Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

Published by Asrul Hidayat, 2022-07-28 07:06:16

Description: NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

Search

Read the Text Version

pengen beli mobil, bisa sama saya. Nomor saya di-save yah, Pak. Atau Bapak mungkin mau mengisi paket Bapak (biasanya dikenal dengan istilah top up)? Terima kasih Bapak sudah menggunakan jasa kami. Semoga selamat sampai tujuan.” Saya terkagum-kagum dengan ceritanya. “Pak… Apapun jenis pekerjaannya. Ujung-ujungnya duit juga yang kita cari. Tidak ada alasan untuk gengsi dan malu. Lagipula, ini pekerjaan yang sederhana: saya hanya menemani orang ke tempat tujuannya”. Saban sore dengan motor bututnya, ia menyambangi perumahan demi perumahan menjajakan jamu godoknya. Pria dari pulau seberang. Kulitnya coklat nyaris hitam ditimpa debu jalanan. Tapi deru dan debu kehidupan tak mengalahkan semangatnya untuk bertahan. Sebut saja namanya Mas Joko. Seperti biasa, sore itu ia menjajakan jamunya. Entah angin apa, kali ini saya ingin merasakan sensasi jamu buatannya. Dengan setengah memaksa, saya mengajaknya istirahat karena cuaca sore itu sedikit gerimis. Bosan Miskin, Bergeraklah! 89

“Kini saatnya Mas menikmati kopi buatan saya,” demikian saya membuka pembicaraan sore itu. Tak terasa sudah lebih dari satu jam Si Mas Jamu bercerita: isterinya juga adalah Mbok jamu keliling, sama seperti dirinya, seputar Jalan Lingkar. Tak kurang dari 300-400 ribu sehari yang mereka berdua dapatkan: hanya 5 jam sehari (shift pagi dan sore). Dapat dibayangkan berapa penghasilannya sebulan? Kelelahannya selama dua tahun meninggalkan pula seberang terbayar; kini mereka sudah memiliki rumah di salah satu perumahan dan 3 buah motor. Menurutnya, di kota asalnya hidup menjadi terasa sulit. Dunianya nampak suntuk, berat, dan buram. Ada perasaan gengsi dan malu untuk sekedar melangkah: to do something untuk merubah hidupnya. Padahal keluarga kecil yang baru dibangunnya butuh penghidupan: makan, minum, dan tempat tinggal. Tak mungkin selamanya bergantung kepada orangtua dan keluarganya. Sampai kapan mereka akan dapat membantu, sementara mereka juga mempunyai keluarga pula? Kesadarannya terantuk. Ia tak ingin sepanjang hayatnya hidup dalam kepapan. Tak hendak juga mewarisi kelemahan ini untuk anak-anaknya. Seminggu-dua minggu ia berbagi cerita dengan keluarganya dan pintu pertama yang mesti dilangkahi adalah move on dengan meninggalkan kampung halamannya: hijrah ke Pulau Negeri Seribu Masjid, Lombok. Hidup tanpa keluarga di negeri orang menuntunnya untuk menanggalkan perwatakan lamanya: malu dan gengsi. Apapun pekerjaan ia lakoni untuk sekedar 90 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

bertahan dan menafkahi keluarganya. Menjual jamu keliling adalah pilihan terakhirnya: ramuan khas yang menjadi identitas kulturalnya. Dengan sedikit keuntungan yang disisihkannya setiap hari, ia berencana untuk memulai peruntungan baru: jual nasi goreng dan bakso. Rupanya ia pelan-pelan bermetamorfosa menjadi seorang entrepreneurship, membuka lahan kerja bagi yang lain. “Kalau dihitung-hitung barangkali tak seberapa, Pak. Tapi kali banyak…? Dari jamu saja saya bisa mendapatkan 6 juta sebulan. Belum lagi dari nasi goreng dan bakso? Tidak butuh teori yang angel (sulit), cukup fokus, konsisten, serta kualitas produk (jamu) yang enak. Barangkali nampak kecil apa yang saya lakoni, tapi penghasilan saya ngga kalah dengan PNS. Atau bahkan lebih,” ujarnya terbahak-bahak bangga. Hari itu… Hujan rasanya enggan berhenti sampai jelang malam, masih jua. Padahal saya punya utang sama si kecil akan mengajaknya makan di salah satu kedai yang menu utamanya adalah bebek hijau kesukaannya selepas saya balik dari dinas luar kota. “Ibu kan sudah masak ayam. Enak loh… Ayo coba dulu deh… Ini kan hujan, Dek…,” Nyonya besar berusaha untuk sedikit bernegosiasi. Gagal… “Pokoknya bebek. Titik. Ayah uda janji kemarin. Kan bisa pake aplikasi belinya…,” ujarnya setengah berteriak. Bosan Miskin, Bergeraklah! 91

Ndredes rasanya ketika si bungsu menyebutkan layanan yang disediakan oleh salah satu aplikasi. Saya pun segera memesan pesanan Si Ade. Tertulis di sana Mhrz, nama samaran. Parasnya putih bersih. Gagah seperti waktu saya masih muda. Sepintas mirip aktor zaman saya: Ryan Hidayat. Setengah jam kemudian pesanan sudah diantarkan ke rumah. “Saya sebenarnya ngga tega memesan hujan-hujan begini karena khawatir terjadi apa-apa,” sapaku membuka pembicaraan. Tapi bagi dia justru hujan adalah berkah untuk mengejar bonus yang dijanjikan oleh layanan online tersebut karena para pemakai jasa online akan jauh lebih ramai dibandingkan cuaca normal. Sebentar ia bercerita bahwa ia baru saja mengantarkan tamu secara off line ke bangsal menuju Gili Trawangan. Rupanya sang driver adalah mahasiswa semester awal di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Mataram. Tak banyak informasi yang dapat saya gali, namun sempat bercerita bahwa ia mengisi waktu-waktu luangnya nyambi sebagai driver online. Pun penghasilannya lumayan. Tak kurang dari 150-200 yang ia peroleh setiap hari: tanpa mengganggu aktivitasnya sebagai mahasiswa. Dengan pendapatan sebesar itulah sang mahasiswa ini membiayai kuliahnya, bahkan menyisihkan untuk kebutuhan dasar keluarganya dan membiaya sekolah adik- adiknya. “Ketimbang saya nganggur di kos. Main sana sini ngga jelas. Mutar-mutar yang ngga perlu. Lebih baik saya habisin bensin saya untuk cari uang. Kerjaannya simpel: saya hanya meng-on-kan dan aplikasi yang akan ‘bekerja’. 92 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Frnsc dan Mhrzn adalah contoh pemanfaatan teknologi, tepatnya gawai cerdas guna. Di luar itu ada banyak profesi yang dapat dilakukan hanya dengan memanfaatkan mobile ini. Tunjuk misalnya menjadi reseller, jual beli makanan, minuman, pakaian, obat; umumnya apa saja yang dapat diuangkan. Anak-anak kekinian harusnya kreatif memanfaatkan lompatan gelombang teknologi ini secara baik. Dunia digital tidak hanya dipergunakan untuk memperbanyak pertemanan, namun juga dimanfaatkan sebagai alat untuk memperbanyak relasi yang bernilai ekonomis. Facebook, instagram, twitter, dan aplikasi media sosial lainnya harus diakui telah banyak melahirkan jutawan, bahkan Bosan Miskin, Bergeraklah! 93

milianer pada usia muda. Pun definisi usaha, bisnis, bahkan perusahaan telah mengalami perluasan makna tanpa perlu ‘adanya’ bangunan fisik. Handphone yang kita genggam setiap saat, juga adalah perusahaan itu sendiri karena lalu lintas transaksi dapat dilakukan hanya dengan satu klik, kapan dan di mana saja; “Cek email, Gan”; “Liat WA-nya”; “Aku inbox bro” dan masih banyak sapaan karib lainnya untuk memperlihatkan transaksi itu terjadi. Oleh karena itu, dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, harusnya membaca revolusi ini dengan mem-back up para mahasiswa dengan kurikulum dan atau kecakapan yang berorientasi pada digital marketing dan atau digital entrepreneurship. Skill ini menjadi sangat urgen agar out put lembaga pendidikan tinggi tidak selalu berorientasi kerja kantoran dan cita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil, juga agar out pun-nya tidak gamang pasca mereka kuliah. Sudut imajinasi dan cita-citanya pun tak selebar handphone, untuk tidak mengatakan selebar daun kelor karena di dunia luar ada banyak pekerjaan kreatif- imajiner yang bisa digeluti oleh alumni perguruan tinggi dengan segala ide-ide cerdasnya yang didapatkan di bangku kuliah. Laporan Tetra Pak Index tahum 2017 mencatat bahwa ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia di mana hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40%; ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial tiap bulannya: 85% di antaranya mengakses sosial media melalui perangkat 94 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

seluler. Tetra Pak Index juga mengungkap bahwa tercatat ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial tiap bulannya. Pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi millennial dan generasi Z; generasi yang lahir di era digital di mana smartphone dan belanja online sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Karena itulah, menurut hemat penulis anak-anak kekinian memiliki peluang untuk merubah nasib lebih terbuka tinimbang era zaman old, tapi bukan berarti mereka yang dilahirkan di zaman old tertinggal karena peluang marketnya open untuk siapapun. Sementara itu, profil Mas Joko ingin menjelaskan bahwa sekiranya di daerah asli hidup terasa berat dan perubahan tak kunjung nampak ada yang berubah, makan merantau: keluar negeri dan atau keluar kota dapat menjadi pilihan alternatif. Kita barangkali perlu banyak belajar tradisi ‘keluar’ suku Minangkabau, Batak, Makasar, atau bahkan dari saudara kita sesama NTB, Dou Mbojo. Keempat suku ini menurut pembacaan saya adalah para perantau ulung yang sukses. Di Jakarta misalnya, kita mengenal Kampung Tambora yang didiami oleh mayoritas Dou Mbojo; juga istilah Babikuning (Batak-Bima-Kuningan) dalam struktur birokrasi Jakarta. Artinya adalah untuk belajar kejuangan merantau kita cukup mengamati etos kerja saudara kita sendiri: Dou Mbojo. Selain itu, makna merantau dalam pengertian menjadi ‘pekerja migran’ juga bukanlah pilihan yang keliru dengan catatan income yang diperoleh dikelola secara cerdas sebagai modal usaha, investasi, dan biaya pendidikan serta tidak hanya dihabiskan untuk hal-hal yang Bosan Miskin, Bergeraklah! 95

bersifat konsumtif semata. Saya cukup mengenal beberapa ‘alumni’ pekerja migran yang sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi level sarjana, magister, bahkan menjadi dosen di luar negeri, yang pure ‘merantau’ hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi demi membiayai pendidikan. Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa, “BOSAN MISKIN? BERGERAKLAH…!!! Keluarlah dari zona aman, singkirkan rasa malas, malu, dan gengsi itu; bangkitlah membangun relasi dengan berkomitmen pada diri masing- masing bahwa kita harus benci dengan kemiskinan; ketidaksukaan yang ditimpali dengan kerja-kerja kreatif dan cerdas karena kerja keras tak cukup. Modal ini boleh jadi belumlah cukup karenanya ‘kecerdasan bertahan’ (adversity quotient): kemampuan dalam menghadapi kesulitan atau hambatan, kemampuan untuk bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami karena orang hebat (sukses) telah dibesarkan 96 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

oleh kegagalan berkali-kali. Miskin jelas bukan takdir (Tuhan), melainkan konsekuensi dari mental miskin. Bosan miskin? Fataharrak… Bergeraklah….!!! Bosan Miskin, Bergeraklah! 97

MELAWAN DARURAT PRAKTIK PERNIKAHAN USIA ANAK 98 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Indonesia darurat pernikahan usia anak. Fenomena ini menyerang kota maupun desa. Dulu potret ini lebih banyak terjadi di pedesaan karena keterdesakan ekonomi, rendahnya pendidikan, tradisi, dan legitimasi agama. Tapi sekarang, pengantin anak sudah tak pilih tempat. Kota pun disasar, desa-desa juga tentunya, oleh karena perkembangan teknologi (baca: media sosial) yang disalahgunakan. Pernikahan anak di bawah umur laiknya seperti fenomena gunung es di mana untuk satu kasus yang ditemukan, ada lagi 100 kasus di bawahnya. Pernikahan usia anak menurut Undang-undang adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perkawinan Bab 2 Pasal 7 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Menurut BKKBN bahwa pernikahan usia anak adalah pernikahan di bawah umur yang disebabkan oleh faktor sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, faktor orangtua, faktor diri sendiri dan tempat tinggal. Sementara menurut Islam, pernikahan usia anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum aqil-baligh. Potret pernikahan usia anak merupakan fenomena global yang terjadi di banyak belahan bumi, khususnya di Afrika dan Asia. Jumlah anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun setiap tahun tetap saja besar. Lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah sebelum mencapai usia dewasa, yaitu usia 18 tahun, dan sepertiga atau sekitar 250 juta anak menikah sebelum usia Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 99

15 tahun. Jika kecenderungan ini berlanjut, diperkirakan 142 juta anak perempuan (atau 14,2 juta per tahun) akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2011 sampai 2020, dan 151 juta anak perempuan atau 15,1 juta per tahun akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2021 sampai 2030. Dalam pada itu, Indonesia menempati urutan kedua pernikahan usia anak. Data Susenas 2012 menunjukkan bahwa sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10% menikah pada usia 16-18 tahun. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reni Kartikawati bahwa tahun 2016, sebanyak 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10- 14 tahun sudah menikah. Pasangan ‘muda’ di salah satu kabupaten di Pulau Lombok yang menjadi korban pernikahan usia anak. 100 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Di NTB sendiri, menurut data Badan Statistik Provinsi NTB, jumlah perempuan yang melakukan perkawinan pertama pada usia 10-19 tahun 2015 sebanyak 34,90% di mana Kabupaten Lombok Timur, menempati urutan tertinggi, yakni sebesar 41,66%, dan mengalami lonjakkan yang signifikan tajamnya pada tahun 2016, yaitu sebesar 51,19%. Kita semua tentunya prihatin dengan data-data di atas. Kekhawatiran ini berasalan karena pengantin yang masih terlalu muda beresiko tinggi putus sekolah. Untuk anak perempuan, resikonya adalah mengandung pada usia muda sangat berbahaya bagi kesehatan ibu dan bayinya. Lebih dari itu, pernikahan usia anak mengancam lebih banyak orang ke dalam jebakan kemiskinan yang kemungkinan besar akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, perkawinan anak terus menjadi beban di Indonesia. Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang. Hanya waktu saja belum tepat, merasakan semua. Pernikahan dini sebaiknya janganlah terjadi, namun putih cinta membuktikan, dua insan tak dapat dipisahkan”. Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 101

Lagu “Pernikahan Dini” yang diciptakan oleh Melly Goeslow merupakan lagu yang sangat booming sekali pada tahun 2001. Lagu ini, yang juga merupakan soundtrack sinetron dengan judul yang sama, secara apik dibawakan oleh Agnes Monica sekaligus aktris utama yang diduetkan dengan aktor Syahrul Gunawan. Lagu ini juga dijadikan soundtrack yang dinyanyikan ulang oleh Rossa dalam kampanye “STOP PERNIKAHAN DINI” oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pernikahan usia anak bukanlah sesuatu yang harusnya terjadi. Mereka yang belum cukup umur dan latah menjadi ‘ibu’ dan ‘bapak’ harus kehilangan masa- masa pertumbuhannya sebagai anak yang masih dalam pengasuhan orangtuanya oleh karena pernikahan usia muda yang mereka kehendaki atas dasar cinta ‘sesaat yang sesat’, atau mungkin karena faktor kemiskinan, budaya, dan faktor lainnya. Menikah dalam usia muda, tanpa persiapan apa-apa, lalu punya anak, sedang hidup mereka belum mandiri sungguh menjadi beban. Menikah yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya, menimbulkan penyesalan dari kedua pasangan. Pernikahan usia anak, tidak hanya terhentinya kesejahteraan anak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka juga rentan kesehatan, khusus perempuan, karena mereka harus mengalami proses reproduksi sebelum alat reproduksinya berkembang secara maksimal. 102 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Di sisi lain, dampak sosial karena perceraian yang terjadi pada pengantin anak. Mereka harus hidup di dua dunia yang membingungkan: anak-anak bukan, dewasa pun belum, tetapi harus berstatus janda dan juga duda dalam usia yang masih sangat muda, tentunya. Menikah dalam usia muda, tanpa persiapan apa-apa, lalu punya anak, sedang hidup mereka belum mandiri sungguh menjadi beban. Menikah yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan malah sebaliknya, menimbulkan penyesalan dari kedua pasangan. Sebenarnya kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di sinetron. Ia nyata. Ia ada di tengah-tengah kita. Karenanya, pernikahan usia anak mestinya dicegah karena dapat melahirkan mudharat bagi anak, terutama anak perempuan baik secara fisik maupun psikis, tetapi juga mudharat bagi masyarakat karena lahirnya generasi yang tidak tumbuh dalam lingkungan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, yang mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis dengan baik. Kita mesti bergerak bersama untuk menghentikan praktik pernikahan yang tidak sehat ini demi kualitas hidup anak-anak kita, demi masa depan mereka, yang pada akhirnya juga demi kualitas bangsa Indonesia. Diakui memang tak mudah menghentikan laju praktik pernikahan usia anak. Karena banyak faktor yang menyebabkan sengkurat masalahnya sulit terurai laiknya menarik rambut dari adonan roti, tapi bukan berarti tidak mungkin karena sumber soalnya sudah jelas. Sumber Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 103

asapnya karuan, pun apinya di depan mata. Tapi tak kunjung mereda, apalagi padam. Bagaimana mungkin api pernikahan usia anak akan berkesudahan sekiranya diurapi terus dengan bensin teologis. Salah satu ‘siraman’ yang kerapkali menjadi dalih pembenaran pernikahan anak adalah praktik pernikahan antara Rasulullah dengan Aisyah yang pada waktu waktu disinyalir masih berusia 6 tahun. Para ulama fiqih tak ayal menjadikan ini sebagai dalil yang absah akan legalitas pernikahan usia anak. Ibnu Syubrumah adalah salah satu yang menolak argumentasi teologis tersebut dengan pendapatnya yang bahwa agama melarang perkawinan di bawah umur (pernikahan sebelum baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubrumah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek histori, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi dengan Aisyah, Ibnu Syubrumah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad Saw. yang tidak bisa ditiru umatnya. Menarik apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab bahwa perkawinan menurut al-Qur’an dan Sunnah antara lain menetapkan tujuan perkawinan. Suami isteri-menurut Al-Qur’anhendaknya topang-menopang (isteri-isteri adalah pakaian buat kamu (wahai suami) dan kamupun 104 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

pakaian buat mereka (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187) dan saling bermusyawarah (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 6). Bagaimana itu dapat diwujudkan kalau isteri belum mencapai tingkat mental, emosional, dan spiritual yang dapat mendukung tujuan tersebut. Isteri oleh Nabi diserahi tugas pokok, yaitu mengurus rumah tangga. Bahkan boleh jadi dewasa ini lebih dari itu, karena pada hakekatnya fungsi keluarga bukan hanya reproduksi, atau ekonomi, tetapi lebih dari itu antara lain fungsi sosialisai dan pendidikan. Bagaimana mungkin seorang anak berumur enam belas tahun-yakni belum tamat Sekolah Menengah Atas dapat melaksanakan fungsi tersebut, kalau dia sendiri belum siap secara fisik, mental, dan spiritual? Jangankan perkawinan, menyerahkan harta kepada anak yatim telah mencapai usia dewasa pun tidak diperkenankan Al-Qur’an (Q.S. An-Nisa’ [4]: 6)- walau harta itu adalah miliknya yang berada di tangan wali, kecuali setelah sang wali mengujinya dan menemukannya telah mencapai apa yang dinamai oleh Al-Qur’an rusyd. Kata ini bukan sekadar berarti kemampuan fisik atau nalar tetapi juga kesehatan mental dan spiritual. Memang bisa saja ada seorang yang telah melampaui usia delapan belas atau bahkan dua puluh tahun tapi ia dinilai belum dewasa, sehingga belum dapat diberi tanggung jawab. Sekali lagi Islam tidak menetapkan batas tertentu bagi usia perkawinan. Itu sebabnya ditemukan dalam literatur hukum Islam aneka pendapat ulama dan Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 105

mazhab menyangkut batas minimal usia calon suami dan isteri. Ketetapan hukum yang berlaku di negara-negara berpenduduk Muslim pun, menyangkut usia tersebut, berbeda-beda. Bahkan dalam satu negara perubahan terjadi akibat perkembangan masa. Di Aljazair misalnya, pada mulanya delapan belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita, lalu dua puluh satu tahun bagi pria dan delapan belas tahun bagi wanita, lalu sembilan belas tahun bagi keduanya. Perbedaaan dan perubahan itu dapat dibenarkan karena kata ulama: “Kita tidak dapat serta merta meniru sepenuhnya ketetapan hukum yang lalu- walau kasusnya sama-karena ada empat faktor yang harus selalu dipertimbangkan sebelum menetapkan hukum, yaitu: masa, tempat, situasi, dan pelaku”. Yang menikah dengan wanita di bawah umur atau yang membenarkannya dengan dalih bahwa Rasul melakukannya terhadap A’isyah, adalah picik menurut Imam As-Sayuthi dan jahil menurut mantan Mufti Mesir Syekh Ali Jumah, bahkan angkuh karena dia mempersamakan dirinya dengan Rasul Saw. Memang tidak semua yang beliau lakukan boleh kita ikuti dan amalkan apalagi dalam hal perkawinan. Bahkan di sisi lain, tidak jarang apa yang ditetapkan Rasul Saw. diubah oleh pakar atau generasi sesudah beliau, karena ada perkembangan baru demi meraih kemaslahatan yang lebih besar atau menghindari mudharat. MUI sendiri memutuskan pernikahan usia anak pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru menimbulkan mudharat. 106 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pernikahan usia anak menurut hukum Islam, sah dan diperbolehkan selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun, jika pernikahan usia anak membawa dampak negatif yang lebih besar dan melahirkan mudharat, ia sesungguhnya bisa diharamkan. Karena prinsip dasar hukum Islam adalah jalbul mashalih wa dar’ul mafasid (Menghadirkan kebaikan dan menolak segala bentuk kerusakan). Prinsip ini sejalan dengan banyak ayat al-Qur’an dan teks-teks hadis. Di antaranya: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu dalam hal-hal yang membawa kehancuran. Berbuat baiklah, karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Baqarah: 195); Dari Yahya al-Mazini ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan mencederai diri sendiri maupun mencederai orang lain” (Muwaththa’ Malik, No. Hadis: 1435). Karenanya, ulama harus berani keluar dari jaring konservatisme irisan tafsir teks agama mengenai pernikahan (anak). Ulama dan tokoh agama harus berani bergerak untuk melakukan reinterpretasi atas teks-teks agama: ayat suci, sunnah, serta sumber-sumber agama dan keagamaan lainnya, agar tidak dipahami secara tekstual, telanjang, dan terlepas dari konteks. Paling tidak, ulama dan tokoh agama lainnya tidak mengambil peran sebagai: wali dan saksi, yang melegalkan pernikahan tersebut sekiranya ikatan berbeda jenis kelamin ini dianggap akan melahirkan dampak negatif dan atau mudharatnya lebih besar. Tak hanya membongkar pemahaman klasik atas Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 107

nalar teologis, tapi juga tidak menjadi aktor yang menikah dengan anak di bawah umur. Reformulasi tafsir dan reaktualiasi agama sangat penting, tapi yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah harus merevisi dan atau mengatur kembali Undang-udang yang mengatur usia perkawinan yang dalam regulasi tersebut masih cukup minim, yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria yang masih diimbuhi pula dengan Kartu Indonesia Kawin (KIK) atau semacam dispensasi bagi yang belum cukup umur untuk menikah ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa reformulasi hukum tersebut tidak kontradiksi dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menghendaki tidak terjadinya pernikahan anak karena dalam konteks ini, KUA tetap berpegang pada UU No 1/1974 khususnya masyarakat Muslim. Di luar itu, pemerintah juga mestinya merumuskan aturan yang jelas mengenai mekanisme pencegahan pernikahan usia anak serta sanksi yang jelas bagi subjek yang memanipulasi usia dan atau siapapun berkontribusi terjadinya praktik pernikahan usia anak. Karena faktanya, pernikahan di bawah umur yang tidak dicatat di KUA selama ini tidak ada pihak yang mempermasalahkannya selama pernikahan tersebut sudah memenuhi unsur rukun dan syarat yang ditentukan syari’at Islam”. NTB sendiri yang dianggap sebagai sarang pengantin anak berupaya keras untuk melakukan tindakan preventif dengan keluarnya Surat Edaran Gubernur pada 2015 108 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

tentang Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan di mana surat edaran ini mengatur usia perempuan minimum 21 tahun, sementara lelaki 23 tahun. Pemerintah kabupaten/ kota juga didorong untuk membentuk Perda yang mengatur usia minimal pernikahan. Tapi apakah perubahan regulasi, peraturan daerah, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya cukup? Tidak cukup! Pemerintah harus bekerjasama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan pencerahan dan edukasi tentang dampak dari pernikahan usia anak. Lombok Timur misalnya, sebagai lokus lumbung besar pernikahan usia anak, Pemda setempat mengundang tokoh agama untuk mendeklarasikan penolakkan terhadap pernikahan usia anak yang isi deklarasinya adalah: “Bertekad mengajak masyarakat dan seluruh keluarga untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak, mendorong terbangunnya budaya pernikahan berencana, menekan angka kematian ibu, melaksanakan delapan fungsi keluarga, dan meningkatkan kualitas lansia guna membangun keluarga kecil, bahagia, sejahtera”. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat pun tak mau ketinggalan. Melalui Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki program untuk menekan jumlah perkawinan anak dengan GAMAK (Gerakan Anti Merariq Kodek) dengan mengajak tokoh agama dan tokoh masyarakat terlibat aktif penuh di dalam mengampanyekan bahaya pernikahan usia anak. Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 109

Harus diakui pemerintah tidak pernah berdiam diri menyaksikan runtuhnya kualitas manusia Indonesia lewat pernikahan yang belum cukup umur. Telah banyak upaya yang diretas oleh pemerintah. Tunjuk misalnya sejak tahun 2009 dengan meluncurkan Pogram Generasi Berencana (GenRe) melalui BKKN yang programnya antara lain: GenRe goes to school atau GenRe goes to campus, pemilihan Duta Mahasiswa GenRe. Program GenRe menempatkan teman sebaya sebagai rule model yang aktif mengkampanyekan penundaan usia perkawinan. Pemerintah sudah bekerja, ulama sudah berperan, lantas siapa lagi? KITA. Kita semua sebagai warga masyarakat yang terkadang sebagai sumber masalah, subjek, juga sekaligus korban pernikahan usia anak. Pemerintah tentunya tidak dibiarkan kerja sendirian. Tangan kecil pemerintah yang terbatas tak mungkin menjangkau ‘kepala dan pikiran’ seluruh lapisan masyarakat. Majelis taklim dan pengajian yang diisi oleh para ulama tidak menyentuh semua telinga dan hati. Karenanya, masyarakat harus didorong dan atau warga harus inisiatif untuk merumuskan norma-norma sosial sesuai dengan kearifan lokal setempat, untuk melawan pernikahan usia anak atau merariq kodek. Di Lombok misalnya terdapat istilah awiq-awiq, di kalangan suku Mbojo (Bima-Dompu) dikenal dengan istilah maja ro dahu, yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan yang mengatur: jam midang, usia pernikahan, dan sanksi bagi pelaku. Bagi kita, bangsa Indonesia, yang masih 110 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

memposisikan hukum adat sebagai nilai hukum akan sangat ampuh apabila benar-benar diterapkan. Pemerintah, tokoh agama dan reformulasi teks agama, kesadaran akan nilai lokal sudah dibangun, tapi pondasi utamanya rapuh, yaitu keluarga dan lingkungan, tidak diperhatikan, mungkin pernikahan usia anak ini akan semakin pelik dan akut. Oleh karena itu, pemahaman keluarga bahwa pernikahan pada usia anak bukanlah praktik pernikahan yang ideal harus harus menjadi pemahaman dalam sebuah keluarga, juga harus mengontrol perilaku anak yang sedang ‘naik daun’. Intinya adalah harus ada upaya yang luar biasa yang harus dilakukan oleh para orangtua untuk menyikapi dan melokalisir darurat pernikahan usia anak. Lembaga pendidikan pun tak boleh abai dengan fenomena pernikahan usia anak. Selain melakukan hal-hal rutin seperti memberikan imtaq, shalat dhuha, shalat wajib berjama’ah, razia handphone seperti mengecek konten yang dibuka, mengecek konten isi handphone karena tak jarang ditemukan film dewasa di handphone para siswa. Selain itu, pihak sekolah juga perlu melakukan edukasi penggunaan media sosial yang sehat melalui guru bimbingan dan konseling yang rutin masuk ke kelas dan juga disisipkan di mata pelajaran. Pihak sekolah juga tak jarang mengundang BKKBN, Dinas Sosial, dinas terkait serta lembaga lainnya yang concern terhadap pernikahan usia anak. Yang harus diingat bahwa orangtua dan sekolah tidak mungkin mengawasi anak selama 24 jam. Ada faktor Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 111

lingkungan pergaulan yang memfasilitasi pernikahan usia anak. Masyarakat yang permisif yang berkolaborasi dengan malpraktek teknologi serta media sosial yang memicu terjadinya pernikahan usia anak. Peran orangtua untuk terus mendampingi akses terhadap internet adalah keharusan; edukasi pengunaan media sosial yang sehat yang dilakukan oleh sekolah-sekolah adalah cara yang tepat. Kebijakan pemerintah yang memblokir situs-situs pornografi adalah harus didukung penuh karena film- film tak senonoh itu yang kemudian dikonsumsi anak- anak berusia labil, menjadi pemicu terjalinnya hubungan terlarang, seks bebas, seks pra nikah yang pada akhirnya pilihan menjadi pengantin anak tidak dapat dihindari demi kejelasan status anak yang dilahirkan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pemerintah bersama instansi terkait seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus hand to hand memberantas mafia penjualan video-video porno, serta tak kalah pentingnya pihak kepolisian melalui cyber crime-nya untuk memberangus group-group cetingan seks dan porno di media sosial. Fenomena pernikahan usia anak yang ditopang oleh akses terhadap media yang tanpa filter telah menjadi ruang intimasi yang menjebak anak-anak usia labil, matang sebelum waktunya dengan menjadi ‘orangtua’ bagi anak- anak mereka. Kita tentunya tidak menginginkan anak-anak kita matang dan membusuk sebelum waktunya. Oleh karena itu, ruang-ruang yang tempat bernapasnya pengantin anak harus dipersulit ruang bergerak dan dibikin sesak napasnya 112 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

seperti kos-kosan yang cenderung bebas, tanpa peraturan, dan ini tentunya fasilitas yang luks serta terbuka bagi anak yang salah gaul ‘beradu kelamin’. Oleh karenanya, pemerintah daerah sebaiknya menyusun peraturan daerah tentang kos-kosan agar lingkungan kos-kosan sehat dan bermoral. Kita bisa mengambil contoh praktek di daerah lain, Yogjakarta misalnya, yang memiliki Perda Kos- kosan Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pondokan. Pun Perda ini sudah dinilai kadaluarsa sehingga DPRD Kota Yogyakarta melakukan revisi Perda dengan mengesahkan Perda baru tentang Penyelenggaraan Pondokan, yang mewajibkan pemilik pondokan berperan menjadi induk semang atau menunjuk seseorang menjadi induk semang. Selain mewajibkan induk semang berperan mengawasi penghuni kos, semua pengelola kos juga wajib menyediakan ruang tamu. Bila pengelola kos tidak menjalankan aturan yang baru, maka pengelola kos harus bersiap dikenai sanksi. Mereka harus siap dikenai denda, teguran lisan, dan tertulis hingga penutupan rumah kos. Jumlah denda berkisar Rp. 4,5 hingga Rp. 6 juta. Perda ini bertujuan untuk menekan kriminalitas dan kasus asusila. Juga mahasiswa fokus pada tujuan utamanya: menuntut ilmu, dan bukan malah tempatnya ‘Dini dan Dono’ bermesum ria yang menghasilkan ‘Ani atau Dani’. Pemerintah daerah lain bisa belajar dari Yogjakarta, karena selain diharapkan dapat meminimalisir praktik asusila, tapi Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 113

juga punya nilai tambahan pajak restribusi bagi pemerintah daerah. Dalam konteks Lombok, pernikahan usia anak terjadi karena mekanisme budaya merariq (lari bersama) yang longgar dalam masyarakat Sasak. Sistem merariq terjadi ketika seorang perempuan pergi ke rumah bersama laki- laki di malam hari, maka hal itu merupakan pertanda bahwa mereka akan menikah. Pernikahan oleh karena merariq ini kurang mempedulikan usia subjek yang melakukan selarian, selain legitimasi adat yang telah dipraktikkan turun-temurun yang memberikan ruang pembenaran untuk dinikahkan. Oleh karena itu, harus ada upaya rekonstruksi pemahaman kawin lari yang melibatkan tokoh adat bahwapernikahan dengan modus merariq hanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan memiliki kesiapan mental, spiritual, ekonomi, dan lainnya yang dalam bahasa agama sering menggunakan istilah al-ahliyah atas dasar suka sama suka. Edukasi tafsir merariq harus terus dikampanyekan agar masyarakat memiliki pemahaman yang sahih tentang merariq, dan tidak lagi melulu diperalat oleh mereka yang belum cukup untuk melakukan pernikahan. Oleh karena pembiaran praktik adat yang keliru ini berarti sengaja pula menciptakan kemiskinan dengan berlindung di balik payung adat. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah membekali anak dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (kespro). Baru sedikit sekali informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang didapat oleh mereka 114 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

yang belum menikah. BKKBN pernah membincangkan kemungkinan masuknya pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah. Namun, hal ini masih mendapat penolakan dari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan agamawan yang resisten terhadap pendidikan seks karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral. Padahal, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Tertutupnya akses pendidikan terhadap kesehatan organ seksual dan hak reproduksi ini justru meningkatkan resiko anak untuk mendapatkan informasi di tempat yang salah. Keterbatasan informasi dan pengetahuan ini membuat baik pria maupun wanita memiliki perilaku seksual yang beresiko. Penolakan orang selama ini lebih karena kesalahpahamannya atas pendidikan seks yang dimaknai sebagai ‘tindakan seks’. Padahal pendidikan seks bicara tentang fungsi-fungi alat kelamin dan keharusan bagi anak untuk menjaga virginitasnya sampai pernikahan itu terjadi. Persoalan pernikahan anak ini semakin kelam, karena kita menyakralkan KELAMin ini sebagai sesuatu yang tabu. Intinya, upaya edukasi baik kepada masyarakat selaku orangtua maupun kepada pelaku para remaja terkait dengan pencegahan pernikahan usia anak, tidak boleh ada kata lelah. Penguatan peran-serta Dewan Anak selaku organisasi (forum anak) harus terus mewadahi berbagai kegiatan- kegiatan positif bagi mereka. Goes to School juga harus ditingkatkan meningkatkan partisipasi anak. Masyarakat juga harus diedukasi dengan melakukan sosialisasi di beberapa wilayah tentang pendidikan bagi keluarga dan Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 115

melindungi anak sebagai modal kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Edukasi ini bisa dilakukan melalui media cetak, media elektronik dan media sosial tentang bahaya pernikahan anak. Mendampingi keluarga korban apabila ada laporan tentang akan adanya pernikahan usia anak dan keluarga korban tidak menyetujui pernikahan tersebut, dan mengupayakan agar tidak terjadi pernikahan anak tersebut. Dari apa yang disampaikan di atas adalah bahwa semua harus mengambil peran sesuai dengan kapasitas masing-masing. Kita tidak boleh lelah dan kalah melawan pernikahan usia anak. Sekiranya kita tidak dapat mewariskan harta yang banyak, setidaknya kita telah meninggalkan generasi yang kuat yang lahir dari proses waktu yang tepat. Sekali lagi, pernikahan pada usia anak bukan pilihan yang seharusnya. Rupa-rupa hantu jahat bernama penyakit berbahaya akan mengintai. Anak-anak yang terjebak dalam pernikahan anak akan rentan hidup dalam kemiskinan. 116 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Kekerasan rumah tangga juga tak pelak karena usia yang masih labil. Pendidikan pun terhenti. Kehamilan akan segera menyusul. Punya anak. Tak tertutup kemungkinan akan jadi janda muda pula. Mungkin juga akan mati muda. Sia-sia. Seperti buah di pohon. Terlalu muda dipetik, kurang enak. Terlalu matang, mudah jatuh dan membusuk. Pernikahan usia anak menimbulkan dampak buruk seperti kematian dan kemiskinan. Pernikahan usia anak juga akan mengakibatkan pergeseran nilai-nilai dan norma-norma mengenai perkawinan, seperti pernikahan usia anak dianggap sebagai sesuatu yang lazim dilakukan sehingga mutu dan kualitas keluarga tidak lagi menjadi prioritas di mata masyarakat; status janda atau duda sebagai dampak dari perceraian karena pernikahan usia anak relatif tidak lagi mempunyai stereotip negatif di mata masyarakat. Dalam konteks seperti ini, masa depan anak-anak yang orangtuanya bercerai karena menikah di usia anak akan menjadi beban masyarakat dan sekaligus memunculkan generasi yang lemah. Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak 117

ISLAM RAMAH DISABILITAS DAN PRAKTIKNYA DI NTB 118 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Dalam al-Qur’an ada banyak kosa kata yang secara literal merujuk kepada penyandang disabilitas. Kosa kata dalam al-Qur’an dimaksud seperti kata shummun (tuli), bukmun (bisu), ‘umyun (buta), dan yang lainnya. Meski kosa kata ini lebih sering digunakan sebagai makna metafora seperti penggunaan tiga kata tersebut dalam QS. al-Baqarah 18 yang dimaksudkan untuk menyindir orang-orang yang tidak bisa menerima kebenaran. Dalam bahasa Arab klasik, penyebutan disabilitas selain menggunakan kosa kata sebagaimana yang digunakan al-Qur’an, juga memakai istilah “al-’ajzu” yang berarti “lemah”, penyandang difsabilitas disebut dengan “al-’âjiz” (orang yang lemah). Dalam literatur fiqih, penyandang disabilitas identik dengan istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr (orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur). Sementara dalam bahasa Arab kontemporer, istilah disabilitas disebut dengan “i’âqah”, penyandangnya diistilahkan dengan “al-mu’âq (plural: al-mu’âqûn)”. Kata ini secara literal berarti “mencegah” atau “merintangi”. Disabilitas disebut demikian karena keberadaannya dalam beraktivitas dan bergaul dengan masyarakat “tercegah” atau “terhalangi” oleh “keterbatasannya”. Sejarah mencatat bahwa orang-orang berkebutuhan khusus ini cenderung dipandang bukan sebagai manusia. Mereka tersingkir-tersisih dalam relasi sosial: wujuwduhu Islam Ramah Disabilitas dan Praktiknya di NTB 119

ka-’adamihi (adanya sama dengan ketiadaannya). Setelah Islam datang, para penyandang disabilitas mendapatkan tempat yang terhormat, umumnya sebagai manusia normal. Watak emansipatoris Islam sebagaimana tersurat di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis/sunnah Nabi Muhammad Saw.; nilai-nilai universalitas Islam seperti al-musawa (kesetaraan/equality: Surat al-Hujurat: 13), al-’adalah (keadilan/justice: Surat an-Nisa: 135 dan al-Maidah ayat 8); al-hurriyyah (kebebasan/freedom: Surat at-Taubah ayat 105) dan semisalnya, menjadi landasan teologis keberpihakkan terhadap mereka yang ‘istimewa’ tersebut. Dalam QS. al-Hujurat 13 dinyatakan bahwa di hadapan Allah bentuk manusia setara, yang membedakannya, yaitu ketakwaan. Demikian juga dalam sabda Nabi yang disampaikan pada haji perpisahan (hajj al-wadâ’). Nabi menegaskan bahwa perbedaan warna kulit, bangsa, dan bentuk-bentuk fisik lainnya bukan menjadi pembeda keutamaan di dalam beragama. Pembeda kemuliaan seseorang di dalam Islam adalah tingkat ketakwaannya (Ibnu Abî Usâmah: 1992, I, 193). Alkisah raja lalim Mesir itu membunuh semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir pada masa. Hanya satu yang terselamatkan. (Nabi) Musa namanya. Singkat cerita, ia diperintahkan untuk menyampaikan kepada Sang Raja yang sempat menjadi ayah angkatnya. Ramses II, putra dari Minephtah, namanya yang diabadikan dalam al-Qur’an 120 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

sebagai Fir’aun karenan kelalimannya telah melampaui batas, “Idzhaba ila fir’auna innahu thagha. Faqula lahu qaulan laiyina, la’allahum yatadzakkaru au yakhsya” (Pergilah kalian (Musa dan Harun) kepada Fir’aun(untuk memberi peringatan atau nasehat, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berbicaralah kepadanya dengan lemah lembut. Mudah-mudah dia sadar (atas kesalahannya) atau takut kepada Allah [Q.S Thaha, 43-44]). Nabi Musa sempat ragu dengan titah Tuhan ini. Ia sadar diri. Ia bukanlah orang yang lancar berbicara. Boleh jadi ia hanya akan menjadi bahan tertawaan Fir’aun, Hammad, beserta pejabat-pejabat dan atau masyarakat Mesir. Atas dasar itulah, Nabi Musa menjawab: “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku. Mudahkanlah urusanku. Lepaskanlah kekakuan lidahku supaya mereka memahamiku. Jadikanlah seorang dari keluargaku sebagai pembantuku. Dialah Harun saudaraku” (Q.S. Thaha, 20:26-29). Rupanya Nabi Musa memiliki (sedikit) kekurangan berbicara, terbata-bata, dan gagap. Namun Allah memilihnya sebagai salah seorang Nabi, bahkan di antara Nabi yang menyandang gelar Ulul ‘azmi karena ketabahannya menghadapi penguasa yang dhalim dan umat yang berat menerima kebenaran. Dalam kisah lain yang diabadikan dan disampaikan kepada kita dalam al-Qur’an bahwanya Nabi Muhammad sempat terpengaruh pandangan masyarakat Arab pra Islam (jâhiliyyah) yang menganggap disabilitas sebagai kekurangan. Tapi kemudian Nabi ditegur oleh Allah: “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seorang Islam Ramah Disabilitas dan Praktiknya di NTB 121

tuna netra telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memperhatikan mereka. Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau ia tidak menyucikan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sementara ia takut kepada Allah, engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu). Sungguh (ayat- ayat/surat) itu adalah peringatan. …” (Surat ‘Abasa ayat 1-11). Menurut Ath-Thabarî dalam karyanya, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, QS. ‘Abasa di atas turun berkaitan dengan sikap Nabi Muhammad terhadap tuna netra yang bernama Abdullah ibn Ummi Maktûm. Nabi marah dan berpaling saat Ibnu Ummi Maktûm bertanya kepada Nabi. Nabi lebih memilih menghadap serta menjawab pertanyaan dari orang-orang normal, sementara Ibnu Ummi Maktûm tidak dihiraukan karena tuna netra. Sikap Nabi yang diskriminatif itu ditegur oleh Allah melalui ayat di atas. Usai turunnya ayat yang melarang menganggap dan memperlakukan “berbeda” terhadap penyandang disabilitas, Nabi kemudian berlaku sangat baik kepada Abdullah ibnu Ummi Maktûm, bahkan semua hak dan kewajibannya disamakan dengan sahabat-sahabat lainnya yang tidak difabel. (Ath-Thabarî: 2000, XXIV, 216-218). 122 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Sejak saat itu Nabi bertekad untuk selalu tersenyum ketika bertemu Abdullah Ibn Maktum, meskipun dia tidak bisa melihat beliau. Beliau bahkan meluangkan waktu mencarinya dan bertanya apakah dia butuh sesuatu. Hingga bertahun-tahun kemudian beliau tetap berbicara kepada Abdullah dengan rendah hati, “Selamat datang kepadanya, yang karenanya Dia yang memeliharaku telah menegurku.” Allah menegur Rasulullah karena telah mengabaikan seorang Muslim dengan disabilitas. Ini diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai peringatan yang terus menerus bagi setiap orang untuk tidak membuat kesalahan yang sama. Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa Nabi pernah menunjuk Abdullah ibnu Ummi Maktûm untuk menjadi muadzin. Bersama Bilal bin Rabah, Abdullah selalu bergantian mengumandangkan azan. Bahkan pernah Rasulullah meminta Abdullah untuk memimpin Kota Madinah saat Nabi berada di luar kota. Beliau memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada Abdullah ibnu Ummi Maktûm yang nyata-nyata adalah penyandang disabilitas. Baginya, keterbatasan Abdullah bukanlah hambatan dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Rasulullah karena ingin mengajarkan bahwa mereka yang berkebutuhan khusus tak sepatutnya direndahkan karena di balik kekurangan mereka pasti tersimpan potensi untuk Islam Ramah Disabilitas dan Praktiknya di NTB 123

berkontribusi dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Kisah tentang ‘keistimewaan’ Abdullah Ibn Maktum tidak hanya direkam dalam satu surat saja dalam al-Qur’an, tapi dua surat sekaligus. Dalam Surat an-Nisa’ ayat 95 di mana Allah menurunkan sebuah ayat yang menyatakan bahwa mereka yang tinggal di rumah tidaklah sama dengan mereka yang berjuang untuk-Nya. Abdullah ibnu Ummi Maktûm sangat terganggu dengan ketidakmampuannya untuk berbuat lebih banyak, maka dia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, saya akan ikut berjuang demi Allah jika saya bisa.” Allah lalu menurunkan lanjutan ayat ini (QS. an-Nisa ayat 95): “Mereka yang tinggal di rumah–kecuali penyandang disabilitas–tidaklah sama dengan mereka yang berjuang di jalan Allah.” Abdullah ibnu Ummi Maktûm adalah seorang inspirator murni. Meskipun dia buta dan diizinkan Allah sendiri untuk tidak ikut serta dalam peperangan, dia malah meminta lebih. Katanya, “Tempatkan aku di antara dua barisan, dan beri aku tiang bendera. Aku bawakan dan aku jaga benderanya untuk kalian, karena aku buta dan tidak bisa berlari.” Ia memanggul bendera jihad. Menjaga al- liwa’ wa al-rayyan dalam pandangannya yang gelap sampai syahid menjemputnya dalam perang Qadisiyah, dan roboh bersama bendera yang masih dalam genggamannya. 124 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Islam karenanya hadir sebagai agama pembebas dengan memalih cara pandang masyarakat yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas dengan mengajarkan bahwa tak seharusnya ada stigma atau sikap negatif bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Islam hadir sebagai agama rahmah yang ramah terhadap kaum disabilitas dengan tampilannya yang inklusi: advokasi teologis terhadap kaum yang cenderung termarjinalkan secara sosial, politik, kultur, dan lain sebagainya. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah karenanya memiliki peran yang sangat krusial karena memiliki kekuasaan dan juga kekuatan untuk mewadahi praktik yang ramah disabilitas. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, peraturan pemerintah, dan segala turunannya adalah bentuk dari kristalisasi dari ayat-ayat Tuhan. Di NTB misalnya, praktik-praktik yang pro hak-hak penyandang disabilitas diimplementasikan dalam bentuk: (1) pembangunan fasilitas pelayanan publik yang lebih bersahabat seperti akses menuju bangunan dilengkapi dengan ramp (bidang miring) dan lantai pemandu; jalan menuju bangunan dibuat luas sehingga dapat dilalui kursi roda; menyediakan trotoar yang dilengkapi lantai pemandu yang benar (dipasang sesuai dengan kegunaan dan tidak menabrak kepada benda lain atau lubang); (2) menciptakan pelayanan Islam Ramah Disabilitas dan Praktiknya di NTB 125

publik yang lebih memahami penyandang disabilitas seperti para pemberi layanan memberikan prioritas kepada penyandang disabilitas dalam hal antrian di loket; (3) insentif ketenagakerjaan seperti membuka kesempatan kerja sebagai PNS di instansi di bawah pemprov bagi penyandang disabilitas, minimal 2% dari jumlah total PNS (Pasal 53 ayat (1) UU 8/2016), membuat pelatihan bagi tenaga kerja dengan disabilitas sesuai dengan minat dan bakatnya, membuat pelatihan bagi pemberi tenaga kerja untuk mempekerjakan penyandang disabilitas, mengoordinasikan unit layanan disabilitas, pemberi kerja, dan tenaga kerja dalam penyediaan alat bantu kerja untuk penyandang disabilitas; (4) pendidikan bersahabat berupa mengikutsertakan anak dengan disabilitas dalam program wajib belajar 12 tahun, memfasilitasi anak dengan disabilitas yang tidak berpendidikan formal melalui program kesetaraan, menyediakan beasiswa bagi anak dengan disabilitas yang mau dan mampu bersekolah, menyediakan beasiswa bagi anak dari penyandang disabilitas; (5) olahraga bersahabat seperti menyediakan sarana dan prasarana olahraga yang bersahabat, mendukung atlet dengan disabilitas mengikuti kejuaranaan nasional dan internasional, dan memberikan penghargaan kepada atlet, pelatih, dan pengurus olahraga dengan disabilitas. Memang ikhtiar di atas belum sepenuhnya sempurna. Tapi usaha, ikhitiar, dan praktik yang berpihak pada penyandang disabilitas selalu menjadi concern Pemerintah Provinsi NTB. Dengan demikian, para penyandang 126 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

disabilitas bisa bekerja, berkarya, serta mengembangkan potensi mereka sehingga NTB (dan kita semua) yang inklusif dan ramah disabilitas dapat terwujud. Keberterimaan kita terhadap eksistensi mereka adalah jawaban atas pesan kalam Tuhan dan kita semua tak akan pernah lelah mengikhtiarkan kebahagian bagi mereka. Islam Ramah Disabilitas dan Praktiknya di NTB 127

MPOOLNITEIYC DAN MORALITAS PEMILU 2019 128 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Konstelasi politik nasional mengalami pergeseran yang sangat mendasar sejak era reformasi 1998 yang menyudahi era monopolitik yang menjenuhkan selama lebih tiga dekade pada masa Orde Baru. Masyarakat Indonesia memulai melangkahkan diri ke dalam kawah baru perpolitikan nasional yang lebih bebas dan demokratis. Namun, satu fenomena yang mengganggu adalah money politic (politik uang) seiring dengan suburnya bibit demokrasi di mana fenomena ini selalu menyertai setiap pesta demokrasi dalam semua bentuk dan level hajatan politik di Indonesia. Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang dan umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Tak keliru misalnya John Markoff (2002) mengajukan tesis bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami hybrid demokrasi di mana mekanisme demokrasi berlangsung secara bersama-sama dengan praktik yang mempertontonkan malpraktik demokrasi. Pemilu yang sejatinya diandaikan sebagai rumah besar kristalisasi demokrasi justru beririsan dengan perilaku money politics yang menciderai demokrasi. Otonominasi serta rasionalitas pemilih tak ubahnya barang dagangan yang melahirnya demokrasi abal-abal (pseudo democracy) di mana keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi Money Politic dan Moralitas Pemilu 2019 129

yang sesungguhnya. Pemilu yang diharapkan sebagai panggung kompetisi gagasan, ide, dan program baru sebatas narasi imajinatif di Indonesia. Tepat apa yang dikatakan oleh Macfarlane bahwa money is evil (uang adalah [sumber] kejahatan) yang menyebabkan rusaknya moralitas politik dan publik kehilangan kewarasan berpolitik dan sumber ketidakteraturan sosial (social disorder). Uang semakin menampilkan wajahnya yang buruk ketika dimainkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab untuk mencapai kekuasaan. Menarik mencermati hasil survey dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indikator yang digawangi oleh Burhanudin Muhtadi (2013) untuk melihat preferensi pemilih terhadap politik uang. Hasilnya adalah tingkat toleransi pemilih terhadap politik uang masih cukup tinggi; sebanyak 41,5% masyarakat menganggap bahwa politik uang merupakan hal yang wajar. Menurutnya, tingkat pendidikan mempunyai pengaruh kuat terhadap toleransi atas praktek politik uang, selain itu pemilih yang tinggal di desa lebih rentan atas money politics. Faktor jumlah pendapatan juga berpengaruh, karena semakin kecil pendapatan seseorang maka ia akan semakin terbuka dan menerima dengan wajar politik uang. Lebih lanjut, Burhanudin Muhtadi menjelaskan bahwa politik uang berpengaruh atas perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya. Berdasarkan data survey, di antara pemilih yang menilai politik uang sebagai kewajaran: 28,7% responden akan memilih calon yang memberi uang dan 10,3% pemilih akan memilih calon yang memberi uang paling banyak. 130 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Namun lebih dari separuhnya akan menerima pemberian uang, tapi tetap memilih sesuai hati nurani (55,7%). Sebagian kecil di antara mereka akan menolak uang, meski menilai praktik itu sebagai suatu yang lumrah (4,3%). Penelitian Muhtadi nampaknya tak keliru. Politik transaksional-pragmatik antara pemilih dan aktor politik pada Pemilu 2019 sangat terasa. Para aktor politik terjebak dalam konspirasi negosiatif, terseret arus pusaran pragmatisme kontestasi dan terjebak pada hegemoni pasar pemilih yang belum ramah pada pentingnya politik gagasan. Politik dagang recehan sangat berisik dan bising hatta menjadi sesuatu yang legal. Kampung tak ada bedanya pasar gelap yang memperdagangkan suara yang tak lebih mahal dari harga seekor kambing. Satire politik yang menguap di media sosial seperti “kerbau 17 juta/ekor, sapi 15 juta/ekor, kambing 3 juta/ekor, manusia 25 ribu - 500 ribu/kepala”. Ternyata dari keempat makhluk hidup di atas, harga manusia yang paling murah memperlihatkan dan menyerang kemanusiaan kita, bahkan pada titik yang amat nadir. Rezim sosio-politik kita begitu buruk rupa. Tirani politik uang menjadi sebuah keniscayaan yang mempengaruhi penghakiman untuk menjatuhkan vonis pilihan politik. Mungkin kita berusaha untuk menyangkal dengan mempertanyakan bukti-bukti otentik. Ibarat kentut, terasa menyengat bau busuknya, tapi tak nampak rupanya. Praktik ini pada akhirnya melapangkan jalan bagi orang- orang jahat untuk mewakilkan suara Tuhan apabila kita Money Politic dan Moralitas Pemilu 2019 131

sepakat bahwa vox populi vox Dei bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan padahal Tuhan tidak boleh disematkan dan direkatkan dalam tindakan dan perilaku politik yang berlawanan dengan sakralitas Tuhan. Dus, jagat perpolitikan kita terjebak ke dalam jebakan irasionalitas yang mendalam yang menghadirkan anomali-anomali yang seharusnya tidak terjadi ketika rasionalisme dan modernitas adalah narasi besar peradaban dunia. Citarasa politik ini menjadi ganjalan bagi politisi moralis yang terjun dalam politik praktis paska menjalin tali-temali dalam kerja-kerja sosial-kultural melayani masyarakat dengan basis finansial yang apa adanya. Mereka tersungkur-terjatuh oleh agresi serangan para aktor politik jahat yang menebar racun bernama uang. Memang tak sepenuhnya bahwa money politik adalah variabel satu-satunya penyebab keterpilihan seseorang karena faktanya banyak juga caleg yang terindikasi melakukan praktik curang money politic menelan kegagalan. Pun juga tak sedikit caleg yang terpilih tanpa melakukan praktik money politic sekalipun. Maraknya politik uang dilatari banyak faktor, di antaranya adalah sistem proporsional terbuka yang masih dijalankan dalam Pemilu. Penggunaan sistem ini membuat pertarungan antarcaleg kian kuat. Tak hanya dengan partai lain, namun juga caleg dari partai yang sama. Caleg yang punya financial resources yang kuat dinilai berpotensi unggul meski miskin visi dan gagasan. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat berdaulat penuh atas caleg yang dipilihnya. Siapa yang paling banyak dipilih rakyat, maka dialah yang akan duduk di legislatif. Lain halnya dengan sistem 132 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

proporsional tertutup. Partai yang memegang kendali. Rakyat hanya memilih partai, sementara calegnya dipilih oleh parpol. Politik transaksional (money politic) dalam Pileg adalah ujud dari kegagalan negara dengan segala instrumen politiknya melakukan edukasi politik, juga panorama kegagalan partai-partai politik melakukan literasi politik kepada masyarakat di mana partai politik lebih memainkan peran sebagai instrumen politik, namun tidak banyak memberikan pendidikan politik; rasa frustasi para caleg yang kehabisan akal dalam melakukan kerja-kerja politik, dan tentunya defisit kesejahteraan di mana masyarakat grass root disasar oleh aktor politik kotor. Pemilu 2019 yang baru saja lewat, menurut hemat kami adalah ujian nasional moralitas bangsa Indonesia. Kita diuji tentang klaim-klaim subjektivitas kita sebagai bangsa terhormat, berkeadaban tinggi, juga berketuhanan. Namun klaim demikian mesti kita refleksikan kembali secara kritis apabila jalan kotor politik menjadi modus operandi cara kerja untuk mendulang kekuasaan. Sejatinya, pengakuan diri sebagai klan Bani Adam terhormat mestinya dibarengi dengan kesalehan individu, dus diiringi dengan kesalehan berbangsa dan bernegara yang salah satu ujudnya adalah laku spiritualitas politik. Tapi apa lacur, ujian kesalehan moralitas (politik) dihujani dengan pragmatisme politik yang dahsyat bernama money politic dan menjadi mesin pembunuh bagi para politisi yang masih meletakkan kewarasan serta estetika berpolitik sebagai lorong gelap Money Politic dan Moralitas Pemilu 2019 133

yang harus mereka lalui. Para komprador politik dengan financial resources yang dimilikinya melakukan likuifaksi money politic yang menggelapkan mata para pemilik suara yang belum tercerahkan, juga mungkin menenggelamkan politisi-politisi moralis yang masih berharap kemungkinan ‘ada suara-suara’ Tuhan yang memilih mereka. Bagaimanapun juga politik transaksional hanya akan menghasilkan damage life atau tatanan kehidupan yang rusak dan sekiranya yang terpilih nantinya adalah suksesor yang mengandalkan sebaran money politic, jangan heran kemudian habis Pemilu bibit-bibit korupsi tumbuh subur dipetik oleh para elit politik yang bermental borjuis. Suara-suara bisu-berisik yang mesti diperjuangkan telah dihargai murah dalam kubangan politik rendahan. Mereka tak lagi sibuk berjuang membela aspirasi, tetapi sibuk dan memperbesar ruang transaksi mengembalikan modal politik. Pun kita berharap bahwa mereka yang terpilih dan akan duduk nantinya adalah para suksesor politik yang mengandalkan kerja-kerja dalam jagat kepengasuhan sosial- kultural sebagai lokus habitus sosial politiknya, politisi cerdas, kredibel, akuntabel, bermoral, dan juga amanah agar menjadi pelajaran bagi peselancar politik berwajah borjuis-kapitalis. Candaan di media sosial, “Sehari sebelum Pemilu, serangan fajar. Sehari setelah Pemilu, serangan jantung” hukuman atas praktik asusila politik agar ruang kedewanan diisi oleh orang-orang nuraninya terpanggil untuk memerjuangkan hak-hak politik warga sekaligus legacy bahwa politik pada dasarnya ada seni (politic is art) mewujudkan kebajikan utama (summum bonum). 134 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Di atas segalanya, pesta demokrasi lima tahunan ini telah usai. Kita semua berharap bahwa pesta ini tidak mengganggu kelekatan batin kita. Perbedaan pandangan dan orientasi politik adalah kemungkinan, tapi kebersamaan adalah keniscayaan. Terlalu mahal silaturrahmi, pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan harus dikorbankan demi pesta yang sesaat. Semoga…!!! Money Politic dan Moralitas Pemilu 2019 135

PUASA DAN NARASI KEBANGSAAN 136 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Marhaban Ya Ramadhan… Demikian ekspresi kita menyambut perjumpaan kembali dengan bulan agung ini. “Marhaban” biasa dipahami dengan dengan “Selamat datang”. Para ulama tidak menggunakan “Ahlan wa Sahlan” yang juga memiliki arti yang sama oleh karena kata “marhaban” dinilai mempunyai kedalaman, keintiman, keharuan, dus kerinduan akan momen sakral spiritual bagi kaum Muslim. Kata marhaban terambil dari kata raheb yang berarti luas/lebar. Ia diucapkan kepada tamu untuk menggambarkan bahwa ia disambut dengan hati lapang penuh kegembiraan dan kemuliaan. Ramadhan, karenanya, adalah tamu agung yang disambut dengan kemeriahan dan lapang dada didasarkan oleh kesadaran bahwa melalui bulan ini kita menyekolahkan kembali laku, hati, dan pikiran dengan dengan cara menghiasi diri dengan sifat-sifat ilahiah: kasih sayang, empati, pemaaf, bermurah hati, berbagi, dan sebagainya, juga melepaskan diri dari kualitas rendah-hewani menuju integritas pribadi yang paripurna (insan kamil). Insan (Muslim) paripurna memiliki kualitas diri yang positif, dinamis, progresif, dan responsif terhadap problem- problem kemanusiaan di sekitarnya. Insan paripurna mampu mengintegrasikan kualitas hubungan vertikalnya dengan Sang pencipta (hablun minal-Lah), dan hubungan horizontalnya dengan sesama manusia (hablun minannas) secara seimbang. Terbentuknya insan paripurna merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat utama (khairu ummah). Oleh karena itu kurikulum Ramadhan utama puasa berupa puasa perut dan bawah perut; kurikulum Puasa dan Narasi Kebangsaan 137

tambahan seperti tarawih, tadarusan, zikir, istighfar, iktikaf, sedekah, infak, zakat, dan lain sebagainya harus membuahkan kesolehan persona, sekaligus kesolehan sosial agar madrasah tazkiyatunnufus ini tidak hanya sekedar soal lapar dan dahaga. Rasulullah misalnya berkata: “Rubba min sha’imin laisa lahu min syiyamihi illal athosu walju’ (Banyak di antara mereka yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapat apa-apa dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan dahaga saja) oleh karena kita keluar dari Ramadhan tanpa memetik buah kearifan di dalamnya. Ramadhan yang berasal dari kata ramidha-yarmadhu artinya membakar, menyengat karena terik, sangat panas. Makna yang dapat diperas dari Ramadhan di antaranya di bulan ini semua anasir energi negatif-syaithaniyah harus dibakar seperti kayu hingga menjadi abu. Puasa adalah momentum untuk membakar kebencian, meniadakan prasangka, dan menghapus luka yang melahirkan kepekaan rasa dan hidupnya sensivitas kemanusiaan yang batinnya lurus terhadap sesama dengan melapangkan jiwa untuk menerima yang lain. Inilah makna dari marhaban ya Ramadhan. Tak hanya itu, puasa ramadhan juga mengajak kita dengan penuh suka cita, ridha, juga rela menerima kehadiran yang lain dulu yang boleh jadi sempat bersinggungan. Puasa adalah mematikan ego- ego diri dengan menghidupkan kembali kesahayaan bersama, mengedepankan etika dan estetika dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 138 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook