Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Timah di Tangan Emas. di Hati

Timah di Tangan Emas. di Hati

Published by Dagu Komunika Bookcases, 2021-10-22 04:16:22

Description: biografi_Bpk-Soeranto_25Apr-LR

Search

Read the Text Version

Buchori ‘bcr’ Alcireboni Kisah Perjalanan Hidup Soeranto Timah di Tangan Emas di Hati 1



Kalau ibu adalah matahari keluarga, biarlah aku menjadi cahaya yang memberi secercah terang ketika gelap datang... Soeranto 2013



Kisah Perjalanan Hidup Soeranto Timah di Tangan Emas di Hati Seperti yang dituturkan kepada Buchori ‘bcr’ Alcireboni

Pengantar PENULIS Medio Desember 2012 yang lalu saya ditantang orang yang selama ini memberi saya inspirasi sekaligus selalu memberi saya apresiasi. Dwityo Akoro, lebih akrab dipanggil ‘Pak Koko’, memanggil saya ke ruangannya yang kebetulan satu unit kerja di Kementerian Pekerjaan Umum. Dia meminta kesediaan saya untuk menyusun buku biografi Bapak Soeranto, ayah kandungnya. Rencana tersebut diakui Pak Koko sudah diniatkan di bulan yang sama oleh anak-anak dan cucu-cucu Pak Soeranto. Mereka berinisiatif menyusun Buku Biografi Pak Soeranto dan akan diluncurkan pada Hari Ulang Tahun Pak Soeranto 30 April 2013. Namun karena waktu yang dimiliki terbatas, mereka sepakat menunjuk saya untuk merangkum informasi dari berbagai pihak, dan menyusunnya secara sistematis. Spontan saya tidak percaya amanat tersebut dan hampir saja menolaknya. Selama ini Pak Koko mengenal saya hanya sebagai pewarta di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum. Tulisan-tulisan saya hanya untuk mengisi ruang kosong di situs web dan sebuah media cetak internal bernama Buletin Cipta Karya yang terbit berkala sebulan sekali. Dua media tersebut bukan bukti sahih untuk kemudian saya dipercaya Pak Koko menyusun buku biografi. 6

Menyusun buku biografi adalah obsesi terpendam yang akan saya persembahkan untuk Ayah tercinta. Biarpun beliau orang kecil, tapi bagi kami menyimpan pelajaran besar yang harus diceritakan kepada anak cucunya. Meskipun orang biasa, namun luar biasa kisah hidupnya. Tapi obsesi tersebut belum juga terwujud karena banyak hal. Dan ketika saya ditawari Pak Koko menceritakan kisah hidup Pak Soeranto, saya jadi bersemangat untuk menghidupkan kembali obsesi tersebut. Dengan dalih; diawali biografi Pak Soeranto, selanjutnya saya akan membuat hal yang sama untuk Ayah. Meskipun ini adalah pengalaman pertama, saya langsung sanggupi tantangan Pak Koko, orang yang membimbing saya selama lebih kurang lima tahun. Pada pertemuan pertama dengan Pak Soeranto, saya kagumi habis Hamba Allah satu ini. Di usianya yang hampir 80 tahun masih terlihat segar, langkahnya masih cepat, tatapan matanya masih mengobarkan semangat, dan hari-harinya tak dibiarkan kosong. Awalnya saya berharap bakal meraup sebanyak mungkin data primer berupa pengalaman beliau dari kecil hingga menjadi orang. Mendengar sekilas profilnya, saya membayangkan bakal terjadi banyak adegan dalam buku ini nanti. Namun Pak Soeranto ternyata tidak banyak mengumbar kata dan cerita. Di sinilah tantangan saya berawal. Pada proses selanjutnya saya banyak diuntungkan dengan sikap koorporatif Pak Koko dan Saudara-saudaranya. Adik-adik Pak Soeranto pun sangat membantu menambah khasanah cerita mengenai Pak Ranto. Semua testimoni begitu jujur dan mengalir menggambar sosok kepribadian Pak Soeranto sebagai teladan di keluarga dan pahlawan untuk bangsa. Pun demikian dengan koleganya di PT. Tambang Timah, Goentoro, yang memberikan banyak cerita yang selayaknya diketahui oleh yang bersangkutan dan keluarganya. Pak Soeranto di mata saya adalah orang hebat. Dia dilengkapi oleh istri, anak-anak, dan juga keluarga yang penuh sayang. Dari anak stasiun menjadi jajaran direksi PT. Tambang Timah dia lalui dengan lurus tanpa ternoda dengan laku menyimpang. Atas kelurusan hati dan ketekunannya, Allah melimpahkan rahmat dan sayang. Kesyukuran menjalani semua amanatnya, kesabaran menghadapi semua cobaan, ketekunan melakukan pekerjaan, kecintaan pada alam, lingkungan, dan masyarakat sekelilingnya sudah diganjar Allah dengan kesuksesan Pak Soeranto mengakhiri karirnya dengan sehat dan berpayung rahmat. Kini, di usia yang bisa dikatakan senja, Pak Soeranto hanya berharap apa yang sudah dicapai dapat bermanfaat untuk keluarga dan semua orang. Bahwa dia sekarang bisa 7

disebut telah diberikan ‘bonus’ umur oleh Allah, akan didedikasikan sepenuhnya untuk kemanfaatan keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Itulah Pak Soeranto yang pada akhirnya juga banyak memberikan saya pelajaran hidup. Seperti yang disarankan Pak Soeranto dalam setiap kesempatan wawancara, berusahalah menjalankan amanah dengan baik, maka Allah akan memberikan kita yang terbaik. Kita hanya perlu meyakini itu. Wejangan itu pula yang kemudian memantapkan langkah saya menuju titik ini. Akhirnya dengan segala keterbatasan, baik waktu, tenaga, hingga mungkin skill yang pas-pasan, saya berusaha menyuguhkan kisah perjalanan Pak Soeranto. Waktu yang efektif dalam penyusunan buku ini praktis hanya dua bulan, diawali dengan wawancara pada awal Februari 2013 hingga finalisasi konsep di awal April 2013. Pada praktiknya, saya pun diselimuti kebingungan, mau dibawa kemana format buku ini. Saya khawatir tidak mampu memenuhi ekspektasi Pak Koko dan keluarga besarnya, dan utamanya harapan Pak Soeranto sendiri. Kebingungan pertama, apakah saya sanggup menyelesaikan amanat ini sesuai batas waktu yang ditentukan. Kedua, apakah data dan fakta yang saya kumpulkan dari serpihan-serpihan data primer, sekunder, dan literatur lainnya sudah dirasa mencukupi. Ketiga, apakah gaya penulisan saya sama sekali tidak memuaskan? Apakah perlu saya membuat format novel? Apakah dengan kemampuan jurnalistik sastra yang saya miliki mampu meramu semua itu? Apakah pola stakato yang saya pakai pada setiap peralihan sub bab bisa dimaklumi? Untungnya, buku ini dilengkapi dengan foto-foto berkesan yang mencerminkan perjalanan hidup Pak Soeranto. Foto-foto yang didesain secara proporsional dengan isinya bakal membunuh kebosanan terhadap gelontoran teks narasi. Semoga persembahan sederhana dari saya untuk keluarga Pak Soeranto ini bisa diterima dan bermanfaat untuk generasi penerus Pak Soeranto. Terima kasih tak terkira untuk Pak Soeranto dan Ibu Roswita Soeranto yang sudah bersabar meladeni pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan. Terimakasih juga untuk rambutan, telur asin, dan aneka kue yang pernah saya cicipi kelezatannya. Terima kasih juga atas dukungan Pak Koko yang mengatur semua penyusunan buku biografi ini. Rasa hormat dan terima kasih saya haturkan juga kepada seluruh adik-adik Pak Soeranto: Pak Thomas Suyatno, Pak Soedjarot, Pak Harnoko, Bu Ning, dan Bu Sri Kadaringsih. Rasa hormat dan ucap terima kasih kepada anak-anak, menantu dan cucu-cucu kebanggaan Pak Soeranto: Ibu Wala, Pak Widhy, Bu Rista, Bu Lola, Mas Adhi Prabowo, 8

Mas Adrian, Mbak Amanda, Enzo, Elva, dan Kiko. Tidak lupa saya sampaikan terima kasih sebesar-besarnya untuk Pak Goentoro sebagai rekan Pak Soeranto yang sudah memberikan banyak sumbangannya membangun kisah perjalanan pak Soeranto. Tangerang Selatan, 08 April 2013 Buchori ‘bcr’ Alcireboni 9

SEPATAH KATA T raveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller. Kalimat tersebut pernah dilontarkan oleh sang penjelajah dunia muslim asal Maroko, Ibnu Battuta. Sebuah perjalanan menyisakan dua pilihan, apakah hanya tertegun diam atau bisa bermanfaat untuk orang lain dengan menceritakannya. Mungkin saya adalah salah seorang yang terinspirasi dengan Ibnu Battuta. Saya menyimpan hasrat untuk menceritakan perjalanan hidup dari masa ke masa. Pilihan tersebut sangat wajar jika menilik kenyataan kisah hidup saya yang masih banyak terpendam di relung waktu yang saya lalui. Saya ingin anak-anak dan cucu-cucu saya mengambil manfaat dari perjalanan hidup, tentu saja yang baik, sedangkan yang kurang baik bisa diambil hikmahnya. Semoga buku kecil ini bisa mewakili saya untuk bercerita dan bermanfaat bagi pembaca. Meskipun banyak bagian dari perjalanan hidup yang belum diulas, namun setidaknya yang diceritakan di sini diharapkan mampu mewakili runtutan perjalanan saya dari periode-periode penting yang dilewati. Beberapa hal yang belum dimuat dalam buku ini karena waktu penyusunan yang terbatas. Saya sempat beristirahat lama karena sakit. Namun dengan semangat berbagi, 10

saya kemudian menceritakan semuanya kepada penulis agar bisa diramu dengan lebih sistematis. Keterbatasan saya dalam bercerita mudah-mudahan tidak menghalangi penemuan fakta dan kisah hidup saya oleh penulis. Ucapan terima kasih setulusnya saya sampaikan kepada seluruh pihak yang mendukung penyusunan buku ini dengan kesediaannya membagi cerita dan menyumbang foto-foto dan data lainnya untuk melengkapi buku ini. Salam hangat, Soeranto 11



DAFTAR ISI 6 10 PENGANTAR PENULIS 15 SEPATAH KATA I. DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG 45 • Menghirup Udara Lereng Merapi • Manisnya Masa Bermain Anak-Anak 97 • Menjadi Tentara Pelajar yang Beda 121 • Pendidikan Akal dan Budi, Menyepuh Emas di Hati 139 • Kuliah di Tengah Semangat Membara Pemuda 147 II. MENAMBANG TIMAH • Primadona Indonesia Bernama Timah 13 • Meleburkan Tangan di Timah • Menemukan Pendamping Hidup • Membangun ‘Rumah’ Singkep • Menjadi Tuan Rumah Bersama Masyarakat III. DARI PULAU KE IBU KOTA • Mengawasi Dinamika Timah di Jantung Perusahaan • Ke Jakarta Bukan untuk Kembali IV. CAHAYA DALAM KELUARGA • Mozaik Masa Senja • Perekat Keutuhan Keluarga V. EPILOG VI. TESTIMONI

Bayi Ranto menghirup nafas pertamanya di tengah hijaunya persawahan di lereng barat Gunung Merapi. Ranto kecil, menjalani masa-masa anak-anaknya seperti pada umumnya, bermain di sawah mencari kerang, kepiting yuyu, mencari burung, bermain air di sungai, dan lain-lain. 14

I Di bawah Penjajahan Seumur Jagung 15

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Menghirup Udara Lereng Merapi Sawah menghampar hijau di lereng bagian barat Gunung Merapi seperti lukisan nyata yang menjadi wajah Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Sejak tahun 1930an, Muntilan menjadi pusat perdagangan karena letaknya yang strategis, berada di jalur provinsi yang menghubungkan Semarang, Kota Magelang, dan Yogyakarta. Muntilan terletak sekitar 10 Km dari Kota Mungkid, 15 Km dari Kota Magelang dan 25 Km dari Yogyakarta. Perubahan yang mempengaruhi tata ruang Kecamatan Muntilan adalah pembukaan rel kereta api oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada tahun 1892 yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Kecamatan Muntilan dilewati jalur ini dan sebagai teknisinya adalah Ir. The Tjien Ing, yang dipindahkan dari Secang oleh direksi NISM ke Muntilan pada tahun 1892. Muntilan berada di jalur kereta menuju stasiun Blabak di Mungkid dan Kebonpolo Magelang. Di stasiun inilah, Sastrodihardjo ditugaskan menjadi pegawai Kereta Api. Sebelumnya ia digembleng di Stasiun Ambarawa yang oleh Raja Willem I dijadikan stasiun andalan untuk mengangkut tentara Hindia Belanda ke Semarang. Stasiun Ambarawa yang kemudian dikenal dengan Museum Ambarawa karena masih memiliki salah satu kereta api uap dengan lokomotif nomor B 2502 dan B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen 16

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG dan sampai sekarang masih dapat menjalankan aktivitas sebagai kereta api wisata. Kereta api uap bergerigi ini sangat unik dan merupakan salah satu dari tiga yang masih tersisa di dunia. Dua di antaranya ada di Swiss dan India. Muntilan semakin akrab dengan Sastrodihardjo. Apalagi pada tanggal 30 April 1933, pernikahannya dengan istri keduanya, Soegiharti, dikarunai seorang putra yang kemudian di beri nama Soeranto. Sebelumnya, Sastrodihardjo telah memiliki satu orang anak dari istri pertamanya. Bayi Ranto menghirup nafas pertamanya di tengah hijaunya persawahan di lereng barat Gunung Merapi. Ranto kecil (panggilan untuk Soeranto selanjutnya dalam buku ini), menjalani masa-masa anak-anaknya seperti pada umumnya, bermain di sawah mencari kerang, kepiting yuyu, mencari burung, bermain air di sungai, dan lain-lain. Jika ada yang membedakan dengan anak-anak tetangganya adalah dia anak dari pegawai kereta api yang digaji oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tempat tinggalnya pun rumah dinas, atau istilah anak sekarang adalah ‘anak gedongan’ yang tinggal di Loji. Masa-masa tugas di Muntilan tidak terasa sudah berlalu karena sekitar lima tahun kemudian dia dipindahtugaskan di Stasiun Ketandan, Klaten. Stasiun Ketandan Klaten berada di Kota Klaten bagian utara sebelum Ceper dan Delanggu jika ditarik garis jalan raya dari Yogyakarta – Solo. Peran Stasiun Ketandan yang strategis pada saat itu, ditambah dengan suasana yang masih asing dalam situasi yang masih bergejolak, mempengaruhi Sastrodihardjo untuk memutuskan Ranto dititipkan ke kakaknya di Banyubiru, Ambarawa, yang merupakan tempat kelahiran Sastrodihardjo juga. Kakaknya yang bernama Mangundihardjo adalah Kepala Sekolah di salah satu sekolah dasar di Banyubiru. Ranto kecil pun tak perlu merasakan situasi pergolakan yang lagi hangat di tempat kerja baru ayahnya di Klaten. Di Banyubiru dia langsung mendapatkan perlindungan ekstra dari Pakde Mangundihardjo. Saudara sepupunya mengisi masa-masa bermain dan pertemanan Ranto. Sosok Pakde yang menjabat kepala sekolah bisa ditebak bakal menerapkan disiplin tinggi, terutama masalah belajar. Ini pula yang kemudian mempengaruhi Ranto selanjutnya, dia sangat menghargai waktu meskipun sedikit tapi pelajaran sekolah harus ada yang dibaca kembali di rumah. Begitupun dengan kebiasaan bangun pagi, ditanamkan tanggung jawab menata dan merapikan kembali tempat tidurnya, dan seterusnya. 17

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Di teras rumah Ketandan : Bapak dan Ibu Sastrodihardjo, Dik Djoko, Dik Harto, Didiet, Koko, Roswita dan Dik Umi, 1963. 18

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG MaMsaanBiesrnmyaain Kalau saja di area Stasiun Ketandan, Klaten, saat itu banyak anak-anak kecil seumurannya bermain-main sambil menunggu datangnya kereta api melintas, pastilah Ranto tak perlu menarik nafas panjang untuk menghitung sang waktu yang berjalan lamban. Harapan cuma-cuma itu disadarinya tidak mungkin dibalas dengan cuma-cuma juga oleh keadaan. Stasiun kereta api bukanlah tempat publik yang bisa diakses untuk bermain-main oleh anak-anak. Selain membahayakan, di jaman penjajahan Belanda kala itu memang tak banyak anak-anak yang leluasa bermain di stasiun kereta api. Andai bukan Ranto, mungkin tarikan nafas panjang disertai teriknya matahari akan berujung pada pemberontakan. Ya, lebih baik dia bergabung dengan adik-adiknya di rumah, bercengkerama, bermain dengan teman-teman di lingkungan rumahnya, atau mungkin mengerjakan Pekerjaan Rumah sekolahnya seraya menikmati singkong rebus hangat yang disajikan Ibunya di meja makan. Namun nampaknya Ranto bukan anak biasa. Dia mencintai kepercayaan yang diberikan ayahanda tercintanya, Sastrodihardjo. Padahal usianya saat itu baru menginjak belasan tahun, jika harus dipaksa diingat mungkin saja di akhir masa sekolah dasarnya. Ranto mengenyam sekolah dasarnya di Hollands Inlandshe School (HIS). HIS adalah sekolah rendah berbahasa Belanda untuk anak para pegawai Pemerinah Hindia Belanda. Di atas HIS sedikit bernama Europeesche Lagere School (ELS) untuk anak-anak Belanda dan kaum ningrat pada jamannya. Dengan senang hati dia harus membantu ayahnya yang hanya seorang diri menjalankan tugas satu unit stasiun. Mulai dari berkomunikasi dengan masinis kereta melalui kode morse, mengatur perlintasan rel, pemindahan wesel, dan seterusnya. Sebelumnya, Sastrodihardjo pun harus mengurus tiket penumpang, barang, dan seabreg tugas lain. Melihat bakat dan sikap yang ada pada diri Ranto, Sastrodihardjo dengan sabar, sedikit demi sedikit mengajarkan beberapa hal seputar tugas-tugas perkeretaapian yang selama ini dia jalankan sendiri. Maksudnya jika nanti Ranto bisa, beberapa tugas akan diserahkan seperti ticketing, mengurus barang penumpang di bagasi, sampai penggunaan radiogram yang menjadi bagian penting dari sistem komunikasi transportasi kereta api. 19

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Rupanya, gayung pun disambut Ranto. Sebetulnya kalau mau jujur, kecintaan Ranto dengan dunia kerja yang ditekuni ayahnya itu sudah lama tumbuh. Di saat-saat awal Ranto ke stasiun, dia tidak saja kagum melihat seonggok gerbong kereta, tapi juga dengan roda-rodanya yang seolah ada sayap di sisi bagian dalamnya. Dengan berat yang mencapai satu ton, roda kereta api terbuat dari baja komposit yang sangat kuat, tidak mudah pecah, dan tentunya juga berat. Berat sepasang roda kereta hampir mendekati 1 ton, bahkan untuk roda kereta di Eropa dan Amerika lebih besar dan lebih berat lagi. karena lebar kereta disana melebihi lebar kereta yang digunakan di Indonesia. Di Indonesia, belum ada perusahaan yang membuat roda kereta api. Semua roda masih impor dari Cina, Eropa, atau Amerika. Di PT.INKA sendiri yang merupakan produsen gerbong di Indonesia masih bertindak hanya sebagai assembling karena memang sebagian besar spare part adalah buatan luar negeri terutama untuk jenis kereta penumpang kelas satu. Anak-anak seumuran Ranto saat itu mungkin sedang gandrung dengan keisengan menggepengkan paku-paku dengan cara meletakkan sebuah paku di atas rel dan menunggu kereta melintas untuk melihat paku yang dipasangnya gepeng. Anak-anak itu mengmajinasikan sebuah parang panjang tapi berukuran mini. Mungkin saja ada banyak cara anak-anak membuang waktu bermain-main di stasiun sebelum ditegur petugas. Tapi Ranto tidak demikian. Dia tidak suka mencoba hal-hal yang oleh orang tuanya dilarang. Dia lebih suka mengamati kokohnya roda-roda kereta yang membawa belasan gerbong. Dan yang paling dia tunggu-tunggu adalah momen perpindahan roda-roda tersebut dari satu rel ke rel lain melalui titik penyempitan bernama wesel. Wesel (dari bahasa Belanda: wissel) adalah konstruksi rel kereta api yang bercabang (bersimpangan) tempat memindahkan jurusan jalan kereta api. Wesel terdiri dari sepasang rel yang ujungnya diruncingkan sehingga dapat melancarkan perpindahan kereta api dari jalur yang satu ke jalur yang lain dengan menggeser bagian rel yang runcing. Saat itu, pada jaman ayahnya bekerja di Stasiun Ketandan di bawah Pemerintah Hindia Belanda, pergantian rel dilakukan ayahnya secara manual, belum menggunakan motor listrik. Pada kereta api kecepatan tinggi dibutuhkan transisi yang lebih panjang sehingga dibutuhkan pisau yang lebih panjang dari pada lintasan untuk kereta api kecepatan rendah. Wesel merupakan tempat rawan pada prasarana kereta api, karena sering terjadi 20

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Keseharian Ranto kecil akrab dengan kereta api kecelakaan dalam bentuk anjlokan, yang biasanya terjadi karena wesel tidak berfungsi dengan baik karena keausan pisau wesel, motor penggerak wesel tidak bekerja sempurna ataupun terganjal oleh benda asing, di samping itu biasanya ada batas kecepatan untuk melalui wesel yang diabaikan oleh masinis. Wesel juga merupakan tempat yang mudah untuk disabotase karena dengan menempatkan batu atau benda logam tertentu di antara rel yang bergerak dapat mengakibatkan wesel tidak berfungsi. Oleh karena itu perlu diawasi secara reguler. Ranto juga gemar membaca tanda. Bermula dari tidak sengaja, ia meniru teman- temannya menempelkan daun telinga di batang rel sesaat sebelum kereta datang. Konon beberapa menit sebelum kereta datang, getaran disertai suara raungan kereta sudah terdengar. Sepulang sekolah dia langsung ke stasiun untuk membantu ayahnya. Lama- lama dia tidak merasa bosan dengan suasana stasiun, memandang bantalan rel yang memanjang hingga habisnya jarak pandang mata. Dari seringnya diajak menemani Ayahnya di stasiun, dia diajari Ayahnya menjual karcis, mengurus bagasi, sampai belajar membuat kode morse. Kode morse dibutuhkan dalam proses pengiriman pesan dari dan ke masinis kereta api. Saat kereta api meninggalkan 21

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI stasiun sebelumnya dan hendak menuju ke Stasiun Ketandan, biasanya komunikasi antara masinis dan petugas di stasiun sudah terjadi. Masinis menginformasikan waktu keberangkatan dan bertanya apakah perjalanan berikutnya ke Stasiun Ketandan dapat berjalan dengan aman dan lancar. Semua pekerjaan Ayahnya dilakukan sendiri. Stasiun Ketandan terletak antara Stasiun Klaten dan Stasiun Ceper. Jika ditarik dari rel Stasiun Balapan Solo, sebelum Stasiun Ketandan harus melewati Stasiun Purwosari, Stasiun Gawok, Stasiun Delangu, baru kemudian Stasiun Ketandan. Pengalaman paling tidak terlupakan Ranto adalah saat dia lupa mengirimkan pesan kode morse melalui radiogram kepada masinis yang 10 menit lagi akan datang menuju Stasiun Ketandan. Ia berlari tunggang langgang menuju ruang operator dan langsung mengirim pesan yang seharusnya 15 menit yang lalu dia kirimkan. Melihat keteledoran anaknya, Sastrodihardjo tak lantas memarahinya. Dengan lembut, sang ayah hanya berpesan pada Ranto: “Nggeer…lain kali hati-hati ya,” tuturnya. Bagi Ranto saat itu, tidak ada hal yang bisa menggetarkan hati dan telinganya selain panggilan “Ngger” dari ayahnya. Dari tempaan ayahnya dan suasana kerja di stasiun, meskipun dia jalani dengan suka cita, namun ada nilai berharga lain yang nantinya akan membekas dan turut mensukseskan Ranto selanjutnya, yaitu disiplin dan tanggung jawab. Disiplin adalah nafas Ranto sejak beranjak ke masa sekolah. Bukan berawal dari keluarganya, melainkan dari Pakde Mangundihardjo yang menjabat Kepala Sekolah di Banyubiru, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan di Muntilan, ayahnya bekerja di Stasiun, sebelumnya bertugas di Ambarawa. Tujuh tahun setelah kelahiran Ranto, Sastrodihardjo memboyong keluarganya ke Klaten karena dipindahtugaskan ke Stasiun Ketandan. Ranto adalah pengecualian. Dia dititipkan ke Pakdenya di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, untuk disekolahkan di sana. Setahun di Ambarawa, seiring memori Ranto yang berputar cepat, ia banyak mengenal hal-hal mengikat sebagai seorang makhluk sosial. Setiap pagi bangun tidur, Ranto dan kakak-kakak sepupunya diwajibkan menata dan membersihkan tempat tidurnya masing-masing. Ia pun menikmati nuansa keluarga Pakdenya. Kasih sayang yang dirasakan tidak berkurang sedikitpun jika dibandingkan dengan keluarganya sendiri yang saat itu ada di Klaten. Ranto menikmati kebiasaan baik yang ditanamkan Pakde dan Bude, disipilin dan bertanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga. Ranto pun masih ingat betapa ia suka 22

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG membantu Bude pergi ke pasar untuk belanja, dan hasilnya yang banyak dimuat dalam dokar. Cerita dengan kakak-kakak sepupunya pun tidak selalu tentang disiplin dan membantu orang tua. Ranto ingat betul kejahilan masa anak-anak yang pernah dilakukan bersama saudaranya itu. Pernah suatu ketika bermain petak umpet di kebun, Ranto kehilangan jejak kakak sepupunya, anak Pakdenya, bernama Darsono. Di tengah kebingungan mencari Darsono, tiba-tiba rambutnya basah disertai bau pesing. Ternyata Darsono sedang di atas pohon sambil mengirimkan air kencing yang jatuh deras ke kepala Ranto. Dari dua kisah di atas, Ranto mendapat pelajaran penting dari ayahanda dan Pakde. Kecuali bermain-main, anak-anak penting sekali dibiarkan bekerja membantu orang tuanya di rumah. Membantu pekerjaan orang tuanya di stasiun kereta, membantu Bude belanja keperluan sehari-hari, dan membantu Pakde. Tentu saja harus diingat, tujuannya sekedar mendidik anak-anak agar mencintai pekerjaan, bukan memperlakukannya sebagai pekerja, atau buruhnya. Maka, harus diingat juga waktu-waktu untuk belajar, waktu untuk bermain, dan waktu untuk istirahat (tidur). Dengan membantu pekerjaan orang tuanya, dimasukkan juga sikap mental bahwa usaha paling mulia adalah hasil usaha atau buah tangannya sendiri. Kelak, Ranto akan memiliki pandangan bahwa bekerja adalah perbuatan mulia. Sebaliknya, menganggur bukan saja tidak baik, akan tetapi sebuah benalu dalam masyarakat. Kelak dia akan memiliki pendirian bahwa semua pekerjaan, asalkan halal, adalah perbuatan utama dan akan menghargai setiap pekerja jika dia menjadi pemimpin. Pekerjaan mencangkul di sawah dan kebun meskipun bergelimang lumpur dan keringat adalah pekerjaan mulia. Sebaliknya, pekerjaan menipu atau korupsi meskipun dilakukan di atas meja mewah mengkilap, adalah hina. *** Masa-masa hangatnya menjadi bagian dari keluarga Pakde Mangundihardjo di Banyubiru, hanya dinikmati Ranto setahun. Selebihnya, masa sekolah dasar dia lanjutkan di Klaten. Jarak sekolahnya satu jam perjalanan kaki dari rumah, atau dua jam pulang pergi. Rumahnya sendiri pada saat itu termasuk rumah gedong, atau masyarakat Jawa menyebutnya ‘Loji’. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Ketandan karena merupakan rumah 23

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI dinas yang disediakan Pemerintah Hindia Belanda. Jarak perjalanan dari rumah ke sekolahnya yang menyita waktu juga sekaligus menyita kesempatan bermain bersama teman-temannya. Ranto kecil bahkan harus mencuri waktu bermain dengan anak-anak tetangga terdekat di sela-sela sekolah, belajar, dan membantu ayahnya di stasiun. Permainan sederhana seperti gobak sodor, petak umpet, dan lain-lain yang bisa membangun sikap sportif, kecepatan bertindak, berani mengambil keputusan, bekerja sama dan bertanggung jawab satu sama lain. Nilai-nilai itu terkandung dalam salah satu permainan anak-anak sebelum generasi Nintendo. Ambil contoh misalnya Gobak Sodor. Permainan ini dilakukan dengan dua kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3-5 orang. Cara melakukan permainan ini yaitu dengan membuat garis-garis penjagaan dengan kapur seperti lapangan bulu tangkis. Bedanya tidak ada garis rangkap. Aturan mainnya adalah mencegat lawan agar tidak bisa lolos ke baris terakhir secara bolak-balik. Untuk menentukan siapa yang juara adalah seluruh anggota tim harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan. Ranto banyak mendapatkan pelajaran dan bakat terpendam dari seringnya membantu pekerjaan orang tua. Dia bisa menggiring ketertarikannya pada sesuatu yang detail dan terukur. Mungkin teman sekolahnya bakal mengira apa yang dilakukan Ranto saat itu berujung pada pilihan cita-citanya. Kalau tidak masinis, mungkin insinyur mesin, atau insinyur sipil. Pokoknya yang tidak jauh dari kereta api. Tapi Ranto punya pandangan lain, yang penting alat utamanya dulu dikuasai, baru berlari kencang menentukan pilihan. Alat yang dimaksud adalah pelajaran ilmu pasti. Ranto beruntung saat menjadi siswa sekolah menengah pertama di Klaten mendapat guru matematika yang genius sekaligus lucu. Di SMP dia digembleng aljabar, dan rumpun matematika lainnya saat itu, oleh Pak Riwidigdo. Di sekolah menengah atas di Solo, Ranto juga beruntung mendapatkan guru matematika hebat dalam sosok Pak Pandam. Dua guru ini yang kelak akan mengantarkan Ranto ke tangga pendidikan dan karir yang lebih mumpuni. 24

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG MENJADyIaTnENgTAbRedAaPELAJAR Langit Indonesia di tahun 1947 – 1948 seperti dipenuhi Cumulonimbus. Jenis awan yang terlihat pekat dan sangat berat massa airnya ini bisa kapanpun menumpahkan hujannya ke bumi. Tahun 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I yang diawali dengan kelicikan Belanda melanggar perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947). Entah apa istilah yang dipakai para pelaku sejarah untuk menyebut arogansi Belanda merobek-robek perjanjian itu dan mulai melancarkan tuduhan-tuduhan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Perdana Menteri Sjahrir saat itu. Oleh pihak Kolonis Belanda, Persetujun Linggarjati memang hanya dianggap sebagai alat untuk memungkinkan mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang lebih banyak dari negerinya. Setelah mereka merasa cukup kuat, mereka beralih kepada maksud semula, yaitu menghancurkan Republik Indonesia dengan kekuatan senjata. Untuk memperoleh dalih guna menyerang RI, mereka mengajukan tuntutan yang bukan-bukan seperti : (i) Supaya dibentuk pemerintah federal sementara yang akan berkukasa di seluruh Indonesia sampai pembentukan RIS yang berarti RI ditiadakan; (ii) Pembentukan gandamerie (pasukan keamanan) bersama yang juga akan masuk ke daerah Republik. Namun permintaan itu ditolak Sjahrir. Akhirnya pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisionil’ mereka yang pertama. Polisionil adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5 Agustus 1947 (agresi militer pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (agresi militer kedua). Ranto belum lama bergembira dengan kelulusannya dari sekolah Belanda, dan di tahun 1947 semestinya dia sudah mendapat teman-teman baru, suasana baru, buku pelajaran baru, guru-guru baru, dan suasana yang serba baru di sekolah menengah pertama. Dengan agresi militer Belanda, yang Ranto dan kawan-kawannya sering menyebutnya dengan clash, alih-alih mereka memegang gagang pena untuk menggoreskan pelajaran, 1947 – 1948 dilaluinya dengan menjadi Tentara Pelajar. *** 25

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Deretan perbukitan di Klaten, pertengahan 1947 – 1948 mulai diakrabi para Tentara Pelajar. Saat itu usia mereka rata-rata 16 – 18 tahun dimana mereka seharusnya sedang melahap pelajaran di sekolah menengah pertama dan menengah atas. Namun mereka lupakan sejenak bangku sekolah karena harus melahap tiwul, atau kalau beruntung nasi, itupun harus bercampur dengan kerikil. Ranto, saat itu baru 14 tahun. Dia baru saja lulus sekolah dasar. Namun dorongan membela tanah air beserta wajib militer bersama Tentara Pelajar telah menyisihkan sementara semangat belajarnya. Ia pun bersama teman-temannya, termasuk saudara tuanya bernama Soepadmo, anak Pakdenya yang tinggal bersamanya, mendaftarkan diri. Sama halnya dengan yang lain, Ranto sudah akrab dengan nasi bercampur krikil. Jika Padmo (panggilan Soepadmo) dan pelajar lain yang di atas 15 tahun diberi senjata, maka Ranto tidak. Dia mendapatkan tugas unik yang jauh dari tajamnya peluru timah panas. Ranto menjadi kurir untuk menyampaikan surat dan dokumen penting lainnya kepada para penguasa wilayah saat itu. Menjadi Tentara Pelajar memang bukan pilihan yang bisa ditawar bagi para pelajar saat itu. Mereka juga mendapatkan sebuah permainan baru bernama latihan militer, memiliki kebanggan berseragam dan memanggul karaben, teman-teman yang tak sedikit, dan yang tidak kalah penting adalah pembangunan watak pejuang yang kelak bakal banyak menentukan kesuksesan mereka. Tentara Pelajar sudah biasa menembus semak belukar dalam menjalankan misinya. Pernah suatu ketika menjalankan misi pencarian senjata-senajata Jepang yang konon dipendam dalam tanah dan di dalam sumur. Risikonya, mereka akrab dengan penyakit malaria atau batuk-batuk. Keduanya adalah penyakit yang popular diderita oleh banyak anak-anak jaman penjajahan. Tak terkecuali Ranto, pada saat menjadi anggota Tentara Pelajar, dia mulai kenal dua penyakit tersebut. Bahkan, batuknya tak hanya menemani masa-masa menjadi Tentara Pelajar, tapi berlanjut setia hingga dewasa dan masa tua Ranto. Bersama Soepadmo, Ranto seringkali berlarian menjauh dari kejaran tentara Belanda. Saat itu, selain penyakit batuk, para anggota Tentara Pelajar pada jaman dulu banyak yang kena penyakit trachoma yang mendera mata. Ini disebabkan karena jalanan yang masih berdebu sepanjang Yogyakarta – Solo yang tidak diaspal, kecuali beberapa kilometer ruas di kota Klaten. 26

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Penyakit yang paling sering diderita Ranto saat kecil adalah batuk. Sementara saat menjadi laskar Tentara Pelajar pernah menderita malaria. Penyakit batuk susah sembuh, sering kumat dari masa kecil SD, SMP, sampai saat ini. Dibandingkan saudara-saudara Ranto yang lain, hanya Ranto yang mengalami batuk. Kalau malaria memang saat itu sedang mewabah di kalangan laskar Tentara Pelajar, bahkan anak-anak sekolah pun terserang malaria. Dulu pernah ada yang menyarankan banyak hal, seperti ngemut arang agar cepat sembuh. Namun dengan penyakit itu tidak lantas sekolah Ranto terganggu. Ranto memang sering berjalan kaki ke sekolah. Saat hujan dengan baju basah tetap saja jalan, sesampainya di sekolahan bajunya langsung kering kena angina. Kebetulan kakak ipar Ranto, Winarno, adalah seorang Wakil Gubernur Militer di wilayah Selatan. Rumahnya berjarak sekitar 15 km dari Ketandan ke selatan arah Kota Klaten. Kakak iparnya itu sendiri adalah salah satu yang menitipkan surat ke penguasa wilayah lainnya melalu jasa Ranto. Amanat ini dijalani Ranto dengan senang hati, meskipun sebagai anggota Tentara Pelajar cadangan, namun sebagai kurir tetap pekerjaan yang mengasyikkan. Ranto juga harus melatih kepekaan, menyisir jalanan yang dilalui untuk menghindari tentara Belanda yang sedang patroil. Dia juga sesekali harus melewati pos jaga Belanda di sebuah wilayah perbatasan. Dengan sepeda ontel kesayangannya, Ranto mengayuhkan kakinya. Di tangannya ditenteng rantang, sesekali dia taruh di bagian setir. Orang lain mengira dia membawa makanan untuk ayahnya di tempat kerja, namun faktanya di balik rantang tersebut tersimpat surat-surat dan dokumen lain yang harus disampaikan kepada pihak yang seharusnya dengan aman. Tentara Belanda di pos jaga maupun saat berpapasan di jalan pun tak menaruh curiga sama sekali dengan cara Ranto. Di akhir tahun 1948, langit Yogyakarta, Klaten, dan sekitarnya sudah tak asing lagi dengan si ‘Capung Besar’. Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo, dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Peristiwa agresi ini terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, dan penyerangan tersebut terjadi di kota Yogyakarta. Belanda menyerangnya dari segala jurusan dan telah menduduki kota 27

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI tersebut. Pesawat capung setiap waktu menteror masyarakat, meraung-raung di udara, siap menumpahkan bom dan memuntahkan pelurunya di basis-basis perlawanan. Termasuk yang dapat ‘kiriman’ bom-bom tersebut adalah desanya Winarno, sang Wakil Gubernur Militer bagian Selatan. Penyerangan tersebut menebar efek yang kurang mengenakkan bagi keluarga Ranto. Rumah dinas ayahnya di Stasiun Ketandan Klaten dibakar penduduk setempat sebagai bentuk perlawanan. Bangunan-bangunan yang dibangun Belanda untuk para pekerja pribumi hampir semua dibumihanguskan. Penduduk setempat bermaksud agar bangunan tersebut tidak dihuni Belanda saat mereka pada akhirnya menguasai daerahnya. Saat rumahnya dibakar massa, Ranto, Sastrodihardjo dan semua anak-anaknya menyelamatkan diri masing-masing dengan membawa barang seadanya. Dalam aksi penyelamatan tersebut terlihat sikap Sastrodihardjo yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Ini dibuktikan dengan aksi penyelamatan tumpukan karcis yang terancam dilumat si jago merah. Karcis-karcis kereta tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada atasannya. Mereka mengungsi ke Jetis (sekarang bernama Jogotrans) daerah Klaten selatan. Di pengungsian, Ranto dan adik-adiknya diajari menanam tembakau, cabe, dan lainnya, dan sebelumnya Ranto juga diajari mencangkul di sawah. Tidak puas dengan membakar rumah, penduduk juga memutus rel kereta api dari Srowot ke Stasiun Gawok - Sukoharjo, maupun sebaliknya, untuk mencegah kedatangan tentara Belanda dari Yogyakarta ke daerahnya. Praktis ini menyebabkan terhentinya operasional Stasiun Ketandan. Keluarga Sastrodihardjo mengungsi ke permukiman penduduk di bagian selatan Ketandan. Menjadi anggota Tentara Pelajar dijalani Ranto hanya satu tahun. Selama 1947-1948, suasana sekitar Klaten, Yogyarakarta dan sekitarnya lebih kurang sama dengan suasana perang yang dipertontonkan di layar lebar. Setiap ada pesawat capung melintas di udara, susulan dentuman meriam dari tengah kota menjadi irama yang biasa di telinga penduduk setempat. Ada cerita menarik, bisa dipercaya atau cukup diketahui saja, yaitu saat Ranto berlari bersama saudara-saudaranya menghindari kejaran tentara Belanda. Tidak ada yang menuntunnya saat itu, tiba-tiba Ranto berbelok ke arah makam leluhur. Ketika Belanda mendekat ke makam, tak satupun pasangan mata tentara Belanda melihat Ranto dan rombongannya. Cerita lain dikisahkan Sudjarot (panggilannya Djarot), salah seorang keponakan 28

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Ranto yang sejak kecil dititipkan ayahnya di keluarga Ranto pada saat terjadi clash tahun 1948. Djarot dan salah satu kakaknya tidak diajak ayahnya bergerilya bersama kakak– kakaknya yang lain. Suatu ketika penelusuran tentara Belanda menyisir tentara Indonesia, termasuk Tentara Pelajar, tiba di Jetis. Kepepet, rombongan Tentara Pelajar dimana Ranto ada di dalamnya bersembunyi di parit-parit dan selokan. Di permukaan hanya ada segelintir anak-anak ingusan, termasuk salah satunya Djarot yang saat itu berumur 5 tahun, sedangkan Ranto di saat yang sama berumur 16 tahun. Mengetahui situasi sepi dan hanya ada Djarot dan yang lainnya sedang bermain, Belanda pun bertanya pada Djarot. Namanya anak-anak Jawa saat itu, meskipun pertanyaan Bahasa Indonesia, namun tetap saja tidak dimengerti. Namun salah satu teman Djarot, nekad – mungkin lebih tepat kepepet- menjawab dengan ‘Embuh, aku ora weruh’ (Entah, saya tidak tahu). Meskipun cara tentara Belanda bertanya seraya menodongkan bedil. Penasaran dengan jawaban anak ingusan, tentara Belanda pun ‘menyuap’ anak- anak tersebut dengan roti. Saat itu roti dan corned beef adalah makanan Barat yang asing dan dianggap mewah oleh pribumi. Kedekatan Ranto dengan adik-adiknya maupun saudara lainnya yang diasuh Ibunya begitu mengesankan hingga sekarang. Perangai Ranto yang pendiam tidak mengurangi rasa humor dan keisengannya. Ranto saat itu pernah memiliki burung Betet, suara burung itu sering Ranto plesetkan menjadi ‘ceprut..cepruuuut….jroouuut…jrooout’, bermaksud menirukan bunyi nama ‘Djarot’. Meskipun keanggotaan Ranto hanya sebatas pengantar surat, namun namanya tercatat Negara sebagai salah satu pejuang yang kelak menjadi veteran. Catatan sebagai veteran ini membawa keberuntungan-keuntungan berikutnya. Pendidikan Akal dan Budi, Menyepuh Emas di Hati Ranto adalah anak pertama dari Sastrodihardjo dengan istri keduanya, Soegiharti. Istrinya yang pertama meninggal dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Tarsiah. Usianya terpaut lima tahun dengan Ranto. Ranto memiliki lima adik kandung, yaitu R. Roeslan, Rr. Oemi Martoeti, Rr. Rahayoeningsih, Rr. Sri Kadaringsih, dan R. 29

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Ranto dan Roswita saat mengunjungi Didiet dan Widhy di San Fransisco, Amerika. Djoko Sartono. Kelima adiknya dilahirkan di Klaten, sementara Ranto lahir di Muntilan, Magelang, pada tanggal 30 April 1933. Ibunda tercinta adalah seorang ibu rumah tangga yang ulet dan sabar. Selain itu memiliki jiwa sosial yang tinggi, menjaga keutuhan keluarga, menolong dan mengangkat anak-anak dari keluarganya yang tidak mampu. Pada masa pengungsian, beberapa keponakannya dia asuh, disekolahkan, bahkan ada yang hingga kuliah dan menikah. Ibu juga kreatif membantu Bapak mencari penghasilan, contohnya membatik dan menjahit. Keduanya adalah keterampilan Ibu yang sudah mendarah daging. Selain itu, tidak sungkan untuk berdagang pecel maupun minuman di rumahnya. Bapak Sastrodihardjo, yang memiliki nama kecil Soehardi adalah sosok penyabar. Karakter sabarnya kembar identik dengan karakter diam. Jangankan kepada orang lain, kepada keluarganya pun tidak pernah marah. Hanya saja, karakter Ayahanda yang satu ini sudah dibaca anak-anaknya atau pihak-pihak yang dekat, bahwa ketika marah biasanya Ayahanda menjadi diam seperti es. Sastrodihardjo juga dikenal rajin beribadah, namun karena komunikasi yang terbilang tidak intensif dengan keluarga maka terkesan tidak mengajak atau memaksa yang lain untuk sholat. Ajaran agama yang ditanamkan pada 30

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG anak-anaknya pun tidak terlalu mengikat, dia lebih banyak menunjukkan contoh dengan melakukan hal-hal baik. Peleburan karakter Ibunda dan Ayahanda kemudian mewujud menjadi karakter dan sifat-sifat Ranto hingga sekarang yang pendiam, tidak banyak bicara tapi banyak kerja, menekuni ilmu tak kenal menyerah, kepedulian sosial yang tinggi, menjaga keutuhan keluarga besar, dan seterusnya. Hal ini mendapat sahutan ‘amin’ yang lugas dari adik ipar Ranto yang bernama Thomas Suyatno, suami dari adik perempuannya yang bernama Rr. Sri Kadaringsih. “Faktor genetik, faktor yang diwariskan dari orang tuanya. Pekerja keras, berjiwa sosial tinggi. Pak Ranto yang pendiam juga diwarisi oleh ayahanda. Kalau warisan ibu lebih terbuka. Bisa saja genetiknya dominan dari ayahanda, bisa dari ibunda. Tapi menurut saya ,itu warisan dari ayahanda,” kata Thomas. Sedikit berteori, Thomas Suyatno menyatakan bahwa 30 persen karakter manusia berasal dari genetik. 70 persen lainnya dari faktor lingkungan dan pengalaman hidup. Faktor lingkungan yang pertama dan utama adalah alam rahim. Suara paling merdu dari ibu. Ranto selalu fokus pada buku. Maka efek ikutannya adalah terbatasnya pergaulan. Ranto juga tidak hobi olah raga maupun organisasi. “Pak Ranto sangat menekuni buku dan berorientasi pada target belajar. Pak Ranto tak suka banyak buang waktu di luar,” kata Thomas lagi. Fokus untuk belajar dilakukan Ranto tidak main-main. Dia rela meninggalkan keluarga selama beberapa waktu dengan nge-kos di perumahan kereta api, Stasiun Balapan Solo. Saat itu dia menjelang ujian akhir nasional di SMA 2 Surakarta di Margoyudan. Pada saat yang sama, kebiasaan Ayahanda di Stasiun Ketandan juga absen. Apa itu? Ayahanda seringkali menahan sempritan sebagai petanda kereta boleh jalan sebelum Ranto naik. Ketika sudah lihat di kejauhan anaknya lari dan masuk gerbong, barulah peluit (sempritan) dibunyikan kencang-kencang. Disiplin ayahnya dalam menunaikan tugas di sebagai Kepala Penjaga Stasiun KA Ketandan hampir sempurna diwarisi Ranto. Yang lainnya antara lain, fokus pada pekerjaan, berbagai bantuan, bertangung jawab, tak banyak kata tapi banyak kerja, rapih dalam bekerja, dan seterusnya. Salah satu bukti kerapihan Ranto, ambil fakta di masa SD atau SMP, Ranto begitu rapih menyimpan buku. Buku dianggapnya seolah guru yang harus diperlakukan secara hormat. Seperti yang dikisahkan Djarot, Ranto dan adik- 31

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI adiknya, termasuk Djarot, memiliki satu lemari penyimpanan buku terbuat dari triplek (lempeng) yang disekat-sekat sesuai pemiliknya. Lemari tersebut hanya bertutupkan gordin. Alhasil, catatan Ranto selalu menjadi sasaran empuk untuk dibuka dan ditiru. Yang megagumkan, buku-buku milik Ranto disusun dengan sangat rapih, beda dengan lainnya. Tidak hanya itu, meskipun memakai kertas tulis jaman pelajar saat itu, tetap saja goresan tinta penanya rapih. Keberadaan Ranto sebagai kakak laki-laki paling tua dalam keluarga terasa mengayomi yang lain. Ini diakui Djarot. “Pada saat kami sama-sama tinggal di Klaten, kakak saya, ibunya saya, dan saya sendiri, plus pembantu, berasa sekali ada sosok yang mengayomi kalau Mas Ranto ada,” kata Djarot. Ranto juga sangat menyayangi kakaknya. Rasa sayang tulus itu kemudian dibalas dengan sering diajaknya Ranto oleh Mbakyu Tarsiah (Nyonya Winarno) kemanapun Pak Winarno ditugaskan. Sebagai Gubernur Militer saat itu Pak Winarno sering dipindahtugaskan antara lain dari Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Bandung dan Palembang. Ranto selalu menyempatkan mengunjungi Mbakyunya itu di masa liburan sekolah atau kuliah. Ada beberapa orang berpengaruh yang berhasil memoles Ranto hingga sekarang. Pelukis-pelukis karakter tersebut antara lain Pakdenya di Banyubiru Ambarawa yang menanamkan disiplin. Ayahanda yang memoles karakter ulet dan tekun. Ada Ibu yang mewarisi jiwa sosial, dan ada kakak perempuannya yang secara tidak langsung pula mengajarkan arti menjaga keutuhan dan kekompakkan keluarga besar yang dibalut kasih dan sayang. Dua adik perempuan Ranto, yaitu Rr. Sri Kadarningsih dan Rr. Sri Rahayoeningsih pernah mengalami kesan yang mendalam belum lama ini. Sri Kadarningsih tiba-tiba ditelepon Ranto dan ditanya: “Ada apa denganmu? Setiap aku pergi ke langgar (Musholla), kok selalu melihatmu?” tanya Ranto pada adiknya itu. Juga demikian dengan yang dialamai Rahayoeningsih. Keduanya seolah mengafirmasi bahwa Ranto sangat memegang teguh pesan alamarhum Ibunya: “Ngger… sedulur lanang harus melindungi sedulur wedok (Nak, saudara laki-laki harus melindungi saudara perempuan)” begitu ibunya berpesan sebelum meninggal dunia. Menyinggung hobi dan kebiasaan, adik-adik maupun kakak-kakak Ranto lebih leluasa bermain. Bisa jadi karena memiliki waktu luang banyak, atau bisa saja karena faktor Ranto yang sudah cermat dan bijak mengatur waktu bermain dan belajar. Sebagian 32

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG adiknya saja suka dengan tontonan wayang, tapi Ranto tidak. Alasan ada pengekangan dari Ayahanda juga tidak, karena sebaliknya, Ayahanda membebaskan anak-anaknya berekspresi, dan bermain. Urusan mengatur anak lebih cenderung diperankan Ibunda. Sejak SMP, Ranto juga aktif di kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Baginya, kegiatan ini banyak manfaatnya dibandingkan ekstrakurikulum yang lain. Keanggotaannya di Pramuka juga hingga masa kerja tetap dimanfaatkan. Ranto kecil pada masanya adalah salah satu dari jutaan anak Indonesia yang beruntung meniti pendidikan di sekolah formal. Sekolah dasar dan tingkat menengahnya ia jalani di Klaten (1941-1950), kota yang membesarkan dirinya sekaligus keluarga. Kota yang memberikan ketidakpastian sekaligus perlindungan. Sekolah menengah atasnya ia lalui di SMA 2 Surakarta (1950-1952), sedangkan perguruan tinggi dia tamatkan di Universitas Indonesia, Fakultas Teknik, di Bandung (1953-1958), yang selanjutnya menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Di rumah, Ranto memanfaatkan sebaik-baiknya waktu bermain dan ‘ngajarin’ adik- adiknya. Waktunya yang terbatas di rumah disebabkan oleh tersitanya waktu perjalanan dari sekolah ke rumah atau sebaliknya. SD dan SMP dia sering berjalan kaki. Sedangkan SMA habis waktunya di gerbong kereta. Kebiasaan memberikan arahan dengan sabar ketika ada adiknya yang minta diajari salah satu pelajaran sulit, pada akhirnya Ranto anggap menjadi suatu ‘Utang’. Seperti yang diceritakan salah satu adik perempuannya, Rr. Rahayoeningsih yang akrab dipanggil Ning, saat Ranto liburan kuliah dari Bandung, Ning minta diajarkan memecahkan rumus matematika. Tapi karena Ranto kehilangan waktu dan harus segera kembali ke Bandung, maka jawabannya Ranto tulis dalam surat. Surat itu tidak lama kemudian dilayangkan ke Ning dengan tanpa diduga sebelumnya. Ning mengira kakaknya itu sudah lupa dengan permintaannya. Pada masa menimba ilmu di SMA 2 Surakarta (Solo), Ranto semakin menemukan jati diri dan caranya sendiri untuk melatih, mengatur waktu, ketekunan belajar, semangat pantang menyerah, dan seterusnya. Perjalanan dari rumahnya di Ketandan ke Solo dia tempuh dengan Kereta Api selama 1 – 2 jam. Pulangnya pun sama, bergantung dari jadwal kereta yang menuju Ketandan, bisa Pukul 13.00 atau Pukul 15.00. Kelihatannya memang banyak waktu yang dibuang sia-sia hanya sekedar menunggu kereta. Tapi bukan Ranto namanya jika waktu dibiarkan berlalu begitu saja. Dia terus pelajari buku-buku pelajaran dan mengerjakan tugas dari gurunya sembari menunggu kereta tiba di stasiun. Di saat-saat seperti itu juga, Ranto sering mengutak-atik rumus-rumus matematika, 33

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Menerima kado dari Roswita, saat ulang tahun di Jakarta. seperti Trigonometri, Goniometri, ilmu ukur ruang, dan pelajaran ilmu pasti lainnya seperti fisika dan kimia. Di mata Ranto, dia harus bisa memecahkan soal-soal pelajaran dengan cara-cara tidak biasa. Dia pun akhirnya menemukan rumus-rumus cepatnya sendiri atau tips-tips jitu untuk masing-masing pelajaran. Kekaguman dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap apa yang dia inginkan selanjutnya menjadi pembeda antara Ranto dengan orang yang tidak memilikinya. Penemuan solusi-solusi jitu soal-soal ilmu eksakta yang rumit tidak lepas dari kekagumannya pada Pak Riwidigdo sebagai guru matematikanya di SMP dan Pak Pandam sebagai guru matematikanya di SMA. Ranto pun banyak meneladani Pakde Mangundihardjo. Darinya Ranto belajar disiplin yang seterusnya terpatri dalam hubungan syaraf otak sensorik dan motorik. Dari Ayahnya, Sastrodihardjo, dia mewariskan ketekunan. Kemudian berturut-turut dari Ibunya, Kakaknya, serta pahlawan idola masa kecilnya, Soekarno dan Muhammad Hatta. Keuletan dan kesabaran Ranto bisa disebut sebagai sifat ‘biang’ dari Ranto keseluruhan. Dari kecil hingga menginjak remaja dan berseragam SMA, dia hanya menggantungkan dua balon bertuliskan ‘INSINYUR’ dan ‘DOKTER’. Dua balon tersebut dia gantungkan setinggi-tingginya di langit. Sampai sejauh itu Ranto belum bisa menjelaskan kenapa pada akhirnya dia memilih jurusan Teknik Pertambangan, dibandingkan Teknik Mesin atau Teknik Sipil atau lainnya yang erat dengan dunia kereta api yang dia tekuni sejak kecil. 34

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Yang pasti, dalam penggalan kisah hidupnya yang lain, Ranto menemukan kecintaannya pada alam, entah yang terlihat di permukaan seperti perkebunan, pertanian, dan lainnya, atau kecintaan pada alam di bawah perut bumi dan laut. Entahlah, yang pasti dia kemudian sampai pada babak sukses cerita hidupnya menggenggam timah di tangan. Kuliah di Tengah Semangat Membara Pemuda Ruang-ruang kelas Sekolah Teknik Menengah (STM) Jetis dijejali sekitar tiga ratusan mahasiswa baru Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Bahkan banyak diantara mahasiswa ini yang harus berdiri di luar ruangan, berdesakkan di pintu dan jendela agar bisa mengikuti perkuliahan. Tahun 1953, UGM meminjam ruangan STM Jetis untuk perkuliahan Fakultas Tehnik. UGM di tahun-tahun awal berdirinya belum memiliki gedung sendiri. Kegiatan pembelajaran dilakukan di tempat yang terpisah-pisah di seputar lingkungan keraton Yogyakarta. Fasilitas kuliah dan praktikum masih sangat terbatas. Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan berada di Ngasem. Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik bertempat di Pagelaran. Fakultas Sastra, Pedagogik dan Filsafat berada di Wijilan. Bahkan pada tahun 1953 Fakultas Teknik UGM untuk kegiatan kuliah masih meminjam ruangan Sekolah Tehnik Menengah (STM) Jetis. Ranto adalah bagian dari ratusan mahasiswa UGM yang berdesakkan dan berebut tempat paling depan agar bisa mendengar suara dosen. Ranto mengambil jurusan Teknik Geodesi, cabang ilmu teknik yang semakin menjauhkannya dari kegemarannya pada dunia kereta api. Apa yang dialami Ranto juga dirasakan mahasiswa lainnya. Contohnya, para mahasiswa Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik yang mengikuti kuliah di Pagelaran tidak merasa nyaman karena masing-masing ruang hanya dipisahkan oleh dinding yang sederhana, sehingga suara di ruang yang satu terdengar di ruang yang lain. Ada pula ruang kuliah yang terletak di sebelah kandang ayam dan seringkali sebelum kuliah dimulai para mahasiswa harus membersihkan kotoran ayam yang terdapat di meja, kursi dan lantai. Tempat kuliah dan praktikum yang terpencar jauh menambah kesulitan bagi mahasiswa 35

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI karena sebagian besar mahasiswa harus berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya beberapa gelintir mahasiswa yang mempunyai kendaraan bermotor. Belum ada angkutan umum yang menghubungkan beberapa kampus yang terpisah. Perjalanan dari rumah ke kampus UGM harus ditempuh Ranto sepanjang 30 km dengan bersepeda. Kegundahan hati Ranto semakin membumbung dengan semakin terasa sia-sianya dia mengikuti perkuliahan dengan suara dosen yang hanya terdengar sayup-sayup saja ketika menerangkan. Asa belajar terus dia jaga, misalnya dengan bernyanyi sepanjang perjalanan menuju kampus. Lagu yang sering didendangkan pada masa itu antara lain Halo-halo Bandung. Lagu itu selalu dinyanyikan Ranto di mana saja. Hanya enam bulan di UGM, dengan ketidakpuasan tersebut, akhirnya Ranto memutuskan untuk pindah kuliah ke Bandung pada tahun 1953. Dia kebetulan mendapatkan beasiswa pemerintah untuk kuliah di Unversitas Indonesia Fakultet Teknik Bandung. Namanya tercatat menjadi mahasiswa Teknik Pertambangan di kampus yang saat ini berubah nama menjadi ITB. Nomor Induk Mahasiswa bernomor 3615. Dia meraih gelar Sarjana konsentrasi bagian tambang pada 27 Februari 1958. Angkatan Ranto yang memilih jurusan pertambangan sebanyak 65 orang, namun yang berhasil lulus hanya 30- an orang. Di kampus barunya ini, Ranto tinggal di asrama mahasiswa yang ia sewa dengan harga saat itu Rp 100. Dia mendapatkan beasiswa Rp 200 sebulan, setelah dikurangi separuhnya untuk membayar asrama, sisanya untuk keperluan sehari-sehari. Keadaan tersebut memaksa Ranto berdikari. Ditambah dengan ayahnya yang sudah pensiun, dan gajinya untuk membiayai adik-adiknya sekolah di Akademi Perminyakan. Selebihnya, setelah ayahanda pensiun adiknya tidak melanjutkan sekolah. Dunia mahasiswa memiliki banyak pilihan kegiatan untuk mengisi waktu selain kuliah. Begitu juga dengan gaya hidup. Setiap mahasiswa berbeda gaya pergaulan, biasanya hal itu ditentukan oleh latar belakang keluarga dan lingkungan sebelumnya. Ada yang suka pergi ke pesta-pesta, mengikuti arus perubahan popular pada jamanya, entah dari warisan kultur Barat yang dibawa Belanda, maupun arus informasi yang dibawa media. Ada juga yang mengisi kegiatan ekstra kampus non-hedonis, seperti unit kegiatan mahasiswa, baik internal maupun eksternal. Melakukan kajian, diskusi, membaca peradaban dan mengkonsolidasikan diri dan kelompoknya untuk perubahan yang lebih baik, dan seterusnya. Tapi Ranto tidak memilih salah satu dari dua arus itu. Dia berdiri di tengah-tengah, 36

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG menjalani perkuliahannya dengan konsentrasi pada apa yang harus dia dapatkan dari jurusan pertambangan yang dipilihnya. Dia menikmati pertemanan yang biasa saja. Teman-teman asramanya datang dari berbagai daerah dan suku, ada Tapanuli, Manado, dan lain-lain. Niatnya yang sudah bulat untuk kuliah di Bandung dan harus meninggalkan keluarganya kemudian dihibur dengan banyaknya teman dari berbagai suku. Ranto hanya setahun sekali pulang ke Klaten, kadang juga berlibur ke tempat kakaknya. Kereta selalu menjadi sahabat setianya jika pulang ke Klaten, dan gratis pula karena dia anak pegawai kereta api. Seperti yang diamini kedua saudaranya, Thomas Suyatno dan Djarot, Ranto memang terlihat tidak ingin aktifitasnya mengganggu target-target yang sedang dia fokuskan. Itulah kemudian yang menjadikan Ranto tidak berafiliasi dengan organisasi apapun selain perkuliahan, mencari literatur buku – buku di perpustakaan untuk memperkaya pengetahuannya pada masing-masing mata kuliah. Ranto menikmati masa-masa kuliahnya dengan belajar dan belajar. Tidak terbersit niatan untuk mencari teman dekat perempuan, atau pacaran. Orang tua dan keluarganya berpesan agar dalam masa kuliah jangan dulu dekat dengan perempuan. Ranto hanya diizinkan berpacaran atau mencari pasangan setelah menyelesaikan studinya dan menjadi ‘orang’ dengan bekerja. Cerita sebagai pelajar, teman, atau kakak yang ringan tangan untuk berbagi pengetahuan menjadi bagian kisah hidup Ranto. Sejak sekolah dasar dan menengah di Klaten dan Solo, dia tak segan membantu adik-adiknya mengerjakan aljabar atau yang lain. Di mata teman-teman kuliahnya, Ranto adalah mahasiswa yang gemar membantu teman-temannya dengan memperbanyak catatan-catatan kuliahnya dan dibagikan kepada yang lain untuk disalin. Diyakini Ranto, pelajaran di sekolah akan mudah lupa jika tidak dipelajari ulang di rumah. Ilmu ibarat permata, semakin digosok semakin bercahaya. Ilmu berbeda jauh dengan harta. Ilmu akan bertambah-tambah jika digunakan, tapi tidak demikian dengan harta yang akan berkurang, bahkan habis. Itulah motivasi emas Ranto membagikan semua tips dan solusi jitu pelajaran eksak kepada teman dan terlebih untuk saudara-saudaranya dan anak cucunya. Anak keduanya bernama Dwityo Akoro mengafirmasi sifat suka menolong ayahnya itu dengan prestasi yang dia raih di sekolah. “Papa selalu menolong dan menyampaikan saya kunci-kunci yang harus diingat dalam menyelesaikan soal-soal dari Pak Guru atau 37

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Di Dabo, Singkep 1968. 38

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Di Jakarta sekeluarga, 1989. 39

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bu Guru. Ilmu ukur sudut dengan rumus-rumus Trigonometri dan Goniometri selalu saya lahap dengan cepat di sekolah,”kata Dwityo Akoro yang akrab dipanggil Koko. Tidak mengherankan bila Koko bisa meraih penghargaan dari Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau saat di SMP 710 di Dabo tahun 1976 sebagai Pelajar Teladan Tingkat Kabupaten. “Papa terkesan pintar dan cerdas otaknya menurut saya, terutama untuk hal-hal yang bersifat teknis, hitung menghitung, dan eksak,” ungkap Koko. *** Sebuah iklan kecil di Pikiran Rakjat, 14 Agustus 1954 menampilkan informasi atau mungkin bisa disebut ‘undangan’ terbuka dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara akan digelar di Hotel Savoy Homman dan akan menampilkan pentas kesenian Indonesia yang dilanjutkan dengan pentas dansa atraktif mulai pukul 22.00. Ranto dan lima teman karibnya di Asrama membaca iklan itu hanya sepintas lalu saja. Ranto, Suyono, Kusworo dan dua lainnya sudah paham dengan iklan itu. Penyelenggara lupa bahwa Indonesia belum 10 tahun merdeka dan pesta pora menjadi sensitif di tengah kesengsaraan rakyat pada waktu itu, terutama di daerah yang masih dikuasai gerombolan bersenjata. Masalahnya Hotel Homman dikelola oleh Saddak, orang Indonesia dari sebuah partai politik, dari partai yang berideologi nasionalis pula. Setelah selesai acara, iklan itu kemudian menjadi polemik dan memicu aksi demonstrasi, sebagian besar arus perlawanan datang dari mahasiswa. Dansa adalah folklore masyarakat dan mahasiswa di Bandung di tahun 1950an. Kota Kembang sendiri mengalami musim bunga sarjana di tahun 1954 dan sesudahnya. Pemakaian Bahasa Belanda masih menjadi isu di kalangan mahasiswa. Para mahaguru di Fakultas Teknik Bandung sebagian besar masih didominasi bangsa Belanda. Rata- rata sudah berusia tua dan paling sedikit mengenal Indonesia selama 2-3 tahun. Hanya separuh di antara guru besar itu yang mengerti dan memberikan kuliah dalam Bahasa Indonesia. Pada 1954 sekitar 50 persen ujian tertulis sudah diberikan dalam Bahasa Indonesia (Pikiran Rakjat, 15 Januari 1954). Acara dansa di Hotel Savoy Homman itu pun akhirnya benar-benar berlangsung, dan sampai pagi. Sementara suasana di luar hotel menjadi panas. Sejak pukul 20.00 40

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG sejumlah pelajar, mahasiswa dan pemuda berkerumun di halaman gedung di samping hotel itu. Setelah pukul 23.00 alat Negara bersenjata dilaporkan mulai berjaga-jaga. Acara menjadi kacau dan tidak sedikit tamu hotel pulang. Namun dansa akhrinya berlangsung pukul satu dini hari diikuti tamu yang masih ada. Sementara para pelajar dan pemuda yang bekerumun akhirnya pulang pukul dua dini hari tanpa insiden (Pikiran Rakjat, 18 Agustus 1954). Pada keesokan harinya, pukul 13.00, sejumlah pemuda dan pelajar ramai-ramai naik sepeda mendatangi Kantor Batalyon CPM, Kantor Keresidenan dan diterima komandan yang bertugas untuk menyampaikan surat protes atas pesta dansa malam 17 Agustus itu. Di Harian Pikiran Rakjat, isu ini menjadi polemik yang berkepanjangan. Sejumlah organisasi seperti IPPI, Perguruan Tinggi, Pemuda Rakyat, Pergerakan Mahasiswa Progresif di antara yang menentang acara dansa itu (T.Pw, Dansa 17 Agustus dalam Pikiran Rakjat, edisi 27 Agustus 1954). Sikap menentang acara dansa untuk meramaikan peringatan hari kemerdekaan itu membawa implikasi cukup penting. Untuk pertama kalinya organisasi mahasiswa dan pemuda yang berbagai ideologi di Bandung mengadakan kerjasama dengan membentuk Badan Kontak Pemuda yang terdiri dari 16 organsiasi. Pembentukan Badan Kontak Pemuda ini diadakan pada 5 September 1954 di di ruangan sidang DPRDS Kota Besar Bandung (Pikiran Rakjat, 6 September 1954). Di tengah hiruk pikuk perjuangan mahasiswa dan pelajar, Ranto memiliki dunia lain yang lebih aman. Sejumlah ajakan di acara dansa dari kalangan mahasiswa mungkin pernah dia terima, tapi berangsut kemudian ajakan-ajakan tersebut surut dengan ‘keukeuhnya’ sikap penolakan Ranto. Begitupun dengan ajakan sebagian kelompok mahasiswa lain untuk merapat, mengorganisir semangat perlawanan. Ranto tak mau ambil risiko membuang waktu kuliahnya. Sumber pembiayaan kuliah dia andalkan dari beasiswa karena gaji pensiunan orang tuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya. Tempat Ranto berlindung, selain Tuhan Yang Maha Esa, adalah kakak iparnya (Winarno) yang kebetulan ditugaskan di Bandung sebagai wakil konstituante dari Jawa Tengah tahun 1955. Rasa sayang kepada adiknya ini membuat Winarno sering berkunjung ke asrama Ranto. Dia melihat keakraban adiknya bersama Suyono (yang kemudian menjadi menantu Hamengkubuwono), Kusworo, dan tiga orang lainnya. Keakaraban tersebut membuat Winarno lega, bahkan salah satu temannya, bernama Kusworo, menjadi lebih dekat dan sering diminta bantuan mendesain. 41

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Dengan semangat 1958, Ranto berhasil menamatkan Teknik Pertambangan dengan memuaskan dengan predikat Sarjana Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia melahap mata kuliah yang selama ini dia coba cintai, seperti Eksplorasi Sumber Daya Mineral, Pengelolaan Sumber Daya Air, Geomekanika, Rekayasa Pengolahan Bahan Galian, dan seterusnya. Bekerja adalah fase hidup pokok berikutnya bagi siapapun. Saat itu jurusan yang dia ambil di ITB bersifat ikatan dinas. Setelah kelulusan tahun 1958, Ranto langsung mengurus administrasi ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Oleh Departemen P dan K, Ranto bersama beberapa lulusan yang lain ditempatkan di Perusahaan Negara Timah di Pulau Bangka, Provinsi Sumatera Selatan sebagai Pegawai Negeri. 42

DI BAWAH PENJAJAHAN SEUMUR JAGUNG Papa adalah orang yang sangat disiplin. Kalau pagi- pagi setelah sarapan, dia sudah rapi dengan berpakaian dinas. Satu lagi, jujur. Jika saat itu Papa mau macam- macam, mungkin sekarang sudah berlebih. Jaman dulu kalau punya power bisa disalahgunakan macam-macam. Hasilnya alhamdulillah sekarang sehat dan hidup dengan tenang. Saya pernah belajar menghormati saudara dan mengeratkan ikatan keluarga dengan tinggal di Semarang, di rumah Pakde Koesdaryanto. Berawal dari iseng diajak tes masuk SMA, sayapun akhirnya lolos dan sekolah di SMA favorit di Semarang, SMA Loyola. Di Semarang saya hanya setahun dan melanjutkan di SMA Pangudi Luhur, Jakarta. Papa sangat santun kepada orangtuanya. Harapan saya, Papa menggenapkan usianya hingga 80 tahun. Jujur saja saya sempat kawatir ketika kemarin Papa sakit- sakitan. Sidik ‘Didiet’ Poerwanto Anak Pertama 43

Ranto menjalani karir sebagai pegawai bulanan di Pemali, Sungailiat, Bangka. Namun tidak sampai satu bulan, Ranto sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Departemen Pertambangan, tepatnya 1 November 1958. Ranto datang ke Bangka dengan situasi PN Timah Bangka usai diambil alih dari Belanda ke Pemerintah RI. 44

II Menambang Timah 45

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Primadona itu Bernama Timah Dalam pelajaran ilmu bumi anak sekolah dasar, nama Pulau Bangka, Pulau Belitung, dan Pulau Singkep sudah kesohor dan dicatat sebagai daerah penghasil timah. Sebab, di Indonesia hanya ada tiga pulau besar penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep. Kegiatan penambangan timah di Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai sejak abad 16 pada masa kesultanan Palembang. Saat itu, lempengan-lempengan timah digunakan sebagai bahan barter dengan pedagang asing, baik Cina, jazirah Arab, maupun Eropa. Pada saat itu, rakyat dapat dengan mudah melakukan penambangan timah karena bijih timah yang berupa mineral kassiterit (SnO2) banyak terdapat di permukaan tanah di wilayah Pulau Bangka dan Belitung. Daerah cadangan timah di Indonesia merupakan suatu bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 km. Disebut sebagai “The Indonesian Tin Belt” dan merupakan bagian dari “The South East Asia Tin Belt” yang membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, semenanjung Malaysia dan di Indonesia. Di Indonesia mencakup wilayah Pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau-pulau Bangka, Belitung dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan timah di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 200 tahun, yaitu di Bangka mulai tahun 1711, di Singkep tahun 1812 dan di Belitung sejak tahun 1852. 46

MENAMBANG TIMAH Dengan kekayaan cadangan yang melimpah, Indonesia merupakan salah satu negara produsen timah terbesar di dunia. Pada tahun 1816 Pemerintah Belanda mengambil alih tambang-tambang di pulau Bangka dan dikelola oleh badan yang diberi nama “Bangka Tin Winning Bedrijf ” (BTW). Sedangkan di Pulau Belitung dan Pulau Singkep diserahkan kepada pengusaha swasta Belanda, masing-masing kepada Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (Biliton Mij.) atau lebih dikenal dengan nama GMB di Pulau Belitung, dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij atau dikenal dengan nama NV SITEM di Pulau Singkep. Secara historis pengusahaan pertambangan timah di Indonesia dibedakan dalam dua masa pengelolaan. Yang pertama sebelum tahun 1960 dikenal dengan masa pengelolaan Belanda, di mana Bangka, Belitung dan Singkep merupakan badan usaha yang terpisah dan berdiri sendiri. Bangka dikelola oleh badan usaha milik Pemerintah Belanda sedangkan Belitung dan Singkep oleh perusahaan swasta Belanda. Status kepemilikan usaha ini memberikan ciri manajemen dan organisasi yang berbeda satu dengan yang lain. Ciri perbedaan itu diwujudkan dalam perilaku organisasi dalam arti luas, baik struktur maupun budaya kerjanya. 47

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Bekas tambang timah di Belitung. Masa yang kedua adalah masa pengelolaan Negara Republik Indonesia. Status berdiri sendiri dari ketiga wilayah tersebut masih terus berlangsung tetapi dalam bentuk Perusahaan Negara (PN) berdasarkan Undang-undang No. 19 PRP tahun 1960, yaitu PN Tambang Timah Bangka, PN Tambang Timah Belitung dan PN Tambang Timah Singkep. Sebelum masa kedua itu terjadi, seluruh wilayah kekuasaan Belanda direbut Jepang seiring takluknya Belanda kepada Jepang dalam kurun waktu Perang Dunia kedua tahun 1942-1945. Perusahaan Jepang, Mitsubishi Kabukihsi Kasiha (MKK) yang diserahi tugas penambangan diperkirakan telah mengekspor sekitar 70 ribu ton timah dalam bentuk bijih dan logam. Setelah PD II usai dan Belanda kembali menguasi Indonesia, penambangan timah juga beralih ke Belanda. Hingga penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia, tak banyak perubahan yang berarti dalam usaha pertambangan. Pada tahun 1953, Banka Tin Winning (BTW) diserahkan oleh Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian membentuk suatu perusahaan Negara dengan nama perusahaan Tambang Timah Bangka (TTB) yang khusus mengelola penambangan timah di Pulau Bangka. Lima tahun kemudian, 1958, giliran GMB dan SITEM diambil oleh pemerintah RI yang kemudian membentuk Perusahaan Pertambangan Timah Belitung (PPTB) dan Perusahaan Pertambangan Timah Singkep PPTS). Dengan demikian pemerintah RI memiliki tiga perushaan Negara yang bergerak di pertambangan timah, yaitu TTB, 48

MENAMBANG TIMAH PPTB, dan PPTS. Untuk memudahkan pengawasan dan pengaturannya, tiga perusahaan tersebut kemudian diletakkan di bawah koordinasi Biro Usaha Tambang Negara (Buptan). Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 1961 ketiga Perusahaan Negara tersebut dikoordinasikan oleh Pemerintah dalam bentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU Tambang Timah) dengan pembagian tugas dan wewenang seperti bentuk “holding company”. Perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 1968 di mana ketiga PN dan BPU ditambah Proyek Pabrik Peleburan Timah Mentok dilebur menjadi satu dalam bentuk PN Tambang Timah, yang terdiri dari Unit Penambangan Timah (UPT) Bangka, Belitung, dan Singkep serta Unit Peleburan Timah Mentok ( Unit Peltim). Dengan pertimbangan memberi keleluasaan bergerak di sektor ekonomi umumnya, terutama dalam menghadapi persaingan, status PN Tambang Timah ini pada tahun 1976 diubah lagi menjadi bentuk Perseroan yaitu PT Tambang Timah (Persero) dengan Bangka, Belitung, Singkep dan Peleburan Timah Mentok tetap sebagai unit kegiatan operasi yang dipimpin masing-masing oleh Kepala Unit sedangkan Kantor Pusat berada di Jakarta sehingga secara manajemen perubahan dimaksud belum terintegrasi dalam arti sebenarnya. Bahwa ciri geografis masih tetap melekat dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab secara sektoral merupakan warisan sejarah, dan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan-kesenjangan dalam pengambilan keputusan yang melatarbelakangi perlunya perubahan mendasar. Harga Timah di Pusaran Politik dan Produsen Vs Konsumen Meletusnya Perang Korea yang melibatkan Amerika Serikat pada tahun 1950-1951 berpengaruh pada anjloknya harga timah di pasaran dunia. Namun penyebab utamanya adalah sikap Amerika yang bersemangat memperkuat cadangan strategis nasionalnya denga cara melakukan pembelian timah dalam jumlah besar. Amerika mempersiapkan timah bukan saja untuk Perang Korea, tapi perang sejenis di masa depannya. Sikap Amerika menimbun stok timahnya menyebabkan harga berfluktuasi secara tidak wajar. Jumlah produksi, konsumsi dan biaya produksi tidak lagi menjadi parameter harga. Harga timah yang pada tahun 1950 berada di paras £ 500 /ton dengan cepat melonjak menjadi £ 1.620/ton pada tahun 1951. Menghadapi gejolak pasar, Amerika bereaksi keras sehingga harga berangsur turun sesudah tahun 1951, namun tidak lebih rendah dari £ 805/ton. 49

TIMAH DI TANGAN EMAS DI HATI Harga timah yang melambung pada tahun-tahun menjelang 1950 memacu penambangan timah di seluruh dunia. Ada tiga besar Negara sebagai penghasil timah terbesar, yaitu Malaysia, Indonesia, dan Bolivia. Malaysia memacu produksinya mencapai 81.801 ton pada tahun 1950. Di Indonesia rasa optimism besar mendorong pembangunan kapal-kapal keruk menjelang tahun 1950, yang pada waktunya kemudian berhasil memacu peningkatan produksinya dengan cepat. Kekuatan penambangan timah Indonesia pada tahun 1951 terletak pada 29 kapal keruknya yang memberikan kontribusi 65% dari total produksi. Sedangkan kontribusi dari kolong atau gravel pumps sebesar 30%, dari pendulangan dan lainnya berkontribusi 5%. Satu-satunya tambang dalam, Kelapa Kampit, yang di masa sebelum perang menghasilkan 2.500 ton/tahun belum beroperasi kembali. Demikian juga tambang-tambang primer yang lebih kecil. 50


Timah di Tangan Emas. di Hati

The book owner has disabled this books.

Explore Others

Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook