Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Timah di Tangan Emas. di Hati

Timah di Tangan Emas. di Hati

Published by Dagu Komunika Bookcases, 2021-10-22 04:16:22

Description: biografi_Bpk-Soeranto_25Apr-LR

Search

Read the Text Version

DARI PULAU KE IBUKOTA Mendampingi Direktur Utama PT Tambang Timah A.R. Ramly saat melakukan inspeksi ke Dabo, Singkep pada 1975. 101

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Belitung I yang dilakukan di Batam harus menelan biaya lebih mahal, “Tapi Pak Harto bilang; Sudah, bikin saja di dalam negeri”, kata Ramly seperti dikutip dalam ‘Tiga Dasa Warsa PT Timah Tbk’. Permasalahan lain yang membutuhkan pengawasan Inspektur Ranto adalah kinerja pegawai. Pada era Ramly dikenal dengan era kesejahteraan pegawai. Berbagai fasilitas untuk pegawai disediakan, mulai program beasiswa untuk anak-anak pegawai, pemberangkatan haji bagi pegawai teladan, program kepemilikan rumah, hingga pembentukan dana pensiun karyawan. Unsur Manusia di era Ramly sangat diperhatikan, setelah itu baru sumber daya alamnya. Apakah peningkatan kesejahteraan pegawai tersebut berbanding lurus dengan kinerja dan produktivitas? Itulah salah satunya yang menyita Ranto selama empat tahun sebagai Inspektur Perusahaan di PT Tambang Timah. Di bawah pengawasan Ranto, dalam satu tahun, kinerja perseroan mulai beranjak naik. Harga timah yang pada tahun 1976 USD 7.582, perlahan naik menjadi USD 10.775 pada 1977, dan USD 12.861 pada 1978. Puncaknya pada tahun 1980, harga timah lari ke angka USD 16.845 per ton. Kenaikan harga dimanfaatkan PT Timah untuk mningkatkan kinerja peralatan produksi, infrastruktur, eksplorasi, hingga kesejahteraan pegawai. Barangkali ada yang perlu sedikit diamini dari para pimpinan penambangan di Singkep yang mayoritas etnis Tionghoa. Yaitu bahwa, jika ada Ranto biasanya membawa keberuntungan. Ya, bisa jadi. Penyelundupan bijih timah juga sempat marak di era Ramly. Meskipun tidak sampai mendistorsi harga, namun cukup mengganggu perusahaan. Menurutnya, penyelundupan dilakukan oleh para pedagang Singapura. Mereka menyelundupkan bijih timah menuju seberang Selat Malaka, yaitu Penang. Di Penang terdapat smelter (peleburan) yang menampung hasil selundupan. Singapura memang hebat, tanpa memiliki lahan tambang timah, negara ini mampu mengekspor timah dengan jumlah lumayan besar. Setelah Ramly mengganti penanggung jawab keamanan di Bangka-Belitung-Singkep, dengan militer dan latihan gabungan di Bangka. Dan dengan Operasi Candra, penyelundupan berkurang drastis. Kebersamaan Ranto di bawah komando Ramly berjalan sekitar 8 tahun. Dari Ranto masih menjadi Inspektur Perusahaan, Sekretaris Perusahaan (1980), hingga Ranto masuk di jajaran direksi sebagai Direktur Umum PT Timah. Keduanya bersama jajaran direksi lainnya sudah melakukan banyak hal. Jika harus menyebut satu obsesi, yaitu cita-cita Ramly melakukan marketing independent. Selama ini penjualan timah dilakukan melalui 102

DARI PULAU KE IBUKOTA kontrak, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai perusahan perseroan, perdangan tentu saja harus dilakukan dengan marketing, bukan semata penjualan. Keinginannya mendapat angin segar dari Menteri Pertambangan M. Sadli. Dalam pikirannya, jika waktu itu produksi timah mencapai 28 ribu ton dan 500 ton diantaranya dapat diperdagangkan sendiri, bukan melalui kontrak. Namun, sampai di depan Presiden Soeharto, semua kandas. Pada masa Ranto menjadi Inspektur Perusahaan, lahir pemikiran melakukan Community Development. Pada era kini lebih dikenal dengan Coorporate Social Responsibility (CSR). Selain itu, aspek pelestarian lingkungan bekas kolong-kolong di wilayah penambangan timah juga mencuri perhatian jajaran direksi. Atas pertanyaan Menteri Lingkungan Hidup saat itu Emil Salim, untuk apa kolong-kolong itu sekarang? Kolong yang ditinggalkan sebenarnya banyak yang menjadi sumber air bersih masyarakat sekitarnya untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penampung air hujan saat kemarau. Tidak sebatas itu, PT Timah juga bekerjasama dengan Departemen Pertanian memperbaiki lingkungan bekas penambangan dengan membuat kebun percobaan di Sungai Lumpur, Singkep, pada 1979. Di atas lahan 30 hektar ditanami sekitar 1.500 pohon kelapa hybrida, kapuk, kayu manis, lada, dan jambu monyet. Selain itu ditanami pula sekitar 2.000 batang pohon pinus dan akasia. Selain penghijauan, PT Timah juga menebar bibit ikan mujai dan nila impor dari Taiwan, meskipun usaha yang satu ini kurang berhasil. Sejak saat itulah Ramly meminta kepada unit-unit agar menanami pinggir kolong dengan berbagai pohon seperti kelapa hybrida dan sebagainya. Tahun 1984, ketika tampuk pimpinan berganti dari AR. Ramly (1976-1984) ke Sujatmiko (1984-1989), Ranto masih duduk di kursi Direktur Umum. Di tahun-tahun bersama Sujatmiko, mulailah Ranto menghadapi ‘Kapal Sarat Penumpang’. PT Tambang Timah saat itu memiliki pegawai sebanyak 29 ribu orang. Jumlah pegawai besar membuat anggaran perusahaan juga besar. Pada 1984-1985 anggaran perusahaan mencapai Rp 300 miliar, sementara devisa timah tahun 1983 hanya sekitar Rp 320 miliar. menghadapi situasi itu, pimpinan pada umumnya mengambil jalan pintas dengan memutus hubungan kerja (PHK). Namun, Sujatmiko masih menimbang cara lain untuk melakukan efisiensi tanpa PHK. Salah satu caranya mengikis habis operasi yang tidak ekonomis dan menekan produksi. Bahkan dia tidak segan memotong anggaran kesehatan karyawan, berdasarkan fakta banyaknya karyawan yang hanya mengaku-aku sakit. Pengurangan karyawan dilakukan antara lain dengan pensiun alami, pensiun dini, 103

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Kapal Keruk 104

DARI PULAU KE IBUKOTA Kapal Keruk penyaluran dan penugasan ke anak perusahaan, berhenti sendiri, dan lain-lain. Cara- cara tersebut telah mengeliminasi jumlah dari 29.236 orang menjadi 27.243 pada 1987 dan 24.873 pada 1988. Pertimbangan Sujatmiko tidak melakukan PHK, selain arahan Presiden Soeharto, juga menimbang nasib pegawai timah yang ada di pulau-pulau kecil dimana kegiatan ekonominya sangat bergantung dengan timah. “Eranya Pak Ramly, gaji pokok kecil, tapi dapat banyak tunjangan. Tapi itu saat masih aktif sebagai pegawai. Semua tunjangan tidak ada artinya jika sudah pensiun, yang didapat bedanya cukup jauh,” tambah Goentoro. Ranto belum sempat merubah kenaikan gaji pokok. Dia baru merancang job description,membuat sistem penggajian agar kenaikan tiap tahunnya sesuai kenaikan golongan. “Kalau naik golongan 8 persen, kalau naik tahunan 4 persen. Menjadi mandor,jadi apapun sampe semuanya diatur. Saya menterjemahkan dari Dirut, kebetulan Dirutnya percaya sama saya,” jelas Ranto. Baru setelah era Pak Sujatmiko, ada kenaikan gaji. Tapi konsukensi yang terjadi adalah PHK besar-besaran. Itu terjadi saat pucuk pimpinan dari sipil, bukan dari militer seperti Pak Sujatmiko yang tunduk dengan Soeharto. Dirut baru yang dari Sipil melakukan banyak efisiensi. Dari 29 ribu menciut menjadi 7 ribuan karyawan. Saat itu PT Tambang Timah dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. 105

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bersama Dr. Umar dalam perjalanan pulang dengan kapal usai meninjau lokasi penambangan di Kundur, Karimun. Menaiki truk tambang dalam sebuah kesempatan kunjungan ke lokasi tambang. 106

DARI PULAU KE IBUKOTA Pada masa-masa akhir era Sujatmiko dikeluarkan kebijakan efisiensi, diversifikasi, dan restrukturisasi. Diversifikasi menjadi perhatian lebih oleh jajaran direksi karena ditempuh untuk mengoptimalkan semua asset perusahaan, termasuk pegawai. Langkah diversifikasi dilakukan secara vertikal (usaha plat timah, pendulangan timah), horizontal berkaitan dengan usaha ikutan seperti kaolin, xenotime, monazite, granite, pasir kuarsa. Dan secara diagonal di luar usaha timah dan mineral ikutan, seperti pabrik zat asam di Batam, perkebunan lada, dll. Pada era Sujatmiko, Ranto sempat menyaksikan peluncuran Kapal Keruk Singkep I buatan dalam negeri dengan lokasi pembuatan di dok Tanjung Priok pada 1985. Kapal Singkep I adalah kapal terbesar milik PT Timah dengan ukuran mangkuk 24 cuft. Bandingkan dengan Bangka I dan Bangka II yang masing-masing 18 cuft dan 22 cuft. Pada era otonomi daerah, peleburan timah sudah bisa dibangun swasta. Secara umum proses penambangan timah dimulai dari survey, eksplorasi darat/laut, didata cadangan yang ada untuk jangka panjang. Setelah itu proses penambangan,ada penambangan terbuka,ada yang dengan kapal keruk. Proses selanjutnya adalah pencucian, agar timah yang masih mengandung macam-macam itu bisa dilebur menjadi berupa balok-balok timah (kemurnian minimal 70 persen). Buangannya akan menjadi cadangan lagi. Tapi pada jaman sekarang, semua residu itu diangkut, tidak peduli dengan anak cucu nanti. Balok timah punya dua brand: pertama, BankaTin dengan tingkat kemurnian 99,9 persen timah murni. BankaTin sudah lama terkenal di pasaran dunia. Kedua, produksi yang lebih baru menghasilkan kemurnian 99,85 persen. Produk ini juga mempunyai market di dunia, yaitu Belanda. Dahulu pada jaman penajahan Belanda, timah dilebur di Arnheim, Belanda. Tapi pada tahun 1963 di Bangka sudah ada peleburan sendiri. Kini era otonomi daerah sudah banyak peleburan-peleburan milik swasta. Mereka menampung penambang-penambang rakyat dan swasta. Peleburan swasta awalnya hanya menjual dalam bentuk pasir. Tapi kemudian PT Timah protes ke pemerintah,dan akhirnya pasir dilarang dan harus dalam bentuk logam. Tapi praktik itupun juga diakali oleh swsta dengan mengirim logam-logam timah ke Singapura. Disana dilebur dan tidak mengindahkan kualitas,asal bentuk logam saja. Usut punya usut rupanya antara penjual dan pembeli di Singapura itu satu modal. Inilah perubahan yang dirasakanBUMN sekarang, karena dulu terbiasa monopoli. Bahkan PT Timah sendiri kini membeli dari penambang-penambang rakyat, tapi tujuannya untuk diolah dengan kualitas lebih baik dari Singapura. 107

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI BukanKeuJnatkuakrKteambali Saat Ranto masih di Singkep, dia membeli tanah girik kira-kira seluas 10.000 meter persegi di daerah Gandul, Cinere, Depok, Jawa Barat.Saat itu tanah di Gandul masih murah karena ada gardu listrik. Ranto lupa memagari tanah yang sudah dibeli itu hingga akhirnya pada saat pengukuran ulang untuk dibuat sertifikat, menyusut menjadi 4.000 meter persegi, yang 6.000 meter persegi sudah menjadi milik orang lain. Setibanya di Jakarta tahun 1976, Ranto sempat tertekan dengan ketidaksiapan menghadapi dinamika PT. Timah di Jakarta. Fasilitas masih terbatas, beda dengan saat masih di Singkep yang segalanya serba ada. Meskipun Ranto ke Jakarta sudah naik pangkat, hanya saja sebagai orang yang sudah 20 tahunan di pulau pasti merasa terkejut. Berbeda dengan pejabat lainnya yang meniti karir di Jakarta, begitu harus kembali ke Jakarta mereka sudah ada asset.Lain hal dengan Ranto, dia merintis dari awal di pulau. Salah satu teman dari Ibunda Ranto memiliki anak yang kebetulan mempunyai tanah di Jalan Warung Buncit No. 71, Jakarta Selatan.Mengingat kebutuhan yang mendesak, sebelum pindahke Jakarta, Ranto membeli tanah itu dan sekaligus mengiyakan tawaran temannya itu untuk dibuatkan rumah sekalian.Setelah rumah itu jadi, Ranto beserta istri dan anaknya meninggali rumah tersebut sementara menunggu rumah dinas di bilangan Kemang Utaraitu selesai dibangun untuk sang Inspektur Perusahaan PT.. Tambang Timah. PT. Tambang Timah di antara tahun 1976 sampai 1988 seolah meminta waktu Ranto sebanyak-banyaknya. Ranto menjadi semakin sibuk, pada saat yang sama anak-anaknya sedang dalam masa produktif belajar, produktif juga merogoh kocek Papanya. Koko pada tahun 1976 masuk SMA, kedua adiknya masih duduk di bangku SMP, dan putra sulungnya, Didiet, juga sudah duduk di SMA Loyola di Semarang. Didiet tinggal bersama Pakde Koesdaryanto, dan sudah sudah harus mempersiapkan diri ke perguruan tinggi. Sementara Roswita terlibat aktif dalam kepengurusan Dharma Wanita Persatuan, baik di lingkungan PT. Tambang Timah maupun di lingkungan Kementerian ESDM. Peran istrinya di organisasi wanita internal Timah dan ESDM akhirnya sangat bersinergi dengan apa yang dihadapi suaminya. Dalam hal ini, Roswita banyak membantu Ranto untuk memahami koleganya di kantor pusat Timah. Tidak hanya mamahami, namun mencarikan solusi untuk suaminya melalui para Srikandi di balik Bapak-Bapak berjas dan berdasi di ruang-ruang ber-AC kantor PT. 108

DARI PULAU KE IBUKOTA Di rumah jalan Kemang Utara, Jakarta. Selalu menjadi contoh dan teladan, tidak saja untuk anak dan cucu tapi juga bagi keluarga dan kerabat. 109

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Tambang Timah di Jalan Gatot Subroto. Komunikasi informal yang dilakukan Roswita dengan kalangan Ibu-Ibu tak jarang meredam kegelisahan Ranto dalam menghadapi fakta-fakta di lapangan. Karena di balik Ranto yang tidak ekspresif, hanya Roswita yang bisa memahami apa yang diinginkan suaminya itu. Tidak berapa lama setelah Ranto menempati rumah di Buncit. Kemudian mereka pindah ke rumah dinas di Kemang Utara. Pada tahun 1980, Ranto dan istrinya menggenapkan rukun Islam mereka dengan menunaikan ibadah Haji di tanah suci. Menunaikan haji juga sesuai dengan keinginan yang dilakukan sebelum purna bakti Soeranto menjadi PNS karena pada tahun 1992, Ranto resmi pensiun. Setelah pensiun, Ranto masih diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Komisaris Utama PT. LATINUSA, sebuah anak perusahaan PT. Tambang Timah yang bergerak dibidang industri pelat timah, kerjasama dengan PT. Krakatau Steel. Setiap minggu Ranto bolak balik Jakarta-Cilegon untuk memenuhi tugasnya. Saat itulah dia mulai menyiapkan rumah di Gandul, yang dibangun di atas tanah yang dia beli semasa di Singkep. Pembangunan rumah di Gandul perlu disyukuri karena bebas dari biaya IMB maupun pajak PBB. Fasilitas tersebut hasil dari nama Ranto yang sudah tercatat sebagai anggota Veteran. Status tersebut didapatkan karena pernah aktif menjadi seorang Tentara Pelajar, dimana surat keterangan kenggotaan dari resimennya masih Ranto simpan. Penyematan keanggotaan Veteran dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, IB. Sudjana, saat Ranto menjabat sebagai Sekretaris Perusahaan PT. Tambang Timah. *** Kesibukan Ranto semasa menjabat Direktur Umum di PT. Tambang Timah juga mendapat tanggapan dari anak keduanya, Koko. Saat Koko sekolah SMA di Jakarta, Papa lebih sibuk karena Ranto banyak menghabiskan waktunya di kantor. Walaupun demikian, setiap malam minggu Ranto selalu berupaya meluangkan waktu untuk keluarga, dan mengajak semua anak-anaknya untuk makan malam bersama di luar rumah.Mereka selalu memilih restoran-restoran favorit untuk menghabiskan waktu di malam minggu.Steak dan Japanese Food merupakan makanan favorit mereka.Bahkan untuk anak-anaknya yang sudah punya pacar, juga diperkenankan mengajak makan malam bersama. Di situ Papa dan Mama berdiskusi sambil menanyakan beberapa pertanyaan kepada pacar-pacar anaknya. Siapa orang tuanya, tinggal dimana, sekolah dimana, kelas berapa, serta berbagai 110

DARI PULAU KE IBUKOTA Manjadi Tentara Pelajar semasa Agresi Militer Belanda II di waktu remaja, membawa Ranto menjadi Anggota Legiun Veteran RI. 111

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI pertanyaan ringan lainnya hanya untuk mengetahui latar belakang keluarga mereka. Kadang-kadang Ranto juga menekuni hal-hal yang bersifat spiritual. Dia sangat memahami Primbon Jawa Kuno dan Feng Shui. Menurutnya, buku tersebut ditulis berdasarkan pengalaman dan statistik beratus-ratus tahun, sehingga bisa dijadikan panduan yang perlu diperhatikan agar kita “berhati-hati”. Banyak peristiwa yang anak- anaknya lakukan selalu berpedoman pada hasil analisis Ranto dalam buku Primbon Jawa Kuno dan Feng Shui, termasuk saat anaknya, Koko, melakukan sunat, operasi amandel, akad nikah, membuat denah rumah, kamar mandi, arah pintu dan meja kerja, serta peristiwa penting lainnya. Tak jarang keluarga lain juga minta pendapat Ranto untuk menentukan hari yang baik untuk melaksanakan kegiatan atau hajatan tertentu. Ranto dengan senang hati menghitung bila ada waktu yang memungkinkan. Saat anak-anaknya memiliki pacar, Ranto juga menganalisis karakter dan sifat pacar- pacar masing-masing anaknya dan bagaimana bila nanti mereka menjalin hubungan yang lebih dekat. Apa saja hal yang harus diperhatikan oleh masing-masing pasangan bila nanti menghadapi sifat-sifat tersebut. Hal ini menjadi bekal mereka dalam menjalin rumah tangga hingga saat ini, sehingga mereka dapat mengendalikan dan memahami sifat masing-masing. Ranto adalah tipe laki-laki yang kurang romantis, sedikit tertutup dan tidak banyak bicara. Hingga saat inipun, anak-anaknya tidak mengetahui perjalanan cintanya dengan mama. Dia tidak pernah menceritakan perjalanan cintanya secara rinci.“Mama yang lebih banyak bercerita tentang bagaimana dulu Papa berkenalan dengan mama hingga proses pertunangan dan pernikahan mereka. Kondisi keluarganya pun tidak Ranto ceritakan bila tidak ditanya.Untuk mengetahui sesuatu darinya, kita harus banyak bertanya, karena jawaban yang diberikan hanya singkat-singkat saja,” ungkap Koko. Di lingkungan kerjanya di pertambangan, Ranto banyak menemukan hal-hal baru. Misalnya membangun dam dari kayu, pasir, dan tanah.Dia tak segan belajar dari orang. Kebiasaan membaca arsip perusahaan di pulau diteruskannya hingga menjadi direksi dan bahkan sesudah pensiun. “Bapak paling suka ke toko buku, kalau pergi kemanapun sering mampir ke toko buku. Meskipun anggota keluarga lainnya memilih ke tempat lain. Semua buku bapak lahap, terutama buku-buku terkait pekerjaan, seri manajamen personalia, sistem penggajian, dan lain-lain,” kata Roswita. Dalam biduk rumah tangga, berbeda pendapat yang berbuntut pada saling cemberut 112

DARI PULAU KE IBUKOTA dan ngambek adalah hal biasa. “Kalau kita marahan, saya diam saja. Tapi tiap kali dibutuhin, saya panggil bapak, dia mau respon. Sebaliknya, saya gak mau, tetap ngambek. Hal itu terjadi dari dulu. Saya lebih sering dimanjakan oleh bapak. Bapak lebih sering duluan minta maaf ke saya,” ujar Roswita sambil terkekeh. Sikap demokratis tetap Ranto terapkan dalam keluarga hingga sekarang. Ketika dalam satu rombongan perjalanan keluarga, Ranto mengarahkan untuk belok kiri, tapi mayoritas lainnya ambil kanan, Ranto mengalah. Meskipun akhirnya, pilihannya lah yang benar. Sikap dan karakter Ranto seperti yang banyak disebutkan tidak lantas mengundang ‘kerawanan’. Sebuah contoh diceritakan Walla. Sikap Ranto yang lugu dan kurang bergaul kadang dimanfaatkan juga oleh orang-orang di sekitarnya. Ada yang memanfaatkan untuk dapat jabatan atau pekerjaan di perusahaan dan lain-lain sehingga menyodorkan hal-hal yang tidak pantas. “Pernah juga papa tersandung masalah yang cukup serius, tapi semuanya dapat diselesaikan dengan baik, walaupun hal ini menjadi catatan kami yang tidak bisa dilupakan, dan menyisakan luka di hati kami anak-anaknya, dan sudah tentu terutama Mama,” demikian Walla mencontohkan. “Papa juga manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan,” tambah Walla. Saat – saat yang menyita perhatian ekstra dari Ranto dan istrinya adalah ketika anak- anaknya melanjutkan studi ke luar negeri. Pada masa Koko, Widhy dan Walla lulus sedang masa trend kuliah ke luar negeri. Pertama kuliah di luar negeri adalah Didiet, kemudian disusul Widhy, Walla karena ikut suaminya mendapatkanbea siswa di MIT Boston, dan terakhir Koko ke Virginia AS, juga mendapatkan bea siswa dari kantornya. Koko menceritakan kebanggaannya kepada Papa dan Mama yangmasih menyempatkan terbang beribu-ribu kilometer dari Jakarta hanya untuk menghadiri wisudanya. Pendidikan merupakan hal penting yang mereka tanamkan untuk kami anak-anaknya, tapi tidak pernah memaksakan kehendaknya harus mengambil jurusan tertentu.“Dulu Papa dan Mama pernah berpikir agar Koko bisa jadi dokter” itu saja ucapan yang keluar dari mulut mereka. Tapi tetap Koko melanjutkan pendidikannya di bidang Urban and Regional Planning.Mereka juga tidak keberatan dan tetap mendukung pendidikan dan karir anak-anaknya hingga saat ini. Dua tahun sebelum pensiun, tepatnya tanggal 30 September 1987, Ranto untuk pertama kalinya menjadi Wali untuk pernikahan Koko.Setelah menyelesaikan Studi Sarjana Teknik Planologi dari Institut Teknologi Bandung, Koko mempersunting pujaan 113

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Di Boston, Amerika (atas dan tengah). Saat menghadiri wisuda Hendy, suami Walla di Amerika (bawah). 114

DARI PULAU KE IBUKOTA Berfoto bersama saat wisuda Koko, di Amerika. Menggendong cucu pertama, Adhi, 1989 (tengah dan bawah). 115

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Menjelang pernikahan Walla, 1989. hatinya, Rista Perrina Assaat.Wanita berdarah Minang itu dikenalkan kepada Koko oleh adiknya sendiri, Walla. “Rista itu satu sekolah dengan Walla di SMP Tarakanita, Jakarta”, kata Koko. Ranto begitu bangga dengan kedua pasang Pengantin Baru tersebut. Apakah karena Rista berdarang Minang, sama dengan istrinya. Ada panggilan sayang Ranto kepada menantu pertamanya itu, yaitu ‘Tana”. Dua tahun setelah menanti, Ranto pun dihadiahi cucu pertamanya yang kemudian diberi nama Adhi Prabowo. Adhi saat ini telah mengabdikan dirinya di Kantor Pusat CITIBANK di Jakarta, setelah menyelesaikan Sarjana Teknik Industrinya di Universitas Indonesia tahun 2011. Setelah Koko, menjelang berakhirnya pengabdian Ranto untuk PT. Timah (1 September 1989), Walla Tridhany menikah dengan Hendy Kariawan.Hendy adalah sahabat dekat Didiet di SMA Pangudi Luhur Jakarta.Walla memberi hadiah kepada Papanya dengan dua cucu yang ganteng dan cantik, yaitu Diwa Ardhaza dan Nitya Arvella. Dalam kurun enam tahun, Eyang Kung Ranto dan Eyang Ti Roswita berlimpah cucu. Setahun setelah pernikahan Walla, anak pertama yang dinanti sejak dulu memberikan cucu pada Ranto, akhirnya melepas masa lajangnya.Didiet menikahi Dara Amalia Setianti 116

DARI PULAU KE IBUKOTA Bersama Widhy di Seattle yang dia kenal sejak kuliah di San Fransisco. Dengan Dara, Didiet pun memberi hadiah istimewa kepada Papa dan Mama dengan cucu-cucu bernama Adrian, Amanda, Aria, dan Annisa. Terakhir, Widhy Nugroho. Dia menikah dengan mojang Bandung bernama Irmiana Sacadipura.Meniru kakak-kakaknya, dia kenal Mia saat kuliah di Seattle, USA. Dengan Mama Mia, Widhy mengetuk hati Papa dan Mama untuk tiga anaknya, Enzo, Elva, dan Kiko. Namun, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Mama Mia tidak dapat menemani Widhy terlalu lama.Setahun kemudian, menimbang anak-anak yang butuh asuhan seorang Ibu, Widhy pun menemukan sosok Mama Mia baru pada diri Lolanda Mulia.Wanita asal Payakumbuh tersebut mau menerima pinangan Widhy, pada 4 Maret 2007, setelah Enzo dan dua adiknya menerima Lola sebagai Ibu barunya.Widhy dan Lola harus menanti sekitar 4,5 tahun untuk menimang Alvaro, persembahan Widhy yang paling kecil dan lucu untuk Eyang Kung dan Eyang Ti. 117

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Mesra berdua, di rumah Ketandan, Klaten. 118

DARI PULAU KE IBUKOTA Papa adalah figur yang sederhana dan menyayangi anak-anaknya. Saya adalah satu-satunya anak beliau yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dibandingkan dengan kakak dan adik-adik yang bekerja di lingkungan swasta, kondisi saya sekeluarga dari segi materi dan fasilitas perusahaan atau kantor, sangat jauh berbeda. Namun, papa selalu mendorong saya untuk tetap giat dan tekun bekerja, karena tidak semata-mata materi atau harta yang dicari. Kepuasan dalam menyelesaikan pekerjaan dan bisa membantu orang lain dan masyarakat, lebih berharga dari materi yang diperoleh. Papa tidak banyak bicara dalam memberi nasihat, tapi sebuah buku karangan Prof. Said Agil Al Munawar beliau berikan tepat saat hari ulang tahun saya, 30 September 2001. “Sederhana Itu Indah”, demikian judulnya. Dari buku tersebut saya dapat mengerti “nasehat papa” bahwa hidup bukanlah untuk menumpuk harta sehingga tidak produktif, tetapi justru menjadikan harta yang kita miliki mengalir dan beredar menjadi aset masyarakat, dan membersihkannya melalui Baitul Mall yang amanah. Di salah satu bagian buku itu, Prof. Said Agil Al Munawar menjelaskan: dalam satu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda: “Tuhanku telah menawarkan kepadaku untuk menjadikan lapangan di kota Mekah menjadi emas”. Aku berkata, “Jangan Engkau jadikan emas wahai Tuhan! Tetapi, cukuplah bagiku merasa kenyang sehari, lapar sehari. Apabila aku lapar maka aku dapat menghadap dan mengingat-Mu, dan ketika aku kenyang aku dapat bersyukur memuji-Mu.” (HR Ahmad Tarmidzi). Ucapan Baginda Rasul tersebut merupakan salah satu mutiara Akhlakul karimah yang disebut dengan sifat qana’ah, yaitu sikap menerima apa yang ada, sambil terus ikhtiar, sabar, dan tawakal, serta waspada agar tidak terperangkap oleh segala godaan yang menyesatkan serta tipu daya yang selalu menyelusup di hati manusia. Terima kasih Papa... Dwityo ‘Koko’ Akoro Anak Kedua 119

Rasa cintanya kepada adik-adik, saudara, dan keluarga besar lainnya tidak saja diketahui secara kasat mata, namun bisa dirasakan bak angin yang menyejukkan. Ranto adalah seorang yang murah hati dan suka berbuat sosial untuk sesama. 120

IV Cahaya dalam Keluarga 121

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Mozaik di Masa Senja Jari-jari tangan Soeranto tidak mengenal sungkan dan risih mencabik-cabik dan membolak - balikkan material kompos di salah satu keranjang di pondok samping rumahnya. Material tersebut ditampung dalam puluhan keranjang dan terdiri atas tanah, cacing, dan kotoran kambing. Dia ingin memastikan apakah di setiap keranjangnya terdapat cacing yang memang ditunggu-tunggunya. Ranto menumpahkan kecintaannya kepada alam dengan berkebun dan berternak, setelah sebelumnya tangannya berlumuran timah. Dia memelihara aneka jenis flora rumahan, seperti bunga, dan tanaman hias lainnya. Ada juga pohon rambutan, durian, pisang dan lain-lain yang sering dipetik dan dibagikan kepada anak-cucunya, keluarganya, dan kerabat yang lain. Saat ini usianya menjelang 80 tahun. Tapi langkahnya masih cepat untuk orang tua seusianya. Secara penampakan luar, tidak terlihat tanda-tanda dia pesakitan, atau sedang mengalami gejala penurunan daya ingat luar biasa. Hanya batuk-batuk kecil saja ketika melangkahkan kakinya ke kebun, tempat dimana ada kandang bebek, kandang ayam yang menyatu dalam satu galangan beralas semen berukuran sekitar 5x5 meter. Tatapan mata Ranto masih tetap tajam, sama dengan yang ada di foto-foto dalam album kenangannya di Bangka dan di Singkep. Sesekali dia menunjuk beberapa kandang di depannya, menjelaskan bagaimana pola bebek bertelur, bagaimana mendapatkan induk bebek yang bagus dan mampu bertelur lebih sering dan banyak. Dia juga dengan 122

CAHAYA DALAM KELUARGA Berkebun, beternak bebek dan lele, serta membuat kompos cacing, menjadi kegiatan keseharian Ranto di usia senjanya. 123

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Selalu berkumpul bersama anak, cucu dan menantu adalah saat yang paling membahagiakan bagi Ranto. semangat menjelaskan bagaimana dia membuat telur asin dari bebek peliharaannya. Bukan untuk dijual, melainkan untuk dibagikan ke anak-anak dan saudara-saudaranya. Sementara di tangannya terlihat sebuah buku catatan dengan cover depannya berwarna hijau dan belakang putih. Di cover depan bertuliskan ‘Cacing’. Di dalam buku catatannya, Ranto menuliskan angka-angka perhitungan dalam rangka mempersiapkan penangkaran cacing dengan medium tanah dan kotoran. Hasilnya akan menjadi kompos untuk menyuburkan aneka flora yang ada di pekarangan rumahnya yang luasnya sekitar 4.000 meter persegi itu. Di tengah kebunnya dia menunjuk sebuah pekarangan dengan luas sekitar 400 meter persegi yang masih banyak dipenuhi dengan pohon pisang. Ranto mengharapkan, di atas tanah tersebut secepatnya dapat dibangun rumah anak keduanya, Koko. Dengan dibangunnya rumah Koko, maka impiannya mengumpulkan anak dalam suatu lingkungan keluarga yang berdekatan rumahnya bisa tercapai. Dimasa pensiunnya, Ranto lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berkebun dan beternak. Dia memang menyenangi kegiatan ini. Saat ini berbagai macam tanaman 124

CAHAYA DALAM KELUARGA Menggendong Alfaro dan gemar bercengkrama bersama mengisi waktu di usia senja. diurusnya seperti rambutan, pepaya, singkong, serta berbagai macam ternak yang diurusnya seperti ayam, bebek, lele, dan kambing. Sifat sederhana dan tekun dibuktikan dengan terus mengurus tanaman dan ternaknya hingga saat ini. Rutin membeli makanan bebek, membeli ampas tahu untuk makanan cacing guna mambuat pupuk kompos merupakan kegiatannya sehari-harinyanya. Saking banyaknya poduksi telur bebek, membuat Ranto meluangkan waktunya lebih banyak untuk membuat telur asin yang kemudian dibagi- bagikan ke kantor anak-anaknya. Suara azan dzuhur memanggil-manggil dari sebuah langgar (Musholla) yang ada di bagian luar komplek rumahnya. Ternyata, langgar tersebut masih milik Keluarga Soeranto. Jaraknya hanya dipisahkan oleh sebuah gerbang besi berwarna hitam. Langgar itu memang dia bangun untuk keluarganya dan para tetangganya juga. Semakin hari semakin banyak yang sholat di langgar itu, apalagi jika musim Sholat Tarawih, jamaahnya membludak. Langgar pun diperlebar dengan menambahkan teras di sebelah utara dan bratapkan kanopi. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan tidak saja dia perlihatkan langsung di depan anak-anak semasa di Singkep. Di Jakarta pun, saat Ranto menikmati masa purnanya, dia memberikan bukti bahwa membantu masyarakat bisa di mana saja, dan bersilaturahim dengan mereka itu harus. Usai menunaikan sholat, Ranto duduk santai di teras rumahnya. Sejurus kemudian dia menoleh ke rumah depan yang posisinya berhadapan dengan hanya dibatasi oleh 125

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI kolam renang berukuran sekitar 3x10 meter. Di rumah itu, empat cucunya berada. Mereka adalah anak dari putra bungsunya, Widhy Nugroho. Ada kesan mendalam ketika Ranto mengamati rumah berlantai dua di hadapannya. Ranto mudah terharu bila mendengar kabar berita duka. Tak jarang matanya berkaca- kaca dan meneteskan air mata bila diminta untuk berbicara di depan umum dalam suatu saat kedukaan. “Saat rekan kerjanya, Om Razak, meninggal dunia di Dabo Singkep, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya ketika diminta menyampaikan sambutan saat jenazah akan diberangkatkan menggunakan pesawat khusus ke Bandung tempat jenazah akan dimakamkan. Hanya air mata yang keluar dari matanya dan kemudian hanya mampu mendatangi dan menyalami istri dan anak-anak almarhum yang dia lakukan,” demikian Koko menuturkan peristiwa itu puluhan tahun yang lalu. Ingatannya melayang ke peristiwa 5 Pebruari 2006 yang lalu, saat duka menyelimuti Widhy dan tiga cucunya, Lorenzo Wisesa, Elva Viorela, dan Enrico Raditya (Kiko) karena ditinggal mamanya tercinta untuk selamanya. Enzo saat itu berumur 9 tahun, Elva 7 tahun, dan Kiko 5 tahun. Sedangkan almarhumah Mia (Irmiana) meninggal di usia 38 tahun karena kanker hati. Widhy dan Irmiana bertemu di Amerika saat Widhy kuliah di Seattle. Keduanya menikah dan dikaruniai tiga anak. Mama Mia, begitu Irmiana kerap dipanggil anak- anaknya, dekat dengan semua saudaranya. Mereka saling bergantung dan membuat keluarga nyaman.Hubungan Mama Mia dengan bapak dan ibu sangat dekat. Hingga pada suatu ketika, Mama Mia dihampiri Kanker Hati. Saat masih stadium 1, Mia dilarikan ke Singapura. Namun dia memilih berobat di Indonesia agar dekat dengan anak-anak. Tiga bulan melakukan pengobatan di Indonesia tak berujung pada membaiknya kondisi Mama Mia. Pengobatan herbal yang dijalaninya mengharuskan keluarnya surat rujukan ke sebuah rumah sakit di Ghuang Zhou, China. Allah memang maha berkehendak, di Ghuangzhou saat itu sedang merayakan Tahun Baru Imlek. Hari raya masyarakat China dimana para pekerja, termasuk para dokter dan perawat rumah sakit rujukan tersebut berlibur dan mudik ke kampung halaman. Mama Mia dan keluarga hanya menggantungkan harapannya pada dokter di sebuah rumah sakit di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Kondisi tubuhnya semakin menurun karena organ vitalnya (hati) sudah tidak berperan dalam banyak proses tubuh, diantaranya memproduksi berbagai protein penting, memproses dan menyimpan nutrisi, menghancurkan toksin dan racun, serta fungsi vital lainnya. 126

CAHAYA DALAM KELUARGA Sehari setelah Departemen Kesehatan dan Indonesia memperingati Hari Kanker se Dunia (4 Februari 2006), si bungsu Kiko yang saat itu berusia lima tahun tak sabar ingin melihat Mamanya. Dia berlarian sambil berteriak memanggil mamanya. Dari balik jendela, Kiko melihat Mama Mia dalam dekapan Papa. Mulai hari itu, 5 Februari 2006, Widhy harus mengumpulkan energi besar untuk mengasuh ketiga anaknya tanpa ditemani istri tercintanya lagi. “Saya sedih melihat cucu yang tak mau beranjak dari makam mamanya. Mau tak mau, kepergian Mama Mia mempengaruhi kejiwaan anak-anak, kamilah yg merawatnya selagi Widhy sibuk bekerja. Saya sempat sedih ketika sepulang sekolah mereka tidak mau saya dekati, siapa pun dilarang mendekat,” kenang Ranto diiringi buliran air mata dari pelupuk matanya. *** Ranto menikmati masa pensiunnya dengan setumpuk keberhasilan di tangan. Tidak bermaksud mau menyebut Ranto ‘sudah siap’, semua keluarganya mafhum bahwa Eyang Kung Soeranto sudah banyak bekal di tangan. Kebiasannya sholat Tahajjud di tengah malam yang dimulai sejak usia 40 tahun, sampai saat ini dijaganya baik-baik. Eyang Kung Ranto juga sudah menebar kebaikan kepada keluarganya, tetangganya, dan bahkan pepohonan dan hewan-hewan piarannya. Menyinggung penyakit yang pernah diderita Papanya, Walla merunutkan bahwa riwayat penyakit Ranto pada awalnya hanya batuk. Namun di masa senjanya, bronchitis bercampur batuk-batuk sering kambuh, penyakit ini sudah dideritanya sejak muda. “Papa juga ada riwayat sirosis atau pengerasan hati, karena pernah operasi tumor prostat sepuluh tahun lalu, dan saat itu dilakukan transfusi darah. Pernah dan sempat juga kala itu dibawa ke sinse untuk pengobatannya,” kata Walla. Hari-hari Ranto diisi dengan membagi kepedulian dengan sesama, membantu keluarga yang sedang membutuhkan, menggendong cucu, memperhatikan makanan cucunya. Padahal di balik itu semua, Ranto adalah tipe orang yang tidak bisa berinisiatif dan obsesif, misalnya dalam hal berpakaian, kepemilikan mobil, dan lain-lain. “Kami sekeluarga hampir tidak ada satupun yang memiliki waktu spesial untuk sekedar curhat kepada Papa. Dia tidak cerita jika tak ditanya.Bahkan saat makan bareng, papa dari awal sampai akhir makan diam terus, akhirnya mama yang memancing papa 127

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI cerita, disuruh ceritain bebeknya. Peran mama lebih dominan. Semua permasalahan yg dihadapi anak-anak di level apapun selalu mama yang cenderung intervensi,” kata Walla. Ranto juga tidak terlalu banyak mengomentari kejadian kekinian, seperti eksposure berita di televisi. Ranto hanya pernah berkomentar; “Saya heran, tingkah laku pejabat sekarang berbeda dengan orang-orang jaman dulu. Tapi itu memang persoalan masing- masing. Ketika saya menjabat, saya selalu berusaha transparan,” ungkap Ranto. Ketegasan juga ingin diwariskan kepada anak-anaknya. Ranto menyikapi tenaga asing yang dipulangkan, terutama pimpinan kapal keruk, dia berani menolak. Walaupun berisiko, dia datang ke Jakarta, menghadap pimpinannya. Dia katakan, siapa yang bakal mengendalikan kapal keruk. Dengan pertimbangan itu, dia berani mengungkapkan masalah itu ke pusat. “Saya paling suka menikmati berkumpul dengan keluarga, anak 4, cucu 11, mantu 4, apalagi saat lebaran. Terakhir bepergian jauh ke Bali bersama ibu. Di sana ada keluarga yang menikahkan anaknya,” tutur Ranto. “Yang penting, saya dalam sisa hidup ini bisa bermanfaat bagi sekeliling saya, bagi keluarga dan orang lain.Tidak ada obsesi terpendam yang sampai sekarang belum kesampaian. Cita-cita masa anak-anak ingin menjadi insinyur sekarang sudah tercapai,” katanya sambil terkekeh. Benar saja, harapannya yang tulus tersebut betul-betul dirasakan oleh anak-anak, cucu-cucu, dan saudara-saudaranya. Kehangatan selalu saja tercipta di tengah-tengah mereka. Masa liburan benar-benar dinantikan, atau pada saat merayakan hari besar seperti lebaran Idul Fitri, ulang tahun pernikahan, serta lainnya. Dan pada momen- momen kebersamaan itulah, siapa berperan sebagai apa dan menyimpan bakat apa bisa ditemukenali. “Eyangti (Eyang Putri, red)) dan Tante Wala adalah type event orginizer. Om Koko lebih ke tata laksana, apa harus bagaimana. Tapi Eyangkung lebih santai menikmati suasana. Saya dan Enzo sering diminta memainkan musik, kadang-kadang ada lomba menyanyi dengan jurinya orang tua. Kami sangat mendambakan kehangatan-kehangatan seperti itu,” tutur Adrian, cucu Ranto. Tidak hanya menikmati urutan acara demi acara, Adrian dan cucu-cucu Ranto yang lain juga biasanya menantikan kue-kue yang dibawa Tante Wala. Tante Wala memang dikenal anak-anak gemar membawakan kue dan makanan yang lagi menjadi buah bibir pecinta kuliner. Tapi, tentu saja yang dinantikan anak-anak adalah kue khas Gandul (sebutan untuk 128

CAHAYA DALAM KELUARGA Saat yang paling membahagiakan Ranto, berkumpul bersama cucu, Andrian, Enzo dan Kiko. rumah Eyangkung dan Eyangti). Pada momen lebaran, biasanya Gandul mengeluarkan semua makanan terbaiknya. Tidak seperti pada umumnya warga Betawi yang kerap menyuguhkan lontong sayur, ketupat, atau opor ayam, tapi di gandul bahkan siap dengan Sate Padang dan Laksa, makanan khas Bangka berupa mie yang agak tebal dari ukuran pada umumnya, dan kenyal di lidah. Kedekatan Eyangkung dan cucu-cucunya diantaranya terbina dari canda dan tawa anak-anak memeriahkan setiap gelaran, baik di sela-sela acara formal maupun yang memang terjadi secara informal. Seperti yang diakui Annisa, salah satu cucu Ranto yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Dia merada dekat dan nyaman dengan Eyangkung ketika jalan-jalan di Jam Gadang, memberi makan bebek-bebek di area kandang, mengikuti lomba panjat pinang dalam perayaan 17 Agustusan, dan lain-lain. Dan nilai kedermawanan Eyangkung begitu melekat di Annisa karena seringnya memergoki Eyangkung dengan ringan tangan memberikan makanan yang ada di rumah kepada orang lain, entah keluarga sendiri atau bukan. Selama 53 tahun mendampingi Ranto, Roswita mengaku tidak ada perasaan menonjol lain sebagai alasan suka sama suaminya. Daya tarik Ranto lebih pada sosok yang sabar, menerima, tidak pernah ngeluh, tidak terlalu menonjolkan diri, baik dalam keluarga maupun di tempat kerja, atau masyarakat. Sementara Ranto mengaku, yang dia suka dari istrinya adalah keberadaannya ketika sedang dibutuhkan selalu siap. 129

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Saat merayakan ulang tahun ke 66. Dikelilingi cucu hal yang paling membahagiakan Ranto. Hal-hal detail diperankan Roswita, dia selalu mengawasi anak-anaknya sejak kecil. Contohnya saat anak-anak mandi, dia sering mengamati dari ujung rambut ke ujung kaki. Apakah ada yang lecet-lecet. “Walaupun di pulau banyak pembantu, pengawasan kepada anak-anak tetapharus dilakukan sendiri.Tidak baik semua urusan anak diserahkan ke baby sitter. Yang penting- penting harus ditangani sendiri,” kata Roswita. Sesudah menikah, Roswita tidak lagi berpikir ingin kuliah lagi. Suasananya tidak mendukung. Sebagai pelampiasan, dia banyak membaca, apapun itu. Pengawasan keseharian terhadap bapak. Pada saat-saat berdua, Roswita sering dibuat jengkel kala hendak mengajak suaminya bicara, tapi kadang Ranto malas menanggapi, atau sesekalinya menanggapi malah jadinya tidak nyambung. “Bapak tidak terlalu fanatik pada sesuatu. Cuma pada masa-masa tuanya dia sering nonton TV, terutama olahraga. Acara yang suka dia tonton adalah tenis, petenis idolanya Maria Sharapova dan Roger Federer. Dia selalu mengikuti setiap ajang grand slam,” ujar Roswita lagi. Ranto mengakui semua anaknya mewarisi jiwa dari saya, secara kepribadian maupun kemampuan. Misalnya bagaimana menangani orang, dan lain-lain. “Contohnya Widhy, dengan anak buahnya dia bisa menjadi pemimpin yang berhasil,” sebut Ranto. Anak sulungnya, Sidik Purwanto atau Didiet, sekarang memimpin salah satu cabang Regional BCA Wilayah Timur di Denpasar, sebelumnya pernah memimpin beberapa Kantor Cabang Utama di Jakarta. Yang perempuan, Walla, sempat bekerja sebentar, tapi kemudian memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, mengasuh dua anaknya yang 130

CAHAYA DALAM KELUARGA sedang sekolah SMA dan kuliah. Sementara Koko bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Kerjasama Luar Negeri di Direktorat Jenderal Cipta Karya. “Melihat anak-anak memiliki mobilitas tinggi, sering bepergian ke banyak tempat dengan intensitas sering, saya hanya berdoa agar mereka selamat. Yang sering membuat saya bangga, mereka selalu berpamitan ketika mau berangkat ke mana saja,” kata Ranto. Dalam kesendirian, saat Ranto sholat tahajjud, dia sering berdoa agar anak-anaknya semua sukses dan selamat. Mereka disebut satu per satu agar sukses dan baik-baik saja dalam bekerja. PereKkealtuKaerugtauhan Sambil melantunkan doa dengan lirih, tangan kanan Ranto memegang batu nisan Ayahanda tercintanya. Sementara tangan kirinya menyingkirkan daun-daun kamboja yang lapuk di atas pusara. Pelan, hening, dan diselimuti suasana khidmat. Tatapan Ranto kemudian menyapu sekitar, tapi sebelumnya pandangannya tertuju pada ujung atas nisan yang bertuliskan ‘SOEHADI: LAHIR - ; WAFAT 25 – 12 – 1964’. Sambil menatap keterangan waktu kelahiran Ayahnya yang kosong, memorinya melayang jauh dan seolah berbicara dengan bayangannya sendiri mengenang Ayahnya. Nama kecil Ayah adalah Soehadi, tetapi setelah beliau berkeluarga dipanggil Sastrodihardjo. Beliau adalah anak tunggal seorang lurah di Ambarawa. Saat adik perempuan Ranto, Rr Sri Kadaringsih kecil sakit, Ayah membawanya ke dokter Suradji di Klaten. Berangkat dengan Ayah dengan kereta dan pulangnya jalan kaki. Ketika Kadaringsih kecapekan, Ayah menggendongnya sampai rumah, atau nunut andong milik tetangga yang bernama Sugeng. Ayahnya sering mengajak anak-anaknya ke makam orang tua Sastrodihardjo di Ambarawa. Kemudian pindah ke makam-makam lainnya. Dia katakan bahwa di situ adalah makam dari saudara-saudara Ayahnya. Semuanya lurah. Saat nyekar, Ayah pun berpesan kalau yang sudah dimakamkan itu juga meminta untuk ditengok, karena itu sering-seringlah nyekar. 131

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Ayah juga bercerita, sebelum menjadi kepala stasiun, dia suka berjudi. Tapi saat menjadi kepala stasiun Gawok, sesaat terpikir olehnya jika terus-terusan berjudi nanti pada akhirnya dia tidak memiliki sesuatu yang dapat ditinggalkan untuk anak cucunya, kecuali kemiskinan dan nama buruk. Saat itu juga Ayah berhenti judi, dan mulai tekun beribadah serta rajin dan disiplin dalam pekerjaannya. Ayah termasuk disegani orang-orang di sekitarnya. Sampai saat ini pun orang-orang masih menghargainya walaupun sudah meninggal. Suatu saat Ibu Ranto, Soegiharti, bercerita bahwa dulu ada orang yang mencuri kayu di rumah. Tiba-tiba suatu hari si pencuri tersebut datang ke Ayah dan meminta maaf. Ayah bertanya heran, ”Lho…mengapa minta maaf?”, lalu pencuri menjawab; “karena saya sudah mencuri kayu dari tempat bapak”. Ayah hanya mengatakan: “lha, kan Cuma kayu saja kok?”dan si pencuri itu tak menjawab. “Kamu kan tahu saya”sahut Ayah. Orang itu pun disuruh pulang dan sesampainya di rumah dia sadar untuk tidak mencuri lagi. Sejak saat itu, orang tersebut dipercaya Ayah untuk merawat sawah dan tanah. Sebelum meninggalnya, Ayah berpesan kepada Ibu supaya anak cucunya kelak harus terus bersandar pada Tuhan, Karena Tuhan akan memberikan jalan dan bila menemukan kesulitan dalam hidup, memohonlah jalan kepada Tuhan, dan sebutlah nama Ayah. *** Usai mengajak dirinya mengenang sosok Ayahanda, Ranto pun bergantian mengajak memorinya pada cerita yang pernah dikisahkan Ibunya…. Tanggal 31 Juli 1909, warga Kademangan Kacangan, Boyolali, bersiap memanen padi di sawah. Tidak hanya laki-laki saja yang berperan, tapi ibu-ibu, baik tua maupun muda, juga menunjukkan perannya dalam urusan ini. Semua masyarakat Kacangan sedang diliputi kegembiraan. Kebahagiaan juga menyelimuti rumah Demang Kacangan. Hari itu putrinya lahir dan diberi nama Soegiharti. Semua keluarga menyambut kelahiran adiknya dengan menggelar kenduri dan mengundang warga yang juga sedang dalam euphoria menyambut masa panen padi. Soegiharti adalah anak paling kecil. Semua anak Demang Kacangan diajari aneka keterampilan. Namun umumnya adalah membatik. Yang beda sendiri adalah salah satu kakaknya. Dia jago bermain kuda. Cukup beralasan, karena di saat panen tiba dialah yang 132

CAHAYA DALAM KELUARGA harus mengatur padi yang mana yang harus masuk lumbung ibu kandungnya, dan mana yang menjadi jatah ibu tirinya. Soegiharti adalah istri kedua Sastrodihardjo yang akhirnya menjadi Ibu Soeranto dan adik-adiknya. Beliau sangat setia dan berbakti kepada suami. Beliau pernah mengatakan: “Dimakan atau tidak dimakan, di meja makan harus selalu tersedia makanan dan minuman untuk keluarga dan suami”. Sebuah contoh yang baik bagi anak-anak perempuannya. Beliau juga sangat menyayangi cucunya. Di rumahnya selalu ada ketan yang sudah dipisahkan dari beras, dan selalu tersedia isi untuk kue lemper. Jadi setiap saat anak-anak dan cucunya datang ke rumah, beliau langsung membuatkan kue lempernya yang sangat khas buatan tangannya sendiri. Setelah suaminya meninggal, beliau sangat rajin sholat dan berdoa serta berpuasa untuk kelahiran (weton) anak-anaknya. Meskipun sudah meninggal masih dipuasakan juga? “Ini untuk kebahagiaan cucu-cucuku” katanya. Beliau memiliki penyakit darah tinggi sehingga makanannya harus disiplin tanpa garam. Suatu saat ditanya tentang bagaimana rasanya makan tanpa garam. Jawabnya: “Jangan dirasa, tekuni saja untuk memuaskan anak dan cucu, jadi yaa…enak saja rasanya”. Waktu suaminya masih hidup, beliau tidak sholat dan tidak dapat membaca Al Quran. Suatu saat, sepulang nyekar dari makam suaminya dengan naik bus, kebetulan di sampingnya ada seorang kyai. Kyai itu berpesan kepadanya: “kalau ingin anak dan cucumu kederajatan, sesampainya di rumah mengajilah” katanya. Kemudian kyai itu turun dari bus, dan tiba-tiba kyai itu menghilang. Sesampainya di rumah, beliau meminta guru ngaji datang untuk mengajari ngaji. Akhirnya, beliau menjadi rajin sholat, terus berdoa di tengah malam. Beliau pernah berpesan kepada anak-anak perempuannya; “Kepada saudara laki-laki, baik yang lebih tua atau muda, harus dihormati, karena dia akan melindungimu,” wejangnya. *** Pesan Ayah dan Ibunya begitu mengakar di syaraf memori otak Ranto. Sebuah cerita terlontar dari keponakannya, Soedjarot, tentang perasaan Ranto kepada adik-adiknya. Djarot juga mendapatkan informasi tersebut dari salah satu tenaga medis Ceragem. Ceragem merupakan salah satu teknik pengobatan efektif yang menawarkan perpaduan antara teknologi canggih dunia kedokteran dengan pengobatan tradisional warisan 133

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bersama istri tercinta Roswita yang setia mendampingi selama 53 tahun dan anak kedua Koko, saat ulang tahun Rista, 2012. Selalu menjaga silaturahmi dengan keluarga besar Sastrodihardjo. 134

CAHAYA DALAM KELUARGA leluhur. Salah satu pusat pengobatan ceragem di bilangan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur yang selalu dipenuhi warga setiap harinya. Di tempat itu, Soeranto pernah berobat pada masa-masa pensiunnya ini. Dalam salah satu perbincangan dengan salah seorang perawat di sana, Ranto sempat mencurahkan sedikit suara hatinya tentang pendidikan adik-adiknya. Dia mempertanyakan mengapa hanya Ranto yang mengenyam pendidikan sarjana. Mengapa adiknya, Roeslan, hanya sampai tingkat Diploma 3 perminyakan. Adik laki-laki pertamanya ini sudah meninggal pada usia 48 tahun dan meninggalkan tiga orang anak, dua putri dan satu putra, ‘Pancuran Keapit Sendang’. Almarhum Roeslan sudah menempati satu ruang di hati Ranto. Rasa cintanya kepada adik-adik, saudara, dan keluarga besar lainnya tidak saja diketahui secara kasat mata, namun bisa dirasakan bak angin yang menyejukkan. Ranto adalah seorang yang murah hati dan suka berbuat sosial untuk sesama. Seperti diakui Koko, “Papa juga sangat memperhatikan kondisi kakak dan adiknya yang ‘kekurangan’. Bila mampu, dia selalu hadir dalam masa-masa penting setiap kerabatnya, seperti lahir, ulang tahun, dan kematian. Bila tidak bisa hadir selalu menyampaikan ucapan melalui telepon atau surat,” jelas Koko. Ranto adalah pemimpin keluarga Sastrodihardjo yang dipilih secara alami dan aklamasi oleh keluarga besarnya. Sebelumnya, keluarga besar Sastrodihardjo dipimpin oleh Pak Koesdaryanto, sepupu ipar Ranto yang tinggal di Semarang. Penunjukkan Koesdaryanto oleh keluarga besar dilakukan di Hotel Candi Semarang usai berpulangnya Sastrodihardjo di sore harinya, 25 Desember 1964. Setelah Koesdaryanto tutup usia, estafet pemimpin dipercayakan kepada Soeranto untuk membawa gerbong keluarga besar Sastrodihardjo selanjutnya. Dalam tradisi jawa pada umumnya, pemimpin keluarga besar setelah Ayah adalah anak laki-laki tertua. Meskipun Koesdaryanto bukan anak kandung Sastrodihardjo, tapi istrinya pernah menjadi bagian keluarga besar Sastrodihardjo karena dirawat sejak kecil. Kepemimpinan yang diterapkan Ranto tentu saja bukan model otoriter, apalagi ini adalah pemimpin informal, panutan moral. Dengan demikian Ranto lebih memilih menggandeng yang lain dalam menentukan sebuah keputusan. Pimpinan kolektif mengikutsertakan adik iparnya, Thomas Suyatno, Harnoko, dan Anon, putra Pak Koesdaryanto. Ditambah dengan intensitas Ranto ketika masih di Singkep memang jarang ke Jakarta. “Dalam banyak hal, Pak Ranto selalu bicara dengan saya. Tiap kali datang ke Jakarta 135

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI dari Singkep, dia mengajak kami jalan-jalan, biasanya di Jakarta Fair (saat ini kawasan Monas). Kami bicarakan tentang situasi keluarga besar,”kata Thomas. Thomas menambahkan, Ranto sangat mendambakan keutuhan dan kerukunan keluarga besar, tidak boleh ada duri bernama congkak. Ranto dambakan kedamaian ketenangan dan keteduhan dalam komunikasi keluarga besar. “Meskipun dalam banyak hal dia diam,tapi dia juga integrator dan perekat kami semua. Tak hanya masalah keluarga, masalah umum, kepartaian, an lainnya juga sering dibicarakan meskipun cenderung tak banyak mengumbar kata-kata,” tambah Thomas. Ranto saat ini juga sedang mengumpulkan silsilah keluarga. Pada saaat kunjungan ke kampung halamannya di Ketandan, Klaten, setahun lalu (2012), Ranto mengajak keluarga besarnya. Aktifitas ini popular di Jawa dengan ‘nyadran’. Nyadran yang dilakukan Ranto tidak hanya di Klaten, tapi juga di Kacangan (Boyolali) dan Ambarawa (tempat leluhur dari keluarga Ayahnya). Pengetahuan Ranto terbatas pada beberapa makam kerabat yang dia kenal. Padahal ada beberapa makam keluarga yang belum dia kenal, sementara kakak-kakak Ranto yang mengenal makam tersebut pun sudah tidak ada lagi. Bertanya pada juru kunci makam pun tak menemukan jawaban. Satu makam yang membuat silsilah jadi terputus berada di Kacangan. 136

CAHAYA DALAM KELUARGA Mengarungi biduk rumah tangga selama 53 tahun, sebuah karunia yang selalu disyukuri oleh Ranto. 137

Dari belajar mencintai keluarga, balasan yang didapat adalah cinta dan sayang dari keluarga juga. Betapa Ranto begitu sangat membanggakan kakaknya dan mencintai adik-adik dan saudara- saudaranya. Dia sadar bahwa apa yang dia lakukan adalah mencontoh ibunya yang sangat menyayangi keluarga dengan banyak mengasuh anak-anak dari saudaranya. 138

V Epilog 139

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Aku Belajar, Maka Aku Ada Sore hari di Awal Desember 1976, Pelabuhan Dabo - Singkep dipenuhi lusinan kapal. Sebagian berisi pegawai Timah, dan sebagian lainnya adalah masyarakat Singkep beserta para tokoh-tokohnya. Mereka berkumpul di sepanjang dermaga, dari pelataran pelabuhan hingga bahu jalan di sepanjang titian tempat kapal berlabuh. Di antara para karyawan Timah terlihat Ranto, Roswita, Didiet, Koko, Wala, Widhy, Goentoro, dan seluruh jajaran teras Timah. Yang lainnya membaur dengan masyarakat. Sementara dari kelompok masyarakat terlihat Mansyur Saleh, Tengku Adnan, Ismatuhom, Pak Long, dan Encik Ripin. Satu persatu tanpa komando membentuk barisan yang berjejer beriringan satu sama lain. Dari ujung jalan masuk pelabuhan hingga ujung dermaga tak hanya terlihat masyarakat bercampur karyawan Timah yang mengular, namun ada juga yang berjejal di belakang barisan tersebut. Satu per satu Ranto dan keluarga menyalami mereka hingga tuntas diujung dermaga pelabuhan di mana kapal mereka siap mengantar ke Singapura untuk kemudian bertolak ke Jakarta dengan pesawat pada esok harinya. Sekali lagi, Ranto tidak kuat melalui semua peristiwa yang membawa kesedihan mendalam bagi semua. Ranto pun konsisten tidak mengumbar banyak kata, hanya menyalami tiap orang di depannya tanpa mendengar secara jelas apa yang mereka katakan padanya meskipun jarak bibir dan telinga Ranto sangatlah dekat. Begitu juga dengan Roswita dan anak-anak yang mengekori mereka berdua. Tidak ada satupun kalimat perpisahan dari warga yang berhasil dirangkum oleh 140

EPILOG Ranto dan anak-anaknya. Karena semua berbaur dengan isak tangis. “Saya menyalami semua masyarakat di pelabuhan Dabo. Saya gak tahan mengingat itu. Kami gak tahan melihat semua orang menangis,” ucap Didiet terbata-bata menahan seguk tangis dan air mata yang mengalir. Ya, masyarakat Singkep akhirnya tiba pada saatnya. Melepas ‘Raja Kecil Singkep’ yang budiman untuk menunaikan tugasnya lebih lanjut di Jakarta. Dengan lambaian tangan yang seolah menghimpun angin agar dengan cepat mendorong badan kapal ke tengah laut. Ranto satu kapal bersama jajaran teras Timah Singkep, Muspida, dan beberapa tokoh masyarakat. Mereka mengantarkan Ranto dan keluarga hingga sampai di Singapura. Di belakang kapal yang memuat Ranto, berjejer lusinan kapal lain mengikutinya dari belakang hingga jarak antara 1 – 2 mil dari bibir pantai. Seorang tokoh masyarakat bernama Daeng Ismatuhom kebetulan menginap di Singapura dan sekamar dengan Didiet. Kepada Didiet usai sholat Shubuh, Ismatuhom berkata sembari menepuk bahu Didiet: “Saya pamit,” katanya lirih. Diiringi dengan cucuran air mata, Daeng menambahkan: “Kalaupun bulan dan bumi bersatu, kami tidak bisa balas kebaikan Ayah kamu,” ucap Daeng disambut pelukan erat Didiet. Itulah Soeranto, tak hanya berbagi dengan menebar infrastruktur di Singkep, tapi dia menebar benih kasih kepada semua penghuni Singkep hingga akhirnya Singkep ibarat menjadi rumah besar yang dihuni bersama. Seolah benar-benar terbukti ungkapan “Berbagi menerangkan Hati’. Kini di masa senjanya, Ranto dikarunia keluarga harmonis, fisik yang sehat, pikiran yang jernih dan tentu saja adalah ketenangan batin karena telah memberikan dan membagikan semua yang dimiliki, baik materi maupun yang immateri. Dan untuk selanjutnya, masih dalam upaya merangkum sosok Ranto, seolah mudah saja melekatkan tiga pesan filosofis ini untuknya: Bacalah, Anda akan Sukses! Atau dengan yang lebih mirip Rene Descartes yang sangat terkenal dengan ‘cogito ergo sum’: Aku Belajar (berfikir), maka Aku Ada (berhasil). Dan terakhir adalah: Berbagi Menerangkan Hati. Dari himpitan waktu di jaman penjajahan Belanda, Ranto kecil dengan tekun memaksimalkan kerja otak sambil melipat-lipat kertas pelajaran sekolah, menggores- gores pena, bergumul di tengah bau tak sedap di stasiun dan di gerbong kereta. Dia hanya ingin membunuh momok rumus matematika dan ilmu eksak lain dengan otaknya sendiri. Kemudian terciptalah kunci-kunci soal-soal matematika yang rumit sekalipun pada kelasnya. 141

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Seolah membaca pesan alam sebelum dimerdekakan untuk bangsa Indonesia, Ranto menaruh cintanya pada alam dan lingkungan sekitarnya. Kemudian jatuhlah pilihan kepada jurusan Teknik Pertambangan. Dengan pilihan tersebut seolah Ranto ingin menjawab Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kekayaan alam Indonesia berupa timah sudah Ranto olah untuk Negara dan bangsa. Ini juga sebagai bukti janji jiwa-jiwa merdeka, bahwa tanah air Indonesia yang merdeka adalah untuk kemakmuran rakyat. Dari membaca kemudian mempelajari. Itu yang dilakukan Ranto dalam kesulitan- kesulitan yang dihadapi saat beradaptasi pertama di Bangka, mempunyai pimpinan yang cuek, menghadapi medan berat pertambangan, mengutak-atik manajemen sumber daya, dan seterusnya. Ranto terus memburu informasi-informasi dari arsip yang berkaitan dengan masalah yang sedang dan akan dihadapinya. Untunglah ada Gijbers dan Bong Sin Koy, dua ahli yang mengajarkan Ranto banyak hal pada masa awal-awal di Timah, serta Aztad Husen yang membimbing spiritnya dalam melaksanakan tugas. Berkat keberhasilan Ranto membaca situasi di Singkep, dia berhasil merangkul seluruh elemen masyarakat dan pegawai UPT Singkep menjadi satu keluarga besar yang guyub, bukan seperti air dan minyak. Menyambangi dua masjid kebanggaan untuk merengkuh tokoh-tokoh setempat, membangun prasarana dan sarana dasar di semua lini kebutuhan untuk pegawai dan masyarakat Singkep, dan aksi – aksi sosial Ranto lainnya selama memimpin di sana adalah bukti akurat untuk menyebut bahwa itu sebuah hasil pembacaan, baik yang oleh mata tajamnya, maupun mata batinnya yang lembut. Dari belajar mencintai keluarga, balasan yang didapat adalah cinta dan sayang dari keluarga juga. Betapa Ranto begitu sangat membanggakan kakaknya (Tarsiah; istri Winarno sang Gubernur Militer kala itu), dan mencintai adik-adik dan saudara- saudaranya. Dia sadar bahwa apa yang dia lakukan adalah mencontoh ibunya yang sangat menyayangi keluarga dengan banyak mengasuh anak-anak dari saudaranya. Begitu pula dengan keluarga di ‘Rumah Singkep’, terjalin rasa sayang dan disayangi, apalagi dengan anak-anak kandungnya sendiri, dia begitu totalnya meluangkan waktu di sela kesibukannya. Pada akhirnya memang keutuhan keluargalah yang hendak dia capai. Kalau yang ini hasil membaca pesan-pesan ayah dan ibunya sebelum meninggal, yaitu untuk menghormati dan melindungi seluruh saudara. Ini dibuktikannya dengan jalinan erat 142

EPILOG keluarganya hingga saat ini. Begitu juga dengan para keluarga mantan karyawan timah di Singkep yang pada masa akhirnya sama-sama berdomisili di Jakarta. Sekali lagi, Ranto merangkulnya kembali dalam ikatan keluarga besar Singkep. Kini, Ranto sedang bahagia di tengah keluarga yang guyub dan rukun. Silaturahmi yang selalu dia ajarkan kepada anak-anak dan cucu-cucunya berbuah berkah, membuka pintu-pintu rizki, dan memperpanjang usia. Bahkan jika Allah memberikan bonus umur lebih lama, nampaknya hanya doa-doa saja yang bakal Ranto panjatkan untuk anak-anak, cucu-cucu, dan keluarga besarnya yang lain. Selamat ulang tahun ke-80 Papa. Happy Birthday Eyang Kung. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami anak-anakmu, cucu-cucumu, saudara- saudaramu. Semoga selalu bahagia ditengah keluarga besar kita, selalu sehat walafiat lahir dan bathin, mendapat berkah dan kebaikan di dunia dan ahirat, serta selalu dalam lindungan dan rahmat Allah SWT. Begitulah kira-kira yang akan selalu dipersembahkan oleh semua yang mencintai Soeranto. (*) 143

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bersama keluarga besar Soeranto. 144

Kekompakkan kami, anak-anaknya berempat bersama Mama dan Papa menjadikan segala persoalan yang dihadapi keluarga kami dapat terselesaikan dengan baik karena komunikasi di keluarga kami juga berjalan dengan baik. Papa, Mama dan kami berempat selalu bersedia bilamana ada panggilan dari salah satu keluarga untuk berkumpul dan membicarakan apa yang perlu dibicarakan. Kumpul-kumpul keluarga besar Soeranto juga menjadi tradisi yang kami pelihara terus, baik pada saat hari lebaran, ulang tahun dan lain-lain. Papa terlihat sangat bahagia bila kami semua keluarga besar berkumpul. Oleh karena itu kami selalu menyempatkan untuk mengadakan kumpulan keluarga secara berkala, biasanya pada hari lebaran Idul Fitri, Idul Adha, atau pada ulang tahun papa, mama, dan kakak kami tertua Didiet. Sifat Papa yang sangat pantas untuk dicontoh adalah kesabarannya. Dalam banyak hal, Papa selalu menunjukkan sikap sabarnya terutama dalam kehidupan sehari-hari, seperti menunggu jalanan macet, menunggu seseorang yang terlambat datang, menunggu dokter yang penuh antrian pasien bahkan sabar menunggu sembuh kalau lagi sakit. Alhamdulillah saya selalu melihat raut muka Papa yang terharu bahagia bila saya menemani beliau di kala sakit atau saat beliau membutuhkan saya. Insya Allah papa dan mama akan selalu bahagia dan dirahmati oleh Allah SWT. Selamat ulang tahun ke-80 papa. Semoga papa selalu bahagia di tengah keluarga besar kita, selalu sehat walafiat lahir dan bathin, mendapat berkah dunia akhirat ..... dan selalu dalam lindungan dan rahmat Allah SWT. Walla Tridhany Anak Ketiga 145

Papa adalah orang yang sangat disiplin. Figur yang sederhana dan menyayangi anak-anaknya. Selalu menunjukkan sikap sabarnya terutama dalam kehidupan sehari-hari, sederhana, jujur, selalu lurus dalam track- nya, gak pernah kiri kanan, bahkan bisa dikatakan jadul... 146

VI Testimoni 147

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Saya termasuk naughty boy. Walaupun saya anak bungsu, saya tergolong paling bandel, terbiasa sendiri, selepas SMA saya ke Amerika. Tapi Eyangkung gak marah meskipun saya rasa saat itu berasa bandel. Dia hanya menegur atas kenakalan saya. Saat saya di Amerika, saya pernah dikurangi uang jajan. Tapi itu justru melatih jiwa survival saya di sana. Beliau sosok sederhana, jujur, selalu lurus dalam track- nya, gak pernah kiri kanan, bahkan bisa dikatakan jadul. Gadget gak paham. Dia hidup seperti di masanya. Saya justru kontradiktif dengan karakternya. Papa bersahaja sekali. Tidak terlalu mengumbar keinginan. Misalnya, mobil seadanya saja, tak harus bagus. Pernah ditawarkan mobil yang lebih baik, tapi papa bilang boros. Widhy Nugroho Anak Keempat Rista Perrina Assaat Saat saya pacaran dengan Koko, Papa sangat Menantu - Istri Koko pendiam. Tapi gak ada kesan sombong, sebagai Direktur Umum PT. Timah Papa masih mau meluangkan waktu mengantarkan saya pulang ke rumah. Sejak menjadi menantu, memang saya harus banyak bertanya biar ada pembicaraan. Dulu pernah nonton bareng di depan TV Papa diam terus, lama sampai 30 menitan. Saya menduga Papa marah, ternyata karena memang pendiam. Papa rajin tahajud sejak umur 40 tahun. Dibiasakan jam 3 pagi bangun. Sehingga pada akhirnya itu menjadi biasa seperti mesin, tiap jam 3 pagi langsung bangun. Saya sering dipanggil papa dengan ‘tanah’. 148

TESTIMONI Papa Soeranto seorang yang berwibawa, humble, dan pemimpin keluarga yang baik dengan perhatian yang tinggi kepada seluruh anggota keluarga, dari Eyangti, putra-putri, menantu hingga cucu-cucu serta Ibu, kakak, adik, dan kerabatnya. Papa selalu menyempatkan waktu pada hari-hari spesial untuk pulang bersama menengok Buyut Putri ke Klaten, membagikan makanan kepada warga kampung sekitar pada hari ultah dan sebagainya. Papa juga menyempatkan memberi santunan untuk Rumah Yatim Piatu terdekat dahulu, seperti di Klaten dan Gandul. Suri tauladan Rasulullah dengan memperhatikan yang terdekat/kerabat dahulu baru yang lain, telah Eyangkung contohkan. Eyangkung juga sering mengingatkan waktu shalat kepada anak-anak dan cucu- cucunya. Pada waktu saya melahirkan cucunya, mulai Adrian hingga Anissa, Papa Mama selalu mendampingi bergantian dengan Didiet, begitu pula jika anak cucu sakit tetap rajin menjenguk. Setiap terima raport, cucu-cucu giliran ditanya hasil raport sekolah. Juga rajin mengantar Kiko ke sekolah atau ikut kegiatan sekolah di Lazuardi pada masa di mana peran ibu saat itu sedang vakum. Papa juga bisa menjadi teman, saling bercanda, berbicara hati ke hati pada saat Arya, Anissa, Amanda, dan Adrian menginap di rumah Eyangkung dan Eyangti. Semoga cucu-cucu terutama Adrian dan adik-adiknya dapat mencontoh sikap teladan Eyangkung. Di hari yang bahagia ini, pada hari Ulang Tahun Eyangkung, semoga Eyangkung diberikan kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan selalu. Barakallaahu Fii yawmi Miilaadika : “Semoga Allah memberi keberkahan pada hari kelahiran EyangKung”. Aamiin Ya Rabbanal Alamin. Lia Menantu - Istri Didiet 149

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Eyangkung orangnya kalem, senang bermain dengan cucu, murah senyum, ramah, semarah- marahnya Eyangkung gitu-gitu aja. Saya tidak merasa dibanding-bandingkan dengan almarhumah. Dari awal saya diterima, disupport segala hal. Saya pertama kali bertemu mama ditanya: Mengapa suka sama Widhy? Di saat bingung, saya lihat Eyangkung langsung tenang. Harapannya Papa tetap sehat dan bisa selalu mendampingi cucu-cucunya. Lolanda Mulia Menantu - Istri Widhy Mas Ranto sangat menjaga keutuhan Rr. Rahayoeningsih keluarga besar. Dia care banget. Jika terjadi Adik Kandung Ketiga sesuatu dengan adiknya sampai diimpikan. Saya pernah ditelepon dan ditanya ada apa, karena dalam mimpinya, Almarhumah Ibu agak membentak bertanya tentang saya. Semoga keluarga dan anak-anak Pak Ranto bisa meneruskan semangat ayahnya untuk terus mengeratkan keluarga besar. Rr. Sri Kadaringsih Mas Ranto begitu memegang kuat pesan Alm Adik Kandung Keempat Ibu: Sedulur lanang harus melindungi sedulur wedok. Dia pernah menelepon saya dan mengatakan: Tiap aku pagi-pagi mau ke langgar kok selalu ngeliat kamu. Kamu ada apa? Saya bangga dan senang bahwa ada yang melindungi. Pada saat kami sama- sama tinggal di Klaten, kakak saya, ibunya Djarot, saya bertiga dengan pembantu, dan saat mas Ranto kebetulan ada, maka terasa banget ada sosok yang mengayomi. 150


Timah di Tangan Emas. di Hati

The book owner has disabled this books.

Explore Others

Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook