Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Timah di Tangan Emas. di Hati

Timah di Tangan Emas. di Hati

Published by Dagu Komunika Bookcases, 2021-10-22 04:16:22

Description: biografi_Bpk-Soeranto_25Apr-LR

Search

Read the Text Version

MENAMBANG TIMAH MELEBUDRIKTAimNaThANGAN Semua proses legalisasi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah dirampungkan Soeranto. Hari itu dia sudah harus bersiap menapaki hidup baru nun jauh dari keluarga tercinta. Melangkah dari Kantor P dan K, dia berusaha meyakinkan diri akan tugasnya sebagai mahasiswa lulusan ikatan dinas untuk ditempatkan pada badan- badan usaha pemerintah yang membutuhkannya. Oleh P dan K Ranto diikutkan dalam BUPTAN (Badan Urusan Perusahaan Tambang Negara). Oleh BUPTAN, yang saat itu sedang melaksanakan kebijakan untuk pengambilalihan perusahan-perusahaan negara yang dikuasai oleh pegawai-pegawai asing, Ranto ditugaskan ke Pulau Bangka beserta beberapa rekannya dari ITB. Sejenak dia mengenang kesempatan belajar di Australia yang terpaksa diurungkan karena orang tuanya tak merestui. Padahal dia lulus tes, sudah membuat baju segala, dan sudah siap berangkat ke Negeri Kanguru. Tapi itulah Ranto, anak penurut dan tunduk pada orang tua. Satu nilai yang dia petik adalah sikap harus menerima apapun yang Tuhan gariskan, karena kita tidak tahu bahwa Tuhan sedang menyiapkan yang lebih baik setelah kita lulus menghadapi ujianNya. Suatu hari di awal Oktober 1958, Ranto mendarat pertama kalinya di Pangkal Pinang dengan Dakota. Tidak hanya menyimpan timah, Bangka yang di depan mata Ranto pertama kali adalah keindahan laut dan pantainya yang jernih. Masih banyak ilalang setinggi satu meter atau lebih di kiri kanan jalan yang dilalui, apalagi di kawasan pantai. Pantai yang sangat dikenal seantero Bangka salah satunya adalah Pantai Pasir Padi dengan kontur pasir yang padat dan pantainya yang landai. Ranto menjalani karir sebagai pegawai bulanan di Pemali, Sungailiat, Bangka. Namun tidak sampai satu bulan, Ranto sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Departemen Pertambangan, tepatnya 1 November 1958. Ranto datang ke Bangka dengan situasi PN Timah Bangka usai diambil alih dari Belanda ke Pemerintah RI. Penyerahan Perusahaan Tambang Timah Bangka (TTB) terjadi pada 1 Maret 1953 dimana Indonesia diwakili oleh Ir. Ukar Bratakusumah yang kemudian diangkat menjadi Kepala TTB. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1 Maret 1958 giliran Belitung diambil alih karena konsesi Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Bilit (GMB) antara Belanda 51

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI dan Indonesia sudah berakhir 28 Februari 1957 dan Indonesia tidak memperpanjangnya lagi. Pengambilalihan GMB dilaksanakan oleh Ir. M.E.A. Apitule atas perintah langsung Menteri Chairul Saleh. Apitule pun kemudian ditunjuk sebagai Presiden Direktur Perusahanan Pertambangan Timah Belitung (PPTB). Sama halnya dengan Ukar, Apitule juga mengalami dilema yang selanjutnya membuat produksi timah merosot sesudah tahun 1954. Sebagian faktor karena merosotnya harga timah, tetapi sebagian yang lain disebabkan masalah internal yang dihadapi. Masalah tersebut antara lain kelangkaan tenaga terlatih serta masalah tata ekonomi dalam negeri. Beberapa pengamat memperkirakan bahwa pada masa itu banyak terjadi penyelundupan atau kegiatan barter. Dengan demikian jumlah timah yang keluar Indonesia lebih besar dibandingkan laporan resmi. Apitule menceritakan bahwa saat pengambilalihan, tenaga staf yang punya keahlian tidak ada, karena pada masa sebelumnya jabatan setingkat ini dipegang orang Belanda. Yang ada pada masa peralihan itu adalah pegawai biasa yang tidak memiliki keahlian. Semua pegawai Belanda yang berjumlah 165 akhirnya meninggalkan Belitung. Beberapa tenaga ahli ditawari untuk bekerja pada manajemen baru di bawah pemerintahan Indonesia, namun mereka keberatan karena suhu politik anti-Belanda masih sangat kuat di Indonesia. Akhirnya Apitule menghentikan operasi dua kapal keruk dan menutup tiga tambang di wilayah Belitung. Karyawan yang tersisa pun tinggal 7000 orang. Lain dengan pengambilalihan Bangka dan Belitung, pengambilalihan Singkep dalam sejarah dicatat dengan goresan warna sendiri. Pada 31 Desember 1957, Komandan Komando Daerah Militer Riau (KDMR) sebagai pemegang kekuasaan dan penanggung jawab keamanan di seluruh kepulauan Riau mengeluarkan Keputusan Nomor 33/KP/ PM/57 untuk mengambil alih penguasaan dan penanganan pertambangan timah NV SITEM di Dabo. Penyerahan dilakukan pada 31 Desember 1957 oleh Kapten Siswojo sebagai Perwira Pelaksana Penguasa Perang Lingga dan Ir. R.G. Esser berpangkat administrateur dari NV SITEM Dabo-Singkep mewakili perusahaan. Ir. Esser awalnya bersitegang tidak mau menyerahkan, tapi Kapten Siswojo langsung menunjukkan kemarahannya dengan menegakkan tongkat komandonya di atas meja penandatanganan. Akhirnya dengan berurai air mata Ir. Esse rmembubuhkan tandatangannya dengan tambahan kata-kata “Onder Protest”. *** 52

MENAMBANG TIMAH Pada awalnya Ranto tidak tahu kenyataan PN Timah yang kekurangan banyak pe­ gawai. Kata kekurangan bisa diartikan oleh Ranto sebagai kehilangan. Ya, kehilangan banyak tenaga ahli yang meninggalkan banyak sumber daya PN Timah, baik di Bangka, Belitung, maupun Singkep. Maklum saja, tenaga ahli yang dimaksud itua dalah orang- orang Belanda yang sudah lama mengoperasikan semua sumber daya pertambangan Timah. Pemali adalah kawasan penambangan terbuka (Open Mining) dengan luas 2 kilo­ meter persegi dibuka sejak tahun 1948. Adalah Ir. Nio Tjoe Hauw yang kemudian mem­ buat perancangan penambangan timah Pemali menjadi suatu tambang open pit yang kemudian menjadi dasar penambangan timah primer di Pemali untuk seterusnya sampai Pemali ditutup tahun 1992. Deposit timah Pemali adalah Cebakan timah primer yang sudah mengalami proses pelapukan yang intensif sampai kedalaman 125 meter dari perm­ ukaan. Karenanya pada sebagian besar kegiatan dapat dikerjakan dengan metode penambangan alluvial. Pada mulanya, topografis daerah ini adalah sebuah bukit kecil ber­ nama bukit Pemali dengan ketinggian 48 meter. Cadangan timahnya diperkirakan cukup untuk 25-30 tahun penambangan sampai mencapai kedalaman kurang dari 65 meter. Dari Jakarta, selain Ranto ada 5 orang “insinyur muda” lainnya yang sama-sama baru lulus dari Bandung yang diterjunkan ke Bangka. Ranto ditempatkan di Pemali, Simatupang dan Oemar Ali di Pangkal Pinang, Wibowo di Mentok, Chalil Effendi di Sungai Liat dan Ismoe menemani Ranto di Pemali. Dia menilai pimpinannya kala itu di Pemali kurang memperhatikan staf baru. Dia mengaku dibiarkan saja, tidak dibimbing. Padahal Pemali berbeda dengan wilayah penambangan lain, Pemali termasuk tambang dalam. Tetapi keadaan itu tidak menyurutkan niat Ranto. Bermodal keuletan, dia bisa belajar sendiri. Betapapun dia sadari bahwa apa yang pernah dia dapat di bangku kuliah akan sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan. Dengan situasi yang sedemikian, Ranto malah semakin menguatkan kebiasaan lamanya di masa sekolah, yaitu membaca. Membaca arsip dan literature Timah sangat membantunya mengenal lapangan yang akan dihadapi dan siap menjalani setiap peran di Timah. Dengan situasi pimpinan seperti itu, kantor Pusat Timah di Jakarta memindahkannya ke Belinyu dengan pimpinannya masih orang-orang Belanda, yang sudah mulai dialihkan ke orang pribumi. Di bawah kepemimpinan E.Y. Gijbers, orang asing tersebut, Ranto sebagai pegawai baru dibimbing dan diperhatikan. Ranto ingat, pembuatan “dam” 53

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Mendampingi E.Y. Gijbers di Belinyu Di depan rumah Bong Sin Koy di Belinyu, 1962. 54

MENAMBANG TIMAH dengan tanah dan kayu beserta hitung-hitungan tertentu tidak dipelajarinya saat kuliah di Bandung. Untung ada Gijbers sebagai Kepala Wilayah Belinyu dan Bong Sin Koy yang memimpin salah satu lokasi penambangan. Dua orang sarat pengalaman ini yang menjadi incaran Ranto untuk belajar lebih jauh. Kemanapun mereka berdua ada, Ranto selalu ikuti. Teman-teman seangkatan Ranto lainnya yang ditugaskan di wilayah-wilayah penambangan lain juga tak jarang mengeluh karena tidak sesuai harapan. Namun Ranto selalu berpesan kepada mereka bahwa ditempatkan di manapun, baik yang ‘basah’ maupun yang biasa-biasa saja tetap harus disyukuri dan dijalani. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik meskipun awalnya tidak cocok dengan kita. “Maksud Tuhan baik, tapi kitanya sering tidak paham,” pesan Ranto. PenMdaenmpeimnugkaHnidup Kebutuhan tenaga ahli di hampir seluruh wilayah Penambangan Timah di Bangka, Belitung dan Singkep tidak hanya di pos – pos terdepan, seperti operasional tambang dan kapal keruk. Pada bagian elektrikal dan mekanikal juga sangat membutuhkan tenaga ahli berpengalaman. Kebetulan saat itu pertambangan batu bara dan lainnya tidak setenar timah. Para Tenaga Ahli di pertambangan batu bara, bauksit dan yang lainnya pun banyak yang eksodus pindah ke pertambangan Timah. Adalah putra Minang, Boerhanuddin, yang sudah berpengalaman di pertambangan Batu Bara Ombilin di Sawahlunto. Boerhanuddin adalah tenaga ahli kelistrikan di pertambangan batu bara Ombilin dan tertarik untuk membenahi kelistrikan Timah di Bangka yang ditinggalkan banyak tenaga orang Belanda. Lagipula, dengan ditemukannya Timah, penambangan batubara banyak ditinggalkan Belanda. Boerhanuddin pun diterima di PN Timah pada tahun 1953 dan ditempatkan di Pusat Pelayanan Listrik untuk kepulauan Bangka yang kantornya di Mantung, Belinyu. Tidak berapa lama, Boerhanuddin pindah ke Sungailiat, dan membawa istri dan anak gadisnya yang bernama Roswita. Roswita saat itu menginjak remaja dan sekolah di SMP milik PN Timah. Namun ketika lulus SMP Roswita melanjutkan sekolah menengah tingkat atasnya ke Jakarta, karena saat itu PN Timah belum memiliki sekolah setingkat SMA. Hanya beberapa tahun Roswita menjadi anak pulau di Pangkalpinang, dia kemudian 55

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI melanjutkan sekolahnya di salah satu SMEA di Jalan Batu di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Selama sekolah di Jakarta, Roswita sempat menjalani gaya hidup ABG ibukota saat itu. Sebutan anak gaul diakuinya. Sebagai anak gadis lulusan Sekolah Menengah Atas kala itu tentu saja tergiur melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ujian saringan masuk Universitas Indonesia dilalui dengan sukses. Dia lulus dan siap kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Sebagai remaja SMA yang cantik dan gaul tentunya banyak laki-laki yang suka. Tidak kurang dari seorang tentara sudah menyatakan ketertarikannya pada Roswita. Namun jalan hidup manusia Tuhan yang menentukan. Setelah lulus SMEA, dia kembali ke Bangka untuk bertemu orang tuanya. Roswita kemudian kembali bersatu dengan bapak ibunya di sebuah rumah dinas di Sungailiat. Kesehariannya membantu ibunya di rumah dan menyiapkan makanan buat bapak. Kebetulan, bapak memiliki banyak teman akrab yang sering berkunjung ke rumahnya, terutama orang-orang yang satu daerah dari Sumatera Barat. Salah satunya Chalil Effendi. Sebagai bujangan, Chalil sering numpang makan di rumah Roswita saat jam istirahat kerja. Chalil Effendi adalah teman akrab Soeranto sejak di Bandung hingga di kegiatan kerja penambangan di Bangka. Pukul 12.00 WIB terdengar bunyi sirine memanjang di seantero wilayah kerja penambangan. Saat itulah jam istirahat kerja dan makan siang. Kedekatan Ranto dengan Chalil ikut menyeret Ranto pada kebiasaan makan siang di rumah dinas Ayah Roswita. Saking seringnya, Ranto selalu membantu Roswita dan Ibu di urusan dapur usai makan. Kebiasaan tersebut lambat laun mencuri hati Ibu. Mungkin juga Roswita. Chalil Efendi pun melihat gelagat seperti itu seolah menjadi mak comblang Ranto dan Roswita dengan sering-sering mengajak Ranto makan siang di rumah Roswita. Selanjutnya, singkat cerita mengantarkan kedua hati itu menyatu. Selama enam bulan keduanya saling menjajaki untuk kemudian menjalin berkomitmen menuju jenjang yang lebih serius. Pada suatu kesempatan, Ranto merenung. Dia menatap cermin, melihat pertumbuhan anggota badannya yang sudah bertahan menyandang nama Soeranto selama 25 tahun. Dia pertama kali mengamati lengannya yang mulai legam dibakar matahari Bangka. Rambutnya tetap dia jaga dengan rapih sebagai cermin pribadinya selama ini. Namun kali ini dia memangkas habis lebih dari sepertiga ke bawah, dan menyisakan dua pertiga di bagian atas. Yang tersisa itu kemudian di bagian samping dia potong tipis, alhasil hanya bagian tengah dan atas lah yang masih rimbun. Yang sisa itupun dia sisir ke belakang, 56

MENAMBANG TIMAH hampir pasti dia menirukan satu tokoh atau artis saat itu. Kumispun dirapikannya. Dia bertanya dalam hati, apakah ini jawaban dari penantian panjangnya selama sekolah dan kuliah. Apakah ini yang bisa disebut petanda dari pesan orang tuanya dulu agar jangan kenal perempuan dulu sebelum menjadi ‘orang’. Padahal dengan kepintarannya, Ranto bisa mendapatkan kesempatan berpacaran di masa kuliah. Apakah ini tandanya dia sudah jadi ‘Orang’? Tapi yang mungkin sudah jelas, inilah jawaban dari prinsip yang dia yakini, bahwa di balik kepatuhan pada orang tua dan rasa mensyukuri setiap yang didapatkan, pada akhirnya akan menemukan jawaban Tuhan yang pas untuk dia dan keluarganya. Enam bulan kenal, Soeranto dan Roswita kemudian memutuskan bertunangan. Babak baru sedang dijalani Ranto dan Roswita. Walaupun ada perbedaan di antara keduanya, namun diterima kedua pihak. Ranto yang orang jawa tulen, dan Roswita yang asli Minang dengan segala perbedaan karakter mampu disikapi keduanya sebagai alasan mengapa mereka harus disatukan. Karakter pendiamnya Ranto diimbangi dengan karakter calon istrinya yang lebih bersuara. Begitu juga dengan kalemnya Ranto yang kemudian menemukan ‘pasangan’ bernama ketegasan pada diri calon istrinya ini. Karena kondisi yang tidak memungkinan, Ranto tidak bisa pulang ke kampung halamannya untuk meminta doa restu orang tua dan keluarga. Untung Ranto ada kakak yang selalu siap membantu di masa-masa sulitnya. Tentang perbedaan Jawa dan Minangkabau berhasil dikomunikasikan Winarno dengan baik kepada orang tua dan saudara-saudara Ranto yang lain. Latar belakang pendidikan dan jabatan Winarno serta seringnya dia berpindah tempat kerja dan mengenal banyak suku menjadikannya lebih arif menyikapi penyatuan Ranto dan Roswita. Akhirnya itu menjadi dukungan awal kepada Ranto yang cukup signifikan dan semakin membulatkan niat Ranto untuk mempersunting Roswita. Pernikahan digelar di Sungailiat tangal 1 Nopember 1959 dengan tata cara Minangkabau. Roswita terlihat cantik dengan pakaian adat minang yang berkilauan. Di atas kepala Roswita bermahkotakan Sunting dengan ukuran cukup besar dan terlihat berat dirasakan Roswita. Ranto sendiri tetap mengenakan pakaian adat Jawa. Satu hal yang mungkin saja Ranto sesali sampai sekarang adalah karena tidak sempat memakai pakaian adat Jawa yang sudah dijahitkan Ibunya sendiri di Klaten. Apa mau dikata, waktu yang sangat mepet, dan Ranto tidak sempat pulang ke Klaten. Sebagai Wali dalam pernikahan itu, orang tua Soeranto diwakili oleh seorang mantan Wedana di Bangka saat itu. 57

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Saat pernikahan di Sungailiat bersama Bapak dan Ibu Burhanuddin, 1959 Duduk di pelaminan, bahagia menjadi Raja-Ratu sehari 58

MENAMBANG TIMAH Roswita untuk pertama kali berjumpa dengan ibu dan bapak mertua saat ‘Ngunduh Mantu’ di Klaten. Ngunduh Mantu tidak saja dilakukan di Klaten, tapi di ranah Minang juga dilakukan hal serupa. Bedanya, Ranto mengenakan pakaian adat minang. Berita pernikahan Ranto cukup menggegerkan kawan-kawan kuliahnya yang seangkatan di Bandung, baik yang sudah lulus maupun belum, mengingat cap “jomblo dan anti perempuan” memang susah dibuang dari Ranto saat kuliah dulu. *** Ranto dan Roswita menjalani hidup sederhana di sebuah rumah dinas di Pemali. Hari- hari Roswita diisi dengan membaca buku, mendengarkan siaran berita dari satu-satunya hiburan elektronik di rumahnya saat itu berupa radio transistor. Untuk menghilangkan kebosanan istrinya ketika ditinggal bekerja, Ranto mempersilakan Roswita bergabung dengan organisasi kewanitaan di PN Timah, dan hingga saat ini, ketika menemani suaminya pensiun pun, tetap aktif di Dharma Wanita Unit Timah maupun Dharma Wanita Pusat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dahulu organisasi perempuan timah ini bernama Perwari. Roswita yang memang memiliki jiwa sosialisasi yang tinggi menerima demoratisasi suaminya dengan suka cita. Rumah dinas Ranto di Pemali kebetulan dekat dengan hutan. Fauna yang sering bersinggungan akrab dengan permukiman masyarakat salah satunya adalah monyet. Peran istri di rumah tangga yang dijalani Roswita adalah peran baru, tak jarang dia meminta saran ibunya untuk sesuatu yang sangat buta baginya. Ranto tak jarang kedatangan tamu – tamu asing, dan aturan menghadapi tamu-tamu tersebut harus dipahami Roswita dengan cepat. Apalagi saat itu belum ada restoran, apalagi katering makanan yang bisa dipesan kapan saja. Ranto cukup sering terlibat ketika ada kunjungan tamu, baik orang asing maupun utusan dari kantor pusat. Pernah pada suatu ketika, usai mendampingi tamu asing jalan- jalan, Roswita mencium aroma alkohol yang cukup kencang dari mulut suaminya. Ternyata, Ranto juga menemani tamu asing tersebut sampai pesta minuman. Sekali datang tamu asing, minimal satu pak berisi 12 atau 24 botol bir disajikan. Alih-alih menghormati para tamu asing dengan ikut minum, Ranto malah tergeletak lemas di depan istrinya karena mabuk dan muntah-muntah. Yang paling sering dilakukan untuk menjamu tamu asing adalah memancing. Bersamaan dengan seringnya memancing, Ranto pun jadi ikutan 59

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI punya hobi memancing. Lumayan, setidaknya untuk melengkapi ketidakseriusannya dalam menjalani hobi. Jika ditanya musik, Ranto suka tapi tidak fanatik. Hobi yang pada akhirnya suka digeluti adalah olah raga tenis, dan sesekali bermain golf di akhir karirnya. Ranto sesekali mengambil cuti untuk menyegarkan hati dan pikiran kembali setelah menghadapi rutinitas rumah yang menjemukan. Di masa cuti, keduanya tak jarang bepergian ke tempat-tempat wisata, berkebun, atau mencari hiburan lainnya. Suasana Pemali dan Bangka pada umumnya saat itu memang sudah dilengkapi dengan ragam infrastruktur untuk mobilitas pegawainya dan masyarakat sekitar. Keheningan keluarga sederhana di Pemali tidak berlangsung lama karena setelah hampir satu tahun menikah mereka berdua dikarunia seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sidik Purwanto. Tangisan Sidik memecah sepinya rumah dinas mereka di dekat hutan Pemali. Anak pertamanya ini kemudian sering dipanggil Didiet. Didiet lahir pada tangal 17 Agustus 1960 tepat pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Kehidupan dan karir Ranto terus mengalir. Dia dan keluarga begitu mensyukuri apa yang sudah didapat di Timah. Pada masa itu, timah masih menjadi komoditas unggulan Indonesia di bidang penambangan. Timah kala itu, baik Perusahaan Tambang Timah Bangka (TTB), Timah Belitung (PPTB) maupun NV Singkep menjadi BUMN yang cukup menduduki posisi teratas dengan BUMN lain semisal Pertamina. Perusahaan Tambang Timah Bangka seperti dua perusahaan timah di Belitung dan Singkep juga melengkapi dirinya dengan infrastruktur. Mudahnya orang bicara, semua fasilitas yang ada di Timah sangat memanjakan karyawannya. Dari mulai jalan, saluran air bersih, fasilitas pendidikan, telekomunikasi, rumah sakit, sarana olah raga dan lain-lain. Meskipun semua fasilitas tersebut dibangun oleh Timah, tapi tidak berarti masyarakat sekitarnya tidak boleh mengakses. Sarana olah raga menjadi titik lebur antara pegawai Timah, unsur-unsur pimpinan Daerah, dan masyarakatnya. Dengan situasi pimpinan seperti itu di Pemali, Sekitar satu tahun lebih di Pemali, Ranto dan keluarga kemudian pindah ke Belinyu. Saat itu Wilayah Produksi Belinyu masih dipimpin oleh orang Belanda, dan sudah mulai dialihkan ke orang pribumi. Di bawah kepemimpinan E.Y. Gijbers, orang asing tersebut, Ranto sebagai pegawai baru selalu dibimbing dan diperhatikan. Ranto ingat, pembuatan “dam” dengan tanah dan kayu beserta hitung-hitungan tertentu tidak dipelajarinya saat kuliah di Bandung. Untung ada Gijbers sebagai Kepala Seksi Wilayah Belinyu dan Bong Sin Koy yang memimpin 60

MENAMBANG TIMAH Bahagia meyambut kelahiran anak pertama Sidik ‘Didiet’ Poerwanto, Sungailiat,1960. 61

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI salah satu lokasi penambangan di Belinyu, yang sering disebut “parit”. Dua orang sarat pengalaman ini yang menjadi incaran Ranto untuk belajar lebih jauh. Kemanapun mereka berdua ada, Ranto selalu ikuti. Pada 15 Agustus 1961, dia diangkat menjadi kepala seksi di Unit Penambangan Belinyu, masih di bawah wilayah operasi Perusahaan Tambang Timah Bangka (TTB). Di Belinyu, Ranto mulai menapak karir yang cemerlang. Selain rumah dinas, Ranto pun diberi fasilitas kendaraan, saat itu dia memakai sedan Mercedes dengan nomor polisi BN-4604. Setelah mendapatkan promosi jabatan sebagai kepala seksi, sebulan kemudian Roswita melahirkan putra kedua mereka yang diberi nama Dwityo Akoro. Anak kedua mereka ini kemudian lebih akrab dipanggil Koko. Dalam melaksanakan tugasnya di Belinyu, Ranto juga mendapat bimbingan spiritual dari seorang uztad , Husen namanya. Beliaulah yang terus menerus memberikan saran dan masukan dalam mendampingi Ranto dalam melaksanakan tugasnya. Hingga saat ini, Ranto sangat berutang budi kepada ketiga orang tersebut, Gijbers, Bong Sin Koy, dan Husen, yang telah memberikan dasar-dasar dan pembelajaran dalam melaksanakan kehidupan, di awal karirnya. Masa bermain Didiet dan Koko dilalui di komplek rumah dinas pegawai timah di Belinyu. Mereka belum banyak memahami pekerjaan Papanya. Waktu demi waktu dilalui Ranto dan keluarga dengan sahaja. Setahun kemudian, pada tanggal 8 Desember 1962, anak ketiganya lahir dan diberi nama Walla Tridhany. Ketiga anaknya sering diajak bermain di pantai, menikmati suasana komidi putar, sejenis atraksi kuda-kudaan yang berputar di atas platform datar. Anak-anak sangat menyukai permainan yang di Inggris sering dikenal dengan ‘Marry go-round’ ini, apalagi saat berputar diiringi dengan musik. Mereka memang harus benar-benar mensyukuri mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang bermartabat di lingkungan Timah. Sementara itu, pada masa demokrasi terpimpin, pekerjaan mapan selain militer dan PNS menjadi barang langka. Ini akibat keadaan Negara yang memprihatinkan dan dipersulit dengan suasana politik yang selalu panas, memperburuk suasana kerja dan menjatuhkan produktivitas. Nasib Ranto memang terhitung lancar bak kereta yang melaju lancar di atas lintasan rel yang lurus, selurus sikap, hati, dan pikiran Ranto. Di Belinyu, dia sudah menaklukkan medan berat penambangan yang disebut Tambang 7 Belinyu. Tambang ini mulai digali dengan sebuah penggalian kolong di lembah Lumut. Dari pelaksanaan penggalian itulah ditemukan cadangan timah yang semakin dalam. 62

MENAMBANG TIMAH Dari pemboran – dalam, diperkuat bukti bahwa terdapat timah pada kedalaman 90 meter dari permukaan. Sejak 1950, Tambang - 7 Air Lumut di Belinyu yang merupakan open pit terbesar pada saat itu telah mencapai kedalaman 65 meter. Sedangkan indikasi endapan masih menunjukkan kelanjutan lebih dalam lagi sampai 90 meter. Ini merupakan satu-satunya jenis endapan timah alluvial yang ditemukan di Bangka, yakni endapan yang berhubungan dengan batuan kapur. Ranto juga kemudian memahami sifat batu kapur yang mudah dilarutkan air menyebabkan terbentuknya torehan-torehan dalam di batuan dasar yang terdiri dari batu kapur ini. Torehan tersebut kemudian menjadi palung-dalam yang menjadi cebakan (galian) bagi timah alluvial yang dihanyutkan air. Sifat cebakan yang sempit dan dalam ini menimbulkan kesulitan dalam upaya penambangan karena harus mempertahankan agar lereng tebing cukup landau agar dinding tebing tidak runtuh. Sementara tidak mungkin membukanya terlalu lebar karena berakibat pada biaya pemindahan tanah yang tinggi. Di samping itu, karena dasar galiannya dalam, maka diperlukan pompa air dengan kekuatan besar, agar air bercampur lumpur dapat dipompakan ke permukaan tanah. Kesulitan itu masih ditambah dengan semakin rendahnya produktivitas seiring dengan semakin dalamnya galian. Ranto terus menerus memonitor para pekerja lapangan untuk mengatur pemompaan lebih tinggi lagi. Ranto selalu membawa alat pengukur RPM (putaran per menit). Dia sering gemas dengan para pekerjanya ketika dilihat tekanan air dari pompa asal-asalan. Hanya dua tahun Ranto memimpin unit penambangan di Belinyu, karena pada tanggal 16 Januari 1963 dipindah ke Pusat Peleburan Timah Mentok, Bangka. Di sini dia masih menjadi kepala seksi. Menjelang Perang Dunia II, Indonesia mengoperasikan Peleburan (Smelter) ukuran kecil (Vlaander Oven) berkapasitas sekitar 10,000 ton logam timah per tahun (Produksi tertinggi adalah 16.000 ton pada tahun 1920an). Peleburan tersebut berada di Bangka, yakni di Pangkal Balam, Belinyu, Toboali, dan Mentok. Setelah PD II berakhir, hanya Peleburan Mentok yang direhabilitasi. Kapasitasnya 2.000 ton, sekedar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara pusat peleburan timah yang besar untuk pasaran dunia ada di Arnhem (Belanda), Penang (Malaysia), dan Texas (Amerika Serikat). Ranto pindah ke peleburan Mentok sekitar empat tahun setelah Timah diambil alih oleh Pemerintah RI. Tugasnya dari pimpinan TTB (Tambang Timah Bangka) adalah mewujudkan Mentok Smelter datang dengan tujuan antara lain; pertama untuk 63

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI menghemat devisa; kedua, menjaga kontinuitas pemasaran timah; ketiga mengakhiri ketergantungan pada smelter luar negeri; dan keempat, membuka lapangan kerja baru; dan kelima, alasan alih teknologi. Dari tahun 1958 hingga 1962 bekerja di penambangan, Ranto ada di dalam masa penurunan produktivitas timah. Sejak 1957, terjadi kemrosotan yang mengejutkan dibandingkan produksi era 1950-an. Pada tahun 1963, saat Ranto mengawali karir menjadi Kepala Seksi Unit Peleburan Mentok, produktivitas timah turun sangat mencolok dengan produksi hanya mencapai 12.47 ton atau 36% dari produksi tahun 1954 (35.861 ton). Padahal sebelumnya, antara 1950 – 1960 Indonesia di urutan kedua sebagai penghasil timah terbesar di dunia. Setelah itu, Indonesia bertengger di ranking empat dunia. Penurunan tersebut disebabkan karena beberapa hal; pertama, turunnya kadar kekayaan cadangan yang tersedia; kedua, kapal-kapal keruk yang ada rata-rata sudah tua; ketiga, kekurangan tenaga ahli kapal keruk; keempat, tenaga – tenaga baru belum berpengalaman; kelima, kekurangan suku cadang dan devisa. Di Mentok, antara tahun 1963-1965, Ranto merasa ada dalam masa-masa sulit. Selain kondisi produktivitas timah yang menurun, Ranto juga harus berhadapan dengan infiltrasi antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) di Mentok. Ranto harus pintar- pintar menghadapi PKI yang anteknya hampir ada di setiap sel. Mereka melakukan penyadapan pembicaraan, baik cara biasa maupun telepon. Mereka juga berada di kapal- kapal keruk yang merupakan bagian vital dalam penambangan laut (off shore). Ranto bisa melihat gelagat ada antek PKI jika sudah merasakan bocornya informasi-informasi penting. Ranto harus menyeimbangkan keadaan saat itu. Dia juga menempatkan orang- orang berpengaruh di daerah Mentok untuk menyingkirkan aksi-aksi para antek PKI. Dengan gayanya, Ranto pun dengan mudah dekat dengan front pejuang. Di sana ada empat kelompok pejuang yang tergabung dalam Panca Tunggal, Ranto masuk menjadi anggotanya. Dalam kondisi sulit seperti itu, anak ke-empatnya lahir di Mentok, seorang bayi laki- laki yang kemudian diberi nama Widhy Nugroho. *** Setelah tuntas menunaikan tugas dari pemerintah untuk mencegah penyusupan PKI ke Timah, Ranto ditugaskan ke Glasgow, Skotlandia pada 11 November 1965. 64

MENAMBANG TIMAH Badan Pimpinan Umum Perusahaan-Perusahaan Tambang Timah Negara mengutus lima pegawainya, termasuk di dalamnya ada nama Soeranto, ke Glasgow untuk belajar, sekaligus mengawasi pembuatan lima Kapal Keruk di pelabuhan Glasgow. Setelah sebelumnya Ranto gagal ke Australia di masa kuliah, ini adalah kali pertama dia pergi ke luar negeri. Padahal sebelum ditugaskan ke Glasgow, Ranto sudah bersiap melanjutkan sekolah lagi ke London. Sejak abad ke 18, kota Glasgow telah menjadi penghubung utama Eropa dalam perdagangan dengan Amerika. Dengan adanya Revolusi Industri, kota ini dan daerah di sekitarnya menjadi salah satu pusat teknik pembuatan kapal. Banyak kapal-kapal terkenal di dunia dibuat di sini. Cuaca di Glasgow hampir sama dengan iklim Eropa daratan lainnya, bahkan cenderung lebih lembab karena dilindungi oleh perbukitan Lembah Clyde. Temperatur Kota ini lebih sejuk daripada daerah lainnya. Temperatur Glasgow sama dengan di Inggris Utara. Di Skotlandia, cuaca lebih sering berubah dari hujan badai menjadi gelombang panas pada hari yang sama. Walaupun ada sedikit hujan dan hari berangin, musim semi yang terjadi Maret sampai Mei membuat kota ini tetap sejuk dan dingin. Banyak pohon dan bunga tumbuh pada saat ini dan taman dan kebun penuh dengan warna musim semi. Ranto beserta empat temannya tiba di Glasgow di bulan November, di mana saat itu sedang musim penuh salju. Para orang tua lebih memilih di rumah beserta anak-anak sambil menunggu datangnya kejutan Sinter Klaus daripada harus keluar rumah. Batu bara saat itu menjadi barang yang paling diburu. Ranto dan empat temannya menyewa sebuah flat dengan beberapa kamar di dalamnya. Tubuh Ranto pada dasarnya tidak akrab bersahabat dengan cuaca dingin. Bahkan ketika suatu saat batu bara di rumah habis, teman-teman enggan membeli dan mereka memilih menunggu pagi. Ranto yang memang memiliki sifat mudah menolong tanpa buntut apapun, akhirnya berangkat ke sebuah toko membeli batu bara, demi untuk kenyamanannya bersama teman-teman. Setiap hari kelima orang ini pergi ke galangan kapal (dock yard) untuk memastikan apakah yang dibangun sesuai dengan rencana desain yang disepakati, apakah kualitas bahan tetap dijaga, mengontrol kemajuan pembangunannya agar sesuai target yang diminta perusahaannya, dan pengecekkan lainnya. Meskipun hanya setahun, kerinduan Ranto dengan keluarga yang ditinggalkan selalu menyeruak di keheningan malam Glasgow. Cara satu-satunya untuk membunuh kesepian adalah dengan menonton televisi. Belajar memasak steak, dan masakan Eropa lainnya 65

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bersama rekan-rekan di depan asrama, Glasgow, Skotlandia 66

MENAMBANG TIMAH yang sedang popular saat itu. Ranto juga membeli voice recorder sekaligus dengan kaset pitanya untuk merekam suaranya dan dikirimkan ke keluarganya di Bangka. Biasanya dia menitipkan kaset tersebut melalui temanya yang kebetulan pulang. Usia Koko saat itu sekitar lima tahun. Begitu diperdengarkan kaset kiriman Papa, Koko yang saat itu sedang demam, menangis karena kangen dan dengan tiba-tiba panas demam menurun. Mungkin hanya kebetulan, namun cerita tersebut selalu diingat Ranto sebagai tanda kedekatannya dengan anak-anak, dan bahwa dia adalah sosok yang dirindukan oleh siapapun orang-orang yang mencintainya. Ranto memang mengekspresikan rasa kangennya kepada keluarga dengan mengirimkan suara melalui kaset rekaman. Ada juga temannya yang melampiaskannya dengan membuat dirinya sibuk melalui kegiatan seperti mencuci, bersih-bersih rumah, hingga ada yang mencari makanan khas Glasgow. Urusan makanan, Ranto memakan apa adanya yang ada di rumah, dia tidak biasa melakukan wisata kuliner seperti yang lain. Pada saat di Glasgow pula Ranto mengenal asam rokok, tapi bukan untuk dijadikan kebiasaan, melainkan untuk mengusir dingin di sana. Pembuatan kapal keruk adalah bagian dari overall plan Tambang Timah yang dirumuskan sejak sebelum era Badan Pimpunan Umum (BPU) Perusahaan-perusahaan Tambang Timah. Ketika BPU terbentuk, rencana tersebut disempurnakan dan kemudian menjadi Rencana Jangka Panjang 1961-1970 dengan mematok target produksi sebesar 25.000 ton per tahun jelang 1970. Rencana Kerja tersebut digolongkan sebagai berikut; Pertama, Program Rehabilitasi dan Modernisasi; Kedua, Program Ekspansi; dan Ketiga, Program Penelitian dan Eksplorasi. Pengadaan Kapal Keruk adalah bagian dari program ekspansi. Salah satunya adalah kapal keruk yang didesian di Skotlandia untuk menangani cadangan baru di laut Air Kantung, Sungailiat, Bangka. Kapal tersebut kemudian dinamakan oleh Bung Karno dengan naman Bangka I dengan disain khusus untuk penambangan di laut. Kapasitas produksi kapal keruk ini hingga 1.000 ton per tahun. Pembelian kapal tersebut seiring dengan kapal Schaufelradbagger dari Jerman dan Desmountable Dradge. Bangka I adalah kapal bendera pertimahan Indonesia yang mulai beroperasi April 1966 di perariran Air Kantung, 3 km dari pantai. Meskipun kapasitas idealnya 2.000 ton per tahun, tapi faktanya belum pernah mencapai angka tersebut. Namun, apapun kesulitan yang dihadapi, Kapal Keruk Bangka I adalah kapal keruk off shore yang tangguh. Dia menampatkan penambangan timah Indonesia sebagai pelopor penambangan timah di 67

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI laut pada masa ini dan masa-masa panjang sesudahnya. Sepulang dari Glasgow, Ranto begitu terkejut dengan penolakan Widhy yang enggan digendong Papanya. Semangat Ranto pulang dari Glasgow bercampur dengan rindu terpendam kepada keluarga. Kerinduan tersebut dialamatkan paling khusus kepada si Bungsu, Widhy, yang ketika dia tinggalkan berumur satu tahun. Apa daya, si kecil Widhy lupa muka Papanya sendiri. Ranto sedih luar biasa. Tangisnya pun tak terbendung, sedangkan Widhy bergelayut di pelukan Mama sambil menatap heran pada Papanya. Begitulah Ranto, si pemilik hati nan lembut, juga tidak bisa menahan hasratnya untuk membahagiakan anak-anak dan keluarganya. Anak sulung Ranto, Didiet, menceritakan betapa Papa sangat mengutamakan keluarga daripada keinginan pribadinya. Ini dicontoh­ kan sepulangnya Ranto dari Glasgow. Alih-alih menyeragamkan diri bersama teman- temannya yang pulang dengan Mercedez, Ranto bahkan harus membanggakan diri dengan VW-nya. “Secara hitung-gitungan, teman-temannya pasti bisa menabung uang perjalanan dinas mereka yang mungkin cukup besar itu, untuk membeli Mercedez. Tapi Papa malah membeli aneka permainan untuk anak-anaknya,” kata Didiet. Melihat kecintaan anak-anaknya pada mainan otomotif, Ranto membawa kereta berikut sirkuit relnya (kalau yang ini bisa jad identifikasi diri Ranto sebagai anak stasiun). Ranto juga membelikan aneka alat-alat berat versi mini seperti excavator, back hoe, loader, bull dozer, dan yang serumpunnya. Hampir sama dengan kereta, Ranto juga membawakan mobil-mobil balap mini, lengkap dengan sirkuit panjangnya yang jika disusun di meja membutuhkan meja ukuran besar, mirip dengan Tamiya di era sekarang. Masih menurut kenangan Didiet, Papa juga membelikan film proyektor untuk memuaskan hasrat hiburan anak-anaknya terhadap film. Dengan tersedianya alat itu, bukan berarti Didiet dan Koko bersaa dua adiknya bebas memutar film kesukaannya. Ranto memberikan jatah menonton film untuk anak-anaknya sekali dalam satu bulan. “Tiap bulan kami putar film Micky Mouse, Tom and Jerry, Superman, dan lain-lain. Film diputar di tengah keluarga saja. Juga ada slide-slide foto yang menampilkan beberapa tempat yang famous di kota-kota terkenal di dunia, seperti taman kota, arena ski salju, dan lainnya. Dia beli semua itu untuk keluarga. Dia kesampingkan kepuasan pribadi. Radio grundig, plat pemutar piringan hitam (gramophone, pen), radio berbentuk sebuah salon besar juga dibawanya di kapal bersama oleh-oleh untuk Mama seperti kulkas, mixer, mesin jahit, dan lainnya,” kenang Didiet. 68

MENAMBANG TIMAH Sebelum berangkat sekolah, Belinyu, 1966. Koko, Walla dan Widhy. Belinyu 1966. 69

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Masih dalam nuansa menjadi Glasgow Ranger, Ranto hampir setiap bulannya memasak steak, french fries, dan menu Eropa lainnya. Konsumsi makanan bergizi, olah raga, dan disiplin bangun pagi yang dilakukan Ranto itu pernah juga dipahami anak- anaknya sebagai penyebab fisik Ranto yang kuat. Sehabis jam pulang kerja, yaitu Pukul 16.00 sore, Ranto selalu memantau tenaga-tenaga tambang, dan tak jarang kesempatan tersebut digunakan untuk mengenalkan anaknya pada dunia tambang. Selanjutnya, Ranto dan keluarga menikmati masa-masa indahnya dengan istri dan keempat anaknya yang masih lucu. Hingga pada suatu ketika, pada 28 Maret 1967, Ranto dinanti tugas baru menjadi pengajar di Sekolah POT = Pendidikan Opzichter Tambang, Pangkalpinang, Bangka. Kegemarannya berbagi ilmu di kalangan teman-teman sekolah (kuliah) dan keluarganya dilanjutkan dengan menjadi seorang guru sebenarnya, meskipun hanya mewakili unsur pegawai Timah dan mengajar anak-anak pegawai Timah karena sekolahannya pun yang membangun PN Timah. Ranto pun berkesempatan membagi pengetahuannya di bidang kepramukaan yang sudah dia gemari sejak SMP. Tetapi tidak sampai satu tahun, dia dipindahtugaskan untuk menjadi Kepala Dinas Produksi di Unit Penambangan Timah Bangka, masih di Pangkalpinang. Menjadi guru dengan mengajar matematika, ilmu ukur, aljabar, pertambangan, dan lain-lain merupakan motivasi Ranto untuk melatih diri dalam melatih komunikasi, mengatur intonasi, dan seterusnya. Jika diminta menyampaikan sambutan, Ranto sering berkonsultasi dengan istri. Sebagai pimpinan, dia harus cakap memberikan penjelasan tentang banyak hal kepada bawahannya, mulai dari masalah kepegawaian, teknis, masyarakat, dan lainnya. Dengan kemampuan komunikasi tersebut, jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan atasan, Ranto berani mengungkapkannya karena benar. Meskipun terkadang tindakannya dinilai anak buahnya sebagai langkah nekad dan berani. Anak-anaknya mulai mengenal sosok Papa ketika keluarga tinggal di Pangkal Pinang tahun 1966-1967. Koko bisa mengingat beberapa kenangan terhadap sang papa, karena dia sudah mulai memasuki Taman Kanak Kanak, TK Budi Mulia di Jalan Gereja, Pangkal Pinang. Papa adalah figur yang sederhana dan menyayangi anak-anaknya. Papa selalu menyediakan waktu untuk membantu menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan dan disampaikan esok harinya. Bahkan peralatan sekolah selalu diperiksa. Saat itu, belum ada “rautan pinsil”, dan Koko ingat bagaimana Papa setiap malam membantunya untuk meraut pinsil. Dengan menggunakan pisau lipat Swiss Army (yang mungkin dibelinya saat tugas belajar ke Scotlandia), dengan rapi beliau meraut pinsil- 70

MENAMBANG TIMAH pinsil anak-anaknya di atas sebuah asbak. Papa di mata anak-anaknya memiliki sifat yang senang menolong. Kesiagaan Papa untuk siap membantu dan memberikan segalanya untuk anak- anaknya juga ditegaskan Walla Tridhany, anak perempuan satu-satunya. Bila salah satu dari mereka sakit, Papa selalu bersedia untuk menggendong bila mereka rewel, memberi obat, mengompres bila panas, bahkan mengisap ingus dari hidung anaknya yang pilek dengan menggunakan mulutnya agar kembali bernafas lega. Kondisi tersebut bisa saja karena faktor keterbatasan obat-obatan kala itu. “Papa juga selalu berjaga untuk menemani kami yang sakit sepanjang malam, mengganti kompres walaupun harus kerja keesokan harinya,” kenang Walla. Walla menambahkan, Papa juga orang yang perhatian terhadap keluarga. “Bila kami ulang tahun, naik kelas atau lulus, selalu ada hadiah dan traktir makan-makan. Atau selalu ada oleh-oleh untuk kami sepulangnya papa dari tugas ke luar kota atau ke luar negeri,” sambungnya. Kendati hanya satu tahun menjadi Guru, tapi Ranto berhasil mengambil hikmahnya dengan tepat. Ketika dia sibuk menambang dan melebur, sering bepergian ke kota lainnya di pulau tersebut, pergi pagi dan pulang larut malam dengan mobil yang kotor penuh debu, mungkin sedikit terlupakan bahwa anak-anaknya sudah akan memasuki gerbang pendidikan formal. Didiet berumur 7 tahun, Koko sudah masuk sekolah dasar kelas satu, sedangkan Walla menjelang TK. Dengan tugas sebagai kepala sekolah POT Pangkalpinang, bisa saja ini jawaban Tuhan yang selalu Ranto yakini, bahwa dia harus lebih dekat lagi dengan anak-anaknya, terutama pendidikan formalnya. Sepanjang tahun 1967 itu juga, Ranto merasakan pergeseran – pergeseran yang suka tidak suka harus dijalankan. Kata orang, bagian produksi bukanlah bagian ‘basah’. Bagian ini tidak berhubungan sama sekali dengan rekanan, konsultan, kontraktor maupun pihak luar lain seperti yang kerap terjadi di bagian teknik. Tapi, namanya juga ‘kata orang’, Ranto tetap saja sabar menerima itu dengan kekeuh memegang prinsip ‘Kita hanya tidak/belum tahu bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita’. Toh semua akan berakhir saat pada medio Juli 1968, dia mengisi kekosongan wakil Kuasa Direksi UPT Singkep di Dabo Singkep. Dan di sinilah, babak selanjutnya yang menarik itu dimulai. 71

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI ‘RMumeamhb’aSningguknep Jika gambar peta pulau Australia dan peta pulau Singkep disobek dan disejajarkan, kita akan menemui kemiripan sebuah bidang heksagonal yang hampir sempurna. Kedua pulau tersebut sama-sama memiliki enam sudut dan terlihat sekilas di bagian tengahnya hampir terbelah. Bedanya, Pulau Australia berukuran lebih besar, dan Pulau Singkep yang merupakan wilayah Provinsi Riau tentu saja berukuran lebih kecil. Tapi meskipun kecil, kandungan timahnya sudah membuat Belanda betah menjajah Indonesia berabad-abad. Meskipun kecil, tanah dan air di Pulau Singkep menjadi kebanggan Tanah Air Indonesia. Tanggal 31 Juli 1968, Ranto ditugaskan ke Pulau Singkep menjadi Wakil Kuasa Direksi Unit Penambangan Timah (UPT) Singkep. Dia melakukan reuni dengan sahabatnya, Chalil Efendi, yang sudah lebih dulu ke Singkep sebagai Kuasa Direksi di sana. Mereka berdua mendapat tugas khusus dari pimpinan PN Timah untuk meningkatkan produksi timah di sana. Reuni dengan Chalil Effendi tersebut tidak berlangsung lama. Chalil kembali ke Jakarta untuk menjalani perawatan karena sakit. Ranto pun menggantikan peran Chalil dengan status pejabat sementara (Pjs) Kuasa Direksi UPT Singkep, seiring dengan peleburan tiga perusahaan timah besar (Bangka, Belitung, dan Singkep) menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah. Sedangkan organisasi di pulau-pulau menjadi unit usaha yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kuasa Direksi. Penetapan ini atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1968. Tidak genap satu tahun, Soeranto dilantik menjadi Kuasa Direksi UPT Singkep, resmi menggantikan Chalil yang tak kunjung pulih dari sakitnya, hingga akhirnya meninggal dunia di Jakarta. Ranto tercatat sebagai pimpinan tertinggi sebuah unit tambang (UPT Singkep) di usia 36 tahun. Usia yang relatif masih hijau untuk memimpin sekitar 8.000 karyawan Timah di Singkep. Namun itu bukan menjadi belenggu bernama tidak percaya diri. Ranto dengan lihai memadukan antara ilmu yang didapat di ruang akademis dengan pengalaman-pengalaman seniornya (sebut saja Gijbebrs dan Bong Sin Koy karena dua orang ini sangat berpengaruh). Bagi tradisi Timah, bisa jadi saat Ranto menapaki jenjang ini ibarat sebuah oase di tengah dominasi pemimpin Timah yang berbaju loreng. Seperti pada kebiasaan sebelumnya, setiap menjalankan tugas baru maupun dipindahkan ke tempat baru, Ranto selalu membaca arsip guna mengumpulkan informasi 72

Melihat keadaan kapal keruk MENAMBANG TIMAH di Singkep. 73

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI sebanyak-banyaknya tentang lahan yang akan dibuat ‘rumah’ Ranto selanjutnya. Sebutlah informasi yang pertama didapat adalah sejarah penambangan timah di Singkep, dan itu dia dapatkan dari sebuah tugu prasasti. Tugu Prasasti Timah tersebut berdiri gagah di pusat Kota Dabo. Tingginya sekitar dua meter dengan puncak tugu berupa sebuah miniatur mangkuk pengeruk berwarna perak yang sering dijumpai pada kapal keruk. Mangkuk tersebut ditopang sebuah tugu berukuran 150 x 150 cm dengan bagian bawahnya mirip sebuah cawan balok timah yang ditopang dua undak anak tangga. Di tugu tersebut terdapat sebuah prasasti yang tertulis tentang sejarah penambangan timah di pulau Singkep yang pada mulanya dilakukan oleh kesultanan Lingga pada abad 18. Pusat pemerintahan dan perkantoran pemerintah daerah maupun UPT Singkep berada di Dabo. Ranto menyusuri setiap sudut pulau ini. Terdapat beberapa kolong bekas penambangan yang sudah menjadi danau, sebagian besar kolong yang lain masih aktif dilakukan penambangan timah. Tantangan Ranto di pulau ini adalah meningkatkan produksi timah di tengah merosotnya produktivitas timah nasional, dimana pada tahun 1966 mengalami titik balik yang signifikan. Di Dabo juga terdapat masjid yang dibangun oleh UPT Singkep pada tahun 1961. Masjid Azzulfa namanya. Masjid ini menjadi kebanggaan masyarakat Singkep yang religius. Mayoritas masyarakatnya beragama islam, sebagian ada yang Kristen dan Budha. Tidak banyak masjid yang memiliki keindahan arsitektur seperti Azzulfa. Sebuah tulisan kaligrafi berbahan timah terpampang istimewa di atas pintu masuk masjid ini. Sebagai pusat pertambangan, tentu saja Singkep dilengkapi dengan pelabuhan. Pelabuhan Dabo yang memiliki panjang 400 meter dari garis pantai ini sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal penarik (tug boat) dan tongkang pengangkut timah. Pelabuhan ini hanya dipenuhi kapal-kapal milik PN Tambang Timah, hanya sedikit kapal-kapal motor penumpang lain, dikarenakan ombak di pantai ini tergolong kuat. Pusat perekonomian (pertokoan) Singkep ada di Dabo. Pertokoan ini pernah mengalami sejarah yang kelam. Belasan rumah toko (Ruko) habis dilahap si jago merah pada tahun 1985. Pada saat itu konstruksi bangunan pertokoan masih semi permanen (bangunan kayu), sehingga kebakaran begitu cepat menghanguskan bangunan-bangunan itu. Budaya masyarakat yang sangat melekat di kota ini adalah kopi. Sebagian besar pedagangnya datang dari etnis Tionghoa. Delapan kilometer dari Kota Dabo terdapat pantai nan indah bernama Pantai Batu 74

MENAMBANG TIMAH Berdaun. Penamaan demikian karena adanya batu besar yang di atasnya tumbuh pohon- pohon kecil (bagi penggemar bonsai biasa menyebutnya dengan tanaman ‘Saike’). Pantai yang membentang ke arah tenggara ini memiliki butiran pasir putih yang halus dan ditumbuhi cemara angin (penduduk setempat menyebutnya ‘Pokok Ru’), pohon kelapa, pandan, dan Leban. Pantai ini menjadi tempat hiburan kebanggaan masyarakat, terutama pada malam pergantian tahun. Lebih dekat dengan Dabo sekitar 1,5 km terdapat Pantai Sergang. Jarak yang dekat, pasir pantai yang bersih, suasana yang teduh oleh rimbunnya pohon cemara angin ditambah fasilitas bungalo sebagai tempat bersantai, membuat pantai ini pun menjadi pilihan untuk bersantai. Sekitar 300 meter dari Sergang, ke arah barat daya terdapat Pantai Nusantara. Sebelah barat Pantai Nusantara, sekitar 200 meter ada Tanjung Jodoh tempat dua sejoli mengikrarkan janji sehati. Lebih jauh lagi, sekitar 10 km dari Kota Dabo ada objek wisata air terjun dan pemandian yang dikenal dengan nama Batu Ampar. Tempat yang terletak di kaki Gunung Muncung ini memiliki aliran air yang deras dan jernih dengan hamparan bebatuan di sepanjang alirannya. Ditambah nuansa hutan yang masih alami membuat suasana sejuk dan tenang sangat mendominasi tempat ini. Nama Batu Ampar diberikan karena di sepanjang aliran air tersebut dahulu banyak sekali batuan yang berhamparan. Selesai sudah jalan-jalan. Kini saatnya Ranto memimpin para bawahannya untuk misi menggenjot produktivitas timah dari unit Singkep. Seharusnya tidak ada lagi keluhan tentang fasilitas dan gaji, para karyawan semestinya sudah fokus ke misi perusahaan. Gaji karyawan Timah ditentukan menurut ketentuan gaji pegawai sipil Nomor 23/ PGPS/1968, ditambah pembagian delapan macam bahan pokok makanan, sandang, fasilitas pengobatan yang baik, kendaraan, perumahan, berbagai tunjangan, dan bonus lain yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Disadari saat itu, PN Timah ibarat kapal berpenumpang over capacity. Sampai tahun 1969, jumlah karyawan sebanyak 28.015 dengan kemampuan produksi 17.415 ton per tahun. Artinya produktivitasnya sekitar 0,6 ton per karyawan. Sedangkan saat yang sama Malaysia dengan tenaga kerja sebanyak 46.000 orang mampu memproduksi 73.800 ton, dengan demikian satu orangnya rata-rata memproduksi 1,6 ton per tahun. *** 75

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Tugu prasasti timah dan Masjid Azzulfa, Dabo, Singkep. Gunung Muncung saat matahari terbenam (atas), dan pantai Batu Berdaun. 76

MENAMBANG TIMAH Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau kecil ini, Soeranto mulai menemukan tantangan yang lebih besar. Ternyata ada hal yang membuat produktivitas pekerja disini melorot. Yaitu adanya “gesekan-gesekan” dan “riak-riak” antara para pekerja pendatang dengan masyarakat lokal. Dalam kondisi seperti itu, pertama Ranto melakukan pendekatan dengan semua unsur pemerintah daerah, polisi, camat, kejaksaan, dan lain-lain unsur masyarakat. Kedua, dia melakukan silaturahmi dengan semua tokoh masyarakat lokal yang berpengaruh, diantaranya Mansyur Saleh, Tengku Adnan, Ismatuhom, Pak Long, Said Ahmad, Arsjik Ahmad, dan Encik Ripin. Ketiga, Ranto membagi waktunya untuk melakukan shalat jumat bersama masyarakat di 2 mesjid besar yang ada di Dabo, yaitu Masjid Dagang dan Masjid Azzulfa secara bergantian, yang mana kedua mesjid itu juga digunakan bersama oleh para pekerja pendatang. Dari segi misi perusahaan, hal ini juga tercapai, yaitu membangun hubungan baik dengan masyarakat, membina kekeluargaan antar karyawan, mendidik anak, dan seterusnya. Di pulau Singkep inilah, Ranto semakin merasakan beruntungnya memiliki Roswita yang tidak saja hebat dalam memerankan ibu rumah tangga, mengasuh anak- anak, tapi sekaligus juga sebagai orang hebat di balik kesuksesan Ranto sejauh ini. Aktif di organisasi wanita, bahkan di Singkep Roswita memimpinnya, tak membuat dia melupakan kewajiban seorang istri dan ibunya anak-anak. Ranto mengakui, istri tercintanya selalu ada di saat dia membutuhkan. Sadar akan kelemahan suaminya yang kaku dalam hubungan interpersonal, Roswita selalu memberikan dorongan. Di mata Ranto, sikap supel istrinya ini sukses menutupi kelemahannya, dan untungnya mereka berdua relatif dapat bekerjasama dengan baik, dan bagusnya Ranto banyak mendengar masukkan dari istrinya. Hal itu diakui anak perempuan Ranto satu-satunya, Walla Tridhany. “Papa banyak mengadopsi masukan dari Mama, tentu saja untuk hal-hal yang berguna dalam menunjang kariernya sebagai pimpinan di daerah operasi perusahaan. Baik dalam urusan kantor, apalagi soal hubungan sosial dengan bawahan dan keluarga mereka, maupun dengan pimpinan daerah yang ada di sana, baik dari pemerintahan, angkatan bersenjata, atau pajak,” tutur Walla. Penilaian dan kenangan lain dikisahkan Koko yang sudah mulai mengerti, menghayati, dan menikmati peran Papa saat di Singkep. Ketika dia beranjak menjadi siswa SMP di Sekolah Timah, dia sering memanfaatkan jam kerja Papa untuk ikut menambang. Pukul 07.00 sampai 11.30 Papa bekerja, setelahnya pulang untuk makan siang dan istirahat 77

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI seperlunya di rumah. Pukul 14.00, Papa berangkat lagi ke lapangan. Koko bercerita, saat waktu kerja siang setelah istirahat, Papa selalu meluangkan waktunya ke lapangan atau ke tambang, karena paginya sudah di depan meja. “Kalau hanya mendengar laporan bawahan tanpa melihat lapangan, kita tidak mengetahui masalah sesungguhnya”, demikian katanya. Koko ingat saat itu di mobil papa (sedan HOLDEN Primeir) tersedia sepasang sepatu boot dan sebuah topi tambang punya papa. Koko juga tidak mau kalah, minta disiapkan hal serupa bila ingin mengajaknya ke tambang, dan itu segera disiapkan.“Dia selalu berupaya memenuhi keiginan anaknya,” kata Koko. Banyak hal yang Koko pahami tentang bagaimana Papa memantau kinerja pekerja tambang. Terkadang beliau membawa ‘stethoscope’ yang sering dipakai seorang dokter, untuk mendengar kualitas mineral yang mengalir dalam pipa berukuran 12 dim, begitu istilah dia (kira-kira berdiameter 30 cm). Cara lainnya, dia menempelkan telinganya di pipa yang sedang dialiri air dan mineral di dalamnya. Papa juga selalu membawa alat pengukur kecepatan putaran pompa (RPM-= Rotation Per Minutes) untuk mendapatkan tenaga optimal sebuah pompa dibandingkan dengan konsumsi bahan bakar solar. Kalau putarannya tidak sesuai, tanpa persetujuan petugas maupun kepala tambang, papa sendiri yang turun tangan ke mesin pompa untuk menyesuaikan RPM nya. Setelah itu Papa selalu mengajari dan memberikan arahan kepada pekerjanya yang tidak paham akan operasi mesin-mesin tambang, tanpa memarahinya sedikitpun akan kekeliruan mereka. Suatu ketika, saat musim hujan di Dabo tahun 1975, salah satu tambang timah di Pulau Singkep mengalami musibah. Tanggul atau dam penahan air jebol sehingga menggenangi areal tambang. Beberapa mesin pompa terendam dan tidak sempat diangkat, termasuk satu orang pegawai hilang tenggelam, yang terakhir ditahui bernama Ali Ding. Malam itu juga Koko diajak papa ke lapangan karena beliau harus memimpin pencarian korban. “Saat itu mereka didampingi oleh teman kerja papa bernama Om Goentoro”, demikian Koko menuturkan. Proses pencarian korban terasa mencekam karena gelapnya malam dan kondisi air yang sangat pekat seperti lumpur sehingga tidak memungkinkan melihat sesuatu didalam air. Hati Koko dag dig dug melihat para pegawai berenang dan menyelam mencari korban dibawah penerangan lampu sorot berkapasitas tinggi. Walaupun papa tidak bisa berenang, dia terus mendampingi proses pencarian dari tepi tambang. Papa menugaskan anggota POLSUS = Polisi Khusus Timah dan orang-orang asal Buton yang terkenal pintar 78

MENAMBANG TIMAH Mengunjungi lokasi tambang di Karimun. menyelam dan bisa berada dibawah air hingga lima menit tanpa alat bantu. Menjelang pukul 22.00 malam, kepala tambang berteriak di suatu sudut tambang, bahwa tongkat pencari yang dia pegang menyentuh sesuatu di dasar tambang. Beberapa penyelam segera menceburkan dirinya ke arah tersebut dan menemukan korban yang telah meninggal dunia. Malam itu juga, mayat korban dibawa ke Kamar Jenazah Rumah Sakit Timah untuk diautopsi. Dari kejadian tersebut Koko memberi kesan tegas pada Papanya, dalam keadaan sesulit apapun, seorang pimpinan harus berada diantara rekan kerjanya untuk menyelesaikan masalah yang ada. Ranto dan para karyawan Timah, khususnya operator kapal keruk, juga pernah mengalami kejadian yang memicu detak jantung. Suatu malam tiba-tiba terdengar dentuman keras dari laut lepas ketika mangkuk keruk membentur seonggok bom sisa- sisa Perang Dunia II. Ranto melaporkan penemuan tersebut ke pimpinan pusat di Jakarta. Laporan tersebut kemudian diteruskan dan ditindaklanjuti ke Resimen Pasukan Khusus 79

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Angkatan Darat (RPKAD) yang kini bernama Kopassus. Bom-bon itu pun kemudian diledakkan oleh RPKAD di lepas pantai. Masih menurut cerita Koko, di Dabo, Papa memiliki sebidang lahan kebun di jalan menuju Gunung Muncung. Lahan satu bukit itu ditanami Cengkeh dan Nanas dan setiap weekend mereka diajak ke kebun untuk merapikan tanaman, membakar rumput- rumput liar dan menggunting dahan-dahan jeruk yang sudah tidak beraturan. Setelah itu beristirahat sebentar di pondok yang ada. Di situ papa menyalurkan bakat berkebunnya dan bekerja menyiram tanamannya dengan pupuk dan pestisida. Saat itu, alat pompa spayer yang dimiliki papa sudah tergolong cukup canggih dalam menyemprotkan pestisida, dipompa dan digendong dipunggungya. Dari jauh Koko bisa melihat dia menyemprotkan pestisida dengan tabung kuning dipunggungnya, dan parang yang terselip di pinggangnya. Walaupun saat itu papa adalah orang nomor satu di PT Tambang Timah di Pulau Singkep, papa tidak segan-segan untuk bekerja seperti petani lainnya, mencangkul dan membersihkan tanamannya. Sifat sederhana tetap terlihat melekat pada dirinya. Perhatian Ranto kepada pendidikan anak-anaknya mulai terbukti, misalnya saat Koko di bangku SMP. Koko meniru bakat Papanya, yaitu sangat tertarik pada pelajaran eksak. Aljabar, Ilmu ukur, dan Ilmu Hayat merupakan andalan Koko saat itu, dan di Rapor selalu mendapatkan angka 9.Dengan bantuan papa, setiap PR yang Koko selesaikan selalu ada cara-cara alternatif dalam menemukan jawaban. Hal ini membuat Koko bangga di depan teman-teman lain di kelasnya. Ilmu ukur sudut dengan rumus-rumus Trigonometri dan Goniometri selalu bisa Koko lahap dengan cepat di sekolah. Tak heran bila saat Koko di SMP 710 di Dabo tahun 1976 bisa meraih Penghargaan dari Kanwil Pendidikan dan Kebudayan Propinsi Riau sebagai Pelajar Teladan Tingkat Kabupaten. Papa terkesan pintar dan cerdas otaknya menurut saya, terutama untuk hal-hal yang bersifat teknis, hitung menghitung, dan eksak. Extrakurikuler dan mengaji termasuk kegiatan yang diwajibkan papa dan mama. Sore hari sekitar jam 16. Dua kali seminggu guru ngaji akan datang ke rumah untuk mengajari mereka membaca Al Quran. Mengaji diakhiri saat magrib tiba dengan shalat magrib berjamaah, dipimpin oleh guru ngaji mereka yang bernama Pak Bustami. Rasa bosan untuk mengaji kadang-kadang juga menerpa anak-anak seperti mereka, sehingga kadang-kadang bila dari jauh mereka melihat Pak Bustami datang dengan sepedanya, meraka kabur dari rumah. Kadang-kadang mama marah mendengar laporan Pak Bustami 80

MENAMBANG TIMAH terkait tingkah laku anak-anaknya. Jalan keluar dicari, dan memreka diberi pilihan untuk merubah satu hari dalam seminggu untuk memilih les Gitar atau les Piano. Guru les pun dicari untuk mendampingi waktu sore hari mereka sehingga tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidakbermanfaat. Dari sini terlihat sikap demokratis papa dan mama dalam mendidik anak-anaknya. Koko menuturkan, dia dan dua adiknya, yaitu Widhy dan Walla suka mengantar Papa ke bandara ketika hendak dinas ke Jakarta. Mereka izin terlebih dulu ke guru, tidak mentang-mentang anak pimpinan tertinggi UPT Singkep. Kepulangan Papa juga terus ditunggu mereka untuk mendapatkan Koran dan aneka mainan lain dari Jakarta. Akses informasi di Singkep hanya Koran yang didatangkan dengan pesawat setiap Selasa dan Kamis. Selain Koran, mereka juga sangat menggemari majalah ‘Si Kuncung’ yang saat itu sedang popular di kalangan anak-anak. Kasih sayang Ranto pada anak-anaknya juga dicontohkan Walla. Tidur adalah siklus hidup manusia dan hak semua orang menjalaninya. Tidur juga sekaligus sebagai obat yang baik untuk kesehatan. Menyadari itu, Ranto selalu berusaha untuk tidak membuat anak-anaknya terbangun. Bahkan Walla mengaku sering melihat Papanya jalan berinjit- injit dan memutar handle pintu kamar mandi perlahan-lahan supaya Mama dan Walla tidak terbangun dari tidur malam (kebetulan kamar Walla dan mama - papa selalu ber- connecting sampai Walla SMA). Usai ke kamar mandi dan mengambil wudhu, Papa melaksanakan sholat Tahajjud seperti yang selalu dia laksanakan setiap harinya. “Papa juga selalu pakai lampu senter kalau membaca surat Yasin sesudah solat tahajjud karena tidak mau menyalakan lampu kamar yang akan membangunkan mama,” Walla berkisah. Dalam pekerjaan, Ranto juga dikenal Walla sebagai orang yang tidak mau mengganggu orang lain bilamana tidak diperlukan sekali. Jarang minta tolong. Hampir semua pekerjaan dikerjakan sendiri, bahkan pekerjaan di rumah sekalipun, atau bahkan ketika dia harus dengan susah payah melakukannya. *** Satu lagi yang tidak dilewatkan Ranto dalam membangun Singkep adalah potensi keindahan Gunung muncung. Gunung ini berjarak 15 km dari pusat kota Dabo dan memiliki ketinggian hanya 450 m dpl. 81

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Selain akses informasi berupa Koran dan radio, UPT Singkep di bawah pimpinan Ranto memfasilitasi pembangunan Stasiun Relay TVRI di puncak Gunung Muncung pada tahun 1978 demi kebutuhan sarana hiburan dan informasi televisi bagi masyarakat Singkep. Hal ini sesuai dengan tugas yang diamanatkan pimpinan PN Timah, untuk membuat relay TVRI dari Bangka, Belitung, sampai Singkep. Sejak saat itu, pada tahun 1974-an masyarakat Singkep sudah bisa menikmati acara- acara TVRI. Dan dari puncak gunung muncung ini bisa dinikmati pemandangan yang sangat indah dengan melihat sekeliling Pulau Singkep, apalagi untuk menikmati sunset dan sunrise. Untuk program ini, menurut pengakuan Goentoro, Sekretaris Umum UPT Singkep saat itu, Ranto memberikan genset untuk para lurah beserta pesawat televisinya. Karena relay station dari Bangka, maka tidak heran jika yang masuk adalah acara-acara dari Provinsi Sumatera Selatan yang saat itu dipimpin oleh gubernur yang seorang jenderal bernama H. Asnawi Mangkualam. Setiap hari TVRI Sumsel menyiarkan peliputan aktifitas Gubernur Asnawi. Hal ini memberikan informasi yang tertanam di benak anak- anak Singkep, dan Bangka Belitung bahwa gubernur mereka adalah Asnawi Mangkualam. Lucunya, anak-anak SD Timah ketika ditanya siapa gubernur Riau, jawabnya Asnawi Mangkualam. Kasus tersebut kemudian ramai. Bermula dari laporan seorang camat yang pernah didatangi wartawan. Wartawan tersebut sebetulnya atas undangan PN Timah. Begitu melihat keadaan Singkep, wartawan tersebut ingin melengkapi peliputannya dengan bertanya kepada salah satu Camat. Tidak sadar pernyataannya bakal diberitakan melalui Koran Sinar Harapan, Camat dengan bersemangat menceritakan percepatan pembangunan di Singkep karena adanya PN Timah. Lugunya, dia pun menceritakan bahwa popularitas Gubernur Riau di Singkep sendiri tenggelam, bahkan anak-anak sekolah dan masyarakat Singkep tahunya bahwa Gubernur mereka adaah Asnawai Mangkualam, si Gubernur Sumsel. Saat itu memang faktanya Gubernur Riau dan para bupatinya tidak pernah berkunjung ke Singkep, meskipun sebagai pemasok devisa ke kas Propinsi Riau. Atas pemberitaan tersebut, akhirnya datanglah sang Gubernur Riau bersama semua jajarannya ke Singkep dengan menumpangi kapal milik Bea Cukai. Saat kejadian berlangsung, Ranto sedang ada di Amerika. Akhirnya semua ditangani Sekretarisnya, Goentoro. Pak Goen ditelepon pak camat dengan nada suara gemetar dan panik seperti orang terkena malaria. Apa yang terjadi sesudah itu, Gubernur dan rombongannya benar- 82

MENAMBANG TIMAH Soeranto dan Chalil Effendi, Kuasa Direksi sedang mengantar rombongan tamu dari Jakarta di bandara Dabo, Singkep. Dilain kesempatan Koko dan kedua adiknya Walla dan Widhy juga suka mengantar papanya- yang akan melakukan perjalanan dinas ke bandara. Stasiun Relay TVRI & UHF Gunung Muncung, Dabo. 83

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI benar tercengang melihat Singkep dengan semua yang sudah dibangun oleh Timah. Untuk menjaga wibawanya, Gubernur tetap marah-marah pada semua aparatur Negara di Singkep, termasuk masyarakatnya. Masyarakat hanya bereaksi dengan satu kalimat tanya bernada Melayu dan tetap cuek tidak tahu siapa si Gubernur itu: Siape nih orang, baru datang kok marah-marah? Menengok infrastruktur lainnya, bandara Singkep dulu sudah bisa dilewati Dakota rute Jakarta – Bangka – Singkep – Tanjung Pinang. Sejak terjadinya konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, dikenal juga dengan ‘Ganyang Malaysia’, saat itu penerbangan Dakota dan pesawat yang lainnya mengurangi penerbangan ke Singkep. Dalam kondisi perlawanan Ganyang Malaysia, mereka semua pegawai Timah menjadi relawan. Sebelumnya mereka dibekali pelatihan militer dan dipersenjatai. Termasuk Ranto yang sudah dilatih dari Bangka, dan Goentoro yang mengalami pelatihan di Jakarta di jaman pembebasan Irian Barat. Ada juga yang dilatih sebatas untuk kesiagaan.Pergolakan melawan Malaysia membuat semua rakyat dilatih kemiliteran, tidak hanya PNS dan pegawai BUMN. Dengan konfrontasi melawan Malaysia berakibat menyusahkan para pegawai di Singkep karena mata uang masyarakat di sana memakai dolar Singapura yang masih menjadi bagian dari Malaysia. Singkep dan masyarakatnya sejak jaman penjajahan Belanda tidak kenal rupiah. Uang yang beredar di sana adalah dollar Singapura. Singkep termasuk daerah di luar pabean, sehingga mereka sangat tergantung dari Singapura. Masyararkat sudah terbiasa dengan transaksi dollar Singapura, bahkan barang-barang yang dikonsumsi mereka sebagian besar dari Singapura. Khusus keluarga pegawai Timah, kadangkala bahan-bahan pokok seperti sayuran, cabe, kol, dan lainnya didatangkan dari Jakarta memakai pesawat. Itu pun mengandalkan pegawai Timah yang kebetulan dinas ke Jakarta. Selebihnya, konsumsi makanan, minum, peralatan, dan basic needs mereka harus didatangkan dari Singapura dengan kapal. Pecahnya konfrontasi membuat hubungan Singkep dan Singapura merenggang dan akibatnya mata uang masyarakat Singkep memakai rupiah. Sempat terjadi gejolak psikologis, mereka tidak biasa dengan mata uang dengan angka yang banyak. Tapi rupanya tidak hanya psikologis, secara admintrasi juga belum siap. Belum ada mesin hitung sampai nilai jutaan rupiah. Sementara kas perusahan Timah di Singkep saja hanya ada angka ratusan ribu (dollar Singapura). *** 84

MENAMBANG TIMAH Pulau kecil seperti Singkep tidak banyak didapati hiburan. Rekreasi dan hiburan diciptakan sendiri. UPT Singkep di era Soeranto membangun sarana olah raga seperti lapangan bola voli dan tenis. Setiap Sabtu sore pegawai bermain bola voli, dan hari lainnya diisi tenis dan cabang olah raga lain. Tidak hanya dimanfaatkan oleh pegawai Timah, sarana olah raga itu juga dibuka untuk masyarakat umum dan aparatur Pemerintah Daerah setempat, seperti polisi, kejaksaan, dan lainnya. Hiburan malam juga ada, setiap malam minggu semua pejabat nonton film bareng di aula Wisma Ria. Tidak sebatas olah raga dan nonton film bareng, setiap ada peningkatan hasil produksi, timah juga sering mendatangkan artis-artis ngetop ibukota. Diantaranya yang pernah datang ke Singkep adalah Bob Tutupoli, Anna Mantovani, Koes Plus, Frans Daromez, Teti Kadi, Sitompul Sister, dll. Jika di lapangan sudah mulai terdengar musik live, semua karyawan bahkan juga masyarakat akan berdatangan dari pelosok Dabo. Mereka menghibur bergantian setiap tahun. Dibandingkan dengan yang lainnya, Ranto diakui oleh para koleganya memang sosok pendiam. Tapi di Singkep, semua orang tidak betul-betul menjadi pendiam. Ada banyak cara mengisi kejenuhan, merekatkan kekeluargaan. Ranto juga lawan bicara yang menyenangkan jika memang sudah masuk ke pembicaraan. Semua bawahan dianggap Ranto sebagai teman. Inilah yang membuat kekeluargaan di antara para pegawai begitu berkesan. Pada suatu malam tanggal 29 April, Guntoro mengkoordinasikan para pegawai Timah Singkep untuk menyambut hari spesial pimpinannya.Tengah malam mereka merapat di salah satu bukit. Membawa kendaraan masing-masing beserta para istri, mereka meluncur menuju rumah dinas Ranto. Tepat pukul 00.01 WIB, pintu rumah Ranto digedor para tamu tak diundang. Ranto, istri dan anak-anaknya kaget dengan perlakuan anak buahnya. Setengah dipaksa, Ranto diminta meniup lilin. Setelah berdoa, tiba gilirannya Ranto diminta memotong kue tart yang sudah disiapkan oleh skenario. Apa yang terjadi? Ranto tersenyum memotong lapisan kue paling luar, tapi dongkol bercampur tawa saat pisau di tangan menggorok lapisan papan. Ada-ada saja … Goentoro. Kue tart ulang tahun Ranto dibuat dari kayu.... Kehangatan keluarga pegawai Timah juga mewujud dalam bentuk yang lebih edukatif. Misalnya dengan meminta pegawai yang baru pulang dari perjalanan dinas ke luar kota mempresentasikan yang dialaminya kepada pegawai lain di Wisma Ria. Atau jika ada pengalaman menarik di lapangan selama bertugas juga bisa dibagi di balai pertemuan itu. Seperti yang diceritakan Walla, sebagai pimpinan di daerah sering kali karyawan atau 85

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Para pejabat UPT Singkep menyambut Menteri Pertambangan RI dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Di tempat pencucian timah Dabo, bersama Menteri Pertambangan, Duta Besar Inggris dan Dirut PN Timah. 86

MENAMBANG TIMAH keluarga karyawan datang kerumah Ranto untuk berkonsultasi. Masalah pekerjaan dan juga sering masalah keluarga. Bila datang kerumah untuk masalah keluarga biasanya Ranto meminta Roswita ikut menyelesaikannya. Namun tidak jarang di antara keduanya terjadi adu argumen. “Biasanya Papa yang lebih banyak mengalah. Seringkali papa mengalah karena sulit atau tidak bisa berdebat atau sulit mengutarakan dengan kata-kata apa yang menjadi maksudnya, jadi lebih memilih diam. Sedangkan mama tipe yang extrovert seperti tipikal orang Sumatera yang cenderung terbuka dan “to the point”. Kadang kala saya ikut mambantu menterjemahkan maksud Papa dengan kata-kat. Alhamdulilah lebih banyak berhasilnya daripada gagalnya,” kata Walla. Ranto juga dikenal si pembawa hoki, utamanya oleh para keturunan China yang menguasai unit-unit penambangan di Singkep. Jika tempatnya dikunjungi Ranto, hampir selalu ada kenaikan produksi, tiap kali Ranto periksa kapal keruk, hasil timah bertambah banyak. Ranto pun bukan menganggap itu sebuah hoki. Orang Chinan memang sangat kental dengen kepercayaan ini. Tapi mungkin bagi Ranto sendiri, apresiasi perlu diberikan kepada para pekerja dari kalangan etnis ini, baik di sistem pengeboran, eksplorasi, penambang, dan yang lainnya karena biasanya hasil pekerjaan dan cara mereka bekerja dilakukan dengan bersih. Masih terkait dengan efek konfrontasi, pesawat terbang yang ada hanya seminggu sekali. Itupun pesawat carteran. Di singkep tidak ada daging sapi. Jika ada kendurian, sohibul hajat harus pesan sendiri. Penduduk sekitar juga sudah ada yang berusaha bercocok tanam, namun gagal karena tanahnya yang berkapur. Masyarakat lebih suka bercocok tanam dengan tanaman yang keras,seperti karet. Hampir semua pedagang pernah mencoba bercocok tanam sayuran dan cabe, namun hasilnya cabe pun tidak mau memerah. Sejak jaman Belanda, sayuran didatangkan dari Singapura. Kelangkaan pangan berbanding sangat kontras dengan fisik infrastruktur yang dibangun PN Timah di Singkep. Dari mulai jalan, listrik, air dibangun Timah. Ranto mulai mengembangkan Singkep. Hingga sekolah dasar, taman kanak-kanak (TK), sampai panti yatim piatu pun didirikan untuk melengkapi sarana lain yang sudah duluan ada. Ranto banyak disukai masyarakat karena banyak membawa sesuatu yang baru. Bahkan Ranto mendatangkan guru-guru yang berkualitas dari pulau Jawa untuk membuka mata masyarakat Singkep melalui pendidikan. Di bawah pimpinan Ranto masuk perangkat telekomunikasi seperti telegraf yang 87

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI disponsori Siemens. Kemajuan yang pesat karena tadinya hanya ada radio. Banyak yang memonitor mobilitas orang-orang Singkep, baik karyawan timah maupun masyarakat biasa. Bahkan ketika ada isu kedatangan tamu, pejabat, mutasi, maupun mobilitas lain, semua masyarakat sudah kena sebaran informasinya. Segala sesuatu informasi terkait Timah selalu menjadi bahan pembicaraan yang menyegarkan di saat-saat nongkrong, maupun di sela-sela aktifitas masyarakat yang lain. Goentoro pernah merasa kaget ketika pindah dari Jakarta ke Singkep di awal tahun 1973 untuk membantu Ranto men-drive UPT Singkep. Kekagetannya bermula dari pengamatan terhadap rumah-rumah nan kecil tapi sudah ada radio, semua fasilitas lengkap. Sesampainya di pos kontrol, dia juga heran karena ternyata si penjaga pos sudah tahu namanya dan sekaligus tujuan ke Singkep mau apa. Tapi lucunya, masyarakat sering mengambil untung juga dengan ketidakberesan di internal Timah. Misalnya ketika kiriman beras 150 ton untuk pegawai terlambat datang, maka harga beras di pasar mendadak terkatrol naik. Ketergantungan kepada logistik dari Singapura masih tinggi, termasuk sparepart, dan depot-depot logistik yang diperlukan. Untungnya saat itu banyak kontraktor yang menjalin kerja dengan PN Timah. Mereka sering membawakan makanan dan logistik yang dibutuhkan pegawai Timah di tengah kelangkaan yang sering terjadi. Tanpa sengaja untuk sering-sering menyebut nama Roswita, namun tak kuasa rasanya jika cerita kiprah Ranto dengan mengabaikan sosok hebat di belakangnya. Roswita diakui Didiet, anak tertua, adalah Ibu sekaligus istri yang yang hebat. Dia berhasil menjembatani kurangnya skill komunikasi Ranto yang cenderung tidak terlalu luwes sebagai pimpinan. Kemampuan manajerial tokoh di belakang layar pelan-pelan ditunjukkan Roswita. Dia mendirikan perpustakaan mini di area Wisma Ria, sebuah ruang serba guna milik Timah. Koleksinya terdiri dari buku dan majalah koleksi keluarga, seperi majalah Selekta, Varia, dan aneka jenis bahan bacaan lainnya. Roswita juga mendirikan Sekolah Kepandaian Putri atau SKP (setingkat SMP), dan panti asuhan. “Saya bangga dengan ketangguhan Mama. Hingga beberapa bulan sebelumnya, dia masih aktif di lingkaran Dharma Wanita. Dia juga waktu di pulau sering memasak dengan skala besar bak orang hajatan. Satu minggu bisa 3 -4 kali memasak untuk tamu, untung selalu dibantu ibu-ibu karyawan lain dan ibu-ibu Muspida,” cerita Didiet lagi. Disebutkan Didiet, tidak hanya itu yang paling berkesan. Papa dan Mama adalah sosok pimpinan yang benar-benar merangkul semua karyawan sehangat keluarga. Bisa 88

MENAMBANG TIMAH Tempat rekreasi Pagoda, di kawasan Bukit Timah perumahan karyawan PN Timah. dibayangkan, di tengah kesibukannya, mereka berdua selalu menyempatkan untuk memenuhi undangan hajatan dari karyawannya, di manapun rumahnya tinggal didatangi. Satu minggu bisa ada 3 – 4 kali undangan. Salah satu pendekatan lain Ranto kepada masyarakat Dabo adalah pelayanan air bersih sebagai kebutuhan pokok untuk produksi, kebutuhan hidup karyawan beserta keluarga dan masyarakat. Saat Dabo bergantung pada air bersih yang diolah dari kolong bekas tambang timah, airnya relatif keruh dan kering saat musim kemarau. Berbagai upaya dilakukannya dengan melakukan survey ke lokasi-lokasi sumber air yang memungkinkan dimanfaatkan sebagai air bersih. Akhirnya setelah melakukan berbagai upaya, Ranto menemukan sebuah lokasi sumber air bersih di kaki Gunung Muncung yang disebut Air Gemuruh. Dengan membanguan sistem perpipaan transmisi dari sumber air tersebut ke sebuah reservoir yang berada di Dabo sejauh lebih kurang 10 kilometer, masyarakat Dabo hingga saat ini dapat menikmati air bersih dengan kualitas dan kuantitas serta kontinuitas pelayanan yang lebih baik. “Saat papa pulang melakukan survey ke Air Gemuruh, ketika baju yang dikenakan survey dibuka, sudah ada 6 ekor lintah yang gemuk-gemuk melekat dibadannya” demikian kenang Koko, anaknya. Salah satu peninggalan Soeranto lain yang masih ada saat ini di Dabo adalah Pagoda, sebuah kawasan rekreasi dengan bangunan berbentuk segi delapan beserta atap mengkerucut dan berdiri di tengah kolam di kawasan Bukit Timah, perumahan para karyawan PN Timah. Warisan ini menjadi penanda kemewahan dan kerukunan yang diwariskan UPT Singkep untuk pegawai dan masyarakat pada saatnya dulu. 89

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI BMerensajamdai MTuaasnyaRruamkaaht Unit Penambangan Timah Singkep sering kedatangan tamu, baik dari asing maupun lokal. PN Timah kala itu memang banyak memiliki kantor perwakilan di luar negeri. Biasanya para tamu tersebut diajak menyeberang ke pulau Karimun, salah satu Wilayah Produksi yang ada di bawah Unit Penambangan Timah Singkep yang paling dekat dengan Singapura. Siapapun orangnya pasti pernah merasakan mual dan muntah jika tidak biasa menyeberangi pulau Karimun.“Tidak hanya Mamanya Koko, Duta Besar Inggris pun pernah mengalami hal serupa”, demikian papar Goentoro. Singkep juga sering dikunjungi Direktur Utama PN Timah pada masanya seperti Sudarman di era Badan Pimpinan Umum (BPU), Abdul Rachman Ramly, Sujatmiko, Thayib, dan kemudian lainnya. Seperti biasanya, kedatangan para pejabat dari pusat tersebut membuat para pegawai sibuk. Untuk mengakhiri hiruk pikuk pegawai yang sebelumnya sudah sibuk, dibuatlah acara ramah tamah untuk mendekatkan pimpinan dengan pegawai. Ramah tamah pun dilengkapi dengan aneka hiburan, seperti pentas suara, tarian, dan lainnya. Pernah suatu ketika para jenderal yang menjadi Dirut PN Timah tersebut larut dalam permainan kuda lumping. Semua jajaran pejabat dipegangi satu kuda lumping, semuanya menari dengan iringan musik yang menghentak. Ada saat mereka bersama-sama menarikan kuda lumpingnya, dan ada saat dimana hanya satu orang saja yang menari dan harus maju ke depan bak lakon yang ditanggap. Suatu ketika Thayib disebut sesuai nomor yang diacak. Menarilah dia bersama kuda lumpingnya di hadapan ratusan pegawai dan pejabat setempat yang memenuhi Gedung Pertemuan. Pengalaman lain dikisahkan Goentoro yang pernah ditugasi pimpinannya, Ranto, menyambut dan melayani DPR RI komisi VI dalam kunjungan kerjanya ke Singkep. Kunjungan DPR -yang judul aslinya adalah “servis pengurus timah pusat untuk Komisi VI” tersebut terjadi pada tahun 1969 dimana konfrontasi dengan Malaysia baru saja usai. Soeranto, Goentoro dan para pejabat Timah Singkep yang menyambut dua puluhan anggota Komisi VI tersebut sebelumnya belum pernah menyeberang ke Singapura. Saat itu, Bank Nasional Indonesia (BNI) yang ada di Singapura pun ditutup setelah semua uang Indonesia dibekukan. Dengan kabar dari pusat bahwa akan ada kunjungan DPR ke Singkep dan akan menyebarang ke Singapura melewati Karimun, Goentoro dan kawan- 90

MENAMBANG TIMAH dengan Dwi Fungsi ABRI. Sepak terjangnya menjadi alat politik rezim Orde Baru untuk pemenangan Pemilu 1972. Timah beserta BUMN lainya juga dibebani tugas politik untuk memenangkan Golkar. Timah ditugaskan menguningkan 70 persen masyarakat Bangka – Belitung – Singkep yang secara akar rumputnya sudah ‘hijau’. Karena keberhasilan Timah meraup angka itu, Tim Sukses seperti Goentoro ditawari posisi di Jakarta, ada juga salah satu direksi Timah yang menjadi wakil rakyat di parlemen. Selain misi tersebut, Timah juga harus menerima penyaluran personil ABRI ke BUMN. Sebanyak 500 personil ABRI saat itu disebar ke semua BUMN. Dua puluhan orang di antaranya ditugaskan ke Unit Singkep. Para personil tersebut meminta ditugaskan di Kapal Keruk, sebagai Mualim, petugas Laboratorium, dan pos-pos yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan aspek keamanan. Sementara saat itu, Timah mempercayakan keamanan kepada Dandim lokal. Ketika mereka diterima di Singkep, salah seorang staf Ranto di bagian personalia melaporkan telah terjadi ketidakjelian pimpinan pusat dalam meneliti surat-surat keterangan sehat mereka. Dalam keterangan dokter disebutkan bahwa para personil ABRI itu tidak memenuhi syarat secara kesehatan. Untungnya isu tersebut tidak sampai ke telinga masyarakat. Jika sampai masyarakat tahu bakal ramai. Kredibilitas Timah di Singkep akan hancur, lebih jauh lagi hubungan yang dibina baik dengan masyarakat akan luntur. Soeranto pun menugaskan Goentoro terbang ke Jakarta untuk melaporkan kasus tersebut. Tidak ada solusi dari pusat, bahkan Goentoro diminta menerima saja apa adanya mereka. Ketika Goentoro kembali ke Singkep, di luar sepengetahuannya ternyata semua surat keterangan sehat mereka sudah berganti status menjasi ‘Layak’. Goentoro kecolongan, dan Soeranto memintanya mengujicobakan mereka di pos yang diinginkan. Hasilnya? Tidak lama kemudian ada laporan sebuah kapal yang dikendalikan Mualim baru yang ABRI itu menabrak pelabuhan. Padahal mereka memiliki ijasah mualim, dan yang lain seperti petugas laboratorium pun memiliki ijasan terkait. Para pegawai baru itu pun kemudian dikumpulkan oleh Goentoro atas perintah Soeranto. Mereka dijelaskan tentang risiko dalam ruang lingkup penambangan dan segala akibatnya jika ditangani oleh orang yang tidak tepat. Usai diceramahi Goentoro, mereka berkeluh kesah dengan Dandim setempat yang memegang keamanan. Mereka dengan sinis menanyakan siapa sebenarnya Goentoro yang sok itu? Pihak Dandim yang memang dekat dengan Goentoro pun akhirnya memberi 91

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Menerima kunjungan Anggota DPR RI Komisi VI. 92

MENAMBANG TIMAH kawan pun mendadak sibuk. Akhirnya memang Soeranto dan Goentoro mempersiapkan semuanya. Setelah mengunjungi Singkep, anggota DPR diantar ke Pulau Karimun menggunakan kapal tunda penarik tongkang berbobot 150 ton. Pulau Karimun dan Pulau Kundur adalah wilayah operasi penambangan di bawah UPT Singkep. Sesampainya di Pulau Karimun, Soeranto dan Goentoro dihadapkan pada kenyataan syarat administrasi yang harus dipenuhi. Semua yang akan merapat ke Singapura, baik anggota DPR maupun para pengantar dari Timah, tidak satupun yang memiliki paspor. Untungnya Ranto membawa seorang fotografer, yaitu pegawai di bagian personalia di bawah pimpinan Goentoro. Malam sebelum esok paginya ke Singapura, satu per satu anggota DPR diambil gambarnya. Diikuti dengan para pengantar dari Timah dan camat, dokter, Dandim, dan para Muspida setempat yang sengaja diajak untuk melancarkan perjalanan bapak-bapak wakil rakyat tersebut. Syarat – syarat pembuatan paspor yang pada kondisi normal harus menyertakan identitas KTP, surat keterangan sehat dan lain-lain pun dilibas. Mereka kemudian satu per satu menadapatkan Paspor dadakan tersebut dari Imigrasi setempat. Setalah semuanya siap, dan pagi-pagi mulai menyusuri lautan menuju negeri Singa dengan kapal sejenis Feri. Perjalanan Karimun ke Singapura ditempuh selama 4 – 5 jam. Sesampainya di sana, masalah lain sudah menanti. Komunikasi dengan pengurus pusat putus. Lebih tepatnya, tidak ada arahan lebih lanjut tentang siapa yang akan menjemput di pelabuhan, bagaimana prosedur pendaratan dan harus bagaimana jika sudah sampai di sana. Meskipun mereka tahu di Singapura ada kantor perwakilan Timah, namun terputusnya komunikasi sempat menterlantarkan mereka di pelabuhan sebelum akhirnya beberapa orang tergopoh-gopoh menjemput mereka, mereka adalah orang Timah di Singapura, bukan agen. Kejadian yang menggelikan, ketika para Marine Police Singapura mengira rombongan adalah para TKI yang mencoba masuk secara illegal. Akhirnya mereka menginap di bilangan Orchard Road di kawasan Kedutaan Besar RI untuk Singapura. Mereka yang menginap di Orchard Road adalah anggota DPR dan pejabat timah, sementara yang lain mencari penginapan lainnya. Bagaimana nasib kapal yang mengantarkan mereka? Ternyata menjadi jaminan rombongan kepada Marine Police. Aneka kunjungan ke Singkep dari yang lucu, konyol, sampai menjengkelkan dialami Soeranto dan bawahanya. Pada kunjungan kali ini, dikisahkan tentang personil Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mulai menancapkan pengaruhnya 93

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Dalam sebuah kesempatan meninjau lokasi penambangan di Dabo bersama Dirut PN Timah A. Tajib. 94

MENAMBANG TIMAH tahu bahwa Goentoro adalah adik kandung seorang Jenderal penguasa wilayah Sumatera Selatan. Mendengar itu, mereka langsung mendatangi Goentoro dan meminta maaf dan diikuti pengakuan bahwa sertifikat dan ijasan mualim, petugas laboratorium, dan lainnya adalah rekayasa yang sudah diatur di Jakarta. Mereka akhirnya meminta ditugaskan sebagai keamanan di Pulau Karimun dan Pulau Kundur. Ada sebagian yang betah dan menikahi gadis setempat, ada juga yang tak lama kemudian kembali ke Jakarta. Duet Soeranto dan Goentoro mengatur Rumah Timah di Singkep berhasil dijalankan dengan baik. Kebersamaan mereka berdua selama empat tahun (1973-1976) dilalui dengan menata rumah menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk para pegawai, masyarakat Singkep pada umumnya, bahkan membuat nyaman para tamu yang datang ke sana. Mereka di pulau kecil, semua bergantung pada timah. Air minum, listrik, tranportasi, relayed- station TV, dan lainnya sudah dibangun. Para pegawai Timah sudah membaur dengan masyarakat. Ada banyak yang beranak pinak menikahi perempuan lokal. Pak Ranto sering mendatangkan mubalig-mubalig terkenal dari Jakarta. Di bidang olah raga, disana ada kolam renang satu-satunya kolam renang di Riau peninggalan Belanda. “Kami juga mendatangkan pelatih – pelatih untuk cabang-cabang olahraga yang sering dilombakan. Unit Penambangan Timah Singkep pernah juara voli se-sumatera di kelas putra, balap sepeda, juara lomba antar lingkungan tambang. Biasanya yang menjuarai adalah pemuda-pemuda karyawan timah yg terbiasa ngontel dari rumah menuju kantor,” kata Goentoro. 95

Setibanya di Jakarta tahun 1976, Ranto sempat tertekan dengan ketidaksiapan menghadapi dinamika PT. Timah di Jakarta. Fasilitas masih terbatas, beda dengan saat masih di Singkep yang segalanya serba ada. Meskipun Ranto ke Jakarta sudah naik pangkat, hanya saja sebagai orang yang sudah 20 tahunan di pulau pasti merasa terkejut. 96

III Dari Pulau ke Ibu Kota 97

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Mengawasi Dinamika Timah di Jantung Perusahaan Dari damainya Muntilan melintasi sejuknya Banyubiru, lalu Soeranto cukup kenyang menikmati pahit getirnya tanah Ketandan – Klaten yang kini dikenal Toto, Titi, Tentrem, lanKerto Raharjo. Selanjutnya dia menikmati harumnya kota Kembang Bandung dalam ruang Jurusan Teknik Pertambangan. Kemudian garis hidupnya dengan mulus langsung memenuhi panggilan nyiur angin Pulau Bangka dan Singkep, untuk kemudian kembali berlaga di medan Jakarta yang semakin keras. Tahun 1976, Ranto dan keluarganya tiba di Jakarta untuk melanjutkan pengabdiannya di PN Timah. Pada tahun inilah status Perusahaan Negara Tambang Timah berganti menjadi PT Tambang Timah dengan Perseroan Terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1976 tentang pengalihan bentuk perusahaan Negara menjadi perusahaan perseroan. Dengan bentuknya yang baru, diharapkan PT Timah dapat bebas bergerak melakukan usahanya tanpa membebani pemerintah. Jika kepindahan Goentoro ke Jakarta ada sedikit unsur politis karena berjasa ‘menguningkan’ Singkep pada tahun 1972, Ranto pindah karena kebutuhan perusahaan di bidang pengawasan. Inspektur Perusahaan PT Tambang Timah resmi disandangnya sejak 15 Desember 1976. Ia mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Brigjen TNI Abdul Rachman Ramly yang ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Tambang Timah menggantikan Mayjen TNI A. Tajib. Kepindahan Ranto ke Jakarta mendahului Goentoro yang masih di Singkep. 98

DARI PULAU KE IBUKOTA Betapapun Singkep merasa kehilangan sosok Ranto, namun Goentoro yakin perusahaan sudah memilih orang yang tepat menjadi Inspektur. “Pak Ranto masih tegas. Di Jakarta, Pak Ranto sempat mengalami kaget. Pribadi beliau tak akrab dengan budaya kerja Jakarta. Namun ketegasan beliau untungnya dapat tempatnya yang pas, yaitu Inspektur Perusahaan,” tutur Goentoro. Goentoro menambahkan, Pak Ranto selalu berpegangan pada peraturan. Sebagai BUMN, peraturan ada dasarnya. Mislanya, Surat Keputusan yang dibuat harus dengan persetujuan Menteri Pertambangan. Ranto mulai berlari kencang di bawah komando Ramly. Pembenahan dilakukan Ramly di segala aspek karena pemerintah menilai telah terjadi pemborosan di perusahaan ini. Bukti telah terjadi pemborosan terkuak setelah gudang dibuka ternyata di dalamnya terdapat stock yang menumpuk melebihi ketentuan. Misalnya, untuk satu tahun dibutuhkan lima buah, tapi yang ditemukan di gudang sebanyak 12 buah. Sementara stock untuk barang-barang produksi kosong. Selain itu banyak ditemukan stock yang sudah tidak dapat digunakan (dead stock). Untuk mengendalikan itu, Ramly kemudian menerapkan tender untuk pengadaan barang, bukan lagi penunjukkan langsung. Di sinilah kemudian Ranto mendapatkan dasar yang pasti untuk menjalankan peran sebagai pengawas. Ranto sendiri mengakui, segala tindakan harus dicari payung peraturannya. Tantangan Ramly dan gerbong yang dibawanya tidak saja soal stock barang, kegiatan yang dilakukan tidak transparan dan bertanggung jawab rupanya berimbas pada kinerja perusahaan. Kalkulasi Ranto saat itu, jika performance jam kerja kapal keruk dan tambang-tambang terganggu dengan alasan peralatan yang terlalu uzur dan aus, maka biaya perawatan perlu waktu melampuai keadaan normal. Apalagi situasi saat itu, harga timah rata-rata sekitar USD 7.582 per metric ton. Harga juga sewaktu-waktu dapat merosot jika AS melepas 35 ribu ton cadangan timahnya. Di masa Ramly juga pembangunan armada kapal keruk meningkat. Ini perlu, mengingat cadangan timah di darat semakin menipis, sementara cadangan di laut (off shore) masih cukup besar. Pengawasan terhadap pembuatan kapal keruk bukan hal asing bagi Ranto. Dia pernah melakukannya di Glasgow, Skotlandia, 11 tahun lalu. Apalagi kini tantangannya adalah kebijakan pemerintah di era Soeharto yang memerintahkan pembangunan kapal keruk dilakukan di dalam negeri, yaitu di Batam setelah sebelumnya Bangka I dibuat di Skotlandia, dan Bangka II di Jepang. Meskipun pembuatan kapal keruk 99

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI 100


Timah di Tangan Emas. di Hati

The book owner has disabled this books.

Explore Others

Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook