruh dunia luar. Kalau jumlah murid, sejak aku masih bekerja dengan WARSI (1999-2003) dan disambung dengan sesudahnya di SOKOLA (lembaga yang aku dirikan bersama teman-teman tahun 2003). Jumlah anak yang bersekolah langsung dengan aku dan kemudian dibantu kader-kader guru dari mereka sendiri atau hanya diajar oleh temannya yang sudah bisa baca- tulis, sekitar 260 murid (sekitar 35 orang diantaranya aku ajar di TN Bukit Tigapuluh), semua menguasai baca-tulis, 19 orang diantaranya pernah menjadi kader guru, yang aktif sekarang enam orang. Jadi sistemnya seperti multi-level marketing, anak murid punya cucu murid, dan seterusnya. Ini hanya data mengenai Orang Rimba yang di dalam hutan, yang berbatasan dengan hutan dan sudah ‘dirumahkan/dimanusiakan’ pemda, aku tidak tahu berapa jumlahnya. Sekolah kami tidak ada jam masuk atau jam pulang, tidak ada pembagian kelas, apalagi seragam, tidak pakai ponten nilai, setiap anak boleh datang dan pergi sesukanya. Tidak harus duduk manis, bisa saja kalau lagi perhatiin aku, tahu-tahu tupai lewat, alamat bubar, ngejar tupai itu dulu. Aku juga bisa mengajar sambil berbaring dan tidak mandi seharian kalau lagi malas, bisa juga sambil pake masker bedak dingin kalo lagi kurang kerjaan, sampe pernah mereka celupkan ke dalam masakan dikira merica halus. Mereka kelihatannya liar ya, mereka bahkan menunjuk papan tulis dengan kakinya, atau kalau sedang agak “sopan”, menunjuk dengan bibir yang dimonyongkan ke arah papan tulis (ini khas Orang Rimba), atau melempar bukunya ke arahku, minta diperiksa, buat mereka itu lebih praktis daripada harus berjalan mengantar dan membuatku menunggu. Pernah temanku datang berkunjung, ia menggeleng-geleng berkomentar, “Sekolah apa ini? Asik betul,” aku dan murid-muridku saling berpandangan dan menjawab “Sokola rimba!” Begitulah, sangat merdeka, tetapi taat adat. Yang jelas, di sini kita tidak akan menemui gambar- gambar gunung lancip mengapit matahari. Tempat kami di Kedundung Jehat (Kedundung Jelek), lokasinya sangat manis, di tanjung kecil di belokan sungai dengan beberapa pohon tinggi besar. Herannya ternyata lokasi ini termasuk tano terban (Tanah bersetan). Selain di sini ada 1 “sokola” lagi berjarak lima jam dari sini berjalan kaki ke arah utara (sokola agroforestry), dan satu sokola lain 76 / DARI TANGAN PERTAMA

berjarak tiga setengah jam jalan kaki ke tenggara di tempat Temenggung. Sentra di lokasi ini punya empat pondok: pondok guru dan kader, pondok murid, pondok sekolah dan pondok dapur, walaupun dalam praktiknya kami semua sering belajar di mana saja, tertidur dan termasak, eh, memasak di mana saja. Satu pondok belajar kami sudah rubuh ketika aku datang, karena canopy di atasnya terlalu rapat, membuatnya lapuk tertimpa hujan. Pondok guru juga sudah mulai reyot-reyot. Akhirnya pondok sekolah kami tiadakan, bahan-bahan yang masih baik kami pisahkan untuk merenovasi pondok guru. Di sini kami melangsungkan kegiatan belajar. Telah lebih dari setahun ini SOKOLA membuatnya menjadi sentra, walaupun tidak menutup kemungkinan menjadi “guru panggilan” kalau ada kelompok yang melangun*), tetapi akhir-akhir ini memang mulai kekurangan guru karena beberapa anggota tim harus bertugas di daerah lain. Kalau sedang “sekolah” bersama kami, kegiatan mereka pun tidak banyak berbeda dengan sehari-hari, setelah membuat minuman hangat, mereka mandi sambil mencuci piring sisa makan semalam, lalu dengan wajah segar dan buku di tangan menongkrongiku yang masih tidur atau sengaja ribut-ribut dekatku supaya aku bangun. Kegiatan setiap hari tidak selalu sama, selalu saja ada yang baru, bisa saja seharian belajar dari pagi-pagi sekali sampai tengah malam atau seharian cuma bermain keliling hutan, atau mengikuti persidangan adat kalau ada, yang paling sering adalah mengombinasikannya. Beberapa anak yang lebih besar (di atas 13 tahun), bahkan sudah mulai memikirkan penghidupannya lebih serius, beberapa mulai membuka lahan kecil berisi tanaman keras seperti karet, padi, buah-buahan, cabai atau sayuran, bisa juga mengumpulkan rotan, damar ataui jerenang untuk dijual, berburunya juga lebih handal. Kami juga sering turut bersama mereka walaupun ujung-ujungnya cuma nyusahin aja dan tak pernah tahu diri, karena selalu ikut terus makan hasilnya. Enam dari remaja di sini adalah kader andalan kami, sambil mengajar dan bekerja di hutan, mereka juga belajar beberapa hal. Penguatan kapasitas kader memang menjadi materi utama program ini, targetnya adalah kader mampu memahami persoalan komunitasnya dalam konteks yang lebih lengkap hungga kemudian punya kemampuan cukup untuk menyikapinya. Anak rimba biasa bangun subuh, membuka hari dengan minuman hangat, terkadang mereka juga punya kopi atau teh dengan gula, kalau tidak mereka bisa mencampurnya saja dengan madu hutan. Sekitar pukul tujuh mulai memasak dan sarapan, siang hingga sore hari bisa diisi dengan berjalan-jalan mencari sesuatu di hutan, burung, tupai, atau / 77KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

buah-buahan, bisa dengan memasang jerat atau melongoknya kalau-kalau dapat mangsa. Sedikit lebih besar, mereka akan belajar berburu ditemani anjing-anjing yang rata-rata kurus tapi tangguh, juga mulai belajar macam- macam mantera dan mitologi rimba. Begitu kegiatan anak laki-laki, yang biasanya belajar bersama ayahnya, demikian juga anak perempuan belajar bersama ibunya, mereka membuat tikar dari daun rumbia, keranjang rotan, mengambil umbi-umbian di hutan dan mencari ikan. Sejak kecil anak rimba sudah pandai mengasuh adiknya, mereka juga membantu mencarikan kayu bakar, mengambil air di sungai, mencuci alat masak dan kain gendong adiknya. Tidak aneh kalau melihat anak umur enam tahun di sini gesit membelah kayu bakar atau sedang menertawai aku yang menyusun kayu dan api yang tidak nyala-nyala. Pokoknya mereka sangat mengagumkan, aku pernah melihat temanku Dodi (sekarang sebagai koordinator SOKOLA Aceh) mengangguk-angguk bodoh memperhatikan anak umur tujuh tahun menjelaskan bagaimana cara memasang jerat untuk kancil, pemandangan yang lucu, karena dia itu dulu instruktur survival di kampusnya. Atau Willy (Koordinator SOKOLA di Jambi) yang menurut saja ketika dikerjai memotong pohon yang ditunjuk anak-anak yang ternyata bikin dia perih gatal-gatal, padahal sudah tujuh tahun dia di rimba. Aku masih menemani Berapit (8 tahun) memanjat dengan lincah, menjepit pohon kecil dengan kedua kaki mungilnya, menggapai rotan yang menjuntai untuk mengikat tiang pondok, aku menerimanya di bawah, cuma itu yang kubisa. Entah kenapa, sampai sekarang aku masih saja tidak dapat memanjat pohon yang tak bertangkai. Aku masih ingat sekitar empat tahun lalu aku kewalahan memanjat pohon kecil (berdiameter sekitar 20cm) untuk menghindari beruang. Masalahnya pohonnya lurus seperti pohon kelapa, walau berusaha naik, selalu saja merosot ke bawah. Waktu itu sepertinya ada pembagian tugas secara otomatis, anak yang kecil-kecil (di bawah sembilan tahun) memanjat ke atas pohon, sedangkan yang lebih besar berusaha membunuh sang beruang yang memang sudah terjebak dalam jerat, sekaligus mencoba menakut-nakuti, mengusir induk beruang agar menjauh. Aku tertinggal di bawah, ketika semua murid kecil sudah di atas pohon, sementara yang agak remaja (belasan tahun) memburu beruang itu. Murid-murid kecilku terperanjat ketika melihat ke bawah pohon, aku masih merayap tak sampai-sampai. Mereka turun lagi sembari menggerutu, “Taun..!! ibuk a lagi ke bewoh, lolonye, ngacow- ngacow tasi bae” (Aduh, ibu guru tertinggal di bawah, ampun, bodohnya, bikin sulit saja!” begitu kira-kira artinya). Mereka serta-merta turun lagi, mendorong pantatku dari bawah untuk memanjat ke atas pohon hingga mencapai pegangan ranting di tempat yang agak tinggi. Aku merasa 78 / DARI TANGAN PERTAMA

sangat bodoh, sudah dewasa tetapi berada di atas pohon bersama anak-anak kecil, sementara anak-anak lain, yang sedikit saja lebih besar, dengan perkasanya berusaha menikami beruang tersebut dengan tombak. Kudengar beruang itu berteriak panik, seperti suara ketakutan bercampur dengan kepiluan memanggil-manggil ibunya minta pertolongan. Aku mendengar suara sang induk berteriak marah di kejauhan, tetapi anak- anak ini balas menggertak supaya induk beruang tak berani mendekat. Aku tak tahan lagi, kuhardik mereka, “Lah..lah.. kateg’la dibunu, payu awok pogi!” (“Sudah, sudah, tidak usah dibunuh, ayo kita pergi!”) air mataku mengalir tak sengaja. Seorang anak kecil di pohon sebelahku berkata lirih, “Ibuk guru, hopi taug becakop mumpa iyoy, todo dianing dewa, awok hopi bulih lagi..” (kira-kira artinya “Ibu guru, tidak boleh berkata begitu, itu rejeki, kalau dewa dengar, nanti kita tidak dikasih lagi..”) Aku mengangguk-angguk mengerti. Jadi kukuatkan saja hatiku sambil terus-menerus meyakinkan diriku, bahwa ini normal-normal saja..., alamiah, adil. Kulihat Besemi, seorang muridku, menikam mengarah ke dada samping beruang itu, tetapi cepat ditangkap sang beruang, digigit dan dipatahkannya tombak itu hingga terbelah. Muridku yang lain, Peniti Benang, kemudian mengomandokan agar semuanya serempak menikamkan tombaknya, sehingga pasti ada tombak yang lancar menikam tembus dadanya. Ada empat orang, dan dengan beberapa tikaman tombak, beruang itu mengerang lalu mati. Kudengar suara induk beruang berteriak-teriak mula-mula meraung marah kemudian bernada putus asa, sambil berjalan menjauh sehingga suaranya semakin sayup menghilang. Oh, betapa sulitnya menerima ini, apalagi bahwa aku kemudian juga turut memakannya. “Beginilah survival di sini,” pikirku sambil membayang- bayangkan bagaimana jika aku yang masuk jerat, lalu disantap oleh keluarga besar beruang. Bagaimanapun, hari itu aku mendapat pelajaran yang teramat berharga, bahwa terkadang hidup ini memang terlihat keras, tetapi sebenarnya itu hanyalah hal-hal yang sebenarnya memang layak terjadi. Aku belajar untuk memandang persoalan dari konteksnya, bukan dari cara pandangku. Bandingkan dengan gembar-gembor orang yang menyatakan telah membantu Orang Rimba, dengan menyumbang baju, atau rumah misalnya. Kelihatan indah dan heroik, tetapi sebenarnya itu tikaman yang halus di benak Orang Rimba, menyakiti hati mereka, bahwa secara tidak langsung mereka berarti dianggap telanjang selama ini, sementara pemberian rumah berarti pernyataan bahwa mereka miskin, kedinginan di hutan, sehingga perlu diberi rumah dengan empat dinding. Rumah begitu adalah penjara. Apalagi kalau disuruh beternak, mereka tabu makan / 79KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

hewan ternak..itu seperti pengkhianatan, memakan hewan yang sejak kecil dipelihara dan dibunuh ketika gemuk. Mereka hanya makan hewan “liar” yang perlu “bertarung” dulu sebelum jelas siapa boleh makan siapa. Yang sudah-sudah, kebanyakan perumahan seperti itu ditinggal pergi, kembali lagi ke dalam hutan. Hutan adalah segalanya buat Orang Rimba. Rumah yang nyaman adalah ketika tidur berhembus semilir angin yang membelai- belai wajah serta gemersik dedaunan yang menjadi lagu merdu pengantar tidur. Ayo, ayo, cobalah berpikir seperti mereka! Aku tersadar, hari sudah gelap, cepat-cepat kutinggalkan sungai, kembali ke pondok. Mata murid-muridku sudah menanti, berbinar-binar. Kusiapkan diriku dengan mengingat-ingat segala sesuatunya dengan baik. Ini hari pertama kunjungan kali ini, sudah tradisinya setiap kali aku datang, di sepanjang malamnya aku harus cerita apa-apa saja yang aku lakukan selama meninggalkan mereka... BUTET MANURUNG Founder & Direktur Sokola Institute Foto: Lukman Solihin *) Melangun adalah : pergi meninggalkan tempat tinggal ketika ada anggota keluarga/ kelompok yang meninggal dunia. Tujuannya untuk melupakan kesedihan, buang sial, menghindari kutukan, penyebaran wabah. Walaupun masyarakat ini mulai masuk dalam transisi semi-nomadic (berburu-meramu yang divariasikan dengan membuka ladang kecil pertanian ladang kering), tradisi melangun masih sangt kuat dijalankan, hanya saja waktunya tidak selama dulu (bisa hingga 7 tahun) dan wilayah jelajahnya tidak seluas/sejauh beberapa tahun lalusebelum kawasan transmigrasi, HTI, perkebunan sawit dan jalan lintas sumatra aktif mengakses 30 tahun terakhir. 80 / DARI TANGAN PERTAMA

HARIMAU JAWA MEMANGGILKU DIDIK RAHARYONO PPertengahan 1997, di dalam ruangan berukuran 2 x 3 m2, aku tengah serius menyusun naskah skripsi. Tiba-tiba Kang Letheg Mapagama datang tergopoh ke gudang peralatan di sudut belakang sekretariat Mahasiwa Pecinta Alam Fakultas Biologi Gadjah Mada (Matalabiogama) itu. Dia membawa informasi mengenai Pendidikan Lingkungan untuk Kelompok Pecinta Alam (PL-Kapai) 1997: Ekspedisi Meru Betiri, bertopik Pencarian Harimau Jawa. Spontan aku menolak, sebab aku bertekat menyelesaikan naskah skripsiku. Tahun ini aku harus wisuda. Bapak dan ibuku sudah berharap aku menjadi sarjana. “Maaf Kang Letheg, walau dipanggil presiden sekalipun, aku tak akan bergeming. Studiku harus selesai, hanya tinggal penyusunan naskah,” kataku. Tetapi Kang Letheg berargumentasi panjang lebar. Intinya “Ini kesempatan sebagai orang Rimba Gunung masuk zona inti Taman Nasional. Kalau tidak dalam kegiatan seperti ini sulit memasuki hutan perawan tanah Jawa yang tersisa.” Pendaftarannya tinggal seminggu, syarat diterima dan terpilih menjadi anggota tim ekspedisi harus / 81KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

mengirimkan tulisan bertopik konservasi, Harimau Jawa, Taman Nasional atau lingkungan. “Masak kamu orang Rimba Gunung dari Jurusan Biologi nggak berani ikut ekspedisi ini?!” kalimat provokasi Kang Letheg sungguh menyinggung egoku dan terngiang selalu di telinga sepanjang malam itu. Ah, nggak ada salahnya ikut ekspedisi ini. Lagian naskah skripsiku sudah tersusun dan tinggal menyerahkan koreksi ke dosen pembimbing lalu pendadaran, pikirku mulai tergoda. Sebenarnya nama Meru Betiri sudah tidak asing bagiku. Tahun 1992, aku menjadi anggota tim Ekspedisi Matalabiogama meneliti jenis udang dan ikan air tawar sepanjang sungai Sukamade dari hulu hingga hilir. Dua minggu timku menyusuri sungai untuk menjala ikan dan udang. Setiap jenis berbeda yang tertangkap kami koleksi agar dapat diidentifikasi. Penelusuran sungai sungguh melelahkan, kadang harus pindah punggungan bukit untuk menghindari tebing terjal. Malam hari tetap berbasah ria dan tak peduli gelapnya hutan karena harus tetap mengambil data yang menyesuaikan jam biologis satwa target. Aku pernah datang sendiri ke Bandealit, sebuah enclave perkebunan di Meru Betiri Barat, untuk survei persiapan pembangunan monumen Hari Duka Matalabiogama 1994, sebab yang lain masih kuliah dan praktikum. Aku berprinsip, mumpung bisa masuk hutan di Taman Nasional dan dibiayai organisasi. Sendiriku justru membawa berkah, sebab banyak warga menjadi empati. Mungkin karena kurus, kumal atau entahlah, yang penting tidur dan makanku terjamin. Berbekal informasi usang berumur 10 tahun, kutelusuri nama-nama warga yang tertulis di laporan untuk kutanyai tentang lokasi persisnya kedua kakak Angkatan Matabiogamaku gugur pada tahun 1984. Setelah ketemu tebingnya, aku berdoa untuk Mbak Tuti dan Mas Ali. “Semoga setelah menjadi sarjana, aku bisa menyusuri lebatnya hutan Meru Betiri untuk meneruskan perjuangan Mbak Tuti dan Mas Ali,” gumam hatiku. Oh ya, aku lupa bercerita. Di Fakultas Biologi UGM aku mengambil Jurusan Botani bukan Zoologi. Sewaktu SMA aku mengambil jurusan A-2 (Ilmu Ilmu Biologi), itupun setelah dimarahi Bu Retno wali kelasku di kelas 1. Sebelum liburan kenaikan kelas aku memilih A-1 (Ilmu-Ilmu Fisika) karena ingin menjadi ahli Astronomi. Di hari pertama masuk kelas 2, aku minta pindah ke A-2. Alasanku, “Saya sudah belajar fisika dan kimia selama liburan ini tapi sulit paham Bu. Beda dengan belajar biologi. Hanya membaca selintas saya sudah paham. Mohon lah Bu, agar saya dipindah ke A-2.” 82 / DARI TANGAN PERTAMA

Permohonan itu akhirnya dikabulkan. Terima kasih Bu Retno karena akhirnya aku diterima kuliah di Yogyakarta sesuai pilihan pertamaku yakni jurusan Botani, Fakultas Biologi UGM. Mungkin sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tumbuhan bahan racikan nenekku yang sehari-hari berjualan jamu di pasar Gabus, Pati, Jawa Tengah, tempatku nunut lahir. ANGGREK DAN HARIMAU Akhirnya aku ikut mendaftar dan diterima menjadi peserta Tim Ekspedisi Meru Betiri PL-Kapai 1997. Kususun makalah berjudul ‘Menelusuri Satwa Mangsa Agar Bertemu Harimau Jawa’. Selain soal harimau, aku juga berusaha mencari Anggrek Matahari yang konon tumbuh di sana. Pemanduku masuk Meru Betiri 1992, Pak Mirun, banyak bercerita tentang spesies ini yang dicandrakan memiliki kelopak sebesar dua telapak tangan yang digabungkan, tentu bernilai ekonomis tinggi, pikirku. Di acara pembekalan sebelum ekspedisi berlangsung bulan Agustus, aku baru tahu bahwa Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) sudah diklaim punah. Padahal 1994 sewaktu survei di Bandealit, Pak Agus bersaksi bahwa sebelum tsunami ada dua ekor harimau loreng mondar- mandir di lapangan. Harimau loreng itu terlihat jelas sebab bulan sedang terang. Paginya beliau mendatangi lokasi tempat harimau muncul dan dijumpai jejak kaki sebesar piring. Tahun 1995, aku diberi sobekan kulit harimau loreng oleh adikku dari Blora. Menurutnya, kulit Harimau Jawa itu dibunuh pasiennya dan dijadikan bahan barter pengganti biaya pengobatan karena tidak punya uang. Saat membawa dan memberikan potongan kulit harimau itu, adikku bertutur, “Sejak ada benda ini, aku selalu pingin marah dan hawanya panas, Mas.” Artinya warga masyarakat tepi hutan masih bertemu bahkan membunuh Harimau Jawa. Di tingkat pemburu dan pedagang gelap, harga kulit harimau loreng lebih mahal dari pada kulit macan tutul apalagi kulit macan kumbang. Aku tak peduli dengan materi Harimau Jawa, aku hanya bertekad bisa menemukan dan membawa sampel Anggrek Matahari keluar dari zona inti Taman Nasional untuk aku budidayakan sebagai peluang bisnisku setelah wisuda. Setengah bulan di dalam hutan, banyak spesies anggrek yang kudata, kuingat lokasinya, kutandai dalam peta kontur, dengan harapan kudatangi lagi selesai ekspedisi. Kesukaanku pada anggrek kuwujudkan dengan mendirikan Kelompok Studi Anggrek (KSA) di Fakultas Biologi UGM tahun 1992, dan aku menjabat Sekretaris. / 83KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Setelah limabelas hari di dalam zona inti Meru Betiri, kami keluar hutan berkumpul di Sukamade. Saat presentasi hasil Ekspedisi yang targetnya data karnivor besar, Tim IV-ku hanya menampilkan satu plaster cast macan tutul, dan memaparkan puluhan anggrek spesies penghuni Meru Betiri. Kawan-kawan kelompok lain yang bukan dari Fakultas Biologi justru menemukan tapak kaki karnivor dari ukuran 16-22 cm dan feses mengandung rambut mangsa berdiameter 2-4 cm. Hal itu membuatku ‘gerah’, tersinggung. Masak aku yang dari Fakultas Biologi tidak menghasilkan data keberadaan Harimau Jawa. “Aku harus mengambil peran atas eksistensi Harimau Jawa,” dendamku. Kutinggalkan data angrek spesies yang terkumpul dan kubanggakan itu, yang ternyata ‘kalah telak’ dengan temuan bukti yang menandakan kehadiran para harimau. Diam-diam, tanpa sepengetahuan tim yang lain, kurapikan catatan-catatan temuan karnivor besar mereka dari satu kelompok ke kelompok berikutnya. Kutanyai satu persatu anggota kelompok penemu jejak tapak kaki dan pembuat plaster cast berukuran 16-22 cm itu. Meneliti peneliti pikirku. Padahal lebih tepatnya aku si ‘pemulung data’. Ku analisis hubungan antara topografi, jenis tutupan hutan, satwa mangsa dan waktu posisi temuan yang mengindikasikan kehadiran harimau Jawa. Aku mulai merumuskan perbedaan antara kotoran milik kucing hutan, macan tutul dan terduga harimau Jawa. Dari data-data ini, kubuat poin-poin pentingnya terutama menyangkut ukuran feses, ukuran jejak tapak dan tinggi garutan di pohon dari permukaan tanah. Di kesempatan berikutnya, September 1997, aku diajak memantau Elang Jawa oleh Balai TNMB atas jasa baik Mas Wahyu Giri. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Elang mulai beraktivitas saat matahari meninggi jam 09.00 pagi. Maka ketika langit mulai terang jam 06.00 aku menelusuri lorong-lorong hutan untuk mengoleksi data keberadaan karnivor besar, pun saat menuju senja kala elang sudah tak beraktivitas. Keahlianku semakin meningkat, terlebih setelah pihak TNMB melakukan kegiatan monitoring mamalia besar, dan aku dilibatkan lagi pada Nopember 1997. Pemanduku kala itu Pak Ti yang biasa dijuluki Pak Ti-Celeng. Beliau memang ahli berburu celeng dan menguasai jalan-jalur setapak di dalam TNMB. Dipandu Pak Ti-Celeng, aku menjumpai cakaran setinggi dua setengah meter dengan jarak antar kuku sekitar tujuh sentimeter di pohon berasan. Sebelum diantar ke lokasi cakaran, posisiku sedang di atas pohon, di tepi sungai. Entah mengapa tiba-tiba aku dilanda rasa takut yang mencekam, sehingga kuputuskan untuk memanjat pohon setinggi 84 / DARI TANGAN PERTAMA

empat meteran dan duduk di cabang menunggu kejadian apakah yang akan kuhadapi. Hampir empat jam aku di atas cabang pohon itu, dari jam 8 pagi sampai matahari agak bergeser dari ubun-ubun jam 12-an siang. Tiba-tiba Pak Ti-Celeng menghampiriku dan bertanya, “Ngapain di atas pohon? Ayo turun! Saatnya makan siang.” Dalam perjalanan menuju flying camp Pak Ti-Celeng mengambil jalur yang agak memutar. Ketika sampai di dekat pohon Berasan di hamparan hutan bambu Pak Ti berhenti. “Seperti inikah apa yang kamu cari selama 13 hari ini?” Beliau menunjukkan bekas cakaran sangat besar dan lebar. Aku terpana. “Ini bekas goloknya orang memotong bambu atau rotan ya Pak?” Dengan entengnya Pak Ti-Celeng berseloroh: “Kau cermati saja bekas- bekas sampah potongan bambu atau rotan jika ada di bawah pohon itu”. Benar adanya, bersih. Tidak ada bekas sisa potongan bambu atau rotan. Artinya luka goresan di pohon berasan ini jelas akibat ulah harimau loreng. Oleh Pak Ti-Celeng dijelaskan bahwa di areal ini ada Gembong, sebutan bagi harimau loreng jantan dewasa bertubuh besar. Berhubung mulai sore dan belum makan siang, maka pengukuran kami detailkan keesokan harinya. Selain Pak Ti-Celeng, nara sumberku dalam membaca dan mengenali bekas Harimau Jawa berikutnya adalah Pak Li, Pak Hamzah, Pak Rin, dan Pak Netran. Pengalaman berdiskusi dan bergerak di lapangan bersama mereka saya susun menjadi buku ‘Petunjuk Mencermati Keberadaan Karnivor Besar di Jawa’. Lalu tahun 2001 oleh Mas Eko Teguh Paripurno bahasa kaku-ku berupa petunjuk itu ‘disetrika’ menjadi buku ‘Berkawan Harimau Bersama Alam’. Penerbitannya didukung Gibbon Foundation dan Zoo de Doue Perancis. Buku ini ditulis dengan tujuan agar pecinta alam dan penjelajah hutan, mampu mendokumentasikan bekas aktivitas karnivor besar khususnya harimau jawa dengan kaidah-kaidah ilmiah. EPILOG Sebegitu jelas informasi eksistensi Harimau Jawa dari penuturan warga lokal tepi hutan dan berbagai bukti bekas aktivitas yang saya dan kolega- kolega kumpulkan, tak mampu mengubah predikat punahnya. Harapan terbesarku adalah perlindungan hutan di Jawa, setidaknya usaha pemuliaan habitat menjadi kesadaran komunal. Dengan demikian populasi Harimau Jawa tersehatkan dan pulih, sehingga spesies karismatik ini terselamatkan dari ancaman kepunahan sejati yang sangat tidak kita harapkan. / 85KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Selama perjalanan menekuni eksistensi Harimau Jawa, aku banyak bertemu dengan warga di tepi hutan dengan tingkat kesadaran spiritual sangat tinggi guna menjaga keharmonisan alam. Mereka sepertinya individu-individu yang bersembunyi di terangnya sinar matahari, bergerak dalam sunyi. Oleh karena itu sejak 2002 aku bersama istri menggagas Perkumpulan Peduli Karnivor Jawa walau baru tahun 2006 dibuatkan badan hukumnya. Untuk memperluas ruang diseminasi ke publik di era sosial media, maka web pedulikarnivorjawa.org kami luncurkan sejak 2012. Sepanjang 2004- 2006 javanteger.or.id pernah juga kami terbitkan. Tujuannya, agar kita benar-benar dan bersungguh-sungguh dalam menjaga, melindungi dan merawat hutan-hutan tersisa di Jawa. Ternyata banyak pengetahuan tersembunyi di dalam kebudayaan masyarakat sekitar hutan yang aku rangkum sebagai Etnotigrologi. Atas tuntutan Tuhan, aku bersama istri hidup nomaden. Dalam rentang 2001 sampai 2008, kami berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Dari Jogja, ke Pati, kembali ke Jogja, lanjut ke Slawi, Kulonprogo, Kudus, balik lagi ke Slawi dan akhirnya ke Cirebon. Selama di kota-kota itu aku berprofesi sebagai pengangguran, petani kebun, pengasuh satwa, peracik herbal, guru PAUD, pemasang kamera trap lalu konsultan Mamalia High Conservation Veleu. Uniknya, setiap tinggal di kota-kota itu, selalu saja mendapat laporan tentang keberadaan Harimau Jawa dari warga di situ. Bahkan sampai sekarang pun informasi tetap mengalir, walau kami terpisah 50 km sampai 100 km. “Harimau Jawa memang selalu memanggilmu, Mas”, kata Istriku. DIDIK RAHARYONO 49 tahun, peneliti independen harimau jawa. Pendiri Perkumpulan Peduli Karnivor Jawa. Keseharian sebagai petani guna kemandirian riset dan Konsultan Mamalia HCV di Jawa, Kalimantan dan Sumatera. 86 / DARI TANGAN PERTAMA

NAFTALI, SI PENYELAMAT DARI WAMESA EKO BINARSO 14TOFOI, DISTRIK SUMURI 14 Oktober 2015 adalah hari yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Rabu itu, bersama dengan empat kawan lainnya Absalon Soway, Hengki Sowai, Blasius, dan Toni Dorisara, kami berangkat menggunakan long boat bermesin tunggal 40 PK dari Tofoi menuju Bintuni, Papua Barat yang berjarak sekitar 60 km. Normalnya perjalanan ini bisa ditempuh sekitar tiga jam. Tofoi adalah kota kecamatan yang luasnya tiga kali lipat DKI Jakarta, berpenduduk sekitar 7.000 jiwa. Teluk Bintuni terletak di bagian kepala burung Pulau Papua. Lebar teluk di bagian hilir sekitar 70 km dan langsung berhubungan dengan Laut Seram. Sedangkan bagian hulunya, sekitar 20 km. Pantainya, sejauh mata memandang penuh ditumbuhi bakau, di mana bermuara jaringan sungai yang besar dan kecil. Akan mudah tersesat di sungai-sungai tersebut bila tidak biasa melewatinya jalurnya. Setiap harinya selalu ada perahu masyarakat, nelayan maupun milik perusahaan melintasi teluk menuju kota Bintuni untuk berbagai / 87KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

keperluan. Kehidupan di wilayah ini sudah saya kenal sejak 2005. MENUJU BINTUNI Kami menggunakan perahu milik pemerintahan Distrik. Badan kapal terbuat dari bahan fibre, panjangnya sekitar delapan meter dan lebar tengahnya satu meter. Jangan bandingkan perahu ini dengan kapal milik perusahaan minyak yang dilengkapi dengan GPS, peralatan komunikasi, radar, perlengkapan keselamatan dan mesin 40.000 PK beserta dengan awaknya. Hari itu saya dan bapak Kepala Distrik Sumuri, Absalon Sowai berangkat menuju Bintuni dalam rangka pertemuan dengan Bupati Bintuni untuk melaporkan persiapan pekerjaan pemetaan wilayah ulayat suku Sumuri yang disponsori oleh Genting Oil. Perahu kami melaju melalui sungai Seinandara menuju kota Bintuni berbekal 60 liter bahan bakar. Toni, anak muda pengangguran, duduk di haluan sambil mengawasi kalau ada batang kayu yang dapat menghalangi lajunya perahu. Pak Distrik tiduran, saya di tengah, sementara Blasius duduk di buritan sebagai motoris yang mengendalikan perahu bersama petugas PLN Tofoi yang ikut ke Bintuni untuk urusan kantornya. Perlengkapan yang saya bawa untuk menginap di Bintuni hanya pakaian untuk satu hari, peralatan mandi, jas hujan, dan selimut kain loreng andalan yang selalu saya bawa kemanapun, terutama bila harus pergi dalam waktu lama. Perlengkapan lain adalah telepon genggam, Victorinox dan segulung webbing sepanjang enam meter. Saat itu bulan Oktober dan sudah mulai banyak hujan. Namun, hari itu cuaca cerah dan air sangat tenang. Sepanjang perjalanan di sungai Seinandara, kami mengobrol santai sambil menikmati udara segar. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di mulut muara. Saya sudah melalui jalur ini berpuluh kali dengan kapal perusahaan, namun baru kali ini menggunakan perahu kecil. Hari sebelumnya, Genting Oil memberitahukan ada perahu bermotor ke Bintuni dan menawarkan bila ada rencana ke sana, mereka akan menjemput di jetty Tofoi. Namun saya memilih pergi dengan perahu bersama rombongan Pak Distrik saja. Alasannya sederhana, ingin merasakan perjalanan dengan perahu bermesin tempel bersama masyarakat. Selepas dua jam dari muara, ada pemandangan yang tidak biasa di tengah laut. Garis pantai Bintuni tidak terlihat, tertutup kabut putih tebal yang menghalangi pandangan mata. Kami tidak dapat melihat dua 88 / DARI TANGAN PERTAMA

bukit tinggi sebagai penanda arah untuk masuk ke muara Sungai Bintuni. Tidak seperti biasanya, laut sepi tidak banyak nelayan yang mencari ikan. Hanya ada satu dua perahu kecil yang berpapasan. Dari kejauhan, terlihat Pulau Asap, Pulau Amutu Besar, dan Pulau Babo yang sudah terlewati. MELIPIR KE SUNGAI Setelah tiga jam perjalanan, kami belum juga menemukan pintu muara Sungai Bintuni. Motoris memberitahukan bahwa minyak yang tersisa hanya satu jerigen atau sekitar 20 liter. Biasanya dari Tofoi ke Bintuni paling banyak menghabiskan 40 liter. Perjalanan tetap dilanjutkan sambil melihat samar-samar ke arah jajaran bakau yang tertutup kabut, mencari di mana pintu masuknya. Saat itu sekitar jam 14.30 dan langit memberikan tanda akan hujan. Motoris memberitahukan minyak tersisa 10 liter. Perahu berhenti untuk membahas kondisi ini dan akhirnya disepakati bahwa kami akan istirahat dan bermalam di perahu. Kapal bergerak ke sebuah muara untuk mencari tempat bersandar karena tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan. Selang 30 menit dari muara, perahu berbelok ke kanan dan masuk ke sebuah sungai. Dari situ terlihat pantai yang dipenuhi batu koral. Setelah perahu berhasil ditambatkan, kami membahas situasi yang dialami. Pak Distrik mengatakan bahwa dia sangat khawatir mengingat keluarga sedang menunggu kedatangannya. Selain itu ada janji pula bertemu dengan Pak Bupati esok hari. Saya juga mengatakan kepada mereka bahwa kita berlima akan dicari orang banyak mulai besok pagi. Maka disepakati bahwa besok pagi perahu akan didayung kembali ke muara agar dapat segera ditemukan oleh tim pencari. Kami perkirakan mereka akan menyisir pantai karena kapal besar yang digunakan tidak mungkin masuk ke dalam sungai disebabkan faktor pasang surut yang ekstrim. Sambil ngobrol kami mengumpulkan makanan dan minuman yang dibawa. Hasilnya satu botol air mineral 600 ml, sebungkus permen karet Peppermint (sebut merek, supaya bisa terbayang oleh pembaca), sebungkus kurang rokok milik Blasius, korek api, dan sebilah golok milik Hengki. Malam itu, kami menginap di atas perahu, di bawah hutan bakau. Tidak ada makan malam, kecuali sebotol air yang diminum secara / 89KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

bergilir dengan menggunakan tutup botolnya sebagai gelas. Telpon pun dimatikan karena tidak ada sinyal. Kami harus berhemat air dan tenaga karena tidak tahu kapan bisa bertemu dengan tim pencari. Malam itu hujan dan angin sangat deras, perahu terombang ambing ke kiri dan ke kanan dengan keras terdorong angin dan ombak. Beruntung saya membawa tali webbing sehingga perahu dapat terikat dengan kuat di antara pepohonan bakau. Tidak tahu tertidur berapa lama, tiba-tiba saya terbangun karena merasakan perahu bergerak. Saya bertanya kepada Hengki, “Kita ke mana?” Dia katakan mau ke kampung di atas. Dia tidak menghiraukan ketika saya ingatkan bahwa kami sudah bersepakat untuk kembali ke muara keesokan pagi. Hengki malah menjawab, “Bapak tenang saja. Kita yang urus. Ini wilayah kita. Bapak tahu apa?” Sementara lainnya hanya diam tidak berkata apapun. Sungai di mana kami berada lebarnya sekitar 200 meter dan selama itu Hengki masih terus mendayung sendiri menuju hulu sambil mencari kampung yang dia maksud. Perahu masuk ke sungai yang lebih kecil di sepanjang perjalanan. Semua diam dan saya menikmati suasana kabut serta suara berbagai jenis burung yang berkicau. Menjelang jam 10 pagi, perahu tidak bisa bergerak karena air surut. Kami terdampar di sungai dan siang hari semua penumpang terjemur di perahu menunggu air pasang sekitar pukul 6 sore. Bersyukur saya membawa selimut loreng untuk berteduh. Mereka yang tidak kuat menahan terik matahari, memilih menyeberangi lumpur setinggi paha untuk mendapat tempat teduh di bawah pohon bakau. Tanpa makan dan sedikit minum tersisa di botol. PERTEMUAN Meski banyak berdialog tentang apapun, namun saya merasa ada cara pikir yang berbeda dengan mereka dalam menanggapi situasi. Menurut saya sebaiknya kami segera ke muara agar mudah terlihat oleh tim pencari. Sementara Pak Distrik dan Hengki selalu mengatakan bahwa kami berada di wilayahnya dan mereka terlihat seperti tidak dalam situasi kritikal atau genting. Lalu saya katakan kepada Pak Distrik bila keluar masuk muara terus berupaya mencari kampung, maka tidak akan ada hasilnya. Tenaga akan semakin habis. Kalau kembali ke muara, pasti akan cepat ditemukan. Namun tidak ada tanggapan. Sempat terpikir, apakah yang dia katakan itu merupakan sebuah kearifan lokal atau didorong oleh hal yang lain 90 / DARI TANGAN PERTAMA

yang saya tidak tau? Menjelang siang di hari kedua, karena air surut dan lelah mendayung mencari kampung, perahu kami tambatkan di pinggir aliran sungai lalu istirahat dan tertidur. Perbedaan pasang surut sangat ekstrim sehingga jarak tepi sungai pada saat pasang dengan tepi sungai pada saat surut, bisa mencapai 50 meter. Hari itu kami terpanggang tanpa bekal air dan makanan. Yang dapat saya lakukan hanya tidur di perahu dengan perlindungan selimut. Kami mulai mendayung lagi sekitar pukul tujuh malam. Saya membuka bungkus permen karet terakhir, dibagi lima dan berharap badan mendapat sedikit asupan setelah dua hari tidak makan dan air minum sudah habis. Dalam situasi itu, sempat terjadi argumen antara saya dan motoris tentang kembali ke muara atau tidak. Kali ini Pak Distrik membenarkan perkataan saya. Perahu diarahkan agak ke tengah aliran sungai karena khawatir ada bagian yang airnya masih dangkal. Kami mendayung terus tanpa henti secara bergantian tanpa merasakan lelah, haus, dan lapar. Karena senter sudah tak bisa menyala, kami hanya mengandalkan penglihatan mata untuk menembus kegelapan malam. Sekitar pukul tiga pagi, saya terbangun karena perahu kandas di atas pasir sehingga tidak bisa bergerak. Semuanya kelelahan dan membiarkan badan terbaring di atas perahu. Tiba-tiba Blasius berkata, ”Perahu, perahu, perahu!” Kami semua terbangun dan berusaha melihat di balik kabut pagi ke arah yang ditunjuk oleh Blasius. Benar ada sebuah perahu pancing berpenumpang lebih dari satu orang. “Kejarrr!” kata Blasius setengah berteriak. Perahu yang menggunakan mesin kecil di bagian samping itu, masuk ke sebuah sungai sempit. Mengetahui kami mengejar, mereka menambah kecepatan. Mungkin takut dirampok karena jumlah kami berlima sementara mereka hanya bertiga. Kami terus mengejar sampai pada satu belokan perahu mereka tidak dapat bergerak karena ada batang pohon yang roboh dan melintangi sungai. Pak Distrik melambaikan tangan lalu berkomunikasi dengan bahasa lokal. Ekspresi lega tampak jelas di wajah mereka. Dari pembicaraan itu, kami mengetahui bahwa posisi kami ada di Sungai Modan dan Yensei adalah kampung terdekat, tempat tinggal Suku Wamesa. Di situ kami bisa membeli bahan bakar untuk ke Bintuni. Mereka memberikan arah letak kampung Yensei karena tak seorang pun di perahu kami mengetahuinya, kecuali informasi bahwa Sungai Yensei / 91KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

bersebelahan dengan Sungai Modan. Saya melihat di dalam perahu mereka, ada seekor rusa hasil buruan dan satu panci berisi nasi matang. Dari pertemuan tersebut, kami bisa makan nasi dingin sepiring dibagi berlima, polos tanpa sayur, lauk pauk, dan air minum. Saya makan dua kepalan kecil dan berusaha menelannya dengan segala syukur kepada Tuhan. Selain nasi, saya membayar sepotong paha rusa untuk bekal perjalanan ke Yensei ditambah tiga rokok linting untuk Hengki, Blasius, dan Toni. KAMPUNG YENSEI Setelah mengucapkan terima kasih kami secepatnya meninggalkan sungai Modan pada pukul 6 pagi, menuju sungai Yensei. Perahu didayung dengan semangat baru dan mumpung air masih pasang kami beruntung dapat melintas di antara pohon-pohon bakau sehingga tidak perlu jauh sampai ke muara Sungai Modan. Setelah berada di bagian atas muara Sungai Yensei, semuanya merasa lelah. Kami menepi dan mencari daratan yang sekiranya bisa untuk istirahat dan membakar daging rusa. Perahu berhenti beberapa puluh meter dari pinggir hutan bakau, kemudian berjalan kaki melewati lumpur setinggi lutut untuk sampai ke tanah keras. Blasius dan Toni menyiapkan alas duduk dari tumpukan pelepah sagu yang banyak terdapat di sekitar hutan bakau. Tanpa air minum, kami berlima memakan daging rusa bakar dengan rasa syukur. Blasius mendapatkan dua ekor kepiting bakau ukuran besar. Setelah dibakar, cangkang kepiting sebesar paha ayam langsung masuk ke dalam perut. Sarapan pagi yang mewah sekali. Sementara kami makan, Hengki masih asyik menyuci perahu yang kotor karena lumpur. Cukup jauh jarak kami dengan Hengki, sekitar 60 meter. Tiba-tiba dia berteriak memanggil-manggil kami, “Hoi…! Hoi….! Ada perahu!” Mendengar itu, Pak Distrik bergegas menuju perahu, berjalan terseok-seok melintasi kubangan lumpur yang dalam. Sambil menyantap daging rusa, dari kejauhan saya perhatikan laki- laki nelayan di perahu kecil itu sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan pada kami seperti halnya pemburu tadi subuh. Pak Distrik melambaikan tangan ke arah saya sambil memperlihatkan dia meminum dari sebuah jerigen besar. “Aiiiiiiirrr!!!!” Tuhan Maha Besar! Saya langsung berjalan melintasi lumpur untuk menegak air dan berjabat tangan untuk kemurahan hatinya. Dia mengatakan namanya Naftali. 92 / DARI TANGAN PERTAMA

Dari pembicaraan, disepakati bahwa setelah air pasang sore nanti, perahu kami akan mengikuti dia pulang ke kampung Yensei. Sambil menunggu, Naftali memancing dan kami semua berendam di sungai menahan terik matahari. Di kejauhan terlihat sebuah perahu kecil bermotor samping menuju ke arah kami. Ada tiga orang dewasa dan dua anak kecil di atasnya. Ternyata mereka saudara Naftali yang akan pergi ke Babo. Kami terperanjat senang karena Babo adalah kota di mana kami bisa mengabari teman-teman yang kami yakin sedang berupaya menemukan posisi kami. Kepada mereka yang di perahu, Pak Distrik berpesan agar menyampaikan berita kepada Polsek Babo dan Sekretaris Desa, bahwa dia dan rombongan ada di kampung Yensei dalam keadaan selamat. Air pasang dan setelah mendayung sekitar satu jam hari mulai gelap. Perahu berbelok ke kanan di pertigaan sungai, mengikuti cahaya senter dari perahu Naftali. Sampai pada satu tempat, Naftali mengajak Blasius jalan duluan supaya lebih cepat sampai di Yensei dan menyiapkan segala sesuatunya di sana. Dia meninggalkan senternya dan berpesan, “Nanti di depan ada pohon pisang yang pertama, beloklah ke kiri” Tinggal kami berempat mendayung di kegelapan sambil mencari pohon pisang yang dimaksud. Sekitar satu jam kemudian, betul bahwa ada pohon pisang di pertigaan anak sungai dan kami pun berbelok sesuai pesan dia. Sungai yang kami lalui kali ini lebarnya sekitar tiga meter. Kiri kanannya ditumbuhi pohon sagu dan semak air, serta banyak dahan melintang di sungai. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun kami belum sedikitpun melihat cahaya lampu di kampung atau bunyi suara generator. Mulai muncul berbagai pertanyaan serta rasa tak menentu yang menjadi bahan pembicaraan. Mendekati pukul setengah dua belas malam, antara percaya dan tidak terlihat satu persatu cahaya dari balik daun-daun pohon, lama kelamaan semakin banyak dan ditambah dengan bunyi generator. Tak lama kemudian ada puluhan orang, tua muda, besar kecil berdiri di atas dermaga melihat ke arah kami datang. Kami pun demikian, melihat mereka dengan penuh pertanyaan. Ah, ada Blasius dan Naftali si lelaki kecil itu ada di tengah kerumunan orang sambil tersenyum. Lega sekali rasanya. Naftali membawa kami ke sebuah rumah, diikuti beberapa orang- orang yang berdiri di atas dermaga tadi. Sesampainya disana, ternyata si / 93KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

empunya rumah mengenal Pak Distrik dan berubahlah suasana menjadi penuh keakraban. Pak Distrik menjadi juru bicara kami, menjelaskan apa yang terjadi. Tak lama kemudian, beberapa anak perempuan datang membawa bakul nasi, mie rebus, roti tawar bikinan ibu-ibu, dan teh manis. Ya Tuhan, rasa syukur tak putus-putus saya ucapkan dalam hati. Selesai berbincang, kami dibawa ke sebuah rumah di mana kami bisa beristirahat. Sebelum tidur, kami berlima berdoa dan saling bersalaman mengucapkan terima kasih. Pukul 9.30 pagi setelah mengisi penuh jerigen bahan bakar, kami berpamitan kepada para tetua kampung dan berdoa semoga selamat sampai di Bintuni. Menjelang berangkat, sebuah perahu kecil mendekat. Ada AKP Yohanis Natan Pabuntang, SH, Kasat Polair Polres Bintuni di atasnya. Dia berkata, “Selamat pagi. Apakah di sini ada rombongan Pak Distrik Sumuri, Pak Eko, Hengki, Blasius, dan Toni?” 94 / DARI TANGAN PERTAMA

Pak Distrik menunjukkan dirinya, disambut Pak Yohanis: “Puji Tuhan kalian selamat. Boat yang besar milik Genting Oil sudah menunggu di muara. Karena air surut maka tidak bisa masuk ke sini.” Ada satu boat besar dan tiga boat lebih kecil berjalan beriringan menuju Bintuni. Di boat yang saya tumpangi ada perwakilan dari Genting Oil, Kapten Arif, Kasat Polair Bintuni, Pak Yohanis, Kapolsek Babo, Pak Robin, dan dari Basarnas, Pak Samuel serta awak lainnya. Setelah acara serah terima di dermaga Polair dari Tim SAR kepada Pemerintah setempat, kami kemudian diantar kembali ke tempat masing-masing. Di rumah Pak Distrik, dia disambut pelukan oleh istri dan anaknya, saya kembali ke penginapan. Sekitar 30 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar. Saya buka dan menyambut dengan dengan penuh rasa syukur. Mereka adalah karyawan Pemda, Genting Oil, dan kedua adik tersayang yang baru saja tiba dari Jakarta menempuh perjalanan lebih dari 12 jam melalui udara dan laut. Kami pun berpelukan dengan hangat. EKO BINARSO 61 tahun, pendiri dan bekerja di PT Rakata. pernah aktif di gerakan Pramuka. Kini masih melakukan kegemaran travelling, bersepeda, tenis, naik gunung, dan berorganisasi. / 95KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

SAYA DAN SUNGAI, KAMI BERSAHABAT INGE SIANTURI Alam semesta adalah sahabat terbaik. Yang selalu memberi, tanpa pernah meminta. Berbahagialah mereka, yang bersahabat dengan-Nya. 11 Maret 1992 menjadi hari yang tidak akan pernah terlupakan oleh saya. Saat itu saya yang masih duduk di bangku akhir SMA mengikuti kegiatan retreat gereja di Wisma PGI, Puncak, Jawa Barat. Minggu pagi yang cerah berawan itu menjadi hari terakhir kami berkegiatan. Panitia memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk melakukan see sight atau jalan-jalan keluar wisma menikmati pemandangan sekitar. Kami dibagi dalam 12 kelompok yang masing-masing terdiri dari 96 / DARI TANGAN PERTAMA

10-12 orang. Semua senang karena rasa pertemanan dalam kelompok sudah terbangun. Menjadi rasa senang yang sempurna karena hari ini kami akan pulang. Berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Saya bersama 10 orang teman berada di kelompok X. Tertawa ria penuh canda menikmati pemandangan sawah dan lembah yang terbentang hijau. Dua jam berjalan, kami sampai ke tepian sungai. Awan tebal menutup matahari yang tepat di atas kepala. Ketika memandang ke hulu sungai, di sana tampak gelap. Mungkin sedang turun hujan, sementara di sini hanya turun hujan tipis-tipis. Sungai itu tidak lebar, sekitar lima meter saja. Kami mengantri berkelompok untuk menyeberanginya. Arus tampak kuat sehingga lebarnya sungai tidak mampu menampungnya. Masih lekat di ingatan, ada seutas tali dibentangkan. Diikat kuat kedua ujungnya pada pohon di pinggir sungai untuk menjadi pegangan bagi yang menyeberang. Saya ingat betul, tali tersebut berwarna biru. Tali yang sama yang biasa dipakai ibu saya untuk menjemur pakaian. Giliran tim saya menyeberang. Ketinggian air sungai sebatas dada. Arus bawah terasa begitu kuat, membuat sandal yang saya pakai terlepas. Refleks saya ambil, sambil tangan yang satu mencengkram tali. Jangkauan saya sangat tepat untuk sekedar menyelamatkan sandal milik adik yang saya pinjam. Daripada nanti ribut di rumah, batin saya dalam hati. Bersebelas kami berhasil keluar dari arus sungai yang mulai keruh kecoklatan. Perlahan-lahan kaki melangkah di tanjakan setapak yang basah karena hujan. Kami masih beringsut dalam perjalanan ketika seorang teman berlari dari belakang, berusaha melewati. “Ada apa?” tanya seorang dari kami. “Ada yang hanyut,” jawabnya singkat dengan nafas terengah. Tanpa perlu dikomando kami mempercepat langkah mengikuti teman itu. Saling mendorong untuk tidak berhenti. Ada hal penting yang harus kami lakukan di depan sana. Ketika kembali ke penginapan di siang menjelang sore itu, Wisma PGI tampak lengang. Saudara laki-laki saya yang tidak ikut acara jalan-jalan karena sakit, memandang dari kejauhan. Ada gurat lega di wajahnya ketika melihat saya muncul. Kami semua berlari menuju ruang pertemuan. Beberapa teman kelompok lain ada disana. Tapi lebih banyak yang tidak ada. Kami bertanya. Semua diam. Beberapa wajah tampak pucat, tidak mampu menjawab. Sampai akhirnya kami tahu, sembilan orang teman dan seorang panitia yang menyeberang sungai tepat di belakang kami, terbawa arus dan belum ditemukan. / 97KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

TERPAKSA KEMBALI KE SUNGAI Badan Khusus Pelantikan (BKP) Mapala UI adalah ajang dua tahunan perekrutan anggota baru organisasi pecinta alam di civitas akademika Universitas Indonesia. Perekrutan yang seharusnya dilakukan tahun 1992 terpaksa diundur karena organisasi tersebut kehilangan dua anggotanya pada pendakian di Gunung Aconcagua (6.962m) di bulan April. Kegiatan BKP akhirnya baru dapat terlaksana satu tahun kemudian yaitu di tahun 1993. Saya memasuki semester kedua di Fakultas Sastra UI ketika seorang teman memaksa ikut mendaftar sebagai calon anggota Mapala UI. Walaupun saat SMA saya aktif berorganisasi di klub pecinta alam sekolah, bahkan menjadi ketua, sama sekali saya tidak berniat ikut. “Nggak punya duit,” menjadi alasan saya. Padahal sesungguhnya, kejadian di sungai tersebut membuat saya enggan berkegiatan di alam bebas. Bahkan dalam rentang satu tahun antara 1992-1993, saya merasa takut setiap kali mendengar suara hujan dan bunyi petir. Ah, suaranya sungguh membuat hati saya gentar. Walaupun saya tidak melihat kejadian teman-teman terbawa arus, wajah mereka dengan tangan meminta tolong seperti terekam di kepala. Rasanya ingin kembali pada momen saya menyelamatkan sandal pinjaman itu dan membiarkannya hanyut. Mungkin itu dapat mempersingkat pergerakan tim saya saat melewati sungai, sehingga teman-teman tidak hanyut terbawa arus. Maya, teman saya di kampus tetap memaksa ikut Mapala UI. Dan tanpa konfirmasi, langsung mendaftarkan nama saya lengkap dengan membayar uang pendaftaran. Dan saya pun tidak ada pilihan. Akhirnya ikut di BKP Mapala UI 93. Tanpa teman. Maya hanya mendaftarkan saya, sementara dia asik merokok di Kantin Sastra. Dalam rentang enam bulan dari dua belas bulan BKP, kami calon anggota diwajibkan memilih divisi untuk berkegiatan khusus. Saya tidak mau memilih panjat tebing. Tidak menarik buat saya. Divisi Lingkungan? Juga tidak mau. Arung jeram? TIDAK! Coret langsung. Pilihan hanya tinggal satu. Divisi Layar. Bermain di laut sambil memandang birunya air tanpa batas, rasanya membuat hati lebih teduh. Tidak ada hiruk pikuk di sana. Bayangan kebisuan semesta itu membuat saya mantap memilih layar. Tidak ada yang lain lagi. Semua calon anggota sudah memilih divisinya. Saya tidak terlalu mencari tahu siapa teman yang memilih divisi yang sama dengan saya. Biar saja. Nanti juga akan ketahuan. Hingga suatu hari, mentor sailing 98 / DARI TANGAN PERTAMA


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook