Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

Published by Asrul Hidayat, 2022-07-28 07:06:16

Description: NAPAS PANJANG MEMBERSAMAI NTB

Search

Read the Text Version

Bagi kita bangsa Indonesia, bulan Ramadan tidak hanya sekedar piranti memi’rajkan spiritualitas untuk menjadi persona yang ilahiyah, tapi Ramadhan adalah momentum dejavu melakukan rihlah historis wathaniyah (kebangsaan) oleh karena rumah besar bernama Indonesia ini memuncaki gairah untuk hidup bersama dalam keberbedaan yang menyatukan pada bulan suci ini. Banyak peristiwa historis berdirinya bangsa ini menemukan ‘dirinya’ pada bulan Ramadhan, tepatnya 1334 H. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) misalnya dibentuk satu hari menjelang malam pertama bulan Ramadhan. Keesokan harinya pada tanggal dua Ramadhan, Soekarno, Hatta dan Radjiman menemui Marsekal Terauchi di Vietnam untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Pada malam harinya sekitar pukul 22.00 tanggal 07 Ramadhan, para pemuda yang dipimpin oleh Wikana mendatangi kediaman Soekarno untuk mendesak Proklamasi kemerdekaan dilakukan malam ini juga. Dini hari pada 08 Ramadhan Soekarno dan Hatta diculik ke Rengasdengklok. Dalam situasi yang tegang tersebut, Soekarno menuturkan bahwa ia sudah merencanakan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 karena diyakini 17 merupakan angka keramat: al-Qur’an diturunkan pada 17 Ramadhan, shalat seharinya terdiri dari 17 raka’at, dan bertepatan pula dengan hari Jum’at yang dianggap sebagai hari yang mulia (sayyidul ayyam), pun juga bertepatan dengan bulan Ramadhan yang merupakan penghulu bulan (sayyidus-syuhur). Konon, penentuan hari dan tanggal setelah Soekarno melakukan pertemuan dengan KH. Hasyim Asy’arie (tokoh NU) dan KH. Abdoel Puasa dan Narasi Kebangsaan 139

Moektie (tokoh Muhammadiyah). Penculikan berakhir ketika Mr. Achmad Soebardjo menjemput Soekarno dan Hatta untuk kembali ke Jakarta. Menurut Mr. Achmad Soebardjo, pukul 03.00 pada waktu sahur Ramadhan teks proklamasi didiktekan oleh Bung Hatta, dan ditulis oleh Bung Karno. Maka resmilah lahir bayi bernama Indonesia tepat pada tanggal 09 Ramadhan 1334 H (17 Agustus 1945) dengan diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memoar peristiwa historis di atas menjadi penting diingatkan kembali karena tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa Indonesia hari ini proses kelahirannya dibidani dalam suasana keberkahan Ramadhan. Karenanya bagi kita umat Islam, Ramadhan tidak hanya untuk mempertebal ukhuwwah islamiyyah, tapi juga mempertegas jati diri kebangsaan ukhuwwwah wathaniyyah di mana pemilik saham terbesarnya adalah umat Islam. Kita umat Islam, karenanya, memiliki tanggungjawab yang besar untuk merawat bangsa ini agar tidak tercerai-berai. Kita akan berdosa terhadap orangtua-orangtua kita terdahulu, para pendiri bangsa, dan para ulama pejuang yang telah menetaskan darah demi meraih kemerdekaan. Ajakan untuk (kembali) menjahit baju kebersamaan dalam Ramadhan tahun ini menjadi penting untuk dinyalakan kembali api itu paska Pemilu 2019 yang disinyalir oleh banyak kalangan sebagai manifestasi demokrasi yang paling panas sejak era reformasi atau bahkan sejak Indonesia merdeka. Drama demokrasi yang 140 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

sesungguhnya pesta biasa lima tahunan ini telah memantik pembelahan umat yang tergeser oleh pilihan dan orientasi politik yang berbeda. Polarisasi ini nampak sekali dalam batang tubuh umat Islam dengan pengentalan politik identitas, segmentatif, dan mengesankan membedakan diri antarsatu dengan yang lainnya. Puasa karenanya adalah even besar merekatkan kembali kebersamaan yang merupakan modal bagi bangsa ini; merelakan dengan melapangkan diri untuk menyingkirkan ego-ego kelompok yang saling menghakimi. Ramadhan adalah madrasah/sekolah untuk memupuk kembali literasi kebersamaan bangsa ini agar tujuan puasa la’allakum tattaqun (agar kamu sekalian bertakwa); takwa yang diserap dari bahasa Arab, waqa – yaqi – wiqayah yang berarti ‘menjaga diri’, ‘menghindari’, dan ‘menjauhi’, yaitu menjauhi sesuatu dari segala yang dapat menyakiti, mencelakakan, dan membahayakan. Puasa oleh karenanya dalam konteks kehidupan berbangsa- bernegara, resonansinya tidak hanya individual, melainkan gemanya menyatu dalam satu badan kebangsaan agar anak-anak bangsa ini tak lagi saling menyakiti, menahan diri dari tindakan provokatif yang memicu konflik. Ketaqwaan ma’iyyah bangsa ini harus tampak pada saat menghadapi situasi yang menjengkelkan, kita mau mengendalikan emosi kemarahan. Selalu memiliki sikap memaafkan, al-‘afina ‘anin-naas. Puasa hoaks, puasa adu domba, puasa memyebarkan hate speech serta fitnah yang memperlebar ruang perbedaan. Puasa harus menjadi server untuk menyebarkan pesan-pesan yang mencerahkan, Puasa dan Narasi Kebangsaan 141

menginstalasi muatan yang mendamaikan-menyejukkan, merefresh dejavu ma’iyyah. Oleh karenanya, puasa Ramadhan tahun ini harus dikeringkan dari api kebencian dengan menarasikan kembali kekitaan kita ke dalam baju besar bernama Indonesia. Ramadhan diharapkan menjadi turning point untuk merapikan bangunan kebangsaaan kita yang terpolar agar kembali menjadi bangsa bunyanun matshuwsun (bangunan yang kokoh) yang shafnya diisi oleh jama’ah kebangsaan yang saling mengokohkan. Bagaimana pun juga persatuan Indonesia jauh lebih utama dibandingkan dengan (hasil) Pemilu yang baru saja digelar. Dan hari ini, 09 Ramadhan 1440 H mestinya dirayakan sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, momen dejavu kebersamaan yang diikrarkan pada tanggal 09 Ramadhan 1334 H, yang diimbuhi dengan kualitas tindakan serta komitmen kebangsaan untuk tetap merawat bangsa ini dalam satu barisan yang sama: “Persatuan Indonesia”. Semoga…!!! 142 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

IKHTIAR MEWUJUDKAN NTB TANGGUH DAN MANTAP Puasa dan Narasi Kebangsaan 143

GEMPA, KEKITAAN KITA, DAN IKHTIAR MEWUJUDKAN NTB TANGGUH 144 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Wajah-wajah pias-pucat seakan ingin menceritakan beratnya cobaan, ketakutan, dus kekhawatiran yang dalam. Ratusan nyawa mati tertimbun reruntuhan bangunan, ribuan orang terluka, ratusan ribu rumah hancur, hampir semua penduduk Pulau Lombok menjadikan bumi sebagai alasnya dan langit adalah atapnya. Malam begitu pekat mencekam, siang hanya tertunduk lemah dan lesu. Dingin membissue... Lolongan anjing liar menambah kebissuean yang menyayat... Lindu... Lindu... Gempa... Gempa... Semua berhamburan berlarian tanpa arah... Bukit-bukit yang agak tinggi, persawahan kosong, lapangan, ruas-ruas jalan-gang adalah tempat yang paling aman untuk menyelamatkan diri. Isu tsunami, anasir gempa menambah kepiluan dan kelelahan... Semua berzikir... Beristighfar, mengingat-ingat dosa... Oh... Tuhan...Ya Rabb... Ampuni kami... Tolong kami... Lafal-sabda suci berkumandang seiring tubrukan bumi berguncang, tembok-tembok rumah saling memisahkan diri, suara patahan kayu yang bergeser posisi, suara-suara pagar rumah bergema, teriakan-histeria sahut-menyahut. Hari Ahad selalu menebar aroma ketakutan... Ia seakan hari lonceng kematian itu ditabuh... Dalam kegelapan malam, Ruas-ruas jalan dipenuhi oleh klakson suar mobil dan motor yang berlari menyelamatkan diri: menjauh dari bibir pantai... Inikah pertanda kiamat, inikah kutukan atas dosa-dosa? Gelombang tanya seiring datangnya gelombang gempa yang nyaris tak berkesudahan... Anak mencari Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 145

ibunya, ayahnya... Mencari kakaknya, mencari tetangganya, mencari keluarganya. Mencari...? Bahan-bahan kebutuhan pokok menjadi sangat langka dan susah didapatkan, air berwarna keruh dan berlumut, pohon bertumbangan di mana-mana, tanah longsor juga terjadi di banyak tempat, debu-debu beterbangan liar, bau bangkai hewan menyengat, hari demi hari menjadi luar biasa berat yang diselimuti ketakutan yang dalam, ancaman maut terasa begitu sangat dekat sekali, pekikan teriakan kepanikan mengisahkan kegundahan, kehancuran terjadi di mana-mana... Pulau Lombok menjadi kota mati yang terhimpit kekalutan yang luar biasa... Wahai anak zaman... Gambaran ini belumlah mewakili “pesta” ketakutan kami... Tidak sama sekali... Kisah ini hanya sedikit saja mewariskan cerita kami... Gempa bermula pada hijratun-Nabiy Shalla-Lahu ‘alaihi wa Salam tarikh 16 Dzulkaidah sanah 1439 hijriah bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2018 pukul 06:47:38 WITA, seusai umat Islam baru saja melaksanakan shalat Subuh dengan kekuatan 6.4 scala richter. Guncangan gempa bumi ini diwartakan dirasakan di daerah Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, dan Sumbawa Besar. Gempa ini telah menghancurkan sebagai dari Lombok Utara dan Lombok Timur, khususnya di daerah sekitara lereng Gunung Rinjani. Selanjutnya, pada hijratun-Nabiy Shalla-Lahu ‘alaihi wa Salam tarikh 23 Dzulkaidah sanah 1439 hijriah bertepatan dengan tanggal 05 Agustus 2018 pukul 19:46:35 146 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

WITA dengan kekuatan 7.0. scala richter dan dirasakan di hampir seluruh Pulau Lombok ketika umat Islam sedang melaksanakan shalat Isya’. Gempa susulan setelah gempa bumi utama tanggal 05 Agustus 2018 adalah gempa bumi pada hijratun-Nabiy Shalla-Lahu ‘alaihi wa Salam tarikh 26 Dzulkaidah sanah 1439 hijriah bertepatan dengan tanggal 09 Agustus 2018 pukul 13:25:33 WITA dengan kekuatan 5.9. scala richter di mana guncangan gempa bumi ini dirasakan di daerah Lombok Utara, Mataram, dan Sumbawa. Gempa berikutnya pada hijratun-Nabiy Shalla-Lahu ‘alaihi wa Salam tarikh 07 Dzulhijjah sanah 1439 hijriah bertepatan dengan tanggal 19 Agustus 2018 terdapat 2 gempa bumi susulan signifikan akibat gempa bumi utama tanggal 05 Agustus 2018: pertama gempa bumi yang terjadi pukul 12:06:13 WITA dengan kekuatan 5.4. scala richter dan gempa bumi kedua yang terjadi pukul 12:10:22 WITA dengan kekuatan 6.3. scala richter. Gempa besarnya adalah gempa yang terjadi pada pukul 22:56:27 WITA dengan kekuatan 6.9. scala richter yang merupakan main schock (gempa baru) yang terpisah dari gempa pada tanggal 05 Agustus. Guncangan gempa bumi ini dilaporkan telah dirasakan di Lombok Utara, Mataram, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Bima, dan Sumbawa Besar, bahkan dirasakan juga di Denpasar dan Waingapu. Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 147

148 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 149

Gempa yang terlalu-talu tersebut telah meluluhlantakkan KLU, nyaris tak ada bangunan yang berdiri utuh. Semua tersapu bersih oleh gulungan gempa yang datang bertubi-tubi. Lombok Timur pun tak kurang parahnya, Lombok Barat, Lombok Tengah, juga Mataram, dan sebagian daerah KSB. Lahan-lahan kosong semisal halaman sekolah, lapangan, hamparan persawahan, punggung jalan, dan lain sebagainya penuh dengan serakan pengungsi. KLU sebagai daerah yang terpapar gempa paling parah, dan daerah lain yang tingkat keparahannya sama, nyaris tanpa aktivitas yang hidup, semua layanan publik tutup, roda perekonomian lumpuh, nyaris tidak ada aktivitas selain memasang kewaspadaan terhadap gempa yang sewaktu- waktu datang tanpa peringatan. Di tengah kelumpuhan tersebut, hampir semua kebutuhan makan minum dan lain sebagainya dipasok oleh saudara-saudara mereka dari daerah lain yang sejatinya mereka juga terpapar gempa sekalipun tidak separah 150 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

KLU. Iringan bantuan berdatangan tanpa henti. Posko- posko bantuan berdiri tanpa komando, dapur-dapur umum secara sukarela mendrop kebutuhan makan minum saudara mereka yang terdapat gempa. Menyasar daerah-daerah terpencil, tak peduli dengan aral bahaya tanah longsor, jarak yang jauh, medan yang berat, gempa yang sewaktu- waktu mengagetkan: semuanya menjadi indah oleh karena keniscayaan untuk menyelamatkan saudara mereka yang terpintas bencana. Tak peduli suku, agama, ras, dan pelbagai perbedaan yang menyekat. Semuanya hadir atas nama kemanusiaan dan kepedulian atas sesama. Dari seberang, tepatnya Pulau Sumbawa, Tau Samawa dan Dou Mbojo merasakan derita dan keprihatinan yang sama. Bertruk- truk bantuan mengalir tanpa henti, pasar-pasar, sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan lain sebagainya bergerak secara simultan menggalang bantuan demi saudara mereka di Lombok. Di ujung daerah lain, Indonesia bergerak. Lombok memanggil Indonesia, duka Lombok juga duka Sumbawa telah menggerakkan hati, kaki, tangan, pikiran seluruh masyarakat Indonesia. Semua merasakan keterpanggilan Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 151

yang luar biasa, merasakan bahwa duka ini adalah luka bagi mereka, keperihan ini juga menyayat mereka. Layanan- layanan penitipan digratiskan baik oleh yang dimiliki oleh pemerintah seperti kantor pos maupun swasta. Tak hanya bentuk materi kebutuhan masyarakat terpapar gempa yang mereka berikan, tapi secara fisik pun mereka datang membantu-melayani warga NTB yang terpapar bencana. Indonesia hadir dalam harunya kebersamaan yang indah serta menyatukan. Menyusuri jalan mengantar bantuan itu tak mudah. Para pejuang kemanusiaan tersebut harus menempuh perjalanan yang tak mudah: macet berjam-jam karena ruas jalan dipenuhi dengan lalu-lalang warga yang menyebar bantuan. Jarak tempuh yang semula bisa ditempuh dalam hitungan satu jam dua jam harus dalam waktu 6 jam dan atau kisaran 10-12 jam untuk satu kali pengantaran/distribusi bantuan dan sirkulasi demikian hampir tiap hari dilakukan baik oleh pribadi-pribadi maupun komunitas. Pun mereka harus dihadiahi pula dengan debu-debu bekas bangunan runtuh di mana-mana, asap kendaraan, gempa yang sewaktu-waktu menebar teror kekhawatiran, tanah longsor dan sempit jalan, area terpencil, dan lain sebagainya. Tapi medan areal yang demikian bukan halangan bagi mereka untuk terlibat dalam misi kemanusiaan. “Senyum mereka” sudah cukup menjadi ‘bayaran’ atas kelelahan mereka, sudah cukup menggantikan kami yang berpayah-payah”, demikian cerita para relawan dalam duka dan wajah yang penat. 152 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Kita meyakini bahwa musibah berupa gempa kemarin adalah ujian moralitas, juga ujian kebersamaan dan kekitaan kita dalam bingkai ke-NTB-an dan juga ke Indonesiaan. Dan ujian ini telah kita tempuh bersama dan nampaknya kita mesti sepakat bahwa kita berhasil keluar sebagai pemenang. Lulus dalam ujian moralitas oleh karena sejak awal musibah itu terjadi sampai dengan hari ini, kita tidak pernah sekalipun mendengar ada kasus penjarahan terhadap distribusi bantuan, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok-komunitas, dan atau swasta maupun pemerintah, pun kita juga belum pernah mendengar ada kasus perampokan dan atau pencurian atas harta benda masyarakat terpapar gempa, harga-harga kebutuhan pokok pun cukup terkontrol dan stabil. Kami mendapatkan kesan yang bagus dari para relawan, khususnya dari luar daerah, “Orang NTB keren, Pak. Manut dan mau mendengar serta santun sekali. Jadi, kami merasa nyaman sekali untuk bekerja.” Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 153

Kita patut berbangga bahwa musibah tersebut jauh dari tindakan-tindakan kriminal, moralitas masih terjaga dari tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab, pun dalam situasi yang berat demikian, masyarakat terpapar gempa masih memikirkan untuk mengulurkan bantuan untuk yang lain. Memang penanganan gempa dan atau bencana tidaklah sempurna karena luasnya cakupan wilayah yang terpapar gempa. Kekurangan selalu ada, kita akui itu. Itu wajar. Karena kita bukan Tuhan. Bukankah tanda manusianya kita adalah karena adanya kekurangan dan kelemahan? Walakin, kita semua tentunya telah mengikhtiarkan yang terbaik atas nama kemanusiaan dan persaudaraan. Kita tidak tahun kapan bahala dan petaka itu datang. Ia tamu tak diundang yang selalu menebar teror ketakutan. Karenanya, tugas kita sekarang adalah belajar dan mengarifinya dengan melakukan mapping plan manajemen bencana (disaster management) agar bencana apapun yang terjadi, kita tidak panik serta gagap. Dasar itulah, kita melihat pentingnya pedoman/protokol kebencanaan sebagai acuan dalam mengedukasi dan melakukan penyadaran kepada publik agar mawas bencana: perwujudan NTB Tangguh dan makna kehadiran negara. Paling tidak yang urgen adalah mewujudkan statistika kebencanaan yang kita sebut dengan “NTB Satu Data Kebencanaan”, berupa data pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana untuk memudahkan dalam pembuatan dan perumusan berbagai langkah upaya penanggulangan melalui keterpaduan kebijakan dan perencanaan khususnya 154 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

dalam pengurangan resiko bencana. Selain itu, hal lain yang akan menjadi perhatian adalah penguatan “Desa Tangguh Bencana” di mana desa diberikan pelatihan, sarana prasarana kesiap-siagaan bencana yang dilengkapi dengan pemahaman terhadap langkah-langkah menghadapi bencana. Ketangguhan desa menghadapi bencana ini akan sangat bermanfaat dalam evakuasi dan penyelamatan korban bencana tanpa perlu menunggu dari BPBD atau Basarnas, masyarakat sudah dapat melakukan evakuasi dan penyelamatan sendiri. Selanjutnya, “penguatan koordinasi dan komunikasi” antar-pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi yang didukung oleh pelaksanaan tanggung jawab semua perangkat daerah yang sejalan dengan berbagai pihak lainnya di luar unsur pemerintahan. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah mewujudkan perencanaan tata ruang daerah yang tangguh bencana, di mana lokasi- lokasi yang rawan bencana harus bebas dari bangunan dan menjadi ruang terbuka hijau. Dan kata kuncinya adalah bagaimana kita memberikan bekal kepada masyarakat harus lebih siap dan sigap saat bencana tiba, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan, ke mana harus melakukan evakuasi, bagaimana bertahan hidup, bangkit memulihkan kehidupan, dan membenahi lingkungan pasca bencana. Gempa, Kekitaan Kita, dan Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh 155

NTB TANGGUH DAN MANTAP: IKHTIAR MENUJU NTB GEMILANG TANGGUH BENCANA 156 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Peristiwa gempa di Lombok-Sumbawa akhir bulan Juli dan sepanjang bulan Agustus 2018 serta disusul oleh dentingan irama gempa-gempa kecil sampai pertengahan tahun 2019 bukanlah fenomena alam yang pertamakali terjadi. Bumi yang batuk di NTB tercatat pernah beberapa kali terjadi dengan dampak yang cukup signifikan. Tak hanya itu, beberapa tahun silam, tepatnya Desember tahun 2016 banjir (bandang) telah menenggelamkan hampir seluruh Kota Bima selama beberapa hari; tahun 2006 dan tahun 2012 badai banjir bandang telah meluluhlantakkan sebagian besar Kecamatan Sambelia Lombok Timur, dus bencana kekeringan yang melanda di hampir semua kabupaten/kota di NTB. NTB punya sejarah panjang yang kelam perihal katastrofi. Sebut misalnya letusan Gunung Tambora April 1015 telah membumihanguskan tiga kerajaan di sekitar lereng Tambora: Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat (Chambert-Loir & Siti Maryam, 2012). Konon amukan Gunung Tambora ini adalah biang kekalahan dari Kekaisaran Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparter menghadapi koalisi lima negara Eropa lainya. “[...] Hujan turun begitu lebat, tentara tertua dari pasukan itu bahkan tidak pernah melihat kejadian seperti ini,” tulis John Lewis dalam “The Weather of the Waterloo Campaign 16 to 18 June 1815: Did it Change the Course of History?” NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 157

Thomas Stamford Raffles yang kala itu memerintah Jawa sejak 1811 mencatat peristiwa letusan dahsyat tersebut dalam memoarnya, bahkan terdengar sampai ke Sumatera. Yang paling dahsyat terjadi pada pagi pukul tujuh tanggal 10 April. Laporan yang dihimpun William & Nicholas Klingaman berjudul “Tambora Erupts in 1815 and Changes World History” menyebut hampir seluruh isi perut gunung dimuntahkan, yakni magma, abu yang memancar, dan batuan cair yang menembak ke segala arah. Berlangsung sekira satu jam, begitu banyak abu dan debu terlempar berada di uadara hingga menutupi pandangan terhadap gunung. 158 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Jauh sebelumnya, ratusan tahun lampau bencana besar pernah terjadi di Lombok sebagaimana tercatat dalam lembaran Babad Lombok. Tatkala zaman itu, Tuhan murka kepada makhluk-Nya. Tengah malam datangnya, hujan dan angin taufan Semua kayu dan batu gunung rubuh, longsoran batu membanjir, melanda dari puncak bukit (Bait 273, Babad Lombok). Gunung Rinjani longsor, dan gunung Samalas runtuh Banjir batu gemuruh Jatuh di desa pamatan Lalu hanyut rumah lumpur rubuh Terapung-apung di lautan, Penduduknya banyak yang mati (Bait 274, Babad Lombok) Tujuh hari lamanya, Gempa Dahsyat meruyak bumi, Terdampar di Leneng (Lenek), Diseret oleh batu gunung yang hanyut, Manusia berlari semua Sebahagian lagi naik ke bukit (Bait 275, Babad Lombok) NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 159

NTB, Indonesia umumnya, begitu rawan dengan katastrofi. Nyaris tidak ada satu pun belahan bumi Indonesia yang sepi dari ‘gangguan’ alam. Kondisi ini sangat alamiah mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki karakteristik rawan bencana. Posisinya yang berada dalam pertemuan tiga lempeng raksasa Eurasia, Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan berada dalam wilayah cincin api (ring of fire) menyebabkan Indonesia rentan diguncang gempa hingga gelombang tsunami. Gunung- gunung yang terdapat di hampir semua pulau menambah rentetan kemungkinan terjadinya bencana vulkanologi. Posisinya yang tepat berada di atas garis khatulistiwa membuat Indonesia hanya memiliki dua musim: panas dan hujan. Musim panas menyebabkan kekeringan serta kebakaran hutan, sementara musim hujan mengakibatkan terjadinya gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, dan gelombang ekstrem. Reputasi Indonesia sebagai negara rawan bencana, juga tercatat dalam laporan The Atlas of the Human Planet 2017. Laporan itu merekap ancaman di berbagai penjuru dunia dari enam jenis bencana alam: gempa bumi, gunung api, tsunami, banjir, angin badai tropis, dan kenaikan permukaan air laut. Data tersebut memerlihatkan bahwa ancaman bencana alam telah meningkat dua kali lipat dalam 40 tahun terakhir seiring dengan bertambahnya jumlah populasi. Sejauh ini, gempa bumi menurut catatan- penelitian yang dilakukan oleh geologis dan sejarahwan 160 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

menjadi bencana paling mengancam populasi manusia, bahkan menghancurkan peradaban manusia. Banjir, menjadi bencana paling mengancam di kawasan Asia, atau 76,9% populasi dunia. NTB sama kurang beruntungnya dengan daerah- daerah lain yang ada di Indonesia. Paling tidak terdapat empat belas jenis bencana yang mungkin terjadi, yaitu: banjir, longsor, gelombang pasang, gempa bumi, kekeringan, letusan gunung api, tsunami, konflik sosial, epidemi dan wabah penyakit, cuaca ekstrim, dan kebakaran hutan dan lahan. Potensi bencana ini berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh BPDB NTB mencakup 1.137 desa/ wilayah dengan sekala dan jenis bencana berbeda). Bencana banjir, longsor, dan kekeringan merupakan bencana yang rutin terjadi tiap tahun yang melanda 9 dari 10 kabupaten/ kota di Provinsi NTB kecuali Kota Mataram di mana Lombok Timur, KSB, Kabupaten Bima, dan Kota Bima sebagai wilayah paling rentan dengan banjir. Sadar akan potensi bahaya bencana yang mengintai setiap saat, negara menginisiasi terbentuknya badan khusus yang menangani bencana melalui UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana Nasional yang merupakan payung hukum dari pembentukan BNPB yang operasionalnya diderivasi melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penanganan NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 161

Bencana Yang Mencakup Tahapan/Tingkatan Bencana serta Peraturan Daerah Provinsi NTB No. 9 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Bencana. Selain itu, beberapa regulasi lainnya adalah: (1) Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Bencana Di NTB Termasuk Tugas Para Menteri dan Institusi-Institusi Terkait; (2) Keputusan Gubernur NTB No. 360-612 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Tim Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat; (3) Keputusan Gubernur NTB No. 360-789 Tahun 2018 tentang Pembentukan Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan dan Percepatan Rehab Rekon Pasca Gempa Provinsi Nusa Tenggara Barat; (4) Keputusan Gubernur NTB No. 360-103 Tahun 2019 tentang Pembentukan Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan dan Percepatan Rehab Rekon Pasca Gempa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagaian besar regulasi ini dimaksudkan sebagai landasan hukum penanganan bencana pasca terjadinya gempa bumi setahun silam. Bencana (gempa bumi) ini menjadi momentum pembelajaran bagi Pemerintah NTB akan pentingnya penanganan bencana yang komprehensif. Disaster management, karenanya, telah menjadi fokus perhatian utama pembangunan serta pengembangan NTB di bawah kepemimpinan Dr. H. Zulkifliemansyah, M.Sc. dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Jalilah, M.Pd. yang bertagline NTB Gemilang di mana misi pertamanya adalah “NTB Tangguh dan Mantap” 162 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

melalui penguatan mitigasi bencana dan pengembangan infrastruktur serta koneksivitas wilayah. Sejalan dengan itu, paradigma penanggulangan kebencanaan pun berubah dari responsif menjadi preventif, dari sektoral menjadi multi sektor, dari tanggung jawab pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana; pelibatan masyarakat secara langsung dalam mitigasi bencana menjadi salah satu faktor penentu berhasilnya penguatan mitigasi bencana di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, strategi yang digunakan untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa-desa dan kelurahan-kelurahan yang tangguh terhadap bencana. Hal ini menunjang nilai Indikator Utama RPJMD Provinsi NTB, yakni Penurunan Indeks Risiko Bencana (IRB) di mana salah satu metode penurunan IRB yang juga dijadikan sebagai Indikator adalah Peningkatan Indeks Kapasitas Penanggulangan Bencana, yang merujuk pada Strategi keempat, yakni Penanganan Tematik Kawasan Rawan Bencana yang di dalamnya terdiri dari pembentukan Desa Tangguh Bencana. Selain Desa Tangguh Bencana, Strategi keempat Peningkatan Indeks Kapasitas, yakni Penanganan Tematik Kawasan Rawan Bencana adalah Pembentukan Sekolah Aman Bencana. Terkait hal itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga telah menerbitkan Panduan Teknis Rehabilitasi Sekolah Aman Bencana melalui Perka BNPB NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 163

No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/ Madrasah Aman dari Bencana. Sekolah/madrasah aman dari bencana adalah sekolah/madrasah yang menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. Hingga Agustus 2019, pemerintah Nusa Tenggara Barat melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTB dan NGO telah membentuk 8 Desa Tangguh Bencana baru menjadi 39 desa di NTB dari target realisasi Desa Tangguh Bencana pada 2019 sejumlah 51 Desa atau pembentukan 20 desa tangguh bencana baru dari 31 desa di tahun 2018. Hal ini terjadi karena Desa Tangguh Bencana tidak termasuk dalam Rencana Kerja OPD pada Tahun Anggaran 2019. Kemudian dengan Target Jangka Menengah Daerah terkait pembentukan Desa Tangguh Bencana sejumlah 20 Desa setiap tahunnya, dibutuhkan pembentukan baru sebanyak 32 Desa untuk mencapai 71 Desa Tangguh Bencana hingga akhir 2020. Berbeda halnya dengan Desa Tangguh Bencana, hingga Agustus 2019 telah terbentuk 11 Sekolah Aman Bencana baru dari target realisasi sebanyak 10 Sekolah di tahun 2019. Total Sekolah Aman Bencana yang telah dibentuk hingga 2019 sejumlah 47 Sekolah. Kegiatan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah/madrasah dan masyarakat (School and Community Managed Disaster Risk Reduction) ini dilakukan dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Di desa cukup banyak organisasi–organisasi sosial dan keagamaan yang 164 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

dapat menjadi kekuatan dalam gerakan penanggulangan resiko bencana. Budaya, gotong royong, toleransi dan semangat keswadayaan berjalan baik di desa dan hal ini menjadi satu kekuatan penting dalam penanganan bencana. BPBD NTB pun secara periodik melakukan sosialisasi penanganan bencana, simulasi geladi posko dan geladi lapang, penyusunan Rencana Kontinjensi (Renkon) dan pembentukan Desatana dan SAB. Di luar itu, BPBD NTB juga melakukan penyebaran informasi kebencanaan melalui Pusdatin Bencana, dan buku khutbah Jum’at tentang penanggulangan dan mitigasi bencana. Selain itu, BPBD NTB juga melakukan pemasangan EWS, pembentukan jalur evakuasi, Tempat Evakuasi Sementara (TES), peningkatan sarana prasarana kebencanaan, peningkatan kapasitas SDM kebencanaan. Sisi lain, masyarakat pun nampak semakin sadar akan pentingnya perawatan serta hidup harmoni bersama alam seperti penguatan kembali local wisdom dan atau dalam masyarakat adat dikenal dengan istilah awik-awik berupa ketentuan larangan dan juga anjuran (masyarakat) adat tentang bagaimana memperlakukan alam seperti adanya larangan menebang pohon-pohon besar di tanah adat dilatarbelakangi adanya kesadaran akan ancaman bencana banjir dan tanah longsor di KLU, larangan melaut pada hari Jum’at dikarenakan adanya gelombang tinggi dan banjir rob di KLU, juga larangan memberi makan hewan-hewan ternak di dalam hutan dikarenakan akan merusak ekosistem hutan di Lombok Barat. NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 165

Ini bukan pekerjaan ringan yang dapat dilakukan oleh BPBD Provinsi NTB sendirian. Karenanya sinergitas dengan membangun kemitraan dengan OPD dan NGO terkait, serta Korem dan Polda, serta berkoordinasi dengan BPBD Kab/Kota senantiasa dilakukan untuk mencegah, menanggulangi, dan memberikan edukasi kebencanaan kepada masyarakat. Manajemen kebencanaan jelas bukan persoalan yang sederhana. Masalah ini semakin pelik karena (politik) anggaran yang masih dirasa terbatas yang berimplikasi pada kapasitas serta sarana prasana sehingga menjadi kendala bagi BPBD dalam melaksanakan tugasnya. Kendala dana menjadi faktor penyebab utama mengapa tindakan mitigasi dan penanggulangan bencana kurang berkualitas, kurang menolong tindakan prevensi, juga kurang memuaskan rakyat/para korban pada tahapan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi; kurangnya koordinasi antar-lembaga terkait, kurangnya daya dukung daerah terhadap penanganan bencana, serta masih rendahnya kesadaran masyarakat adalah persoalan- persoalan dalam penanggulangan bencana. Persoalan kebencanaan harus (kembali) didudukkan secara serius dan sebagai salah satu prioritas. Artinya manajemen kebencanaan harus dilihat sebagai investasi peradaban karena pengabaian atas tindakan kebencanaan 166 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

tak ubahnya dengan pembiaran akan lost generation dan terputusnya mata rantai pembangunan, juga peradaban. Bagaimana tidak, bangunan peradaban berjalan mundur, bahkan runtuh dalam sekejap hanya karena hentakan alam satu menit dua menit. NTB dan Indonesia adalah mungkin di antaranya. NTB Tangguh dan Mantap: Ikhtiar Menuju NTB Gemilang Tangguh Bencana 167

SETAHUN ZULROHMI MEMBERSAMAI KORBAN GEMPA: IKHTIAR MEWUJUDKAN NTB TANGGUH DAN MANTAP 168 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Tanggal 19 September 2019, tepat setahun Dr. H. Zulkifliemansyah dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Jalilah, dilantik sebagai Gubernur-Wakil Gubernur baru NTB. Peralihan kekuasaan ini terjadi di tengah suasana kedukaan serta keprihatinan yang mendalam. Bagaimana tidak, gempa bumi telah menyebabkan kehancuran; dalam hitungan menit bahkan detik, rumah-rumah, perkantoran, pertokoan, pasar, bangunan sekolah, dan fasilitas lainnya semua rata dengan tanah; ribuan orang terluka, puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang menjadi pengungsi; banyak keluarga kehilangan orang-orang terkasih, harta benda tak tersisa, puing-puing reruntuhan bangunan berserakkan, wajah-wajah sedih-pilu terhampar. Akibatnya, aktivitas perekonomian mengalami kelumpuhan, pun masyarakat hidup dalam trauma serta ketakutan yang mendalam, dan lain sebagainya. Dampak bencana ini tidak sedikit. Setidaknya 564 jiwa meninggal dunia, 1.584 orang luka-luka, dan 445.343 penduduk mengungsi. Kerusakan prasarana dan sarana skala besar seperti rumah penduduk 222.530 unit, gedung kantor, prasarana transportasi darat, prasarana sumber daya air, fasilitas kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, hotel, toko dan berbagai fasilitas umum. Sektor yang paling terkena dampak dari gempa adalah sektor pendidikan dan permukiman. Output kedua sektor tersebut turun masing- masing sebesar 16,79% dan 14,53% di tahun 2018. Sektor kesehatan juga mengalami penurunan output sebesar 4.93%. Sektor pariwisata yang merupakan salah satu prioritas pembangunan terkena dampak terbesar keempat. Output Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 169

sektor pariwisata turun hingga 4,89%. Gempa inipun berdampak pada penurunan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 1,5% dan diperkirakan meningkat menjadi 15,88% pada tahun 2019. Artinya kepemimpinan Zulrohmi tak hanya sekedar mewarisi rekaman keberhasilan kepemimpinan TGB selama dua periode atau mungkin persoalan-persoalan yang belum terselesaikan, namun juga sudah dihadapkan pada beban yang amat berat: membangun kembali NTB yang telah porak-poranda, memberi jaminan bahwa mereka yang telah terkubur mimpi-mimpinya bersama ingatan akan tragedi gempa, dus melunasi janji-janji politiknya akan NTB Gemilang. Tugas yang tak ringan, tentunya, bagi Gubernur Wakil Gubernur terpilih untuk menjahit kembali benang kusut NTB, khususnya nasib warga masyarakat yang berdampak gempa. Mengawaki NTB yang “runtuh” jelas bukan pekerjaan yang mudah. Semua mata akan tertuju kepada kepemimpinan yang baru. 170 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Bagaimana pun juga gempa Lombok-Sumbawa telah menjadi isu nasional, bahkan kamera negara-negara lain menyoroti tajam persoalan kebencanaan yang melanda NTB. Ekspektasi dan janji yang wajib dibayar, mungkin juga kekecewaan, kemarahan, juga kesedihan yang harus diredakan ketika bencana itu terjadi dengan kerja-kerja nyata serta terstruktur. Tak ada pilihan lain yang bisa dilakukan kecuali kepemimpinan yang baru ini harus segera bekerja keras, juga cerdas untuk membangun harapan publik NTB bahwa ‘tangan dan kaki’ negara hadir menyapa warga NTB yang tersapu keletihan digoyang gempa tanpa kesudahan. Publik begitu menanti-menunggu tangan sakti Zulrohmi. Tak ada jeda atau sekedar menikmati bulan madu sebagai Gubernur - Wakil Gubernur terpilih. Sehari pasca pelantikan, tepatnya tanggal 20 September 2018, Dwitunggal baru NTB ini menggelar rapat koordinasi dengan seluruh jajaran terkait untuk memastikan bahwa tahap-tahap penanggulangan bencana ini on the right track serta memastikan bahwa masyarakat yang terpapar bencana gempa telah mendapatkan ‘hak-hak kedaruratannya’. Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 171

172 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 173

Berbekal Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Bencana di NTB Termasuk Tugas Para Menteri dan Institusi-Institusi Terkait, kerja- kerja penanganan dan penanggulangan bencana menjadi bukti akan komitmen Pemerintah untuk membersamai masyarakat NTB yang terpapar gempa. Tunjuk misalnya, prosedur pencairan dana bantuan yang semula 17 tahap disederhanakan menjadi 1 tahap. Ini adalah bukti keseriusan Pemerintah Pusat memberikan dukungan penuh bantuan kepada Pemerintah Provinsi NTB beserta pemerintah kabupaten/kota, serta tentu saja yang paling penting kepada masyarakat tanpa harus menaikan status gempa di NTB sebagai Bencana Nasional. Totalitas Pemerintah ini setidaknya menjawab keriuhan tanda dan tanya masyarakat yang meragukan ‘kehadiran’ negara menemani kehilangan masyarakat NTB yang terdampak bencana. Pemerintah NTB pun tak kalah sigapnya merespons harapan publik dengan diterbitkannya: (1) Keputusan Gubernur NTB No. 360-612 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Tim Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat; (2) Keputusan Gubernur NTB No. 360-789 Tahun 2018 tentang Pembentukan Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan dan Percepatan Rehab Rekon Pasca Gempa Provinsi Nusa Tenggara Barat; (3) Keputusan Gubernur NTB No. 360-103 Tahun 2019 tentang Pembentukan Satuan Tugas Transisi Darurat ke Pemulihan dan Percepatan Rehabilitasi/Rekonstruksi Pasca Gempa Provinsi Nusa Tenggara Barat. 174 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Dalam perjalanannya, ‘proyek’ rekonstruksi dan rehabilitasi korban terpapar gempa tidaklah mudah. Paling tidak beberapa persoalan utama yang menyeruak di permukaan adalah: 1. Manajemen Kelompok Masyarakat (selanjutnya disebut Pokmas). Masalah ini seringkali muncul pada tingkat Pokmas dan Pemerintahan Desa pada saat terjadinya perjanjian kerjasama antara Pokmas dengan Aplikator di mana terjadi tarik-menarik kepentingan antara Pokmas dengan pihak desa dalam menentukan Aplikator yang akan ditentukan. Dalam hal ini tim pengendali kegiatan seringkali melakukan mediasi untuk mempertemukan para pihak yang bermasalah sehingga tidak menghambat pelaksanaan rehab/rekon yang sedang berjalan. Di samping itu, kekompakan antara pengurus Pokmas dan anggota masih menjadi salah satu permasalahan yang ditemukan di lapangan yang menyebabkan terjadinya kebuntuan komunikasi termasuk dalam menentukan jenis rumah tahan gempa (RTG) yang akan dibangun. 2. Aplikator di mana terdapat Aplikator yang menghentikan kontrak di tengah jalan, atau terjadi pencairan anggaran ke pihak Aplikator, namun terjadi perselisihan tentang waktu dan spesifikasi material yang dikirimkan. Bahkan tak jarang aplikator yang sengaja memperlambat pelaksanaan rehab/rekon dengan mempergunakan dana yang sudah dicairkan tidak sebagaimana mestinya. Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 175

Misalnya, uang Pokmas A digunakan untuk membangun pada Pokmas B, sehingga Pokmas A dan B mengalami keterlambatan capaian. akan lamban progresnya. Selain itu, terdapat aplikator yang terlalu banyak mengadakan Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Pokmas, akan tetapi pada kenyataannya tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan. Akhirnya, Pokmas harus ber-pks ulang dengan aplikator lain untuk menyelesaikan pekerjaan Pokmas. 3. Data Anomali. Persoalan ini menjadi salah satu permasalahan serius di lapangan karena menghambat perencanaan progres rehab/rekon. Untuk dimaklumi bahwa verifikasi dan validasi data menjadi tupoksi Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten/Kota, namun dalam kenyataannya karena keterbatasan SDM dan tim verifikator, akhirnya fasilitator ikut berperan dalam menyelesaikan/mengumpulkan data-data tersebut. 4. Partisipasi aktif perangkat desa dan stakeholder terkait belum maksimal di mana banyak kepala desa dan unsur tim pendamping masyarakat lainnya yang masih terkesan belum secara maksimal mendorong percepatan rehab/rekon. 5. Kondisi geografis rumah korban terdampak. Luasnya cakupan wilayah terdampak di dua pulau, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa seringkali menjadi kendala tersendiri dalam proses 176 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

pengiriman material bangunan ke lokasi Pokmas sehingga memakan waktu dan biaya transportasi, bahkan tak jarang harus dipikul secara manual. 6. Kelangkaan material lokal. Riko/rumah konvensional menjadi salah satu RTG yang banyak dibangun oleh masyarakat, sehingga otomatis akan memakan material lokal yang sangat banyak dan tidak sebanding dengan kemampuan produksi yang ada di daerah, seperti bata merah dan batako. 7. Transportasi material ke lokasi Pokmas. Transportasi material ke lokasi Pokmas masih menjadi kendala karena lokasi geografis Pokmas di beberapa titik yang sulit terjangkau oleh transportasi/mobil angkut. Tidak sedikit yang harus menggunakan angkutan manual/dipikul dan membutuhkan biaya tambahan. 8. Kelangkaan Tukang. Tukang masih menjadi kendala tersendiri karena banyaknya pembangunan yang dilakukan langsung oleh Pokmas (swakelola Pokmas) sehingga seringkali mereka harus bergilir dalam melakukan pembangunan. “Langkah panjang selalu dimulai dengan langkah pertama”. Berbagai musykilat yang muncul sejak program rehabilitas dan rekonstruksi tersebut di atas dapat teratasi dengan segala kompleksitasnya. Kini wajah-wajah yang dulunya sayu tertunduk lemas sudah mulai cerah kembali seirama dengan deretan rumah-rumah yang terbangun kembali. Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 177

Wajar kemudian, akselerasi dan kerja keras ini mendapatkan apresiasi yang mendalam dari Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Kepala BNPB, Doni Monardo, yang menyatakan bahwa NTB adalah contoh, juga laboratorium bagi daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dunia tentang manajemen kebencanaan (disaster management). Pujian ini telah menjadi semacam energi (tambahan) yang memacu endurance untuk membuktikan komitmen Bang Zul dan Ummi Rohmi melerai beban masyarakat NTB yang tertimpa bencana gempa bumi silam. Walakhir, perjalanan yang sudah setahun kepemimpinan Dr. H. Zulkifliemansyah dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Jalilah membersamai NTB yang terpapar bencana bukanlah waktu yang panjang untuk menata kembali ‘menara NTB’ yang sempat ‘terjatuh’. Bukan pula simsalabim masalah ini akan tertuntaskan. Daerah-daerah lain butuh waktu bertahun- 178 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

tahun untuk bangun kembali dari mimpi buruk tersapu bencana. Kita semua optimis bahwa langkah pertama, “NTB Tangguh dan Mantap” adalah titik tolak perjalanan panjang NTB lima tahun ke depan. “Ana ‘inda dhanniy ‘abdi biy” (Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku), kalam Tuhan dalam firman-Nya. Kita semua meyakini bahwa setahun yang penuh ujian kemarin adalah cara Tuhan merekatkan kembali kebersamaan kita untuk untuk mewujudkan NTB Gemilang. Setahun Zulrohmi Membersamai Korban Gempa: Ikhtiar Mewujudkan NTB Tangguh dan Mantap 179

ZAKAT DAN KEBERPIHAKKAN ISLAM TERHADAP KORBAN BENCANA 180 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Salah satu parameter keberterimaan diri sebagai Muslim adalah keniscayaan bagi umat Islam untuk mengeluarkan zakat. Zakat di luar sebagai instrumen kesalehan terhadap Tuhan, tapi lebih dari itu zakat adalah piranti yang mempertemukan invidu- invidu Muslim ke dalam bangunan kolektivitas, soliditas sosial, dan perwujudan dari kesalehan sosial: wujud dari kesadaran akan keberadaan “yang Lain” dalam kehidupan. Tentang “yang Lain”, Emmanuel Levinas (1906-1995), seorang filsuf Perancis kontemporer, pernah mengatakan, “Tatkala ‘Lain’ menatapku, aku bertanggung jawab baginya, bahkan tanpa menerima tangung jawab darinya; tanggung jawabnya merupakan tanggung jawabku. Ini tanggung jawab yang melangkah melampaui apa yang kulakukan.” Karenanya, zakat adalah ekspresi kepekaan sosial umat Islam dengan memprioritaskan kepentingan “yang Lain” tanpa perlu mengharap imbal balik dari “yang Lain” itu, karena “yang Lain” juga akan menganggapnya sebagai “yang Lain” baginya dengan prinsip yang sama di atas. Zakat dan Keberpihakkan Islam Terhadap Korban Bencana 181

Zakat, karenanya, adalah server dalam Islam untuk menampakkan wajah keberpihakkan terhadap manusia. Menunjukkan komitmen kemanusiaan kita yang barangkali telah terpapar oleh kealpaan kita terhadap yang lain. Ramadhan adalah momentum memestakan kembali ingatan kita atas adanya yang “yang Lain” yang dalam tubuh Islam dianalogikan dengan “satu badan” (kal- jasadil wahid). Di dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat sekitar 30 ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat di mana perintah zakat sering muncul berdampingan dengan sesudah perintah sholat yang merupakan kristalisasi dari kolektivitas dan solidaritas sosial. Hal ini memperlihat betapa urgensinya zakat dalam Islam. Salah satu dari makna zakat adalah “berkembang atau tumbuh”. Walaupun dampaknya terhadap kegiatan perekonomian masih relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh karena pengeluaran zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan akan lebih merata (necessary condition but not sufficient), tetapi belum maksimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain yang melengkapi pengeluaran zakat seperti sadaqah, wakaf 182 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

dan sebagainya, sehingga dampaknya terhadap distribusi pendapatan menjadi lebih optimal. Menurut Mustafa Edwin Nasution (2005), zakat muncul menjadi alternatif pengentasan kemiskinan yang efektif, yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan instrumen fiskal konvensional yang kini telah ada,yaitu: pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syari’at (QS. At-Taubah: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan saja (ashnaf), yaitu: orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa selain delapan golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak-pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan tersebut. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrumen fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik untuk mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran (self targeted). Kedua, zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap dan tidak pernah berubah-ubah karena diatur oleh syari’at. Sebagai contoh, zakat yang diterapkan pada zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5 %. Ketentuan tarif ini tidak boleh diganti ataupun dirubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan publik serta memberikan kepastian Zakat dan Keberpihakkan Islam Terhadap Korban Bencana 183

usaha. Ketiga, Zakat memiliki tarif yang berbeda untuk tiap jenis harta yang berbeda, dan memberikan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi yang lebih tinggi. Misalnya, Zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tarifnya 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tarifnya 10%. Sehingga zakat bersifat market-friendly karena tidak akan mengganggu iklim usaha. Keempat, Zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Zakat dipungut dari produk pertanian, hewan peliharaan, simpanan emas dan perak, aktivitas perniagaan komersial, dan barang-barang tambang yang diambil dari perut bumi. Fiqih kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari pendapatan yang dihasilkan dari asset atau keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi zakat sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program kemiskinan. Kelima, zakat adalah merupakan pajak spiritual yang wajib dibayar oleh seorang muslim dalam kondisi apapun, karena itu penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan melihat urgensi zakat yang demikian besar, persoalannya sekarang adalah apakah zakat boleh dialokasikan untuk korban terpapar bencana seperti gempa, tsunami, tanah longsor, kebakaran, dan lain sebagainya? Sementara pada sisi lain, secara normatif di dalam al- 184 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Qur’an misalnya disebutkan bahwa alokasi penerima zakat diperuntukkan untuk delapan kelompok atau ashnaf. Ruang distribusi penerima zakat korban terpapar bencana agak kesulitan. Oleh karenanya, interpretasi yang melampaui makna teks menjadi keniscayaan, khususnya penerima zakat, untuk mendudukkan agama sebagai instrumen untuk manusia dan kemanusiaan agar zakat hadir untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Di Indonesia, upaya reformasi mustahiq ini pernah dikemukakan Masdar F. Mas’udi dalam karyanya, “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam” (1991). Namun dalam pelaksanaannya, masih belum berani, pemerintah dan pengelola zakat masih terpaku pada pemahaman yang konservatif. Kurangnya keberanian dan kekhawatiran akan melanggar ketentuan syari’at, menjadi salah satu faktor penyebabnya. Atas dasar itu, ‘fiqih yang melampaui’ menjadi relevan agar terma mustahiq, sebagai contoh misalnya, tidak terjebak dalam ruang hampa sosial, pun lembaga-lembaga zakat mendistribusikan dananya untuk kepentingan yang lebih relevan dengan kebutuhan sosial dan ekonomi saat ini. Zakat dan Keberpihakkan Islam Terhadap Korban Bencana 185

186 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB

Ayat al-Qur’an yang sering menjadi rujukan penerima zakat adalah, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus- pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” [QS. at- Taubah (9): 60]. Majlis Tarjih Muhammadiyah (2009) mengakui bahwa ayat ini tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir dan miskin, dengan pertimbangan: (1) korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan; (2) orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan ini diperbolehkan untuk meminta-minta, sebagaimana sabda Nabi Saw: “Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Said, keduanya menceritakan dari Hammad bin Zaid. Yahya berkata: Hammad bin Zaid menceritakan pada kami dari Harun bin Riyab, Kinanah bin Nu’aim al- ’Adawiy dari Qobishah bin Muhariq al-Hilaly, ia berkata: Aku membawa beban berat, lalu mendatangi Rasulullah Saw., lalu aku bertanya kepada Nabi Saw. tentangnya. Beliau Zakat dan Keberpihakkan Islam Terhadap Korban Bencana 187

menjawab: “Tinggallah kamu sampai shadaqah datang, lalu kami memberikannya padamu”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Ya Qabishah, sesungguhnya tidak boleh meminta- minta kecuali untuk tiga orang; seseorang yang membawa beban berat, maka halal baginya meminta-minta sampai memperolehnya kemudian menghentikannya; seseorang yang tertimpa bencana yang menghancurkan hartanya, halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali; dan seseorang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang dari kaumnya membenarkan bahwa dia tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali. Adapun meminta-minta di luar itu haram ya Qabishah, makan dari hasilnya pun haram” [HR. Muslim]. Atas dasar itulah, Majlis Tarjih Muhammadiyah melihat bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama yang ditujukkan untuk membantu kaum masyarakat, baik yang bersifat santunan ataupun karitas. Dalam konteks situasi tersebut adalah ketika terjadinya bencana harus disesuaikan alokasi dana zakat (infaq dan sedekah juga tentunya) dalam rangka memproteksi 188 N APAS PANJANG MEMBERSAM AI NTB


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook